Bab i

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis,dalam suatu keadaan koheren yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana yang paling besar. Seorang ahli yang bernama Sobur Alex (2001) mengungkapkan bahwa wacana adalah rangkaian ujaran atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (objek) yang disajkan secara teratur, sistematis dalam suatu satuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.jadi, wacana proses komunikasi menggunakan simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Berdasarkan dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Akhirnya, dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud

Transcript of Bab i

Page 1: Bab i

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang

mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis,dalam suatu

keadaan koheren yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana

yang paling besar. Seorang ahli yang bernama Sobur Alex (2001)

mengungkapkan bahwa wacana adalah rangkaian ujaran atau rangkaian tindak

tutur yang mengungkapkan suatu hal (objek) yang disajkan secara teratur,

sistematis dalam suatu satuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental

maupun nonsegmental bahasa.jadi, wacana proses komunikasi menggunakan

simbol yang berkaitan dengan interpretasi  dan peristiwa-peristiwa di dalam

sistem kemasyarakatan yang luas.

Berdasarkan dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas

merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian

kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik

yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Akhirnya, dalam pandangan paradigma

defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan

konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud

sebagai yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri

sendiri diluar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam

diri sendiri dan hukum yang menguasainya.

Di dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak

Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal

budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkrit lagi setelah Aristoteles mengenalkan

istilah informasi, relasi, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan,

manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya,

bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.

Descartes kemudian memperkenalkan ucapannya “saya berfikir karena itu saya

ada”. Kata-kata Descartes yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi

perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.

Page 2: Bab i

Perubahan cepat dalam teknologi informasi saat ini telah mengubah

kebudayaan sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan.

Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan

memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer.

Kini pun kita masuk dalam ikatan kebudayaan global.

Corak kebudayaan global telah memerdekakan dan membebaskan

manusia. Perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini

tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap

informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh

kebudayaan global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak

maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi

terutama melalui reproduksi narasi yang dilakukan oleh media massa. Dalam

konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan

dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang

ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall,

industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri

kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan

barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta

reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak

yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi.

Gambaran tersebut terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia.

Kebudayaan dalam hal ini tidak sekadar disekapi sebagai keseluruhan pola

perilaku dan pemikiran kelompok sosial masyarakat secara mapan. Kebudayaan

bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan yang selalu tetap, tetapi ia telah

membentuk realitas yang selalu diproduksi dan direproduksi secara terus menerus

terhadap suatu kelompok sosial masyarakat.

Media, termasuk di Indonesia memberi kontribusi yang cukup besar dalam

mengkonstruksi realitas tersebut. Dan, konstruksi tersebut tidak selamanya

bertahan. Dalam waktu yang berubah secara cepat, media juga tak jarang

Page 3: Bab i

kemudian mendekonstruksi, dan merekonstruksi realitas. Di sinilah media

menjadi semacam arena dari sebuah konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi

kebudayaan.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka, rumusan masalah dalam makalah

ini adalah

1. Apakah yang dimaksud dengan realitas sosial?

2. Mengapa realitas sosial dikatakan sebagai bentukan dari media massa?

3. Mengapa wacana dikatakan sebagai realitas dan media komunikasi?

Page 4: Bab i

BAB II

PEMBAHASAN

A. Diskursus Realitas Sosial

Pada umumnya teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya

berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya.

Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma,

kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup

dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata

sosial. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas merupakan

konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu

realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai

relevan oleh pelaku sosial.

Akhirnya, dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil

ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial

disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George

Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri diluar individu, yang

menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang

menguasainya. Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang

memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi.

Perilaku sosial itu menjadi “sosial”, oleh Weber dikatakan, kalau yang dimaksud

subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan

memperhitungkan kekuatan orang lain dan mengarah kepada subjektif itu.

Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku

pada umumnya dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa realitas sosial

adalah sebuah hasil dari perilaku masyarakat itu sendiri melalui kekuatan

konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya yang dimana konstruksi

sosial tersebut merupakan hasil ciptakan oleh individu dalam masyarakat.

B. Realitas Sosial Bentukan Media Massa ; Iklan, Televisi

Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada

fungsi substansial, seperti beberapa sistem norma dimasyarakat, umpamanya

Page 5: Bab i

sistem komunikasi, seni pertunjukan, dan sebagainya. Dalam dunia pertelevisian,

sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat, televisi menguasai

pikiran-pikiran manusia dengan cara membangun teater dalam pikiran manusia,

sebagaimana gambaran realitas dalam iklan televisi. Wacana simulasi adalah

ruang pengetahuan yang dikonstruksikan oleh iklan televisi, dimana manusia

mendiami suatu ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi,

atau yang benar dengan yang palsu menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam

dunia maya dan khayal. Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak

ada hubungan antara iklan dengan keterpengaruhan pemirsa terhadap iklan

tertentu, namun dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium

pencitraan terhadap produk-produk kapitalisme lebih mempengaruhi jalan pikiran

copywriter disaat mereka melalui pekerjaan mereka. Para copywriter lebih

percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan

lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu

dilakukan melalui konstruksi realitas sosial walaupun realitas itu sifatnya semu.

Tanpa disadari citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu

yang sengaja dikonstruksi oleh copywriter dan visualiser untuk memberi kesan

yang kuat terhadap produk yang diiklankan.

Perjalanan media di Indonesia saat ini, pada dasarnya menunjukkan

gambaran tentang suatu realitas: dari serba negara bergeser ke tangan pengusaha.

Kebijakan politik pemerintah Orde Baru (Orba) misalnya, lebih mengarahkan isi

media yang serba negara. Dengan mengatasnamakan pembangunan nasional,

pemerintah Orba mengeluarkan sejumlah aturan atau kebijakan politik yang

semata-mata untuk kepentingan negara. Sedangkan setelah Orba – seiring dengan

terbukanya kebebasan politik di Indonesia – orientasi pada ekonomilah yang

dijadikan “kiblat” bagi para pemilik modal untuk mengendalikan isi media.

Pasang surut perkembangan media sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi

politik negara yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan Orba, negara sangat

mendominasi media. Bahkan, Orba mendefinisikan media sebagai kendaraan bagi

terciptanya “kebudayaan nasional”. Ketika Orba runtuh, dominasi negara atas

media memang berkurang. Akan tetapi, berkurangnya dominasi negara ternyata

Page 6: Bab i

tidak menjamin terciptanya demokratisasi media. Media saat ini lebih menjadi

bagian industri yang cenderung sebagai alat akumulasi modal bagi pemilik

industri media.

Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keberadaan media saat ini,

telah berkembang tidak hanya sekadar mempresentasikan pengetahuan, gagasan,

dan pandangan yang membentuk struktur secara mantap. Media saat ini justru

telah membangun realitas sosial dari sebuah industri yang lebih menuntut pada

pengembalian modal usaha yang disajikan terhadap masyarakat dinamis dan

kontemporer. Media massa saat ini, telah menjadi institusi produktif yang

kemudian memposisikan dirinya sebagai agen perubahan (agency of change).

Melalui media, berlangsung perbenturan yang mengguncang struktur kebudayaan

dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada struktur kebudayaan dan

sistem kominikasi baru. Dengan demikian, media. memberi kontribusi proses

perubahan dan pembentukan pengetahuan baru.

Industri media saat ini telah melahirkan kelompok yang berdaya (para

pemodal) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus

membentuk struktur kebudayaan dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok

partkular dapat menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan

mereka dan diekspresikan melalui media yang mereka miliki. Sebagai contoh

ketika terjadi gempa dan gelombang tsunami di Aceh – juga bencana-bencana

yang lain – ternyata sebagian besar media (terutama televisi) dalam waktu

bersamaan masih menayangkan acara hiburan dengan bersukaria. Keberadaan

media saat ini adalah bagian dari sebuah industri. Setiap industri media dituntut

memperhitungkan pengembalian setiap investasi yang ditanamnya. Sebagai

sebuah industri, setiap produsen media dalam rangka mempertahankan

eksistensinya tidak bisa menafikan kepentingan ekonomi. Determinasi ekonomi

inilah, kemudian menjadi motivasi utama pengusaha media akan selalu

melakukan ekspansi usaha demi mengembalikan investasi yang mereka tanam.

Bagi para pengusaha stasiun televisi misalnya, demi pengembalian investasi

akan ditandai dengan sejumlah tindakan pengelola stasiun merayu pemasang iklan

agar menjadi sponsor sejumlah sajian acara yang ditayangkan, baik berupa

Page 7: Bab i

hiburan maupun informasi. Diharapkan setiap siaran yang ditayangkan mampu

“merayu” pemasang iklan. Untuk itulah, tuntutan pemasang iklan dijadikan

prioritas utama setiap stasiun televisi dalam menyusun setiap isi siarannya.

Artinya, sajian acara televisi dirancang bukan bertolak dari nilai kegunaan bagi

audience, tetapi bagaimana audience terpengaruh dengan isi siaran yang

diinginkan para pemasang iklan televisi. Keberadaan audience justru sering

dijadikan alat konfirmasi suatu sajian acara. Ketika sebuah sajian acara ternyata

disukai banyak pemirsa maka ia pun terus menerus diproduksi. Berkualitas,

mendidik, atau berguna bagi pemirsa, itu nomor dua.

Di sisi lain, praktik-praktik sosial antarindividu tiba-tiba tercipta dengan

cepat, secepat mereka merepresentasikan dirinya akibat merespons sejumlah

tayangan acara yang ada. Sihir sakti acara televisi telah mencengkeram sejak

bagun pagi hingga kita tidur kembali. Ia telah membentuk gerakkan arus besar

tentang relasi-relasi antara yang mendominasi dan yang terdominasi, antara yang

mempengaruhi dan yang terpengaruhi, antara yang memprovokasi dan yang

terprovokasi, antara yang berkuasa dengan yang dikuasi, bahkan antara gambaran

ruang yang bersifat publik dengan yang bersifat domestik. Acara tayangan televisi

telah menjadi bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia menjadi model dari

sebuah habitus yang berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah menjadi fenomena

komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-individu yang

kemudian menjadi objek dan subjeknya. Bahkan, tanpa sadar ia telah membangun

hubungan-hubungan sosial melalui interaksi sosial dalam konteks politik,

ekonomi, dan kultural. Ruang dan waktu tak lagi menjadi pembatas dan kendala

terjadinya perubahan (bandingkan pada Gidden 1979).

Dari sinilah lahir kebudayaan massa yang cepat dan penuh perubahan. Di

tengah kebudayaan massa yang serba cepat itulah sejumlah ekspresi tentang nilai,

pengetahuan, norma, dan simbol, menandai dinamika masyarakat kita. Televisi,

kini tak lagi sekadar media komunikasi yang melahirkan dan membangun

hubungan sosial secara harmonis. Ia bisa jadi justru mendorong penghacuran

hubungan sosial tersebut. Apalagi media semacam televisi— merupakan alat yang

digunakan untuk mengembangkan strategi yang kemudian melahirkan propaganda

Page 8: Bab i

kekuatan politik, ekonomi, bahkan misi keagamaan (bandingkan pada Berlo, 1960

dan Fidler, 1997). Di samping itu, jika televisi kita tempatkan sebagai media

strategi komunikasi, maka ia mempunyai tujuan memelihara atau mengubah sikap

atau pendapat sasaran demi kepentingan sumber pembuat strategi. Bahkan, dapat

dikatakan bahwa media komunikasi lebih cenderung bertujuan untuk melahirkan

khalayak (audience) agar patuh kepada pihak yang menguasai modal komunikasi,

baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Atau sebaliknya, ia justru menjadi

alat pembangkang terhadap sistem yang sudah mapan, tetapi diharapkan berubah

patuh terhadap sistem yang lain.

Media komunikasi juga mempunyai dimensi sebagai pembebasan yang

mampu menumbuhkan ruang otonomi dan independensi khalayak dalam

menghayati makna suatu wacana. Artinya, televisi sebagai media komunikasi

mempunyai nilai pragmatis dalam kehidupan sehari-hari, baik dari tingkat

institusi maupun individu-individu. Ia kemudian merupakan kontestasi wacana

terus menerus membawa khalayak kepada nilai-nilai yang harus dimenangkan

(bandingkan pada Fiske, 1987). Televisi sebagai media komunikasi juga

menjalankan fungsi imperatif, yakni memelihara otonomi ruang pribadi (personal

space) khalayak untuk tujuan objektivikasi dan subjektivikasi. Objektivikasi dapat

dilihat sebagai proses untuk mencapai objektivitas terhadap dunia luar (auter-

world), sedangkan subjektifikasi dilakukan demi membangun subjektivitas bagi

dunia dalam (inner-world) masing-masing individu (bandingkan pada Berger dan

Luckman, 1966).

Perkembangan media saat ini sejalan dengan perkembangan sosial.

Perkembangan sosial saat ini, pada dasarnya telah melampaui pemikiran

modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju

pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar

konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi

informasi. Keberadaan media di era pascamodernitas ini mempunyai pengaruh

yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama

dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi

barang yang menjadi ciri khas era industri. Konsumsi simbol-simbol, gaya hidup,

Page 9: Bab i

dan dinamika masyarakat terjadi, karena media telah melakukan konstruksi

realitas sosial.

Media pada dasarnya telah memberi kontribusi cukup banyak dalam

pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat. Kontribusi media terhadap

pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat dapat ditandai dari strategi dan

kepentingan yang dikembangkan media itu sendiri. Dalam mengembangkan

strategi dan kepentingannya, terbentuklah identitas-identitas yang kemudian

diposisikan menjadi para pelaku media. Posisi para pelaku pada dasarnya telah

ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian demi kepentingan

media itu sendiri. Atau dengan kata lain, identitas-identitas yang telah diorganisasi

dan dikonstruksi menjadi aktor-aktor yang secara kongkret terlibat dalam arus

kontinyu tindakan tersebut, pada dasarnya disesuaikan dengan kepentingan-

kepentingan yang terus berkembang pada diri media. Jika dalam mengembangkan

kepentingan media, para pelaku melakukan tindakan saling mendukung, saling

mengontrol, saling bersaing, dan saling mengalahkan, maka hal itu dapat

dipahami sebagai proses pembentukan pengetahuan yang melekat di dalamnya.

Serangkaian proses pembentukan pengetahuan itulah yang kemudian memberi

ruang bekerjanya kekuasaan. Sebab, tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan

tidak kekuasaan tanpa pengetahuan.

Sajian acara televisi misalnya, pada dasarnya tidak hanya dilihat dari

bentuk-bentuk tekstual semata, ia tersaji lantaran praktik-praktik sosial para

pelaku yang diproduksi dan direproduksi secara terus menerus sejalan dengan

pengetahuan dan identitas-identitas kultural secara luas. Tersajikannya acara

televisi tersebut pada dasarnya melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan

rekonstruksi pengetahuan para pelaku yang terlibat, yang kemudian diekspresikan

secara tekstual. Dalam proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi

pengetahuan para pelaku itulah, berlangsung kontestasi kekuasaan. Konsep

kontestasi kekuasaan dalam hal ini dapat digambarkan dalam bentuk perjuangan,

perebutan, dan persaingan yang seiring dengan proses pembentukan pengetahuan

itu sendiri.

Page 10: Bab i

Baik proses pembentukan pengetahuan maupun terciptanya kontestasi

kekuasaan pada dasarnya dapat dilihat sebagai bentuk kebudayaan. Akan tetapi

harus disadari bahwa kekuasaan akan terus mengalir ke sejumlah institusi dan

struktur, sehingga kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai suatu struktur yang

mantap. Ia justru akan selalu berubah sejalan dengan interaksi yang berlangsung

secara terus-menerus – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun perdebatan –

serta berkembangnya pengetahuan para pelaku. Artinya, kekuasaan akan

menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan hubungan

sosial. Meresapnya kekuasaan dalam seluruh jalinan hubungan sosial pada

dasarnya merupakan ungkapan-ungkapan kebudayaan, sedangkan kebudayaan

merupakan bentukan dari relasi-relasi kekuasaan.

Relasi-relasi kekuasaan media saat ini menunjukan gambaran yang

sangat dinamis. Kedinamisan tersebut menggambarkan sebuah kontestasi

kekuasaan, yang tidak hanya ditentukan oleh satu pemegang otoritas.

Kedinamisan justru ditandai oleh kekuasaan yang terus menerus mengalir dan

menyebar ke sejumlah relasi yang terlibat di dalamnya. Katakanlah otoritas negara

negara tidak menjadi satu-satunya pengendali regulasi misalnya. Namun, ada

sejumlah kepentingan sejumlah pelaku yang selalu dinegosiasikan terus menerus

(Artikel ini pernah dipresentasikan pada seminar “Kebangkitan Nasional &

Kebangkitan Pers Indonesia” pada hari Kamis , 4 Juni 2008 yang

diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Tengah di Gedung

Pers Jateng, Semarang)

C. Wacana Sebagai  Realitas Bahasa dan Sebagai Media Komunikasi

Jika ditinjau dari segi realitas, sebuah wacana itu berbentuk rangkaian

kebahasaan dengan semua kelengkapan struktur bahasa seperti apa adanya.

Namun ternyata pada pihak lain, wacana dapat juga berwujud sebagai rangkaian

non bahasa, misalnya rangkaian isyarat dan rangkaian tanda – tanda yang

bermakna bahasa yang telah disepakati oleh sebagian kelompok masyarakat

sebagai suatu konvensi. Rangkaian itu dapat dibagi atas :

a. Isyarat dengan gerak gerik sekitar kepala atau muka yang meliputi :

a) Gerakan mata

Page 11: Bab i

b) Gerakan bibir

c) Gerakan kepala

d) Perubahan raut wajah

b. Isyarat melalui gerak gerik anggota tubuh lain yang dapat dibagi menjadi

a) Gerakan tangan

b) Gerakan kaki

c) Gerakan seluruh anggota tubuh

c. Tanda – tanda yang bermakna bahasa, yaitu tanda-tanda bermakna yang

terdapat pada rambu – rambu lalu lintas

Proses konsturuksi relitas oleh pelaku pembuat wacana ,misalnya dalam

media massa dimulai dengan adanya relitas pertama berupa keadaan, benda,

pikiran, dan sebagainya. Secara umum,system komunikasi adalah factor yang

mempengaruhi sang pelaku dalam membuat wacana. Dalam sistem komunikasi

libertarian, wacana yang terbentuk akan berbada dalam system komunikasi yang

otoritarian. Secara lebih khusus dinamika eksternal dan internal yang mengenai

diri si pelaku kontruksi tentu saja mempengaruhi proses konstruksi. Ini juga

menunjukan bahwa pembentukan wacana tidak dalam ruang vakum. Pengaruh ini

dapat datang dari  pribadi sipenulis dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis,

dan sebagainya. Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai

strategi tertentu. Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal,strategi

konstruksi ini mencakup  pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraph; pilihan

fakta yang akan dimasukan/dikeluarkan dari wacana yang popular disebut strategi

framing.dan pilihan teknik menampilkan wacana didepan public disebut strategi

priming.

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan. Ide atau gagasan dari

suatu pihak ke pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya.

Pada umunya komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata – kata ( lisan)

yang dapat dimengerti oleh kedua pihak. Apabila tidak dilakukan dengan bahasa

verbal dapat dilakukan dengan bahasa non verbal atau bahasa isyarat, misalnya

menggunakan gerak – gerik badan atau menunjukan sikap tertentu, seperti

Page 12: Bab i

tersenyum, menggelengkan kepala dan sebagainya. Manusia berkomunikasi untuk

membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi adalah bahasa

lisan atau tulis. Komunikasi dapat berupa interaktif.transaktif.  melalui

komunikasi,sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami

oleh kelompok lain. Akan tetapi komunikasi hanya akan efektif apabila pesan

yang disampaikan merangkum komponen komunikasi.

Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi

dapat berlangsung dengan baik. Komponen – komponen tersebut antara lain

sebagai berikut.

1. Pengirim atau komunikator adalah pihak yang mengumumkan pesan kepihak

lain.

2. Penerima atau komunikan adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain.

3.  Pesan adalah isi atau maksud yang disampaikan oelh satu pihak ke pihak

lain.

4. Umpan balik adalah tanggapan dari penerima pesan atau isi pesan yang

disampaikan.

Jika dilihat dari fungsi wacana sebagai media komunikasi, wujud wacana itu

dapat berupa rangkaian tuturan lisan maupun tulisan. Sebagai media komunikasi

lisan. Wacana dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang dalam.

Menurut Norman (1995) wacana adalah bahasa yang digunakan untuk

merepresentasikan suatu praktik social,ditinjau dari sudut tertentu. Menurut Fiske

wacana harus diartikan sebagai suatu pernyataan atau ungkapan yang lebih. Jadi

wacana adalah proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang

berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa didalam system kemasyarakatan yang

luas. Melalui pendekatan wacana pesan – pesan komunikasi, seperti kata-kata,

tulisan, gambar-gambar dan lain-lain.

Teks dalam media adalah hasil proses wacana media,( media discourse). Di

dalam proses tersebut, nilai- nilai ,ideology,dan kepentingan media turut serta. Hal

tersebut memperlihatkan bahwa media tidak netral sewaktu mengontruksi realitas

social.media  mengikut sertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam

menafsirkan relitas social, mereka memilihnya untuk menentukan aspek aspek

Page 13: Bab i

yang ditonjolkan maupun yang dihilangkan. Menentukan struktur berita yang

sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti,bagian

mana dari peristiwayang didahulukan atau dilupakan,serta bagian mana dari

peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan.

Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran diri pemirsa yang

secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain telah

terjadi internalisasi atas realitas sosial yang sesungguhnnya. Berdasarkan

penjelasan diatas dapat disimpulkan penciptaan realitas dilakukan dengan

menggunakan bahasa (verbal maupun visual) atau tanda bahasa (simbol). Ketika

akan menciptakan realitas benda, maka bahasa dapat digunakan untuk

penggambaran realitas itu, namun disaat akan menciptakan citra realitas terhadap

suatu benda, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga

digunakan tanda bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut. Sebagai bagian

dari dunia komunikasi, maka iklan menggunakan bahasa sebagai alat utama untuk

melakukan penggambaran tentang sebuah realitas. Demikian pentingnya bahasa

sebagai alat iklan, maka didalam iklan bahasa digunakan untuk semua

kepentingan. Bahasa juga difahami sebagai wacana dimana iklan dilihat sebagai

seni. Artinya, iklan merupakan seni bagaimana orang menggunakan bahasa untuk

menawarkan sesuatu. Jadi, didalam iklan, bahasa digunakan dengan dua tujuan,

pertama sebagai media komunikasi dan kedua bahasa digunakan untuk

menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi maka iklan bersifat

informatif sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas, maka iklan adalah

sebuah seni dimana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang

diinginkannya, termasuk menciptakan wacana itu sendiri.

 

Page 14: Bab i

BAB III.

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Wacana Sebagai  Realitas Bahasa dan Sebagai Media Komunikasi dan

sebagai alat komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan. Ide

atau gagasan dari suatu pihak ke pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi

diantara keduanya.

wacana adalah proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang

berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa didalam system kemasyarakatan yang

luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata,

tulisan, gambar-gambar dan lain-lain. Manusia berkomunikasi untuk membagi

pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi adalah bahasa lisan atau

tulis.

Page 15: Bab i

Daftar pustaka

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.

Darma, Yoce Alia .2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:Yrama Widya.

Tarigan. 2007. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.

www.http//geoogle fungs imakalah.com.