Bab i
-
Upload
jang-djazz-holic -
Category
Documents
-
view
99 -
download
0
Transcript of Bab i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana merupakan rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang
mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis,dalam suatu
keadaan koheren yang dibentuk oleh unsur-unsur segmental dalam sebuah wacana
yang paling besar. Seorang ahli yang bernama Sobur Alex (2001)
mengungkapkan bahwa wacana adalah rangkaian ujaran atau rangkaian tindak
tutur yang mengungkapkan suatu hal (objek) yang disajkan secara teratur,
sistematis dalam suatu satuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental
maupun nonsegmental bahasa.jadi, wacana proses komunikasi menggunakan
simbol yang berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa-peristiwa di dalam
sistem kemasyarakatan yang luas.
Berdasarkan dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas
merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian
kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik
yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Akhirnya, dalam pandangan paradigma
defenisi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan
konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud
sebagai yang disebut oleh George Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri
sendiri diluar individu, yang menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam
diri sendiri dan hukum yang menguasainya.
Di dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak
Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia dan sejak Plato menemukan akal
budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkrit lagi setelah Aristoteles mengenalkan
istilah informasi, relasi, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan,
manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya,
bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.
Descartes kemudian memperkenalkan ucapannya “saya berfikir karena itu saya
ada”. Kata-kata Descartes yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi
perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini.
Perubahan cepat dalam teknologi informasi saat ini telah mengubah
kebudayaan sebagian besar masyarakat dunia, terutama yang tinggal di perkotaan.
Masyarakat di seluruh dunia telah mampu melakukan transaksi ekonomi dan
memperoleh informasi dalam waktu singkat berkat teknologi satelit dan komputer.
Kini pun kita masuk dalam ikatan kebudayaan global.
Corak kebudayaan global telah memerdekakan dan membebaskan
manusia. Perubahan kebudayaan lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini
tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap
informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh
kebudayaan global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media massa cetak
maupun elektronik, internet, dan telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi
terutama melalui reproduksi narasi yang dilakukan oleh media massa. Dalam
konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan
dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang
ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall,
industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri
kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan
barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta
reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak
yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi.
Gambaran tersebut terjadi di banyak masyarakat perkotaan Indonesia.
Kebudayaan dalam hal ini tidak sekadar disekapi sebagai keseluruhan pola
perilaku dan pemikiran kelompok sosial masyarakat secara mapan. Kebudayaan
bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan yang selalu tetap, tetapi ia telah
membentuk realitas yang selalu diproduksi dan direproduksi secara terus menerus
terhadap suatu kelompok sosial masyarakat.
Media, termasuk di Indonesia memberi kontribusi yang cukup besar dalam
mengkonstruksi realitas tersebut. Dan, konstruksi tersebut tidak selamanya
bertahan. Dalam waktu yang berubah secara cepat, media juga tak jarang
kemudian mendekonstruksi, dan merekonstruksi realitas. Di sinilah media
menjadi semacam arena dari sebuah konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi
kebudayaan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka, rumusan masalah dalam makalah
ini adalah
1. Apakah yang dimaksud dengan realitas sosial?
2. Mengapa realitas sosial dikatakan sebagai bentukan dari media massa?
3. Mengapa wacana dikatakan sebagai realitas dan media komunikasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Diskursus Realitas Sosial
Pada umumnya teori dalam paradigma definisi sosial sebenarnya
berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya.
Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma,
kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup
dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata
sosial. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifitas, realitas merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian kebenaran suatu
realitas sosial bersifat nisbis, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh pelaku sosial.
Akhirnya, dalam pandangan paradigma defenisi sosial, realitas adalah hasil
ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial
disekelilingnya. Dunia sosial itu dimaksud sebagai yang disebut oleh George
Simmel, bahwa realitas dunia sosial itu berdiri sendiri diluar individu, yang
menurut kesan kita bahwa realitas itu “ada” dalam diri sendiri dan hukum yang
menguasainya. Max Weber melihat realitas sosial sebagai perilaku sosial yang
memiliki makna subjektif, karena itu perilaku memiliki tujuan dan motivasi.
Perilaku sosial itu menjadi “sosial”, oleh Weber dikatakan, kalau yang dimaksud
subjektif dari perilaku sosial membuat individu mengarahkan dan
memperhitungkan kekuatan orang lain dan mengarah kepada subjektif itu.
Perilaku itu memiliki kepastian kalau menunjukkan keseragaman dengan perilaku
pada umumnya dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa realitas sosial
adalah sebuah hasil dari perilaku masyarakat itu sendiri melalui kekuatan
konstruksi sosial terhadap dunia sosial disekelilingnya yang dimana konstruksi
sosial tersebut merupakan hasil ciptakan oleh individu dalam masyarakat.
B. Realitas Sosial Bentukan Media Massa ; Iklan, Televisi
Teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat, bahkan pada
fungsi substansial, seperti beberapa sistem norma dimasyarakat, umpamanya
sistem komunikasi, seni pertunjukan, dan sebagainya. Dalam dunia pertelevisian,
sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat, televisi menguasai
pikiran-pikiran manusia dengan cara membangun teater dalam pikiran manusia,
sebagaimana gambaran realitas dalam iklan televisi. Wacana simulasi adalah
ruang pengetahuan yang dikonstruksikan oleh iklan televisi, dimana manusia
mendiami suatu ruang realitas, dimana perbedaan antara yang nyata dan fantasi,
atau yang benar dengan yang palsu menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam
dunia maya dan khayal. Para copywriter iklan televisi, kendati mengetahui tidak
ada hubungan antara iklan dengan keterpengaruhan pemirsa terhadap iklan
tertentu, namun dorongan kapitalisme untuk menjadikan iklan sebagai medium
pencitraan terhadap produk-produk kapitalisme lebih mempengaruhi jalan pikiran
copywriter disaat mereka melalui pekerjaan mereka. Para copywriter lebih
percaya bahwa iklan-iklan yang besar dengan kekuatan pencitraan yang kuat akan
lebih besar kekuatan mempengaruhi pemirsa, apalagi kalau pencitraan itu
dilakukan melalui konstruksi realitas sosial walaupun realitas itu sifatnya semu.
Tanpa disadari citra dalam iklan televisi telah menjadi bagian dari kesadaran palsu
yang sengaja dikonstruksi oleh copywriter dan visualiser untuk memberi kesan
yang kuat terhadap produk yang diiklankan.
Perjalanan media di Indonesia saat ini, pada dasarnya menunjukkan
gambaran tentang suatu realitas: dari serba negara bergeser ke tangan pengusaha.
Kebijakan politik pemerintah Orde Baru (Orba) misalnya, lebih mengarahkan isi
media yang serba negara. Dengan mengatasnamakan pembangunan nasional,
pemerintah Orba mengeluarkan sejumlah aturan atau kebijakan politik yang
semata-mata untuk kepentingan negara. Sedangkan setelah Orba – seiring dengan
terbukanya kebebasan politik di Indonesia – orientasi pada ekonomilah yang
dijadikan “kiblat” bagi para pemilik modal untuk mengendalikan isi media.
Pasang surut perkembangan media sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi
politik negara yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan Orba, negara sangat
mendominasi media. Bahkan, Orba mendefinisikan media sebagai kendaraan bagi
terciptanya “kebudayaan nasional”. Ketika Orba runtuh, dominasi negara atas
media memang berkurang. Akan tetapi, berkurangnya dominasi negara ternyata
tidak menjamin terciptanya demokratisasi media. Media saat ini lebih menjadi
bagian industri yang cenderung sebagai alat akumulasi modal bagi pemilik
industri media.
Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa keberadaan media saat ini,
telah berkembang tidak hanya sekadar mempresentasikan pengetahuan, gagasan,
dan pandangan yang membentuk struktur secara mantap. Media saat ini justru
telah membangun realitas sosial dari sebuah industri yang lebih menuntut pada
pengembalian modal usaha yang disajikan terhadap masyarakat dinamis dan
kontemporer. Media massa saat ini, telah menjadi institusi produktif yang
kemudian memposisikan dirinya sebagai agen perubahan (agency of change).
Melalui media, berlangsung perbenturan yang mengguncang struktur kebudayaan
dan sistem komunikasi yang telah mapan, berubah pada struktur kebudayaan dan
sistem kominikasi baru. Dengan demikian, media. memberi kontribusi proses
perubahan dan pembentukan pengetahuan baru.
Industri media saat ini telah melahirkan kelompok yang berdaya (para
pemodal) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus
membentuk struktur kebudayaan dominan. Dengan demikian, kekuatan kelompok
partkular dapat menghasilkan cultural transgression berkat mitos-mitos bentukan
mereka dan diekspresikan melalui media yang mereka miliki. Sebagai contoh
ketika terjadi gempa dan gelombang tsunami di Aceh – juga bencana-bencana
yang lain – ternyata sebagian besar media (terutama televisi) dalam waktu
bersamaan masih menayangkan acara hiburan dengan bersukaria. Keberadaan
media saat ini adalah bagian dari sebuah industri. Setiap industri media dituntut
memperhitungkan pengembalian setiap investasi yang ditanamnya. Sebagai
sebuah industri, setiap produsen media dalam rangka mempertahankan
eksistensinya tidak bisa menafikan kepentingan ekonomi. Determinasi ekonomi
inilah, kemudian menjadi motivasi utama pengusaha media akan selalu
melakukan ekspansi usaha demi mengembalikan investasi yang mereka tanam.
Bagi para pengusaha stasiun televisi misalnya, demi pengembalian investasi
akan ditandai dengan sejumlah tindakan pengelola stasiun merayu pemasang iklan
agar menjadi sponsor sejumlah sajian acara yang ditayangkan, baik berupa
hiburan maupun informasi. Diharapkan setiap siaran yang ditayangkan mampu
“merayu” pemasang iklan. Untuk itulah, tuntutan pemasang iklan dijadikan
prioritas utama setiap stasiun televisi dalam menyusun setiap isi siarannya.
Artinya, sajian acara televisi dirancang bukan bertolak dari nilai kegunaan bagi
audience, tetapi bagaimana audience terpengaruh dengan isi siaran yang
diinginkan para pemasang iklan televisi. Keberadaan audience justru sering
dijadikan alat konfirmasi suatu sajian acara. Ketika sebuah sajian acara ternyata
disukai banyak pemirsa maka ia pun terus menerus diproduksi. Berkualitas,
mendidik, atau berguna bagi pemirsa, itu nomor dua.
Di sisi lain, praktik-praktik sosial antarindividu tiba-tiba tercipta dengan
cepat, secepat mereka merepresentasikan dirinya akibat merespons sejumlah
tayangan acara yang ada. Sihir sakti acara televisi telah mencengkeram sejak
bagun pagi hingga kita tidur kembali. Ia telah membentuk gerakkan arus besar
tentang relasi-relasi antara yang mendominasi dan yang terdominasi, antara yang
mempengaruhi dan yang terpengaruhi, antara yang memprovokasi dan yang
terprovokasi, antara yang berkuasa dengan yang dikuasi, bahkan antara gambaran
ruang yang bersifat publik dengan yang bersifat domestik. Acara tayangan televisi
telah menjadi bagian dari refleksi kehidupan sehari-hari. Ia menjadi model dari
sebuah habitus yang berperan aktif dalam ranah sosial. Ia telah menjadi fenomena
komunikasi yang tidak bisa dilepaskan dari karakterisitik individu-individu yang
kemudian menjadi objek dan subjeknya. Bahkan, tanpa sadar ia telah membangun
hubungan-hubungan sosial melalui interaksi sosial dalam konteks politik,
ekonomi, dan kultural. Ruang dan waktu tak lagi menjadi pembatas dan kendala
terjadinya perubahan (bandingkan pada Gidden 1979).
Dari sinilah lahir kebudayaan massa yang cepat dan penuh perubahan. Di
tengah kebudayaan massa yang serba cepat itulah sejumlah ekspresi tentang nilai,
pengetahuan, norma, dan simbol, menandai dinamika masyarakat kita. Televisi,
kini tak lagi sekadar media komunikasi yang melahirkan dan membangun
hubungan sosial secara harmonis. Ia bisa jadi justru mendorong penghacuran
hubungan sosial tersebut. Apalagi media semacam televisi— merupakan alat yang
digunakan untuk mengembangkan strategi yang kemudian melahirkan propaganda
kekuatan politik, ekonomi, bahkan misi keagamaan (bandingkan pada Berlo, 1960
dan Fidler, 1997). Di samping itu, jika televisi kita tempatkan sebagai media
strategi komunikasi, maka ia mempunyai tujuan memelihara atau mengubah sikap
atau pendapat sasaran demi kepentingan sumber pembuat strategi. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa media komunikasi lebih cenderung bertujuan untuk melahirkan
khalayak (audience) agar patuh kepada pihak yang menguasai modal komunikasi,
baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Atau sebaliknya, ia justru menjadi
alat pembangkang terhadap sistem yang sudah mapan, tetapi diharapkan berubah
patuh terhadap sistem yang lain.
Media komunikasi juga mempunyai dimensi sebagai pembebasan yang
mampu menumbuhkan ruang otonomi dan independensi khalayak dalam
menghayati makna suatu wacana. Artinya, televisi sebagai media komunikasi
mempunyai nilai pragmatis dalam kehidupan sehari-hari, baik dari tingkat
institusi maupun individu-individu. Ia kemudian merupakan kontestasi wacana
terus menerus membawa khalayak kepada nilai-nilai yang harus dimenangkan
(bandingkan pada Fiske, 1987). Televisi sebagai media komunikasi juga
menjalankan fungsi imperatif, yakni memelihara otonomi ruang pribadi (personal
space) khalayak untuk tujuan objektivikasi dan subjektivikasi. Objektivikasi dapat
dilihat sebagai proses untuk mencapai objektivitas terhadap dunia luar (auter-
world), sedangkan subjektifikasi dilakukan demi membangun subjektivitas bagi
dunia dalam (inner-world) masing-masing individu (bandingkan pada Berger dan
Luckman, 1966).
Perkembangan media saat ini sejalan dengan perkembangan sosial.
Perkembangan sosial saat ini, pada dasarnya telah melampaui pemikiran
modernitas (yang ditandai dengan munculnya industri barang dan jasa) menuju
pemikiran pascamodernitas yang cenderung lebih diorganisasikan oleh seputar
konsumsi budaya, permainan media massa, dan perkembangan teknologi
informasi. Keberadaan media di era pascamodernitas ini mempunyai pengaruh
yang kuat dalam menandai dinamika sosial dan ekonomi masyarakatnya, terutama
dalam mengkonsumsi simbol-simbol dan gaya hidup daripada fungsi produksi
barang yang menjadi ciri khas era industri. Konsumsi simbol-simbol, gaya hidup,
dan dinamika masyarakat terjadi, karena media telah melakukan konstruksi
realitas sosial.
Media pada dasarnya telah memberi kontribusi cukup banyak dalam
pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat. Kontribusi media terhadap
pengkajian tentang pengetahuan suatu masyarakat dapat ditandai dari strategi dan
kepentingan yang dikembangkan media itu sendiri. Dalam mengembangkan
strategi dan kepentingannya, terbentuklah identitas-identitas yang kemudian
diposisikan menjadi para pelaku media. Posisi para pelaku pada dasarnya telah
ditentukan oleh suatu struktur atau bentuk pengorganisasian demi kepentingan
media itu sendiri. Atau dengan kata lain, identitas-identitas yang telah diorganisasi
dan dikonstruksi menjadi aktor-aktor yang secara kongkret terlibat dalam arus
kontinyu tindakan tersebut, pada dasarnya disesuaikan dengan kepentingan-
kepentingan yang terus berkembang pada diri media. Jika dalam mengembangkan
kepentingan media, para pelaku melakukan tindakan saling mendukung, saling
mengontrol, saling bersaing, dan saling mengalahkan, maka hal itu dapat
dipahami sebagai proses pembentukan pengetahuan yang melekat di dalamnya.
Serangkaian proses pembentukan pengetahuan itulah yang kemudian memberi
ruang bekerjanya kekuasaan. Sebab, tidak ada pengetahuan tanpa kekuasaan dan
tidak kekuasaan tanpa pengetahuan.
Sajian acara televisi misalnya, pada dasarnya tidak hanya dilihat dari
bentuk-bentuk tekstual semata, ia tersaji lantaran praktik-praktik sosial para
pelaku yang diproduksi dan direproduksi secara terus menerus sejalan dengan
pengetahuan dan identitas-identitas kultural secara luas. Tersajikannya acara
televisi tersebut pada dasarnya melalui proses konstruksi, dekonstruksi, dan
rekonstruksi pengetahuan para pelaku yang terlibat, yang kemudian diekspresikan
secara tekstual. Dalam proses konstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi
pengetahuan para pelaku itulah, berlangsung kontestasi kekuasaan. Konsep
kontestasi kekuasaan dalam hal ini dapat digambarkan dalam bentuk perjuangan,
perebutan, dan persaingan yang seiring dengan proses pembentukan pengetahuan
itu sendiri.
Baik proses pembentukan pengetahuan maupun terciptanya kontestasi
kekuasaan pada dasarnya dapat dilihat sebagai bentuk kebudayaan. Akan tetapi
harus disadari bahwa kekuasaan akan terus mengalir ke sejumlah institusi dan
struktur, sehingga kekuasaan tidak dapat diartikan sebagai suatu struktur yang
mantap. Ia justru akan selalu berubah sejalan dengan interaksi yang berlangsung
secara terus-menerus – baik berupa perjuangan, perebutan, maupun perdebatan –
serta berkembangnya pengetahuan para pelaku. Artinya, kekuasaan akan
menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap dalam seluruh jalinan hubungan
sosial. Meresapnya kekuasaan dalam seluruh jalinan hubungan sosial pada
dasarnya merupakan ungkapan-ungkapan kebudayaan, sedangkan kebudayaan
merupakan bentukan dari relasi-relasi kekuasaan.
Relasi-relasi kekuasaan media saat ini menunjukan gambaran yang
sangat dinamis. Kedinamisan tersebut menggambarkan sebuah kontestasi
kekuasaan, yang tidak hanya ditentukan oleh satu pemegang otoritas.
Kedinamisan justru ditandai oleh kekuasaan yang terus menerus mengalir dan
menyebar ke sejumlah relasi yang terlibat di dalamnya. Katakanlah otoritas negara
negara tidak menjadi satu-satunya pengendali regulasi misalnya. Namun, ada
sejumlah kepentingan sejumlah pelaku yang selalu dinegosiasikan terus menerus
(Artikel ini pernah dipresentasikan pada seminar “Kebangkitan Nasional &
Kebangkitan Pers Indonesia” pada hari Kamis , 4 Juni 2008 yang
diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Tengah di Gedung
Pers Jateng, Semarang)
C. Wacana Sebagai Realitas Bahasa dan Sebagai Media Komunikasi
Jika ditinjau dari segi realitas, sebuah wacana itu berbentuk rangkaian
kebahasaan dengan semua kelengkapan struktur bahasa seperti apa adanya.
Namun ternyata pada pihak lain, wacana dapat juga berwujud sebagai rangkaian
non bahasa, misalnya rangkaian isyarat dan rangkaian tanda – tanda yang
bermakna bahasa yang telah disepakati oleh sebagian kelompok masyarakat
sebagai suatu konvensi. Rangkaian itu dapat dibagi atas :
a. Isyarat dengan gerak gerik sekitar kepala atau muka yang meliputi :
a) Gerakan mata
b) Gerakan bibir
c) Gerakan kepala
d) Perubahan raut wajah
b. Isyarat melalui gerak gerik anggota tubuh lain yang dapat dibagi menjadi
a) Gerakan tangan
b) Gerakan kaki
c) Gerakan seluruh anggota tubuh
c. Tanda – tanda yang bermakna bahasa, yaitu tanda-tanda bermakna yang
terdapat pada rambu – rambu lalu lintas
Proses konsturuksi relitas oleh pelaku pembuat wacana ,misalnya dalam
media massa dimulai dengan adanya relitas pertama berupa keadaan, benda,
pikiran, dan sebagainya. Secara umum,system komunikasi adalah factor yang
mempengaruhi sang pelaku dalam membuat wacana. Dalam sistem komunikasi
libertarian, wacana yang terbentuk akan berbada dalam system komunikasi yang
otoritarian. Secara lebih khusus dinamika eksternal dan internal yang mengenai
diri si pelaku kontruksi tentu saja mempengaruhi proses konstruksi. Ini juga
menunjukan bahwa pembentukan wacana tidak dalam ruang vakum. Pengaruh ini
dapat datang dari pribadi sipenulis dalam bentuk kepentingan idealis, ideologis,
dan sebagainya. Untuk melakukan konstruksi realitas, pelaku konstruksi memakai
strategi tertentu. Tidak terlepas dari pengaruh eksternal dan internal,strategi
konstruksi ini mencakup pilihan bahasa mulai dari kata hingga paragraph; pilihan
fakta yang akan dimasukan/dikeluarkan dari wacana yang popular disebut strategi
framing.dan pilihan teknik menampilkan wacana didepan public disebut strategi
priming.
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan. Ide atau gagasan dari
suatu pihak ke pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya.
Pada umunya komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata – kata ( lisan)
yang dapat dimengerti oleh kedua pihak. Apabila tidak dilakukan dengan bahasa
verbal dapat dilakukan dengan bahasa non verbal atau bahasa isyarat, misalnya
menggunakan gerak – gerik badan atau menunjukan sikap tertentu, seperti
tersenyum, menggelengkan kepala dan sebagainya. Manusia berkomunikasi untuk
membagi pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi adalah bahasa
lisan atau tulis. Komunikasi dapat berupa interaktif.transaktif. melalui
komunikasi,sikap dan perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami
oleh kelompok lain. Akan tetapi komunikasi hanya akan efektif apabila pesan
yang disampaikan merangkum komponen komunikasi.
Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi
dapat berlangsung dengan baik. Komponen – komponen tersebut antara lain
sebagai berikut.
1. Pengirim atau komunikator adalah pihak yang mengumumkan pesan kepihak
lain.
2. Penerima atau komunikan adalah pihak yang menerima pesan dari pihak lain.
3. Pesan adalah isi atau maksud yang disampaikan oelh satu pihak ke pihak
lain.
4. Umpan balik adalah tanggapan dari penerima pesan atau isi pesan yang
disampaikan.
Jika dilihat dari fungsi wacana sebagai media komunikasi, wujud wacana itu
dapat berupa rangkaian tuturan lisan maupun tulisan. Sebagai media komunikasi
lisan. Wacana dalam kehidupan media juga memiliki pengertian yang dalam.
Menurut Norman (1995) wacana adalah bahasa yang digunakan untuk
merepresentasikan suatu praktik social,ditinjau dari sudut tertentu. Menurut Fiske
wacana harus diartikan sebagai suatu pernyataan atau ungkapan yang lebih. Jadi
wacana adalah proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang
berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa didalam system kemasyarakatan yang
luas. Melalui pendekatan wacana pesan – pesan komunikasi, seperti kata-kata,
tulisan, gambar-gambar dan lain-lain.
Teks dalam media adalah hasil proses wacana media,( media discourse). Di
dalam proses tersebut, nilai- nilai ,ideology,dan kepentingan media turut serta. Hal
tersebut memperlihatkan bahwa media tidak netral sewaktu mengontruksi realitas
social.media mengikut sertakan perspektif dan cara pandang mereka dalam
menafsirkan relitas social, mereka memilihnya untuk menentukan aspek aspek
yang ditonjolkan maupun yang dihilangkan. Menentukan struktur berita yang
sesuai dengan kehendak mereka, dari sisi mana peristiwa yang ada disoroti,bagian
mana dari peristiwayang didahulukan atau dilupakan,serta bagian mana dari
peristiwa yang ditonjolkan atau dihilangkan.
Pembentukan realitas bahasa ini tidak terlepas dari peran diri pemirsa yang
secara dialektika berhubungan dengan lingkungannya. Dengan kata lain telah
terjadi internalisasi atas realitas sosial yang sesungguhnnya. Berdasarkan
penjelasan diatas dapat disimpulkan penciptaan realitas dilakukan dengan
menggunakan bahasa (verbal maupun visual) atau tanda bahasa (simbol). Ketika
akan menciptakan realitas benda, maka bahasa dapat digunakan untuk
penggambaran realitas itu, namun disaat akan menciptakan citra realitas terhadap
suatu benda, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga
digunakan tanda bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut. Sebagai bagian
dari dunia komunikasi, maka iklan menggunakan bahasa sebagai alat utama untuk
melakukan penggambaran tentang sebuah realitas. Demikian pentingnya bahasa
sebagai alat iklan, maka didalam iklan bahasa digunakan untuk semua
kepentingan. Bahasa juga difahami sebagai wacana dimana iklan dilihat sebagai
seni. Artinya, iklan merupakan seni bagaimana orang menggunakan bahasa untuk
menawarkan sesuatu. Jadi, didalam iklan, bahasa digunakan dengan dua tujuan,
pertama sebagai media komunikasi dan kedua bahasa digunakan untuk
menciptakan sebuah realitas. Sebagai media komunikasi maka iklan bersifat
informatif sedangkan sebagai wacana penciptaan realitas, maka iklan adalah
sebuah seni dimana orang menggunakan bahasa untuk menciptakan dunia yang
diinginkannya, termasuk menciptakan wacana itu sendiri.
BAB III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wacana Sebagai Realitas Bahasa dan Sebagai Media Komunikasi dan
sebagai alat komunikasi. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan. Ide
atau gagasan dari suatu pihak ke pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi
diantara keduanya.
wacana adalah proses komunikasi yang menggunakan simbol-simbol yang
berkaitan dengan interpretasi dan peristiwa didalam system kemasyarakatan yang
luas. Melalui pendekatan wacana pesan-pesan komunikasi, seperti kata-kata,
tulisan, gambar-gambar dan lain-lain. Manusia berkomunikasi untuk membagi
pengetahuan dan pengalaman. Bentuk umum komunikasi adalah bahasa lisan atau
tulis.
Daftar pustaka
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta.
Darma, Yoce Alia .2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:Yrama Widya.
Tarigan. 2007. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
www.http//geoogle fungs imakalah.com.