BAB I

download BAB I

If you can't read please download the document

Transcript of BAB I

BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah Eksistensi kajian terhadap ilmu-ilmu keislaman dalam pandangan tertentu masih dianggap berjalan lambat. Beberapa ilmu keislaman bahkan dipandang sebagai disiplin yang belum cukup mapan dan mampu berdiri sendiri. John Meuleman sebagaimana dikutip U. Maman, dkk, menyebutkan kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: pertama, keteraturan logosentrime sangat menonjol di kalangan umat Islam; kedua, faktor pertama ini kemudian mengakibatkan penelitian terpusat pada teks-teks dengan mengabaikan unsur yang tidak tertulis dari agama dan kebudayaan Islam; ketiga, interpretasi yang tertutup dan terbatas sebagai suatu teks yang membicarakan fakta dan peraturan; keempat, anggapan teks-teks klasik mewakili agama dan bahkan anggapan sebagai agama itu sendiri; kelima, sikap apologetis terhadap aliran lain; dan, keenam, sikap tradisional.1 Selain argumentasi di atas, Fazlurrahman dalam buku Islam and Modernity membangun sebuah pandangan historis yang relatif sama, bahwa ilmu-ilmu keislaman sepanjang sejarah masih berjalan statis. Pandangan ini ditunjukkan dengan identifikasi dan karakteristik yang dilakukannya terhadap ilmu-ilmu keislaman, sehingga kemudian ia menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu keislaman sebagai disiplin ilmu bersifat repetitif, berulang-ulang, nuansa literatur yang bersifat komentar, penjelasan karya yang ada, dan sedikit membuahkan pikiran-pikiran baru. Dalam pandangannya, intelektual Islampada untuk waktu-waktu sebelumnyatidak diarahkan untuk mencapai gagasan yang baru, sebaliknya hanya dimanfaatkan 1 pengetahuan yang telah ada.2 mempertahankan

1 U. Maman, Kh, et.al (editor), Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik. (Jakarta: Rajawal Press, 2006), h. 5. 2 Lihat Fazlurrahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intelectual Tradition

Dimensi ilmu-ilmu keislaman jika dilihat berdasarkan klasifikasi beberapa pihak juga menunjukkan terjadinya problem serius dalam pengklasifikasiannya. Harun Nasution misalnya, membagi ilmu-ilmu keislaman pada beberapa kelompok, yaitu: 3 Pertama, kelompok dasar, yang terdiri dari tafsir, hadis, akidah/ilmu kalam (teologi), filsafat Islam, tasawuf, tarekat, perbandingan agama, serta perkembangan modern dalam ilmu-ilmu tafsir, hadis, ilmu kalam, dan filsafat. Kedua, kelompok cabang, teridiri dari: ajaran yang mengatur masyarakat: ushul fikih, fikih muamalah, fikih ibadah, peradilan dan perkembangan modern; Peradaban Islam: sejarah Islam, sejarah pemikiran Islam, sains Islam, budaya Islam, dan studi kewilayahan Islam. Ketiga, bahasa dan sastra Islam. Keempat, pelajaran Islam kepada anak didik, mencakup: ilmu pendidiikan Islam, falsafah pendidikan Islam, sejarah pendidikan Islam, lembaga pendidikan Islam, dan perkembangan modern dalam pendidikan Islam. Kelima, penyiaran Islam, mencakup: sejarah dakwah, metode dakwah, dan sebagainya. Problem menarik yang dapat diamati berdasarkan klasifikasi ilmu keislaman yang dirumuskan Harun Nasution adalah pengklasifikasian yang sedikit berbeda dengan klasifikasi ilmu-ilmu keislaman berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tahun 1985. Sebagaimana dikutip Abuddin Nata, beberapa bidang yang termasuk disiplin ilmu keislaman adalah: al-Qurn/Tafsir, Hadis/Ilmu Hadis, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, Hukum Islam (Fikih), Sejarah dan Kebudayaan Islam, serta Pendidikan Islam.4 Merujuk peraturan ini, tampak bahwa bidang penyiaran Islam yang mencakup sejarah dakwah, metode dakwah, dan sebagainya, tidak termasuk ke dalam bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman sebagaimana tertuang pada peraturan dimaksud.(Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982). 3 Harun Nasution, "Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perpektif", dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. (Bandung: Pusjarlit dan Nuansa, 1998), h. 7-8. 4 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam [cetakan ke enam]. (Jakarta: Rajawali Perss, 2001), h. 93.

Pendahuluan

3

Hampir sejalan dengan klasifikasi di atas, Murtadha Muthahhari juga tidak memasukkan bidang penyiaran Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu-ilmu keislaman. Dalam kerangka yang dibangunnya, Murtadha Muthahhari hanya memasukkan bidang-bidang, seperti: Ushul Fikih, Hikmah Amaliah, Fikih, Logika, Kalam, dan Filsafat, sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman.5 Jika ditelaah lebih jauh, tidak dimasukkannya penyiaran Islam yang mencakup unsur-unsur kegiatan dakwah ditinjau dari aspek akademis, dapat dimaklumi mengingat ilmu dakwah itu sendiri masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Perdebatan secara umum berkisar pada persoalan epistemologi ilmu dakwah yang belakangan melahirkan tiga pandangan dalam melihat ilmu dakwah ini, yaitu: Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa ilmu dakwah yang pembenarannya normatif doktrin mengambil arti ayat Al-Qurn dan Hadits sudah memadai sebagai ilmu walaupun bukan ilmu pengetahuan. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa ilmu dakwah yang ada saat ini belum bisa diterima sebagai suatu disiplin ilmu, masih merupakan pengetahuan non-sains, alasan yang dikemukakan adalah bahwa ia belum dibangun atas metode keilmuan (logico-hypoteticoverifikatif). Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa ilmu dakwah tidak lain adalah ilmu komunikasi, mengingat yang berbeda hanya mengenai materi messagenya. 6 Berdasarkan pandangan di atas, tampak bahwa eksistensi ilmu dakwah masih menuai berbagai problem. Pandangan yang pertama terkesan kurang berani mengklaim bahwa dakwah bukan merupakan ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain, menegaskan secara halus eksistensi dakwah sebagai bukan ilmu pengetahuan. Pandangan kedua lebih tegas menyebutkan bahwa dakwah bukan merupakan ilmu pengetahuan (science) oleh karena belum ditemukan basis epistemologi yang jelas mengenai ilmu dakwah itu sendiri. Sementara itu, pandangan yang ketiga lebih unik kerana berupaya menyamakan antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi, tapi jika pandangan ini dapat diterima, tentu dengan sendirinya akan menempatkan ilmu5 Lihat Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, [Penerjemah: Ibrahim Husain al Habsyi, dkk], (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003). 6 Mohammad Ali Aziz, Ilmu Dakwah. (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 196-7

dakwah sebagai ilmu yang belum mampu berdiri sendiri. Disamakannya ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi jelas membuktikan bahwa ilmu dakwah masih menjadi problem dalam kontelasi ilmu pengetahuan. Problem ini pun dapat dimaklumi oleh karena pengkajian dakwah secara akademis masih tergolong baru dan hanya mempertimbangkan aspek praktisnya saja.7 Akan tetapi, penting pula dicatat bahwa, optimisme para ahli untuk menjadikan dakwah sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bersifat mandiri semakin menunjukkan dakwah tengah menuju ke arah tersebut. Hal ini setidaknya ditandai dengan semakin banyaknya kajian-kajian yang dituangkan melalui buku dan berbagai karya ilmiah tentang sistem keilmuan dakwah. Secara historis, dapat disebutkan Toha Yahya Omar sebagai orang pertama menulis buku berbahasa Indonesia yang menegaskan dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu.8 Sepuluh tahun berikutnya, terbit dua buku yang mendandakan lahirnya cabang baru disiplin ilmu dakwah, yaitu: Manajemen Dakwah yang ditulis Abd. Rosyad Saleh (1977), dan buku Psikologi Dakwah yang ditulis H.M Arifin (1977). Sistem keilmuan dakwah semaikin menemukan bentuknya ketika pada waktu-waktu berikutnya semakin banyak kajian-kajian dituangkan melalui buku-buku yang secara spesifik membahas konsep keilmuan dakwah. Beberapa buku dapat disebut, di antaranya: pertama, Abdullah (2001), Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi, dan Aplikasi Dakwah, diterbitkan oleh IAIN Perss Medan;7 Abdullah dalam bukunya menuliskan: Secara jujur harus diakui bahwa kajian dakwah sebagai suatu disiplin ilmu hingga saat ini belum banyak dibicarakan, terutama menyangkut apa yang dikaji (ontology)?, bagaimana cara memperolehnya (epistemology)? dan untuk apa ilmu itu dipergunakan (aksiologi)?. Hal ini sungguh dapat dipahami karena latar belakang berdirinya Fakultas Dakwah pada awalnya lebih mempertimbangkan aspek praktisnya. Karena pada waktu itutahun 60-anumat Islam sangat membutuhkan tenaga dai yang memiliki kualifikasi akademik, agar kegiatan dakwah Islam mampu mengantisipasi berbagai problem umat Islam di Indonesia. Kemudian baru muncul pemikiran, ketika para sarjana dakwah mempertanyakan spesifikasi keahlian dan bidang pembangunan yang mana harus diisi oleh sarjana dakwah. Maka timbullah rumusan atau batasan istilah tentang ilmu dakwah. Lihat Abdullah, Wawasan Dakwah: Kajian Epistemologi, Konsepsi dan Aplikasi Dakwah, (Medan: IAIN Perss, 2001), h. 16. 8 Pada dasarnya, buku yang ditulis Toha Jahja Omar ini belum secara tegas merumuskan kriteria ilmu dakwah dengan struktur Filsafat Ilmu. Akan tetapi, ada lebih dari lima belas halaman pada bagian buku tersebut mengulas dakwah secara ontologis, dengan pembahasan epistemologis yang kurang mendalam. Lihat Toha Yahya Omar, Ilmu Dakwah. (Jakarta: Wijaya, 1967).

Pendahuluan

5

Kedua, Moh. Ali Aziz (2004), Ilmu Dakwah, diterbitkan oleh Prenada Media Jakarta; ketiga, Ahmad Anas (2006), Paradigma Dakwah Kontemporer: Aplikasi Teoretis dan Praktis sebagai Solusi Problematika Kekinian, diterbitkan oleh Rizki Putera Semarang; dan, keempat, Syamsul Munir Amin (2008), Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, diterbitkan oleh penerbit Amzah Jakarta. Selain buku-buku yang disebutkan sebelumnya, salah satu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Hasan Sazali (2002) berjudul Epistemologi Dakwah: Analisa Landasan Keilmuan Dakwah, sebagai tesis di Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, agaknya semakin mempertegas eksistensi dakwah sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri. Selain landasan keilmuan yang dikonstruknya melalui penelitian tersebut, beberapa indikator lain yang menunjukkan bahwa dakwah telah masuk sebagai sebuah disiplin ilmu dalam ilmu-ilmu keislaman ditandai dengan Seminar Epistemologi pada tahun 1977, dan Konsorsium Ilmu Dakwah pada tahun 1982.9 Belum selesai ilmu dakwah diperdebatkan dalam kontelasi ilmu pengetahuan, dalam waktu-waktu berukutnya kembali muncul disiplin baru yang disebut Komunikasi Islam, yang secara khusus dikaji pada program studi Komunikasi Islam Pascasarnaja IAIN. Dilihat dari aspek hirarkinya, program studi ini dapat dikatakan sebagai program yang memiliki hubungan langsaung dengan Fakultas Dakwah IAIN, setidaknya dilihat dari aspek akademis. Sungguhpun pada jenjang S.1, Komunikasi Islam tidak dipelajari sebagai mata kuliah tersendiri pada program studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakutas Dakwah, namun pada jenjang Pascasarjana program studi Komunikasi Islam, tema ini menjadi mata kuliah komponen jurusan. Asumsi ini sekaligus menunjukkan bahwa, membincang komunikasi Islam sebagai sebuah bangunan ilmu pengetahuan secara historis tidak dapat dilepaskan dengan pembicaraan mengenai sistem keilmuan dakwah, sebab keduanya memiliki kaitan yang cukup erat. Adanya benang merah antara ilmu dakwah dan komunikasi Islam dalam9 Lihat Hasan Sazali, Epistemologi Dakwah: Analisa Landasan Keilmuan Dakwah. Tesis, tidak diterbitkan. (Medan: PPS IAIN Sumut, 2002), h. 2-3.

konteks sejarah kelahirannya belakangan memunculkan pandangan sebagian kalangan terhadap adannya kesamaan antara ilmu dakwah dengan komunikasi Islam. Bahkan lebih tajam dari pandangan tersebut, ilmu dakwah tidak saja memiliki kesamaan dengan komunikasi Islam, akan tetapi komunikasi Islam merupakan ilmu dakwah itu sendiri. Pandangan ini tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya karena dalam faktanya, berbagai hasil kajian pada ruang lingkup komunikasi Islam yang ada selama ini seringkali menunjukkan wujudnya sebagai dakwah. Akan tetapi, menurut asumsi penulis, keduanya harus dibedakan dan memang pada kenyataannya berbeda. Secara sederhana perbedaan tersebut dapat dilihat dari wilayah kajiannya masingmasing, meski kerap mengerucut pada kesimpulan yang relatif sama, ilmu dakwah dan komunikasi Islam tidak pernah dikonsepsikan sebagai kajian yang sama. Pandangan yang penulis bangun di atas menjadi asumsi awal perlunya dilakukan pengkajian ulang terhadap komunikasi Islam. Aspek yang cukup efektif disoroti dalam kajian yang penulis maksudkan adalah aspek epistemologinya, karena dengan begitu akan ditemukan kejelasan tentang cara-cara ilmiah yang dipergunakan oleh kajian komunikasi Islam yang dapat membedakannya dengan ilmu dakwah. Selain itu, antara dakwah dan komunikasi Islam sebenarnya sudah dapat dibedakan sejak awal, ketika kedua kajian ini menggunakan terminologinya masing-masing. Jika ilmu dakwah dan komunikasi Islam merupakan disiplin yang sama, tentu keduanya harus konsisten untuk menggunakan istilah, apakah ilmu dakwah atau komunikasi Islam?. Dilihat dari aspek historis dan filosofis, komunikasi Islam sebagai sebuah kajian baru, ditengarai muncul beberapa dekade terakhir. Alasan yang mendasari lahirnya ilmu komunikasi Islam adalah basis falsafah, pendekatan teoretis, dan penerapan ilmu komunikasi yang dilahirkan barat tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya Islam.10 Mhd. Rafiq menambahkan, paradigma komunikasi Barat lebih mengedapankan nilai-nilai pragmatis, materialistis, dan10 Lihat Syukur Kholil, Komunikasi dalam Perspektif Islam, dalam Hasan Asari dan Amroendi Drajat (ed). Antologi Kajian Islam. (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2004), h. 251.

Pendahuluan

7

penggunaan media secara kapitalis.11 Alasan kegagalan inilah yang kemudian menarik perhatian sebagian akademisi muslim di berbagai perguruan tinggi untuk melahirkan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif. Kebudayaan Barat sendiri dalam faktanya seringkali dibenturkan secara serius dengan kebudayaan Islam. Apa pun alasan yang mendasarinya, stigma umum yang cukup kuat terbangun adalah, bahwa budaya Barat merupakan rivalitas dari kebudayaan Islam, sehingga apapun yang dilahirkan Barat, termasuk ilmu pengetahuan, seringkali mengalami bias yang cukup kontras dengan nilai-nilai dan budaya Islam. Tentu tidak berlebihan jika disebutkan bahwa pardigma ini menjadi salah satu indikator penting munculnya berbagai macam wacana keilmuan Islam yang justru basis ontologi dan epistemologinya telah terlebih dahulu dibangun oleh sistem keilmuan Barat. Komunikasi Islam dapat dikatakan menjadi bagian yang termasuk di dalamnya. Bukan tanpa alasan jika diasumsikan bahwa paradigma ini memiliki andil besar dalam menciptakan kemandegan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, selain faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Kemandegan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan perhatian ilmuan dan akademisi muslim yang terfokus pada permasalahan bagaimana sebuah objek kajian ilmu yang biasanya lahir dari Barat dapat sesuai dengan nilai-nilai Islam, namun di sisi lain mereka mengabaikan rekonstruksi epistemologinya. Dengan kata lain, paradigma ini lebih melahirkan upaya Islamisasi ilmu, atau mengislamkan ilmu yang dilahirkan Barat, dari pada upaya membangun sistem keilmuan mandiri sebagai ilmu alternatif dari ilmu yang dilahirkan Barat. Memang Islamisasi ilmu sendiri dimaknai secara berbeda sesuai dengan latar belakang para penggagas ide Islamisasi tersebut. Sayed Husein Nashr memaknai Islamisasi ilmu sebagai upaya menerjemahkan pengetahuan modern ke dalam bahasa yang bisa dipahami masyarakat muslim di mana mereka tinggal. pandangan ini11 Mohd. Rofiq. Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada Era Globalisasi Informasi, dalam Analytica Islamica. Vol. 5, No. 2 Tahun 2003, h: 149-168.

berbeda dengan Islamisasi ilmu yang dimaksudkan oleh Naquib al Attas, yang menganggap Islamisasi ilmu sebagai upaya membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi, dan prinsip-prinsip sekuler untuk membentuk ilmu pengetahuan baru sesuai dengan fitrah Islam. Sementara itu, Ismail Razi al Faruqi memaknai Islamisasi ilmu sebagai upaya mengislamkan disiplin-disiplin ilmu hingga menghasilkan buku pegangan di perguruan tinggi dengan menggunakan kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan terlebih dahulu kajian kritis terhadap kedua sistem pengetahuan tersebut (Islam dan Barat).12 Terlepas dari perbedaan para tokoh dalam memaknai Islamisasi ilmu, secara epistemologi penulis melihat bahwa basis keilmuan komunikasi Islam masih rapuh dan belum mampu menjadikan komunikasi Islam sebagai disiplin ilmu mandiri terlepas dari ilmu komunikasi pada umumnya. Jika ditelaah lebih jauh, belum ditemukannya basis epistemologi yang jelas terhadap sistematika keilmuan komunikasi Islam salah satunya diakibatkan oleh kurangnya perhatian para akdemisi muslim untuk mengkonstruk epistemologi kajian tersebut, dan bukan tidak mungkin jika hal ini juga mengakibatkan sulitnya membedakan antara ilmu dakwah dengan komunikasi Islam. Mahasiswa yang secara khusus menempuh pendidikannya pada program studi Komunikasi Islam bahkan jarang sekali yang tergerak untuk melakukan rekonstruksi epistemologi melalui penelitiannya guna menjadikan ilmu komunikasi Islam dapat diterima sebagai sebuah disiplin ilmu mandiri di satu sisi, dan memberikan titik terang tentang perbedaannya dengan ilmu dakwah di sisi yang lainnya. Dalam tahap perkembangannya, memang ditemukan beberapa kajian tentang ilmu komunikasi Islam, namun jika dilakukan pembacaan lebih jauh, agaknya kajiankajian tersebut kurang memiliki konsentrasi dalam membangun basis keilmuan komunikasi Islam. Kajian-kajian tersebut hanya terarah pada upaya membedakan paradigma komunikasi Islam dengan komunikasi yang dikembangkan Barat. Lihat12 A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 239-240.

Pendahuluan

9

misalnya beberapa kajian tentang komunikasi Islam, seperti: tulisan Mohd Rafiq yang dipublikasikan pada Jurnal Analytica Islamica,13; maupun kajian yang dituangkan dalam tulisan Muhammad Husni Ritonga, tentang eksistensi Ilmu Komunikasi Islam.14 Prof.Dr. Syukur Kholil, MA juga telah menerbitkan buku dengan judul Komunikasi Islami, akan tetapi jika ditelaah secara mendalam, kajian pada buku tersebut belum terfokus pada pembangunan epistemologi ilmu komunikasi Islam.15 Selain itu, Hasnun Jauhari, pernah melakukan kajian tentang landasan keilmuan komunikasi Islam melalui tesis yang ditulisnya, dan kajian tersebut juga belum menunjukkan adanya perkembangan yang berarti dalam upaya membangun basis epistemologi komunikasi Islam, bahkan dari aspek teori dan metodologinya masih ditemukan banyak kesamaan dengan tesis Epistemologi Dakwah yang ditulis Hasan Sadzali. Ilmu pengetahuan (science) sendiri dapat dipahami sebagai pengetahuan yang bertujuan untuk mencapai kebenaran ilmiah tentang objek tertentu yang diperoleh melalui pendekatan, metode dan sistem tertentu.16 Pengetahuan secara umum merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. C. A. Van Peursen memberikan pengertian pengetahuan secara sederhana dengan menyebutkan pengetahuan sebagai kesadaran manusia akan barang-barang di sekitarnya.17 Jika proses sadar manusia dianggap sebagai pengetahuan umum/biasa (common sense) yang tidak mempersoalkan seluk beluk pengetahuan tersebut, ilmu melalui metodologi tertentu mencoba untuk menguji pengetahuan manusia secara lebih luas dan mendalam. Karenanya, ilmu akan berbicara pada tiga hal, yaitu: hakikat objek keilmuan (ontologi); bagaimana pengetahuan diproses menjadi ilmu (epistemologi); dan, nilai13 Mohd. Rofiq, Tantangan dan Peluang,, h. 149-168. 14 Lihat Muhammad Husni Ritonga, Eksistensi Ilmu Komunikasi Islam: Suatu Tinjauan Filsafat Ilmu, dalam Amroeni Drajat (ed). Komunikasi Islam dan Tantangan Modernitas. (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2008). 15 Lihat Syukur Kholil, Komunikasi Islami. (Bandung: Cipta Pustaka Media, 2008) 16 Soetriono dan SRDm Hanief, Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Andi, 2007), h. 12. 17 C. A Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat (Penerjemah: Dick Hartoko), (Jakarta: Gramedia Media Utama, 1983), h.19.

apa yang dapat dilahirkan dari ilmu bersangkutan (aksiologi). Berbicara mengenai tiga aspek yang menjadi ruang lingkup ilmu pengetahuan yang secara khusus dikaji pada disiplin filasafat ilmu, aspek yang paling krusial dan seringkali menuai berbagai problem adalah aspek epistemologi. Sebagaimana dikutip Dani Vardiansyah melalui Poedjawijatna (1993), ilmu tidak terlalu menghiraukan keguanaan (aspek aksiologi), melainkan hanya semata ingin tahu. Kalau pengetahuan yang disebut ilmu menghasilkan manfaat, kegunaan yang positif, tentu akan lebih baik lagi. Akan tetapi, tujuan utama ilmu adalah untuk mengetahui lebih mendalam.18 Pandangan di atas boleh dikatakan merupakan penekanan terhadap pentingnya aspek epistemologi dalam mengkonstruksi bangunan keilmuan, akan tetapi pernyataan tersebut sekaligus memperlihatkan aspek aksiologis (nilai guna) ilmu pengetahuan yang terabaikan di dalamnya. Salah satu tujuan aksiologi ilmu adalah mempersoalkan apakah ilmu pengetahuan bebas, atau justru terikat nilai. Boleh jadi paradigma di atas yang dianggap telah mengabaikan aspek aksiologis ilmu, merupakan paradigma yang dikhawatirkan oleh ilmuan muslim sehingga melahirkan keinginan untuk melakukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya Islamisasi ilmu ini pun dinilai wajar, sebab menganggap ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bebas nilai akan melahirkan dampak buruk yang cukup besar bagi kelangsungan hidup umat manusia. Namun demikian, mengklaim ilmu pengetahuan yang telah mengalami proses Islamisasi sebagai ilmu keislaman juga merupakan tindakan yang terburu-buru, sebab sebuah objek pengetahuan baru dapat disebut sebagai ilmu pengetahuan ketika memiliki struktur dan metodologi yang jelas dalam proses pencapaiannya. Dengan demikian, sebuah objek pengetahuan baru dapat diakui sebagai ilmu keislaman ketika basis epistemologinya benar-benar dibangun di atas dasar-dasar epistemologi Islam. Dalam kasus ilmu komunikasi Islam, nilai-nilai keislaman tampaknya hanya dibangun pada aspek aksiologisnya saja. Hal ini setidaknya ditunjukkan melalui buku yang ditulis Prof.Dr. Syukur Kholil berjudul Komunikasi Islami, yang menekankan18 Lihat Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi (Jakarta: PT. Index. 2008), h. 7.

Pendahuluan

11

komunikasi Islam sebagai komuniksi yang berdasarkan kepada Al Qurn dan Hadis yang menjunjung tinggi kebenaran.19 Berdasarkan pengertian ini, dapat dipahami aspek yang membedakan antara komunikasi Islam dengan komunikasi umum yang cenderung menekankan keuntungan politik dan material. Jika kerangka pikir ini digunakan untuk melihat eksistensi komunikasi Islam sebagai disiplin keilmuan, maka harus diakui bahwa komunikasi Islam hanya memberikan kontribusi pada ilmu komunikasi umum pada aspek aksiologinya saja, namun belum terlihat adanya kontribusi pada basis epistemologi berupa metodologi untuk membangun ilmu komunikasi Islam itu sendiri. Berangkat dari kerangka pikir di atas, maka sangat wajar jika kemudian Syukur Kholil menyebutkan bahwa komunikasi Islam merupakan cabang dari ilmuilmu sosial,20 bukan cabang dari ilmu-ilmu keislaman. Terlepas dari tepat atau tidaknya menempatkan komunikasi Islam sebagai bagian dari ilmu sosial, ilmu komunikasi dalam ranah kajiannya sendiri masih menyisakan sejumlah problem keilmuan yang belum terjawab. Ilmu komunikasi misalnya, merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, sementara pada saat yang sama ilmu-ilmu eksakta yang lebih cenderung memiliki hubungan dengan natural science, menjadikan komunikasi sebagai salah satu aspek penting yang dikajinya. Beberapa contoh yang dapat disebutkan, antara lain: kajian tentang teknologi komunikasi dan informasi, komunikasi pertanian, dan atau, komunikasi kedokteran. Komunikasi Islam sebagai paradigma baru yang lahir beberapa dekade terakhir, meskipun secara akademis pengkajiannya baru ditemukan pada perguruan tinggi Islam, boleh jadi merupakan aspek lain yang lahir akibat kelonggaran ilmu komunikasi itu sendiri. Namun demikian, meskipun kajian komunikasi Islam secara akademis masih dikaji di perguruan tinggi Islam, seluruh hasil pengkajian yang dilakukan tersebut menunjukkan disiplin ini belum mampu melepaskan diri dari sumber awalnya, ilmu komunikasi sebagai cabang ilmu sosial. Pertanyaan yang19 Syukur Kholil, Komunikasi Islami,, h. 2. 20 Lihat Syukur Kholil, Komunikasi Islami,, h. 22.

selanjutnya dapat diajukan adalah, apakah ilmu komunikasi Islam masih dapat diletakkan sebagai bagian dari ilmu sosial ketika variabel Islam melekat padanya?; dan, apakah jika komunikasi Islam dalam peta keilmuan merupakan bagian dari ilmu sosial, dengan sendirinya bersifat statis sehingga tidak dapat ditempatkan struktur dan hierarkinya pada ilmu-ilmu keislaman?. Pertanyaan ini dikemukakan berdasarkan asumsi bahwa paradigma keilmuan dalam dunia Islam seringkali dianggap sebagai alternatif dari keilmuan Barat yang cenderung sekuler dan meninggalkan nilai-nilai ilahiah. Murtadha Muthahari misalnya, menyebutkan bahwa epistemologi Barat merupakan epistemologi yang rapuh sementara epistemologi Islam merupakan epistemologi yang kokoh.21 Hal senada juga diungkapkan oleh Mulyadi Kertanegara, menurutnya agama (Islam) pada prinsipnya memiliki sumbangan yang besar dalam ilmu pengetahuan, sebab akal dan indera saja belum memadai untuk dapat menembus jantung realitas di mana neumena (hakikat) terletak.22 Berbagai problem yang dimunculkan melalui pertanyaan di atas cukup terjawab dengan hipotesa yang dikembangkan Amin Abdullah, bahwa belum ditemukan satu pun dari generasi pemikir-pemikir Islam saat ini yang mencoba menjelaskan relevansi penerapan teori-teori dan metodologi-metodologi ilmiah sebagai intisari filsafat ilmu pada wacana ilmu-ilmu keislaman. Amin Abdullah menambahkan, Selagi ilmu-ilmu keislaman dan studi-studi keislaman dapat disebut sebagai science, maka usaha untuk mempertemukan teori-teori dan metodologi ilmiah dengan bangunan ilmu-ilmu keislaman merupakan suatu langkah yang valid dilakukan,.23 Meminjam pandangan Amin Abdullah di atas, maka untuk menjadikan komunikasi Islam sebagai sebuah ilmu pengetahuan berdimensi ilmiah yang kokoh, kajian konstruktif untuk pengambangannya menjadi penting dilakukan. Dalam21 Lihat Murthada Muthahari, Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, (Jakarta, Lentera, 2001). 22 Lihat: Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. (Jakarta: Arasy Mizan, 2005), h. 53. 23 M. Amin Abdullah, Islamic Studies, h. 37.

Pendahuluan

13

pengamatan penulis, kajian komunikasi Islam yang ada selama ini belum berbeda sama sekali dengan apa yang dikaji pada ranah keilmuan dakwah. Untuk mendapatkan kejelasan perbedaan antara ilmu dakwah dengan ilmu komunikasi Islam tersebut, salah satu objek kajian yang belum tersentuh adalah bangunan epistemologi pada aspek metodologi yang lebih spesifik. Oleh karenanya cukup absah dilakukan sebuah kajian mendalam tentang basis epistemologi guna menemukan metode pengembangan Ilmu komunikasi Islam dengan menyandarkannya pada kajian-kajian terdahulu. Pandangan ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa beberapa kajian tentang komunikasi Islam yang telah dilakukan sebelumnya, setidaknya telah memuat beberapa aspek yang dapat dikonstruk sebagai basis epistemologi untuk mengembangkan Ilmu komunikasi Islam, kajian-kajian tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka acuan untuk melihat metodologi dan struktur ilmu komunikasi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka permasalahan pokok yang kemudian akan dikaji pada penelitian ini secara umum dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan: bagaimana bangunan metodologi pengembangan Ilmu Komunikasi Islam?. Rumusan masalah ini mencakup beberapa aspek yang dapat diperinci dengan pertanyaan: 1) Apa hakikat ilmu komunikasi Islam? 2) Bagaimana eksistensi ilmu komunikasi Islam dalam peta keilmuan? 3) Bagaimana merekonstruksi metodologi untuk pengembangan ilmu komunikasi Islam? C. Batasan Istilah Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasar, serta

pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.24 Epistemologi karenanya dapat dikatakan sebagai filsafat pengetahuan yang berbicara tentang landasan keilmuan. Landasan keilmuan sendiri merupakan disiplin ilmu dari aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Secara etimologis, epistemologi didefenisikan sebagai theory of knowledge.25. Dengan demikian, epistemologi merupakan pembahasan mengenai apa yang dapat diketahui yang terkait dengan teori dan substansi keilmuan. Sementara itu, komunikasi Islam merupakan rangkaian dari dua kata, komunikasi dan Islam. Karenanya, komunikasi Islam dapat dimaknai sebagai proses komunikasi yang dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok orang yang syarat dengan nilai-nilai keislaman. Islam sendiri lebih tepat disebut sebagai etika kemanusiaan dan ilmu sosial sebagaimana ditegaskan Hasan Hanafi.26 Sedangkan metode keilmuan, dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang menghasilkan pengetahuan yang bersifat logis dan teruji dengan jembatan berupa pengajuan hipotesis disebut juga sebagai metode logico-hipotetico-verifikatif, yang menuntun cara berpikir untuk mendapatkan hasil pengetahuan ilmiah.27 Metode ilmiah ini dicerminkan melalui penelitian ilmiah yang merupakan gabungan dari cara berpikir rasional dan empiris. Kerangka berpikir ilmiah yang bertolak pada logicohipotetico-verifikatif, dijelaskan Jujun pada bukunya Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, sebagai berikut:28 Pertama, perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.24 Amsal Bahtiar, Filasata Ilmu, (Jakarta: Rajawali Perss, 2005), h. 148. 25 Dagobert. D. Runers, Dictionary of Philosophy, (New Jeresey: Adams & Co, 1971), p. 94. 26 Hasan Hanafi, Etika Global dan Solidaritas Kemanusiaan, dalam Abu Hatsin (ed), Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 1. 27 Jujun S. Suryasumantri [Penerjemah], Ilmu dalam Perpektif Moral, Sosial, dan Politik. (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 19. 28 Jujun S. Suryasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), h. 128.

Pendahuluan

15

Kedua, penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis, merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk kontelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan. Ketiga, perumusan hipotesis, merupakan jawaban sementara antara dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan. Keempat, pengajuan hipotesis, merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan denangan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak. Kelima, kesimpulan, sebagai penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Berdasarkan batasan istilah yang dikemukakan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini akan dibatasi pada upaya melakukan analisa bangunan epistemologi terhadap metodologi pengembangan ilmu komunikasi Islam. Beberapa aspek yang melingkupi kajian pada penelitian ini adalah: melihat dan mengkonstruksi kembali hakikat ilmu komunikasi Islam, mengidentifikasi eksistensi komunikasi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah, dan melakukan analisa dalam upaya rekonstruksi metodologi pengembangan ilmu komunikasi Islam. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menjawab permasalahan yang telah yaitu: 1) Hakikat ilmu komunikasi Islam. 2) Eksistensi ilmu komunikasi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah. dirumuskan, yaitu mendapatkan hasil analisa bangunan metodologi pengebangan Ilmu Komunikasi Islam. Tujuan ini mencakup beberapa aspek bahasan,

3) Rekonstruksi metodologi untuk pengembangan ilmu komunikasi Islam. E. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademis yang berkonsentrasi pada program studi komunikasi Islam, khususnya dalam rangka membangun basis epistemologi guna mengembangkan studi tentang komunikasi Islam. Selain itu, secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi peneliti dan praktisi komunikasi Islam, baik dalam kajian akademis maupun penerapannya di tengah masyarakat luas. F. Kajian Terdahulu Sejauh penelusuran yang telah dilakukan, khususnya pada berbagai perpusatakaan di Kota Medan, pembahasan tentang komunikasi Islam masih belum mampu melahirkan basis epistemologi yang jelas sebagai landasan keilmuan komunikasi Islam. Meski demikian, pembahasan tentang komunikasi Islam dari berbagai dimensi kajian cukup banyak dibicarakan. Di antara kajian-kajian yang dapat disebutkan, adalah: 1) Islam, Komunikasi dan Teknologi Maklumat, yang ditulis Zulkipli Ghani, telah diterbitkan di Selangor oleh Utusan Publications & Distributors SDN BHD pada tahun 2001. Secara umum, buku ini membahas dasar-dasr komunikasi Islam; pemahaman terhadap komunikasi Islam, teori dan model komunikasi Islam, serta etika komunikasi Islam. 2) Komunikasi Islam, yang ditulis A. Muis. Diterbitkan Remadja Rosdakarya Bandung pada tahun 2001. Buku ini antara lain membahas tentang paradigma komunikasi Islam berdasarkan al-Qurn.

Pendahuluan

17

3) Komunikasi dalam Perspektif Islam, ditulis oleh Syukur Kholil yang menjadi salah satu topik pada buku Antologi Kajian Islam, telah diterbitkan oleh Cipta Pustaka Media, Bandung pada tahun 2004. Tulisannya di arahkan pada apresiasi terhadap jurnal Media, Culture and Society yang diterbitkan di London. 4) Analisa Landasan Keilmuan Komunikasi Islam, sebuah tesis yang ditulis Hasnun Jauhari Ritonga yang mencoba melakukan analisa terhadap basis epistemologi komunikasi Islam. G. Metodologi Penelitian Penelitian ini dikelompokkan ke dalam jenis penelitian literatur/studi kepustakaan (Library Research), karena objek yang dipilih adalah hasil kajian tertulis yang dilakukan beberapa peneliti terdahulu tentang komunikasi Islam, baik ditinjau dari aspek landasan keilmuan maupun aspek praktis terhadap penerapannya di lapangan. Titik tekan yang ingin dilakukan adalah melihat sejauh mana basis epistemologi terbangun pada kajian-kajian tersebut, untuk selanjutnya melakukan analisa terhadap metodologi pengembangannya. Kajian-kajian yang dipilih bersifat terbuka dan dapat berkembang pada waktu penelitian, mengingat penelitian ini mengambil paradigma kualitatif, di mana data dapat berkembang ketika penelitian dilakukan. Akan tetapi, secara umum kajian-kajian yang telah dipilih untuk dianalisis, adalah: 1) Tesis berjudul: Analisa Landasan Keilmuan Komunikasi Islam, yang ditulis Hasnun Jauhari Ritonga pada tahun 2008; 2) Buku berjudul: Komunikasi Islami, yang ditulis Syukur Kholil pada Tahun 2009; 3) Kajian berjudul: Komunikasi dalam Perspektif Islam, yang ditulis Syukur Kholil pada tahun 2008; 4) Tulisan berjudul: Eksistensi Ilmu Komunikasi Islam: Suatu Tinjauan Filsafat Ilmu, yang ditulis Muhammad Husni Ritonga

pada tahun 2008; 5) Tulisan berjudul: Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam pada Era Globalisasi Informasi, yang ditulis Mohd. Rofiq pada tahun 2003. Sumber data pada penelitian ini dibagi ke dalam dua sumber, primer dan skunder. Sumber data primer seluruhnya diperoleh dari berbagai kajian yang dipilih dalam penelitian ini, sedangkan sumber data skunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari berbagai lieteratur-literatur yang terkait dengan masalah penelitian. Sebagai penelitian literatur, hal pertama yang akan dilakukan untuk menganalisis data adalah menentukan kajian-kajian terpilih, selain kajian-kajian yang telah disebutkan sebelumnya, kajian-kajian berhubungan lainnya yang berkembang dalam penelitian juga tidak luput dari proses analisis yang akan dilakukan. Pemilihan literatur ini disesuaikan dengan kebutuhan penelitian. Sesudah menentukan judul literatur penelitian, maka langkah berikutnya adalah: inventarisasi literatur; deskripsi literatur; kritik teks; dan analisis isi. Syukur Kholil mengutip beberapa ahli, menyimpulkan pengertian analisis isi dengan beberapa pemahaman: pertama; bersifat sistematis sesuai dengan prosedur yang benar; kedua, bersifat objektif dengan perolehan hasil yang sama jika diuji oleh penelitian lain dengan menggunakan kategori yang sama; ketiga, bersifat kuantitatif namun tidak menutup kemungkinan dikaji dengan menggunakan cara yang lain.29 Sementara itu, Jalaluddin Rakhmat menyebutkan analisis isi sebagai prosedur yang digunakan untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang. Penelitian ini umumnya dilalui dengan beberapa tahap, yaitu: merumuskan masalah; merumuskan hipotesis; memilih sampel; pembuatan alat ukur; pengumpulan data; dan analisis data.3029 Syukur Kholil, Metodologi Penelitian Komunikasi. (Bandung: Ciptapustaka Media, 2005), h. 51. 30 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. (Bandung: Remaadja Rosdakarya, 2004), h. 89.

Pendahuluan

19

Pengertian analisis isi yang dikemukakan di atas cenderung diarahkan pada penelitian kuantitatif yang bersifat menguji teori karena menggunakan hipotesis,31 padahal analisis isi sebagai salah satu penelitian dari tradisi ilmu komunikasi lebih tepat dikaji dengan pendekatan kualitatif. Sebagaimana disebutkan Klaus Kripendorf, penelitian bidang komunikasi semestinya bersifat kualitatif, dengan mengutip Jenis selanjutnya ia mengemukakan beberapa klasifikasinya, yaitu:32 1. Analisis isi pragmatis, prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut sebab atau akibat yang mungkin; 2. Analisis isi semantik, prosedur yang mengklasifikasi tanda menurut maknanya; 3. Analisis sarana tanda (sign-vehicle), prosedur yang mengklasifikasi isi menurut sifat psiko-fisik dari tanda. Berangkat dari beberapa prosedur yang dipaparkan di atas, penelitian ini diarahkan pada penelitian kualitatif dengan cara memaparkan data secara deskriptif. Data dikumpulkan dengan terlebih dahulu membuat kategori-kategori tertentu dan memilih data sesuai dengan tema-tema yang tepat. Sebagai langkah akhir dari proses penelitian ini, data selanjutnya dianalisis dengan prosedur kualitatif yang dapat dimulai dengan terlebih dahulu menelaah seluruh data yang tersedia, selanjutnya data direduksi dengan melakukan abstraksi, yaitu membuat rangkuman yang inti, proses dan pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya disusun ke dalam satuan-satuan untuk dikategorikan.33 Sementara itu, Syukur kholil34 menyebutkan penelitian kualitatif secara umum bersifat grounded research, di mana teori berfungsi sebagai mempertajam kepekaan peneliti dalam melihat data, serta merumuskan teori atas dasar data yang diperoleh.31 Lihat Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006), h. 132. 32 Klaus Kripendorf, Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi. (Jakarta: Rajawali Perss, 1993), h. 35-6. 33 J. Lexy Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2006), h. 247. 34 Syukur Kholil, Metodologi Penelitian,... h. 132.

Dengan demikian, teori-teori yang dapat mempertajam pengamatan penelitian ini, khususnya teori-teori yang berhubungan dengan ilmu komunikasi dan filsafat ilmu menjadi titik tekan yang penting sebagai alat analisis untuk menarik sebuah kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. H. Garis-garis Besar Isi Tesis Hasil penelitian yang dituangkan dalam penulisan tesis ini disusun ke dalam lima bab secara sistematis, yaitu: Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang mencakup beberapa pasal, yaitu: latar belakang masalah; rumusan masalah; batasan istilah; tujuan penelitian; kegunaan penelitian; kajian terdahulu; metodologi penelitian; dan garis-garis besar isi tesis. Bab kedua, memaparkan beberapa konsep dasar landasan keilmuan, yang mencakup pasal-pasal tentang: beberapa jenis pengetahuan; sumber dan cara memperoleh pengetahuan; landasan keilmuan (epistemologi); metodologi dan struktur pengetahuan ilmiah; serta integrasi ilmu. Bab ketiga, memaparkan paradigma ilmu komunikasi Islam, yang mencakup pasal-pasal tentang: sejarah dan tokoh komunikasi Islam; ruang lingkup ilmu komunikasi Islam; dan wacana masa depan komunikasi Islam. Bab ke empat, merupakan hasil penelitian yang mencakup pasal-pasal tentang: hakikat ilmu komunikasi Islam; komunikasi Islam dalam peta pengetahuan ilmiah; dan, rekonstruksi metodologi pengembangan ilmu komunikasi Islam. Bab kelima merupakan bagian penutup yang memaparkan kesimpulan hasil penelitian dan beberapa saran.