BAB I

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral. Dampak kasus pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebab pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian anak di seluruh dunia. (Naido, 2004) Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena HIV(Gomez, 2000). Kasus pertama HIV di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali, tetapi penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995 (Depkes RI, 2003). Data terbaru di Indonesia dari 1 April 1987 sampai 30 Juni 2005 jumlah penderita HIV/AIDS 7098 orang, terdiri dari 3740 kasus infeksi HIV dan 3358 kasus AIDS dan kematian terjadi pada 828 orang. 1

description

manifestasi HIV

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB IPENDAHULUAN

1.1 PendahuluanInfeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada

anak tahun 1983 di Amerika Serikat yang mempunyai beberapa perbedaan

dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan,

pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko,

metode diagnosis, dan manifestasi oral.

Dampak kasus pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebab

pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian anak

di seluruh dunia. (Naido, 2004) Saat ini World Health Organization (WHO)

memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena HIV(Gomez,

2000).

Kasus pertama HIV di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali, tetapi

penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995 (Depkes RI, 2003).

Data terbaru di Indonesia dari 1 April 1987 sampai 30 Juni 2005 jumlah penderita

HIV/AIDS 7098 orang, terdiri dari 3740 kasus infeksi HIV dan 3358 kasus AIDS

dan kematian terjadi pada 828 orang.

Fakta baru tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV di

Indonesia telah meluas ke rumah tangga, sejumlah 251 orang diantara penderita

HIV/AIDS di atas adalah anak-anak dan remaja, dan transmisi perinatal (dari ibu

kepada anak) terjadi pada 71 kasus.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana etiologi dan patofisiologi HIV?

2. Bagaimana manifestasi penyakit sistemik HIV pada rongga mulut?

1.3 Tujuan1. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi HIV.

1

Page 2: BAB I

2. Untuk mengetahui manifestasi penyakit sistemik HIV pada rongga mulut.

1.4 Manfaat

Referat ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan mengenai penyakit

sistemik HIV dan manifestasinya pada rongga mulut.

2

Page 3: BAB I

BAB IIHUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS

2.1 Definisi

Human Immunodeficiency Virus atau disingkat HIV adalah suatu virus yang

menyerang system kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan

terhadap berbagai penyakit.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit

retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresif berat

yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi

neurologis. AIDS merupakan suatu kumpulan dari kondisi klinis tertentu yang

merupakan hasil akhir dari infeksi karena HIV. HIV yang dulu disebut sebagai

HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty

Virus) adalah virus sitopatik dari famili retrovirus (Price, 1992).

2.2 Struktur HIV

Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi

oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung

protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA

genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase dan integrase .

Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan target

antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein

dinamakan p17, yang merupakan lapisan di bawah selubung lipid. Sedangkan

selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam

proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen

gag, pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa

protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein

mature ( Jawet, 2001).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA :

3

Page 4: BAB I

Famili : Retroviridae

Sub famili : Lentivirinae

Genus : Lentivirus

Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1), Human

Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)

HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya.

Terdapat dua tipe yang, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan

berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik (evolusioner) dengan

lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga

kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New atau non-M, non-O) dan O

(Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K).

Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-F (Jawetz, 2001).

2.3 Penularan

Penyakit HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks genital-oral),

melalui paparan parenteral (pada transfusi darah yang terkontaminasi dan

pemakaian bersama jarum suntik/injeksi drugs use) dan dari ibu kepada bayinya

selama masa perinatal. Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat

menularkan virus, adanya penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe

meningkatkan resiko penularan seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar,

karena peradangan membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak

pertama kali HIV ditemukan, aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor

resiko utama tertularnya penyakit ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya

jumlah seksual yang berganti- ganti pasangan.

Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara penularan

yang paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang seringkali terinfeksi melalui

pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi. Paramedis dapat terinfeksi HIV

4

Page 5: BAB I

oleh goresan jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi relatif lebih

sedikit.

Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada

wanita yang tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses

persalinan atau yang lebih sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan

melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat

kelahiran. Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV

perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya

terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran (Jawetz, 2001).

2.4 Patogenesis

HIV pertama kali ditemukan oleh sekelompok peneliti yang dikepalai oleh

Luc Montagnier pada tahun 1983, merupakan virus RNA diploid berserat tunggal

(single stranded) berdiameter 100-120nm. HIV memiliki enzim reverse

transcriptase, yang mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang

terinfeksi, kemudian berintegrasi dengan DNA sel pejamu dan selanjutnya dapat

berproses untuk replikasi virus.

Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen

sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV

menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,

makrofag, sel dendritik, serta organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara

lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan

pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga

penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah

terinfeksi. Walaupun perjalanan infeksi HIV bervariasi pada setiap individu, telah

dikenal suatu pola umum perjalanan infeksi HIV.

Periode sindrom HIV akut berkembang sekitar 3-6 minggu setelah terinfeksi,

dihubungkan dengan muatan virus yang tinggi diikuti berkembangnya respon

5

Page 6: BAB I

selular dan hormonal terhadap virus. Setelah itu penderita HIV mengalami

periode klinis laten (asimptomatis) yang bertahan selama bertahun-tahun, dimana

terjadi penurunan sel T CD4 yang progresif dalam jaringan limfoid. Kemudian

diikuti gejala konstitusional serta tanda-tanda infeksi oportunistik atau neoplasma

yang memasuki periode AIDS (Gambar 1).

Patogenesis infeksi HIV pada anak berbeda dengan orang dewasa, ditandai

lebih tingginya kadar muatan virus, progresi penyakit lebih cepat. Manifestasi

yang berbeda mungkin berhubungan dengan sistem imun yang belum matang

(imature), mengakibatkan berubahnya respon pejamu terhadap infeksi HIV.

Perkembangan infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan

pasti, sekitar 15-20% mempunyai perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS

dan kematian di dalam 4(empat) tahun pertama.

6

Page 7: BAB I

Gambar 1. Imunopatogenesis infeksi HIV.

2.5 Gejala Klinis

Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam

kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan

7

Page 8: BAB I

supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat

yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma

Kaposi).

Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala

prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise,

demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan

limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus

sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval

antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada

orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).

WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi

HIV/AIDS, sebagai berikut :

Tabel 1. Stadium Klinik HIV

Stadium 1 Asimtomatik

Tidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan

Penurunan berat badan 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka disekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papulareruption))Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang

Penurunan berat badan > 10%Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan

8

Page 9: BAB I

Kandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulangHerpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulanKandidosis esophagealTB ExtraparuSarcoma KaposiRetinitis CMV (Cytomegalovirus)Abses otak ToksoplasmosisEncefalopati HIVMeningitis KriptokokusInfeksi mikobakteria non-TB meluasLekoensefalopati multifocal progresif (PML)Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosismeluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsineurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapiARV)Kanker serviks invasiveLeismaniasis atipik meluasGejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV

9

Page 10: BAB I

BAB IIIMANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK HIV

PADA RONGGA MULUT

Penyakit HIV memberikan efek di seluruh bagian tubuh. Secara klinis tidaklah

mudah bagi petugas kesehatan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit yang

sangat ditakuti ini beserta manifestasinya. Perlu diperhatikan untuk berhati – hati

terhadap berbagai bentuk gejala dan manifestasi dari HIV.

Kesehatan mulut merupakan komponen penting dalam menjaga kesehatan pada

orang yang terkena infeksi HIV. Kewaspadaan terhadap variasi kelainan di mulut

yang mungkin muncul sepanjang perjalanan penyakit HIV dan kerja sama yang baik

antara dokter dan dokter gigi dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pasien secara

menyeluruh. Manifestasi oral HIV – AIDS mempunyai spektrum yang cepat.

Manifestasi HIV – AIDS terhadap mulut ditemukan pada sekitar 30 – 80 % populasi

pasien.

Variasi manifestasi oral yang ditemukan dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Infeksi: bakteri, jamur, virus

2. Keganasan : sarkoma kaposi, lymphoma non Hodgkin

3. Proses inflamasi : stomatitis nekrotik, ulkus aptosa mayor

4. Lain – lain : parotitis, kekurangan nutrisi, xerostomia

5. Manifestasi mulut lainnya akibat efek samping terapi anti viral

Tidak ada lesi oral khusus yang hanya berkaitan dengan HIV – AIDS, tapi terdapat

manifestasi oral tertentu seperti kandidiasis, hairy leukoplakia oral yang sering sekali

ditemukan dan dipertimbangkan.

3.1 Infeksi Jamur

Kandidiasis

Kandidiasis mulut atau faring adalah infeksi jamur yang sering dijumpai

sebagai manifestasi awal oleh HIV. Kebanyakan pasien juga didapatkan

10

Page 11: BAB I

kandidiasis di esophagus. Biasa tampak bila jumlah CD4 kurang dari 300/uL.

Spesies tersering penyebab kandidiasis adalah Candida Albicans walaupun jenis

non albicans juga dapat ditemukan. Terdapat empat bentuk yang sering

ditemukan pada kandidiasis mulut yaitu : kandidiasis erythematosa, kandidiasis

pseudomembran, cheilitis angularis, dan hiperplasitik atau kandidiasis kronis

1. Kandidiasis eritematosa memberikan gambaran lesi kemerahan, pipih,

lesi dibagian dorsal lidah dan atau di daerah palatum durum atau palatum

molle. Pasien datang dengan keluhan rasa terbakar di mulut seperti saat makan

makanan yang asin atau berbumbu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan fisik dengan preparasi kalium hidroksida memperlihatkan hifa

dari jamur sebagai konfirmasi diagnosis

2. Kandidiasis pseudomembranosa memberikan gambaran plak lunak

berwarna putih pada daerah mukosa bukal , lidah, dan permukaan mukosa

mulut lainnya, dapat diangkat, meninggalkan dasar kemerahan atau berdarah.

Gambar 2. Kandidiasis Pseudomembranosa

3. Cheilitis angularis merupakan eritema dan gambaran seperti pecah-

pecah di sudut mulut. Cheilitis angularis dapat timbul dengan atau tanpa

disertai kandidiasis eritematosa atau kandidiasis pseudomembranosa.

4. Hiperplastik atau kandidiasis kronis memberikan gambaran plak putih

yang tidak dapat diangkat di seluruh permukaan mukosa.

11

Page 12: BAB I

Gambar 3. Kandidiasis Hiperplastik

Kandidiasis oral dapat meluas meliputi faring, laring, dan juga esophagus.

Pengobatan kandidiasis oral tergantung dari tipe klinik, distribusi, dan derajat

keparahan infeksi. Pengobatan topikal efektif untuk mengatasi dan mengurangi

lesi. Klotrimazole troches, nistatin pastilles, dan suspense nistatin oral efektif

untuk kandidiasis eritematosa ringan ke sedang dan kandidiasis

pseudomembran. Bagaimanapun, cara penggunaan obat-obat ini bila

berkepanjangan harus diperhatikan karena dapat menyebabkan gigi karies yang

disebabkan oleh fermentasi subtrat karbohidrat yang ada didalam

kandungannya. Peningkatan resiko karies bisa dihindari dengan menggunakan

nistatin oral (100.000 unit/5 ml, kumur di mulut, 3 x sehari). Klorhexidin

0,12% oral tidak mengandung suatu substrat yang kariogenik dan mungkin

juga efektif.

Amphoterisin B topikal juga bisa digunakan pada pengobatan untuk

resisten kandidiasis dan bisa dilarutkan dengan 50 mg dalam 500 ml salin steril

(0,1 mg/ml). Krim klotrimazole 1%, krim mikonazole atau ketokonazole 2%,

dan salep nistatin bermanfaat untuk pengobatan Angular cheilitis dan untuk

aplikasi pada basis gigi tiruan ketika ada infeksi kandidiasis pada permukaan

mukosa di bawahnya.

Pengobatan sistemik untuk kandidiasis oral meliputi penggunaan antijamur

imidazol (ketokonazole) dan triazol ( flukonazol dan itrakonazol). Flukonazol

diberikan pada dosis 100-200 mg/hari. Lamanya pengobatan dengan imidazol 12

Page 13: BAB I

oral biasanya sekitar 7-10 hari tetapi pada kasus dengan suspek keterlibatan

esophageal, jangka waktu bisa diperpanjang menjadi 21 hari. Dari berbagai

pedoman terbaru tidak ada petunjuk profilaksis untuk pasien kandidiasis

dengan HIV.

Histoplasmosis

Histoplasmosis adalah penyakit jamur granulamatosa yang disebabkan oleh

Histoplasma kapsulatum. Persentasi klinis beragam mulai dari asimptomatik

atau infeksi paru ringan ke akut atau bentuk kronik luas. Histoplasmosis oral

terlihat sebagai area ulseratif kronik di daerah dorsum lidah, palatum, dasar

mukosa dan vestibular. Infeksi dapat fokal atau beberapa tempat bisa terlibat.

Pada pasien-pasien AIDS, histoplasmosis jarang dapat diobati, tetapi bisa

dikontrol dengan terapi supresif jangka panjang terdiri atas amfoterisin B dan

ketokonazol.

Cryptococcosis

Cryptococcosis merupakan manifestasi oral yang jarang terjadi dan cuma dua

kasus yang pernah dilaporkan pada litelatur. Lesi terdiri oleh ulserasi mukosa

mulut tetapi, dan diagnosa klinis kriptokokus oral mungkin sulit dikarenakan

infeksi mikrobakteria lain dan trauma juga menunjukkan gejala-gejala yang

serupa. Biopsi jaringan juga diperlukan untuk penegakkan diagnosis dan

pengobatan menggunakan amfoterisin B.

3.2 Infeksi Virus

Oral Hairy Leukoplakia

Lesi ini biasanya terlihat pada permukaan lateral lidah, tetapi bisa meluas ke

dorsal dan permukaan ventral (Gambar 2). Lesi bisa berbagai ukuran dan bisa

terlihat seperti striae putih vertikal, berombak-ombak atau seperti plak-plak

13

Page 14: BAB I

berbulu kasar dengan proyeksi rambut terlihat seperti keratin. Pada sebagian besar

kasus bilateral dan asimtomatik. Ketika hal tersebut menjadi ke arah yang tidak

nyaman biasanya dikaitkan dengan infeksi kandidiasis.

Oral Hairy Leukoplakia telah terbukti berhubungan dengan infeksi virus

Epstein Barr local (EBV) dan terjadi paling sering pada pasien dengan limfosit

CD4 kurang dari 200/ μl. Pada Pemeriksaan histologi menunjukkan epitel

hyperplasia yang merupakan ciri khas infeksi EBV. Kondisi ini biasanya tidak

memerlukan tindakan tapi terapi acyclovir oral, podophyllum resin topikal,

retinoid, dan pembedahan.

Gambar 4. Oral Hairy Leukoplakia

Herpes Simpleks Virus (HSV) dan Varicella Zooster.

HSV merupakan penyebab infeksi primer dan rekuren di mukosa mulut.

Infeksi ini dijumpai pada masa kanak-kanak dan setelah lesi pustular awal. Virus

tetap dorman, tapi dalam stadium immunosupresi virus ini dapat menyebabkan

reaktivasi dan dapat menyebabkan berbagai manifestasi. Manifestasi oral,

ditunjukkan oleh ulserasi mukosa yang difus, disertai dengan demam, malaise,

dan limfadenopati servikal. Ulserasi yang mengikuti pecahnya vesikel sangat

sakit dan dapat bertahan selama beberapa minggu. HSV rekuren biasanya muncul

14

Page 15: BAB I

pada mukosa oral yang berkeratin (palatum, dorsum lidah, dan gingiva) sebagai

ulserasi tetapi pada kebanyakan pasien seropositif HIV, aturan ini tidak berlaku.

Pada pasien ini, lesi dapat menunjukkan aspek klinis yang tidak biasa dan

bertahan selama beberapa minggu. Kontak dengan virus varicella zoster (VZV)

dapat menyebabkan varicella (cacar air) sebagai infeksi primer dan herpes zoster

sebagai infeksi yang diaktifkan kembali. Dalam infeksi HIV, herpes zoster sering

menunjukkan keterlibatan nervus cranialis dini dan memberikan prognosis yang

buruk. Mungkin ada keterlibatan beberapa dermatom dan mungkin akan terjadi

infeksi sekunder pada lesi tersebut. Lesi biasanya dikaitkan dengan neuralgia post

herpetic berat.

Cytomegalovirus (CMV)

Cytomegalovirus (CMV) merupakan ulserasi oral berkaitan dengan

komplikasi infeksi HIV. Diagnosis CMV oral didasarkan atas adanya intranuklear

besar dan sitoplasma kecil CMV masuk di dalam sel endotel pada dasar ulserasi.

Infeksi ini biasanya ditunjukkan pada stadium IV dari infeksi ketika terjadi

immunosupresi yang lanjut dengan jumlah CD4 di bawah 50. Saat ini, obat

pilihan untuk infeksi CMV adalah gancyclovir intravena.

Human Papilloma Virus

Pada beberapa pasien dengan infeksi HIV, human papiloma virus (HPV)

menyebabkan hiperplasia jaringan epitel dan jaringan ikat fokal, membentuk kutil

oral. Pada pasien yang terinfeksi HIV, HPV terkait lesi oral memiliki gambaran

papilomatosa, baik menonjol atau tetap, dan terutama berlokasi di palatum,

mukosa bucal, dan commisura labialis. Genotipe yang paling umum ditemukan

dalam mulut pasien dengan infeksi HIV adalah 2, 6, 11, 13, 16, dan 32. Operasi

pengangkatan, dengan atau tanpa irigasi intraoperatif dengan resin podofilum,

adalah pengobatan pilihan.

15

Page 16: BAB I

3.3 Infeksi Bakteri

Lesi oral yang paling umum dikaitkan dengan infeksi bakteri adalah gingivitis

eritema linier, periodontitis ulseratif nekrosis, dan yang lebih jarang, angiomatosis

epithelioid basiler dan sifilis. Pada kasus infeksi periodontal, flora bakteri tidak

berbeda dari individu yang sehat dengan penyakit periodontal. Dengan demikian,

lesi klinis adalah manifestasi dari respon kekebalan tubuh terhadap bakteri

patogen.

Linear Erythematous Gingivitis

Gambaran ini muncul sebagai sebuah pita eritema pada gingival marginal,

seringkali dengan petechiae. Biasanya tidak menunjukkan gejala atau hanya

pendarahan gingiva ringan dan sakit ringan. Pemeriksaan histologis gagal

mengungkapkan respons inflamasi yang signifikan, menunjukkan bahwa lesi

merupakan respons peradangan inkomplit, terutama hanya dengan hiperemia.

Obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat sering mengurangi atau

menghilangkan eritema dan mungkin diperlukan sebagai profilaksis untuk

menghindari kekambuhan.

Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP)

Lesi periodontal ini ditandai dengan nyeri tulang dalam yang menyeluruh,

eritema yang signifikan yang sering dikaitkan dengan perdarahan spontan, dan

destruksi cepat dan progresif dari perlekatan periodontal dan tulang. Destruksi

bersifat progresif dan dapat menyebabkan hilangnya seluruh prosesus alveolaris

di daerah yang terlibat. Ini adalah lesi yang sangat sakit dan dapat mempengaruhi

asupan makanan oral, sehingga berat badan turun secara signifikan dan cepat.

Pasien juga memiliki halitosis parah. Karena mikroflora periodontal tidak berbeda

dari yang terlihat pada pasien sehat. Lesi mungkin merupakan hasil dari respon

16

Page 17: BAB I

kekebalan tubuh yang berubah pada infeksi HIV. Lebih dari 95% pasien dengan

NUP memiliki jumlah limfosit CD4 kurang dari 200/mm3. Pengobatan terdiri

dari obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat 0,12% dua kali sehari,

metronidazol (250 mg per oral empat kali sehari selama 10 hari), dan debridemen

periodontal, yang dilakukan setelah terapi antibiotik lebih dahulu.

Bacillary Epithelioid Angiomatosis (BEA)

Lesi ini tampaknya unik untuk infeksi HIV dan secara klinis sulit dapat

dibedakan dari Sarkoma Kaposi oral (KS). Karena keduanya dapat tampak

eritematosis, massa lunak yang dapat berdarah pada manipulasi lembut,

pemeriksaan biopsi dan histologi diperlukan untuk membedakan BEA dari KS.

Bakteri patogen yang diduga sebagai etiologi, Rochalimaea henselae, dapat

diidentifikasi menggunakan pewarnaan Warthin-Starry. Baik KS dan BEA secara

histologis ditandai oleh saluran pembuluh darah atipikal, ekstravasasi sel darah

merah, dan sel-sel inflamasi. Namun, sel spindel menonjol dan gambaran mitosis

hanya terjadi pada KS. Eritromisin adalah terapi pilihan untuk BEA.

Syphilis

Walau prevalensi infeksi sifilis telah meningkat secara signifikan selama

dekade yang lalu, namun bukan merupakan penyebab umum dari ulserasi

intraoral, meskipun pada infeksi HIV. Gambarannya tidak berbeda dari yang

diamati pada orang sehat; berupa ulkus kronis, sulit sembuh, dalam ulkus soliter

secara klinis sulit dibedakan dari tuberkulosis, infeksi jamur, atau keganasan.

Pemeriksaan lapangan gelap mungkin menunjukkan Treponema. Reaktif plasma

reagen (RPR) positif dan histologis ditemukan Treponema pallidum. Kombinasi

pengobatan dengan penisilin, eritromisin, dan tetrasiklin merupakan pilihan

pengobatan, dosis dan durasi pengobatan tergantung pada ada atau tidaknya

neurosifilis.

17

Page 18: BAB I

3.4 Neoplasma

Kaposi’s Sarcoma

Kaposi’s Sarcoma (KS) adalah keganasan intraoral yang berhubungan dengan

infeksi HIV yang paling sering dijumpai. Lesi berupa makula merah keunguan,

ulkus, atau sebagai nodul atau massa. KS intraoral terjadi pada mukosa yang

berkeratin, tetapi dari 90% kasus yang dilaporkan terjadi pada daerah palatum.

KS biasanya terjadi pada pria homoseksual dan biseksual dan jarang ditemukan

pada wanita yang terinfeksi HIV. Human herpes virus (HHV8) merupakan

kofaktor penting pada KS. Pemeriksaan Histologi diperlukan untuk diagnosis

definitif KS. Tidak ada pengobatan untuk KS. Terapi untuk KS intraoral harus

dimulai dari tanda awal pada lesi, tujuannya adalah mengendalikan ukuran dan

jumlah lesinya. Ketika hanya terdapat beberapa lesi dan ukuran lesi kecil (<1 cm),

kemoterapi intralesi dengan sulfat vinbalstin atau sclerotherapy dengan 3% sulfat

sodium tetradecyl biasanya efektif. Terapi radiasi (800-2000 cGy) diperlukan

untuk lesi yang berukuran besar atau multiple, Stomatitis dan glossitis merupakan

efek samping yang sering dijumpai dari terapi radiasi. Walaupun telah dilaporkan

pada literature asing kejadian tersebut namun insidensi pada pasien India cukup

rendah hanya 9 kasus yang telah dilaporkan sampai saat ini.

Gambar 5. Kaposi’s Sarcoma

18

Page 19: BAB I

Non-Hodgkin’s Lymphoma

Non-Hodgkin’s Lymphoma (NHL) merupakan limfoma yang paling umum

dikaitkan dengan infeksi HIV dan biasanya terlihat pada level akhir dengan

jumlah CD4 limfosit kurang dari 100/mm3. NHL terlihat sebagai massa yang

cepat membesar, jarang berupa ulkus atau plak, dan sering terjadi pada palatum

atau gingiva. Pemeriksaan histologi sangat penting untuk diagnosis dan staging.

Prognosis buruk, dengan kelangsungan hidup rata – rata kurang dari 1 tahun,

meskipun pengobatan dengan berbagai obat kemoterapi.

3.5 Lesi oral terkait imunitas

Pada HIV terjadi penekanan kekebalan imun seluler seiring dengan perjalanan

penyakit tapi pada saat yang bersama ada aktivasi abnormal pada sel imunitas B.

Berbagai gangguan sistem imunitas ini juga menyebabkan berbagai manifestasi

oral.

Ulkus Aptosa

Ulkus Aptosa merupakan kelaianan oral terkait gangguan sistem imun yang

berhubungan dengan HIV, dengan prevalensi sekitar 2-3%. Ulkus aptosa biasanya

soliter besar atau multiple, kronis, ulkus dalam dan sakit sering berlangsung lama

pada populasi seronegatif dan kurang responsif terhadap terapi. Pengobatan

dengan menggunakan steroid topikal seperti clobetasol jika lesi terjangkau atau

deksametason oral rinse jika lesi di daerah yang tidak terjangkau. Terapi sistemik

glukocortikosteroid (prednisone 1 mg/kg) mungkin diperlukan pada kasus ulkus

multiple yang besar dan yang tidak respon pada pengobatan topikal. Terapi

alternatif seperti dapsone 50-100 mg/hari dan thalidomide 200 mg/hari selama 4

minggu perlu dipertimbangkan untuk kasus yang buruk. Ketika obat

immunosupresan digunakan untuk mencegah infeksi jamur atau bakteri,

19

Page 20: BAB I

penggunaan bersamaan dengan obat anti jamur seperti flukonazol, itrakonazol dan

obat anti bakteri seperti glukonat chlorhexidine oral rinse mungkin diperlukan.

Stomatitis nekrotik

Stomatitis nekrotik merupakan ulserasi akut nyeri yang sering mengenai

daerah tulang di bawahnya dan menyebabkan kerusakan jaringan yang cukup

besar. Lesi ini dapat merupakan varian dari ulserasi aphthous, tetapi terjadi di

daerah permukaan atas tulang dan berhubungan dengan kerusakan kekebalan

tubuh yang parah. Lesi dapat juga terjadi didaerah edentulous. Seperti pada

ulserasi aptosa mayor, pengobatan sistemik kortikosteroid atau steroid topical

adalah pilihan untuk pengobatannya.

Xerostomia

Xerostomia umum terjadi pada penyakit HIV, sering sebagai efek samping

dari obat antivirus atau obat lain yang digunakan untuk pasien dengan infeksi

HIV, seperti angiolytics, antijamur, dan lain sebagainya. Kekeringan oral

merupakan faktor resiko yang signifikan untuk karies dan dapat mengakibatkan

kerusakan gigi yang cepat. Xerostomia juga dapat menyebabkan kandidiasis oral,

cedera mukosa, dan disfagia, nyeri dan mengurangi asupan makanan. Pasien yang

memiliki sedikit fungsi kelenjar ludah yang ditentukan oleh gustatory, Pilokarpin

oral dapat meningkatkan laju aliran saliva dan konsistensi. Oral hygiene sangat

perlu dipelihara.

3.6 Penyakit Kelenjar Parotis

Infeksi HIV berhubungan dengan penyakit kelenjar parotis. Ada pembesaran

kelenjar dan berkurangnya aliran sekresi. Secara histologist mungkin ada

infiltrasi epitel limfe dan pembentukan kista jinak. Pembesaran ini melibatkan

ujung dari kelenjar parotis atau yang lebih jarang kelenjar submandibula, dan

20

Page 21: BAB I

dapat uni atau bilateral dengan periode peningkatan dan penurunan ukuran.

Pembesaran ini dapat disangka sebagai keganasan tetapi dalam kasus seperti ini

aspirasi jarum dengan hasil sekresi kuning akan membantu dalam mendiagnosis

dan pada kasus seperti ini biopsi lebih lanjut tidak diperlukan. Kadang bengkak

dapat dikelola hanya dengan aspirasi ulang dan jarang diperlukan pengangkatan

radikal kelenjar. Mekanisme patofisiologi tidak diketahui, meskipun

sitomegalovirus diduga berperan.

21

Page 22: BAB I

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Human Immunodeficiency Virus atau disingkat HIV adalah suatu virus yang

menyerang system kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini disebabkan oleh HIV

yang merupakan virus RNA. Gejalanya seringkali didahului oleh gejala

prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise,

demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan

limfadenopati. Berdasarkan stadiumnya penyakit sitemik HIV ini dibagi menjadi

4 stadium.

Berbagai manifestasi oral di atas yang sering ditemukan pada penderita HIV

yang berhubungan langsung dengan tingkat imunosupresinya, yang dapat

menjadi indikator infeksi HIV dan prediksi perkembangan infeksinya menjadi

AIDS. Penatalaksanaannya meliputi pengobatan anti jamur, anti virus, dan

antibiotik, serta perawatan terhadap gigi dan jaringan pendukungnya, dengan

mempertimbangkan status imunologi. Pencegahan dan pemeriksaan gigi dan

mulut secara rutin juga diperlukan, untuk mempertahankan kesehatan dan

mencapai kualitas hidup yang lebih baik.

4.2 Saran

1. Perlunya lebih dijelaskan mendetail tentang diagnosa dan terapi manifestasi penyakit sistemik HIV.

2. Perlu dijelaskan mengenai prognosa dari manifestasi penyakit sistemik HIV.

22

Page 23: BAB I

DAFTAR PUSTAKA

Brightman V. 1997. Sexually Transmitted and Bloodborne Infection dalam Buku

Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment Edisi 9. Hal: 629-713.

Lippincott-Raven Publisher: Philadelphia.

Cawson dan Odell. 2002. Disease of the Oral Mucosa : Introduction and Mucosal

Infection dalam Buku Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine

Edisi 7. Hal: 178-191. Churchill Livingstone: London.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan

Depkes RI. 2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan

bagi ODHA. Jakarta.

Gomez FJR, Petru A, Hilton JF, Canchola DW, Greenspan JS. 2000. Oral

Manifestations and Dental Status in Paediatric HIV Infection. ;10: 3-11. Journal

of Paediatric Dentistry.

Gomez FR, Flaitz C, Catapano P, et all. 1999. Classification, Diagnostic Criteria,

and Treatment Recommendations for Orofacial Manifestations in HIV-infected

Pediatric Patients. 23(2): 85-96. Journal of Paediatric Dentistry.

Naidoo S, Chikte U. 2004. Oro-facial Manifestations in Paediatric HIV: A

Comparative Study of Institutionalized and Hospital Outpatients. Oral

Disease;10:13-18.

Sardjito R. 2003. Herpesviridae dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.

Binarupa Aksara. Hal: 303-323. Jakarta.

23