BAB I
-
Upload
oktiya-sari -
Category
Documents
-
view
13 -
download
1
description
Transcript of BAB I
BAB IPENDAHULUAN
1.1 PendahuluanInfeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada
anak tahun 1983 di Amerika Serikat yang mempunyai beberapa perbedaan
dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan,
pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko,
metode diagnosis, dan manifestasi oral.
Dampak kasus pada anak terus meningkat, dan saat ini menjadi penyebab
pertama kematian anak di Afrika, dan peringkat keempat penyebab kematian anak
di seluruh dunia. (Naido, 2004) Saat ini World Health Organization (WHO)
memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena HIV(Gomez,
2000).
Kasus pertama HIV di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali, tetapi
penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995 (Depkes RI, 2003).
Data terbaru di Indonesia dari 1 April 1987 sampai 30 Juni 2005 jumlah penderita
HIV/AIDS 7098 orang, terdiri dari 3740 kasus infeksi HIV dan 3358 kasus AIDS
dan kematian terjadi pada 828 orang.
Fakta baru tahun 2002 menunjukkan bahwa penularan infeksi HIV di
Indonesia telah meluas ke rumah tangga, sejumlah 251 orang diantara penderita
HIV/AIDS di atas adalah anak-anak dan remaja, dan transmisi perinatal (dari ibu
kepada anak) terjadi pada 71 kasus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana etiologi dan patofisiologi HIV?
2. Bagaimana manifestasi penyakit sistemik HIV pada rongga mulut?
1.3 Tujuan1. Untuk mengetahui etiologi dan patofisiologi HIV.
1
2. Untuk mengetahui manifestasi penyakit sistemik HIV pada rongga mulut.
1.4 Manfaat
Referat ini diharapkan dapat menjadi tambahan wawasan mengenai penyakit
sistemik HIV dan manifestasinya pada rongga mulut.
2
BAB IIHUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus atau disingkat HIV adalah suatu virus yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan
terhadap berbagai penyakit.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit
retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresif berat
yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi
neurologis. AIDS merupakan suatu kumpulan dari kondisi klinis tertentu yang
merupakan hasil akhir dari infeksi karena HIV. HIV yang dulu disebut sebagai
HTLV-III (Human T cell Lymphotropic Virus III) atau LAV (Lymphadenophaty
Virus) adalah virus sitopatik dari famili retrovirus (Price, 1992).
2.2 Struktur HIV
Virion HIV berbentuk sferis dan memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi
oleh selubung lipid yang berasal dari membran sel hospes. Inti virus mengandung
protein kapsid terbesar yaitu p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA
genom, dan tiga enzim virus yaitu protease, reverse transcriptase dan integrase .
Protein p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan target
antibodi dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein
dinamakan p17, yang merupakan lapisan di bawah selubung lipid. Sedangkan
selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam
proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen
gag, pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi berupa
protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease menjadi protein
mature ( Jawet, 2001).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan kelompok virus RNA :
3
Famili : Retroviridae
Sub famili : Lentivirinae
Genus : Lentivirus
Spesies : Human Immunodeficiency Virus 1 (HIV-1), Human
Immunodeficiency Virus 2 (HIV-2)
HIV menunjukkan banyak gambaran khas fisikokimia dari familinya.
Terdapat dua tipe yang, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe dibedakan
berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik (evolusioner) dengan
lentivirus primata lainnya. Berdasarkan pada deretan gen env, HIV-1 meliputi tiga
kelompok virus yang berbeda yaitu M (main), N (New atau non-M, non-O) dan O
(Outlier). Kelompok M yang dominan terdiri dari 11 subtipe atau clades (A-K).
Telah teridentifikasi 6 subtipe HIV-2 yaitu sub tipe A-F (Jawetz, 2001).
2.3 Penularan
Penyakit HIV ditularkan selama kontak seksual (termasuk seks genital-oral),
melalui paparan parenteral (pada transfusi darah yang terkontaminasi dan
pemakaian bersama jarum suntik/injeksi drugs use) dan dari ibu kepada bayinya
selama masa perinatal. Seseorang yang positif- HIV asimtomatis dapat
menularkan virus, adanya penyakit seksual lainnya seperti sifilis dan gonorhoe
meningkatkan resiko penularan seksual HIV sebanyak seratus kali lebih besar,
karena peradangan membantu pemindahan HIV menembus barier mukosa. Sejak
pertama kali HIV ditemukan, aktivitas homoseksual telah dikenal sebagai faktor
resiko utama tertularnya penyakit ini. Resiko bertambah dengan bertambahnya
jumlah seksual yang berganti- ganti pasangan.
Transfusi darah atau produk darah yang terinfeksi merupakan cara penularan
yang paling efektif. Pengguna obat-obat terlarang seringkali terinfeksi melalui
pemakaian jarum suntik yang terkontaminasi. Paramedis dapat terinfeksi HIV
4
oleh goresan jarum yang terkontaminasi darah, tetapi jumlah infeksi relatif lebih
sedikit.
Angka penularan ibu ke anaknya bervariasi dari 13 % sampai 48% pada
wanita yang tidak diobati. Bayi bisa terinfeksi di dalam rahim, selama proses
persalinan atau yang lebih sering melalui air susu ibu (ASI). Tanpa penularan
melalui ASI, sekitar 30% dari infeksi terjadi di dalam rahim dan 70% saat
kelahiran. Data menunjukkan bahwa sepertiga sampai separuh infeksi HIV
perinatal di Afrika disebabkan oleh ASI. Penularan selama menyusui biasanya
terjadi pada 6 bulan pertama setelah kelahiran (Jawetz, 2001).
2.4 Patogenesis
HIV pertama kali ditemukan oleh sekelompok peneliti yang dikepalai oleh
Luc Montagnier pada tahun 1983, merupakan virus RNA diploid berserat tunggal
(single stranded) berdiameter 100-120nm. HIV memiliki enzim reverse
transcriptase, yang mampu mengubah RNA menjadi DNA pada sel yang
terinfeksi, kemudian berintegrasi dengan DNA sel pejamu dan selanjutnya dapat
berproses untuk replikasi virus.
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen
sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV
menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya,
makrofag, sel dendritik, serta organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara
lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan
pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga
penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah
terinfeksi. Walaupun perjalanan infeksi HIV bervariasi pada setiap individu, telah
dikenal suatu pola umum perjalanan infeksi HIV.
Periode sindrom HIV akut berkembang sekitar 3-6 minggu setelah terinfeksi,
dihubungkan dengan muatan virus yang tinggi diikuti berkembangnya respon
5
selular dan hormonal terhadap virus. Setelah itu penderita HIV mengalami
periode klinis laten (asimptomatis) yang bertahan selama bertahun-tahun, dimana
terjadi penurunan sel T CD4 yang progresif dalam jaringan limfoid. Kemudian
diikuti gejala konstitusional serta tanda-tanda infeksi oportunistik atau neoplasma
yang memasuki periode AIDS (Gambar 1).
Patogenesis infeksi HIV pada anak berbeda dengan orang dewasa, ditandai
lebih tingginya kadar muatan virus, progresi penyakit lebih cepat. Manifestasi
yang berbeda mungkin berhubungan dengan sistem imun yang belum matang
(imature), mengakibatkan berubahnya respon pejamu terhadap infeksi HIV.
Perkembangan infeksi HIV pada bayi dan anak tidak dapat ditentukan dengan
pasti, sekitar 15-20% mempunyai perjalanan penyakit yang cepat dengan AIDS
dan kematian di dalam 4(empat) tahun pertama.
6
Gambar 1. Imunopatogenesis infeksi HIV.
2.5 Gejala Klinis
Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam
kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan
7
supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat
yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma
Kaposi).
Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise,
demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan , dari esophagus
sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval
antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada
orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).
WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi
HIV/AIDS, sebagai berikut :
Tabel 1. Stadium Klinik HIV
Stadium 1 Asimtomatik
Tidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan berat badan 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka disekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo-PPE (Pruritic papulareruption))Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
8
Kandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/ Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (HB < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopeni kronis(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)Pneumonia pnemosistis, pnemoni bacterial yang berat berulangHerpes simpleks ulseratif lebih dari satu bulanKandidosis esophagealTB ExtraparuSarcoma KaposiRetinitis CMV (Cytomegalovirus)Abses otak ToksoplasmosisEncefalopati HIVMeningitis KriptokokusInfeksi mikobakteria non-TB meluasLekoensefalopati multifocal progresif (PML)Peniciliosis, kriptosporidosis kronis, isosporiasis kronis, mikosismeluas, histoplasmosis ekstra paru, cocidiodomikosis)Limfoma serebral atau B-cell, non-Hodgkin (gangguan fungsineurologis dan tidak sebab lain seringkali membaik dengan terapiARV)Kanker serviks invasiveLeismaniasis atipik meluasGejala neuropati atau kardiomiopati terkait HIV
9
BAB IIIMANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK HIV
PADA RONGGA MULUT
Penyakit HIV memberikan efek di seluruh bagian tubuh. Secara klinis tidaklah
mudah bagi petugas kesehatan untuk mendiagnosa atau mengobati penyakit yang
sangat ditakuti ini beserta manifestasinya. Perlu diperhatikan untuk berhati – hati
terhadap berbagai bentuk gejala dan manifestasi dari HIV.
Kesehatan mulut merupakan komponen penting dalam menjaga kesehatan pada
orang yang terkena infeksi HIV. Kewaspadaan terhadap variasi kelainan di mulut
yang mungkin muncul sepanjang perjalanan penyakit HIV dan kerja sama yang baik
antara dokter dan dokter gigi dapat meningkatkan pelayanan kesehatan pasien secara
menyeluruh. Manifestasi oral HIV – AIDS mempunyai spektrum yang cepat.
Manifestasi HIV – AIDS terhadap mulut ditemukan pada sekitar 30 – 80 % populasi
pasien.
Variasi manifestasi oral yang ditemukan dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Infeksi: bakteri, jamur, virus
2. Keganasan : sarkoma kaposi, lymphoma non Hodgkin
3. Proses inflamasi : stomatitis nekrotik, ulkus aptosa mayor
4. Lain – lain : parotitis, kekurangan nutrisi, xerostomia
5. Manifestasi mulut lainnya akibat efek samping terapi anti viral
Tidak ada lesi oral khusus yang hanya berkaitan dengan HIV – AIDS, tapi terdapat
manifestasi oral tertentu seperti kandidiasis, hairy leukoplakia oral yang sering sekali
ditemukan dan dipertimbangkan.
3.1 Infeksi Jamur
Kandidiasis
Kandidiasis mulut atau faring adalah infeksi jamur yang sering dijumpai
sebagai manifestasi awal oleh HIV. Kebanyakan pasien juga didapatkan
10
kandidiasis di esophagus. Biasa tampak bila jumlah CD4 kurang dari 300/uL.
Spesies tersering penyebab kandidiasis adalah Candida Albicans walaupun jenis
non albicans juga dapat ditemukan. Terdapat empat bentuk yang sering
ditemukan pada kandidiasis mulut yaitu : kandidiasis erythematosa, kandidiasis
pseudomembran, cheilitis angularis, dan hiperplasitik atau kandidiasis kronis
1. Kandidiasis eritematosa memberikan gambaran lesi kemerahan, pipih,
lesi dibagian dorsal lidah dan atau di daerah palatum durum atau palatum
molle. Pasien datang dengan keluhan rasa terbakar di mulut seperti saat makan
makanan yang asin atau berbumbu. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan fisik dengan preparasi kalium hidroksida memperlihatkan hifa
dari jamur sebagai konfirmasi diagnosis
2. Kandidiasis pseudomembranosa memberikan gambaran plak lunak
berwarna putih pada daerah mukosa bukal , lidah, dan permukaan mukosa
mulut lainnya, dapat diangkat, meninggalkan dasar kemerahan atau berdarah.
Gambar 2. Kandidiasis Pseudomembranosa
3. Cheilitis angularis merupakan eritema dan gambaran seperti pecah-
pecah di sudut mulut. Cheilitis angularis dapat timbul dengan atau tanpa
disertai kandidiasis eritematosa atau kandidiasis pseudomembranosa.
4. Hiperplastik atau kandidiasis kronis memberikan gambaran plak putih
yang tidak dapat diangkat di seluruh permukaan mukosa.
11
Gambar 3. Kandidiasis Hiperplastik
Kandidiasis oral dapat meluas meliputi faring, laring, dan juga esophagus.
Pengobatan kandidiasis oral tergantung dari tipe klinik, distribusi, dan derajat
keparahan infeksi. Pengobatan topikal efektif untuk mengatasi dan mengurangi
lesi. Klotrimazole troches, nistatin pastilles, dan suspense nistatin oral efektif
untuk kandidiasis eritematosa ringan ke sedang dan kandidiasis
pseudomembran. Bagaimanapun, cara penggunaan obat-obat ini bila
berkepanjangan harus diperhatikan karena dapat menyebabkan gigi karies yang
disebabkan oleh fermentasi subtrat karbohidrat yang ada didalam
kandungannya. Peningkatan resiko karies bisa dihindari dengan menggunakan
nistatin oral (100.000 unit/5 ml, kumur di mulut, 3 x sehari). Klorhexidin
0,12% oral tidak mengandung suatu substrat yang kariogenik dan mungkin
juga efektif.
Amphoterisin B topikal juga bisa digunakan pada pengobatan untuk
resisten kandidiasis dan bisa dilarutkan dengan 50 mg dalam 500 ml salin steril
(0,1 mg/ml). Krim klotrimazole 1%, krim mikonazole atau ketokonazole 2%,
dan salep nistatin bermanfaat untuk pengobatan Angular cheilitis dan untuk
aplikasi pada basis gigi tiruan ketika ada infeksi kandidiasis pada permukaan
mukosa di bawahnya.
Pengobatan sistemik untuk kandidiasis oral meliputi penggunaan antijamur
imidazol (ketokonazole) dan triazol ( flukonazol dan itrakonazol). Flukonazol
diberikan pada dosis 100-200 mg/hari. Lamanya pengobatan dengan imidazol 12
oral biasanya sekitar 7-10 hari tetapi pada kasus dengan suspek keterlibatan
esophageal, jangka waktu bisa diperpanjang menjadi 21 hari. Dari berbagai
pedoman terbaru tidak ada petunjuk profilaksis untuk pasien kandidiasis
dengan HIV.
Histoplasmosis
Histoplasmosis adalah penyakit jamur granulamatosa yang disebabkan oleh
Histoplasma kapsulatum. Persentasi klinis beragam mulai dari asimptomatik
atau infeksi paru ringan ke akut atau bentuk kronik luas. Histoplasmosis oral
terlihat sebagai area ulseratif kronik di daerah dorsum lidah, palatum, dasar
mukosa dan vestibular. Infeksi dapat fokal atau beberapa tempat bisa terlibat.
Pada pasien-pasien AIDS, histoplasmosis jarang dapat diobati, tetapi bisa
dikontrol dengan terapi supresif jangka panjang terdiri atas amfoterisin B dan
ketokonazol.
Cryptococcosis
Cryptococcosis merupakan manifestasi oral yang jarang terjadi dan cuma dua
kasus yang pernah dilaporkan pada litelatur. Lesi terdiri oleh ulserasi mukosa
mulut tetapi, dan diagnosa klinis kriptokokus oral mungkin sulit dikarenakan
infeksi mikrobakteria lain dan trauma juga menunjukkan gejala-gejala yang
serupa. Biopsi jaringan juga diperlukan untuk penegakkan diagnosis dan
pengobatan menggunakan amfoterisin B.
3.2 Infeksi Virus
Oral Hairy Leukoplakia
Lesi ini biasanya terlihat pada permukaan lateral lidah, tetapi bisa meluas ke
dorsal dan permukaan ventral (Gambar 2). Lesi bisa berbagai ukuran dan bisa
terlihat seperti striae putih vertikal, berombak-ombak atau seperti plak-plak
13
berbulu kasar dengan proyeksi rambut terlihat seperti keratin. Pada sebagian besar
kasus bilateral dan asimtomatik. Ketika hal tersebut menjadi ke arah yang tidak
nyaman biasanya dikaitkan dengan infeksi kandidiasis.
Oral Hairy Leukoplakia telah terbukti berhubungan dengan infeksi virus
Epstein Barr local (EBV) dan terjadi paling sering pada pasien dengan limfosit
CD4 kurang dari 200/ μl. Pada Pemeriksaan histologi menunjukkan epitel
hyperplasia yang merupakan ciri khas infeksi EBV. Kondisi ini biasanya tidak
memerlukan tindakan tapi terapi acyclovir oral, podophyllum resin topikal,
retinoid, dan pembedahan.
Gambar 4. Oral Hairy Leukoplakia
Herpes Simpleks Virus (HSV) dan Varicella Zooster.
HSV merupakan penyebab infeksi primer dan rekuren di mukosa mulut.
Infeksi ini dijumpai pada masa kanak-kanak dan setelah lesi pustular awal. Virus
tetap dorman, tapi dalam stadium immunosupresi virus ini dapat menyebabkan
reaktivasi dan dapat menyebabkan berbagai manifestasi. Manifestasi oral,
ditunjukkan oleh ulserasi mukosa yang difus, disertai dengan demam, malaise,
dan limfadenopati servikal. Ulserasi yang mengikuti pecahnya vesikel sangat
sakit dan dapat bertahan selama beberapa minggu. HSV rekuren biasanya muncul
14
pada mukosa oral yang berkeratin (palatum, dorsum lidah, dan gingiva) sebagai
ulserasi tetapi pada kebanyakan pasien seropositif HIV, aturan ini tidak berlaku.
Pada pasien ini, lesi dapat menunjukkan aspek klinis yang tidak biasa dan
bertahan selama beberapa minggu. Kontak dengan virus varicella zoster (VZV)
dapat menyebabkan varicella (cacar air) sebagai infeksi primer dan herpes zoster
sebagai infeksi yang diaktifkan kembali. Dalam infeksi HIV, herpes zoster sering
menunjukkan keterlibatan nervus cranialis dini dan memberikan prognosis yang
buruk. Mungkin ada keterlibatan beberapa dermatom dan mungkin akan terjadi
infeksi sekunder pada lesi tersebut. Lesi biasanya dikaitkan dengan neuralgia post
herpetic berat.
Cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus (CMV) merupakan ulserasi oral berkaitan dengan
komplikasi infeksi HIV. Diagnosis CMV oral didasarkan atas adanya intranuklear
besar dan sitoplasma kecil CMV masuk di dalam sel endotel pada dasar ulserasi.
Infeksi ini biasanya ditunjukkan pada stadium IV dari infeksi ketika terjadi
immunosupresi yang lanjut dengan jumlah CD4 di bawah 50. Saat ini, obat
pilihan untuk infeksi CMV adalah gancyclovir intravena.
Human Papilloma Virus
Pada beberapa pasien dengan infeksi HIV, human papiloma virus (HPV)
menyebabkan hiperplasia jaringan epitel dan jaringan ikat fokal, membentuk kutil
oral. Pada pasien yang terinfeksi HIV, HPV terkait lesi oral memiliki gambaran
papilomatosa, baik menonjol atau tetap, dan terutama berlokasi di palatum,
mukosa bucal, dan commisura labialis. Genotipe yang paling umum ditemukan
dalam mulut pasien dengan infeksi HIV adalah 2, 6, 11, 13, 16, dan 32. Operasi
pengangkatan, dengan atau tanpa irigasi intraoperatif dengan resin podofilum,
adalah pengobatan pilihan.
15
3.3 Infeksi Bakteri
Lesi oral yang paling umum dikaitkan dengan infeksi bakteri adalah gingivitis
eritema linier, periodontitis ulseratif nekrosis, dan yang lebih jarang, angiomatosis
epithelioid basiler dan sifilis. Pada kasus infeksi periodontal, flora bakteri tidak
berbeda dari individu yang sehat dengan penyakit periodontal. Dengan demikian,
lesi klinis adalah manifestasi dari respon kekebalan tubuh terhadap bakteri
patogen.
Linear Erythematous Gingivitis
Gambaran ini muncul sebagai sebuah pita eritema pada gingival marginal,
seringkali dengan petechiae. Biasanya tidak menunjukkan gejala atau hanya
pendarahan gingiva ringan dan sakit ringan. Pemeriksaan histologis gagal
mengungkapkan respons inflamasi yang signifikan, menunjukkan bahwa lesi
merupakan respons peradangan inkomplit, terutama hanya dengan hiperemia.
Obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat sering mengurangi atau
menghilangkan eritema dan mungkin diperlukan sebagai profilaksis untuk
menghindari kekambuhan.
Necrotizing Ulcerative Periodontitis (NUP)
Lesi periodontal ini ditandai dengan nyeri tulang dalam yang menyeluruh,
eritema yang signifikan yang sering dikaitkan dengan perdarahan spontan, dan
destruksi cepat dan progresif dari perlekatan periodontal dan tulang. Destruksi
bersifat progresif dan dapat menyebabkan hilangnya seluruh prosesus alveolaris
di daerah yang terlibat. Ini adalah lesi yang sangat sakit dan dapat mempengaruhi
asupan makanan oral, sehingga berat badan turun secara signifikan dan cepat.
Pasien juga memiliki halitosis parah. Karena mikroflora periodontal tidak berbeda
dari yang terlihat pada pasien sehat. Lesi mungkin merupakan hasil dari respon
16
kekebalan tubuh yang berubah pada infeksi HIV. Lebih dari 95% pasien dengan
NUP memiliki jumlah limfosit CD4 kurang dari 200/mm3. Pengobatan terdiri
dari obat kumur yang mengandung klorheksidin glukonat 0,12% dua kali sehari,
metronidazol (250 mg per oral empat kali sehari selama 10 hari), dan debridemen
periodontal, yang dilakukan setelah terapi antibiotik lebih dahulu.
Bacillary Epithelioid Angiomatosis (BEA)
Lesi ini tampaknya unik untuk infeksi HIV dan secara klinis sulit dapat
dibedakan dari Sarkoma Kaposi oral (KS). Karena keduanya dapat tampak
eritematosis, massa lunak yang dapat berdarah pada manipulasi lembut,
pemeriksaan biopsi dan histologi diperlukan untuk membedakan BEA dari KS.
Bakteri patogen yang diduga sebagai etiologi, Rochalimaea henselae, dapat
diidentifikasi menggunakan pewarnaan Warthin-Starry. Baik KS dan BEA secara
histologis ditandai oleh saluran pembuluh darah atipikal, ekstravasasi sel darah
merah, dan sel-sel inflamasi. Namun, sel spindel menonjol dan gambaran mitosis
hanya terjadi pada KS. Eritromisin adalah terapi pilihan untuk BEA.
Syphilis
Walau prevalensi infeksi sifilis telah meningkat secara signifikan selama
dekade yang lalu, namun bukan merupakan penyebab umum dari ulserasi
intraoral, meskipun pada infeksi HIV. Gambarannya tidak berbeda dari yang
diamati pada orang sehat; berupa ulkus kronis, sulit sembuh, dalam ulkus soliter
secara klinis sulit dibedakan dari tuberkulosis, infeksi jamur, atau keganasan.
Pemeriksaan lapangan gelap mungkin menunjukkan Treponema. Reaktif plasma
reagen (RPR) positif dan histologis ditemukan Treponema pallidum. Kombinasi
pengobatan dengan penisilin, eritromisin, dan tetrasiklin merupakan pilihan
pengobatan, dosis dan durasi pengobatan tergantung pada ada atau tidaknya
neurosifilis.
17
3.4 Neoplasma
Kaposi’s Sarcoma
Kaposi’s Sarcoma (KS) adalah keganasan intraoral yang berhubungan dengan
infeksi HIV yang paling sering dijumpai. Lesi berupa makula merah keunguan,
ulkus, atau sebagai nodul atau massa. KS intraoral terjadi pada mukosa yang
berkeratin, tetapi dari 90% kasus yang dilaporkan terjadi pada daerah palatum.
KS biasanya terjadi pada pria homoseksual dan biseksual dan jarang ditemukan
pada wanita yang terinfeksi HIV. Human herpes virus (HHV8) merupakan
kofaktor penting pada KS. Pemeriksaan Histologi diperlukan untuk diagnosis
definitif KS. Tidak ada pengobatan untuk KS. Terapi untuk KS intraoral harus
dimulai dari tanda awal pada lesi, tujuannya adalah mengendalikan ukuran dan
jumlah lesinya. Ketika hanya terdapat beberapa lesi dan ukuran lesi kecil (<1 cm),
kemoterapi intralesi dengan sulfat vinbalstin atau sclerotherapy dengan 3% sulfat
sodium tetradecyl biasanya efektif. Terapi radiasi (800-2000 cGy) diperlukan
untuk lesi yang berukuran besar atau multiple, Stomatitis dan glossitis merupakan
efek samping yang sering dijumpai dari terapi radiasi. Walaupun telah dilaporkan
pada literature asing kejadian tersebut namun insidensi pada pasien India cukup
rendah hanya 9 kasus yang telah dilaporkan sampai saat ini.
Gambar 5. Kaposi’s Sarcoma
18
Non-Hodgkin’s Lymphoma
Non-Hodgkin’s Lymphoma (NHL) merupakan limfoma yang paling umum
dikaitkan dengan infeksi HIV dan biasanya terlihat pada level akhir dengan
jumlah CD4 limfosit kurang dari 100/mm3. NHL terlihat sebagai massa yang
cepat membesar, jarang berupa ulkus atau plak, dan sering terjadi pada palatum
atau gingiva. Pemeriksaan histologi sangat penting untuk diagnosis dan staging.
Prognosis buruk, dengan kelangsungan hidup rata – rata kurang dari 1 tahun,
meskipun pengobatan dengan berbagai obat kemoterapi.
3.5 Lesi oral terkait imunitas
Pada HIV terjadi penekanan kekebalan imun seluler seiring dengan perjalanan
penyakit tapi pada saat yang bersama ada aktivasi abnormal pada sel imunitas B.
Berbagai gangguan sistem imunitas ini juga menyebabkan berbagai manifestasi
oral.
Ulkus Aptosa
Ulkus Aptosa merupakan kelaianan oral terkait gangguan sistem imun yang
berhubungan dengan HIV, dengan prevalensi sekitar 2-3%. Ulkus aptosa biasanya
soliter besar atau multiple, kronis, ulkus dalam dan sakit sering berlangsung lama
pada populasi seronegatif dan kurang responsif terhadap terapi. Pengobatan
dengan menggunakan steroid topikal seperti clobetasol jika lesi terjangkau atau
deksametason oral rinse jika lesi di daerah yang tidak terjangkau. Terapi sistemik
glukocortikosteroid (prednisone 1 mg/kg) mungkin diperlukan pada kasus ulkus
multiple yang besar dan yang tidak respon pada pengobatan topikal. Terapi
alternatif seperti dapsone 50-100 mg/hari dan thalidomide 200 mg/hari selama 4
minggu perlu dipertimbangkan untuk kasus yang buruk. Ketika obat
immunosupresan digunakan untuk mencegah infeksi jamur atau bakteri,
19
penggunaan bersamaan dengan obat anti jamur seperti flukonazol, itrakonazol dan
obat anti bakteri seperti glukonat chlorhexidine oral rinse mungkin diperlukan.
Stomatitis nekrotik
Stomatitis nekrotik merupakan ulserasi akut nyeri yang sering mengenai
daerah tulang di bawahnya dan menyebabkan kerusakan jaringan yang cukup
besar. Lesi ini dapat merupakan varian dari ulserasi aphthous, tetapi terjadi di
daerah permukaan atas tulang dan berhubungan dengan kerusakan kekebalan
tubuh yang parah. Lesi dapat juga terjadi didaerah edentulous. Seperti pada
ulserasi aptosa mayor, pengobatan sistemik kortikosteroid atau steroid topical
adalah pilihan untuk pengobatannya.
Xerostomia
Xerostomia umum terjadi pada penyakit HIV, sering sebagai efek samping
dari obat antivirus atau obat lain yang digunakan untuk pasien dengan infeksi
HIV, seperti angiolytics, antijamur, dan lain sebagainya. Kekeringan oral
merupakan faktor resiko yang signifikan untuk karies dan dapat mengakibatkan
kerusakan gigi yang cepat. Xerostomia juga dapat menyebabkan kandidiasis oral,
cedera mukosa, dan disfagia, nyeri dan mengurangi asupan makanan. Pasien yang
memiliki sedikit fungsi kelenjar ludah yang ditentukan oleh gustatory, Pilokarpin
oral dapat meningkatkan laju aliran saliva dan konsistensi. Oral hygiene sangat
perlu dipelihara.
3.6 Penyakit Kelenjar Parotis
Infeksi HIV berhubungan dengan penyakit kelenjar parotis. Ada pembesaran
kelenjar dan berkurangnya aliran sekresi. Secara histologist mungkin ada
infiltrasi epitel limfe dan pembentukan kista jinak. Pembesaran ini melibatkan
ujung dari kelenjar parotis atau yang lebih jarang kelenjar submandibula, dan
20
dapat uni atau bilateral dengan periode peningkatan dan penurunan ukuran.
Pembesaran ini dapat disangka sebagai keganasan tetapi dalam kasus seperti ini
aspirasi jarum dengan hasil sekresi kuning akan membantu dalam mendiagnosis
dan pada kasus seperti ini biopsi lebih lanjut tidak diperlukan. Kadang bengkak
dapat dikelola hanya dengan aspirasi ulang dan jarang diperlukan pengangkatan
radikal kelenjar. Mekanisme patofisiologi tidak diketahui, meskipun
sitomegalovirus diduga berperan.
21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Human Immunodeficiency Virus atau disingkat HIV adalah suatu virus yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini disebabkan oleh HIV
yang merupakan virus RNA. Gejalanya seringkali didahului oleh gejala
prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise,
demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan
limfadenopati. Berdasarkan stadiumnya penyakit sitemik HIV ini dibagi menjadi
4 stadium.
Berbagai manifestasi oral di atas yang sering ditemukan pada penderita HIV
yang berhubungan langsung dengan tingkat imunosupresinya, yang dapat
menjadi indikator infeksi HIV dan prediksi perkembangan infeksinya menjadi
AIDS. Penatalaksanaannya meliputi pengobatan anti jamur, anti virus, dan
antibiotik, serta perawatan terhadap gigi dan jaringan pendukungnya, dengan
mempertimbangkan status imunologi. Pencegahan dan pemeriksaan gigi dan
mulut secara rutin juga diperlukan, untuk mempertahankan kesehatan dan
mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
4.2 Saran
1. Perlunya lebih dijelaskan mendetail tentang diagnosa dan terapi manifestasi penyakit sistemik HIV.
2. Perlu dijelaskan mengenai prognosa dari manifestasi penyakit sistemik HIV.
22
DAFTAR PUSTAKA
Brightman V. 1997. Sexually Transmitted and Bloodborne Infection dalam Buku
Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment Edisi 9. Hal: 629-713.
Lippincott-Raven Publisher: Philadelphia.
Cawson dan Odell. 2002. Disease of the Oral Mucosa : Introduction and Mucosal
Infection dalam Buku Cawson’s Essentials of Oral Pathology and Oral Medicine
Edisi 7. Hal: 178-191. Churchill Livingstone: London.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan
Depkes RI. 2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
bagi ODHA. Jakarta.
Gomez FJR, Petru A, Hilton JF, Canchola DW, Greenspan JS. 2000. Oral
Manifestations and Dental Status in Paediatric HIV Infection. ;10: 3-11. Journal
of Paediatric Dentistry.
Gomez FR, Flaitz C, Catapano P, et all. 1999. Classification, Diagnostic Criteria,
and Treatment Recommendations for Orofacial Manifestations in HIV-infected
Pediatric Patients. 23(2): 85-96. Journal of Paediatric Dentistry.
Naidoo S, Chikte U. 2004. Oro-facial Manifestations in Paediatric HIV: A
Comparative Study of Institutionalized and Hospital Outpatients. Oral
Disease;10:13-18.
Sardjito R. 2003. Herpesviridae dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Binarupa Aksara. Hal: 303-323. Jakarta.
23