BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki...

26
15 15 BAB I PENDAHULUAN Bagian ini menguraikan pokok-pokok pikiran seputar hubungan antara demokrasi dengan pembangunan anggaran kehidupan beragama pasca Reformasi sebagai pendahuluan. Pertanyaan kucinya apakah kebijakan anggaran kehidupan beragama di Indonesia telah memenuhi prasyarat penganggaran yang demokratis dalam bingkai twin toleration” menurut kerangka konseptual Alfred Stepan? Hal ini menjadi penting untuk memahami model politik agama di Indonesia. Bab ini secara berurutan menjelaskan seputar latar belakang permasalahan, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi kepustakaan, kerangka teoritis dan metode penelitian serta sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Masalah Fitur permanen demokrasi adalah kemajemukan. Maka isu utama dalam negara yang demokratis adalah bagaimana mengelola kemajemukan tersebut? (Rawls, 2007:765). Dalam kaitan dengan isu demokrasi, tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedang menuju demokratisasi yang lebih mapan dan terkonsolidasi. Sebagai layaknya negara dalam kondisi transisi, Indonesia dihadapkan dengan dua momen kritis (critical juncture). Satu sisi demokrasi menyediakan ruang pertarungan bebas bagi setiap kekuatan politik untuk mengekpresikan pandangan dan sikap politiknya, namun pada sisi lainnya, adanya

Transcript of BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki...

Page 1: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

15

15

BAB I

PENDAHULUAN Bagian ini menguraikan pokok-pokok pikiran seputar hubungan antara demokrasi

dengan pembangunan anggaran kehidupan beragama pasca Reformasi sebagai

pendahuluan. Pertanyaan kucinya apakah kebijakan anggaran kehidupan beragama di

Indonesia telah memenuhi prasyarat penganggaran yang demokratis dalam bingkai

“ twin toleration” menurut kerangka konseptual Alfred Stepan? Hal ini menjadi

penting untuk memahami model politik agama di Indonesia. Bab ini secara berurutan

menjelaskan seputar latar belakang permasalahan, batasan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, studi kepustakaan, kerangka teoritis dan metode penelitian serta

sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Fitur permanen demokrasi adalah kemajemukan. Maka isu utama dalam negara yang

demokratis adalah bagaimana mengelola kemajemukan tersebut? (Rawls, 2007:765).

Dalam kaitan dengan isu demokrasi, tidak bisa dipungkiri Indonesia adalah negara

berpenduduk muslim terbesar di dunia, sedang menuju demokratisasi yang lebih

mapan dan terkonsolidasi. Sebagai layaknya negara dalam kondisi transisi, Indonesia

dihadapkan dengan dua momen kritis (critical juncture). Satu sisi demokrasi

menyediakan ruang pertarungan bebas bagi setiap kekuatan politik untuk

mengekpresikan pandangan dan sikap politiknya, namun pada sisi lainnya, adanya

Page 2: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

16

16

ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan

demokrasi. Antara lain munculnya kelompok anti demokrasi yang ingin mengambil

alih kekuasaan di luar prosedur demokrasi (Stepan, 2001:297; Fauzi, 2014:65).

Dalam konteks demokratisasi di Indonesia, meskipun bukan faktor utama,

agama-agama terutama Islam selalu memainkan peran besar dalam setiap tahapan

transisi tersebut. Robert W. Hefner menyebutkan bahwa Indonesia sejak berdirinya

tahun 1945, telah mengalami pertarungan sengit antara kelompok nasionalis non

agamis yang berkeinginan mengakomodasi banyak agama (“multiconfessional”),

dengan kelompok-kelompok Muslim yang menginginkan agamanya menjadi

“perkakas” negara untuk mewujudkan impian, guna menperteguh kesalehan Islami,

bagi sebagian masyarakat yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim (Hefner,

2014:25).

Sementara itu, dalam perspektif demokrasi, keberagaman ekspresi, termasuk

dari kelompok Islam seperti yang disebut Hafner di atas, merupakan sesuatu yang

dijamin keabsahannya. Sehingga di dalam mengelola keberagaman ekspresi tersebut,

prinsip pokok yang harus dikembangkan adalah bagaimana negara melindungi dan

mengakomodasi hak-hak kelompok minoritas dalam konstitusi yang demokratis?

(Shachar, 1998:12). Minoritas dalam pengertian di sini bisa disebabkan karena faktor

agama, kelompok keyakinan, etnis, jenis kelamin termasuk perbedaan orientasi

seksual dan sebagainya. Oleh sebab itu agar kelompok-kelompok minoritas dapat

terlindungi dan terakomodasi kepentingannya, kelompok “mayoritas” tidak dapat

Page 3: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

17

17

memaksakan kehendaknya menuntut perlakuan istimewa dari negara, atau yang oleh

Stepan disebut “privileged prerogatives” (Stepan, 2001:116; Hashemi, 2002:201).

Oleh karena itu di dalam demokrasi, pemerintah yang terpilih secara

demokratis harus memerintah secara konstitusional sehingga tidak ada kelompok-

kelompok yang terdominasi atau tersingkir atas desakan kelompok dominan (An-

Na’im, 2007:22). Tegasnya, dalam demokrasi setiap warga negara dengan berbagai

latar belakangnya, memiliki hak yang setara (equal) untuk berpendapat dan dalam

merencanakan kebijakan publik yang akan mempengaruhi kehidupan mereka.

Termasuk dalam konteks ini, kelompok-kelompok yang berbeda dapat diperlakukan

secara berbeda karena perbedaan identitasnya (Bagir, dkk, 2011:61). Itu sebabnya

institusi-institusi, baik pemerintah maupun non-pemerintah, seperti agama seharusnya

tidak memiliki keistimewaan dalam konstitusi untuk mendikte dan/atau memveto

keputusan yang telah dibuat oleh pemerintah yang dipemilih secara demokratis

(Stepan, 2001:116).

Dalam konteks inilah untuk merawat kemurnian demokrasi, negara harus

membangun jarak yang bermartabat terhadap agama-agama. Pentingnya negara

membangun jarak bermartabat terhadap agama-agama tersebut, oleh An-Na’im

disebut sebagai “the neutrality religion of the state” (An-Na’im, 2000:1). Pentingnya

menjaga jarak antara agama—negara, bukan dimaksudkan untuk meminggirkan

agama-agama dalam ruang privat atau melakukan pemisahan antara agama dan

negara secara ketat seperti dalam pengertian “sekulerisme klasik”. Netralitas negara

terhadap agama dimaksudkan agar antara negara dan agama dapat membangun jarak

Page 4: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

18

18

yang berprinsip atau “principled distance” (Bhargava,2011:1). Dengan membangun

jarak berprinsip, antara negara dan agama tidak akan saling mengintervensi sekaligus

tidak akan mendiskriminasi disebabkan keberpihan terhadap satu agama atau

golongan. Jarak berprinsip atau principle distanced oleh Rajeev Bhargava disebut

dimaknasi sebagai jarak yang bermartabat, dimana antara agama dan negara saling

memiliki posisi tawar dalam mekanisme check and balance (Bhargava,2011:1;

Stepan, 2012:126: An-Na’im, 2011:1).

Pertanyaanya adalah, mengapa antara agama dan negara harus membangun

jarak berprinsip? Setidaknya ada dua alasan penting. Pertama, mendiskusikan

demokrasi tidak harus sekularisme dalam pengertian memisahkan antara agama

dengan negara. Sekularisme bukanlah hal yang intrinsik dalam demokrasi. Yang

intrinsik justru negara--agama harus membangun “twin toleration” atau toleransi

kembar (Stepan, 2000). Gagasan dasar dari twin toleration menurut Stepan

didefinisikan sebagai batas-batas minimal dan kebebasan bertindak bagi organisasi-

organisasi keagamaan (Stepan: 2000:37). Kedua, bahwa penyapihan agama—negara

secara ketat selain tidak diperlukan juga pada dasarnya akan ditolak oleh agama

apapun, terutama bagi negara-negara mayoritas Islam (An-Na’im, 2007:24).

Berkaitan erat dengan pentingnya negara membangun jarak berprinsip dalam

kerangka teori twin toleration, sebagai prasyarat menuju demokrasi yang lebih adil.

Penulis hendak menggunakannya sebagai alat peneropong kebijakan kehidupan

beragama di Indonesia pasca Reformasi, khususnya terkait kebijakan pengangaran

(budgeting) kehidupan beragama. Gagasan pokoknya adalah apakah kebijakan

Page 5: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

19

19

anggaran kehidupan beragama di Indonesia telah memenuhi prasyarat penganggaran

yang demokratis dalam bingkai “twin toleration”? Hal ini menjadi penting untuk

memahami model politik agama beragama di Indonesia.

Sebagaimana menjadi pemahaman bersama, agama bagi masyarakat

Indonesia merupakan kenyataan yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya, oleh

sebab karakteristik masyarakatnya yang “religius”, Pemerintah Indonesia sejak zaman

Kolonial, era Orde Lama dan Orde Baru maupun era Reformasi saat ini, telah

menyusun berbagai produk kebijakan terkait dengan kehidupan beragama termasuk

mendukung pendanaan bagi pengembangan aktivitas keagamaannya (Shihab,

1998:37). Dalam catatan Daniel Dhakidae misalnya, salah satu kebijakan pemerintah

Kolonial Belanda yang sangat penting adalah kebijakan di bidang agama, dan dari

semua kebijakan agama yang terpenting adalah kebijakan politik terhadap Islam yang

ia katakan sebagai “Islamic politicy” (Dhakidae, 2003:530).

Adapun bentuk kongkrit dari kebijakan politik agama pada masa kolonial

Belanda adalah dibentuknya Kantor Urusan Pribumi (Kantoor Voor Inlandsche

Zaken). Melalui kantor inilah semua kebijakan politik menyangkut relasi sosial

keagamaan dengan pribumi dikelola dengan sistematik dan modern, yang jejaknya

dapat dilihat hingga saat ini (Saidi, dkk, 2004:33-34). Di sini dapat dilihat bahwa

pemerintahan kolonial dalam Kantor Urusan Pribumi menjadikan Islam sebagai

perioritas perhatian.

Paska kemerdekaan menurut Dhakidae, baik Presiden Soekarno maupun

Soeharto masih melanjutkan kebijakan pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan

Page 6: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

20

20

Dhakidae menyebut Soekarno dan Soeharto sebagai “Hurgronjesian” (Dhakidae,

2003:531). Kebijakan kehidupan beragama pada dua rezim ini, dapat ditelusuri secara

genealogis dari pembentukan Kementerian Agama (Departemen Agama), yang

dikukukuhkan oleh pemerintah berdasarkan Ketetapan Pemerintah No. 1/SD/1946,

pada 2 Januari 1946 (Banawiratma,dkk., 2010:66). Dalam kaitan ini, Kementerian

Agama merupakan salah satu komponen dari penyelenggara pembangunan nasional

yang mempunyai tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) mengatur atau mengelola

kehidupan beragama di Indonesia. Pengaturan dan pengelolaan kehidupan beragama

tersebut, kemudian diturunkan menjadi program-program di bidang keagamaan di

Kementerian Agama, yang dijalankan pada unit satuan kerja setingkat eselon I dan II,

serta struktur yang berada di lingkungan Kementerian Agama sejak dari pusat ke

daerah-daerah.

Apa yang hendak dilakukan negara dalam menyusun dan/atau memproduksi

kebijakan kehidupan beragama melalui Kemenag? paling tidak ada dua isu pokok

pertama tugas dan fungsi administratif, termasuk fungsi ini negera melakukan politik

penertiban atau pendisiplinan. Kedua, agar umat beragama dapat meningkatkan

keimanan dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal fungsi

administratif, oleh Deliar Noer dijelaskan bahwa negara menempatkan semua

persoalan agama hanya sebatas persoalan administratif keagamaan (Noer, 1983:155).

Namun demikian, termasuk dalam fungsi administrasi ini negara melalui

Kementerian Agama (Depatemen Agama) melakukan politik penertiban dan/atau

pendisplinan. Pada fungsi ini negara, membangun seperangkat alat penafsiran baku

Page 7: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

21

21

untuk mendefinisikan agama yang tertib dan tidak tertib bahkan agama salah dan

tidak salah (Sutanto, 2011:73). Sehingga dalam konteks inilah negara telah

melakukan intervensi dalam pengerian melalui kebijakan politisasi kehidupan

beragama di Indonesia, agama menjadi arena kontestasi politik khsusnya perebutan

anggaran untuk kepentingan yang lebih besar bagi umat Islam (Saidi, dkk, 2004:39).

Sedangkan untuk fungsi kedua, negara memfasilitasi agama-agama untuk dapat

melaksanakan ajarannya masing-masing.

Dalam menjalankan dua fungsi tersebut, Kementerian Agama telah menyusun

anggaran kehidupan beragama di Indonesia. Tentang kontestasi penyusunan anggaran

kehidupan beragama tersebut, secara umum dapat dilihat lebih pada pos-pos

penganggaran yang diperuntukkan bagi kepentingan kelompok Islam. Sehingga tidak

berlebihan jika keberadaan kementerian ini menjadi sejenis “koorporasi imbalan”

terhadap kelompok Islam. Hal ini semakin menegaskan bahwa keberadaan Kemenag

memang tidak terlepas dari desakan kelompok “Islam politik” (Banawiratma, dkk.,

2010:66).

Model kebijakan tersebut, terus berlanjut pada era Reformasi, sebagaimana

dinyatakan dalam UU Program Pembangunan Nasional No 25 tahun 2000; Bahwa

pelayanan terhadap umat Islam akan tetap menjadi prioritas dalam kementerian

agama. Dalam hal ini Taufik Abdullah menjelaskan:

“70 persen aktivitas Kementerian Agama diperuntukkan bagi pelayanan umat Islam. Adapun hal-hal yang diurus oleh Kementerian Agama, tidak hanya menyangkut hubungan antar umat beragama, melainkan secara otonom mengelola lembaga pendidikan Islam dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk juga pesantren” (Abdullah, dkk, 2002:431-455).

Page 8: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

22

22

Kementerian Agama menjadi kementerian terbesar ketiga setelah Kemendagri

dan Kemendiknas, demikian juga dalam hal ini tentunya termasuk dalam hal

penganggaran (Abdullah, dkk, 2002:433). Penganggaran kehidupan beragama yang

dikelola oleh Kementerian Agama dari tahun-ketahun mengalami peningkatan yang

menunjukkan kepedulian yang tinggi dari negara terhadap agama di Indonesia.

Berdasarkan hasil renstra Kemenag yang tertuang dalam Surat Keputusan

Kemenag No. 2 tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama tahun

2010-2014, jumlah anggaran terus mengalami peningkatan fantastis dalam siklus lima

tahun terakhir. Jika tahun anggaran 2005-2006 Kementerian Agama memperoleh

alokasi sebesar Rp.6.815.723.166.000,- (Enam triliun delapan ratus lima belas miliar

tujuh ratus dua puluh tiga juta seratus enam puluh enam ribu rupiah), pada tahun

2009 meningkat sangat tajam menjadi Rp.26.656.600.559.000,- (Dua puluh enam

triliun enam ratus lima puluh enam miliar enam ratus juta lima ratus lima puluh

sembilan ribu rupiah). Dan pada tahun 2013-2014 anggaran kementerian Agama

mengalami peningkatan menjadi Rp 49.582.490.347.000,- (Empat Puluh Sembilan

Trilyun Lima Ratus Delapan Puluh Dua Milyar Empat Ratus Sembilan Puluh Juta

Tiga Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Rupiah). Alokasi terakhir terdiri atas rupiah

murni Rp 47,752 triliun, PNBP Rp 390,568 miliar, BLU Rp 578,488 miliar, BLN Rp

480,530 triliun, dan Surat Berharga Syariah Negara Berbasis Proyek (SBSN PBS)

sebesar Rp 200 miliar (Koeswara & Margana, wawancara 25/042014).

Berdasarkan gambaran umum penganggaran kehidupan beragama tersebut di

atas, sekali lagi menunjukkan bahwa Indonesia betapa besarnya perhatian negara

Page 9: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

23

23

terhadap agama. Dalam kaitan inilah barangkali Stepan menyebutkan bahwa

Indonesia seperti halnya India dan Senegal merupakan salah satu contoh negara yang

mampu membangun tidak saja dalam hubungan yang saling menghormati antara

agama dan negara (respect all), melainkan telah membangun model kerjasama yang

positif antara agama dan negara (positive cooperation). Namun persoalannya,

meninjam teori Stepan sendiri, menurut penulis kelompok Islam terkesan

mendapatkan perlakuan lebih istimewa dibandingkan dengan kelompok agama

lainnya. Sehingga dalam kajian ini juga akan dilihat apakah model penganggaran

kehidupan beragama di Indonesia telah benar-benar menunjukkan karakteristik

netralitas negara terhadap agama-agama.

Terkait dengan alokasi anggaran kehidupan yang menjadi monopoli

Kementerian Agama sebagaimana terurai di atas, studi ini akan lebih difokuskan pada

bagaimana kebijakan negara terhadap agama khususnya dalam hal penganggaran

kehidupan beragama di Indonesia pasca Reformasi? Kajian ini menjadi penting,

karena mencerminkan politik agama di Indonesia di dalam mengelola keberagaman

di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana telah disinggung sepintas pada bagian latar belakang masalah, bahwa

yang menjadi fokus dalam studi ini adalah kebijakan anggaran kehidupan beragama

khusunya yang berada dalam pengelolaan Kementerian Agama pasca Reformasi

dengan mengambil kasus tahun anggaran 2013-2014. Adapun yang menjadi bahan

Page 10: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

24

24

pertimbangan antara lain: Pertama, secara esensi kebijakan dimaksud secara

konseptual menunjukkan tingkat akomodasi termasuk juga politik redistribusi

terhadap kelompok-kelompok agama menurut prinsip netralitas negara terhadap

agama-agama yang menjadi domain atau tupoksi Kementerian Agama. Kedua,

kebijakan tersebut berdampak luas dalam implementasinya di tingkat akar rumput

dalam berbagi ruang publik, utamanya dalam politik anggaran untuk saling

mempengaruhi kebijakan ditingkat lokal. Ketiga, keterbatasan sumber data anggaran

yang dapat diakses dari tahun-ketahun, sehingga tidak bicara secara runut dari tahun

1998 - 2013. Berangkat dari tiga pertimbangan tersebut, pertanyaan pokok dalam

penelitian yang dirumuskan adalah:

1.2.1 Bagaimanakah bentuk-bentuk akomodasi negara terhadap agama-agama

dalam penganggaran kehidupan beragama di Indonesia?

1.2.2 Apakah penganggaran untuk kehidupan beragama di Indonesia telah sesuai

dengan prinsip “respect all”, “ positive cooperation” dan “principled

distanced” dalam kerangka toleransi kembar (twin toleration)?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan pertama untuk mengetahui bentuk-bentuk akomodasi negara

terhadap agama-agama dalam hal penganggaran kehidupan agama di Indonesia.

Kedua untuk mengetahui kebijakaan anggaran yang sesuai dengan prinsip ”respect

all”, ” positive cooperation” dan ” principled distance” dalam kerangka toleransi

Page 11: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

25

25

kembar (twin toleration) yang dibangun oleh Alfred Stepan dalam bingkai negara

demokrasi.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu berkonstribusi positif dalam

kajian “religious studies” terkait dengan gambaran tentang kebijakan anggaran

kehidupan beragama di Indonesia selama ini sekaligus gambaran tentang politik

kebijakan terkait dengan hubungan antara agama di Indonesia yang dijalankan oleh

pemerintah sebagai representasi negara. Hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa

hubungan antara agama—negara saat ini tidak lagi pada tataran pemisahan atau

pengucilan agama dari ruang publik, namun lebih pada pentingnya mengakomodasi

setiap kelompok dalam prinsip penghormatan bagi semua, kerjasama yang positif dan

pembangunan jarak yang berprinsip.

1.4 Kajian Pustaka

Kajian tentang hubungan agama--- negara lebih ditekankan pada aspek pengaturan

hubungan antara mayoritas---minoritas atau hubungan antara agama---negara dan

warga negara secara umum serta dampak yang ditimbulkan di Indonesia. Kajian

tentang ini telah banyak dilakukan oleh sarjana dalam dan luar negeri baik pada era

Orde Lama, maupun Orde Baru dan sebagian kecilnya pada era Reformasi. Namun

menyangkut kebijakan penganggaran kehidupan beragama dalam masyarakat

majemuk untuk konteks Indonesia masih sangat sedikit dilakukan para peneliti

terutama dalam konteks Indonesia. Pada sisi lainnya, meskipun banyak sarjana di

Page 12: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

26

26

Barat telah melakukan analisis hubungan agama---negara dalam kaitan akomodasi

negara termasuk menyangkut bantuan sosial keagamaan, namun masih sangat umum

dan tidak menelisik secara rinci sektor-sektor yang dibiayai. Disinilah studi kasus

anggaran kehidupan beragaman menjadi penting dan berguna.

Sehubungan dengan pikiran tersebut, untuk kepentingan teoritis, literatur

yang ada dan terbatas itu akan dibagi menjadi dua yaitu pertama, membahas seputar

kebijakan anggaran yang telah diproduksi oleh negara dalam mengelola anggaran.

Kedua, membahas bagaimana tingkat akomodasi negara terhadap kelompok-

kelompok agama dalam anggaran publik kehidupan beragama.

Secara esensi, dalam pengelolaan kehidupan agama yang majemuk

semestinya negara menyusun kebijakan yang mendorong kelompok mayoritas

mampu mengakomodir kepentingan kelompok minoritas sebagai bentuk akomodasi

negara terhadap kelompok ‘minoritas’, yang tidak saja seimbang tetapi juga

berkeadilan dalam hal ini. Charles Taylor menjelaskan “… the demand for

recognition is the basis for multicultural politics” (Taylor, 1994:25). Isu politik

rekognisi itu mengisyaratkan dua kewajiban penting yang harus dilakukan oleh

negara yakni (1) Negara harus mengakui hak setiap warga negara (2) Menghargai

kesetaraan hak ini juga termasuk dengan memperlakukan orang secara berbeda,

karena mungkin ia memiliki identitas dan kemampuan yang berbeda (Bagir,

2011:61).

Masih terkait dengan politik rekognisi yang di dalamnya mengisyaratkan

pengakuan dan penghargaan terhadap yang lain, pengakuan ini tak terbatas pada

Page 13: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

27

27

toleransi, yang sekadar membiarkan yang lain hidup sendiri, melainkan menghargai

keberadaan kelompok lain yang berbeda dalam relasi antarkelompok. Dalam tataran

politik formal, rekognisi dilihat dari sejauhmana negara (pada tingkat nasional

maupun lokal) menghormati dan mengakui berbagai perbedaan dan keragaman dalam

masyarakat, baik yang menyangkut hak-hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi,

sosial dan budaya. (Rahayu, 2011:66-67). Akomodasi seringkali menjadi salah satu

bentuk kebijakan yang diberikan kepada kelompok minoritas dalam negara mejemuk.

Namun dalam konteks Indonesia dijumpai fenomena cukup unik, akomodasi justru

diberikan kepada kelompok mayoritas, Muslim. Contoh: UU Peradilan Agama, UU

Zakat/wakaf, UU Haji bahkan UU Perbankan bahkan dalam hal penganggaran

kehidupan beragama yang memperlihatkan kecenderungan sektarianisme tertentu.

Bahkan kebijakan akomodatif yang terkesan berlebihan dapat dilihat bagaimana

kepala daerah di banyak daerah menyusun kebijakan bidang agama yang pada

dasarnya masih menjadi kewenangan pemerinta pusat (UU No. 32/2004) tentang

Pemerintahan Daerah. Di sinilah urgensi membicarakan akomodasi negara terhadap

agama-agama atau yang dalam bahasa Alfred Stepan sebagai respect all, positif

cooperation dan principled distance (Stepan, 2013:126-134).

Dalam kaitan inilah menjadi relevan melakukan kajian ulang bagaimana

semestinya hubungan antara negara dan warga negara yang majemuk dimaknai serta

relasi antara mayoritas dan minoritas dikelola. Stepan lebih mengedepankan agar

agama dan negara tidak saling mengintervensi, negara bisa secara bebas menjalankan

fungsi pemenuhan hak-hak setiap warga negara secara setara, pada saat yang sama

Page 14: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

28

28

agama juga bisa menjalankan fungsinya tanpa harus dicurigai akan mengancam

demokrasi. Gagasan inilah yang kemudian dikenal sebagai twin toleration.

Berbeda dengan gagasan Stapen, Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam bukunya

“ Islam and Secular State: Negotiating the Future Shari’a ”, menawarkan gagasan

netralitas negara terhadap agama-agama untuk menghindari terjadinya dikotomi yang

tajam antara pemenuhan hak mayoritas dan minoritas. Negara sekuler dalam

pemahaman An- Na’im lebih sebagai netralitas negara terhadap berbagai ajaran dan

doktrin agama. dengan netralitas negara, maka negara tidak akan menganakemaskan

satu bentuk doktrin agama tertentu. Dengan netralitas negara juga akan

memungkinkan hak-hak keagamaan setiap warga negara tidak akan terdikotomi

dalam nalar mayoritas–minoritas. Oleh sebab itu menurut An-Na’im untuk

membangun netralitas negara terhadap agama-agama pilihannya adalah memisahkan

kelembagaan antara negara dan agama. Pemisahan ini dimaksudkan untuk menjaga

hak setiap warga negara dan dapat menjalankan agamanya masing-masing secara

suka rela dan tanpa intervensi oleh tangan negara.

Hal ini ini menjadi penting, sebab tidak bisa dielakkan, ketika negara di dalam

membangun hubungan yang tidak netral, maka hubungan agama—negara, selain akan

menyebabkan terjadinya kecenderungan politik yang saling mengintervensi, tetapi

juga negara dan agama akan saling mengangkangi (Fauzi, 2011:1) . Adapun bentuk

lebih teknis dari intervensi agama terhadap negara atau sebaliknya ini adalah seperti

disampaikan oleh Robert W. Hefner. Hefner dalam artikelnya berjudul “Where Have

the All Abangan Gone?”, menjelaskan betapa kuatnya pengaruh kelompok-kelompok

Page 15: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

29

29

keagamaan “sayap kanan”1 dari kelompok agama mayoritas dalam hal ini agama

Islam yang telah terlalu masuk dalam intervensinya terhadap negara dan

menginginkan penyatuan antara agama dan negara. Akibatnya terjadi apa yang oleh

banyak pakar sebut “religionization” atau agamaisasi, terhadap kelompok-kelompok

keyakinan dengan konsekuensi akan terabaikan hak-hak sipil kelompok keyakinan

yang tidak mengikuti nalar agama yang dipahami oleh kelompok “sayap kanan”

tersebut (Hafner, 2014:25-26). Implikasi intervensi Muslim tidak saja terhadap

kelompok keyakinan, namun juga dirasakan oleh kelompok-kelompok agama

minoritas dalam hal ini Hindu, Budha karena harus direifikasi2 menurut nalar

kegamaan mayoritas atau mainstream (Smith, 2004:87). Pada saat yang sama

intervensi agama mayoritas berdampak pada diskriminasi terhadap kelompok-

kelompok keyakinan non mainstream dalam mengekpresikan keyakinan agamanya.

Kecenderungan agama mayoritas mengintervensi dan atau politik saling

memanfaatkan anatar kelompok agama mayoritas dan negara yang berdampak sangat

diskriminatif berbasis keyakinan dan agama dalam konteks Indonesia, dapat juga

dilihat dalam tulisan Sasaki Takuo dalam artikel berjudul “The Politics of Moderat

Islam: From the Rise to the Ahmadiyah Decree”, Takuo menjelaskan bahwa budaya

politik tawar menawar kepentingan antara negara dan kelompok agama mayoritas dan

atau mainsteams, sebagai bentuk transformasi politik yang disebut sebagai “The

1Istilah Islam “Sayap Kanan” untuk membedakan dua kelompok Muslim di awal kemerdekaan yakni kelompok Islamis. Sementara kelompok Muslim lainnya yang lebih berhaluan secular dan nasionalis.

2Reifikasi adalah term yang digunakan oleh Wilfred Centwell Smith dalam “Memburu Makna Agama” yang diartikan sebagai “Sikap mental menjadikan religi menjadi suatu benda, secara bertahap akhirnya memahami sebagai suatu entitas obyektif dan sistematis”.

Page 16: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

30

30

minimum Institusional Islamization”, menunjukkan bagaimana kecerdikan SBY

secara membangun jarak dengan MUI sebagai representasi pimpinan agama Islam”.

Namun pendapat Takuo ini cenderung tidak realities, sebab karakter kepemimpinan

SBY yang sesungguhnya sangat menguntungkan kelompok mainstream dengan

kecenderungan melakukan pembiaran terhadap sepak terjang MUI dan kelompok

agama mainstream dalam mendiskriminasi kelompok keyakinan menyebabkan

semakin suburnya praktek-praktek diskriminasi yang oleh Tresno Sutanto disebut

dengan “Politik Kesetaraan” yakni bahwa perkara jaminan terhadap prinsip

kesetaraan adalah perkara politik yang harus diperjuangkan melalui jalur dan

mekanisme politik, bukan pemberian cuma-cuma entah dari langit atau dari negara

(Sutanto, 2011:76). Dampak dari kebijakan dari hubungan negara dan agama yang

saling intervensi yang berdampak pada diskriminasi terhadap kelompok agama

minoritas dan keyakinan terutama dalam hal distribusi anggaran,

Rujukan literatur yang disebutkan sangat penting menjadi rujukan atas kajian

bagaimana semestinya hubungan agama---negara dibangun yang sensitive terhadap

hak-hak setiap warga negara tanpa diskriminatif. Sehingga di sinilah letak keunikan

penelitian ini dan yang membedakan penelitian ini dengan yang lain. Penulis

berpendapat, meskipun pembahasan “penyapihan” atau pemisahan secara ekstrim

antara agama dan negara, dimana agama tidak boleh berperan dalam ruang publik

sudah tidak lagi relevan juga akan sangat berpotensi menimbulkan berbagai masalah

baru yang lebih besar, namun tetap saja bahwa negara harus memiliki jarak yang

tegas atau berprinsip terhadap agama-agama.

Page 17: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

31

31

Penelitian ini akan sangat penting selain untuk menjadi rujukan atas bentuk-

bentuk kebijakan penganggaran kehidupan beragama dalam konteks kemajemukan

agama di Indonesia, tetapi juga akan sangat berbeda dengan penelitian yang lain

disebabkan kajian ini secara spesifik melihat tingkat akomodasi negara terhadap

agama-agama dalam hal penganggaran bagi pengembangan kehidupan keagamaan.

Lebih dari itu kajian ini juga merupakan karya terobosan dalam “Religious Study”.

Banyak peneliti yang lebih fokus pada politik agama dalam domain yang lebih makro

seperti terorisme agama, teologi kontemporer dan sebagainya, namun jarang yang

mengaitkan dengan isu yang lebih menjadi rill tentang pertarungan seputar perebutan

sumber daya anggaran. Dalam konteks itulah studi ini memiliki keunggulan.

1.5 Kerangka Teori

Gagasan dasar dalam kajian ini adalah kebijakan publik penganggaran

kehidupan beragama dalam konteks masyarakat mejemuk yang seharusnya

mengakomodasi kepentingan individu atau organisasi keagamaan di bawah sistem

demokrasi. Secara teknis ada banyak model teori yang dapat digunakan untuk

melakukan analisis kebijakan publik. Namun prinsip umumnya bahwa sebuah analisis

kebijakan publik yang baik menurut Lester dan Stewart adalah model analisis yang

bertumpu pada perhatian politik dengan model pluralis dalam kerangka yang

demokratis (Winarno, 2012). Antara lain pendekatan yang oleh Laswell disebut

sebagai pendekatan “participatory policy science of democracy”. Menurut Harold D.

Laswell, yang bermaksud dengan pendekatan partisipatori ini berangkat dari asumsi

Page 18: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

32

32

bahwa populasi warga negara yang dipengaruhi atau menerima dampak kebijakan

harus terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik melalui

serangkaian dialog yang berkesinambungan.

Sehubungan analisis kebijakan anggaran dalam model pluralis dalam

kerangka demokratis, penulis tidak akan melihat analisis kebijakan secara teknis,

melainkan kebijakan terkait dengan pengelolaan keberagaman oleh negara demokrasi.

Maka untuk keperluan tersebut, penulis akan menggunakan teori pokok toleransi

kembar. Hal ini menjadi sangat penting utamanya untuk menghadirkan perbincangan

pengelolaan agama dalam ruang publik, termasuk mendiskusikan kembali hubungan

negara-agama yang lebih adil menjadi penting.

Dalam teori “twin toleration”, Stepan mengilustrasikan antara agama dan

negara sebagai dua menara kembar yang harus saling bertoleransi. Di bawah payung

toleransi kembar, pola hubungan antara agama dan negara dapat dirumuskan sesuai

dengan ruang dan waktu dan tidak saling mengangkangi dan/atau saling

menegasikan. Agama tidak boleh dicurigai akan merusak demokrasi sebagaimana

juga agama tidak perlu diistimewakan”, pada saat yang sama agama juga tidak akan

mengintervensi peran negara (Stepan, 2000:39). Selain itu, di bawah naungan payung

toleransi kembar itu pula, pola hubungan antara agama dan negara menjadi lebih

kongkrit dan bisa dirumuskan dalam ruang dan waktu, karena hubungan keduanya

tidaklah sakral, sehingga gagasan toleransi kembar antara agama dan negara mampu

melampaui gagasan pemisahan antara gereja dan negara sebagaimana yang terjadi

pada pengalaman negara-negara Barat abad pertengahan (Fauzi, 2011:2).

Page 19: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

33

33

Gagasan “toleransi kembar” yang ditawarkan oleh Stepan sepertinya patut

dipertimbangkan dalam menjembatani antara sekularisme-demokrasi liberal dan

agama (Stepan, 2001:206). Toleransi kembar berwujud batasan-batasan minimal yang

mesti dikonstruksi di hadapan otoritas politik vis a vis otoritas keagamaan, dan

individu atau kelompok keagamaan vis a vis institusiinstitusi politik. Secara praktik,

ternyata rumusan teoretik yang menjembatani kebekuan hubungan antara demokrasi

liberal-sekularisme dan agama menemukan manifestasinya dalam masyarakat

Muslim. Praktik politik di negara-negara Islam pasca kolonial menampakkan wajah

buruk sekularisme. Ketika suatu regim menerapkan sekulerisme dalam masyarakat

Muslim, regim yang bersangkutan tampak menjadi sangat otoriter, dan

otoritarianisme regim ini sering didukung oleh kekuatan Barat yang memandang diri

sebagai sekuler dan demokratis.

Melalui “twin toleration” Stapen sedang menawarkan batasan yang tegas

yang harus dibuat dan dijalankan antara kebebasan pemerintah yang dipilih secara

demokratis dari tuntutan dan tekanan kelompok-kelompok agama pada satu sisi serta

kebebasan kelompok-kelompok agama dari pemerintah. Stepan menjelaskan:

“Wilayah otonomi kunci yang harus dimapankan bagi kebebasan beragama, dari

pemerintah atau agama-agama lain, adalah bahwa individu dan kelompok keagamaan

harus memiliki kebebasan penuh di dalam menjalankan ibadah keagamaan mereka

secara pribadi. Lebih dari itu; secara individu maupun kelompok, mereka juga harus

dimungkinkan untuk memperjuangkan nilai-nilai mereka secara public dalam

masyarakat sipil, dan untuk menyeponsori berbagai organisasi dan gerakan dalam

Page 20: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

34

34

masyarakat politik, sejauh usaha mereka dalam memperjuangkan nilai-nilai ini tidak

berakibat negatif terhadap kebebasan warga negara lain, atau melanggar aturan-aturan

demokrasi dan hukum dengan cara-cara kekerasan” (Stepan: 2001.217).

Lebih jauh, terkait dengan bagaimana pengelolaan kehidupan masyarakat

yang majemuk, dalam teori Stepan mendefinisikan “twin toleration” sebagai batas

minimal demokrasi, dimana negara dapat menentukan kebijakan secara bebas tanpa

tekanan dari institusi atau kelompok manapun. Dan demokasi mensyaratkan adanya

konsep negara konsitusional yang menghormai kebebasan fundamental yang

melindungi hak-hak minoritas (Stepan, 2000:39). Sehingga negara-negara yang

berupaya membangun konsep “twin toleration”, biasanya memiliki ciri (1)

memberikan penghormatan yang sama terhadap kelompok mayoritas dan minoritas di

ruang publik, (2) adanya kerjasama yang baik antara negara dan agama, (3)

membangun jarak yang wajar terhadap kelompok mayoritas.

Dari gagasan Stepan tentang toleransi kembar ini kita dapat menangkap

substansi bahwa bicara demokrasi harus membahas tiga isu utama (1) Negara tingkat

nasional dan lokal harus mengakui dan menghormati berbagai perbedaan dan

keberagaman masyarakat sebagai warga negara yang setara. (2) Negara harus

menghadirkan aspirasi setiap warga dalam ranah publik. Representasi tidak sekedar

simbolik deskriptif melainkan bagaimana memperjuangkan kepentingan yang

diwakili secara substantif. Pada bagian ini demokrasi harus memberi ruang yang

sama bagi kelompok-kelompok yang berbeda mewarnai ruang publik. (3) Negara

harus melindungi kelompok-kelompok marginal dalam kerangka politik redistribusi.

Page 21: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

35

35

Jika perlu melalui kebijakan afirmatif dengan cara subsidiaritas dan kemudahan akses

untuk kesejahteraan tidak saja yang sekelompok melainkan seluruh warga negara

(Bagir, dkk: 2011).

Apa yang ditawarkan oleh Stepan, mendapat dukungan dari penelitian

Jonathan Fox yang mengamati 152 negara berkenaan dengan keterlibatan

pemerintahan nasional dalam hal urusan agama. Fox menemukan bahwa perbedaan

mencolok antara negara demokrasi dan bukan demokrasi. Perbedaannya bukan

terletak pada pemisahan antara negara dan agama, namun lebih pada pembatasan

yang lebih ketat terhadap keterlibatan dalam urusan agama.

Untuk melihat model dan perkembangan sekuralisme, Fox melakukan

penelitian pada banyak negara kemudian melakukan perbandingan seperti yang juga

dilakukan Stepan. Dalam pengamatan Fox jika dilihat secara dikotomis, model

sekularisme Turki dan Prancis nampak serupa. Tapi dari perspektif kontinuum, model

Turki dan Prancis cukup kontras. Dibanding Prancis, Turki lebih ketat dalam

mengontrol agama dan lebih mendukung agama mayoritas. Memakai skor Fox, Turki

bahkan lebih ketat dalam mengontrol agama dibanding Aljazair, Tunisia, Maroko dan

Mesir yang otoritarian (Riset Fox terbit 2008).

Pemerintahan yang demokratis juga bisa punya agama resmi seperti terlihat di

negara-negara Skandinavia. Di antara negara-negara yang mempunyai agama resmi,

ada yang demokratis dan menghormati “toleransi kembar”-nya Stepan, tapi ada juga

yang tidak. Karena itu model ini juga tak bisa dilihat secara dikotomis (ada agama

resmi versus tidak ada agama resmi). Untuk mengukur pengaruh agama resmi

Page 22: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

36

36

terhadap demokrasi dan kebebasan beragama individu, model agama resmi harus

dipandang sebagai kontinuum sejauh mana tingkat kontrol negara yang menerapkan

agama resmi. Dengan perbandingan ini, hasilnya berkisar dari yang paling longgar

kontrolnya yaitu Denmark dan Inggris sampai yang paling ketat kontrolnya yaitu Iran

dan Arab Saudi. Jelas bahwa sejumlah negara yang punya agama resmi tetap punya

demokrasi inklusif di mana hak minoritas dan mayoritas agama dihormati.

Dalam studi ini juga akan diperkaya dengan konsep netralitas negara terhadap

agama-agama yang dirumuskan oleh Abdullahi Ahmed An-Na’im. An-Naim

menjelaskan bahwa ciri utama dari negara demokrasi konstitusional adalah adanya

jaminan yang jelas terhadap kelompok-kelompok minoritas termasuk perlindungan

terhadap kemungkinan menjalankan agama dan keyakinannya itu. Oleh karenanya

konstitusi dibentuk untuk melindungi kelompok minoritas dari kesewenang-

wenangan atau tiranisme mayoritas. Lebih jauh UUD 1945 secara eksplisit

menyebutkan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu” (pasal 29 ayat 2).

Pasal ini secara implisit juga memberikan jaminan atas hak pendirian rumah ibadah

termasuk penyediaan sarana dan pra-sarana peribadahan (Taylor, 2005:242).

Oleh sebab itu dengan landasan yang menurut An-Na’im sudah mendekati

kerangka ideal, yang perlu dipersoalkan bukan lagi pada tataran penyatuan antara

agama dan negara yang akan berdampak diskriminasi termasuk dalam hal

penganggaran atau pembiayaan kehidupan beragama oleh kelompok dominan,

melainkan bagaimana membangun hubungan yang ideal antra agama dan negara.

Page 23: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

37

37

Akhirnya, dengan menggunakan kerangka teoritis twin toleration yang

dibangun oleh Alfred Stepan penulis akan menganalisis kebijakan publik dalam hal

penganggaran kehidupan beragama di Indonesia pasca Reformasi dan kemestian

negara mengelola kemajemukan sekaligus membangun basis hubungan antara

mayoritas dan minoritas menurut prinsip-prinsip keadilan.

1.6 Metode Penelitian

Penelitian tesis ini adalah penelitian kepustakaan tentang kebijakan anggaran

kehidupan beragama di Indonesia pasca Reformasi antara tahun 1998 - 2013, dalam

kerangka penelitian kualitatif, dimana pengambilan data dilakukan dengan cara

mengambil data yang bersumber dari literatur maupun menggunakan wawancara.

Maka rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.6.1 Analisis dokumen

Studi literatur/dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari

arsip atau dokumen anggaran termasuk hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

serta dokumen hearing Kementerian Agama kepada Komisi VIII DPR RI atau bidang

penganggaran dan dokumen anggaran kehidupan beragama khususnya pada

Kementerian Agama termasuk dokumen anggaran Kementerian Agama yang telah

disetujui disepakati oleh Kementerian Keuangan. Studi litertur/dokumen dipilih

sangatlah bervariasi dari tahun-ketahun anggaran, maka data primer dalam penelitian

Page 24: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

38

38

ini adalah naskah kebijakan terkait dengan kebijakan anggaran Indonesia yang

diproduksi oleh negara dengan mengambil satu sampel tahun anggaran.

Adapun dokumen anggaran yang akan dianalisis adalah anggaran

Kementerian Agama tahun 2013 – 2014 sebagai sampel pokoknya, yang telah

disepakati oleh Kementerian Keuangan dan yang telah disetujui oleh DPR RI

khususnya Komisi VIII. Dan untuk mengkonfirmasi anggaran yang ada akan

dicocokan dengan hasil audit BPK, buku putih Kementerian Agama serta dokumen

bantuan sosial keagamaan oleh Kementerian Agama RI.

1.6.2 Wawancara tidak terstruktur Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan oleh

dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang

diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moloeng,

2007:186). Wawancara dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengadakan

komunikasi dengan pihak-pihak terkait yang memahami obyek penelitian dalam hal

ini dengan pihak pembuat anggaran atau kuasa pemegang anggaran. Data-data yang

telah terkumpul akan dianalisis menggunakan model analisis wacana untuk

menggambarkan bagaimana anggaran disusun.

Wawancara tidak terstruktur dilakukan kepada pejabat di Kementerian Agama

dan Kementerian Keuangan, termasuk juga lembaga non pemerintah (LSM) dalam

hal ini ICW untuk mengetahui cara pembacaan anggaran, klarifikasi beberapa pos

anggran, menemukan persentasi dan juga terkait dengan politik anggaran.

Page 25: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

39

39

Hasil penelitian baik bersumber dari literatur maupun hasil wawancara tidak

terstruktur digunakan sebagai “starting point” dalam kajian teoritis mengenai model

demokrasi dalam pengelolaan kemajemukan sekaligus bagaimana seharusnya negara

dan kelompok mayoritas seharusnya mengakomodir kepentingan kelompok minoritas

yang lebih relevan dengan konteks ke-Indonesiaan, dengan mengacu gagasan teoritik

yang dibagun oleh Alfred Stepan tentang “twin toleration” yang akan diperkaya

dengan kerangka konseptual netralitas negara terhadap agama-agama oleh Abdullahi

Ahmed An-Na’im.

Namun demikian, penulis menyadari kelemahan dari studi analisis ini, antara

lain disebabkan pertama,bahwa kajian ini tidak menelisik secara lebih mendalam

tentang bagaimana pertarungan pembuatan kebijakan anggaran, melainkan sebatas

cerminan dari postur anggaran atau produk dari kebijakan anggaran itu sendiri.

Kedua, dengan latar belakang studi agama-agama secara lebih makro, kemudian

harus menelisik secara lebih mikro dalam kajian akuntansi tentang keterkaitan agama

dengan politik anggaran. Ketiga, keterbatasan data. Meskipun undang-undang

keterbukaan informasi telah dikeluarkan, namun untuk mendapatkan data secara

cepat dan menyeluruh ternyata tidaklah mudah, antara lain karena hambatan birokrasi

yang berbelit. Selain itu dalam mendapatkan data melalui wawancara, penulis tidak

bisa mewawancarai tokoh kuci setingkat eselon 2 apalagi eselon 1. Akibatnya penulis

kesulitan memperoleh data seputar kontestasi di tingkan pembuat kebijakan

(decession maker) dalam hal anggaran.

Page 26: BAB I PENDAHULUANetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74550/potongan/S2-2014...16 16 ancaman anarki demokrasi, disebabkan rasa frustasi terhadap berlikunya jalan demokrasi. Antara

40

40

1.7 Sistematika Pembahasan

Kerangka sistematis dalam pemaparan penelitian ini dibagi dalam lima bagian.

Berikut penjelasan masing-masing bagian :

Bab I : Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kerangka acuan penulisan

tesis, yang meliputi; latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika

pembahasan sebagai sub bagian terakhir.

Bab II : Kerangka teoritis dimensi demokrasi dalam anggaran publik di

Indonesia meliputi: esensi anggaran dan politik anggaran, konsep agent dalam

anggaran sektor publik dalam penganggaran, prinsip-prinsip anggaran berkeadilan

publik yang demokratis, batas-batas akomodasi negara terhadap anggaran kehidupan

beragama

Bab III : Kebijakan anggaran kehidupan beragama pasca reformasi meliputi

kilas balik sejarah penganggaran kehidupan beragama, filosofi penganggaran

kehidupan beragama dalam Kementerian Agama, bentuk-bentuk program keagamaan

yang dibiayai oleh negara dan politik bantuan sosial kementerian agama.

Bab IV : Analisis teoritis mengenai anggaran kehidupan beragama dan

kebijakan publik anggaran keagamaan dan kritik atas teori yang digunakan.

Bab V : Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.