BAB I 03

download BAB I 03

of 45

Transcript of BAB I 03

BAB I

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Sejak jaman dahulu, bangsa Indonesia telah mengenal penggunaan tumbuhan, hewan, mineral dan atau sediaan galenik atau campuran dari bahan -bahan tersebut yang digunakan sebagai obat tradisional berdasarkan pengalaman. Pengalaman yang diperoleh dan khasiat yang terbukti menjadikan obat tradisional digunakan sebagai alternatif pengobatan untuk mengobati berbagai penyakit maupun untuk pemeliharaan kesehatan.

Seiring dengan perkembangan jaman dan penelitian masa kini, obat - obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan dan kini digencarkan pemakaian dan pendayagunaan obat tradisional di Indonesia yang mengalami kemajuan cukup pesat. Karena lebih mudah dijangkau masyarakat baik harga maupun ketersediaannya. Selain itu, obat tradisional yang berasal dari tumbuhan dan bahan - bahan alami murni memiliki efek samping, tingkat bahaya dan resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan obat kimia bila digunakan sesuai aturannya.

Meningkatnya permintaan konsumen terhadap obat tradisional, mendorong para produsen meningkatkan mutu produknya agar bisa bersaing dengan produk lain. Peningkatan mutu tersebut terkadang disalahartikan oleh pihak - pihak tertentu dengan menambahkan bahan kimia obat yang berbahaya bagi kesehatan.

Dengan semakin banyak sediaan obat tradisional yang beredar di pasaran maka obat tradisional yang diproduksi harus dapat dipertanggungjawabkan agar dapat melindungi para konsumen dari hal - hal yang merugikan konsumen. Untuk itu perlu dicegah beredarnya obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu, kemanfaatan serta keamanannya sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Peraturan yang mendasari analisa dalam obat tradisional antara lain :

a. Permenkes RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional.

b. Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional.1.2 Perumusan Masalah

Apakah obat tradisional yang diuji mengandung bahan kimia sintetik?

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam Karya Tulis Ilmiah ini, penulis hanya melakukan pengujian allopurinol dalam jamu pegal linu sediaan serbuk dengan metode Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui mutu (keseragaman bobot) dan keamanan (bahan kimia sintetik) dari suatu produk obat tradisional yang beredar di pasaran.

1.4.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui apakah obat tradisional yang diuji memenuhi persyaratan keseragaman bobot dan tidak mengandung bahan kimia sintetik allopurinol.

1.5 Manfaat

1.5.1 Bagi Penulis

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai bahan kimia sintetik yang kemungkinan ditambahkan dalam jamu pegal linu.1.5.2 Bagi Pembaca

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bahan kimia sintetik yang kemungkinan ditambahkan pada jamu pegal linu sehingga pembaca dapat lebih teliti dalam memilih obat tradisional yang akan dikonsumsi.1.6 Waktu dan Lokasi Pengujian

1.6.1 Waktu Pengujian

Pengujian dilaksanakan tanggal 12 Mei 20111.6.2 Lokasi Pengujian

Pengujian dilaksanakan di Laboratorium Obat Tradisional Jurusan Analisa Farmasi dan Makanan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II, Jl. Raya Ragunan No. 29 C Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Kerangka Teori

2.1.1 Definisi Obat Tradisional

Menurut Permenkes RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tanggal 28 Mei 1990 pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Peraturan ini menyebutkan bahwa obat tradisional yang diproduksi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia;b. bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan yang ditetapkan;c. tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat;d. tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotika.

Dalam peraturan ini juga disebutkan bahwa :

1. Industri Obat Tradisional atau Industri Kecil Obat Tradisional dilarang memproduksi:

a. segala jenis obat tradisional yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat;b. obat tradisional dalam bentuk supositoria, intravaginal, tetes mata atau sediaan parenteral;c. obat tradisional dalam bentuk cairan obat dalam yang mengandung etanol dengan kadar lebih dari 1%.2. Industri Kecil Obat Tradisional dilarang memproduksi Obat Tradisional Lisensi.

2.1.2 Bentuk Sediaan Obat Tradisional

Obat tradisional mempunyai persyaratan tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen terhadap hal-hal yang dapat mengganggu dan merugikan kesehatan.

Sediaan obat tradisional yang saat ini banyak beredar adalah yang terbuat dari simplisia nabati yaitu bagian tanaman atau seluruh tanaman baik segar atau sudah dikeringkan, atau hasil penyariannya dengan berbagai bentuk sediaan seperti rajangan, serbuk, pil, tablet, kapsul, cairan (sediaan obat luar dan dalam), salep, krim, parem, tapel, dan sebagainya.

Bentuk-bentuk sediaan obat tradisional berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 adalah sebagai berikut:

a. Rajangan

Adalah sediaan obat tradisional berupa potongan simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas.

b. Serbuk

Adalah sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok; bahan bakunya berupa simplisia, sediaan galenik atau campurannya.

c. Pil

Adalah sediaan padat obat tradisional berupa massa bulat; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campurannya.

d. Dodol atau Jenang Adalah sediaan padat obat tradisional; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campurannya.

e. Pastiles

Adalah sediaan padat obat tradisional berupa lempengan pipih umumnya berbentuk segi empat; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campuran keduanya.

f. Kapsul

Adalah sediaan obat tradisional terbungkus cangkang keras atau lunak; bahan bakunya terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan.

g. Tablet

Adalah sediaan obat tradisional padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih, silindris atau bentuk lain, kedua permukaannya rata atau cembung, terbuat dari sediaan galenik dengan atau tanpa bahan tambahan.

h. Cairan Obat Dalam

Adalah sediaan obat tradisional berupa larutan emulsi atau suspensi dalam air; bahan bakunya berasal dari serbuk simplisia atau sediaan galenik dan digunakan sebagai obat dalam.

i. Sari jamu

Adalah cairan obat dalam dengan tujuan tertentu diperbolehkan mengandung etanol.

j. Parem, Pilis dan Tapel

Adalah sediaan padat obat tradisional; bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik atau campurannya dan digunakan sebagai obat luar.

k. Koyok

Adalah sediaan obat tradisional berupa pita kain yang cocok dan tahan air yang dilapisi dengan serbuk simplisia dan atau sediaan galenik, digunakan sebagai obat luar dan pemakaiannya ditempelkan pada kulit.

l. Cairan Obat Luar

Adalah sediaan obat tradisional berupa larutan suspensi atau emulsi; bahan bakunya berupa simplisia, sediaan galenik dan digunakan sebagai obat luar.

m. Salep/Krim

Adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan; bahan bakunya berupa sediaan galenik yang larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep/krim yang cocok dan digunakan sebagai obat luar.2.1.3 Sediaan Obat Tradisional Bentuk SerbukSerbuk adalah sediaan obat tradisional berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok; bahan bakunya berupa simplisia, sediaan galenik atau campurannya.Sediaan obat tradisional bentuk serbuk memiliki beberapa persyaratan yang dijelaskan secara rinci dalam Kepmenkes RI No. 661/Menkes/SK/VII/1994 tentang Persyaratan Obat Tradisional. Adapun rincian persyaratan obat tradisional bentuk serbuk meliputi :a. Keseragaman BobotTidak lebih dari 2 bungkus serbuk, yang masing-masing bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A dan tidak satu bungkuspun yang bobot isinya menyimpang dari bobot isi rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom B, yang tertera pada daftar berikut TABEL 1

PERSYARATAN KESERAGAMAN BOBOT SERBUKBobot rata-rata

SerbukPenyimpangan terhadap bobot rata-rata

AB

5 g sampai 10 g8 %10 %

Timbang isi tiap bungkus serbuk. Timbang seluruh isi 20 bungkus serbuk, hitung bobot isi serbuk rata-rata.

b. Kadar Air

:tidak lebih dari 10%

c. Angka Lempeng Total

:tidak lebih dari 106 koloni/g

d. Angka Kapang Khamir

:tidak lebih dari 104 koloni/g

e. Mikroba Patogen

:negatif

f. Aflatoksin

:tidak lebih dari 30 bpj

g. Bahan Tambahang.1 Pengawet : serbuk dengan bahan baku simplisia tidak boleh ditambah pengawet. Serbuk dengan bahan baku sediaan galenik dengan penyari air atau campuran etanol-air, bila diperlukan dapat ditambahkan bahan pengawet yang tertera pada persyaratan Pil.Pengawet. Tidak Lebih dari 0,1%Pengawet yang diperbolehkan :

Metil p-hidroksi benzoat (Nipagin)

Propil p-hidroksi benzoate (Nipasol)

Asam sorbat atau garamnya

Pengawet lain yang disetujuig.2 Pemanis: Gula tebu (gula pasir), gula aren, gula kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang menjadi zat kimia murni.

g.3 Pengisi: Sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada sediaaan galenik.h. Wadah dan Penyimpanan

Dalam wadah tertutup baik, disimpan pada suhu kamar, di tempat kering dan terlindung dari sinar matahari.2.1.4 Pirai

Pirai (gout) adalah penyakit kelainan metabolik yang ditandai dengan kadar asam urat yang tinggi dalam darah. Hiperurisemia ini mengakibatkan deposisi kristal natrium urat dalam jaringan, terutama pada ginjal dan sendi. Gout selalu didahului oleh hiperurisemia. Penyebab hiperurisemia adalah produksi asam urat yang berlebihan yang berhubungan dengan kemampuan penderita untuk mengekresikannya (Mycek, Mary J, 2001: 418). Pirai biasanya dikaitkan dengan kadar serum yang tinggi dari uric acid, zat yang sulit larut, yang merupakan hasil akhir utama metabolisme purine (Katzung, Bertram. G, 2006: 478).Serangan akut diprovokasi oleh endapan urat, yang jarum-jarum kristalnya merusak sel dengan menimbulkan nyeri. Sendi membengkak, menjadi panas, merah dan amat sakit bila disentuh. Sering kali terdapat pula demam tinggi dan pada stadium lanjut tophi (Lat. tophus = batu gunung berapi), yakni benjolan keras di cuping telinga, kaki atau tangan (Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2002: 319).2.1.5 AllopurinolAllopurinol berguna untuk mengobati penyakit pirai karena menurunkan kadar asam urat. Pengobatan jangka panjang mengurangi frekuensi serangan, menghambat pembentukan tofi, memobilisasi asam urat dan mengurangi besarnya tofi (Fakultas Kedokteran UI, 2003: 221).Berdaya mengurangi sintesis urat atas dasar persaingan substrat dengan zat-zat purin berdasarkan enzim xanthinoxydase (XO). Purin seperti hypoxanthine dan xanthin dirombak oleh XO menjadi asam urat. Tetapi dengan adanya allopurinol, XO melakukan aktivitasnya terhadap obat ini sebagai ganti purin (Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2002: 322).Asam urat kurang larut dalam air dibandingkan dengan prekusornya. Jika xantin oksidase dihambat, derivat purin yang bersirkulasi (xantin dan hiposantin) menjadi lebih larut dan karena itu kemungkinan menjadi presipitat adalah kurang (Mycek, Mary J, 2001: 419).

Gambar 1 Rumus bangun allopurinolNama kimia:1H-Pirazolol[3,4-d]pirimidin-4-ol[315-30-0]Sinonim:Adenock; Alloprin; AllopurRumus molekul:C5H4N4OBobot molekul:136,1 g/molKhasiat:obat piraiDosis:Dosis awal untuk allopurinol adalah 100 mg sehari. Allopurinol dapat dititrasi sampai 300 mg/hari tergantung pada respons uric acid serum (Katzung, Bertram G, 2001: 493).Efek samping:yang sering terjadi ialah reaksi kulit. Bila kemerahan kulit timbul, obat harus dihentikan karena gangguan mungkin menjadi lebih berat. Reaksi alergi berupa demam, menggigil. Gangguan saluran cerna kadang-kadang terjadi (Fakultas Kedokteran UI, 1995: 221).

Pemerian dan kelarutan allopurinol :

Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, allopurinol merupakan serbuk halus putih hingga hampir putih; berbau lemah.

Kelarutannya sangat sukar larut dalam air dan etanol; larut dalam larutan kalium dan natrium hidroksida; praktis tidak larut dalam kloroform dan dalam eter. 2.1.6 Ekstraksi Pelarut

a. Definisi dan Prinsip Dasar

Ekstraksi merupakan suatu teknik dimana suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang pada hakikatnya tak tercampurkan dengan yang disebut pertama dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) ke dalam pelarut yang ke dua itu (Basset, J, 1994: 165).Di antara berbagai jenis metode pemisahan, eksraksi pelarut atau disebut juga ekstraksi air merupakan metode pemisahan yang paling baik dan populer. Alasan utamanya adalah bahwa pemisahan ini dapat dilakukan dalam tingkat makro ataupun mikro. Prinsip metode ini didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur, seperti benzen, karbon tetraklorida atau kloroform (Khopkar,1990: 85).

b. Hukum Partisi

Dinyatakan oleh Walter Nernst (1891), yang dikenal dengan hukum distribusi atau partisi. Jika solut dilarutkan sekaligus kedalam dua pelarut yang tidak saling bercampur, maka solut akan terdistribusi diantara kedua pelarut. Pada keadaan setimbang perbandingan konsentrasi solut berharga tetap pada suhu tetapSecara matematis hubungan tersebut dapat dituliskan : =

Dimana Kd adalah sebuah tetapan yang dikenal dengan koefisien distribusi atau partisi. Harga Kd tidak bergantung pada konsentrasi total solut pada kedua fase, tetapi bergantung pada suhu, jenis kedua pelarut dan solut.

Kesempurnaan ekstraksi bergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang paling baik diperoleh jika ekstraksi dilakukan berulang kali dengan jumlah pelarut sedikit-sedikit daripada menggunakan seluruh jumlah pelarut itu dalam satu kali ekstraksi (Yazid, Estien, 2005: 182-185).Pemilihan pelarut untuk ekstraksi ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan berikut (Basset, J, 1994: 175) :

1) angka banding distribusi yang tinggi untuk zat terlarut, angka banding distribusi rendah untuk zat-zat pengotor yang tidak diingini.

2) kelarutan yang rendah dalam fase air.

3) viskositas yang cukup rendah dan perbedaan rapatan yang cukup besar dari fase airnya untuk mencegah terbentuknya emulsi.

4) keberacunan (toksisitas) yang rendah dan tidak mudah terbakar.mudah mengambil kembali zat terlarut dari pelarut untuk proses-proses analisis berikutnya.Kriteria cairan penyari yang baik yaitu:

1) Murah dan mudah diperoleh

2) Stabil secara fisika dan kimia

3) Bereaksi netral

4) Tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar

5) Selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki

6) Tidak mempengaruhi zat berkhasiat

7) Diperbolehkan oleh peraturan

Cara penyarian :

Ekstraksi Cair-Padat

Yaitu ekstraksi dengan cara menarik komponen zat yang diinginkan dari matriks padat. Berdasarkan energi yang digunakan dibagi atas :

a. Ekstraksi dingin

Maserasi

Merupakan suatu proses ekstraksi cair padat menggunakan suatu pelarut selama waktu tertentu dengan sesekali diaduk atau dikocok pada suhu kamar. Dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari dengan jumlah cairan penyari 1 cm di atas matriks. Perkolasi

Merupakan suatu ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Dilakukan dengan cara mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisa yang telah dibasahi cairan penyari terlebih dahulu selama waktu tertentu dan berakhir setelah diperoleh hasil berupa filtrat yang jernih.

b. Ekstraksi Panas

Infundasi

Penyarian simplisia dengan air pada suhu 90o C selama 15 menit, umumnya digunakan untuk menyari zat aktif yang terlarut dalm air dari bahan-bahan nabati, sari yang dihasilkan tidak boleh disimpan lebih dari 12 jam.

Digesti

Maserasi kinetik dengan cara pemanasan, secara umum dilakukan pada suhu 40-50o C.

RefluksEkstraksi dengan pelarut pada titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan.2.1.7 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal). Setelah pelat atau lapisan ditaruh di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (dideteksi). (Stahl, Egon, 1985: 3).a. Fase diam (lapisan Penjerap)

Penjerap yang umum ialah silika gel, alumunium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, poliamida dan lain-lain (Stahl, Egon, 1985:4).Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya pemisahnya (Stahl, Egon,1985: 4).b. Fase Gerak (pelarut pengembang)

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada daya kapiler. Yang digunakan hanyalah pelarut bertingkat mutu analitik dan bila diperlukan sistem pelarut multikomponen ini harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, Egon, 1985: 6).

c. Bejana Pemisah, Penjenuhan, Aras Pengisian

Bejana harus dapat menempung pelat 200 x 200 mm dan harus tertutup rapat. Aras pengisian fase gerak harus 5 8 mm, ini sesuai dengan kedalaman lapisan yang terendam. Tingkat kejenuhan bejana dengan uap pelarut pengembang mempunyai pengaruh yang nyata pada pemisahan dan letak bercak pada kromatogram. Jika pelarut pengembang naik dalam lapisan, sebagian menguap di daerah garis depan pelarut pengembang itu (Stahl, Egon, 1985: 9).d. Awal dan Jumlah Cuplikan

Bercak atau pita ditotolkan pada jarak 15 mm dari tepi bawah lapisan. Jarak suatu bercak awal, yang berukuran 3 5 mm, ke bercak awal lainnya dan jarak antara bercak paling pinggir dengan tepi samping sekurang-kurangnya 10 mm. Lapisan tidak boleh rusak selama penotolan cuplikan itu. (Stahl, Egon, 1985: 10).Penotolan dapat dilakukan dengan mikropipet atau dengan microsyringe, biasanya diperlukan 1-20 l. Kelebihan beban menyebabkan bercak asimetri dan perubahan harga Rf, yang dapat dihindari jika cuplikan kurang dari 10-20g (Sudjadi,1988: 173).e. Pengembangan

Pengembangan ialah proses pemisahan campuran cuplikan akibat pelarut pengembang merambat naik dalam lapisan. Jarak pengembang normal, yaitu jarak antara garis awal dan garis depan ialah 100 mm. Di samping pengembangan sederhana, yaitu perambatan satu kali sepanjang 10 cm ke atas, pengembangan ganda dapat juga digunakan untuk memperbaiki efek pemisahan, yaitu dua kali merambat 10 cm ke atas berturut-turut pada pengembangan dua kali. (Stahl, Egon, 1985: 11).f. Larutan Pembanding (Campuran Uji atau Baku)

Di samping larutan cuplikan, selalu ada suatu campuran pembanding yang dikromatografi pada waktu yang bersamaan. Campuran ini terdiri atas 1 5 senyawa yang diketahui, dengan konsentrasi yang telah diketahui pula. Bila mungkin, senyawa pembanding ini sama dengan senyawa yang terdapat di dalam larutan cuplikan. Tetapi, boleh juga senyawa lain yang berbeda yang mempunyai sifat rambat serupa dengan senyawa cuplikan (Stahl, Egon, 1985: 11).

g. Deteksi Senyawa yang Dipisah

Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa tanwarna pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama pada kira-kira 254 nm) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV gelombang pendek dan atau gelombang panjang (365 nm). Jika dengan kedua cara itu senyawa tidak dapat dideteksi, harus dicoba dengan reaksi kimia; pertama tanpa dipanaskan, kemudian bila perlu dengan dipanaskan (Stahl, Egon, 1985: 13).h. Penilaian dan Dokumentasi Kromatogram

Angka Rf pada KLT

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf. Harga ini merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu senyawa pada kromatogram dan pada kondisi konstan yang merupakan besaran karakteristik dan reproduksibel.

Angka Rf berjangka antara 0,00 dan 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. hRf ialah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. Jika dipilih 10 cm sebagai jarak pengembangan, maka jarak rambat suatu senyawa (titik awal-pusat bercak dalam cm) x 10 menghasilkan angka hRf. Tetapi, karena angka Rf merupakan fungsi sejumlah faktor, angka ini harus dianggap sebagai petunjuk saja. Inilah yang menjadi alasan mengapa angka hRf-lah, misalnya hRf 60 70, yang dicantumkan untuk menunjukkan letak suatu senyawa pada kromatogram.

Pada penilaian visual suatu kromatogram, hal berikut harus diamati:

Jarak pengembangan komponen larutan cuplikan dibandingkan dengan

jarak pengembangan larutan pembanding.

Beberapa sifat, misalnya fluoresensi atau pemadaman fluoresensi danterutama warna hasil reaksi warna. Perbandingan luas bercak memberi informasi mengenai angkabanding kuantitatif. Ukuran bercak juga tergantung pada kepekaanreaksi deteksi.2.1.8 Spektrofotometri UV-Vis

a. Definisi dan Prinsip Dasar

Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknis analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (190 380 nm) dan sinar tampak (380 780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995: 26).

Spektrum UV-Vis merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM) dengan molekul. REM merupakan bentuk energi radiasi yang mempunyai sifat gelombang dan pertikel (foton). Karena bersifat sebagai gelombang maka beberapa parameter perlu diketahui, misalnya panjang gelombang (), frekuensi (v), bilangan gelombang () dan serapan (A) (Harmita, 2006: 134).b. Pemilihan pelarut

Spektrofotometri UV-Vis dapat digunakan untuk penentuan terhadap sampel yang berupa larutan, gas atau uap. Untuk sampel yang berupa larutan perlu diperhatikan beberapa persyaratan pelarut yang dipakai, antara lain (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995: 28) :

1) pelarut yang dipakai tidak mengandung sistem ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur molekulnya dan tidak berwarna.

2) tidak terjadi interaksi dengan molekul senyawa yang dianalisis.

3) kemurniannya harus tinggi atau derajat untuk analisis.Hal lain yang perlu diperhatikan dalam masalah pemilihan pelarut adalah polaritas pelarut yang dipakai karena akan sangat berpengaruh terhadap pergeseran spektrum molekul yang dianalisis (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995: 28).Penyimpangan-penyimpangan Hukum Beer (Harmita, 2006: 136)

Pada konsentrasi rendah, grafik hubungan dari serapan dengan konsentrasi biasanya merupakan garis lurus. Pada konsentrasi yang lebih tinggi kurva ini dapat membelok ke arah absis atau ordinat. Penyimpangan ini disebabkan oleh kondisi percobaan yang sudah tidak dipenuhi lagi, yaitu :

1) cahaya tidak cukup monokromatis.

2) cahaya sampingan (stray radiation) mengenai detektor.

3) kepekaan detektor berubah.

4) intensitas sumber cahaya dan amplifier dari detektor berubah-berubah karena tegangan tidak stabil.

5) pada desosiasi-asosiasi keseimbangan kimia berubah, misalnya pada perubahan pH larutan.

6) larutan berfluoresensi.

7) suhu larutan berubah selama pengukuran.c. Penggunaan Spektrofotometer UV-Vis (Harmita, 2006: 140)

Spektrofotometer UV-Vis digunakan terutama untuk analisa kuantitatif tetapi juga analisa kualitatif.

Sampel dikatakan positif mengandung zat yang diuji yaitu pada pengukuran panjang gelombang maksimum spektrum dari larutan uji identik dengan spektrum pembanding kerja.

Untuk analisa kualitatif yang perlu diperhatikan adalah :

1) membandingkan panjang gelombang maksimum.

2) membandingkan spektrum serapannya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi spektrum serapan (Harmita, 2006: 143) :

1) jenis pelarut (polar, nonpolar).

2) pH larutan.

3) kadar larutan, jika konsentrasi tinggi akan terjadi polimerisasi yang menyebabkan panjang gelombang maksimum berubah sama sekali atau harga Io < Ia.

4) tebal larutan, jika digunakan kuvet dengan tebal berbeda akan memberikan spektrum serapan yang berbeda.

5) lebar celah.

Makin lebar celah (slit width) maka makin lebar pula serapan (band width), cahaya makin polikromatis, resolusi dan puncak-puncak kurva tidak sempurna.Efek yang timbul akibat perubahan pada spektrum serapan faktor tersebut antara lain terhadap :

1) perubahan serapan (hiperkromik dan hipokromik),

2) perubahan panjang gelombang (hipsokromik/blue shift, batokromik/red shift) (Harmita, 2006: 148).Pengukuran dengan menggunakan spektrofotometer Uv-vis dilakukan pada panjang gelombang () maksimum dengan alasan sebagai berikut :

1) Pada panjang gelombang maksimum diperoleh serapan maksimum dimana perubahan serapan karena konsentrasi juga maksimum sehingga menghasilkan kepekaan dan keakuratan yang lebih tinggi.

2) Pada pita panjang gelombang maksimum ini daya serap juga relatif konstan sehingga diperoleh kurva kalibrasi yang linier.

3) Pada panjang gelombang maksimun bentuk serapan pada umumnya landai sehingga kesalahan penempatan/pembacaan panjang gelombang dapat diabaikan.

maks

maks

Gambar 2 Spektrum serapan pada panjang gelombang maksimumTetapi untuk senyawa yang mempunyai spektrum serapan dengan puncak yang curam, tidak dianjurkan menggunakan maksimum (Harmita, 2006: 151).d. Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis

Komponen-komponen yang terpenting dari spektrofotometer UV-Vis adalah sumber radiasi yang stabil, monokromator, kuvet, detektor, amplifier dan recorder.

Gambar 3 Instrumentasi spektrofotometer uv-visibleSinar putih dari cahaya (1) melewati celah, kemudian menuju monokromator (2) dan didispersikan menjadi sinar yang monokromatis. Sinar ini kemudian ditransmisikan melalui sel yang melalui contoh (3) dan sampai pada detektor (4), yang selanjutnya diubah menjadi energi listrik yang diperkuat oleh amplifier (5) dan kemudian dicatat pada alat meter atau recorder (6).

Keterangan alat spektrofotometer :

1) Sumber radiasi atau sumber cahaya

Penggunaan sumber cahaya tergantung daerah yang diperlukan untuk suatu pengujian. Beberapa macam sumber radiasi yang dipakai dalam spektrofotometer UV-Vis adalah lampu deuterium atau hidrogen, lampu wolfram atau tungsten dan lampu merkuri.

Sumber radiasi deuterium dapat dipakai pada daerah panjang gelombang 190 nm sampai 380 nm (daerah ultraviolet dekat). Umur sumber radiasi deuterium (D2) sekitar 500 jam pemakaian.

Sumber radiasi tungsten disebut juga sebagai sumber radiasi tungsten-iodine. Sumber radiasi ini dipakai pada daerah pengukuran sinar tampak dengan rentangan panjang gelombang 380 nm sampai 780 nm. Umur sumber radiasi tungsten-iodin sekitar 1000 jam pemakaian.

Sumber radiasi merkuri dipakai untuk mengecek atau kalibrasi panjang gelombang pada spektrofotometer UV-Vis pada daerah ultraviolet khususnya di sekitar panjang gelombang 365 nm (365,0; 365,5 dan 366,3 nm) dan sekaligus mengecek resolusi dari monokromator (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995: 51).2) Monokromator

Alat ini berfungsi untuk mendapatkan radiasi monokromatis dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis. Monokromator pada spektrofotometer UV-Vis biasanya terdiri dari susunan : celah (slit) masuk, filter, prisma, kisi (grating) dan celah keluar (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995: 52).3) Sel atau Kuvet

Sel atau kuvet merupakan wadah sampel yang akan dianalisis (diukur serapannya). Ditinjau dari pemakaiannya kuvet ada dua macam yaitu:

kuvet yang permanen terbuat dari bahan gelas atau leburan silika.

kuvet disposible untuk satu kali pemakaian yang terbuat dari teflon atau plastik yang sering digunakan untuk pengukuran pada daerah panjang gelombang cahaya tampak, tetapi mudah korosif dengan pelarut tertentu.

Ditinjau dari bahan yang dipakai membuat kuvet, ada dua macam yaitu : kuvet dari leburan silika (kuarsa) dan kuvet dari gelas.

Kuvet dari kuarsa digunakan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif pada daerah pengukuran 190-1100 nm.

Kuvet dari gelas digunakan untuk analisa pada daerah pengukuran 380-1100 nm, karena bahan dari gelas mengabsorpsi radiasi UV.

Matching of Cells adalah pasangan kuvet yang sama dan identik betul serta sangat penting untuk spektrofotometer UV-Vis double beam. Oleh sebab itu pasangan kuvet harus diperhatikan khususnya untuk analisa kuantitatif (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995:55-56).4) Detektor (Mulja, Muhammad dan Suharman, 1995: 57-58)

Detektor berfungsi mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik.

Beberapa persyaratan tentang kualitas dan fungsi detektor di dalam spektrofotometer UV-Vis antara lain :

detektor harus mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap radiasi yang diterima tetapi harus memberikan derau (noise) yang sangat minim.

detektor harus mempunyai kemampuan untuk memberikan respons terhadap radiasi pada daerah panjang gelombang yang lebar (Uv-vis).

detektor harus memberikan respons terhadap radiasi dalam waktu yang serempak.

detektor harus memberikan jaminan terhadap respons kuantitatif dan sinyal elektronik yang dikeluarkan harus berbanding lurus dengan sinyal radiasi yang diterima.

sinyal elektronik yang diteruskan oleh detektor harus dapat diamplifikasikan oleh penguat (amplifier) ke recorder (pencatat).Permasalahan analisis dengan metode Spektrofotometri Uv-vis adalah kesalahan pengukuran detektor yang disebabkan antara lain oleh :

adanya radiasi sesatan (stray radiation) yang ditimbulkan oleh peralatan di dalam spektrofotometer itu sendiri dan ditimbulkan oleh faktor-faktor dari lingkungan seperti debu dan sebagainya.

adanya pergeseran panjang gelombang pengukuran (maks) yang disebabkan oleh gerakan mekanis untuk mengatur panjang gelombang.5) Amplifier (penguat arus)

Amplifier berfungsi untuk memperkuat sinyal-sinyal listrik yang kemudian ditangkap oleh recorder.

6) Recorder (alat perekam)

Merupakan alat pencatat yang dapat berupa gambar atau angka-angka.f. Klasifikasi Spektrofotometer

Spektrofotometer UV-Vis dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu :

1) Spektrofotometer UV-Vis Berkas Tunggal (Single Beam Spectrophotometer).

Gambar 4 Bagan instrumentasi spektrofotometer uv-vis berkas tunggalKeterangan :1. Sumber Cahaya

2. Monokromator

3. Tempat Sampel (kuvet)

4. Detektor

5. Amplifier

6. Recorder

Sinar yang berasal dari sumber radiasi masuk ke dalam monokromator, diubah menjadi sinar monokromatis kemudian masuk ke dalam tempat sampel atau kuvet. Sinar yang ditransmisikan masuk ke dalam detektor kemudian diperkuat oleh amplifier dan terbaca oleh recorder.2) Spektrofotometer UV-Vis Berkas Ganda (Double Beam Spectrophotometer).

Gambar 5 Bagan instrumentasi spektrofotometer uv-vis berkas gandaKeterangan :1. Sumber radiasi

2. Monokromator

3. Tempat sampel (kuvet)

a. Kuvet untuk blangko

b. Kuvet untuk sampel

4. Detektor

5. Amplifier

6. Recorder

Sinar setelah melewati monokromator dengan menggunakan rotating mirror dibagi menjadi dua sinar (reference beam dan sample beam) dengan intensitas yang sama. Kuvet yang berisi pelarut atau blangko diletakkan pada reference beam, sedangkan yang berisi larutan uji diletakkan pada sample beam. Setelah melewati masing-masing kuvet, kedua sinar yang ditransmisikan dideteksi secara stimultan atau bergantian sebagai reference signal (Io) dan sample signal (It) kemudian diperkuat oleh amplifier dan terbaca oleh recorder.2.2 Kerangka Konsep

Dilakukan terlebih dahulu identifikasi allopurinol dalam obat tradisional pegal linu bentuk serbuk dengan menghomogenkan sediaan tersebut, lalu dilakukan penimbangan sesuai dosis pemakaian. Kemudian dilakukan ekstraksi terhadap sampel untuk menarik komponen yang akan dianalisis. Hal tersebut juga dilakukan terhadap sampel yang ditambahkan baku pembanding.

Setelah proses ekstraksi, dilanjutkan dengan teknik Kromatografi Lapis Tipis untuk memisahkan komponen yang akan dianalisis dari komponen lain yang masih tertinggal. Bila bercak yang dihasilkan antara larutan uji dan larutan baku berbeda jauh harga Rf-nya maka dapat dikatakan bahwa sampel tersebut negatif allopurinol atau tidak mengandung bahan kimia sintetik allopurinol. Sedangkan bila bercak yang dihasilkan antara larutan uji dan larutan baku sejajar atau berdekatan harga Rf-nya maka dapat dikatakan bahwa sampel tersebut diduga mengandung allopurinol.

Dilakukan penegasan terhadap sampel yang memberikan hasil positif setelah dilakukan Kromatografi Lapis Tipis. Bila spektrum yang dihasilkan antara larutan uji dan spektrum larutan uji + baku pembanding identik maka sampel tersebut benar mengandung allopurinol. Bila spektrum larutan uji dan spektrum larutan uji + baku pembanding tidak identik maka sampel dinyatakan tidak mengandung allopurinol tetapi diduga mengandung senyawa lain yang polaritasnya sama dengan zat yang diuji atau bercak tersebut adalah bercak matriksnya.BAB IIIMETODE PENGUJIAN3.1 Prosedur Pengujian

Prosedur Asli (MA PPOM 25/OT/06)

Prinsip :

Allopurinol diidentifikasi secara spektrofotometri UV dan KCKT setelah diekstraksi dari cuplikan dan dikromatografi lapis tipis.

Prosedur :Larutan uji

Sejumlah satu dosis jamu yang telah diserbuk halus, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 125-mL ditambah 50 ml air dan 5 tetes natrium hidroksida 0,1N, dikocok selama 30 menit dan disaring. Filtrat diuapkan di atas tangas air sampai kering. Residu yang diperoleh ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1N dan 5 mL etanol, kemudian disonikasi selama 15 menit dan disaring. Larutan ini disebut larutan A.Larutan spike

Dengan cara yang sama diekstraksi satu dosis jamu yang ditambah 20 mg Allopurinol BPFI. Larutan ini disebut larutan B.

Larutan baku

Sejumlah lebih kurang 20 mg Allopurinol BPFI ditimbang seksama, dimasukkan kedalam labu tentukur 10-mL, ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1N dan 5 mL etanol. Disonikasi selama 15 menit dan diencerkan dengan etanol sampai tanda. Larutan ini disebut larutan C.

Cara identifikasia. Cara Kromatografi Lapis Tipis

Larutan A, B dan C ditotolkan secara terpisah dan dilakukan kromatografi lapis tipis sebagai berikut:

Fase diam

: silika gel GF254, tebal 0,25 mm, 20 x 20 cm

Fase gerak

: 1. etil asetat-metanol-amonia ( 85 :10 :5 )

2. campuran 200-mL n-butanol dan 200-mL

ammonium hidroksida 6 N dikocok dan dibuang

lapisan bawahnya, kemudian ditambahkan 20-

mL n-butanol

Penjenuhan

: dengan kertas saring

Jarak rambat

: 15 cm

Volume penotolan: larutan A, B dan C masing masing 50 l

Penampak bercak: UV 254nm

Hasil

: contoh positif mengandung Allopurinol apabila

larutan A Menunjukkan bercak dengan Rf mirip

seperti Rf larutan B dan C.b. Cara Spektrofotometri UV

Larutan A, B dan C (sesuai volume penotolan sampai diperoleh bercak uji setara dengan bercak baku) dikromatografi lapis tipis seperti tersebut di atas, bercak baku dan senyawa yang memiliki nilai Rf mirip ditandai dan dikerok. Hasil kerokan ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N dan 5 mL etanol dan disaring. Serapan filtrat dilakukan scanning pada panjang gelombang antara 210-280 nm. Allopurinol dalam etanol suasana basa memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang lebih kurang 250nm.

Hasil: contoh positif mengandung Allopurinol apabila larutan A menunjukkan pola spektra larutan B dan C.3.2 Langkah Kerja

1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.

2. Tahap Orientasi

Dilakukan orientasi menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis dengan 3 macam fase gerak menggunakan chamber berukuran 5 x 10 cm dengan 3 merek sampel jamu yang berbeda.a. Dibuat larutan uji : Ditimbang satu dosis jamu kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 125mL. Ditambah 50 mL air dan ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N, dikocok dan disaring. Filtrat diuapkan hingga kering. Residu yang diperoleh ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N dan 5 mL etanol. Disonifikasi selama 5 menit dan disaring (A).b. Dibuat Larutan Uji + Baku

Dengan cara yang sama di ekstraksi sampel yang ditambahkan 20 mg allopurinol BPFI (B).

c. Diidentifikasi secara Kromatografi Lapis Tipis : Diaktifkan lempeng silika gel GF254 di dalam oven pada suhu 105 0C selama 15 30 menit.

Disiapkan chamber, dilapisi chamber dengan kertas saring serta diolesi tutup dan mulut chamber dengan lemak eksikator.

Dibuat eluen :1. etil asetat-metanol-amonia ( 85 :10 :5 )

2. campuran 200-mL n-butanol dan 200-mL ammonium hidroksida 6 Ndikocok dan dibuang lapisan bawahnya, kemudian ditambahkan 20mL n-butanol. Dituang eluen ke dalam chamber dan biarkan hingga jenuh (kertas saring basah semua).

Ditotolkan secara terpisah larutan uji 1, 2 dan 3 serta baku masing-masing sebanyak 10 L di atas lempeng silika gel GF254 yang telah diaktifkan.

Dimasukkan ke dalam chamber berisi eluen yang telah jenuh, dan dilakukan proses eluasi hingga tanda batas pengembangan.

Diangkat lempeng dari dalam chamber dan keringkan dengan hair dryer.

Diamati bercak yang diperoleh di bawah sinar ultraviolet 254 nm.

Dibandingkan bercak masing-masing larutan uji yang diperoleh dengan larutan baku. Bercak uji yang sejajar dengan baku digunakan untuk pengujian selanjutnya.3. Tahap Pengujian

Dilakukan pengujian mutu (keseragaman bobot) terhadap sampel yang diduga mengandung zat aktif yang diuji berdasarkan hasil orientasi sebagai berikut :

a. Ditimbang isi tiap bungkus serbuk jamu pegal linu yang akan diuji satu persatu.

b. Ditimbang seluruh isi 20 bungkus serbuk jamu sekaligus. c. Dihomogenkan serbuk jamu tersebut di dalam mortar.d. Dihitung bobot isi serbuk rata-rata dan dihitung keseragaman bobot dari bobot penimbangan serbuk dari simpangan tertinggi dan terendah.Dilakukan pengujian keamanan (bahan kimia sintetik) sebagai berikut :

a. Dibuat larutan uji (A) :

Ditimbang satu dosis jamu kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 125mL. Ditambah 50 mL air dan ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N, dikocok dan disaring. Filtrat diuapkan hingga kering. Residu yang diperoleh ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N dan 5- mL etanol. Disonifikasi selama 5 menit dan disaring (A).b. Dibuat larutan uji + baku (B) :

Dengan cara yang sama, diekstraksi satu dosis jamu yang telah ditambah 20 mg allopurinol BPFI.

c. Dibuat Larutan Baku (C) : Sejumlah lebih kurang 20 mg allopurinol BPFI ditimbang seksama, dimasukkan kedalam labu tentukur 10-mL.

Ditambah 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N dan 5 mL etanol. Disonikasi selama 15 menit dan diencerkan dengan etanol P sampai tanda.

d. Identifikasi :

Cara Kromatografi Lapis Tipis :

Diaktifkan enam lembar lempeng silika gel GF254 berukuran 10 x 20 cm di dalam oven pada suhu 1050 C selama 15 30 menit.

Disiapkan chamber, dilapisi chamber dengan kertas saring serta diolesi tutup dan mulut chamber dengan lemak eksikator.

Dibuat eluen :1. etil asetat-metanol-amonia ( 85 :10 :5 )

2. campuran 200-mL n-butanol dan 200-mL ammonium hidroksida 6 N dikocok dan dibuang lapisan bawahnya, kemudian ditambahkan 20mL n-butanol. Dituang masing-masing eluen ke dalam chamber dan biarkan hingga jenuh (kertas saring basah semua). Ditotolkan masing-masing secara terpisah larutan A dan B sebanyak 30 L serta C sebanyak 100 L di atas lempeng silika gel GF254 yang telah diaktifkan. Dilakukan dua seri penotolan untuk pelarut etanol dan basa pada pengujian secara spektrofotometri ultraviolet.

Dimasukkan ke dalam chamber berisi eluen yang telah jenuh, dan dilakukan proses eluasi hingga tanda batas pengembangan.

Diangkat lempeng dari dalam chamber dan keringkan dengan hair dryer.

Diamati bercak yang diperoleh di bawah sinar ultraviolet 254 nm.

Dibandingkan dan dihitung harga Rf yang diperoleh dari bercak A, B dan C.

Cara Spektrofotometri Ultraviolet :

Ditandai dan dikerok bercak A, B dan C yang mempunyai harga Rf yang sama atau hampir sama.

Dimasukkan masing-masing secara terpisah hasil kerokan ke dalam labu ukur 10 mL (kecuali blangko ke dalam labu ukur 25 mL).

Dilarutkan masing-masing dalam dua pelarut, yaitu etanol P dan natrium hidroksida 0,1 N.

Dikocok menggunakan alat ultrasonik.

Diad-kan masing-masing dengan etanol dan natrium hidroksida 0,1 N sampai tanda, dihomogenkan.

Disaring masing-masing larutan ke dalam tabung reaksi.

Discanning larutan B dari panjang gelombang 210 hingga 280 nm dengan pelarut etanol dan natrium hidroksida 0,1 N untuk memastikan panjang gelombang maksimum yang diperoleh sesuai dengan alat yang digunakan.

Diukur serapan larutan B, C dan A dengan alat spektrofotometer ultraviolet pada panjang gelombang maksimum yang telah diperoleh dari pengukuran sebelumnya dengan etanol dan NaOH 0,1 N sebagai blangko.

Diamati dan dibandingkan profil spektrum antara larutan A dan larutan B.3.3 Bahan1. Allopurinol BPFI2. Ammonia P3. Ammonium hidroksida 6 N4. Aquades5. Etanol P6. Etil asetat P7. Metanol P8. Natrium hidroksida 0,1 N 9. N-butanol P 3.4 Alat

1. Batang pengaduk

2. Botol semprot 500 mL

3. Cawan penguap

4. Cawan Petri

5. Chamber6. Erlenmeyer 125 mL

7. Gelas piala 100 mL

8. Gelas ukur 5 mL; 50 mL

9. Hair dryer10. Kuvet11. Labu tentukur 10,0 mL; 25,0 mL12. Lempeng Silika Gel GF25413. Mortar

14. Penangas air 15. Pipet tetes

16. Rak tabung reaksi17. Sendok tanduk

18. Shaker 19. Spektrofotometer merek Shimadzu tipe UV-160120. Syringe 100L21. Tabung reaksi

22. Timbangan analitik merek Mettler Toledo tipe AL-204

23. Ultrasonik merek Bronson 350124. UV scanner merek Camag

3.5 Rumus PerhitunganPerhitungan Penyimpangan Bobot Isi Rata-rata

Penyimpangan terhadap bobot tertinggi

Penyimpangan terhadap bobot terendah

BAB IV

HASIL PENGUJIAN DAN PEMBAHASAN4.1 Hasil Pengujian4.1.1 Data Orientasia. Sampel 1

Nama Sampel: Jamu Pegal Linu J

No. Batch

:-

No. Reg

: POM TR No. 053 248 511Produksi

: PT. X

Komposisi : Zingiberis Rhizoma1,05 g

Andrographidis Folium1,40 g Kaemferia Rhizoma1,40 g

Curcuma Dosmetica Rhizoma1,05 g

Myristicae Semen1,40 g

Retrofractii Fructus0,70 g

Exp. Date

:-

Khasiat : Membantu meredakan pegal linu pada

persendian dan encokCara Pemakaian : Sehari diminum 2 kali @ 1 bungkus diseduh

dengan air panas secukupnya dengan air panas

sebanyak kira-kira 100 mlKemasan : 1 bungkus netto 7 gb. Sampel 2

Nama Sampel: Jamu Pegal Linu K

No. Batch

: F01011No. Reg

: Depkes RI. No. TR. 771215181Produksi

: PT. Y

Komposisi : Cinnamomi Fructus 7 %

Panduratae Rhizoma8 %

Zingiberis Rhizoma 25 %

Curcuma Rhizoma40 %

Bahan-bahan lain sampai...100%Exp. Date

: 08013Khasiat

: Untuk pria dan wanita banyak bekerja dan sakit

pegal linu seperti : sakit pinggang, duduk lama

tidak tahan, berjalan lekas lelah dan seluruh

badan terasa sakit, malam sukar tidur, takut

mandi, tangan dan kaki terasa dingin, badan

lemah, semutan, encok dan sebagainya.Cara Pemakaian : Sebungkus sekali minum diseduh dengan air panas Kemasan

: 1 bungkus netto 7 gc. Sampel 3

Nama Sampel: Jamu Pegal Linu L

No. Batch

: 141No. Reg

: POM TR. 083275091Produksi

: PT. Z

Komposisi : Zingiberis Rhizoma150 mg

Cobotti Rhizoma150 mg

Asari Herba100 mg

Epimedii Herba 100 mg Exp. Date

: 02062011Khasiat

: Megobati asam urat, rheumatik, pegel linu, sakit

punggang pundak dan leher terasa kaku dan

sakit, kaki dan tangan kesemutan.Cara Pemakaian: Minum secara teratur 2 x 1 bungkus sehari,

diseduh dengan 100 ml air panas, aduk hingga

rata.Kemasan

: 1 bungkus netto 7 gram1) Data Hasil Kromatografi Lapis Tipisa. Data KromatogramDapat dilihat pada lampiran 1.

b. Data Hasil Pengukuran Jarak RambatTABEL 2HASIL PENGUKURAN JARAK RAMBAT LARUTAN SAMPEL 1, SAMPEL 2, SAMPEL 3 DAN BAKU ALLOPURINOL DENGAN FASE GERAK ETIL ASETAT : METANOL : AMONIA(85 : 10 : 5)No.LarutanJarak Rambat (cm)Tinggi Bercak (cm)Rf

1.Baku5,31,60,30

2.Sampel 15,31,70,32

3.Sampel 25,31,80,34

4.Sampel 35,31,40,26

TABEL 3

HASIL PENGUKURAN JARAK RAMBAT LARUTAN SAMPEL 1, SAMPEL 2, SAMPEL 3 DAN BAKU ALLOPURINOL DENGAN FASE GERAK CAMPURAN 200mL n-BUTANOL & 200mL AMMONIUM HIDROKSIDA 6 NNo.LarutanJarak Rambat (cm)Tinggi Bercak (cm)Rf

1.Baku3,51,60,46

2.Sampel 13,51,70,49

3.Sampel 23,51,60,46

4.Sampel 33,51,60,46

4.1.2 Data Pengujian

a.Data Sampel

Nama Sampel

: Jamu Pegal Linu KNo. Batch

: F01011No. Reg

: Depkes RI. No. TR. 771215181Produksi

: PT. Y

Komposisi : Cinnamomi Fructus 7 %

Panduratae Rhizoma8 %

Zingiberis Rhizoma 25 %

Curcuma Rhizoma40 %

Bahan-bahan lain sampai...100%Exp. Date

: 08013Khasiat : Untuk pria dan wanita banyak bekerja dan sakit

pegal linu seperti : sakit pinggang, duduk lama

tidak tahan, berjalan lekas lelah dan seluruh

badan terasa sakit, malam sukar tidur, takut

mandi, tangan dan kaki terasa dingin, badan

lemah, semutan, encok dan sebagainya.Cara Pemakaian : Sebungkus sekali minum diseduh dengan air panas Kemasan

: 1 bungkus netto 7 g

b.Data Hasil Penetapan Keseragaman BobotTABEL 4HASIL KESERAGAMAN BOBOT SAMPEL

No.KeteranganBobot Serbuk(g)Penyimpangan terhadap Bobot Isi Rata-rata (%)

1.Serbuk 17,18083,90

2.Serbuk 27,51150,53

3.Serbuk 37,46380,12

4.Serbuk 47,58441,90

5.Serbuk 57,63732,21

6.Serbuk 67,25642,89

7.Serbuk 77,49240,27

8.Serbuk 87,73153,47

9.Serbuk 97,60041,71

10.Serbuk 107,37191,34

11.Serbuk 117,17803,94

12.Serbuk 127,55151,06

13.Serbuk 137,98326,84

14.Serbuk 147,59241,61

15.Serbuk 157,33371,86

16.Serbuk 167,75303,76

17.Serbuk 177,10224,95

18.Serbuk 187,29602,36

19.Serbuk 197,70983,18

20.Serbuk 207,11834,74

149,4485

/ n = 149,4485 g / 20

= 7,4724 g

c.Data PenimbanganTABEL 5HASIL PENIMBANGAN SAMPEL, SAMPEL + BAKU DAN BAKU ALLOPURINOLNo.Keterangan

(g)Larutan ALarutan BLarutan C

Uji 1Uji 2Uji 3UjiBakuBaku

1.Wadah+bahan7,48107,47717,47407,47690,09730,0772

2.Wadah + sisa0,00000,00000,00000,00000,07660,0568

3.Bobot bahan7,48107,47717,47407,47690,02070,0204

d.Data PerhitunganPerhitungan Penyimpangan Bobot Isi Rata-rata

Penyimpangan terhadap bobot tertinggi

%1 =

= 6,84 %

%2 =

= 3, 76 %

%3 =

= 3,47 %

Penyimpangan terhadap bobot terendah

%1 =

= 4,95 %

%2 =

= 4,74 %

%3 =

= 3,94 %Persyaratan :

Dari 20 bungkus serbuk, tidak lebih dari 2 bungkus yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A (8 %) dan tidak satu bungkus pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom B (10 %).Hasil :

Dari perhitungan keseragaman bobot, tidak 1 bungkus pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A (8 %) sehingga dapat disimpulkan bahwa isi jamu pegal linu sediaan serbuk tersebut memenuhi persyaratan keseragaman bobot (MS). Perhitungan Volume Penotolan untuk Pengukuran Serapan secara Spektrofotometri Ultraviolet Moffat, Anthony C., et al. (Ed). 1969. Clarkes Analysis of Drugs and Poisons 3rd Edition. London : The Pharmaceutical Press

Ultraviolet Spectrum. Aqueous acid (prepared by dissolving in alkali and diluting with acid) 250 ( = 563a); aqueous alkali 257 nm ( = 523a)Volume penotolan ini diperoleh dari kadar 10 g per mL menggunakan pelarut etanol pada panjang gelombang maksimum 250 nm dengan = 563.

= 563 1 g / 100 mL = 563 1.000 mg / 100 mL = 563 1.000.000 g / 100 mL = 563 1.000 g / 100 mL = 0,563100 g /10 mL = 0,563 Moffat, Anthony C., et al. (Ed). 1969. Clarkes Analysis of Drugs and Poisons 3rd Edition. London : The Pharmaceutical Press

Ultraviolet Spectrum. Aqueous acid (prepared by dissolving in alkali and diluting with acid) 250 ( = 563a); aqueous alkali 257 nm ( = 523a)Volume penotolan ini diperoleh dari kadar 10 g per mL menggunakan pelarut natrium hidroksida 0,1 N pada panjang gelombang maksimum 257 nm dengan = 523a

= 523 1 g / 100 mL = 523 1.000 mg / 100 mL = 523 1.000.000 g / 100 mL = 523 1.000 g / 100 mL = 0,523100 g /10 mL = 0,523 Konsentrasi Larutan Baku (C)

= 0,2 g / 100 mL

= 20 mg / 10 mL

= 2 mg / mL

= 2 g / L Konsentrasi Larutan Uji + Baku (B) dan Larutan Uji (A)20 mg / 5 mL= 4 mg / mL

= 4 g / L Konsentrasi Volume Penotolan

10 g / mL= 100 g / 10 mL

Konsentrasi disesuaikan dengan volume labu ukur pada volume akhir larutan untuk pengukuran secara Spektrofotometri Ultraviolet, yaitu 10 mL masing-masing dengan pelarut etanol dan natrium hidroksida 0,1 N. Volume Penotolan Larutan Uji + Baku (B) dan Larutan Uji (A)

Volume Penotolan Larutan Baku (C)

e.Data Hasil Kromatografi Lapis Tipis

Data KromatogramDapat dilihat pada lampiran 2.

Data Hasil Pengukuran Jarak RambatTABEL 6HASIL PENGUKURAN JARAK RAMBAT LARUTAN UJI, UJI+BAKU DAN BAKU ALLOPURINOL MENGGUNAKAN FASE GERAK ETIL ASETAT : METANOL : AMMONIA (85 : 10 : 5)No.LarutanJarak Rambat (cm)Tinggi Bercak (cm)Rf

1.Baku152,50,17

2.Uji + Baku152,30,15

3.Uji 1152,30,15

4.Uji 2152,30,15

5.Uji 3152,20,15

TABEL 7HASIL PENGUKURAN JARAK RAMBAT LARUTAN UJI, UJI+BAKU DAN BAKU ALLOPURINOL MENGGUNAKAN FASE GERAKCAMPURAN 200mL n-BUTANOL & 200mL AMMONIUM HIDROKSIDA 6 N

No.LarutanJarak Rambat (cm)Tinggi Bercak (cm)Rf

1.Baku155,40,36

2.Uji + Baku155,30,35

3.Uji 1154,80,32

4.Uji 2154,90,33

5.Uji 3154,90,33

f.Data Hasil Spektrofotometri Ultraviolet

Data Hasil Scanning Panjang Gelombang Maksimum dan Spektrum

Dapat dilihat pada lampiran 3 sampai dengan 6. Data SerapanTABEL 8HASIL SERAPAN LARUTAN BERCAK UJI, UJI + BAKU DAN BAKU ALLOPURINOL DENGAN PELARUT ETANOL MENGUNAKAN FASE GERAK ETIL ASETAT : METANOL : AMMONIA (85 : 10 : 5)No.LarutanPanjang Gelombang Maksimum (nm)Serapan

1.Baku256,00,137

2.Uji + Baku262,40,285

3.Uji257,00,106

TABEL 9HASIL SERAPAN LARUTAN BERCAK UJI, UJI + BAKU DAN BAKU ALLOPURINOL DENGAN PELARUT NaOH 0,1 N MENGUNAKAN FASE GERAK ETIL ASETAT : METANOL : AMMONIA (85 : 10 : 5)No.LarutanPanjang Gelombang Maksimum (nm)Serapan

1.Baku257,00,067

2.Uji + Baku257,00,189

3.Uji257,00,190

TABEL 10HASIL SERAPAN LARUTAN BERCAK UJI, UJI + BAKU DAN BAKU ALLOPURINOL DENGAN PELARUT ETANOL P MENGGUNAKAN FASE GERAK CAMPURAN 200mL n-BUTANOL & 200mL AMMONIUM HIDROKSIDA 6 NNo.LarutanPanjang Gelombang Maksimum (nm)Serapan

1.Baku252,40,193

2.Uji + Baku252,40,250

3.Uji252,40,517

TABEL 11HASIL SERAPAN LARUTAN BERCAK UJI, UJI + BAKU DAN BAKU ALLOPURINOL DENGAN PELARUT NaOH 0,1 N MENGGUNAKAN FASE GERAKCAMPURAN 200mL n-BUTANOL & 200mL AMMONIUM HIDROKSIDA 6 NNo.LarutanPanjang Gelombang Maksimum (nm)Serapan

1.Baku257,00,273

2.Uji + Baku257,00,427

3.Uji257,00,290

1) PersyaratanBerdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional dinyatakan bahwa Industri Obat Tradisional dan Industri Kecil Obat Tradisional dilarang menambahkan bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat ke dalam obat tradisional.2) Hasil Pengujian Bahan Kimia Sintetik Kromatografi Lapis TipisBerdasarkan hasil pengujian identifikasi allopurinol dalam jamu pegal linu bentuk sediaan serbuk secara Kromatografi Lapis Tipis didapat bercak larutan A yang sejajar dengan bercak larutan B dan larutan C serta diperoleh harga Rf yang hampir sama sehingga dapat disimpulkan bahwa jamu pegal linu sediaan serbuk tersebut diduga mengandung allopurinol dan dilanjutkan dengan uji penegasan secara Spektrofotometri Ultraviolet. Spektrofotometri UltravioletBerdasarkan hasil pengujian identifikasi allopurinol dalam jamu pegal linu bentuk sediaan serbuk secara Spektrofotometri Ultraviolet diperoleh profil spektrum larutan A yang identik dengan profil spektrum larutan B sehingga dapat disimpulkan bahwa jamu pegal linu tersebut mengandung allopurinol.4.2Pembahasan Identifikasi allopurinol dilakukan terhadap obat tradisional jamu pegal linu karena obat sintetik ini berkhasiat sebagai anti inflamasi yang mengurangi sintesa kadar asam urat sehingga ada kemungkinan zat ini ditambahkan pada jamu pegal linu yang beredar di masyarakat yang bertujuan agar lebih cepat berkhasiat terhadap efek yang diinginkan.

Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan orientasi secara Kromatografi Lapis Tipis terhadap 3 merek sampel jamu berbeda (jamu J, K dan L) menggunakan chamber berukuran 5 x 10 cm menggunakan dua jenis fase gerak yang terdapat pada metode analisa identifikasi allopurinol, yaitu i. Etil asetat metanol ammonia 25% (85:10:5); ii. campuran 200-mL n-butanol dan 200-mL ammonium hidroksida 6 N dikocok dan dibuang lapisan bawahnya, kemudian ditambahkan 20mL n-butanol. Orientasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah pada sampel tersebut terdapat kemungkinan mengandung bahan kimia sintetik yang akan dianalisa. Dari hasil orientasi yang telah dilakukan, diperoleh semua merek sampel jamu tersebut diduga mengandung zat aktif yang akan diuji karena setelah diamati dibawah sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm diperoleh perbandingan bercak yang hampir sejajar antara larutan uji dan baku serta harga Rf yang hampir berdekatan. Namun dari ketiga merek sampel jamu tersebut diperoleh bercak sampel jamu K yang terlihat lebih sejajar dan jelas dengan baku sehingga diambil kesimpulan bahwa sampel K tersebut yang akan dilanjutkan untuk pengujian.Sampel jamu K yang telah dipilih untuk pengujian berdasarkan hasil orientasi kemudian dilakukan pengujian mutu berupa keseragaman bobot. Pengujian ini dilakukan terhadap 20 bungkus serbuk dengan cara ditimbang bobot isi tiap bungkus serbuk satu per satu kemudian ditimbang bobot bungkus serbuk secara keseluruhan. Hasil tersebut digunakan untuk mengetahui bobot penimbangan sampel dan penyimpangan bobot isi serbuk rata-rata . Kemudian seluruh isi serbuk dihomogenkan didalam mortar.

Pengujian keamanan terhadap sampel jamu K dilakukan tiga kali (triplo) sebanyak 1 dosis pemakaian (1 bungkus serbuk) sebagai larutan A, dibandingkan terhadap sampel 1 dosis (1 bungkus serbuk) yang ditambah 20 mg baku allopurinol BPFI yang diperlakukan sama dengan sampel sebagai larutan B dan larutan baku allopurinol BPFI 0,2% b/v ditambah 5 tetes NaOH 0,1 N dalam etanol sebagai larutan C. Larutan B berfungsi sebagai kontrol kerja untuk mengetahui adanya kesalahan selama pengujian secara Kromatografi Lapis Tipis.

Pemisahan dilakukan secara maserasi, sampel yang diujikan ditambah 50- mL air dan 5 tetes natrium hidroksida 0,1 N dan dikocok selama 30 menit. Natrium hidroksida berfungsi untuk menarik zat aktif allopurinol. Setelah 30 menit dikocok kemudian disaring, diperoleh larutan jernih lalu diuapkan hingga kering diatas tangas air untuk pemekatan, kemudian ditambahkan 5 tetes natrium hidroksida dan 5 mL etanol. Pelarut etanol menguntungkan karena mudah menguap pada penotolan untuk Kromatografi Lapis Tipis sehingga penotolan lebih cepat kering sebelum dilakukan proses eluasi.Teknik pemisahan zat aktif secara Kromatografi Lapis Tipis menggunakan fase diam lempeng silika gel GF254 yang bersifat higroskopis sehingga sebelum digunakan terlebih dahulu diaktifkan di dalam oven pada suhu 105 0C selama 30 menit untuk menghilangkan air yang dapat mengganggu pada saat proses penotolan dan eluasi. Dari hasil perhitungan volume penotolan diperoleh volume larutan A dan larutan B sebanyak 30 L serta larutan C sebesar 50 L. Proses eluasi terhadap sampel dilakukan menggunakan chamber berukuran 10 x 20 cm dengan menggunakan dua jenis fase gerak seperti yang telah dijelaskan di atas dan untuk masing-masing fase gerak dimasukan dua lempeng silika gel GF254 berukuran 10 x 20 cm untuk uji penegasan secara Spektrofotometri Ultravoilet yang menggunakan dua jenis pelarut etanol dan basa. Serapan larutan uji (A1, A2, A3) digabungan dalam satu labu untuk mendapatkan serapan ideal. Bercak yang sejajar serta mempunyai harga Rf yang sama antara larutan A, B dan C ditandai dan dikerok kemudian dilarutkan dengan dua jenis pelarut, yaitu etanol P dan NaOH 0,1 N. Dilakukan scanning terlebih dahulu terhadap larutan baku dalam pelarut etanol P dan pelarut NaOH 0,1 N dengan menggunakan alat spektrofotometer ultraviolet yang bertujuan untuk mengetahui panjang gelombang maksimum yang digunakan dengan masing-masing pelarut pada kondisi tersebut. Pada pengukuran serapan larutan uji menggunakan pelarut etanol P dan NaOH 0,1 N pada panjang gelombang maksimum 250 nm dan 257 nm diperoleh serapan yang tidak masuk range serapan ideal disebabkan serapan yang terlalu kecil di bawah 0,2. Pengukuran ini dikatakan kurang teliti karena tidak berkisar antara 0,2 0,8. Untuk pengukuran pada serapan rendah (serapan di bawah 0,2) intensitas sinar yang masuk dan sinar yang keluar hampir sama sehingga kesalahan akan menjadi besar karena yang dideteksi adalah perbedaan dari kedua intensitas tersebut. Sebaliknya pada serapan tinggi (serapan di atas 0,8) energi yang diteruskan kecil sehingga sukar diukur oleh detektor.

Selanjutnya dilakukan penotolan ulang dengan memperbesar volume penotolan menjadi 100 L untuk larutan A, B dan C dengan tujuan mendapatkan serapan yang masuk range (0,2 0,8) kemudian dilakukan hal yang sama seperti di atas. Setelah dilakukan pengukuran serapan kembali serapan yang diperoleh tetap tidak masuk range serapan ideal.

Berdasarkan hasil Spekrtofotometri diperoleh hasil yang menunjukkan pergeseran panjang gelombang kekanan yaitu ke arah yang lebih besar atau batokromik. Karena terikatnya gugus auksokrom oleh gugus kromofor sehingga terjadi efek batokromik. Spektrum yang diperoleh menunjukkan profil yang identik antara larutan A, B dan C menunjukkan bahwa sampel tidak memenuhi syarat karena sampel jamu pegal linu yang diuji positif mengandung bahan kimia obat yaitu allopurinol.BAB VSIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan pengujian mutu berupa keseragaman bobot yang dilakukan terhadap 20 bungkus, tidak 1 bungkus pun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan dalam kolom A (8 %) sehingga dapat disimpulkan bahwa isi jamu pegal linu sediaan serbuk tersebut memenuhi persyaratan keseragaman bobot (MS).Berdasarkan pengujian keamanan yaitu identifikasi allopurinol secara Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri Ultraviolet dapat disimpulkan bahwa sampel jamu pegal linu bentuk sediaan serbuk yang diuji positif mengandung allopurinol.

5.2 Saran

Agar mendapatkan hasil yang benar-benar optimal yang dapat menunjang kesimpulan pengujian, dapat digunakan metode analisa lain yang menggunakan alat-alat yang lebih sensitif seperti Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.

1

6

5

4

3

2

6

5

4

3

2

1

3a

6

5

4

2

1

3b

Menurut Permenkes No. 246/Menkes/Per/V/1990 dinyatakan bahwa obat tradisional tidak boleh mengandung bahan kimia sintetik

Analisa data/verifikasi terhadap Allopurinol

Pengujian secara KLT

Pengujian secara Spektrofotometri Ultraviolet

Obat Tradisional memenuhi syarat atau tidak

27

_1360100776.unknown

_1370771187.unknown