Bab 3. Pembahasan..

37
BAB 3. PEMBAHASAN 3.1 Sengketa Medik Sebelum penulis membahas tentang Tanggung Gugat dan Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit yang diwakili oleh Direksi, dalam menghadapi suatu sengketa medik, penting ditetapkan dahulu tentang apakah definisi Sengketa Medik. Sengketa Medik adalah pertentangan antara dokter/rumah sakit (di satu pihak) dengan pasien sebagai pihak lain yang telah berwujud dengan pengaduan (pihak) pasien terhadap pihak dokter/ rumah sakit disertai malpraktek atau tidak (Purwadianto). Secara hukum, suatu sengketa medik dapat meliputi: a. Sengketa pidana medik Fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibatnya. Tindakan dikategorikan ke dalamnya jika memenuhi kriteria: melanggar norma hukum pidana tertulis, bertentangan dengan hukum, dan berdasar suatu kelalaian atau kesalahan besar. b. Sengketa perdata medik Sengketa perdata medik ini menganut prinsip “barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi”. Menurut hukum perdata, hal ini dapat terjadi karena 2 (dua) hal yaitu: (1) Berdasar perjanjian (”ius contractu”) 8

description

FORENSIK

Transcript of Bab 3. Pembahasan..

Page 1: Bab 3. Pembahasan..

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Sengketa Medik

Sebelum penulis membahas tentang Tanggung Gugat dan Tanggung

Jawab Pihak Rumah Sakit yang diwakili oleh Direksi, dalam menghadapi suatu

sengketa medik, penting ditetapkan dahulu tentang apakah definisi Sengketa

Medik. Sengketa Medik adalah pertentangan antara dokter/rumah sakit (di satu

pihak) dengan pasien sebagai pihak lain yang telah berwujud dengan pengaduan

(pihak) pasien terhadap pihak dokter/ rumah sakit disertai malpraktek atau tidak

(Purwadianto).

Secara hukum, suatu sengketa medik dapat meliputi:

a. Sengketa pidana medik

Fokusnya adalah justru kausa/sebab dan bukan akibatnya. Tindakan

dikategorikan ke dalamnya jika memenuhi kriteria: melanggar norma hukum

pidana tertulis, bertentangan dengan hukum, dan berdasar suatu kelalaian atau

kesalahan besar.

b. Sengketa perdata medik

Sengketa perdata medik ini menganut prinsip “barang siapa merugikan

orang lain harus memberikan ganti rugi”. Menurut hukum perdata, hal ini dapat

terjadi karena 2 (dua) hal yaitu:

(1) Berdasar perjanjian (”ius contractu”)

(2) Berdasar hukum (”ius delicto”) (Soeparto dkk, 2001).

Hak pasien adalah sebagai pembawa peran pribadi penderita, konsumen

pelayanan kesehatan, pengadu, dan pencari ganti rugi atas ketidakpuasan yang

terjadi. Ketiga peran tersebut secara hukum terfokus pada motivasi pasien untuk

mengadukan atau menggugat dokter/rumah sakit untuk alasan sebagai berikut:

a. Ingin kompensasi (ganti rugi), melalui hukum perdata, administratif/profesi.

b. Ingin dokter/direksi rumah sakit yang salah dipidana melalui ranah hukum

pidana.

c. Ingin mengetahui status hukum kelembagaan pelayanan kesehatan, yakni:

8

Page 2: Bab 3. Pembahasan..

(1) Badan publik adalah melalui ranah hukum tata usaha (administrasi)

negara.

(2) Badan usaha adalah melalui ranah hukum perdata.

Sedangkan kata malpraktik berasal dari kata ''mal'', berarti penyimpangan

dan ''praktik'' yang artinya pelaksanaan sesuai prosedur profesi. Pengertian hukum

malpraktik banyak diambil dari literatur luar negeri, antara lain World Medical

Association (WMA,1992): ''medical malpractice involves the physician's failure

to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack

of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of

an injury to the patient''.

Berdasarkan hal itu dirumuskan kata malpraktik medik (medical

negligence) yang untuk pembuktiannya harus memenuhi empat kriteria yaitu 4 D:

duty, deriliction of duty, damages, dan direct cause. Sehingga untuk menyatakan

seorang dokter melakukan malpraktik medis maka di pengadilan harus terbukti

keempat unsur tersebut dan tidak hanya berdasarkan somasi pengacara atau

laporan pengaduan pasien saja.

Persoalan malpraktik yang latah diucapkan sebenarnya adalah sengketa

medik. Ada pasien atau keluarganya yang tidak puas terhadap hasil pengobatan

yang dilakukan dokter atau rumah sakit tertentu dan mengajukan laporan atau

pengaduan seperti yang diberitakan surat kabar atau media televisi. Kontrak

terapeutik yang disepakati (atau terlebih lagi jika belum jelas disepakati) ternyata

menimbulkan ketidakpuasan. Masyarakat awam mestinya tahu bahwa tidak semua

kegagalan medis akibat malpraktik medik.

Peristiwa buruk yang tak teramalkan sebelumnya yang terjadi saat

tindakan medik sudah dilakukan dengan memenuhi standar, tetapi ternyata

menimbulkan cedera, bukan termasuk dalam pengertian malpraktik. WMA

menyatakan: ''An injury occuring in the course of medical treatment which could

not be foreseen and was not the result of the lack of the skill or knowledge on the

part of the treating physician is untoward result, for which the physician should

not bear any liability''. Gunting atau gulungan kasa tertinggal dalam rongga perut

pastilah malpraktik. Tepatnya disebut kelalaian medik. Akan tetapi hasil

9

Page 3: Bab 3. Pembahasan..

sambungan tulang penyembuhannya kurang baik atau rahim terpaksa diangkat

setelah melahirkan karena perdarahan yang banyak, itu belum tentu malpraktik,

dan masih banyak hal yang masih bisa diperdebatkan.

Bagaimanapun juga, istilah malpraktek adalah istilah yang kurang tepat,

karena merupakan suatu praduga bersalah terhadap profesi kedokteran. Praduga

bersalah ini dapat disalah-gunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan

sesaat yang akan merusak semua tatanan dan sistem pelayanan kesehatan.

Celakanya, malpraktek medik yang merupakan suatu kesalahan dokter dalam

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dibandingkan dengan standard profesi,

tidak eksplisit dijumpai dalam UU No 29 Tahun 2004. Karenanya hal ini

merupakan pekerjaan rumah bagi Konsil Kedokteran Indonesia/KKI (dalam hal

legislasinya). Disusul oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesia/MKDKI yang akan menentukan apakah telah terjadi suatu kesalahan

dokter, walaupun tanpa bakunya suatu perumusan perbuatan indisipliner tersebut.

Selayaknya masalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan oleh dokter atau rumah sakit yang pada umumnya merupakan masalah

miskomunikasi antara pasien – dokter, diganti dengan istilah “sengketa medik”.

Alasannya karena pada saat ini masih banyak dokter yang berpraktek untuk

kepentingan kemanusiaan dalam bentuk pertolongan kegawatan, kedaruratan,

sejak dari prevensi, perlindungan khusus, diagnosis dini yang cepat, terapi hingga

rehabilitasi maupun pertolongan kemanusiaan lainnya.

3.2 Pola Hubungan Terapeutik dan Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik

di Rumah Sakit

Selanjutnya, penting penulis kemukakan terlebih dahulu tentang

bagaimanakah pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis di

dalam lingkup rumah sakit karena nantinya akan sangat membantu dalam

menentukan seberapa besar dibebankan tanggung gugat dan tanggung jawab

untuk masing-masing pihak dalam suatu sengketa medik.

10

Page 4: Bab 3. Pembahasan..

3.2.1 Pola Hubungan Terapeutik

Hukum perdata memandang hubungan terapetik sebagai hubungan

kontraktual yang menghasilkan perikatan (verbintenis), yang kemudian

memunculkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Health care

provider wajib memberikan prestasinya dalam bentuk upaya medik yang benar

berdasarkan teori kedokteran yang telah teruji. Sedangkan health care receiver

wajib memberikan kontra-prestasinya dalam bentuk materi, kecuali health care

provider setuju membebaskannya.

Ada beberapa pola hubungan terapeutik yang terjadi di rumah sakit, yaitu:

a. Hubungan “pasien-rumah sakit”

b. Hubungan “penanggung pasien-rumah sakit”

c. Hubungan “pasien-dokter”

d. Hubungan “penanggung pasien-dokter”

Hubungan Hukum Antara Pasien Dan Rumah Sakit, antara lain sebagai

berikut:

a. Perjanjian perawatan, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa pihak RS

menyediakan kamar perawatan dan adanya tenaga perawat yang akan

melakukan tindakan perawatan

b. Perjanjian pelayanan medis, yaitu kesepakatan antara RS dan pasien bahwa

tenaga medis pada RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan

pasien melalui tindakan medis (inspanningsverbintenis).

3.2.2 Pola Hubungan Kerja Tenaga Medik di Rumah Sakit

Jika diamati dengan seksama, maka ada beberapa macam pola yang

berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja antara dokter dengan rumah

sakit, antara lain:

a. Dokter sebagai employee

b. Dokter sebagai attending physician (mitra)

c. Dokter sebagai independent contractor

11

Page 5: Bab 3. Pembahasan..

3.3 Tanggung Gugat Pihak Rumah Sakit

Ada beberapa jenis tanggung gugat (liability) antara lain:

1. Contractual Liability

Tanggung gugat jenis ini muncul karena ingkar janji, yaitu tidak

dilaksanakannya sesuatu kewajiban atau tidak dipenuhinya sesuatu prestasi

sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Kaitannya dengan hubungan

terapeutik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care

provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Oleh karena itu,

health care provider hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang tidak

memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikategorikan

sebagai civil malpractice.

2. Liability in Tort

Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak

didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan

hukum. Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang

berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum

orang lain saja, tetapi juga yang berlawanan dengan ketelitian yang patut

dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain

(Hogeraad dalam Dahlan, 2001).

Adanya tanggung gugat seperti itu, maka health care provider dapat

digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan (criminal malpractice);

baik yang bersifat intensional, recklessness atau negligence. Contoh dari criminal

malpractice yang dapat menimbulkan tanggung gugat antara lain membocorkan

rahasia kedokteran, euthanasia, atau ceroboh dalam melakukan upaya medik

sehingga pasien meninggal dunia atau cacat.

3. Strict Liability

Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan

(liability without fault) karena seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak

melakukan kesalahan apa-apa; baik yang bersifat intensional, recklessness

ataupun negligence.

12

Page 6: Bab 3. Pembahasan..

4. Vicarious Liability

Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh sub-

ordinate-nya. Kaitannya dengan pelayanan medik maka rumah sakit (sebagai

employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga

kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-ordinate (employee). Lain

halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra (attending

physician) (Dahlan, 2001).

3.4 Tanggung Jawab Pihak Rumah Sakit

Kasus hukum kedokteran umumnya terjadi di rumah sakit di mana dokter

bekerja. Rumah sakit merupaan suatu usaha yang pada pokoknya dapat

dikelompokkan menjadi:

a. Pelayanan medis dalam arti luas yang menyakut kegiatan promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif.

b. Pendidikan dan latihan tenaga medis/paramedis

c. Penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran.

Personalia rumah sakit terdiri dari dokter(umum dan spesialis), perawat,

paramedis non perawat dan tenaga administratif dan teknis. Berdasarkan

pelayanan yang diberikan rumah sakit bisa merupakan rumah sakit umum maupun

rumah sakit khusus. Klasifikasi rumah sakit umum dibedakan atas Rumah Sakit

Umum Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta. RSU Pemerintah dibagi menjadi

tipe:

a. A, tersedia fasilitas dan kemampuan pelayanan medis spesialis dan

subspesialis yang luas.

b. B, pelayanan spesialis luas dan subspesialis terbatas

c. C, pelayanan spesialis minimal untuk empat vak besar yaitu

penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetri/ginekologi

d. D, minimal pelayanan medik dasar oleh dokter umum

RSU Swasa terdiri dari:

a. RSUS Pratama, pelayanan medik umum

b. RSUS Madya, pelayanan spesialis

c. RSUS Utama, pelayanan spesialis dan subspesialis

13

Page 7: Bab 3. Pembahasan..

Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yng secara tegas

mengatur hubungan antara dokter dan rumah sakit swasta tempat ia bekerja.

Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dalam hal ini badan hukum yang

memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa secara:

a. Langsung sebagai pihak, pada suatu peranjian bila ada wanprestasi, atau

b. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan

perundang-undangan melakukan perbuatan melanggar hukum.

Sebenarnya hubungan hukum yang terjadi antara pasien dan rumah sakit

bisa dibedakan dalam dua jenis perjanjian yaitu:

a. Perjanjian perawatan, seperti kamar dengan perlengakapannya

b. Peranjian pelayanan medis, berupa tindakan medis yang dilakukan

oleh dokter yang dibantu oleh paramedis

Dokter yang praktek di rumah sakit bisa merupakan karyawan (dokter

purnawaktu) atau sebagai dokter tamu (visiting doctor). Kadangkala pasien sulit

mengetahui status dokter yang merawatnya. Di samping itu pendapat yang

menyatakan bahwa rumah sakit sebagai suatu lembaga yang memberikan

pelayanan perawatan dan pengobatan, betanggung jawab atas segala peristiwa

yang terjadi di dalamnya. Atas dasar itu timbul doktrin Corporate Liability, di

mana secara resmi terhadap pasien yang di rawat, rumah sakit bertanggung jawab

atas pengendalian mutu secara keseluruhan dari pelayanan yang diberikan. Jadi

yang pertama-tama bertanggung jawab adalah rumah sakitnya, tetapi bila ada

kesalahan yang dilakukan dokter rumah sakit bisa menggunakan hak regresnya

untuk minta ganti kembali. Doktin Vicarious Liability, Let The Master Answer,

Majikan-Karyawan) bisa diterapkan dalam hubungan rumah sakit dengan

karyawannya.

Sehubungan dengan doktrin Vicarious Liability ini ada yang disebut

doktrin Captain of the Ship yang berlaku bagi dokter bedah yang melakukan

operasi di rumah sakit. Dokter bedah tersebut dalam hal ini tidak bekerja dalam

kaitan langsung untuk dan atas nama rumah sakit, misalnya dokter tamu atau

dokter karyawan untuk pasien pribadinya. Dokter itu dianggap bertanggung jawab

14

Page 8: Bab 3. Pembahasan..

atas kesalahan stafnya, termasuk perawat bedah. Dalam hal ini perawat tersebut

yang merupakan karyawan rumah sakit dianggap dipinjamkan, sehingga tanggung

jawab itu beralih kepada si pemakai, yaitu dokter bedah. Pasien yang menuntut

harus memastikan dulu apakah dokter bedah itu bertanggung jawab atas doktrin

Majikan-Karyawan dan apakah dokter itu mengawasi dan memberikan segala

instruksi kepada perawat pada saat peristiwa itu terjadi.

Belum adanya peraturan perundang-undangan yang tegas mengatur

penyelenggaraan rumah sakit di Indonesia, dapat menyulitkan konsumen apabila

timbul hal yang tidak diinginkan dalam pelayanan kesehatan yang diberikan.

Fungsi sosial rumah sakit, sesuai dengan hak atas pelayanan kesehatan atau

pelayanan medis yang dimiliki oleh setiap warga masyarakat, haruslah dipenuhi

dengan tersedianya pelayanan yang bermutu, baik dari segi sarana maupun tenaga

kesehatan, juga terjangkau, baik dari segi geografi maupun finansial. Demikian

pula hubungan kerja dokter dengan rumah sakit, perlu diatur lebih lanjut dengan

tujuan agar pelayanan rumah sakit menjadi lebih bermutu dan memberi

perlindungan bagi pasien (Wiradharma, 1996)

Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) menegaskan bahwa

tanggung jawab rumah sakit meliputi tanggung jawab umum dan tanggung jawab

khusus. Sehubungan dengan hal tersebut, rumah sakit harus senantiasa

menyesuaikan kebijakan pelayanannya pada harapan dan kebutuhan masyarakat

setempat dan akan tercermin melaui strategic planning, baik jangka pendek,

menengah maupun panjang.

Yang merupakan tanggung jawab umum rumah sakit adalah kewajiban

pimpinan rumah sakit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai

permasalahan, peristiwa, kejadian dan keadaan di rumah sakit. Sedangkan

tanggung jawab khusus muncul jika ada anggapan bahwa rumah sakit telah

melanggar kaidah-kaidah, baik dalam bidang hukum, etik, maupun tata tertib atau

disiplin (Koeswadji, 2002).

Akan sangat dirasakan perkembangan paradigma fungsi dan status rumah

sakit ini khususnya pada Rumah Sakit Pemerintah karena rumah sakit harus

mengutamakan pelayanan yang baik dan bermutu secara berkesinambungan serta

15

Page 9: Bab 3. Pembahasan..

tidak mendahulukan urusan biaya. Penyelenggaraan pelayanan secara menyeluruh

yang dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan pasien pada

khususnya dan khalayak ramai pada umumnya, yang satu dengan yang lain terkait

sedemikian rupa, sehingga terlaksana pelayanan rumah sakit yang mengandung

ciri-ciri sebagai berikut:

a. Setiap saat memberikan pelayanan.

b. Beranjak dari pendirian dan pandangan bahwa manusia adalah suatu kesatuan

psiko-sosio-somatik.

c. Memberi layanan kepada pasien selaku konsumen yang dewasa dan mengakui

serta menghormati sepenuhnya hak-haknya.

d. Menjamin diberikannya mutu pelayanan teknik medik yang menunjukkan

kemampuan dan keterampilan. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan

berbagai tindakan pengawasan dan pengamanannya.

e. Menjamin terselenggaranya mutu pelayanan yang manusiawi, berdedikasi

tinggi serta penuh kehati-hatian.

f. Diselenggarakannya sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi untuk

kepentingan seluruh rakyat yang pada hakikatnya merupakan sumber

pembiayaan proses pelayanan rumah sakit. Oleh karena itu tidak

diperkenankan mendahulukan hal ihwal yang menyangkut biaya dari layanan.

g. Harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (Koeswadji, 2002).

Berikut ini uraian tentang tanggung jawab hukum rumah sakit, baik

rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta:

a. Tanggung jawab Rumah Sakit Pemerintah

Manajemen RS Pemerintah cq Kanwilkes/Depkes dapat dituntut. Menurut

pasal 1365 KUHPerdata karena pegawai yang bekerja pada RS Pemerintah

menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu badan hukum dapat

dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang dalam

menjalankan tugasnya merugikan pihak lain.

b. Tanggung jawab Rumah Sakit Swasta

Untuk manajemen RS dapat diterapkan pasal 1365 dan 1367 KUHPerdata

16

Page 10: Bab 3. Pembahasan..

karena RS swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat

bertindak dalam hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia.

Rumah sakit, baik yang dikelola pemerintah maupun swasta, merupakan

organisasi yang sangat kompleks dan di tempat ini banyak berkumpul pekerja

profesional dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula

peralatan yang digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu rumah sakit akan

semakin kompleks pula permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah mudah

menentukan hospital liability. (Dahlan, 2001).

Jika diteliti dengan seksama, maka layanan yang diberikan oleh rumah

sakit antara lain, layanan medical treatment, nursing care dan layanan lainnya

seperti misalnya, penggunaan alat-alat medik dan non-medik. Pemberian layanan-

layanan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan yang dapat

menimbulkan kerugian pada pasien. Hanya saja, sejauh mana rumah sakit harus

bertanggung jawab, sangat tergantung dari pola hubungan terapeutik yang terjadi

dan pola hubungan kerja antara tenaga kesehatan dengan rumah sakit.

Kerugian yang disebabkan oleh peralatan medik maupun non-medik dapat

dibebankan kepada rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta.

Contohnya, bila pasien jatuh dari tempat tidur karena bed-nya patah sehingga

mengakibatkan patah tulang kaki, maka kerugian tersebut menjadi tanggung

jawab rumah sakit. Oleh sebab itu, rumah sakit harus selalu melakukan kontrol

yang ketat terhadap semua peralatan, utamanya peralatan medik (Dahlan, 2001).

Kerugian yang disebabkan oleh kesalahan medical treament, sangat tergantung

pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai attending

physician, maka rumah sakit tidak bertanggung gugat atas kesalahan dokter.

Tetapi bila status dokter di rumah sakit sebagai employee, maka berdasarkan

doctrine of vicarious liability, tanggung gugatnya dapat dialihkan ke rumah sakit.

Berdasarkan uraian sebelumnya, tampak jelas bahwa rumah sakit

pemerintah yang semua tenaga medik maupun non-mediknya bekerja sebagai

employee, maka tanggung gugat sepenuhnya menjadi tanggung gugat rumah sakit,

dengan catatan, untuk rumah sakit pemerintah yang melaksanakan program

swadana masih diperlukan klarifikasi konsep, sehingga implikasi hukumnya

17

Page 11: Bab 3. Pembahasan..

menjadi jelas. Persoalannya bukan saja ketidakadilan, tetapi juga ketidaklogisan

ketika harus membebankan tanggung gugat kesalahan medik seluruhnya kepada

pihak rumah sakit, sementara dokter selama ini juga menikmati hasil penjualan

jasa medik rumah sakit, berdasarkan persentase, dapat bebas dari tanggung gugat

atas kesalahannya sendiri.

Rumah sakit sebagai salah satu institusi health care provider diwakili oleh

Direksi yang merupakan fasilitator utama yang harus memberikan kebijakan-

kebijakan yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang ada di

rumah sakit, termasuk di dalamnya sengketa medik rumah sakit. Tanggung

jawabnya sangat besar, sebab jika kebijakannya tidak sesuai, maka yang akan

terjadi adalah kekacauan pada penyelesaian masalah pelayanan kesehatan. Direksi

dituntut harus memiliki strategi yang memadai dan harus mampu mengusahakan

bagaimana agar strategi tersebut dapat terlaksana sesuai dengan kemampuan dan

target yang akan dicapai.

Direktur utama sebagai penanggung jawab organisasi dan penentu

kebijakan organisasi. Apapun yang tejadi dalam organisasi merupakan tanggung

jawab direktur utama.

3.5 Penyelesaian Sengketa Medik Antara Rumah Sakit dengan Pasien

Ada dua jalur dalam penyelesaian sengketa medik rumah sakit dengan

pasien, yaitu:

1. Litigasi, penyelesaian sengketa di luar jalur peradilan.

2. Nonlitigasi, penyelesaian sengketa melalui peradilan.

Putusan Pengadilan Negeri dapat menjatuhkan sanksi pidana berupa

pidana pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP jo.

Pasal 62 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Bila

pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha itu mengakibatkan luka, sakit

berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan KUHP.

Sanksi pidana yang dimaksud dalam Pasal 62 tersebut dapat dijatuhi

hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63 a sampai f. Hukuman tambahan

yang dimaksud dapat berupa:

18

Page 12: Bab 3. Pembahasan..

a. Perampasan barang tertentu;

b. Pengumuman putusan hakim;

c. Pembayaran ganti rugi;

d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian konsumen;

e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran;

f. Pencabutan izin usaha (Koeswadji, 2003).

Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Medik (Ditjen Yanmedik), Dr. Farid

W. Husain, dalam setiap tuntutan medis, rumah sakit memang selalu ikut masuk

dalam gugatan, meskipun bukan sebagai tergugat pertama. Masih banyak lubang

yang harus dibenahi dalam penciptaan pelayanan kesehatan yang baik. Salah satu

yang harus dibenahi adalah Sumber Daya Manusia (SDM)-nya, yakni dokter dan

semua pekerja di rumah sakit. Berdasarkan pengalaman dari beberapa kasus

dugaan malpraktik yang dilaporkan pasien, sebagian besar memang disebabkan

karena faktor manusia atau human error , meskipun kini sudah dibuat beberapa

kridor hukum untuk mencegah terjadinya kelalaian medis. Dengan kata lain,

payung-payung hukum yang berfungsi sebagai pelindung bagi dokter telah dibuka

lebar-lebar. Payung-payung itu antara lain berlabel UndangUndang Praktik

Kedokteran (UUPK) yang lantas melahirkan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)

dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dibuat tidak

hanya melindungi pasien namun juga dokter.

Seperti kita ketahui, masih banyak anggapan dari sebagian besar

masyarakat tentang pelayanan kesehatan di rumah sakit yang jauh dari harapan.

Oleh karena itu, pendidikan berkesinambungan tentang ilmu-ilmu medikolegal

untuk rumah sakit sangat diperlukan dalam rangka memperbaiki kualitas

pelayanan, selain sebagai upaya preventif dari kemungkinan tuntutan hukum.

Selain itu, Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi), Dr. Adib

A. Yahya, MARS, menyampaikan, rumah sakit merupakan organisasi yang sangat

kompleks karena merupakan institusi yang ”padat” segalanya. Padat modal, padat

teknologi, padat karya, padat profesi, padat sistem, padat mutu, hingga padat

keluhan atau masalah, risiko, dan juga error. Berdasarkan data yang dihimpun

19

Page 13: Bab 3. Pembahasan..

sejak tahun 2004 hingga 2005 saja menunjukkan hampir 50 kasus malpraktik

yang terjadi di rumah sakit. Lantas bagaimana peran manajemen rumah sakit

dalam penanganan dugaan kelalaian medis?

  Ada beberapa langkah menghadapi kejadian yang tidak diharapkan

berkaitan dengan dugaan kelalaian medis. Langkah-langkah tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Menerima keluhan,

b. Mengelola keluhan,

c. Investigasi kasus,

d. Analisis kasus,

e. Penanganan kasus atau penyelesaian kasus, dan

f. Dokumentasi kasus.

Keluhan pasien bisa datang dari mana saja. Entah itu melalui media massa,

kotak saran, langsung dari pasien, laporan staf rumah sakit, telepon pengaduan,

kuasa hukum, tokoh masyarakat maupun LSM. Pasien tidak puas atau merasa

dirugikan, pasien bisa mengadukannya kepada komite medis atau panitia etik,

yang menjadi tim pengawas di sebuah rumah sakit. Jadi, bukannya langsung lapor

polisi dan ditulis besar-besar di media massa. Selanjutnya, pihak menajemen

rumah sakit harus mengelola keluhan dengan cermat, yaitu mencatat semua

informasi berkenaan dengan keluhan. Misalnya identitas pasien, kondisi pasien,

peristiwa dan kejadian apa yang menyebabkan muncul keluhan, dan tuntutan

pasien. Pasien bisa diberikan penjelasan sementara sebelum melaporkan ke pihak

direksi. Jika ditemukan indikasi kesalahan dokter, segera akan dilaporkan ke

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yang selama ini menangani

sengketa medis antara pasien dan dokter/rumah sakit. Jika UU Praktek

Kedokteran disahkan, tuduhan malapraktek menjadi wewenang Majelis

Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini terdiri dari tiga

dokter umum, tiga dokter gigi, dan tiga sarjana hukum. Administrasi majelis ini

berada di bawah Konsil Kedokteran Indonesia yang berada langsung di bawah

presiden. Tugasnya menerima pengaduan konflik, memeriksa, dan membuat

keputusan tentang sengketa medis, serta menjatuhkan sanksi kepada dokter yang

20

Page 14: Bab 3. Pembahasan..

salah dan membebaskan yang tidak bersalah. Jadi, lembaga ini semacam hakim

untuk setiap kasus sengketa medis.

Investigasi kasus bisa dilakukan dengan mulai membahas kebenaran

informasi tentang identitas pasien, peristiwanya, dan rekam medis. Dalam tahap

investigasi juga perlu dilakukan penataan dokumen sebagai antisipasi kejadian

lebih lanjut. Antara lain dokumen informasi, berkas rekam medis, resume medis,

termasuk pendapat organisasi, juklak, juknis, dan Standar Operasional dan

Prosedur (SOP) pelayanan.

Analisis kasus adalah tahap yang didalamnya dilakukan pemilahan kasus,

apakah ini kasus etik, kasus administrasi, kasus hukum, atau gabungan. Pemilahan

kasus berguna untuk menentukan pihak mana yang akan menyelesaikan. Misalnya

kalau kasus etik maka dibawa ke Komite Medik dan Komite Etik Rumah Sakit

(KERS) atau ke organisasi profesi.

Penanganan kasus, pihak manajemen rumah sakit harus bisa memutuskan

pilihan penyelesaian kasus. Jika secara hukum posisi rumah sakit atau staf cukup

kuat, maka penyelesaian yang dipilih adalah litigasi. Namun, jika pendalaman

disimpulkan bahwa secara hukum posisi rumah sakit atau staf tidak cukup kuat,

maka penyelesaian yang dipilih adalah nonlitigasi yaitu negosiasi, mediasi atau

kondiliasi. Bila penyelesaian dilakukan dengan litigasi, maka pihak manajemen

harus menunjuk kuasa hukum dan membawa kasus ini ke persidangan (Perdata,

Pidana, atau TUN). Jika ada tuntutan ganti rugi yang lebih kecil dari prediksi

biaya penyelesaian maka dapat dipertimbangkan melalui jalur nonlitigasi.

Berikut ini adalah contoh alur hierarkhi penyelesaian suatu sengketa

medik yang diterapkan di RSUD Syaiful Anwar, Malang.

a. Pengaduan pelayanan publik diajukan kepada penyelenggara pelayanan

publik;

b. Pengaduan tertulis, telepon, SMS, Faxsimile, E- mail, kotak saran harus

disampaikan secara jelas dan bertanggungjawab dengan menyebutkan

identitas yang jelas;

c. Bagi setiap orang/kelompok/badan usaha yang menyampaikan pengaduan

langsung kepada pejabat/petugas penerima pengaduan, diberi surat/formulir

21

Page 15: Bab 3. Pembahasan..

tanda bukti pengaduan dan dicatat dalam buku pengaduan yang disediakan

secara khusus;

d. Pada surat/formulir tanda bukti pengaduan disebutkan nama dan jabatan

pejabat/petugas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah/pengaduan

tersebut;

e. Paling lama 5 (lima) hari setelah diterimanya pengaduan, penyelenggara

pelayanan publik harus menindaklanjuti pengaduan tersebut;

f. Apabila sampai pada batas waktu yang telah ditentukan belum ditanggapi oleh

penyelenggara pelayanan publik, pengaduan dapat dilanjutkan kepada Komisi

Pelayanan Publik;

g. Penyelenggara pelayanan publik wajib menyampaikan laporan pengaduan dan

atau tindak lanjut hasil penyelesaian pengaduan setiap tanggal 15 bulan

berikutnya kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah;

h. Penyelenggara pelayanan publik yang tidak menyampaikan laporan

pengaduan dan atau tindak lanjut hasil penyelesaian pengaduan diberikan

tegoran secara tertulis.

Penting pula diperhatikan beberapa saran-saran bagi penanggulangan

malpraktik medik

a. Adanya Komite Medik / Malpractice Review Committee yang independen

(tidak dibawah Direktur) pada setiap RS yang bertugas membahas keadaan RS

secara periodik tentang kesalahan tenaga kesehatan personil RS tersebut. Di

masa mendatang, audit medik hendaknya diatur dengan peraturan perundang-

undangan dan dapat dilakukan pula terhadap praktik dokter pribadi.

b. Pertanggungjawaban terpusat pada RS baik pemerintah maupun swasta

(central responsibility). Dengan demikian, bila pasien tidak puas atas sikap RS

maka dapat menuntut dan menggugat RS. Pimpinan RS yang akan

menetapkan siapa yang bersalah dan melakukan “hak Regres” (hak menuntut

orang yang bersalah dalam kenyataan). Untuk itu RS dapat mengasuransikan

diri dengan batas kerugian sebagai akibat gugatan pasien.

c. Terpenuhinya jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan, terutama

bagi pasien.

22

Page 16: Bab 3. Pembahasan..

d. Informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi, misalnya interpretasi

antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya.

Namun demikian, untuk melaksanakan hal-hal sebagaimana tercantum

dalam saran tersebut masih ada kendala, terutama dalam hal pembuktian ada/

tidaknya perbuatan malapraktik. selama ini pembuktian benar/salahnya suatu

kasus dugaan malpraktik secara hukum sulit karena belum ada Peraturan

Pemerintah (PP) tentang Standar Profesi, sehingga hakim cenderung berpatokan

pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter merasa sebagai seorang

profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku kriminal

biasa, misalnya : pencurian.

Menanggapi hal ini, diperlukan keseriusan pihak pemerintah, khususnya

Departemen Kesehatan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU

No. 23 / 1992 tentang Kesehatan, terutama PP tentang Standar Profesi. Hal ini

mengingat hingga saat ini, dari 29 PP UU No. 23/1992 yang seharusnya ada, baru

6 (enam) PP yang telah dibuat. Sedangkan UU Praktik Kedokteran yang belum

lama ini disahkan cenderung hanya mengakomodisasi kepentingan dokter,

sehingga perlu diadakan judicial review.

3.6 Patient Safety

Patient Safety merupakan suatu bentuk upaya pencegahan timbulnya

kelalaian medik yang akhirnya dapat menekan munculnya konflik atau kasus

sengketa medik di rumah sakit. Patient Safety menjadi langkah paling strategis

mencegah terjadinya kelalaian medis, melalui pengembangan program

keselamatan pasien di rumah sakit. Patient Safety adalah suatu sistem di mana

rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya

cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau

tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

  Departemen Kesehatan sudah mengeluarkan panduan Kegiatan

Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) yang berisi tujuh langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit dan standar keselamatan pasien rumah sakit. Ada

banyak sekali manfaat yang diperoleh rumah sakit yang menerapkan keselamatan

23

Page 17: Bab 3. Pembahasan..

pasien (KP). Ibarat “green product”-istilah untuk produk yang aman, di bidang

industri lain, maka rumah sakit akan menjadi semakin laku atau laris, makin dicari

masyarakat. Selain pasien, rumah sakit yang menerapkan KP juga akan “dicari”

oleh “3rd Party Payer” yaitu perusahaan-perusahaan dan asuransi-asuransi yang

akan memakai rumah sakit tersebut sebagai provider kesehatan karyawan atau

klien mereka.

  Adapun Tujuh Langkah menuju Kegiatan Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (KKP-RS) yang menjadi pedoman dan panduan bagi staf pengurus rumah

sakit, terutama jajaran Direksi tersebut antara lain:

1. Bangun kesadaran akan nilai Keselamatan Pasien (KP). Ciptakan

kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.

2. Pimpin dan dukung staf Anda. Bangunlah komitmen dan fokus yang kuat dan

jelas tentang Keselamatan Pasien (KP) di rumah sakit Anda.

3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko. Kembangkan sistem dan proses

pengelolaan risiko, serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang potensial

bermasalah.

4. Kembangkan sistem pelaporan. Pastikan staf Anda mampu melaporkan

kejadian/insiden, serta mampu mengatur pelaporan kepada KKP-RS.

5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien. Kembangkan cara-cara

komunikasi yang terbuka dengan pasien.

6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang KP. Dorong staf Anda untuk

melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa

kejadian itu timbul.

7. Cegah cedera melalui implementasi sistem KP. Gunakan informasi yang ada

tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.

Selain itu, Departeman Kesehatan juga menetapkan Standar Keselamatan

Pasien, meliputi pemenuhan hal-hal berikut:

a. Hak Pasien

b. Mendidik pasien dan keluarga

c. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan

24

Page 18: Bab 3. Pembahasan..

d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi

dan meningkatkan keselamatan pasien

e. Peran pemimpin dalam meningkatkan keselamatan pasien

f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

(Andra dalam Majalah Farmacia Edisi Februari, 2007)

Bagaimanapun juga kata kuncinya adalah pihak-pihak yang terlibat harus

dapat rujuk kembali dan memahami hak dan kewajiban masing-masing. Dimulai

dari dokter, ia harus bertindak profesional sesuai standar keahliannya. Selalu

melakukan KIE dan konseling kepada pasien. Tidak melakukan sesuatu tanpa

dimengerti dan disetujui oleh pasien atau keluarganya. Pasien juga harus

melakukan kewajibannya sesuai dengan apa yang dianjurkan oleh dokternya dan

mempergunakan haknya untuk mendapat keterangan dan penjelasan. Harus

bertanya apa yang akan dilakukan dokternya dan memberikan izin bila sudah

mengerti. Bila pasien tidak puas, pilih saja dokter lain yang lebih komunikatif dan

dapat memenuhi rasa puas. Sekarang memilih dokter sangat dimungkinkan karena

banyak pilihan.

3.7 Kasus Kelalaian Medik Rumah Sakit Menyangkut Direksi

Berikut ini beberapa yurisprudensi tentang kelalaian medik di rumah sakit:

a. Darling v. Charleston Community Memorial Hospital, 1960

Kronologisnya adalah sebagai berikut

5 November 1960

Seorang mahasiswa berumur 18 tahun mengalami patah kaki sewaktu

bermain sepak bola. Ia dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat dari Charleston

Community Memorial Hospital dan ditangani oleh Dr. Alexander yang pada hari

itu mendapat giliran jaga. Dokter tersebut dibantu oleh beberapa asisten dari

rumah sakit lalu melakukan traksi terhadap pasien dan memasangkan gips pada

kakinya. Setelah gips selesai dipasang, pasien mengalami kesakitan hebat dan jari

kakinya menjadi bengkak dan berwarna gelap. Tak lama kemudian jari tersebut

menjadi dingin dan tidak terasa.

25

Page 19: Bab 3. Pembahasan..

6 November 1960

Dr. Alexander melakukan gips pada sekeliling jari.

7 November 1960

Sore harinya ia memotong gips itu 3 inci dari jari kaki.

8 November 1960

Dokter membelah gipsnya dengan gergaji Strycker. Pada saat pemotongan

gips, kaki pasien terluka pada kedua sisi. Para perawat melihat darah dan juga

terdapat jaringan kental lain yang berbau sangat busuk.

19 November 1960

Pasien baru dirujuk ke rumah sakit Barnes Hospital di St. Louis di bawah

pimpinan Dr. Reynold, kepala bagian bedah orthopedi. Dr. Reynold melihat

bahwa kaki yang patah itu mengandung banyak jaringan mati. Menurut

pendapatnya, hal ini disebabkan karena adanya gangguan sirkulasi darah pada

kaki dan perdarahan yang disebabkan oleh konstruksi pemasangan gips tersebut.

Ia berusaha sedapat mungkin untuk menyelamatkan kaki tersebut, namun tidak

berhasil. Akhirnya kaki tersebut terpaksa harus diamputasi 8 inci di bawah lutut.

Ada juga tugas perawat untuk mengawasi jari kaki yang menonjol itu

terhadap perubahan warna, suhu, bila tidak bisa digerakkan. Pula ia harus

mengecek sirkulasi darah tiap 20 menit. Pemeriksaan ini oleh perawat tersebut

hanya dilakukan beberapa kali sehari.

Rumah sakit dianggap bertanggung jawab karena Dr. Alexander yang

ditugaskan menjaga Unit Gawat Darurat tidak merujuk pasien itu kepada dokter

yang lebih ahli dan tidak dilaksanankan prosedur sebagaimana mestinya di rumah

sakit.

Keputusan kasus Darling menganggap rumah sakit yang bertanggung

jawab akibat kelalaian dari seorang dokter. Sejak kasus ini mulai timbul

kecenderungan untuk mengikuti ajaran Corporate liability, sehingga jika timbul

suatu kasus maka pertama-tama yang diminta pertanggungjawaban adalah rumah

sakitnya terlebih dahulu.

b. Porter v. Petterson and Emory University, Georgia, 1962.

26

Page 20: Bab 3. Pembahasan..

Seorang bayi yang baru lahir memerlukan pertukaran darah (blood

change-over operation). Oleh karena itu bayi tersebut dipasangi pengikat pada

inkubator oleh perawat. Karena suatu kelalaian, maka bayi tersebut menempel

pada lampu yang menyala yang digunakan untuk memanaskan inkubator.

Akibatnya bayi menderita luka bakar dan kehilangan sebagian besar dari telapak

kakinya. Rumah sakit dianggap bertanggung jawab untuk kelalaian dari perawat

yang bekerja di rumah sakit tersebut.

c. Duling v. Bluefield Sanitarium, Inc, 1965.

Seorang pasien berumur 13 tahun, menderita demam rematik. Ia batuk-

batuk terus. Kukunya tampak membiru, jantungnya berdetak keras selama enam

jam. Permintaan pertolongan dari ibunya kepada perawat bahkan mendapat

omelan dari perawatnya. Akhirnya sang ibu yang putus asa menangis di lorong

rumah sakit dan terlihat oleh kepala perawat. Kepala perawat menanyakan dan

sang ibu menceritakan persoalan yang dihadapinya. Kepala perawat bergegas

pergi melihat pasien tersebut dan segera memanggil seorang dokter jaga.

Walaupun perawatan intensif langsung diberikan, ditambah usaha keras dari

dokter dan perawat khusus lainnya, tapi jiwa anak tersebut tidak tertolong lagi.

Anak itu meninggal esok harinya. Hal ini disebabkan karena terlambat memberi

bantuan. Rumah sakit harus bertanggung jawab atas segala akibat yang

ditimbulkan sebagai akibat dari kekurangan perhatian dari perawat tersebut.

d. Garcia v. Memorial Hospital, Texas, 1977

Tersedianya sarana dan peralatan penting merupakan kelengkapan esensial

dalam rumah sakit. Sebuah rumah sakit dianggap bertanggung jawab atas

kematian seorang anak, karena rumah sakit itu tidak mempunyai endo-tracheal

tube pediatrik untuk memberikan bantuan pernapasan (Tjokronegoro dan Utama,

1994).

e. Kasus anafilaksis syok

Menurut WMA, tidak semua kejadian buruk/kegagalan medis seperti

anafilaktik syok adalah akibat malpraktek medis. Kejadian buruk (adverse event)

adalah “an injury that was caused by medical management (rather than

underlying disease) and that prolonged the hospitalization, produced a disability

27

Page 21: Bab 3. Pembahasan..

at the time of discharged, or both”. Anafilaktik syok merupakan musibah medik

karena tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) pada pasien tersebut yang

cedera/mati saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar oleh dokter yang

berwenang. Musibah medik bukanlah malpraktek. “An injury occurring in the

course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of

the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward

result, for which the physician should not bear any liability”.  Menurut UU New

Zealand termasuk “medical mishap” yang berarti “an adverse consequence of

treatment by a registered health professional, properly given, if (a) the likelihood

of the adverse consequence of the treatment occurring is rare; and (b) the adverse

consequence of the treatment is severe”.  Karena langka dan nirlaik bayang,

disebut musibah medik, yang dokter/Rumah Sakit tak dapat dimintai

pertanggungjawaban hukumnya. Suatu pertanggungjawaban hukum (dokter/RS

membayar ganti rugi) baru dapat dikenakan pada kelalaian medik. Salah satu

pengertian “negligence” adalah “care that fall below the standard expected of

physicians in their community”. Musibah medik yang diklaim pasien adalah bila

tergolong “negligence adverse event” (yang jumlahnya kira-kira 1/ 7 dari total

kejadian buruk).  

f. Pembeberan rekam medik

Dikutip dari TEMPO Interaktif, 5 April 2005 Purwokerto, Direktur Rumah

Sakit Umum Daerah (RSUD)Purwokerto, Margono Soekarjo Hartanto, dipanggil

Markas Kepolisian Resor (Polres) Banyumas, Selasa (5/4) sehubungan dengan

somasi dugaan malpraktik. Gara-gara salah seorang pasien RS tersebut meninggal

dunia. Margono juga dituduh telah melanggar aturan karena mempublikasikan

data rekam medis pasien yang seharusnya menjadi rahasia.

Permintaan keterangan itu berlangsung satu jam lebih di salah satu ruang

di Mapolres Banyumas. Margono mendapat 16 pertanyaan yang diajukan

Inspektur Satu (Iptu) Sudiro. Dalam pemeriksaan itu Margono didampingi

seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Polisi sempat

menolak kehadiran dosen itu dengan alasan tak punya izin praktek pengacara.

28

Page 22: Bab 3. Pembahasan..

Padahal, untuk mendampingi seorang tersangka tak perlu izin praktek pengacara,

kecuali di pengadilan.

AKP Sudiro menyatakan, pertanyaan yang dia ajukan lebih berfokus pada

tindakan Margonoo selaku Direktur RSUD Margono yang membeberkan rekam

medis pasien bernama Warsinah, warga Kelurahan Sumampir, Kecamatan

Purwokerto Utara. Warsinah adalah pasien yang meninggal setelah tiga hari

dirawat di RSUD Margono akibat diabetes yang dideritanya. Namun dalam

perawatan itu Darno, suami Warsinah melayangkan somasi kepada RSUD

Margono melalui kuasa hukumnya yakni Dwi Prasetyo Sasongko SH dan Joko

Susanto SH, keduanya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan

dan Perumahsakitan.

Somasi yang dikirimkan kepada 19 instansi itu berisi dugaan malpraktik

yang dilakukan RSUD Margono yang mengakibatkan kematian Warsinah. Saat

dirawat di RS Margono 13-16 Februari 2004 lalu Warsinah meninggal karena

kadar gula yang terlalu tinggi. Hal itu diduga karena dipicu pemberian infus berisi

cairan mengandung gula sehingga memicu kenaikan kadar gula dalam tubuh

Warsinah.

Selain somasi, LBH Kesehatan dan Perumahsakitan juga meminta RSUS

Margono memberikan catatan rekam medis mengenai Warsinah. RS Margono

lantas mengirimkan permintaan LBH yakni mengirimkan hasil rekam medis.

Surat penjelasan rekam medis itu tidak hanya diberikan pada pengacara melainkan

juga ke-18 instansi yang lain, salah satunya ke kantor Persatuan Wartawan

Indonesia (PWI) Cabang Banyumas. Beberapa hari kemudian muncul

pemberitaan di harian Suara Merdeka Kamis, 31 Maret 2005.

Pemberitaan itu menyebutkan, Warsinah menderita Febris berdasar gejala

yang dialami sewaktu masuk Instalasi Gawat Darurat yakni panas enam hari,

mual, muntah dan lemas. Infus yang diberikan saat itu berupa cairan gula. Cairan

infus lantas diganti dengan jenis RL dan Warsinah diberi Actrapid begitu hasil

analisa dokter menunjukkan Warsinah mengidap diabetes. Beberapa saat

kemudian Warsinah mengalami koma dan meninggal dunia. Rekam medis itulah

yang dibeberkan dalam surat yang tembusan pada 19 instansi tersebut.

29

Page 23: Bab 3. Pembahasan..

Joko Susanto menyatakan, rekam medis seharusnya tidak dibeberkan kepada

khalayak karena merupakan rahasia pasien. "Pihak RS telah melakukan

pelanggaran hukum yakni Pasal 322 KUHP yang berisi larangan membuka

rahasia yang seharusnya wajib disimpan karena jabatan atau pekerjaan seorang

dokter,"kata Joko. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran pasal ini sembilan

bulan penjara.

Iptu Sudiro menyatakan, setelah Margono, polisi juga akan memanggil dr I

Gede Arinton, yang langsung menangani Warsinah dan wartawan harian yang

memuat hasil rekam medis. "Untuk sementara masih kami panggil mereka sebagai

saksi. Kelanjutan status akan ditentukan hasil pemeriksaan nanti. Kami masih

focus pada pembeberan rahasia rekam medis kepada publik," katanya.

30