Bab 3
-
Upload
arif-vikerz-theblues -
Category
Documents
-
view
9 -
download
1
Transcript of Bab 3
BAB III
MANUSIA DAN PERADABAN
1. Pengertian Adab dan Peradaban.
Para ilmuwan memiliki banyak konsep atau pengertian mengenai adab dan
peradaban. Namun ada beberapa konsep atau pengertian mengenai adab dan
peradaban yang mungkin relevan dan dapat membantu mahasiswa di Indonesia agar
dapat memahami konsep atau pengertian tersebut.
Adab berarti akhlak atau kesopanan dan kehalusan budi pekerti1. Manusia
beradab dengan demikian adalah manusia yang mempunyai akhlak mulia, yang
memiliki kesopanan dan kehalusan budi pekerti. Sedangkan manusia yang tidak
mempunyai akhlak mulia, yang tidak memiliki kesopanan dan tidak halus budi
pekertinya, maka kita akan menyabut manusia tersebut biadab. Tetapi masalah yang
muncul kemudian adalah, siapa yang memberikan ukuran manusia tersebut beradab
atau biadab ?.
Norma menjadi suatu hal yang penting untuk dapat dijadikan sebagai konsep
yang dapat mengukur bagi manusia yang mempunyai akhlak mulia, kesopanan dan
budi pekerti atau manusia tersbut biadab. Norma adalah tingkah laku yang dianggap
wajar, yang dapat diterima oleh orang ramai dan yang sekaligus tentu saja diharapkan
dari kita oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan realita bahwa manusia memerlukan
kesopanan, akhlak, dan kehalusan budi pekerti dalam melakukan kontak sosial
dengan masyarakat luas.
Dalam konteks peradaban Huntington mendefinisikan peradaban sebagai the
highest social grouping of people and the broadest level of cultural identity people
have short of that which distinguish humans from other species. Sedangkan Ibnu
Khaldun (1332-1406 M), melihat peradaban sebagai organisasi sosial manusia,
kelanjutan dari proses tamaddun (semacam urbanisasi), lewat ashabiyah (group
feeling), dan merupakan keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok manusia
39
yang mengatasi negara, ras, suku, atau agama, yang membedakannya dari yang lain,
tetapi tidak monolitik dengan sendirinya. Pendekatan terhadap peradaban bisa
dilakukan dengan menggunakan organisasi sosial, kebudayaan, cara berkehidupan
yang sudah maju, termasuk sistem IPTEK dan pemerintahannya2.
Pengertian peradaban juga dikemukakan oleh Fairchild3, yang menyatakan
peradaban adalah perkembangan kebudayaan yang telah mencapai tingkat tertentu
yang diperoleh manusia pendukungnya. Dan Koentjaraningrat,4 juga memberikan
definisi peradaban untuk menyebut bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju,
dan indah seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan,
kepandaian menulis, organisasi kenegaraan, kebudayaan yang mempunyai sistem
teknologi dan masyarakat kota yang maju dan kompleks.
Jika Huntington mendefinisikan peradaban (civilization) sebagai the highest
social grouping of people and the broadest level of cultural identity people have short
of that which distinguish humans from other species, dan Ibnu Khaldun (1332-1406
M) yang melihat peradaban (umran) sebagai organisasi sosial manusia, kelanjutan
dari proses (semacam urbanisasi) lewat ashabiyah (group feeling), peradaban disini
dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kompleksitas produk pikiran kelompok
manusia yang mengatasi negara, ras, suku, atau agama, yang membedakannya dari
yang lain, tetapi tidak monolitik dengan sendirinya.
Salah satu ciri yang penting dalam definisi peradaban adalah berbudaya, yang
dalam bahasa Inggris disebut cultured. Orang yang cultured adalah juga yang lettered
(melek huruf) namun, pengertian lettered dalam hal ini tidak sekedar bisa membaca
dan menulis hal yang sederhana. Orang yang sekedar bisa membaca karangan yang
sederhana dan memahami kesenian yang tidak kompleks misalnya, dianggap
unlettered (tidak melek huruf). Akibatnya, pembaca sastra dan peminat seni picisan
misalnya, dianggap uncultered (tidak berbudaya). Orang yang cultured adalah yang
mampu menghayati dan memahami, hasil kebudayaan adiluhung, yang hanya bisa
didapatkan dengan pendidikan yang tinggi tarafnya. Orang yang cultured pergi
menonton orkes simfoni, membaca buku-buku yang berisi pemikiran dan renungan
40
yang rumit, dan berdiskusi mengenai berbagai perkara yang abstrak dan rumit. Dalam
pengertian yang demikian itu, kebutuhan akan adab berarti kebutuhan untuk masuk
kedalam cara hidup yang mungkin oleh kebanyakan anggota masyarakat dianggap
elit dan tidak egaliter5.
2. Wujud dan Perkembangan Peradaban.
Wujud peradaban
1. Moral
Berbicara soal moral berarti berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran
dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai
apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Karena norma moral merupakan
standar prilaku yang disepakati, maka moral bisa dipakai untuk mengukur prilaku
orang lain. Oleh karena itu, norma moral adalah tolok ukur yang dipakai
masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma moral kita
betul-betul dinilai, apakah kita ini baik atau buruk, yang menjadi permasalahan
bidang moral6.
2. Norma
Kata norma sudah begitu memasyarakat dan bukan monopoli dunia moral. Kata
ini telah lama digunakan dalam dunia meteologi, hukum, ekonomi, sosial dan
budaya. Dalam pengertian dasariah, kata norma berarti pegangan atau pedoman,
aturan, tolok ukur7. Dalam dunia etika moral atau hukum, kata ini biasanya
menyangkut orientasi tingkah laku dan tindakan manusia sesuai dengan takaran-
takaran objektif. Kata ini bernada menuntut perbuatan baik.
3. Etika
Adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagimana sebaiknya manusia
hidup dalam bermasyarakat, apa yang baik dan buruk. Etika hampir sama atau
dekat dengan moral dalam arti pertama, etika adalah nilai-nilai dan norma-norma
tentang apa yang baik dan yang buruk yang menjadi pegangan bagi seorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tinggkah lakunya. Arti kedua, Etika berarti juga
41
kumpulan azas atau nilai moral atau kode etik. Arti ketiga, dalam kehidupan
sosial terutama di indonesia, etika lebih populer denga sebutan etiket yang berarti
sopan santun, lebih dikenal dengan istilah etiket, seperti etika makan, etika
berbicara, berpakaian dan sebagainya.
4. Estetika
Berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam keindahan, mencakup
kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebalikan (contrast).
Ada perbedaan antara nilai dengan norma. Misalnya: mengenai keadilan
putusan pengadilan ada yang secara hukum, dari tinjauan norma yang ada sudah
benar. Namun bisa jadi putusan tersebut belum memenuhi rasa keadilan bagi para
pihak, juga masyarakat. yang acuannya adalah nilai keadilan dari masyarakat itu
sendiri.
Evolusi Budaya dan Tahapan Peradaban
Newel Le Roy Sims menyatakan8 : Civilization is the cultural development,
the distinctly human attributes and attainments of a particular society. In ordinary
usage, the term imolies a fairly high stage on the culture evolutionary scale.
Reference is made to ‘civilized peoples’. More civilized usage would refer to more
highly and less highly civilized peoples, the refer to more highly and less highly
civilized peoples, the determinative characteristic being intellectual, aesthetic
technological, and spiritual attainments.
Dari pernyataan Sims tersebut dapat dikatakan bahwa peradaban merupakan
pengembangan budaya, atribut manusia secara jelas dan merupakan pencapaian
1 Supardi Damono, Manusia dan Kebutuhan Adab. Makalah dalam semilokakarya, dosen ISBD, Dirjen Dikti 5-8 November 2001, hal 2.
2 Dalam, Indar Siswarini, Manusia dan Peradaban, Makalah pelatihan dosen MBB ISBD, Denpasar, Bali, 7-9 Desember, 2003, hal. 3
3 H.P. Fairchild, Dictionary of Sosiology, Littlefield, Adam dan co, New York, 1980, hal. 414 Koentjaraningrat, Kebudayaan,Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta, 1990, hal. 1825 Ibid.6 F. Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Jakarta, 1989.7 William Chang, Pengantar Teologi Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2001, hal 83.8 Dalam, H.P. Fairchild, Op.Cit.
42
masyarakat tertentu. Jika mengacu pada perbedaan manusia anatara yang beradab dan
biadab (manusia yang berbudaya), maka peradaban dapat pula berarti tahapan yang
tingi pada skala evolusi. Karakteristik utama melekat pada perbedan tingkat
intelektual, perasaan keindahan, penguasaan teknologi, dan tingkat spiritual yang
dimilikinya.
Evolusi budaya, menurut Alvin Tofler dalam bukunya “The Third Wave“9,
terjadi dalam 3 (tiga) gelombang, yaitu :
Gelombang Pertama.
Gelombang ini terjadi pada masa-masa tradisional, dimana tekhnologi masih
belum ditemukan. Kehidupan sosial-budaya masayaratkat pada gelombang ini
pun masih dianggap tradisional. Dengan kata lain gelombang ini dianggap
sebagai tahap peradaban pertanian, dimana dimulai kehidupan baru dari budaya
meramu ke bercocok tanam. Toffler menyebutnya sebagai revolusi agraris.
Gelombang Kedua.
Gelombang kedua dari evolusi budaya adalah tahap peradaban industri. Yang
ditandai dengan penemuan mesin uap, energi listrik, mesin untuk mobil dan
pesawat terbang. Toffler menyebutnya sebagai revolusi industri
Gelombang Ketiga.
Gelombang ini dianggap sebagai tahapan evolusi budaya yang lebih modern dan
serba canggih atau dapat juga disebut sebagai tahap peradaban informasi.
Penemuan-penemuan di bidang Tekhnologi Informasi dan komunikasi dengan
komputer atau alat komunikasi digital dapat dijadikan tolok ukur dalam evolusi
budaya gelobang ketiga oleh Toffler ini.
3. Peradaban dan Perubahan Sosial.
Modernisasi.
Manifestasi proses modernisasi pertama kali tampak di Inggris pada abad ke
18 yang kemudian dikenal dengan sebutan revolusi industri. Penyebaran gejala
9 Alvin Toffler, The Third Wave, William Morrow, Co., Inc, New York, 1981, hal. 10
43
modernisasi pada awalnya hanya terdapat pada daerah-daerah yang kebudayaannya
satu jenis, yaitu kebudayaan Barat yang direpresentasikan oleh Eropa dan Amerika
Utara, dan kemudian menyebar lebih luas lagi kebeberapa daerah yang
kebudayaannya jauh berbeda dengan kebudayaan barat (Eropa dan Amerika Utara).
Penyebaran modernisasi ini dilihat sebagai suatu hal yang biasa atau wajar, karena
modernisasi dianggap sebagai suatu hal yang baru dan sesuai dengan perkembangan
jaman yang semakin maju, sehingga masyarakat dunia sering dibagi menjadi dua
kategori negara yaitu negara maju dan negara yang sedang bekembang. Negara maju
dianggap sebagai negara yang telah menerapkan modernisasi dalam setiap aspek
bidang kehidupannya, sedang negara yang sedang berkembang dianggap sebagai
negara yang sedang mengadakan modernisasi.
Koentjaraningrat10 menyatakan modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai
dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang. Anthony D Smith11 (1973:62)
menyatakan modernisasi bukan semata-mata proses yang spontan dan tanpa
perencanaan. “modernization then is a conscious set of plant and policies for
changing a particular society in the direction of contemporary societies which the
leaders think are more ‘advanced’ in certain respect”. Moderniasi merupakan proses
yang dilandasi oleh seperangkat rencana dan kebijakan yang didasari untuk
mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat kontemporer yang menurut
pemikiran para pemimpin lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu. Modernisai
merupakan proses mengangkat kehidupan, suasana batin yang lebih baik dan maju
daripada kehidupan sebelumnya, suasana kehidupan yang serasi dengan kemajuan
zaman. Oleh karena itu, pada kehidupan modern, tercermin alam pikiran rasional,
ekonomis, efektif, efisien menuju ke kehidupan yang makin produktif.
Modernisasi sebagai konsep dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial dapat
diartikan sebagai suatu sikap pikiran yang mempunyai kecenderungan untuk
mendahulukan sesuatu yang baru daripada yang bersifat tradisi, dan satu sikap pikiran
10 Koentjaraningrat, Op.Cit.11 Anthony D. Smith, The Concept of Social Change, Routledge & Kegan Paul, London, 1973, hal. 62
44
yang hendak menyesuaikan hal-hal yang sudah menetap dan menjadi adat kepada
kebutuhan-kebutuhan yang baru12.
Adapun efek-efek prkatis dari pada sikap modern itu dapat bersifat
konservatif maupun revolusioner. Dapat bersifat konservatif oleh karena sikap
penyesuaian itu pada prinsipnya dan pada tujuannya yang terakhir masih hendak
menyelesaikan yang lama, yang telah menjadi tradisi dengan menghindarkannya dari
kerusakan dan sikap masa bodoh, sesudah datang perubahan dan pembaharuan.
Sedang efek yang bersifat revolusioner adalah karena ada keinginan untuk sama
sekali mengganti adat tradisi dengan cara meninggalkannya sama sekali. Adapun
sikap modern yang berarti mendahulukan sesuatu yang baru dari pada yang sudah
menjadi tradisi itu, terutama disebabkan oleh penggunaan ilmu pengetahuan positif,
sehingga modernisasi dapat pula kita batasi sebagai sesuatu pikiran yang hendak
berusaha untuk mengharmoniskan hubungan antara lembaga-lembaga yang telah
lama ada dengan ilmu pengetahuan13.
Alex Inkeles memberikan pendapatnya mengenai modernisasi dalam upaya
melengkapi uraian-uraian tentang modern dan modernisasi. Inkeles meninjau arti
modernisasi sebagai sikap dan nilai-nilai yang ada pada manusia. Menurutnya ada
sembilan unsur yang terdapat pada konsep tentang manusia modern14, yang antara
lain yaitu :
1. Seorang manusia modern memiliki sikap untuk siap menerima ha-hal atau
pengalaman-pengalaman yang baru dan terbuka untuk inovasi dan perubahan.
Sebaliknya manusia tradisionil kurang bersikap untuk menerima ide-ide baru,
cara-cara baru untuk berperasaan dan bertindak. Sikap ini bukan suatu
ketrampilan, melainkan suatu sikap batin. Oleh karena modern adalah suatu sikap
pikiran, maka orang yang bekerja di sawah dengan bajak memiliki suatu sikap
modern dan dapat membuka pikirannya terhadap perubahan dan pembaharuan dan
bersedia mengganti alat kerjanya dengan yang baru yang lebih efektif.12 Harsojo, Pengantar Antropologi, Binacipta, Bandung, 1967, hal 265.13 Encyclopaedia of The Social Sciences, Edwin Seligman (ed), dalam Ibid.14 Alex Inkeles, The Modernization of Man, dalam, Ibid.
45
2. Opini. Manusia dikatakan sebagai manusia modern apabila dia mempunyai
disposisi untuk membentuk atau memiliki opini atau pendapat tentang berbagai
masalah dan isu yang timbul tidak hanya yang berasal dari dalam lingkungannya
namun juga yang berasal dari luar lingkungannya. Dengan kata lain, manusia
modern memiliki sikap demokratis dengan tidak menolak opini-opini orang lain,
dan menganggapnya sebagai sebuah keanekaragaman opini tetapi tidak mudah
begitu saja menerima opini orang lain tanpa pertimbangan-pertimbangan yang
cukup. Mampu berbeda pendapat dengan orang lain dan menyatakannya adalah
sikap manusia modern.
3. Faktor waktu. Manusia di nilai modern apabila dia lebih banyak berorientasi ke
masa yang akan datang dari pada berorientasi ke masa yang silam. Manusia
modern menghargai waktu dan manusia modern membuat rencana kerja
berdasarkan waktu secara tetap.
4. Perencanaan (Planning). Manusia modern dalam tata kerjanya mengadakan
perencanaan dan pengorganisasian serta berpendapat bahwa cara-cara tersebut
adalah baik untuk mengatur kehidupan.
5. Manusia modern percaya bahwa manusia dapat belajar dalam batas-batas tertentu
untuk menguasai lingkungannya guna mencapai dan memajukan tujuannya. Disini
penekanannya bukan pada hasil yang dicapai tetapi lebih kepada kepercayaan
bahwa suatu saat nanti dia dapat menguasai alam sekelilingnya.
6. Sikap bahwa segala sesuatunya itu dapat dilaksanakan dengan perhitungan, bahwa
lembaga-lembaga yang terdapat di dalam masyarakatnya akan mampu untuk
memcahkan segala persoalan. Perbedaannya dengan manusia tradisionil adalah
dalam menghadapi permasalahannya manusia tradisionil lebih banyak berorientasi
pada “nasib” atau pada klasifikasi-klasifikasi kosmis, dimana segala sesuatunya
sudah ditetapkan fungsi dan tempatnya.
7. Manusia modern menghargai harkat manusia lain. Sikap modern ini tampak sekali
pada sikap yang ditujukan kepada wanita dan anak-anak.
8. Manusia modern lebih percaya pada ilmu dan tekhnologi.
46
9. Manusia modern menjunjung tinggi suatu sikap bahwa pahala yang diterima oleh
seseorang itu seharusnya seimbang dengan prestasinya dan kontribusinya di dalam
serta kepada masyarakat dan tidak pada ukuran-ukuran lain yang tidak rasional.
Masyarakat Madani.
Wirutomo15 menerjemahkan kata “civil society” yang dikenal di Indonesia
sebagai “masyarakat sipil”, “masyarakat warga”, “masyarakat madani” atau
“masyarakat adab”. Pada dasarnya konsep ini sebenarnya sudah lama, berasal dari
kata societas civilis atau political society. Tekanan konsep ini lebih kepeda hubungan
antara pemerintah dan rakyat, negara dan masyarakat. Karena bidang politik pada
masa lalu selalu dikaitkan dengan negara, maka muncul konsep civil society sebagai
arena bagi negara yang aktif dalam politik. Tetapi lebih luas lagi konsep ini sering
juga dikaitkan dengan “peradaban masyarakat” (civilization) yaitu suatu kualitas
kebudayaan masyarakat yang ditandai oleh supremasi hukum.
Safrudin Setia Budi membedakan pengertian antara masyarakat madani dan
civil society16. Dia menjelaskan bahwa istilah masyarakat madani diperkenalkan
pertama kali oleh Timbalan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Anwar Ibrahim, dalam
ceramahnya di festival Istiqlal tahun 1991. Istilah masyarakat madani berdasarkan
pada konsep negara kota Madinah pada tahun 622 masehi yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW. Konsep ini tertuang dalam piagam Madinah yang bernuansakan
islami yang berisi wacana kebebasan beragama, persaudaraan antar umat beragama,
perdamaian dan kedamaian, persatuan, etika politik, hak dan kewajiban warga negara,
serta konsistensi penegakan hukum berdasarkan kebenaran dan keadilan. Jadi, pada
prinsipnya masyarakat madani mengarah kepada terciptanya masyarakat yang
demokratis dan dapat menghargai hask-hak azasi manusia sebagai individu yang
sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan atau ditentukan oleh Al-Quran.
Sedangkan istilah Civil Society, berasal dari kata latin yaitu “Civilis Societas”, yang 15 Dalam Indar Siswarini, Op. Cit.16 Safrudin Setia Budi, Mewujudkan Masyarakat Madani Melalui Pendidikan Dalam Perspektif
Gender, Makalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Jakarta, September 2004.
47
merupakan pendapat dari Cicerio, yang hidup pada abad pertama sebelum kristus.
Pengertian awalnya terkait dengan konsep tentang warga dan bangsa Romawi yang
hidup di kota-kota yang memiliki kode hukum. Kode hukum itu merupakan ciri dari
masyarakat atau komunitas politik yang beradab, yang berhadapan dengan
masyarakat di luar Romawi yang (oleh bangsa Romawi dianggap) belum beradab.
Konsep Cicerio ini mencakup kondisi individu maupun masyarakat secara
keseluruhan yang telah memiliki mudaya hidup di kota yang menganut norma-noram
kesopanan.
Pada perkembangannya, pada akhir abad 17 dan awal abad 18, istilah civil
society lebih ditekankan kepada “masyarakat politik”, yang membedakan diri dari
lingkungan keluarga atau masyarakat kecil yang dipimpin oleh bapak keluarga atau
bapak masyarakat yang belum melek politik. Namun konsep “masyarakat politik” ini
mendapat bantahan dari Hegel (1770-1871) yang mengatakan civil society bukanlah
masyarakat politik dengan tekanan-tekanan moral yang mewarnai perilaku mereka,
melainkan masyarakat ekonomi. Karl Marx (1818-1883) kemudian mengikuti
pendapat Hegel dengan mengatakan bahwa civil society disebut juga masyarakat
borjuis yang merupakan ciri masyarakat barat modern. Dengan kata lain bahwa civil
society adalah aspek non-politis dalam masyarakat modern yang sekarang kapitalis.
Marx menyatakan bawha negara dalam masyarakat kapitalis tidak lebih hanya badan
pelakasana kepentingan borjuis. Sedang pengertian masyarakat madani di Indonesia
adalah perpaduan antara pengertian masyarakat madani yang tercantum dalam
Piagam Madinah dengan civil society yang berkembang dalam negara-negara
industri. Ke dua pengertian tersebut dapat dianggap saling mengisi serta saling
melengkapi, dan penerapannya disesuaikan dengan karakteristik manusia modern
Indonesia yang bersifat Sosialis Religius17.
Dari pengertian masyarakat madani di Indonesia, muncul satu pertanyaan
bagaimana dengan realitasnya di Indonesia ?. Menurut Sulardi18, di Indonesia
17 Ibid.18 Sulardi, Tata Negara Indonesia Menuju Pembaruan, IKIP Malang, Malang, 1990, hal 57
48
masyarakat madani masih berada pada tataran perdebatan, dan perdebatan mengenai
konsep masyarakat madani di Indonesia tidak terlepas dari apa yang terjadi pada
hubungan masyarakat dan negara. Lebih lanjut, Kunto Wijoyo19 membahas mengenai
hubungan antara negara dan masyarakat ke dalam 4 (empat) konsep, yaitu Pertama,
berasal dari pikiran Hegel yang menyatakan bahwa yang rasional adalah aktual dan
yang aktual adalah rasional, sedang keberadaan negara adalah aktual yang lahir
karena di dalam masyarakat terjadi konflik. Oleh karenanya kemerdekaan sejati tidak
akan ditemukan dalam masyarakat, dalam negaralah kemerdekaan itu terwujud.
Kedua, berasal dari pandangan K. Marx, bahwa negara adalah alat represi dari
negara, oleh karenanya harkat manusia dapat terwujud dengan hapusnya negara, oleh
karenanya harkat manusia dapat terwujud dengan hapusnya negara, bersamaan
dengan itu hapus pula represi. Ketiga, adalah pandangan A. Gramsci yang
menyatakan bahwa negara adalah mewakili paksaan dan dominasi, sedang
masyarakat mewakili budaya, konsensus dan ideologi. Dan keempat, menyatakan ada
hubungan fungsional antara masyarakat dan negara, masyarakat terpecah antara
kepentingan pribadi dan umum, antara individu dan masyarakat. Dan Indonesia
berada pada suasana ketiga, yakni terpisahnya antara political society dan civil
society.
Dengan terpisahnya masyarakat dan negara, maka bila selama ini masyarakat
madani yang lazimnya disetarakan dengan civil society belum terbentuk di Indonesia,
kuncinya pada demokratisasi yang belum berjalan, sebab secara historis bisa dilihat
bagaimana perjalanan bangsa ini yang tertatih-tatih dalam penegakan demokrasinya.
4. Masyarakat Yang Beradab.
Beberapa ratus tahun yang lalu bangsa-bangsa Barat beranggapan bahwa
banyak masyarakat lain di berbagai benua tidak beradab. Bangsa-bangsa India dan
Aborijin, misalnya, dianggap tidak beradab karena tingkah laku mereka tidak bisa
diterima oleh orang ramai menurut ukuran Barat, karena mereka dianggap tidak
19 dalam Ibid.
49
memiliki kesopanan dan kehalusan budi menurut norma yang ditetapkan peradaban
Barat. Situasi semacam itu pada dasarnya merupakan pemaksaan norma suatu bangsa
terhadap bangsa lain. Sekarang tentu saja keadaan itu berangsur-angsur berubah,
meskipun dimana-mana masih saja pemaksaan norma semacam itu. Mungkin,
beradab atau tidaknya suatu masyarakat hanya bisa ditentukan oleh masyarakat itu
sendiri. Namun, tentu harus ada norma jika kita tetap ingin membicarakan beradap
tidaknya suatu masyarakat. Indonesia yang terdiri atas begitu banyak masyarakat
tentu memiliki sejumlah norma-norma yang berbeda satu sama lain. Jika ada
masyarakat yang biasa menggunakan jari tangan untuk makan, masyarakat bisa saja
menganggap tidak beradab begitu juga jika ada masyarakat yang biasa makan ikan
mentah atau melakukan ritual dengan cara memenggal kepala orang.
Jika kita mengaitkan kebutuhan akan adab ini dengan peradaban, maka kita
mengacu pada masyarakat yang memiliki organisasi sosial, kebudayaan, dan cara
kehidupan yang sudah maju, yang menyebabkan berbeda dari masyarakat lain. Dalam
pengertian ini jelas bahwa ada berbagai peradaban di dunia bahwa masyarakat
memiliki peradaban yang barbeda satu sama lain. Peradaban juga mengacu pada cara
kehidupan yang nyaman. Pendekatan terhadap peradaban juga berbeda-beda , namun
dasarnya boleh dikatakan sama, yakni perkembangan masyarakat pada suatu kurun
waktu dan tempat tertentu . Dalam pengertian ini kita mengenal, misalnya peradaban
Suku Inca, Mesir Kuno, Asia Timur, Islam, Kristen, Hindu dan Barat. Contoh-contoh
itu segera menunjukkan bahwa, meskipun tampaknya ditinjau dari berbagai
pendekatan, ada suatu hal yang sama yakni (1). Organisasi soial, (2). Kebudayaan,
dan (3). Cara berkehidupan yang sudah maju20. Bisa juga dikatakan bahwa
masyarakat yang memiliki peradaban itu, disamping berkebudayaan tinggi, juga
sudah mengembangkan tekhnologi dan sistem pemerintahan yang memungkinkan
kebanyakan anggotanya menikmati kenyamanan hidup. Contoh-contoh yang kita
sebut itu juga mengacu pada suatu taraf yang tinggi dari masyarakat yang memiliki
kesatuan sejarah dan kebudayaan.
20 Supardi Damono, Op.Cit.
50
Dalam kebudayaan Barat, misalnya, manusia beradab adalah yang
berpendidikan, sopan, dan berbudaya. Konsep-konsep itu selintas tampak serupa,
namun jika kita periksa lebih jauh ada hal-hal yang khas, yang membedakannya dari
peradaban lain. Misalnya, pendidikan dalam pengertian ini tentu menuntut ukuran
Barat, yang tentunya berbeda dengan peradaban Asia Timur, misalnya. Di zaman
lampau, peradaban Cina memiliki ciri penting, yakni keampuhan menguasai
kesenian, membaca, dan menulis, oleh karena itu jabatan penting dalam pemerintahan
ditentukan oleh hal-hal tersebut. Di Jepang, peradaban Asia Timur telah
menghasilkan kebudayaan bushido di masa lampau, yang sampai sekarangpun masih
terasa cirinya dalam masyarakat. Kesetiaan kepada atasan dan harga diri merupakan
ciri khas. Dua hal antara lain menyebabkan bunuh diri menjadi ritual yang harus
dilakukan jika harga diri seorang tidak ada lagi21.
Ketenangan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian sebagai makna hakiki
manusia beradab. Konsep masyarakat adab dalam pengertian lain adalah suatu
kombinasi yang ideal antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum yang
memperjuangkan penguatan posisi masyarakat terhadap negara. Manusia adalah
ukuran bagi segala, manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan
hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelektualitas, dan
pengalamannya. Kualitas hidup manusia bukan hanya diukur dari materi dan sekedar
gaya hidup. Tapi nilai kerohanianlah yang tertinggi dan menjadi penentu dari
kwalitas hidup manusia, yang akhirnya melahirkan suasana kehidupan ideal berupa
ketenangan, kedamaian, kesejahteraan, dan sebagainya.
5. Problematika Peradaban dalam Kehidupan Masyarakat.
Kemajuan Iptek Bagi Peradaban Manusia
Tekhnologi lahir karena adanya kebutuhan manusia pada masa terdahulu.
Meskipun secara sederhana mereka dapat membuat alat-alat yang hasilnya dapat
mereka gunakan untuk memudahkan pekerjaan mereka atau meningkatkan hasil kerja
21 Ibid.
51
mereka. Hal ini berarti mereka telah melakukan kegiatan atau proses yang
menghasilkan produk yakni alat-alat dan dapat digunakan untuk meningkatkan
efisiensi pelaksanaan kegiatan. Sedangkan sains atau ilmu pengetahuan berawal dari
sifat ingin tahu manusia. Observasi yang sistematis terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi di lingkungan sekitar manusia serta pemikiran atau perenungan tentang sebab-
sebab terjadinya beberapa peristiwa di lingkungan manusia ini telah melahirkan
“suatu kesimpulan sementara” yang pada zamannya telah dianut oleh sebagian besar
masyarakat. Pada awalnya, persitiwa-peristiwa di lingkungan manusia yang menjadi
obyek perhatian adalah peristiwa-peristiwa yang bersangkutan dengan alam,
misalnya, pergerakan matahari di siang hari, yang muncul dari arah timur dan hilang
menuju ke arah barat bahkan terjadi setiap hari. Begitu juga dengan bintang di malam
hari yang tampak bergerak mengelilingi bumi.
Di lihat dari awal lahirnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi memang tidak
terdapat keterkaitannya sama sekali, namun dalam perkembangannya, ilmu
pengetahuan dan tekhnologi memiliki kaitan yang sangat erat. Hal ini dapat diambil
contoh misalnya penggunaan mikroskop elektron dalam bidang geologi pada
pertengahan abad ke-20 telah membawa kemajuan dalam penelitian terhadap fosil-
fosil. Disamping itu, penggunaan mikroskop ini dalam bidang metalurgi amat
berguna dalam penelitian tentang struktur suatu logam. Dari beberapa contoh tersebut
dapat dikatakan bahwa, konsep ilmu pengetahuan, teori serta hukum yang
dikemukakan oleh para ilmuwan membawa dampak pada penemuan tekhnologi22.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sendiri dapat membawa
dampak positif maupun dampak negatif. Dapat diambil contoh yaitu dalam bidang
telekomunikasi dan tekhnologi informasi. Segi positif dari adanya peralatan
telekomunikasi dan peralatan tekhnologi informasi yang makin canggih atau modern,
maka beberapa kelompok masyarakat dari beberapa negara dapat berinteraksi dengan
mudah. Bahkan Indar Siswarini23 mengatakan bahwa perkembangan tekhnologi
22 Anna Poedjiadi, Sains Tekhnologi Masyarakat, kerjasama anatara Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal. 63.
52
informasi dan komunikasi membuat dunia menjadi sempit. Ruang dan waktu menjadi
sangat relatif dan dalam banyak hal batas-batas negara sering menjadi kabur bahkan
mulai tidak relevan. Bahkan budaya suatu negara akan lebih mudah diketahui dan
bahkan di tiru oleh bangsa atau negara lain.
Hal ini tentu akan berakibat pada adanya perubahan nilai budaya pada
masyarakat tertentu. Sebagai contoh misalnya, banyak orang yang melihat dari
tayangan televisi (yang merupakan kemajuan produk tekhnologi elektronika) melihat
tayangan-tayangan kekerasan, yang berakibat pada terpengaruhnya orang-orang
tertentu terhadap tayangan tadi yang kemudian melakukan tindakan-tindakan
kekerasan serpeeti yang ia lihat di tayangan tersebut. Contoh lainnya adalah budaya
sebagian masyarakat Amerika dengan kebebasannya, seksualitas maupun gaya hidup
hedonisme mereka, bisa saja ditiru dan dapat dijadikan pedoman dalam berkehidupan
oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama generasi mudanya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang semakin cepat dewasa
ini, telah menumbuhkan cakrawala pandangan manusia. Teknologi yang sebenarnya
merupakan alat bantu atau ekstensi kemampuan diri manusia, saat ini telah menjadi
sebuah kekuatan yang justru (baik disadari ataupun tidak) telah “membelenggu”
perilaku dan gaya hidup kita sendiri. Dengan daya pengaruhnya yang sangat besar,
karena ditopang pula oleh sistem-sistem sosial yang kuat, dan dalam kecepatan yang
makin tinggi, teknologi telah menjadi pengarah hidup manusia. Masyarakat yang
rendah kemampuan teknologinya cenderung tergantung dan hanya mampu bereaksi
terhadap dampak yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi.
Dampak Globalisasi Bagi Peradaban Manusia
Saat ini dunia sedang menghadapi arus perubahan besar, yang nantinya akan
(bahkan telah) membuat konsep-konsep lama mengenai tata hubungan antar bangsa
menjadi usang, di samping akan berkembangnya pandangan-pandangan baru. Arus
23 Indar Siswarini, Fenomena Peradaban Indonesia Menghadapi Peradaban Dunia, Makalah pelatihan dosen MBB ISBD, Denpasar, Bali, 7-9 Desember, 2003, hal. 3.
53
ini didorong oleh kemajuan tekhnologi yang berkembang dengan cepat dalam abad
ke-21 ini. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa era tekhnologi industri yang
berkembang sejak abad ke-18 akan digantikan oleh sebuah era baru yaitu era
tekhnologi informasi, atau dengan kata lain proses perubahan yang sekarang
berlangsung merupakan proses perubahan dari masyarakat industri menjadi
masyarakat informasi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa revolusi di bidang informasi
dan komunikasi (yang menggeser bidang industri), terutama terjadi dalam awal abad
ke-21, yang akan mempengaruhi kecenderungan perubahan mendasar dalam
kehidupan manusia yang salah satu aspek diantaranya ialah kecenderungan
globalisasi.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-
budaya umumnya dikalangan masyarakat kita (masyarakat Indonesia) semakin
bertambah dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi dari budaya Barat
(khususnya Amerika) sebagai akibat proses globalisasi yang hampir tidak
terbendung24. Berbagai ekspresi sosial-budaya yang sebenarnya asing, yang tidak
memiliki basis dan presiden kulturalnya dalam masyarakat kita semakin menyebar
pula dalam masyarakat kita, sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan
“gaya hidup” baru yang tidak selalu positif dan kondusif bagi kehidupan sosial
budaya masyarakat dan bangsa.
Arus informasi dan komunikasi telah membuat makin globalnya berbagai nilai
budaya. Bahkan secara mendalam telah terjadi interaksi budaya yang sangat intensif
yang menjurus ke arah terciptanya nilai budaya universal. Jadi, dapat dikatakan
bahwa saat ini sedang tercipta sistem-sistem nilai global yang berlaku dimana-mana.
Akibat lain dari globalisasi yaitu masyarakat mengalami anomi atau tidak
punya norma atau heteronomy atau banyak norma, sehingga terjadi kompromisme
sosial terhadap hal-hal yang sebelumnya dianggap melanggar norma tunggal
masyarakat. Selain itu juga terjadinya disorientasi atau alienasi, keterasingan pada
24 Azyumardi Azra, makalah dalam rangka seminar Hari Kebangkitan Tekhnologi Nasional ke-9. Kementerian Riset dan Tekhnologi, Juni 2004.
54
diri sendiri atau pada perilaku sendiri, akibat pertemuan budaya-budaya yang tidak
sepenuhnya terintegrasi dalam kepribadian kita.
Masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami dilematis karena globalisasi,
dimana masyarakat Indonesia (secara langsung maupun tidak langsung) dituntut
untuk terbuka terhadap globalisasi, namun di sisi lain masyarakat Indonesia
mengalami “ketakutan” dengan dampak negatif dari globalisasi yang dapat merusak
nilai-nilai (sosial-budaya) yang telah ada. Tetapi, jika masyarakat Indonesia ingin
maju maka mengisolasi diri dari globalisasi dianggap sebagai kesalahan karena
menolak peluang dan kesempatan untuk maju. Dan jika masyarakat Indonesia
memutuskan untuk maju dan dengan sadar menerima globalisasi, maka untuk
menghindari dampak negatif dari globalisasi salah satunya solusi alternatifnya adalah
dengan penguatan nilai-nilai keagamaan.
Benturan Peradaban (The Clash of Civilization).
Selama Perang Dingin berlangung, keadaan dunia terbagi-terbagi menjadi
beberapa bagian, yang mana pembagian-pembagian (dilakukan oleh barat yang dipimpin
Amerika untuk menentukan mana “teman” dan mana “bukan teman”) ini bertujuan untuk
membedakan-bedakan dunia menurut kemampuan sosial-ekonomi serta pertumbuhan
ekonomi (bahkan ideologi) suatu negara. Ada tiga bagian di dunia selama Perang Dingin
yaitu Dunia Pertama, yang merepresentasikan dunia-dunia maju secara sosial dan
ekonominya seperti Amerika dan aliansi Eropa-nya. Dunia Kedua, merupakan
representasi dari negara-negara maju tetapi secara sosial-ekonomi “baru” maju karena
bantuan-bantuan yang diberikan oleh Barat seperti Jepang, Korsel, Australia dan lain-
lainnya . Dan Dunia Ketiga, yang mewakili dunia-dunia yang beru berkembang atau
kemampuan sosial-ekonomi serta pertumbuhan ekonominya masih tertatih-tatih untuk
maju, seperti Indonesia.
Setelah Perang Dingin usai atau Pasca Perang Dingin, pembagian dan
pengelompokan dunia (atas prakarsa Amerika tersebut) dalam bidang sosial-ekonomi
sudah tidak relevan lagi. Konstelasi politik dunia internasional yang terjadi pasca perang
55
dingin tidak lagi menjadikan isu-isu sosial-ekonomi serta pertumbuhan ekonomi (bahkan
ideologi) sebagai tolok ukur dalam membagi dunia. Pembagian dunia saat ini mengarah
kepada hal lain yaitu atas dasar budaya dan peradaban.
Peradaban adalah suatu entitas budaya. Desa-desa, kawasan-kawasan, kelompok-
kelompok etnis, nasionalitas, kelompok-kelompok keagamaan, semuanya memiliki
budaya yang berbeda-beda pada tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda
pula25. Dapat diambil contoh yaitu di Indonesia, budaya orang-orang di daerah-daerah
di Indonesia berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Budaya Jawa berbeda
dengan budaya Sunda, budaya Sumatra atau Batak berbeda dengan dengan budaya
Kalimantan atau Dayak, dan lain-lainnnya. Tetapi kesemuanya sama-sama berbudaya
Indonesia, sehingga membedakan dengan mereka yang dari Malaysia atau yang dari
Brunei Darussalam. Budaya yang berbeda-beda antara Indonesia, Malaysia, Brunei
Darussalam dan sekitarnya di wilayah Asia, mempunyai satu budaya yang sama yaitu
Budaya Asia.
Begitu pula dengan budaya-budaya yang ada di Eropa. Perbedaan budaya antara
Inggris, Italia, Prancis, Jerman dan lain-lainnya tidak bisa menghapus identitas budaya
mereka yaitu Budaya Barat (hal yang sama juga berlaku untuk Amerika). Pada
masyarakat Arab juga memiliki identitas budaya yaitu Budaya Arab yang membedakan
mereka dari masyarakat Cina dengan Budaya Cina. Tetapi satu hal yang pasti yaitu
Barat (Eropa dan Amerika), Arab dan Cina, bukanlah menjadi bagian dari entitas
budaya yang lebih luas. Mereka semua merupakan peradaban-peradaban. Karena
itu suatu peradaban adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat
identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakan dari
spesies lainnya. Ia dibantu oleh unsur-unsur obyektif yang sama: seperti bahasa,
sejarah, agama, adat-istiadat, institusi, dan juga dibatasi oleh unsur-unsur
subyektif, identifikasi diri dari orang-orang itu26. Jadi dapat dikatakan bahwa peradaban
25 F. Fukuyama dan Samuel P. Huntington, Iyubenu (Ed), The Future of The World Order : Masa Depan Peradaban dalam Cengkraman Demokrasi Liberal versus Pluralisme, Ircisod, Yogyakarta, hal. 76
26 Ibid.
56
adalah tingkat identifikasi yang luas yang dimiliki orang, dan dengan peradaban ia
memberi identifikasi dirinya secara intens. Orang-orang atau bangsa-bangsa bisa
dan melakukan redefinisi identitas mereka. Tetapi, dengan adanya redefinisi ini,
komposisi dan batas-batas peradaban berubah.
Suatu peradaban meskipun dapat mencakup sebagian besar orang atau
masyarakat, namun juga bisa mencakup tentang sejarah sebuah negara bangsa,
seperti misalnya yaitu peradaban Barat, Eropa, Amerika, Arab, dan Asia serta
lain-lainnya. Di sini dapat dilihat bahwa peradaban bisa juga bercampur aduk
dan tumpang tindih, tetapi yang pasti, ada juga peradaban yang mencakup
beberapa peradaban atau sub-sub peradaban. Peradaban Barat misalnya,
memiliki dua sub peradaban yaitu peradaban Eropa dan Amerika Utara atau
Peradaban Islam yang memiliki tiga sub peradaban yaitu Arab, Turki, dan
Melayu. Peradaban merupakan entitas yang jelas, dan kalaupun garis-garis
pemisah antara peradaban-peradaban itu biasanya tidak tajam, tapi nyata.
Identitas peradaban dianggap suatu hal yang sangat penting dimasa yang
akan datang, dan interaksi dunia akan dibentuk oleh peradaban-peradaban besar
yang beberapa diantaranya adalah peradaban Barat, Asia, Amerika Latin, Islam
dan lain-lainnya. Namun, konflik yang mungkin akan terjadi di masa mendatang
akan terjadi sepanjang garis pemisah budaya yaitu identitas peradaban itu
sendiri, yang saling memisahkan peradaban-peradaban tersebut.
Menurut Huntington27, hal ini bisa terjadi karena disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu Pertama, perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tapi
juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi,
dan yang lebih penting lagi adalah agama. Perbedaan peradaban melahirkan perbedaan
dalam memandang hubungan manusia dengan Tuhan, individu dengan kelompok, warga
dengan negara, orang tua dengan anak, suami dengan istri, hak dengan kewajiban,
kebebasan dengan kekuasaan, dan kesejajaran atau kesamaan dengan hirarki. Perbedaan
ini hasil proses berabad-abad. Mereka tidak mudah hilang, jauh lebih mendasar
27 Ibid.
57
daripada ideologi atau rezim politik. Perbedaan tidak mesti melahirkan konflik, dan
konflik tidak dengan sendirinya melahirkan kekerasan. Tapi selama berabad-abad,
perbedaan antara peradaban telah menimbulkan konflik yang paling keras dan yang
paling lama.
Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang yang
berbeda peradaban semakin meningkat. Interaksi yang meningkat ini mempertajam
kesadaran dan rasa perbedaan peradaban antara orang-orang atau masyarakat yang
berbeda peradaban tapi juga mempertajam kesadaran akan kesamaan-kesamaan
yang terdapat dalam peradaban-peradaban itu. Imigrasi dari Afrika Utara ke
Perancis melahirkan kebencian di antara orang-orang Perancis terhadap para imigran
dari Afrika Utara tersebut, tapi bersamaan dengan itu terjadi peningkatan penerimaan
imigran Polandia, Katolik Eropa “yang taat”. Orang-orang Amerika bereaksi lebih
negatif terhadap penanaman modal dari Jepang daripada penanaman modal dari
Canada dan negara-negara Eropa. Demikian juga halnya dengan, apa yang
diungkapkan Donald Horowitz, “Seorang Ibo mungkin... seorang Ibo Owerri atau
seorang Ibo Onitsha di daerah Timur Nigeria. Di Lagos, ia hanya seorang Ibo. Di
Inggris, ia adalah seorang Nigeria. Di New York, ia adalah seorang Afrika.”
Interaksi antara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda peradaban
meningkatkan kesadaran peradaban mereka sehingga pada gilirannya memperkuat
perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang jauh ke
belakang dalam sejarah.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia membuat
orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah berakar
dalam, di samping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka.
Banyak agama dunia yang telah dapat mengisi gap (jurang pemisah) ini, sering dalam
bentuk gerakan yang dicap “fundamentalis”. Gerakan-gerakan, ini ditemukan pada
agama Kristen Barat, Judaisme, Buddhisme, Hinduisme, dan juga Islam. Di kebanyakan
negeri dan agama, orang yang aktif dalam gerakan fundamentalis adalah
orang-orang muda, berpendidikan universitas, kalangan profesional, teknisi kelas
58
menengah dan pengusaha. “Unsekularisasi dunia,” kata George Weigel, “adalah salah
satu fakta kehidupan sosial dominan di penghujung abad 20 ini”. Kebangkitan agama,
atau apa yang disebut Gilles Kepel “la revanche de Dieu”, memberikan suatu basis
identitas dan komitmen yang mentransendensikan batas-batas bangsa dan menyatukan
peradaban-peradaban.
Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda
Barat. Di satu sisi, Barat berada di puncak kekuatan. Dan di sisi lain, dan ini mungkin
akibat posisi Barat tersebut, kembalinya ke fenomena asal sedang berlangsung di antara
peradaban-peradaban non-Barat. Orang semakin banyak mendengar meningkatnya
kecenderungan-kecenderungan untuk “kembali ke dalam” dan “Asianisasi” di
Jepang. Berakhirnya warisan Nehru dan berlangsungnya “Hinduisme” India, kega-
galan ide-ide Sosialisme dan Nasionalisme Barat dan kemudian “re-Islamisasi” Timur
Tengah, dan sekarang perdebatan tentang Westernisasi lawan Rusianisasi di negeri Boris
Yeltsin. Barat yang berada di puncak kekuatannya berhadapan dengan non-Barat yang
semakin berkeinginan untuk membentuk dunia dengan cara-cara mereka, dan
menjadikan peradaban mereka sebagai sumber bagi pembentukan dunia tersebut.
Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena
itu kurang bisa kompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi.
Di negara-negara bekas Uni Soviet, orang-orang komunis bisa menjadi demokrat, yang
kaya bisa menjadi miskin, dan sebaliknya yang miskin menjadi kaya. Tapi orang-
orang Rusia tidak bisa menjadi orang Estonia dan orang-orang Azeris tidak bisa menjadi
orang-orang Armenia. Dalam konflik kelas dan ideologi, masalah kuncinya adalah
“Anda berada di pihak mana?” dan orang dapat memilih mau berada di pihak mana, dan
kemudian dapat berpindah ke pihak yang lain. Dalam konflik antara peradaban,
masalahnya adalah “Anda ini apa?”. Ini merupakan ketentuan yang tak bisa
berubah. Sebagaimana kita ketahui, dari Bosnia, Kaukasus, sampai ke Sudan,
jawaban yang salah terhadap pertanyaan itu bisa berarti anda akan (bahkan dipastikan)
kehilangan kepala. Bahkan lebih dari etnisitas, agama mendiskriminasi secara tajam
dan ekslusif sesama manusia. Orang bisa menjadi separuh Perancis dan separuh Arab,
59
dan dapat berwarga-negara ganda. Tapi sulit untuk menjadi setengah Katolik dan
setengah Muslim.
Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat. Proporsi perdagangan
seluruhnya yang dulu bersifat intraregional bangkit antara tahun 1980-1989.
Pentingnya blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa
yang akan datang. Di satu sisi, regionalisme ekonomi yang berhasil akan
memperkuat kesadaran-peradaban. Di pihak lain, regionalisme ekonomi hanya bisa
berhasil jika ia berakar dalam budaya yang sama. Masyarakat Eropa bersandar pada
landasan budaya Eropa yang sama dan agama Kristen Barat. Keberhasilan Wilayah
Perdaganagan Bebas Amerika Utara tergantung pada konvergensi budaya Meksiko,
Canada, dan Amerika. Sebaliknya Jepang, menghadapi kesulitan dalam
menciptakan entitas ekonomi yang sebanding di Asia Timur karena masyarakat dan
peradaban Jepang unik, berdiri sendiri. Bagaimanapun kuatnya perdaganagan dan
hubungan-hubungan investasi yang mungkin dapat dikembangkan Jepang dengan
negara-negara Asia Timur lainnya, perbedaan budaya Jepang dengan negara-
negara tersebut menghambat dan mungkin menghalangi integrasi ekonomi
regional yang terus meningkat seperti yang dialami Eropa dan Amerika Utara.
Berakhirnya negara-negara yang berbasis ideologi di Eropa Timur dan
bekas Uni Soviet memungkinkan identitas dan kebencian etnik tradisional mencuat
ke permukaan. Perbedaan budaya dan agama menciptakan perbedaan-perbedaan
dalam masalah-masalah kebijakan, mulai dari hak asasi manusia sampai imigrasi,
perdagangan, dan lingkungan. Yang paling penting, upaya-upaya Barat untuk
mendukung nilai-nilai demokrasi dan liberalisme sebagai nilai-nilai universal,
untuk mempertahankan kekuatan militernya dan untuk memajukan kepentingan
ekonominya, melahirkan respon balik dari peradaban-peradaban lain. Semakin
pemerintah tidak mampu memobilisasi dukungan dan membentuk koalisi atas dasar
ideologi, hal ini mengakibatkan pemerintah dan kelompok-kelompoknya akan
semakin berusaha memobilisasi dukungan dengan daya tarik agama yang sama dan
identitas peradaban.
60
61