Bab 2 Tinjauan Pustaka -...

60
19 Bab 2 Tinjauan Pustaka Kemiskinan dan Pembangunan Salah satu masalah berat dan latent yang dihadapi negara- negara sedang berkembang dalam melaksanakan pembangunan adalah kemiskinan. Kemiskinan sebagai masalah latent dikarenakan kemiskinan terbukti senantiasa ada terus-menerus. Belum pernah ada suatu negara yang terbebas sama sekali dari kemiskinan. Kemiskinan juga sebagai masalah berat karena ternyata tidak mudah mengatasi masalah yang satu ini. Dari berbagai literatur dapat diketahui adanya berbagai cara untuk memahami apa kemiskinan itu dan bagaimana cara mengatasinya. Para ekonom lebih melihat kemiskinan dari sisi ekonomi secara kaku dengan indikator seperti pendapatan, namun ahli lain melihat kemiskinan dari sisi psikologis seperti ketidakberdayaan, ketergantungan dan aspek psikologis lainnya. Cara pandang tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda seperti bagaimana strategi, kebijakan dan program yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut, bagaimana pula ukuran atau kriterianya. Dalam melaksanakan pembangunan dewasa ini perlu dicermati dari berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, kelembagaan, kepemimpinan dan pendidikan. Berbagai aspek tersebut saling berkaitan sehingga bila aspek yang satu kurang baik akan berdampak pada aspek-aspek yang lain, misalnya sumber daya manusia yang berpendidikan rendah akan berpengaruh pada aspek ekonomi. Dengan pendidikan yang rendah pada umumnya mereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau perubahan dari pihak luar sehingga produktivitasnya rendah. Produktivitas yang rendah akan berakibat pada pendapatan yang

Transcript of Bab 2 Tinjauan Pustaka -...

Page 1: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

19

Bab 2

Tinjauan Pustaka

Kemiskinan dan Pembangunan Salah satu masalah berat dan latent yang dihadapi negara-

negara sedang berkembang dalam melaksanakan pembangunan adalah kemiskinan. Kemiskinan sebagai masalah latent dikarenakan kemiskinan terbukti senantiasa ada terus-menerus. Belum pernah ada suatu negara yang terbebas sama sekali dari kemiskinan. Kemiskinan juga sebagai masalah berat karena ternyata tidak mudah mengatasi masalah yang satu ini. Dari berbagai literatur dapat diketahui adanya berbagai cara untuk memahami apa kemiskinan itu dan bagaimana cara mengatasinya. Para ekonom lebih melihat kemiskinan dari sisi ekonomi secara kaku dengan indikator seperti pendapatan, namun ahli lain melihat kemiskinan dari sisi psikologis seperti ketidakberdayaan, ketergantungan dan aspek psikologis lainnya. Cara pandang tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda seperti bagaimana strategi, kebijakan dan program yang tepat untuk mengatasi masalah kemiskinan tersebut, bagaimana pula ukuran atau kriterianya.

Dalam melaksanakan pembangunan dewasa ini perlu dicermati dari berbagai aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, kelembagaan, kepemimpinan dan pendidikan. Berbagai aspek tersebut saling berkaitan sehingga bila aspek yang satu kurang baik akan berdampak pada aspek-aspek yang lain, misalnya sumber daya manusia yang berpendidikan rendah akan berpengaruh pada aspek ekonomi. Dengan pendidikan yang rendah pada umumnya mereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau perubahan dari pihak luar sehingga produktivitasnya rendah. Produktivitas yang rendah akan berakibat pada pendapatan yang

Page 2: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

20

rendah dilihat dari aspek ekonomi, dan seterusnya aspek sosialnya pun akan rendah seperti tidak percaya diri, sulit berinteraksi atau bersosialisasi dan sebagainya. Karena aspek ekonomi memegang peranan penting dalam pembangunan, maka akan dikaji hal-hal yang berkaitan dengan kemiskinan yang merupakan salah satu bagian dari aspek ekonomi.

Sajogyo (1977) mengajukan ukuran kemiskinan dengan kriteria ekuivalensi 180 kg beras per kapita per tahun untuk masyarakat pedesaan dan 360 kg beras untuk masyarakat perkotaan. Kemiskinan pada tingkat ekonomi rumah tangga yaitu tingkat pencapaian kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya kebutuhan fisik: pangan dan bukan pangan seperti perumahan, pakaian, jasa. Dalam hal pangan ada ukuran obyektif berdasar Ilmu Gizi berupa ukuran kecukupan pangan kalori per orang per hari. Dasar kemiskinan yang dipakai BPS (1984) atas dasar anjuran kecukupan kalori yaitu 2100 kalori per orang per hari plus satu paket kebutuhan fisik bukan pangan.

Dalam kajiannya, Arsyad (1999) menyatakan terdapat dua macam konsep kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut, yang berarti kemiskinan pada umumnya selalu dikaitkan dengan pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan tersebut hanya terbatas pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar (basic need) seperti makan, pakaian atau sandang dan papan atau rumah. Bila pendapatan tidak memenuhi kebutuhan minimum, maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Dengan kata lain, kemiskinan dapat diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin atau sering disebut sebagai garis batas kemiskinan. Menurut Todaro dan Smith (2000) kemiskinan absolut dimaksudkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makan, pakaian, dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup. Masalah utama dalam kemiskinan absolut adalah menentukan tingkat komposisi dan tingkat kebutuhan minimum karena hal tersebut tidak hanya

Page 3: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

21

dipengaruhi oleh adat kebiasaan atau iklim tetapi juga berbagai faktor ekonomi lain.

Adapun konsep kemiskinan yang kedua adalah kemiskinan relatif. Dalam hal ini semakin besar ketimpangan antara tingkat hidup orang kaya dan miskin maka semakin besar jumlah penduduk yang selalu miskin. Seseorang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum tidak selalu miskin. Hal ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh keadaan sekitarnya, walaupun pendapatannya sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum tetapi masih jauh lebih rendah dibanding-kan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Berdasarkan konsep kemiskinan relatif ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, keadaan ini dikenal sebagai ketimpangan distribusi pendapatan. Konsep kemis-kinan relatif bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada. Dengan demikian dalam melaksanakan pembangunan perlu dilakukan dalam jangka panjang dan tanpa merugikan generasi yang akan datang. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan hasilnya dapat dinikmati generasi sekarang maupun generasi yang akan datang sehingga pembangunan yang berlangsung merupakan pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan pada beberapa konsep kemiskinan di atas, Salim (1984) memberikan ciri–ciri kemiskinan sebagai berikut : (a) mereka yang tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal dan keterampilan, (b) tidak memiliki kemungkinan untuk memiliki asset produksi dengan kekuatan sendiri, (c) rata-rata pendidikan mereka rendah dan (d) sebagian besar mereka tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai buruh tani. Mereka yang tinggal di kota kebanyakan berusia muda dan tidak memiliki keterampilan dan pendidikannya rendah. Berdasar ciri-ciri tersebut maka dalam melaksanakan pembangunan perlu dikaji secara mendalam sehingga masing-masing ciri dapat ditangani. Hal ini akan berakibat terjadinya perubahan pada individu atau masyarakat yang bersangkutan. Adanya perubahan

Page 4: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

22

berarti akan mengurangi kemiskinan dan pencapaian tujuan pembangunan semakin nyata.

Pandangan lain mengenai kemiskinan sebagaimana dinyatakan oleh Lufthi Nasution (1991) sebagai berikut, pada dasarnya seseorang digolongkan miskin jika keadaannya menyebabkan dia tidak mampu mentaati tata nilai dan norma-norma yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Ditinjau dari sudut pandang ekonomi, kemiskinan dipandang sebagai masalah dengan beberapa alasan : (a) kemiskinan mencerminkan rendahnya permintaan agregat sehingga mengurangi insentif sistem produksi, (b) kemiskinan berkaitan dengan rasio kapital dan tenaga kerja yang rendah (c) kemiskinan sering menyebabkan alokasi sumber daya terutama tenaga kerja tidak sesuai dan (d) dari sudut sosial, kemiskinan merupakan ciri lemahnya potensi masyarakat untuk berkembang

Kemiskinan menjadi salah satu permasalahan yang sangat krusial di beberapa Negara, khususnya Negara berkembang. Menurut Kartasasmita (1996), terdapat beberapa penyebab kemiskinan, yaitu: (a) rendahnya taraf pendidikan. Taraf pendidikan yang rendah mengaki-batkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki, (b) rendahnya derajat kesehatan. Taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa, (c) terbatasnya lapangan kerja. Keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan diperberat oleh terbatasnya lapangan pekerjaan. Selama ada lapangan kerja atau kegiatan usaha, selama itu pula ada harapan untuk memutuskan lingkaran tersebut dan (d) kondisi keterisolasian. Banyak penduduk miskin, secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi. Mereka hidup terpencil sehingga sulit atau tidak dapat terjangkau oleh pelayanan pendidikan, kesehatan ,dan gerak kemajuan yang dinikmati oleh masyarakat.

Berbeda dengan Kartasasmita (1996), Kuncoro (2010) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi yakni: (a) secara mikro, kemiskinanan muncul karena adanya ketidaksamaan pola pemilikan sumber daya yang menimbulkan

Page 5: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

23

distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya alam dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah, (b) kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi atau karena keturunan, (c) kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Rumah tangga nelayan sebagai bagian dari rumah tangga pada umumnya juga tidak terlepas dari kondisi kemiskinan. Bahkan dapat dikatakan rumah tangga nelayan cenderung mayoritas miskin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anas Tain (2011) yang menyatakan bahwa faktor-faktor penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan adalah: (a) kelembagaan yang merugikan nelayan kecil, (b) program yang tidak memihak nelayan kecil, (c) pandangan hidup yang berorientasi akherat, (d) keterbatasan sumber daya, (e) ketidaksesuaian alat tangkap, (f) rendahnya investasi, (g) terikat utang, (h) perilaku boros, (i) keterbatasan musim penangkapan, (j) kerusakan ekosistem, (k) penyerobotan wilayah tangkap, (l) lemahnya penegakan hukum, (m) kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, (n) penggunaan alat/bahan terlarang dan (o) perilaku penangkapan. Dari berbagai faktor penyebab kemiskinan tersebut, faktor kelembagaan merupakan faktor paling dominan sebagai penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan.

Rumah tangga nelayan tradisional yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin merupakan refleksi dari kemiskinan yang sifatnya multidimensional. Banyak hal yang menjadi penyebab. Tapi, terlepas dari itu semua, kemiskinan telah menyebabkan rumah tangga nelayan sulit keluar dari zona keterbatasan pemenuhan kebutuhan hidup. Kemiskinan juga memiliki pola tersendiri baik antar daerah maupun antar individu atau keluarga. Menurut Sumodiningrat (1999) ada beberapa pola kemiskinan di antaranya sebagai berikut: (a)Presistent Poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-

Page 6: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

24

temurun. Daerah yang mengalami kemiskinan ini pada umumnya merupakan daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi, (b) Cylical Poverty, yaitu pola kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan, (c) Seasonal Poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti yang sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan dan (d) Accidental Poverty, yaitu kemiskinan karena terjadi bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunannya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Bertitik tolak dari paparan di atas tampak bahwa kemiskinan dipandang sebagai fenomena yang multidimensional, artinya memiliki berbagai dimensi yang berimplikasi pada cara memahami dan mengukurnya sebagaimana dinyatakan oleh Renata Lok–Dessallien (2009) “as a multidimensional phenomenon , poverty is defined and measured in a multipler of way”. Dimensi – dimensi tersebut menurut Robert Chambers (1995) dari Institute Development Studies, Sussex dalam makalahnya yang berjudul: What is poverty ? Who ask ? Who answers menyebutkan jaringan-jaringan implikasi kemiskinan yang meliputi : (a) kesenjangan pendidikan, (b) kesenjangan informasi, (c) kesenjangan kekuatan sosial dan politik, (d) kesenjangan material, (e) kesenjangan hubungan sosial, (f) kesenjangan tempat tinggal, (g) kesehatan, (h) kesenjangan pada akses lembaga keuangan, pendidikan dan kesehatan, (i) inferioritas, (j) rawan pangan.

Seluruh jaringan tersebut terhubung satu dengan yang lain. Sebagai contoh: kesenjangan akses pendidikan, kondisi ini dapat berimplikasi pada jaringan lain seperti inferioritas. Orang miskin dengan pendidikan yang rendah dapat menyebabkan munculnya perasaan inferior karena ketidaktahuannya dalam banyak hal. Inferioritas ini selanjutnya memiliki hubungan dengan dimensi lain misalnya kesenjangan informasi. Orang yang pendidikannya rendah, merasa rendah diri, tidak memiliki kepercayaan diri, tidak memiliki keberanian untuk mencari dan mendapatkan informasi tentang berbagai hal. Pendidikan yang rendah tersebut juga terhubung dengan dimensi kemiskinan lain seperti kesenjangan material. Pendidikan yang rendah menimbulkan kualitas sumber daya manusia rendah pula.

Page 7: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

25

Kualitas sumber daya memiliki kaitan dengan kemampuan kepemilikan melalui pendekatan bekerja dan pendapatan (income – activities approach). Singkatnya dimensi kemiskinan yang tercermin dalam bentuk jaringan menyebabkan betapa tidak mudahnya mengatasi kemiskinan dan betapa luasnya implikasi dari kemiskinan tersebut.

Hal senada dikemukakan oleh E Wayne Nafziger (2005), dalam bukunya yang berjudul “Economic Development“ yaitu dimensi kemiskinan sebagai fenomena multidimensi sebagai berikut: (a) dimensi kemiskinan membentuk sebuah jaringan antar dimensi, (b) jarang suatu kemiskinan hanya disebabkan oleh satu jenis barang melainkan terdapat kondisi umum yang selalu nampak yakni adanya kesenjangan pangan, (c) kemiskinan memiliki dimensi psikologis seperti rasa malu, inferior, ketergantungan, ketidakberdayaan dan aspek psikologis lainnya, (d) penduduk miskin umumnya mengalami kesenjangan akses pada berbagai hal seperti transportasi, air bersih, pendidikan, kesehatan, penyakit dan beban biaya pemeliharaan kesehatan dan (e) pendapatan maupun aset sangat rendah.

Karakteristik kemiskinan yang multidimensional yang ber-implikasi pada adanya berbagai cara pandang berbeda mengenai hal tersebut, menimbulkan pula pemikiran atau konsep yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan itu. Garry Loewen (1965) menyebut sejumlah strategi yang cukup komprehensif untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi kemiskinan sebagai berikut: (a) healthy child development, (b) stay in school initiatives, (c) nutrition initiatives, (d) pregnancy prevention, (e) recreation, (f) heritage & culture pride, (g) workforce development, (h) Income support (improvement in household income), (i) provision of affordable good & services, (j) education and training, (k) social enterpreneurship.

Dari sejumlah strategi tersebut satu hal yang penting untuk ditelaah yakni workforce development. Strategi ini penting mengingat pada umumnya kemiskinan bermuara pada lemahnya kualitas sumber daya manusia dan rendahnya pendapatan. Berkaitan dengan pembangunan/ pengembangan angkatan kerja, Garry Loewen

Page 8: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

26

menyebut sejumlah program yakni: (a) program pengembangan pribadi (personal development programs), (b) program kesiapan bekerja (Job readiness program), (c) pembangunan keterampilan spesifik (building spesific job skills), (d) keterampilan kerja secara mandiri (self – employment skills) dan (e) penempatan kerja dan bantuan untuk mendapatkan pekerjaan.

Dengan demikian pada dasarnya kemiskinan dapat di atasi, dimulai dari dirinya sendiri sebagai faktor internal dan mem-pertimbangkan faktor dari luar dirinya atau faktor eksternal. Hal ini sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Kusnadi (2003). Mengingat dalam operasionalnya para istri nelayan dalam melakukan pekerjaannya memiliki keuletan dan komitmen yang tinggi meskipun pendidikan mereka rendah, maka dalam mengatasi kemiskinannya perlu disesuaikan dengan kondisi tersebut. Keuletan dan komitmen para istri nelayan dalam melakukan kegiatan produktifnya tercermin pada ketekunannya, yaitu sejak kecil sebelum menikah sampai sekarang masih melakukan kegiatan produktif baik nggereh maupun ngeber. Bantuan dari berbagai pihak misalnya ikan perlu didatangkan dari luar daerah mengingat nelayan di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal ini tidak bisa melaut sepanjang waktu dan hanya melaut pada perairan yang relatif dekat atau dangkal.

Pendidikan istri nelayan tradisional yang rendah berdampak pada rendahnya kreativitas dan inovatifnya sehingga sulit untuk menerima masukan dari pihak luar. Oleh karena itu untuk membantu mereka diperlukan pendekatan yang relevan misalnya pemberdayaan disertai dengan pendampingan saat melakukan pekerjaannya sebab jika hanya diberikan secara verbal atau ceramah mereka akan kesulitan untuk menerimanya apalagi mengimplementasikan. Keterbatasan modal dapat dibantu dengan pinjaman berbunga rendah. Hal ini sudah dilakukan oleh berbagai pihak namun penggunaannya kadang belum sesuai dengan rencana atau harapannya. Oleh karena itu dalam mendampingi para istri nelayan tersebut perlu mencermati kekurangan dan kelebihan yang mereka miliki sehingga upaya untuk mengatasi

Page 9: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

27

kemiskinan atau untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi rumah-tangganya dapat dicapai.

Peran istri nelayan tradisional sangat terkait dengan kondisi kehidupan rumah tangga nelayan. Bagaimanapun juga, kondisi kemiskinan adalah ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan hidup. Tugas memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga ini sebenarnya dari perspektif modern bukan lagi menjadi tanggung jawab suami semata. Di sinilah letak strategis peran istri nelayan tradisional dalam membantu menopang perekonomian rumah tangga, terutama dalam kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan hidup.

Gender dalam Pembangunan Dalam kajian tentang peran istri nelayan, pendekatan gender

menjadi penting. Dalam perspektif modern, bias gender adalah hal yang sudah wajar. Tapi keadaan berbeda sejatinya dialami oleh masyarakat pesisir. Adanya pembedaan pekerjaan yang jelas dalam struktur pembagian kerja dalam rumah tangga, bahkan dalam aktivitas melakukan kegiatan produktif, istri nelayan memegang peran yang sentral dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. Pada aktivitas yang berkaitan dengan melaut, istri nelayan tidak ada yang membantu secara langsung. Kebanyakan mereka mengambil peran dalam aktivitas pra dan pasca melaut. Ini semua menunjukan bahwa pada struktur masyarakat pedesaaan pesisir, pembagian kerja antara suami dan istri sebenarnya sangatlah jelas.

Secara alami atau nature, adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda dalam kehidupan. Hal ini akan lebih terasa bila diterapkan dalam kegiatan produktif yang lebih luas, tidak hanya dalam rumah tangga tetapi juga di masyarakat dalam rangka melaksanakan pembangunan. Memang ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada juga yang

Page 10: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

28

tidak bisa dipertukarkan karena memang bebeda secara kodrat alamiahnya.

Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nature yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun ber-masyarakat, yaitu terjadi ketidakadilan gender, sehingga muncul teori nurture, bahwa ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun berdampak pula terhadap laki-laki.

Teori nature adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks filsafat Yunani kuno misalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam pertentangan kosmik yang kembar, misalnya: siang-malam, baik-buruk, kesinambungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda, terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-laki perempuan, dan seterusnya. Dengan demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik eksistensial yang asimetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki, sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan perempuan.

Senada dengan pandangan di atas, Plato sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan memiliki jiwa laki-laki yang rendah dan pengecut. Kendati memposisikan perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan, Aristoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga, dengan anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga melembagakan penolakan kewarganegaraan perem-puan dalam negara kota, yang pada saat itu mulai berkembang.

Page 11: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

29

Secara lebih tegas dukungannya dengan teori nature, yang menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran, mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian ini, memiliki akar yang menghujam pada tataran kosmologis. Pikiran dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekekalannya. Sebaliknya, perempuan yang direpresen-tasikan dengan materi, mengkategorikan pada instabilitas dan mudah berubah. Secara lebih vulgar dinyatakan bahwa dikhotomi laki-laki dan perempuan, berikut peran sosial yang diembannya, merupakan fakta dari alam.

Berdasarkan pemikiran itu, diyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi kaum Hawa untuk menahan emosinya ketika dibujuk setan, mengakibatkan ia mudah digelincirkan setan. Bagi perempuan secara alamiah memiliki sifat lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat setan berhasil menggodanya. Bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan setan (Suralaga & Rosatria, 2002).

Berbeda dengan teori nature, menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar.

Pendefinisian laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat patriarkhi, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika, yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran klasik memiliki kategorisasi dan terumuskan secara jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil (Adian, 2001)

Page 12: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

30

Berdasarkan kategorisasi yang melengkapi atribut identitas, maka lahirlah dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu. Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya di-nyatakan bahwa rasio dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap lebih unggul dari materi, dan seterusnya.

Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas, kodrat merupakan penyempurnanya. Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai manusia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat diubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagad ini.

Konsepsi ideologi patriarkhi yang sesungguhya lahir dari mesopotamia kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas, dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi yang diwariskan oleh peradaban kuno dan metafisika Barat, dapat dijelaskan sebagai berikut:

Patriarkhi mengurung mahkluk laki-laki dan perempuan pada kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain. Komparmentalisasi ini diperparah oleh pemaknaan identitas perem-puan berdasarkan sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk kepentingan laki-laki. Identitas perem-puan adalah mahkluk yang bukan laki-laki. Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi identitas ini

Page 13: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

31

kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari metafisika Barat.

Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi, terletak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari dikhotomi ini. Konsekuensinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan perilaku yang melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan feminitas perempuan. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah privelege lainnya atas perempuan.

Untuk melanggengkan superioritasnya, dominatifnya dan kekuatan privelege-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan seterusnya.

Berdasarkan kolaborasi dan perselingkuhan kepentingan antara patriarkhi dan metafisika Barat yang melahirkan sejumlah keisti-mewaan posisi laki-laki dibanding perempuan di atas, maka perlu adanya gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari sekedar buatan tangan manusia.

Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk

Page 14: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

32

oleh masyarakat secara seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan menyelubungi cara berpikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya diri dan sensitif.

Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi sosial yang ada. Laki-laki sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat pengasih dan sensitivitas.

Untuk mengembangkan semua potensi kodrati laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengkondisian seperti ini, pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka (Wardhana, 2004)

Berdasarkan realitas pengkondisian sosial sehingga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka peng-hapusan seksisme yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidakadilan gender, seperti marjinalisasi, subordinasi, ke-kerasan, sterotipe dan peran ganda bagi perempuan, salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang kuat ideologi patriarkhi.

Pembagian kerja secara seksual (Arief Budiman, 1985) seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Bebe-

Page 15: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

33

rapa peran dilihat melulu sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain dianggap feminin. Berburu, menangkap ikan, membuat senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi dan mengambil air, memasak menjadi tugas perempuan.

Sementara kegiatan yang berganti-ganti dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan adalah mengolah tanah, menanam, merawat dan memanen. Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua Nugini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas bersama suami-istri, sehingga mereka dibebas-kan dari tugas-tugas lainnya. Suku Aborigin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Nugini meyakini bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.

Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah. Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran yang dijalani oleh perem-puan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi.

Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan

Page 16: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

34

antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan di antara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia.

Hubungan laki-laki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang harmonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerja sama yang setara. Dengan demikian bila dalam melaksanakan pembangunan didasari konsep saling melengkapi antara peran dan tugas yang harus dilakukan baik laki-laki maupun perempuan maka keberhasilan pembangunan akan menjadi lebih baik.

Pembangunan modern salah satunya ditandai dengan parti-sipasi dan keterwakilan perempuan. Perempuan harus ikut berparti-sipasi dan mengambil peran dalam proses mencapai kemajuan. Partisipasi perempuan dalam pembangunan merupakan refleksi dari kesetaraan gender. Perempuan memiliki peran yang sama dalam pembangunan, memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi bagi masyarakat.

Di era pembangunan yang menekankan pada aspek teknologi, kesempatan yang sama juga harus diberikan kepada perempuan. Perempuan saat ini telah ikut berpartisipasi dalam segala sendi kehidupan. Aktivitas ekonomi dan kegiatan sosial kemasyarakatan tidak hanya menjadi milik laki-laki. Perempuan juga telah terlepas dari belenggu kegiatan konvensional. Hal inilah yang dinamakan eman-sipasi wanita di era pembangunan modern. Dengan demikian perem-puan tidak hanya melakukan kegiatan domestik atau kegiatan yang

Page 17: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

35

berkaitan dengan kasur-sumur-dapur atau pekerjaan rumah tangga tetapi juga mampu melakukan kegiatan publik atau kegiatan produktif yang dapat mendatangkan pendapatan.

Demikian halnya berlaku bagi perempuan istri nelayan tradisional yang mampu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau kegiatan domestik dan kegiatan publik atau pekerjaan produktif yang dapat mendatangkan pendapatan. Dua pekerjaan yang dilakukan para istri nelayan tradisional tersebut mampu meningkatkan eksistensinya sebagai perempuan yang tidak berbeda dengan laki-laki. Hal ini jika dicermati secara rinci dari segi waktu justru perempuan lebih banyak menggunakan waktunya untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan bagi rumah-tangganya. Dimulai dari pagi hari, sesudah “Subuhan” mereka mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak dan sebagainya. Sesudah selesai melakukan pekerjaan rumah tangga tersebut mereka melanjutkan kegiatan produktif untuk mendapatkan pendapatan sampai sore hari, baik ngeber atau nggereh, membuat terasi, krupuk dan bakso.

Dalam kajian ini, teori ekuilibrium lebih cenderung bisa menjelaskan kondisi keluarga nelayan pesisir. Aktivitas yang dilakukan oleh suami dan istri lebih bersifat melengkapi. Tidak ada persaingan antar anggota keluarga. Karena semua dilakukan atas dasar saling melengkapi dan membantu. Antara suami dan istri nelayan mengkonstruksi sebuah komunikasi keluarga dan pembagian kerja secara adil untuk mencari alternatif yang terbaik dalam upaya pemenuhan kebutuhan rumah tangga.

Etika Pembangunan

Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos mempunyai arti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Etika kemudian didefinisikan sebagai sebuah teori atau skematika yang bersifat rasional, logis, mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dari tingkah laku manusia. Secara substantif, prinsip-prinsip dasar etika

Page 18: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

36

selalu mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan keadilan, kebebasan, otonomi, otoritas, demokrasi (Crocker, 2008). Sedangkan pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana, karena meliputi berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi, modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya (Tjokroamidjojo, 1974).

Pembangunan dari dan untuk manusia berarti manusia sebagai subyek dan sekaligus obyek pembangunan, serta berusaha untuk menciptakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dalam hidupnya, baik kehidupan material maupun spiritual. Menurut Mubyarto, et al (1984), etika pembangunan ekonomi diartikan sebagai alasan-alasan moral dari upaya negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yaitu perwujudan masyarakat yang adil, makmur material dan spiritual. Etika juga merupakan pedoman moral tentang salah atau benar bagi suatu tindakan manusia dan secara estetika menjadi sumber pemikiran baik atau buruk tindakan manusia tersebut.

Pembangunan berlandaskan etika menjadi sangat penting setelah gagalnya pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Sementara pembangunan saat ini justru mengakibatkan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat berupa kemiskinan dan kesenjangan sosial. Kemudian yang terjadi adalah orang miskin semakin miskin dan orang kaya menjadi semakin kaya sebagai akibat pembangunan yang tidak adil tersebut. Dengan demikian, pembangunan diarahkan untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan, seperti keadilan, keamanan dan ketentraman hidup, kemandirian individu, keluarga dan masyarakat (self relience), harga diri (self esteem), kebebasan dari dominasi (freedom) dan hidup sederhana (plain living). Menurut Crocker (2008) ketika etika hadir dalam pembangunan maka akan tercipta kondisi yang lebih berpihak pada kesejahteraan bagi seluruh umat manusia dan lingkungan ekologisnya.

Kung (2002) dalam Crocker (2008) menekankan bahwa tanggung jawab etis tersebut harus dilakukan semua pelaku ekonomi dalam sebuah negara yang demokratis dan tidak boleh dilanggar atas

Page 19: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

37

alasan apapun. Kegiatan ekonomi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan manusia sehingga institusi maupun aktivitas ekonomi tidak dapat dibenarkan jika semata-mata hanya untuk tujuan kekuasaan, Kung menambahkan bahwa pentingnya mengarahkan pembangunan ekonomi global demi tujuan sosial dan kemanusiaan yang berlaku adil pada pemeuhan kebutuhan di masa depan, dengan mempertimbangkan fondasi kehidupan alamiah.

Midgley (1995) dalam Anas (2011) mengkritik pembangunan ekonomi yang mengabaikan pembangunan sosial. Realitas kemiskinan terjadi akibat pembangunan yang terdistorsi (distorted development). Pandangan tersebut muncul ketika mengamati masalah kemiskinan akibat dampak dari sistem ekonomi yang mengutamakan akumulasi kapital dan produk teknologi modern. Akumulasi kapital yang merupakan salah satu bagian dari ekonomi pasar telah mengakibatkan proses pembangunan hanya mengutamakan pada pertumbuhan (growth) dan kurang memperhatikan pemerataan (equity) hasil pembangunan. Sedangkan Goulet (1977) dalam Luthfi Nasution (1991) menjelaskan bahwa proses pembangunan harus menghasilkan (a) terciptanya “solidaritas baru” yang mendorong pembangunan yang berakar dari bawah (grass-roots oriented), (b) memelihara keberagaman budaya dan lingkungan masyarakat, dan (c) menjunjung tinggi martabat serta kebebasan manusia dan masyarakat.

Sen (1999) menyatakan bahwa pembangunan sebenarnya dapat dipahami sebagai sebuah proses meluasnya kebebasan hakiki yang dapat dinikmati oleh setiap individu dalam masyarakat. Pembangunan bukan hanya diukur dari bertambahnya GNP (Gross National Product) atau pendapatan per kapita nasional, atau meningkatnya industrialisasi, maupun masyarakat yang modern. Namun keberhasilan pembangunan dapat bermanfaat bila diukur dengan parameter kebebasan, yaitu pembangunan yang dilakukan benar-benar telah memenuhi kebutuhan dasar manusia, seperti pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan serta peran aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Page 20: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

38

Menurut Aditjondro (2003) industrialisasi merupakan berkah, tetapi tidak untuk semua lapisan masyarakat. Industrialisasi yang berlangsung di Indonesia hanya berpihak pada kelas atas (upper class). Sementara kelas bawah (lower class) lebih diposisikan sebagai instrumen bagi berputarnya roda pembangunan dan industrialisasi tersebut. Tidak hanya golongan kelas bawah yang dieksploitasi, bahkan juga lingkungan dan alam terus menerus dieksploitasi tanpa pernah berfikir tentang dampak yang dapat ditimbulkan dari aktivitas pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan tersebut.

Pembangunan menurut Goulet (1977) dalam Luthfi Nasution (1991) memiliki implikasi terhadap tiga kategori kebutuhan yaitu (a) kebutuhan subsisten penting seperti makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan, (b) kebutuhan yang berkaitan dengan kenyamanan dan fasilitas yang membuat hidup lebih mudah seperti transportasi, rekreasi, tenaga kerja perangkat hemat, lingkungan yang menyenangkan, dan sebagainya, (c) kebutuhan yang berkaitan dengan pemenuhan manusia seperti peningkatan budaya, kehidupan spiritual, persahabatan, hubungan cinta, kehidupan sosial dan sebagainya.

Mahatma Gandhi merumuskan visi dan praktek pembangunan yang berpusat pada nilai-nilai tanpa kekerasan dan terdapat kerja sama antara agen sosial dan pemilik kekayaan. Gandhi menganjurkan tatanan ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat seperti pembangunan pedesaaan dan penyediaan kebutuhan dasar masyarakat. Gandhi juga mengajukan model pembangunan dengan sistem kerja sama ekonomi (collaborative economic system) yang menekankan pada aspek kelembagaan dimana terdapat diantaranya lembaga yang menaungi (a) petani kecil dan pekerja kasar, tukang (artisans), (b) membantu masalah kredit dan pemasaran. Collaborative economic system juga mencakup aspek perencanaan (planning) seperti perencanaan pengembangan masyarakat kecil dan kluster.

Ife dan Tesoriero (2002) menekankan model pembangunan yang berorientasi pada pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development). Model tersebut menekankan

Page 21: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

39

pentingnya memberikan kebebasan kepada individu atau masyarakat untuk mengembangkan kemampuannya masing-masing sehingga individu atau masyarakat dapat menikmati dan berperan serta dalam pembangunan, konsep pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka-mereka yang dirugikan akibat proses pembangunan. Terdapat tiga strategi yang dapat diimplementasikan untuk memberdayakan suatu masyarakat yakni (a) perencanaan dan kebijakan, (b) tindakan sosial dan politik dan (c) peningkatan kesadaran dan pentingnya pendidikan.

Chamber (1995) menyatakan pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Hal tesebut merupakan cerminan dari paradigma baru pembangunan yang dikemukakan oleh Chamber yaitu “people-centred, participatory, empowering and sustainable “ atau dengan kata lain pembangunan berpusat pada partisipasi masyarakat, pemberdayaan dan keberlanjutan. Dengan adanya model pembangunan tersebut, tujuan pembangunan ekonomi diharapkan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan masyarakat.

Pembangunan yang dilandasi etika pembangunan akan berdampak mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat sehingga masyarakat menjadi lebih sejahtera. Ada berbagai istilah (terminology) sejahtera (well – being) sebagaimana dinyatakan oleh Martha (1996) dengan istilah welfare atau quality of life atau living of standard yang dalam bahasa Indonesia diterjemahan sejahtera atau kesejahteraan. Paparan ini akan membahas dua hal yakni (a) pengertian kesejahteraan dan (b) pengukuran kesejahteraan atau indikator-indikator kesejah-teraan.

Berbagai pengertian kesejahteraan menurut Euis Sunarti (2006), adalah: (a) sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, (b) suatu tata kehidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan setiap warga negara berusaha memenuhi kebutuhan – kebutuhan jasmani dan rohani sebaik-baiknya bagi diri sendiri, rumah tangga serta masyarakat.

Page 22: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

40

Bubolz & Sontag (1993) mengartikan kesejahteraan sebagai terminology lain dari kualitas hidup manusia (quality human life) yaitu suatu keadaan ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta terealisasinya nilai-nilai hidup, sedangakan Lorz (1973) memandang kesejahteraan sebagai suatu keadaan harmonisasi dengan lingkungan. Ia menyatakan “Welfare is living in harmony with environment and with it self both physically and psychologically “.

Santamaria et al (2006) mengklasifikasikan kesejahteraan (quality of life) dalam enam kategori yakni (a) fisik, (b) psikhologis, (c) kemandirian, (d) sosial, (e) lingkungan dan (f) spiritual. Dari kategori tersebut secara sederhana dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yakni (a) kesejahteraan ekonomi (economic well – being) dan (b) kesejahteraan non ekonomi (non- economic well– being).

Sue Milligan et al (2006) menyatakan bahwa kesejahteraan keluarga (family well – being) orientasinya adalah mengakses pada sumber dan kondisi hidup keluarga yang tercermin pada (a) Pendapatan/income, (b) Pendidikan /education, (c) Pekerjaan/work, (d) Perumahan/housing, (e) Kesehatan/health dan (f) Akses pada aset yang mendukung interaksi sosial.

Kesejahteraan ekonomi dari suatu keluarga lazimnya diartikan sebagai kepuasan yang diakibatkan oleh adanya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan berdasar perolehan atau pendapatan keluarga (Park, 2000) dalam Euis Sunarti (2006). Pemenuhan kebutuhan keluarga tersebut baik berupa pendapatan, nilai asset maupun pengeluaran.

Pengukuran kesejahteraan memerlukan indikator yang jelas agar diperoleh gambaran atau informasi secara tepat dan akurat. Berikut akan dipaparkan berbagai indikator untuk pengukuran kesejahteraan. Menurut Deutsche Bank Research (2006) dalam laporannya yang berjudul “Measures of well – being” menyebutkan sejumlah elemen yang perlu digunakan untuk mengukur kesejahteraan dan kebahagiaan yakni: (a) Kesejahteraan ekonomi (economic well – being) yang mencakup: kekayaan/wealth, kegiatan non pasar/non –

Page 23: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

41

market activity, waktu luang/leisure, pengganguran /unemployment dan keamanan (insequrity), (b) Living condition yang mencakup: kese-hatan/health, lingkungan/environment, dan pendidikan/ education dan ketimpangan/ inequality, (c) Happiness yang mencakup: keturunan/ genetic, kegiatan keluarga/ family activities, teman sejawat/ friends, kepuasan kerja/work satisfaction dan kemasyarakatan/ communities dan (d) Gross Domestic Product (GDP) mencakup: konsumsi consumption dan investasi bersih/ net investment.

Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil beberapa pokok pikiran antara lain bahwa kesejahteraan adalah: (a) Kondisi kebutuhan jasmani, mental, spiritual dapat dipenuhi, (b) Kondisi harmonisasi diri sendiri dengan lingkungan, (c) Kehidupan yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin, (d) Kondisi yang mencerminkan kepuasan yang bersumber dari konsumsi pendapatan yang diperoleh dan (e) Kondisi yang mencerminkan kualitas hidup yakni suatu kebahagiaan lahir dan batin.

Memperhatikan berbagai pendapat mengenai kesejahteraan yang tercermin dari berbagai definisi tersebut maka tampak jelas bahwa kesejahteraan memiliki dimensi baik dimensi ekonomi maupun dimensi non ekonomi seperti dimensi psikhologis, maupun dimensi sosial. Implikasinya ialah tidaklah mudah untuk mengukur secara akurat dan lengkap mengenai kesejahteraan itu. Oleh sebab itu tidak mengherankan adanya berbagai kategori atas kesejahteraan.

Dalam kajian mengenai kesejahteraan terdapat beberapa indikator empiris lain yang mampu menjelaskan tentang kesejahteraan secara komprehensif. Berikut dipaparkan beberapa indikator penting dalam kaitannya dengan kesejahteraan yakni: (a) Pendapatan, terdapat tiga cara konseptualisasi untuk melihat hubungan antara pendapatan dengan kesejahteraan: The resources investment model. Model ini berangkat dari postulat bahwa tingkat pendapatan akan mempengaruhi daya beli atas sumber-sumber yang merupakan komponen dari kesejahteraan. Pendapatan dalam hal ini berfungsi sebagai nilai instrumental yang juga akan meningkatkan kemampuan pilihan dan dukungan untuk berpartisipasi dalam kehidupan

Page 24: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

42

masyarakat. Model yang kedua dikenal sebagai “the deprivation model“ Model ini mengakses sumbangan pendapatan terhadap kesejahteraan keluarga melalui pengaruh perampasan atau pencabutan ekonomi. Diperlukan pendapatan yang cukup agar dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan. Keluarga atau personal yang terampas secara ekonomi karena berbagai sebab seperti dampak dari suatu kebijakan maka akan menyebabkan pendapatan mereka berkurang atau bahkan lenyap sehingga kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya juga akan terbatas atau bahkan tidak mampu sama sekali. Model lain sebagai konseptualisasi hubungan antara pendapatan dengan kesejahteraan memeriksa atau menguji seberapa besar hubungan antara sumber-sumber pendapatan dengan perasaan subyektif, serta norma-norma anggota keluarga dalam rumah tangga. (b) Bekerja: akan berdampak pada kesejahteraan keluarga. Bekerja merupakan sumber pendapatan keluarga sehingga memungkinkan keluarga memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka khususnya kebutuhan dasar. Di samping berfungsi sebagai sumber pemenuhan kebutuhan keluarga, bekerja yang menghasilkan pendapatan juga memberi manfaat secara psikhologis. Sebagaimana dinyatakan oleh Sue Milligan et al (2006) “Paid employment provides psychological benefits . … for those who desire to work , paid employment seems to enhance emotional well- being and increase life satisfaction.” (c) Perumahan : sebagai tempat tinggal yang didiami keluarga atau sesorang memiliki pula hubungan dengan kesejahteraan. Papan atau tempat tinggal merupakan salah satu bentuk kebutuhan dasar. Sebagai suatu kebutuhan dasar maka setiap orang atau keluarga mesti berupaya untuk dapat memenuhinya. Housing provides us with shelter and a place to sleep. But housing also provide us our psychololigal needs. Kondisi perumahan dimana suatu keluarga mendiami akan memberi pengaruh psikhologis bagi semua penghuninya. Oleh karena itu maka untuk memahami kondisi kesejahteraan tidaklah mungkin mengabaikan kondisi tempat tinggal dimana keluarga mendiaminya. (d) Kesehatan: merupakan komponen penting dari kesejahteraan. Kualitas kesehatan keluarga dan anggota keluarga akan mempengaruhi partisipasi mereka dalam melakukan kegiatan atau aktivitas baik

Page 25: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

43

aktivitas pribadi, aktivitas keluarga bahkan juga aktivitas kemasyarakatan. Kesehatan juga merupakan salah satu jenis kebutuhan dasar manusia. (e) Pendidikan: sebagai salah satu kebutuhan dasar memiliki posisi penting dalam menentukan kualitas kesejahteraan seseorang atau keluarga. Pendidikan merupakan sarana untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia yang akan menentukan kualitas produktivitas hidup mereka. Perbedaan capaian pendidikan akan berimplikasi pada perbedaan produkvitas pula.Muara dari proses pembangunan yang ideal adalah terciptanya kesejahteraan yang merata. Pembangunan sendiri dapat diartikan sebagai proses multidimensional menuju ke arah yang lebih baik dengan ditandai berkembangnya seluruh sendi-sendi kehidupan. Tidak hanya terfokus pada aspek kuantitas namun juga kualitas.

Sebuah proses pembangunan akan dikatakan telah berhasil apabila cita-cita luhur yang tertuang dalam visi bernegara telah dicapai. Kesejahteraan masyarakat adalah salah satu indikator utama keberhasilan proses pembangunan. Pembangunan akan dianggap berhasil apabila mampu mengentaskan kemiskinan. Pembangunan tidak akan diukur dari seberapa banyak cadangan devisa negara itu, namun dari seberapa sejahtera masyarakatnya.

Pembangunan sejatinya adalah proses multidimensional yang melibatkan semua aspek. Hal ini belum termanifestasi dengan sempurna dalam kehidupan masyarakat pesisir. Indonesia adalah negara maritim yang kaya. Seharusnya pelaku sektor maritim memperoleh kesejahteraan yang lebih baik. Tapi tidak bagi nelayan. industri maritim maju pesat meninggalkan elemen mikro di dalamnya. Pembangunan masih meninggalkan celah berupa ketidakmerataan.

Kesejahteraan masyarakat belum dapat dirasakan oleh sebagian besar rumah tangga nelayan tradisional di Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal karena mereka masih dalam kondisi memenuhi kebutuhan pokok, meskipun istri nelayan sudah ikut melakukan kegiatan produktif sehingga memperoleh pendapatan. Dengan kata lain dalam rumah tangga nelayan sumber pendapatan diperoleh dari nelayan atau suami dan dari istrinya,yang berarti pendapatan rumah

Page 26: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

44

tangga nelayan yang bersangkutan relatif lebih besar, namun tetap saja belum mampu untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah baik jumlah maupun kualitasnya. Apalagi untuk peme-nuhan selain kebutuhan pokok seperti pendidikan, kesehatan, hiburan atau rekreasi masih jauh dari jangkauan mereka. Dengan demikian kesejahteraan bagi rumah tangga nelayan tradisional di Desa Gempolsewu dan Sendang Sikucing, Kecamatan Rowosari, Kabupaten Kendal masih merupakn suatu impian yang sulit diwujudkan.

Teori Struktural – Fungsional Teori Struktural – Fungsional merupakan salah satu teori yang

menelaah masyarakat dari perspektif sistem sosial. James W. Vander Zanden (1990) dalam bukunya: Sociology the Core, mengartikan masyarakat sebagai berikut: Society refers to a group of people who live within the same terotory and share a common culture. Teori ini memandang bahwa masyarakat sebagai sistem sosial yang memiliki setidaknya dua hal yakni (a) struktur dan (b) adanya fungsi. Struktur mencerminkan suatu gambaran kelompok yang memiliki hubungan satu dengan yang lain (Puspitawati Herien,2009). Kedudukan seseorang dalam sebuah struktur akan menentukan fungsi. Fungsi merupakan sekelompok kegiatan yang sejenis. Sebagai contoh: masyarakat memiliki fungsi melindungi keamanan anggotanya. Berdasarkan teori struktural–fungsional, konsep struktur sosial mencerminkan adanya bagian-bagian atau unit-unit atau elemen-elemen dari sistem tersebut serta bagaimana elemen-elemen dari sistem tersebut diorganisir. Bagian dari kegiatan misalnya kegiatan siskamling, pengaturan waktu kunjungan keluarga dan kegiatan lain.

Masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem oleh karena di dalamnya dijumpai adanya berbagai komponen yang saling berhubungan, dipengaruhi dan mempengaruhi satu dengan yang lain. Muncul pertanyaan apakah sesunggguhnya sistem itu? Sistem adalah suatu set obyek dan relasi antar obyek tersebut dengan atribut-atributnya. Pandangan lain menyatakan bahwa sistem adalah unit yang

Page 27: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

45

dibatasi aturan, terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling ketergantungan (Winton, 1995).

Terdapat sejumlah asumsi terhadap sistem yakni : (a) Elemen – elemen saling berhubungan, (b) Sistem hanya dapat dimengerti sebagai keseluruhan, (c) Seluruh sistem mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya dan (d) Sistem bukan sesuatu yang nyata

Terkait dengan masyarakat, salah seorang tokoh sosiologi Talcott Parsons (1968) mengemukakan sejumlah asumsi sebagai berikut: (a) Sistem sosial yang mencerminkan adanya independensi realitas untuk melintasi individu sebagai suatu sistem interaksi, (b) Struktur sosial yang menggambarkan sejumlah fungsi utama yang mendasarinya dan (c) Landasan sentral masyarakat adalah kecen-derungan terhadap keseimbangan.

Masyarakat yang berfungsi adalah masyarakat yang stabil, harmonis, terdapat kesatuan dan kerja sama di antara elemen- elemennya. Teori struktural fungsional mengakui adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Pada setiap institusi atau lembaga seperti masyarakat terdapat struktur. Dalam setiap struktur di dalamnya terdapat kedudukan yang memiliki implikasi adanya fungsi. Kedudukan dalam institusi seperti adanya ketua, sekretaris atau ada pemimpin dan juga ada yang dipimpin (Megawangi, 2002 dalam Herien Puspitawati, 2009).

Teori struktural – fungsional mula pertama dikenalkan oleh Comte, Spencer dan Emile Durkheim. Terkait dengan berfungsinya suatu masyarakat menurut Talcott Parsons dalam teori sistem yang berkaitan dengan perspektif struktural fungsional, dikatakan bahwa agar suatu masyarakat berfungsi maka sejumlah kebutuhan mesti dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan itu terkait dengan: (a) pencapaian tujuan, (b) integrasi dan (c) pemeliharaan pola-pola (Puspitawati Herlien, 2002).

Secara ringkas teori struktural – fungsional menelaah: (a) Masyarakat sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat berbagai unsur atau elemen atau komponen yang saling berinteraksi,

Page 28: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

46

mempengaruhi dan dipengaruhi, (b) Di dalam masyarakat terdapat struktur yang mencerminkan adanya kedudukan atau posisi seperti posisi pemimpin dan yang dipimpin, (c) Adanya struktur dalam masyarakat menimbulkan implikasi adanya fungsi dan peran dari setiap elemen atau unsur. Fungsi merupakan kumpulan atau ragam peran sejenis yang dilakukan oleh mereka yang memiliki struktur atau posisi tertentu.

Sebelum memaparkan telaah rumah tangga dari perspektif teori struktural–fungsional penting kiranya untuk dijelaskan apakah keluarga itu?. Keluarga dapat didefinisikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami – istri atau suami – istri dan anak atau ayah dan anak atau ibu dan anak (BKKBN, 1992). Sedang James W Vanden Zande (1990) menyatakan mengenai keluarga sebagai berikut ”many of us think of family as a social unit consisting of married couple and their children, living together in a household.” Suatu keluarga terbentuk dari pasangan menikah, bersama anak tinggal dalam satu rumah tangga.

Telaah keluarga dari perspektif teori struktural – fungsional didasarkan pada pandangan bahwa keluarga merupakan institusi yang memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip-prinsip dalam kehidupan sosial masyarakat. Beberapa karakteristik masyarakat dari perspektif teori struktural – fungsional antara lain: (a) masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat sub sistem-sub sistem seperti keluarga, norma, demikian juga halnya dengan keluarga memiliki sub sistem seperti aturan-aturan dalam keluarga, kebiasaan yang menjadi pola perilaku anggota keluarga, (b) masyarakat terdiri dari suatu struktur tertentu dan masing masing struktur memiliki fungsi dan peran tersendiri. Sebagaimana sebuah organisasi memilili struktur ada pemimpin ada yang dipimpin, demikian halnya dengan keluarga memiliki struktur seperti adanya kepala keluarga yang berfungsi sebagai pemimpin keluarga, ada anggota keluarga juga ibu rumah tangga (c) dalam masyarakat terdapat adanya keragaman dari berbagai aspek seperti keragaman dari aspek anggotanya, keragaman dari aspek agama, kondisi sosial ekonomi. Demikian pula halnya

Page 29: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

47

dengan keluarga dijumpai berbagai keragaman di antara anggota keluarga seperti cita rasa, kesenangan atau hobi, orientasi politik, orientasi jenis pekerjaan dan keragaman lainnya dan (d) dalam masyarakat memiliki fungsi tertentu. Fungsi-fungsi yang ada dalam masyarakat akan menentukan kondisi masyarakat yang dikenal sebagai kondisi yang seimbang atau tidak seimbang.

Teori Struktural-Fungsional memandang keluarga sebagai suatu sistem. Keluarga sebagai suatu sistem adalah unit sosial dimana individu terlibat intim di dalamnya, dibatasi oleh aturan keluarga termasuk hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antar anggota keluarga (Megawangi, Zetlin & Kramer, 1995). Telaah keluarga sebagai sistem berdasar teori struktural fungsional dilandasi oleh empat (4) konsep yakni: (a) sistem, (b) struktur sosial, (c) fungsi serta (d) keseimbangan. Setiap keluarga memiliki anggota, mereka saling ber-interaksi, berkomunikasi dan disadari atau tidak disadari mereka saling mempengaruhi.

Menurut Puspitawati Herlein ( 2009), pendekatan keluarga sebagai sebuah sistem juga didasarkan pada sejumlah asumsi yakni: (a) Setiap keluarga adalah unik yang mencerminkan adanya keragaman dalam keluarga. Keragaman dalam keluarga dapat disimak dari personal, budaya, ideologi maupun politik (b) Keluarga merupakan sistem interaksi, (c) Setiap anggota keluarga memiliki variasi fungsi maupun peran dan (d) Keluarga melalui proses perubahan yang menghasilkan tekanan terhadap anggotanya (Puspitawati Herlein: 2009).

Aspek penting teori Struktural-Fungsional dalam kaitannya dengan lembaga yang disebut keluarga ialah bahwa suatu keluarga yang sehat mesti memiliki pembagian peran dan fungsi yang jelas. Terciptanya keluarga yang sehat merupakan kebutuhan dan kepen-tingan seluruh anggota keluarga.

Terselenggaranya fungsi dan peran keluarga akan menjamin tercapainya kesejahteraan dan keseimbangan suatu keluarga. Keluarga sejahtera adalah keluarga yang terbentuk atas dasar perkawinan yang

Page 30: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

48

sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras, seimbang antar anggota dan antar anggota keluarga dengan masyarakat (UU No. 10/ 1992: UU Perkawinan). Kondisi utama berfungsinya suatu keluarga atau terciptanya keluarga yang sehat atau sejahtera sangat tergantung pada kondisi: (a) Harmonisasi dalam pembagian peran dan fungsi anggota keluarga, (b) Komitment anggota keluarga terhadap implementasi fungsi dan peran masing–masing yang mencerminkan kualitas komitment anggota keluarga terhadap hak dan kewajiban masing-masing dan (c) Kualitas solidaritas anggota keluarga terhadap keluarga secara keseluruhan.

Setiap keluarga mesti memiliki struktur tertentu agar derajat fungsionalitas dalam melaksanakan fungsi dapat optimal. Struktur dalam suatu keluarga mencerminkan pengaturan peran masing- masing anggota keluarga. Dalam hubungan ini terdapat tiga (3) elemen utama dalam struktur internal keluarga yang saling terkait yakni: (a) status sosial; (b) fungsi sosial dan (c) norma sosial. Dalam kaitannya dengan struktur keluarga, Puspitawati Herlien (2009) meng-inventarisasi sejumlah persyaratan yang mesti dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sebuah sistem dapat berfungsi. Persyaratan tersebut meliputi: (a) Deferensiasi peran, (b) Alokasi solidaritas, (c) Alokasi ekonomi, (d) Alokasi politik; (e) Alokasi integrasi dan ekspresi. Terkait dengan peran, (Rick Peterson dan Stephen Green, 2009) menyebut lima (5) peran esensial yang mesti ada agar keluarga efektif yakni : (a) Penyediaan sumber-sumber/ provision resources, (b) Pemeliharaan dan dukungan/ nurturance and support, (c) Pengembangan keterampilan hidup/life skills development, (d) Manajemen sistem keluarga/ maintenance and management family system dan (e) Kepuasaan seksual atau partner dalam hubungan perkawinan

Diferensiasi peran mengacu pada adanya peran yang jelas bagi setiap anggota keluarga. Diferensiasi peran dalam suatu keluarga dapat mengacu pada berbagai kategori seperti usia, jenis kelamin atau kategori lain. Diferensiasi peran berdasar jenis kelamin misalnya anggota keluarga laki-laki memiliki peran yang berbeda dengan

Page 31: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

49

anggota keluarga perempuan, demikian pula diferensiasi peran berdasar usia. Selanjutnya dalam setiap keluarga pasti terbentuk adanya ikatan emosional seperti ayah, ibu dengan anak anak mereka atau sebaliknya. Situasi ini akan menimbulkan adanya solidaritas dalam setiap keluarga. Kualitas solidaritas yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kedalaman atau intensitas hubungan antar mereka. Persyaratan struktural lain ialah alokasi ekonomi yang berkaitan dengan aspek produksi, konsumsi maupun invetasi dalam keluarga. Selanjutnya dalam setiap keluarga akan muncul adanya distribusi politik yakni distribusi kewenangan atau kekuasaan. Persyaratan terakhir ialah alokasi integrasi dan ekspresi yang mencerminkan cara keluarga dalam melakukan kegiatan- kegiatan sosialiasi, internalisasi serta pelestarian nilai-nilai dan perilaku.

Sebagaimana telaah teori struktural fungsional terhadap keluarga bahwa keluarga merupakan lembaga atau institusi yang memiliki struktur sehingga dengan demikian memiliki fungsi. Fungsi keluarga berdasar PP No 21 tahun 1994 meliputi: (a) agama, (b) cinta dan kasih sayang, (c) perlindungan, (d) reproduksi, (e) sosialisasi dan pendidikan, (f) sosial dan budaya, (g) ekonomi dan (h) lingkungan.

Implementasi atas setiap fungsi keluarga sangat mungkin beragam antar keluarga satu dengan yang lain, namun demikian keluarga yang sehat dan berfungsi pasti akan menerapkan segenap fungsi tersebut untuk mencapai tujuan keharmonisan dan kesejah-teraan segenap anggota keluarga.

Berdasarkan pandangan United Nations (1993), fungsi keluarga meliputi: (a) pengukuhan ikatan suami – istri, (b) prokreasi dan hubungan seksual, (c) sosialisasi dan pendidikan anak, (d) pemberian nama dan status, (e) perawatan dasar anak, (f) perlindungan anggota keluarga, (g) rekreasi dan perawatan emosi dan (h) pertukaran jasa dan barang.

Fungsi keluarga menurut BKKBN meliputi; (a) keagamaan, (b) sosial budaya, (c) cinta kasih, (d) melindungi, (e) reproduksi, (f) sosialisasi dan pendidikan, (g) ekonomi dan (h) pembinaan lingkungan.

Page 32: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

50

Selanjutnya menurut Rice dan Tucker (1986) fungsi keluarga meliputi: (a) fungsi ekspresif yakni fungsi memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak serta (b) fungsi instrumental yakni manajemen sumber daya untuk mencapai tujuan keluarga, dan menurut Barret et al. (2001) fungsi keluarga adalah: (a) reproduksi, (b) sosialisasi/ pendidikan, (c) penetapan peran, (d) ekonomi dan (e) dukungan emosi.

Selanjutnya menurut Talcott Parsons (1968) terkait peran gender yakni adanya model A dan model B. Model A merupakan model peran gender yang dilakukan dengan pemisahan total antara laki- laki dan perempuan dan model B yang dilakukan dengan peleburan total antara laki- laki dan perempuan. Deskripsi mengenai hal tersebut dapat disimak pada tabel berikut ini:

Tabel 2.1. Model A dan Model B tentang Peran Gender

Aspek Model A Model B Pendidikan Kualifikasi pendidikan tinggi

hanya penting bagi laki-laki Pendidikan yang sama baik untuk laki-laki maupun perempuan

Profesi Tempat kerja profesional, karir dan profesional tinggi bukan tempat kaum perempuan

Karir, profesionalitas sama penting baik laki-laki maupun perempuan.

Pekerjaan di rumah

Fungsi utama perempuan adalah pekerjaan rumah dan pengasuhan anak

Pekerjaan rumah tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan

Pengambilan keputusan

Jika terjadi konflik, laki- laki yang mengambil keputusan akhir

Kesetaraan dalam pengambilan keputusan

Pengasuhan anak

Merawat, mendidik, mengasuh anak tugas dan tanggungjawab perempuan

Kontribusi setara antara laki laki dan perempuan untuk pendidikan anak

Secara garis besar Parsons membedakan dua jenis peran yakni (a) peran instrumental yang berkaitan dengan upaya mencari nafkah dan (b) peran expresive yakni peran seperti upaya menguatkan jaringan relasi antar anggota keluarga.

Page 33: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

51

Sebagaimana dipaparkan di atas tentang adanya sejumlah asumsi teori struktural-fungsional terhadap masyarakat, demikian pula terdapat sejumlah asumsi berlandaskan teori tersebut pada keluarga yang akan dipaparkan berikut ini: (a) Asumsi dimensi struktur berdasar teori struktural-fungsional pada keluarga yakni: setiap anggota keluarga membedakan atau mengkhususkan peran sehingga memberikan kemungkinan peningkatan fungsi keluarga. Pola pengaturan struktur dalam keluarga yang mencerminkan hak dan kewajiban atau peran serta nilai serta norma yang dianut keluarga (b) Asumsi karakteristik sistem sosial dalam suatu keluarga yakni: adanya batasan dalam keluarga. Sistem dalam keluarga mengarah pada upaya pencapaian keseimbangan kepentingan dan kebutuhan anggota keluarga. Sistem dalam struktur keluarga terintegrasi ke dalam satu kesatuan yang akan menjamin keutuhan keluarga (Puspitawati Herlien, 2009).

Sebagaimana diketahui dari fungsi-fungsi rumah tangga, salah satu fungsi penting adalah fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi akan tercermin dalam ekonomi rumah tangga yang dapat ditelaah atau dipandang dari berbagai aspek, sebagaimana dikemukakan oleh Martha Alter Chen dan Elizabeth Dunn (1996) dalam ”Household Economic Portofolio” sebagai berikut: ”The household economic portofolio can be defined as: (a) the set of household resources, (b) the set of household activities and (c) the circular flow of interaction between household reseources and household activities”.

Tampak jelas bahwa dalam rumah tangga terlihat adanya sumber-sumber rumah tangga, kegiatan-kegiatan dalam kaitannya dengan sumber yang dimiliki rumah tangga dan interaksi antar keduanya. Sumber rumah tangga mencakup: (a) sumber daya manusia, (b) sumber daya fisik dan (c) sumber daya financial, hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Martha Alter Chen dan Elizabeth Dunn (1996). Sumber Daya Manusia (SDM) mencakup waktu, kemampuan, keterampilan dari segenap anggota rumah tangga. Sumber ini tergantung pada komposisi yang ada pada setiap rumah tangga. Selanjutnya sumber fisik (physic resources) seperti tanah, bangunan,

Page 34: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

52

alat-alat, persediaan dan sejenisnya, sedangkan sumber financial (financial resources) terdiri dari dana tunai dan alat liquid.

Kegiatan rumah tangga menurut Martha Alter Chen dan Elizabeth Dunn (1996) adalah sebagai berikut ”household activities are the set of consumption, production and investment. Consumption activities are defined as the satisfaction of material wants and needs through the provision of items such as food, clothing, medical services, liquor, ceremonies and amusement. Production activities can be broken down into three categories: (a) income generating activities,(b) household maintenace activities and (c) wage and outside work. Investment activities involve the use of household, resources in order to create the potential for additional income in the future period.

Kegiatan investasi termasuk penggunaan sumber-sumber untuk menciptakan potensi peningkatan pendapatan. Investasi dapat berbentuk investasi nyata (tangible investment) dan investasi tidak kelihatan (intangible investment), namun keduanya bercirikan harapan adanya daya tahan pada periode berikutnya.

Sebagaimana dipaparkan di atas setiap rumah tangga memiliki (a) sumber daya dan (b) kegiatan. Mengenai hal ini Martha Alter Chen dan Elizabeth Dunn (1996) menyatakan sebagai berikut: There are two links between household activities and household reseources ... The top flow denote by A and running from resources to activities, represent the allocation of join or individual household reseources to support the different join and individual household activities.

The bottom flow , denote B and running from activities to resources represent the income and other addition to reseources that are created by the household’s production and investment activities”.

Dengan demikian, kiranya jelas keterkaitan erat antara sumber daya rumah tangga (household resources) dengan kegiatan rumah tangga. Sumber daya rumah tangga akan mendukung kegiatan rumah tangga baik secara individu maupun bersama. Selanjutnya kegiatan-kegitan rumah tangga akan mendukung sumber daya rumah tangga

Page 35: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

53

dalam bentuk pendapatan serta tambahan sumber-sumber rumah tangga.

Terdapat sejumlah definisi tentang rumah tangga (household) antara lain rumah tangga adalah (a) susunan sekelompok orang yang hidup di tempat tinggal yang sama, mengakui kewenangan dan kebebasan pria dan wanita untuk menjadi kepala rumah tangga. (b) susunan sekelompok orang yang hidup dan tinggal di tempat yang sama, makan bersama, serta mengakui kewenangan dan kebebasan pria dan wanita untuk menjadi kepala rumah tangga. (c) susunan sekelompok orang yang tinggal di tempat yang sama, mereka setidaknya mempunyai satu bidang bersama atau kegiatan pendapatan berkelanjutan bersama serta mengakui kewenangan dan kebebasan pria dan wanita untuk menjadi kepala rumah tangga. (d) Pendapatan berkelanjutan adalah usaha-usaha produktif yang memberikan prospek pendapatan berkelanjutan. Setiap rumah tangga, mengelola hasil kegiatan mereka dalam bentuk barang dan jasa yang akan digunakan untuk konsumsi dalam rumah tangga. (e) kelompok orang yang secara normal tinggal dan makan bersama di dalam rumah tangga. Anggota rumah tangga harus mengakui kekuasaan seseorang kepala rumah tangga dan orang tersebut secara aktual harus tinggal bersama seluruh anggota rumah tangga. (f) sekelompok unit ekonomi atau satuan yang sistemik secara ekonomi, anggota-anggotanya memiliki pertalian ekonomi tertentu. Mereka dapat berpartisipasi bersama pada kegiatan produktif, pendapatan bersama.

Dari berbagai definisi tersebut dapat ditarik beberapa pokok pikiran mengenai rumah tangga yakni adanya kebersamaan sekelompok orang dalam hal (a) tempat tinggal, (b) makan bersama, (c) kepala rumah tangga, (d) pengakuan kewenangan atau otoritas kepala rumah tangga oleh segenap anggota rumah tangga, (e) pertalian ekonomi.

Teori-teori ekonomi tentang rumah tangga mencoba menangkap struktur rumah tangga yang kompleks dan perilaku mereka dalam pembuatan keputusan, alokasi sumber-sumber, mekanisme penghasilan dan pembagian tenaga kerja berbasis gender. Rumah

Page 36: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

54

tangga merupakan unit ekonomi seperti halnya perusahaan yang berusaha mencapai utilitas maksimum melalui maksimisasi keuntungan dan meminimalisir biaya. Beberapa asumsi terkait rumah tangga sebagai unit produksi dan konsumsi antara lain: (a) Individu yang rasional: semua model ekonomi berasumsi bahwa rumah tangga adalah unit ekonomi yang rasional. Hal ini memiliki keterkaitan dengan hal-hal: nilai waktu semua anggota rumah tangga dan nilai konsumsi maupun produksi barang yang ditentukan oleh mekanisme pasar, keputusan-keputusan dalam rumah tangga dibuat bersama, rumah tangga mempunyai tujuan tunggal untuk semua anggota rumah tangga (Ellis, 1998), (b) Rumah tangga sebagai produsen, sebagaimana model unitary teori konsumsi tradisional melihat rumah tangga tidak hanya sebagai konsumen tetapi juga sebagai produsen. Pada kasus ini rumah tangga dapat dibandingkan dengan sebuah perusahaan yang memiliki batas kemungkinan produksi, sumber-sumber dan juga alternatif penggunaan sumber daya dalam kegiatan produksi. Selanjutnya menurut Peter J. Usher et all (2002) faktor-faktor produksi rumah tangga meliputi: tanah, tenaga kerja dan modal. (c) Elemen teori konsumsi, teori konsumsi konvensional mengartikan konsumsi sebagai penggunaan barang dan jasa agar diperoleh kepuasaan untuk memenuhi kebutuhan dengan segera. Teori ini berasumsi bahwa utilitas terletak pada barang dan jasa yang dikonsumsi. Asumsi lain ialah bahwa harga komoditas dan pendapatan individu tidak berubah pada satu periode tertentu sehingga keputusan tentang konsumsi didasarkan pada kondisi tersebut. Selanjutnya, konsumsi akan membuat prioritas berdasarkan pilihan mereka untuk mencari kombinasi barang dan jasa terbaik sehingga diperoleh kepuasan maksimal. Jika harga dan pendapatan berubah, konsumen akan melakukan pilihan ulang.

Dalam rumah tangga terdapat kesatuan ekonomi yang merupakan unit produksi sekaligus unit konsumsi. Sebagai unit produksi rumah tangga memiliki atau menggunakan input produksi yakni sumber daya rumah tangga yang terdiri dari suami, istri serta anak dengan segala kompetensinya yang meliputi pengetahuan, pendidikan maupun pengalaman, input waktu serta input lain dalam

Page 37: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

55

menghasilkan sesuatu antara lain dalam bentuk pendapatan. Introduksi faktor waktu ke dalam input produksi dalam rumah tangga pertama kali dikemukakan oleh Becker (1965). Salah satu kebutuhan rumah tangga terkait dengan rumah tangga sebagai unit produksi ialah bagaimana memutuskan untuk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki. Newman (2001) menyatakan keputusan rumah tangga dalam mengalokasikan sumber daya ditujukan untuk memaksimisasi utilitas rumah tangga melalui utilitas masing-masing anggota rumah tangga.

Terdapat sejumlah pendapat mengenai faktor yang dipertimbangkan dalam memutuskan distribusi sumber daya rumah tangga antara lain: (a) Karakteristik rumah tangga yang mempengaruhi distribusi tenaga kerja antara lain jumlah anggota rumah tangga, jumlah anak balita, pendidikan dan jumlah tata anak, tanggungan keluarga. (b) Keputusan mengalokasikan tenaga kerja rumah tangga untuk kegiatan tertentu ditentukan oleh kondisi atau karakteristik rumah tangga itu sendiri seperti pendidikan, usia, jenis kelamin, kepemilikan kekayaan (Paul Winters et al, 2009).

Mintjelungan (1988) berpendapat bahwa alokasi waktu dan distribusi tenaga kerja rumah tangga sebagai pencerminan sistem produksi dalam rumah tangga yang setiap kegiatannya diarahkan pada pencapaian kesejahteraan: (a) Keputusan distribusi tenaga kerja rumah tangga merupakan interaksi dari berbagai faktor, yaitu: faktor indogen yang meliputi sasaran yang hendak dicapai oleh rumah tangga dengan sokongan sumber daya manusia dan sumber daya fisik yang tersedia dan faktor rumah tangga dan lingkungannya. Di samping sebagai unit produksi, rumah tangga juga berfungsi sebagai unit konsumsi dalam rangka memenuhi kebutuhan anggota rumah tangga. Rumah tangga sebagai unit konsumsi sudah barang tentu memerlukan manajemen untuk mengelola pendapatan serta pengeluaran rumah tangga. Pengelolaan ekonomi rumah tangga merupakan salah satu bentuk dari kegiatan domestik yang lazim dilakukan oleh kaum perempuan atau istri.

Pendapatan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga. The Canberra Group (2001) menjelaskan

Page 38: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

56

konsep pendapatan sebagai berikut: “in broad terms, income refers to regular receipts such as wage and salaries, income from self –employment, interest and devidends from invest fund, pension or other benefits from social insurance and other current transfer receible”. Berdasarkan konsep tersebut tampak bahwa pendapatan dalam arti luas berkaitan dengan (a) sifat rutinitas penerimaannya, (b) sumber-sumber pendapatan dan (c) bentuk daripada pendapatan.

Pengertian lain mengenai pendapatan adalah “income is defined as the output of activities, it measures both cash and inkind contributon (Schwarze, 2004). Pengertian tersebut menunjukan bahwa barang, pendapatan merupakan hasil suatu aktivitas yang berupa tunai atau jenis barang. Berdasarkan pengertian di atas dapat dicatat beberapa pokok pengertian pendapatan yakni (a) sumber pendapatan, (b) bentuk pendapatan, dapat berupa uang tunai atau bentuk barang maupun (c) sifat penerimaannya yakni rutin atau tidak rutin.

Bakshi (2008) menyatakan bahwa melakukan kajian tentang pendapatan bukanlah hal yang mudah karena berbagai kondisi atau kendala yang diakibatkan karena konsep pendapatan merupakan konsep turunan. Ia menyatakan “Household income are difficult to measure with accuracy because income is a derived variable“. Lebih tegas dinyatakan oleh The Canberra Group (2001) bahwa pendapatan merupakan isu sensitif bagi kebanyakan responden termasuk sering terjadi respon yang keliru.

Shcwarze (2004) dengan mengutip berbagai literatur mengemukakan bahwa ada dua jenis pendekatan untuk memahami pendapatan rumah tangga (household income) yakni: pendekatan mata pencaharian (livelihood approach) dan pendekatan “asset – kegiatan – pendapatan “(asset –activities – income). Ellis (1998) mengartikan mata pencaharian sebagai kekayaan, yakni kegiatan dan akses yang keduanya akan menentukan atau mempengaruhi keuntungan hidup individu atau rumah tangga.

Berdasarkan pendekatan mata pencaharian, dinyatakan bahwa pendapatan akan diperoleh manakala seseorang memiliki mata

Page 39: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

57

pencaharian atau pekerjaan tertentu. Pekerjaan tersebut dapat bersifat tetap atau pekerjaan pokok/utama maupun pekerjaan sampingan (second job). Tidak jarang dijumpai bahwa seseorang yang telah memiliki pekerjaan pokok masih saja melakukan kegiatan yang tergolong sebagai pekerjaan sampingan. Kondisi ini pada umumnya disebabkan karena perolehan atau pendapatan dari pekerjaan pokok atau pekerjaan utama belum dapat memenuhi kebutuhan hidup rumah-tangganya.

Pendekatan mata pencaharian (Livelihood approach) mengakui bahwa rumah tangga memanfaatkan asset dalam berbagai kegiatan baik kegiatan di sektor pertanian maupun non pertanian sebagai strategi pendapatan rumah tangga sebagai bagian untuk mencapai kesejahteraan (Ellis, 1998). Pendekatan lain mengenai bagaimana pendapatan diperoleh ialah pendekatan asset – kegiatan – pendapatan (asset – activities – income). Berdasarkan pendekatan ini, pendapatan akan diperoleh dari sumber kepemilikan asset atau kekayaan. Ellis (1998) menyebutkan bahwa kekayaan rumah tangga meliputi natural, physical, human, financial dan social capital. Jadi kekayaan rumah tangga meliputi (modal alam, modal fisik, modal manusia, modal sosial.

Kekayaan akan menghasilkan pendapatan.Hal ini sejalan dengan pemikiran Winters, et al (2009) yang menyatakan bahwa aset atau kekayaan memiliki pengaruh terhadap kegiatan ekonomi rumah tangga pada konteks tertentu yang akan mempengaruhi pendapatan berkelanjutan rumah tangga. Lebih lanjut dinyatakan oleh Winters (2009) bahwa aset rumah tangga memegang peran penting bagi pendapatan berkelanjutan melalui pemanfaatan untuk kegiatan-kegiatan tertentu.

Menurut Walusimbi dan Nkonya (2004), faktor-faktor internal rumah tangga yang mempengaruhi pendapatan rumah tangga meliputi kepemilikan asset fisik, modal manusia. Modal manusia seperti pendidikan, pengalaman, keterampilan dan asset fisik seperti kekayaan berupa uang dan barang-barang lain serta sumber daya alam. Sumber daya alam di pedesaan lazimnya berupa tanah. Kepemilikan lahan atau tanah sangat berkaitan erat dengan kemampuan produksi khususnya

Page 40: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

58

produksi di sektor pertanian, ketahanan pangan keluarga dan pendapatan berkelanjutan (Winters et al, 2009).

Terkait dengan status kegiatan yang dilakukan anggota rumah tangga dalam mendapatkan pendapatan maka ada dua jenis sumber pendapatan berdasarkan statusnya yakni pendapatan yang berasal dari upah (wage employment) dan pendapatan dari usaha milik sendiri (self employment). Barett et al (2001) mengklasifikasikan pendapatan masyarakat pedesaan berdasar status dan sumbernya sebagai berikut: (a) Self employment dari sektor pertanian (b) Self employment dari sektor non pertanian, (c) Upah dari sektor pertanian dan upah dari sektor non pertanian.

Pemilihan sumber pendapatan rumah tangga dipengaruhi banyak faktor. Sebagaimana dinyatakan oleh Walumsimbi and Nkonya (2004) yakni pemilihan sumber utama pendapatan rumah tangga dipengaruhi oleh faktor- faktor seperti karakteristik sumber daya rumah tangga, lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Strategi rumah tangga untuk hidup sejahtera ditunjukkan oleh alokasi waktu kerja anggota rumah tangga untuk kegiatan mencari nafkah, pekerjaan rumah tangga dan kegiatan lain. Lebih lanjut dalam kondisi tertentu khususnya keluarga miskin dan atau masyarakat pedesaan dalam upaya mencapai kesejahteraan melalui pendapatan, mereka melakukan strategi pendapatan ganda yaitu tidak hanya mengandalkan pendapatan dari satu sumber melainkan dari beberapa sumber pendapatan (Reyes, Edna Angeles, 1987).

Terdapat sejumlah kegiatan yang lazim dilakukan oleh rumah tangga sebagai unit produksi dan konsumsi dalam upaya mencapai kesejahteraannya. Begitu juga terdapat berbagai pandangan mengenai kegiatan- kegiatan yang umumnya dilakukan oleh rumah tangga. Menurut Dribe dan Stanfors (2009), terdapat lima jenis kegiatan utama setiap rumah tangga yakni (a) Paid work (kerja pendapatan) mencakup kerja formal di luar rumah dan kerja sampingan. (b) Routine housework meliputi memasak, mencuci, membersihkan rumah, belanja dan domestik traveling. (c) Maintenance housework seperti berkebun, mencuci kendaraan, perbaikan rumah. (d) Child care seperti

Page 41: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

59

memandikan anak, menunggu anak bermain. (e) Individual leisure seperti membaca, istirahat, bincang-bincang dengan keluarga.

Sedangkan menurut Winters et al (2009), kegiatan rumah tangga dapat dibedakan ke dalam enam kategori : (a) Crop production, kegiatan produksi dalam bidang pertanian. (b) Livestock production, kegiatan dalam bidang peternakan. (c) Self employment, kegiatan berwirausaha. (d) Non agricultural wage employment, bekerja pada bidang non-pertanian. (e) Agri-cultural wage employment, bekerja pada bidang pertanian dan (f) Migration, melakukan migrasi.

Mangkuprawira (1985) membedakan kegiatan yang dilakukan anggota rumah tangga tani sebagai berikut (a) Pekerjaan mencari nafkah termasuk kerja upah di lahansendiri, (b) Pekerjaan peningkatan kapasitas kerja, (c) Kegiatan sosial masyarakat, (d) Kegiatan mengurus rumah tangga, (e) Kegiatan yang bersifat pribadi seperti makan , tidur, mandi dan (f) Kegiatan untuk mengisi waktu luang (Leisure).

Setiap anggota rumah tangga perlu melakukan kegiatan produktif yang dapat mendukung kehidupan ekonomi rumah-tangganya. Anggota rumah tangga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota yang lain, masing-masing melakukan kegiatan produktif yang dapat memenuhi atau meningkatkan kebutuhan ekonomi rumah tangga.

Aktivitas rumah tangga yang dilakukan oleh seorang ibu antara lain mampu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah, mengurus anak dan urusan lainnya atau kegiatan yang meliputi kasur-sumur-dapur. Selain itu seorang ibu rumah tangga juga berkemampuan melakukan kegiatan produktif yang dapat mendatangkan pendapatan sehingga dapat membantu perekonomian rumah tangga. Demikian halnya yang harus dilakukan oleh seorang ayah maupun anggota rumah tangga yang lain. Fungsi dari masing-masing anggota rumah tangga harus jelas sehingga mereka akan mampu menempatkan perannya dalam rumah tangga tersebut dan selanjutnya keharmonisan dan keselarasan dalam rumah tangga akan terwujud.

Page 42: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

60

Lebih daripada itu, aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing anggota rumah tangga harus mencerminkan tugas dan kewajiban secara alamiah. Sehingga tidak akan terjadi penyimpangan tugas dan kewajiban masing-masing anggota rumah tangga. Keadaan inilah yang mengakibatkan struktur dan fungsi aktivitas rumah tangga nelayan tradisioanl lebih dekat kepada teori ekuilibrium. Semua yang dilakukan sifatnya adalah untuk menciptakan keharmonisan dan keselarasan rumah tangga. Istri tidak akan melakukan tugas suami, begitu juga suami tidak akan melakukan pekerjaan istri, sehingga istri tidak akan mengambil peran suami, dan begitu juga sebaliknya. Bagaimana pembagian peran dan kewenangan masing-masing anggota keluarga tadi merupakan bentuk kesepakatan verbal dan menjadi norma dalam menjalankan aktivitas rumah tangga.

Livelihood Theory Mata pencaharian (livelihood) terdiri dari kemampuan, aset

atau kekayaan/kepemilikan, baik material maupun sosial serta kegiatan yang dibutuhkan sebagai alat hidup. Setiap rumah tangga pasti memiliki kebutuhan hidup, salah satu alat untuk memenuhi kebutuhan hidup itu adalah adanya mata pencaharian bagi anggota rumah tangga yang bersangkutan. Berikut beberapa pernyataan yang menunjukkan kaitan erat antara mata pencaharian dengan kehidupan antara lain: (1) livelihood refers to a “means of living”, (2) livelihood refers to the way people make a living”. Making a living merupakan konsep yang lebih luas dari sekedar pendapatan yang berkelanjutan karena “ making a living” mencakup pula adanya ketahanan pangan rumah tangga, ketersediaan pendapatan, kesehatan, ketahanan ekonomi, politik maupun sosial, keberlanjutan yang menjamin pencapaian kepuasan yang tinggi serta aspek kekuasaan (power). Dari paparan tersebut tampak betapa pentingnya mata pencaharian bagi kehidupan manusia terutama kehidupan rumah tangga. Chambers dan Conway (1991) memberikan batasan matapencaharian/livelihood sebagai berikut “A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living”.

Page 43: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

61

Lebih lanjut Chambers dan Conway menyatakan “A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stress and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resources base. Jelas kiranya bahwa mata pencaharian merupakan sesuatu hal yang penting bagi kehidupan setiap orang termasuk kehidupan rumah tangga. Keberlangsungan mata pencaharian memiliki kontribusi penting terhadap kehidupan rumah tangga sehingga goncangan atau gangguan terhadap hal ini juga akan berpengaruh bagi kehidupan rumah tangga.

Pemahaman mengenai konsep mata pencaharian (livelihood) penting dalam rangka fasilitasi bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan produktif atau pekerja untuk merencanakan maupun meningkatkan kontribusi pada mata pencaharian yang dimiliki para pekerja yang bersangkutan. Pemahaman mengenai konsep mata pencaharian terkait dengan hal-hal berikut: (a) memberikan pemahaman atas elemen-elemen penting tentang mata pencaharian, (b) memberikan kemudahan dalam merumuskan strategi yang tepat untuk penguatan mata pencaharian, (c) penguatan mata pencaharian yang memungkinkan pemberian fasilitasi/ pendampingan bagi pekerja dalam hal seperti: penganekaragaman sumber-sumber mata pencaharian dan menetapkan strategi kegiatan dalam rangka optimalisasi mata pencaharian.

Departement For International Development (DFID) telah membangun kerangka kerja mata pencaharian keberlanjutan (Sustainable Livelihood Framework/SLF) yang memandang mata pencaharian sebagai suatu sistem yang menyediakan cara untuk memahami beberapa hal yakni: (a) kepemilikan aset atau kekayaan (livelihood assets), (b) strategi untuk membangun dan meng-embangkan kehidupan, (c) konteks dalam mana mata pencaharian dibangun/ dikembangkan dan (d) faktor yang mempengaruhi mata pencaharian: mudah atau sulit diserang/dipengaruhi oleh stress atau goncangan-goncangan.

Pandangan lain mengenai mata pencaharian (livelihood) dinyatakan oleh FAO (2014), bahwa ada tiga elemen penting dari konsep mata pencaharian yakni: aset atau sumber, kemampuan dan

Page 44: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

62

kegiatan. Sumber-sumber (resources) mencakup: (a) human capital (modal manusia) yang tercermin antara lain dari keterampilan, pengetahuan, kesehatan maupun kemampuan untuk bekerja, (b) social capital (modal sosial) dapat berupa jaringan yang dapat dibangun dan diakses, (c)natural capital (modal alamiah seperti lingkungan alam dengan segala sumber-dayanya), (d)physical capital (modal fisik) seperti lahan, ternak, bangunan dan sejenisnya dan (e)Financial capital berupa uang tunai atau aset yang dapat dinilai dengan uang.

Jenis dan kualitas maupun kuantitas sumber-sumber atau aset yang dimiliki setiap rumah tangga bisa berbeda satu dengan yang lain, demikian juga halnya dengan masyarakat nelayan. Kekayaan atau asset yang mereka miliki antara lain modal manusia (human capital), modal fisik dan modal alamiah yang berupa potensi lingkungan (pesisir/laut) yang dapat mereka akses.

Kegiatan-kegiatan (activities) dalam mata pencaharian tertentu pastilah membawa konsekuensi adanya kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan dari jenis mata pencaharian tersebut. Mata pencaharian seorang nelayan membawa konsekuensi berbeda dengan kegiatan mata pencaharian petani. Strategi mata pencaharian, apabila dicermati dalam kehidupan rumah tangga tampak adanya perbedaan-perbedaan kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk implementasi mata pencaharian. Dikenal juga istilah “mata pencaharian ganda“ yakni seseorang atau rumah tangga memiliki berbagai jenis kegiatan sebagai sumber pendapatan, contohnya seorang nelayan di samping melaut untuk menangkap ikan karena mata pencahariannya adalah nelayan, juga ada di antara mereka yang masih memiliki mata pencaharian lain misalnya bertani, berternak atau kegiatan lain yang menghasilkan pendapatan. Apa yang dilakukan nelayan tersebut merupakan bentuk strategi mata pencaharian. Tidak semua rumah tangga termasuk rumah tangga nelayan tradisional memiliki beragam mata pencaharian, ada yang hanya memilki mata pencaharian dari kegiatan menangkap ikan di laut atau sebagai nelayan saja.

Mata pencaharian terwujud dalam konteks sosial, ekonomi maupun politik yang mencakup: (a) relasi sosial, (b) organisasi sosial

Page 45: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

63

dan politik, (c) pemerintahan, (d) pelayanan dan (e) akses pada sumber-sumber. Berikut diberikan penjelasan singkat mengenai hal- hal di atas.

Relasi atau hubungan sosial (social relations) adalah cara dalam budaya, religion, gender maupun pertalian keluarga mempengaruhi mata pencaharian dari kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Organisasi sosial dan politik: merupakan elemen yang berkaitan dengan proses pembuatan keputusan, peraturan atau norma- norma sosial, kepemimpinan, kekuasaan serta aspek demokrasi. Pemerintahan: menyangkut struktur, kekuasaan, efisiensi dan efektivitas pemerintahan akan memiliki kaitan dengan mata pencaharian masyarakatnya. Pelayanan: efektivitas dan tanggung jawab negara maupun pelaku sektor swasta dalam pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, sanitasi amat terkait dengan mata pecaharian seseorang.

FR Frankenberger dan MK Mc Caston (tt) memberikan definisi ketahanan mata pencaharian rumah tangga sebagai berikut “Household livelihood security is defined as adequate and sustainable ecces to income and resources to meet basic needs (including adequate acces to food, poteble water, health facilities, educational opportunities, housing, time for community participation and social integration”). Beberapa pokok pikiran dari pengertian tersebut antara lain: ketahanan mata pencaharian rumah tangga mencerminkan suatu kondisi kecukupan dan keberlanjutan akses bagi kehidupan, baik secara individu, kelompok kecil, rumah tangga maupun masyarakat. Dengan demikian ketahanan mata pencaharian rumah tangga memiliki sejumlah elemen.

Setiap rumah tangga memiliki beragam dan perbedaan kemampuan maupun kepemilikan asset atau kekayaan sebagai sumber bangunan matapencaharian. Ketahanan mata pencaharian rumah tangga sangat dipengaruhi oleh sejauh manakah rumah tangga mampu mengembangkan strategi mata pencahariannya dengan memberdaya-kan kemampuan dan aset yang dimiliki melalui kegiatan- kegiatannya.

Page 46: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

64

Sebagaimana definisi mata pencaharian (livelihood) yang dikemukakan oleh Chambers dan Conway (1991), inti kerangka kerja mata pencaharian rumah tangga terletak pada tiga elemen yakni : (a) aset (assets atau resources), (b) kemampuan (capabilities) dan kegiatan (activities). Interaksi antar ketiga hal tersebut dipengaruhi oleh “strategi mata pencaharian” (livelihood strategy).

Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang hidup dan berada pada suatu komunitas bersama rumah tangga yang lain. Kondisi rumah tangga yang satu dengan yang lain berbeda dipandang dari berbagai aspek seperti status, kondisi ekonomi maupun aspek demografi. Keberadaan lembaga lokal maupun sistem yang berlaku mungkin saja menguntungkan atau justru merugikan bagi rumah tangga tertentu baik secara langsung atau tidak langsung.

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi rumah tangga termasuk mata pencahariannya mencakup lingkungan: (a) fisik, (b) ekonomi, (c) sosial maupun (d) lingkungan politik. Bagi kehidupan rumah tangga nelayan, lingkungan fisik dapat berupa lautan yang luas yang memberi potensi ekonomi luas. Masyarakat nelayan dapat mengakses dan memanfaatkan potensi sumber daya laut seperti ikan sebagai sumber mata pencahariannya. Pertanyaannya adalah apakah nelayan sungguh dapat memanfaatkan kekayaan laut itu dengan bebas? Tampaknya tidak demikian, sebab faktor lain turut mempengaruhi peluang akses dan pemanfaatan sumber daya tersebut seperti faktor lingkungan politik. Kebijakan yang ditetapkan lembaga seperti pemerintah dapat mempengaruhi kondisi mata pencaharian nelayan. Keberadaan nelayan besar dengan perangkat yang canggih akan berpengaruh pada keberlanjutan mata pencaharian nelayan kecil atau nelayan tradisional.

Kemampuan menggabungkan aset-aset ini dipengaruhi oleh struktur dan proses transformasi (The transforming structures and processes) dan kondisi kerentanan (vulnerability context). Struktur dan proses transformasi adalah lembaga, organisasi, kebijakan dan undang-undang yang menentukan akses ke lima jenis modal, pertukaran antara berbagai jenis modal dan keuntungan ekonomi. Konteks kerentanan

Page 47: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

65

menyajikan tiga kategori utama kerentanan: tren, guncangan dan musiman.

Oleh karena itu, dibutuhkan strategi mencari mata pencaharian (livelihood strategies) agar mampu bertahan dan mengembangkan kehidupan rumah tangganya. Carner (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain: (a) melakukan berbagai macam pekerjaan meskipun dengan memperoleh upah yang rendah, (b) memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam pemberian rasa aman dan perlindungan, dan (c) melakukan migrasi ke daerah lain, biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber pendapatan di desanya. Strategi mencari mata pencaharian juga dapat ditinjau dari sisi ekonomi produksi melalui usaha cost minimization dan profit maximization. Selain adanya pilihan, strategi mata pencaharian mengharuskan adanya sumber daya manusia dan modal. Pola hubungan sosial juga turut memberikan warna dalam strategi matapencaharian (Crow, 1989).

Menurut Widodo (2011), pemanfaatan tenaga kerja dalam rumah tangga menjadi salah satu strategi ekonomi yang dilakukan oleh rumah tangga miskin. Anggota rumah tangga dilibatkan secara aktif dalam menambah pendapatan rumah tangga. Widodo (2011) menambahkan bahwa peran perempuan atau istri juga menjadi salah satu harapan dalam pengembangan strategi mata pencaharian berkelanjutan. Pemanfaatan ikatan sosial antar penduduk yang selama ini sudah mereka lakukan, perlu untuk ditingkatkan sehingga memberi peluang akses mengembangkan mata pencaharian.

Etos Kerja dan Kinerja Banyak tokoh yang mendefinisikan etos kerja diantaranya, Sinamo (2005) yang mengartikan etos kerja sebagai doktrin tentang kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang berwujud secara nyata dalam perilaku kerja mereka. Sedangkan Harsono (2006) menyatakan bahwa etos kerja adalah

Page 48: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

66

sebagai semangat kerja yang didasari oleh nilai-nilai atau norma-norma tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukriyanto (2000) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah suatu semangat kerja yang dimiliki oleh masyarakat untuk mampu bekerja lebih baik guna memperoleh nilai hidup mereka, sehingga etos kerja menentukan penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan. Pendapat lain juga dikemukakan Anoraga (2001) yang menyatakan bahwa etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap suatu bangsa atau umat manusia terhadap kerja, jika pandangan dan sikap itu melihat kerja sebagai suatu hal yang luhur untuk eksistensi manusia maka berarti etos kerjanya tinggi dan sebaliknya jika melihat kerja sebagai suatu hal yang tidak berarti untuk kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak ada pandangan dan sikap terhadap kerja, maka etos kerja itu dengan sendirinya rendah.

Berdasarkan pendapat para tokoh tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa etos kerja erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dihayati secara intrinsik oleh seseorang. Nilai-nilai yang dimiliki berfungsi sebagai panduan dalam tingkah lakunya. Menurut Subekti (dalam Kusnan, 2004), suatu individu atau kelompok masyarakat dapat dikatakan memilik etos kerja yang tinggi, apabila menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut : (a) mempunyai penilaian yang sangat positif terhadap hasil kerja manusia, (b) menempatkan pandangan tentang kerja, sebagai suatu hal yang amat luhur bagi eksistensi manusia, (c) kerja dirasakan sebagai aktivitas yang bermakna bagi kehidupan manusia, (d) kerja dihayati sebagai suatu proses yang membutuhkan ketekunan dan sekaligus sarana yang penting dalam mewujudkan cita-cita dan (e) kerja dilakukan sebagai bentuk ibadah. Individu atau kelompok masyarakat yang memiliki etos kerja yang rendah ditujukkan dengan ciri-ciri bahwa kerja: (a) dirasakan sebagai suatu hal yang membenani diri, (b) kurang dan bahkan tidak menghargai hasil kerja manusia, (c) dipandang sebagai suatu penghambat dalam memperoleh kesenangan, (d) dilakukan sebagai bentuk paksaan dan (e) dihayati hanya sebagai rutinitas hidup.

Page 49: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

67

Pada umumnya masyarakat nelayan memiliki etos kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicermati dari para nelayan melakukan kegiatannya yakni menangkap ikan di laut sudah dimulai sejak mereka masih muda karena mengikuti kegiatan yang dilakukan orang tuanya. Demikian pula yang dilakukan para istri nelayan khususnya istri nelayan tradisional, mereka juga melakukan kegiatannya sejak sebelum menikah. Mereka menyatakan bahwa pekerjaan ini yakni ngeber dan nggereh merupakan pekerjaan yang mudah dan dapat mendatangkan banyak manfaat, seperti dapat memperoleh uang, banyak teman, tidak bosan dengan pekerjaan rumah tangga dan sebagainya.

Etos kerja bagi seseorang atau kelompok masyarakat pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal (Boatwright & Slate, 2000). Faktor-faktor internal tersebut meliputi: (a) usia, pekerja yang berusia di bawah 30 tahun memiliki etos kerja lebih tinggi daripada pekerja yang berusia di atas 30 tahun, (b) jenis kelamin, wanita memiliki etos kerja lebih tinggi daripada pria, (c) latar belakang pendidikkan, etos kerja yang tinggi dimiliki pekerja dengan latar belakang pendidikkan yang lebih tinggi dan (d) lama bekerja, pekerja yang sudah bekerja lebih 2 tahun memiliki etos kerja yang tinggi daripada pekerja yang bekerja di bawah 1 tahun, dengan kata lain semakin lama individu bekerja semakin tinggi untuk memperoleh kesempatan untuk mengembangkan kapasitasnya.

Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi etos kerja adalah: (a) budaya, masyarakat yang memiliki sistem budaya maju akan memiliki etos kerja yang lebih tinggi daripada masyarakat yang memiliki sistem budaya yang tidak maju, (b) sosial politik, etos kerja masyarakat tergantung pada ada tidaknya struktur politik yang mendorong untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras mereka, (c) kondisi lingkungan geografis, kondisi lingkungan akan mempengaruhi bagaimana persepsi seseorang terhadap kualitas kehidupan bekerjanya dan (d) struktur ekonomi, tinggi rendahnya etos kerja yang dimiliki masyarakat dipengaruhi oleh ada tidaknya srtuktur ekonomi yang mampu memberikan insentif untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.

Page 50: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

68

Mencermati hal-hal tersebut di atas maka etos kerja bagi seseorang pada dasarnya dapat ditingkatkan baik dengan berorientasi pada faktor internal maupun faktor eksternal, demikian pula bagi perempuan atau para istri nelayan tradisional, sehingga lebih memiliki manfaat dalam kehidupannya baik selaku individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Menurut Sinamo (2005) aspek-aspek etos kerja dapat dirumuskan menjadi 8 aspek, bahwa kerja adalah : (a) rahmat yang diberikan dari Yang Maha Kuasa, maka pekerja harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur, (b) amanah, sebagai titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab, (c) panggilan, merupakan suatu dharma yang sesuai dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerja dengan penuh integritas, (d) aktualisasi, sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat, (e) ibadah, bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang Khalik sehingga dengan bekerja mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian, (f) seni, dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru dan gagasan inovatif, (g) kehormatan, dapat membangkitkan harga diri sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan dan (h) pelayanan, tidak hanya memenuhi kebutuhannya sendiri tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati.

Anoraga (1992) secara eksplisit menyatakan beberapa sikap yang seharusnya mendasar bagi seseorang dalam memberi nilai pada kerja adalah: (a) bekerja adalah hakikat kehidupan manusia, (b) pekerjaan adalah suatu berkat Tuhan, (c) pekerjaan merupakan sumber penghasilan yang halal dan tidak amoral, (d) pekerjaan merupakan suatu kesempatan untuk mengembangkan diri dan berbakti, (e) pekerjaan merupakan sarana pelayanan dan perwujudan kasih.

Pendapat dari beberapa tokoh tersebut menunjukkan bahwa, etos kerja dan kinerja pekerja merupakan suatu acuan agar para pekerja maupun masyarakat mampu meningkatkan kinerjanya yang akhirnya

Page 51: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

69

dapat menguatkan kehidupannya baik lahir maupun batin. Bagi perempuan termasuk para istri nelayan tradisional sudah semakin menyadari bahwa melakukan peran ganda dalam rumah tangga yakni melakukan kegiatan di ranah domestik atau kegiatan yang berkaitan dengan kasur-sumur-dapur dan melakukan kegiatan di ranah publik atau melakukan kegiatan produktif yang dapat mendatangkan pendapatan adalah merupakan kegiatan yang secara bersama-sama harus dilakukan. Kenyataan menunjukkan bahwa perempuan termasuk para istri nelayan tradisional yang memiliki peran ganda tersebut dapat meningkatkan kehidupan dalam rumah-tangganya. Hal ini dapat dicermati antara lain rumah tangga mereka lebih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan dapat menjaga keharmonisan dan keselarasan antar anggota rumah-tangganya.

Peran Istri Nelayan dalam Bidang Ekonomi sebagai Perilaku Sosial

Peran istri nelayan tradisional dalam bidang ekonomi pada dasarnya merupakan perwujudan perilaku sosial karena dalam melakukan kegiatan ekonomi pasti berhubungan dengan orang lain. Perilaku mereka dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari pihak luar.

Istri nelayan tradisional yang sebagian besar berpendidikan rendah dalam perilakunya lebih merupakan perilaku secara turun- temurun, sehingga dapat dipahami apabila mereka terbelenggu dalam keterbatasannya karena kurang kreatif dan tingkat ketergantungan yang tinggi pada pihak lain. Kondisi ini mengakibatkan mereka kurang percaya diri dan kurang mampu mengambil keputusan. Kehidupan sehari-hari perempuan nelayan lebih bersifat rutin dan trandisional. Hal ini menyebabkan perempuan nelayan sulit untuk mengembangkan diri sendiri, keluarga, lingkungan maupun masyarakat. Oleh karena itu mereka harus mengubah perilakunya agar dapat mengubah atau meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilakunya tersebut.

Page 52: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

70

Mengubah perilaku berarti perlu memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Secara teoritis, perilaku sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti yang dikemukakan oleh Talcott Parsons (1968):

A = S + M + I

Keterangan : A = Action = Tindakan = Perilaku S = Situation = Situasi yang berhubungan langsung dengan perilaku M = Motivation = Motivasi = Dorongan dari dalam diri pelaku untuk

mencapai tujuan I = Ideal = Norma

Inti pemikiran Talcott Parsons adalah bahwa : (a) tindakan itu diarahkan pada tujuan, (b) tindakan tersebut terjadi dalam situasi yang dipengaruhi beberapa elemen lainnya sebagai alat untuk mencapai tujuan, (c) tindakan itu dipengaruhi oleh dorongan dari dalam diri pelaku untuk mencapai tujuan dan (d) tindakan itu memiliki pertimbangan subyektif yaitu norma-norma yang telah terpadu dalam pribadinya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa perilaku sosial memiliki komponen: tujuan, alat, dorongan dan norma.

Tipe perilaku sosial, dipandang dari sudut pandang pendorongnya dapat dibedakan menjadi empat yaitu: (a) perilaku yang didorong oleh motivasi untuk mencapai tujuan, (b) perilaku yang didorong oleh kesadaran etika, norma dan keindahan, (c) perilaku yang didorong oleh afeksi dan (d) perilaku yang bermotif tradisional dan perilaku sosial berdasarkan tujuan dari pelakunya dan adanya klasifikasi tipe perilaku sosial atas dasar alasan perilaku, (Weber dalam Roth dan Wittich, 1978).

Menurut Habermas (1981) perilaku sosial diklasifikasikan menjadi empat yaitu (a) perilaku berdasarkan kebiasaan, (b) perilaku konvensional berdasarkan kesepakatan, (c) perilaku strategis dan (d) perilaku pasca konvensional. Bagi masyarakat yang motivasi perilakunya rendah, kemungkinan kepentingan-kepentingan yang lebih menonjol adalah kepentingan bersama yang didasari kesepakatan.

Page 53: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

71

Sebaliknya di dalam masyarakat yang memiliki motivasi untuk mencapai tujuan perilakunya tinggi, maka kecenderungan masyarakat berperilaku strategis. Magnis Suseno (1983), menyatakan bahwa perilaku dipandang dari sudut penggerak perilaku setiap manusia yaitu hati nurani. Dengan hati nurani yang dalam dapat disadari tentang perilaku yang baik dan buruk menurut ukuran norma yang berlaku.

Dengan demikian dalam mempelajari perilaku istri nelayan, para tokoh dan pemuka masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak-pihak terkait perlu meninjau kembali faktor-faktor yang mempengaruhi perilakunya agar tidak berat sebelah dan dapat berkembang lebih positif. Apabila mereka menyadari potensi yang dimiliki untuk memberdayakan dirinya, dimulai dengan mempelajari masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari dan masalah tersebut telah ditemukan dan mereka menyadari bahwa apa yang mereka alami maka mereka kemudian diajak untuk mencari pemecahan masalah yang mereka rasakan dengan kemampuan dan kemauan sendiri. Faktor pendidikan, ekonomi, organisasi sebagai wadah kegiatan lingkungan, kurangnya kesadaran atas kemampuan diri, kurang tepatnya bantuan-bantuan dari pihak-pihak terkait menyebabkan para perempuan kurang dapat mengembangkan potensinya atau kurang berdaya, oleh sebab itu perlu pendampingan agar peran para perempuan lebih maksimal. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang kebanyakan adalah lapisan menengah ke bawah, maka peran istri nelayan dalam melakukan kegiatan atau pekerjaan produktif yang dapat menghasilkan pendapatan sangat diperlukan.

Walaupun tidak menyalahi kodrat sosial sebagai perempuan, istri nelayan juga banyak yang menjalankan aktivitas ekonomi. Kemampuan dalam menjalankan dua peran sebagai pengatur aktivitas rumah tangga dan pelaku ekonomi ini merupakan satu hal yang menarik untuk di kaji. Karena akan memunculkan berbagai pandangan.

Istri nelayan mempunyai kelebihan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga maupun dalam melakukan kegiatan produktif

Page 54: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

72

yakni memilki keuletan dan komitmen yang tinggi sehingga kondisi ini perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan. Di sisi lain istri nelayan memiliki kekurangan yakni pendidikannya rendah sehingga kreatifitas dan inovasinya juga rendah. Dalam rangka meningkatkan peran istri nelayan dalam kehidupan rumah-tangganya maka perlu diper-timbangkan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki.Istri nelayan tradisional perlu membuka diri terhadap perubahan untuk lebih menyadari bahwa dalam kehidupan saat ini tidak sama seperti yang dilakukan pada waktu-waktu sebelumnya. Karena kehidupan dalam masyarakat dari waktu ke waktu selalu terjadi perubahan, sehingga semua anggota masyarakat pun perlu mengikuti perubahan tersebut dan kesejahteraan dapat diwujudkan.

Penelitian-Penelitian Terdahulu

Zen (2009) meneliti mengenai kontribusi pendapatan istri nelayan dalam peningkatan pendapatan ruma htangga di Kelurahan Pasie Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Upaya untuk meningkatkan pendapatan dapat dilakukan dengan melibatkan anggota keluarga terutama istri nelayan untuk mencari nafkah di dalam maupun di luar kegiatan perikanan. Terdapat tujuh jenis pekerjaan yang dilakukan oleh istri nelayan, di antaranya berjualan makanan dan minuman, berjualan barang-barang kebutuhan harian (kelontong), berjualan ikan, mengolah ikan, mengangkat air laut dan mengangkat ikan. Rata-rata pendapatan per bulan istri nelayan yang memiliki usaha warung kopi/makanan adalah Rp. 750.000,- warung nasi Rp 675.000,- jualan kebutuhan harian Rp 475.000,- jualan ikan Rp 420.000,- pengolah ikan Rp. 562.916,67, mengangkut air laut Rp. 85.000,- dan mengangkat ikan Rp. 400.000,-.

Hasil penelitan menunjukkan bahwa kontribusi istri nelayan berkisar antara 13,04 % sampai 64 % dengan rata-rata 37,62 %. Dengan melihat kontribusi pendapatan wanita nelayan maka dapat dikatakan bahwa kontribusi pendapatan sangat menentukan peningkatan pendapatan rumah tangga, berarti pendapatan yang dihasilkan wanita

Page 55: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

73

nelayan tersebut memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga nelayan. Namun sebagian besar 73,33 % dari istri nelayan tersebut melakukan aktivitas usahanya tidak rutin setiap hari, tergantung dari aktivitas nelayan ke laut dan hasil tangkapannya sehingga hal ini juga akan berpengaruh terhadap pendapatan.

Pola nafkah ganda merupakan salah satu usaha nelayan untuk meningkatkan pendapatan keluarga dan keluar dari kemiskinan. Peran ganda bagi wanita nelayan yang paling penting adalah mampu untuk menambah pemasukan keluarga sehingga ekonomi keluarga akan meningkat dan kesejahteraan akan meningkat, dengan demikian ketahanan ekonomi mayarakat juga semakin meningkat, peningkatan ini dicapai secara bertahap yaitu peningkatan konsumsi keluarga, peningkatan sandang keluarga, dan peningkatan papan keluarga (Zen, 2009).

Indrawasih (1993) meneliti mengenai peran istri nelayan di desa Hitu dan Sathean, Provinsi Maluku dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Di desa Hitu, istri nelayan bekerja sebagai jibu-jibu (penjual ikan) dengan menjual ikan hasil tangkapan para nelayan, baik dari suaminya atau bukan. Namun mereka hanya menjual sebagian saja dari hasil tangkapan ikan, karena sebagian ikan juga dijual oleh tuan jaring (pemilik jaring) atau tanase (pemimpin kelompok yang bertindak sebagai pengemudi kapal) juga menjual ikan atau salah satu masnait (anggota kelompok nelayan) yang dipercaya oleh pemilik untuk menjual di tempat pelelangan ikan di Ambon. Selain menjual ikan, para istri nelayan juga ada yang menjual makanan dan kebutuhan harian dengan membuka warung di rumah mereka sendiri. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh istri nelayan antara lain berdagang pakaian dan berdagang emas serta bekerja di kebun. Mereka bekerja di kebun sendiri atau sebagai buruh di kebun milik orang lain, namun pekerjaan tersebut hanya dilakukan pada saat-saat tertentu saja yaitu pada saat menjelang musim panen cengkeh.

Di Desa Sathean, terdapat dua kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh istri nelayan, yaitu membantu mengeringkan ikan dan menjual ikan ke pasar. Mereka menjual ikan di pasar ikan Tual dan ada

Page 56: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

74

pula yang menjual ikan ke desa lain. Jika ikan-ikan yang dijual ke desa-desa lain tidak habis, biasanya dijual dengan harga yang murah bahkan pembayarannya tidak dengan menggunakan uang tetapi ditukarkan dengan bahan makanan lain seperti kelapa dan pisang. Istri nelayan yang melakukan pekerjaan pengeringan ikan biasanya pada keluarga yang anaknya masih kecil. Jenis ikan yang dikeringkan adalah ikan teri dan ikan tembang.

Ketika suaminya tidak bisa melaut, istri-istri nelayan di desa Hitu dan Sathean membeli ikan dari nelayan lain dan menjualnya ke pasar. Mereka dapat mengambil ikan terlebih dahulu dan membayarnya setelah ikan habis terjual sehingga cenderung menyebabkan terjadinya perubahan harga ikan yang sudah disepakati semula.Kondisi tersebut terjadi jika pasokan ikan di pasar melimpah sehingga harga ikan cenderung menurun. Jika memang kondisi berlangsung seperti itu, para nelayan memaklumi hal tersebut dan menunjukkan bahwa solidaritas dalam kehidupan masyarakat nelayan di desa Hitu dan Sathean sangat kuat.

Berdasarkan Rencana Lima Tahun ke-11 (tahun 2006-2011), yang bertujuan untuk membangun sosialisme baru di pedesaan dengan menekankan pentingnya partisipasi perempuan dalam pembangunan desa nelayan baru yang dilaksanakan secara bertahap. Sebelumnya perempuan hanya melakukan pekerjaan rumah tangga, dan memberikan tenaga tambahan dalam produksi perikanan, seperti membuat, membersihkan dan memperbaiki jaring dan mengupas udang. Selain itu, laki-laki hanya pergi melaut untuk waktu yang lama, sementara perempuan melakukan aktivitas di bidang pertanian namun karena lahan pertanian yang mereka miliki kecil sehingga hanya menghasilkan pendapatan yang rendah, maka peran perempuan dalam keluarga terlihat kecil.

Kesempatan perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan produksi ikan telah sangat meningkat, meskipun sebagian besar perempuan belum langsung melaut untuk mencari ikan. Partisipasi perempuan dalam budidaya produksi laut mencapai rata-rata 60% dari partisipasi total. Di beberapa desa, bahkan partisipasi perempuan

Page 57: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

75

hingga 90%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita secara bertahap menjadi kekuatan utama dalam produksi, perlindungan masyarakat, dan kesejahteraan keluarga di pedesaan nelayan. Mereka telah mempelopori gerakan bersih desa, pendidikan moralitas pada remaja dan dipandang berada di garis depan dalam manajemen demokrasi di desa-desa nelayan.

Kamid tt dalam Sukari (2002) meneliti mengenai peran istri nelayan dalam upaya meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan Desa Sungai Bakau, Kabupaten Tanah Laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi istri nelayan ikut bekerja dan jenis-jenis pekerjaan yang istri nelayan lakukan untuk memperoleh pendapatan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif.Untuk tehnik penelitian dilakukan dengan teknik observasi langsung dan tehnik komunikasi langsung dengan mengumpulkan data melalui kontak langsung secara lisan atau tatap muka (face to face relationship) dengan responden.Hasil wawancara disajikan dalam bentuk tabel. Dari hasil tersebut, kemudian ditarik suatu kesimpulan dan dilakukan tes statistik Kai Kudrat untuk memperkuat kesimpulan dari tabel yang disajikan. Istri nelayan diambil secara acak sebanyak 40 orang yang dipilih dari populasi sebanyak 105 kepala keluarga yang mata pencahariannya sebagai nelayan.

Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi istri nelayan ikut bekerja yaitu sebanyak 13 orang atau 32,5% untuk menambah pendapatan rumah tangga, sebanyak 14 orang atau 35% karena faktor tradisi dan budaya dan sebanyak 13 orang atau 32,5% untuk mengisi waktu luang. Sedangkan berdasarkan hasil test statistik Kai Kuadrat menunjukkan bahwa jenis-jenis pekerjaan istri nelayan yaitu sebanyak 12 orang atau 30% bekerja mengolah ikan hasil tangkapan seperti pengeringan ikan, sebanyak 19 orang atau 47,5% memilih bekerja sebagai petani dan sebanyak 9 orang atau 22,5% memilih pekerjaan lainnya seperti berdagang, pemilik warung, menyiangi ikan dan mengupas udang.

Sukari (2002) meneliti mengenai peranan wanita dalam rumah tangga nelayan di Desa Bendar, Pati, Jawa Tengah.Penelitian ini

Page 58: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

76

bertujuan untuk mengetahui peranan wanita, baik sebagai ibu rumah tangga maupun dalam kegiatan mencari nafkah dan mengambil keputusan serta partisipasi dalam kegiatan masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dengan mengambil sampel sebanyak 32 responden istri nelayan dengan cara purposive sampling. Diambil juga 6 informan kunci yang dianggap mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan penelitian.Teknik pengumpulan data menggunakan tehnik wawancara, observasi dan studi pustaka. Analisa data yang digunakan dengan pendekatan kuantatif dalam bentuk tabel frekuensi (persentase) dan kualitatif yang bersifat deskriptif.

Hasil penelitian dari 32 responden, paling banyak menjadi bakul ikan 15 orang atau 46,88 %. Sedangkan yang lainnya menjadi ibu rumah tangga 10 orang atau 31,25 %, sebanyak 5 orang atau 15,62 % bekerja mengolah ikan seperti ikan asin, ikan asap, ikan pindang, dan membuat tepung kerupuk. Sedangkan sisanya sebanyak 2 orang atau 6,25 % menjadi penjahit dan pengajar di TPA.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar yakni 62,5% jenis pekerjaan istri nelayan terkait dengan kegiatan kenelayanan yaitu bakul ikan dan pengolahan ikan. Distribusi pengambilan keputusan mengenai pengeluaran rumah tangga didominasi oleh istri yaitu 100 % untuk pemenuhan kebutuhan pokok, 78,12 % untuk keputusan membeli pakaian, 93,75 % untuk keputusan membeli alat dapur, dan 62,25% untuk keputusan pemeliharaan kesehatan. Sedangkan pengambilan kebutuhan lainnya seperti pendidikan anak, memperbaiki rumah, dan membeli barang-barang mewah seperti televisi dan motor lebih didominasi oleh suami.

Page 59: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

BAB 2 - TINJAUAN PUSTAKA

77

Roadmap Penelitian

Page 60: Bab 2 Tinjauan Pustaka - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12334/2/D_902009007_BAB II.pdfmereka kurang kreatif, kurang inovatif, sulit menerima masukan atau

MELAMPAUI “KASUR - SUMUR - DAPUR”

78

Rumah tangga nelayan antara lain terdiri dari suami, istri, anak-anak dan anggota yang lain sebagai bagian dari anggota rumah tangga yang melakukan aktivitas ekonomi. Dalam menjalankan tugas rumah tangga, istri nelayan memiliki peran yang terbilang cukup besar karena dituntut tanggung jawab secara psikologis, sosiologis sebagai ibu rumah tangga dan pelaku ekonomi. Penelitian ini mengambil fokus kajian pada peran istri nelayan dalam mendukung ekonomi rumah-tangganya. Sentralnya peran istri nelayan perlu diidentifikasi dan dikaji mengenai jenis kegiatan dan peran yang diemban dalam rumah tangga.

Kondisi lingkungan ekonomi, sosial dan non ekonomi mendapat tempat kajian tersendiri dalam penelitian ini. Bagaimana aspek-aspek tersebut mempengaruhi para istri nelayan tradisional untuk melakukan jenis-jenis pekerjaan tertentu. Selain itu, dalam penelitian ini juga dikaji hubungan timbal balik antara dampak lingkungan dari aktivitas yang dilakukan oleh istri nelayan terkait perannya untuk keberlangsungan hidup rumah-tangganya.

Upaya istri nelayan tradisional untuk keberlangsungan hidup rumah-tangganya dikaji dari perannya dalam melakukan kegiatan produktif. Hal ini dapat dicermati dari kegiatan istri nelayan tradisional dalam mengelola hasil tangkapan nelayan, etos kerja dan kinerjanya dan strategi yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Dengan demikian perilaku istri nelayan dapat berubah sehingga perannya dalam rumah tangga dapat ditingkatkan.

Identifikasi permasalahan rumah tangga nelayan tradisional baik istri maupun suami terkait fungsinya sebagai pelaku ekonomi adalah rangkaian kajian pada penelitian ini. Identifikasi permasalahan yang dihadapi rumah tangga nelayan tradisional dimaksudkan untuk menggali informasi mengenai permasalahan yang dialami nelayan tradisional. Tujuan dari identifikasi permasalahan ini adalah untuk mengkonstruksi analisis kebutuhan nelayan melalui kegiatan-kegiatan yang berbasis pada partisipasi, aspirasi dan mengedepankan aspek ekonomi, sosial dan non ekonomi.