BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi...
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari proses mengetahui mengenai suatu hal yang
terjadi melalui proses sensoris terutama dari mata dan telinga terhadap objek tertentu.
Menurut Notoatmodjo, pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Filosafi pengetahuan
yaitu Plato menyatakan pengetahuan sebagai “kepercayaan sejati yang dibenarkan”
(justified true belief). Dalam Kamus Besar Dewan Bahasa Indonesia, pengetahuan
berarti suatu yang telah diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran.4 Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indra penglihatan dan pendengaran.
Pengetahuan sangat penting dalam terbentuknya tindakan seseorang.5
Tingkat pengetahuan dapat dibagi atas 6, yaitu: 4
A) Tahu
Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat
atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Ukuran bahwa seseorang itu tahu, adalah ia dapat menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan.
B) Memahami
Memahami adalah kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang sesuatu yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh dan menyimpulkan.
16
Universitas Sumatera Utara
17
C) Penerapan
Penerapan, artinya kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-
hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.
D) Analisis
Analisis, yaitu kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-
bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan
masih terkait satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah dapat
menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat
bagan proses adopsi perilaku dan dapat membedakan pengertian psikologi
dengan fisiologi.
E) Sintesis
Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada serta dapat menyusun,
meringkaskan, merencanakan dan menyesuaikan suatu teori atau rumusan
yang telah ada.
F) Evaluasi
Evaluasi berarti kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu
objek. Evaluasi dapat menggunakan yang telah ada atau disusun sendiri.
Universitas Sumatera Utara
18
2.2 Definisi Trauma Maksilofasial
Trauma maksilofasial adalah suatu cedera yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Jaringan lunak wajah adalah merupakan suatu jaringan lunak yang
menutupi bagian jaringan keras pada wajah.6
Jaringan keras wajah pula adalah bagian tulang kepala yang terdiri dari 7
bagian, yaitu:7
1. Tulang arkus zigomatikus
2. Tulang rongga mata
3. Tulang mandibula
4. Tulang alveolus
5. Tulang maksila
6. Tulang hidung
7. Gigi
2.3 Etiologi Trauma Maksilofasial
Penyebab terjadinya trauma maksilofasial adalah bervariasi, antara lain akibat
terjadinya kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma
akibat senjata api.3 Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mobil, motor, sepeda dan
pejalan kaki adalah penyebab utama pada terjadinya trauma maksilofasial yang dapat
membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum dan angka
terbesar biasanya terjadi pada golongan pria.1
Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, perkelahian dan kecelakaan lalu
lintas mencatat jumlah yang tertinggi sebagai penyebab utama terjadinya trauma
maksilofasial dengan kematian dan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan
orang per tahunnya.1
Universitas Sumatera Utara
19
Berikut ini merupakan tabel etiologi trauma maksilofasial.1
Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial berdasarkan umur dan jenis kelamin.1
2.4 Klasifikasi TraumaTrauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma
yang terjadi pada jaringan lunak wajah dan trauma yang terjadi pada bagian jaringan
keras wajah.8 Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan oleh benda tajam seperti
pisau dan golok pada perkelahian atau akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu
Universitas Sumatera Utara
20
lintas. Atau disebabkan oleh benda tumpul yang dapat menyebabkan terjadinya luka
seperti hentakan yang kuat saat terjadinya kecelakaan lalu lintas, saat perkelahian atau
jatuh.1
2.4.1 Trauma Jaringan Lunak Wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan:8
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab.
a. Luka sayat, luka robek , luka bacok
b. Luka tembak
c. Luka bakar
d. Ekskoriasi
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan.
3. Berdasarkan dengan unit estetik.
2.4.2 Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dibagi menurut fraktur tulang
yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif. Secara umum
dilihat dari pengertiannya:7
1. Tipe fraktur
A) Fraktur sederhana merupakan fraktur sederhana, linear yang
tertutup.
Universitas Sumatera Utara
21
B) Fraktur kompoun adalah fraktur lebih luas dan terbuka
C) Fraktur komunisi yaitu benturan langsung dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian
yang kecil atau remuk dan bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga
seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
D) Fraktur greenstick adalah suatu fraktur yang tidak mencapai
bagian luar tulang atau patah tulang parsial yang hanya salah satu sisi
tulang patah dan sisi lain melengkung.
E) Fraktur patologis adalah suatu keadaan tulang yang lemah oleh
karena adanya penyakit penyakit tulang seperti adanya tumor ganas,
kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
F) Fraktur multiple merupakan fraktur yang punya dua atau lebih
garis fraktur yang tidak menyambung pada tulang yang sama.
2. Perluasan tulang yang terlibat.
a) Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b) Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kompresi ( lekuk )
3. Konfigurasi ( garis fraktur ).
a) Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
b) Miring (Oblique)
c) Berputar (Spiral)
d) Komunisi (remuk)
4. Hubungan antar fragmen.
• Displacement dimana fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
Universitas Sumatera Utara
22
• Undisplacement dimana fragmen fraktur tidak berubah tempat tetapi
mengalami trauma yang mengakibatkan:8
a) Angulasi / bersudut
b) Distraksi / kontraksi
c) Rotasi / berputar
d) Impaksi / tertanam
2.5 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
2.5.1 Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula didefinisikan sebagai rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang mandibula yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara
langsung atau tidak langsung.9 Fraktur dapat diklasifikasikan menurut lokasi
terjadinya fraktur.10 Khusus pada bagian rahang bawah, berdasarkan lokasi anatomi,
fraktur dapat mengenai daerah:7,9
a) Dento alveolar
b) Prosesus kondiloideus
c) Prosesus koronoideus
d) Angulus mandibula
e) Ramus mandibula
f) Korpus mandibula
g) Midline / simfisis menti
h) Lateral ke midline dalam regio insisivus
Universitas Sumatera Utara
23
Gambar 1: Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C. Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Korpus G. Simfisis H. Parasimfisis.13
5.2. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah (Midfacial):
Maksila, palatinus, tulang nasal, tulang zigomatikus dan tulang orbital
merupakan tulang yang membentuk kerangka sepertiga tengah wajah (midfacial)
yang terbagi kepada:1,7,15
1. Fraktur zigomatikus.
• Tulang zigomatikus berperan sebagai pembentuk pipi.7
• Fraktur zigomatikus terbagi dua yaitu: 7,11
a) Fraktur kompleks zigomatikus: Fraktur yang terjadi pada
bagian arkus zigomatik, tepi orbita, penopang frontozigomatik dan
penopang zigomatiko-rahang atas.
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar 2: Fraktur kompleks zigomatikus
b) Fraktur arkus zigomatikus: Fraktur yang terpisah dari fraktur
zigoma kompleks.
Gambar 3: Fraktur arkus zigomatikus.
2. Fraktur nasal.
• Terjadinya deformitas pada tulang hidung.12
• Tanda - tanda fraktur nasal dapat dilihat dari: 12
a) Periorbital ekimosis yaitu memar pada daerah mata.
b) Pembengkakan nasal.
c) Perubahan arah tulang hidung.
d) Berkurangnya proyeksi tulang hidung.
3. Fraktur orbital.
• Terjadinya fraktur pada lantai orbital yang tipis.13
Universitas Sumatera Utara
25
• Dapat mengakibatkan perubahan pada bola mata yang berbentuk inferior atau
posterior.13
4. Fraktur maksila.
• Dapat dibagi kepada tiga pola utama menurut Le Fort yaitu: 7,14,15
a) Fraktur Le Fort I: Fraktur transversal yang memisahkan
alveolus maksilaris dari seluruh kerangka sepertiga tengah
(midfacial).
Gambar 4: Gambaran fraktur Le Fort I.
Universitas Sumatera Utara
26
b) Fraktur Le Fort II:
Fraktur yang terjadi bila fragmen nasomaksilaris yang berbentuk
piramid terpisah dari kerangka kraniofasial bagian atas.
Gambar 5: Gambaran fraktur Le Fort II.
c) Fraktur Le Fort III: Fraktur
yang merupakan pemisahan sempurna kerangka wajah dengan
dasar tengkorak.
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 6: Gambaran fraktur Le Fort III.
2.6 Diagnosis Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai terjadi fraktur
maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :7
1. Anamnesa
• Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau
dengan orang lain yang melihat langsung kejadian. Tujuan anamnesa
dilakukan salah satunya adalah untuk mencari penyebab pasien
mengalami trauma.
2. Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan intraoral yang harus
dimulai hanya setelah pasien berada dalam keadaan stabil dan
pemeriksaan ekstraoral.
a. Pemeriksaan intraoral termasuk:7
i. Pemeriksaan jaringan lunak pada bagian dalam mulut, bibir, gingival, palatal
dan lidah.
ii. Pemeriksaan neurologis pada saraf alveolaris inferior dan saraf lingual.
iii. Pemeriksaan skelatal pada daerah maksila dan mandibula.
iv. Pemeriksaan gigi geligi untuk menglihat jika terdapat fraktur, mobiliti,
pendarahan atau kehilangan gigi yang memerlukan perawatan.
b. Pemeriksaan ekstraoral:7
Universitas Sumatera Utara
28
i. Pemeriksaan jaringan lunak pada bagian kepala.
ii. Pemeriksaan neurologis pada beberapa saraf utama seperti saraf wajah, saraf
infraorbital, saraf olfaktori, saraf okulomotor, saraf abdusen dan saraf optik.
iii. Pemeriksaan skeletal pada sekitar wajah, telinga dan kepala.
• Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
dengan inspeksi dan palpasi.7
• Inspeksi dilakukan secara sistematis bergerak dari atas ke
bawah. Tujuan inspeksi dilakukan adalah bagi melihat:7
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. Luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya maloklusi, trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea atau rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ekimosis, epistaksis
i. Defisit pendengaran.
• Tanda-tanda fraktur maksilofasial dapat dilihat dari:11
a. Nyeri pada rahang saat berbicara, mengunyah dan
menelan.
b. Drooling.
c. Pembengkakan dan memar.
d. Dislokasi yang menyebabkan maloklusi geligi.
Universitas Sumatera Utara
29
e. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi.
f. Malfungsi berupa trismus, nyeri saat mengunyah.
g. Adanya laserasi serta diskolorisasi pada daerah fraktur.
h. Gangguan jalan napas.
i. Deformitas tulang.
j. Asimetris.
k. Numbness pada bibir atau daerah fraktur.
l. Penglihatan yang kabur atau ganda dan penurunan
pergerakan bola mata (fraktur orbita)
• Palpasi adalah suatu cara pemeriksaan dengan jalan memegang,
meraba dan menggerakkan bagian yang dicurigai trauma dengan
menggunakan tangan. Pemeriksaan palpasi meliputi:11
a. Pemeriksaan intraoral.
b. Pemeriksaan daerah mata.
c. Pemeriksaan laserasi liang telinga.
d. Pemeriksaan pada orbital medial dan bagian nasal.
e. Kepala dan wajah untuk melihat sekira terjadinya fraktur bagian dalam atau
cedera tulang.
• Secara umum, aspek-aspek yang dinilai adalah sebagai
berikut :11
a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya krepitasi.
c. Fraktur.
Universitas Sumatera Utara
30
d. Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus ( kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan
yang terbatas.
3. Pemeriksaan radiografi.
• Pemeriksaan radiografi ideal untuk melihat fraktur
maksilofasial adalah:2
a. Radiografi panoramik.
b. Radiografi postero-anterior.
c. Radiografi proyeksi reverse-Towne.
d. Radiografi sefalometri.
e. CT scan.
Universitas Sumatera Utara
31
2.7 Penatalaksanaan.2.7.1 Penatalaksanaan Awal.Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial
meliputi pemeriksaan tahap kesadaran pasien. Pasien dengan trauma maksilofasial
harus ditangani dengan segera, dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat.3
Tujuan dilakukan penatalaksanaan awal pada pasien yang mengalami trauma
maksilofasial adalah untuk memperbaiki jalan napasnya agar tidak menghambat
penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah berlakunya deformitas reduksi
pada fraktur hidung dan zigoma.3,16
Penatalaksanaan pasien trauma maksilofasial dapat dilakukan dengan lima
elemen, yaitu:
1. Primary survey, yang dilakukan menggunakan teknik ABCDE, yaitu:2,10,16,17
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
• Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur
untuk memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen
fraktur wajah untuk membuka jalan napas oral (orofaringeal) dan jalan
napas nasal (nasofaringeal).
Gambar 7: Jalan napas nasal dan jalan napas oral.
Universitas Sumatera Utara
32
• Diantara teknis yang biasa digunakan untuk membuka dan
memelihara jalan napas bagi pasien trauma ialah suction, jaw thrust,
chin lift, oropharyngeal, nasopharyngeal airways dan laryngeal mask.
B: Breathing and adequate ventilation.
• Memeriksa jalan napas pasien berfungsi dengan baik tanpa
adanya obstruksi. Tanda -tanda obstruksi jalan napas berupa:
i. Agitasi (sesak napas).
ii. Suara abnormal (suara serak menandakan adanya
obstruksi pada laring.
iii. Kedudukan trakea tidak pada midline.
C: Circulation with control of hemorrhage
• Pendarahan dari hidung atau luka intraoral dikontrol untuk
meningkatkan jalan nafas dengan menekan dan mengikat perdarahan
pada pembuluh darah serta meletakkan pembalut pada bagian yang
mengalami laserasi.
D: Disability: neurologic examination.
• Tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi pasien dapat
menentukan status neurologis.
E: Exposure/ enviromental control.
• Aksesori yang menghambat saat melakukan perawatan dan
pakaian yang di pakai oleh pasien dilepaskan. Pada saat yang sama,
dihindari terjadinya hypothermia.
2. Tindakan resusitasi yang termasuk tindakan mengevaluasi kembali keadaan
pasien yang telah di identifikasi pada saat melakukan primary survey.
3. Secondary survey, melakukan pemeriksaan total pada pasien bersama dokter
umum.
4. Pasien dirujuk berdasarkan cedera yang dialami kepada dokter spesialis untuk
dilakukan perawatan.
Universitas Sumatera Utara