Fr Cervical

download Fr Cervical

of 41

Transcript of Fr Cervical

B. PENGELOLAAN KETIDAKSTABILAN TULANG BELAKANG LEHER ATAS

Kebanyakan cedera batang tulang belakang mengenai tulang belakang leher dengan insidens yang tinggi dari paralisis dan kematian. Morbiditas neurologis setelah trauma tulang belakang servikal antara 45-60% dan tingkat kematian sekitar 17% (Volker, 1991). Lebih sering mengenai laki-laki, terutama antara usia 15-30 tahun, tersering akibat kecelakaan kendaraan bermotor, diikuti jatuh, olah raga selam dan atletik. 25% fraktura servikal mengenai tulang belakang servikal superior, C1,2,3. Anatomi, orientasi, serta artikulasi yang unik dari ruas tulang belakang ini (atlas, aksis dan C3) mengancam mereka atas beberapa cedera yang spesifik. Insidens cedera neurologis setelah fraktura-dislokasi C1,2,3 relatif rendah. Ini mungkin rendah secara artifisial karena dibuat berdasar insidens pasien dengan cedera C1,2,3 yang hidup saat sampai kerumah sakit. Cedera neurologis pada tingkat tulang belakang servikal mungkin mencakup pernafasan, menyebabkan kematian yang segera pada saat kecelakaan sebelum mendapat tindakan medis. 25-40% pasien fraktura dislokasi tulang belakang atas setelah kecelakaan mobil mati ditempat kecelakaan akibat kerusakan neurologis.

EVALUASI Persangkaan yang kuat akan cedera tulang belakang harus dipertahankan hingga fraktura ataupun ketidakstabilan servikal dipastikan dengan radiografi. Immobilisasi kepala dan leher terhadap torso adalah penting selama resusitasi awal, triase, dan penilaian pasien. Sekitar setengah pasien dengan trauma tulang belakang servikal tampil tanpa tanda-tanda cedera neurologis. Pada 10% pasien gejala dan tanda terganggunya tulang belakang servikal tampil saat penilaian di UGD atau beberapa saat kemudian (saat diradiografi atau tindakan awal), menunjukkan pentingnya immobilisasi tulang belakang servikal yang baik hingga pemeriksaan yang hati-hati dan wajib sudah menunjukkan diagnosis definitif. 60% dari pasien dengan fraktura tulang belakang servikal memiliki trauma sistim organ lain, kenyataan yang menunjukkan pentingnya 'basic life support' dan resusitasi untuk mencegah akibat buruk hipoksia dan hipotensi terhadap fungsi kord spinal. Immobilisasi persisten serta pemeriksaan neurologis serial selama masa resusitasi adalah penting untuk catatan (dan disimpan) akan kemampuan fungsional pasien serta untuk persiapan pembanding dalam menentukan perbaikan atau perburukan fungsi neurologis. Pemeriksaan radiologis tulang belakang servikal AP dan lateral dari dasar tengkorak hingga T1. Tampilan lateral dan swimmer tulang belakang servikal dapat

menampilkan kebanyakan cedera pada tulang belakang servikal. Untuk memeriksa tulang belakang servikal atas secara adekuat, terutama bila pasien dengan nyeri dasar tengkorak atau tulang belakang servikal atas atau bila film lateral inisial memberi dugaan akan suatu cedera, tampilan mulut terbuka untuk proses odontoid serta artikulasi C1-C2 harus dilakukan. Tampilan pillar proses odontoid (tampilan oblik) akan menampilkan integritas dens pada pasien yang tidak (atau tidak dapat) kooperasi terhadap tampilan mulut terbuka. Sekitar 15% pasien dengan fraktura tulang belakang servikal atas mempunyai fraktura batang tulang belakang kedua, hingga mengharuskan pemeriksaan batang tulang belakang lengkap dengan radiografi. Daerah yang diduga cedera yang didapat dari foto polos harus dipelajari lebih lanjut dengan CT scan potongan rapat. Terutama untuk fraktura C1 dan C2 karena subjenis fraktura yang tepat sulit didapat dari foto polos. Sebagai tambahan, didapat frekuensi yang tinggi dari fraktura kombinasi yang mengenai baik atlas maupun aksis, yang sulit diidentifikasi tanpa citra CT scan. Penilaian CT scan mendahului foto dinamik fleksi dan ekstensi (bila diindikasikan), mielografi, angiografi, dan MRI. Kekecualian untuk melakukan CT scan setelah film tulang belakang servikal inisial adalah pada pasien dengan fraktura dislokasi. Tindakan harus dilakukan

segera untuk mengurangi fraktura subluksasi dalam upaya memperbaiki alignment anatomik batang tulang belakang. Traksi dengan tong Gardner-Wells (GWT) biasanya efektif untuk mengurangi namun memerlukan pengawasan ketat. Sebaiknya dilakukan di ICU dengan bed Stokes. Di ICU juga bisa dilakukan tindakan yang baik atas gangguan respirasi (biasa pada cedera tulang belakang servikal atas) serta syok spinal bila ada, serta tindakan lain atas cedera lain yang menyertai. Immobilisasi kepala dan leher terhadap torso bisa jadi masalah walau dengan GWT disaat merawat pasien dengan hanya memerlukan beban yang kecil untuk reduksi. Ini terutama pada pasien yang gelisah atau tidak kooperatif. Pasien yang sulit dengan ketidakstabilan tulang belakang servikal atas diimmobilisasi lagi dengan kolar yang kaku serta bantal pasir diletakkan pada setiap sisi kepala dan leher (tambahan terhadap GWT). Bisa juga melakukan immobilisasi awal dengan stabilisasi eksternal kaku (halo vest) untuk mencegah subluksasi dan cedera neurologis yang mengancam (bahkan pada kandidat operasi yang menunggu saat operasi).

DISTRIBUSI

Fraktura Atlas Letaknya yang unik antara tengkorak dan tulang belakang

lainnya merupakan predisposisi atas cedera traumatika akut. Insidens fraktura akut antara 3-13% dari cedera tulang belakang servikal. 60% korban adalah pria, usia median 40 tahun, sisanya wanita dengan usia median 42 tahun. 56% hanya mengalami fraktura C1 saja, sedang 44% juga mengalami fraktura C2 juga hingga memerlukan tindakan khusus yang berbeda. Pada 9% diantaranya memiliki fraktura tulang belakang servikal yang tidak berdekatan, serta 21% bersamaan dengan cedera kepala. Pada 68% diakibatkan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh 13%, dan sepeda motor 7%. 12% akibat kecelakaan lain seperti menyelam, layang gantung, skateboard, dan olah raga lainnya. Pada penelitian Volker tidak ada pasien yang mengalami fraktura terbatas pada C1 memiliki kelainan neurologis walau beberapa mengeluh disestesia dasar tengkorak dan leher pada saat datang. 56% hanya fraktura C1 saja, dimana biasanya berupa fraktura bilateral atau multipel akut dari cincin atlas. 31% dengan fraktura cincin unilateral, 13 % fraktura terbatas pada massa lateral. 21% fraktura terbatas pada C1 tanpa disertai dislokasi C1-C2 seperti tampak pada foto AP dengan mulut terbuka. 27% memiliki pergesaran C1-C2 kurang dari 6.9mm (ditentukan dengan mengukur pergeseran massa lateral pada foto AP), dan 9% bergeser lebih dari 6.9mm. Gambaran radiografik penting dalam menentukan tindakan pada fraktura atlas terbatas.

Fraktura Aksis Anatomi serta sendi ruas tulang belakang servikal kedua yang unik menyebabkannya sebagai predisposisi fraktura dan frakturadislokasi dalam variasi yang luas. Fraktura aksis merupakan 18% dari total cedera tulang belakang servikal akut. Fraktura odontoid merupakan jenis yang terbanyak, sekitar 60%. Fraktura hangman's dan fraktura aksis lain-lain (yaitu fraktura non odontoid, non hangman's) masing-masing 20%. Pria dua kali lebih banyak, dengan usia median pada pria 37 tahun dan wanita 41 tahun. Terbanyak disebabkan kecelakaan kendaraan bermotor (65%), diikuti jatuh (15%) dan menyelam (6%) serta kecelakaan lain (14%). 5.7% diikuti cedera neurologis pada tingkat C2. Angka kematian 6.5%.

Fraktura Kombinasi Atlas-Aksis Merupakan sekitar 2% dari populasi total pasien dengan cedera tulang belakang servikal akut. Usia rata-rata pria 40 tahun dan wanita 51 tahun. Merupakan 44% dari seluruh fraktura atlas akut, dan 11% dari seluruh fraktura aksis. Penyebabnya serupa dengan pada fraktura atlas dan aksis. Klasifikasi berdasar pada jenis fraktura aksis yang terjadi. Paling sering adalah kombinasi fraktura

C1-odontoid jenis II (40%) diikuti C1-C2 lain-lain (fraktura non odontoid, non hangman's), C1-odontoid jenis III, dan C1-hangman's. C1-odontoid jenis II dua kali lebih sering dari C1-odontoid jenis III. Pada fraktura C1-hangman's biasanya dengan cedera berganda arkus posterior atlas, sedang fraktura atlasaksis lainnya dibagi atas fraktura cincin berganda, fraktura cincin C1 unilateral, atau fraktura massa lateral. 12% pasien datang dengan defisit neurologis.

Fraktura Ruas Tulang Belakang Ketiga Fraktura terbatas pada C3 jarang (sekitar 0.8%). Biasanya fraktura chip primer pada korpus atau lamina, atau proses spinosus. Beberapa dengan cedera aksis. Tampaknya C3 terlindung dari cedera karena posisi yang unik antara aksis dan bagian tulang belakang dengan fleksi lebih luas yang lebih terancam terhadap cedera.

TINDAKAN

Fraktura Atlas Biasanya non bedah dan tergantung pada jenis fraktura atlas dan adanya cedera aksis atau badan ruas tulang belakang lainnya. Seksi yang rapat dari CT scan adalah pemeriksaan diagnostik terpilih untuk menentukan perluasan cedera fraktura C1 dan/atau C2 secara tepat.

Diagnostik yang benar dapat dibuat dengan foto polos, namun hanya CT scan atau politomografi yang dapat menentukan fraktura dengan tepat pada kasus yang sulit. Terhadap fraktura C1 terbatas, tanpa disertai komplikasi fraktura aksis atau tulang belakang servikal lainnya (dimana immobilisasi eksternal yang lebih kaku atau operasi sering diperlukan), untuk membantu menentukan terapi, Spence memberikan kriteria terapi. Bila penyebaran massa lateral dari C1 terhadap C2 seperti tampak pada foto AP melebihi 6.9mm, kemungkinan disrupsi ligamen transvera sangat besar, dan terjadi ketidakstabilan C1-C2. Cedera ini memerlukan tindakan yang lebih agresif dan dianjurkan stabilisasi secara bedah. Walau pengalaman menunjukkan bahwa fraktura terbatas C1 akut jarang memerlukan operasi segera (bila tanpa disertai penekanan tulang terhadap kord spinal), rekomendasi Spence tidaklah selalu dapat digunakan. Fraktura atlas terbatas dengan penyebaran massa lateral kurang dari 6.9 mm pada foto dapat ditindak secara efektif dengan penyangga leher yang tak begitu kaku (kolar Philadelphia) untuk 8-12 minggu. Dianjurkan immobilisasi eksternal yang lebih kaku untuk fraktura atlas dengan dislokasi massa lateral 6.9mm atau lebih. Tampaknya lebih efektif menggunakan alat immobilisasi halo-vest untuk 10-14 minggu. Pengamatan klinis dan radiologis berkala sangat penting untuk mengetahui

penerimaan pasien, alignment yang adekuat, serta fusi. Film dinamik ekstensi dan fleksi diperlukan untuk memastikan union tulang tanpa disertai ketidakstabilan.

Fraktura Atlas Terbatas | /----------------------------------------/ | Dilokasi kurang dari 6.9mm | | Kolar Philadelphia | | Halo Vest | Dislokasi lebih dari 6.9mm

Fraktura Aksis Beberapa jenis terbaik ditindak dengan nonbedah. Ini termasuk fraktura hangman's, odontoid jenis III, dan fraktura aksis 'lain-lain'. Fraktura hangman's adalah fraktura melalui pars interartikularis (bilateral) aksis. Kegagalan atas tindakan nonbedah ditindak secara bedah. Fraktura odontoid jenis III adalah fraktura yang melalui dasar proses odontoid yang meluas ketulang badan dari aksis. Fraktura ini jarang menjadi nonunion

atau tidak stabil dalam waktu lama bila immobilisasinya dengan penyangga eksternal adekuat. Fraktura aksis lain-lain adalah semua cedera yang tidak termasuk fraktura hangman's maupun odontoid. Tindakan tergantung jenis frakturanya dan beratnya fraktura serta adanya subluksasi C2-C3. Jelas fraktura proses spinosus atau fraktura lamina terbatas tidak memerlukan tindakan immobilisasi atau durasi terapi seperti yang dibutuhkan dalam menindak badan C2 atau fraktura massa lateral dengan subluksasi C2-C3 3mm.

Fraktura Aksis Terbatas /-----------------------------------------/ | Hangman's | | | Odontoid /---------/ | Jenis III | | | | | | | Proses Korpus | Lain-lain

/----------------/ | |

Vest Halo Jenis II | | | /------------/ | Dislokasi |

spinosa, pedikel, lamina massa | | | | | | lateral |

Dislokasi Nonbedah

dens kurang dens lebih (Vest Halo) | dari 6mm dari 6mm | |

| | Nonbedah

| | Pikirkan

| |

| | Kolar Nonbedah Philadelphia (Vest Halo)

(Vest Halo) Bedah

Adanya ketidakstabilan yang jelas serta subluksasi tingkat C2-C3 mungkin indikasi tindakan operasi segera pada pasien dengan fraktura aksis akut. Tindakan terhadap jenis yang paling sering dari fraktura aksis, fraktura odontoid jenis II, tetap kontroversial. Derajat dislokasi dens adalah faktor terpenting dalam menentukan berhasil atau tidaknya tindakan nonbedah pada fraktura odontoid jenis II. Usia pasien harus dipertimbangkan dalam menentukan tindakan operatif atau tidak. Pasien berusia 60 tahun atau lebih mempunyai tingkat nonunion tiga kali lebih besar dari usia dibawahnya.

Fraktura Kombinasi Atlas-Aksis Lipson menganjurkan immobilisasi eksternal dengan vest halo selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan sembuhnya fraktura atlas, diikuti operasi wiring dan fusi sebagai tindakan definitif fraktura dislokasi aksis. Namun tidak semua fraktura atlas tidak stabil,

hingga dipikirkan cara lain: Fraktura arkus atlas unilateral atau fraktura massa lateral C1 terbatas tidak memerlukan operasi wiring segera C1 terhadap C2. Bila fraktura atlas adalah jenis bursting (fraktura arkus bilateral atau berganda), maka atlas tidak tersertakan pada wiring dan wiring oksiput terhadap C2 dan tindakan fusi harus dipetimbangkan. Karenanya immobilisasi tambahan selama 6-8 minggu sebelum operasi yang dianjurkan Lipson dapat dihindarkan. Operasi dini (dalam 3-12 hari sejak cedera) dilakukan tergantung jenis fraktura aksis. Fraktura aksis terbatas berupa fraktur adontoid jenis III, fraktura hangman's, fraktura lain-lain, dan beberapa fraktura odontoid jenis II dapat sembuh hanya dengan immobilisasi eksterna saja selama 8-14 minggu. Fraktura odontoid jenis II dengan dislokasi dens lebih dari 6mm atau lebih mempunyai angka nonunion yang tinggi dengan immobilisasi eksternal kaku (ergantung usia, arah dislokasi dens, atau derajat gangguan neurologis). Operasi stabilisasi dan fusi dini dilakukan pada pasien jenis ini. Semua fraktura aksis dengan kombinasi fraktura atlas lainnya harus dimulai ditindak dengan immobilisasi eksternal kaku. Lebih disukai vest halo karena karakteristik immobilisasinya superior. Jenis fraktura atlas yang terjadi akan menentukan apakah C1 dan C2 hanya satu-satunya daerah yang akan dioperasi wiring dengan tindakan fusi (fraktura arkus

unilateral atau fraktua massa lateral), atau apakah cedera atlas tidak memadai untuk tindakan wiring langsung (fraktura cincin bilateral atau berganda) dan memerlukan tindakan wiring dan fusi oksiput hingga C2.

Fraktura Kombinasi C1-C2 | /---------------------------/ | |

Fraktura C1-Odontoid II Fraktura C1-Odontoid III | | /--------------/ Fraktura C1-Hangman's Fraktura C1-C2 'lain-lain' |

| Dislokasi

| Dislokasi

| Immobilisasi eksternal

dens 6mm

Immobilisasi eksternal | |

|

/------------------------------/ | |

Cincin C1 intak | |

Cincin C1 fraktura berganda | |

Wiring/fusi C1-C2 Wiring/fusi Oksiput-C2

FRAKTURA RUAS TULANG BELAKANG SERVIKAL KETIGA

Tindakan tergantung kasus per kasus sesuai dengan jenis fraktura serta adanya fraktura atau fraktura dislokasi yang menyertai. Umumnya ditindak dengan immobilisasi eksternal. Majoritas fraktura C3 terbatas adalah fraktura proses spinosus atau fraktura lamina terbatas.

ORTOSIS SERVIKAL

Kecuali untuk cedera yang sangat ringan ( yaitu sprain servikal atau fraktura proses spinosus terbatas dan stabil), kolar busa tidak boleh digunakan sebagai alat ortotik terhadap tulang belakang servikal. Kolar Philadelphia, yang nyata memberikan immobilisasi yang lebih baik terhadap leher dibanding busa, digunakan dalam menindak fraktura atlas yang tergeser kurang dari 6.9mm, fraktura aksis 'lain-lain' yang kurang berat, dan fraktura C3 minor.

Fraktura-dislokasi pada C1,2,3 yang lebih nyata memerlukan immobilisasi leher dan kepala yang kaku terhadap torso untuk mempertahankan alignment anatomik dan untuk memastikan union tulang. Beberapa rangka (brace) servikotorasik telah dirancang untuk kegunaan ini. Rangka SOMI memberikan immobilisasi memadai terhadap fleksi, namun memberikan kemungkinan ekstensi, rotasi dan tekukan lateral dari tulang belakang leher. Ortosis servikotorasik kaku serta rangka Yale sedikit lebih baik atas immobilisasi kepala dan tulang belakang dibanding SOMI; namun keduanya memberikan kemungkinan yang jelas atas fleksi, rotasi dan tekukan kelateral dari leher dibanding rangka immobilisasi halo. Walau tidak mutlak kemampuannya membatasi gerakan kepala dan leher, ring halo melekat ke vest badan plastik, memberikan bentuk paling baik untuk immobilisasi tulang belakang servikal eksternal yang tersedia saat ini. Vest halo digunakan secara luas untuk mengelola secara nonbedah fraktura atlas dengan dislokasi lateral kurang dari 6.9mm, kombinasi fraktura C1-2, fraktura odontoid jenis II (dengan dislokasi dens kurang dari 6mm), fraktura odontoid jenis III, fraktura hangman's, dan fraktura aksis 'lain-lain' yang lebih berat. Hasil biasanya baik dengan beberapa komplikasi. Dianjurkan rangka servikotorasik kaku sebagai pilihan umtuk pasien yang tidak dapat mentolerasi immobilisasi vest-halo, terutama terhadap cedera fleksi.

RANGKUMAN

Jumlah cedera tulang belakang yang mengenai ruas tulang belakang bagian atas cukup banyak. Insidens cedera neurologis pada pasien yang berhasil mencapai UGD relatif rendah pada pasien dengan fraktura C1,2,3 dibanding tingkat servikal bawah dan dapat dijelaskan karena ruang subarakhnoid yang lebih luas pada tingkat yang lebih atas. Variasi yang sangat luas dari fraktura dan fraktura-dislokasi bisa terjadi antara oksiput dan C3. Tindakan terhadap cedera jenis ini dimulai dengan immobilisasi dan penilaian segera. Foto standard dan CT scan penting untuk menentukan keadaan yang tepat dari masing-masing fraktura serta akan menuntun tindakan selanjutnya. Tindakan optimal terhadap setiap cedera fraktura bersifat kasus per kasus. Patokan spesifik telah dijelaskan untuk membantu menentukan apakah tindakan operatif atau non operatif akan lebih bermanfaat. Apapun jenis tindakan yang diambil, wajib melakukan pengamatan ketat untuk mengamati hasil terapi dan mengoptimalkan outcome pasien.

C. PENGELOLAAN KETIDAKSTABILAN TULANG BELAKANG SERVIKAL BAWAH

Ketidakstabilan tulang belakang servikal bawah (C3-C7) paling sering diakibatkan cedera traumatika. Pada masyarakat sipil tersering jenis cedera tertutup dengan ruda paksa tidak langsung terhadap tulang belakang servikal. Bervariasi dari cedera regang miofasial sederhana serta nyeri leher (sprain, strain) hingga kuadriplegia dan mati. Ketidakstabilan traumatik bisa berakibat cedera serius pada kord spinal leher dengan meninggalkan cacad dan derita jangka panjang. Tujuan yang mendasar atas tindakan oleh dokter atas pasien adalah mencegah atau menekan perluasan cedera kord spinal setelah suatu cedera dan ketidakstabilan tulang belakang servikal. Kesimpulannya adalah memberikan lingkungan optimal untuk kord spinal servikal agar terjadi pemulihan maksimal atas semua kerusakan yang terjadi saat kejadian. Pengelolaan yang tidak memadai akan mengahalangi pemulihan yang diharapkan atau menyebabkan kerusakan fungsi neurologis selanjutnya. Sepertiga pasien cedera leher bawah dinegara maju menderita cedera tambahan permanen yang diakibatkan kesalahan pengelolaan atau terlewatnya persangkaan oleh dokter yang pertama-tama merawatnya (Sypert,GW, 1991). Cara pengelolaan mutakhir dirancang untuk mencegah komplikasi pasca cedera, terutama yang berkaitan dengan ketidakstabilan, yang mana akan menyebabkan kecacadan dan mencegah pemulihan

fungsi neurologis secara spontan.

KLASIFIKASI

Kebanyakan peneliti menganggap bahwa mekanisme cedera merupakan dasar utama klasifikasi. Percobaan biomekanik dan model kadaver telah menjelaskan hubungan yang mendasar antara mekanisme cedera (kekuatan vektor) dan cedera osseomuskuloligamentosa akuta tulang belakang servikal bawah. Kekuatan vektor sejati tersebut adalah fleksi, ekstensi, kompresi vertikal (beban aksial), distraksi vertikal, fleksi lateral (tekukan lateral), rotasi, shear, atau kombinasi tenaga tersebut, telah dibuktikan menyebabkan cedera ossemuskuloligamentosa yang khas untuk tenaga vektor atau kombinasi dari tenaga tersebut. Cedera ini biasanya disebabkan trauma terhadap kepala atau batang tubuh atau kombinasinya dimana kekuatan vektor dihantarkan ketulang belakang servikal dengan menimbulkan cedera pada struktur osseomuskuloligamentosa, neural, dan vaskuler. 90% cedera serius jenis ini terjadi pada kepala atau badan yang sedang berakselerasi yang membentur objek yang diam. Nyatanya kekuatan yang bertanggung jawab hanya dapat diduga retrospektif berdasar riwayat, pemeriksaan fisik, dan pencitraan neurodiagnostik.

Karena sebagian besar cedera tulang belakang servikal bawah terjadi pada kepala yang bergerak yang membentur benda yang diam, kekuatan aksial yang hebat mungkin terjadi pada kebanyakan cedera fleksi serta ekstensi. Kekuatan vektor predominan berupa distraksi (dislokasi atlanto-oksipital dan/atau atlanto-aksial), fleksi lateral (fraktura proses unsinat), serta shear, tampaknya jarang ditemui diklinik dan sering tidak berakibat cedera yang khas pada penelitian. Karena sasaran pengelolaan adalah mencegah atau meminimalkan cedera neurologis setelah cedera serta memberikan lingkungan yang optimal untuk kord spinal serta akar saraf agar didapat pemulihan maksimal setelah setiap kerusakan saat cedera, tindakan utama yang harus dilakukan adalah mengusahakan penyembuhan dalam keadaan yang stabil dari kompleks osseomuskuloligamentosa tulang belakang servikal. Tulang belakang servikal yang stabil mencegah cedera selanjutnya atau cedera yang akan terjadi dimasa akan datang atas elemen neural dan memberikan kesempatan terbaik akan fungsi yang bebas nyeri. Untuk menentukan tindakan yang rasional berdasar kestabilan spinal harus difahami patologi osseomuskuloligamentosa, semua keadaan cedera atau kompresi jaringan neural, serta kemungkinan penyembuhan yang diharapkan. Selain itu perlu memikirkan setiap risiko yang bisa terjadi atas semua macam cara yang mungkin

dilakukan. Tanpa pengetahuan tersebut tidak mungkin mendapatkan manfaat terbesar dengan risiko paling sedikit. Stabilitas tulang belakang servikal secara klinis ditentukan oleh: (1) semua segmen bergerak tidak bergeser lebih jauh atau mengalami deformitas pada beban fisiologis; (2) tidak ada pergeseran yang progresif atau deformitas selama proses penyembuhan; dan (3) tidak ada kompresi atau cedera yang progresif terhadap elemen neural. Pada keadaan klinis cedera tulang belakang servikal akut, sering sulit menentukan stabilitas. Sebagai pegangan umum, paling aman menduga bahwa semua cedera tulang belakang servikal adalah tidak stabil hingga dipastikan bahwa lesi tersebut adalah stabil. Dari penelitian didapatkan bahwa ketidakstabilan tulang belakang servikal mengancam atau terjadi bila terjadi pergeseran 3.5 mm atau lebih satu ruas tulang belakang terhadap ruas tulang belakang berdekatan, atau bila terjadi angulasi lebih dari 11o antara ruas tulang belakang berdekatan. Namun nilai pergeseran yang lebih kecil atau tiadanya angulasi pada citra lateral neurodiagnostik tidak memastikan kestabilan. Ruptur ligamen posterior yang berat dengan subluksasi faset yang transien serta reduksi spontan dapat terjadi dan umumnya tidak tampak pada foto tulang belakang servikal lateral konvensional. Bahkan foto dinamik fleksi-

ekstensi dinamik lateral mungkin tidak menunjukkan ketidakstabilan akut akibat adanya refleks kontraksi otot serta spame. Karenanya penting untuk memulai tindakan terhadap cedera tulang belakang servikal akut yang tidak stabil menggunakan alat ortotik eksternal hingga respon akut terhadap trauma berkurang dan pencitraan dinamik berikutnya akan dapat memastikan kestabilan. Walau konsep dua kolom dari tulang belakang tidak berguna dalam memahami mekanisme cedera yang terjadi akibat kekuatan yang predominan fleksi atau ekstensi, redefinisi yang lebih mutakhir atas kolom tulang belakang untuk memasukkan kolom tengah memberikan keuntungan besar dalam hal biomekanik dan klinik. Konsep tiga kolom yang semula digunakan pada tulang belakang toraks dan lumbar tampaknya jelas dapat digunakan dengan baik pada tulang belakang servikal bawah. Kolom posterior dibentuk oleh arkus neural posterior, proses spinosus, proses artikuler fasetal, dan kompleks ligamen posterior yang bersangkutan. Kolom tengah terdiri dari sepertiga posterior badan ruas tulang belakang serta annulus fibrosus dan ligamen longitudinal posterior. Kolom anterior terdiri dari ligamen longitudinal anterior dan duapertiga anterior dari badan ruas tulang belakang serta annulus fibrosus. Sebagai pendekatan pertama, bila dua atau lebih kolom mengalami disrupsi, maka ketidakstabilan tulang

belakang akuta terjadi dan dapat diprediksi kemungkinan ketidakstabilan yang terjadi kemudian. Cedera yang mengenai satu kolom umumnya tidak berakibat ketidakstabilan.

Tabel Klasifikasi Mekanistik Cedera Osseomuskuloligamentosa dari Tulang Belakang Servikal Bawah (GW. Sypert) ------------------------------------------------------I. Fleksi A. Dislokasi anterior (sprain hiperfleksi) B. Dislokasi faset bilateral (locked facet) C. Fraktura kompresi baji sederhana D. Fraktura Clay-Shoveler (avulsi proses spinosus) E. Fraktura teardrop fleksi II. Fleksi-Rotasi A. Dislokasi faset unilateral III. Kompresi Vertikal (beban aksial) A. Fraktura Burst IV. Ekstensi A. Dislokasi hiperekstensi (sprain hiperekstensi) B. Fraktura laminer C. Fraktura-dislokasi hiperekstensi V. Ekstensi-Rotasi A. Fraktura massa (pilar) lateral VI. Fleksi Lateral

A. Fraktura proses unsinat -------------------------------------------------------

CEDERA TULANG BELAKANG SERVIKAL BAWAH

Tindakan terhadap cedera serta ketidakstabilan tulang belakang servikal bawah tetap kontroversial. Ketidakseragaman termasuk hal immobilisasi ortotik eksternal, dekompresi bedah, dan stabilisasi bedah, baik secara umum maupun secara spesifik. Selain itu, jenis alat untuk stabilisasi eksternal yang memadai untuk cedera spesifik seperti juga mengenai jenis yang optimal dari stabilisasi bedah untuk cedera yang spesifik tetap diperdebatkan.

Cedera Fleksi

Dislokasi Anterior

Dislokasi (subluksasi) anterior diakibatkan disrupsi terbatas berat kompleks ligamen posterior. Cedera ini khas pada foto polos lateral dengan angulasi hiperkifotik tulang belakang servikal yang terbatas pada segmen bergerak yang terkena. Ia berkaitan dengan 20-30

persen insidens ketidakstabilan yang tertunda akibat gagalnya penyembuhan ligamen. Subluksasi anterior (sprain hiperfleksi) tulang belakang servikal bawah jarang berkaitan dengan cedera kord tulang belakang servikal. Keluhan tersering adalah nyeri leher dan spasme otot pasca cedera. Foto polos lateral sering bernilai diagnostik. Tetapi lesi ini mungkin terlalaikan bila pasien pada posisi terlentang atau ekstensi saat foto diambil. Karenanya foto fleksiekstensi dinamik mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Pengelolaan dislokasi anterior dimulai non bedah. Bila terdapat subluksasi anterior, harus direduksi dengan ekstensi atau traksi skeletal. Pemakaian ortosis vest halo, mempertahankan alignment tulang belakang selama 10-12 minggu memberikan kemungkinan terbaik untuk penyembuhan ligamen. Bila ketidakstabilan menetap walau sudah dengan immobilisasi eksternal, maka fiksasi internal posterior dan fusi pada segmen bergerak yang terkena akan memadai. Untuk pasien yang tidak dapat mentolerasi immobilisasi eksternal yang rigid, dapat dipertimbangkan tindakan operasi posterior dini.

Dislokasi Faset Bilateral

Subluksasi anterior tulang belakang servikal bawah

dengan dislokasi faset bilateral biasanya akibat dari cedera hiperfleksi-shear yang berat. Interlocking biletaral terjadi bila faset artikuler inferior tulang belakang sebelah atas yang mengalami dislokasi bergeser kedepan diatas faset superior dari tulang belakang dibawahnya. Cedera ini adalah cedera ligamen tiga kolom yang serius; yaitu adanya ruptur kompleks ligamen posterior, kapsula sendi, diskus intervertebral, serta biasanya ligamen longitudinal anterior dan posterior. Karenanya dislokasi ini akan sangat tidak stabil dan perhatian yang besar harus diberikan bila dilakukan reduksi tertutup. Traksi skeletal servikal berlebihan akan menyebabkan cedera distraksi kord tulang belakang servikal. Dislokasi faset bilateral terjadi sekitar 5 persen dari cedera tulang belakang servikal berat. Umumnya (sekitar 80 %), mielopati transversa lengkap yang irreversibel tampil saat kejadian akibat rusaknya kord tulang belakang karena dislokasi tulang belakang. Hal yang sama, fungsi akar saraf ditingkat dislokasi akan hilang akibat traksi, kompresi atau avulsi. Foto lateral menunjukkan subluksasi anterior ruas tulang belakang sebelah rostral sekitar 50 % atau lebih dari permukaan badan ruas tulang belakang. Pada foto anteroposterior tampak tidak ada atau adanya sedikit pergeseran proses spinosus. Pengelolaan optimal dislokasi faset bilateral yang

disertai locking tetap kontroversial. Umumnya prioritas yang besar diberikan pada reduksi tertutup segera dari dislokasi memakai traksi skeletal dan manipulasi atau reduksi secara bedah dini melalui pendekatan posterior bila cara tertutup tidak berhasil. Maiman melaporkan bahwa reduksi secara dini gagal memperbaiki perbaikan neurologis yang berarti. Ia tidak menganjurkan reduksi segera. Hal yang sama, tidak tampak perbaikan akar saraf dengan reduksi dini maupun tunda. Sekitar 60 % dislokasi faset bilateral menyembuh dengan ankilosis interbody spontan dengan stabilisai vest halo setelah 12 minggu. Bila badan ruas tulang belakang mengalami kompresi yang bersamaan dengan dislokasi faset, insidens ketidakstabilan kronik sekitar 66 %. Karenanya fiksasi internal posterior dini disertai fusi akan merupakan pilihan yang beralasan dibanding immobilisasi dengan vest halo jangka panjang. Pasien dengan ketidakstabilan tertunda pada saat atau setelah dilakukan tindakan dengan stabilisasi tertutup, diindikasikan untuk artrodesis bedah posterior. Fiksasi internal aman dilakukan bersamaan dengan 'tension band wiring' proses spinosus secara posterior atau dengan klem interlaminer. Fusi secara bedah dengan pendekatan anterior saja tanpa dengan penguatan ligamen posterior mempunyai angka kegagalan yang tinggi. Walau umumnya dianggap bahwa operasi dekompresi jarang diindikasikan pada pasien dengan dislokasi faset

bilateral, Maiman melakukan dekompresi anterior untuk merekonstruksi anatomi normal kanal spinal yang tetap memperlihatkan adanya effek massa ventral walau sudah dilakukan reduksi optimal dengan traksi skeletal. Yang penting, fungsi akar saraf dan kord tulang belakang tampaknya membaik dengan tindakan bedah. Dekompresi anterior satu tahap yang digabung dengan artrodesis posterior lebih disukai apabila dilakukan dekompresi anterior.

Fraktura Kompresi Baji Sederhana

Fraktura kompresi sederhana adalah akibat dari cedera hiperfleksi dengan kekuatan yang cukup untuk terjadinya impaksi satu ruas tulang belakang terhadap ruas tulang belakang dibawahnya. Fraktura ini khas dengan impaksi endplate superior dan impaksi serta angulasi kifotik tepi superior anterior badan ruas tulang belakang yang terkena, yang tampak pada foto lateral. Walau beberapa pasien dengan cedera ini tanpa disertai cedera neurologis, sebagian besar akan mengalami kerusakan kord tulang belakang. Pengelolaan awal cedera ini adalah realignment tertutup. Alignmnet optimal untuk fraktura kompresi baji biasanya didapat dengan traksi skeletal pada pasien yang berbaring. Elevasi ringan bahu pasien agar

tulang belakang servikal sedikit ekstensi sering membantu. Sebagian menganjurkan beban yang besar (25-30 kg) untuk mendapatkan alignment yang optimal dan mengembalikan tinggi badan ruas tulang belakang. Lalu traksi dipertahankan dengan beban ini selamam beberapa hari diikuti reduksi beban perlahan dalam 2-3 minggu berikutnya untuk mempertahankan reduksi. Traksi skeletal dipertahankan 3-4 minggu untuk memungkinkan badan ruas tulang belakang sebelah anterior kembali kekonfigurasi normalnya, diikuti pemakaian vest halo selama 8 minggu. Bila foto awal menunjukkan disrupsi ligamen posterior, dilakukan pemakaian vest halo dini setelah reduksi dan stabilisasi, dan dicadangkan untuk tindakan bedah bila ketidakstabilan tertunda (delayed) tampil saat atau setelah masa immobilisasi eksternal rigid. Pasien dengan kelainan neurologis yang menetap setelah realignment dan stabilisasi optimal, pencitraan neurodiagnostik yang memadai (CT scan, mielografi) harus dilakukan untuk menentukan adanya lesi neurokompresif. Bila ada, biasanya terletak dianterior elemen saraf. Bila lesi ini adalah suatu diskus intervertebral yang mengalami herniasi, sering pada satu tingkat diatas ruas tulang belakang yang mengalami kompresi. Dekompresi bedah dengan rekonstruksi kanal spinal untuk lesi massa yang terletak diventral akan memerlukan pendekatan anterior. Tandur penyangga

anterior yang memadai, artrodesis posterior apabila kompleks ligamen posterior robek, dan immobilisasi eksternal rigid pasca bedah diperlukan bila dilakukan dekompresi anterior. Pengelolaan optimal lesi ini tetap diperdebatkan. Pada fraktura baji sederhana tanpa kerusakan ligamen posterior, angka insidens ketidakstabilan tertunda (deformitas kifotik progresif) sekitar 10-15 persen pada pasien yang dikelola dengan immobilisai dengan vest halo. Karenanya pasien dengan lesi tulang yang bersamaan dengan adanya kerusakan ligamen posterior dinasehatkan bahwa stabilisasi bedah mungkin diperlukan untuk mendapatkan stabilitas tulang belakang walau sudah dengan 12 minggu immobilisasi eksternal. Untuk pasien, baik yang dengan cedera kolom anterior maupun posterior yang tidak dapat mentolerasi immobilisasi rigid, dapat dilakukan stabilisasi bedah dini.

Fraktura Clay-Shoveler

Adalah fraktura avulsi proses spinosus ruas tulang belakang servikal bawah (satu atau lebih). Proses spinosus C7 paling sering terkena, diikuti C6 dan T1. Ia terjadi bila kepala dan segmen spinal servikal atas terfleksikan melawan aksi yang berlawanan dari kompleks muskuloligamen posterior. Pada foto lateral, fraktura

ini khas dengan adanya fraktura oblik terbatas pada proses spinosus ruas tulang belakang yang terkena. Karena tulang belakangnya stabil, tindakan terdiri dari immobilisasi dengan ortosis eksternal seperti kolar Philadelphia untuk 8 minggu.

Fraktura Fleksi Teardrop

Disebabkan hiperfleksi berat dengan disrupsi lengkap diskus intervertebral dan semua ligamen dari ketiga kolom bersamaan dengan fraktura oblik bagian anterior inferior badan ruas tulang belakang bersangkutan. Foto lateral akan menampakkan fraktura triangular bagian anteroinferior badan ruas tulang belakang, atau lebih sering, fraktura triangular atau kuadrilateral yang lebih besar bagian anterior badan ruas tulang belakang. Badan ruas tulang belakang tergeser keposterior dan fragmen anteriornya tergeser keanterior. Ruas tulang belakang yang terkena terkompresi, dengan penyempitan diskus intervertebral serta deformitas kifotik tulang belakang servikal. Fraktura teardrop sangat tidak stabil dan umumnya merupakan cedera mematikan. Biasanya bersamaan dengan mielopati transversa lengkap atau sindroma kord tulang belakang servikal berat. Pengelolaan awal adalah tindakan stabilisasi dan

realignment dengan traksi skeletal. Bila alignment optimal dapat dicapai, kanal spinal dapat pulih pada kebanyakan kasus. Pengelolaan selanjutnya tetap kontroversial. Beberapa menganjurkan tetap mempertahankan traksi skeletal selama 4 minggu diikuti 8 minggu dengan vest halo. Kebanyakan ahli menyukai pemakaian dini vest halo dan dilanjutkan hingga 10-12 minggu. Insidens stabilitas tertunda adalah 10-15 % pada setiap jenis cedera. Bila dekompresi bedah anterior dilakukan untuk kompresi neurologik anterior yang persisten, artrodesis posterior yang diikuti pemakaian ortosis eksternal rigid mungkin diindikasikan.

Cedera Fleksi-Rotasi

Dislokasi Faset Unilateral

Tampaknya diakibatkan oleh tenaga vektor fleksi dan rotasi yang simultan. Terdapat adanya dislokasi faset unilateral pada satu tingkat disisi yang berlawanan dengan arah rotasinya. Biasanya faset rostral yang berdislokasi tergeser keanterior dari faset kaudal dan menjadi berbentuk baji atau locked pada foramen neural intervertebral dianterior tepi rostral faset kaudal. Kapsula faset dan kompleks ligamen posterior disrupsi. Ligamen longitudinal anterior dan posterior serta

diskus intervertebralnya juga cedera. Fraktura impaksi masing-masing massa faset sendi yang terkena mungkin juga terjadi. Semua fraktura ini mungkin mengakibatkan reduksi tertutup akan menjadi sulit. Cedera akar saraf ipsilateral sering menyertai cedera ini. Cedera kord spinal terjadi pada sekitar 25 % kasus. Foto lateral khas dengan pergeseran kedepan (30 % atau kurang) ruas tulang belakang sebelah rostral yang mengalami dislokasi pada ruas tulang belakang disebelah kaudalnya. Tulang belakang yang mengalami rotasi akan memperlihatkan pinggir posterior ganda yang sempit dan pasangan massa artikulernya tidak segaris (konfigurasi faset ganda). Tampilan foto anteroposterior, proses spinosus pada dan diatas tingkat dislokasi mengalami rotasi, dan tergeser menuju sisi kompleks faset yang mengalami dislokasi. Walau dislokasi faset unilateral dengan locking adalah cedera yang stabil dan akan membaik tanpa ketidakstabilan bila ditindak dengan cara immobilisasi eksternal, cedera ini menyebabkan nyeri kronik dan memiliki insidens cedera akar saraf sangat tinggi. Karenanya faset yang berdislokasi harus direduksi dengan traksi skeletal tertutup bila memungkinkan. Manipulasi hati-hati saat melakukan traksi skeletal diperlukan untuk mendapatkan reduksi tertutup. Bila reduksi tertutup tidak berhasil, reduksi terbuka secara bedah akan mudah dikerjakan bila dilakukan selama 2

minggu pertama sejak cedera. Kebanyakan pasien yang berhasil dengan reduksi tertutup mungkin selanjutnya akan efektif bila dilakukan immobilisasi dengan vest halo selama 12 minggu. Insidens ketidakstabilan tunda setelah immobilisasi dengan vest halo sekitar 15 %. Beberapa menganjurkan fiksasi internal posterior dengan kawat atau klem interlaminar disertai fusi untuk mencegah redislokasi dan ketidakstabilan kronis.

Cedera Kompresi Vertikal (Beban Aksial)

Fraktura Burst

Akibat dari tenaga kompresif vertikal terhadap aksis longitudinal tulang belakang servikal bawah. Beban aksial ini mengakibatkan fraktura kominuta badan ruas tulang belakang dengan retropulsi fragmen badan ruas tulang belakang kekanal spinal. Suatu fraktura elemen posterior, terutama fraktura laminar, hampir selalu terjadi. Cedera kord spinal serius sering terjadi. Foto lateral menunjukkan hilangnya ketinggian badan ruas tulang belakang dengan kominuta dari badan ruas tulang belakang dengan akibat berbagai tingkat retropulsi fragmen tulang badan posterior kekanal spinal. Tidak terdapat distraksi elemen posterior. Foto anteroposterior sering menunjukkan garis fraktura

vertikal melalui badan ruas tulang belakang. Pencitraan CT aksial memperlihatkan fraktura badan ruas tulang belakang serta umumnya dengan fraktura elemen posterior. Pengelolaan fraktura ini juga kontroversial. Berbagai hal akan serupa dengan fraktura teardrop.

Cedera Ekstensi

Cedera hiperekstensi tulang belakang servikal bawah diakibatkan kekuatan vektor yang mengarah keposterior dengan akibat rotasi posterior dan/atau translokasi ruas tulang belakang servikal. Setiap cedera mungkin hanya menampilkan sedikit bukti radiografik atas kerusakan kolom spinal akut. Pada dislokasi hiperekstensi atau sprain, proses spinosus serta massa lateral bertindak sebagai filcrum, menyebabkan ligamen longitudinal anterior dan diskus anterior menjadi ruptur. Pemeriksaan radiografik mungkin normal. Bukti radiografik cedera ini antaranya pembengkakan jaringan lunak prevertebral, pelebaran ruang diskus intervertebral, fraktura avulsi anterior yang kecil, dan alignment yang normal ruas tulang belakang servikal. Fraktura laminer terbatas mungkin terjadi sehubungan dengan kompresi elemen posterior. Cedera ini relatif stabil. Cedera Kord spinal, biasanya sindroma kord sentral, merupakan konsekuensi yang umum dari cedera

ini pada pasien dengan stenosis spinal servikal (pada pasien muda dengan stenosis kongenital dan/atau 'block vertebae' dan pasien tua dengan spondilosis servikal degeneratif dan/atau ossifikasi ligamen longitudinal posterior). Pengelolaan dislokasi hiperekstensi tanpa defisit neurologik biasanya simtomatis. Pasien dengan cedera kord spinal akut, pengelolaan awal umumnya termasuk pemakaian traksi skeletal walau kolar servikal mungkin efektif untuk immobilisasi. Bila digunakan, biasanya 5 kg, diperlukan untuk mempertahankan alignment optimal. Pasien yang memperlihatkan perbaikan dini atas defisit neurologisnya (selama 48 jam pertama setelah cedera) memiliki harapan paling besar akan fungsi neurologis yang sempurna. Setelah defisit neurologis stabil, pencitraan neuroradiologis (CT mielografi) pada umumnya diindikasikan untuk menentukan apakah terdapat kompresi neural yang persisten. Bila mielografi dilakukan dini, sering terlihat kord spinal yang melebar karena pembengkakan. Dekompresi bedah yang memadai mungkin diperlukan, baik dengan pendekatan anterior maupun posterior tergantung lokasi lesi neurokompresi. Fraktura-dislokasi hiperekstensi akibat dari suatu tenaga vektor hiperekstensi rotatori yang hebat, yang menyebabkan cedera kompresi elemen posterior, termasuk massa artikuler, pedikel, lamina, dan proses spinosus. Badan ruas tulang belakang sering mengalami subluksasi

kedepan. Diskus intervertebral mengalami disrupsi dan ligamen longitudinal anterior mungkin robek menyebabkan fraktura avulsi kecil baik pada sudut anteroinferior badan ruas tulang belakang diatas diskus yang terkena atau pada sudut anterosuperior badan ruas tulang belakang dibawah diskus yang terkena. Pasien dengan cedera ini mungkin dengan atau tanpa cedera neurologis serius. Bagaimanapun cedera ini sangat tidak stabil dan membawa risiko cedera kord spinal yang baru maupun bertambah bila tidak dikelola dengan baik. Foto polos lateral bisa memperlihatkan subluksasi anterior atau posterior yang ringan hingga sedang dari badan ruas tulang belakang. Fraktura kompresi massa lateral atau proses spinosus mungkin tampak baik pada foto lateral maupun anteroposterior. Pencitraan CT seksi tipis dengan rekonstruksi sagital dan koronal jelas menunjukkan perluasan cedera tulang. Pengelolaan cedera ini pada awalnya memerlukan pemakaian traksi skeletal untuk mendapatkan alignment optimal. Umumnya beban yang berlebihan dihindarkan untuk mencegah distraksi berlebihan dengan risiko timbulnya cedera neurologis. Pasien tanpa defisit neurologis dan dengan tanpa lesi neurokompresi mungkin dirawat dengan immobilisasi vest halo untuk masa 12 minggu. Insidens ketidakstabilan tunda tampaknya sangat rendah. Perawatan optimal dengan defisit neurologis persisten dan lesi neurokompresif adalah kompleks dan

sangat individual, dan juga kontro-versial.

TINDAKAN BEDAH

Indikasi tindakan bedah pada cedera dan ketidakstabilan tulang belakang servikal bawah ada dua: (1) dekompresi neural dan (2) reduksi-stabilisasi. Walau pengetahuan mutakhir tentang biomekanik ketidakstabilan tulang belakang serta pengertian akan dekompresi neural yang adekuat saat ini sangat meningkat, indikasi dekompresi dan stabilisasi secara bedah tetap kontroversial. Namun kemajuan terakhir mengarahkan kepada penggunaan tindakan bedah yang lebih rasional dengan tehnik yang modern untuk merawat kompresi neural dan ketidakstabilan servikal traumatika. Sasaran tindakan bedah adalah (1) mencegah cedera elemen neural, (2) melakukan dekompresi terhadap elemen neural, (3) memaksimalkan perbaikan neurologis, (4) mencegah ketidakstabilan dan deformitas tulang belakang tertunda (delayed) dengan risiko terkait berupa kehilangan tertunda dari fungsi neurologis, dan (5) untuk memungkinkan mobilisasi serta rehabilitasi dini pasien yang akan berhubungan dengan pengurangan morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan berbaring dan perawatan dirumah sakit yang lama. Penilaian neurodiagnostik yang teliti dan lengkap penting untuk menaksir dengan tepat atas cedera dan

stabilitas tulang belakang servikal bawah untuk mendapatkan kepastian akan patologi-anatomi dan biomekanik cedera bila dipertimbangkan suatu tindakan operasi. Pada pasien dengan perbaikan neurologis yang persisten tidak lengkap atau dengan defisit neurologis yang transien setelah tindakan reduksi eksternal dan immobilisasi yang adekuat, cukup untuk memperkirakan perlunya operasi dekompresi, secara khusus dicari adanya gangguan terhadap kanal spinal oleh fragmen tulang, materi diskus, atau hematoma yang akan mencegah perbaikan lebih lanjut atau mengakibatkan kerusakan tunda fungsi neurologis. CT mielografi (CT scan dengan penguatan kontras LCS) tampaknya menjadi prosedur diagnostik terpilih untuk menentukan secara tepat lokasi serta derajat lesi neuro kompresif. Tergantung lokasi lesi massa menekan elemen saraf, pendekatan bedah yang memadai dapat dipilih untuk mendapatkan dekompresi secara adekuat atas elemen neural. Tindakan stabilisasi juga direncanakan untuk memperbaiki ketidakstabilan untuk meminimalkan komplikasi tindakan. Setiap kasus dengan ketidakstabilan tulang belakang servikal, pencitraan diagnostik yang memadai penting untuk mendapatkan kemungkinan kekuatan vektor biomekanik yang bertanggung-jawab atas cedera. Tindakan yang dipilih harus dirancang melawan kekuatan yang mengakibatkan ketidakstabilan atau deformitas tulang belakang bila tulang belakang servikal yang stabil

sudah didapatkan dan dipertahankan. Bila kekuatan ini tidak cukup memadai melawan, kegagalan mekanik tulang belakang servikal akan menjadi konsekuensi. Saat untuk melakukan tindakan bedah pada cedera tulang belakang servikal bawah sesuai dengan makin bertambahnya pengetahuan akan cara terjadinya cedera neurologis dan osseomuskuloligamentosa tulang belakang servikal serta penggunaan yang rasional tehnik dan pendekatan bedah yang lebih baik. Juga harus selalu diperhitungkan adanya faktor yang terjadi bersamaan. Sekitar 60 persen pasien dengan cedera tulang belakang servikal berat mengalami cedera organ utama lainnya. Karenanya jangan memperberat keadaan yang mengancam nyawa dengan melakukan operasi tambahan. Dekompresi dan/atau stabilisasi servikal secara bedah ditunda hingga keadaan pasien memungkinkan dioperasi tanpa risiko tambahan. Hal yang penting adalah kegagalan respiratori, terutama pada pasien dengan cedera tulang belakang servikal dengan suatu insufisiensi pulmoner diperberat oleh paralisis neurologis otot interkostal. Penaksiran pra bedah atas fungsi respirasi berguna untuk menentukan saat operasi yang non gawat darurat. Dianjurkan operasi yang bukan gawat darurat ditunda bila kapasitas vital pasien kurang dari 700-800ml untuk mencegah kegagalan respirasi pasca bedah. Pada pasien dengan cedera tulang belakang servikal bawah tanpa adanya defisit neurologis, tindakan bedah

dilakukan hanya bila setelah semua masalah medikal sudah diperbaiki serta kolom tulang belakang servikal sudah direduksi serta diimobilisasi dengan cara eksternal. Anjuran ini termasuk untuk pasien dengan cedera yang tak dapat secara aman dilakukan realigned engan cara eksternal. Reduksi terbuka ditunda, dan immobilisasi kolom tulang belakang secara eksternal, hingga keadaan yang mengancam jiwa dapat diatasi. Saat melakukan tindakan bedah tetap kontroversial, berdasarkan pada defisit neurologis, lengkap atau tidak lengkap, dengan bukti neurodiagnostik adanya kompresi menetap elemen saraf setelah reduksi tertutup. Indikasi untuk operasi segera atau emergensi adalah perburukan neurologis dengan adanya kompresi elemen neurologis oleh tulang, jaringan lunak, atau hematoma.

RINGKASAN

Tindakan optimal atas ketidakstabilan tulang belakang servikal bawah memerlukan pengetahuan yang luas akan anatomi, fisiologi, biomekanik, patologi dan riwayat cedera kolom tulang belakang servikal, kord tulang belakang, dan akar saraf, seperti halnya juga manfaat dan kerugian metoda tindakan yang tersedia. Pencegahan atas cedera ini adalah tujuan terpenting. Pencegahan, peningkatan pemahaman atas kelainan tulang belakang,

disertai perbaikan pendekatan dan tehnik bedah jelas menambah kemampuan kita untuk mengoptimalkan tindakan terhadap pasien yang menderita ketidakstabilan tulang belakang.