BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Anestesi 1.1...

31
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Anestesi 1.1 Defenisi Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001). 1.2 Sejarah Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika Universitas Sumatera Utara

Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Anestesi 1.1...

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anestesi

1.1 Defenisi

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan

aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008).

Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun

1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena

anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri

pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk

menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien (Latief, dkk, 2001).

1.2 Sejarah

Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat

mungkin untuk meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk

amputasi kaki dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique

Larrey, ketua tim dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia

yang sangat terkenal telah mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti

oksida nitrogen dapat mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali

menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika

Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika

Universitas Sumatera Utara

Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William Morton

karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit

di depan umum pada tahun 1846.

Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan John Snow yang

banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak digunakan

untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson

dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari

anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri.

Di dunia waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap

rasa sakit adalah bagian kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti

melawan kodrat itu. Namun, oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu

Victoria menggunakannya saat melahirkan Pangeran Leopold tahun 1853.

Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh John Snow. Tindakan

Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum tentang anestesi.

Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama semakin

diperhitungkan (Ismunandar, 2006).

1.3 Klasifikasi

Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja.

Namun, secara umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan

menjadi tiga golongan yaitu anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).

1.3.1 Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu

menghambat konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh

Universitas Sumatera Utara

yang spesifik (Biworo, 2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan

dengan hilangnya kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga

diistilahkan dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri

yang hilang bersifat setempat (lokal) (Bachsinar, 1992).

Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk banyak

hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti

sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang

disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008).

Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk

tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat

hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi,

bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan

tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).

1.3.2 Anestesi Regional

Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang

pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi

yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi

usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan

obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu

saraf utama yang ada di dalam tulang belakang. Sehingga, obat anestesi mampu

menghentikan impuls saraf di area itu.

Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf

tadi lalu terhambat dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat

anestesi atau efek mati rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal.

Universitas Sumatera Utara

Pada kasus bedah, bisa membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh

karena tidak mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien

yang sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,

walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).

1.3.3 Anestesi Umum

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga

dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri

secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja,

2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang

memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya

pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,

dan lain-lain (Joomla, 2008).

Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,

menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.

Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi

jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama

operasi dilakukan (Joomla, 2008).

Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American

Society of Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien

pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai

berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA

2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena

penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan

hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan

Universitas Sumatera Utara

febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang

diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi

dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA

4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam

kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam

walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis

krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai

pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E = emergency),

misalnya ASA 1 E atau III E.

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi

atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan

hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus,

dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi

involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium

pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut

kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,

hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3

bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan

terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal

masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.

Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial

semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan

respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.

Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis

Universitas Sumatera Utara

otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran

seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal (Archibald, 1966).

1.4 Obat-obat Anestesi dan Metode Pemberiannya

1.4.1 Obat-obat Anestesi Lokal

Anestetika lokal atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat

yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-

impuls saraf ke SSP (Tjay, 2002). Luasnya daerah anestesi tergantung tempat

pemberian larutan anestesi, volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya

(Siahaan, 2000).

Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.

Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal

menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls.

Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf

pusat, ganglia otonom, cabang–cabang neuromuskular dan semua jaringan otot

(Siahaan, 2000).

Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat

yang digunakan sebagai anestetika lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan,

tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas

sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada

selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu

yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga

tahan terhadap pemanasan/sterilisasi (Tjay, 2002). Biworo (2008) juga

Universitas Sumatera Utara

menyatakan bahwa anestetika yang ideal adalah anestetika yang memiliki sifat

antara lain tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen, onset cepat, durasi

cukup lama, larut dalam air, stabil dalam larutan, dan dapat disterilkan tanpa

mengalami perubahan.

Struktur dasar anestetika lokal pada umumnya terdiri dari suatu

gugus-amino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan

ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil (Tjay, 2002).

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi

dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu

golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme

dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan

Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain dan

Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,

Etilklorida, dan Cryofluoran ( Siahaan, 2000).

Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-

obatan anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-

obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada di

area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak

(Joomla, 2008).

1.4.2 Obat-obat Anestesi Regional

Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu

secara blok sentral dan blok perifer (Latief, 2001).

1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).

Universitas Sumatera Utara

Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal,

Epidural dan Kaudal (Latief, 2001).

a. Anestesi Spinal

Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi

regional ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal

antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis

obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien,

obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Abidin, 2008).

b. Anestesi Epidural

Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan

obat pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada

ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan dan

di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Bachsinar, 1992).

Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas

berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal.

Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan penanggulangan nyeri

pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan tekanan darah saat

pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum

ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).

c. Anestesi Kaudal

Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural,

karena ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan

di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum

sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan

Universitas Sumatera Utara

ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus,

felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).

2. Blok Perifer (Blok Saraf)

Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok

perifer. Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena.

Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit.

Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga

daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan

bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus

dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Bachsinar,

1992).

1.4.3 Obat-obat Anestesi Umum

Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin,

pertimbangan utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan

pada beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis

operasi yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia (Admin,2008).

Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak

menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau

jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi

otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan

(Gan, 1987). Obat anestesi umum yang ideal menurut Norsworhy (1993)

Universitas Sumatera Utara

mempunyai sifat-sifat antara lain : pada dosis yang aman mempunyai daya

analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mula kerja obat yang

cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat tersebut

harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang luas,

tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien.

Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total

adalah N2O, halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi

umum yang ideal haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam

lemak, larut dalam darah, tidak meracuni end-organ (jantung, hati, ginjal), efek

samping minimal, tidak dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien

(Kumala, 2008).

1.5 Pemilihan Teknik Anestesi pada Pasien

Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan

kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor–faktor

pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional

ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi

resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernapasan,

infark miokardial, dan gagal ginjal (Admin, 2007).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan anestesi antara lain:

keterampilan dan pengalaman ahli anestesi dan ahli bedah, tersedianya obat dan

peralatan, kondisi klinis pasien, waktu yang tersedia, tindakan gawat darurat atau

efektif, keadaan lambung, dan pilihan pasien. Untuk operasi kecil (misalnya

Universitas Sumatera Utara

menjahit luka atau manipulasi fraktur lengan), jika lambung penuh, maka pilihan

yang terbaik adalah anestesi regional. Untuk operasi besar gawat darurat, anestesi

regional atau umum sangat kecil perbedaannya dalam hal keamanannya.

1.6 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi

1.6.1 Komplikasi Anestesi

Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat dicetuskan

oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien (Thaib, 1989). Komplikasi

segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau kemudian segera ataupun

belakangan setelah pembedahan.

Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak

diduga walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik

(Thaib, 1989). Menurut Ellis & Campbell (1986), secara umum komplikasi

anestesi yang sering dijumpai antara lain:

1. Kerusakan Fisik

Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi

antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.

a. Pembuluh Darah

Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan

memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit di atasnya, infeksi

lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur berdekatan, terutama arteri dan saraf

(Ellis & Campbell, 1986). Beberapa obat yang mencakup Benzodiazepin dan

Universitas Sumatera Utara

Propanidid menyebabkan tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin

menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.

b. Intubasi

Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat intubasi

trachea oleh orang yang tidak berpengalaman. Kerusakan gigi geligi akan terjadi

lebih serius jika disertai kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses

paru. Jika dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat menyebabkan

epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–kadang sonde dapat membentuk

saluran di bawah mukosa hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha

(Ellis & Campbell, 1986). Kerusakan pada struktur tonsila dan larynx (terutama

pita suara) untungnya sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur

yang kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.

c. Saraf Superfisialis

Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf,

seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae, yang menyebabkan

“foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang mandibula, yang menyebabkan

paralisis otot wajah, ulnaris sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang

menyebabkan paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus radialis

sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang menyebabkan “wrist drop”.

Pleksus brachialis dapat dirusak dengan meregangnya di atas caput humeri, jika

lengan diabduksi atau rotasi eksternal terlalu jauh (Ellis & Campbell, 1986).

2. Pernapasan

Universitas Sumatera Utara

Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk

hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,

pneumonia lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, plurisi, dan superinfeksi

(Brunner & Suddarth, 2001).

Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah

obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah induksi anestesi.

Spasme Larynx dan penahanan napas dapat sulit dibedakan serta dapat timbul

sebagai respon terhadap anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan

dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang mencakup sekresi dan

kandungan asam lambung (Ellis & Campbell, 1986). Intubasi yang gagal dapat

menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi lambung, seperti pasien

obstetri dan kedaruratan yang tak dipersiapkan.

Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca bedah,

biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot setelah pemulihan dari

relaksan yang tidak adekuat, depresi sentral dengan opioid dan zat anestesi,

hambatan batuk dan ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri

luka bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif dengan retensi

CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika PO2 dipertahankan dengan

pemberian oksigen.

Gangguan pernapasan mendadak, terutama yang timbul

kemudian adalah konvalesensi, biasanya sebagai akibat embolisme pulmonalis

sekunder terhadap lepasnya thrombus dari vena pelvis atau betis. Thrombus vena

profunda di tungkai dapat diduga, bila pasien mengeluh pembengkakan atau nyeri

tekan otot betis (Ellis & Campbell, 1986). Embolisme pulmonalis bisa tampil

Universitas Sumatera Utara

sebagai hemoptisis atau sebagai kolaps generalisasi yang serupa dengan infark

myocardium mayor, yang kadang–kadang sulit dibedakan.

3. Kardiovaskuler

Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain

hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung (Thaib, 1989). Hipotensi

didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang dari 70 mmHg atau turun lebih

dari 25% dari nilai sebelumnya. Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia

yang diakibatkan oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit

kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan

reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan reaksi transfusi.

Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan

pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh analgesa dan hipnosis

yang tidak adekuat, batuk, penyakit hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi

yang tidak adekuat (Thaib, 1989). Sementara faktor-faktor yang mencetuskan

aritmia adalah hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit, dan

pengaruh beberapa obat tertentu.

4. Hati

Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh halotan.

Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum mungkin jauh lebih lazim,

yang diperkirakan sekitar 100–400 per sejuta pada suatu waktu

(Ellis & Campbell, 1986). Mungkin bahwa zat anestesi mengurangi kemanjuran

susunan kekebalan dan membuat pasien lebih cenderung ke infeksi yang

mencakup hepatitis virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu

mungkin harus dihalangi.

Universitas Sumatera Utara

5. Suhu tubuh

Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan anestesi

menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama pembedahan yang lama,

terutama dengan pemaparan vesera, bisa timbul hipotermi yang parah, yang

menyebabkan pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi perifer

tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika kebutuhan oksigen

meningkat sebagai akibat menggigil selama masa pasca bedah (Ellis

& Campbell, 1986).

1.6.2 Bahaya Anestesi

Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab.

Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya tersebut tidak

diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan baik, maka bencana dapat

terjadi (Bulto & Blogg, 1994). Bahaya lain mungkin tidak berbahaya tetapi

merupakan sumber utama ketidaknyamanan, nyeri, atau iritasi terhadap penderita.

Bahaya anestesi yang mungkin dapat terjadi antara lain:

1. Kematian “dalam keadaan” atau “akibat anestesi”

Kematian dalam keadaan “teranestesi” mungkin tidak

sepenting kematian akibat anestesi, atau komplikasinya. Jika perdarahan masif

yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dikontrol, hal ini tentu saja termasuk

kematian dalam keadaan teranestesi tetapi bukan akibat anestesi walaupun ahli

anestesi telah mempunyai peran yang penting untuk berusaha mempertahankan

hidup penderita dengan secepatnya melakukan transfusi darah

(Bulto & Blogg, 1994).

Universitas Sumatera Utara

2. Bahaya anestesi yang dapat mematikan

Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh hipoksia

dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus kematian dapat

disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak dan /atau jantung baik primer

(yang disebabkan oleh hipoksia respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat

terhentinya sirkulasi setelah henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).Bahaya lain

akibat anestesi yang dapat mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut

karena obat yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.

3. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi

Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat kegagalan

sebagian atau total maupun hambatan terhadap penyediaan oksigen ke otak

(Bulto & Blogg, 1994). Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai

dari sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan atas dan

bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler, dan akhirnya sampai

kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel. Sebagian sel akan pulih dari

hipoksia atau bahkan anoksia yang berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada

otak akan terjadi kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan

oksigen, demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif

(henti jantung) (Bulto & Blogg, 1994).

2 Keperawatan

2.1 Pengertian

Universitas Sumatera Utara

Keperawatan adalah diagnosis dan penanganan respon manusia terhadap

masalah kesehatan aktual maupun potensial (ANA, 2000). Dalam dunia

keperawatan modern respon manusia yang didefinisikan sebagai pengalaman dan

respon orang terhadap sehat dan sakit yang merupakan suatu fenomena perhatian

perawat.

Perawat atau Nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata Nutrix yang

berarti merawat atau memelihara. Harlley Cit ANA (2000) menjelaskan

pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat

atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan

proses penuaan dan perawat profesional adalah perawat yang bertanggungjawab

dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau

berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya

(Depkes RI,2002).

Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis,

membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan

(Carpenito, 1998). Adapun tahap dalam malakukan asuhan keperawatan yaitu :

pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana, implementasi, dan evaluasi.

2.2 Peran dan Fungsi Perawat

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain

terhadap kedudukannya dalam sistem ( Zaidin Ali , 2002). Ahli lain yaitu Kozier

Barbara (1995) memberi defenisi peran sebagai seperangkat tingkah laku yang

diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam, suatu

sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar

Universitas Sumatera Utara

dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari

seseorang pada situasi sosial tertentu.

Menurut Gaffar (1995) peran perawat adalah segenap kewenangan yang

dimiliki oleh perawat untuk menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan

kompetensi yang dimiliki. Peran perawat yang dimaksud adalah cara untuk

menyatakan aktifitas perawat dalam praktik, dimana telah menyelesaikan

pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk

menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai

dengan kode etik professional. Dimana setiap peran yang dinyatakan sebagai ciri

terpisah demi untuk kejelasan.

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada Individu sehat

maupun sakit dimana segala aktifitas yang di lakukan berguna untuk

pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang di miliki, aktifitas ini di

lakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat

mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian,

identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan

evaluasi.

Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai nursing services

menyangkut bidang yang amat luas sekali, secara sederhana dapat diartikan

sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun sehat dari sejak lahir

sampai meningal dunia dalam bentuk peningkatan pengetahuan, kemauan dan

kemampuan yang dimiliki, sedemikian rupa sehingga orang tersebut dapat

secara optimal melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa

Universitas Sumatera Utara

memerlukan bantuan dan ataupun tergantung pada orang lain

(Sieglar cit Henderson, 2000).

Perhatian perawat profesional pada waktu menyelenggarakan

pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil

perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh. Perawat dalam

malakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan.

Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi

asuhan keperawatan, praktek keperawatan, pengelola institusi keperawatan,

pendidikan pasien serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan. (Sieglar, 2000).

Peran yang dimiliki oleh seorang perawat antara lain peran sebagai

pelaksana, peran sebagai pendidik, peran sebagai pengelola, dan peran sebagai

peneliti (Marullah, 2005).

2.2.1 Peran sebagai Pelaksana

Peran ini di kenal dengan “ Care Giver”, yaitu peran perawat

dalam memberikan asuhan keperawatan secara langsung atau tidak langsung

kepada pasien sebagai individu, keluarga dan masyarakat, dengan metoda

pendekatan pemecahan masalah yang disebut proses keperawatan. Pada peran ini,

perawat diharapkan mampu: memberikan pelayanan keperawatan kepada

individu, keluarga , kelompok atau masyarakat sesuai diagnosis masalah yang

terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai pada masalah yang

kompleks; memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan pasien,

Universitas Sumatera Utara

perawat harus memperhatikan pasien berdasarkan kebutuhan signifikan dari

pasien (Marullah, 2005).

Dalam melaksanakan peran ini perawat bertindak sebagai

comforter, protector, advocate, communicator serta rehabilitator (Marullah,

2005). Sebagai comforter perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman

pada pasien. Peran protector dan advocate lebih berfokus pada kemampuan

perawat melindungi dan menjamin hak dan kewajiban pasien agar terlaksana

dengan seimbang dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Peran sebagai

communicator, perawat bertindak sebagai penghubung antara pasien dengan

anggota kesehatan lainya. Peran ini erat kaitanya dengan keberadaan perawat

mendampingi pasien sebagai pemberi asuhan keperawatan selama 24 jam.

Sedangkan rehabilitator, berhubungan erat dengan tujuan pemberian asuhan

keperawatan yakni mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh agar sembuh

dan dapat berfungsi normal (Marullah, 2005).

2.2.2 Peran sebagai Pendidik

Sebagai pendidik perawat berperan dalam medidik individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada dibawah

tanggungjawabnya. Peran ini berupa penyuluhan kepada pasien, maupun bentuk

desimilasi ilmu kepada peserta didik keperawatan (Marullah, 2005).

2.2.3 Peran sebagai Pengelola

Dalam hal ini perawat mempunyai peran dan tanggungjawab

dalam mengelola pelayanan maupun pendidikan keperawatan sesuai dengan

manajemen keperawatan dalam kerangka paradigma keperawatan. Sebagai

Universitas Sumatera Utara

pengelola, perawat memantau dan menjamin kualitas asuhan atau pelayanan

keperawatan serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan

keperawatan. Karena pengetahuan dan pemahaman perawat yang kurang

sehingga pelaksanaan peran perawat pengelola belum maksimal, mayoritas posisi,

lingkup kewenangan dan tanggungjawab perawat hampir tidak berpengaruh dalam

perencanaan dan pengambilan keputusan (Marullah, 2005).

2.2.4 Peran sebagai Peneliti

Sebagai peneliti dibidang keperawatan, perawat diharapkan mampu

mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip dan metoda penelitian

serta memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan mutu asuhan atau

pelayanan dan pendidikan keperawatan. Penelitian di dalam bidang keperawatan

berperan dalam mengurangi kesenjangan penguasaan tehnologi di bidang

kesehatan, karena temuan penelitian lebih memungkinkan terjadinya transformasi

ilmu pengetahuan dan teknologi, selain itu penting dalam memperkokoh upaya

menetapkan dan memajukan profesi keperawatan (Marullah, 2005).

2.3 Peran Perawat dalam Upaya Pencegahan Komplikasi Anestesi

Setelah selesai tindakan pembedahan, pasien harus dirawat sementara di

ruang Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) sampai kondisi

pasien stabil, tidak mengalami komplikasi operasi dan memenuhi syarat untuk

dipindahkan ke ruang perawatan (bangsal perawatan) (Torrance & Serginson,

1997). Post Anestesi Care Unit (PACU) atau Recovery Room (RR) biasanya

terletak berdekatan dengan ruang operasi. Hal ini disebabkan untuk

mempermudah akses bagi pasien untuk perawat yang disiapkan dalam merawat

Universitas Sumatera Utara

pasca operatif (perawat anastesi), ahli anastesi dan ahli bedah, alat monitoring dan

peralatan khusus penunjang lainnya.

Alat monitoring yang terdapat di ruang pemulihan digunakan untuk

memberikan penilaian terhadap kondisi pasien (Torrance & Serginson, 1997).

Jenis peralatan yang ada diantaranya adalah alat bantu pernafasan seperti oksigen,

laringoskop, set trakheostomi, peralatan bronkhial, kateter nasal, ventilator

mekanik dan peralatan suction. Selain itu di ruang ini juga harus terdapat alat

yang digunakan untuk memantau status hemodinamika dan alat-alat untuk

mengatasi permasalahan hemodinamika, seperti : apparatus tekanan darah,

peralatan parenteral, plasma ekspander, set intravena, set pembuka jahitan,

defibrilator, kateter vena, tourniquet, bahan-bahan balutan bedah, narkotika dan

medikasi kegawatdaruratan, set kateterisasi dan peralatan drainase

(Rondhianto, 2998)

Selain alat-alat tersebut diatas, pasien post operasi juga harus

ditempatkan pada tempat tidur khusus yang nyaman dan aman serta memudahkan

akses bagi pasien, seperti pemindahan darurat dan dilengkapi dengan kelengkapan

yang digunakan untuk mempermudah perawatan. Seperti tiang infus, side rail,

tempat tidur beroda, dan rak penyimpanan catatan medis dan perawatan

(Torrance & Serginson, 1997).

.

Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih sepenuhnya dari pegaruh

anastesi, yaitu tekanan darah stabil, fungsi pernafasan adekuat, saturasi oksigen

minimal 95% dan tingkat kesadaran yang baik (Rondhianto, 2998).

Kriteria penilaian yang digunakan untuk menentukan kesiapan pasien

untuk dikeluarkan dari PACU adalah : pasien harus pulih dari efek anestesi, efek

Universitas Sumatera Utara

fisiologis dari obat bius harus stabil, pasien harus sudah sadar kembali dan tingkat

kesadaran pasien telah sempurna, orientasi pasien terhadap tempat, waktu dan

orang, fungsi pulmonal yang tidak terganggu, hasil oksimetri nadi menunjukkan

saturasi oksigen yang adekuat, tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah,

haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam, mual dan muntah dalam kontrol, dan

nyeri minimal (Torrance & Serginson, 1997). Status pasien harus ditulis dan

dibawa ke bangsal masing-masing, jika keadaan pasien membaik, pernyataan

persetujuan harus dibuat untuk kehadiran pasien tersebut oleh seorang perawat

khusus yang bertugas pada unit dimana pasien akan dipindahkan, staf dari unit

dimana pasien harus dipindahkan, perlu diingatkan untuk menyiapkan dan

menerima pasien tersebut (Abrorshodiq, 2009).

Hal-hal yang harus diperhatikan selama membawa pasien ke ruangan

antara lain : keadaan penderita serta order (usulan) dari dokter, mengusahakan

agar pasien jangan sampai kedinginan, kepala pasien sedapat mungkin harus

dimiringkan untuk menjaga bila muntah sewaktu-waktu, dan muka pasien harus

terlihat sehingga bila ada perubahan dapat dipantau dengan segera

(Abrorshodiq, 2009).

2.3.1 Peran perawat pada fase pasca anestesi

Peran perawat pada fase pasca anestesi baik pada bedah mayor

maupun minor sangat dibutuhkan. Peran perawat tersebut merupakan upaya dalam

pencegahan terjadinya komplikasi anestesi yaitu peran pemantauan atau

pengkajian pasca anestesi dan peran penatalaksanaan atau perawatan pasien pasca

anestesi (Latief, 2001; Wijaya, 2008 ).

Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Pemantauan/pengkajian pasca anestesi

Periode segera setelah anestesi adalah periode gawat. Untuk

itu pasien harus dipantau dengan jeli dan harus mendapat bantuan fisik dan

psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari anestesi mulai berkurang dan

kondisi umum mulai stabil (Abrorshodiq, 2009). Pemantauan yang efektif

mengurangi kemungkinan outcomes (akibat) buruk yang bisa terjadi setelah

anesthesia melalui pengidentifikasian kelainan sebelum menimbulkan kelainan

yang serius atau tidak dapat diubah (Murphy & Vender, 2004). Pemantauan

dilakukan segera setelah pasien masuk di ruang PACU atau di ruang mana pasien

telah mendapatkan tindakan anestesi yang meliputi pengkajian sistem pernapasan,

sistem kardiovaskuler, keseimbangan cairan dan elektrolit, sistem persarafan,

sistem perkemihan, dan sistem gastrointestinal .

1. Sistem pernapasan

Pengkajian sistem pernapasan dilakukan dengan cara

memeriksa jalan nafas dengan meletakan tangan di atas mulut atau hidung.

Perubahan pernafasan dikaji antara lain frekuensi pernapasan (Respiratory

Rate/RR), pola pernapasan, kemampuan nafas dalam dan batuk, dan kedalaman

pernapasan (Abrorshodiq, 2009). Pernapasan pendek dan cepat mungkin akibat

nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi lambung, atau obesitas. Pernapasan yang

bising mungkin karena obstruksi oleh sekresi atau lidah

(Brunner & Suddarth, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Selama 2 jam pertama, nadi dan pernafasan diperiksa

setiap 15 menit, lalu setiap 30 menit selama 2 jam berikutnya. Setelah itu bila

keadaan tetap baik, pemeriksaan dapat diperlambat. Bila tidak ada petunjuk

khusus, pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit. Bila ada tanda-tanda syok,

perdarahan dan menggigil perawat segera melaporkan kepada dokter. RR

dibawah 10 kali permenit diduga terjadinya gangguan kardiovaskuler atau

metabolisme yang meningkat. Auskultasi paru dilakukan untuk mengkaji

keadekwatan expansi paru, dan kesimetrisan paru. Pengkajian pernapasan juga

dilakukan melalui inspeksi pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu

pernafasan (diafragma, retraksi sterna), efek anestesi yang berlebihan, dan adanya

obstruksi (Wijaya,

2. Sistem kardiovaskuler

2008).

Pertimbangan dasar dalam mengkaji fungsi kardiovaskuler

adalah memantau pasien terhadap tanda-tanda syok dan hemoragi (Brunner &

Suddarth, 2001). Pengkajian sistem kardiovaskuler yaitu pengkajian sirkulasi

perifer yang meliputi kualitas denyut, warna kulit, temperatur, ukuran ektremitas,

sirkulasi darah, nadi dan suara jantung yang dikaji tiap 15 menit (4 x ), 30 menit

(4x), 2 jam (4x) dan setiap 4 jam selama 2 hari jika kondisi stabil (Abrorshodiq,

2009). Penurunan tekanan darah, nadi dan suara jantung kemungkinan dapat

disebabkan oleh depresi miocard, shock, perdarahan atau overdistensi. Nadi yang

meningkat disebabkan oleh shock, nyeri, dan hypothermia (Wijaya,

2008).

Universitas Sumatera Utara

3. Keseimbangan cairan dan elektrolit

Untuk mengkaji keseimbangan cairan dan elektrolit

pasien pasca anestesi, perawat melakukan inspeksi membran mukosa meliputi

warna dan kelembaban, turgor kulit, dan balutan, mengukur cairan NGT, menilai

out put urine, drainage luka, mengkaji intake/output, memonitor cairan intravena,

dan mengukur tekanan darah (Abrorshodiq, 2009).

4. Sistem Persarafan.

Pengkajian sistem persarafan antara lain pengkajian

fungsi serebral dan tingkat kersadaran pasien. Pada pasien terutama dengan bedah

kepala leher, dikaji respon pupil, kekuatan otot, koordinasi, dan depresi fungsi

motor (Abrorshodiq, 2009).

5. Sistem perkemihan.

Untuk mengkaji sistem perkemihan, perawat menilai

kontrol volunteer fungsi perkemihan harus kembali setelah 6 – 8 jam post

anestesi (Abrorshodiq, 2009). Selain itu perawat juga melakukan inspeksi,

palpasi, dan perkusi abdomen bawah untuk mengetahui adanya distensi buli-buli.

Pada pemasangan kateter dikaji warna, dan jumlah urine. Out put urine kurang

dari 30 ml/jam menandakan terjadinya komplikasi ginjal (Wijaya,

2008).

Universitas Sumatera Utara

6. Sistem Gastrointestinal.

Mual muntah 40 % pasien dengan GA selama 24 jam

pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan

TIK pada bedah kepala dan leher. Perawat mengobservasi keadaan umum,

observavomitus dan drainase. Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk

mengetahui keadaan pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau

muntahan mungkin saja terjadi akibat penagaruh anastesi sehingga perlu dipantau

kondisi vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan obeservasi

terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien (Abrorshodiq, 2009).

Perawat mengkaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Selain itu

juga mengkaji paralitic ileus, suara usus, distensi abdomen, dan

ada atau tidaknya flatus.

Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk

mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga

bertujuan untuk meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada

GI track bawah, memonitor perdarahan, mencegah obstruksi usus, irigasi atau

pemberian obat, serta mengkaji jumlah, warna, dan konsistensi isi lambung

tiap 6 – 8 jam (Wijaya,

Pasien tetap berada dalam PACU sampai pulih

sepenuhnya dari pengaruh anestesi, yaitu pasien telah mempunyai tekanan darah

yang stabil, fungsi pernapasan adekuat, saturasi O2 minimum 95%, dan tingkat

kesadaran yang baik.

2008).

Beberapa petunjuk tentang keadaan yang memungkinkan

terjadinya situasi krisis antara lain: tekanan sistolik < 90 –100 mmHg atau > 150

Universitas Sumatera Utara

– 160 mmHg, diastolik < 50 mmHg atau > dari 90 mmHg, Heart Rate (HR)

kurang dari 60 x menit > 10 x/menit, suhu > 38,3 o C atau kurang < 35 o

Kriteria untuk mentukan tingkat pemulihan diberikan

secara detail pada bagan ruang pemulihan pascaanestesi (Brunner & Suddarth,

2001) :

C,

meningkatnya kegelisahan pasien,dan tidak BAK lebih dari 8 jam post operasi

(Abrorshodiq, 2009).

Tabel 1. Kriteria penentuan tingkat pemulihan pasien pasca anestesi

RUANG PEMULIHAN PASCAANESTESI

Penilaian

Pasien: Nilai akhir: Ruangan: Ahli bedah: Tanggal: Perawat R.R:

Area pengkajian Poin

nilai

Saat

penerimaan

Setelah

1 jam 2 jam 3 jam

Kemampuan untuk bernapas dengan dalam dan batuk

Pernapasan:

Upaya bernapas terbatas

(dispnea atau membebat)

Tidak ada upaya spontan

2

1

0

>80% dari tingkat praanestetik

Sirkulasi: tekanan arteri sistolik

50% sampai 80% dari tingkat praanestetik

<50% dari tingkat praanestetik

2

1

0

Universitas Sumatera Utara

Respon secara verbal terhadap pertanyaan/terorientasi terhadap tempat

Tingkat kesadaran:

Terbangun ketika dipanggil namanya

Tidak memberikan respon terhadap perintah

2

1

0

Warna dan penampilan kulit normal

Warna kulit:

Warna kulit berubah: pucat, agak kehitaman, keputihan, ikterik

Sianosis jelas

2

1

0

Bergerak secara spontan atau atas perintah

Aktivitas otot:

Kemampuan untuk menggerakkan semua ektremitas

Tidak mampu untuk mengontrol setiap ektremitas

Total

2

1

0

Keterangan:

Pasien bisa dipindahkan ke ruang perawatan dari ruang PACU/RR jika nilai

pengkajian post anestesi > 7-8.

2.3.2 Penatalaksanaan/perawatan pasien pasca anestesi

Selain malakukan pengkajian, perawat juga melaksanakan

perannya dalam hal perawatan pasien pasca anestesi. Dalam hal ini pasien harus

Universitas Sumatera Utara

mendapat bantuan fisik dan psikologis yang intensif sampai pengaruh utama dari

anestesi mulai berkurang dan kondisi umum mulai stabil. Banyaknya asuhan

keperawatan yang dilaksanakan segera setelah periode pasca anestesi tergantung

kepada prosedur bedah yang dilakukan (Abrorshodiq, 2009). Hal-hal yang harus

diperhatikan meliput i:

1. Mempertahankan ventilasi pulmonary.

Ventilasi pulmonary dipertahankan dengan memberikan

posisi kepala pasien lebih rendah dan kepala dimiringkan atau setengah telungkup

dengan kepala tengadah ke belakang dan rahang didorong ke depan sampai reflek-

reflek pelindung pulih (Abrorshodiq, 2009). Mempertahankan ventilasi

pulmonary bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi pernapasan seperti

hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis, bronkhopneumonia,

pneumonia, lobaris, kongesti pulmonal hipostatik, pleurisi, dan superinfeksi,

Saluran nafas buatan pada orofaring biasanya terpasang terus setelah pemberian

anestesi umum untuk mempertahankan saluran tetap terbuka dan lidah ke depan

sampai reflek faring pulih. Bila pasien tidak bisa batuk dan mengeluarkan dahak

dan lendir harus dibantu dengan suction. Terapi oksigen sering diberikan pada

pasien pasca operasi, karena obat anestesi dapat menyebabkan lyphokhemia.

Selain pemberian O2

Pada pasien mual dan muntah, pasien benar-benar

dibalikkan miring ke salah satu sisi untuk meningkatkan drainase mulut.

Intervensi keperawatan yang paling penting dibutuhkan ketika terjadi untah adalah

untuk mencegah aspirasi muntahan, yang dapat menyebabkan asfiksia dan

kematian (Brunner & Suddarth, 2001).

harus diberikan latihan nafas dalam setelah pasien sadar.

Universitas Sumatera Utara

2. Mempertahankan sirkulasi.

Hipotensi dan aritmia merupakan komplikasi

kardiovaskuler yang paling sering terjadi pada pasien post anestesi. Untuk itu

pemantauan tanda vital dilakukan tiap 15 menit sekali selama pasien berada di

ruang pemulihan (Abrorshodiq, 2009).

3. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

Pemberian infus merupakan usaha pertama untuk

mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Monitor cairan per infus

sangat penting untuk mengetahui kecukupan pengganti dan pencegah kelebihan

cairan. Begitu pula cairan yang keluar juga harus dimonitor(Abrorshodiq, 2009).

Insersi Naso Gastric Tube (NGT) intra operatif untuk mencegah komplikasi post

operatif dengan decompresi dan drainase lambung juga bertujuan untuk

meningkatkan istirahat, memberi kesempatan penyembuhan pada GI track bawah

(www.Nurseview.com, 2008).

4. Mempertahankan keamanan dan kenyamanan.

Pasien post operasi atau post anestesi sebaiknya pada

tempat tidurnya dipasang pengaman sampai pasien sadar betul. Posisi pasien

sering diubah sesuai dengan potensial pasien untuk mencegah kerusakan saraf

akibat tekanan kepada saraf otot dan persendian. Nyeri yang dirasakan

memerlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan medis

terkait dengan agen pemblok nyerinya (Rhondianto,2008). Pasien yang mulai

sadar memerlukan orientasi dan merupakan tunjangan agar tidak merasa

sendirian. Pasien harus diberi penjelasan bahwa operasi sudah selesai dan

diberitahu apa yang sedang dilakukan (Abrorshodiq, 2009).

Universitas Sumatera Utara