BAB 2 JKGJ
-
Upload
abah-bisol -
Category
Documents
-
view
237 -
download
11
description
Transcript of BAB 2 JKGJ
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Perilaku
2.1.1 Definisi perilaku
Perilaku adalah seluruh aktifitas atau kegiatan yang dapat dilihat ataupun
tidak pada diri seseorang sebagai hasil dari proses pembelajaran. Pendapat lain
yang dikemukakan perilaku adalah apa yang dikerjakan apa yang dikerjakan oleh
organisme baik yang diamati secara langsung maupun diamati secara tidak
langsung (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Azwar (2005), perilaku manusia merupakan hasil dari pada
segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang
terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan dengan perkataan lain,
perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai
tujuan tertentu. Tujuan spesifik tersebut tidak selalu diketahui secara sadar oleh
individu yang bersangkutan. Berikut merupakan definisi perilaku sebagai hasil
dari konstruksi teori-teori dan riset, sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :
a. Perilaku merupakan sesuatu yang disebabkan karena sesuatu hal.
b. Perilaku ditunjukan ke arah sasaran tertentu.
c. Perilaku yang dapat diobservasi dapat diukur.
d. Perilaku yang tidak langsung dapat di observasi (contoh berpikir,
melaksanakan persepsi) juga penting dalam rangka mencapai tujuan-tujuan.
e. Perilaku dimotivasi.
10
11
Menurut Skiner 1938 merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (ransangan dari luar), oleh karena perilaku itu
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian
organisme tersebut merespons. Respons dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
(Notoatmodjo, 2010) :
1. Respondent respons atau reflexive, yaitu respons yang timbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya cahaya terang
menyebabkan mata tertutup. Respons ini mencakup perilaku emosional,
misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih.
2. Operant respons atau instrumental respons, yaitu respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Misalnya
apabila petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian
memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas kesehatan tersebut
akan lebih baik dalam melaksanakan tugasnya.
2.1.2 Bentuk perilaku
Berdasarkan teori Skiner atau S-O-R (stimulus-organisme-respons)
perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Notoatmodjo, 2010) :
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih belum
dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap stimulus yang bersangkutan.
12
2. Perilaku terbuka ( overt behavior)
Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus sudah berupa tindakan
atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar. Respon terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Sumber : Notoatmodjo, 2010Gambar 2.1 Teori Skiner atau S-O-R (stimulus-organisme-respons)
2.1.3 Perubahan perilaku
1. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku kesehatan sebagai tujuan dari promosi atau
pendidikan kesehatan mempunyai tiga dimensi (Notoatmodjo, 2010) :
a) Mengubah perilaku negatif (tidak sehat) menjadi perilaku positif (sesuai
dengan nilai-nilai kesehatan).
b) Mengembangkan perilaku positif (pembentukan atau pengembangan perilku
sehat).
c) Memelihara perilaku yang sudah positif atau perilaku yang sudah sesuai
dengan norma atau nilai kesehatan (perilaku sehat).
Teori S-O-R
STIMULUS ORGANISME RESPON TERTUTUPPengetahuan sikap(COVERT BEHAVIOR)
RESPON TERBUKAPraktik atau tindakan(COVET BEHAVIOR)
13
2. Bentuk perubahan perilaku
Menurut WHO, Bentuk perubahan perilaku dikelompokkan menjadi
tiga (Notoatmodjo, 2010) :
a) Perubahan Alamiah (Natural change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena
kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat
didalamnya juga akan mengalami perubahan.
b) Perubahan Terencana (planned to change)
Perubahan ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh subjek.
c) Kesediaan untuk berubah (Readiness to change
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan dalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat
untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi
sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut.
3. Strategi Perubahan Perilaku
Menurut WHO perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga
(Notoatmodjo, 2010) :
a) Menggunakan kekuatan (Enforcement)
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau
masyarakat, sehingga mau melakukan (berperilaku) seperti yang
diharapkan. Cara ini dapat ditempuh menggunakan cara-cara kekuatan baik
fisik maupun psikis.
14
b) Menggunakan kekuatan peraturan atau hukum (Regulation)
Perubahan perilaku masyarakat melalui peraturan, perundangan, atau
peraturan-peraturan tertulis ini sering disebut “Law Enforcement” atau
”Regulation”. Artinya masyarakat diharapkan berperilaku, diatur melalui
undang-undang secara tertulis.
c) Pendidikan (Education)
Perubahan perilaku kesehatan melalui cara pendidikan atau promosi
kesehatan diawali dengan cara pemberian informasi-informasi kesehatan.
Dengan memberikan informasi-informasi kesehatan tentang cara-cara hidup
sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit, dan
sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hal
tersebut.
2.1.4 Perilaku kesehatan
Menurut Skiner perilaku kesehatan (health behavior) adalah respon
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,
penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat- sakit (kesehatan) seperti
lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik
yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable)
yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo,
2010).
Perilaku kesehatan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua,
(Notoatmodjo, 2010) :
15
1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu
perilaku itu disebut perilaku sehat (healthy behavior) yang mencakup perilaku
(overt dan covert behavior) dalam mencengah atau menghindari dari penyakit
dan penyebab penyakit atau masalah atau penyebab masalah kesehatan
(perilaku preventif) dan perilaku dalam mengupayakan meningkatnya
kesehatan (perilaku promotif).
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan untuk
memperoleh penyembuhan atau pemecahan msalah kesehatan.oleh sebab itu
perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behavior).
Menurut becker (1979) klasifikasi perilaku kesehatan dikelompokkan
menjadi tiga (Notoatmodjo, 2010) :
1. Perilaku sehat (healthy behavior)
Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan
dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan antara lain :
a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). Menu seimbang disini
adalah pola makan sehari-hari yang memenuhi kebutuhan nutrisi, memenuhi
kebutuhan tubuh baik secara jumlahnya (kuantitas), maupun jenisnya
(kualitas).
b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup. Kegiatan fisik disni tidak harus
olahraga, bagi seseorang yang pekerjaannya memang sudah memenuhi
gerakan-gerakan fisik secara rutin dan teratur, sebenarnya sudah sudah dapat
dikatagorikan berolahraga.
16
c. Tidak merokok dan minum-minuman keras serta menggunakan narkoba.
Merokok adalah kebiasaan yang tidak sehat, namun di indonesia jumlah
perokok cenderung meningkat.
d. Istirahat yang cukup, bukan saja berguna untuk memelihara kesehatan fisik,
tetapi juga untuk kesehatan mental.
e. Pengendalian atau manajemen stres. Stres adalah bagian dari kehidupan
setiap orang, tanpa pandang bulu. Semua orang terlepas dari tingkat sosial,
ekonomi, jabatan atau kedudukan dan sebagainya mengalami stress. Stress
tidak dapat dihindari oleh siapa saja, namun yang dapat dilakukan adalah
mengatasi, mengendalikan atau mengelola stress tersebut agar tidak
mengakibatkan gangguan kesehatan, baik kesehatan fisik maupun kesehatan
mental (rohani).
f. Perilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan, adalah tindakan
atau perilaku seseorang agar dapat terrhindar dari berbagai macam penyakit
dan masalah kesehatan, termasuk perilaku untuk meningkatkan kesehatan.
2. Perilaku sakit (ilnes behavior)
Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang
sakit dan terkena masalah atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau
teratasi masalah kesehatan yang lain. Pada saat orang sakit atau anaknya sakit,
ada beberapa tindakan atau perilaku yang muncul, antara lain :
a. Diamkan saja (no action) artinya sakit tersebut diabaikan, tetap menjalankan
kegiatan sehari-hari.
b. Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment
atau self medication). Pengobatan sendiri ada dua cara yaitu cara tradisional
17
(dukun, sinshe dan paranormal) dan cara modern misalnya minum obat yang
dibeli dari apotek atau toko obat.
c. Mencari penyembuhan atau pengobatan keluar yaitu dengan fasilitas
pelayanan kesehatan yang dibedakan menjadi dua yaitu : fasilitas pelayanan
kesehatan tradisional (dukun, sinshe dan paranormal) dan fasilitas
pelayanan modern (puskesmas, poliklinik, dokter atau bidan praktek swasta
dan rumah sakit).
3. Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)
Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran (roles) yang
mencakup hak-haknya (rights), dan kewajiban sebagai orang sakit (obligation).
Perilaku peran orang sakit ini antara lain :
a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.
b. Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat
untuk memperoleh kesembuhan.
c. Melakukan kewajibannya sebagai pasien anatara lain mematuhi nasihat-
nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhan.
d. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi penyembuhan.
e. Melakukan kewahjiban agar tidak kambuh penyakitnya.
2.1.5 Determinan perilaku
Perilaku merupakan bentuk respon dari stimulus. Hal ini berarti meskipun
bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap orang.
Faktor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut determinan perilaku.
Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu (Notoatmodjo, 2010) :
18
a. Faktor Internal yaitu karakteristik orang bersangkutan yang bersifat given atau
bawaan misalnya: kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan
sebagainya.
b. Faktor eksternal yaitu lingkungan misalnya : lingkungan fisik, ekonomi,
politik dan juga bisa dipengaruhi dengan cara memberikan pendidikan
kesehatan. Faktor lingkungan ini sering menjadi faktor yang dominan yang
mewarnai perilaku seseorang.
2.1.6 Domain perilaku
Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku terbuka (overt) dan perilaku
tertutup (covert) seperti telah diuraikan sebelumnya. Tetapi sebenarnya perilaku
adalah totalitas yang terjadi pada orang yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan
membedakan ada tiga yaitu kognitif (cognitive), afektif (afective) dan psikomotor
(psychomotor). Kemudian oleh para ahli pendidikan di Indonesia, ketiga domain
ini diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif) dan karsa (psikomotor),
atau pericipta, perirasa, dan peritindak (Notoatmodjo, 2010).
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan pembagian domain oleh
Bloom ini, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi 3
tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010) :
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga
dan sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas
19
perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang
diperoleh melalui indra pendengaran (telinga) dan indra penglihatan (mata).
Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang
berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya : tahu bahwa buah tomat
banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar,
penyakit demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegepty
dan sebagainya. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu
sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan misalnya : apa tanda-
tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab TBC, bagaimana cara
melakukan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak
sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat
mengintrepretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.
Misalnya orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam
berdarah, bukan hanya sekadar menyebutkan 3M (mengubur, menutup dan
menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup,
menguras dan sebagainya.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang
dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui
20
tersebut pada situasi yang lain. Misalnya seseorang yang telah paham
tentang proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan program
kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja, orang yang telah paham
metodologi penelitian, ia akan mudah membuat proposal penelitian dimana
saja dan seterusnya.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau
memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen
yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi
bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah
apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan,
mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas
objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Aegepty
dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup
cacing kremi dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
telah ada. Misalnya dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau
kalimat sendiri tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar dan dapat
membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.
21
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan
sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau
norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Misalnya seorang ibu dapat
menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak,
seseorang dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana bagi keluarga dan
sebagainya.
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau
objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan
sebagainya). Gampbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yaitu : “An
individual’s attitude is syndrome of response consistency with regard to
object”. Jadi jelas disini dikatakan bahwa sikap itu suatu sindrom atau
kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek. Sehingga sikap itu
melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain.
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap
adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain fungsi sikap belum
merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup.
22
HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN
Sumber : Notoatmodjo, 2010Gambar 2.2 Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
3. Tindakan atau Praktik (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan
untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab
untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain adanya fasilitas atau sarana dan
prasarana. Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa kehamilan itu penting
untuk kesehatannya dan janinnya, dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa
kehamilan. Agar sikap ini nmeningkat menjadi tingkatan, maka diperlukan
bidan, Posyandu, atau Puskesmas yang dekat dari rumahnya, atau fasilitas
tersebut mudah dicapainya. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidak
akan memeriksakan kehamilannya.
Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut
kualitasnya, yaitu :
a. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih
tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan. Misalnya, seorang
ibu yang memeriksakan kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan
STIMULUS (rangsangan)
PROSES STIMULUS
REAKSI TERBUKA (tindakan)
REAKSI TERTUTUP (pengetahuan
dan sikap)
23
oleh bidan tetangganya. Seorang anak kecil menggosok gigi namun masih
selalu diingatkan oleh ibunya, adalah masih disebut praktik atau tindakan
terpimpin.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu
hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya
seorang ibu selalu membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang, tanpa
harus menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan. Seorang anak
secara otomatis menggosok gigi setelah makan tanpa disuruh oleh ibunya.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya
apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah
dilakukan modifikasi, atau tindakan dan perilaku yang berkualitas. Misalnya
menggosok gigi bukan sekedar menggosok gigi melainkan dengan teknik-
teknik yang benar. Seorang ibu memasak memilih bahan masakan yang
bergizi tinggi meskipun bahan makanan tersebut mahal harganya.
SKEMA PERILAKU
Sumber : Notoatmojdo, 2010Gambar 2.3 Skema Perilaku
PengalamanFasilitasSosiobudaya
PersepsiPengetahuanKeyakinanKeinginanMotivasiNiatSikap
PERILAKU
EKSTERNAL INTERNAL RESPONS
24
Dari skema diatas dapat dijelaskan bahwa perilaku terjadi diawali
dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor diluar
orang tersebut (lingkungan) baik fisik maupun nonfisik. Kemudian
pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini dan
sebagainya sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan
akhirnya terjadilah perwujudan niat tersebut yang berupa perilaku.
2.2 Konsep Keselamatan Pasien (Patient Safety)
2.2.1 Pengertian Patient Safety
Adalah bebas dari cidera aksidental atau menghindarkan cidera pada
pasien akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan (Supari, 2005). Patient
Safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk assesment resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
dilakukan. (KKP RS, 2006).
2.2.2 Kebijakan Depkes
Tujuan dari kebijakan Depkes adalah :
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit.
b. Akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD).
25
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.
Dalam memberikan pelayanan rumah sakit wajib melaksanakan system
keselamatan pasien melalui upaya-upaya :
a. Akselerasi program infection control prevention (ICP).
b. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit dan dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.
c. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety) dan dievaluasi
melalui akreditasi rumah sakit.
d. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya wrong
person, wrong site, wrong prosedure (tidak terjadi kesalahan orang, tempat,
dan prosedur di kamar operasi).
e. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.
f. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite keselamatan
rumah sakit (KKP RS, 2006).
2.2.3 Kebijakan Direktur RS. Siti Khodijah
SK Direktur RS. Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo nomor : 090/KEP/
IV.5.AU/D/2012 M tentang keanggotaan Komite Keselamatan Pasien Rumah
Sakit di RS. Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo.
1. Tujuan
Tujuan umum :
Menurunnya kejadian insiden dan meningkatnya mutu pelayanan dan
keselamatan pasien.
26
Tujuan khusus :
a. Terbentuknya budaya aman pada seluruh karyawan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan kepada pasien.
b. Terlaksananya system pelaporan dan pencatatan insiden yang terjadi di
rumah sakit.
c. Didapatkannya pembelajaran untuk perbaikan perawatan kepada pasien agar
dapatmencegah terjadinya insiden dikemudian hari.
2. Struktur Organisasi
Sumber : KKP RS Siti Khodijah, 2012Gambar 2.4 Struktur Organisasi KKP RS Siti Khodijah, 2012
3. Program kegiatan
a. Sosialisasi patient safety pada seluruh unit pelayanan baik rawat jalan
maupun rawat inap.
b. Pencatatan dan pelaporan internal insiden kasus.
c. Solusi masalah dan analisis akar masalah.
d. Standar keselamatan pasien dan self assesment instrument akreditasi.
Bagian Pelayanan
Ketua Komite
Anggota Tetap
Pelaporan
Penggerak Unit/Ruangan
Investigasi Diklat
27
e. Pendidikan, pelatihan dan penelitian.
f. Update patient safety sesuai depkes dan KPRS pusat.
4. Langkah-langkah kegiatan
1) Rumah sakit membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KPRS).
2) Rumah sakit mengembangkan pelaporan insiden kejadian tak diharapkan
(KTD) dan kejadian nyaris cedera (KNC) serta menjamin kerahasiaannya.
3) Rumah sakit melakukan pelaporan insiden dan solusi masalah ke KKP RS
pusat secara rahasia.
4) Rumah sakit memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan
melakukan self assesment instrumen akreditasi pelayanan keselamatan
pasien rumah sakit.
5) Rumah sakit mengadakan pendidikan tentang keselamatan pasien secara
terbuka.
5. Sasaran
Seluruh karyawan RS. Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo.
28
6. Skema alur pelaporan KTD / KNC di RS. Siti Khodijah Sepanjang Sidoarjo.
Sumber : KKP RS Siti Khodijah, 2012Gambar 2.5 Alur Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien di RS Siti Khodijah.
7. Hambatan atau kendala penerapan KPRS RS. Stiti Khodijah :
a. Belum semua pegawai rumah sakit mengetahui tentang keselamatan pasien.
b. Belum ada alokasi anggaran kegiatan baik tempat maupun sekretariat.
c. Kepengurusan tim keselamatan pasien rumah sakit masih merangkap
pekerjaan lain sehingga dalam kegiatannya merupakan tugas tambahan.
d. Kalau ada kejadian yang tidak diharapkan (KTD) diluar jam dinas masih
kesulitan mengkoordinasi.
2.2.4 Manfaat Penerapan
Menurut Departemen Kesehatan, 2006 tentang Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, manfaat penerapan Patient Safety sebagai
berikut :
Pelapor KTD
Penanggung jawab dinas jaga(membuat kronologis kejadian insiden)
Kepala Ruangan(membuat laporan pada Form yang tersedia)
Kepala Instalansi
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Direktur dan KKP RS PERSI
29
a. Kecenderungan “Green Product” produk yang aman di bidang industri lain.
Antara lain, menjadi persyaratan dalam berbagai proses transaksi sehingga
menjadi makin laku atau laris dan makin dicari masyarakat.
b. Rumah Sakit yang menerapkan Patient Safety akan lebih dicari oleh
perusahaan dan asuransi akan mengutamakan memakai rumah sakit tersebut
sebagai provider kesehatan karyawan atau klien mereka dan kemudian di ikuti
oleh masyarakat untuk mencari rumah Sakit yang aman.
c. Kegiatan Rumah Sakit di kawasan Blaming akan menurun karena fokus di
kawasan patient safety.
2.2.5 Langkah-Langkah Penerapan
Menurut Departemen Kesehatan, 2006 tentang Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, langkah-langkah penerapannya sebagai berikut:
1. Membangun budaya kerja yang mementingkan keselamatan dan keamanan
pasien, kewaspadaan secara terus-menerus, penyelidikan yang seimbang dan
terutama mempertanyakan mengapa, bukan siapa, keterbukaan dengan pasien
untuk menciptakan suasana kerjasama dan saling percaya antara petugas rumah
sakit dan pasien (hasil perawatan yang tidak diantisipasi sebelumnya
didiskusikan dengan pasien dan keluarganya).
2. Kepemimpinan dan dukungan terhadap seluruh petugas rumah sakit dalam
menjaga keselamatan dan keamanan pasien, keteladanan (clinical champions),
evaluasi dan umpan balik, coaching dan mentoring terhadap staf secara
berkesinambungan untuk memberdayakan petugas rumah sakit, dukungan
terhadap upaya patient safety juga mencakup alokasi sumberdaya orang,
informasi, bahan dan peralatan.
30
3. Manajemen risiko secara terpadu, makna manajemen risiko tidak hanya
terbatas pada pasien maupun karyawan, tetapi lebih mendasar lagi, khususnya
keselamatan pasien, karyawan dan pengunjung rumah sakit, pemantauan,
investigasi, analisis, manajemen dan pelatihan mengendalikan resiko
merupakan suatu kesatuan. Pertimbangan resiko harus menjadi bagian strategi
menajemen pelayanan kesehatan.
4. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan semua kasus medical error, yang
dapat digabungkan dari tingkat lokal sampai tingkat nasional, dengan menjaga
kerahasiaan pasien dan organisasi yang melaporkan, pelaporan harus menjadi
pendorong pembelajaran, harus dikembangkan budaya pelaporan yang tanpa
dibayangi ketakutan akan hukuman.
5. Melibatkan pasien, keluarganya dan seluruh masyarakat, menjelaskan dan bila
perlu minta maaf, menyelidiki penyebab secara terbuka, mendukung pasien
bagaimana mengatasi dampak kesalahan medis, bekerjasama dalam
pengobatan dan perawatan lebih lanjut, dan melibatkan pasien dalam
investigasi dan rekomendasi untuk perubahan.
6. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan tentang penyebab kegagalan medis,
antara lain dengan pendekatan root cause analysis, dinamika sistem, diagram
tulang ikan dan lain-lain.
7. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah ”harm”, bukan hanya sekedar
menganjurkan staf untuk berhati-hati, tetapi mengatasi permasalahan
mendasar, merancang peralatan, sistem dan proses-proses lebih intuitif,
mempersulit petugas untuk melakukan kesalahan, mempermudah petugas
untuk menemukan kesalahan.
31
2.2.6 Langkah Kegiatan di Rumah Sakit
Menurut Departemen Kesehatan, 2006 tentang Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, langkah-langkah di rumah sakit adalah :
1. Pembentukan tim keselamatan pasien dirumah sakit.
2. Mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan internal tentang insiden.
3. Pelaporan insiden ke komite rumah sakit secara rahasia.
4. Memenuhi standar keselamatan pasien rumah sakit dan menerapkan tujuh
langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit.
5. Rumah sakit pendidikan kembangkan standar pelayanan medis berdasarkan
hasil analisis akar masalah dan sebagai tempat pelatihan standar-standar yang
baru di kembangkan.
2.2.7 Prosedur Perawatan Bertujuan Patient Safety
Menurut Departemen Kesehatan, 2006 tentang Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, prosedur perawatan bertujuan Patient Safety
adalah :
1. Memperbaiki akurasi identifikasi pasien.
2. Memperbaiki efektivitas komunikasi antar perawat.
3. Memperbaiki keamanan penggunaan ”high- alert medication”.
4. Mengeliminasi permasalahan salah sisi, salah pasien dan salah prosedur
operasi.
5. Memperbaiki keamanan penggunaan ” infusion pump”.
6. Memperbaiki efektifitas sistem tanda bahaya klinis.
32
2.2.8 Standar Patient Safety
Menurut Departemen Kesehatan, 2006 tentang Panduan Nasional
Keselamatan Pasien Rumah Sakit, standar Patient Safety sebagi berikut :
1. Standar I Hak pasien
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang
rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya Kejadian Tak
Diharapkan (KTD).
Kriteria :
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara
jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan
terjadinya KTD.
2. Standar II Mendidik pasien dan keluarga
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan
tanggung pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria :
Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan
keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena
itu di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan
keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan
pasien. Dengan pendidikan tersebut di harapkan pasien dan keluarga dapat :
a. Memberi informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
33
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
3. Standar III Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria :
a. Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien
masuk, pemeriksaan, diagnosis perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.
b. Terdapat koordinasi pelayanan yang di sesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada
seluruh tahap pelayanan transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik
dan lancar.
c. Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi
untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan
sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut
lainnya.
d. Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan
efektif.
34
4. Standar IV
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis
secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja
serta keselamatan pasien.
Kriteria :
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang baik,
mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien petugas
pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat dan
faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan ”tujuh
langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja antara lain
yang terkait dengan : pelaporan insiden, akreditasi, menejemen resiko,
utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua
KTD atau KNC, dan secara proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus
resiko tinggi.
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil
analisis untuk menentukan perubahan sistem yang di perlukan, agar kinerja
dan keselamatan pasien terjamin.
5. Standar V Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan
pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”tujuh
langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”.
35
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi
risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi KTD atau
KNC.
c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar
unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang
keselamatan pasien.
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur,
mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan
keselamatan pasien.
e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria :
a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
b. Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan
program meminimalkan insiden, yang mencakup jenis kejadian yang
memerlukan perhatian, mulai dari KNC atau Kejadian Nyaris Cedera (Near
miss) sampai dengan KTD atau Kejadian Tak Diharapkan (Adverse event).
c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari
rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan
pasien.
d. Tersedia prosedur ”cepat tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan
kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan
penyampaian informasi yang benar dan jalas untuk keperluan analisis.
36
e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan
insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang analisis
akar masalah (RCA) kejadian pada saat program keselamatan pasien mulai
di laksanakan.
f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan
proaktif untuk memperkecil resiko, termasuk mekanisme untuk mendukung
staf dalam kaitan dengan kejadian.
g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan
antar pengelola pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar
disiplin.
h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang di butuhkan dalam
kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien,
termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
i. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
obyektif untuk mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
6. Standar VI Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk
setiap jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien
secara jelas.
b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta
mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien.
37
Kriteria :
a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan
orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai
dangan tugasnya masing-masing.
b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam
setiap kegiatan inservice training dan member pedoman yang jelas tentang
pelaporan insiden.
c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama
kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam
rangka melayani pasien.
7. Standar VII Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
keselamatan pasien.
a. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan
eksternal.
b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
a. Perlu di sediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses
manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal- hal terkait
dengan keselamatan pasien.
b. Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk
merevisi manajemen informasi yang ada.
38
2.2.9 International Patient Safety Goal
Pada assessment yang dilakukan dalam proses akreditasi rumah sakit, JCI
mempunyai kriteria penilaian tersendiri. Secara garis besar JCI mempunyai 14
komponen standar atau kriteria yang terbagi menjadi dua fokus utama, yaitu fokus
pada pasien dan manajemen pelayanan kesehatan. Salah satu kriterianya adalah
International Patient Safety Goal (IPSG) yang secara umum bertujuan untuk
meningkatkan keselamatan pasien (jointcomissioninternasional.org, 2014).
Pada 1 Januari 2011 Tujuan Keselamatan Pasien Internasional (IPSG)
dipersyaratkan untuk dimplementasikan pada semua organisasi yang diakreditasi
oleh Joint Commission International (JCI) di bawah Standar Internasional untuk
Rumah Sakit. Tujuan dari IPSG ini adalah untuk mempromosikan perbaikan
tertentu dalam keselamatan pasien. Tujuan keselamatan pasien internasional
mempunyai 6 standar yaitu (Riana, 2011) :
1. Identify Patients Correctly (Mengenali Pasien secara Tepat)
Standar : Rumah Sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan
ketepatan identifikasi pasien.
Tujuan :
a. Untuk meningkatkan profesioalitas dalam mengenali dan kepada siapa
diberika sebuah perawatan kesehatan.
b. Untuk mencocokkan layanan atau perawatan untuk individu tersebut.
Elemen yang dapat Diukur :
1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua pengidentifikasi pasien, tidak
termasuk penggunaan nomor kamar pasien atau lokasi.
2) Pasien diidentifikasi sebelum memberikan obat, darah, atau produk darah.
39
3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lainnya untuk
pengujian klinis.
4) Pasien diidentifikasi sebelum memberikan prosedur perawatan.
5) Kebijakan dan prosedur mendukung praktik yang konsisten dalam segala
situasi dan lokasi.
Implementasi di Rumah Sakit :
Di rumah sakit pasien diidentifikasi dengan minimal 2 penanda
identifikasi. Hal tersebut harus dilakukan sebelum dilakukannya segala
tindakan atau prosedur. Identifikasi dilakukan dengan identifikasi nama pasien
dan tanggal lahir atau nomor rekam medik.
Ada dua cara untuk melakukan identifikasi pasien, yaitu secara audio
(menanyakan identitas pasien secara langsung) dan visual (melihat gelang
identitas pasien untuk mencocokkan nama dan nomor rekam medis pasien).
2. Improve Effective Communication (Peningkatan Komunikasi Efektif)
Standar : Organisasi ini mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan
efektivitas komunikasi antara perawat.
Tujuan :
Komunikasi yang efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, tidak
ambigu, dan dipahami oleh penerima dapat mengurangi kesalahan dan hasil
dalam keselamatan pasien membaik. Komunikasi dapat berupa elektronik,
lisan, atau tertulis. Menerapkan proses atau prosedur untuk mengambil perintah
lisan atau telepon, atau untuk pelaporan hasil uji laboratorium penting, yang
membutuhkan verifikasi “read-back” dari tatanan lengkap atau hasil tes oleh
orang yang menerima informasi.
40
Elemen yang dapat diukur :
1) Perintah verbal dan telepon yang lengkap atau hasil tes ditulis oleh penerima
perintah atau hasil tes.
2) Perintah verbal dan telepon yang lengkap atau hasil tes dibaca kembali oleh
penerima perintah atau tes hasilnya.
3) Perintah atau hasil test dikonfirmasi oleh individu yang memberi perintah
atau hasil tes.
4) Kebijakan dan prosedur mendukung praktek konsisten dalam memverifikasi
keakuratan verbal dan komunikasi telepon.
Implementasi di Rumah Sakit :
Komunikasi efektif harus dilakukan oleh semua petugas medis maupun
non medis di rumah sakit. Misalnya komunikasi antar perawat yang melakukan
shift jaga. Selama pergantian shift perawat harus ada komunikasi yang efektif
antar perawat, baik dalam penyampaian maupun penerimaan pesan tentang
pasien yang dijaga. Mulai dari tindakan atau perlakuan kepada pasien, obat-
obatan, dll. Sehingga tidak ada kesalahan dalam perlakuan kepada pasien.
Selain itu komunikasi efektif juga berfokus dalam penyampaian pesan
melalui telefon. Misalnya pesan dari dokter kepada petugas medis tentang
tindakan kepada pasien. Instruksi atau pesan yang disampaikan melalui telefon
harus dituliskan, dibacakan kembali dan mendapat konfirmasi kebenaran dari
pemberi pesan (read back-repeat back). Cara seperti ini dilakukan di semua
unit di rumah sakit.
3. Improve the Safety of High-Alert Medications (Peningkatan Keamanan Obat
yang Perlu Diwaspadai)
41
Standar : Organisasi ini mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan
keamanan obat yang perlu diwaspadai.
Tujuan :
Menyingkirkan elektrolit yang terkonsentrasi tinggi (termasuk
didalamnya adalah potassium chloride, potassium phospat, sodium chloride
>0,9%, dll) dari unit perawatan pasien. Organisasi bersama-sama
mengembangkan kebijakan dan atau prosedur yang mengidentifikasi daftar
organisasi obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data sendiri.
Kebijakan dan atau prosedur juga mengidentifikasi daerah-daerah mana
elektrolit terkonsentrasi secara klinis diperlukan sebagaimana ditentukan oleh
bukti dan praktek profesional, seperti gawat darurat atau ruang operasi, dan
mengidentifikasi bagaimana mereka dilabeli secara jelas dan bagaimana
mereka disimpan di daerah-daerah dengan cara membatasi akses untuk
mencegah ketidaksenggajaan administrasi.
Elemen yang dapat Diukur :
1) Kebijakan dan atau prosedur yang dikembangkan untuk mengatasi
identifikasi, lokasi, pelabelan, dan penyimpanan obat yang perlu
diwaspadai.
2) Kebijakan dan atau prosedur yang diterapkan.
3) Konsentrat elektrolit tidak ditemukan di unit perawatan pasien kecuali untuk
keperluan klinis dan tindakan diambil untuk mencegah penggurus tidak
sengaja di area-area yang diizinkan oleh kebijakan.
4) Elektrolit terkonsentrasi yang disimpan di unit perawatan pasien diberi label
dan disimpan dengan cara yang membatasi akses.
42
Implementasi di Rumah Sakit :
Ketentuan lokasi, label, dan penyimpanan larutan elektrolit pekat
misalnya, KCl, Mg(SO)4, NaCl 3%. Obat-obatan tersebut bila terjadi kesalahan
penggunaan dapat berdampak serius kepada pasien. Sehingga obat-obat
tersebut harus diatur agar tidak disimpan secara bebas di ruang rawat, kecuali
dibutuhkan secara klinis dan dengan peraturan tertentu.
4. Ensure Correct-Site, Correct-Procedure, Correct-Patient Surgery
Standar : Organisasi ini mengembangkan pendekatan untuk memastikan tepat
lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien operasi
Tujuan :
Meminimalisir salah-situs operasi, salah-prosedur, salah-pasien
merupakan kejadian kekhawatiran yang umum dalam organisasi perawatan
kesehatan. Praktek-praktek berbasis bukti (evidence-based practices) yang
dijelaskan dalam The Joint Commission’s Universal Protocol untuk mencegah
salah situs, salah prosedur, salah pasien operasi. Proses penting yang
ditemukan di Protokol Universal yaitu menandai situs bedah, proses verifikasi
sebelum operasi, dan time-out yang diadakan segera sebelum memulai
prosedur.
Elemen yang dapat Diukur :
1) Menggunakan tanda yang langsung dikenali untuk identifikasi pada lokasi
bedah dan melibatkan pasien dalam proses menandai.
2) Menggunakan daftar periksa atau proses lain untuk memverifikasi lokasi
yang tepat, prosedur yang tepat, dan pasien yang tepat dan bahwa semua
43
dokumen dan peralatan yang dibutuhkan berada di tangan, benar, dan
fungsional sebelum melakukan operasi.
3) Tim bedah lengkap melakukan dan mendokumenkan prosedur time-out
tepat sebelum memulai prosedur bedah.
4) Kebijakan dan prosedur yang dikembangkan yang akan mendukung proses
seragam untuk memastikan lokasi yang tepat, prosedur yang tepat, dan
pasien yang tepat, termasuk prosedur medis dan mengenai gigi dilakukan
dalam pengaturan selain ruang operasi.
Implementasi di Rumah Sakit :
Sebelum dilakukannya operasi harus terlebih dahulu dilaksanakan
beberapa prosedur, diantaranya:
a. Diberikan penandaan atau marker dibagian tubuh yang akan dioperasi.
b. Memastikan semua dokumen dan peralatan telah lengkap tersedia, tepat, dan
berfungsi dengan baik.
c. Melaksanakan prosedur checklist dan time out sebelum pelaksanaan operasi.
5. Reduce the Risk of Health Care-Associated Infections (Pengurangan Resiko
Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan)
Standar : Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk mengurangi risiko
kesehatan terkait infeksi.
Tujuan :
Pusat untuk penghapusan infeksi adalah kebersihan tangan yang benar.
Pedoman kebersihan tangan yang diterima oleh internasional tersedia dari
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit Amerika Serikat (CDC AS) dan berbagai organisasi nasional dan
44
internasional lainnya. Organisasi memiliki proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan dan atau prosedur yang mengadaptasi atau
mengadopsi keadaan saat ini diterbitkan dan pedoman kebersihan tangan
diterima secara umum dan untuk pelaksanaan pedoman tersebut dengan
organisasi.
Elemen yang dapat diukur :
1) Organisasi yang telah diadopsi atau diadaptasi saat ini menerbitkan dan
umumnya menerima pedoman kebersihan tangan.
2) Organisasi ini menerapkan program kebersihan tangan yang efektif.
3) Kebijakan dan atau prosedur yang dikembangkan yang mendukung lanjutan
pengurangan perawatan kesehatan terkait infeksi.
Implementasi di Rumah Sakit :
Rumah Sakit berupaya dalam menekan infeksi nosokomial, salah salah
satunya dengan cara komitmen pelaksanaan hand hygiene, yaitu mengadopsi,
melakukan adaptasi, melaksanakan, serta mengimplementasi program hand
hygiene terbaru.
6. Reduce the Risk of Patient Harm Resulting from Falls (Pengurangan Resiko
Pasien Jatuh)
Standar : Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk mengurangi resiko
membahayakan pasien akibat jatuh.
Tujuan :
Menilai dan menilai kembali risiko secara berkala setiap pasien untuk
jatuh, termasuk potensi risiko yang terkait dengan rejimen pengobatan pasien,
45
dan mengambil tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko yang
teridentifikasi.
Elemen yang dapat diukur :
1) Rumah sakit menerapkan suatu proses untuk penilaian awal pasien untuk
risiko jatuh dan penilaian ulang pasien ketika ditunjukkan oleh perubahan
dalam kondisi atau pengobatan, atau yang lain.
2) Ukuran yang diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
dinilai beresiko.
3) Ukuran dipantau untuk hasil, baik kesuksesan pengurangan cedera jatuh dan
apapun yang terkait konsekuensi yang tidak diinginkan.
4) Kebijakan dan atau prosedur terus mendukung pengurangan resiko
membahayakan pasien akibat jatuh di organisasi.
Implementasi di Rumah Sakit :
Pencegahan pasien jatuh yaitu dengan penilaian awal risiko jatuh,
penilaian berkala setiap ada perubahan kondisi pasien, serta melaksanakan
langkah-langkah pencegahan pada pasien berisiko jatuh. Implementasi di rawat
inap berupa proses identifikasi dan penilaian pasien dengan risiko jatuh serta
memberikan tanda identitas khusus kepada pasien tersebut, misalnya gelang
kuning, penanda di pintu, serta informasi tertulis kepada pasien atau keluarga
pasien.
2.2.10 Aspek Hukum Terhadap Patient Safety
Aspek hukum terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah
sebagai berikut (Riana, 2011) :
46
1. Keselamatan Pasien sebagai Isu Hukum
a. Pasal 53 (3) UU No.36/2009
Pelaksanaan Pelayanan kesehatan harus mendahulukan keselamatan nyawa
pasien.
b. Pasal 32n UU No.44/2009
Pasien berhak memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di Rumah Sakit.
c. Pasal 58 UU No.36/2009
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.
2) Tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam
keadaan darurat.”
2. Tanggung jawab Hukum Rumah sakit
a. Pasal 29b UU No.44/2009
Memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar
pelayanan Rumah Sakit.
b. Pasal 46 UU No.44/2009
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di RS.
47
c. Pasal 45 (2) UU No.44/2009
Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
menyelamatkan nyawa manusia.
3. Bukan tanggung jawab Rumah Sakit
Pasal 45 (1) UU No.44/2009 Tentang Rumah sakit
Rumah Sakit Tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau
keluarganya menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat
kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang kompresehensif.
4. Hak Pasien
a. Pasal 32d UU No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan kesehatan yang bermutu
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
b. Pasal 32e UU No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak memperoleh layanan yang efektif dan efisien
sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi.
c. Pasal 32j UU No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak tujuan tindakan medis, alternatif tindakan,
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
d. Pasal 32q UU No.44/2009
Setiap pasien mempunyai hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit
apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai
dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
48
5. Kebijakan yang mendukung keselamatan pasien
Pasal 43 UU No.44/2009
1) RS wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
2) Standar keselamatan pasien dilaksanakan melalui pelaporan insiden,
menganalisa dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka
menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.
3) RS melaporkan kegiatan keselamatan pasien kepada komite yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri.
4) Pelaporan insiden keselamatan pasien dibuat secara anonym dan ditujukan
untuk mengoreksi system dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien.
2.3 Konsep Dasar Kinerja
2.3.1 Pengertian penilaian kinerja
Prestasi kerja atau kinerja berasal dari kata job performance (prestasi kerja
atau prestasi sesungguhnya yang pernah dicapai seeorang). Pengertian kinerja
(prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab
yang diberikan kepadanya (Simamora, 2012).
Kinerja adalah suatu tingkat peranan anggota organisasi dalam mencapai
tujuan organisasi, peranan yang dimaksud adalah pelaksanaan suatu tindakan
untuk menjalankan dan menyelesaikan tugas yang diberikan (Simamora, 2012).
Menurut Bernardin dan Rassel (1993) bahwa kinerja dilihat dari hasil
pengeluaran produksi atas fungsi dari pekerjaan tertentu atau aktivitas selama
periode tertentu (Simamora, 2012).
49
Menurut Robbins (1996) yang dikutip oleh Simamora (2012) kinerja
karyawan dapat dilihat dalam tiga kriteria, yaitu :
1. Hasil tugas individual, menilai hasil tugas perawat dapat dilakukan dengan
melihat kegiatan yang dilakukan sesuai dengan aturan organisasi tempat
perawat bekerja yang sudah menetapkan standar kinerja sesuai dengan jenis
pekerjaan, yang dinilai berdasarkan periode waktu tertentu. Bila perawat
mencapai standar yang ditentukan berarti hasil tugasnya baik.
2. Perilaku, institusi pelayanan kesehatan tentunya terdiri dari banyak perawat,
baik bawahan maupun atasan dan dapat dikatakan sebagai suatu kelompok
kerja yang mempunyai perilaku masing-masing berbeda karena itu seorang
perawat dituntut untuk memiliki perilaku yang baik dan benar sesuai pekerjaan
masing-masing.
3. Ciri atau sifat, ini merupakan bagian terlemah dari kriteria kinerja yang ada.
Ciri atau sifat perawat pada umumnya berlangsung lama dan tetap sepanjang
waktu, tetapi adanya perubahan dan campur tangan dari pihak luar seperti
diadakannya pelatihan akan mempengaruhi kinerja dalam beberapa hal.
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja adalah hasil
kerja yang dicapai seseorang baik berupa produk atau jasa dan dalam pelaksanaan
tugas atau pekerjaannya sesuai dengan beban tugas yang harus dilaksanakan
dengan disertai adanya standar kerja yang telah ditentukan.
Handoko (1992) menjelaskan bahwa penilaian prestasi kerja adalah proses
melalui mana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja perawat.
Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan personalia dan member umpan balik
kepada para karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka. Pelaksanaan studi
50
evaluasi kinerja, digunakan untuk mengevaluasi pekerjaan yang sudah selesai
dengan melakukan studi lapangan yang komprehensif (Simamora, 2012).
Menurut Swanburg (1987) penilaian kinerja merupakan alat yang paling
dapat dipercaya oleh manajer perawat dalam mengontrol sumber daya manusia
dan produktivitas. Proses penilaian kinerja dapat digunakan secara efektif dalam
mengarahkan perilaku pegawai, dalam rangka menghasilkan jasa keperawatan
dalam kualitas dan volume yang tinggi. Perawat manajer dapat menggunakan
proses operasional kinerja untuk mengatur arah kerja dalam memilih, melatih,
membimbing perencanaan karier, serta member penghargaan kepada perawat
yang berkompeten (Nursalam, 2007).
2.3.2 Prinsip atau kriteria penilaian kinerja
Menurut Gilles (1996) yang dikutip oleh Nursalam (2007), untuk
mengevaluasi bawahan secara tepat dan adil, manajer sebaiknya mengamati
prinsip-prinsip tertentu, seperti :
1. Evaluasi pekerja sebaiknya didasarkan pada standar pelaksanaan kerja dan
orientasi tingkah laku untuk posisi yang ditempati. Karena deskripsi dan
standar pelaksanaan kerja disajikan ke pegawai selama masa orientasi sebagai
tujuan yang harus diusahakan, pelaksanaan kerja sebaiknya dievaluasi
berkenaan dengan sasaran-sasaran yang sama.
2. Sampel tingkah laku perawat yang cukup representative sebaiknya diamati
dalam rangka evaluasi pelaksanaan kerjanya. Perhatian harus diberikan untuk
mengevaluasi tingkah laku umum atau tingkah laku konsistennya, serta guna
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
51
3. Perawat sebaiknya diberi salinan deskripsi kerjanya, standar pelaksanaan kerja
dan bentuk evaluasi untuk peninjauan ulang sebelum pertemuan evaluasi,
sehingga baik perawat maupun supervisor dapat mendiskusikan evaluasi dari
kerangka kerja yang sama.
4. Di dalam menuliskan penilaian pelaksanaan kerja pegawai, manajer sebaiknya
menunjukkan segi-segi dimana pelaksanaan kerja itu bias memuaskan dan
perbaikan apa yang perlu diberikan. Supervisor sebaiknya merujuk pada
contoh-contoh khusus mengenai tingkah laku yang memuaskan maupun yang
tidak memuaskan, supaya dapat menjelaskan dasar-dasar komentar yang
bersifat evaluatif.
5. Jika diperlukan, manajer sebaiknya menjelaskan area mana yang akan
diprioritaskan, seiring dengan usaha perawat untuk meningkatkan pelaksanaan
kerja.
6. Petemuan evaluasi sebaiknya dilakukan pada waktu yang cocok bagi perawat
dan manajer dan diskusi evaluasi sebaiknya dilakukan dalam waktu yang
cukup bagi keduanya.
7. Baik laporan evaluasi maupun pertemuan sebaiknya disusun dengan terencana,
sehingga perawat tidak merasa kalau pelaksanaan kerjanya sedang dianalisis
(Simpson, 1985). Seorang pegawai dapat bertahan dari kecaman seorang
manajer yang menunjukkan pertimbangan atas perasaannya, serta menawarkan
bantuan untuk meningkatkan pelaksanaan kerjanya.
Menurut Bernadin dan Russel (1991) yang dikutip oleh Simamora (2012)
tentang penilaian kinerja kelompok terdiri dari criteria :
52
1. Kualitas, yaitu penilaian anggota kelompok terhadap kelompoknya untuk
penggunaan cara kerja yang benar dan kesalahan hasil kerja tidak melampaui
standar mutu yang ditetapkan.
2. Kuantitas, yaitu penilaian anggota kelompok terhadap kelompoknya untuk
jumlah hasil yang sesuai dengan rencana-rencana produksi dan dapat
memanfaatkan target badan usaha.
3. Penghematan waktu, yaitu penilaian anggota kelompok terhadap kelompoknya
untuk menyelesaikan pekerjaan dan mencapai hasil kerja yang tepat waktu
serta dapat memanfaatkan waktu yang ada dengan baik.
4. Efisiensi biaya, yaitu penilaian anggota kelompok terhadap kelompoknya
untuk menggunakan sarana dan prasarana produksi dengan hemat dan tidak
sering melakukan kesalahan kerja sehingga tidak timbul pemborosan.
5. Keperluan untuk pengawasan, yaitu penilaian anggota kelompok terhadap
kelompoknya untuk memiliki kemampuan dan keterampilan yang sesuai
dengan standar pekerjaan serta bertanggung jawab untuk menyelesaikan
pekerjaannya dengan benar.
6. Dampak interpersonal, yaitu penilaian anggota kelompok terhadap
kelompoknya untuk memiliki rasa percaya diri dan inisiatif sendiri dalam
menyelesaikan pekerjaannya dan mau saling menghargai serta bekerja sama
dengan anggota kelompoknya.
53
Menurut Al fajar dan Heru (2010) jenis kriteria kinerja adalah sebagai
berikut :
1. Kriteria berdasarkan sifat
Kriteria memusatkan diri pada karakteristik pribadi seorang karyawan,
misalnya loyalitas, keandalan, kemampuan berkomunikasi dan keterampilan
memimpin. Sifat-sifat tersebut sering dinilai selama proses penilaian. Jenis
kriteria ini memusatkan diri pada bagaimana seseorang, bukan apa yang
dicapai atau tidak dicapai seseorang dalam pekerjaannya.
2. Kriteria berdasarkan perilaku
Kriteria ini terfokus pada bagaimana pekerjaan dilaksanakan dan penting sekali
bagi pekerjaan yang membutuhkan hubungan antar personal. Sebagai contoh
keramahan para kasir dalam melayani pelanggan.
3. Kriteria berdasarkan hasil
Kriteria jenis ini terfokus pada apa yang tidak dicapai atau dihasilkan, dari
pada bagaimana sesuatu dicapai atau dihasilkan. Kriteria ini walaupun makin
popular tetapi sering dikritik karena meninggalkan aspek kritis pekerjaan yang
penting seperti kualitas.
2.3.3 Manfaat yang dapat dicapai dalam penilaian kinerja
Manfaat yang dapat dicapai dalam penilaian kinerja adalah (Simamora,
2012) :
1. Meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu atau kelompok dengan
memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan rumah sakit.
54
2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya
akan mempengaruhi atau mendorong sumber daya manusia secara
keseluruhannya.
3. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan
hasil karya dan prestasi dengan cara member umpan balik kepada mereka
tentang prestasinya.
4. Membantu rumah sakit untuk dapat menyusun program pengembangan dan
penilain staf yang lebih tepat guna. Dengan demikian rumah sakit akan
mempunyai tenaga yang cakap dan terampil untuk pengembangan pelayanan
keperawatan di masa depan.
5. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan
meningkatkan pendapatannya atau system imbalan yang baik.
6. Memberi kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan
perasaannya tentang pekerjaannya atau hal lain yang ada kaitannya melalui
jalur komunikasi dan dialog, sehingga dapat mempercepat hubungan antara
atasan dan bawahan.
Sedangkan menurut Nursalam (2007) manfaat yang dapat dicapai dalam
penilaian kinerja adalah :
1. Meningkatkan prestasi kerja staf, baik secara individu atau kelompok, dengan
memberikan kesempatan pada mereka untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi
diri dalam kerangka pencapaian tujuan pelayanan RS.
2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi staf secara perorangan pada gilirannya
akan mempengaruhi atau mendorong SDM secara keseluruhannya.
55
3. Merangsang minat dalam pengembangan pribadi dengan tujuan meningkatkan
hasil karya dan prsetasi, dengan cara memberikan umpan bailk kepada mereka
tentang prestasinya.
4. Membantu RS untuk dapat menyusun program pengembangan dan pelatihan
staf yang lebih tepat guna. Sehingga RS akan mempunyai tenaga yang cakap
dan tampil untuk pengembangan pelayanan keperawatan di masa depan.
5. Menyediakan alat dan sarana untuk membandingkan prestasi kerja dengan
meningkatkan gaji atau system imbalan yang baik.
6. Memberikan kesempatan kepada pegawai atau staf untuk mengeluarkan
perasaannya tentang pekerjaannya, atau hal lain yang ada kaitannya melalui
jalur komunikas dan dialog, sehingga dapa mempererat hubungan antara atasan
dan bawahan.
2.3.4 Proses kegiatan penilaian kerja
Menurut Dale S, Beach 1970 penilaian kerja merupakan suatu pemikiran
sistematis atas individu karyawan mengenai prestasinya dalam pekerjaan dan
potensinya untuk pengembangan, yaitu sebagai berikut (Nursalam, 2007) :
1. Merumuskan tanggung jawab dan tugas yang harus dicapai oleh staf
keperawatan. Rumusan tersebut telah disepakati oleh atasannya, sehingga
langkah perumusan tersebut dapat memberikan konstribusi berupa hasil.
2. Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk hasil yang harus dicapai oleh
karyawan untuk kurun waktu tertentu, dengan penempatan standar prestasi dan
tolak ukur yang telah ditetapkan.
3. Melakukan monitoring, koreksi dan memberikan kesempatan serta bantuan
yang diperlukan oleh stafnya.
56
4. Menilai prestasi kerja staf, dengan cara membandingkan prestasi yang dicapai
dengan standar atau tolak ukur yang telah ditetapkan.
5. Memberikan umpan balik kepada staf atau karyawan yang dinilai.
Dalam proses pemberian umpan balik ini, atasan dan bawahan perlu
membicarakan cara-cara untuk memperbaiki kelemahan yang telah diketahui
untuk meningkatkan prestasi pada periode berikutnya.
2.3.5 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kinerja perawat
Sedangkan menurut Mangkunegara (2000) menyatakan bahwa faktor yang
mempengaruhi kinerja itu antara lain :
1. Faktor kemampuan
Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan
potensi (IQ) dan kemampuan realita (pendidikan). Oleh karena itu pegawai
perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahlianya.
2. Faktor motivasi
Motivasi terbentuk dari sikap (attiude) seorang pegawai dalam menghadapi
situasi (situasion) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri
pegawai terarah untuk mencapai tujuan organisasi (tujuan kerja). Sikap mental
merupakan kondisi mental yang mendorong seseorang untuk berusaha
mencapai potensi kerja secara maksimal. David C. Mc.Cleland (1997) seperti
dikutip oleh Mangkunegara (2000), berpendapat bahwa “Ada hubungan yang
positif antara motif berprestasi dengan pencapaian kerja”. Motif berprestasi
adalah suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan suatu kegiatan
atau tugas dengan sebaik baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja
57
(kinerja) dengan predikat tepuji. Selanjutnya Mc. Clelland, mengemukakan 6
karateristik dari seseorang yang memiliki motif yang tinggi yaitu :
1) Memiliki tanggung jawab yang tinggi
2) Berani mengambil resiko
3) Memiliki tujuan yang realistis
4) Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk meralisasi
tujuan
5) Memanfaatkan umpan balik yang kongkrit dalam seluruh kegiatan kerja
yang dilakukan
6) Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan
Menurut Mangkunegara 2000 yang mencuplik dari Mc Cellend seorang
yang mempunyai kinerja maksimal jika memilliki motif yang tinggi, motif yang
dimiliki seorang pegawai harus ada dalam diri sendiri dan lingkungan kerja.
Menurut Nursalam (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
adalah :
1. Sikap kerja, seperti kesediaan untuk bekerja secara bergiliran (shif work)
bekarja dalam suatu tim.
2. Tingkat keterampilan yang ditentukan oleh pendidikan, latihan dalam
manajemen dan supervisi serta ketrampilan dalam tehnik profesi.
3. Hubungan antara tenaga kerja dan pimpinan unit operasi.
4. Manajemen kinerja atau produktifitas yaitu manajemen yang efesien yaitu
dengan cara mengenali serta menghormati dan menghargai dan melindunggi
karyawan untuk mencapai peningkatan prestasi kerja.
58
5. Efesien tenaga kerja, seperti perencanaan tenaga kerja.
6. Kreatifitas dalam bekerja dan berada jalur yang benar dalam kerja.
Di samping hal tersebut diatas terdapat berbagai yang dapat mempengaruhi
prestasi kerja atau produktivitas kerja antara lain (Sederm, 2001) meliputi :
1. Sikap mental
Berupa motivasi kerja dan etika kerja.
2. Pendidikan
Pada umumya orang yang mempunyai pendidikan lebih tinggi akan
mempunyai wawasan yang lebih luas.
3. Keterampilan
Pada aspek tertentu apabila tenaga kerja semakin terampil, maka akan lebih
mampu bekerja serta menggunakan fasilitas kerja dengan baik. Tenaga kerja
akan menjadi lebih terampil apabila mempunyai kecakapan atau kemampuan
(ability) dan pengalaman kerja yang cukup.
4. Manajemen
Sistem yang diterapkan oleh pimpinan kepada bawahannya, apabila tepat akan
menimbulkan semangat yang lebih tinggi sehingga kinerja bawahan semakin
meningkat.
5. Hubungan inter personal (HIP)
Dengan penerapan hubungan antar personal yang baik dan pengakuan, maka
akan menciptakan ketenangan kerja, memberikan motivasi kerja, sehingga
meningkatkan prestasi kerja.
59
6. Tingkat penghasilan
Apabila tingkat kerja memadai maka dapat menimbulkan kosentrasi kerja dan
kemampuan yang dimiliki dan dapat dimanfatkan untuk meningkatkan
kuwalitas kerja.
7. Kebutuhan gizi dan kesehatan
Apabila tenaga kerja dapat terpenuhi kebutuhan gizi dan berbadan sehat, maka
akan lebih kuat bekerja dan semangat kerja yang tinggi dalam meningkatkan
kualitas kerja.
Menurut James Gibson (1993) dalam buku perilaku, struktur dan proses,
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan kinerja adalah (Depkes,
2005) :
1. Faktor individu (internal) meliputi : Kemampuan, karakteristik individu, latar
belakang dan demografi.
2. Faktor organisasi (eksternal) meliputi : Sumber daya manusia dan
kepemimpinan.
3. Faktor psikologis meliputi : Motivasi dari dalam diri individu masing-masing.
Sedangkan menurut Simamora (2012) faktor-faktor yang mempengaruhi
pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi.
Rumusan ini menyatakan bahwa :
Human permormance = Ability + Performance
Motivation = Attitude + Situation
Ability = Knowledge + Skill
60
2.3.6 Standar penilaian kinerja perawat
Dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien digunakan
standar asuhan keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan. Standart asuhan keperawatan telah disusun oleh
tim departemen kesehatan RI (2001) yang dikutip oleh Nursalam (2007) dengan
tahapan proses keperawatan yang meliputi (1) Pengkajian, (2) Diagnosa
keperawatan, (3) Perencanaan, (4) Implementasi, (5) Evaluasi dan (6)
Dokumentasi :
1. Standart I : Pengkajian Keperawatan
Asuhan keperawatan memerlukan data yang lengkap dan dikumpulkan secara
terus menerus, tentang keadaan untuk menentukan kebutuhan asuhan
keperawatan. Data kesehatan harus bermanfaat bagi semuan anggota tim
kesehatan (Depkes RI, 1997).
Komponen Pengkajian Keperawatan meliputi :
a. Pengumpulan Data :
Kriteria :
1) Menggunakan format yang baku
2) Sistimatis
3) Diisi sesuai dengan item yang tersedia
4) Actual (baru)
5) Absah (valid).
b. Penglompokan Data
Kriteria :
1) Data biologis
61
2) Data Psikologis
3) Data social
4) Data spiritual
c. Perumusan Masalah
Kriteria :
1) Kesenjangan antara status kesehatan dan norma dan pola fungsi
kehidupan
2) Perumusan masalah ditunjang oleh data yang telah dikumpulkan
2. Standart II : Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan data , status kesehatan pasien,
dianalisis dan dibandingkan dengan norma fungsi kehidupan pasien.
Kriteria :
a. Diagnosa keperawatan dihubungkan dengan penyebab kesenjangan dan
pemenuhan kebutuhan pasien
b. Dibuat sesuai dengan wewenang perawat
c. Komponenya terdiri dari masalah, penyebab dan gejala (PES) atau terdiri
dari masalah dan penyebab (PE).
d. Bersifat actual apabila masalah kesehatan pasien sudah nyata terjadi.
Bersifat potensial apabila msalah kesehatan pasien, kemungkinan besar akan
terjadi
e. Dapat ditanggulangi oleh perawat.
3. Standart III : Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan.
Komponen perencanaan meliputi :
62
a. Prioritas masalah
Kriteria :
1) Masalah-masalah yang mengancam kehidupan merupakan prioritas
utama
2) Masalah-masalah yang mengancam kesehatan seseorang adalahprioritas
kedua.
3) Masalah-masalah yang mempengarui perilaku merupakan prioritas
ketiga.
b. Tujuan asuhan keperawatan
Kriteria :
1) Spesifik
2) Bisa diukur
3) Realistik
4) Bisa dicapai
5) Ada batas waktu
c. Rencana Tindakan
1) Disusun berdasarkan asuhan keperawatan
2) Melibatkan pasien dan keluarga
3) Mempertimbangkan latar belakang budaya pasin/keluarga
4) Menentukan alternatif tindakan
5) Mempertimbangkan kebijakan dan peraturan yang berlaku, lingkungan,
sumber daya fasilitas yang ada.
6) Menjamin rasa aman dan nyaman
7) Kalimat instruksi, ringkas, tegas dan bahasanya mudah dimengerti
63
4. Standart IV: Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan adalah pelaksanan rencana tindakan yang ditentukan
dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara maksimal yang
mencakup aspek peningkatan, pencegahaan, pemeliharaan, serta pemulihan
kesehatan dengan mengikutsertakan pasien da keluarganya.
Kriteria :
a. Dilaksanakan sesuai rencana keperawatan
b. Menyangkut keadaan bio, psiko-sosio spiritual pasien.
c. Menjelaskan setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan kepada
pasien/keluarga
d. Sesuai dangan waktu yang ditetentukan
e. Menggunakan sumber daya yang ada
f. Menetapkan sistim aseptic dan antiseptic
g. Menerapkan aman, nyaman, ekonomis, privasi dan mengutamakan pasien.
h. Melaksanakan perbaikan tindakan sesuai dangan respon pasien
i. Merujuk dengan segera bila ada masalah yang telah mengancam
keselamatan pasien
j. Mencatat semua tindakan yang telah dilakukan
k. Merapikan pasien, alat, setelah melakukan tindakan
l. Melaksanakan tindakan keperawatan berpedoman pada prosedur teknis yang
telah ditentuknan
5. Standart V : Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan secara periodik, sistimatis dan berencana
untuk menilai perkembangan pasien.
64
Kriteria :
a. Setiap tindakan keperawatan, dilakukan evaluasi
b. Evaluasi hasil mengunakan yang ada pada rumusan tujuan
c. Hasil evaluasi segera dicatat dan dikomonikasikan
d. Evaluasi melibatkan pasien, keluarga dan tim kesehatan lainya
e. Evaluasi dilakukan sesuai dangan standar
6. Standar VI : Catatan Asuhan Keperawatan
Catatan asuhan keperawatan dicatat secara individu.
Kriteria :
a. Dilakukan pasien selama rawat inap dan rawat jalan
b. Dapat digunakan sebagai bahan informasi, komunikasi dan laporan
c. Dilakukan segera setelah tindakan dilaksanakan
d. Penulisannya harus jelas dan ringkas serta menggunakan istilah yang baku
e. Sesuai dengan proses pelaksanaan keperawatan
f. Setiap pencatatan harus mencantumkan inisial atau paraf dan nama perawat
yang melaksanakan tindakan dan waktunya
g. Mengunakan formulir yang baku
h. Disimpan sesuai dengan peraturan
Menurut Gilles (1996), bahwa standar penilaian kinerja perawat juga
meliputi :
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan secara sistematis, menyeluruh, akurat, singakat dan
berkesinambungan saat pasien masuk rumah sakit. Hasil pengkajian dicatat
didalam buku status pasien dan dibuat pioritas masalah keperawatan.
65
2. Perencanaan
Rencana perawatan yang buat harus mengacu pada kebutuhan pasien, rencana
akan sangat baik jika dibuat secara kerja sama dengan tim kesehatan lainnya
dan dijadwalkan dengan jelas waktu pelaksanaannya.
3. Implementasi
Dalam melaksanakan rencana perawatan dibutuhkan lingkungan kondusif.
Perawat harus mampu menghormati martabat dan rahasia pasien, mampu
memberikan pendidikan kesehatan pada pasien, menyesuaikan diri dengan
beban kerja yang ada serta mampu bekerja dengan tim kesehatan yang lain.
4. Evaluasi
Evaluasi dilakukan terus menerus dan harus dibandingkan dengan standar
perawatan.
5. Harapan institusi dan profesi
Untuk meningkatkan kinerja dibutuhkan adanya kebijakan, visi, dan misi
rumah sakit yang jelas, juga kemauan yang tinggi dari perawat untuk
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui jenjang pendidikan
berkelanjutan, mengembangkan diri dengan mengikuti penyuluhan, seminar,
lokakarya yang berhubungan dengan profesi keperawatan. Untuk menjadi
perawat yang profesional diperlukan adanya organisasi keperawatan yang
dapat menampung dan mengkoordinir kegiatan keperawatan. Semua tindakan
yang dilakukan harus sesuai dengan uraian tugas, bersedia berbagi pengetahuan
dengan rekan sekerja dan membantu pelaksanaan orientasi perawat baru,
berperilaku, berpikir dan berinteraksi sosial dengan baik.