BAB 2
-
Upload
rona-aria-nugrahawan -
Category
Documents
-
view
11 -
download
1
description
Transcript of BAB 2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Vitalitas dan Revitalisasi
2.1.1 Pengertian Vitalitas
Vitalitas berasal dari kata “vita” yang artinya hidup. Vitalitas diartikan sebagai
gaya hidup, daya tahan atau kemampuan untuk bertahan hidup (Kamus Besar
Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ke III). Vitalitas kawasan adalah
kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya,
dan mendukung produktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dengan tetap
mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan
budaya (PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010). Dalam lingkup kawasan, vitalitas
dapat diartikan sebagai kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap bertahan
hidup. Hidupnya suatu kawasan dapat tercermin dari kegiatan yang berlangsung
di dalam kawasan sepanjang waktu dimana orang akan datang, menikmati dan
melakukan aktivitasnya di sini. Seperti yang diungkapkan oleh Abramson
(1981;82) dalam Jayadi (2005), vitalitas terlihat dari kualitas kehidupan
disepanjang jalan. Kualitas kehidupan ini dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat, baik pengunjung maupun pekerja, yang ditandai dengan peningkatan
penjualan dan menjadi daya Tarik pengunjung (Viedenhoeft, 1981;5) dalam
Jayadi (2005). Agar vitalitas kawasan-kawasan tersebut tidak terus merosot, maka
perlu direvitalisasi yang melibatkan intervensi pemerintah, peranserta masyarakat
dan swasta dari segi keruangan (setting) kawasan sehingga kawasan tersebut akan
lebih terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh dengan sistem kota, yang pada
akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
2.1.2 Pengertian Revitalisasi
Revitalisasi berasal dari kata re dan vitalitas, re dapat di artikan kembali
sedangkan vitalitas berasal dari kata vita yang artinya hidup. Vitalitas diartikan
sebagai daya hidup, daya tahan atau kemampuan untuk bertahan ((Kamus Besar
Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ke III). Dalam lingkup kawasan,
vitalitas dapat diartikan sebagai kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap
13
bertahan hidup. Hidupnya suatu kawasan tercermin dari kegiatan yang
berlangsung di dalam kawasan sepanjang waktu dimana orang akan dating,
menikmati dan melakukan aktivitas di sini. Seperti yang diungkapkan Abramson.
Kualitas kehidupan ini dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik pegunjung
maupun pekerja, ditandai dengan peningkatan penjualan dan menjadi daya Tarik
pengunjung (Wiedenhoeft, 1981:5 dalam Jayadi 2005).
Terdapat beberapa pengertian dari para ahli dan produk hukum yang
mengungkapkan tentang istilah revitalisasi, antara lain:
1. Menurut Slamet Wirasojaya, Revitalisasi adalah upaya untuk
menghidupkan kembali kawasan mati, yang pada masa silam pernah
hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk
menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau
seharusnya dimiliki oleh sebuah kota baik dari segi sosio-kultural, sosiso-
ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat
memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya
berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya.
2. Menurut Mohamad Danisworo, secara teori, revitalisasi adalah upaya
untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah
ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik
dan non fisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial budaya serta
pengembangan instutisional). Proses revitalisasi sebuah kawasan
mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan sosial. Pendekatan
revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi linkungan
( sejarah, makna, keunikan, lokasi dan citra tempat). Dengan dukungan
mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu
mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk
kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota.
3. Menurut Wheisaguna dan Nurul Fauziah Rossi, dalam bukunya Dasar-
Dasar Perencanaan Kota, revitalisasi berasal dari kata “vita” (hidup)
yang berarti meletakan kekuatan kekuatan untuk menghidupkan kembali
kehidupan kota yang telah rusak. Dalam pengertian luas pembangunan
14
kembali kota adalah sebuah usaha untuk mengkonstruksi kembali bagian-
bagian kota besar yang keadaannya memburuk menjadi kumuh dan
memerlukan rehabilitasi segera.
4. Menurut PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman
Revitalisasi Kawasan. Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai
lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang
dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Dengan adanya
revitalisasi kawasan diharapkan dapat memecahkan permasalahan
perkotaan, diantaranya meningkatnya vitalitas kawasan perkotaan,
berkurangnya kantong-kantong kawasan kumuh, meningkatnya pelayanan
jaringan sarana dan prasarana, dan meningkatkan nilai lokasi kawasan.
Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan
kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan
perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam
tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di
Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan
pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan
ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun
1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun
bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan bersejarah/tua.
Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan
aspek fisik dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik diyakini dapat
meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak
untuk jangka panjang. Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan
yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan
kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota
(Danisworo dan Martokusumo, 1989).
Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui
Intervensi fisik. Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan
dilakukan secara bertahap, meliputi (1) perbaikan dan peningkatan kualitas dan
15
kondisi fisik bangunan, (2) tata hijau, (3) sistem penghubung, dan (4) ruang
terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya
dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan
pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental
sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik tetap harus dilandasi
pemikiran jangka panjang.
Skala upaya revitalisasi bias terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti
pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup
kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya, tujuannya adalah sama, yaitu
memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan
kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi
kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk
mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kehidupan
dan fungsi baru (Danisworo, 1989).
Revitalisasi suatu kawasan kota dapat berupa penataan kembali
pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan
yang ada sehingga dapat ditingkatkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi
kualitas lingkungan hidup, peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan
bangunan (Sujarto, 1998). Keberhasilan program revitalisasi dalam suatu kawasan
sangat dipengaruhi aspek sosial dan karakteristik kawasan tersebut yang
merupakan identitas suatu kawasan, bukan pada ide atau konsep yang diterapkan
tanpa penyesuaian dengan lingkungan kawasan tersebut. Upaya revitalisasi
kawasan perdagangan juga terkait dengan beberapa aspek didalamnya, terutama
sosial budaya dan sosial ekonomi. Tahap dalam program revitalisasi diantaranya
adalah menganalisis fungsi atau penggunaan ruang oleh masyarakat saat ini.
Kemudian proses revitalisasi difokuskan dalam upaya pengembangan sumber
kekuatan yang dimiliki ruang tersebut, terutama kekuatan komersial dan
peningkatan kualitas sarana pendukungnya (Taylor, 1981;82)
2.1.3 Isu Revitalisasi
16
Seiring dengan bertambahnya usia kawasan perkotaan di Indonesia, maka
muncul kawasan yang tidak teratur, terdapat kawasan yang produktivitas
ekonominya menurun, adanya kawasan yang terdegradasi lingkungannya akibat
layanan prasarana sarana tidak memadai, bahkan beberapa warisan budaya
perkotaan (urban heritage) menjadi rusak, dan tidak sedikit kawasan yang nilai
lokasinya menurun. Muncul pula kawasan yang kepemilikan tanah menjadi tidak
jelas dan kepadatan fisiknya rendah. Kondisi di atas diperparah karena komitmen
pemda yang rendah dalam menata kawasan tersebut. (PERMEN PU No.
18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan).
Revitalisasi kawasan perlu dilakukan mengingat adanya isu dan
permasalahan (PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi
Kawasan) antara lain:
1. Isu
a. Kemerosotan vitalitas/produktivitas kawasan terbangun perkotaan.
b. Pentingnya peningkatan ekonomi lokal dalam pembangunan kota dan
pembangunan nasional.
c. Pemberdayaan pasar dan masyarakat (market & community enablement).
d. Degradasi kualitas lingkungan kawasan.
e. Pentingnya kebhinnekaan budaya terbangun bagi persatuan dan kesatuan
bangsa.
f. Meningkatnya peran pemangku kepentingan.
g. Pergeseran peran dan tanggung jawab pusat ke daerah.
2. Permasalahan Pembangunan Kawasan Terbangun
a. Penurunan vitalitas ekonomi kawasan terbangun, disebabkan oleh:
1) Sedikitnya lapangan kerja.
2) Kurangnya jumlah usaha.
3) Sedikitnya variasi usaha.
4) Tidak stabilnya kegiatan ekonomi.
5) Penurunan laju pertumbuhan ekonomi.
6) Penurunan produktivitas ekonomi.
17
7) Dis-ekonomi kawasan (dis-economic of a neighbourhood).
8) Nilai properti kawasan rendah dibandingkan kawasan sekitarnya.
b. Kantong kumuh yang terisolir (enclave), disebabkan oleh:
1) Kawasan semakin tidak tertembus secara spasial.
2) Prasarana sarana tidak terhubungkan dengan sistem kota.
3) Kegiatan ekonomi, sosial dan budaya cenderung tidak terkait dengan
lingkungan sekitarnya.
c. Prasarana sarana kurang memadai.
d. Degradasi kualitas lingkungan (environmental quality) dari aspek:
1) Kerusakan ekologi perkotaan.
2) Kerusakan fasilitas kenyamanan kawasan.
e. Bentuk dan ruang kota dan tradisi lokal rusak oleh:
1) ”Perusakan diri-sendiri” (self-destruction).
2) ”Perusakan akibat kreasi baru” (creative-destruction).
f. Tradisi sosial dan budaya setempat dan kesadaran publik
pudar.
g. Manajemen kawasan yang terabaikan.
h. Kurangnya kompetensi dan komitmen pemda dalam mengembangkan
kawasan perkotaan.
2.1.4 Pendekatan Revitalisasi
Menurut Danisworo, (1989) pendekatan revitalisasi dan peningkatan
vitalitas kawasan, antara lain sebagai berikut:
a. Pembangunan Kembali (Redevelopment)
Redevelopment adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota
dengan melakukan pembongkaran sarana dan prasarana terlebih dahulu
dari sebagian atau seluruh kawsan kota tersebut yang dinyatakan tidak
dapat dipertahankan lagi. Selain itu, dilakukan perubahan secara struktural
dari peruntukan lahan serta ketentuan-ketentuan pembangunan lainnya
18
yang mengatur intensitas pembangunan baru, misalnya KLB, KDB, GSB
dan lainnya.
b. Gentrifikasi
Gentrifikasi adalah peningkatan vitalitas suatu kawasan kota melalui
upaya peningkatan kualitas lingkungannya, tanpa melakukan perubahan
yang berarti dari struktur fisik kawasan tersebut. Gentrifikasi bertujuan
memperbaiki perekonomian suatu kawasan kota dengan cara
memanfaatkan berbagai sarana tersebut melalui program
rehabilitasi/renovasi tanpa harus melakukan pembongkaran yang berarti.
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi pada dasarnya merupakan upaya mengembangkan kondisi
suatu bangunan atau unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan,
kemunduran atau degradasi, kepada kondisi aslinya, sehingga dapat
berfungsi kembali dengan baik. Selain itu, dalam rehabilitasi juga
dilakukan perbaikan dari bagian-bagian suatu bangunan yang telah rusak
sehingga dapat berfungsi kembali dengan baik. Selain itu, dalam
rehabilitasi juga dilakukan perbaikan dari bagian-bagian suatu bangunan
yang telah rusak sehingga apat berfungsi kembali dengan baik.
d. Preservasi
Preservasi merupakan upaya untuk memelihara dan melestarikan
monument, bangunan atau lingkungan pada kondisi yang ada dan
menengah terjadinya proses kerusakan. Hal tersebut biasanya dilakukan
untuk melindungi gedung-gedung, monument-monumen atau lingkungan
yang memiliki arti sejarah atau nilai arsitektur yang tinggi. Upaya
preservasi biasanya disertai pula dengan restorasi, rehabilitasi dan
rekonstruksi, tergantung pada kondisi bangunan atau lingkungan yang
akan dilestarikan.
19
e. Konservasi
Konservasi merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat (lahan,
kawasan, gedung dan kelompok gedung termasuk lingkungan yang terkait)
sedemikian rupa sebagai makna (arti, seperti arti sejarah, budaya, tradisi,
nilai keindahan, sosial, ekonomi, fungsi, iklim dan fisik) dari tempat
tersebut dapat dipertahankan. Semua hal tersebut, dapat dilihat dari
maknanya pada masa lalu, kepentingannya saat ini serta kaitannya dengan
kehidupan pada masa yang akan datang.
f. Renovasi
Renovasi adalah upaya mengubah sebagian atau beberapa bagian dari
bangunan tua, terutama bagian dalamnya (interior) dengan tujuan agar
bangunan tersebut dapat diadaptasikan untuk menampung fungsi atau
kegunaan baru yang diberikan kepada bangunan tersebut atau untuk fungsi
yang sama, tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang baru. Upaya
tersebut biasanya menyertai upaya konservasi dan gentrifikasi dari suatu
bangunan dan lingkungan. Proses renovasi antara lain: penyesuaian
orgainiasai ruang, perbaikan sistem sanitasi, peningkatan sistem keamanan
pemakaian bangunan yang sesuai dengan peraturan bangunan yang baru,
perbaikan sistem penerangan, serta pengendalian sistem vertilasi atau
pengaturan sirkulasi udara.
g. Restorasi
Restorasi merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi suatu tempat
pada kondisi awalnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan yang
timbul, kemudian serta memasang atau mengadakan kembali unsur-unsur
semula yang telah hilang tanpa menambah unsur-unsur baru kedalamnya.
h. Rekonstruksi
Rekonstruksi merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi atau
membangun kembali suatu tempat mendekati wujud semula. Proses
20
rekonstruksi biasanya dilakukan untuk mengadakan kembali tempat-
tempat yang telah rusak atau bahkan telah hamper punah sama sekali.
2.1.5 Tujuan Revitalisasi
Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha
menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk
mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing
pertumbuhan, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota.
(PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan)
2.3 Kawasan Perdagangan
2.3.1 Pengertian Kawasan Perdagangan
Definisi dari pusat perdagangan dan jasa adalah sebuah tempat dimana
terdapat pengelompokan fasilitas-fasilitas perdagangan dan jasa berupa bangunan-
bangunan pertokoan yang menyediakan barang dan jasa untuk para konsumen
yang mengunjungi tempat tersebut untuk membeli barang dan jasa yang mereka
perlukan. (Berry, 1973 : 3). Keterkaitan antara luas suatu perdagangan dan jasa
dengan tingkat keterpusatan mendasari terbentuknya hirarki pelayanan.
Kawasan perdagangan adalah kawasan atau tempat yang kegiatannya
diperuntukan jual beli barang-barang hidup kebutuhan sehari-hari. Di kawasan
perdagangan juga bisa kita lihat ada berbagai macam barang yang ditawarkan atau
dibeli oleh konsumen. Di kawasan perdagangan orang melakukan transaksi
dengan membayar secara tunai. Artinya, banyak konsumen atau pembeli datang
ke kawasan perdagangan untuk berbelanja dengan membawa uang tunai. Inilah
kawasan perdagangan dalam arti asli atau konkrit. Beberapa jenis kawasan
komersial yang bisa dikenali telah muncul dalam kota modern (Gallion dan
Eisner:1986). Ringkasan yang paling jelas adalah sebagai berikut:
1. “Pusat kota” dari kota meteopolitan besar sudah dikenal oleh setiap
penghuni kota. Pusat kota adalah pusat keuangan dan administratif dari
wilayahnya dan di beberapa kota, telah menjadi kegiatan usaha negara.
Pusat kota mencakup pusat-pusat perdagangan besar dan eceran untuk
melayani kawasan satelit atau wilayahnya. Pusat kegiatan usaha
21
mempunyai fungsi penting dan berguna sebagai berguna sebagai
jantung kota, dan kemundurannya menjadi tantangan bagi kegiatan
usaha dan pemerintah.
2. Kawasan kegiatan usaha kecil dari daerah satelit. Pusat komersil kecil
yang bergantung pada pusat metropolitan akan fungsi-fungsi
administratif dan perdagangan besar, mengandung rangkaian took-toko
eceran, kantor-kantor professional, perusahaan jasa, gedung bioskop,
cabang-cabang bank, dan bursa saham. Dalam kota kecil yang
swasembada, kawasan ini juga menyediakan fasilitas perdagangan besar
dan mencakup pusat-pusat administratif dan transportasi yang
diperlukan.
3. Kawasan perdagangan di pinggiran kota, pusat perbelanjaan daerah atau
regional. Pusat-pusat ini mungkin berhimpitan atau merupakan
pandanan dari pusat komersial dari pusat satelit, tapi mengandung
fasilitas berskala besar yang tidak terbagi-bagi lagi atau terdistribusi.
4. Unit komersial terkecil adalah linkungan. Sebagai pandanan modern
dari “warung pojok”, pusat perbelanjaan lingkungan menyediakan
komoditi sehari-hari untuk konsumsi langsung bagi jumlah penduduk
terbatas. Pusat perbelanjaan ini mungkin mempunyai warung dan pasar
daging yang terpisah, toko peralatan dan televisi tukang sepatu, toko
dan toko kebutuhan sehari-hari lainnya.
Untuk mengkaji kawasan perdagangan perlu di cermati mengenai istilah
pasar. Definisi pasar secara luas menurut W.J. Santon adalah orang-orang yang
mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta
kemauan untuk membelanjakannya.
Pada umumnya suatu transaksi jual-beli melibatkan barang atau jasa
dengan uang sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua
pihak yang bertransaksi.
22
2.3.2 Klasifikasi Kegiatan Perdagangan
Kegiatan perdagangan dapat di klasifikasikan berdasarkan jenis barang
yang diperdagangkan, berdasarkan tingkatnya dan berdasarkan pelayanannya.
Kegiatan perdagangan berdasarkan jenis barang yang diperdagangkan
dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Kegiatan perdagangan barang-barang primer, merupakan jenis
perdagangan barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari, seperti
beras, sayur-sayuran, buah-buahan, gula, kopi, minuman dan
sebagainya.
b. Kegiatan perdagangan barang-barang sekunder, merupakan
barang-barang yang dibutuhkan hanya sekali-kali atau dibutuhkan
dalam jangka waktu tertentu, seperti pakaian, alat-alat rumah
tangga dan sebagainya.
c. Kegiatan perdagangan barang-barang tersier seperti radio, televisi,
perhiasan dan sebagainya.
Menurut tingkatnya pasar dibedakan menjadi tiga bagian (Winardi, 1962 :
182) yaitu;
a. Pasar Dunia yaitu pasar yang keseluruhan permintaan dan penawaran yang
berhubungan satu sama lainnya meliputi seluruh dunia.
b. Pasar Regional atau Pasar Induk, yaitu pasar yang mempunyai fungsi
pelayanan regional dan lokal serta sistem transaksinya secara borongan.
c. Pasar Lokal atau Pasar Lingkungan, yaitu memiliki fungsi pelayanan
lingkungan sekitar pasar dan transaksinya secara eceran.
Klasifikasi Pasar Berdasarkan Pelayanannya (Sansumaji, dalam Wildan
2014) yaitu ;
a. Pusat Perdagangan Utama (Pusat Kota)
Kegiatan perdagangan yang cendrung berlokasi di pusat kota , terdiri atas
kegiatan perdagangan eceran.
b. Pusat Perdagangan Kedua (Pusat Wilayah)
23
Lokasi perdagangan cenderung menyebar ke daerah transisi (pinggiran
kota), tetapi masih berlokasi pada jalan utama (regional). Jenis barang
yang di perdagangkan sudah terbatas pada barang primer dan sekunder.
c. Pusat Perdagangan Ketiga (Pusat Lingkungan)
Lokasi perdagangan berada di lingkungan-lingkungan perumahan
penduduk dengan inti kegiatan pasar-pasar lingkungan.
2.3.3 Struktur Wilayah Perdagangan
Struktur wilayah perdagangan merupakan tingkat wilayah perdagangan
dari aktivitas perdagangan dalam menarik konsumen dengan variasi jarak atau
variasi wilayah konsumen yang berbeda. Adapun struktur wilayah perdagangan
dapat dibagi atas 3 kelompok (Lewison dalam Ihsan, 1998), yaitu :
a. Wilayah perdagangan umum, termasuk di dalamnya semua konsumen
yang datang berbelanja di tempat perbelanjaan.
b. Wilayah perdagangan gabungan, merupakan gabungan beberapa wilayah
perdagangan dengan struktur tersendiri sesuai dengan jenis barang yang
dijual.
c. Wilayah perdagangan/pelayanan yang proporsional, diukur berdasarkan
jarak/waktu tempuh konsumen dengan pusat belanja, adapun wilayah
tersebut menurut Cam (1988), sebagai berikut:
Wilayah Perdagangan / Pelayanan Primer
Wilayah perdagangan/pelayanan primer merupakan daerah atau areal
dimana suatu tempat perbelanjaan akan mendapatkan pangsa pasar
tersebar dari penjual yang cepat . waktu tempuh untuk toko swalayan
(supermarket) sekitar 5 menit, sedangkan untuk tempat perbelanjaan
yang lebih besar mempunyai waktu tempuh 20-30 menit. Untuk waktu
tempuh ini tidak dapat dijadikan standar waktu karena tiap daerah
memiliki karakter transportasi, lalulintas dan jarak yang berbeda,
disamping itu wilayah perdagangan/pelayanan primer dapat menarik
60-70% dari total pengunjung yang datang ke tempat perbelanjaan
tersebut.
24
Wilayah Perdagangan / Pelayanan Sekunder
Wilayah perdagangan/pelayanan sekunder adalah wilayah perdagangan
atau wilayah pelayanan yang mempunyai waktu tempuh sekitar 5-12
menit untuk supermarket, dan 20-45 menit untuk tempat perbelanjaan
yang lebih besar. Disamping itu wilayah perdagangan sekunder dapat
menarik 20-30% pengunjung ke tempat perbelanjaan tersebut.
Wilayah Perdagangan / Pelayanan Tersier
Wilayah perdagangan/pelayanan tersier dapat menarik 5-10% dari total
pengunjung suatu tempat perbelanjaan. Waktu tempuh untuk mencapai
tempat perbelanjaan yang terdapat pada wilayah perdagangan/
pelayanan tersier lebih lama/bangkitan pengunjung yang lebih luas.
2.3.4 Kriteria Kawasan Perdagangan
Menurut PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kawasan
Budidaya, kawasan perdagangan dan jasa memiliki dua fungsi utama yaitu, untuk
memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakat yang
membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa (sisi
penawaran) dan juga di harapkan kawasan perdagangan dan jasa dapat menyerap
tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yang dominan terhadap
PDRB.
Adapun kriteria umum kawasan perdadangan jasa Menurut PERMEN PU
No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kawasan Budidaya, adalah sebagai
berikut:
1) Peletakan bangunan dan
2) ketersediaan sarana dan prasarana pendukung disesuaikan dengan
kebutuhan konsumen;
Sedangkan jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan di dalam kawasan
perdagangan dan jasa ,antara lain:
1) Tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam;
2) Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota;
25
3) Bangunan usaha perdagangan (eceran dan grosir): toko, warung, tempat
perkulakan, pertokoan, dan sebagainya;
4) Bangunan penginapan seperti hotel, guest house, motel, dan
penginapan lainnya;
5) Bangunan penyimpanan dan pergudangan: tempat parkir, gudang;
6) Bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;
7) Bangunan pariwisata/rekreasi (di ruang tertutup): bioskop, area
bermain.
Menurut PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kawasan
Budidaya, pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa
diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap
memelihara sumber daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang
berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Artinya kegiatan perdagangan dan jasa harus memperhatikan
kelestarian lingkungan sekitar.
2.4 Faktor, Variabel dan Indikator Penyebab Penurunan Vitalitas
Kawasan
Faktor, variabel dan indikator penyebab penurunan vitalitas kawasan
adalah sebagai berikut.
1. Kenyamanan
Kenyamanan kawasan menjadi factor penting mengingat kawasan yang
tidak nyaman cenderung ditinggal oleh pengunjung. Variabel dan indicator
dari faktor kenyamanan adalah:
a. Jalur Pejalan
Adanya perlindungan dari cuaca dan adanya tempat bernaung bagi
pejalan dalam melakukan perjalanannya. Cuaca yang buruk akan
mengurangi keinginan orang untuk berjalan (Pignatoro 1976).
b. Ruang Terbuka dan Penghijauan
26
Adanya ruang-ruang terbuka umum, banyak dipengaruhi
ketersedian taman-taman, plaza dan ruang terbuka yang tertata
dengan baik sebagai tempat pengguna kawasan baik pengunjung
maupun pedagang.
Penghijauan dapat menciptakan lingkungan kawasan yang indah
dan menarik. Penghijauan juga berfungsi sebagai penyerap
panas sinar matahari dan peredam kebisingan (De Chiara and
Koppelman, 1975).
c. Parkir dan Ketersediaan Kendaraan Umum
Ketersediaan lokasi parkir dan ketersediaan kendaraan umum
yang dekat dengan tempat kegiatan perdagangan menjadi
pertimbangan dalam upaya memberi kenyamanan pengunjung
ke kawasan.
Ketersediaan fasilitas kendaraan umum yang memadai dalam
hal penempatan, penyedianya akan mendorong orang untuk
berjalan lebih jauh dibandingkan dengan dengan apabila tidak
tersedianya fasilitas ini secara merata. Termasuk juga
penyediaan transportasi lainnya, seperti jaringan jalan yang baik,
halte dan sebagainya.
d. Aksesbilitas
Aksesbilitas terkait dengan kemudahan pencapaian ke kawasan,
juga mempengaruhi kenyamanan pengunjung. Kondisi jalan dan
sirkulasi kendaraan yang tidak memadai salah satu penyebab
terjadinya kemacetan di dalam kawasan.
2. Keamanan
Menurut Pignataro(1976) aman berarti terbebas dari lingkungan yang
dapat menimbulkan tindak kriminal yang menimpa pejalan ketika sedang
berjalan. Lingkungan yang tidak aman mendorong orang untuk tidak
datang ke kawasan dan membuka peluang munculnya kawasan “pesaing”
baru yang lebih menjamin keamanan, sehingga menarik banyak
27
pengunjung (Bromley and Thomas, 1993 : 154). Indikator aspek
keamanan adalah:
a. Jalur Pejalan
Adanaya aktivitas pedestrian dan jalur kendaraan
guna ,membangun aktivitas koridor yang aktif, sehingga
kemungkinan terjadinya kejahatan karena jalur yang sepia tau
gelap di malam hari dapat dihindari dan diharapkan keamanan
kawasan dapat diupayakan (Bromley and Thomas, 1993 : 154).
b. Pola Guna Lahan Kegiatan
Pengguna lahan untuk berbagai macam kegiatan, seperti kios,
hotel, restoran yang buka 24 jam, menjadikan kawasan aktif
sepanjang hari dan keamanan dapat tercipta dengan sendirinya
(Bromley and Thomas, 1993 : 154).
c. Penerangan
Menciptakan penerangan yang cukup dan penampakan (visibility)
yang baik atau pandangan yang tidak terhalangi, dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya tindak kriminal (Bromley and Thomas,
1993 : 154).
3. Keselamatan
Aspek keselamatan di sini adalah terjaminnya keselamatan jiwa manusia
yang melakukan kegiatan di dalamnya baik dari gangguan iklim, bencana
alam maupun dari segi konstruksinya.
a. Bahaya Kebakaran
Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal dan rumah deret
harus dilengkapi dengan petunjuk secara jelas tentang cara-cara
pencegahan dari bahaya kebakaran, penanggulangan, penyelamatan
dari bahaya kebakaran, pendeteksian sumber kebakaran dan tanda-
tanda pentunjuk arah jalan keluar yang jelas. (PERMEN PU
NOMOR : 29/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Teknis Bangunan
Gedung)
28
b. Jalur Pejalan
Keselamatan lingkungan kawasan dari kemungkinan terjadinya
kecelakaan ditekankan pada kemungkinan kecelakaan di jalan,
bahaya terperosok, menabrak tiang atau pohon atau sebagainya
(Unterman, 1984 :30).
4. Kesenangan
Suatu kawasan haruslah dapat menciptakan suasana yang menyenangkan
bagi pengguna kawasan yang ada didalamnya. Hal ini bertujuan agar para
pengguna/pengunjung betah dan tertarik pada kawasan tersebut.
Indikator aspek keamanan adalah:
a. Jalur Pejalan
Jalur pejalan diupayakan dalam jalur terpendek dan jelas, yang
dapat membuat pejalan kaki menjadi mudah, bebas dari penundaan
pergerakan dari satu tempat ke tempat lain yang diakibatkan
kepadatan pejalan. Biasanya orang berjalan masih merasa senang
sampai dengan jarak 500 meter. Lebih dari jarak itu, diperlukan
fasilitas lain yang dapat mengurangi perasaan lelah orang berjalan,
misalnya adanya tempat duduk atau tempat istirahat.
b. Fasilitas Pendukung
Fasilitas pendukung merupakan salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan untuk mendukung kegiatan yang ada di dalam
kawasan. Fasilitas pendukung pada kawasan perdagangan antara
lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos polisi, pos pemadam
kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana
penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung.
(PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Kriteria Teknis
Kawasan Budidaya)
2.5 Variabel Penilitian yang Digunakan
Untuk menenilai vitalitas suatu kawasan, maka perlu dilihat indikator
indikator penurunan vitalitas kawasan. Sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa
29
saja yang menyebabkan penurunan vitalitas kawasan. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada Tabel II.1.
30
Tabel II.1Faktor, Variabel dan Indikator Penyebab Penurunan Vitalitas Kawasan
Faktor Variabel Indikator Kategori
kenyamanan
Jalur Pejalan
Terlindungi dari cuaca dan adanya tempat bernaung bagi pejalan dalam melakukan perjalanannya
Bentuk fisik trotoar tidak terputus dan landau Kebebasan bergerak bagi pejalan, tidak terhalangi
oleh penggunaan jalur pejalan yang tidak semestinya
Perhatian terhadap penyandang cacat
Rendah
Tinggi
Ruang Terbuka dan Penghijaun
Adanya ruang-ruang terbuka umum, ketersediaan taman-taman dan ruang terbuka yang tertata dengan baik untuk berkumpul dan berinteraksi
Dapat menyerap panas matahari dan meredam kebisingan
Rendah
Tinggi
Parkir dan Ketersediaan Angkutan Umum
Dekat dengan kawasan Tersedianya fasilitas kendaraan umum, termasuk
juga penyediaan fasilitas transportasi lainnya, seperti jaringan jalan yang baik, halte dan sebagainya
Rendah
Tinggi
Aksesbilitas
Kemudahan pencapaian ke kawasan, tidak mengalami kesulitan yang dipengaruhi oleh kondisi jalan dan sirkulasi kendaraan (lancar atau tidaknya arus sirkulasi kendaraan)
Rendah
Tinggi
Keamanan
Jalur Pejalan Adanya aktivitas pejalan dan jalur kendaraan guna membangun aktivitas koridor yang aktif
RendahTinggi
Aktivitas Kawasan Aktivitas kawasan sepanjang hari di dalam kawasan RendahTinggi
Penerangan Penerangan yang cukup dan penampaka (Visibility) yang baik atau pandangan yang tidak terhalangi
Rendah
Tinggi
31
Faktor Variabel Indikator Kategori
Keselamatan
Bahaya Kebakaran
Adanya petunjuk secara jelas tentang cara-cara pencegahan dari bahaya kebakaran, penanggulangan, penyelamatan dari bahaya kebakaran, pendeteksian sumber kebakaran dan tanda-tanda pentunjuk arah jalan keluar yang jelas
Rendah
Tinggi
Jalur Pejalan
Menghindari terjadinya konflik antar pengguna kawasan dengan kendaraan bermotor
Menghindar dari bahaya terperosok, menabrak tiang atau pohon dan sebagainya
Rendah
Tinggi
Kesenangan
Jalur Pejalan
Jalur pejalan yang terlihat menarik, baik dari segi kegiatan sekitar jalur tersebut atau keindahan, misalnya dengan adanya pohon pelindung agar pejalan senang berjalan di jalur tersebut
Jalur pejalan diupayakan dalam jaur terpendek dan jelas, yang dapat membuat pejalan menjadi mudah dan bebas dari penundaan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain yang diakibatkan kepadatan pejalan
Rendah
Tinggi
Fasilitas Pendukung
Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung
Rendah
Tinggi
Sumber: Susiyanti, (2002), Dhechiara (1975), Garnham (1984), Pignatoro (1976), Trancik (1986), Unterman (1984), PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Kriteria Teknis Kawasan Budidaya
32
Vitalitas kawasan perdagangan bukanlah sesuatu yang stagnan, sifatnya
dinamis yang cepat mengalami perubahan mengingat kegiatan seperti
komunitas manusia yang selalu berubah, Dia akan mengalami pasang surut.
Batas ambang maksimum untuk kegiatan perdagangan adalah sepuluh tahun
seperti yang diungkapkan oleh Kevin Lynch dalam tulisannya Designing and
Managing the Strip (Southworth ed., 1994:583)
Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk menunjukkan vitalitas suatu
kawasan perdagangan dilihat aspek kegiatan yang ada di dalam kawasan
adalah:
1. Tingginyajumlah pengunjung
2. Tingginya tingkat isian kawasan
3. Tingginya kondisi penjualan
4. Lamanya kegiatan berlangsung
Tabel II.2Kriteria Penilaian Vitalitas Kawasan Perdagangan
Kriteria Variabel Indikator KategoriTingginya Jumlah Pengnjung
Kepadatan Pengunjung (orang/menit/meter)
≤24 orang/menit/meter Rendah
>24 orang/meter/menit TinggiJumlah kendaraan yang parkir
≤70% dari kapasitas lahan parkir Rendah>70% dari kapasitas lahan parkir Tinggi
Tingkat isian tinggi
Banyaknya toko aktif dan tidak aktif
≤70% dari kapasitas isian Rendah>70% dari kapasitas isian Tinggi
Waktu kegiatan berlangsung
Lamanya toko beroperasi
≤8 jam/hari Rendah>8 jam/hari Tinggi
Tingginya kondisi pemjualan
Omzet Perdagangan
≤70% dari tahun sebelumnya Rendah>70% dari tahun sebelumnya Tinggi
Pajak dan retribusi ≤70% dari tahun sebelumnya Rendah>70% dari tahun sebelumnya Tinggi
Sumber:Susiyanti (2002)
Vital atau tidaknya suatu kawasan dapat dilihat dari kondisi lingkungan.
Lingkungan harus peka terhadap perubahan yang akan terjadi, karena ketidak
pekaan terhadap perubahan yang terjadi akan membawa pengaruh besar pada
kegiatannya. Kegagalan suatu kegiatan disebabkan karena kita tidak menyadari
akan perubahan yang akan berlangsung dalam kegiatan tersebut (Danisworo,
1989;9). Kawasan yang tidak mampu bersaing dengan kawasn sekitarnya akan
33
menjadi kawasn tertekan, karena dalam perkembangannya dia kehilangan
“kekuatan” untuk membangkitkan atau memelihara aktivitas kegiatan yang ada di
dalamnya.
Penilaian faktor-faktor penyebab penurunan vitalitas kawasan didasarkan
pada tolak ukur masing-masing indikator yang sudah ditetapkan. Penilaian faktor
tersebut adalah sebagai berikut :
(+) adalah kondisi variable positif terhadap vitalitas kawasan, yang artinya kondisi
eksisting kawasan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.
(-) adalah kondisi variable negatif terhadap vitalitas kawasan, yang artinya
kondisi eksisting kawasan tidak sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.
Menetapkan kawasan vital atau tidak vital berdasarkan nilai modus yang
dihasilkan. Jika nilai modus rendah, maka kawasan dapat terjadi penurunan fungsi
kawasan dan sebaliknya jika nilai modus tinggi, maka kawasan dikatakan tidak
ada penurunan fungsi kawasan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel.
2.6 Teknik Analisis
2.6.1 Pengumpulan Sampling
Hal ini dilakukan unuk mengetahui lebih jelas tentang dengan melihat
persepsi pengunjung terhadap variabel dan indikator penyebab penurunan vitalitas
kawasan. Menurut Sugiyono (2007:57), sampel adalah sebagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel terdiri dari anggota
yang dipilih dari populasi. Arena populasi bersifat infinit maka dalam penelitian
ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability
sampling dengan accidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel,
berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang sedang berkunjung. Penelitian ini
menggunakan 5 variabel yang dianalisis. Menurut Malhotra (1993:622) bahwa
jumlah responden paling sedikit 4 atau 5 dikalikan dengan jumlah indikator yang
digunakan dalam penelitian.
Kuesioner disiapkan dalam bentuk pilihan jawaban yang sesuai dengan
persepsi responden, yaitu berupa pertanyaan tertutup yang disertai dengan
34
pertanyaan terbuka. Selanjutnya kuesioner disebar kepada responden dengan cara
bertanya langsung pada responden dan mewawancarai responden satu per satu.
2.6.2 Deskriptif Kualitatif
Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format
deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam penelitian ini
digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang
memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu
tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89).
Selanjutnya penelitian kualitatif menurut Moleong (2007:6) adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
alamiah.
Menurut Bogdan dan Taylor (1975) mengemukakan bahwa metodologi
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Selanjutnya dijelaskan oleh David Williams (1995) mengemukakan bahwa
penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan
menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang
tertarik secara alamiah. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran
seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.
Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan
orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.
Analis deskriptif kualitatif pada studi Identifikasi Tingkat Vitalitas
Kawasan Pasar Baru Kota Bandung ini, digunakan untuk mengetahui:
1. Menganalisis terhadap faktor, variabel, dan indikator penyebab
penurunan vitalitas kawasan.
35
2. Menganalisis terhadap faktor, variabel, dan indikator penyebab
penurunan vitalitas kawasan berdasarkan persepsi pengunjung Kawasan
Pasar Baru Kota Bandung.
3. Menganalisis tingkat vitalitas Kawasan Pasar Baru Kota Bandung
dengan menilai kriteria tingkat vitalitas Kawasan Pasar Baru Kota
Bandung.
4. Mengidentifikasi potensi serta permasalahan yang berpengaruh
terhadap tingkat vitalitas Kawasan Pasar Baru Kota Bandung, untuk
menghasilkan rekomendasi peningkatan vitalitas Kawasan Pasar baru
Kota Bandung
2.7 Studi Terdahulu
1. Dita Andini, 2011. “Revitalisasi Obyek Wisata Taman Balekambang Kota
Surakarta”. Universitas Sebelas Maret Surakarta
Latar Belakang
Pembangunan daerah merupakan pelaksanaan kebijakan dan program
pemerintah daerah melalui proses pendayagunaan sumber daya yang dimiliki
untuk melaksanakan segala urusan pemerintahan di daerah; meningkatkan kualitas
pelayanan publik; memenuhi kebutuhan dasar dan peningkatan ekonomi daerah.
Kota Surakarta atau yang dikenal dengan Kota Sala merupakan salah satu
Kota yang dikenal sebagai Kota Budaya dan Pariwisata. Pemerintah Kota
Surakarta telah menetapkan visi nya untuk menjadikan Solo sebagai Kota Budaya
yang salah satunya bertumpu pada pariwisata. Pembangunan kepariwisataan di
Kota Surakarta terus diupayakan dari tahun ke tahun. Pembangunan sektor
pariwisata di Kota Surakarta merupakan salah satu upaya untuk melestarikan
kebudayaan daerah. Sehingga pembangunan sektor pariwisata diarahkan dapat
menjadi bagian dari upaya peningkatan pelestarian seni dan budaya, peningkatan
kesejahteraan masyarakat, dan juga merupakan bagian dari usaha pembangunan
wilayah. Pembangunan kepariwisataan diharapkan dapat meningkatkan sumber
penerimaan pajak atau retribusi daerah yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Kota Surakarta, menggerakkan sektor-sektor lain (khususnya
36
perdagangan, jasa, perhotelan), memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
Taman Balekambang merupakan peninggalan Mangkunegaran berupa
taman air. Taman balekambang awalnya bernama Partini Tuin dan Partinah
Bosch, yang dibangun oleh KGPAA Mangkunegoro VII pada tanggal 26 Oktober
1921. Karena rasa sayangnya pada putrinya GRAy Partini Husein Djayaningrat
dan Gray Partinah Sukanta maka nama putrinya tersebut diabadikan sebagai nama
taman.
Dilihat dari nilai historis serta nilai fungsional yang ada, Taman
Balekambang dapat menjadi obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi di Kota
Surakarta, tetapi karena belum dikembangkan secara optimal, sehingga jumlah
pengunjung ke obyek wisata tersebut tergolong paling sedikit dibandingkan
dengan obyek wisata lainnya di Kota Surakarta.
Revitalisasi Taman Balekambang merupakan bagian untuk melestarikan
obyek wisata Taman Balekambang, sekaligus pemberdayaan aset Pemerintah
Kota Surakarta sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan Kota Surakarta.
Program revitalisasi merupakan bagian dari strategi dan program
pembangunan kepariwisataan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta.
Revitalisasi Taman Balekambang Kota Surakarta merupakan perwujudan
dukungan sepenuhnya terhadap pelestarian obyek wisata dan budaya sekaligus
upaya pemberdayaan potensi Kota Surakarta sebagai Kota Wisata, sehingga dapat
memberikan kontribusi yang lebih signifikan pada penyelenggaraan,
pengembangan dan pemberdayaan aset-aset Pemerintah Kota Surakarta.
Kondisi Taman Balekambang saat ini memang sangat layak sebagai
Obyek wisata, dan Pemerintah Kota Surakarta membuat kawasan Taman
Balekambang sebagai kawasan wisata yang edukatif, rekreatif dan mengandung
nilai budaya. Keberhasilan suatu program revitalisasi obyek wisata Taman
Balekambang tentu tidak akan luput dari sebuah perencanaan matang yang
melalui berbagai tahapan, demi terciptanya suatu kondisi yang diinginkan. Untuk
37
itulah penulis ingin memberikan informasi mengenai Proses dan Tahapan dalam
Revitalisasi Taman Balekambang kota Surakarta.
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran tersebut, penelitian dengan judul
“Revitalisasi Obyek Wisata Taman Balekambang Kota Surakarta”, menarik dan
relevan untuk dilakukan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk mendeskripsikan program revitalisasi kawasan wisata Taman
Balekambang dalam rangka pengembangan kepariwisataan kawasan wisata
Taman Balekambang.
2. Mengetahui hambatan dan faktor pendorong yang ada dalam proses revitalisasi
di kawasan wisata Taman Balekambang
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatitf.
Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mengangkat fakta, keadaan,
variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi ketika penelitian berlangsung dan
menyajikan apa adanya. Penelitian ini menuturkan dan menafsirkan data yang
berkenaan dengan situasi yang terjadi, sikap, dan pandangan yang menggejala di
masyarakat.
Teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara selektif dengan
menggunakan pertimbangan teoritis, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris,
dan kebutuhan maupun tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan
metode purposive sampling atau sampel bertujuan, dimana peneliti cenderung
menggunakan atau memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya
untuk menjadi sumber data yang mantap.
Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan penelitian
subjektif peneliti berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai
sangkut paut dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya
dengan pertimbangan tertentu.
38
Reduksi Data
Yaitu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,
membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan tertulis di
lapangan. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian ini selesai
ditulis.
Sajian Data
Yaitu suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset
dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa
yang terjadi. Memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun
tindakan lain berdasarkan penelitian tersebut.
Penarikan Simpulan dan Verifikasi
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang ditemui dengan melakukan
pencatatan peraturan-peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi
yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya dapat ditarik kesimpulan.
2. Bani Perdatawati Hasanuddin, 2014. “Implementasi Revitalisasi
Permukiman Kumuh di Kota Makassar”. Universitas Hasanudin.
Latar Belakang
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan
kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan
kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas
dari peningkatan penggunaan lahan. Pengembangan kawasan permukiman akibat
tidak tertata dan semakin berkurangnya lahan permukiman mendorong
peningkatan permukiman kumuh di Kota Makassar.
Permukiman kumuh adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan
penataan ruang tidak terkecuali di Kota Makassar. Pengelolaan perumahan
permukiman dalam rencana pengembangan kawasan permukiman Pasal 17 ayat
(6) butir 1 poin (a) dan (b) RTRW Kota Makassar, menyatakan bahwa rencana
pengembangan pola perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh
berat dan sedang (Lette, Baraya, dan Abu Bakar Lambogo) termasuk kawasan
39
permukiman yang berada di sepanjang bantaran kanal kota, dan pengembangan
perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh sedang dan ringan
(kawasan pesisir pantai utara, galangan kapal-Paotere) secara terbatas melalui
pengembangan secara vertikal, yang dilengkapi sarana dan prasarana yang
memadai 8 (tercantum dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata
Ruang wilayah Kota Tahun 2005-2015). Selain itu, dalam perencanaan
pengembangannya permukiman kumuh diharapkan dapat dilengkapi dengan
fasilitas yang layak.
Makassar merupakan suatu kota yang mempunyai pertumbuhan dan
perkembangan pembangunan semakin maju. Dengan semakin majunya semua
aspek pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi yang menyangkut
industrial, mobilitas manusia yang terus meningkat, diskonkurensi masalah
kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar, juga dengan adanya
peningkatan jumlah penduduk. Dengan implikasi ini, kebutuhan akan kawasan
perumahan permukiman yang semakin besar dengan lahan yang terbatas
menciptakan luasan kawasan permukiman kumuh yang besar di Kota Makassar.
Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui implementasi revitalisasi permukiman kumuh di wilayah
Kota Makassar sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Tahun 2005-2015.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam revitalisasi
permukiman kumuh di wilayah Kota Makassar.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah lokasi permukiman
kumuh Kawasan Kumuh Tallo yakni kelurahan Buloa dan Kelurahan Tallo
Kecamatan Tallo Kota Makassar.
Dari populasi tersebut, selanjutnya ditarik sampel dengan menggunakan
teknik puposive sampling, yang dianggap memenuhi sebagai responden.
40
Berdasarkan perolehan data primer maupun data sekunder, penulis
menggunakan metode analisis kualitatif yaitu mendeskriptifkan data tersebut yang
selanjutnya diikuti dengan penafsiran dan kesimpulan. Penyajian data secara
deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan, menggambarkan, dan memecahkan
permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
3. Asterius H. Maru, 2009. “Strategi Revitalisasi Kawasan Terminal
Cicaheum”. Universitas Pasundan.
Latar Belakang
Terminal Cicaheum merupakan salah stau prasrana yang disediakan ole
pusat Kota Bandungyang mempunyai berbagai fungsi, terutama memiliki fungsi
pelayanan ekonomi daerah yang harus di tata sesuai peruntukan dan
penggunaanya yang memiliki nilai keamanan dan kenyamanan.
Kawasan Terminal Cicaheum merupakan kawasan terminal yang identic
dengan kemacetan selain itu ada beberapa permasalahan yang berkaitan erat
dengan penataannya yaitu status dan fungsi terminal yang tidak sesuai terutama
dari luas lahan, bentuk dan struktur fisik bangunan yang tidak tertata dengan baik
serta ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana yang kurang memadai yang
mengakibatkan terjadinya penurunan vitalitas kawasan secara keseluruhan. Untuk
meningkatkan vitalitas kawasan tersebut maka perlu dilakukan revitalisasi
kawasan sehingga dapat menghidupkan kembali kawasan yang pernah vital atau
hidup terutama dari segi fungsi serta fisiknya. Langkah yang diambil untuk
mengatasi permasalahan tersebut adalah merevitalisasi, mengingat permasalahan
yang terjadi adalah adanya penurunan tingkat vitalitas kawasan secara
keseluruhan.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari studi adalah merumuskan strategi revitalisasi di Kawasan
Terminal Cicaheum dalam upaya menghidupkan kembali vitalitas kawasan
terminal. Sasaran yang ingin dicapai dari studi ini adalah:
Mengidentifikasi status dan fungsi terminal
41
Mengidentifikasi lokasi yang menimbulkan kemacetan
Mengidentifikasi penurunan fungsi dan vitalitas terminal
Mengidentifikasi kegiatan pasar yang menimbulkan kesemrawutan
Mengidentifikasi kegiatan pedagangn kaki lima yang menimbulkan kemacetan
Menidentifikasi kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang
(Opportunity), ancaman (Threat) di Kawasan Terminal Cicaheum.
Metodologi Penelitian
Teknik analisis penilitian atau pembobotan.
Analisis SWOT
Analisis Deskriptif
Nilai Pembobotan
42