BAB 2

46
BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Vitalitas dan Revitalisasi 2.1.1 Pengertian Vitalitas Vitalitas berasal dari kata “vita” yang artinya hidup. Vitalitas diartikan sebagai gaya hidup, daya tahan atau kemampuan untuk bertahan hidup (Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ke III). Vitalitas kawasan adalah kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya, dan mendukung produktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dengan tetap mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan budaya (PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010). Dalam lingkup kawasan, vitalitas dapat diartikan sebagai kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap bertahan hidup. Hidupnya suatu kawasan dapat tercermin dari kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan sepanjang waktu dimana orang akan datang, menikmati dan melakukan aktivitasnya di sini. Seperti yang diungkapkan oleh Abramson (1981;82) dalam Jayadi (2005), vitalitas terlihat dari kualitas kehidupan disepanjang jalan. Kualitas kehidupan ini dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik pengunjung maupun pekerja, yang ditandai dengan peningkatan penjualan dan menjadi daya Tarik pengunjung (Viedenhoeft, 1981;5) dalam Jayadi (2005). Agar vitalitas kawasan-kawasan tersebut tidak 13

description

Bab II

Transcript of BAB 2

Page 1: BAB 2

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Vitalitas dan Revitalisasi

2.1.1 Pengertian Vitalitas

Vitalitas berasal dari kata “vita” yang artinya hidup. Vitalitas diartikan sebagai

gaya hidup, daya tahan atau kemampuan untuk bertahan hidup (Kamus Besar

Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ke III). Vitalitas kawasan adalah

kualitas suatu kawasan yang dapat mendukung kelangsungan hidup warganya,

dan mendukung produktivitas sosial, budaya, dan ekonomi dengan tetap

mempertahankan kualitas lingkungan fisik, dan/atau mencegah kerusakan warisan

budaya (PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010). Dalam lingkup kawasan, vitalitas

dapat diartikan sebagai kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap bertahan

hidup. Hidupnya suatu kawasan dapat tercermin dari kegiatan yang berlangsung

di dalam kawasan sepanjang waktu dimana orang akan datang, menikmati dan

melakukan aktivitasnya di sini. Seperti yang diungkapkan oleh Abramson

(1981;82) dalam Jayadi (2005), vitalitas terlihat dari kualitas kehidupan

disepanjang jalan. Kualitas kehidupan ini dinikmati oleh seluruh lapisan

masyarakat, baik pengunjung maupun pekerja, yang ditandai dengan peningkatan

penjualan dan menjadi daya Tarik pengunjung (Viedenhoeft, 1981;5) dalam

Jayadi (2005). Agar vitalitas kawasan-kawasan tersebut tidak terus merosot, maka

perlu direvitalisasi yang melibatkan intervensi pemerintah, peranserta masyarakat

dan swasta dari segi keruangan (setting) kawasan sehingga kawasan tersebut akan

lebih terintegrasi dalam satu kesatuan yang utuh dengan sistem kota, yang pada

akhirnya berdampak pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

2.1.2 Pengertian Revitalisasi

Revitalisasi berasal dari kata re dan vitalitas, re dapat di artikan kembali

sedangkan vitalitas berasal dari kata vita yang artinya hidup. Vitalitas diartikan

sebagai daya hidup, daya tahan atau kemampuan untuk bertahan ((Kamus Besar

Bahasa Indonesia Dalam Jaringan Edisi Ke III). Dalam lingkup kawasan,

vitalitas dapat diartikan sebagai kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap

13

Page 2: BAB 2

bertahan hidup. Hidupnya suatu kawasan tercermin dari kegiatan yang

berlangsung di dalam kawasan sepanjang waktu dimana orang akan dating,

menikmati dan melakukan aktivitas di sini. Seperti yang diungkapkan Abramson.

Kualitas kehidupan ini dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik pegunjung

maupun pekerja, ditandai dengan peningkatan penjualan dan menjadi daya Tarik

pengunjung (Wiedenhoeft, 1981:5 dalam Jayadi 2005).

Terdapat beberapa pengertian dari para ahli dan produk hukum yang

mengungkapkan tentang istilah revitalisasi, antara lain:

1. Menurut Slamet Wirasojaya, Revitalisasi adalah upaya untuk

menghidupkan kembali kawasan mati, yang pada masa silam pernah

hidup, atau mengendalikan, dan mengembangkan kawasan untuk

menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau

seharusnya dimiliki oleh sebuah kota baik dari segi sosio-kultural, sosiso-

ekonomi, segi fisik alam lingkungan, sehingga diharapkan dapat

memberikan peningkatan kualitas lingkungan kota yang pada akhirnya

berdampak pada kualitas hidup dari penghuninya.

2. Menurut Mohamad Danisworo, secara teori, revitalisasi adalah upaya

untuk mengembalikan serta menghidupkan kembali vitalitas yang pernah

ada pada kawasan kota yang mengalami degradasi, melalui intervensi fisik

dan non fisik (rehabilitasi ekonomi, rekayasa sosial budaya serta

pengembangan instutisional). Proses revitalisasi sebuah kawasan

mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan sosial. Pendekatan

revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi linkungan

( sejarah, makna, keunikan, lokasi dan citra tempat). Dengan dukungan

mekanisme kontrol/pengendalian rencana revitalisasi harus mampu

mengangkat isu-isu strategis kawasan, baik dalam bentuk

kegiatan/aktifitas sosial-ekonomi maupun karakter fisik kota.

3. Menurut Wheisaguna dan Nurul Fauziah Rossi, dalam bukunya Dasar-

Dasar Perencanaan Kota, revitalisasi berasal dari kata “vita” (hidup)

yang berarti meletakan kekuatan kekuatan untuk menghidupkan kembali

kehidupan kota yang telah rusak. Dalam pengertian luas pembangunan

14

Page 3: BAB 2

kembali kota adalah sebuah usaha untuk mengkonstruksi kembali bagian-

bagian kota besar yang keadaannya memburuk menjadi kumuh dan

memerlukan rehabilitasi segera.

4. Menurut PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman

Revitalisasi Kawasan. Revitalisasi adalah upaya untuk meningkatkan nilai

lahan/kawasan melalui pembangunan kembali dalam suatu kawasan yang

dapat meningkatkan fungsi kawasan sebelumnya. Dengan adanya

revitalisasi kawasan diharapkan dapat memecahkan permasalahan

perkotaan, diantaranya meningkatnya vitalitas kawasan perkotaan,

berkurangnya kantong-kantong kawasan kumuh, meningkatnya pelayanan

jaringan sarana dan prasarana, dan meningkatkan nilai lokasi kawasan.

Gejala penurunan kualitas fisik dapat dengan mudah diamati pada kawasan

kota bersejarah/tua, karena sebagai bagian dari perjalanan sejarah (pusat kegiatan

perekonomian dan sosial budaya), kawasan kota tersebut umumnya berada dalam

tekanan pembangunan (Serageldin et al, 2000). Sejarah perkembangan kota di

Barat mencatat bahwa memang kegiatan revitalisasi ini diawali dengan

pemaknaan kembali daerah pusat kota setelah periode tahun 1960-an. Bahkan

ketika isu pelestarian di dunia Barat meningkat pada periode pertengahan tahun

1970-an, kawasan (pusat) kota tua menjadi fokus kegiatan revitalisasi. Namun

bukan berarti bahwa kegiatan revitalisasi hanya terbatas kawasan bersejarah/tua.

Proses revitalisasi sebuah kawasan atau bagian kota mencakup perbaikan

aspek fisik dari bangunan maupun ruang kota. Revitalisasi fisik diyakini dapat

meningkatkan kondisi fisik (termasuk juga ruang-ruang publik) kota, namun tidak

untuk jangka panjang. Hal tersebut mutlak diperlukan karena melalui pemanfaatan

yang produktif, diharapkan akan terbentuklah sebuah mekanisme perawatan dan

kontrol yang langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota

(Danisworo dan Martokusumo, 1989).

Sebagai sebuah kegiatan yang sangat kompleks, revitalisasi terjadi melalui

Intervensi fisik. Intervensi fisik mengawali kegiatan fisik revitalisasi dan

dilakukan secara bertahap, meliputi (1) perbaikan dan peningkatan kualitas dan

15

Page 4: BAB 2

kondisi fisik bangunan, (2) tata hijau, (3) sistem penghubung, dan (4) ruang

terbuka kawasan (urban realm). Mengingat citra kawasan sangat erat kaitannya

dengan kondisi visual kawasan, khususnya dalam menarik kegiatan dan

pengunjung, intervensi fisik ini perlu dilakukan. Isu lingkungan (environmental

sustainability) pun menjadi penting, sehingga intervensi fisik tetap harus dilandasi

pemikiran jangka panjang.

Skala upaya revitalisasi bias terjadi pada tingkatan mikro kota, seperti

pada sebuah jalan, atau bahkan skala bangunan, akan tetapi juga bias mencakup

kawasan kota yang lebih luas. Apapun skalanya, tujuannya adalah sama, yaitu

memberikan kehidupan baru yang produktif yang akan mampu memberikan

kontribusi positif pada kehidupan sosial-budaya, terutama kehidupan ekonomi

kota. Rancang kota merupakan perangkat pengarah dan pengendalian untuk

mewujudkan lingkungan binaan yang akomodatif terhadap tuntutan kehidupan

dan fungsi baru (Danisworo, 1989).

Revitalisasi suatu kawasan kota dapat berupa penataan kembali

pemanfaatan lahan dan bangunan, renovasi kawasan maupun bangunan-bangunan

yang ada sehingga dapat ditingkatkan nilai ekonomis dan sosialnya, rehabilitasi

kualitas lingkungan hidup, peningkatan intensitas pemanfaatan lahan dan

bangunan (Sujarto, 1998). Keberhasilan program revitalisasi dalam suatu kawasan

sangat dipengaruhi aspek sosial dan karakteristik kawasan tersebut yang

merupakan identitas suatu kawasan, bukan pada ide atau konsep yang diterapkan

tanpa penyesuaian dengan lingkungan kawasan tersebut. Upaya revitalisasi

kawasan perdagangan juga terkait dengan beberapa aspek didalamnya, terutama

sosial budaya dan sosial ekonomi. Tahap dalam program revitalisasi diantaranya

adalah menganalisis fungsi atau penggunaan ruang oleh masyarakat saat ini.

Kemudian proses revitalisasi difokuskan dalam upaya pengembangan sumber

kekuatan yang dimiliki ruang tersebut, terutama kekuatan komersial dan

peningkatan kualitas sarana pendukungnya (Taylor, 1981;82)

2.1.3 Isu Revitalisasi

16

Page 5: BAB 2

Seiring dengan bertambahnya usia kawasan perkotaan di Indonesia, maka

muncul kawasan yang tidak teratur, terdapat kawasan yang produktivitas

ekonominya menurun, adanya kawasan yang terdegradasi lingkungannya akibat

layanan prasarana sarana tidak memadai, bahkan beberapa warisan budaya

perkotaan (urban heritage) menjadi rusak, dan tidak sedikit kawasan yang nilai

lokasinya menurun. Muncul pula kawasan yang kepemilikan tanah menjadi tidak

jelas dan kepadatan fisiknya rendah. Kondisi di atas diperparah karena komitmen

pemda yang rendah dalam menata kawasan tersebut. (PERMEN PU No.

18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan).

Revitalisasi kawasan perlu dilakukan mengingat adanya isu dan

permasalahan (PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi

Kawasan) antara lain:

1. Isu

a. Kemerosotan vitalitas/produktivitas kawasan terbangun perkotaan.

b. Pentingnya peningkatan ekonomi lokal dalam pembangunan kota dan

pembangunan nasional.

c. Pemberdayaan pasar dan masyarakat (market & community enablement).

d. Degradasi kualitas lingkungan kawasan.

e. Pentingnya kebhinnekaan budaya terbangun bagi persatuan dan kesatuan

bangsa.

f. Meningkatnya peran pemangku kepentingan.

g. Pergeseran peran dan tanggung jawab pusat ke daerah.

2. Permasalahan Pembangunan Kawasan Terbangun

a. Penurunan vitalitas ekonomi kawasan terbangun, disebabkan oleh:

1) Sedikitnya lapangan kerja.

2) Kurangnya jumlah usaha.

3) Sedikitnya variasi usaha.

4) Tidak stabilnya kegiatan ekonomi.

5) Penurunan laju pertumbuhan ekonomi.

6) Penurunan produktivitas ekonomi.

17

Page 6: BAB 2

7) Dis-ekonomi kawasan (dis-economic of a neighbourhood).

8) Nilai properti kawasan rendah dibandingkan kawasan sekitarnya.

b. Kantong kumuh yang terisolir (enclave), disebabkan oleh:

1) Kawasan semakin tidak tertembus secara spasial.

2) Prasarana sarana tidak terhubungkan dengan sistem kota.

3) Kegiatan ekonomi, sosial dan budaya cenderung tidak terkait dengan

lingkungan sekitarnya.

c. Prasarana sarana kurang memadai.

d. Degradasi kualitas lingkungan (environmental quality) dari aspek:

1) Kerusakan ekologi perkotaan.

2) Kerusakan fasilitas kenyamanan kawasan.

e. Bentuk dan ruang kota dan tradisi lokal rusak oleh:

1) ”Perusakan diri-sendiri” (self-destruction).

2) ”Perusakan akibat kreasi baru” (creative-destruction).

f. Tradisi sosial dan budaya setempat dan kesadaran publik

pudar.

g. Manajemen kawasan yang terabaikan.

h. Kurangnya kompetensi dan komitmen pemda dalam mengembangkan

kawasan perkotaan.

2.1.4 Pendekatan Revitalisasi

Menurut Danisworo, (1989) pendekatan revitalisasi dan peningkatan

vitalitas kawasan, antara lain sebagai berikut:

a. Pembangunan Kembali (Redevelopment)

Redevelopment adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota

dengan melakukan pembongkaran sarana dan prasarana terlebih dahulu

dari sebagian atau seluruh kawsan kota tersebut yang dinyatakan tidak

dapat dipertahankan lagi. Selain itu, dilakukan perubahan secara struktural

dari peruntukan lahan serta ketentuan-ketentuan pembangunan lainnya

18

Page 7: BAB 2

yang mengatur intensitas pembangunan baru, misalnya KLB, KDB, GSB

dan lainnya.

b. Gentrifikasi

Gentrifikasi adalah peningkatan vitalitas suatu kawasan kota melalui

upaya peningkatan kualitas lingkungannya, tanpa melakukan perubahan

yang berarti dari struktur fisik kawasan tersebut. Gentrifikasi bertujuan

memperbaiki perekonomian suatu kawasan kota dengan cara

memanfaatkan berbagai sarana tersebut melalui program

rehabilitasi/renovasi tanpa harus melakukan pembongkaran yang berarti.

c. Rehabilitasi

Rehabilitasi pada dasarnya merupakan upaya mengembangkan kondisi

suatu bangunan atau unsur kawasan kota yang telah mengalami kerusakan,

kemunduran atau degradasi, kepada kondisi aslinya, sehingga dapat

berfungsi kembali dengan baik. Selain itu, dalam rehabilitasi juga

dilakukan perbaikan dari bagian-bagian suatu bangunan yang telah rusak

sehingga dapat berfungsi kembali dengan baik. Selain itu, dalam

rehabilitasi juga dilakukan perbaikan dari bagian-bagian suatu bangunan

yang telah rusak sehingga apat berfungsi kembali dengan baik.

d. Preservasi

Preservasi merupakan upaya untuk memelihara dan melestarikan

monument, bangunan atau lingkungan pada kondisi yang ada dan

menengah terjadinya proses kerusakan. Hal tersebut biasanya dilakukan

untuk melindungi gedung-gedung, monument-monumen atau lingkungan

yang memiliki arti sejarah atau nilai arsitektur yang tinggi. Upaya

preservasi biasanya disertai pula dengan restorasi, rehabilitasi dan

rekonstruksi, tergantung pada kondisi bangunan atau lingkungan yang

akan dilestarikan.

19

Page 8: BAB 2

e. Konservasi

Konservasi merupakan upaya untuk memelihara suatu tempat (lahan,

kawasan, gedung dan kelompok gedung termasuk lingkungan yang terkait)

sedemikian rupa sebagai makna (arti, seperti arti sejarah, budaya, tradisi,

nilai keindahan, sosial, ekonomi, fungsi, iklim dan fisik) dari tempat

tersebut dapat dipertahankan. Semua hal tersebut, dapat dilihat dari

maknanya pada masa lalu, kepentingannya saat ini serta kaitannya dengan

kehidupan pada masa yang akan datang.

f. Renovasi

Renovasi adalah upaya mengubah sebagian atau beberapa bagian dari

bangunan tua, terutama bagian dalamnya (interior) dengan tujuan agar

bangunan tersebut dapat diadaptasikan untuk menampung fungsi atau

kegunaan baru yang diberikan kepada bangunan tersebut atau untuk fungsi

yang sama, tetapi dengan persyaratan-persyaratan yang baru. Upaya

tersebut biasanya menyertai upaya konservasi dan gentrifikasi dari suatu

bangunan dan lingkungan. Proses renovasi antara lain: penyesuaian

orgainiasai ruang, perbaikan sistem sanitasi, peningkatan sistem keamanan

pemakaian bangunan yang sesuai dengan peraturan bangunan yang baru,

perbaikan sistem penerangan, serta pengendalian sistem vertilasi atau

pengaturan sirkulasi udara.

g. Restorasi

Restorasi merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi suatu tempat

pada kondisi awalnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan yang

timbul, kemudian serta memasang atau mengadakan kembali unsur-unsur

semula yang telah hilang tanpa menambah unsur-unsur baru kedalamnya.

h. Rekonstruksi

Rekonstruksi merupakan upaya untuk mengembalikan kondisi atau

membangun kembali suatu tempat mendekati wujud semula. Proses

20

Page 9: BAB 2

rekonstruksi biasanya dilakukan untuk mengadakan kembali tempat-

tempat yang telah rusak atau bahkan telah hamper punah sama sekali.

2.1.5 Tujuan Revitalisasi

Revitalisasi kawasan diarahkan untuk memberdayakan daerah dalam usaha

menghidupkan kembali aktivitas perkotaan dan vitalitas kawasan untuk

mewujudkan kawasan yang layak huni (livable), mempunyai daya saing

pertumbuhan, berwawasan budaya serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota.

(PERMEN PU No. 18/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan)

2.3 Kawasan Perdagangan

2.3.1 Pengertian Kawasan Perdagangan

Definisi dari pusat perdagangan dan jasa adalah sebuah tempat dimana

terdapat pengelompokan fasilitas-fasilitas perdagangan dan jasa berupa bangunan-

bangunan pertokoan yang menyediakan barang dan jasa untuk para konsumen

yang mengunjungi tempat tersebut untuk membeli barang dan jasa yang mereka

perlukan. (Berry, 1973 : 3). Keterkaitan antara luas suatu perdagangan dan jasa

dengan tingkat keterpusatan mendasari terbentuknya hirarki pelayanan.

Kawasan perdagangan adalah kawasan atau tempat yang kegiatannya

diperuntukan jual beli barang-barang hidup kebutuhan sehari-hari. Di kawasan

perdagangan juga bisa kita lihat ada berbagai macam barang yang ditawarkan atau

dibeli oleh konsumen. Di kawasan perdagangan orang melakukan transaksi

dengan membayar secara tunai. Artinya, banyak konsumen atau pembeli datang

ke kawasan perdagangan untuk berbelanja dengan membawa uang tunai. Inilah

kawasan perdagangan dalam arti asli atau konkrit. Beberapa jenis kawasan

komersial yang bisa dikenali telah muncul dalam kota modern (Gallion dan

Eisner:1986). Ringkasan yang paling jelas adalah sebagai berikut:

1. “Pusat kota” dari kota meteopolitan besar sudah dikenal oleh setiap

penghuni kota. Pusat kota adalah pusat keuangan dan administratif dari

wilayahnya dan di beberapa kota, telah menjadi kegiatan usaha negara.

Pusat kota mencakup pusat-pusat perdagangan besar dan eceran untuk

melayani kawasan satelit atau wilayahnya. Pusat kegiatan usaha

21

Page 10: BAB 2

mempunyai fungsi penting dan berguna sebagai berguna sebagai

jantung kota, dan kemundurannya menjadi tantangan bagi kegiatan

usaha dan pemerintah.

2. Kawasan kegiatan usaha kecil dari daerah satelit. Pusat komersil kecil

yang bergantung pada pusat metropolitan akan fungsi-fungsi

administratif dan perdagangan besar, mengandung rangkaian took-toko

eceran, kantor-kantor professional, perusahaan jasa, gedung bioskop,

cabang-cabang bank, dan bursa saham. Dalam kota kecil yang

swasembada, kawasan ini juga menyediakan fasilitas perdagangan besar

dan mencakup pusat-pusat administratif dan transportasi yang

diperlukan.

3. Kawasan perdagangan di pinggiran kota, pusat perbelanjaan daerah atau

regional. Pusat-pusat ini mungkin berhimpitan atau merupakan

pandanan dari pusat komersial dari pusat satelit, tapi mengandung

fasilitas berskala besar yang tidak terbagi-bagi lagi atau terdistribusi.

4. Unit komersial terkecil adalah linkungan. Sebagai pandanan modern

dari “warung pojok”, pusat perbelanjaan lingkungan menyediakan

komoditi sehari-hari untuk konsumsi langsung bagi jumlah penduduk

terbatas. Pusat perbelanjaan ini mungkin mempunyai warung dan pasar

daging yang terpisah, toko peralatan dan televisi tukang sepatu, toko

dan toko kebutuhan sehari-hari lainnya.

Untuk mengkaji kawasan perdagangan perlu di cermati mengenai istilah

pasar. Definisi pasar secara luas menurut W.J. Santon adalah orang-orang yang

mempunyai keinginan untuk memenuhi kebutuhan, uang untuk belanja serta

kemauan untuk membelanjakannya.

Pada umumnya suatu transaksi jual-beli melibatkan barang atau jasa

dengan uang sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan disetujui oleh kedua

pihak yang bertransaksi.

22

Page 11: BAB 2

2.3.2 Klasifikasi Kegiatan Perdagangan

Kegiatan perdagangan dapat di klasifikasikan berdasarkan jenis barang

yang diperdagangkan, berdasarkan tingkatnya dan berdasarkan pelayanannya.

Kegiatan perdagangan berdasarkan jenis barang yang diperdagangkan

dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Kegiatan perdagangan barang-barang primer, merupakan jenis

perdagangan barang-barang yang dibutuhkan sehari-hari, seperti

beras, sayur-sayuran, buah-buahan, gula, kopi, minuman dan

sebagainya.

b. Kegiatan perdagangan barang-barang sekunder, merupakan

barang-barang yang dibutuhkan hanya sekali-kali atau dibutuhkan

dalam jangka waktu tertentu, seperti pakaian, alat-alat rumah

tangga dan sebagainya.

c. Kegiatan perdagangan barang-barang tersier seperti radio, televisi,

perhiasan dan sebagainya.

Menurut tingkatnya pasar dibedakan menjadi tiga bagian (Winardi, 1962 :

182) yaitu;

a. Pasar Dunia yaitu pasar yang keseluruhan permintaan dan penawaran yang

berhubungan satu sama lainnya meliputi seluruh dunia.

b. Pasar Regional atau Pasar Induk, yaitu pasar yang mempunyai fungsi

pelayanan regional dan lokal serta sistem transaksinya secara borongan.

c. Pasar Lokal atau Pasar Lingkungan, yaitu memiliki fungsi pelayanan

lingkungan sekitar pasar dan transaksinya secara eceran.

Klasifikasi Pasar Berdasarkan Pelayanannya (Sansumaji, dalam Wildan

2014) yaitu ;

a. Pusat Perdagangan Utama (Pusat Kota)

Kegiatan perdagangan yang cendrung berlokasi di pusat kota , terdiri atas

kegiatan perdagangan eceran.

b. Pusat Perdagangan Kedua (Pusat Wilayah)

23

Page 12: BAB 2

Lokasi perdagangan cenderung menyebar ke daerah transisi (pinggiran

kota), tetapi masih berlokasi pada jalan utama (regional). Jenis barang

yang di perdagangkan sudah terbatas pada barang primer dan sekunder.

c. Pusat Perdagangan Ketiga (Pusat Lingkungan)

Lokasi perdagangan berada di lingkungan-lingkungan perumahan

penduduk dengan inti kegiatan pasar-pasar lingkungan.

2.3.3 Struktur Wilayah Perdagangan

Struktur wilayah perdagangan merupakan tingkat wilayah perdagangan

dari aktivitas perdagangan dalam menarik konsumen dengan variasi jarak atau

variasi wilayah konsumen yang berbeda. Adapun struktur wilayah perdagangan

dapat dibagi atas 3 kelompok (Lewison dalam Ihsan, 1998), yaitu :

a. Wilayah perdagangan umum, termasuk di dalamnya semua konsumen

yang datang berbelanja di tempat perbelanjaan.

b. Wilayah perdagangan gabungan, merupakan gabungan beberapa wilayah

perdagangan dengan struktur tersendiri sesuai dengan jenis barang yang

dijual.

c. Wilayah perdagangan/pelayanan yang proporsional, diukur berdasarkan

jarak/waktu tempuh konsumen dengan pusat belanja, adapun wilayah

tersebut menurut Cam (1988), sebagai berikut:

Wilayah Perdagangan / Pelayanan Primer

Wilayah perdagangan/pelayanan primer merupakan daerah atau areal

dimana suatu tempat perbelanjaan akan mendapatkan pangsa pasar

tersebar dari penjual yang cepat . waktu tempuh untuk toko swalayan

(supermarket) sekitar 5 menit, sedangkan untuk tempat perbelanjaan

yang lebih besar mempunyai waktu tempuh 20-30 menit. Untuk waktu

tempuh ini tidak dapat dijadikan standar waktu karena tiap daerah

memiliki karakter transportasi, lalulintas dan jarak yang berbeda,

disamping itu wilayah perdagangan/pelayanan primer dapat menarik

60-70% dari total pengunjung yang datang ke tempat perbelanjaan

tersebut.

24

Page 13: BAB 2

Wilayah Perdagangan / Pelayanan Sekunder

Wilayah perdagangan/pelayanan sekunder adalah wilayah perdagangan

atau wilayah pelayanan yang mempunyai waktu tempuh sekitar 5-12

menit untuk supermarket, dan 20-45 menit untuk tempat perbelanjaan

yang lebih besar. Disamping itu wilayah perdagangan sekunder dapat

menarik 20-30% pengunjung ke tempat perbelanjaan tersebut.

Wilayah Perdagangan / Pelayanan Tersier

Wilayah perdagangan/pelayanan tersier dapat menarik 5-10% dari total

pengunjung suatu tempat perbelanjaan. Waktu tempuh untuk mencapai

tempat perbelanjaan yang terdapat pada wilayah perdagangan/

pelayanan tersier lebih lama/bangkitan pengunjung yang lebih luas.

2.3.4 Kriteria Kawasan Perdagangan

Menurut PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kawasan

Budidaya, kawasan perdagangan dan jasa memiliki dua fungsi utama yaitu, untuk

memfasilitasi kegiatan transaksi perdagangan dan jasa antar masyarakat yang

membutuhkan (sisi permintaan) dan masyarakat yang menjual jasa (sisi

penawaran) dan juga di harapkan kawasan perdagangan dan jasa dapat menyerap

tenaga kerja di perkotaan dan memberikan kontribusi yang dominan terhadap

PDRB.

Adapun kriteria umum kawasan perdadangan jasa Menurut PERMEN PU

No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kawasan Budidaya, adalah sebagai

berikut:

1) Peletakan bangunan dan

2) ketersediaan sarana dan prasarana pendukung disesuaikan dengan

kebutuhan konsumen;

Sedangkan jenis-jenis bangunan yang diperbolehkan di dalam kawasan

perdagangan dan jasa ,antara lain:

1) Tidak terletak pada kawasan lindung dan kawasan bencana alam;

2) Lokasinya strategis dan mudah dicapai dari seluruh penjuru kota;

25

Page 14: BAB 2

3) Bangunan usaha perdagangan (eceran dan grosir): toko, warung, tempat

perkulakan, pertokoan, dan sebagainya;

4) Bangunan penginapan seperti hotel, guest house, motel, dan

penginapan lainnya;

5) Bangunan penyimpanan dan pergudangan: tempat parkir, gudang;

6) Bangunan tempat pertemuan: aula, tempat konferensi;

7) Bangunan pariwisata/rekreasi (di ruang tertutup): bioskop, area

bermain.

Menurut PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kawasan

Budidaya, pemanfaatan ruang di kawasan peruntukan perdagangan dan jasa

diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dengan tetap

memelihara sumber daya tersebut sebagai cadangan pembangunan yang

berkelanjutan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian fungsi

lingkungan hidup. Artinya kegiatan perdagangan dan jasa harus memperhatikan

kelestarian lingkungan sekitar.

2.4 Faktor, Variabel dan Indikator Penyebab Penurunan Vitalitas

Kawasan

Faktor, variabel dan indikator penyebab penurunan vitalitas kawasan

adalah sebagai berikut.

1. Kenyamanan

Kenyamanan kawasan menjadi factor penting mengingat kawasan yang

tidak nyaman cenderung ditinggal oleh pengunjung. Variabel dan indicator

dari faktor kenyamanan adalah:

a. Jalur Pejalan

Adanya perlindungan dari cuaca dan adanya tempat bernaung bagi

pejalan dalam melakukan perjalanannya. Cuaca yang buruk akan

mengurangi keinginan orang untuk berjalan (Pignatoro 1976).

b. Ruang Terbuka dan Penghijauan

26

Page 15: BAB 2

Adanya ruang-ruang terbuka umum, banyak dipengaruhi

ketersedian taman-taman, plaza dan ruang terbuka yang tertata

dengan baik sebagai tempat pengguna kawasan baik pengunjung

maupun pedagang.

Penghijauan dapat menciptakan lingkungan kawasan yang indah

dan menarik. Penghijauan juga berfungsi sebagai penyerap

panas sinar matahari dan peredam kebisingan (De Chiara and

Koppelman, 1975).

c. Parkir dan Ketersediaan Kendaraan Umum

Ketersediaan lokasi parkir dan ketersediaan kendaraan umum

yang dekat dengan tempat kegiatan perdagangan menjadi

pertimbangan dalam upaya memberi kenyamanan pengunjung

ke kawasan.

Ketersediaan fasilitas kendaraan umum yang memadai dalam

hal penempatan, penyedianya akan mendorong orang untuk

berjalan lebih jauh dibandingkan dengan dengan apabila tidak

tersedianya fasilitas ini secara merata. Termasuk juga

penyediaan transportasi lainnya, seperti jaringan jalan yang baik,

halte dan sebagainya.

d. Aksesbilitas

Aksesbilitas terkait dengan kemudahan pencapaian ke kawasan,

juga mempengaruhi kenyamanan pengunjung. Kondisi jalan dan

sirkulasi kendaraan yang tidak memadai salah satu penyebab

terjadinya kemacetan di dalam kawasan.

2. Keamanan

Menurut Pignataro(1976) aman berarti terbebas dari lingkungan yang

dapat menimbulkan tindak kriminal yang menimpa pejalan ketika sedang

berjalan. Lingkungan yang tidak aman mendorong orang untuk tidak

datang ke kawasan dan membuka peluang munculnya kawasan “pesaing”

baru yang lebih menjamin keamanan, sehingga menarik banyak

27

Page 16: BAB 2

pengunjung (Bromley and Thomas, 1993 : 154). Indikator aspek

keamanan adalah:

a. Jalur Pejalan

Adanaya aktivitas pedestrian dan jalur kendaraan

guna ,membangun aktivitas koridor yang aktif, sehingga

kemungkinan terjadinya kejahatan karena jalur yang sepia tau

gelap di malam hari dapat dihindari dan diharapkan keamanan

kawasan dapat diupayakan (Bromley and Thomas, 1993 : 154).

b. Pola Guna Lahan Kegiatan

Pengguna lahan untuk berbagai macam kegiatan, seperti kios,

hotel, restoran yang buka 24 jam, menjadikan kawasan aktif

sepanjang hari dan keamanan dapat tercipta dengan sendirinya

(Bromley and Thomas, 1993 : 154).

c. Penerangan

Menciptakan penerangan yang cukup dan penampakan (visibility)

yang baik atau pandangan yang tidak terhalangi, dapat mengurangi

kemungkinan terjadinya tindak kriminal (Bromley and Thomas,

1993 : 154).

3. Keselamatan

Aspek keselamatan di sini adalah terjaminnya keselamatan jiwa manusia

yang melakukan kegiatan di dalamnya baik dari gangguan iklim, bencana

alam maupun dari segi konstruksinya.

a. Bahaya Kebakaran

Setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal dan rumah deret

harus dilengkapi dengan petunjuk secara jelas tentang cara-cara

pencegahan dari bahaya kebakaran, penanggulangan, penyelamatan

dari bahaya kebakaran, pendeteksian sumber kebakaran dan tanda-

tanda pentunjuk arah jalan keluar yang jelas. (PERMEN PU

NOMOR : 29/PRT/M/2006 Tentang Pedoman Teknis Bangunan

Gedung)

28

Page 17: BAB 2

b. Jalur Pejalan

Keselamatan lingkungan kawasan dari kemungkinan terjadinya

kecelakaan ditekankan pada kemungkinan kecelakaan di jalan,

bahaya terperosok, menabrak tiang atau pohon atau sebagainya

(Unterman, 1984 :30).

4. Kesenangan

Suatu kawasan haruslah dapat menciptakan suasana yang menyenangkan

bagi pengguna kawasan yang ada didalamnya. Hal ini bertujuan agar para

pengguna/pengunjung betah dan tertarik pada kawasan tersebut.

Indikator aspek keamanan adalah:

a. Jalur Pejalan

Jalur pejalan diupayakan dalam jalur terpendek dan jelas, yang

dapat membuat pejalan kaki menjadi mudah, bebas dari penundaan

pergerakan dari satu tempat ke tempat lain yang diakibatkan

kepadatan pejalan. Biasanya orang berjalan masih merasa senang

sampai dengan jarak 500 meter. Lebih dari jarak itu, diperlukan

fasilitas lain yang dapat mengurangi perasaan lelah orang berjalan,

misalnya adanya tempat duduk atau tempat istirahat.

b. Fasilitas Pendukung

Fasilitas pendukung merupakan salah satu faktor yang harus

dipertimbangkan untuk mendukung kegiatan yang ada di dalam

kawasan. Fasilitas pendukung pada kawasan perdagangan antara

lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos polisi, pos pemadam

kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana

penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung.

(PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Kriteria Teknis

Kawasan Budidaya)

2.5 Variabel Penilitian yang Digunakan

Untuk menenilai vitalitas suatu kawasan, maka perlu dilihat indikator

indikator penurunan vitalitas kawasan. Sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa

29

Page 18: BAB 2

saja yang menyebabkan penurunan vitalitas kawasan. Untuk lebih jelasnya, dapat

dilihat pada Tabel II.1.

30

Page 19: BAB 2

Tabel II.1Faktor, Variabel dan Indikator Penyebab Penurunan Vitalitas Kawasan

Faktor Variabel Indikator Kategori

kenyamanan

Jalur Pejalan

Terlindungi dari cuaca dan adanya tempat bernaung bagi pejalan dalam melakukan perjalanannya

Bentuk fisik trotoar tidak terputus dan landau Kebebasan bergerak bagi pejalan, tidak terhalangi

oleh penggunaan jalur pejalan yang tidak semestinya

Perhatian terhadap penyandang cacat

Rendah

Tinggi

Ruang Terbuka dan Penghijaun

Adanya ruang-ruang terbuka umum, ketersediaan taman-taman dan ruang terbuka yang tertata dengan baik untuk berkumpul dan berinteraksi

Dapat menyerap panas matahari dan meredam kebisingan

Rendah

Tinggi

Parkir dan Ketersediaan Angkutan Umum

Dekat dengan kawasan Tersedianya fasilitas kendaraan umum, termasuk

juga penyediaan fasilitas transportasi lainnya, seperti jaringan jalan yang baik, halte dan sebagainya

Rendah

Tinggi

Aksesbilitas

Kemudahan pencapaian ke kawasan, tidak mengalami kesulitan yang dipengaruhi oleh kondisi jalan dan sirkulasi kendaraan (lancar atau tidaknya arus sirkulasi kendaraan)

Rendah

Tinggi

Keamanan

Jalur Pejalan Adanya aktivitas pejalan dan jalur kendaraan guna membangun aktivitas koridor yang aktif

RendahTinggi

Aktivitas Kawasan Aktivitas kawasan sepanjang hari di dalam kawasan RendahTinggi

Penerangan Penerangan yang cukup dan penampaka (Visibility) yang baik atau pandangan yang tidak terhalangi

Rendah

Tinggi

31

Page 20: BAB 2

Faktor Variabel Indikator Kategori

Keselamatan

Bahaya Kebakaran

Adanya petunjuk secara jelas tentang cara-cara pencegahan dari bahaya kebakaran, penanggulangan, penyelamatan dari bahaya kebakaran, pendeteksian sumber kebakaran dan tanda-tanda pentunjuk arah jalan keluar yang jelas

Rendah

Tinggi

Jalur Pejalan

Menghindari terjadinya konflik antar pengguna kawasan dengan kendaraan bermotor

Menghindar dari bahaya terperosok, menabrak tiang atau pohon dan sebagainya

Rendah

Tinggi

Kesenangan

Jalur Pejalan

Jalur pejalan yang terlihat menarik, baik dari segi kegiatan sekitar jalur tersebut atau keindahan, misalnya dengan adanya pohon pelindung agar pejalan senang berjalan di jalur tersebut

Jalur pejalan diupayakan dalam jaur terpendek dan jelas, yang dapat membuat pejalan menjadi mudah dan bebas dari penundaan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain yang diakibatkan kepadatan pejalan

Rendah

Tinggi

Fasilitas Pendukung

Dilengkapi dengan sarana antara lain tempat parkir umum, bank/ATM, pos polisi, pos pemadam kebakaran, kantor pos pembantu, tempat ibadah, dan sarana penunjang kegiatan komersial serta kegiatan pengunjung

Rendah

Tinggi

Sumber: Susiyanti, (2002), Dhechiara (1975), Garnham (1984), Pignatoro (1976), Trancik (1986), Unterman (1984), PERMEN PU No.41/PRT/M/2007 Tentang Kriteria Teknis Kawasan Budidaya

32

Page 21: BAB 2

Vitalitas kawasan perdagangan bukanlah sesuatu yang stagnan, sifatnya

dinamis yang cepat mengalami perubahan mengingat kegiatan seperti

komunitas manusia yang selalu berubah, Dia akan mengalami pasang surut.

Batas ambang maksimum untuk kegiatan perdagangan adalah sepuluh tahun

seperti yang diungkapkan oleh Kevin Lynch dalam tulisannya Designing and

Managing the Strip (Southworth ed., 1994:583)

Adapun kriteria yang dapat digunakan untuk menunjukkan vitalitas suatu

kawasan perdagangan dilihat aspek kegiatan yang ada di dalam kawasan

adalah:

1. Tingginyajumlah pengunjung

2. Tingginya tingkat isian kawasan

3. Tingginya kondisi penjualan

4. Lamanya kegiatan berlangsung

Tabel II.2Kriteria Penilaian Vitalitas Kawasan Perdagangan

Kriteria Variabel Indikator KategoriTingginya Jumlah Pengnjung   

Kepadatan Pengunjung (orang/menit/meter)

≤24 orang/menit/meter Rendah

>24 orang/meter/menit TinggiJumlah kendaraan yang parkir

 

≤70% dari kapasitas lahan parkir Rendah>70% dari kapasitas lahan parkir Tinggi

Tingkat isian tinggi 

Banyaknya toko aktif dan tidak aktif

 

≤70% dari kapasitas isian Rendah>70% dari kapasitas isian Tinggi

Waktu kegiatan berlangsung

Lamanya toko beroperasi 

≤8 jam/hari Rendah>8 jam/hari Tinggi

Tingginya kondisi pemjualan

Omzet Perdagangan 

≤70% dari tahun sebelumnya Rendah>70% dari tahun sebelumnya Tinggi

Pajak dan retribusi ≤70% dari tahun sebelumnya Rendah>70% dari tahun sebelumnya Tinggi

Sumber:Susiyanti (2002)

Vital atau tidaknya suatu kawasan dapat dilihat dari kondisi lingkungan.

Lingkungan harus peka terhadap perubahan yang akan terjadi, karena ketidak

pekaan terhadap perubahan yang terjadi akan membawa pengaruh besar pada

kegiatannya. Kegagalan suatu kegiatan disebabkan karena kita tidak menyadari

akan perubahan yang akan berlangsung dalam kegiatan tersebut (Danisworo,

1989;9). Kawasan yang tidak mampu bersaing dengan kawasn sekitarnya akan

33

Page 22: BAB 2

menjadi kawasn tertekan, karena dalam perkembangannya dia kehilangan

“kekuatan” untuk membangkitkan atau memelihara aktivitas kegiatan yang ada di

dalamnya.

Penilaian faktor-faktor penyebab penurunan vitalitas kawasan didasarkan

pada tolak ukur masing-masing indikator yang sudah ditetapkan. Penilaian faktor

tersebut adalah sebagai berikut :

(+) adalah kondisi variable positif terhadap vitalitas kawasan, yang artinya kondisi

eksisting kawasan sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.

(-) adalah kondisi variable negatif terhadap vitalitas kawasan, yang artinya

kondisi eksisting kawasan tidak sesuai dengan indikator yang telah ditetapkan.

Menetapkan kawasan vital atau tidak vital berdasarkan nilai modus yang

dihasilkan. Jika nilai modus rendah, maka kawasan dapat terjadi penurunan fungsi

kawasan dan sebaliknya jika nilai modus tinggi, maka kawasan dikatakan tidak

ada penurunan fungsi kawasan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel.

2.6 Teknik Analisis

2.6.1 Pengumpulan Sampling

Hal ini dilakukan unuk mengetahui lebih jelas tentang dengan melihat

persepsi pengunjung terhadap variabel dan indikator penyebab penurunan vitalitas

kawasan. Menurut Sugiyono (2007:57), sampel adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik  yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel terdiri dari anggota

yang dipilih dari populasi. Arena populasi bersifat infinit maka dalam penelitian

ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah nonprobability

sampling dengan accidental sampling, yaitu teknik penentuan sampel,

berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang sedang berkunjung. Penelitian ini

menggunakan 5 variabel yang dianalisis. Menurut Malhotra (1993:622) bahwa

jumlah responden paling sedikit 4 atau 5 dikalikan dengan jumlah indikator yang

digunakan dalam penelitian.

Kuesioner disiapkan dalam bentuk pilihan jawaban yang sesuai dengan

persepsi responden,  yaitu berupa pertanyaan tertutup yang disertai dengan

34

Page 23: BAB 2

pertanyaan terbuka. Selanjutnya kuesioner disebar kepada responden dengan cara

bertanya langsung pada responden dan mewawancarai responden satu per satu. 

2.6.2 Deskriptif Kualitatif

Format desain penelitian kualitatif terdiri dari tiga model, yaitu format

deskriptif, format verifikasi, dan format grounded research. Dalam penelitian ini

digunakan metode kualitatif dengan desain deskriptif, yaitu penelitian yang

memberi gambaran secara cermat mengenai individu atau kelompok tertentu

tentang keadaan dan gejala yang terjadi (Koentjaraningrat, 1993:89).

Selanjutnya penelitian kualitatif menurut Moleong (2007:6) adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara

holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.

Menurut Bogdan dan Taylor (1975) mengemukakan bahwa metodologi

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Selanjutnya dijelaskan oleh David Williams (1995) mengemukakan bahwa

penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah, dengan

menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh orang atau peneliti yang

tertarik secara alamiah. Penelitian kualitatif bertujuan memperoleh gambaran

seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti.

Penelitian kualitatif berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat atau kepercayaan

orang yang diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka.

Analis deskriptif kualitatif pada studi Identifikasi Tingkat Vitalitas

Kawasan Pasar Baru Kota Bandung ini, digunakan untuk mengetahui:

1. Menganalisis terhadap faktor, variabel, dan indikator penyebab

penurunan vitalitas kawasan.

35

Page 24: BAB 2

2. Menganalisis terhadap faktor, variabel, dan indikator penyebab

penurunan vitalitas kawasan berdasarkan persepsi pengunjung Kawasan

Pasar Baru Kota Bandung.

3. Menganalisis tingkat vitalitas Kawasan Pasar Baru Kota Bandung

dengan menilai kriteria tingkat vitalitas Kawasan Pasar Baru Kota

Bandung.

4. Mengidentifikasi potensi serta permasalahan yang berpengaruh

terhadap tingkat vitalitas Kawasan Pasar Baru Kota Bandung, untuk

menghasilkan rekomendasi peningkatan vitalitas Kawasan Pasar baru

Kota Bandung

2.7 Studi Terdahulu

1. Dita Andini, 2011. “Revitalisasi Obyek Wisata Taman Balekambang Kota

Surakarta”. Universitas Sebelas Maret Surakarta

Latar Belakang

Pembangunan daerah merupakan pelaksanaan kebijakan dan program

pemerintah daerah melalui proses pendayagunaan sumber daya yang dimiliki

untuk melaksanakan segala urusan pemerintahan di daerah; meningkatkan kualitas

pelayanan publik; memenuhi kebutuhan dasar dan peningkatan ekonomi daerah.

Kota Surakarta atau yang dikenal dengan Kota Sala merupakan salah satu

Kota yang dikenal sebagai Kota Budaya dan Pariwisata. Pemerintah Kota

Surakarta telah menetapkan visi nya untuk menjadikan Solo sebagai Kota Budaya

yang salah satunya bertumpu pada pariwisata. Pembangunan kepariwisataan di

Kota Surakarta terus diupayakan dari tahun ke tahun. Pembangunan sektor

pariwisata di Kota Surakarta merupakan salah satu upaya untuk melestarikan

kebudayaan daerah. Sehingga pembangunan sektor pariwisata diarahkan dapat

menjadi bagian dari upaya peningkatan pelestarian seni dan budaya, peningkatan

kesejahteraan masyarakat, dan juga merupakan bagian dari usaha pembangunan

wilayah. Pembangunan kepariwisataan diharapkan dapat meningkatkan sumber

penerimaan pajak atau retribusi daerah yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) Kota Surakarta, menggerakkan sektor-sektor lain (khususnya

36

Page 25: BAB 2

perdagangan, jasa, perhotelan), memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan

pendapatan masyarakat.

Taman Balekambang merupakan peninggalan Mangkunegaran berupa

taman air. Taman balekambang awalnya bernama Partini Tuin dan Partinah

Bosch, yang dibangun oleh KGPAA Mangkunegoro VII pada tanggal 26 Oktober

1921. Karena rasa sayangnya pada putrinya GRAy Partini Husein Djayaningrat

dan Gray Partinah Sukanta maka nama putrinya tersebut diabadikan sebagai nama

taman.

Dilihat dari nilai historis serta nilai fungsional yang ada, Taman

Balekambang dapat menjadi obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi di Kota

Surakarta, tetapi karena belum dikembangkan secara optimal, sehingga jumlah

pengunjung ke obyek wisata tersebut tergolong paling sedikit dibandingkan

dengan obyek wisata lainnya di Kota Surakarta.

Revitalisasi Taman Balekambang merupakan bagian untuk melestarikan

obyek wisata Taman Balekambang, sekaligus pemberdayaan aset Pemerintah

Kota Surakarta sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap

pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan Kota Surakarta.

Program revitalisasi merupakan bagian dari strategi dan program

pembangunan kepariwisataan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Surakarta.

Revitalisasi Taman Balekambang Kota Surakarta merupakan perwujudan

dukungan sepenuhnya terhadap pelestarian obyek wisata dan budaya sekaligus

upaya pemberdayaan potensi Kota Surakarta sebagai Kota Wisata, sehingga dapat

memberikan kontribusi yang lebih signifikan pada penyelenggaraan,

pengembangan dan pemberdayaan aset-aset Pemerintah Kota Surakarta.

Kondisi Taman Balekambang saat ini memang sangat layak sebagai

Obyek wisata, dan Pemerintah Kota Surakarta membuat kawasan Taman

Balekambang sebagai kawasan wisata yang edukatif, rekreatif dan mengandung

nilai budaya. Keberhasilan suatu program revitalisasi obyek wisata Taman

Balekambang tentu tidak akan luput dari sebuah perencanaan matang yang

melalui berbagai tahapan, demi terciptanya suatu kondisi yang diinginkan. Untuk

37

Page 26: BAB 2

itulah penulis ingin memberikan informasi mengenai Proses dan Tahapan dalam

Revitalisasi Taman Balekambang kota Surakarta.

Berdasarkan pokok-pokok pemikiran tersebut, penelitian dengan judul

“Revitalisasi Obyek Wisata Taman Balekambang Kota Surakarta”, menarik dan

relevan untuk dilakukan.

Tujuan

Tujuan penelitian ini yaitu :

1. Untuk mendeskripsikan program revitalisasi kawasan wisata Taman

Balekambang dalam rangka pengembangan kepariwisataan kawasan wisata

Taman Balekambang.

2. Mengetahui hambatan dan faktor pendorong yang ada dalam proses revitalisasi

di kawasan wisata Taman Balekambang

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatitf.

Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang mengangkat fakta, keadaan,

variabel, dan fenomena-fenomena yang terjadi ketika penelitian berlangsung dan

menyajikan apa adanya. Penelitian ini menuturkan dan menafsirkan data yang

berkenaan dengan situasi yang terjadi, sikap, dan pandangan yang menggejala di

masyarakat.

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara selektif dengan

menggunakan pertimbangan teoritis, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris,

dan kebutuhan maupun tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan

metode purposive sampling atau sampel bertujuan, dimana peneliti cenderung

menggunakan atau memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya

untuk menjadi sumber data yang mantap.

Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan penelitian

subjektif peneliti berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai

sangkut paut dengan karakteristik populasi yang sudah diketahui sebelumnya

dengan pertimbangan tertentu.

38

Page 27: BAB 2

Reduksi Data

Yaitu bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus,

membuang hal-hal yang tidak penting yang muncul dari catatan tertulis di

lapangan. Proses ini berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian ini selesai

ditulis.

Sajian Data

Yaitu suatu rakitan organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset

dapat dilakukan. Dengan melihat suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa

yang terjadi. Memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun

tindakan lain berdasarkan penelitian tersebut.

Penarikan Simpulan dan Verifikasi

Setelah memahami arti dari berbagai hal yang ditemui dengan melakukan

pencatatan peraturan-peraturan, pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi

yang mungkin, alur sebab akibat, akhirnya dapat ditarik kesimpulan.

2. Bani Perdatawati Hasanuddin, 2014. “Implementasi Revitalisasi

Permukiman Kumuh di Kota Makassar”. Universitas Hasanudin.

Latar Belakang

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan

kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan

kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas

dari peningkatan penggunaan lahan. Pengembangan kawasan permukiman akibat

tidak tertata dan semakin berkurangnya lahan permukiman mendorong

peningkatan permukiman kumuh di Kota Makassar.

Permukiman kumuh adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan

penataan ruang tidak terkecuali di Kota Makassar. Pengelolaan perumahan

permukiman dalam rencana pengembangan kawasan permukiman Pasal 17 ayat

(6) butir 1 poin (a) dan (b) RTRW Kota Makassar, menyatakan bahwa rencana

pengembangan pola perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh

berat dan sedang (Lette, Baraya, dan Abu Bakar Lambogo) termasuk kawasan

39

Page 28: BAB 2

permukiman yang berada di sepanjang bantaran kanal kota, dan pengembangan

perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh sedang dan ringan

(kawasan pesisir pantai utara, galangan kapal-Paotere) secara terbatas melalui

pengembangan secara vertikal, yang dilengkapi sarana dan prasarana yang

memadai 8 (tercantum dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata

Ruang wilayah Kota Tahun 2005-2015). Selain itu, dalam perencanaan

pengembangannya permukiman kumuh diharapkan dapat dilengkapi dengan

fasilitas yang layak.

Makassar merupakan suatu kota yang mempunyai pertumbuhan dan

perkembangan pembangunan semakin maju. Dengan semakin majunya semua

aspek pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi yang menyangkut

industrial, mobilitas manusia yang terus meningkat, diskonkurensi masalah

kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar, juga dengan adanya

peningkatan jumlah penduduk. Dengan implikasi ini, kebutuhan akan kawasan

perumahan permukiman yang semakin besar dengan lahan yang terbatas

menciptakan luasan kawasan permukiman kumuh yang besar di Kota Makassar.

Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui implementasi revitalisasi permukiman kumuh di wilayah

Kota Makassar sesuai dengan Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Kota Tahun 2005-2015.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam revitalisasi

permukiman kumuh di wilayah Kota Makassar.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah lokasi permukiman

kumuh Kawasan Kumuh Tallo yakni kelurahan Buloa dan Kelurahan Tallo

Kecamatan Tallo Kota Makassar.

Dari populasi tersebut, selanjutnya ditarik sampel dengan menggunakan

teknik puposive sampling, yang dianggap memenuhi sebagai responden.

40

Page 29: BAB 2

Berdasarkan perolehan data primer maupun data sekunder, penulis

menggunakan metode analisis kualitatif yaitu mendeskriptifkan data tersebut yang

selanjutnya diikuti dengan penafsiran dan kesimpulan. Penyajian data secara

deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan, menggambarkan, dan memecahkan

permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.

3. Asterius H. Maru, 2009. “Strategi Revitalisasi Kawasan Terminal

Cicaheum”. Universitas Pasundan.

Latar Belakang

Terminal Cicaheum merupakan salah stau prasrana yang disediakan ole

pusat Kota Bandungyang mempunyai berbagai fungsi, terutama memiliki fungsi

pelayanan ekonomi daerah yang harus di tata sesuai peruntukan dan

penggunaanya yang memiliki nilai keamanan dan kenyamanan.

Kawasan Terminal Cicaheum merupakan kawasan terminal yang identic

dengan kemacetan selain itu ada beberapa permasalahan yang berkaitan erat

dengan penataannya yaitu status dan fungsi terminal yang tidak sesuai terutama

dari luas lahan, bentuk dan struktur fisik bangunan yang tidak tertata dengan baik

serta ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana yang kurang memadai yang

mengakibatkan terjadinya penurunan vitalitas kawasan secara keseluruhan. Untuk

meningkatkan vitalitas kawasan tersebut maka perlu dilakukan revitalisasi

kawasan sehingga dapat menghidupkan kembali kawasan yang pernah vital atau

hidup terutama dari segi fungsi serta fisiknya. Langkah yang diambil untuk

mengatasi permasalahan tersebut adalah merevitalisasi, mengingat permasalahan

yang terjadi adalah adanya penurunan tingkat vitalitas kawasan secara

keseluruhan.

Tujuan dan Sasaran

Tujuan dari studi adalah merumuskan strategi revitalisasi di Kawasan

Terminal Cicaheum dalam upaya menghidupkan kembali vitalitas kawasan

terminal. Sasaran yang ingin dicapai dari studi ini adalah:

Mengidentifikasi status dan fungsi terminal

41

Page 30: BAB 2

Mengidentifikasi lokasi yang menimbulkan kemacetan

Mengidentifikasi penurunan fungsi dan vitalitas terminal

Mengidentifikasi kegiatan pasar yang menimbulkan kesemrawutan

Mengidentifikasi kegiatan pedagangn kaki lima yang menimbulkan kemacetan

Menidentifikasi kekuatan (Strength), kelemahan (Weakness), peluang

(Opportunity), ancaman (Threat) di Kawasan Terminal Cicaheum.

Metodologi Penelitian

Teknik analisis penilitian atau pembobotan.

Analisis SWOT

Analisis Deskriptif

Nilai Pembobotan

42