BAB 2

22
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian TB Paru TB Paru ialah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosae. Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosae masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan kedalam paru, kemudian menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian lainnya. 2.2. Cara Penularan kuman Mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat, serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan

description

:v

Transcript of BAB 2

Page 1: BAB 2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian TB Paru

TB Paru ialah suatu penyakit infeksi kronik jaringan paru yang disebabkan

oleh basil Mycobacterium tuberculosae. Sebagian besar basil Mycobacterium

tuberculosae masuk ke dalam jaringan paru melalui airborne infection dan

selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Kuman

tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernafasan kedalam

paru, kemudian menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran

darah, sistem saluran limfa, melalui saluran pernafasan (bronchus) atau penyebaran

langsung ke bagian lainnya.

2.2. Cara Penularan

kuman Mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei)

saat seorang pasien tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri

terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis

paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan

orang lain, basil tuberkulosis tersembur kemudian terhisap ke dalam paru orang sehat,

serta dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe

atau langsung ke organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan. Tuberkulosis paru pada manusia

dapat dijumpai dalam 2 bentuk, yaitu Tuberkulosis primer, bila penyakit terjadi pada

infeksi pertama kali dan Tuberkulosis paska primer, bila penyakit timbul setelah

beberapa waktu seseorang terkena infeksi dan sembuh. Tuberkulosis paru ini

merupakan bentuk yang paling sering ditemukan. Dengan ditemukannya kuman

dalam dahak, penderita adalah sumber penularan (Notoatmodjo, 2007).

2.3. Morfologi dan Fisiologi Kuman TB Paru

Basil tuberkulosis berukuran sangat kecil berbentuk batang tipis, agak

bengkok, bergranular, berpasangan yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop.

Panjangnya 1- 4 mikron dan lebarnya antara 0,3-0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan

tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat pH optimal (pH 6,4-

Page 2: BAB 2

7,0). Untuk membelah dari 1-2 kuman membutuhkan waktu 14-20 jam.12 Kuman

tuberkulosis terdiri dari lemak lebih dari 30% berat dinding kuman, asam strearat,

asam mikolik, mycosides, sulfolipid serta Cord factor dan protein terdiri dari

tuberkuloprotein (tuberkulin). TB Paru pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh

reaktivasi infeksi sebelumnya sedangkan pada anak-anak menunjukkan penularan

aktif M. tuberculosis.

Berdasarkan sifat metabolisme basil, terdapat 4 jenis populasi basil tuberkulosis,

yaitu:

1. Populasi A, yang terdiri atas kuman yang secara aktif berkembang biak dengan

cepat, kuman ini banyak terdapat pada dinding kavitas atau dalam lesi yang

mempunyai pH netral.

2. Populasi B, terdiri atas kuman yang tumbuhnya sangat lamban dan berada dalam

lingkungan pH yang rendah. Lingkungan asam ini yang melindunginya terhadap obat

anti-tuberkulosis tertentu.

3. Populasi C, yang terdiri atas kuman tuberkulosis yang berada dalam keadaan

dormant hampir sepanjang waktu. Kuman yang terdapat dalam dinding kavitas ini

jarang mengadakan metabolisme secara aktif dalam waktu yang singkat.

4. Populasi D, terdiri atas kuman-kuman yang sepenuhnya bersifat dormant sehingga

sama sekali tidak bisa dipengaruhi oleh obat-obat antituberkulosis.

Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe penderita TB Paru,

yaitu:

a. Kasus baru

Kasus baru adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. Dimana OAT yang

diberikan adalah OAT yang mempunyai efek dapat mencegah pertumbuhan kuman-

kuman resisten seperti, isoniazid (H), rifampisin (R) dan pirazinamid (Z).

b. Kasus kambuh (relaps)

Kasus kambuh adalah penderita TB Paru yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan TB Paru dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,

Page 3: BAB 2

kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA. Sebelum ada

hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES/ 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan

hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE

selama 5 bulan.

c. Kasus defaulted atau drop out

Kasus drop out adalah penderita yang telah menjalani pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak

mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya

selesai.

d. Kasus gagal

Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau

akhir pengobatan. Sejak BTA dalam sputum negatif, dengan memakai tiga obat setiap

hari dalam jangka waktu 3-4 bulan pertama (yang belum pernah diberikan

sebelumnya): RMP- EMB- PZA- atau SM – PAS – PZA. Obat lain seperti etambutol

atau prothionamid, sikloserin, thiaketazone atau kanamisin dan kapreomisin dapat

dipertimbangkan untuk diberikan.

e. Kasus kronik

Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah

selesai pengobatan ulang dengan pengobatan ulang dengan pengobatan kategori II

dengan pengawasan yang baik. Pengobatan kasus kronik, jika belum ada hasil uji

resistensi diberikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil

uji resistensi ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.

Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.

2.4. Resiko Penularan

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberkulosis Infection = ARTI) di

Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan

ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk terdapat 10 (sepuluh)

orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menjadi

penderita TBC, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita

TBC. Dari keterangan di atas dapat diperkirakan pada daerah dengan ARTI 1% maka

Page 4: BAB 2

di antara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberculosis

setiap tahun, di mana 50 penderita adalah BTA Positif.

2.5. Riwayat terjadinya Tuberkulosis paru

Penyakit ini diawali oleh infeksi primer pada seseorang terpapar pertama kali dengan

kuman TB Paru. Infeksi dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak

dengan cara pembelahan diri di paru sehingga mengakibatkan peradangan di dalam

paru. Saluran limfe di sekitar hilus paru, hal ini berlangsung sekitar 4-6 minggu.

Setelah infeksi primer terjadi, perkembangan penyakit tergantung dari banyaknya

kuman yang masuk dan besarnya respons daya tahan tubuh. Ada kuman persisten

atau dormant (tidur) dan akan aktif ketika daya tahan tubuh tidak mampu

melawan kuman tersebut, sehingga terjadilah penderita TB Paru, waktu yang

diperlukan untuk proses ini diperkirakan sekitar 6 bulan.

2.6. Gejala dan Tanda

a. Gejala utama

Batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih.

b. Gejala tambahan, yang sering dijumpai :

Dahak bercampur darah

Batuk darah

Sesak nafas dan rasa nyeri dada

Badan lemah

Nafsu makan menurun

Berat badan turun

Rasa kurang enak badan (malaise)

Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan

Demam meriang lebih dari sebulan.

2.7. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru.

Pada awal perkembangan penyakit umumnya tidak menemukan kelainan. Kelainan

paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan

Page 5: BAB 2

segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat

ditemukan antara lain suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,

diafragma dan mediastinum.

Diagnosis tuberkulosis pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya

BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan

positif apabila dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya Positif. Bila hanya satu

spesimen yang positif perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen

dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Pada pemeriksaan foto toraks,

tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Kalau

hasil rontgen mendukung TBC maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC

BTA positif, kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak

SPS diulangi.

2.8. Pencegahan

2.8.1. Pencegahan Primer

a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:

i. Makan makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna

ii. Usahakan setiap hari tidur cukup dan teratur

iii. Lakukanlah olahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.

iv. Meningkatkan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.

b. Kebersihan Lingkungan

i. Lengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup

ii. Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan

pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.

iii. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang meningkatkan risiko

terjadinya infeksi, misalnya kepadatan hunian.

2.8.2 Pencegahan Sekunder

a. Case finding

i. X-foto toraks yang dikerjakan secara massal

ii. Uji tuberkulin secara Mountoux

Page 6: BAB 2

iii. Bagi imigran yang datang dari negara-negara dengan prevalensi TB Paru yang

tinggi dilakukan skrining dengan foto toraks, tes PPD, pemeriksaan BTA dan kultur,

bekerjasama dengan WHO.

b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.

Penderita tuberkulosis yang baru didiagnosa, diberikan Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) yang mempunyai efek sterilisasi sekaligus mempunyai efek yang dapat

mencegah pertumbuhan kuman-kuman resisten seperti isoniazid (H), rifampisis (R)

dan pirazinamid (Z).

2.8.3. Pencegahan Tertier

a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat

efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).

b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat

etambutol karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai

pada populasi tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.

c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-

12 bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).

2.9. Pengobatan

Paduan obat TB Paru dapat dibagi atas 4 kategori, yaitu:

1. Kategori I:

Kasus: TB paru BTA +, BTA -, lesi luas

Pengobatan: 2 RHZE/ 4 RH atau 2 RHZE/ 6 HE; 2RHZE/ 4R3H3.

2. Kategori II:

Kasus: Kambuh

Pengobatan: RHZES/ 1RHZE/ sesuai hasil uji resistensi atau 2RHZES/ 1RHZE/

5RHE.

Kasus: Gagal pengobatan

Pengobatan: kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin/ ofloksasin, etionamid,

sikloserin atau 2RHZES/ 1RHZE/ 5RHE.

Kasus: TB Paru putus berobat

Pengobatan: 2RHZES/ !RHZE/ 5R3H3E3.

Page 7: BAB 2

3. Kategori III:

Kasus: TB paru BTA – lesi minimal

Pengobatan: 2 RHZE/ 4RH atau 6 RHE atau 2RRHZE 4 R3H3.

4. Kategori IV:

Kasus: Kronik

Pengobatan: RHZES/ sesuai hasil uji resistensi (minimal OAT yang sensitif) + obat

lini 2 (pengobatan minimal 18 bulan).

Kasus: MDR TB

Pengobatan: Sesuai uji resistensi+ OAT lini 2 atau H seumur hidup.

2.10. Komplikasi

a. Pleuritis dan Empiema

Pleuritis adalah peradangan jaringan tipis yang meliputi paru-paru dan melapisi

rongga dinding rongga dada bagian dalam (pleura). Empiema adalah berkumpulnya

atau timbunan pus (nanah) di dalam suatu kavitas organ berongga yaitu paru-paru.

Keadaan pleura yang merupakan bagian dari sistem pernapasan, dapat dipengaruhi

melalui tiga cara yang berbeda:

i. Cairan yang dibentuk dalam waktu beberapa bulan setelah terjadinya infeksi

primer.

ii. Cairan yang dibentuk akibat penyakit paru pada orang dengan usia lebih lanjut.

Keadaan ini bisa berlanjut menjadi nanah (empiema) walaupun jarang terjadi.

iii. Memecahnya kavitas TB Paru dan keluarnya udara ke dalam rongga pleura.

Keadaan ini memungkinkan udara masuk ke dalam ruang antara paru dan dinding

dada. TB Paru dari kavitas yang memecah mengeluarkan efusi nanah (empiema).

Udara dengan nanah bersamaan disebut piopneumotoraks.

b. Pneumotoraks Spontan

Pneumotoraks adalah masuknya udara atau gas secara abnormal ke dalam paru

dimana gas tersebut memisahkan pleura viseralis dan pleura parietalis sehingga

jaringan paru tertekan dan kesulitan bernapas. Pneumotoraks spontan dapat terjadi

bila udara memasuki rongga pleura sesudah terjadi robekan pada kavitas tuberkulosis.

Page 8: BAB 2

Hal ini mengakibatkan rasa sakit pada dada secara akut dan tiba-tiba bersamaan

dengan sesak napas. Ini dapat berlanjut menjadi suatu empiema tuberkulosis.

c. Laringitis Tuberkulosis

Laringitis tuberkulosis adalah radang pangkal tenggorokan dengan gejala serak,

perubahan suara dan gatal pada kerongkongan. Keganasan pada laring jarang

menimbulkan rasa sakit. Sputum biasanya positif, tetapi diagnosis mungkin perlu

diitegakkan dengan biopsi pada kasus-kasus yang sulit. Tuberkulosis laring

memberikan respon yang sangat baik terhadap kemoterapi. Bila terdapat nyeri hebat

yang tidak cepat hilang dengan pengobatan, tambahkan prednisolon selama 2-3

minggu.

d. Kor Pulmonale

Kor pulmonale adalah suatu bentuk penimbunan cairan di dalam paru (abses paru).

Gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat kerusakan paru dapat terjadi bila

terdapat destruksi paru yang sangat luas. Keadaan ini dapat terjadi walaupun penyakit

tuberkulosis sudah tidak aktif lagi, dimana banyak meninggalkan jaringan parut.

Pengobatan dini terhadap penyakit TB Paru dengan jelas dapat mengurangi

komplikasi ini.

e. Apergilomata

Apergilomata adalah kavitas tuberkulosis yang sudah diobati dengan baik dan sudah

sembuh terinfeksi jamur Aspergillus fumigatus. A. fumigatus yaitu spesies jamur

lingkungan yang menghasilkan spora yang terdapat di dalam udara dengan dihirup

secara terus menerus. Pada sinar rontgen dapat dilihat semacam bola terdiri atas

fungus yang berada dalam kavitas. Keadaan ini kadang-kadang menyebabkan

hemoptisis (batuk darah) yang berat bahkan fatal. Fungsi paru sudah sering rusak

berat karena tuberkolosis lama sehingga tidak dapat lagi dioperasi

2.9. Penemuan penderita Tuberkulosis Paru

Penemuan penderita dilakukan secara pasif artinya penjaringan tersangka penderita

dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.

Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh

petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan

Page 9: BAB 2

tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan passive promotive case

dinding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif). Selain itu,

semua kontak penderita TBC Paru BTA positif dengan gejala sama harus diperiksa

dahaknya.

2.11. Program penanggulangan Tuberkulosis Paru

Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam menurunkan

angka kesakitan dan kematian adapun tujuan penanggulangan tuberkulosis paru

adalah :

a. Jangka Panjang

Menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit TB dengan cara

memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi merupakan

masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

b. Jangka Pendek

Tercapainya angka kesembuhan minimal 85% dari semua penderita baru BTA positif

yang ditemukan dengan menggunakan strategi DOTS dan tercapainya cakupan

penemuan penderita sesuai dengan target CDR yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu

sebesar 70% secara bertahap

2.12. Faktor-faktor Resiko

Faktor resiko adalah suatu determinan yang diperlukan sehingga dapat mengurangi

kemungkinan timbulnya masalah kesehatan atau penyakit. Karakteristik tertentu dari

golongan penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkitnya penyakit TB lebih

besar bila dibandingkan dengan golongan lain. faktor resiko tersebut adalah :

a. Umur

Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan

kejadian TB Paru. Namun setelah melewati usia pubertas hingga dewasa terdapat

perbedaan yang beragam di berbagai negara. Penyakit TB sebagian besar (± 75%)

menyerang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi dan tingkat pendidikan yang

rendah.

Page 10: BAB 2

b. Jenis Kelamin

Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai usia

dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada

wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering

mendapat TB Paru sesudah bersalin. Sementara di Afrika dan India tampaknya

menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB Paru tampaknya meningkat

seiring dengan peningkatan usia pada jenis kelamin. Pada wanita prevalensi

menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam di

bandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun

dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang

kurangnya mencapai 60 tahun. Untuk melihat besarnya pengaruh usia dan jenis

kelamin terhadap kejadian TB dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Besarnya pengaruh Usia dan Jenis Kelamin terhadap TB Paru

Usia dan Jenis Kelamin Pasien cenderung untuk berkembang

menjadi:

Usia dibawah satu tahun TB milier ++

Meningitis TB

Usia 1 tahun sampai pubertas Lesi paru-paru primer

TB Kronis menyebar, misalnya tulang

dan

persendian +

TB milier + TB meningitis

Adolesen atau dewasa

Muda

TB BTA +++

Usia pertengahan

a. Pria

b. Wanita

TB paru ++

TB Paru +++

TB Paru +++

Usia lanjut

a. Pria

b. Wanita

TB Paru ++

TB Paru +-

Page 11: BAB 2

Keterangan : Bila infeksi terjadi pada usia ini (kolom kiri), jumlah tanda + pada

kolom kanan menunjukkan berapa besar kemungkinan pasien itu akan berkembang

menjadi jenis TB tertentu.

c. Kekebalan

Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu: kekebalan alamiah dan buatan.

Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis paru

dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan buatan

diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi

bila kekebalan tubuh lemah, kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan

penyakit tuberkulosis paru.

Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis bahwa anak

yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi tuberkulosis (95% CI

0,43-0,83, p = 0,003), dibandingkan dengan anak-anak yang belum divaksin.

Ditegaskan oleh Setiarini (2008) bahwa walaupun imunisasi BCG tidak mengegah

infeksi tuberkulosis namun dapat mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti

meningitis tuberkulosa dan tuberkulosis milier.

d. Status gizi

Kekurangan gizi atau malnutrisi bisa disebabkan karena asupan gizi yang tidak

seimbang baik dari kualitas dan kuantitas, bisa juga karena penyakit infeksi. Gizi

kurang atau buruk dapat menyebabkan menurunnya imunitas/kekebalan tubuh.

Kekebalan tubuh yang menurun akan menyebabkan seseorang mudah terkena

penyakit infeksi, seperti tuberkulosis. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang

menderita penyakit kronis, seperti tuberkulosis paru, umumnya status gizinya

mengalami penurunan.

Menurut Badan Litbang Depkes RI (2012), proporsi tuberkulosis paru ditemukan

sedikit lebih besar pada yang mengkonsumsi buah sayur kurang dari 5 porsi/hari.

Proporsi tuberkulosis paru yang besar juga ditemukan pada kondisi status gizi kurus.

Menurut Narasimhan et al. (2012), malnutrisi (baik mikro dan makro-defisiensi)

meningkatkan risiko tuberkulosis karena adanya respon kekebalan yang terganggu.

Penyakit tuberkulosis dapat menyebabkan kekurangan gizi itu sendiri karena

Page 12: BAB 2

penurunan nafsu makan dan perubahan dalam proses metabolisme. Hubungan antara

malnutrisi dan tuberkulosis telah ditunjukkan dengan uji vaksin BCG yang dilakukan

di Amerika Serikat pada tahun 1960 dan memperkirakan bahwa anak-anak

kekurangan gizi akan berisiko dua kali untuk terkena penyakit tuberkulosis daripada

anak-anak yang gizinya baik.

e. Penyakit lain

Penyakit lain khususnya penyakit infeksi seperti HIV/AIDS lebih mudah terserang

penyakit TB Paru karena penderita mengalami daya tahan tubuh menurun sehingga

tidak dapat mengendalikan kuman yang masuk ke dalam tubuh.Di beberapa negara di

Afrika sub-Sahara 20-70% pasien dengan tuberkulosis menunjukkan HIV positif.

Penyakit lain yang mempengaruhi TB Paru juga adalah penyakit kronis lain (seperti

Diabetes Melitus).

f. Perilaku

Menurut Skiner perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus

atau rangsangan dari luar. Berdasarkan batasan peilaku dari Skiner, maka perilaku

kesehatan adalah suatau respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek

yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan

minuman serta lingkungan.

g. Kondisi Sanitasi Rumah

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar atau pokok manusia yang berfungsi

sebagai tempat tinggal atau tempat hunian yang digunakan untuk berlindung dari

gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Kondisi rumah yang baik penting untuk

mewujudkan masyarakat yang sehat. Rumah dikatakan sehat apabila memenuhi

persyaratan empat hal pokok berikut :

1. Memenuhi kebutuhan fisiologis seperti pencahayaan, penghawaan, ruang gerak

yang cukup dan terhindar dari sebisingan yang mengganggu.

2. Memenuhi kebutuhan Psikologis seperti “Privace” yang cukup dan komunikasi

yang baik antar penghuni rumah

3. Memenuhi persyaratan pencegahan penyakit menular yang meliputi penyediaan air

bersih,pembuangan tinja dan air limbah rumah tangga,bebas dari vektor penyakit dan

Page 13: BAB 2

tikus,kepadatan hunian yang tidak berlebihan,sinar matahari yang cukup, makanan

dan minuman yang terlindung dan pencemaran serta pencahayaan dan penghawaan

yang cukup.

Dari beberapa penelitian yang dilakukan terdapat beberapa parameter fisik rumah

yang ada kaitannya dengan kejadian penularan penyakit TB Paru, dan parameter fisik

yang peneliti teliti disesuaikan dengan kerangka konsep antara lain:

1. Kepadatan hunian

Kepadatan hunian (in house overcrowding) diketahui akan meningkatkan resiko dan

tingkat keparahan penyakit berbasis lingkungan. Persyaratan kepadatan hunian untuk

seluruh rumah biasanya dinyatakan dengan m2 /orang. Luas minimum per orang

sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk

rumah sederhana minimum 10 m2/orang, sehingga untuk satu keluarga yang

mempunyai 5 orang anggota keluarga dibutuhkan luas rumah minimum 50m2,

sementara untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/orang. Dalam

hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan

infeksi silang ( Cross infektion ). Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan

kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara ataupun “droplet”

akan lebih cepat terjadi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Djasio Sanropie dkk

(1991) bahwa kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat seperti tidak sebandingnya

luas lantai kamar, jenis lantai, penghuni rumah yang menyebabkan kurangnya

konsumsi oksigen, di mana bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi

seperti TB Paru, maka akan mudah menular kepada anggota keluarga lain.

2. Ventilasi atau Penghawaan

Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang

menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Untuk mendapatkan ventilasi atau

penghawaan yang baik bagi suatu rumah atau ruangan, maka ada beberapa syarat

yang harus dipenuhi yaitu :

a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan luas

lubang ventilasi insidental (dapat dibuka dan di tutup) minimum 5% dari luas lantai.

Hingga jumlah keduanya 10% dari luas lantai ruangan.

Page 14: BAB 2

b. Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak di cemari oleh asap dari sampah

atau dari pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain – lain.

c. Aliran udara tidak menyebabkan penghuninya masuk angin. Untuk itu tidak

menempatkan tempat tidur persis pada aliran udara, misalnya di depan jendela atau

pintu.

3. Jenis lantai

Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan muah dibersihkan, jenis lantai rumah yang

ada di Indonesia bermacam –macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi

masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan semen sampai kepada

pasangan lantai keramik. Dari beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah

jelas tidak baik dari segi kesehatan, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi

tempat yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru.

4. Kelembaban Udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana

kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° – 30°C.

Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat

bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab .

5. Pencahayaan

Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat kelembaban didalam

rumah. Pencahyaan yang kurang akan menyebaban kelembaban yang tinggi di dalam

rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC.

Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus menerangi seluruh

ruangan dan mmpunyai itensitas minimal 60 lux dan tidak menyilaukan.