BAB 2

download BAB 2

of 11

description

2

Transcript of BAB 2

BAB 2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKAANEMIA APLASTIK

1. DefinisiAnemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih dan trombosit.12. Epidemiologi

Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun. Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun. The International Aplastic Anemic and Agranulocytosis Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun. Frekuensi tertinggi anemia apalstik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun. Peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di daerah timur, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta penduduk di cina, 4 kasus persejuta di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. 23. Etiologi

Menurut etiologinya, anemia aplastik dibagi menjadi 2 yaitu 3:I. Anemia aplastik didapat (acquired)

A. Idiopatik (dua pertiga dari semua kasus)

B. Sekunder

1. Obat obatan

a. Agen agen kemoterapi sitotoksik

(1) Agen alkylating (busulfan cyclophosphamide, melphalan)

(2) Antimitotik (vincristine, vinblasine)

(3) Antimetabolit (senyawa antifolat, analog nukleotida)

b. Idiosinkrasi

(1) Kloramfenikol

(2) Agen antiprotozoa (quinacrine, klorokuin)

(3) Nonsteroid anti-inflammatory drugs (NSAID): ibuprofen, indometasin, sulindac, diklofenak, naproksen, fenilbutazon(4) Antikonvulsi: hidantoin, karbamazepin, phenacemide, ethosuximide(5) Gold dan arsen

(6) Sulfonamid

(7) Obat antitiroid (methimazole, methylthiouracil, propylthiouracil)

(8) Agen hipoglikemi oral (tolbutamide, carbutamide, chlorpropamide)

(9) Penicillamine

(10) Mesalazine

2. Bahan kimia: benzen, insektisida

3. Radiasi

4. Infeksi virus

a. Parvovirus (jarang, biasanya menyebabkan krisis aplastik sementara, aplasi sel darah merah)

b. Virus hepatitis ( hepatitis non-A, non-B, non-C)

c. Virus Epstein-Barr

d. Human immunodeficiency virus

5. Kelainan imunitas

a. Eosinophilic fascities

b. Systemic lupus erythematosus (SLE)c. Graft-versus-host disease, terkait tranfusi

d. Hipoimunoglobulinemia

e. Timoma dan karsinoma timus

6. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)7. Kehamilan

II. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited)

A. Anemia fanconi

B. Dyskeratosis congenita

C. Shwachman-Diamond Syndrome

D. Trombositopenia Amegakariosit. 34. KlasifikasiKlasifikasi anemia aplastik dibagi menjadi 3,4 :

A. Klasifikasi menurut kausa:1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.2. Sekunder : bila kausanya diketahui.

3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi.B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosisnya:

1. Anemia aplastik berat (severe)

Selularitas sumsum tulang < 25% normal atau 25 50 % normal dengan < 30% sel sel hemopoetik residual.

Dua dari tiga kriteria berikut :

(1) Neutrofil < 500/mm3;

(2) Platelet < 20.000/mm3;

(3) Retikulosit < 1%2. Anemia aplastik sangat berat (very severe)

Selularitas sumsum tulang < 25% normal atau 25 50 % normal dengan < 30% sel sel hemopoetik residual.

Hitung neutrofil < 200/mm3 dan platelet < 20.000/mm3; atau retikulosit < 1%3. Anemia aplatik sedang (moderate) atau tidak berat (non severe)

Suatu keadaan yang tidak memenuhi kriteria diatas.Secara historis, pasien dengan anemia aplastik berat memiliki prognosis yang buruk. Pada awal tahun 1970-an, 80 90% pasien meninggal karena komplikasi dari pansitopenia dalam 12 18 bulan. Bagaimanapun, dengan diperkenalkannya transplantasi sumsum tulang dan kemudian dengan adanya penggunaan globulin antithymocyte (ATG), 5 tahun survival menjadi 75%. 3,4

5. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui 4:

a. Kerusakan sel induk ( seed theory )

Kerusakan sel induk telah dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan transplantasi sumsum tulang paa penderita anemia aplastik, yang berarti bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki proses patologik yang terjadi.

b. Kerusakan lingkungan mikro ( soil thory )

Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus percobaan yang diberikan radiasi.

c. Mekanisme imunologik

Teori imunologik dibuktikan secara tidak langsung melalui keberhasilan pengobatan imunosupresif .Patofisiologi timbulnya anemia aplastik dapat digambarkan secara skematik melalui tabel berikut 4 :

6. DIAGNOSIS BANDING

Myelodisplasia Hiposelular

Myelodisplasia hiposelular lebih sering terjadi khususnya pada pasien yang lebih tua. Pada sindrom myelodisplastik, ekspansi klonal muncul dari sel asal CD34(, sedang pada anemia aplastik didapat sel-sel asal CD34+ merupakan target serangan autoimun. Dengan demikian, proporsi sel-sel CD34+ adalah 0,3% atau kurang pada pasien anemia aplastik, sedangkan proporsi normal (0,5-1,0%) atau dapat lebih tinggi pada sindrom myelodisplatik hipoplastik. 2Pada pemeriksaan sitogenik, umumnya didapatkan kromosom normal pada anemia aplastik, tetapi aneuploidi atau abnormalitas struktural relatif sering pada sindrom myelodisplastik. Jika sumsum tulang normal atau hiperselular dan sel-sel hematopoietik jelas-jelas dismorfik, maka myelodisplasia mudah dibedakan dari anemia aplastik. Namun mungkin sekitar 20% kasus, sumsum tulang tampak hiposelular, selain itu perubahan morfologinya mungkin ringan atau meragukan, dan uji kromosom memberikan hasil normal atau tidak berhasil. Diagnosis banding lebih dipersulit dengan evolusi anemia aplastik yang telah diobati menjadi myelodisplasia. 2 Leukemia Limfositik Granular besar

Penyakit ini juga dapat menjadi diagnosis untuk sumsum tulang yang kosong atau displastik. Limfosit granular besar dapat dikenali dari fenotipenya yang berbeda pada pemeriksaan mikroskopik darah, yaitu pola pulasan sel-sel khusus pada flowcytometry, dan ketidakteraturan reseptor sel T yang membuktikan adanya ekspansi monoklonal populasi sel T. 2 Anemia Aplastik dan Hemoglobinuria Nokturnal Paroksimal (PNH)

Pada PNH, sel asal hematopoietik abnormal menurunkan populasi sel darah merah, granulosit, dan trombosit yang semuanya tidak mempunyai sekelompok protein permukaan sel. Dasar genetik PNH adalah mutasi didapat pada gen PIG-A di kromosom X yang menghentikan sintesis struktur jangkar glikosilfostatidilinositol. Defisiensi protein ini menyebabkan hemolisis intravaskular, yang mengakibatkan ketidakmampuan eritrosit untuk meng-inaktivasi komplemen permukaan. Tidak adanya protein tersebut mudah dideteksi dengan flow cytometry eritrosit dan leukosit, tes Ham dan sukrosa sekarang sudah tertinggal jaman. 2Beberapa pasien PNH akan mengalami kegagalan sumsum tulang, dan sebaliknya, PNH dapat ditemukan sebagai peristiwa klonal lanjut bertahun-tahun setelah diagnosis anemia aplastik. Pemeriksaan flow cytometry memperlihatkan bahwa sejumlah besar pasien dengan kegagalan sumsum tulang mengalami ekspansi klon PNH hematopoietik pada saat datang. 27. Penatalaksanaan Anemia Aplastik 2,4

8. TERAPI KONSERVATIF

Terapi imunosupresif : 2 Merupakan modalitas terpenting untuk sebagian besar pasien anemia aplastik. Obat-obatan yang termasuk dalam terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CsA). Mekanisme kerja ATG atau ALG pada kegagalan sumsum tulang tidak diketahui, dan mungkin mlalui :

Koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal

Stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.

Imunosupresi yang palin sering dipakai adalah ATG dari kuda (ATGam dosis 20 mg/kg perhari selama 4hari) atau ATG kelinci (thymoglobulin dosis 3,5 mg/kg per hari selama 5hari) plus CsA (12-15 mg/Kg) umumnya selama 6 bulan.

Kegagalan terapi imunosupresif mungkin mencerminkan undertreatment atau kelelahan cadangan sel-sel asal sebelum pemulihan hematopoietik. Disamping itu, tidak adanya respon terapi mungkin juga disebabkan salah diagnosis atau adanya patogenesis non-imun, seperti anemia aplastik herediter.

Relaps

Terapi imunosupresif intensif dengan ATG dapat dipandangsebagai terapi induksi, yang mungkin membutuhkan periode pemeliharaan lama dengn CsA atau bahan re-induksi. Angka relaps setelah terapi imunosupresif adalah 35% dalam 7 tahun. Secara umum relaps mempunyai prognosis yang baik dan kelangsungan hidup pasien tidak memendek.

Penyebab Kegagalan Terapi dan Relaps Pada Anemia Aplastik 2Penyebab Etiologi yang mungkin

Kelelahan cadangan selAnemia aplastik diperantarai imun

Imunosupresi tidak cukupSerangan imun persisten

Salah diagnosis

Kegagalan sumsum tulangPatogenesis non imun

Herditer

TERAPI PENYELAMATAN (SALVAGE THERAPIES)

Siklus Imunosupresi Berulang : 2,5Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus imunosupresi ATG ulangan. Angka penyelamatan yang bermakna pada pasien yang refrakter ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci. Namun, siklus ketiga tampaknya tidak dapat ,menginduksi respon pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi ulangan. Upaya melakukan terapi penyelamatan dapat menunda transplantasi sumsum tulang. Namun dampaknya masih kontroversial. Pasien dengan donor saudara yang cocok dan tidak berespon terhadap ATG /Csa harus menjalani TST. Selain terapi ATG berulang, obat-obatan seperti Campath-1H atau antibodi monoklonal anti-CD3 dapat digunakan dalam konteks uji klinik. 2SINDROMA MIELODISPLASTIK

a. DefinisiSindroma mielodisplastik (myelodysplastic syndrome [MDS]) adalah kelainan neoplastik hemopoetik klonal yang disebabkan oleh transformasi ganas sel induk mieloid sehingga menimbulkan gangguan maturasi dan diferensiasi seri mieloid, eritroid, atau megakariosit, yang ditandai oleh hematopoesis inefektif, sitopenia pda darah tepi, dan sebagian akan mengalami transformasi menjadi leukimia mieloid akut. MDS merupakan kelainanan yang sangat heterogen, tetapi disatukan oleh adanya displasia pada satu atau lebih turunan sel (cell lineage) serta adanya kecenderungan transformai maligna pada sebagian kasus. 6b. Epidemiologi

MDS adalah penyakit yang relatif baru, sehingga data mengenai insiden penyakit ini belm banyak dijumpai.Linman dan Bagby yang dikutip oleh heaney dan golde memperkirakan di amerika serikat tahun 1978 dijumpai 1500 kasus baru. Pada pertengahan tahun 1980-an Leukemia Research Fund di inggris mendapatkan insiden3,6/100.000/tahu, meskipun dengan variasi per daerah yang cukup besar.

Data insiden MDS untuk indonesia belum dijumpai. Soebandini yang telah melakunan penelitian di surabaya tahun 1981-1986 mendapatkan sejumlah 38 kasus dan terlihat kecenderungan yang semakin meningkat tiap tahunnya.6c. Umur dan jenis kelamin

MDS merupakan penyakit lanjut usia dengan 80% kasus berumur diatas 60 tahun, dengan umur rata-rata sekitar 65 tahun. Kasus dengan umur dibawah 50 tahun jarang dijumpai. Williamson melaporkan insiden pada kelompok umur :

1. < 50 tahun adalah 0,5/100.000/tahun

2. 50-59 tahun adalah 5,3

3. 60-69 tahun adalah 15

4. 70-79 tahun adalah 49

5. > 80 tahub adalah 89

MDS dijumpai hampir dua kali lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. 6d. Penyebab

Seperti halnya kanker, penyebab MDS belum diketahui. Studi epidemiologi menunjukkan MDS dihubungkan dengan pemaparan terhadap bahan kimia : benzen, halogeneted hydrocarbon, hydrogen peroksida serta pemaparan terhadap sinar gama, thorium dan radium. 6e. PatofisiologiMDS dibagi menjadi tipe primer yang penyebabnya tidak diketahui dan tipe sekunder yang merupakan akibat komplikasi pengobatan agresif terhadap kanker lain, seperti radioterapi, agen alkilasi atau penghambat topoisomerase II, dan pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang otolog. Cedera sel stem hematopoietik awalnya merupakan akibat dari kemoterapi yang sitotoksik, paparan radiasi, infeksi virus, paparan zat kimia dari benzena serupa genotoksin, atau utan kemudian akan mendominasi seluruh sumsum tulang dan menekan sel stem yang sehat. Pada tahap awal, penyebab utama sitopenia adalah peningkatan apoptosis (kematian sel terprogram). Seiring perkembangan penyakit menjadi leukemia, mutasi gen berikutnya akan terus terjadi (meskipun jarang) dan proliferasi sel leukemik akan mendesak sumsum tulang yang masih sehat.6,7f. Klasifikasi MDS

pada tahun 1976, FAB ( french American British Group )membuat klasifikasi leukimia akut, yang memasukkan juga sindrom mielodisplastik sebagai diagnosis diferensial, yaitu untuk kasus dengan perjalanan penyakit yang lebih lambat dan terjadi pada umur yang lebih tua.Klasifikasi MDS menurut FAB 6:

1. Refractory Anemia

Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada satu turunan sel (cell lineage), pada umumnya seri eritroid. Blast dalam darah tepi < 1% dan blast pada sumsum tulang 1x10 per liter). blast pada darah tepi < 5%, dalam sumsum tulang blast sampai dengan 20%.5. Refractory Anemia with Excess Blast in Transformation (RAEB-t)

Pada RAEB-t gambaran hematologik sama dengan RAEB, tetapi blast pada darah tepi > 5% atau blast pada sumsum tulang 21-30%.

Klasifikasi MDS menurut WHO1. Refractory Anemia

2. Refractory Anemia with Ringed Sideroblast ( RARS )

3. Refractory anemia with multilineage dysplasia ( RCMD )

4. Refractory Anemia with Excess Blast-1

5. Refractory Anemia with Excess Blast-2

6. Myelodysplastic syndrome unclassified (MDS-U)7. MDS associated with del (5q)g. Diagnosis

- Anemia dan/perdarahan dan/febris yang tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan.- Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih dari sistem darah.- Adanya sel-sel muda/blas dalam jumlah sedikit (100 fL) dengan eritrosit berbentuk oval (makro-ovalosit). Biasanya dimorfik (>2 populasi) yang terdiri atas beberapa eritrosit yang normal atau mikrositik hipokromik bersama dengan eritrosit yang makrositik. Bentukan seperti koma yang basofilik juga ditemukan pada eritrosit.6,7Neutropenia dapat bervariasi dari ringan hingga berat. Kelainan morfologik seringkali ditemukan pada granulosit. Semuanya dapat memiliki inti dengan dua lobus atau tidak tersegmentasi (kelainan pseudo-Pelger-Huet) atau hipersegmentasi pada inti sel (6-7 lobus) yang mirip dengan penyakit megaloblastik. Kelainan granulasi dapat bervariasi dari tidak ada granul hingga kelainan distribusi di sitoplasma (badan Dohle). Hitung trombosit menurun (jarang meningkat) dan menunjukkan kelainan ukuran morfologik dan sitoplasma, seperti trombosit hipogranular raksasa dan fragmen megakariosit.6Pada kebanyakan kasus, perubahan sumsum tulang mencakup hiperselularitas dengan perubahan displastik ketiga lini sel darah. Sejumlah kecil pasien mungkin memiliki sumsum tulang yang hiposeluler. Hal ini sering tumpang tindih dengan anemia aplastik. Peningkatan fibrosis sumsum tulang dapat dikacaukan oleh jenis MPD lain. Perubahan displastik pada lini eritrosit (diseritropoiesis) merupakan tanda yang sangat khas. Tanpa adanya defisiensi vitamin B12 atau folat, sumsum tulang berubah biasanya bermanifestasi berupa perubahan yang serupa dengan maturasi asinkron inti dan sitoplasma sel sebagaimana digambarkan pada anemia megaloblastik. Perubahan lain mencakup binuklearitas atau multinuklearitas pada sel prekursor sel eritroid dan adanya cincin sideroblas (akulasi besi di mitokondria). Hal ini digunakan oleh FAB untuk mengklasifikasikan 2 tipe RA, yaitu tipe dengan cincin sideroblas (RARS0 dan tipe tanpa cincin sideroblas.6Perubahan displastik pada lini leukosit (dismielopoiesis) menunjukkan adanya hiperplasia mieloid dengan peningkatan jumlah mieloblas dan meluasnya populasi mielosit maupun metamielosit (tahap pertengahan). Hal ini memisahkannya dari leukemia akut (hiatis leukemik atau ketiadaan tahap pertengahan). Persentase mieloblas telah digunakan oleh klasifikasi FAB dalam membedakan RA(20%, 30%).[8] Kelainan morfologik diakibatkan oleh disosiasi inti maupun sitoplasma dalam hal maturasi dan ketikan bentuk pseudo-Pelger juga terdapat di sumsum tulang. Distrombopoiesis dalam produksi trombosit terdiri atas mikromegakariosit (bentuk dwarf) dengan lobulasi yang buruk pada inti sel dan pertunasan trombosit raksasa dari sitoplasmanya.6Pemeriksaan sitogenetik sel-sel di sumsum tulang mengindikasikan adanya mutasi pada lini sel klon dengan kelainan kromosom pada 48-64% pada berbagai seri pemeriksaan. Dengan menggunakan teknik resolusi tinggi (hibridisasi in situ fluoresen), beberapa praktisi mengklaim 79% tingkat kelainan kromosom pada MDS primer pasien. kelainan kromosom merupakan klon dan mencakup lengan kromosom 5q-, monosomi 7 (-7) atau 7q-, trisomi 8 (+8), dan beberapa lainnya yang kurang sering terjadi. Kombinasi multipel yang timbul mengindikasikan programnya memiliki prognosis yang sangat buruk. Keyakinan tunggal, kecuali dalam situasi dengan kromosom 7 yang biasanya mengindikasikan prognosis yang baik maupun angka harapan hidup. 6,7Sel induk hemapoitik

Pansitopenia

Eritrosit

Leukosit

Trombosit

Sindrom anemia

Mudah infeksi :

febris

ulkus mulut / pharynx

sepsis

Perdarahan :

kulit

mukosa

organ dalam

Kerusakan sel induk

Gangguan lingkungan mikro

Mekanisme imunologik

Anemia Aplastik Berat

Usia >35 Tahun atau tidak ada HLA matched sibling

Usia < 35 Tahun dengan HLA matched sibling

Terapi Imunosupresif

Tranplantasi Sumsum tulang

Tidak ada respon

Ada respon

Ulangi pemberian ATG / ALG

Turunkan CSA dalam 6 bulan

Tidak ada respon

Faktor pertumbuhan hematopoietik atau androgen atau matched unrelated transplant

Ada respon

kambuh

Follow-up teratur

Ulangi terapi imunpsupresif

PAGE 23