Bab 2
-
Upload
nia-sahra-labetubun -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
Transcript of Bab 2
-
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kualitas Tidur
1. Definisi
Kualitas tidur merupakan indeks subjektif terhadap kondisi tidur
yang dialami seseorang termasuk perasaan istirahat ketika bangun dan
kepuasan tidur (Dewald et al, 2010). Kualitas tidur menunjukan
kemampuan individu untuk dapat tetap tidur, tidak hanya mencapai
jumlah atau lamanya tidur, tetapi dapat memperoleh jumlah istirahat yang
sesuai dengan kebutuhannya. Secara fisiologis, kualitas tidur yang buruk
dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan individu, mudah letih,
secara psikologis dapat mengakibatkan ketidakstabilan emosional, kurang
percaya diri, impulsif yang berlebihan dan kecerobohan. Kualitas tidur
seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu
kondisi lingkungan, fisik, aktivitas, dan gaya hidup. Kebiasaan olahraga
juga merupakan bentuk aktivitas fisik yang dapat mempengaruhi tidur
seseorang. Keletihan yang terjadi setelah melakukan aktivitas olahraga
akan menimbulkan seseorang cepat tertidur (Sulistyani, 2012).
Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang
tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau
dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang
merupakan keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat
dibangunkan (Guyton & Hall, 2011). Tidur merupakan suatu proses aktif,
bukan sekedar tidak terjaga. Tingkat aktifitas otak secara keseluruhan
tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu,
penyerapan O2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga
normal (Sherwood, 2007). Tidur juga disertai oleh berbagai perubahan
-
6
fisiologis, termasuk respirasi, fungsi jantung, tonus otot, temperatur,
sekresi hormon, dan tekanan darah (Kaplan et al, 2010).
2. Pola tidur
Perekaman listrik dari permukaan otak atau bahkan dari
permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang
terus-menerus timbul dalam otak. Intensitas dan pola aktivitas listrik
ditentukan oleh besarnya derajat eksitasi berbagai bagian otak yang
disebabkan oleh tidur, keadaan siaga, dan penyakit otak seperti epilepsi
atau bahkan psikosis. Gelombang yang terekam dalam potensial listrik
disebut gelombang otak, dan seluruh rekaman disebut elektroensefalogram
(EEG) (Guyton dan Hall, 2011).
Intensitas gelombang otak yang terekam dari permukaan kulit
kepala berkisar antara 0-200 mikrovolt, dan frekuensinya berkisar dari 1
kali setiap beberapa detik sampai 50 kali atau lebih perdetiknya. Sifat
gelombang ini bergantung pada besarnya aktivitas korteks serebri yang
diukur, dan gelombang otak jelas mengalami perubahan pada keadaan
siaga, tidur, serta koma. Pada orang normal yang sehat, kebanyakan
gelombang EEG dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Gelombang alfa merupakan gelombang berirama yang timbul pada
frekuensi antara 8 dan 13 siklus perdetik dan dijumpai di hampir
semua rekaman EEG orang dewasa normal sewaktu bangun dan dalam
keadaan tenang. Gelombang ini lebih sering terjadi pada regio okspital
namun dapat juga direkam dari regio parietal dan regio frontal kulit
kepala. Besar voltase biasanya sekitar 50 mikrovolt. Selama tidur yang
dalam, gelombang alfa menghilang.
b. Bila perhatian orang yang sudah bangun ditujukan pada beberapa tipe
aktivitas mental yang spesifik, gelombang alfa akan digantikan oleh
gelombang beta yang asinkron, dengan frekuensi yang lebih tinggi dan
voltase yang lebih rendah. Efek pada gelombang alfa bila orang
-
7
membuka matanya dalam cahaya terang dan kemudian menutup
matanya lagi. Perhatikan bahwa sensasi visual segera menghentikan
gelombang alfa dan keadaan ini digantikan oleh gelombang beta yang
asinkron dan bervoltase rendah. Gelombang beta timbul pada
frekuensi lebih dari 14 siklus per detik dan dapat mencapai 80 siklus
per detik. Gelombang ini terekam khususnya dari regio parietal dan
regio frontal selama bagian-bagian otak tersebut melakukan aktivitas
yang spesifik.
c. Gelombang teta mempunyai frekuensi antara 4 dan 7 siklus
perdetiknya. Gelombang ini normalnya timbul di regio parietal dan
temporal anak-anak, namun dapat juga terjadi selama stres emosional
pada orang dewasa, terutama selama mengalami kekecewaan dan
frustrasi. Gelombang teta juga timbul pada banyak gangguan otak,
seringkali pada keadaan otak yang berdegenerasi.
d. Gelombang delta meliputi semua gelombang EEG, dengan frekuensi
kurang dari 3,5 siklus per detik. Gelombang ini terjadi pada saat tidur
nyenyak dan pada penyakit organik otak yang parah (Guyton dan Hall,
2011).
Rekaman EEG (electroencephalography) dan rekaman fisiologis
lainnya yang dilakukan sewaktu tidur mendefinisikan dua tahap tidur yang
nyata yaitu Rapid Eye Movement Sleep (REM) dan Non Rapid Eye
Movement Sleep (NREM). Tidur NREM dibagi lagi atas empat stadium,
yaitu :
a. Stadium 1 (tidur ringan)
Keadaan mengantuk dan tidur ringan yang dapat dilihat pada
mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah yang kurang menarik. Ia
menganggukan kepala pelan (pupil mata berkonstriksi dan dilatasi
secara lambat), bola mata bergerak pelan bolak-balik, kelopak mata
menutup sebagian atau semuanya. Bila pada stadium 1 diukur waktu
-
8
reaksi terhadap rangsang, terlihat melamban dan ketajaman intelektual
menurun, walau mahasiswa tersebut tidak merasakannya. Ia mungkin
merasa tetap siaga terhadap sekitar, namun orang di sekitarnya dapat
melihat adanya penurunan respon. Orang yang tidur di tempat tidur
pada stadium 1 tampak bergerak atau menggeliat ringan.
b. Stadium 2
Individu yang berada dalam stadium 2, bila dibangunkan ia merasa
bahwa ia memang tertidur. Namun, sebagaimana halnya dengan
stadium 1, ada individu yang merasa ia cukup sadar terhadap
sekelilingnya, namun ia tidak menyadari seberapa jauh kesadarannya
sudah menumpul. Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan
ambang bangun terhadap rangsang taktil dan rangsang suara lebih
tinggi.
c. Stadium 3 dan 4 (tidur gelombang lambat)
Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh
imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat
pada rekaman EEG. Fase tidur ini sering disebut juga sebagai tidur
gelombang delta atau tidur dalam. Transisi dari stadium 2 ke stadium
tidur gelombang lambat sulit ditentukan. Stadium tidur gelombang
lambat ini bervariasi berkaitan dengan usia. Orang yang berusia lebih
dari 60 tahun dapat tidur tanpa gelombang lambat, dan anak yang
sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase
tinggi walaupun ia masih tidur ringan (Lumbantobing, 2008).
Pada orang normal tidur NREM adalah keadaan yang tenang
relatif terhadap terjaga. Kecepatan denyut jantung biasanya lebih lambat
5-10 denyut dalam satu menit. Respirasi mengalami hal yang sama.
Tekanan darah juga cenderung rendah, dengan sedikit variasi dari menit
ke menit. Potensial otot istirahat dari otot-otot tubuh adalah lebih rendah
pada tidur REM dibandingkan keadaan terjaga. Gerakan tubuh yang
-
9
episodik, involunter ditemukan pada tidur NREM, selain itu juga jarang
terjadi ereksi penis. Aliran darah ke sebagian besar jaringan adalah
menurun, termasuk aliran darah ke otak (Kaplan et al, 2010).
Proporsi tidur NREM yang terdalam (stadium 3 dan 4) kadang-
kadang disertai dengan karakteristik terbangun yang tidak lazim. Jika
seseorang dibangunkan setengah sampai satu jam setelah onset tidur atau
biasanya dalam tidur gelombang lambat akan terjadi disorientasi.
Terbangun singkat dari tidur gelombang lambat juga disertai dengan
amnesia terhadap peristiwa yang terjadi selama terjaga. Disorganisasi
selama terbangun pada stadium 3 atau stadium 4 mungkin menyebabkan
masalah tertentu, seperti enuresis, somnambulisme, dan mimpi
menakutkan (Kaplan et al, 2010).
Dibandingkan dengan keadaan terjaga, sebagian besar fungsi
fisiologis adalah jelas menurun pada keadaan tidur NREM. Tidur REM
adalah suatu jenis tidur yang berbeda secara kualitatif yang ditandai oleh
tingkat aktivitas otak dan fisiologis yang sangat aktif yang mirip dengan
keadaan terjaga. Kira-kira 90 menit setelah onset tidur, NREM berubah
menjadi episode REM pertama pada malam tersebut (Kaplan et al, 2010).
Aktivitas EEG waktu tidur REM menyerupai aktivitas waktu
bangun, keadaan ini disebut tidur yang desinkronisasi (desynchronized
sleep), atau tidur paradoksikal. Fase ini berasosiasi dengan bermimpi
pada manusia, sering juga disebut tidur mimpi. Didapatkan banyak gerak
mata yang cepat pada stadium ini dan gerak mata tersebut merupakan
tanda utama. Pada tidur REM didapatkan :
Gambaran EEG serupa dengan keadaan bangun, aktivitas cepat dan
amplitudo rendah, serta gerakan bola mata serupa dengan keadaan
bangun
Terdapat bukti peningkatan penggunaan energi oleh otak
-
10
Tonus otot skelet berada dalam keadaan atoni (Lumbantobing, 2008)
Kecepatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah pada
manusia selama tidur REM mengalami peningkatan dibandingkan selama
tidur NREM dan seringkali lebih tinggi dibandingkan keadaan terjaga.
Pemakaian oksigen otak meningkat selama tidur REM. Termoregulasi
mengalami gangguan selama tidur REM. Berbeda dengan kondisi
homeotermik dari pengaturan temperatur yang ditemukan selama terjaga
atau tidur NREM, kondisi poikilotermik ditemukan selama tidur REM.
Poikilotermia menyebabkan kegagalan untuk berespons terhadap
perubahan temperatur lingkungan dengan menggigil atau berkeringat,
yang mana diperlukan untuk mempertahankan temperatur tubuh. Selama
tidur REM terjadi paralisis yang hampir lengkap pada otot-otot skeletal
(postural). Karena inhibisi motorik tersebut, pergerakan tubuh tidak terjadi
selama tidur REM. Kemungkinan ciri yang paling membedakan dari tidur
REM adalah mimpi. Orang yang terjaga selama tidur REM seringkali (60-
90%) melaporkan bahwa mereka telah bermimpi. Mimpi selama tidur
REM biasanya abstrak (Kaplan et al, 2010).
Gerak bola mata mungkin merefleksikan visualisasi mimpi. Hal
ini tidak ditemukan pada mereka yang sudah buta sejak lahir. Tidur REM
ditandai dengan ereksi penis pada pria dan peningkatan aliran darah di
vagina wanita. Berbeda dengan tidur NREM, yang ditandai oleh dominasi
parasimpatetik, tidur REM berasosiasi dengan aktivitas simpatetik yang
intens. Hal ini bermanifestasi pada peningkatan irama jantung dan napas,
demikian juga variabilitasnya dan terjadi peningkatan vasokonstriksi
perifer serta peningkatan tekanan darah sistemik (Lumbantobing, 2008).
Terdapat berbagai dugaan mengenai fungsi REM yang didasarkan
atas penelitian pada hewan dan manusia diantaranya adalah:
Konsolidasi memori dan memproses bahan yang baru dipelajari
-
11
Stimulasi otak
Memecahkan masalah dan konflik di siang hari
Deprivasi tidur REM mengacaukan proses belajar (Lumbantobing,
2008)
Otot skelet tonusnya minimal waktu tidur REM, walaupun
kedutan ringan masih dapat dideteksi pada otot wajah dan otot jari tangan
dan kaki. Flaksiditas atau atonia yang prominen di otot abdomen, saluran
napas atas, dan otot interkostal dapat mengganggu pernapasan waktu tidur
REM dan dapat membahayakan bagi bayi yang mempunyai kesulitan
bernapas, kifoskoliosis, distrofia otot, dan kelumpuhan neuromuskular
lainnya. Ereksi penis yang terlihat waktu tidur REM mempunyai
implikasi klinis. Bila ada ereksi penis berkaitan dengan tidur REM, hal ini
dapat menyingkirkan kemungkinan kelainan organik sebagai penyebab
impotensi (Lumbantobing, 2008).
Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik
selama tidur gelombang lambat, namun orang-orang terbangun secara
spontan di pagi hari sewaktu episode tidur REM. Frekuensi denyut
jantung dan pernapasan biasanya menjadi iregular, dan ini merupakan
sifat dari keadaan tidur dengan mimpi. Pada tidur REM, otak menjadi
sangat aktif, dan metabolisme di seluruh otak meningkat sebanyak 20
persen (Guyton dan Hall, 2011).
Periode REM terjadi kira-kira tiap 90 sampai 100 menit selama
semalam. Periode REM pertama cenderung merupakan periode yang
paling singkat, biasanya berlangsung selama kurang dari 10 menit.
Periode REM selanjutnya masing-masing biasanya berlangsung selama
15-40 menit. Sebagian besar periode REM terjadi pada sepertiga bagian
terakhir dari malam, sedangkan sebagian besar tidur stadium 4 terjadi pada
sepertiga bagian pertama malam (Kaplan et al, 2010).
-
12
Pada permulaan tidur, seseorang berpindah dari tidur ringan
stadium 1 ke tidur dalam stadium 4 selama periode 30-45 menit, kemudian
berbalik kembali melalui stadium-stadium yang sama dalam periode
waktu yang sama. Pada akhir setiap siklus tidur gelombang lambat
terdapat episode-episode tidur paradoksikal yang berlangsung 10-15
menit. Setelah episode paradoksikal, stadium-stadium tidur gelombang
lambat berulang sekali lagi (Sherwood, 2007).
Pola tidur adalah berubah sepanjang kehidupan seseorang. Pada
periode neonatal, tidur REM mewakili lebih dari 50% waktu tidur total.
Bayi baru lahir tidur kira-kira 16 jam sehari, dengan periode terjaga yang
singkat. Pada periode neonatal, pola EEG berubah dari keadaan sadar
langsung masuk ke keadaan REM tanpa melalui stadium 1-4. Pada usia 4
bulan, pola berubah, sehingga persentasi total tidur REM turun sampai
kurang dari 40%, dan masuk ke tidur terjadi dengan periode awal tidur
NREM. Pada dewasa muda, distribusi stadium tidur adalah sebagai
berikut:
NREM (75%)
Stadium 1: 5%
Stadium 2: 45%
Stadium 3: 12 %
Stadium 4: 13%
REM (25%)
Distribusi tersebut relatif tetap sampai lanjut usia, walaupun terjadi
penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM pada lanjut usia
(Kaplan et al, 2010).
Dalam satu malam bagian-bagian stadium tidur rata-rata dapat
dilihat pada tabel berikut :
-
13
Tabel 1. Perubahan lama dan stadium tidur dengan usia
Lama tidur
(jam)
Stadium
tidur
1-2 (%)
Stadium
tidur
3-4 (%)
REM (%)
Bayi 13-16 10-30 30-40 40-50
Anak 8-12 40-60 20-30 20-30
Dewasa 6-9 45-60 15-25 15-25
Usia lanjut 5-8 50-80 5-15 15-25
Sumber: Lavie P et al 2002 dalam Lumbantobing 2008
Persentase stadium tidur ini berubah pada berbagai keadaan, seperti
perubahan usia, setelah tidur yang tidak cukup atau tidak memuaskan,
stres, olahraga, perubahan suasana hati, dan berbagai penyakit
(Lumbantobing, 2008).
3. Pengaturan tidur
Terdapat pusat pengendalian tidur yaitu sejumlah kecil sistem atau
pusat yang saling berhubungan, berlokasi di batang otak, saling
mengaktivasi dan menginhibisi satu sama lainnya. Banyak penelitian
mendukung peranan serotonin dalam pengaturan tidur. Pencegahan
sintesis serotonin atau destruksi nukleus raphe dorsalis di batang otak
dapat menurunkan tidur untuk waktu yang cukup lama. Sintesis dan
pelepasan serotonin oleh neuron serotonergik dipengaruhi oleh
ketersediaan prekursor asam amino pada neurotransmitter tersebut, seperti
L-trytophan (1 sampai 15 gram). Defisiensi L-trytophan adalah
berhubungan dengan kurangnya waktu yang digunakan untuk tidur REM
(Kaplan et al, 2010).
Neuron yang mengandung norepinefrin dengan badan sel yang
terletak di nukleus sereleus memainkan peranan penting dalam
mengendalikan pola tidur normal. Obat-obatan dan manipulasi yang
meningkatkan pemicuan neuron noradrenergik tersebut menyebabkan
penurunan jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan terjaga penuh.
-
14
Asetilkolin otak juga terlibat dalam tidur, khususnya dalam menghasilkan
tidur REM. Sekresi melatonin dari kelenjar hipofisis dihambat oleh cahaya
yang terang, sehingga konsentrasi melatonin serum yang terendah terjadi
pada siang hari. Nukleus suprakiasmatik dari hipotalamus dapat bertindak
sebagai pacemaker sirkardian yang mengatur sekresi melatonin dan kerja
otak menjadi siklus tidur bangun 24 jam. Bukti-bukti menunjukan bahwa
dopamin memiliki efek membangunkan. Obat yang meningkatkan
dopamin otak cenderung menyebabkan terbangun dan terjaga penuh.
Sebaliknya, penghambat dopamin, seperti pimozide dan phenothiazine,
cenderung meningkatkan waktu tidur (Kaplan et al, 2010).
Siklus tidur bangun serta berbagai stadium tidur diperkirakan
disebabkan oleh hubungan timbal balik siklis dari tiga sistem saraf yang
berbeda di batang otak yaitu (1) arousal system, yang merupakan bagian
dari reticular activating system, (2) pusat tidur gelombang lambat, dan (3)
pusat tidur paradoksikal. Pola interaksi antara ketiga daerah saraf tersebut
menyebabkan munculnya urutan siklis teratur antara bangun dan tidur.
Arousal system dapat diaktifkan oleh masukan sensorik aferen seperti
kesulitan tidur dalam keadaan bising. Konsentrasi penuh atau keadaan
emosional kuat, misalnya rasa cemas atau kegembiraan, dapat mencegah
seseorang jatuh tertidur, demikian juga aktivitas motorik seperti berdiri
dan berjalan (Sherwood, 2007).
Pengaktifan abnormal neuron-neuron di pusat tidur paradoksikal
selama keadaan terjaga dapat terjadi pada penderita narkolepsi yang
merupakan kelainan yang ditandai oleh serangan tidur singkat (5-30
menit) yang tidak dapat ditahan beberapa kali sehari. Pasien narkoleptik
pada kenyataannya dapat langsung masuk ke dalam tidur paradoksikal
tanpa harus melalui tidur gelombang lambat (Sherwood, 2007).
Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat
menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak di
-
15
separuh bagian bawah pons dan di medulla. Serabut saraf dari nuklei ini
menyebar setempat di formasio retikularis batang otak dan juga ke atas
menuju talamus, hipotalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan
bahkan neokorteks serebri. Selain itu, serabut-serabut ini juga menyebar
ke bawah menuju medulla spinalis, dan berakhir di radiks posterior tempat
serabut ini dapat menghambat sinyal-sinyal yang masuk termasuk nyeri.
Telah diketahui bahwa banyak ujung serabut dari neuron rafe ini
menyekresikan serotonin. Bila seekor hewan diberi obat yang
menghambat pembentukan serotonin, hewan tersebut seringkali tidak
dapat tidur selama beberapa hari berikutnya. Oleh karena itu, dianggap
bahwa serotonin merupakan zat transmiter yang dihubungkan dengan
timbulnya keadaan tidur (Guyton dan Hall, 2011).
Penelitian telah membukitkan bahwa keadaan tidur dapat
dicetuskan bila ke dalam sistem ventrikel otak seekor hewan disuntikkan
cairan serebrospinal dan darah atau urin yang mengandung suatu zat yang
akan menyebabkan tidur bila cairan tersebut diambil dari hewan lain yang
dibuat terjaga selama beberapa hari. Suatu zat yang telah diidentifikasi
adalah muramil peptida, yaitu suatu substansi dengan berat molekul
rendah yang menumpuk dalam cairan serebrospinal dan urin hewan yang
terjaga selama beberapa hari. Bila substansi pencetus tidur ini disuntikkan
beberapa mikrogram saja kedalam ventrikel ketiga, dalam waktu beberapa
menit akan timbul keadaan tidur alami, dan hewan tersebut tetap tertidur
selama beberapa jam. Keadaan siaga yang berkepanjangan dapat
menyebabkan akumulasi progresif suatu faktor pencetus tidur atau
beberapa faktor di batang otak atau dalam cairan serebrospinal yang dapat
menyebabkan keadaan tidur (Guyton dan Hall, 2011).
Bila pusat tidur tidak diaktifkan, nuklei pengaktivasi retikular di
mesenfalon dan pons bagian atas akan terbebas dari inhibisi, yang
memungkinkan nuklei pengaktivasi retikular ini menjadi aktif secara
-
16
spontan. Keadaan ini selanjutnya akan merangsang korteks serebri dan
sistem saraf perifer, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal
umpan balik positif kembali ke nuklei retikular yang sama agar sistem ini
tetap aktif. Oleh karena itu, begitu timbul keadaan siaga, ada
kecenderungan secara alami untuk mempertahankan keadaan ini akibat
seluruh aktivitas umpan balik positif tersebut. Setelah otak tetap aktif
selama beberapa jam, neuron-neuron itu sendiri dalam sistem aktivasi
mungkin menjadi letih. Akibatnya, siklus umpan balik positif di antara
nuklei retikular mesensefalon dan korteks akan memudar dan pengaruh
perangsang tidur dari pusat tidur akan mengambil alih, sehingga timbul
peralihan yang cepat dari keadaan siaga menjadi keadaan tidur (Guyton
dan Hall, 2011).
Saat ini diduga bahwa beberapa mediator ikut berperan, misalnya
adenosin, interleukin, tumor necrosing factor, prostaglandin,
lipopolisakarida, dan delta producing proteins ikut memediasi dorongan
homeostatik untuk tidur. Di samping dorongan homeostatik didapat pula
pengaruh dorongan sirkardian (Lumbantobing, 2008).
4. Kebutuhan, fungsi, dan efek fisiologis tidur
Tiap mahluk hidup membutuhkan tidur. Dengan demikian tidur
merupakan kebutuhan hidup. Bila dilakukan deprivasi tidur secara
eksperimental pada hewan, hal ini dapat mengakibatkan kematian dalam
beberapa hari atau beberapa minggu. Jumlah total tidur dalam 1 hari
bergantung pada usia. Dalam kelompok usia didapatkan pula perbedaan
yang besar antara individu mengenai kebutuhan tidur. Tidur kurang dari 6
jam semalam, umumnya mengakibatkan gejala deprivasi (kurang) tidur.
Perlu pula diketahui bahwa tidur berlebihan dapat mengakibatkan tidur
yang tidak menyegarkan dan rasa letih (fatigue) di siang hari. Kekurangan
tidur selama beberapa hari akan mengganggu kesiagaan dan penampilan di
siang hari. Pada sisi lain, menambah jumlah jam tidur, dari 7-8 jam, dapat
-
17
meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognisi di siang hari
(Lumbantobing, 2008).
Pasien yang kekurangan tidur REM mungkin menunjukan sikap
mudah tersinggung dan letargis. Pada penelitian terhadap tikus,
kekurangan tidur menghasilkan suatu sindrom yang berupa lesi kulit,
peningkatan asupan makanan, kehilangan berat badan, peningkatan
penggunaan energi, penurunan temperatur tubuh, dan kematian.
Perubahan neuroendokrin berupa peningkatan norepinefrin plasma dan
penurunan tiroksin plasma (Kaplan et al, 2010).
Beberapa orang secara normal adalah petidur singkat (short
sleeper) yang memerlukan tidur kurang dari 6 jam. Petidur lama (long
sleeper) adalah mereka yang tidur lebih dari 9 jam setiap malamnya untuk
dapat berfungsi secara adekuat. Petidur lama memiliki lebih banyak
periode REM. Petidur singkat biasanya efisien, ambisius, cakap secara
sosial, dan puas diri. Petidur lama cenderung terdepresi ringan, cemas, dan
menarik diri secara sosial. Peningkatan kebutuhan tidur terjadi pada kerja
fisik, latihan fisik, kondisi sakit, kehamilan, dan stres mental. Periode
REM meningkat setelah stimuli psikologis yang kuat, seperti situasi
belajar yang sulit, stres, dan setelah pemakaian zat kimia atau obat yang
menurunkan katekolamin otak. Pengaruh faktor eksternal seperti siklus
terang gelap, rutinitas harian, dan periode makan dapat membentuk siklus
24 jam. Tidur juga dipengaruhi oleh irama biologis. Dalam periode 24
jam, orang dewasa tidur sekali, kadang-kadang 2 kali. Irama tersebut tidak
terdapat saat lahir tetapi berkembang dalam dua tahun pertama kehidupan
(Kaplan et al, 2010).
Pada beberapa wanita, pola tidur berubah selama fase siklus
menstruasi. Pada petidur malam hari yang normal, tidur sejenak yang
dilakukan pada pagi hari atau pada siang hari mengandung sejumlah besar
tidur REM, sedangkan tidur sejenak yang dilakukan pada petang hari atau
-
18
menjelang malam mengandung tidur REM yang jauh lebih sedikit.
Tampaknya, suatu irama sirkardian mempengaruhi kecenderungan
memiliki tidur REM. Pola tidur tidak sama secara fisiologis jika seseorang
tidur di siang hari atau selama tubuh seseorang harusnya terjaga. Efek
psikososial dan perilaku tidur juga berbeda. Kendatipun orang tidak
bekerja pada malam hari, gangguan dari berbagai irama dapat
menghasilkan masalah. Contoh yang paling dikenal adalah jet lag yaitu
setelah terbang dari timur ke barat, seseorang mencoba untuk meyakinkan
tubuhnya untuk tidur bukan pada saat fase siklus tubuh orang tersebut.
Sebagian besar orang dapat beradaptasi dalam beberapa hari, tetapi yang
lainnya memerlukan lebih banyak waktu (Kaplan et al, 2010).
Ada satu teori yang mengemukakan bahwa waktu kita bangun,
hipnotoksin menumpuk di badan kita dan hipnotoksin ini hanya dapat
didetoksifikasi (dinetralisasi) waktu tidur. Waktu kita bangun terdapat
akumulasi hipnotoksin yang memacu keadaan mengantuk. Pada saat tidur
terjadi pembuangan zat-zat toksik melalui sirkulasi (Lumbantobing,
2008).
Teori Benington Heler mengemukakan bahwa tidur bertujuan
mengkonservasi energi. Teori ini didukung oleh penemuan bahwa
sewaktu terjaga, tingkat energi di otak (ATP, glikogen, adenosin)
menurun dan meningkat kembali sewaktu tidur. Waktu tidur penggunaan
energi menurun sebanyak 15-20% dan konsumsi oksigen menurun. Pada
saat tidur, energi yang telah habis digunakan saat siaga dapat dipulihkan
kembali (Lumbantobing, 2008).
Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur merupakan waktu
untuk restorasi dan tumbuh bagi badan dan otak. Tidur meningkat setelah
melakukan latihan berat dan dari observasi didapatkan bahwa hormon
pertumbuhan (growth hormone) dilepas waktu tidur, terutama tidur dalam.
Data eksperimental menunjukan bahwa tidur mungkin juga berkaitan
-
19
dengan regulasi suhu dan mekanisme imunitas pertahanan
(Lumbantobing, 2008).
Diperkirakan bahwa tidur diperlukan agar otak dapat mengganti
persneling untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian kimiawi dan
struktural jangka panjang yang penting untuk belajar dan mengingat. Teori
ini menjelaskan mengapa bayi memerlukan banyak waktu tidur. Otak
mereka yang sangat plastis mengalami modifikasi sinaps yang sangat
cepat sebagai respons terhadap rangsangan lingkungan. Sebaliknya, orang
dewasa yang perubahan sarafnya tidak banyak, tidak memerlukan banyak
tidur (Sherwood, 2007).
Keadaan tidur menyebabkan timbulnya dua macam efek fisiologis
utama. Pertama, efek pada sistem sarafnya sendiri, dan kedua, efek pada
sistem fungsional tubuh lainnya. Kekurangan tidur sudah pasti akan
memengaruhi fungsi sistem saraf pusat. Keadaan siaga yang
berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir
yang progresif, dan kadang-kadang bahkan dapat menyebabkan aktivitas
perilaku yang abnormal. Kita semua telah mengetahui bahwa kelambanan
pikiran semakin bertambah menjelang akhir periode siaga yang
berkepanjangan, namun selain itu, seseorang dapat menjadi mudah
tersinggung, atau bahkan menjadi psikotik sesudah keadaan siaga yang
dipaksakan. Oleh karena itu, kita dapat menganggap bahwa tidur, melalui
berbagai cara dapat memulihkan tingkat aktivitas normal dan
keseimbangan normal diantara berbagai bagian sistem saraf pusat.
Penggunaan yang berlebihan pada beberapa area otak selama siaga dapat
dengan mudah mengganggu keseimbangan sistem saraf yang tersisa. Jadi
kita dapat menganggap bahwa nilai utama tidur adalah untuk memulihkan
keseimbangan alami diantara pusat-pusat neuron (Guyton dan Hall, 2011).
5. Jenis gangguan tidur
-
20
Saat ini dilaporkan berbagai jenis gangguan tidur, yaitu :
Insomnia, hipersomnia, parasomnia, gangguan pada ritme (siklus) tidur
bangun.
a. Insomnia
Keadaan dimana seseorang yang ingin tidur, misalnya karena sudah
lelah, mengalami kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit
mempertahankan keadaan tidur, dan bangunnya terlalu pagi.
b. Hipersomnia
Suatu keadaan dimana pasien biasanya tetap mengantuk, walaupun
jumlah jam tidurnya adekuat.
c. Parasomnia
Keadaan-keadaan yang tidak diinginkan dan terjadi ketika sedang
tidur. Seperti jalan waktu tidur, mimpi buruk, dan enuresis atau
ngompol waktu tidur.
d. Gangguan siklus tidur bangun
Gangguan irama tidur bangun yang disebut juga sebagai gangguan
ritme sirkardian dan menggambarkan keadaan pasien yang pola irama
tidurnya terganggu. Waktu tidur dan bangunnya tidak sebagaimana
lazimnya. Mungkin ia menjadi mengantuk dan tidur di siang hari,
sedang di malam hari ia bangun dan sulit tidur (Lumbantobing, 2008).
6. Penanganan umum gangguan tidur
Edukasi sleep hygiene menjadi dasar dalam penanganan
gangguan tidur. Sleep hygiene meliputi tidur dan bangun di waktu yang
sama tiap hari, menyinari tubuh dengan sinar matahari pagi, membentuk
kebiasaan makan yang teratur, tidak melakukan latihan berat dua jam
sebelum tidur, mandi dengan air hangat, hindari mengkonsumsi kafein di
malam hari, tidak mengkonsumsi alkohol sebelum waktu tidur, hindari
komputer atau sinar terang sebelum tidur. Teknik relaksasi juga perlu
diketahui yaitu bagaimana metode pernapasan, teknik aromaterapi, dan
-
21
mendengar musik. Selain itu juga penggunaan tempat tidur hanya
digunakan pada saat tidur (Kaku et al, 2012).
Psikoterapi juga dapat dilakukan untuk menangani gangguan
tidur. Selain itu farmakologis juga merupakan terapi gangguan tidur.
Obat-obatan neuroleptik, benzodiazepin, antidepresan trisiklik, anti
histamin, opioids, dan analgesik termasuk aspirin merupakan jenis obat
yang memiliki efek sedatif atau merangsang terjadinya tidur
(Lumbantobing, 2008).
Beberapa obat dapat memacu kesiagaan dan mencegah tidur
yaitu obat simpatomimetik (metilfenidat, pemolin), xanthine yang
berkompetisi terhadap reseptor adenosin (kafein, teofilin) dan obat
anorektik (penurun nafsu makan) yang mempunyai aksi adrenergik
sentral. Betabloker seperti propanolol dapat menghambat tidur REM
(Lumbantobing, 2008).
B. Kadar Glukosa Darah
1. Definisi
Kadar glukosa darah adalah jumlah kandungan atau konsentrasi
glukosa dalam plasma darah (Dorland, 2003). Uji kadar glukosa darah
puasa merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis
diabetes melitus (Arisman, 2011).
2. Metabolisme dan Pengaturan Glukosa Darah
Hasil akhir pencernaan karbohidrat dalam saluran pencernaan
hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Jumlah
glukosa rata-rata sekitar 80% dari keseluruhan hasil pencernaan. Setelah
absorpsi dari saluran pencernaan, banyak fruktosa dan hampir semua
galaktosa diubah secara cepat menjadi glukosa di dalam hati. Oleh karena
itu, hanya sejumlah kecil fruktosa dan galaktosa yang terdapat dalam
sirkulasi darah. Sel hati mengandung sejumlah besar glukosa 6-fosfatase
yang dapat dipecah menjadi glukosa dan fosfat. Sebelum glukosa dapat
-
22
dipakai oleh sel-sel jaringan tubuh, glukosa harus ditranspor melalui
membran sel jaringan dan kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel.
Kecepatan pengangkutan glukosa ke dalam sel dapat ditingkatkan oleh
insulin (Guyton dan Hall, 2011).
a. Glikogenesis
Tubuh telah mengembangkan mekanisme untuk menyimpan
persediaan glukosa dalam bentuk yang dapat dimobilisasi dengan
cepat, yaitu glikogen. Simpanan glikogen yang utama di dalam tubuh
ditemukan di otot rangka dan hati, walaupun kebanyakan sel lain
menyimpan sejumlah kecil glikogen untuk digunakan sendiri.
Glikogen otot berfungsi sebagai penyedia bahan bakar untuk sintesis
ATP selama kontraksi otot. Fungsi glikogen hati adalah untuk
mempertahankan konsentrasi glukosa darah, khususnya selama tahap
awal puasa (Champe et al, 2011). Setelah 12-18 jam berpuasa,
glikogen hati hampir seluruhnya terkuras. Glikogen otot tidak secara
langsung menghasilkan glukosa bebas (karena otot tidak memiliki
glukosa 6-fosfatase) (Murray et al, 2009).
Simpanan glikogen hati meningkat dalam keadaan cukup
makan dan akan berkurang selama puasa. Glikogen otot tidak
terpengaruh oleh periode puasa yang singkat (beberapa hari) dan
hanya sedikit berkurang pada periode puasa yang diperpanjang
(beberapa minggu). Glikogen otot disintesis untuk mengisi kembali
simpanan otot setelah simpanan otot tersebut terpakai, contohnya
setelah olahraga berat. Proses sintesis glikogen (glikogenesis) terjadi
di dalam sitosol (Champe et al, 2011).
b. Glikogenolisis
Pemecahan glikogen yang disimpan sel untuk membentuk
kembali glukosa di dalam sel disebut sebagai glikogenolisis. Glukosa
yang dibentuk kemudian dapat digunakan untuk menyediakan energi.
-
23
Glikogenolisis tidak dapat terjadi melalui pembalikan reaksi kimia
yang sama yang dipakai untuk membentuk glikogen. Setiap molekul
glukosa pada masing-masing cabang polimer glikogen dilepaskan
melalui proses fosforilasi, yang dikatalisis oleh enzim fosforilase
(Guyton dan Hall, 2011).
Pada keadaan istirahat, fosforilase terdapat dalam bentuk
tidak aktif, sehingga glikogen tetap dapat disimpan. Bila pembentukan
glukosa dari glikogen diperlukan kembali, fosforilase harus diaktifkan
terlebih dahulu. Dua hormon, epinefrin dan glukagon dapat
mengaktifkan fosforilase dan dengan demikian menimbulkan
glikogenolisis secara cepat. Pengaruh pertama dari masing-masing
hormon ini adalah meningkatakan pembentukan siklik AMP di dalam
sel, yang kemudian memicu suatu rangkaian reaksi kimia yang
mengaktifkan fosforilase (Guyton dan Hall, 2011).
Perangsangan saraf simpatis menyebabkan medula adrenal
mensekresikan epinefrin. Oleh karena itu, salah satu fungsi sistem
saraf simpatis adalah meningkatkan penyediaan glukosa untuk
metabolisme energi yang cepat. Fungsi epinefrin ini terjadi secara
nyata baik di dalam sel hati maupun otot, sehingga turut berperan
bersama pengaruh lain dari rangasangan simpatis guna menyiapkan
tubuh untuk bekerja (Guyton dan Hall, 2011).
Glukagon adalah hormon yang disekresi oleh sel alfa
pankreas apabila kadar glukosa darah turun sangat rendah. Glukagon
merangsang pembentukan siklik AMP terutama di sel hati, dan hal ini
selanjutnya meningkatkan pengubahan glikogen hati menjadi glukosa
dan melepaskannya ke dalam darah, sehingga meningkatkan kadar
glukosa darah (Guyton dan Hall, 2011).
c. Glikolisis dan Siklus Asam Sitrat
-
24
Jalur glikolisis digunakan oleh semua jaringan untuk
pemecahan glukosa yang menghasilkan energi (dalam bentuk ATP)
dan menghasilkan zat antara untuk jalur metabolisme lainnya.
Glikolisis adalah pusat metabolisme karbohidrat, karena hampir
semua jenis gula, baik yang berasal dari makanan atau reaksi
katabolik di dalam tubuh dapat diubah menjadi glukosa. Piruvat
merupakan produk akhir glikolisis pada sel yang memiliki
mitokondria dan suplai oksigen yang adekuat (Champe et al, 2011).
Glikolisis merupakan rute utama metabolisme glukosa dan
juga jalur utama untuk metabolisme fruktosa, galaktosa, dan
karbohidrat lain yang berasal dari makanan. Kemampuan glikolisis
untuk menghasilkan ATP tanpa oksigen merupakan hal yang sangat
penting karena hal ini memungkinkan otot rangka bekerja keras ketika
pasokan oksigen terbatas, dan memungkinkan jaringan bertahan hidup
ketika mengalami anoksia. Namun, otot jantung yang beradaptasi
untuk bekerja dalam keadaan aerob, memiliki aktivitas glikolitik yang
relatif rendah dan kurang dapat bertahan hidup dalam keadaan
iskemia (Murray et al, 2009).
Glikolisis aerob berperan dalam tahap dekarboksilasi oksidatif
piruvat menjadi asetil KoA, yang merupakan bahan bakar utama
dalam siklus asam sitrat. Pilihan lainnya adalah bahwa glukosa dapat
diubah menjadi piruvat, yang akan direduksi oleh NADH untuk
membentuk laktat. Pengubahan glukosa menjadi laktat disebut
glikolisis anaerob, karena dapat terjadi tanpa membutuhkan oksigen.
Glikolisis anaerob memungkinkan pembentukan ATP yang terus
menerus di jaringan yang kekurangan mitokondria (misalnya, sel
darah merah) atau pada sel yang kekurangan oksigen (Champe et al,
2011). Terjadinya kontraksi otot dalam kondisi aerob, tidak
menimbulkan penimbunan laktat tetapi menghasilkan piruvat yang
-
25
merupakan produk akhir utama glikolisis. Piruvat dioksidasi lebih
lanjut menjadi CO2 dan air (Murray et al, 2009).
Sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses
glikolisis anaerob tidak hilang dari tubuh, karena begitu oksigen
tersedia kembali, asam laktat dapat diubah lagi menjadi glukosa atau
langsung dapat dipakai sebagai sumber energi. Sejauh ini sebagian
besar dari proses pengubahan kembali ini terjadi di hati, tetapi
sejumlah kecil dapat juga terjadi di dalam jaringan lainnya. Asam
piruvat yang terbentuk akan mengalami konversi menjadi asetil
koenzim A (asetil-KoA). Pada siklus asam sitrat, gugus asetil dari
asetil-KoA dipecah menjadi karbondioksida dan atom hidrogen.
Semua reaksi ini terjadi dalam matriks mitokondria (Guyton dan Hall,
2011).
d. Glukoneogenesis
Beberapa jaringan seperti otak, sel darah merah, medula
ginjal, lensa dan kornea mata, testis, serta otot yang sedang dilatih,
memerlukan suplai glukosa yang terus menerus sebagai bahan bakar
untuk metabolisme. Glikogen hati yang merupakan sumber glukosa
pascaprandial yang esensial, dapat memenuhi kebutuhan tubuh hanya
selama sepuluh sampai delapan belas jam tanpa asupan makanan
karbohidrat. Selama puasa yang lama, simpanan glikogen di hati akan
dihabiskan, dan glukosa akan dibentuk dari prekursor seperti laktat,
piruvat, gliserol, dan asam keto- (dihasilkan dari katabolisme asam
amino glukogenik). Pembentukan glukosa tidak terjadi melalui proses
kebalikan glikolisis yang sederhana, karena kesetimbangan glikolisis
secara keseluruhan lebih mendukung pembentukan piruvat.
Sebaliknya glukosa disintesis melalui jalur yang khusus, yaitu
glukoneogenesis (Champe et al, 2011).
-
26
Glukoneogenesis memenuhi kebutuhan glukosa tubuh jika
karbohidrat dari makanan atau cadangan glikogen kurang memadai.
Pasokan glukosa merupakan hal yang esensial terutama bagi sistem
saraf dan eritrosit (Murray et al, 2009). Glukosa merupakan substrat
utama untuk menghasikan energi di jaringan seperti otak dan sel darah
merah. Jumlah glukosa yang adekuat harus tersedia selama beberapa
jam diantara waktu-waktu makan. Glukoneogenesis sangat penting
untuk menghambat penurunan yang berlebihan dari kadar glukosa
darah selama puasa. Hati berperan utama dalam mempertahankan
kadar glukosa darah selama puasa dengan mengubah simpanan
glikogennya menjadi glukosa (glikogenolisis) dan dengan mensintesis
glukosa, terutama dari asam laktat dan asam amino (glukoneogensis).
Pada puasa yang berkepanjangan, ginjal juga mensintesis sejumlah
glukosa dari asam amino dan prekursor lainnya (Guyton dan Hall,
2011).
Bila karbohidrat tidak tersedia dalam jumlah yang normal
untuk sel, adenohipofisis meningkatkan jumlah sekresi hormon
kortikotropin yang akan merangsang kortek adrenal untuk
menghasilkan sejumlah besar hormon glukokortikoid, terutama
kortisol. Selanjutnya, kortisol memobilisasi protein terutama dari
semua sel tubuh, yang menyebabkan protein tersedia dalam bentuk
asam amino di dalam cairan tubuh. Sejumlah besar asam amino
tersebut segera mengalami deaminasi di hati dan menghasilkan
substrat yang ideal untuk diubah menjadi glukosa (Guyton dan Hall,
2011).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah
Untuk mendapatkan kadar glukosa darah yang stabil diperlukan
kesimbangan antara masukan dan keluaran. Masukan glukosa bergantung
pada asupan glukosa dari makanan, persediaan glikogen, efisiensi
-
27
mobilisasi glikogen, dan proses glukoneogenesis. Keluaran bergantung
pada simpanan glukosa (diatur oleh insulin) atau metabolisme energi
(Batubara et al, 2010).
Trauma, keadaan sakit, demam, stres psikologis, dan aktivitas fisik
semuanya akan memicu hipotalamus untuk mensekresikan hormon
kortikotropin yang dapat merangsang pengeluaran hormon stres. Kortisol,
epinefrin, growth hormon, dan glukagon merupakan hormon stres yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah (Tao & Kendall, 2013).
Konsumsi alkohol juga dapat mempengaruhi kadar glukosa darah, selain
itu beberapa obat dapat memberikan efek samping terhadap konsentrasi
glukosa darah. Keadaan yang mengalami perubahan hormonal seperti
menstruasi dan kehamilan juga dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam
darah (American Diabetes Association, 2009).
4. Pemeriksaan Glukosa Darah
Diagnosis diabetes melitus harus didasarkan atas pemeriksaan
kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya
glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang
dipakai. Untuk diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah
plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan
glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang
terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga
dipakai bahan darah utuh, vena ataupun kapiler dengan memperhatikan
angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh
WHO. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat
diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Soegondo et al,
2009).
-
28
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis diabetes melitus (mg/dL)
Bukan
DM
Belum pasti
DM
DM
Kadar
glukosa
darah
sewaktu
(mg/dL)
Plasma vena
Darah kapiler
-
29
2. Klasifikasi Diabetes Melitus
Tabel 3. Klasifikasi etiologis Diabetes Melitus
Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut
Autoimun Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang
dominan defek sekresi insulin disertai resistensi
insulin
Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Diabetes melitus
gestasional
Sumber: PERKENI, 2011.
3. Faktor Risiko
Banyak orang yang mempunyai gaya hidup jarang melakukan
aktifitas fisik atau latihan jasmani, banyak mengkonsumsi makanan yang
mengandung lemak dan gula, serta terlalu sedikit mengkonsumsi serat dan
tepung-tepungan. Gaya hidup tersebut dapat menjadi penyebab utama
tercetusnya diabetes (Soegondo & Sukardji, 2008). Selain itu, infeksi virus
(pada diabetes melitus tipe 1), minum obat-obatan yang bisa menaikkan
kadar glukosa darah, dan stres juga dapat menjadi faktor pencetus diabetes
(Soegondo et al, 2009).
Resiko yang lebih besar mendapatkan diabetes melitus tipe 2
adalah:
a. Mempunyai saudara, orangtua, atau kakek-nenek dengan diabetes
b. Obesitas (gemuk) atau berat badan berlebih
-
30
c. Berumur 45 tahun atau lebih
d. Glukosa darah puasa atau sesudah makan melebihi batas-batas normal
(prediabetes atau toleransi glukosa terganggu)
e. Tekanan darah tinggi (lebih dari 130/85)
f. Kolesterol tinggi (LDL kolesterol >130 mg/dL atau kolesterol total
>200 mg/dL)
g. Pernah mengalami diabetes gestasional (glukosa darah tinggi selama
hamil)
h. Melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg (Soegondo &
Sukardji, 2008).
4. Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2
Ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan
hepatic glucose production (HGP), dan penurunan fungsi cell , yang
akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel . Pada stadium prediabetes,
mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh
peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin agar
kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak
sanggup lagi mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa
darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun, kemudian saat itulah
diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu
berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu
lagi mensekresi insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1 dan
kadar glukosa darahpun semakin meningkat (Soegondo et al, 2009).
Dasar molekuler diabetes melitus tipe 2 antara lain defek enzim
glukokinase, protein transporter GLUT-2, enzim glikogen sintase, reseptor
insulin, RAD (Ras associated with diabetes), dan mungkin apolipoprotein
III. Kerusakan sel yang ada bukan suatu autoimmune mediated. Pada
diabetes melitus tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi. Pada
resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi
-
31
pada keadaan gangguan fungsi sel yang berat konsentrasinya dapat
rendah (Batubara et al, 2010).
5. Diagnosis
Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan
kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena
(PERKENI, 2011).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes.
Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat
keluhan klasik diabetes melitus seperti dibawah ini :
a. Keluhan klasik diabetes melitus berupa: poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata
kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada
wanita (PERKENI, 2011).
Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara:
a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma
sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
diabetes melitus.
b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik.
c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban
75 g glukosa lebih sensitiv dan spesifik dibanding dengan
pemeriksaan glukosa plasma puasa. Namun pemeriksaan ini memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang
dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus (PERKENI, 2011).
Kriteria diagnosis diabetes melitus untuk dewasa tidak hamil dapat
dilihat pada tabel 4. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria
-
32
normal atau diabetes melitus, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT)
atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
a. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO
didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199
mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
b. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa
plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L)
dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam
-
33
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu
5 menit.
e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.
f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah diberi beban
glukosa.
g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan
tidak merokok (PERKENI, 2011).
6. Pengelolaan diabetes melitus
Tujuan umum pengelolaan diabetes melitus adalah memulihkan
kekacauan metabolik sehingga segala proses metabolik kembali normal
yang sekaligus berarti mencegah, atau memperlambat munculnya
komplikasi. Ketidakoptimalan diet dan berat badan, ketidakteraturan
berolahraga, serta kebiasaan merokok telah terbukti sebagai pengganggu
metabolisme. Gangguan ini semakin parah manakala komplikasi mikro
dan makrovaskuler telah terjadi (Arisman, 2011).
Pengelolaan diabetes melitus dimulai dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar
glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi
farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara
tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan
dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat
segera diberikan (PERKENI, 2011).
Standar perencanaan makan pada penderita diabetes melitus tipe 2
adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat
-
34
45-60%, protein 10-20%, dan lemak 20-25%. Pada dasarnya perencanaan
makan pada diabetes melitus tidak berbeda dengan perencanaan makan
pada orang normal (Soegondo et al, 2009).
Penderita diabetes melitus tipe 2 perlu melakukan latihan jasmani
secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan
jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki
kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan
jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,
jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan
umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,
intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah
mendapat komplikasi diabetes melitus dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI,
2011).
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan
dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Berdasarkan cara kerjanya, OHO
dibagi menjadi 5 golongan:
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.
c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).
d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
(acarbose).
e. DPP-IV inhibitor : obat penghambat kinerja enzim DPP-4 yang
berfungsi mengubah GLP-1 menjadi metabolit tidak aktif. GLP-1
merupakan perangsang kuat pengelepasan insulin dan sekaligus
sebagai penghambat sekresi glukagon.
Selain obat oral, dapat juga diberikan suntikan insulin dan agonis GLP-1
agar dapat menurunkan kadar glukosa darah (PERKENI, 2011).
-
35
D. Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa Darah
Kualitas dan kuantitas tidur yang baik sangat penting dalam
memaksimalkan fungsi normal metabolik dan hormonal dalam tubuh
manusia. Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa kualitas tidur yang
buruk berhubungan dengan kontrol glukosa darah yang buruk (Hung et al,
2013). Glukosa merupakan sumber energi utama pada jaringan tubuh, dan
glukosa merupakan sumber energi utama bagi otak. Hati dan otot memiliki
simpanan glukosa dalam bentuk glikogen, berbeda dengan otak yang
bergantung seutuhnya pada glukosa yang dibawa melalui sirkulasi darah.
Glukosa darah dikontrol oleh insulin atau hormon anabolik yang disekresikan
oleh pankreas untuk mengatasi peningkatan glukosa darah. Beberapa hormon
katabolik memiliki fungsi yang berlawanan dengan insulin seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan growth hormon (GH). Pengaturan glukosa
dipengaruhi oleh irama sirkardian dan siklus tidur. (Morselli et al, 2012).
Penelitian terbaru menemukan bahwa kontrol glukosa darah yang
memburuk terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan durasi tidur.
Kualitas tidur yang buruk dapat ditunjukan dengan durasi tidur yang singkat.
Terjadinya penurunan durasi tidur menyebabkan seseorang rentan terhadap
kelainan metabolik seperti resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2.
Hormon kortisol dan GH berperan dalam mengatur glukosa darah di saat
seseorang mengalami penurunan kualitas tidur (Padilha et al, 2011).
Kekurangan tidur dapat menurunkan sensitivitas insulin, hal ini dapat
dikaitkan dengan perubahan aktivitas adrenokortikal atau sistem saraf otonom.
Konsentrasi glukosa darah yang normal harus tetap dijaga. Hal ini tentu saja
melibatkan perubahan sekresi dan sensitivitas dari insulin. Seseorang yang
mengalami kekurangan tidur akan mengalami peningkatan sekresi insulin
untuk mengkompensasi resistensi insulin yang terjadi (Darukhanavala et al,
2011).
-
36
Durasi tidur yang singkat telah membuktikan adanya profil hormon
yang buruk yaitu peningkatan kortisol, ghrelin, dan agen-agen inflamasi, serta
penurunan leptin. Kurang tidur dapat mempengaruhi kondisi diabetes melitus
dan kontrol glukosa darah (Cumberbatch et al, 2011). Studi eksperimen telah
menunjukan bahwa kesulitan tidur dan gangguan tidur dapat menurunkan
toleransi glukosa dan sensitivitas insulin. Durasi tidur yang pendek dapat
menyebabkan resistensi insulin melalui peningkatkan aktivitas saraf simpatik,
hormon kortisol, dan menurunkan penggunaan glukosa oleh otak sehingga
terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah (Lou et al, 2013).
Telah diduga bahwa tidur yang dibatasi akan mendapatkan respon
stres fisiologi yang selanjutnya dapat mengaktifkan Hypotalamo Pituitary
Adrenal (HPA) axis dan peningkatan sirkulasi kortisol. Peningkatan kortisol
yang bersifat kronis dapat merusak sensitivitas insulin, mengacaukan
metabolisme glukosa, serta meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2
(Reynolds et al, 2012).
-
37
E. Kerangka konsep
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
F. Hipotesis
Ada hubungan antara kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada
penderita diabetes melitus tipe 2.
Stres fisiologis meningkat
Peningkatan sekresi growth hormon
Saraf simpatis dominan
Ambilan glukosa dalam jaringan
berkurang
Perburukan kualitas tidur
Sekresi kortisol meningkat
Sekresi epinefrin meningkat
Sensitivitas insulin berkurang
Peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis
Peningkatan glukosa darah
1. Usia
2. Gaya hidup
3. Psikologis/emosi 4. Lingkungan
1. Usia
2. Gaya hidup
3. Psikologis/emosi 4. Obat-obatan
Glukosa darah tidak terkontrol pada penderita
diabetes melitus