Bab 2

33
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Tidur 1. Definisi Kualitas tidur merupakan indeks subjektif terhadap kondisi tidur yang dialami seseorang termasuk perasaan istirahat ketika bangun dan kepuasan tidur (Dewald et al, 2010). Kualitas tidur menunjukan kemampuan individu untuk dapat tetap tidur, tidak hanya mencapai jumlah atau lamanya tidur, tetapi dapat memperoleh jumlah istirahat yang sesuai dengan kebutuhannya. Secara fisiologis, kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan individu, mudah letih, secara psikologis dapat mengakibatkan ketidakstabilan emosional, kurang percaya diri, impulsif yang berlebihan dan kecerobohan. Kualitas tidur seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu kondisi lingkungan, fisik, aktivitas, dan gaya hidup. Kebiasaan olahraga juga merupakan bentuk aktivitas fisik yang dapat mempengaruhi tidur seseorang. Keletihan yang terjadi setelah melakukan aktivitas olahraga akan menimbulkan seseorang cepat tertidur (Sulistyani, 2012). Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang merupakan keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat dibangunkan (Guyton & Hall, 2011). Tidur merupakan suatu proses aktif, bukan sekedar tidak terjaga. Tingkat aktifitas otak secara keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan O 2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga normal (Sherwood, 2007). Tidur juga disertai oleh berbagai perubahan

Transcript of Bab 2

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kualitas Tidur

    1. Definisi

    Kualitas tidur merupakan indeks subjektif terhadap kondisi tidur

    yang dialami seseorang termasuk perasaan istirahat ketika bangun dan

    kepuasan tidur (Dewald et al, 2010). Kualitas tidur menunjukan

    kemampuan individu untuk dapat tetap tidur, tidak hanya mencapai

    jumlah atau lamanya tidur, tetapi dapat memperoleh jumlah istirahat yang

    sesuai dengan kebutuhannya. Secara fisiologis, kualitas tidur yang buruk

    dapat menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan individu, mudah letih,

    secara psikologis dapat mengakibatkan ketidakstabilan emosional, kurang

    percaya diri, impulsif yang berlebihan dan kecerobohan. Kualitas tidur

    seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu

    kondisi lingkungan, fisik, aktivitas, dan gaya hidup. Kebiasaan olahraga

    juga merupakan bentuk aktivitas fisik yang dapat mempengaruhi tidur

    seseorang. Keletihan yang terjadi setelah melakukan aktivitas olahraga

    akan menimbulkan seseorang cepat tertidur (Sulistyani, 2012).

    Tidur didefenisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang

    tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau

    dengan rangsang lainnya. Tidur harus dibedakan dengan koma, yang

    merupakan keadaan bawah sadar saat orang tersebut tidak dapat

    dibangunkan (Guyton & Hall, 2011). Tidur merupakan suatu proses aktif,

    bukan sekedar tidak terjaga. Tingkat aktifitas otak secara keseluruhan

    tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu,

    penyerapan O2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga

    normal (Sherwood, 2007). Tidur juga disertai oleh berbagai perubahan

  • 6

    fisiologis, termasuk respirasi, fungsi jantung, tonus otot, temperatur,

    sekresi hormon, dan tekanan darah (Kaplan et al, 2010).

    2. Pola tidur

    Perekaman listrik dari permukaan otak atau bahkan dari

    permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang

    terus-menerus timbul dalam otak. Intensitas dan pola aktivitas listrik

    ditentukan oleh besarnya derajat eksitasi berbagai bagian otak yang

    disebabkan oleh tidur, keadaan siaga, dan penyakit otak seperti epilepsi

    atau bahkan psikosis. Gelombang yang terekam dalam potensial listrik

    disebut gelombang otak, dan seluruh rekaman disebut elektroensefalogram

    (EEG) (Guyton dan Hall, 2011).

    Intensitas gelombang otak yang terekam dari permukaan kulit

    kepala berkisar antara 0-200 mikrovolt, dan frekuensinya berkisar dari 1

    kali setiap beberapa detik sampai 50 kali atau lebih perdetiknya. Sifat

    gelombang ini bergantung pada besarnya aktivitas korteks serebri yang

    diukur, dan gelombang otak jelas mengalami perubahan pada keadaan

    siaga, tidur, serta koma. Pada orang normal yang sehat, kebanyakan

    gelombang EEG dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    a. Gelombang alfa merupakan gelombang berirama yang timbul pada

    frekuensi antara 8 dan 13 siklus perdetik dan dijumpai di hampir

    semua rekaman EEG orang dewasa normal sewaktu bangun dan dalam

    keadaan tenang. Gelombang ini lebih sering terjadi pada regio okspital

    namun dapat juga direkam dari regio parietal dan regio frontal kulit

    kepala. Besar voltase biasanya sekitar 50 mikrovolt. Selama tidur yang

    dalam, gelombang alfa menghilang.

    b. Bila perhatian orang yang sudah bangun ditujukan pada beberapa tipe

    aktivitas mental yang spesifik, gelombang alfa akan digantikan oleh

    gelombang beta yang asinkron, dengan frekuensi yang lebih tinggi dan

    voltase yang lebih rendah. Efek pada gelombang alfa bila orang

  • 7

    membuka matanya dalam cahaya terang dan kemudian menutup

    matanya lagi. Perhatikan bahwa sensasi visual segera menghentikan

    gelombang alfa dan keadaan ini digantikan oleh gelombang beta yang

    asinkron dan bervoltase rendah. Gelombang beta timbul pada

    frekuensi lebih dari 14 siklus per detik dan dapat mencapai 80 siklus

    per detik. Gelombang ini terekam khususnya dari regio parietal dan

    regio frontal selama bagian-bagian otak tersebut melakukan aktivitas

    yang spesifik.

    c. Gelombang teta mempunyai frekuensi antara 4 dan 7 siklus

    perdetiknya. Gelombang ini normalnya timbul di regio parietal dan

    temporal anak-anak, namun dapat juga terjadi selama stres emosional

    pada orang dewasa, terutama selama mengalami kekecewaan dan

    frustrasi. Gelombang teta juga timbul pada banyak gangguan otak,

    seringkali pada keadaan otak yang berdegenerasi.

    d. Gelombang delta meliputi semua gelombang EEG, dengan frekuensi

    kurang dari 3,5 siklus per detik. Gelombang ini terjadi pada saat tidur

    nyenyak dan pada penyakit organik otak yang parah (Guyton dan Hall,

    2011).

    Rekaman EEG (electroencephalography) dan rekaman fisiologis

    lainnya yang dilakukan sewaktu tidur mendefinisikan dua tahap tidur yang

    nyata yaitu Rapid Eye Movement Sleep (REM) dan Non Rapid Eye

    Movement Sleep (NREM). Tidur NREM dibagi lagi atas empat stadium,

    yaitu :

    a. Stadium 1 (tidur ringan)

    Keadaan mengantuk dan tidur ringan yang dapat dilihat pada

    mahasiswa yang sedang mengikuti kuliah yang kurang menarik. Ia

    menganggukan kepala pelan (pupil mata berkonstriksi dan dilatasi

    secara lambat), bola mata bergerak pelan bolak-balik, kelopak mata

    menutup sebagian atau semuanya. Bila pada stadium 1 diukur waktu

  • 8

    reaksi terhadap rangsang, terlihat melamban dan ketajaman intelektual

    menurun, walau mahasiswa tersebut tidak merasakannya. Ia mungkin

    merasa tetap siaga terhadap sekitar, namun orang di sekitarnya dapat

    melihat adanya penurunan respon. Orang yang tidur di tempat tidur

    pada stadium 1 tampak bergerak atau menggeliat ringan.

    b. Stadium 2

    Individu yang berada dalam stadium 2, bila dibangunkan ia merasa

    bahwa ia memang tertidur. Namun, sebagaimana halnya dengan

    stadium 1, ada individu yang merasa ia cukup sadar terhadap

    sekelilingnya, namun ia tidak menyadari seberapa jauh kesadarannya

    sudah menumpul. Pada stadium ini gerakan badan berkurang dan

    ambang bangun terhadap rangsang taktil dan rangsang suara lebih

    tinggi.

    c. Stadium 3 dan 4 (tidur gelombang lambat)

    Stadium ini merupakan tingkat tidur yang paling dalam, ditandai oleh

    imobilitas dan lebih sulit dibangunkan, dan terdapat gelombang lambat

    pada rekaman EEG. Fase tidur ini sering disebut juga sebagai tidur

    gelombang delta atau tidur dalam. Transisi dari stadium 2 ke stadium

    tidur gelombang lambat sulit ditentukan. Stadium tidur gelombang

    lambat ini bervariasi berkaitan dengan usia. Orang yang berusia lebih

    dari 60 tahun dapat tidur tanpa gelombang lambat, dan anak yang

    sangat muda dapat mempunyai banyak gelombang lambat voltase

    tinggi walaupun ia masih tidur ringan (Lumbantobing, 2008).

    Pada orang normal tidur NREM adalah keadaan yang tenang

    relatif terhadap terjaga. Kecepatan denyut jantung biasanya lebih lambat

    5-10 denyut dalam satu menit. Respirasi mengalami hal yang sama.

    Tekanan darah juga cenderung rendah, dengan sedikit variasi dari menit

    ke menit. Potensial otot istirahat dari otot-otot tubuh adalah lebih rendah

    pada tidur REM dibandingkan keadaan terjaga. Gerakan tubuh yang

  • 9

    episodik, involunter ditemukan pada tidur NREM, selain itu juga jarang

    terjadi ereksi penis. Aliran darah ke sebagian besar jaringan adalah

    menurun, termasuk aliran darah ke otak (Kaplan et al, 2010).

    Proporsi tidur NREM yang terdalam (stadium 3 dan 4) kadang-

    kadang disertai dengan karakteristik terbangun yang tidak lazim. Jika

    seseorang dibangunkan setengah sampai satu jam setelah onset tidur atau

    biasanya dalam tidur gelombang lambat akan terjadi disorientasi.

    Terbangun singkat dari tidur gelombang lambat juga disertai dengan

    amnesia terhadap peristiwa yang terjadi selama terjaga. Disorganisasi

    selama terbangun pada stadium 3 atau stadium 4 mungkin menyebabkan

    masalah tertentu, seperti enuresis, somnambulisme, dan mimpi

    menakutkan (Kaplan et al, 2010).

    Dibandingkan dengan keadaan terjaga, sebagian besar fungsi

    fisiologis adalah jelas menurun pada keadaan tidur NREM. Tidur REM

    adalah suatu jenis tidur yang berbeda secara kualitatif yang ditandai oleh

    tingkat aktivitas otak dan fisiologis yang sangat aktif yang mirip dengan

    keadaan terjaga. Kira-kira 90 menit setelah onset tidur, NREM berubah

    menjadi episode REM pertama pada malam tersebut (Kaplan et al, 2010).

    Aktivitas EEG waktu tidur REM menyerupai aktivitas waktu

    bangun, keadaan ini disebut tidur yang desinkronisasi (desynchronized

    sleep), atau tidur paradoksikal. Fase ini berasosiasi dengan bermimpi

    pada manusia, sering juga disebut tidur mimpi. Didapatkan banyak gerak

    mata yang cepat pada stadium ini dan gerak mata tersebut merupakan

    tanda utama. Pada tidur REM didapatkan :

    Gambaran EEG serupa dengan keadaan bangun, aktivitas cepat dan

    amplitudo rendah, serta gerakan bola mata serupa dengan keadaan

    bangun

    Terdapat bukti peningkatan penggunaan energi oleh otak

  • 10

    Tonus otot skelet berada dalam keadaan atoni (Lumbantobing, 2008)

    Kecepatan denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah pada

    manusia selama tidur REM mengalami peningkatan dibandingkan selama

    tidur NREM dan seringkali lebih tinggi dibandingkan keadaan terjaga.

    Pemakaian oksigen otak meningkat selama tidur REM. Termoregulasi

    mengalami gangguan selama tidur REM. Berbeda dengan kondisi

    homeotermik dari pengaturan temperatur yang ditemukan selama terjaga

    atau tidur NREM, kondisi poikilotermik ditemukan selama tidur REM.

    Poikilotermia menyebabkan kegagalan untuk berespons terhadap

    perubahan temperatur lingkungan dengan menggigil atau berkeringat,

    yang mana diperlukan untuk mempertahankan temperatur tubuh. Selama

    tidur REM terjadi paralisis yang hampir lengkap pada otot-otot skeletal

    (postural). Karena inhibisi motorik tersebut, pergerakan tubuh tidak terjadi

    selama tidur REM. Kemungkinan ciri yang paling membedakan dari tidur

    REM adalah mimpi. Orang yang terjaga selama tidur REM seringkali (60-

    90%) melaporkan bahwa mereka telah bermimpi. Mimpi selama tidur

    REM biasanya abstrak (Kaplan et al, 2010).

    Gerak bola mata mungkin merefleksikan visualisasi mimpi. Hal

    ini tidak ditemukan pada mereka yang sudah buta sejak lahir. Tidur REM

    ditandai dengan ereksi penis pada pria dan peningkatan aliran darah di

    vagina wanita. Berbeda dengan tidur NREM, yang ditandai oleh dominasi

    parasimpatetik, tidur REM berasosiasi dengan aktivitas simpatetik yang

    intens. Hal ini bermanifestasi pada peningkatan irama jantung dan napas,

    demikian juga variabilitasnya dan terjadi peningkatan vasokonstriksi

    perifer serta peningkatan tekanan darah sistemik (Lumbantobing, 2008).

    Terdapat berbagai dugaan mengenai fungsi REM yang didasarkan

    atas penelitian pada hewan dan manusia diantaranya adalah:

    Konsolidasi memori dan memproses bahan yang baru dipelajari

  • 11

    Stimulasi otak

    Memecahkan masalah dan konflik di siang hari

    Deprivasi tidur REM mengacaukan proses belajar (Lumbantobing,

    2008)

    Otot skelet tonusnya minimal waktu tidur REM, walaupun

    kedutan ringan masih dapat dideteksi pada otot wajah dan otot jari tangan

    dan kaki. Flaksiditas atau atonia yang prominen di otot abdomen, saluran

    napas atas, dan otot interkostal dapat mengganggu pernapasan waktu tidur

    REM dan dapat membahayakan bagi bayi yang mempunyai kesulitan

    bernapas, kifoskoliosis, distrofia otot, dan kelumpuhan neuromuskular

    lainnya. Ereksi penis yang terlihat waktu tidur REM mempunyai

    implikasi klinis. Bila ada ereksi penis berkaitan dengan tidur REM, hal ini

    dapat menyingkirkan kemungkinan kelainan organik sebagai penyebab

    impotensi (Lumbantobing, 2008).

    Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik

    selama tidur gelombang lambat, namun orang-orang terbangun secara

    spontan di pagi hari sewaktu episode tidur REM. Frekuensi denyut

    jantung dan pernapasan biasanya menjadi iregular, dan ini merupakan

    sifat dari keadaan tidur dengan mimpi. Pada tidur REM, otak menjadi

    sangat aktif, dan metabolisme di seluruh otak meningkat sebanyak 20

    persen (Guyton dan Hall, 2011).

    Periode REM terjadi kira-kira tiap 90 sampai 100 menit selama

    semalam. Periode REM pertama cenderung merupakan periode yang

    paling singkat, biasanya berlangsung selama kurang dari 10 menit.

    Periode REM selanjutnya masing-masing biasanya berlangsung selama

    15-40 menit. Sebagian besar periode REM terjadi pada sepertiga bagian

    terakhir dari malam, sedangkan sebagian besar tidur stadium 4 terjadi pada

    sepertiga bagian pertama malam (Kaplan et al, 2010).

  • 12

    Pada permulaan tidur, seseorang berpindah dari tidur ringan

    stadium 1 ke tidur dalam stadium 4 selama periode 30-45 menit, kemudian

    berbalik kembali melalui stadium-stadium yang sama dalam periode

    waktu yang sama. Pada akhir setiap siklus tidur gelombang lambat

    terdapat episode-episode tidur paradoksikal yang berlangsung 10-15

    menit. Setelah episode paradoksikal, stadium-stadium tidur gelombang

    lambat berulang sekali lagi (Sherwood, 2007).

    Pola tidur adalah berubah sepanjang kehidupan seseorang. Pada

    periode neonatal, tidur REM mewakili lebih dari 50% waktu tidur total.

    Bayi baru lahir tidur kira-kira 16 jam sehari, dengan periode terjaga yang

    singkat. Pada periode neonatal, pola EEG berubah dari keadaan sadar

    langsung masuk ke keadaan REM tanpa melalui stadium 1-4. Pada usia 4

    bulan, pola berubah, sehingga persentasi total tidur REM turun sampai

    kurang dari 40%, dan masuk ke tidur terjadi dengan periode awal tidur

    NREM. Pada dewasa muda, distribusi stadium tidur adalah sebagai

    berikut:

    NREM (75%)

    Stadium 1: 5%

    Stadium 2: 45%

    Stadium 3: 12 %

    Stadium 4: 13%

    REM (25%)

    Distribusi tersebut relatif tetap sampai lanjut usia, walaupun terjadi

    penurunan tidur gelombang lambat dan tidur REM pada lanjut usia

    (Kaplan et al, 2010).

    Dalam satu malam bagian-bagian stadium tidur rata-rata dapat

    dilihat pada tabel berikut :

  • 13

    Tabel 1. Perubahan lama dan stadium tidur dengan usia

    Lama tidur

    (jam)

    Stadium

    tidur

    1-2 (%)

    Stadium

    tidur

    3-4 (%)

    REM (%)

    Bayi 13-16 10-30 30-40 40-50

    Anak 8-12 40-60 20-30 20-30

    Dewasa 6-9 45-60 15-25 15-25

    Usia lanjut 5-8 50-80 5-15 15-25

    Sumber: Lavie P et al 2002 dalam Lumbantobing 2008

    Persentase stadium tidur ini berubah pada berbagai keadaan, seperti

    perubahan usia, setelah tidur yang tidak cukup atau tidak memuaskan,

    stres, olahraga, perubahan suasana hati, dan berbagai penyakit

    (Lumbantobing, 2008).

    3. Pengaturan tidur

    Terdapat pusat pengendalian tidur yaitu sejumlah kecil sistem atau

    pusat yang saling berhubungan, berlokasi di batang otak, saling

    mengaktivasi dan menginhibisi satu sama lainnya. Banyak penelitian

    mendukung peranan serotonin dalam pengaturan tidur. Pencegahan

    sintesis serotonin atau destruksi nukleus raphe dorsalis di batang otak

    dapat menurunkan tidur untuk waktu yang cukup lama. Sintesis dan

    pelepasan serotonin oleh neuron serotonergik dipengaruhi oleh

    ketersediaan prekursor asam amino pada neurotransmitter tersebut, seperti

    L-trytophan (1 sampai 15 gram). Defisiensi L-trytophan adalah

    berhubungan dengan kurangnya waktu yang digunakan untuk tidur REM

    (Kaplan et al, 2010).

    Neuron yang mengandung norepinefrin dengan badan sel yang

    terletak di nukleus sereleus memainkan peranan penting dalam

    mengendalikan pola tidur normal. Obat-obatan dan manipulasi yang

    meningkatkan pemicuan neuron noradrenergik tersebut menyebabkan

    penurunan jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan terjaga penuh.

  • 14

    Asetilkolin otak juga terlibat dalam tidur, khususnya dalam menghasilkan

    tidur REM. Sekresi melatonin dari kelenjar hipofisis dihambat oleh cahaya

    yang terang, sehingga konsentrasi melatonin serum yang terendah terjadi

    pada siang hari. Nukleus suprakiasmatik dari hipotalamus dapat bertindak

    sebagai pacemaker sirkardian yang mengatur sekresi melatonin dan kerja

    otak menjadi siklus tidur bangun 24 jam. Bukti-bukti menunjukan bahwa

    dopamin memiliki efek membangunkan. Obat yang meningkatkan

    dopamin otak cenderung menyebabkan terbangun dan terjaga penuh.

    Sebaliknya, penghambat dopamin, seperti pimozide dan phenothiazine,

    cenderung meningkatkan waktu tidur (Kaplan et al, 2010).

    Siklus tidur bangun serta berbagai stadium tidur diperkirakan

    disebabkan oleh hubungan timbal balik siklis dari tiga sistem saraf yang

    berbeda di batang otak yaitu (1) arousal system, yang merupakan bagian

    dari reticular activating system, (2) pusat tidur gelombang lambat, dan (3)

    pusat tidur paradoksikal. Pola interaksi antara ketiga daerah saraf tersebut

    menyebabkan munculnya urutan siklis teratur antara bangun dan tidur.

    Arousal system dapat diaktifkan oleh masukan sensorik aferen seperti

    kesulitan tidur dalam keadaan bising. Konsentrasi penuh atau keadaan

    emosional kuat, misalnya rasa cemas atau kegembiraan, dapat mencegah

    seseorang jatuh tertidur, demikian juga aktivitas motorik seperti berdiri

    dan berjalan (Sherwood, 2007).

    Pengaktifan abnormal neuron-neuron di pusat tidur paradoksikal

    selama keadaan terjaga dapat terjadi pada penderita narkolepsi yang

    merupakan kelainan yang ditandai oleh serangan tidur singkat (5-30

    menit) yang tidak dapat ditahan beberapa kali sehari. Pasien narkoleptik

    pada kenyataannya dapat langsung masuk ke dalam tidur paradoksikal

    tanpa harus melalui tidur gelombang lambat (Sherwood, 2007).

    Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat

    menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak di

  • 15

    separuh bagian bawah pons dan di medulla. Serabut saraf dari nuklei ini

    menyebar setempat di formasio retikularis batang otak dan juga ke atas

    menuju talamus, hipotalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan

    bahkan neokorteks serebri. Selain itu, serabut-serabut ini juga menyebar

    ke bawah menuju medulla spinalis, dan berakhir di radiks posterior tempat

    serabut ini dapat menghambat sinyal-sinyal yang masuk termasuk nyeri.

    Telah diketahui bahwa banyak ujung serabut dari neuron rafe ini

    menyekresikan serotonin. Bila seekor hewan diberi obat yang

    menghambat pembentukan serotonin, hewan tersebut seringkali tidak

    dapat tidur selama beberapa hari berikutnya. Oleh karena itu, dianggap

    bahwa serotonin merupakan zat transmiter yang dihubungkan dengan

    timbulnya keadaan tidur (Guyton dan Hall, 2011).

    Penelitian telah membukitkan bahwa keadaan tidur dapat

    dicetuskan bila ke dalam sistem ventrikel otak seekor hewan disuntikkan

    cairan serebrospinal dan darah atau urin yang mengandung suatu zat yang

    akan menyebabkan tidur bila cairan tersebut diambil dari hewan lain yang

    dibuat terjaga selama beberapa hari. Suatu zat yang telah diidentifikasi

    adalah muramil peptida, yaitu suatu substansi dengan berat molekul

    rendah yang menumpuk dalam cairan serebrospinal dan urin hewan yang

    terjaga selama beberapa hari. Bila substansi pencetus tidur ini disuntikkan

    beberapa mikrogram saja kedalam ventrikel ketiga, dalam waktu beberapa

    menit akan timbul keadaan tidur alami, dan hewan tersebut tetap tertidur

    selama beberapa jam. Keadaan siaga yang berkepanjangan dapat

    menyebabkan akumulasi progresif suatu faktor pencetus tidur atau

    beberapa faktor di batang otak atau dalam cairan serebrospinal yang dapat

    menyebabkan keadaan tidur (Guyton dan Hall, 2011).

    Bila pusat tidur tidak diaktifkan, nuklei pengaktivasi retikular di

    mesenfalon dan pons bagian atas akan terbebas dari inhibisi, yang

    memungkinkan nuklei pengaktivasi retikular ini menjadi aktif secara

  • 16

    spontan. Keadaan ini selanjutnya akan merangsang korteks serebri dan

    sistem saraf perifer, yang keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal

    umpan balik positif kembali ke nuklei retikular yang sama agar sistem ini

    tetap aktif. Oleh karena itu, begitu timbul keadaan siaga, ada

    kecenderungan secara alami untuk mempertahankan keadaan ini akibat

    seluruh aktivitas umpan balik positif tersebut. Setelah otak tetap aktif

    selama beberapa jam, neuron-neuron itu sendiri dalam sistem aktivasi

    mungkin menjadi letih. Akibatnya, siklus umpan balik positif di antara

    nuklei retikular mesensefalon dan korteks akan memudar dan pengaruh

    perangsang tidur dari pusat tidur akan mengambil alih, sehingga timbul

    peralihan yang cepat dari keadaan siaga menjadi keadaan tidur (Guyton

    dan Hall, 2011).

    Saat ini diduga bahwa beberapa mediator ikut berperan, misalnya

    adenosin, interleukin, tumor necrosing factor, prostaglandin,

    lipopolisakarida, dan delta producing proteins ikut memediasi dorongan

    homeostatik untuk tidur. Di samping dorongan homeostatik didapat pula

    pengaruh dorongan sirkardian (Lumbantobing, 2008).

    4. Kebutuhan, fungsi, dan efek fisiologis tidur

    Tiap mahluk hidup membutuhkan tidur. Dengan demikian tidur

    merupakan kebutuhan hidup. Bila dilakukan deprivasi tidur secara

    eksperimental pada hewan, hal ini dapat mengakibatkan kematian dalam

    beberapa hari atau beberapa minggu. Jumlah total tidur dalam 1 hari

    bergantung pada usia. Dalam kelompok usia didapatkan pula perbedaan

    yang besar antara individu mengenai kebutuhan tidur. Tidur kurang dari 6

    jam semalam, umumnya mengakibatkan gejala deprivasi (kurang) tidur.

    Perlu pula diketahui bahwa tidur berlebihan dapat mengakibatkan tidur

    yang tidak menyegarkan dan rasa letih (fatigue) di siang hari. Kekurangan

    tidur selama beberapa hari akan mengganggu kesiagaan dan penampilan di

    siang hari. Pada sisi lain, menambah jumlah jam tidur, dari 7-8 jam, dapat

  • 17

    meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognisi di siang hari

    (Lumbantobing, 2008).

    Pasien yang kekurangan tidur REM mungkin menunjukan sikap

    mudah tersinggung dan letargis. Pada penelitian terhadap tikus,

    kekurangan tidur menghasilkan suatu sindrom yang berupa lesi kulit,

    peningkatan asupan makanan, kehilangan berat badan, peningkatan

    penggunaan energi, penurunan temperatur tubuh, dan kematian.

    Perubahan neuroendokrin berupa peningkatan norepinefrin plasma dan

    penurunan tiroksin plasma (Kaplan et al, 2010).

    Beberapa orang secara normal adalah petidur singkat (short

    sleeper) yang memerlukan tidur kurang dari 6 jam. Petidur lama (long

    sleeper) adalah mereka yang tidur lebih dari 9 jam setiap malamnya untuk

    dapat berfungsi secara adekuat. Petidur lama memiliki lebih banyak

    periode REM. Petidur singkat biasanya efisien, ambisius, cakap secara

    sosial, dan puas diri. Petidur lama cenderung terdepresi ringan, cemas, dan

    menarik diri secara sosial. Peningkatan kebutuhan tidur terjadi pada kerja

    fisik, latihan fisik, kondisi sakit, kehamilan, dan stres mental. Periode

    REM meningkat setelah stimuli psikologis yang kuat, seperti situasi

    belajar yang sulit, stres, dan setelah pemakaian zat kimia atau obat yang

    menurunkan katekolamin otak. Pengaruh faktor eksternal seperti siklus

    terang gelap, rutinitas harian, dan periode makan dapat membentuk siklus

    24 jam. Tidur juga dipengaruhi oleh irama biologis. Dalam periode 24

    jam, orang dewasa tidur sekali, kadang-kadang 2 kali. Irama tersebut tidak

    terdapat saat lahir tetapi berkembang dalam dua tahun pertama kehidupan

    (Kaplan et al, 2010).

    Pada beberapa wanita, pola tidur berubah selama fase siklus

    menstruasi. Pada petidur malam hari yang normal, tidur sejenak yang

    dilakukan pada pagi hari atau pada siang hari mengandung sejumlah besar

    tidur REM, sedangkan tidur sejenak yang dilakukan pada petang hari atau

  • 18

    menjelang malam mengandung tidur REM yang jauh lebih sedikit.

    Tampaknya, suatu irama sirkardian mempengaruhi kecenderungan

    memiliki tidur REM. Pola tidur tidak sama secara fisiologis jika seseorang

    tidur di siang hari atau selama tubuh seseorang harusnya terjaga. Efek

    psikososial dan perilaku tidur juga berbeda. Kendatipun orang tidak

    bekerja pada malam hari, gangguan dari berbagai irama dapat

    menghasilkan masalah. Contoh yang paling dikenal adalah jet lag yaitu

    setelah terbang dari timur ke barat, seseorang mencoba untuk meyakinkan

    tubuhnya untuk tidur bukan pada saat fase siklus tubuh orang tersebut.

    Sebagian besar orang dapat beradaptasi dalam beberapa hari, tetapi yang

    lainnya memerlukan lebih banyak waktu (Kaplan et al, 2010).

    Ada satu teori yang mengemukakan bahwa waktu kita bangun,

    hipnotoksin menumpuk di badan kita dan hipnotoksin ini hanya dapat

    didetoksifikasi (dinetralisasi) waktu tidur. Waktu kita bangun terdapat

    akumulasi hipnotoksin yang memacu keadaan mengantuk. Pada saat tidur

    terjadi pembuangan zat-zat toksik melalui sirkulasi (Lumbantobing,

    2008).

    Teori Benington Heler mengemukakan bahwa tidur bertujuan

    mengkonservasi energi. Teori ini didukung oleh penemuan bahwa

    sewaktu terjaga, tingkat energi di otak (ATP, glikogen, adenosin)

    menurun dan meningkat kembali sewaktu tidur. Waktu tidur penggunaan

    energi menurun sebanyak 15-20% dan konsumsi oksigen menurun. Pada

    saat tidur, energi yang telah habis digunakan saat siaga dapat dipulihkan

    kembali (Lumbantobing, 2008).

    Teori restoratif mengemukakan bahwa tidur merupakan waktu

    untuk restorasi dan tumbuh bagi badan dan otak. Tidur meningkat setelah

    melakukan latihan berat dan dari observasi didapatkan bahwa hormon

    pertumbuhan (growth hormone) dilepas waktu tidur, terutama tidur dalam.

    Data eksperimental menunjukan bahwa tidur mungkin juga berkaitan

  • 19

    dengan regulasi suhu dan mekanisme imunitas pertahanan

    (Lumbantobing, 2008).

    Diperkirakan bahwa tidur diperlukan agar otak dapat mengganti

    persneling untuk melaksanakan penyesuaian-penyesuaian kimiawi dan

    struktural jangka panjang yang penting untuk belajar dan mengingat. Teori

    ini menjelaskan mengapa bayi memerlukan banyak waktu tidur. Otak

    mereka yang sangat plastis mengalami modifikasi sinaps yang sangat

    cepat sebagai respons terhadap rangsangan lingkungan. Sebaliknya, orang

    dewasa yang perubahan sarafnya tidak banyak, tidak memerlukan banyak

    tidur (Sherwood, 2007).

    Keadaan tidur menyebabkan timbulnya dua macam efek fisiologis

    utama. Pertama, efek pada sistem sarafnya sendiri, dan kedua, efek pada

    sistem fungsional tubuh lainnya. Kekurangan tidur sudah pasti akan

    memengaruhi fungsi sistem saraf pusat. Keadaan siaga yang

    berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan proses berpikir

    yang progresif, dan kadang-kadang bahkan dapat menyebabkan aktivitas

    perilaku yang abnormal. Kita semua telah mengetahui bahwa kelambanan

    pikiran semakin bertambah menjelang akhir periode siaga yang

    berkepanjangan, namun selain itu, seseorang dapat menjadi mudah

    tersinggung, atau bahkan menjadi psikotik sesudah keadaan siaga yang

    dipaksakan. Oleh karena itu, kita dapat menganggap bahwa tidur, melalui

    berbagai cara dapat memulihkan tingkat aktivitas normal dan

    keseimbangan normal diantara berbagai bagian sistem saraf pusat.

    Penggunaan yang berlebihan pada beberapa area otak selama siaga dapat

    dengan mudah mengganggu keseimbangan sistem saraf yang tersisa. Jadi

    kita dapat menganggap bahwa nilai utama tidur adalah untuk memulihkan

    keseimbangan alami diantara pusat-pusat neuron (Guyton dan Hall, 2011).

    5. Jenis gangguan tidur

  • 20

    Saat ini dilaporkan berbagai jenis gangguan tidur, yaitu :

    Insomnia, hipersomnia, parasomnia, gangguan pada ritme (siklus) tidur

    bangun.

    a. Insomnia

    Keadaan dimana seseorang yang ingin tidur, misalnya karena sudah

    lelah, mengalami kesulitan untuk memulai tidur (jatuh tidur), sulit

    mempertahankan keadaan tidur, dan bangunnya terlalu pagi.

    b. Hipersomnia

    Suatu keadaan dimana pasien biasanya tetap mengantuk, walaupun

    jumlah jam tidurnya adekuat.

    c. Parasomnia

    Keadaan-keadaan yang tidak diinginkan dan terjadi ketika sedang

    tidur. Seperti jalan waktu tidur, mimpi buruk, dan enuresis atau

    ngompol waktu tidur.

    d. Gangguan siklus tidur bangun

    Gangguan irama tidur bangun yang disebut juga sebagai gangguan

    ritme sirkardian dan menggambarkan keadaan pasien yang pola irama

    tidurnya terganggu. Waktu tidur dan bangunnya tidak sebagaimana

    lazimnya. Mungkin ia menjadi mengantuk dan tidur di siang hari,

    sedang di malam hari ia bangun dan sulit tidur (Lumbantobing, 2008).

    6. Penanganan umum gangguan tidur

    Edukasi sleep hygiene menjadi dasar dalam penanganan

    gangguan tidur. Sleep hygiene meliputi tidur dan bangun di waktu yang

    sama tiap hari, menyinari tubuh dengan sinar matahari pagi, membentuk

    kebiasaan makan yang teratur, tidak melakukan latihan berat dua jam

    sebelum tidur, mandi dengan air hangat, hindari mengkonsumsi kafein di

    malam hari, tidak mengkonsumsi alkohol sebelum waktu tidur, hindari

    komputer atau sinar terang sebelum tidur. Teknik relaksasi juga perlu

    diketahui yaitu bagaimana metode pernapasan, teknik aromaterapi, dan

  • 21

    mendengar musik. Selain itu juga penggunaan tempat tidur hanya

    digunakan pada saat tidur (Kaku et al, 2012).

    Psikoterapi juga dapat dilakukan untuk menangani gangguan

    tidur. Selain itu farmakologis juga merupakan terapi gangguan tidur.

    Obat-obatan neuroleptik, benzodiazepin, antidepresan trisiklik, anti

    histamin, opioids, dan analgesik termasuk aspirin merupakan jenis obat

    yang memiliki efek sedatif atau merangsang terjadinya tidur

    (Lumbantobing, 2008).

    Beberapa obat dapat memacu kesiagaan dan mencegah tidur

    yaitu obat simpatomimetik (metilfenidat, pemolin), xanthine yang

    berkompetisi terhadap reseptor adenosin (kafein, teofilin) dan obat

    anorektik (penurun nafsu makan) yang mempunyai aksi adrenergik

    sentral. Betabloker seperti propanolol dapat menghambat tidur REM

    (Lumbantobing, 2008).

    B. Kadar Glukosa Darah

    1. Definisi

    Kadar glukosa darah adalah jumlah kandungan atau konsentrasi

    glukosa dalam plasma darah (Dorland, 2003). Uji kadar glukosa darah

    puasa merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard) untuk diagnosis

    diabetes melitus (Arisman, 2011).

    2. Metabolisme dan Pengaturan Glukosa Darah

    Hasil akhir pencernaan karbohidrat dalam saluran pencernaan

    hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Jumlah

    glukosa rata-rata sekitar 80% dari keseluruhan hasil pencernaan. Setelah

    absorpsi dari saluran pencernaan, banyak fruktosa dan hampir semua

    galaktosa diubah secara cepat menjadi glukosa di dalam hati. Oleh karena

    itu, hanya sejumlah kecil fruktosa dan galaktosa yang terdapat dalam

    sirkulasi darah. Sel hati mengandung sejumlah besar glukosa 6-fosfatase

    yang dapat dipecah menjadi glukosa dan fosfat. Sebelum glukosa dapat

  • 22

    dipakai oleh sel-sel jaringan tubuh, glukosa harus ditranspor melalui

    membran sel jaringan dan kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel.

    Kecepatan pengangkutan glukosa ke dalam sel dapat ditingkatkan oleh

    insulin (Guyton dan Hall, 2011).

    a. Glikogenesis

    Tubuh telah mengembangkan mekanisme untuk menyimpan

    persediaan glukosa dalam bentuk yang dapat dimobilisasi dengan

    cepat, yaitu glikogen. Simpanan glikogen yang utama di dalam tubuh

    ditemukan di otot rangka dan hati, walaupun kebanyakan sel lain

    menyimpan sejumlah kecil glikogen untuk digunakan sendiri.

    Glikogen otot berfungsi sebagai penyedia bahan bakar untuk sintesis

    ATP selama kontraksi otot. Fungsi glikogen hati adalah untuk

    mempertahankan konsentrasi glukosa darah, khususnya selama tahap

    awal puasa (Champe et al, 2011). Setelah 12-18 jam berpuasa,

    glikogen hati hampir seluruhnya terkuras. Glikogen otot tidak secara

    langsung menghasilkan glukosa bebas (karena otot tidak memiliki

    glukosa 6-fosfatase) (Murray et al, 2009).

    Simpanan glikogen hati meningkat dalam keadaan cukup

    makan dan akan berkurang selama puasa. Glikogen otot tidak

    terpengaruh oleh periode puasa yang singkat (beberapa hari) dan

    hanya sedikit berkurang pada periode puasa yang diperpanjang

    (beberapa minggu). Glikogen otot disintesis untuk mengisi kembali

    simpanan otot setelah simpanan otot tersebut terpakai, contohnya

    setelah olahraga berat. Proses sintesis glikogen (glikogenesis) terjadi

    di dalam sitosol (Champe et al, 2011).

    b. Glikogenolisis

    Pemecahan glikogen yang disimpan sel untuk membentuk

    kembali glukosa di dalam sel disebut sebagai glikogenolisis. Glukosa

    yang dibentuk kemudian dapat digunakan untuk menyediakan energi.

  • 23

    Glikogenolisis tidak dapat terjadi melalui pembalikan reaksi kimia

    yang sama yang dipakai untuk membentuk glikogen. Setiap molekul

    glukosa pada masing-masing cabang polimer glikogen dilepaskan

    melalui proses fosforilasi, yang dikatalisis oleh enzim fosforilase

    (Guyton dan Hall, 2011).

    Pada keadaan istirahat, fosforilase terdapat dalam bentuk

    tidak aktif, sehingga glikogen tetap dapat disimpan. Bila pembentukan

    glukosa dari glikogen diperlukan kembali, fosforilase harus diaktifkan

    terlebih dahulu. Dua hormon, epinefrin dan glukagon dapat

    mengaktifkan fosforilase dan dengan demikian menimbulkan

    glikogenolisis secara cepat. Pengaruh pertama dari masing-masing

    hormon ini adalah meningkatakan pembentukan siklik AMP di dalam

    sel, yang kemudian memicu suatu rangkaian reaksi kimia yang

    mengaktifkan fosforilase (Guyton dan Hall, 2011).

    Perangsangan saraf simpatis menyebabkan medula adrenal

    mensekresikan epinefrin. Oleh karena itu, salah satu fungsi sistem

    saraf simpatis adalah meningkatkan penyediaan glukosa untuk

    metabolisme energi yang cepat. Fungsi epinefrin ini terjadi secara

    nyata baik di dalam sel hati maupun otot, sehingga turut berperan

    bersama pengaruh lain dari rangasangan simpatis guna menyiapkan

    tubuh untuk bekerja (Guyton dan Hall, 2011).

    Glukagon adalah hormon yang disekresi oleh sel alfa

    pankreas apabila kadar glukosa darah turun sangat rendah. Glukagon

    merangsang pembentukan siklik AMP terutama di sel hati, dan hal ini

    selanjutnya meningkatkan pengubahan glikogen hati menjadi glukosa

    dan melepaskannya ke dalam darah, sehingga meningkatkan kadar

    glukosa darah (Guyton dan Hall, 2011).

    c. Glikolisis dan Siklus Asam Sitrat

  • 24

    Jalur glikolisis digunakan oleh semua jaringan untuk

    pemecahan glukosa yang menghasilkan energi (dalam bentuk ATP)

    dan menghasilkan zat antara untuk jalur metabolisme lainnya.

    Glikolisis adalah pusat metabolisme karbohidrat, karena hampir

    semua jenis gula, baik yang berasal dari makanan atau reaksi

    katabolik di dalam tubuh dapat diubah menjadi glukosa. Piruvat

    merupakan produk akhir glikolisis pada sel yang memiliki

    mitokondria dan suplai oksigen yang adekuat (Champe et al, 2011).

    Glikolisis merupakan rute utama metabolisme glukosa dan

    juga jalur utama untuk metabolisme fruktosa, galaktosa, dan

    karbohidrat lain yang berasal dari makanan. Kemampuan glikolisis

    untuk menghasilkan ATP tanpa oksigen merupakan hal yang sangat

    penting karena hal ini memungkinkan otot rangka bekerja keras ketika

    pasokan oksigen terbatas, dan memungkinkan jaringan bertahan hidup

    ketika mengalami anoksia. Namun, otot jantung yang beradaptasi

    untuk bekerja dalam keadaan aerob, memiliki aktivitas glikolitik yang

    relatif rendah dan kurang dapat bertahan hidup dalam keadaan

    iskemia (Murray et al, 2009).

    Glikolisis aerob berperan dalam tahap dekarboksilasi oksidatif

    piruvat menjadi asetil KoA, yang merupakan bahan bakar utama

    dalam siklus asam sitrat. Pilihan lainnya adalah bahwa glukosa dapat

    diubah menjadi piruvat, yang akan direduksi oleh NADH untuk

    membentuk laktat. Pengubahan glukosa menjadi laktat disebut

    glikolisis anaerob, karena dapat terjadi tanpa membutuhkan oksigen.

    Glikolisis anaerob memungkinkan pembentukan ATP yang terus

    menerus di jaringan yang kekurangan mitokondria (misalnya, sel

    darah merah) atau pada sel yang kekurangan oksigen (Champe et al,

    2011). Terjadinya kontraksi otot dalam kondisi aerob, tidak

    menimbulkan penimbunan laktat tetapi menghasilkan piruvat yang

  • 25

    merupakan produk akhir utama glikolisis. Piruvat dioksidasi lebih

    lanjut menjadi CO2 dan air (Murray et al, 2009).

    Sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses

    glikolisis anaerob tidak hilang dari tubuh, karena begitu oksigen

    tersedia kembali, asam laktat dapat diubah lagi menjadi glukosa atau

    langsung dapat dipakai sebagai sumber energi. Sejauh ini sebagian

    besar dari proses pengubahan kembali ini terjadi di hati, tetapi

    sejumlah kecil dapat juga terjadi di dalam jaringan lainnya. Asam

    piruvat yang terbentuk akan mengalami konversi menjadi asetil

    koenzim A (asetil-KoA). Pada siklus asam sitrat, gugus asetil dari

    asetil-KoA dipecah menjadi karbondioksida dan atom hidrogen.

    Semua reaksi ini terjadi dalam matriks mitokondria (Guyton dan Hall,

    2011).

    d. Glukoneogenesis

    Beberapa jaringan seperti otak, sel darah merah, medula

    ginjal, lensa dan kornea mata, testis, serta otot yang sedang dilatih,

    memerlukan suplai glukosa yang terus menerus sebagai bahan bakar

    untuk metabolisme. Glikogen hati yang merupakan sumber glukosa

    pascaprandial yang esensial, dapat memenuhi kebutuhan tubuh hanya

    selama sepuluh sampai delapan belas jam tanpa asupan makanan

    karbohidrat. Selama puasa yang lama, simpanan glikogen di hati akan

    dihabiskan, dan glukosa akan dibentuk dari prekursor seperti laktat,

    piruvat, gliserol, dan asam keto- (dihasilkan dari katabolisme asam

    amino glukogenik). Pembentukan glukosa tidak terjadi melalui proses

    kebalikan glikolisis yang sederhana, karena kesetimbangan glikolisis

    secara keseluruhan lebih mendukung pembentukan piruvat.

    Sebaliknya glukosa disintesis melalui jalur yang khusus, yaitu

    glukoneogenesis (Champe et al, 2011).

  • 26

    Glukoneogenesis memenuhi kebutuhan glukosa tubuh jika

    karbohidrat dari makanan atau cadangan glikogen kurang memadai.

    Pasokan glukosa merupakan hal yang esensial terutama bagi sistem

    saraf dan eritrosit (Murray et al, 2009). Glukosa merupakan substrat

    utama untuk menghasikan energi di jaringan seperti otak dan sel darah

    merah. Jumlah glukosa yang adekuat harus tersedia selama beberapa

    jam diantara waktu-waktu makan. Glukoneogenesis sangat penting

    untuk menghambat penurunan yang berlebihan dari kadar glukosa

    darah selama puasa. Hati berperan utama dalam mempertahankan

    kadar glukosa darah selama puasa dengan mengubah simpanan

    glikogennya menjadi glukosa (glikogenolisis) dan dengan mensintesis

    glukosa, terutama dari asam laktat dan asam amino (glukoneogensis).

    Pada puasa yang berkepanjangan, ginjal juga mensintesis sejumlah

    glukosa dari asam amino dan prekursor lainnya (Guyton dan Hall,

    2011).

    Bila karbohidrat tidak tersedia dalam jumlah yang normal

    untuk sel, adenohipofisis meningkatkan jumlah sekresi hormon

    kortikotropin yang akan merangsang kortek adrenal untuk

    menghasilkan sejumlah besar hormon glukokortikoid, terutama

    kortisol. Selanjutnya, kortisol memobilisasi protein terutama dari

    semua sel tubuh, yang menyebabkan protein tersedia dalam bentuk

    asam amino di dalam cairan tubuh. Sejumlah besar asam amino

    tersebut segera mengalami deaminasi di hati dan menghasilkan

    substrat yang ideal untuk diubah menjadi glukosa (Guyton dan Hall,

    2011).

    3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah

    Untuk mendapatkan kadar glukosa darah yang stabil diperlukan

    kesimbangan antara masukan dan keluaran. Masukan glukosa bergantung

    pada asupan glukosa dari makanan, persediaan glikogen, efisiensi

  • 27

    mobilisasi glikogen, dan proses glukoneogenesis. Keluaran bergantung

    pada simpanan glukosa (diatur oleh insulin) atau metabolisme energi

    (Batubara et al, 2010).

    Trauma, keadaan sakit, demam, stres psikologis, dan aktivitas fisik

    semuanya akan memicu hipotalamus untuk mensekresikan hormon

    kortikotropin yang dapat merangsang pengeluaran hormon stres. Kortisol,

    epinefrin, growth hormon, dan glukagon merupakan hormon stres yang

    dapat meningkatkan kadar glukosa darah (Tao & Kendall, 2013).

    Konsumsi alkohol juga dapat mempengaruhi kadar glukosa darah, selain

    itu beberapa obat dapat memberikan efek samping terhadap konsentrasi

    glukosa darah. Keadaan yang mengalami perubahan hormonal seperti

    menstruasi dan kehamilan juga dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam

    darah (American Diabetes Association, 2009).

    4. Pemeriksaan Glukosa Darah

    Diagnosis diabetes melitus harus didasarkan atas pemeriksaan

    kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya

    glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus

    diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang

    dipakai. Untuk diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan yang dianjurkan

    adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah

    plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan

    glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang

    terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga

    dipakai bahan darah utuh, vena ataupun kapiler dengan memperhatikan

    angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh

    WHO. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar

    glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat

    diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Soegondo et al,

    2009).

  • 28

    Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

    penyaring dan diagnosis diabetes melitus (mg/dL)

    Bukan

    DM

    Belum pasti

    DM

    DM

    Kadar

    glukosa

    darah

    sewaktu

    (mg/dL)

    Plasma vena

    Darah kapiler

  • 29

    2. Klasifikasi Diabetes Melitus

    Tabel 3. Klasifikasi etiologis Diabetes Melitus

    Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi

    insulin absolut

    Autoimun Idiopatik

    Tipe 2 Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang

    dominan defek sekresi insulin disertai resistensi

    insulin

    Tipe lain Defek genetik fungsi sel beta Defek genetik kerja insulin Penyakit eksokrin pankreas Endokrinopati Karena obat atau zat kimia Infeksi Sebab imunologi yang jarang Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

    Diabetes melitus

    gestasional

    Sumber: PERKENI, 2011.

    3. Faktor Risiko

    Banyak orang yang mempunyai gaya hidup jarang melakukan

    aktifitas fisik atau latihan jasmani, banyak mengkonsumsi makanan yang

    mengandung lemak dan gula, serta terlalu sedikit mengkonsumsi serat dan

    tepung-tepungan. Gaya hidup tersebut dapat menjadi penyebab utama

    tercetusnya diabetes (Soegondo & Sukardji, 2008). Selain itu, infeksi virus

    (pada diabetes melitus tipe 1), minum obat-obatan yang bisa menaikkan

    kadar glukosa darah, dan stres juga dapat menjadi faktor pencetus diabetes

    (Soegondo et al, 2009).

    Resiko yang lebih besar mendapatkan diabetes melitus tipe 2

    adalah:

    a. Mempunyai saudara, orangtua, atau kakek-nenek dengan diabetes

    b. Obesitas (gemuk) atau berat badan berlebih

  • 30

    c. Berumur 45 tahun atau lebih

    d. Glukosa darah puasa atau sesudah makan melebihi batas-batas normal

    (prediabetes atau toleransi glukosa terganggu)

    e. Tekanan darah tinggi (lebih dari 130/85)

    f. Kolesterol tinggi (LDL kolesterol >130 mg/dL atau kolesterol total

    >200 mg/dL)

    g. Pernah mengalami diabetes gestasional (glukosa darah tinggi selama

    hamil)

    h. Melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg (Soegondo &

    Sukardji, 2008).

    4. Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2

    Ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan

    hepatic glucose production (HGP), dan penurunan fungsi cell , yang

    akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel . Pada stadium prediabetes,

    mula-mula timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh

    peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi insulin agar

    kadar glukosa darah tetap normal. Lama kelamaan sel beta akan tidak

    sanggup lagi mengkompensasi resistensi insulin hingga kadar glukosa

    darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun, kemudian saat itulah

    diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu

    berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu

    lagi mensekresi insulin, suatu keadaan menyerupai diabetes tipe 1 dan

    kadar glukosa darahpun semakin meningkat (Soegondo et al, 2009).

    Dasar molekuler diabetes melitus tipe 2 antara lain defek enzim

    glukokinase, protein transporter GLUT-2, enzim glikogen sintase, reseptor

    insulin, RAD (Ras associated with diabetes), dan mungkin apolipoprotein

    III. Kerusakan sel yang ada bukan suatu autoimmune mediated. Pada

    diabetes melitus tipe 2 tidak ditemukan pertanda autoantibodi. Pada

    resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi

  • 31

    pada keadaan gangguan fungsi sel yang berat konsentrasinya dapat

    rendah (Batubara et al, 2010).

    5. Diagnosis

    Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan

    kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah

    pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena

    (PERKENI, 2011).

    Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes.

    Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat

    keluhan klasik diabetes melitus seperti dibawah ini :

    a. Keluhan klasik diabetes melitus berupa: poliuria, polidipsia, polifagia,

    dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

    b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata

    kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada

    wanita (PERKENI, 2011).

    Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan melalui tiga cara:

    a. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

    sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis

    diabetes melitus.

    b. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya

    keluhan klasik.

    c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban

    75 g glukosa lebih sensitiv dan spesifik dibanding dengan

    pemeriksaan glukosa plasma puasa. Namun pemeriksaan ini memiliki

    keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang

    dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan

    persiapan khusus (PERKENI, 2011).

    Kriteria diagnosis diabetes melitus untuk dewasa tidak hamil dapat

    dilihat pada tabel 4. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria

  • 32

    normal atau diabetes melitus, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka

    dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT)

    atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

    a. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO

    didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 199

    mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).

    b. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa

    plasma puasa didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L)

    dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam

  • 33

    d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB

    (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu

    5 menit.

    e. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

    pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.

    f. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah diberi beban

    glukosa.

    g. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan

    tidak merokok (PERKENI, 2011).

    6. Pengelolaan diabetes melitus

    Tujuan umum pengelolaan diabetes melitus adalah memulihkan

    kekacauan metabolik sehingga segala proses metabolik kembali normal

    yang sekaligus berarti mencegah, atau memperlambat munculnya

    komplikasi. Ketidakoptimalan diet dan berat badan, ketidakteraturan

    berolahraga, serta kebiasaan merokok telah terbukti sebagai pengganggu

    metabolisme. Gangguan ini semakin parah manakala komplikasi mikro

    dan makrovaskuler telah terjadi (Arisman, 2011).

    Pengelolaan diabetes melitus dimulai dengan pengaturan makan

    dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar

    glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi

    farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan

    insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara

    tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan

    dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat

    badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat

    segera diberikan (PERKENI, 2011).

    Standar perencanaan makan pada penderita diabetes melitus tipe 2

    adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,

    protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu karbohidrat

  • 34

    45-60%, protein 10-20%, dan lemak 20-25%. Pada dasarnya perencanaan

    makan pada diabetes melitus tidak berbeda dengan perencanaan makan

    pada orang normal (Soegondo et al, 2009).

    Penderita diabetes melitus tipe 2 perlu melakukan latihan jasmani

    secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit). Latihan

    jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat

    badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki

    kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan

    jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai,

    jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan

    umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat,

    intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah

    mendapat komplikasi diabetes melitus dapat dikurangi. Hindarkan

    kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI,

    2011).

    Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan

    dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Berdasarkan cara kerjanya, OHO

    dibagi menjadi 5 golongan:

    a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid.

    b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion.

    c. Penghambat glukoneogenesis (metformin).

    d. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

    (acarbose).

    e. DPP-IV inhibitor : obat penghambat kinerja enzim DPP-4 yang

    berfungsi mengubah GLP-1 menjadi metabolit tidak aktif. GLP-1

    merupakan perangsang kuat pengelepasan insulin dan sekaligus

    sebagai penghambat sekresi glukagon.

    Selain obat oral, dapat juga diberikan suntikan insulin dan agonis GLP-1

    agar dapat menurunkan kadar glukosa darah (PERKENI, 2011).

  • 35

    D. Hubungan Kualitas Tidur dengan Kadar Glukosa Darah

    Kualitas dan kuantitas tidur yang baik sangat penting dalam

    memaksimalkan fungsi normal metabolik dan hormonal dalam tubuh

    manusia. Beberapa penelitian juga menunjukan bahwa kualitas tidur yang

    buruk berhubungan dengan kontrol glukosa darah yang buruk (Hung et al,

    2013). Glukosa merupakan sumber energi utama pada jaringan tubuh, dan

    glukosa merupakan sumber energi utama bagi otak. Hati dan otot memiliki

    simpanan glukosa dalam bentuk glikogen, berbeda dengan otak yang

    bergantung seutuhnya pada glukosa yang dibawa melalui sirkulasi darah.

    Glukosa darah dikontrol oleh insulin atau hormon anabolik yang disekresikan

    oleh pankreas untuk mengatasi peningkatan glukosa darah. Beberapa hormon

    katabolik memiliki fungsi yang berlawanan dengan insulin seperti glukagon,

    katekolamin, kortisol, dan growth hormon (GH). Pengaturan glukosa

    dipengaruhi oleh irama sirkardian dan siklus tidur. (Morselli et al, 2012).

    Penelitian terbaru menemukan bahwa kontrol glukosa darah yang

    memburuk terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan durasi tidur.

    Kualitas tidur yang buruk dapat ditunjukan dengan durasi tidur yang singkat.

    Terjadinya penurunan durasi tidur menyebabkan seseorang rentan terhadap

    kelainan metabolik seperti resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2.

    Hormon kortisol dan GH berperan dalam mengatur glukosa darah di saat

    seseorang mengalami penurunan kualitas tidur (Padilha et al, 2011).

    Kekurangan tidur dapat menurunkan sensitivitas insulin, hal ini dapat

    dikaitkan dengan perubahan aktivitas adrenokortikal atau sistem saraf otonom.

    Konsentrasi glukosa darah yang normal harus tetap dijaga. Hal ini tentu saja

    melibatkan perubahan sekresi dan sensitivitas dari insulin. Seseorang yang

    mengalami kekurangan tidur akan mengalami peningkatan sekresi insulin

    untuk mengkompensasi resistensi insulin yang terjadi (Darukhanavala et al,

    2011).

  • 36

    Durasi tidur yang singkat telah membuktikan adanya profil hormon

    yang buruk yaitu peningkatan kortisol, ghrelin, dan agen-agen inflamasi, serta

    penurunan leptin. Kurang tidur dapat mempengaruhi kondisi diabetes melitus

    dan kontrol glukosa darah (Cumberbatch et al, 2011). Studi eksperimen telah

    menunjukan bahwa kesulitan tidur dan gangguan tidur dapat menurunkan

    toleransi glukosa dan sensitivitas insulin. Durasi tidur yang pendek dapat

    menyebabkan resistensi insulin melalui peningkatkan aktivitas saraf simpatik,

    hormon kortisol, dan menurunkan penggunaan glukosa oleh otak sehingga

    terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah (Lou et al, 2013).

    Telah diduga bahwa tidur yang dibatasi akan mendapatkan respon

    stres fisiologi yang selanjutnya dapat mengaktifkan Hypotalamo Pituitary

    Adrenal (HPA) axis dan peningkatan sirkulasi kortisol. Peningkatan kortisol

    yang bersifat kronis dapat merusak sensitivitas insulin, mengacaukan

    metabolisme glukosa, serta meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2

    (Reynolds et al, 2012).

  • 37

    E. Kerangka konsep

    Keterangan :

    : diteliti

    : tidak diteliti

    F. Hipotesis

    Ada hubungan antara kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada

    penderita diabetes melitus tipe 2.

    Stres fisiologis meningkat

    Peningkatan sekresi growth hormon

    Saraf simpatis dominan

    Ambilan glukosa dalam jaringan

    berkurang

    Perburukan kualitas tidur

    Sekresi kortisol meningkat

    Sekresi epinefrin meningkat

    Sensitivitas insulin berkurang

    Peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis

    Peningkatan glukosa darah

    1. Usia

    2. Gaya hidup

    3. Psikologis/emosi 4. Lingkungan

    1. Usia

    2. Gaya hidup

    3. Psikologis/emosi 4. Obat-obatan

    Glukosa darah tidak terkontrol pada penderita

    diabetes melitus