BAB 2 - 08110241024

download BAB 2 - 08110241024

of 36

Transcript of BAB 2 - 08110241024

  • 12

    BAB IIKAJIAN TEORI

    A. Dasar Teori1. Tinjauan Gender

    a. GenderDisadari bahwa isu gender merupakan isu baru bagi masyarakat,

    sehingga menimbulkan berbagi tafsiran dan respons yang tidakproposional tentang gender. Salah satu faktor yangmempengaruhinya adalah bermacam-macamnya tafsiran tentangpengertian gender.

    Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan ataujenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa gendermerupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selaindari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui prosessocial dan cultural. Gender dalam ilmu sosial diartikan sebagai polarelasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing (Zainuddin, 2006: 1).

    Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapanbudaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations forwomen and men). Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap bahwasemua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagailaki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender

  • 13

    (What a given society defines as masculine or feminim is acomponent of gender). H. T. Wilson mengartikan gender sebagaisuatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki danperempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagaiakibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. ElaineShowalter menyebutkan bahwa gender lebih dari sekedar pembedaanlaki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya(Nasaruddin Umar, 2010: 30).

    Adapun istilah-istilah yang berkaitan dengan gendersebagaimana yang disampaikan dalam materi Workshop oleh TimGender Direktorat SMP adalah sebagai berikut:1) Pengarusutamaan Gender

    Pengarusutamaan gender adalah strategi yang digunakan untukmengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuanIndonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaatpembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol prosespembangunan.2) Kesetaraan Gender

    Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki danperempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagaimanusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatanpolitik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanandan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam

  • 14

    menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan genderditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan danlaki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatanberpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaatyang setara dan adil dari pembangunan. Adapun indikator kesetaraangender adalah sebagai berikut:

    a) AksesYang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau

    kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber dayatertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh aksesyang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anakperempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat.Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi guru adalah aksesmemperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk guruperempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atautidak.b) Partisipasi

    Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasiseseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalampengambilan keputusan. Dalam hal ini guru perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilankeputusan di sekolah atau tidak.

  • 15

    c) KontrolKontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan

    untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegangjabatan sekolah sebagai pengambil keputusan didominasi olehgender tertentu atau tidak.d) Manfaat

    Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secaraoptimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikanmanfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atautidak.

    3) Keadilan GenderKeadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap

    perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak adapembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dankekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.4) Kesenjangan Gender

    Dikatakan terjadi kesenjangan gender apabila salah satu jeniskelamin berada dalam keadaan tertinggal dibandingkan jenis kelaminlainnya (L>P atau L

  • 16

    kesetaraan gender, negara harus melakukan intervensi atau campurtangan dengan melakukan kebijakan untuk sebuah pembangunan.

    Oleh sebab itu pemerintah telah menetapkan beberapa kebijakantentang pengarusutamaan gender (PUG) yang diturunkan sebagaiberikut:1) INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender

    (PUG) dalam Pembangunan Nasional.Komponen kunci keberhasilan pengarusutamaan genderditentukan oleh ada tidaknya komitmen politik dan kerangkakebijakan pemerintah dalam mendukung pembangunanberperspektif gender, sumber daya manusia yang memilikigender analysis skill dan sumber dana yang memadai, data danstatistik gender, alat dan sistem monitoring dan evalusi, mediaKIE, serta peran serta masyarakat

    2) Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman UmumPelaksanaan PUG dalam Pembangunan di Daerah.Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan danpelayanan masyarakat di daerah, masih terdapat ketidaksetaraandan ketidakadilan gender, sehingga diperlukan strategipengintegrasian gender melalui perencanaan, penyusunan,pelaksanaan, pengangguran, pemantauan, dan evaluasi ataskebijakan, program, dan kegiatanpembangunan daerah

    3) Permendiknas No. 84 Tahun 2008 tentang PedomanPelaksanaan PUG di Bidang PendidikanUntuk memperlancar, mendorong, mengefektifkan danmengoptimalkan pelaksanaan kegiatan pengarusutamaan genderdi bidang pendidikan secara terpadu dan terkoordinasi, makaperlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasionaltentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender BidangPendidikan

  • 17

    c. PUG dalam PendidikanZainuddin Maliki (2006: 7) mengatakan bahwa salah satu

    penyebab rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh adanyadiskriminasi gender dalam dunia pendidikan. Ariyanto Nugrohodalam Kompas (2011: 12) menyebutkan bahwa pada materi ajarbanyak contoh peran laki-laki dan perempuan yang bias gender.Anak-anak harus dilatih sejak dini untuk tidak membedakan peranlaki-laki dan perempuan. Mengubah pola pikir hanya bisa melaluipendidikan.

    Suatu kebijakan pendidikan dikatakan responsif gender apabilamengandung ketetapan yang jelas untuk memperkecil adanyakesenjangan gender di bidang pendidikan. Bappenas bersama-samadengan WSP II dan CIDA mengembangkan alur kerja analisisgender (gender analysis pathway-GAP) yang dapat digunakan untukmembantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaangender dalam perencanaan kebijakan/program pembangunan (Ismi,2009:136).

    Dengan menggunakan GAP, para perencana pembangunandapat mengidentifikasikan kesenjangan gender (gender gap) danpermasalahan gender (gender issues) serta sekaligus menyusunrencana/kebijakan/program pembangunan yang ditujukan untukmemperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut. Alurkerja analisis gender digambarkan sebagai berikut:

  • 18

    Gambar 1. Alur Kerja Analisis Gender (Gender Analysis Pathway GAP)Sumber: Ismi, 2009: 137

    a) Tahap Analisis Kebijakan GenderTahap ini ditujukan untuk mengetahui apakah sebuah

    kebijakan, responsif gender atau tidak. Ini ibarat sebuahkegiatan untuk men-diagnosa kebijakan. Langkah awal dalamtahap ini adalah mengidentifikasi tujuan atau sasaran kebijakanyang ada saat ini, serta tujuan atau sasaran kebijakan apa sajayang telah dirumuskan untuk mewujudkan kesetaraan dankeadilan gender. Selanjutnya sajian data kuantitatif dankualitatif yang terpilih menurut jenis kelamin sebagai data

    I.AnalisisKebijakan Gender

    1Tujuan Kebijakan

    4Isu Gender

    Kesenjangan apa,dimana, mengapa

    2.Data PembukaWawasan. Kuantitatif. Kualitatif

    3Faktor-faktorKesenjangan

    . Akses. Partisipasi. Kontrol. Manfaat

    II. FormulasiKebijakan Gender III. Rencana

    TindakKebijakanGender

    Pelaksanaan Pemanfaatan&Evaluasi

    5.Tujuan Kebijakan

    GenderApa yang harusdilakukan untukmengurangikesenjangan?

    8. IndikatorGender

    7Kegiatan

    8Sasaran

  • 19

    pembuka wawasan. Data tersebut dapat melihat apakah programyang ada saat ini sudah memberikan dampak yang berbeda bagilaki-laki dan perempuan.

    Langkah berikutnya untuk menganalisis sebuah kebijakanresponsif gender atau tidak adalah dengan menganalisis berbagaisumber dan atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangangender, dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknyakesenjangan gender dengan menggunakan empat elemen utamayaiu akses, kontrol, partisipasi dan manfaat.

    Langkah terakhir dalam tahap ini adalah identifikasi masalahgender. Identifikasi masalah gender dapat dilakukan denganmenjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa masalah-masalahgender yang diungkapkan oleh faktor-faktor kesenjangangender?, dan dimana letak kesenjangan gender antara laki-lakidan perempuan? kemudian mengapa terjadi kesenjangan danbagaimana cara mengatasinya?

    b) Formulasi Kebijakan GenderTahap ini merupakan tahap kedua dalam analisis gender,

    sebagai kelanjutan dari tahap sebelumnya. Tahap ini berusahamerumuskan formula kebijakan yang responsif gender. Untukitu yang perlu dilakukan adalah melakukan identifikasi tentangindikator gender baik berupa indikator kuantitatif dan kualitatifapa saja yang perlu diidentifikasi dengan tujuan untuk mengukur

  • 20

    keberhasilan pelaksanaan program yang responsif gender.Selanjutnya perlu mengetahui indikator apa saja yang dapatmenjelaskan apakah faktor-faktor kesenjangan sudah berkurangatau tetap atau bahkan bertambah? dan apakah ukurankeberhasilan kesetaraan dan keadilam gender?.

    c) Rencana Tindak Kebijakan GenderTahap ketiga ini merupakan tahap krusial karena merupakan

    tindak lanjut dari dua tahap sebelumnya yang menentukanapakah sebuah kebijakan dapat di implementasikan atau tidak.Untuk itu ada dua langkah dalam tahap ini yaitu penyusunanrencana tindakan kebijakan/program yang responsif genderperlu disusun untuk mengurangi atau menghilangkankesenjangan antara laki-laki dan perempuan. setelah itu yangperlu dilakukan adalah menentukan sasaran-sasaran apa(kualitatif dan atau keantitaif) yang perlu dirumuskan untuksetiap rencana tindak kebijakan yang telah disusun.

    d. Implementasi PUG dalam PendidikanPengelolaan Pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama,

    mencakup: 1) Kepala Sekolah dan pengawas sekolah dalammerancang pengembangan manajemen pendidikan SMP pekagender, 2) Tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dalammerancang dan mendukung proses pembelajaran peka gender, 3)Peserta didik dalam mengikuti pembelajaran peka gender, 4) Komite

  • 21

    sekolah dalam mengembangkan program komite sekolah pekagender. (Kemendiknas, 2010). Berikut adalah contoh datapengelolaan pendidikan pada salah satu SMP di Kecamatan Kutoarjoyaitu SMP N 3 Purworejo tahun 2011 yang diperoleh pada saat praobservasi 27 Januari 2012:

    Tabel 1. Data Pengelolaan Pendidikan SMP N 3 Purworejo Tahun 2011Jabatan Laki-laki Perempuan

    Kepala Sekolah 1 -Wakil Kepala Sekolah 3 1Guru 22 25Staf 15 3Siswa 102 138Sumber: SMP N 3 Purworejo

    Strategi implementasi pendidikan berwawasan gender dalammateri workshop yang disusun oleh Tim Gender Direktorat PSMPdibagi menjadi 3 pilar, antara lain:a) Pilar Manajemen

    Mendesain dan mengimplementasikan manajemenpendidikan yang menegaskan pentingnya keterlibatanperempuan dan laki-laki secara seimbang dalam prosesperencanaan, pelaksanaan, evaluasi maupun monitoringkebijakan/program/kegiatan pendidikan. Strategi integrasikeadilan dan kesetaraan geder dalam pengelolaan pendidikanakan diklasifikasikan ke dalam hal-hal: (1) penciptaan budayasekolah yang berwawasan kesetaraan dan keadilan gender; (2)penataan sarana dan prasarana yang berwawasan kesetaraan dankeadilan gender; (3) pengelolaan SDM yang berwawasan

  • 22

    kesetaraan gender; (4) pengelolaan pendanaan yang berwawasankesetaraan dan berkeadilan gender di sekolah; (5) pengelolaankurikulum, dokumen I maupun dokumen II. Adapaun tabelindikator pengelolaan atau manajemen sekolah adalah sebagaiberikut:

    Tabel 2. Indikator pengelolaan atau manajemen sekolahNo. Komponen Indikator1. Budaya Sekolah Semua jenis kelamin memperoleh

    akses yang sama dalam pelayananpendidikan di sekolah

    Semua jenis kelamin memilikipeluang yang sama untukberpartisipasi dalam prosespengambilan keputusan

    Semua jenis kelamin memberikankontrol terhadap sumberdayapendidikan di sekolah

    Semua jenis kelamin memperolehmanfaat yang seimbang dilingkungan sekolah

    2. Sarana Prasarana Mempertimbangkan kebutuhanspesifik yang berbeda antara laki-laki dan perempuan

    Pemanfaatan sarana prasarana tidakdidominasi oleh salah satu jeniskelamin

    Mendorong tumbuhnya partisipasiaktif semua anak laki-laki danperempuan

    3. Pengelolaan SDM (TenagaPendidik dan Kependidkan)

    Berlaku adil dan setara gender dilingkungan sekolah

    Mengganti kegiatan anak-anakdengan kegiatan remaja dan dewasa

    4. Pembiayaan Pemenuhan kebutuhan untuk laki-laki dan perempuan secara setara,adil dan seimbang.

    Sumber: Kemendiknas, 2010: 15-16b) Pilar Pembelajaran

  • 23

    Mendesain dan mengimplementasikan proses pembelajaranyang berwawasan kesetaraan gender, baik dalam perencanaan(penyusunan bahan ajar, silabus, RPP, standar kompetensi danindikator, serta kesetaraan gender), pelaksanaan dan evaluasi.Unsur-unsur dalam perencanaan mengintegrasikan perilakuberkesetaraan dan berkeadilan gender adalah: (1) tujuanpendidikan dapat diakses peserta didik laki-laki dan perempuan;(2) bahan ajar yang digunakan seperti substansi, ilustrasi,struktur bahan ajar dan bahasa tidak menimbulkan ketimpangangender, (3) metode atau langkah pembelajarannya dapatmengembangkan potensi kedua belah pihak, (4) media dansumber belajar yang dirancang oleh guru dapat diakses olehkedua belah pihak dan (5) penilaian yang didalamnyaterkandung teknik, bentuk, maupun instrumen yang dirancangtidak memunculkan bias gender. Berikut tabel indikator kuncipembelajaran peka gender:

    Tabel 3. Indikator kunci pembelajaran peka genderNo. Komponen Indikator1. Perencanaan Pembelajaran Pendidik menyusun rencana

    pembelajaran dengan mempertimbangkankebutuhan spesifik peserta didik laki-lakidan perempuan

    2. Materi bahan ajar Bahan ajar digunakan dalampembelajaran sesuai dengan kebutuhanpeserta didik laki-laki dan perempuan

    Gambaran peran perempuan dan laki-lakidisajikan dalam materi bahan ajar secaraseimbang dalam frekuensi yang seimbangpula

  • 24

    Penggunaan media pembelajaran yangseimbang antara peserta didik laki-lakidan perempuan

    3. Metoda Pembelajaran Pendidik memberika peran dantanggungjawab yangs eimbang antarapeserta didik laki-lakid an perempuandalam pembelajaran agar semua pesertadidik dapat berpartisipasi aktif dalamproses pembelajaran

    Pendidik melakukan pendekatan kepadapeserta didik untuk mendorong potensimereka secara optimal

    4. Lingkungan Pembelajaran Sarana dan prasarana pendidikan dapatmemenuhi kebutuhan perserta didik laki-laki dan perempuan

    Satuan pendidikan mendorong perilakusensitif gender, seperti bahasa danungkapan-ungkapan yang digunakan,untuk menghindari terjadinya bentukpelecehan dan diskriminasi gender

    Waktu penyelenggaraan pendidikandisesuaikan dengan kebutuhan pesertadidik (ini sangat penting untukpendidikan non formal)

    5. Pendidik Pendidik memiliki pemahaman mengenaikeadilan dan kesetaraan gender

    Tidak terdapat diskriminasi dalampenetapan kesejahteraan pendidik ditingkat satuan pendidikan

    6. Penilaian Hasil Belajar Terlaksananya penilaian pembelajaranyang bisa diikuti dengan baik olehpeserta didik laki-laki dan perempuan

    Adanya penilaian hasil pembelajaranyang tidak diskriminatif bagi pesertadidik laki-laki dan perempuan

    Terjadi keseimbangan hasil belajar antarapeserta laki-laki dan perempuan

    Sumber: Kemendiknas, 2010: 16-17c) Pilar Peran Serta Masyarakat

    Mendesain peran serta masyarakat yang berwawasankesetaraan gender. Sebagai contoh dalam kepengurusan komite

  • 25

    maupun penyusunan kegiatan-kegiatan komite, antara lain: (1)mewadai dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakatdengan memperhatikan perbedaan gender dalam melahirkankebijakan operasional dan program pendidikan di satuanpendidikan; (2) meningkatkan tanggung jawab dan peran sertamasyarakat yang seimbang antara laki-laki dan perempuandalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan; (3)laki-laki dan perempuan bersama-sama berupaya menciptakansuasana dan kondisi transparansi, akuntabel, dan demokratisdalam penyelanggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutudi satuan pendidikan.Dalam penelitian ini hanya akan melihat implementasi

    Kebijakan PUG di pilar manajemen dan pilar pembelajaran karenaketerlibatan guru secara langsung terdapat pada kedua pilar tersebut.

    2. Kebijakan Pendidikana. Pengertian Kebijakan Pendidikan

    Kebijakan secara umum menurut Ealau dan Prewitt kebijakanadalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilakuyang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupunyang mentaatinya atau yang terkena kebijakan itu. Titmussmendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengaturtindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu. Lebih lanjutTitmuss menyatakan bahwa kebijakan senantiasa berorientasi kepada

  • 26

    masalah (problem oriented) dan berorientasi kepada tindakan (actionoriented) (Edi Suharto, 2005: 7).

    Dalam disertasinya, Sunarto (2011: 53) menyimpulkan bahwakebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untukmengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dankonsisten untuk mencapai tujuan tertentu.

    Hugh Heclo menyebutkan bahwa kebijakan adalah carabertindak yang disengaja untuk menyelesaikan beberapapermasalahan. James E. Anderson juga memberikan rumusankebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok,dan instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidangkegiatan (Arif Rohman, 2009: 108).

    Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa kebijakanadalah sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman tersebut bisaberwujud amat sederhana atau kompleks, bersifat umum ataukhusus, luas ataupun sempit, kabur atau jelas, longgar atauterperinci, kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat. Kebijakandalam maknanya seperti ini mungkin berupa suatu deklarasimengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakantertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atausuatu rencana (Arif Rohman, 2009: 108).

    Menurut Tilaar dan Riant (2008: 140), kebijakan pendidikanmerupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah

  • 27

    strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan,dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikandalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.

    Dari pendapat para ahli dapat ditarik kesimpulan bahwakebijakan pendidikan adalah sebuah ketetapan strategis mengenaihal-hal yang berhubungan dengan pendidikan yang dibuat untukmengatur perilaku konsisten dan berulang untuk mencapai tujuanpendidikan.

    b. Proses Kebijakan PendidikanProses kebijakan yang disarankan:

    Gambar 2: Proses Kebijakan (Tilaar dan Riant, 2008: 189)Model formal dari proses kebijakan pendidikan adalah dari

    gagasan kebijakan dimana gagasan tersebut berasal dari isu-isu

    PROSESPOLITIK

    PROSESKEBIJAKAN

    EVALUASIKEBIJAKAN

    Input ProsesOutput

    IsuKebijakan(AgendaPemerintah)

    1ImplementasiKebijakan

    3FormulasiKebijakan

    2 KinerjaKebijakan

    4

  • 28

    kebijakan pendidikan dari apa yang telah diagendakan olehpemerintah, kemudian isu-isu tersebut masuk dalam perumusankebijakan pendidikan. Formulasi atau perumusan kebijakanpendidikan tersebut kemudian diimplementasikan menuju kepadakinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan. Prestasi yangdiharapkan sebagai tujuan awal dapat dilihat dengan adanya sebuahevaluasi kinerja kebijakan pendidikan.

    Keberhasilan pada masing-masing tahap akan mengontribusikankeberhasilan pada tahapan selanjutnya, demikian pula kegagalanpada masing-masing tahap akan mengontribusikan kegagalan padatahap selanjutnya. (Tilaar dan Riant, 2008: 190). Sebagai contohadanya isu ketimpangan gender dalam pendidikan, kemudiandiformulasikan kebijakan PUG di sekolah yang dikelola secaraterpusat oleh Kementrian Pendidikan. Pada praktiknya, pengelolaansecara terpusat menyebabkan banyak wilayah di daerah yang tidakterkontrol dalam proses implementasi kebijakan tersebut, sehinggakebijakan PUG tidak dapat mengatasi permasalahan yang adadengan kata lain kinerja kebijakan menjadi tidak baik.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegagalan dalamtahap sebelumnya akan menyebabkan kegagalan ditahap selanjutnya,begitu pula sebaliknya.

  • 29

    c. Implementasi Kebijakan PendidikanKebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh

    policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pastiberhasil dalam implementasinya (Subarsono, 2008: 87). MenurutSunarto (2011: 54), implementasi kebijakan strategis dan kebijakanmutu dalam bidang pendidikan dapat dijabarkan menjadi program-program dan dilaksanakan dengan cepat, sesuai dengan kondisi danpotensi sekolah yang ada. Apabila suatu aspek dalam kebijakanmempunyai keterlaksanaan yang kurang, maka perlu dilakukanperbaikan. Semuanya ini tentunya memacu pada rumusan kebijakanyang sesuai untuk diimplementasikan, sehingga tujuan yangdiharapkan dapat tercapai.

    Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilanimplementasi kebijakan baik yang bersifat individual, kelompokataupun institusi. Berikut beberapa faktor yang menentukankeberhasilan implementasi kebijakan yang dikutip dalam Subarsono(2008: 89) yang dielaborasikan dengan teori implementasi menurutGeorge C. Edwards III (1980) adalah sebagai berikut:1) Komunikasi

    Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agarimplementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yangmenjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikankepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan

  • 30

    mengurangi distorsi atau penyimpangan implementasi. Apabilatujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidakdiketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, makakemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

    2) SumberdayaWalaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas

    dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangansumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akanberjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujudsumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dansumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor yang pentinguntuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya,kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

    3) DisposisiDisposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh

    implementor, seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis.Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka diaakan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yangdiinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementormemiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuatkebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjaditidak efektif.

  • 31

    4) Struktur BirokrasiStruktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan

    kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadapimplementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yangpenting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasiyang standar (standard operating procedures atau SOP). SOPmenjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.Dari pemaparan diatas, peneliti tertarik untuk melihat disposisi

    sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan suatu implementasikebijakan. Disposisi disini mengandung makna sikap dariimplementor dimana jika sikap dari implementor berbeda denganpembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan jugamenjadi tidak efektif. Sehingga peneliti menduga bahwa perilakupengimplementasian suatu kebijakan dipengaruhi oleh sikap dariimplementor itu sendiri.

    Dalam hal ini peneliti berasumsi bahwa keberhasilanimplementasi Kebijakan PUG ditentukan oleh sikap guru terhadapkesetaraan gender. Jika guru bersikap setuju terhadap kesetaraangender maka perilaku guru akan konsisten dalammengimplementasikan Kebijakan PUG. Di bawah ini akandijelaskan mengenai hubungan sikap dan perilaku.

    3. Hubungan Sikap dan Perilakua. Sikap

  • 32

    Noeng Mohadjir (1992: 76) mengemukakan bahwa sikap adalahperpaduan antara instink dan kebiasaan, eksplanasi tersebut denganmudah dapat diterima oleh para ahli psikologi atau sosiologi yangmengembangkan psikologi sosial; meskipun terdapat ragamaksentuasi proporsi. Sedangkan Toto Tasmara (2006: 1)mendefinisikan, attitude atau sikap sebagai kecenderungan untukberbuat atau mengantisipasi sesuatu. Kamus Umum BahasaIndonesia menerangkan bahwa sikap adalah perbuatan yang berdasaratas pendirian (pendapat atau keyakinan). Di dalam sikap tersebutterkandung sikap-sikap yang mencakup niat, keyakinan,pengetahuan, serta pandangan hidup. Sikap adalah kondisi mentalyang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, sertadisposisi untuk bertindak dengan cara tertentu (Neila Ramadhani:2008).

    Harvey dan Smith menegaskan bahwa sikap adalah carabertindak yang cenderung positif dan negatif, sikap itu tidak tampakdan tidak dapat diamati sedangkan yang tampak adalah perilaku.Thursone menyatakan sikap dapat diukur dari pendapat-pendapatseseorang. Sedangkan Raymont B. Cattel menyatakan bahwa sikapbukanlah suatu tindakan, atau suatu aksi, tetapi merupakan carabertindak. Kemudian Newcomb mengatakan bahwa sikap bukansebagai pelaksana motif tertentu, tetapi merupakan kesediaan untukbangkitnya motif tertentu. Lebih lanjut Newcomb menyatakan

  • 33

    bahwa dari sudut pandang motivasi sikap merupakan suatukesediaan untuk bangkitnya motif sehingga muncullah sebuahtindakan atau perilaku (Hendry: 2010).

    Sadikin (2008: 17) dalam tesisnya menuliskan bahwa adabeberapa faktor yang mempengaruhi sikap, antara lain yaitupengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting,dan lingkungan dimana seseorang bersosialisasi. Sedangkan BimoWalgito (2002: 110) menyatakan bahwa sikap merupakan organisasipendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yangrelatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikandasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau perilakudalam cara tertentu yang dipilhnya.

    Pengertian sikap didefinisikan Robbins (2001: 68) sebagaiberikut:

    Attitudes are evaluative statements either favorable orunfavorable concerning objects, people, or events. Attitudesare not the same as values, but the two are interrelated. You cansee this by looking at the three components of an attitude:cognition, affect, and behaviour.Maksudnya, sikap merupakan pernyataan penilaian mengenai

    suatu objek, orang atau peristiwa yang bernilai baik atau buruk.Sikap tidak sama dengan nilai, akan tetapi keduanya salingberhubungan. Struktur sikap dapat dilihat dari tiga komponen yaitukognitif, afektif dan konatif. Uraian tiga komponen sikap menurutRobbins adalah sebagai berikut:

  • 34

    1) Komponen kognitif (komponen perseptual)Komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,

    keyakinan, atau persepsi pendapat, kepercayaan. Komponen inimengacu kepada proses berfkir, dengan penekanan padarasionalitas dan logika. Elemen penting dari kognisi adalahkepercayaan yang bersifat penilaian yang dilakukan seseorang.Kepercayaan evaluatif yang dimanifestasikan sebagai kesanyang baik atau tidak baik yang dilakukan seseorang terhadapobjek atau orang.

    2) Komponen afektif (komponen emosional)Komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak

    senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan halpositif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif.

    3) Komponen konatif (komponen perilaku atau action component)Komponen yang berhubungan dengan kecenderungan

    bertindak atau berperilaku terhadap objek sikap. Misalnyaramah, hangat, agresif, tidak ramah atau apatis. Beberapatindakan atau perilaku dapat diukur atau dinilai untukmemeriksa komponen sikap. (Hendry: 2010)Dari ketiga komponen di atas, Robbins (2009: 68) berpendapat

    bahwa pada dasarnya sikap lebih menunjuk ke bagian afektif.Viewing attitudes as made up of three components cognition,affect, and behaviour is helpful toward understanding theircomplexity and the potential relationship between attitudes andbehaviour. But for claritys sake, keep in mind that the term

  • 35

    attitude essentially refers to the affective part of the threecomponent.Ketika memandang bahwa sikap terdiri dari tiga komponen

    (kognitif, afektif dan konatif) hal ini sangat membantu terhadappamahaman kompleksitas sikap itu sendiri dalam hubungannyadengan perilaku. Akan tetapi perlu diketahui bahwa pada dasarnyasikap lebih menunjuk pada bagian afektif dari ketiga komponentersebut.

    Lebih mudah untuk mengubah sikap seseorang jikakomitmennya pada sikap itu tidak kuat. Sebaliknya, semakin kuatkeyakinan mengenai sikap itu, semakin sukar untuk mengubahnya,tambahan pula, sikap yang telah diungkapkan secara publik akanlebih sukar diubah karena perubahan itu menuntut seseorang untukmengakui bahwa ia melakukan kekeliruan. (Robbins, 2001: 148)

    Dari berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli dapatdisimpulkan bahwa sikap ialah hasil perpaduan dari tiga komponen;kognitif, afektif dan konatif. Akan tetapi sikap disini lebih dipandangsebagai hasil dari afektif dimana afektif merupakan kesiapan ataukondisi mental psikologis yang dipengaruhi oleh keyakinan atau niatseseorang untuk mereaksi secara positif (senang) ataupun negatif(tidak senang) terhadap suatu objek yang nantinya akan melahirkansebuah pendapat, nilai dan perilaku.

    Dalam penelitian ini, sikap positif (setuju) atau negatif (tidaksetuju) terhadap kesetaraan gender berawal dari informasi yang

  • 36

    diterima guru berupa isu atau wacana mengenai gender. Isu tersebutoleh guru akan diolah berdasarkan informasi dan pengetahuan yangdimiliki sebelumnya. Dalam pemikirannya akan muncul suatukesimpulan apa akibat yang timbul apabila ia ikut kesetaraan gender.Dengan kata lain, informasi atau pesan yang diterima akanmenimbulkan sebuah keyakinan yang akan menimbulkan sikaptertentu terhadap keikutsertaannya dalam kesetaraan gender. Guruakan memberikan kesetujuan dan ketidaksetujuannya mengikutikesetaraan gender.

    b. PerilakuKamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian bahwa

    perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadaprangsangan atau llingkungan. Sedangkan pengertian perilaku(behavior) menurut Bimo Walgito (1994: 15) adalah kegiatanindividu sebagai akibat dari stimulus yang diterima baik stimulusinternal maupun eksternal. Kemudian Skinner (Bower dan Hilgart,1981: 170) membedakan perilaku menjadi dua macam, yaiturespondent behavior dan operant behavior. Respondent behaviormerupakan tingkah laku bawaan individu yang berupa refleks-refleksdan instink, sedangkan operant behavior merupakan tingkah lakuindividu yang dibentuk, dipelajari, dan dapat dikendalikan melaluiproses belajar. Oleh sebab itu, Wasty Soemanto (2006: 104)menyatakan bahwa tingkahlaku akan berkembang jika manusia

  • 37

    melakukan belajar sehingga terjadi perubahan-perubahan kualitatifindividu.

    Perilaku diasumsikan oleh Robbins (2006: 59) ditentukan dariluaryaitu, dipelajaribukannya dari dalamrefleksi atau takdipelajari. Ditambahkan pula dengan pendapat Skinner bahwamenciptakan perilaku yang khusus, frekuensi perilaku tersebut akanmeningkat.

    Pengalaman Lapiere menunjukkan bahwa perilaku akan lepasdari sikap yang ada pada diri seseorang. Tidak ada jaminan bahwasikap yang berubah akan mengubah pula perilaku seseorang. Daripenelitian Leon Festinger timbul pendapat yang memandang bahwaperilaku tidak dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada diriseseorang. Sedangkan Myers berpendapat bahwa perilakumerupakan sesuatu yang akan kena banyak pengaruh darilingkungan. Demikian pula sikap yang diekspresikan (ekspresiattitudes) juga merupakan sesuatu yang dipengaruhi oleh keadaansekitarnya. Pendapat Myers pada dasarnya menginformasikan bahwaada kaitan antara sikap dan perilaku, sikap dan perilaku salingberpengaruh satu dengan yang lain. (Mami Hajaroh, 1997: 41)

    Dari pendapat beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa perilakumerupakan sebuah tindakan yang dilatarbelakangi oleh niatseseorang untuk menyikapi sesuatu dan dipengaruhi olehlingkungan.

  • 38

    c. Sikap dan PerilakuDalam buku Organizational Behavior, Robbins & Judge (2009:

    110) mengatakan bahwa ada hubungan antara sikap dan perilaku.Early research on attitudes assumed that they were causallyrelated to behaviour; that is, the attitudes people hold determinewhat they do. Common sense, too, suggests a relationhip.Penelitian terdahulu mengenai sikap diasumsikan bahwa sikap

    tersebut merupakan hubungan sebab akibat dari perilaku. Dimanasikap seseorang ditentukan oleh apa yang dia lakukan.Kesimpulannya, bahwa keduanya merupakan sebuah hubungan.

    Hubungan antara sikap dan perilaku menurut Anastasi (1982)yang dikutip oleh Mami Hajaroh (1997: 36), menyatakan bahwasikap seseorang tidak dapat diamati secara langsung, melainkanharus ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tampak secaraverbal maupun non verbal. Zamroni (1992: 153) mengatakan bahwasikap dipandang sebagai faktor yang ikut menentukan perilaku.Sebab dengan mengetahui sikap seseorang akan dapat diramalkanperilaku tertentu orang tersebut.

    Fishbein (1980) sebagaimana yang dikutip oleh Zamroni (1992:154) mengelaborasikan teori yang menyatakan bahwa perilakuadalah fungsi dari sikap.

    Ia menunjukkan bahwa perilaku erat kaitannya dengan niat.Sedangkan niat akan ditentukan oleh sikap. Jadi sikap tidak bisamenjelaskan secara langsung terhadap perilaku tanpa melaluiniat.

  • 39

    Dengan demikian, teori Fishbein tersebut dapat digambarkansebagai berikut:

    d.Gambar 3 : Teori Fishbein Tentang Perilaku

    Sumber: Zamroni (1992: 154)Berdasarkan beberapa teori tersebut dapat disimpulkan bahwa

    sikap memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilakuseseorang. Perilaku seseorang muncul karena dipengaruhi oleh niatdimana niat tersebut dilahirkan dari sebuah sikap.

    d. Faktor Pembentuk Sikap dan PerilakuDalam menghubungkan antar sikap dan perilaku, perlu diketahui

    terlebih dahulu beberapa faktor pembentuk sikap dan perilakumenurut Robbins (2006: 47-53) adalah sebagai berikut:1) Usia

    Terdapat keyakinan meluas bahwa kinerja merosot denganmeningkatnya usia. Sebagian besar penelitian menunjukkanhubungan positif antara usia dan kepuasan, sekurangnya sampaiusia 60 tahun. Studi ini mencampuradukkan karyawanprofesional dan non-profesional. Jika kedua tipe itu dipisah,kepuasan cenderung terus-menerus meningkat pada para

    SIKAP

    PERILAKU

    NORMASUBYEKTIF

    NIAT

  • 40

    profesional dengan bertambahnya usia mereka, sedangkan padanon-profesional kepuasan itu merosot selama usia setengah bayadan kemudian naik lagi pada tahun-tahun berikutnya.

    2) Jenis KelaminBukti menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk memulai

    adalah dengan pengakuan bahwa terdapat hanya sedikit, jikaada, perbedaan penting antara pria dan wanita yang akanmempengaruhi kinerja mereka. Penelitian-penelitian psikologismenunjukkan bahwa wanita lebih bersedia untuk mematuhiwewenang dan pria lebih agresif dan berkemungkinan lebihbesar daripada wanita untuk memiliki harapan atas keberhasilan,namun perbedaan itu tidak besar.

    3) Kemampuan IntelektualKemampuan intelektual merupakan kapasitas untuk

    melaksanakan kegiatan-kegiatan mental. Pekerjaanmembebankan tuntutan-tuntutan berbeda kepada pelaku untukmenggunakan kemampuan intelektual. Singkat kata, makinbanyak tuntutan pemrosesan informasi dalam pekerjaan tertentu,makin banyak kecerdasan dan kemampuan verbal umum yangdibutuhkan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan tersebutdengan sukses. Kemampuan intelektual disini diasumsikansebagai tingkat pendidikan, dimana semakin tinggi tingkat

  • 41

    pendidikan seseorang, semakin banyak pengetahuan yangdiperoleh maka semakin positif sikap dan perilakunya.Slameto (1988: 171-173) untuk memudahkan dalam pengukuran

    sikap dan perilaku, maka dalam penelitian digunakan TaksonomoBloom. Taksonomi Blom dibuat untuk tujuan penelitian yang didalamnya terbagi menjadi tiga domain, yaitu kognitif (cognitive),afektif (affective) dan psikomotor (psychomotor). Domainpsikomotorik disini diasumsikan sebagai aspek perilaku karena lebihmenekankan ke perbuatan atau tindakan trampil. Adapaun ranah-ranah taksonomi Bloom yang telah direvisi Krathwohl adalahsebagai berikut:

    Tabel 4. Ranah Kognitif PengetahuanNo. Kategori Kognitif Kata Kerja Operasional

    1. Mengingat Mengenal kembali, mengidentifikasi,menyatakan kembali.

    2. MemahamiMenginterpretasikan, memberi contoh,mengklasifikasikan, menyimpulkan,membandingkan, menjelaskan.

    3. Menerapkan Menggunakan, melaksanakan.

    4. Manganalisis Membedakan, menguraikan,mengorganisasikan.5. Mengevaluasi Mengecek, memberikan kritik6. Mengkreasi Mengembangkan, merencanakan, membuat

    Tabel 5. Ranah Afektif Sikap (Attitude)No. Kategori Afektif Kata Kerja Operasional1. Penerimaan Bertanya, memilih, mengidentifikasi,

    menentukan, menunjukkan.

  • 42

    2. Tanggapan Menjawab, membantu, memenuhi,mendiskusikan, membantu,mempresentasikan

    3. Penilaian Membedakan, menjelaskan, memulai,membenarkan, mengusulkan.

    4. Organisasi Mengatur, mengkombinasikan,membandingkan, memodifikasi,menyusun.

    5. Internalisasi Menampilkan kepercayaan diri, menjaga,bekerjasama.

    Tabel 6. Ranah Psikomotorik Perilaku (Behavior)No. Kategori Psikomotorik Kata Kerja Operasional1. Imitasi Mengamati, mencoba, mangikuti,

    mengulang.2. Manipulasi Mengikuti (petunjuk), melengkapi,

    menampilkan, memainkan, menghasilkan.3. Presisi Mencapai tingkat otomatis, ahli, mahir,

    terampil, mengontrol, mempraktikan.4. Artikulasi Membangun, mengkoordinasikan,

    mengembangkan, merumuskan,mengajarkan.

    5. Naturalisasi Mendesain, menentukan, mengatur,menemukan, mengelola.

    Dalam penelitian ini hanya akan menggunakan ranah afektif(sikap) dan psikomotorik (perilaku) sebagai indikator yang nantinyadigunakan dalam pembuatan instrumen penelitian.

    B. Hasil Penelitian RelevanPenelitian Mami Hajaroh (1997) di Yogyakarta mengenai sikap dan

    perilaku, membuktikan bahwa terdapat efek yang positif terhadap sikap danperilaku. Efek total masing-masing variabel terhadap perilaku meningkatsetelah melalui sikap. Aspek pendidikan afektif merupakan satu kesatuanyang tidak terpisahkan dengan pendidikan kognitif dan psikomotor.

  • 43

    Ismi Dwi Astuti Nurhaeni (2007) memberikan beberapa temuanpenting dalam penelitiannya, antara lain adalah (1) Kualitas kebijakanpendidikan di Provinsi Jawa Tengah memiliki beberapa variasi dari netralgender, potensial bias gender, dan responsif gender. (2) Faktor-faktor yangberkontribusi terhadap keberhasilan atau kegagalan masuknya gender padakebijakan pendidikan adalah: (a) prefensi dan pengetahuan aktor-aktorpemangku kepentingan/stakeholders yang terlibat dalam perumusankebijakan pendidikan; (b) pembentukan dan pengembangan pionir-pionirgender, baik secara individu maupun secara kelompok; (c) prosespembelajaran bersama antara stakeholder, pioner gender dan jejaringnyasehingga menumbuhkan sensitivitas gender yang akan berkontribusiterhadap masuknya perspektif gender pada kebijakan pendidikan melaluiperubahan kebijakan dan perubahan organisasi.

    Hasil penelitian Ahmad Dardiri, dkk mengenai persepsi guru tentangkesetaraan gender menyebutkan bahwa nilai-nilai kesetaraan gender sudahmuncul dalam implementasinya di sekolah, baik dalam proses pembelajarandi kelas maupun dalam perilaku warga sekolah. Jika ditinjau dari analisisgender, siswa maupun siswi memiliki akses, kesempatan, peran danpartisipasi yang sama dalam proses pembelajaran di kelas. Hanya saja dalambeberapa kasus, ada perbedaan kesempatan antara siswa dan siswi. Misalnyadalam ekstrakurikuler, mata pelajaran PKK dan mata pelajaran elektronik.Dalam hal prestasi, beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa prestasiakademik siswi lebih menonjol dibandingkan siswa.

  • 44

    C. Kerangka PikirMengacu pada teori yang menyebutkan keterkaitan antara sikap dan

    perilaku serta teori tentang pembentuk sikap dan perilaku, maka penelitimengembangkan suatu kerangka berfikir yang dijadikan sebagai modelpenelitian tentang sikap dan perilaku guru terhadap kebijakanpengarusutamaan gender (PUG). Berikut adalah model tentang hubungansikap dan perilaku beserta model tentang pembentukan sikap.

    Sikap niat perilakuGambar 4 : Hubungan sikap dan perilaku

    Gambar 4 menjelaskan bahwa: Pertama, sikap responsif gender hanyamengandung unsur afektif (keyakinan atau niat) dan tidak mengandungunsur kognitif, afektif dan konatif. Sikap responsif gender pada gurumerupakan predisposition atau kecenderungan guru untuk menyatakansetuju atau tidak setuju, senang atau tidak senang, yakin atau tidak yakinsecara konsisten terhadap kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) yangada dibidang pendidikan. Kedua, memprediksi perilaku guru dalammengimplementasikan kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) denganmenggunakan unsur niat untuk melakukan sesuatu tindakan yangberhubungan dengan masalah gender. Akan tetapi niat disini tidakdigunakan sebagai variabel yang diteliti karena niat merupakan sesuatu tangtidak berujud. Mengukur sesuatu yang tidak berujud adalah sulit. Yang bisadilakukan hanyalah mengukur kemungkinan keberadaan niat tersebutberdasarkan bukti-bukti keberadaan niat tersebut. Keberadaan niat tersebut

  • 45

    terdapat di dalam sikap dan perilaku sehingga yang akan diukur dan ditelitinantinya hanyalah faktor sikap dan perilaku.

    Dibawah ini merupakan gambar yang menunjukkan bahwa sikapkesetaraan gender guru terbentuk oleh beberapa faktor, antara lain usia,jenis kelamin, dan tingkat pendidikan guru. Ketiga faktor ini merupakanfaktor pengontrol dari munculnya sikap, sehingga tidak ditampilan sebagaivaribel dalam penelitian ini.

    Gambar 5 : Faktor Pembentuk SikapSetelah itu gambar 6 menjelaskan tentang perilaku guru dalam

    mengimplementasikan kebijakan pengarusutamaan gender di sekolah.Perilaku responsif gender ini dinyatakan dengan sering atau tidak seringguru dalam mengimplementasikannya. Perilaku guru dalam implementasikebijakan pengarusutamaan gender (PUG) di sekolah terbagi menjadi tigapilar, yaitu pilar manajemen sekolah, pembelajaran dan peran sertamasyarakat. Akan tetapi dalam penelitian ini hanya difokuskan pada pilarmanajemen dan pembelajaran saja karena kedua pilar ini yang berhubunganlangsung dengan guru.

    Usia

    Jenis Kelamin

    Tingkat Pendidikan

    Sikap Kesetaraan Gender

  • 46

    Gambar 6: Perilaku guru dalam implementasi Kebijakan PengarusutamaanGender (PUG) di SMP

    Dengan beberapa model hubungan sikap dan perilaku responsifgender, maka diperoleh kerangka konseptual sebagai berikut:

    Gambar 7: Kerangka konseptualHubungan antara variabel penelitian dapat disusun dalam suatu kerangka

    konseptual penelitian tentang pengaruh sikap kesetaraan gender guru terhadapperilaku pengimplementasian kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) disekolah menengah pertama adalah sebagai berikut:

    Gambar 8: Kerangka Konsepual PenelitianKeterangan:

    Perilaku Guru

    Pilar Manajemen

    Pilar Pembelajaran

    Pilar Peran Serta Masyarakat

    X Y

    Kesetaraan Gender

    Sikap Guru Perilaku Guru

    Implementasi Kebijakan PengarusutamaanGender (PUG) di SMP

  • 47

    X : Sikap Kesetaraan Gender GuruY : Perilaku Pengimplementasian Kebijakan PUG

    D. Hipotesis1. Hipotesis Utama

    a. H1 = Terdapat pengaruh positif dan signifikan sikap kesetaraangender guru terhadap perilaku pengimplementasian KebijakanPengarusutamaan Gender (PUG) di SMP se-Kecamatan Kutoarjo.

    b. H2 = Semakin guru setuju terhadap kesetaraan gender, makaperilakunya akan semakin konsisten dalam mengimplementasikankebijakan PUG di SMP se-Kecamatan Kutoarjo.

    2. Hipotesis Tambahana. Kecenderungan sikap terhadap kesetaraan gender guru ditentukan

    oleh usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.b. Konsistensi perilaku guru dalam pengimplementasian Kebijakan

    PUG ditentukan oleh usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan.c. Pengaruh sikap kesetaraan gender guru terhadap perilaku

    pengimplementasian Kebijakan PUG ditentukan oleh usia.d. Pengaruh sikap kesetaraan gender guru terhadap perilaku

    pengimplementasian Kebijakan PUG ditentukan oleh jeniskelamin.

    e. Pengaruh sikap kesetaraan gender guru terhadap perilakupengimplementasian Kebijakan PUG ditentukan oleh tingkatpendidikan.