bab 1,2,3 ,4 TB MR oke.docx
Transcript of bab 1,2,3 ,4 TB MR oke.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat
TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi
pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari
pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.1
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya
sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. 2,3
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di
Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien
sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada
539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per
100.000 penduduk.2
Sejak tahun 1990-an WHO dan International Union Agains Tuberculosis and Lung
Disease (IUATLD) telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai
strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) dan telah terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Penerapan strategi DOTS
1
secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya Multi
Drugs Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Fokus utama DOTS adalah penemuan dan
penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien menular. Menemukan dan
menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB.
Pengembangan strategi DOTS telah dilaksanakan di seluruh provinsi pada fasilitas pelayanan
kesehatan,Puskesmas (96%) dan di Rumah Sakit (40%) .baik Rumah Sakit Pemerintah, Swasta,
BUMN, dan TNI-POLRI. (Depkes RI, 2007).
Risiko penularan setiap tahun ARTI (Annual Risk of Tuberkulosis Infection)di Indonesia
dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3%. Pada daerah dengan ARTI(Annual Risk of
Tuberkulosis Infection) sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan
terinfeksi TB paru. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akanmenjadi penderita
tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberculosis.
Berdasarkan keterangan tersebut dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka
diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita Tuberkulosis setiap tahun,
dimana 50 penderita adalah BTA positif. (Depkes RI, 2008).
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2011 melaporkan bahwa Indonesia telah diakui keberhasilannya dalam
pengendalian TB, hal ini dibuktikan dalam laporan Global Report Update tahun 2009 bahwa
Indonesia berhasil menurunkan posisinya dari posisi 3 menjadi posisi ke 5 sebagai negara
dengan jumlah pasien TB terbanyak di dunia. Selain itu dari data Global Report juga bisa dilihat
keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kematian akibat TB dari 348/hari (Global
Report GR, 2002), 300/hari (GR, 2007), 250/hari (GR, 2009), dan 169/hari (GR, 2010). Selain
itu target cakupan penemuan kasus TB atau case detection rate sebesar 70% sudah tercapai
2
karena Indonesia telah mencapai 77,3%, demikian pula target keberhasilan pengobatan atau
success rate yang ditetapkan 85%, kita sudah mencapai 89,6%. Target Millenium Development
Goals atau MDGs untuk pengendalian TB adalah prevalensi TB menurun menjadi 222 per
100.000 penduduk dan angka kematian TB menurun sampai 46 per 100.000 di tahun 2015.
Berdasarkan Global Report tahun 2010, prevalensi TB di Indonesia adalah 285 per 100.000
penduduk, sedangkan angka kematian TB telah turun menjadi 27 per 100.000 penduduk.
Artinya, target MDGs untuk angka prevalensi TB diharapkan akan tercapai pada 2015,
sedangkan target angka kematian TB sudah tercapai (Kemenkes RI, 2011) Namun demikian
tentunya permasalahan dalam pengendalian TB masih sangat besar, dan Indonesia masih
berkontribusi sebesar 5,8% dari kasus TB yang ada di dunia. Dengan masih adanya sekitar
430.000 pasien baru per tahun dan angka insiden 189/100.000 penduduk serta angka kematian
akibat TB sebesar 61.000 per tahun atau 27/100.000 penduduk, TB masih menjadi tantangan
dalam masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kemenkes RI, 2011).
Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu:
1) Wilayah Sumatera : 160 per 100.000 penduduk
2) Wilayah Jawa dan Bali : 110 per 100.000 penduduk
3) Wilayah Indonesia Timur : 210 per 100.000 penduduk
Pada tahun 1993, WHO telah menyatakan bahwa TB merupakan keadaan darurat dan pada tahun
1995 merekomendasikan strategi DOTS sebagai salah satu langkah yang paling efektif dan
efisien dalam penanggulangan TB.
Intervensi dengan strategi DOTS kedalam pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas) telah
dilakukan sejak tahun 1995. Khusus untuk institusi pelayanan rumah sakit dan Balai Kesehatan
Paru Masyarakat (BKPM) / Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) intervensi baru
3
dilakukan secara aktif sejak tahun 2000. Hasil survey prevalensi TB tahun 2004 menunjukkan
bahwa pola pencarian pengobatan pasien TB ke rumah sakit ternyata cukup tinggi, yaitu sekitar
60% pasien TB ketika pertama kali sakit mencari pengobatan ke rumah sakit, sedangkan sisanya
ke Puskesmas dan Praktisi swasta. Pelaksanaan DOTS di rumah sakit mempunyai daya ungkit
dalam penemuan kasus (case detection rate, CDR), angka keberhasilan pengobatan (cure rate),
dan angka keberhasilan rujukan (succes referal rate).
Adapun strategi DOTS terdiri dari:
1. Komitmen politis.
2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.
3. Pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB, dengan penatalaksanaan
kasus secara tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan.
4. jaminan ketersediaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang bermutu.
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil
pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan.
Untuk menanggulangi masalah TB, strategi DOTS harus diekspansi dan diakselerasi pada
seluruh unit pelayanan kesehatan dan berbagai institusi terkait termasuk rumah sakit pemerintah
dan swasta, dengan mengikutsertakan secara aktif semua pihak dalam kemitraan yang bersinergi
untuk penanggulangan TB. Pada saat ini penanggulangan TB dengan strategi DOTS di Rumah
Sakit baru berkisar 20% dengan kualitas yang bervariasi. Ekspansi strategi DOTS di RS masih
merupakan tantangan besar bagi keberhasilan Indonesia dalam mengendalikan tuberkulosis.
Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Tim TB External Monitoring Mission pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus TB di RS cukup tinggi, tetapi angka
keberhasilan pengobatan rendah dengan angka putus berobat yang masih tinggi. Kondisi tersebut
4
berpotensi untuk menciptakan masalah besar yaitu peningkatan kemungkinan terjadi resistensi
terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB).Untuk mengetahui keberhasilan rumah sakit dalam
melaksanakan strategi DOTS, pada bulan Juli 2009 telah dilakukan asesmen terhadap rumah
sakit tingkat provinsi di seluruh Indonesia (jumlah 18 rumah sakit). Data hasil assessment
menunjukkan bahwa hanya 17 % rumah sakit yang telah melakukan strategi DOTS dengan hasil
optimal, 44 % rumah sakit sedang dan 39% rumah sakit kurang. Data hasil assessment juga
menunjukkan adanya hubungan yang erat antara komitmen direktur rumah sakit terhadap
keberhasilan penyelenggaraan DOTS di RS. Sementara dari sejumlah 59% rumah sakit yang
telah memilki Tim DOTS, hanya 28% tim DOTS yang dibentuk bekerja optimal. Sementara 72%
rumah sakit yang telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih DOTS (dokter umum, dokter
spesialis, paramedik, petugas laboratorium maupun farmasi), namun tidak dimanfaatkan secara
baik oleh pihak manajemen rumah sakit, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
strategi DOTS belum menjadi komitmen manajemen di rumah sakit disebabkan oleh sosialisasi
yang kurang optimal. Hal ini tercermin hanya 17% RS yang melaksanakan strategi DOTS secara
optimal.
Kementerian Kesehatan RI bersama para direktur rumah sakit, Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI) menyusun Pedoman Manajerial Pelayanan Tuberkulosis Dengan Strategi
DOTS Di Rumah Sakit. Pedoman ini digunakan sebagai acuan dalam akreditasi pelayanan medis
di rumah sakit.
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih ada pasien yang menderita TB di wilayah
Cibeunigeulis di RW 06.
5
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang penyakit TB( tuberculosa) dan strategi DOTS
1.3.1 tujuan khusus
Untuk menurunkan angka kesakitan penderita TB di kelurahan cibeunigeulis RW 06.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Puskesmas
agar puskesmas bias lebih mencegah angka kesakitan TB di wilayah tersebut
1.4.2 Bagi individu
Untuk menambag pengetahuan tentang penyakit TB.
BAB I1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Definisi
6
Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh
Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang
terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yang dapat hidup terutama di
paru atau berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini
biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk
meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah
pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun.2
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit infeksi paru tersebut disebabkan oleh
MikobakteriumTuberkulosis Ada3 varian M. Tuberkulosis:
1. Var. Humanus
2. Var. Bovinum
3. Var. Avium
Yang paling banyak ditemukan pada manusia adalah M. Tuberkulosis Humanus.
2.2 Gejala Penyakit TBC
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul
sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus
baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik.2
7
Gejala sistemik atau umum:
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat
hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus
(saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang
membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan
sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat
dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar
cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan
8
penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan – 5
tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan
30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.2
2.3 Penularan TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.1
Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan
yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.3
Risiko penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru
dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
9
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu
tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap
tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1 3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi
tuberkulin negatif menjadi positif.
Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%,
diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10%
diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah
pasien TB BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi
HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular immunity),
sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan
menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.1
2.4 Patofisiologi
Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi jaringan yang aneh di
dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di
sekitar lesi oleh jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel. Banyaknya
area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha otot pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh
karena itu menurunkan kapasitas vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi
10
yang menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio ventilasi-perfusi
yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi oksigenasi darah.1
2.5 Diagnosa
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
* Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.
* Pemeriksaan fisik.
* Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).
* Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
11
* Rontgen dada (thorax photo).
* Uji tuberkulin.
Diagnosis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas,
badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari
tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala gejala tersebut diatas dapat
dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker
paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka
(suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada
pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.4
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk diagnosis pada semua
suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):
• S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang,
suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
• P(Pagi):
Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan
diserahkan sendiri kepada petugas di UPK.
12
• S(sewaktu):
Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA).4
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih
jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru pada lampiran.4
Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan
foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. (lihat
bagan alur di lampiran 2)
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).
13
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau
efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis atau aspergiloma).
Diagnosis TB Ekstra Paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis
TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan
berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain.
Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto
toraks, dan lain-lain.
Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam
“Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih
dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin
positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2– 4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%.
14
Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin
semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian
atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji
tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi
Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena
kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
15
Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.5
16
2.6 Pengobatan Tuberkulosis
Tujuan Pengobatan menurut (Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis).5
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT
= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
17
Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu
yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak.
18
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang
mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan
tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi
obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT dan peruntukannya.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
Pasien TB ekstra paru.
19
2.
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh.
Pasien gagal.
Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus).
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg
tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
20
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan
golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Di samping itu dapat
juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.
pencegahan terhadap TB terdiri atas :
a. Promotif
1. Penyuluhan kepada masyarakat apa itu TBC
2. Pemberitahuan baik melalui spanduk/iklan tentang bahaya TBC, cara penularan, cara
pencegahan, faktor resiko
3. Mensosialisasiklan BCG di masyarakat.
b. Preventif
1. Vaksinasi BCG
2. Menggunakan isoniazid (INH)
3. Membersihkan lingkungan dari tempat yang kotor dan lembab.
21
4. Bila ada gejala-gejala TBC segera ke Puskesmas/RS, agar dapat diketahui secara dini.
2.7 MDR TB ( Multi Drag Resistant)
Adalah resistensi terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin.
2.7. 1 Faktor Klinis Yang Mempengaruhi Resistensi Obat
1. Terlambatnya diagnosis dan isolasi.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak tepat.
3. pengobatan awal yang tidak adekwat
4. pengobatan yang tidak lengkap
5. modifikasi obat yang tidak tepat.
6. penambahan satu obat pada kegagalan pengobatan
7. penggunaan kemoprofilaksis yang tidak tepat
8. Kurang patuh dan pengobatan tidak lengkap
9. Gagal mengisolasi penderita MDR TB
10. Pelaksanaan DOTS yang kurang baik
11. Kurangnya pengetahuan tentang TB
12. Obat kurang berkualitas
Selain itu meningkatnya kasus HIV dan coinfeksi menyebabkan meningkaynya angka
TB. Kategori resistensi obat anti tuberculosis( OAT) Berdasarkan guidelines for the
programmatic management of drug resistant tuberculosis emergency update oleh
WHO(2008 )resistan terhadap obat dinyatakan bila hasil pemeriksaan terhadap
22
laboratorium menunjukkan adanya pertumbuhan M.tuberculosis in vitro saat terdapat satu
atau lebih OAT.
Macam-macam resitansi berdasarkan jenis kategori resistensi obat adalah:
1.mono resisten : resisten terhadap satu OAT lini pertama
2. poli resisten : resisten terhadap lebih dari satu OAT lini pertama setelah kombinasi
isoniazid dan rifampisin.
3. MDR : resistensi terhadap sekurang-kurangnya isoniazid dan rifampisin
4. Extensively drug resintant( XDR) : MDR TB ditambah kekebalan terhadap salah satu
obat golongan floroquinolon dan sedikitnya salah satu dari obat injeksi lini ke dua
( kapreomisisn,kanamisin, dan amikasin).
Penatalaksanaan TB Resisten Obat
a. Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat(khususnya MDR)
seharusnya diobati dengan paduanobat khusus yang mengandung obat anti
tuberkulosis lini kedua.
b. Paling tidak harus digunakan empat obat yg masih efektifdan pengobatan harus
diberikan paling sedikit 18 bulan.
c. Cara-cara yang berpihak kepada pasien disyaratkanuntuk memastikan kepatuhan
pasien terhadappengobatan.
23
d. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yangberpengalaman dalam
pengobatan pasien dengan MDRTB harus dilakukan.
Prinsip Penatalaksanaan MDR/XDR
Memulai pengobatan MDR-TB denganpengawasan yang ketat dengan penyuluhan,pemantauan
dan mengobati toksisisiti obat:
1. Sesuaikan pemantauan efek samping dengan obat yang digunakan.
2. Pertimbangkan masalah kontrol infeksi
3. Cari konsultasi dengan pakar segera setelah resistensi obat diketahui.
4. Gunakan DOT dengan cara yang berpihak kepada pasien selama masa pengobatan.
5. Catat obat yang diberikan, hasil bakteriologis,gambar foto toraks, dan kejadian efek
samping obat.
6. Optimalkan penatalaksanaan penyakit yang mendasari dan status nutrisi.
Pertimbangan Pengobatan MDR TB
1. Gunakan DOT utk semua dosis
2. Gunakan pemberian harian, tidak intermitten
3. Lama pengobatan minimum 18-24 bulan
4. Bila mungkin, teruskan obat suntik paling tidak 6 bulan setelah konversi biakan
5. Teruskan paling tidak tiga obat oral guna lama pengobatan yang sempurna
Merancang Pengobatan MDR/XDR
Prinsip Umum dari WHO
24
1. Penggunaan paling tidak 4 obat-obatan sangat mungkin akan efektif.
2. Jangan menggunakan obat yang mempunyai resistensi silang (cross-resistance).
3. Singkirkan obat yg tidak aman untuk pasien.
4. Gunakan obat dari grup 1-5 dgn urutan yg berdasarkan kekuatannya.
5. Harus siap mencegah,memantau danmenanggulangi efek samping obat yg dipilih.
Kategori OAT menurut WHO :
1. Grup 1 - OAT lini pertama: isoniasid, rifampisin, etambutol,pirasinamid
2. Grup 2 - Obat suntik: streptomisin, kanamisin, amikasin,kapreomisin, (viomisin)
3. Grup 3 - Fluoroquinolon: ciprofloxasin, ofloxasin, levofloxasin,moxifloxasin,
(gatifloxasin)
4. Grup 4 - Obat bakteriostatis oral: etionamid, cicloserin, paraaminosalicylic
5. acid (prothionamid, thioacetazon, terisadon)
6. Grup 5 - Obat belum terbukti: clofasamin, amoxicillin/klavulanat,claritromisin,
linezolid
Obat dalam kurung = kesediaannya terbatas
25
Memulai Pengobatan mnurut WHO :
26
1. Pastikan tersedianya layanan jasa laboratorium untuk hematologi, biokimia dan
audiometri.
2. Dapatkan data dasar klinis dan laboratorium sebelum memulai pengobatan.
3. Memulai pengobatan secara bertahap jika menggunakan obat yg mengakibatkan
4. intoleransi gastrointestinal
5. Menjamin ketersediaan obat-obatan lain yg diperlukan utk menanggulangi efek samping.
DOSIS OAT MDR
OAT Berat Badan Berat Badan Berat Badan Berat Badan
Pirazinamid
(Tablet, 500
mg)
< 33 kg
30-40
mg/kg/hari
33-50 kg 1000-
1750 mg
51-70 kg 1750-
2000 mg
>70 kg 2000-
2500 mg
Etambutol
(Tablet, 400
mg)
25 mg/kg/hari 800-1200 mg 1200-1600 mg 1600-2000 mg
Kanamisin
(Vial, 1000 mg)
15-20
mg/kg/hari
500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Kapreomisin
(Vial, 1000 mg)
15-20mg/kg/
hari
- 500-750 mg 1000 mg 1000 mg
Levofloksasin
(Kaplet, 250
mg)
750 mg per hari 750 mg 750 mg 750-1000 mg
27
Sikloserin
(Kapsul, 250
mg)
15-20
mg/kg/hari
500 mg 750 mg 750-1000 mg
Etionamid
(Tablet, 250
mg)
PAS
(Granula, 4 gr)
15-20
mg/kg/hari
150 mg/kg/hari
500 mg
8 g
750 mg
8 g
750-1000 mg
8 g
PEMANTAUAN PENGOBATAN
1. Gejala klinis
2. Konversi dahak dan biakan
3. Pemeriksaan tiap bulan (tahap awal) dan setiap 2 bulan (tahap lanjutan)
Efek samping tersering
a. Keluhan saluran cerna
1. Ethionamide
2. Cycloserine
3. PAS
28
4. Fluoroquinolones
5. Clofazimine
6. Rifabutin
b. Hepatotoksik(gejala awal anoreksia dan malaise, nyeri abdomen,muntah,ikterik)
1. INH
2. Rifampicin/rifabutin
3. Ethionamide
4. PZA
5. PAS
6. Fluoroquinolones
29
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pembahasan
3.1.1. Keadaan rumah yang mempunyai jendela di RW 06 Kelurahan Cibunigeulis
Setelah mendapatkan hasil survey mawas diri di rw 06, didapatkan bahwa masih ada
masyarakat yang tidak mempunyai jendela yaitu dengan hasil sebagai berikut:
jendela rumah masyarakat RW 06 sebanyak 99,2% (264 KK) memiliki jendela dan
jarang dibuka, dan sebanyak 8% (2 KK) tidak memiliki jendela.
3.1.2. Jumlah ventilasi
Dari hasil didapatkan bahwa masih banyak masyarakat yang tidak mempunyai
ventilasi yaitu dengan hasil sebagai berikut:ventilasi di rumah masyarakat RW 06 sebanyak
94,7% (252 KK) ada ventilasi dan tidak standar, sebanyak 5,3% (14 KK) tidak ada ventilasi.
hal ini merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit TB dikarenakan tidak adanya
tempat pertukaran udara bersih di dalam rumah.
Untuk itu penulis melakukan kegiatan penyuluhan guna menurunkan angka kejadian
TB yaitu meliputi :
1. Memberikan Penyuluhan
Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang kondisi lingkungan seperti
apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya TB
Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang perilaku seperti apa saja
yang dapat menyebabkan terjadinya TB
30
Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang bagaimana kondisi rumah
sehat
Untuk menambah pengetahuan serta menanamkan pada masyarakat tentang
pentingnya menjaga kesehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan
sehat.
2. Memasang banner PHBS rumah tangga
Untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan
sehat di rumah tangga
31
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB) 1 . Robert Koch pertama kali menemukan MTB pada tahun
1882 2. Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia
sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina. Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga
terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor
satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk diagnosis pada semua
suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS).
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
OAT.
4.2 Saran
Agar pengobatan pasien penderita TBC mendapatkan kesembuhan maka seharusnya
pasien dan keluarga menjalin kerja sama dengan tenaga medis dalam pengobatan mengingat
32
TBC merupakan infeksi yang menular dan membutuhkan waktu dan ketaatan mengkonsumsi
obat yang lama.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64.
2. Roebiono PS. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Merupakan
Masalah Dalam Masyarakat. 12 Maret 2015. Available from
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani6.pdf
3. Djohan PA. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available from
http://www.tbci ndonesia_Or_Id.htm l
4. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-
1005, 1045-9.
5. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 12 Maret 2015. Available
from http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
34