BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...

14
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vietnam saat ini dikenal sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara. Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) Vietnam pada 2013 mencapai 5,3% dan terus meningkat. 1 Hal ini tentu mempengaruhi perilaku ekonomi negara. Vietnam saat ini terus mengembangkan sektor investasi untuk mengikuti perkembangan globalisasi. Terlebih lagi, Vietnam saat ini merupakan pemain baru di bidang ekonomi regional maupun global, sehingga perkembangan ekonomi Vietnam cukup diperhitungkan oleh negara-negara. Vietnam menyadari bahwa integrasi dalam organisai internasional sangat penting untuk menunjang pembangunan negara. Bergabung dalam organisasi ekonomi internasional membantu Vietnam membuka pasar bebas dan menyokong perdagangan bebas. Momentum bergabung dalam WTO membawa peluang dan tantangan bagi pembangunan ekonomi Vietnam. Vietnam sebagai negara berkembang menghadapi tantangan yang lebih besar, tidak lagi perdebatan mengenai comparative advantage dengan skema proses produksi, isu buruh dan sumber daya alam (SDA) dalam perdagangan konvensional, namun juga menghadapi dan menjaga hubungan baik dengan organisasi ekonomi internasional. Di abad 21 saat globalisasi berkembang, batas antar negara terkaburkan dan membuat akses antar negara lebih mudah dijangkau, namun hal 1 CIA (Central Intelligence Agency), The World Factbook, Vietnam GDP-Real Growth Rate (online), < https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/vm.html>, diakses pada 24 Maret 2014.

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vietnam saat ini dikenal sebagai kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara.

Pertumbuhan produk domestik bruto (GDP) Vietnam pada 2013 mencapai 5,3%

dan terus meningkat.1 Hal ini tentu mempengaruhi perilaku ekonomi negara.

Vietnam saat ini terus mengembangkan sektor investasi untuk mengikuti

perkembangan globalisasi. Terlebih lagi, Vietnam saat ini merupakan pemain baru

di bidang ekonomi regional maupun global, sehingga perkembangan ekonomi

Vietnam cukup diperhitungkan oleh negara-negara.

Vietnam menyadari bahwa integrasi dalam organisai internasional sangat

penting untuk menunjang pembangunan negara. Bergabung dalam organisasi

ekonomi internasional membantu Vietnam membuka pasar bebas dan menyokong

perdagangan bebas. Momentum bergabung dalam WTO membawa peluang dan

tantangan bagi pembangunan ekonomi Vietnam. Vietnam sebagai negara

berkembang menghadapi tantangan yang lebih besar, tidak lagi perdebatan

mengenai comparative advantage dengan skema proses produksi, isu buruh dan

sumber daya alam (SDA) dalam perdagangan konvensional, namun juga

menghadapi dan menjaga hubungan baik dengan organisasi ekonomi

internasional. Di abad 21 saat globalisasi berkembang, batas antar negara

terkaburkan dan membuat akses antar negara lebih mudah dijangkau, namun hal 1 CIA (Central Intelligence Agency), The World Factbook, Vietnam GDP-Real Growth Rate (online),

< https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/vm.html>, diakses pada 24 Maret 2014.

2

tersebut justru menghasilkan tantangan baru bagi negara dalam menjalin

hubungan dengan negara lain. Cross-border relationship (hubungan melintasi

batas-negara) antara Vietnam dengan negara, organisasi regional dan internasional

di bidang perdagangan harus diperhatikan dengan baik.

Praktek perdagangan bebas di Vietnam membawa pada kondisi dimana

transfer pengetahuan bukan semata-mata pada teknologi namun juga nilai-nilai

(values). Values yang tersebar melalui kegiatan perdagangan domestik maupun

antar negara dapat berupa kekayaan intelektual (intellectual property). Dalam

sebuah praktek perdagangan bebas yang melibatkan banyak aktor dari berbagai

negara pasti melibatkan perpindahan nilai kekayaan industrial (industrial

property) dimana di dalamnya terkandung poin-poin trademark, hak paten, desain

industri, dan lain-lain. Nilai-nilai tersebut harus dilindungi oleh negara supaya

pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional berjalan dengan baik.

Belajar dari fenomena diatas, negara harus memberikan perhatian lebih

terhadap regulasi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Untuk menjamin keamanan

HAKI, Vietnam layaknya negara berkembang lain turut berperan aktif dalam

organisasi perdagangan internasional, dalam hal ini organisasi yang dimaksud

adalah World Trade Organization (WTO). Sebelum bergabung dalam WTO

Vietnam telah aktif dalam beberapa perjanjian internasional yang berkaitan

dengan HAKI. Namun perlu adanya kesadaran dari Vietnam agar regulasi HAKI

dapat diperbaiki dan pelaksanaannya lebih spesifik. Untuk itu pada 20002,

2 Ketentuan WTO terhadap negara berkembang dalam menetapkan periode transisi terhadap

peraturan TRIPS, yaitu selama 5 tahun terhitung dari 1 Januari 1995 hingga 1 Januari 2000. Tertuang dalam The TRIPS Agreement, Artikel 65.

3

Vietnam berkomitmen pada TRIPS untuk memperbaiki sistem legal HAKI.

Namun upaya untuk menyesuaikan regulasi WTO telah berlangsung jauh sejak

tahun 1995. Proses pengajuan keanggotaan hingga akhirnya Vietnam resmi

diterima sebagai anggota WTO memakan waktu yang lama, Vietnam resmi

menjadi anggota WTO pada 11 Januari 2007 sebagai anggota ke 1503. Isu HAKI

merupakan isu sensitif bagi negara berkembang, isu ini disampaikan dalam

Putaran Uruguay yang berlangsung selama 8 tahun.4 Bagaimanapun relasi yang

terbentuk antara perdangan bebas dan HAKI adalah kuat dan saling mendukung.

Vietnam mengalami sebuah tantangan besar dalam mengupayakan

keanggotaan dalam WTO. Vietnam telah menjadi observer5 WTO semenjak 1995.

Isu HAKI dipilih karena Vietnam sebagai perwakilan negara berkembang

memiliki tantangan yang kompleks dalam menghadapi perdagangan global.

Terlebih saat ini perdagangan dan HAKI merupakan isu sensitif bagi negara

berkembang, keduanya pun memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain.

Hal ini harus dijadikan perhatian khusus bagi negara berkembang karena

Dikutip dari World Trade Organization, Overview: The TRIPS Agreement, <http://www.wto.org/english/tratop_e/TRIPs_e/intel2c_e.htm>, diakses pada 29 November 2013. 3 World Trade Organization, Accessions: Vietnam (online),

<http://www.wto.org/english/thewto_e/acc_e/a1_vietnam_e.htm>, diakses pada 03 Juni 2013. 4 Putaran Uruguay berlangsung pada 1986-1994. Pertemuan ini dihadiri oleh 128 negara anggota

dan merupakan pertemuan yang paling besar dari putaran sebelumnya. Dalam putaran ini untuk pertama kalinya peraturan intellectual property rights pertama kali diperkenalkan dalam sistem perdagangan multilateral. Dikutip dari World Trade Organization, Understanding the WTO: Intellectual Property, <http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/agrm7_e.htm>, diakses pada 29 November 2013. 5 Observer status merupakan kondisi negara yang mengupayakan keanggotaan terhadap suatu

organisai internasional ditunjukkan dengan beberapa komitmen dalam aspek dan poin peraturan yang diharapkan dalam organisasi tersebut.

4

keberhasilan negara untuk bertahan dalam perdagangan internasional adalah

dengan menjaga iklim investasi dan menjamin HAKI juga menyesuaikan

peraturan in line dengan mekanisme WTO.

Vietnam dipilih dalam penelitian ini karena ketertarikan penulis terhadap

pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada dekade belakangan ini. Hal tersebut

dilatarbelakangi oleh keberhasilan reformasi Doi Moi yang diberlakukan mulai

tahun 1986. Sistem regulasi Vietnam belum mendukung sepenuhnya berkaitan

dengan pemenuhan HAKI. Terdapat beberapa kasus yang tidak dapat diselesaikan

oleh pengadilan karena keberadaan hukum HAKI sebatas “sub-law” sehingga

tidak memiliki status legal karena bukan dianggap hukum inti. Pemberlakuan

standar harmonisasi menjadi pertanyaan dalam studi kasus ini. Melalui tulisan ini

akan diulas mengenai upaya Vietnam dalam merespon sistem regulasi HAKI,

khususnya Kekayaan industrial sebagai tantangan perlindungan dan penegakkan

hukum pada hak tersebut di era globalisasi, juga akan dilihat praktek harmonisasi

terhadap ketentuan WTO.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang diajukan penulis adalah

Apa tantangan perlindungan dan penegakkan hukum kekayaan industrial

Vietnam dalam TRIPs Agreement ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada

riset ini akan mengulas kebijakan-kebijakan yang Vietnam buat sebelum dan

sesudah bergabung dalam WTO dan sejalan dengan komitmennya dalam TRIPS.

5

C. Landasan Konseptual

Riset ini memiliki beberapa landasan konseptual yang berguna sebagai

kerangka analisa dan membatasi fokus permasalahan. Landasan konseptual yang

digunakan adalah sebagai berikut:

i. Kekayaan-Properti Industri atau Industrial Property

Pemahaman terhadap konsep kekayaan industrial akan diawali

dengan uraian mengenai intellectual property (kekayaan intelektual).

Kekayaan intelektual merupakan hasil karya manusia yang berupa benda

seni, benda temuan, simbol, suatu penamaan, ataupun gambar yang

bertujuan untuk diperdagangkan atau dikomersialkan. Kutipan di atas

diambil dari jurnal World Intellectual Property Organization (WIPO)6.

Kekayaan intelektual harus dilindungi dengan tujuan untuk menstabilkan

iklim perdagangan dunia, WIPO menjelaskan bahwa perlindungan

terhadap HAKI merupakan sarana “oils the wheels” bagi perdagangan

dunia.

Terdapat 8 macam bentuk HAKI menurut WTO, namun semua

dikategorikan menjadi 2 bentuk yaitu :

1. Copyright

6 WIPO berdiri pada tahun 1970, merupakan organisasi internasional yang membantu jaminan

pemenuhan hak bagi para pemilik dan pencipta karya cipta intelektual di seluruh dunia. Lebih lengkap dapat dilihat pada Jurnal WIPO, http://www.wipo.int/export/sites/www/freepublications/en/intproperty/450/wipo_pub_450.pdf>, diakses pada 03 Juni 2013.

6

Macam bentuk copyright adalah ekspresi, prosedur, dan

metode operasi, program komputer, dan database.7

2. Kekayaan industrial

Macam bentuk kekayaan industrial adalah paten, trademarks,

desain industri dan indikasi geografis.8

Dikutip dari Meriam-Webster dictionary, industrial property is

intangible property rights (as ownership of a trademark or patent)

connected with agriculture, commerce, and industry.9 Kekayaan industrial

merupakan hak kekayaan intelektual (dapat berupa paten) untuk

melindungi penemuan dan desain industri juga lebih spesifik nilai-nilai

yang berkaitan dengan proses industri, ataupun pendirian pabrik

pengolahan. Kekayaan industrial muncul sebagai respon terhadap

globalisasi. Kekayaan industrial turut melindungi trademarks, service-

marks, layout design, commercial names, geographic indication dan

semua itu ditujukan untuk menjamin fair-trade.10

7 Dilindungi dalam Article 9.2, 10.1, 10.2; TRIPS Agreement. Dikutip dari Jurnal ‘Accession to The

WTO and The Intellectual property System in Vietnam’. <http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/WBI-Training/vietIPR_hai.pdf>, diakses pada 28 September 2013. 8 UK Property Office, ‘Intellectual property Rights Primer for Vietnam: A Guide for UK Companies’,

<http://www.ipo.gov.uk/ipr-guide-vietnam.pdf>, diakses pada 1 Oktober 2013. 9 Meriam-Webster Dictionary, Full Definition of Kekayaan industrial (online),

<http://www.merriam-webster.com/dictionary/industrial%20property>, diakses pada 16 Maret 2014. 10

World Intellectual property Organization, ‘Understanding Kekayaan industrial’, p.5, <http://www.wipo.int/export/sites/www/freepublications/en/intproperty/895/wipo_pub_895.pdf>, diakses pada 4 Oktober 2013.

7

“Hak kekayaan industrial are the rights of

organizations, individuals to inventions; industrial designs;

layout-designs of semi-conductor integrated circuits;

trademarks; trade names, geographical indications,

business secrets created or owned by them and rights to

repression of unfair competition.”11

Dalam isu kekayaan industrial sangat erat kaitannya dengan

kegiatan investasi. Di saat intellectual property tidak dapat

dikesampingkan dari kegiatan perdagangan, sementara kekayaan industrial

tidak dapat pula dilupakan dalam investasi. Peranan penting kekayaan

industrial dalam sebuah kegiatan investasi adalah untuk memastikan dan

menjaga pemenuhan hak atas nilai-nilai kekayaan industrial dalam

kegiatan industri dan investasi.

Contoh kegiatannya adalah pembangunan pabrik perusahaan

multinasional pembuatan sepatu asal Denmark di Vietnam. Maka investor

harus diberi jaminan akan keamanan paten, trademarks, indikasi geografis

dan lainnya agar kegiatan investasi dapat berjalan dengan lancar seperti

fungsi intellectual property di atas yaitu oils the wheels.

11

National Assembly, Socialist Republic of Vietnam, Intellectual property Right (online), 29 November 2005, <http://chinhphu.vn/portal/page/portal/English/legaldocuments/Policies?categoryId=886&articleId=10001401>, diakses pada 9 Oktober 2013.

8

ii. Prinsip Persetujuan TRIPS (TRIPS Agreement)

Pemberlakuan persetujuan TRIPS mengacu pada beberapa prinsip

utama. Prinsip-prinsip ini yang nantinya akan menjadi acuan bagi penulis

untuk menentukan tantangan yang dialami oleh Vietnam. Berdasarkan

prinsip-prinsip tersebut akan dilihat sejauh mana Vietnam dapat

mengakomodasi persetujuan TRIPS dan mengimplementasikannya

terhadap perlindungan kekayaan industrial bagi kegiatan industri dan

investasi. Putaran Uruguay menghasilkan 5 persetujuan mengenai

kerangka TRIPS, yaitu12

:

1. Principles : Prinsip-prinsip dasar sistem perdagangan dan

persetujuan bidang HAKI.

2. Protection : Perlindungan yang cukup terhadap HAKI.

3. Enforcement : Penegakan hukum bidang HAKI.

4. Dispute Settlement : Penyelesaian Sengketa.

5. Special Traditional Arrangement : Pengaturan khusus yang

diberlakukan selama periode transisi.

Pada paper ini akan mengangkat poin prinsip persetujuan TRIPS

yaitu protection dan enforcement. Hal ini dikarenakan 2 poin ini yang

sangat terlihat dalam implementasi perlindungan HAKI di Vietnam.

Protection merupakan komitmen negara anggota untuk melindungi HAKI

sesuai dengan standar yang telah telah ditetapkan oleh TRIPS. Dalam hal

ini protection atau perlindungan yang diharapkan harus sesuai dengan 12

Sekilas WTO (World Trade Organization), Direktorat Perdagangan dan Perlindungan Multilateral, Direktorat Jendral Multilateral Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, Departemen Luar Negeri, 2005, p. 35.

9

standar TRIPS. Akan ada standar minimal terhadap masing-masing

properti yang dilindungi. Perlindungan yang tertuang dalam persetujuan

ini berupa benda atau materi yang dilindungi, perundingan terhadap hak

beserta perijiian terhadap pengecualian, dan durasi minimal terhadap

perlindungan suatu materi. Pada dasarnya persetujuan TRIPS dibuat

dengan referensi terhadap Konvensi Paris dan Konvensi Berne. Maka

banyak regulasi yang dibuat untuk memperkuat keberadaan hukum yang

telah ada sebelumnya. Contohnya pada artikel 2.1 dan 9.1 yang secara

jelas mengatakan bahwa negara anggota harus menaati artikel artikel

tertentu dari 2 perjanjian terdahulu.13

Poin enforcement atau penegakan hukum merupakan daya ikat

TRIPS yang mengharuskan negara anggota menegakkan hukum terhadap

HAKI. Prosedur domestik dan solusi untuk penegakan HAKI adalah inti

dari poin ini. Selain itu penegakan hukum juga melingkupi prosedur

administrasi terhadap suatu materi kekayaan intelektual, peraturan

sementara, dan tersedianya prosedur dan solusi terhadap para pemegang

hak supaya mereka dapat menegakkan hak-haknya. Dalam persetujuan

TRIPS menetapkan prinsip-prinsip umum yang berlaku untuk semua

prosedur penegakan HAKI. Meskipun TRIPS Agreement dibuat

berdasarkan referensi dari WIPO yang memiliki kelemahan peraturan

prosedural dalam kewajiban penegakan hukum, namun WTO berupaya

agar terjadi penggabungan yang positif antara WIPO dan TRIPS.

13

World Trade Organization, Overview the TRIPS Agreement, < http://www.wto.org/english/tratop_e/TRIPs_e/intel2_e.htm>, diakses pada 24 Maret 2014.

10

Peraturan yang tertuang dalam TRIPS merupakan inovasi dari

penambahan atas regulasi WIPO Conventions dan diperkuat dengan

proteksi terhadap HAKI.14

Negara memiliki banyak aktor rasional yang terlibat dalam

kegiatan politik. Aktor tersebut memiliki pertimbangan untung rugi dalam

suatu keputusan atas pemenuhan terhadap perjanjian internasional.

Penegakkan hukum dalam suatu komitmen perjanjian melalui dua

komponen yaitu pengawasan (monitoring) dan sanksi (sanctions).15

1. Pengawasan dibutuhkan supaya kegiatan yang berlaku atas

sebuah perjanjian tersebut lebih transparan.

2. Sanksi dibutuhkan agar para aktor memiliki ketakutan untuk

melakukan pelanggaran.

iii. Regime Compliance

Sistem interaksi internasional saat ini memunculkan

interdependensi yang tinggi antar negara. Perjanjian internasional

merupakan sarana memfasilitasi interdependensi tersebut. Bentuk dari

perjajian internasional tersebut beragam meliputi bentuk dan ukuran

perjanjiannya-formal atau informal, bilateral atau multilateral, universal

14

P. V. D. Bosch, The Law and Policy of The World Trade Organization : Text, Cases, and Materials, 2

nd edition, Cambridge University Press, Cambridge, 2008, p.171.

15

J. Tallberg,’ Paths to Compliance: Enforcement, Management, and the European Union’, International Organization, Vol. 56, No. 3 (Summer, 2002), p.612.

11

atau regional.16

Suatu negara yang menginginkan integrasi pada suatu

sistem organisasi besar, terlebih dahulu harus menyesuaikan dan

mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh organisasi tersebut.

Pemenuhan terhadap rejim (Regim Compliance) adalah suatu

kondisi ketika negara tergabung dalam suatu perjanjian maka mereka akan

merubah perilaku, sikap, dan hubungan terhadap suatu hal yang diatur

dalam perjanjian tersebut.17

Dan ini merupakan bentuk kepatuhan mereka

terhadap tanggungjawab yang harus dilaksanakan. Peraturan yang dibuat

oleh organisasi iternasional mengakomodasi kepentingan seluruh negara

yang tergabung dalam rejim tersebut. Dalam hal ini kerangka nilai

menyesuaikan regim internasional. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh

negara dalam menyesuaikan peraturan tersebut adalah nilai, struktur, dan

proses politik di level nasional.18

Pada abad 20, kegiatan politik ekonomi negara tidak terlepas dari

ketergantungan antar negara. Hal yang menjadi masalah dari poin tersebut

adalah “bagaimana national treatment menjadi international-norms?”.

Kutipan tersebut menyuratkan pengertian bahwa dalam berkegiatan

dengan rejim internasional, maka negara harus dapat menyesuaikan

mekanisme perlakuan nasional seiring dengan norma internasional dan

nantinya membawa norma tersebut diimplementasikan kembali melalui

16

A. Chayes & A.H. Chayes, ‘On Compliance’, International Organization, Vol. 47, No. 2 (Spring, 1993), p 177. 17

A. Chayes & A.H. Chayes, p.177. 18

S. Haggard & B.A. Simmon, ‘Theories of International Regimes’, International Organization, Vol.41, No. 3 (Spring, 1987), p.492.

12

kebijakan nasional. Konsep ini berlaku pada syarat dan ketentuan

keanggotaan WTO. Working party menilai komitmen negara dalam

menyesuaikan peraturan perdagangan dan sistem hukum dalam WTO.

Akan diberikan periode transisi bagi negara untuk membuat perubahan

struktural dan legislatif yang diperlukan untuk menaati dan melaksanakan

komitmen WTO.

D. Argumentasi Utama

Vietnam menjadi observer WTO sejak 1994 dan pada saat itu Vietnam

mengupayakan penyesuaian terhadap peraturan WTO-pada saat itu masih GATT.

Keanggotaan Vietnam dalam WTO dicapai dengan upaya compliance terhadap

peraturan TRIPS meskipun negara ini belum menerapkan seluruhnya peraturan

secara rigid. Tantangan yang dihadapi oleh Vietnam mengacu pada standar

perlindungan dan penegakkan hukum yang belum dapat dilaksanakan dengan baik

oleh Vietnam, juga tuntutan dunia internasional akan penyelarasan peraturan.

Berbagai pelanggaran dan pembajakan masih terus berlaku disaat Vietnam telah

berkomitmen untuk menaati persetujuan TRIPS.

Kondisi yang kontradiktif terjadi setelah Vietnam resmi menjadi anggota

WTO. Lemahnya daya ikat hukum membuat pelanggaran tersebut semakin

meluas dan Vietnam dianggap melanggar komitmen yang ada dalam perjanjian.

Terdapat beberapa titik kelemahan pada Vietnam dalam menjalin hubungan

dengan WTO. Posisi sebagai negara berkembang sangat mempengaruhi cara

diplomasi ekonomi negara. Hal ini tentunya berimbas pada perlidungan dan

13

penegakkan hukum yang seharusnya berlaku sesuai standar TRIPS. Bergabungnya

Vietnam dalam WTO belum dapat menjamin keamanan perlindungan hak

kekayaan industrial. Hal tersebut dikarenakan perlindungan dan penegakkan

hukum kekayaan industrial righhts masih belum terbentuk dengan baik di

Vietnam.

E. Metode Penulisan

Dalam skripsi ini, penulis melakukan tiga tahap penelitian, yaitu :

Tahap satu, proses pengumpulan data. Penulis mengumpulkan data dengan

menggunakan metode pengamatan dan klasifikasi dari berbagai sumber yang

dipublikasikan melalui buku, jurnal, artikel dan referensi online dari internet.

Penulis menggunakan referensi literatur dan online dari berbagai macam sumber

yang dapat dipercaya kebenarannya.

Tahap dua, pengolahan data. Pada proses ini, penulis melakukan olah data

berdasarkan tujuan skripsi ini. Setelah memperoleh data, penulis melakukan

analisis menggunakan konsep yang telah disebutkan dalam landasan konseptual,

seputar kebijakan Vietnam terkait dengan isu kekayaan industrial dan mengamati

keterlibatan Vietnam dalam forum diskusi TRIPS. Kemudian dilakukan

perbandingan untuk melihat tantangan yang dihadapi oleh Vietnam. Metode

tersebut diterapkan pada objek kebijakan sebelum bergabung dalam WTO dan

setelah bergabung dalam WTO.

14

Tahap tiga, pelaporan data. Dalam metode ini penulis menggabungkan

data yang telah diperoleh dan diolah kedalam penjelasan yang sistematis yang

bersifat deskriptif-analitis.

F. Sistematika Penulisan

Dalam membahas rumusan masalah yang diangkat, penulis membagi

sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I - Membahas mengenai latar belakang dan landasan konseptual yang

akan dipakai dalam penulisan. Rumusan masalah yang menjadi topik utama

pembahasan juga disampaikan pada bab ini.

BAB II – Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai kebijakan

kekayaan industrial Vietnam sebelum diangkat menjadi anggota WTO. Akan

dilihat bagaimana upaya Vietnam sebagai negara observer untuk menjadi anggota

tetap WTO.

BAB III – Pembahasan mengenai praktek perlindungan dan penegakan hukum

yang ada di Vietnam akan dibahas dalam bab ini. Akan dilihat bagaimana

tantangan yang dialami oleh Vietnam dalam pelaksanaan TRIPs Agreement.

BAB IV – Analisa tantangan yang muncul terhadap upaya

pengimplementasian persetujuan TRIPS bagi Vietnam.

BAB V – Kesimpulan.