Urbanisasi Vietnam Makalah ( John Edit)

download Urbanisasi Vietnam Makalah ( John Edit)

of 15

Transcript of Urbanisasi Vietnam Makalah ( John Edit)

BAB I 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Apa itu Urbanisasi? Definisi urban dapat berdasarkan jumlah penduduk, bentuk kegiatan ekonomi nya (bergerak di bidang agrikultur atau tidak), kondisi infrastrukturnya (jalan, penerangan dan air bersih) atau fungsinya (sebagai pusat administratif). Karena dasar dari pembuatan definisi tersebut berbeda, maka tidaklah mudah untuk membandingkan tingkat urbanisasi antar negara. Sebagai contoh, pemerintah cenderung untuk mengklasifikasikan desa dan daerah pinggiran sebagai kota, sehingga pemekaran lingkup ini otomatis meningkatkan populasi (pada saat desa tersebut memiliki karakter perkotaan akibat perubahan kegiatan ekonominya, ataupun adanya infrastruktur khas perkotaan dan pelayanan publik). Atau pada saat terjadi konversi guna lahan menjadi industri atau residensial, menjadikan daerah tersebut bagian dari kota, namun di luar batas administrasi kewilayahan. 1.1.2 Mendefinisikan Kota PBB mendefinisikan aglomerasi kota sebagai kawasan terbangun atau berkepadatan tinggi yang terdiri dari pusat, kawasan pinggiran dan permukiman bagi komuter yang memiliki potensi pengembangan tinggi. Kawasan tersebut bisa lebih kecil atau luas dari metropolitan; kawasan itu juga memiliki pusat kota dan kawasan pinggiran atau area yang menempel dengan kawasan tersebut secara fungsional. Kawasan metropolitan adalah sebuah kawasan formal bagi pemerintah daerah yang umumnya terdiri dari kawasan kota, dan area primer untuk penglaju. Sedangkan pusat kota (city proper) adalah unipolitikal jurisdiksi dimana terdapat pusat historis dari sebuah kota. Berikut adalah hasil analisa dari berbagai negara di dunia mengenai kriteria dan metode yang digunakan oleh pemerintah untuk mendefinisikan kota: 105 negara menggunakan batasan administratif sebagai kriteria, sehingga memperkecil lingkup definisi kota sebagai bentuk jurisdiksi lokal seperti ibu kota, pusat provinsi, kota, dll. 83 diantaranya menggunakan jenis kriteria ini untuk membedakan antara desa dengan kota. 100 negara mendefinisikan kota berdasarkan besaran populasi atau kepadatan penduduk dengan konsentrasi minimum antara 200 sampai 50,000 penduduk; 57 negara menggunakan kriteria ini sebagai kriteria dasar dalam mendefinisikan kota. 25 negara menggunakan karakteristik sektor ekonomi sebagai kriteria pendefinisian kota - umumnya, proporsi tenaga kerja yang bergerak di kegiatan non-agrikultur. 18 negara mengunakan keberadaan infrastruktur sebagai kriteria, termasuk adanya jalan beraspal, fasilitas air bersih, sistem penyaluran kotoran atau ketersediaan aliran listrik. Sumber: UN-HABITAT, State of the Worlds Cities 2006/2007,2006

1.1.3 Urbanisasi di Asia Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, telah terjadi perubahan pola kependudukan yang signifikan di Asia. Salah satu bentuk perubahan tersebut, dan juga yang paling dramatis, adalah jumlah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan antara persentase penduduk yang tinggal di kota di Asia, dengan total populasi penduduk secara keseluruhan yang terus meningkat. Pada tahun 1950, sekitar 232 juta orang tinggal di kota dan merupakan 17% dari total populasi di Asia. Namun pada tahun 2005, jumlah populasi penduduk yang hidup di perkotaan di Asia meningkat menjadi 1,6 milyar atau sekitar 40% dari keseluruhan jumlah populasi di kawasan Asia. Pertumbuhan di kawasan Asia terus melaju, dan demikian juga dengan laju urbanisasinya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa tingkat urbanisasi di Asia pada tahun 2005 hingga 2010 akan meningkat dengan tingkat pertambahan 2,5% per tahun. Dengan menggunakan kecepatan laju tersebut, maka diasumsikan setengah dari seluruh penduduk di Asia akan tinggal di kota pada tahun 2025. Hal ini juga berarti pada tahun 2030, satu dari dua penduduk perkotaan di dunia berasal dari Asia.

BAB II 2.1 Tujuan Makalah ini bertujuan untuk membahas problematika yang terdapat pada urbanisasi, khususnya di negara Vietnam. Secara spesifik, makalah ini akan membahas mengenai permasalahan-permasalahan yang sudah dan/atau mungkin ditimbulkan oleh urbanisasi di Vietnam, serta metode penanggulangan yang sudah atau dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut.

2.2 Ruang Lingkup Materi Makalah ini pembahasannya terbatas pada persoalan urbanisasi di negara Vietnam, berikut masalah-masalah yang akan dibahas berikut cara penanggulangannya.

BAB III masalah 3.1 Latar Belakang Urbanisasi Vietnam Dengan berkembangnya komunitas pemukiman, serta muncul dan berkembangnya kotakota besar, maka timbullah semacam pembagian tugas dalam upaya pemenuhan kebutuhan suatu negara, yaitu wilayah perkotaan sebagai pusat perdagangan/perekonomian, industri, dan pemerintahan, serta wilayah pedesaan sebagai penghasil pangan utama. Masalah pun berpotensi timbul ketika kestabilan pembagian tugas ini terganggu. Khususnya di negara-negara Asia Tenggara, di mana sampai dengan awal abad ke-21 hampir seluruh pemukimannya merupakan pedesaan, sangat wajar apabila penduduk pedesaan tergiur oleh kehidupan kota yang terlihat menjanjikan lapangan kerja yang lebih baik serta kehidupan yang lebih mapan, dan kemudian diikuti oleh mobilisasi penduduk desa tersebut ke kota ataupun kota besar. Perpindahan penduduk dari desa ke kota disebut sebagai urbanisasi. Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya urbanisasi adalah pembangunan yang tidak merata pada desa dan kota, serta keinginan untuk hidup yang lebih mapan, dan tersedianya lapangan kerja yang lebih banyak. Bila urbanisasi terjadi dalam skala yang cukup besar, maka akan terjadi penurunan jumlah penduduk pedesaan dan peningkatan jumlah penduduk dan kepadatan kota yangsignifikan, yang tentu saja akan berdampak negatif pada negara tersebut. Populasi di Vietnam pada bulan Juli 2012 adalah 91,519,289 orang, dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1.054% per tahun. Jumlah penduduk perkotaan sebesar 30% dari jumlah penduduk, dan tingkat urbanisasi mengalami perubahan sebesar 3% pertahun (estimasi tahun 2010-2015). Bila melihat data di atas, maka sekurang-kurangnya laju urbanisasi akan bertambah sebesar 300.000 orang per tahun. Tentu ini akan berdampak buruk, terutama pada sektor ekonomi dan pangan. Maka dari itu, perlu program penanggulangan yang efektif dan tepat. 20 tahun setelah Doi Moi (Masa Renovasi), urbanisasi di Vietnam berkembang pesat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pada tahun 1990, hanya ada 500 kota yang berkependudukan banyak. Pada tahun 200, bertambah menjadi 649 dan pada tahun 2003 sudah mencapai 656. Sekarang sudah mencapai 753 kota. Proporsi penduduk kota juga bertambah dari 23,7% pada tahun 1999 menjadi 29,6% pada 2009. Urbanisasi terjadi di seluruh negeri, tetapi prosesnya tidak merata. Bagian utara memiliki penduduk lebih sedikit daripada bagian selatan. Laju urbanisasi pada awal dekade dari abad ke-21 terkait erat dengan struktur ekonomi dan sosial yang berangsur-angsur berubah. Perubahan ini termasuk pendidikan dan ketersediaan lapangan kerja.

Urbanisasi terjadi tidak merata di seluruh negeri. Daerah Tenggara (Southeast) memiliki urbanisasi terbanyak jika dibandingkan dengan yang lain, diikuti oleh daerah Red River Delta dan daerah Central Highlands. Tetapi, perlu diketahui bahwa adanya kota besar juga mempengaruhi urbanisasi. Di Southeast, ada Ho Chi Minh, di Red River Delta ada Hanoi dan Hai Phong, di Central Highlands ada Da Nang dan Can Tho.

3.2 Penyebab Urbanisasi Vietnam Dibandingkan dengan negara lain dengan proporsi penduduk perkotaan mulai dari 6% di Rwanda sampai 100% di beberapa negara kota, Vietnam, dengan hampir 30% penduduknya tinggal di daerah perkotaan, adalah jelas, bukan negara yang memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi. Tetapi, pada tahun 1970, tingkat urbanisasi di Vietnam adalah serupa dengan negara di Asia Tenggara dan negara bagian lain di Asia, kecuali Asia Barat. Namun, tingkat urbanisasi di Asia Tenggara selama 25 tahun terakhir (abad ke-20) meningkat pesat menjadi 37%, sedangkan di Vietnam masih rendah, yaitu hanya 20% dari populasi di daerah perkotaan. Menurut Sensus 1999, 23,7% penduduk tinggal di perkotaan dan hasil terbaru untuk tahun 2009 menunjukkan bahwa 29,6% penduduk adalah para urban, lebih rendah dari rata-rata proporsi urban di asia tenggara 10 tahun sebelumnya.

Rendahnya tingkat urbanisasi di Vietnam telah dijelaskan oleh kementerian Konstruksi sebagai berikut: 1. di Vietnam, kota dibentuk dan dikembangkan sebagai pusat-pusat pemerintahan / fungsional. Akhir-akhir ini, kota-kota baru muncul sebagai hasil dari pembangunan ekonomi. 2. Pembentukan dan pengembangan kota di Vietnam ini terhambat oleh i) kurangnya kesempatan bekerja dan ii) miskinnya infrastruktur teknis (rumah, penyediaan air, listrik, transportasi, rumah sakit, sekolah, dll serta manajemen perkotaan yang miskin) 3. terdapat kecenderungan untuk mendukung kebijakan keseimbangan pertumbuhan untuk mengurangi terjadinya kesenjangan antara perkotaan dan daerah pedesaan dan dalam proses itu, kota-kota besar sering membatasi pertumbuhan penduduk.Di Vietnam, kota adalah unit administratif dan masuk didalamnya daerah di sekitarnya. Pada 1989, Ho Chi Minh hanya memiliki 75% daerah rural (yang berpenduduk), sedangkan hanya sepertiga daerah rural di Hanoi dan Hai Phong. Sekarang, Hanoi memiliki jumlah penduduk 60% dari sebelumnya,

karena daerah di sekitarnya tidak diperhitungkan dan daerah perkotaannya sudah berkembang diantara 2 sensus. Hal ini terjadi karena daerah di sekitarnya lebih rural, sehingga terjadi kemunduran angka rural. Perkembangan urbanisasi paling terlihat di Hanoi dan Ho Chi Minh. Pada periode 1989-1999 dan 1999-2009, jumplah populasi bertambah hingga 1,5 kalinya, dan juga mnjadi sepertiga dari total penduduk. Walaupun begitu, area rural tidak begitu bertambah. Jadi singkatnya, area yang urbanisasinya rendah, lebih banyak orang yang keluar ke daerah lain, sedangkan area yang urbanisasinya tinggi, lebih banyak orang masuk kedalamnya.

Proses terjadinya urbanisasi disebabkan oleh berbagai faktor pendorong dan penarik. Faktor pendorong antara lain : 1. kualitas hidup yang rendah di tempat asal, 2. minimnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak, 3. kerawanan bencana seperti banjir, tsunami, longsor, gempa bumi. Faktor penarik antara lain : 1. kesempatan kerja dengan gaji lebih besar,

2. Pendidikan yang lebih baik, 3. Pelayanan kesehatan yang lebih memadai, 4. Banyaknya sarana hiburan, 5. Kebebasan perorangan dari budaya yang dahulu yang dirasa mengekang. Penduduk desa yang mayoritas bekerja di sektor agrikultur, sangat bergantung pada kondisi cuaca, ketersediaan lahan, dan tingkat kesuburan tanah. Jika memasuki musim yang kemarau atau penghujan terus menerus, hasil panen pun akan gagal dan petani merugi. Di sisi lain, petani yang penghasilannya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup, harus meminjam uang yang tidak sedikit guna memperbesar lahan untuk meningkatkan produktivitas dengan membeli teknologi yang digunakkan, bibit unggul dan obat anti hama yang relatif mahal. Melihat sulitnya memperoleh penghasilan yang tidak mencukupi di desa, maka tak heran banyak orang pedesaan menuju ke kota. Di kota dibutuhkan pembantu rumahtangga, buruh bangunan, pedagang kaki lima dan lain-lain yang penghasilannya lebih mencukupi kebutuhan hidup daripada bekerja di desa. Urbanisasi dari tahun ke tahun semakin banyak sehingga lapangan pekerjaan yang tersedia juga semakin terbatas dan pada akhirnya banyak para urban yang terpaksa tinggal di pemukiman kumuh. Hal itu berakibat sanitasi dan drainase yang tidak baik. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera mengatasi urbanisasi. Secara umum, 5 Alasan dilakukannya migrasi dari desa ke kota (urbanisasi): 1. Faktor Pendukung dan Penghambat Migrasi. Penduduk bermigrasi karena mereka terpaksa keluar dari daerah asalnya akibat rendahnya kualitas hidup di daerah tersebut, atau adanya daerah-daerah yang menjanjikan kesempatan untuk hidup lebih layak. Seringkali seseorang memutuskan untuk melakukan migrasi karena kombinasi dari kedua faktor di atas. Beberapa penduduk terpaksa keluar dari daerah asalnya karena mereka tidak bisa mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk kehidupan yang layak. Faktor lain adalah kerawanan bencana di daerah tersebut, seperti banjir, kemarau ataupun gempa bumi, atau perubahan ekologis yang berkelanjutan seperti gurun-isasi atau erosi tanah. Pada saat yang bersamaan, seseorang akan merasa terdorong untuk melakukan migrasi ke daerah-daerah tertentu yang memiliki kesempatan kerja, pendidikan dan fasilitas kesehatan yang lebih baik, atau lebih adanya kebebasan dari struktur sosial dan budaya yang dirasa mengekang. 2. Minimnya Kesempatan untuk memiliki penghasilan yang layak dari kegiatan agrikultur. Kebanyakan penduduk desa bekerja di sektor agrikultur yang merupakan sektor yang sangat tergantung dengan kondisi cuaca, serta ketersediaan lahan dan tingkat kesuburan

tanah. Selain itu, tanah miliknya tergolong kecil sehingga mereka terpaksa berhutang dan seringkali terpaksa menjual tanahnya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan melunasi hutangnya. Akibatnya, penghasilan di desa cenderung kecil. Untuk meningkatkannya, maka para petani kecil harus meningkatkan produktivitas mereka, yang membutuhkan jumlah sokongan dana yang tidak sedikit untuk membayar fasilitas teknologi yang dibutuhkan, bibit tanaman unggul ataupun obat anti hama yang relatif mahal. Pilihan yang tersedia adalah menambah penghasilan mereka dengan pekerjaan tambahan yang tidak terkait dengan sektor agrikultur, baik pekerjaan yang terdapat di desa, ataupun di kota untuk sementara, sebagai buruh bangunan, pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, dan pekerjaan informal lainnya yang umum ditemukan di perkotaan. 3. Migrasi ke kota meningkatkan kesempatan mencari pekerjaan yang lebih baik. Bahkan bagi rumah tangga di pedesaan yang mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinya dari hasil pertaniannya, umumnya hasil tersebut lalu digunakan untuk mendanai anak mereka mencari pekerjaan di kota. Selain ketersediaan lapangan kerja yang jauh lebih besar dibanding di desa, kota juga menawarkan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang lebih baik, serta kebebasan untuk melakukan kegiatan sosial. Karena budaya kota cenderung lebih permisif dibanding nilai-nilai tradisional dan struktur hirarkis yang ketat di desa, kota juga menawarkan para migran muda dan anak-anaknya kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan mobilitas vertikal ke strata sosial yang lebih tinggi. 4. Informasi mengenai apa yang kota bisa tawarkan. Walaupun beberapa rumah tangga tidak punya pilihan lain selain meninggalkan kampung asalnya untuk dapat bertahan hidup, namun kebanyakan penduduk desa memilih untuk melakukan migrasi berdasarkan pilihan. Peningkatan jaringan transportasi, ketersediaan telepon selular, meningkatkan komunikasi dan jejaring dengan kenalan mereka di kota, telah membuat penduduk desa paham mengenai keuntungan (ataupun kerugian) untuk pindah ke kota. Terutama informasi mengenai kesempatan kerja serta kondisi huni di perkotaan. 5. Memenuhi kebutuhan rumah tangga di desa. Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, anggotanya seringkali bekerja terpencar di berbagai tempat: daerah pedesaan, kota kecil dan kota besar; bahkan ke luar negeri. Hal ini dilakukan untuk memastikan keragaman sumber penghasilan sebuah rumah tangga sehingga tidak rentan terhadap kondisi ekonomi di satu tempat yang dapat mempengaruhi keamanan nansial mereka. Bentuk pengaturan seperti ini membuat anak-anak dan orang tua dapat tetap tinggal di desa, sementara anggota keluarga mereka termasuk dalam kategori angkatan kerja, dapat bekerja di kota.

3.3 Akibat dari urbanisasi di Vietnam: Urbanisasi yang tidak terkontrol di Vietnam ini menyebabkan: 1. Tidak satu pun dari kota-kota Vietnam yang mengatasi air limbah. Masalah kesehatan disebabkan oleh limbah industri yang dibuang sembarangan ini semakin bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk.

2. Motorisasi yang meningkat dari peningkatan jumlah penduduk menimbulkan kemacetan dan polusi udara. 3. Perumahan sempit dan sekitar 25% diklasifikasikan oleh Pemerintah sebagai sub-standar atau sementara. Sekitar 300.000 orang tinggal di tempat yang kumuh di Ho Chi Minh. 4. Terdapat 20% pemukiman yang tidak memiliki izin membangun.

BAB IV penangggulangan 4.1 Upaya Pemerintah Vietnam Upaya yang dapat dilakukan pemerintah setempat dalam menangani/menekan urbanisasi secara umum: 1. Upaya Peningkatan Aspek Pendidikan di Desa Hal ini dapat dilakukan dengan menggalakkan pendidikan menengah yang bersifat kejuruan. Peningkatan aspek ini dapat digunakan untuk mendorong munculnya jiwa kewirausahaan sehingga bisa menyediakan lapangan pekerjaan di desa tersebut. Tentunya dengan adanya lapangan pekerjaan di desa akan mengurangi laju urbanisasi yang terjadi. 2. Upaya Peningkatan Aspek Aksesibilitas (khususnya dalam hal transportasi) di Desa Ini merupakan faktor penting untuk menunjang aktivitas ekonomi, walau pada faktanya masih banyak desa di negara-negara ASIA yang masih memiliki aksesibilitas yang buruk. Padahal aksesibilitas tersebut berfungsi sebagai jalur penghubung terjadinya aliran barang dan jasa (aktivitas ekonomi). Melalui peningkatan aksesibilitas di desa seperti pembangunan jalan dan jembatan serta sarana telekomunikasi, pemberdayaan potensi sumber daya yang terdapat di desa dapat dikembangkan secara optimal. Adanya kemudahan akses tersebut juga bisa menjadi faktor penarik bagi pihak pemerintah dan swasta untuk bermitra dan mengembangkan aspek unggulan desa yang bersangkutan. 3. Pemberdayaan Potensi Utama Desa Salah satu cara untuk mengembangkan potensi desa dapat dilakukan sesuai dengan sumber daya yang ada seperti potensi agrobisnis maupun aspek pariwisatanya. Potensi agrobisnis di desa dapat dilakukan dengan pengembangan dan pemasaran yang lebih menjual sehingga potensi tersebut dapat terberdayakan. Dengan sendirinya lapangan pekerjaan akan tersedia sehingga dapat mengurangi laju urbanisasi yang terjadi. Demikian pula dengan aspek pariwisata yang mampu menambah lapangan pekerjaan di desa. Pemerintah Vietnam pun memberikan jaminan bahwa lahan pertanian yang ada tidak akan beralih fungsi (misalnya berubah menjadi perumahan, real-estate, pabrik-pabrik, atau hal lain sebagainya). Hasilnya, para petani akan merasa tenang dan bisa memberikan konsentrasi penuh untuk bertani tanpa harus menjadi urban di kota karena ketakutan akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Hal ini dibuktikan dengan besarnya landman ratio (lahan pertanian per-kapita) Vietnam, yaitu 1.300 m2 per-kapita. Selain itu, karena jaminan ini,

Vietnam merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan pangan cukup tinggi (terutama beras dan gandum). Pada akhirnya, berbagai upaya yang dilakukan untuk mengurangi urbanisasi memerlukan kerja sama dari berbagai pihak mulai dari pemerintah dan penduduknya. 4. Adanya kerjasama Vietnam dengan negara Asia Pasifik lainnya, yang tergabung dalam Asia Pacific Ministers Conference on Housing and Urban Development (APMCHUD). APMCHUD diselenggarakan pertama kali di New Delhi, India, yang kemudian tanggal pelaksanaan konferensi tersebut yaitu 15-16 Desember 2006 dinyatakan sebagai tanggal berdirinya APMCHUD. Pelaksanaan APMCHUD yang ke-1 menghasilkan Deklarasi New Delhi dan kerangka tambahan tentang implementasi Urbanisasi Berkelanjutan di Asia Pasifik. Kemudian pelaksanaan APMCHUD yang ke-2 di Teheran, Iran, pada tanggal 12-14 Mei 2008, menghasilkan Deklarasi Teheran dan Rencana Aksi untuk Kerjasama Regional tentang Promosi Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan di Asia Pasifik. APMCHUD ke-3 diselenggarakan pada tanggal 22-24 Juni 2010 di Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Tema yang ditentukan untuk APMCHUD ke-3 adalah Empowering Communities for Sustainable Urbanization - with Special Focus on Adaptation to Climate Change and Strengthening the Local Economy (Pemberdayaan Komunitas untuk Urbanisasi Berkelanjutan, dengan Fokus Khusus pada Adaptasi terhadap Perubahan Iklim dan Penguatan Ekonomi Lokal). Dari tema tersebut, pembahasan dibagi ke dalam lima kelompok kerja secara paralel, yang terdiri dari: 1) Perencanaan dan Manajemen Perkotaan dan Perdesaan; 2) Peningkatan Kualitas Kawasan Kumuh Perkotaan; 3) Pelaksanaan MDGs (Millenium Development Goals) untuk Air dan Air Limbah; 4) Pembiayaan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan; 5) Penanganan Urbanisasi Berkelanjutan yang Berkaitan dengan Perubahan Iklim.

BAB V 5.1 Kesimpulan Perpindahan penduduk dari desa ke kota disebut sebagai urbanisasi. Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya urbanisasi adalah pembangunan yang tidak merata pada desa dan kota, serta keinginan untuk hidup yang lebih mapan, dan tersedianya lapangan kerja yang lebih banyak. Bila urbanisasi terjadi dalam skala yang cukup besar, maka akan terjadi penurunan jumlah penduduk pedesaan dan peningkatan jumlah penduduk dan kepadatan kota yangsignifikan, yang tentu saja akan berdampak negatif pada negara tersebut. Hal ini terjadi hampir di seluruh negara, terutama di Vietnam. Urbanisasi yang meningkat ini menimbulkan banyak masalah, tidak hanya pada masalah ekonomi, tetapi juga peningkatan wilayah kumuh dan polusi udara. Dibutuhkan kerjasama pemerintah untuk dapat menanggulangi masalah ini. Di Vietnam, pemerintah telah melakukan beberapa perbaikan fasilitas di desa dan melakukan beberapa kerja sama dengan negara lain untuk mempermudah mengatasi masalah ini. 5.2 Saran Seharusnya pembangunan secara bertahap harus dapat diratakan antara pedesaan dan perkotaan sesuai dengan bidang ekonomi dan sosialnya. Misalnya saja di perkotaan dibangun mal, maka di pedesaan dapat dibuat semacam taman hiburan/pasar supaya roda perekonomian dapat terus berjalan selaras dan tidak terjadi pelonjakan kepadatan penduduk di perkotaan dan kesenjangan yang tinggi antara kota dan desa.

DAFTAR PUSTAKAUnited Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific dan United Nations Human Settlements Programme, Perumahan Bagi Kaum Miskin di Kota-Kota Asia, Jakarta: 2008. dapat diungguhmelalui:http://ciptakarya.pu.go.id/habitat/DownLoad/Award/Dubai/Panduan%20Ringkas%201 %20URBANISASI.indd-NPS.pdf

UNFPA, Migration and Urbanization in Vietnam: Patterns, trends and differentials. Hanoi: 2011. Dapat diungguh melalui: http://unfpa.org/webdav/site/vietnam/shared/Census%20publications/7_MonographMigration-Urbanization.pdf