BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
-
Upload
nguyenlien -
Category
Documents
-
view
259 -
download
3
Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah:
Superhero atau pahlawan dengan kekuatan super, belakangan menjadi
salah satu topik yang banyak diperbincangkan di masyarakat. Maraknya tindak
kejahatan dan ketidak adilan menjadi salah satu pemicu kehadiran superhero ini
diharapkan di masyarakat. Dengan latar yang demikian superhero-superhero ini
kemudian hadir dalam bingkai yang dikemas menarik yang mampu menjadi
suguhan hangat bagi masyarakat. Komik, cerita fiksi, novel, hingga film
kemudian menyuguhkan superhero sebagai salah satu sajian untuk memenuhi
hasrat masyarakat yang haus akan kehadiran sosok pahlawan ditengah-tengah
mereka.
Marvel dan DC Comics menjadi contoh perusahaan besar yang banyak
mengangkat tokoh superhero dalam „kemasan sajian‟ mereka. Beberapa tokoh
superhero yang terkenal seperti Iron Man, Captain Amerika, Spiderman
merupakah beberapa tokoh superhero ternama yang menjadi „pokok sajian‟ dari
Marvel komik. Sementara itu, Superman dan Batman menjadi karakter superhero
utama yang banyak ditampilkan oleh DC komik. Tidak hanya dari komik, tokoh-
tokoh superhero itupun akhirnya dibuat film untuk lebih menarik perhatian
khalayak, utamanya publik Amerika Industri perfilman yang berkembangpun
mengikuti dari negara adidaya tersebut yang semakin besar dan berkembang
hingga saat ini dan dikenal dengan industri perfilman Hollywood.
Tidak kalah dengan Amerika, di Indonesia-pun sebenarnya ada beberapa
karakter tokoh superhero yang sudah lama ada dan dikenal masyarakat.
Gatotkaca, Srikandi, Darna, Aquanus, Pangeran Melar hingga Gundala Putra
Petir menjadi beberapa contoh karakter superhero yang ada di Indonesia. Bermula
dari cerita rakyat tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang masih dikenal hingga
saat ini di masyarakat Indonesia, kemudian beberapa tokoh superhero lain seperti
Srikandi, Darna, Aquanus hingga Gundala Putera Petir kemudian di buat
komiknya untuk mengobati rasa haus masyarakat terhadap kehadiran tokoh-tokoh
2
superhero. Namun kehadiran beberapa tokoh-tokoh superhero lokal itupun
memliki karakter dan kekuatan seperti halnya tokoh superhero dari Amerika.
Menjadi lebih menarik kemudian ketika komik-komik superhero lokal
seperti yang disebutkan di atas diangkat kedalam media yang lebih hidup, yang
tidak hanya dapat dinikmati dari bentuk visualnya saja tetapi juga ada audio
didalamnya. Hingga pada akhirnya tokoh-tokoh superhero tersebut dimunculkan
ke dalam bentuk film yang bukan hanya sebagai gambar animasi. Di awali dari
film superhero Si Pitung (1931) yang memiliki keahlian ilmu bela diri, Kemudian
dilanjut pada tahun 1970-an terdapat film Si Buta dari Gua Hantu dan Panji
Tengkorak, dan pada tahun 1982 film Gundala Putera Petir akhirnya dibuat. Film
Gundala Putera Petir sendiri yang awalnya dari komik populer karya Hasmi
kemudian diangkat menjadi film ternyata juga banyak menarik perhatian
masyarakat saat itu. Bahkan saking fenomenalnya tokoh Gundala Putera Petir
itupun, hingga saat ini terdapat film baru yang diangkat dari tokoh Gundala
tersebut1.
Tokoh-tokoh superhero lokal baik yang terdapat dari komik hingga film,
beberapa dari mereka dapat dikatakan merupakan adaptasi dari tokoh-tokoh
superhero asing yang kemudian diciptakan kembali, direpresentasikan dan
dileburkan dengan budaya Indonesia sehingga terasa masih kental dengan ke-
Indonesiaan. Superhero Darna misalnya, superhero ini memiliki karakter dan
kekuatan yang sama seperti tokoh superhero WonderWomen yang merupakan
koleksi superhero DC komik dan tokoh superhero bernama Darna yang serupa
diciptakan oleh komikus dari Filipina. Sementara itu, tokoh superhero Gundala
Puetera Petir, memiliki karakter dan kekuatan seperti superhero The Flash dari
koleksi komik superhero DC. Beberapa karakter dan kekuatan lain hampir sama
pula memiliki kesamaan dengan tokoh superhero Amerika, seperti Panji Manusia
Millenium dan Kalong serupa dengan Batman, Aquanus dan Pangeran Mlaar dari
1 Gundala Putera Petir film awal adaptasi dari komik populer milik Hasmi tahun 1969, kemudian
difilmkan pada tahun 1982. Kepopuleran tokoh Gundala kemudian diangkat kembali ke dalam bentuk film lain baik berupa film pendek berdurasi 8 menit yakni Gundah Gundala pada tahun 2013, dan Remake Gundala Putera Petir yang dijadwalkan tayang tahun 2016 lalu, namun sampai saat ini masih belum ditayangkan di bioskop meskipun pengerjaannya sendiri sudah dari tahun 2014 yang digagas oleh sutradara Hanung Bramantyo. (dikutip dari berbagai sumber).
3
dua tokoh karakter Fantastic Four, yakni Aquanus – Human Torch dan Pangeran
Mlaar – Mr. Fantastic.
Penokohan karakter superhero lokal yang beberapa memiliki kesamaan
dengan superhero asing, dalam hal ini Amerika, tidak ubahnya dilatarbelakangi
oleh berbagai hal, salah satunya adalah faktor bahwa Indonesia merupakan salah
satu negara yang pernah dijajah. Kemerdekaan yang diraih oleh negara Indonesia
dari penjajahan dapat mememunculkan perspektif poskolonial. Perpektif ini lahir
dalam upaya pembongkaran kuasa atas relasi negara jajahan dan negara penjajah.
Meskipun dalam sejarah tidak pernah dicantumkan bahwa Amerika pernah
menjajah Indonesia, namun kedigdayaan Amerika mampu masuk ke dalam
Indonesia melalui media-media yang ada di Indonesia.
Teori poskolonialisme, menurut Edward Said menjadi tombak lahirya
revolusi kesadaran manusia akan ideologi mainstream yang ada di masyarakat2.
Sebagaimana telah diketahui bahwa ideologi yang ada di masyarakat merupakan
ideologi yang telah terhegemoni oleh penguasa untuk melanggengkan
kekuasaannya3. Dengan demikian kritik atas ideologi mainstream yang dibawa
dan dilanggenggkan oleh kaum elit dan penguasa dan ditentang oleh kelompok
subaltern ini menjadi salah satu wacana kajian historis yang sangat menarik untuk
dikembangkan oleh peneliti dalam membaca wacana poskolonialisme di
Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang telah merdeka dari jajahan
bangsa Eropa lebih dari 3 ½ abad, tentunya memiliki ideologi sendiri yang
berbeda dengan ideologi negara lain. Selain itu, unsur budaya yang melekat kuat
di Indonesia yang tersebar luas di seluruh masyrakat membawa wacana ideologi
yang berbeda dari apa yang ada di negara lain. Pengelolaan atas sumber daya
kekayaan alam dan aset-aset yang telah dimiliki oleh negara juga menjadi tolak
ukur bahwa masa kolonialisme sudah tidak lagi menjadi bayang-bayang
masyarakat Indonesia. Namun bagi segilintir orang yang merasa bahwa mereka
“masih tertindas”, wacana kolonoliasme ini dimunculkan kembali dengan nama
2 Arif Dirlik. The Poscolonial Aura: Third World Critisism in The Age of Global Capitalism
3 Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik. hal. 84
4
poskolonialisme. Hal ini karena meskipun segala aset dan kekayaan sumber daya
telah dimiliki oleh negara dan bukan oleh kaum imperium, namun dalam
pelaksanaannya ada hal yang masih mengganjal di benak masyarakat.
Relasi kuasa atas kaum elit terhadap subordinat kemudian menimbulkan
pergulatan pemikiran dalam diri kaum subordinat. Arus modernisasi dan
globalisasi juga turut menghantarkan kaum subordinat yang merasa terdominasi
oleh kaum elit dan penguasa. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang
dibawa dari arus globalisasi dan modernisasi ini juga turut dirasa kaum subordinat
bahwa kehadirannya masih menimbulkan ketimpangan. Penguasaan atas alat-alat
teknologi komunikasi dan juga sumber informasi yang tidak semibang juga
memicu kaum subordinat untuk melawan kaum penguasa.
Dalam rezim Orde Baru, bentuk protes atas rezim yang berkuasa sudah
banyak terlihat. Bentuk protes tersebut diawali dari ketidakbebasan untuk
berekspresi melalui media seperti iklan, dan film membuat kaum subordinat
semakin merasa terdominasi oleh kaum elit penguasa. Puncaknya adalah masa
reformasi 1998 dimana rakyat kemudian berkumpul dan menyerang serta
meminta rezim yang berkuasa untuk turun dari jabatannya. Pasca rezim Orde Baru
tumbang, digantikan dengan reformasi dimana akses informasi dan komunikasi
terbuka luas untuk masyarakat, media-media seperti iklan dan film kemudian
digunakan sebagai wadah dan sarana masyarakat untuk menyuarakan aspirasi
mereka yang tertuang dalam karya seni iklan baik cetak maupun audio visual dan
juga dalam karya film4.
Surat kabar, majalah, film, iklan dan berbagai media lain berperan dalam
menyampaikan berbagai macam informasi kepada masyarakat. Informasi-
informasi tersebut pula yang kemudian diterima masyarakat dan oleh masyarakat
dicerna serta dipahami sesuai dengan apa yang mereka pahami. Masyarakat yang
mengenal tokoh-tokoh karakter superhero Amerika mendapatkan informasi dari
berbagai media tersebut. Kemudian mereka mengolah informasi tersebut ke dalam
bentuk baru yang mereka ciptakan sendiri dengan berbagai karakter baru yang
4 Bedjo Riyanto dalam Budi Susanto (ed). 2003. Identitas dan Poskolonialitas di
Indonesia.Yogyakarta: Kanisius. Hal. 58-59
5
dianggap memiliki rasa nasionalisme. Karakter kuat superhero yang berperan
dalam membela kebenaran dan membasmi kejahatan diciptakan sebagai pemuas
masyarakat yang haus akan sosok pahlawan yang memiliki kekuatan super untuk
menjalankan semua misi memberantas kejahatan.
Media yang digunakan oleh masyarakat untuk meyebarluaskan informasi,
salah satunya dapat berupa film. Tidak hanya sebagai media hiburan semata,
tetapi film juga digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan ide dan
gagasannya tentang suatu pemikiran yang kemudian disampaikan dalam bentuk
film. Media film banyak digunakan untuk menyampaikan gagasan tentang
pemikiran baik yang laten maupun tidak sudah banyak contohnya. Soe Hok Gie,
film yang bercerita tentang bagaimana mahasiswa yang berusaha melawan rezim
yang berkuasa saat itu menjadi salah satu contohnya. Selain itu masih ada film Ca
Bau Kan yang menceritakan representasi etnis tionghoa di Indonesia; Sang
Pencerah, juga merupakan salah satu judul film yang bercerita tentang salah satu
tokoh besar agama Islam di Indonesia KH. Ahmad Dahlan. Dan masih ada
beberapa film lagi yang bertujuan bukan hanya untuk menjadi media hiburan
semata tetapi juga sebagai media penyampai ide dan gagasan.
Dalam sebuah wacana kajian film, ada pula yang disebut sebagai Third
Cinema. Konsep ini diperkenalkan secara luas untuk membahas semua konstituen
dari pembuat film dan pada cakupan terluas dari lingkup kajian film5. Third
Cinema ini juga menjadi kajian yang menarik karena dalam pembahasannya film-
film yang dimunculkan atau diciptakan oleh para filmmaker merupakan film-film
yang dengan tujuan nonprofit komersial. Ini dikarenakan bagi para filmmaker,
bisnis industri dunia film telah dikuasi oleh kaum-kaum borjuis yang menguasai
seluruh sumber daya yang ada dan menciptakan ketimpangan sosial bagi penikmat
film dan juga bagi pembuat film kecil. Konsep Third Cinema ini kemudian juga
menarik bagi peneliti karena adanya kesamaan konsep pada peninggalan unsur
poskolinal yang diangkat dan dimunculkan kembali oleh negara-negara jajahan
atau negara dunia ketiga, salah satunya Indonesia.
5 Guneratne, Anthiny R., Dissanayake, Wimal (Ed). Rethinking Third Cinema. Routledge. 2003. hal.
1
6
Telah disebutkan di atas bahwa film telah menjadi media hiburan bagi
masyarakat. Berbagai jenis film dan genre film juga banyak dan diangkat ke layar
Lebar. Durasi film baik panjang, maupun pendek telah banyak pula dibuat oleh
filmmaker-fimmaker di Indonesia. Selain itu, film adaptasi baik dari novel,
ataupun komik yang menginsipirasi juga telah banyak bermunculan di Indonesia.
Gundala Putra Petir, 99 Cahaya di Langit Eropa, Ayat-ayat Cinta, Negeri 5
Menara menjadi bebrapa film yang diangkat dari novel dan komik laris di
Indonesia. Namun tidak hanya itu ada pula film yang dibuat kembali atau di-
remake dari film lawas yang sudah pernah ada. Genre film yang bermacam-
macam juga menjadi perhatian penikmat film. Drama, horror, action atau laga,
komedi, thriller, dokumenter hingga tema-tema khusus yang mengangkat
kepahlawanan juga menjadi beberapa genre film.
Berbagai karakter dan cerita dalam superhero jika ingin diungkapkan,
terdapat beberapa hal yang apik jika diungkapakan. Seperti hanya cerita dalam
Justice League, dimana dua superhero besar, Superman dan Batman, yang
harusnya saling mendukung, justru kemudian dihadapkan untuk saling bertarung,
ini menunjukkan seolah-olah ada persaingan dalam superhero itu sendiri. Selain
itu, pengungkapan atas identitas superhero yang selalu tertutup atau ditutup
dengan menggunakan penutup wajah sehingga masyarakat tidak mengenalinya,
juga dapat menjadi salah satu pertanyaan. Mengapa justru sosok superhero harus
menutupi dan menyembunyikan identitas mereka sebagai superhero? Apa yang
harus mereka sembunyikan dari masyarakat? Berbeda dengan itu, salah satu
pertanyaan lain juga dapat muncul tentang superhero adalah seperti baru-baru ini
masyarakat sedang ramai membicarakan Wonder Woman sosok superhero wanita
yang menggambarkan femininitas. Dalam perwujudan sosok superhero laki-laki
selalu menggunakan pakaian lengkap dan cenderung ketat namun tetap menutupi
hamipr semua bagian tubuhnya, namun mengapa kemudian Wonder Women yang
menggambarkan feminitas justru memilki kostum minim dan cenderung terbuka?
Ini berbeda pula dengan Cat Women yang juga menutup pakaiannya dengan
lengkap meskipun tetap terlihat seksi. Beberapa pertanyaan ini dapat digunakan
untuk pertanyaan penelitian yang berkaitan dengan sosok superhero. Namun
7
dalam penelitian ini, peneliti memiliki pertanyaan penelitian yang berbeda dan
penelitian ini berkaitan dengan sosok superhero dalam film.
Film Gundala Putra Petir (1982) menjadi salah satu film yang cukup
legendaris di tahun 1982. Film yang menceritakan sosok pahlawan atau superhero
lokal indonesia yang menumpas kejahatan dan menjaga perdamaian dunia dengan
kekuatan yang dimilikinya telah menarik perhatian penonton saat itu. Meskipun
film tersebut diangkat dari komik karya Hasmi, namun tetap saja asih banyak
penikmat film yang menyaksikan film tersebut saat itu. Tidak hanya berhenti
sampai disitu, Film Gundala Putra Petir juga kemudian dibuat kembali atau
diproduksi kembali pada tahun 2014 dan diperkirakan akan tayang pada tahun
20166. Namun sebelumnya film pendek Gundah Gundala juga telah mengadaptasi
tokoh superhero Gundala Putra Petir menjadi tokoh dan karakter utama dalam
filmnya. Gundah Gundala, menjadi salah satu media berupa film pendek yang
diambil peneliti untuk mengkaji bagaimana gambaran poskolonialisme yang
ditampilkan dalam sebuah media. Bercerita tentang superhero „lokal‟ – Gundala
Putra Petir – yang merasakan kegalauan dengan kehadiran superhero-superhero
import, film ini menggelitik peneliti untuk kemudian menggali kondisi
poskolonialitasisme dalam gambaran sebuah film. Wacana nasionalisme,
hibriditas dan mimikri, serta diaspora menjadi hal yang akan dibahas nantinya
untuk melihat kondisi poskolonialitasisme dalam film Gundah Gundala. Untuk
kemudian menggali lebih dalam bagaimana tokoh Gundala digambarkan dalam
dua film yakni Gundala Putra Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013),
peneliti ingin menguak gambaran poskolonial yang melekat ditampilkan dalam
dua film tersebut. Tokoh Gundala yang ditampilkan dalam film pendek Gundah
Gundala menurut peneliti merupakan bentuk pe-mimikri-an sosok superhero
lokal atas tokoh Gundala dalam fim Gundala Putra Petir akan menjadikan
penelitian ini menarik utnuk diteliti utnuk mengatahui gambaran superhero yang
dituangkan pada karya masa lalu dan masa kini.
6 http://www.21cineplex.com/m/slowmotion/gundala-putra-petir-siap-kembali-ke-layar-
lebar,5194.htm
8
B. Rumusan Masalah:
Seperti yang dijabarkan dalam latar belakang masalah di atas, dalam
penelitian ini, rumusan masalah utamanya adalah:
Bagaimana identitas superhero pada film Gundala Putra Petir (1983) dan
film Gundah Gundala (2013) menggambarkan representasi akan kondisi
poskolonialitas?
C. Tujuan Penelitian:
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menggambarkan kondisi poskolonialitas dalam film.
2. Untuk menggali lebih dalam tentang gambaran atas kondisi
poskolonialitas melalui identitas superhero dalam film Gundala Putra
Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013)
D. Manfaat Penelitian:
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:
1. Untuk menyajikan berbagai fakta kepada pembaca akan gambaran
kondisi poskolonialitas yang terdapat dalam film Gundala Putera Petir
(1982) dan film Gundah Gundala (2013) yang dituangkan dalam
identitas superhero.
2. Untuk membantu membaca memahami kondisi poskolonialitas yang
digambarkan melalui identitas superhero dalam film Gundala Putera
Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013.
E. Tinjauan Pustaka:
Untuk mendukung penelitian ini, peneliti mencari beberapa referensi yang
berhubungan dengan penelitian ini. Referensi atau tinjauan pustaka ini berguna
untuk membantu peneliti dalam menganalisis objek penelitian yang sedang
diteliti. Selain itu, tinjauan pustaka ini juga membantu peneliti untuk
9
menggambarkan dimana posisi penelitian ini dan mendapatkan perbedaan
penelitian ini dengan penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan.
Penelitian tentang film di Indonesia sudah cukup banyak dilakukan, baik
berupa skripsi, tesis, disertasi ataupun jurnal-jurnal ilmiah pernah mengangkat
film sebagai objek peneltiannya. Metode penelitian, jenis dan tema film, hingga
regulasi atau proses distribusi film pernah menjadi beberapa judul penelitian. Pada
penelitian ini, peneliti mengambil tiga penelitan yang dianggap cukup berkaitan
dengan penelitian ini.
Skripsi yang ditulis oleh Reza Akhmad Syafi‟i mengungkapkan gambaran
representasi tokoh superhero Jepang dalam film Ultima!!! Hentai Kamen7.
Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya bentuk perlawanan Superhero
Jepang atas dominasi Superhero Amerika. Metode penelitian yang digunakan
adalah analisi semiotika Roland Barthes. Dalam penelitian ini, Syafi‟i
menggunakan elemen scene dalam film yang kemudian dianalisis berdasarkan
unsur-unsur dalam film yang dimaknai berdasarkan semiotika Roland Barthes.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi tubuh ala superhero barat
direpresentasikan oleh sosok Hentai Kamen, menunjukkan globaliasasi sosok
tubuh ideal barat, namun dalam film ini kontruksi tersebut hanyalah ditayangkan
sebagai parodi yang menunjukkan sikap ketidaksukaan Jepang terhadap Amerika.
Kesimpulan lainnya adalah seksulaitas lelaki yang ditunjukkan dalam film
bertujuan memperkuat dominasi lelaki atas perempuan, hal ini sesuai pula dengan
budaya patriarki yang juga menghegemoni di Jepang. Terakhir sosok Hentai
Kamen merupakan simbol representasi penyimpangan seksual yang dianggap
abnormal dan termajinalkan di masyarakat. Peneliti menggunakan penelitian ini
sebagai contoh metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Skripsi yang dilakukan oleh Maria Rosarina, dalam penelitian yang
dilakukan oleh Maria ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana
multikulturalisme direpresentasikan melalui sebuah film pendek yang berlatar
7 Syafi’i, Reza Akhmad. 2014. Representasi Tubuh dan Seksualitas Lelaki dalam Film “Ultimate !!!
Hentai Kamen”. YogYakarta: UMY
10
pada cerita pemikiran anak-anak8. Metode penelitian yang digunakan adalah
represesntasi milik Stuart Hall dan semiotika milik Roland Barthes. Dalam
analisis film yang digunakan ini mengambil berbagai elemen dalam film yang
tidak hanya berupa percakapan tetapi elemen lain dalam film juga ikut dilibatkan.
Hasil dari penelitian ini adalah film pendek Cheng Cheng Po dapat
merepresentasikan multikulturalisme mengenai keberagaman budaya dapat
melalui unsur-unsur pada film walaupun terdapat penonjolan salah satu budaya.
Penelitian tentang ilm pendek, sebagai referensi peneliti menggunakan penelitian
milik Maria. Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang dilakukan oleh
peneliti adalah dengan menggambarkan film pendek dan film panjang.
Dua penelitian di atas menjadi referensi yang digunakan peneliti untuk
menganalisis penelitian ini. Dari ketiga penelitian tersebut, peneliti kemudian
mengambil metode analisis yang digunakan dari dua penelitian di atas yakni
semiotika milik Roland Barthes. Peneliti menggunakan semiotika Roland Barthes
untuk mencari gambaran atas kondisi poskolonialitas yang digambarkan tidak
hanya dalam satu film, namun dalam dua film, satu film panjang dan satu lagi film
pendek. Semiotika Roland Barthes dianggap pas menarik karena penelitian ini
dikaitkan dengan kritik poskolinial, dimana unsur mitos ini akan membantu
menerangkan kondisi poskolonialitas yang terjadi.
Selain dua penelitian di atas, peneliti juga mengambil beberapa penelitian
lain untuk dijadikan referensi atas penelitian ini.Penelitian yang dilakukan oleh
Ikwan Setiawan dalam film yang mengangkat wacana poskolonial; menjadi salah
satu penelitian selanjutnya yang menjadi referensi peneliti atas wacana
poskolonial. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ikwan Setiawan tahun 2008,
berfokus pada representasi perempuan dan pertarungan ideologi dalam film
Indonesia9. Perpektif ideologi dan poskolonial digunakan untuk membuat analisis,
sementara untuk metode yang digunakan dalam penelitian adalah semiotika
8 Rosarina, Maria. 2015. Representasi Multikulturalisme dalam Film Indonesia (analisis Semiotik
Film Pendek Cheng- Cheng Po). Jogjakarta: UGM 9 Setiawan, Ikhwan. 2008. Perempuan dalam Layar Bergerak: Representasi Perempuan dan
Pertarungan Ideologis dalam Film Indonesia era 2000-an (Analisis Semiotika Mitos Barthesian dan Wacana Faucauldian). Jogjakarta: UGM
11
Roland Barthes dan Wacana Foucauldian yang dilengkapi dengan perspektif
hegemoni Gramscian. Hasil dari penelitian ini adalah representasi perempuan
dalam film Indonesia era 2000-an dalam konteks ideologis tidak dapat
digeneralisir dalam satu kesimpulan tetapi terdapat beberapa kecenderungan
pilihan. Hegemonik, resisten, kompromi menengahi, merupakan beberapa
representasi yang ditampilkan dalam objek penelitian ini yang menggambarkan
perempuan. Namun disamping itu, terdapat pula film yang merepresentasikan
tokoh perempuan dalam perspektif ideologis feminis radikal dengan merayakan
kebebasan, termasuk dalam hal seksualitas dan politik tubuhnya.
Penelitian selanjutnya yang dijadikan peneliti sebagai salah satu referensi
atau tinjauan pustaka adalah dari sebuah artikel jurnal karya Scott Bukatman10
.
Artikel jurnal dari Cinema Jurnal yang berjudul “Why I Hate Superhero Movies”
ini mengangkat peneltian tentang kritiknya pada karya-karya film yang bertema
superhero. Menurut Scott, film-film bertema superherotelah menggantikan posisi
komik-komik superhero dalam budaya massa; dimana menurutnya komik
merupakan sesuatu yang berharga di pasar. Dalam jurnalnya, Scott juga
menyebutkan bahwa kehadiran film bertema superhero merupakan sebuah contoh
ketidakpatuhan. Baginya, ketidakpatuhan ini terletak pada tahapan dimana tidak
hanya pada karakter fiktiv dari ruang fantasi, tetapi media sendiri telah merubah
bentuk ketidakpatuhan komik terhadap media lain seperti sequence cronofotografi
dan film live-action.
Wacana tentang superhero ternyata juga menarik perhatian Nandini
Chandra11
untuk meneliti bagaimana gambaran prehistory komik superhero di
India. Dalam penelitiannya ini, Chandra berusaha untuk memperkaya
pengetahuannya melalui pertanyaan dasar yang mengganggunya yakni tentang
ekonomi politik dari genre superhero dan bagaimana bias superhero terjadi di
masyarakat India baik secara nasional ataupun transnasional melalui komik-komik
superhero. Hasil dari penelitiannya menunjukkan bahwa dalam komik-komik
10
Bukatman, Scott, 2011. Why I Hate Superhero. Cinema Journal..Vol. 50, No. 3(Spring 2011), UT Presss. hal. 118-122 11
Chandra, Nandini. 2012. The Prehistory of the Superhero Comics in India (1976-1986). Thesis Eleven 113 (1). University of Delhi: Sage Publication.
12
superhero pada periode 1976-1986 gambaran dalam membentuk otonomi nasional
dibentuk melalui gambaran pengenalan tokoh superhero, dimana tokoh-tokoh
superhero tersebut menerapkan peran dari kaum burjois dalam melindungi
bangsanya.Namun, disamping itu, gambaran tentang tokoh superhero dalam
komik juga menggambarkan sebuah kontradiksi dimana para tokohnya akan
melakukan tindakan genosida yang dianggap sebagai gerakan heroik.
F. Kerangka Teori:
1. Superhero dan Film
Superhero berasal dari kata super yang berarti kekuatan atau
kemampuan yang jauh lebih besar dari kebanyakan orang, dan hero
yang berarti individu berbakat yang bertindak heroik, tidak hanya
pada beberapa kesempatan, tapi berulang kali. Superhero dapat
diartikan individu yang memliki karakter heroik, universal, tanpa
pamrih, mempunyai misi proporsial, memiliki kemampuan super / luar
biasa, teknologi canggih, atau keterampilan fisik dan atau mental yang
sangat berkembang (termasuk kemampuan mistis), yang memiliki
identitas superhero.12
“Superhero memiliki katerampilan yang unik, kemampuan
supranatural, tidak diakuisisi oleh sihir, tetapi oleh keajaiban ilmu
pengetahuan modern.”13
“Superhero selalu mempunyai misi dan mencoba melakukan
kebaikan / hal-hal yang benar. Mereka memiliki nama panggilan
dan kostum yang menjadi ciri khas ikon dirinya.”14
Dari beberapa pemaparan diatas, maka superhero yang ada dibenak
masyarakat saat ini tentunya tidak jauh dari gambaran superhero yang
12
Ridwan, Male Gender pada Karakter Superhero Dalam Film Produksi Marvel Studios.Jurnal E-Komunikasi Vol. 2, No. 3. tahun 2014. UK Petra Surabaya. hal. 2 13
WinterBach, 2006 dalam, Ridwan. 2014. Male Gender Role Karakter Superhero dalam Film Produksi Marvel Studios. Jurnal E-Komunikasi. Vol. 2, No. 3. Surabaya: UK Petra Surabaya 14
Coogan & Roosenberg 2013 dalam Ridwan. 2014. Male Gender Role Karakter Superhero dalam Film Produksi Marvel Studios. Jurnal E-Komunikasi. Vol. 2, No. 3. Surabaya: UK Petra Surabaya
13
sudah ada dan hadir dimasyarakat dan diperkenlakan melalui media.
Namun jika dikaitkan dengan saat ini, sudah berapa banyak karakter
superhero yang dikenal masyarakat Indonesia. Spiderman, Batman,
Superman, Iron Man, hingga mungkin Transformer-lah yang sering
disebutkan saaat ini jika kita menyebut kata superhero. Namun,
superhero-superhero itu adalah superhero ciptaan asing yang kemudian
dikenal melalui karaker yang tertuang dalam film ataupun komik-
komik yang ada.
Superhero di Indonesia dimulai sejak terbitnya komik tentang
tokoh Sri Asih, yang merupakan karakter perpaduan dari Wonder
Woman dan Superman yang kemudian dipadukan dengan kisah
pewayangan. Sosok Sri Asih dimunculkan dalam bentuk komik pada
tahun 1954 yang ditulis oleh RA Kosasih. Kemudian pada tahun-tahun
selanjtnya dikenal dengan kemunculan komik superhero gelombang
pertama. Dimana karakter superhero ini mengesankan meniru
(mimikri) dengan tokoh-tokoh superhero Amerika generasi Awal.
Kemudian gelombang komik generasi kedua hadir sebagai bentuk
kompromi budaya yang kemudian muncul tokoh-tokoh dalam kisah
pewayangan seperti kisah Ramayana, Mahabarata, Wiku Paksi
Jaladara, Raden Palasara, Ulam Sari dan Gatotkaca (1956-1963).
Gelombang komik selanjutnya adalah gelombang komik superhero
ketiga yakni pada tahun 1968-1980 yang memunculkan tokoh komikus
besar dimana salah satunya adalah Harya Suraminata (Hasmi) yang
menciptakan karakter Gundala Putera Petir, Pangeran Mlaar,
Sembrani, Kalong dan Maza si Penakluk. Selain Hasmi ada pula
komikus Wid NS yang memunculkan karakter Godam dan Aquanus,
serta Djoni Andrean yang memunculkan tokoh Laba-laba Maut.
Disamping ketiga komikus tersebut masih terdapat komikus-komikus
14
lain yang menciptakan karakter-karakter superhero dalam bentuk
komik15
.
Sementara itu, tokoh-tokoh superhero global dikenal dalam era
kejayaannya pada tahun 1940-an ditandai dengan kehadiran komik
tokoh superhero Superman tahun 1938 yang kemudian memicu
lahirnya tokoh-tokoh superhero lain. Superman yang awalnnya
dimunculkan dalam bentuk komik kemudian dimunculkan dalam
bentuk film pada tahun 1940-an. Film superhero ini kemudian menarik
mata khalayak karena menunjukkan sosok Superman yang kuat dengan
segala kekuatan super yang dimilikinya dimunculkan dengan efek
visualisasi yang hebat dalam film
Dua industri besar film superhero Amerika mengarah pada dua
produsen raksasa komik-komik superhero Amerika, yakni Marvell dan
DC Comics. Superhero Marvell yang dikenal publik adalah Human
Torch dan Namor menjadi tokoh superhero pertama yang diciptakan
dalam komik superhero Marvell, yakni pada tahun 1939. Tokoh
superhero Marvell lainnya adalah Spiderman, Iron Man, Captain
Amerika, Thor, Deadpool, Ant-Man hingga Hulk. Sementara tokoh
superhero dari DC Comics seperti Batman, WonderWoman, Superman,
Flash, Aquaman, Green Lantern, Supergirl dan Cat Woman16
.
Aquanus, Merpati, Godam, Sembrani dan Gundala Putra Petir
merupakan superhero „lokal‟ ciptaan karya anak bangsa. Superhero-
superhero itu memanglah mungkin sudah tidak ada gaungnya di
telinga anak muda yang sudah tergerus dengan asuhan superhero
internasional. Superhero-superhero lokal itu kemudian hanyalah
sebuaah karya rekaan yang kemudian tenggelam di bersama dengan
rekaan-rekaan dan kopian cerita-cerita buku lawas yang ada di pusat
buku bekas. Hanya mereka yang lahir di tahun 1970an lah yang
15
Ambardi, Banu dan Amabrdi, Nurma dalam Wibowo, Paul Heru. 2013 dalam Yusuf, Iwan Awaluddin 2014. Superhero: Imaji dan Fantasi dalam Kajian Komunikasi. hal. 13. 16
Yusuf, Iwan Awaluddin (ed). Superhero: Imaji dan Fantasi dalam Kajian Komunikasi. 2014. hal. 15
15
mengenal dan pernah mendengar dan berinteraksi dengan mereka
melalui komik-komik jaman dulu.
Karakter superhero yang berkembang di berbagai cerita komik dan
film yang beredar memiliki berbagai karakter yang berbeda.
Pengkatagorian karakter ini terbagi menjadi dua kategori besar seperti
yang diungkapkan oleh Aditya (n.d) pengkategorisasian berdasarkan
kekuatan dan keistimewaan yang dimiliki serta asal kekuatan yang
mereka miliki serta sifat karakternya. Aditya (n.d) menerangkan
pengkategorian superhero berdasarkan kekuatan dan keistimewaan
yang dimiliki dapat dilihat seperti berikut17
:
1. Super Strength
Jenis ini dapat dikatakakan sebagai tipe klasik. Karakter superhero
dalam tipe ini umumnya memiliki kekuatan melebihi manusia
biasa, kebal dan juga biasanya mereka memiliki kemampuan untuk
terbang.
2. Tanker
Jenis ini memiliki kekuatan yang besar namun terlihat lebih brutal,
serta karakternya digambarkan memiliki postur tubuh yang besar
dari manusia. Biasanya terlihat kuat dan terkadang berkarakter
kasar. Contohnya: Hulk
3. Blaster
Superhero yang masuk ke dalam tipe ini memiliki kemampuan
untuk melancarkan serangan yang berupa tembakan baik itu berupa
energi murni atau ciptaan yang terdapat dalam tubuh mereka (yang
disebebkan oleh kekuatan super mereka) ataupun mereka yang
menggunakan senjata
4. Marksman
Sesuai dengan namanya, para superhero tipe marksman ini akan
menggunakan senjata proyektil.
17
Aditya, Dimas Krisna (n.d). Jenis Karakter Komik Superhero Dalam Komik. Diakses dari laman http://www.stdi.ac.id/jenis-karakter-dalam-komik/ pada tanggal 6 Juni 2017
16
5. Mage
Superhero dengan tipe mage lebih mengandalkan kekuatan magis
yang mereka untuk menembakkan energi ciptaan. Tipe superhero
ini menguasai berbagai macam sihir sebagai sumber kekuatan
mereka.
6. Gadgeteer
Superhero dalam tipe ini mampu menciptakan sejumlah peralatan
yang digunakannya untuk menghasilkan ataupun meniru kekuatan
super, untuk mengimbangi superhero lain.
7. Armored Hero
Seperti namanya, tipe karakter ini menggunakan baju tempur atau
baju zirah yang berteknologi tinggi yang mampu memberikannya
kekuatan dan dilengkapi dengan sejumlah persenjataan.
Contohnya: Iron Man
8. Dominus
Tipe karakter ini biasanya menjadi pilot dari sebuah robot raksasa
baik dari dalam atau dari luar. Tipe ini lebih banyak dijumpai pada
sejumlah superhero Jepang .
9. Speedster
Tipe superhero ini memiliki kecepatan dan gerak reflek yang
melebihi manusia dan bahkan superhero lainnya. Biasanya
digambarkan dengan tubuh yang lebih ramping dibandingkan
karakter superhero lainnya.
10. Mentalist
Superhero dengan kekuatan psikis dan mampu melakukan
manipulasi terhadap pikiran dengan cara psikokinetik ataupun
telekinesis. Contohnya: Professor X.
11. Elementalist
Superhero yang masuk ke dalam tipe ini memiliki kekuatan untuk
mengendalikan elemen-elemen alam dan juga kekuatan alam.
17
12. Shapesifter
Tipe Superhero dengan kemampuan untuk mengubah bentuk
tubuhnya sesuai dengan keinginannya. Kebanyakan tipe shapesifter
memiliki tubuh yang sangat lentur.
13. Size Changer
Mereka yang tergabung dalam tipe ini adalah superhero yang
mampu mengubah ukuran tubuhnya saja
14. Acrobatic
Superhero dalam tipe ini lebih mengandalkan kelincahan, reflek
dan kelenturan tubuh mereka untuk beraksi cepat (meskipun tidak
secepat mereka yang masuk dalam golongan speedster ). Selain itu
dalam aksinya mereka digambarkan memiliki kemampuan
akrobatik
15. Martial Artist
Superhero yang masuk ke dalam ini lebih banyak mengandalkan
keahlian bela diri yang mereka latih sendiri, karena kekuatan super
yang mereka miliki terbatas atau tidak memiliki sama sekali
kekuatan super.
Selain pengkategorian superhero berdasarkan seperti apa yang ada
diatas, pengkategorian menurut Aditya (n.d) juga dibagi berdasarkan
asal kekuatan yang dimiliki. Pengaktegorian tersebut terbagi atas18
:
1. Anti Heroes
Anti heroes, adalah tipe superhero yang bertindak bukan
berdasarkan etika moral dan sistem hukum sosial yang biasa
diterapkan oleh para superhero klasik, mereka yang masuk ke
dalam tipe anti-heroes ini biasanya memiliki sifat anti sosial, dan
tidak segan-segan bertindak sendiri dan cenderung beraksi brutal
dan kejam dalam menegakkan kebenaran dan keadilan (dalam
perspektif mereka sendiri). Mereka yang tergolong dalam
18
ibid. diakses pada tanggal 6 Juni 2017
18
kelompok ini diantaranya adalah Wolverine, Green Arrow, The
Punisher dan Daredevil.
2. Government Support
Bebarapa karakter superhero diciptakan dan bekerja untuk
pemerintah untuk mengabdi kepada kepentingan nasional sebuah
negara dan melindungi bangsa dari ancaman. Contoh dari
superhero tipe ini adalah Captain America, Captain Britain dan
Alpha Flight, yang diceritakan merupakan tim superhero dari
Kanada. Akan tetapi semenjak kondisi politik Amerika yang
berubah pasca kejadian 9/11, dalam versi The Ultimates, karakter
Captain America diciptakan untuk melakukan beberapa pekerjaan
kotor pemerintah. Di lain versi, pada kontinuitas Marvel Universe,
Captain America memilih untuk memberontak pada kebijakan
pemerintah Amerika yang dinilainya sudah tidak lagi menjunjung
tinggi nilai kebebasan dan hak asasi.
3. Public Heroes
Public Heroes, adalah superhero yang tidak memiliki identitas
rahasia, seperti kebanyakan tokoh superhero lainnya. Mereka
biasanya secara terang-terangan membuka identitas mereka di
masyarakat. Contoh dari superhero yang masuk dalam kelompok
ini adalah The Fantastic Four, The Ultimates, dan beberapa
superhero Marvel setelah alur cerita Civil War.
4. Rages
Superhero jenis ini sebenarnya lebih cocok untuk berada pada
kategori anti hero, akan tetapi alter-ego yang dimiliki superhero
tipe ini memiliki sifat yang berlawanan dengan karakternya. Ia
digerakkan oleh kekuatan yang luar biasa dan bersifat destruktif,
sehingga tak jarang superhero jenis ini juga merupakan musuh bagi
beberapa superhero lainnya. Satu-satunya superhero yang memiliki
karakterisasi seperti ini adalah Hulk
19
5. Multi-identities
Beberapa tokoh superhero diketahui menyandang nama yang sama
dengan kekuatan yang relatif sama. Akan tetapi sifat penggunaan
nama yang sama ini adalah kondisional, yaitu apabila mereka
memiliki kekuatan dan misi yang sama, pemegang nama
sebelumnya pensiun, meninggal atau beralih dengan alter-ego yang
baru. Contoh superhero yang menyandang nama yang sama adalah
Green Lantern, Flash dan Robin. Untuk membedakan mereka, para
penulis dan seniman komik biasanya menambahkan identitas asli
di belakang nama mereka, seperti Flash Jay Garrick, Flash Wally
West atau Green Lantern John Stewart, Green Lantern Hal Jordan.
6. Extraterrestrials
Superhero yang masuk dalam kategori ini adalah para makhluk
hidup atau manusia dari planet lain ataupun dunia lain yang
mengabdikan dirinya untuk melindungi bumi sebagai rumah
mereka. Beberapa contoh superhero yang ada dalam kategori ini
adalah Superman, Martian Manhunter, Hawkman dan Silver
Surfer.
7. Mythological
Superhero yang masuk dalam kategori ini umumnya memiliki asal
usul yang terkait dengan kisah-kisah mitologi yang ada, seperti
tokoh Thor dan Hercules dari Marvel yang merupakan tokoh-tokoh
dewa dan pahlawan dalam mitologi kuno yang intepretasikan
kembali sebagai superhero. Kasus lain seperti yang terdapat di
dalam kisah Wonder Woman yang asal usulnya terkait dengan
legenda pejuang perempuan Yunani kuno yaitu kaum Amazon.
Untuk Indonesia sendiri, tokoh Sri Asih, asal usulnya terkait
dengan legenda Dewi Sri.
8. Demonic
Superhero yang termasuk dalam kategori ini pada umumnya
memiliki kekuatan yang berasal dari kegelapan. Mereka
20
digambarkan memiliki kekuatan yang berasal dari roh jahat, akan
tetapi mereka justru menggunakan kekuatan tersebut untuk balas
dendam dan kebaikan (berdasarkan moral yang dimiliki oleh para
hero tersebut). Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah
Spawn dan Ghost Rider
9. Villains Turns To Heroes
Beberapa super villains atau penjahat super diceritakan berbalik
memihak kebaikan (baik secara permanen maupun sementara)
karena kompleksitas kepribadian dan etika moral dari mereka
sendiri. Mereka diantaranya adalah Venom dan Catwoman.
10. Comedic
Karena genre superhero begitu populer dan sangat dikenal, maka
muncul cerita-cerita parodi superhero yang bersifat komedi seperti
The Incredibles, The Tick ataupun dimunculkan dalam beberapa
kisah lain seperti The Radioactiveman yang terdapat dalam serial
the Simpson.
Cerita superhero dituangkan dan di abstraksikan kembali oleh
masyarakat melali certa naratif. Cerita-cerita itu digulirkan seperti bola
salju. Namun cerita itu hanya akan ada dalam keadaan saat itu. Seperti
yang dikatakan oleh Wright:
“...narrative is preset in every age, in every place, in every
society; it begins with the very history of mankind and there
nowhere is nor eveer has been people without narrative.”19
sehingga dapat dikatakan bahwa cerita akan berkembang diwaktu dan
tempat dimana cerita itu digulirkan. Begitu pula saat ini, Kehadiran
superhero lokal mungkin sudah tidak lagi banyak yang mengenalnya,
dalam hal ini karena kajian budaya populer saat ini yang ada di
Indonesia sudah terbawa oleh rangkaian superhero asing yang
19
Wright, Will. 2005. Introduction: The Hero in Populer Stories. Journal of Popular Film and Television.Routledge, hal. 146
21
diperkenalkan dan dilanggengkan melalui berbagai film, komik, iklan
dan produk mainan atau berbagai merchandizing lain yang ada.
Dikaitkan dengan berbagai media yang ada di Indonesia,
nampaknya pelanggengan akan identitas superhero asing semakin
menjajah keberadaaan superhero lokal Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari tulisan Eric Sasono, et al. yang menjelaskan bahwa saat tahun
2011 saat adanya wacana aturan untuk film impor, masyarakat
Indonesia beramai-ramai memprotes dan untuk menyaksikan film
impor kesayangan mereka rela untuk mewacanakan pergi ke Singapura
demi menyaksikan tayangan film impor favorit mereka20
.
Menjadi sebuah ironi kemudian ketika sebenarnya aturan tentang
wacana pajak pada film impor dinaikkan ini digulirkan demi menjaga
film-film Indonesia agar tetap eksis dan lebih berkembang di negara
sendiri. Justru nampaknya masyarakat sendirilah yang memilih meng-
„asing‟-kan diri mereka dengan mengidentifikasi film luar yang
budayanya lebih dekat dengan mereka. Gempuran akan film impor
ditambah lagi maraknya pembajakan film setidakya membuat para
sineas Indonesia kemudian sedikit merasa rendah diri dan terpuruk.
Namun kemudian perfilman Indonesia mulai bangkit kembali.
Kehadiran film-film indie dan film pendek nampaknya menjadi
angin segar bagi sineas-sineas muda untuk lebih bebas berekspresi dan
bermain dengan genre dan tema film. Salah satunya adalah Gundah
Gundala yang merupakan film pendek yang sering diikutsertakan
dalam berbagai festival film independen. Gundah Gundala kemudian
menjadi salah satu alternatif baru bagi masyarakat yang haus akan film
indonesia. Dalam film ini menceritakan bagaimana kegalauan
kegundahan superhero lokal, Gundala Putra Petir yang merasa
tersaingi dengan kehadiran superhero-superhero asing. Sebuah kritik
atas sedikit penjajahan yang dialami oleh superhero lokal.
20
Eric Sasono, et al. 2011. Menjegal Film Indonesia.. Jakarta: Yayasan Tifa. hal. 14-19
22
2. Teori Film
Media massa yang ada, berkembang dan digunakan oleh
masyarakat saat ini terwujud dalam berbagai bentuk. Gambar visual
(printing atau lukis); rekaman suara audio seperti dalam radio; iklan
baik berupa audio, visual, hingga iklan audio visual; media cetak
seperti koran, majalah ataupun tabloid dan buku; media baru seperti
internet; dan film. Sebagai media massa berbagai bentuk media yang
disebutkan di atas telah dikonsumsi oleh berbagai khalayak untuk
memenuhi kebutuhan mereka akan informasi dan hiburan. Salah
satunya adalah film.
Film sebagai salah satu sarana media massa yang digunakan
masyarakat untuk mengakses informasi dan hiburan. Film yang ada
dan beredar di masyarakat cukup beragam jenisnya seperti film
panjang, film pendek, dan film dokumenter21
. Bagi pemirsanya, film
dapat digunakan sebagai media untuk mengakses informasi dan sarana
hiburan. Namun, bagi pembuat film, film menjadi salah satu media
yang digunakan untuk menyampaikan ide-ide yang ada dalam benak
mereka dan menyampaikannya dalam sebuah karya film. Sebagai
sarana penyampai ide, tidak jarang pula masih terdapat makna-makna
baik tersirat maupun tersurat dalam pesan sebuah film. Tentu saja
pesan-pesan tersebut jika disampaikan secara tersirat akan mudah
dibaca dan dipahami oleh penonton film tersebut. Namun, tidak
sedikit pula para pembuat film menyampaikan pesan tersurat dalam
film sehingga tidak semua orang paham tentang pesan sebenarnya dari
sebuah film tersebut.
Sementara itu menurut sejarahnya, film yang ditemukan pada akhir
abad 19 dan terus berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi
yang ada dengan berbagai modifikasi pada teknologi gambar dan
suara yang digunakan. Industri perfilman pun tak luput dalam andil
berkembangnya industri perfilman baik di kancah Internasional seperti
21
Panca Javandalasta. 2011. 5 Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: Mumtaz Media. hal. 1-4.
23
hollywood dan juga bollywood, tetapi juga industri perfilman
Indonesia. Sempat mengalami kemerosotan baik dalam ide pembuatan
film hingga pendanaannya, namun kini industri permilman Indonesia
sudah mulai pulih. Kemerosotan perfilman Indonesia dimulai dari
pasca Orde Baru seperti dikutip dari buku “Menjegal Film
Indonesia”, dimana dikatakan bahwa industri perfilman Indonesia
mengalami kemerosotan, dan untuk mengembalikannya, maka jalan
mudah yang dapat diambil oleh sineas adalah dengan membuat tema
“back to basic”22
,23
. Namun tidak semua sineas kemudian mengambil
kategori tema “back to basic” untuk mengembalikan perfilman
Indonesia. Para sineas muda yang ingin mengembalikan industri
perfilman Indonesia kemudian mengusahakan sendiri produksi
filmnya tanpa adanya dukungan negara, baik dalam bentuk subsidi
pendanaan produksi, keringanan pajak dan segala jenis dukungan
lainnya24
. Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?, Eiffel I’m
in Love, Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi menandai kembalinya
industri perfilman Indonesia dari segala kategori pilihan tema ”back to
basic”. Namun disamping itu, tidak hanya berupa film panjang
komersial yang mencuat ke permukaan untuk mengembalikan industri
perfilman Indonesia, sineas-sineas muda berbakat lain yang memiliki
potensi dan kemampuan juga membuat film-film yang tidak bertujuan
untuk bersifat komersil seperti film-film pendek dan film independen
yang sering diikutkan dalam ajang festival film baik dalam negeri
maupun luar negeri.
22
Back To Basic adalah film-film yang dikategorikan dengan jalan cerita sederhana atau bahkan terkadang sembarangan. Unsur utama yang menjadi daya tarik bagi penonton adalah para pemain film perempuan yang buka-bukaan (tanpa full frontal nudity) dan adegan yang bisa diasosiasikan sebagai adegan sex. Untuk film-film kekerasan, adegan yang diandalkan adalah darah muncrat atau anggota tubuh terpotong 23
Eric Sasono, et al. Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia. 2011. hal. 1 24
ibid. hal. 2
24
a. Film Independen
Film Independen atau lebih sering disebut dengan film indie,
adalah film yang diproduksi dan didistribusikan tanpa memiliki
kaedah perfilman yang telah baku (konvensional)25
. Karena
tanpa berpatok pada kaedah perfilman yang telah baku, film
indie memiliki karakteristik yang bebas, yang menjadi
alternatif pilihan baru dari film-film komersial yang beredar di
masyarakat. Dari proses pembuatannya, film indie ini membuat
filmmaker merasa terlepas dari belenggu kaidah yang berlaku
sehingga filmmaker pada akhirnya menempatkan film indie ini
sebagai sebuah seni. Dalam proses pembuatan dan
penyebarannya, di Indonesia, film ini ini sering dibuat dan
ditampilkan oleh komunitas-komunitas pecinta film. Ini
merupakan salah satu bentuk ekspresi yang mereka wujudkan
melalui film.
b. Film Pendek
Definisi film pendek menurut Javandalasta adalah sebuah karya
film cerita fiksi yang berurasi kurang dari 60 menit26
.
Sementara itu, Derek Hill pada tahun 1954 mengungkapkan
bahwa film pendek merupakan film yang dibatasi oleh durasi
dimana durasinya dbawah durasi film panjang.27
Dan pada
tahun 1980-an ketika industri televisi mulai marak, pembatas
durasi film pendek kemudian digolongkan ke dalam durasi film
pendek adalah film yang berdurasi dibawah 30 menit, atau
mulai film dua menit sampai 29 menit.28
Dari ketiga definisi di
atas, maka film pendek dikategorikan atas film yang berdurasi
dibawah film panjang dengan durasi mulai 2 menit hingga 29
25
Adhi, Alfian Nugroho, 2011. Pembuatan Film Independent: Diam Membalik Arah Waktu.Yogyakarta: STMIK AMIKOM 26
Panca Javandalasta, 2011. 5 Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: Mumtaz Media. hal. 2 27
Derek Hill dalam Junaedi, Fajar, DKK. Menikmati Budaya Layar, Membaca Film. 2016. hal. 74 28
Prakosa, 2006 dalam Junaedi, Fajar, DKK. Menikmati Budaya Layar, Membaca Film. 2016. hal. 75
25
menit. Film pendek sering digunakan oleh sineas-sineas muda
untuk menjajal kemampuan mereka dalam bidang videografi,
fotografi hingga editing, sehingga sering disebut juga sebagai
labolatorium ekperimen dalam film. Namun tidak semua film
pendek dijadikan eksperimen atau percobaan, beberapa film
pendek sengaja dibuat untuk diikut sertakan dalam berbagai
ajang festival film. Arkipel, Festival Film Dokumenter, XXI
short film festival, JAFF - NETPAC Asian film festival
hanyalah beberapa contoh festival film pendek yang ada di
Indonesia.
Kehadiran film pendek dan film independen di Indonesia ini tentu
saja menarik perhatian banyak penikmat film, sehingga makin banyak
pula bermunculan komunitas-komunitas film. Komunitas-komunitas
tersebut tidak hanya menikmati film dari layar namun juga mereka
ikut serta dalam pembuatan film dan tidak jarang juga mereka mencari
dan menciptakan sendiri “layar alternatif” untuk menampilkan hasil
karya mereka29
.
3. Identitas dan Poskolonialisme
Berbicara tentang teori poskolonialisme, kita tidak akan secara
jauh dijauhkan dari wacana tenatang identitas. Dalam wacana identitas
terdapat beberapa konsep yang perlu diperhatikan seperti identitas
nasional atau kebangsaan, konsep hibriditas dan mimikri, hingga
konsep diaspora. Beberapa konsep di atas merupakan konsep inti dari
identitas. Dan poskolonialisme, konsep – konsep mengenai hibriditas
dan mimikri serta diaspora juga menjadi konsep inti selain itu masih
ada konsep subaltern, serta occident dan orient. Konsep-konsep di atas
akan kita bahas satu persatu di dalam tulisan ini dan nantinya akan kita
29
Prasdmadji, Shadia. 2016. Sineas dan Layar Alternatif. Cinema Poetica. diakses dari laman http://cinemapoetica.com/sineas-dan-layar-alternatif/ tanggal 09 April 2016
26
lihat bagaimana konsep-konsep dari identitas dan kolonialisme itu
muncul dalam representasi superhero pada film Gundah Gundala.
Dalam kajian budaya dan media, teori identitas sangat sering
dimunculkan. Hal ini karena dalam kajian budaya dan media, lebih
banyak menampilkan nilai-nilai representasi, konstruksi dan
dekonstruksi tentang identitas yang ditampilkan dalam media.
Pemaknaan seperti representasi, resepsi khalayak dan juga konstruksi
dan dekontruksi ini mewakili apa yang sebenarnya ingin dibongkar
oleh audien dan masyarakat tentang pemaknaan pada suatu objek
wacana kritis. Sehingga dalam wacana kritis unsur-unsur yang menjadi
dominan dalam identitas kemudian dimaknai ulang untuk
menghandirkan nilai-nilai yang dianggap nilai-nilai tersebut menjadi
lebih “seimbang”. Pembongkaran makna yang terkandung dalam
sebuah wacana dalam ranah kajian budaya media bukan menjadi hal
yang khusus lagi karena menurut peneliti, dalam media, apapun itu
objeknya dapat dimaknai oleh berbeda-beda oleh setiap orang bahkan
juga bisa berbeda dan secara subjektif dari apa yang dimaksudkan oleh
pembuat media tersebut.
Chris Barker dalam bukunya menuliskan bahwa identitas
sepenuhnya bersifat sosio kultural, sehingga identitas sepenuhnya
merupakan produk sosial dan tidak dapat “mengada” (exist) di luar
representasi kultural dan akulturasi30. Dari pendapat di atas kita tahu
bahwa identitas tidak dapat kita ciptakan sendiri. Identitas akan terus
melekat pada diri seseorang selama pribadi tersebut masih berada dan
berinteraksi dengan budaya dan lingkungannya. Chris Barker juga
menambahkan bahwa identitas bersifat fluid dan akan selalu berubah
menurut konteks sosial dan kultural dimana individu tersebut berada31,
karena bagi Barker identitas merupakan ciptaan dari wacana yang bisa
berubah makna menurut waktu, tempat dan penggunaan.
30
Chris Barker. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. hal. 218 31
ibid. hal. 219
27
Pendapat dari Barker ini didukung pula apa yang telah dinyatakan
Giddens dalam Barker, dimana Giddens menggambarkan identitas
sebagai sebuah proyek. Yang dimaksudkan oleh Giddens adalah
bahwa identitas merupakan ciptaan, sesuatu yang selalu berproses, dan
sesuatu yang bergerak enuju dan bukan suatu kedatangan.32
“ Proyek identitas tersusun atas dari apa yang kita pikirkan
tentang diri kita sekarang dengan dasar situasi masa lalu
dan masa sekarang, sekaligus tentang gagasan akan menjadi
apakah kita, garis lintasan masa depan yang kita
inginkan”33
Dari apa yang dipikirkan oleh Barker dan Giddens diatas
kemudian, maka kita tahu bahwa bagaimana identitas tersebut
dibentuk. Yaitu bersadarkan dari apa yang diri kita gambarkan tentang
saat ini dan merupakan proyeksi masa lalu dan masa depan kita.
Sementara itu untuk menggabarkan identitas itu sendiri, itu muncul
dari wacana bukan dari bahasa yang sudah melekat. Identitas juga
merupakan hal yang ciptaan dari apa yang kita lakukan dahulu dan saat
ini. Sehingga identitas menjadi hal yang sangat mungkin untuk kita
jadikan wacana dalam mengkaji wacana dan teori poskolonialisme.
Pemikiran poskolonialisme ini muncul di kalangan para ilmuwan
yang lahir dari negara jajahan. Beberapa tokohnya seperti Homy K.
Bhabha, Gayatri Spivak dan juga Edward Said adalah beberapa nama
tokoh yang secara vokal membahas wacana poskolonial ke ranah
akademis. Bhabha, Gayatri Spivak dan Edward Said membawa
pemikiran mereka sendiri tentang konsep-konsep yang ada pada
wacana poskolonialisme ini. Konsep hibiriditas, negara barat,
subaltern, dan mimikri merupakan beberapa konsep yang cukup sering
dimunculkan oleh beberapa tokoh tersebut dalam mengkaji wacana
poskolonialisme.
32
Ibid. Hal. 220 33
ibid. hal 220
28
Munculnya wacana negara jajahan sebagai negara timur dan negara
penjajah sebagai negara barat, turut melatar belakangi pemikira
Bhabha, Spivak, dan Said dalam pemaparanya tentang
poskolonialisme. Latar belakang penjajahan masa kolonial tidak
sepenuhnya dilatarbelakangi degan maksud menjajah negara jajahan.
Namun pada saat itu, konsep kolonial yang dimaksudkan adalah kaum
imperial (negara penjajah) mengambil alih seluruh sumber daya yang
ada yang akan digunakan untuk kepentingan mereka sendiri, atau
dengan kata lain ekploitasi segala sumber daya. Tidak hanya sampai
disitu, negara penjajah kemudian memasukkan segala unsur untuk
membangun negara jajahan menjadi „layak‟ untuk mereka huni dengan
membawa para ilmuwan, pedagang, ahli agama dan budayawan untuk
menyebarluaskan agama, ilmu pengetahuan, budaya dan juga ektradisi
ekonomi.
Jika dikaitkan antara identitas dengan poskolonialisme dimana
sebelumnya oleh peneliti telah digambarkan bahwa identitas berasal
dari wacana masa lalu dan masa kini, maka keterkaitan identitas
dengan poskolonialisme akan dapat dilihat dari bagaimana Indonesia
dulu dijajah oleh kaum imperial dan kemudian merdeka hingga saat ini
mempertahakankan kemerdekaan. Identitas negara Indonesia yang
dulunya berada sebagai negara jajahan (third world) kemudian
mendapat kemerdekaan akan tetap menjaga dan mempertahankan
kemerdekaan menjadi sebuah wacana poskolonialisme yang menarik
untuk dikaji. Bagaimana sebuah budaya yang melekat di Indonesia
yang sudah ada dari masa penjajahan dan kemudian masih
dipertahankan hingga saat ini bahkan diperkenalkan kembali melalui
berbagai wujud kebudayaan juga menjadi wacana yang asik untuk
dikaji dalam identitas dan poskolonialisme.
Mengaitkan budaya, identitas dan poskolonialisme memang
menjadi kajian yang menarik bagi peneliti terutama jika budaya itu
kemudian dikaitkan dengan identitas kebangsaan atau nasionalisme
29
yang merupakan sebuah kritik atas teori poskolonialisme.
Sebagaimana dituliskan oleh Barker, budaya bukanlah suatu entitas
statis, tetapi tercipta oleh praktik dan makna yang terus berubah dan
bekerja pada berbagai tingkatan sosial34. Sementara Identitas
sebagaimana telah disinggung di atas merupakan wacana dari masa
lalu dan saat ini dan akan terus berubah menyesuaikan lingkungan
budaya waktu. Maka, mengawinkan budaya dengan identitas dapat
diartikan oleh peneliti dengan cara bahwa budaya dan identitas
bukanlah menjadai suatu yang statis dan saklek. Keduanya berbentuk
fluid dan akan menyesuaikan sesuai dengan lingkup ruang dan waktu
yang menempatinya. Dengan demikian maka peneliti akan melihat
budaya dan identitas dapat menjadi satu karena identitas akan
bergantung pula pada budaya dan budaya menjadi tempat
memunculkan identitas.
Sementara itu, katerkaitannya dengan poskolonialisme dan
identitas nasional, antara budaya dan identitas dapat dilihat dari bentuk
representasi budaya itu sendiri yang merupakan foto simbol dan
praktik yang diambil dalam rangkaian historis tertentu demi
kepentingan kelompok orang tertentu. Dan sementara itu identitas
nasional itu sendiri merupakan cara untuk mempersatukan keragaman
budaya itu sendiri.
“ Alih-alih membayangkan budaya nasional sebagai hal
yang tunggal, kita harus membayangkan sebagai perangkat
wacana yang merepresentasikan perbedaan sebagai
kesatuan dan identitas. Budaya nasional itu terbelah-belah
oleh perpecahan dan perbedaan internal yang mendalam,
dan hanya “dipersatukan” melalui penerapan berbagai
bentuk kuasa kultural.”35
Dari pernyataan diatas kemudian dapat diketahui bahwa makna
dari identitas nasional, budaya nasional dan poskolonialisme dapat
34
ibid. Hal. 261 35
Hall, 1992b dalam Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang, hal. 261
30
dilihat dari berbagai wujud wacana. Dari wacana historis kebangsaan
hingga wacana kesenian, dongeng hingga cerita rakyat yang
ditinggalkan dan diwariskan bersama dengan sejarah yang melekat
pada sebuah budaya yang kemudian menjadi identitas dari budaya
nasional. Dalam era poskolonialisme itu sendiri kemudian budaya
yang ditinggalkan dan diwariskan itu kemudian disentuh kembali oleh
masyarakat, dipoles dan dipercantik hingga kemudian ditampilkan
kembali sebagai media pelanggeng kekuasaan yang berkuasa saat itu.
Ideologi yang menghegomoni kemudian memaksa kaum “lemah”
untuk tunduk atas kuasa dari ideologi dominan, memunculkan
perlawanan dari kelompok subaltern. Perlawanan ini muncul karena
adanya perasaan “tidak nyaman” atas relasi tuan-hamba yang
dimunculkan oleh kelas dominan terhadap subaltern. Bentuk
perlawanan ini sendiri saat ini bukan hanya berwujud menggunakan
kekerasan seperti peperangan. Namun, perlawanan yang dilakukan ini
juga menggunakan media untuk menyuarakan apa yang menurut
mereka tidak adil, seperti berupa penampilan “perselingkuhan” budaya
di ruang publik media36
.
Orientalisme, salah satu konsep yang muncul dalam wacana
poskolonialisme. Wacana ini diperkenalkan oleh Edward Said yang
menjelaskan tentang wacana cerminan orang kulit putih pada
(occident) terhadap gambaran diluar diri mereka (orient). Edward Said
merupakan salah satu tokoh yang mewacanakan poskolonialisme pada
karya sastra. Pengkaitan proses „mendidik‟ yang dilakukan oleh kaum
barat dengan wacana orientalisme yang dimunculkan oleh Edward
Said, adalah untuk menghilangkan budaya asli dengan penanaman
mentalitas budaya bangsa barat. Selain orientalisme, mimikri dan
hibriditas juga merupakan salah satu konsep yang dimunculkan dalam
poskolonialisme yang dibawa oleh Homy K. Bhabha37
. Ruang
36
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Bentang, hal. 263-264 37
ibid. hal. 265-266
31
hibriditas ini dimunculkan sebagai ruang ketiga dalam proses asimilasi
dan adaptasi terhadap „dunia ketiga‟. Ruang hibriditas ini juga
merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap dominasi wacana
penjajah dengan “perselingkuhan” budaya. Selain itu, ruang hibriditas
digunakan sebagai pembuka jalan atas kritik dikotomi biner yang
dikemukakan oleh penjajah. Sementara itu, mimikri menurut Fanon,
merupakan hasil dari proses kolonialisasi yang mencerabut kaum
penjajah dari tradisi dan identitas tradisionalnya dan memaksa mereka
untuk beradaptasi dengan identitas, perilaku dan budaya penjajahnya.
Subaltern menjadi salah satu wacana yang juga mengemuka saat
membahas poskolonialisme. Dalam relasi ini, subaltern merupakan
relasi atas hegemoni antara kaum penguasa dan subordinat.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
semiotika Roland Barthes. Analisis semiotika Roland Barthes
digunakan, karena dalam film terdapat banyak elemen lain yang
mendukung dalam film di setiap scene-nya seperti elemen
pencahayaan, angle, latar musik dan lain sebagainya, peneliti
menggunakan semiotika Roland Barthes yang mengidentifikasinya
melalui petanda (signified) dan penanda (signifier). Semiotika
digunakan dalam metode penelitian untuk membantu peneliti
menganalisis objek penelitian yang berupa film, dimana dalam sebuah
film terdapat banyak elemen yang harus diteliti tidak hanya berupa
percakapan dari aktor yang terlibat saja.
Semiotika Roland Barthes digunakan dalam penelitian tidak hanya
untuk mengidentifikasi penanda dan petanda saja, Namun makna
dibalik tanda yang beredar juga digunakan untuk menganalisis apa
makna yang terkandung dalam tanda tersebut. Selain itu, mitos,
menjadi elemen yang jugdaa penting dibahas. Dalam penelitian ini,
32
peran mitos akan berkaitan dengan kondisi poskolonialitas yang
terdapat pada tanda. Mitos diterangkan oleh Barthes dalam “Mythology
of the month” , sebagian besar menunjukkan bagaimana aspek
denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang
pada dasarnya adalah”mitos-mitos” yang dibangkitan oleh sistem
tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat38
. Dari sini peneliti
memperkuat asumisinya penggunakan teknik analisis semiotika
Roland Barthes dikarenakan mitos yang berkaitan dengan masyarakat
yang terdapat dalam tanda-tanda yang ada.
Barthes menjelaskan bahwa elemen-elemen dalam tanda utnuk
membaca sebuah tanda terdiri dari signifier dan signified. Signifier
menurutnya akan merujuk untuk mengekspresikan signified39
.
Sehingga ini akan saling berkaitan. Barthes menambahkan bahwa
peran pembaca memiliki peran penting untuk memahami tanda. Ia
menjelaskan bahwa Konotasi merupakan sifat asli tanda, dimana ini
membutuhkan keaktifan pembaca agar tanda dapat berfungsi. Dalam
pemaknaan tataran kedua, sastra enjadi contoh paling jelas pada sistem
pemaknaan yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem tataran
pertama. Sistem kerja tanda pada berbagai tataran diungkapkan
Barthes dalam menciptakan peta tanda sebagai berikut:
Gambar 1. 1. Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Barthes, Roland. 1991. Mythologies. New York: The
Noonday Press.. hal. 113
38
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, hal. 68 39
Barthes, Roland. 1991. Mythologies. New York :The Noonday Press.. hal. 111
1. Signifier 2. Signified
3. SIGN
I. SIGNIFIER
II. SIGNIFIED
III. SIGN
Language
M Y T H
33
Dari peta tanda Roland Barthes di atas, diungkapkan bahwa dalam
mitos, terdapat dua sistem semiologikal, dimana yang satu terikat
dalam hubungan dengan yang lain; sistem liguistik, bukan sebagai
bentuk kenamaan ataupun contoh grammatical yang terpisah40
.
Pada dasarnya, terdapat perbedaan antara denotasi dan konotasi
dalam pengertian umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti
oleh Barthes41
. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti
sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang
kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi
secara tradisional ini biasanya mengacu pada bahasa ucap. Namun
dalam semiologi Barthes, denotasi menjadi signifikansi tingkat
pertama dementara konotasi menjadi tingkat kedua. Dalam hal ini
denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna.
Konotasi dalam kerangka Barthes identik dengan operasi ideologi,
yang disebutnya dengan „mitos‟, dan berfungsi untuk mengungkapkan
dan memberikan pemberian bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam suatu periode tertentu. Dalam mitos juga terdapat pola tiga
dimensi penanda, petanda dan tanda, namun sebagi suatu sistem yang
unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada
sebelumnya, atau dengan kata lain, mitos juga merupakan sistem
pemaknaan tataran kedua42
.
2. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, yang menjadi objek penelitian adalah scene-
scene dalam film Gundala Putra Petir dan film Gundah Gundala yang
merepresentasikan identitas superhero. Selain itu, peneliti tidak hanya
akan meneliti scene yang ada dalam film namun teks dan pesan yang
disampaikan juga akan menjadi objek penelitian yang dilakukan oleh
peneliti. 40
ibid. hal. 113 41
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya. hal. 70-71 42
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 70-71
34
(Gundah Gundala - Sumber: http://arkipel.org/gundah-gundala/)
Gambar I.2. Cuplikan Scene Gundah-Gundala
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan data primer yani dari scene-scene dalam film Gundala Putra
Petir dan film Gundah Gundala yang berkaitan dengan tema
penelitian. Selain itu, peneliti juga menambahkan data sekunder yakni
dari hasil interview dengan pembuat film Gundah Gundala.
4. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis semiotika Roland Barthes.
Peneliti akan mengambil beberapa scene dalam film Gundala Putera
Petir (1982) dan film Gundah Gundala (2013). Dalam scene-scene
tersebut peneliti juga akan mengambil beberapa gabungan shoot untuk
membantu menjelaskan bagaimana scene berjalan. Peneliti juga akan
meniliti berbagai elemen dalam film seperti teknik pengambilan
gambar, latar atau setting, latar suara, percakapan antar aktor, ligthing
dan camera movement. serta berbagai elemen dalam film.
35
Tabel I.1. Matriks model penelitian
Visual
(scene yang akan diteliti)
Dialog atau suara:
(percakapan yang
terjadi antar aktor)
Type of shoot:
Medium close-up
Signifier Signified
Makna Denotasi
Makna Konotasi
Mitos
5. Limitasi Penelitian
Batasan penelitian ini adalah pada cuplikan scene dalam film Gundah
Gundala. Selain itu yang menjadi batasan di sini adalah kaitan antara
scene tersebut dengan analisis yang akan dijabarkan oleh peneliti yang
disesuaikan dengan teori yang digunakan dan tema penelitian yang
diambil. Scene yang diambil dalam film Gundala Putera Petir (1982)
adalah scene-scene yang berkaitan dengan modernitas, asal mula
identitas Gundala serta permasalahan dan villain yang dihadapi oleh
Gundala. Sementara itu, dalam film Gundah Gundala (2013) scene
yang diambil, peneliti membatasi pada tema lokalitas dan
kesederhanaan, Identitas superhero, masalah dan villain, serta krisis
identitas