BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

34
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena kemunculan beauty vlogger menjadi pembicaraan di tengah- tengah pecinta kosmetik dan kecantikan. Beauty vlogger pada dasarnya memiliki konsep yang sama dengan blogger, yaitu memberikan informasi terkait keseharian atau kehidupan pribadi dan ulasan-ulasan tentang produk atau brand yang telah mereka gunakan sebelumnya. Namun para beauty vlogger mengkhususkan dirinya untuk memberikan informasi mengenai dunia kosmetik dan kecantikan serta mengunggah informasi mereka pada platform media sosial yaitu YouTube, hal inilah yang membedakan vlogger dengan blogger. Konsumen kosmetik ataupun produk-produk kecantikan dimudahkan dalam memberikan nilai atau memilih produk yang akan mereka gunakan dengan kehadiran beauty vlogger. Kemudahan yang mereka dapatkan adalah salah satunya dengan adanya insight atau review dari pihak lain, dalam hal ini adalah para beauty vlogger, yang memberikan informasi-informasi terkait detail produk, kekurangan dan kelebihan produk bahkan kesan setelah menggunakan produk. Hal-hal tersebut yang mendorong kemunculan beauty vlogger dan kehadirannya semakin diminati. Kebutuhan dan permintaan akan beauty vlogger bagi konsumen produk kecantikan tidak hanya memberikan keuntungan bagi konsumen, tetapi permintaan ini turut membawa keuntungan bagi sosok beauty vlogger itu sendiri. Saat ini, bermunculan sosok beauty vlogger dengan karakteristiknya masing- masing yang berlomba untuk menarik perhatian para penikmat review mereka dengan inovasi produk yang digunakan maupun cara menyampaikan informasi. Hal ini menjadi warna tersendiri dalam media sosial YouTube dimana dalam kategori atau tema produk yang sama, para beauty vlogger mampu mengemasnya dalam video-video yang beragam. Peluang menjadi beauty vlogger semakin meningkat dimana ada penawaran menarik yang diberikan oleh pihak YouTube

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang...

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena kemunculan beauty vlogger menjadi pembicaraan di tengah-

tengah pecinta kosmetik dan kecantikan. Beauty vlogger pada dasarnya memiliki

konsep yang sama dengan blogger, yaitu memberikan informasi terkait keseharian

atau kehidupan pribadi dan ulasan-ulasan tentang produk atau brand yang telah

mereka gunakan sebelumnya. Namun para beauty vlogger mengkhususkan dirinya

untuk memberikan informasi mengenai dunia kosmetik dan kecantikan serta

mengunggah informasi mereka pada platform media sosial yaitu YouTube, hal

inilah yang membedakan vlogger dengan blogger.

Konsumen kosmetik ataupun produk-produk kecantikan dimudahkan

dalam memberikan nilai atau memilih produk yang akan mereka gunakan dengan

kehadiran beauty vlogger. Kemudahan yang mereka dapatkan adalah salah

satunya dengan adanya insight atau review dari pihak lain, dalam hal ini adalah

para beauty vlogger, yang memberikan informasi-informasi terkait detail produk,

kekurangan dan kelebihan produk bahkan kesan setelah menggunakan produk.

Hal-hal tersebut yang mendorong kemunculan beauty vlogger dan kehadirannya

semakin diminati.

Kebutuhan dan permintaan akan beauty vlogger bagi konsumen produk

kecantikan tidak hanya memberikan keuntungan bagi konsumen, tetapi

permintaan ini turut membawa keuntungan bagi sosok beauty vlogger itu sendiri.

Saat ini, bermunculan sosok beauty vlogger dengan karakteristiknya masing-

masing yang berlomba untuk menarik perhatian para penikmat review mereka

dengan inovasi produk yang digunakan maupun cara menyampaikan informasi.

Hal ini menjadi warna tersendiri dalam media sosial YouTube dimana dalam

kategori atau tema produk yang sama, para beauty vlogger mampu mengemasnya

dalam video-video yang beragam. Peluang menjadi beauty vlogger semakin

meningkat dimana ada penawaran menarik yang diberikan oleh pihak YouTube

2

dimana setiap video yang diunggah akan mendapatkan kompensasi dari pihak

YouTube. Hal ini tentu saja menjadi daya tarik tersendiri terkhusus bagi para

beauty vlogger untuk berkreatifitas atau berkarya di bidang ini mengingat industri

kosmetik juga mengalami kenaikan.

Meneliti mengenai fenomena beauty vlogger perlu dilakukan mengingat

saat ini kehadirannya sangat dinanti dan adanya pengaruh terhadap konsumen

produk kecantikan. Disadari atau tidak permintaan akan beauty vlogger membawa

realita bahwa konsumen mulai terpengaruh oleh informasi-informasi yang

diberikan. Konsumen mulai mempercayai perkataan dan informasi yang diberikan

oleh beauty vlogger yang dianggap memiliki kredibilitas dalam bidang produk

kecantikan dan kosmetik, serta konsumen mulai terbawa arus yang dibawa oleh

informasi dari beauty vlogger sehingga konsumen secara tidak langsung telah

memiliki persepsi tentang produk yang diinformasikan oleh beauty vlogger tanpa

harus mencobanya terlebih dahulu. Persepsi ini hanya ada dalam benak konsumen

sehingga dapat dikatakan bahwa beauty vlogger mampu membentuk brand image

sebuah produk dalam benak konsumen. Semakin banyak informasi mengenai

produk yang diberikan dengan intensitas yang tinggi, maka persepsi atau brand

image yang tertinggal di benak konsumen akan semakin kuat.

Dinamika kehadiran beauty vlogger yang mampu mempengaruhi persepsi

konsumen ini mulai disadari oleh para perusahaan kosmetik membawa pengaruh

positif apabila beauty vlogger diikut sertakan dalam proses komunikasi

pemasaran. Beauty vlogger dapat menjadi sosok pendukung (endorser) yang

digunakan oleh perusahaan untuk menyampaikan informasi-informasi yang ingin

disampaikan. Beauty vlogger yang sebelumnya telah mampu membentuk persepsi

konsumen ini pun menjadi dasar bagi perusahaan untuk menggunakan peran

sosok beauty vlogger.

Masuknya beauty vlogger sebagai salah satu inovasi dalam komunikasi

pemasaran inilah yang perlu diperhatikan dan dipelajari lebih lanjut terkait brand

image sebuah produk yang mampu dipengaruhi oleh informasi yang diberikan

oleh beauty vlogger. Hal ini menjadi permasalahan dan perlu di kaji lebih lanjut

3

dikarenakan adanya faktor lain yaitu konsumen tidak lagi menggunakan mass

media sebagai media untuk mengakseses informasi dan beralih menggunakan

media sosial sebagai media informasi serta adanya peran pihak ketiga. Selain itu,

kehadiran beauty vlogger sebagai warna baru dalam dunia endorser yang

sebelumnya terkenal dengan adanya konsep celebrity endorser.

Penggunaan sosok beauty vlogger nyatanya tidak hanya digunakan oleh

perusahaan yang baru merintis usahanya untuk mendapatkan perhatian dari

masyarakat. The Body Shop, anak perusahaan kosmetik terbesar L’Oreal Group,

ikut menjadi salah satu perusahaan yang menggunakan kehadiran beauty vlogger

sebagai salah satu bentuk pendukung brand dan juga untuk tetap bertahan

menghadapi para pesaing di bidang kosmetik. Meskipun The Body Shop telah

memiliki posisi cukup aman di tengah pasar kosmetik, tetapi tidak menutup

kemungkinan untuk berinovasi untuk memenuhi permintaan dan konsumennya.

The Body Shop menggunakan beberapa sosok beauty vlogger Indonesia untuk

menyebarkan informasi tentang produk terbaru mereka, yaitu Drops of Youth

yang merupakan produk yang disasar untuk mengatasi atau menghindari penuaan

dini. The Body Shop sadar bahwa sebagian besar sosok beauty vlogger di

Indonesia berusia rata-rata 20-30 tahun yang dirasa mampu menyampaikan pesan

produk sesuai dengan target mereka. Namun perlu diperhatikan beberapa kriteria

atau kajian lebih lanjut agar The Body Shop mampu memilih beauty vlogger yang

tepat dan pada akhirnya berhasil membawa persepsi atau brand image positif

dalam benak konsumen.

Kekuatan yang dimilik oleh beauty vlogger terkait pengaruhnya untuk

mempersuasi konsumen perlu diteliti lebih lanjut dengan contoh kasusnya adalah

penggunaan beauty vlogger untuk produk baru The Body Shop gunanya

membuktikan apakah informasi-informasi yang diberikan mampu mengarahkan

pemikiran konsumen sehingga membentuk brand image produk. Oleh karena itu,

penelitian ini berfokus pada penerimaan brand image karena adanya faktor pesan

atau informasi yang diberikan oleh beauty vlogger sebagai endorser yang dipilih

oleh perusahaan. Penelitian ini diawali dengan melihat adanya stimulus berupa

4

sosok beauty vlogger yang memberikan informasi ataupun pesan produk kepada

konsumen atau para penikmat informasi yang diberikan beauty vlogger dalam

videonya yang pada akhirnya mampu mempengaruhi persepsi konsumen atau

brand image produk. Dalam penelitian ini diambillah judul, yaitu “Beauty

Vlogger dan Brand Image: Survei Pengaruh Pesan Beauty Vlogger Sebagai

Endorser Terhadap Brand Image Produk The Body Shop”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana pengaruh penggunaan beauty vlogger sebagai

endorser dalam mempengaruhi brand image The Body Shop.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan rumusan masalah di atas,

yaitu mengetahui pengaruh penggunaan beauty vlogger sebagai endorser yang

digunakan oleh The Body Shop dalam membentuk brand image The Body Shop.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademik

− Penelitian ini menyajikan informasi mengenai pengaruh antara

informasi atau pesan yang disampaikan oleh beauty vlogger sebagai

endorser yang digunakan oleh The Body Shop untuk membentuk

brand image produk.

− Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah akademik di

bidang komunikasi pemasaran, terkhusus dalam proses pembentukan

brand image produk melalui beauty vlogger.

5

2. Manfaat praktis

− Penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbahan dalam kebijakan yang

akan ditetapkan dalam memahami dan menghadapi pesan dari

endorser dan sikap terhadap brand yang dipasarkan.

− Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran bagi kepentingan praktis manajerial dalam bidang

penggunaan endorser dan sikap terhadap brand yang dipasarkan.

Selain itu, kontribusi penelitian ini adalah menemukan salah satu

faktor yang dapat mempengaruhi brand image produk.

E. Objek Penelitian

Penelitian ini mengambil objek penelitian adalah para viewers review

online yang dilakukan oleh beauty vlogger yang bertujuan untuk meneliti

bagaimana khalayak menilai, memandang, menerima, dan memberikan persepsi

terhadap suatu brand yang terkhusus brand kosmetik yang saat ini mulai menjadi

tren. Lokus dari penelitian ini terletak pada ranah pesan dan audiens. Sementara

untuk fokus dalam penelitian ini adalah pada efek yang diterima oleh objek

penelitian terkait sikap yang diberikan objek penelitian dalam bentuk cara

pandang terhadap brand The Body Shop.

Penelitian dengan topik pengaruh endorser terhadap brand image ini

bukan merupakan penelitian yang baru pertama kali dilakukan tetapi telah banyak

penelitian yang mengambil topik yang sama. Namun perlu diperhatikan dan tetap

dilakukan dikarenakan penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu.

Perbedaan yang mendasar adalah pandangan bahwa saat ini konsumen mulai

mempercayai pihak ketiga yang diutamakan memiliki keahlian atau kredibilitas

terhadap sebuah produk. Sehingga kehadiran beauty vlogger yang ahli dalam

bidang kecantikan dan kosmetik mampu dipercaya oleh konsumen sebagai

sumber informasi dalam menentukan keputusan pembelian. Selain itu, penelitian

ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena membawa pembaruan dengan

konsep endorser yang digunakan.

6

F. Kerangka Teori

1. Isi Pesan dan Kredibilitas Endorser dalam Pesan Endorser

Kehadiran sosok endorser tidak begitu saja mampu mempengaruhi atau

mempersuasi publik, tetapi terdapat faktor lain yaitu pesan yang dibawa dalam

informasi-informasi yang disampaikan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

tidak hanya kehadirannya yang berpengaruh tetapi terlebih pada pesan yang

dibawa oleh endorser dan bagaimana pesan yang ingin disampaikan tersebut

mampu tersampaikan dengan baik merupakan hal yang juga memiliki peran

penting. Namun terlebih dahulu dapat dijelaskan mengenai bagaimana konsep dan

definisi tentang endorser.

Endorsement adalah segala bentuk pesan yang diberikan dalam kegiatan

pemasaran, dimana konsumen cenderung mempercayai opini, keyakinan,

pendapat, atau pengalaman dari pihak lain selain perusahaan tersebut sebagai

sponsor (Tobin, 1975). Endorser merupakan seorang yang mendapat pengakuan

publik, popular, terkenal, dan menggunakan ketenaran yang dimilikinya itu untuk

mendukung suatu produk dalam iklan (McCracken, 1989). Endorser dapat

dikatakan pula sebagai seseorang yang dikenal luas dan mempunyai kemampuan

untuk memberikan pernyataan yang valid (Atkin and Block, 1983).

Endorser merupakan icon atau sosok tertentu yang sering juga disebut

sebagai direct source (sumber langsung) untuk mengantarkan sebuah pesan dan

atau memperagakan sebuah produk atau jasa dalam kegiatan promosi yang

bertujuan untuk mendukung efektifitas penyampaian pesan produk (Belch and

Belch:2004, 168). Konsep dari kehadiran endorser ini mulai disadari para

perusahaan untuk menggunakannya dalam komunikasi pemasaran. Namun

perusahaan perlu memperhatikan dalam penerapan konsep endorser yaitu pada

pemilihan sosok endorser. Perusahaan harus memilih endorser yang dapat

mewakili produk yang dipasarkan dengan melihat dari kredibilitas dan daya tarik

endorser. Hal ini bertujuan agar pesan yang ingin disampaikan dapat

tersampaikan dengan baik sehingga mendukung keberhasilan tujuan perusahaan.

7

Strategi penggunaan endorser menjadi daya tarik tersendiri bagi

konsumen terlebih apabila endorser yang terpilih mampu mempengaruhi

konsumen dan merepresentasikan produk yang dipasarkan. Sehingga dalam

penggunaan endorser, perusahaan bertujuan untuk menciptakan brand image

yang positif terhadap brand yang dibawa oleh endorser dan menciptakan identitas

sesuai dengan sosok endorser yang digunakan. Hal ini dikarenakan konsep

endorser dapat mempengaruhi emosional konsumen secara umum. Sehingga

penggunaan endorser diharapkan mampu meningkatkan keinginan konsumen

untuk membeli brand yang dipasarkan. Oleh karena itu perusahaan harus mampu

memahami adanya jenis-jenis dukungan yang dapat diberikan kepada brand, yaitu

brand endorser dan brand ambassador. Brand endorser dan brand ambassador

memiliki kesamaan dimana keduanya mendukung keberadaan sebuah brand tetapi

komitmen mereka berbeda. Brand endorser digunakan oleh perusahaan untuk

memasarkan sebuah brand, sementara brand ambassador hanya sebagai duta

yang terpilih yang akan mengikuti keseluruhan kegiatan pemasaran.

Dalam pemilihan sosok endorser, perusahaan harus memperhatikan

kredibilitas dan daya tarik yang dimiliki sosok endorser terkait dengan upaya

menarik konsumen baru maupun mempertahankan konsumen lama. Hal tersebut

dikarenakan apabila perusahaan tidak tepat dalam pemilihan sosok endorser,

maka akan berakibat fatal terkait siklus hidup produk maupun perusahaan.

Persepsi terhadap kredibilitas sosok endorser ditentukan secara subjektif

melalui penilaian secara individual tentang bagaimana persepsi konsumen

terhadap sosok endorser yang dirasa labih penting fakta tentang kualitas yang

dimiliki sosok endorser tersebut dalam membawakan pesan yang dibawa olehnya

serta meyakinkan konsumen (Erdogan, Barker, dan Tagg, 2001). Ohanian (1990)

pada penelitiannya “The Source Credibility” telah dikumpulkan beberapa literatur

terdahulu dan mengusulkan tiga dimensi yang memperngaruhi kredibilitas sebagai

endorser, yaitu attractiveness, trustworthiness dan expertise.

Mowen dan Minor (2002) menjelaskan adanya karakteristik yang dimiliki

oleh endorser sebagai atribut yang mempengaruhi efektivitas proses komunikasi.

8

Dalam membentuk personaliti maupun gambaran sebuah brand, sosok endorser

memiliki peran penting dimana sebuah personaliti maupun gambaran dari sebuah

brand adalah bentuk pembeda dengan brand lain dan para pesaingnya. Melalui

endorser, perusahaan menggambarkan personaliti maupun gambar dari brand

miliknya sehingga konsumen akan sadar akan keberadaan brand tersebut. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa kehadiran sosok endorser dalam kegiatan

pemasaran memiliki arti bahwa dengan menghubungkan sosok endorser dengan

brand, maka perusahaan secara langsung mampu mentransfer arti tersebut ke

dalam brand mereka. Mowen dan Minor kembali menjelaskan bahwa adanya lima

atribut yang memfasilitasi keberhasilan pesan yang disampaikan oleh sosok

endorser untuk dapat mempengaruhi konsumen dan memberikan persepsi tentang

sebuah brand dalam benak konsumen. Kelima atribut tersebut yaitu:

1. Trustworthiness (dapat dipercaya) mengacu kepada kejujuran, integritas,

dan kepercayaan diri dari sosok endorser. Penilaian kepercayaan

bergantung pada persepsi konsumen dan motivasi endorser sebagai

pendukung pesan kegiatan pemasaran. Endorser yang mendukung

kegiatan pemasaran karena motivasi murni dari kepentingan diri sendiri

akan menjadi kurang meyakinkan bagi konsumen. Endorser sebagai

orang yang objektif dan tidak mengambil keuntungan akan mendapat

kepercayaan konsumen.

2. Expertise (keahlian) menjelaskan pada pengetahuan, pengalaman, atau

keahlian yang dimiliki seorang endorser yang dikaitkan dengan brand

yang didukung. Endorser yang dianggap ahli dalam suatu bidang akan

lebih persuasif dalam mengubah opini konsumen bila mendukung bidang

keahlian endorser tersebut.

3. Attractiveness (daya tarik) yang dimiliki endorser akan menimbulkan

ketertarikan bagi konsumen. Konsumen mengidentifikasi endorser

tersebut dan mempunyai kecenderungan mengadopsi sikap, perilaku,

kepentingan, atau preferensi tertentu dari endorser. Endorser yang

menarik akan menimbulkan asosiasi positif dan merefleksikan brand yang

9

diiklankan dengan lebih baik daripada endorser yang mempunyai daya

tarik rata-rata.

4. Respect (kualitas dihargai) dari endorser yang dicapai secara personal.

Endorser yang dihargai secara umum disukai sehingga dapat digunakan

untuk meningkatkan ekuitas merek (brand equity).

5. Similarity (kesamaan) antara endorser dan konsumen dalam beberapa hal

dapat digunakan untuk meningkatkan perhatian konsumen.

Selain hal-hal tersebut di atas, endorser juga harus memperhatikan isi

pesan dalam informasi-informasi yang disampaikan. Isi pesan merupakan suatu

hal yang disampaikan berupa kata-kata, tulisan atau gambar agar dapat diingat,

dikenali, dipercaya, dan mempengaruhi konsumen untuk membeli (Kasali, 1992).

Menurut Kotler dan Armstong (2001), pesan yang disampaikan mempunyai daya

tarik apabila mempunyai tiga sifat. Sifat yang dimaksud adalah iklan harus

bermakna (meaningful) dengan menunjukkan manfaat-manfaat yang membuat

produk menarik dan lebih diinginkan. Informasi yang diberikan harus dapat

dipercaya (believable) dengan produk yang memberikan manfaat yang telah

dijanjikan dan khas (distinctive) yang harus menjelaskan produk lebih baik

daripada merek-merek pesaing.

2. Beauty Vlogger

Seiring perkembangan teknologi informasi dan media komunikasi,

berbagai platform media sosial pun ikut perkembang dan bertambah. Kehadiran

media sosial memudahkan masyarakat dalam berkomunikasi dan berinteraksi satu

dengan yang lain di dunia maya. Oleh karena itu saat ini media sosial tidak hanya

menjadi pelengkap sebagai media komunikasi, tetapi media sosial telah menjadi

salah satu kebutuhan pokok bagi manusia. Sebelum bermunculan media sosial

seperti saat ini, Facebook, Twitter, LinkedIn dan Instagram, masyarakat pada

umumnya lebih dahulu mengenal adanya blog sebagai media guna berbagi

informasi. Menurut Safko (2012: 149-150) blog atau web log adalah sebuah

website yang dikelola secara individu oleh para pemiliknya (bloggers) melalui

10

pemasangan komentar, pikiran, ide, foto, grafis, suara atau video. Posting yang

paling sering ditampilkan sebagai sebuah urutan kronologis terhadap suatu

fenomena yang dialami atau dikisahkan oleh bloggers. Kelebihan dari blog

adalah adanya fitur penambahan komentar terhadap postingan yang dapat

diberikan oleh pembaca dan blogger lainnya. Selain itu juga pembaca dapat

memperoleh informasi dengan cara mengakses halaman blog milik blogger tanpa

harus memiliki akun blog atau menjadi blogger.

Sebuah blog, menurut Philips dan Young (2009: 12), dapat bersifat

personal atau terkait dengan bisnis. Blog bisnis dapat digunakan untuk

komunikasi internal kepada karyawan, atau sengaja dirancang untuk dilihat oleh

publik. Oleh karena itu tak jarang blog dimanfaatkan untuk upaya penjualan dan

komunikasi pemasaran. Salah satu peluang yang disadar oleh perusahaan akan

hadirnya blog adalah untuk mendongkrak penyaluran informasi terkait perusahaan

kepada konsumen maupun publik. Para blogger digunakan untuk menyampaikan

informasi tentang brand maupun perusahaan dengan caranya sendiri tetapi tetap

terarah yang kerap kali mampu mempengaruhi alur pemikiran dari penikmat blog

tersebut. Menurut Onggo (2004: 54) salah satu tujuan penting dari keterlibatan

bloggers dalam satu kegiatan bisnis tertentu ialah untuk memenangkan kompetisi

dengan mengalahkan para pesaing di dunia maya.

Pada awal kemunculannya, blog berfokus pada penyebaran informasi oleh

blogger yang disampaikan melalui tulisan dan tidak menutup kemungkinan

disampaikan melalui gambar atau video. Namun perkembangan jaman mengubah

para penikmat blog untuk lebih menikmati informasi dengan format audio visual

atau video yang dirasa memiliki daya tarik dan mampu dipahami lebih mudah.

Oleh karena itu para blogger memutuskan untuk berpindah menggunakan

platform media sosial lain yaitu YouTube yang memfasilitasi penyebaran

informasi dengan format video. Perpindahan ini pun mulai mengubah rutinitas

pada blogger yang tidak lagi menuliskan setiap informasi yang mereka miliki

dalam bentuk tulisan tetapi dengan menyampaikannya melalui video. Perubahan

media sosial yang digunakan dan format dalam menyampaikan informasi yang

11

diberikan ini membawa perubahan dalam penyebutan para blogger yang berubah

menjadi vlogger, video blogger.

Vlogger pada dasarnya memiliki kesamaan konsep dengan blogger dimana

mereka tetap menyampaikan informasi maupun pengalaman pribadi mereka

masing-masing sesuai dengan bidang yang mereka tekuni. Kehadiran vlogger juga

menerpa dalam bidang kecantikan dan kosmetik yang menghadirkan adanya

sosok beauty vlogger. Beauty vlogger merupakan sosok yang memiliki keahlian

atau konsentrasi dalam bidang kecantikan yang memberikan informasi terkait

produk-produk kecantikan yang telah mereka gunakan atau dengan kata lain para

beauty vlogger memberikan pengalaman mereka dalam menggunakan produk

kecantikan. Beauty vlogger bersifat objektif terhadap beragam produk yang

mereka gunakan sehingga informasi yang disampaikan pun dapat berupa positif

maupun negatif dari produk yang telah digunakan.

3. Brand Image

Kehadiran beauty vlogger dalam ranah industri kosmetik dirasa menjadi

penolong tidak hanya bagi konsumen tetapi juga bagi perusahaan. Melalui beauty

vlogger dan informasi yang diberikan, konsumen mendapatkan informasi terkait

produk-produk yang mereka butuhkan dengan ulasan atau review dari beauty

vlogger yang dapat menjadi acuan dalam pemilihan produk. Review yang

diberikan bersifat objektif dari pengalaman penggunaan produk sehingga tak

jarang para beauty vlogger tidak hanya memberikan kelebihan dari sebuah produk

tetapi juga kekurangannya. Hal inilah yang mampu membentuk persepsi

konsumen tentang produk dan juga menjadi salah satu dasar bagi konsumen untuk

mempercayai informasi yang diberikan agar konsumen tidak melakukan

kesalahan pembelian. Berdasarkan sikap konsumen itulah, produsen mulai

menyadari bahwa adanya pengaruh dari beauty vlogger terhadap pemikiran

konsumen yang mampu membentuk brand image bagi sebuah produk.

Keuntungan yang disadari inilah yang menggerakkan perusahaan dalam

membangun sebuah brand image menggunakan peran dari beauty vlogger.

12

“A brand image is a mental image that reflects the way consumers

perceive the brand, including all the identification elements, the product

personality and the emotions and associations evoked in the mind consumers”

(Wells, Burnett, & Moriarty, 2000: 163). Sebuah brand image adalah gambaran

mental yang mencerminkan bagaimana konsumen melihat brand, termasuk

seluruh elemen pengenal, kepribadian produk dan emosi serta asosiasi yang

muncul dalam pikiran konsumen.

Kotler dan Amstrong (2001: 225) mendefinisikan brand image sebagai

seperangkat keyakinan konsumen mengenai brand tertentu. Brand image

memberi penekanan pada penerimaan konsumen dan cara pandang konsumen

terhadap sebuah brand. Sehingga brand image merupakan kumpulan persepsi

mengenai sebuah brand yang saling berkaitan dan hanya ada dalam pikiran

manusia.

Sebelum memahami tentang brand image, maka terlebih dahulu

memahami tentang konsep brand dan image yang dibangun dalam brand. Setiap

perusahaan memerlukan keunikan tersendiri agar dikenal oleh publik yang pada

akhirnya mampu menarik konsumen. Salah satu upaya yang dilakukan adalah

pembentukan sebuah brand (branding). Brand merupakan pembeda antara satu

produk dengan produk lain dan antar perusahaan. Oleh karena peran brand

tersebut, brand dapat dikatakan sebagai salah satu aset yang dimilik perusahaan

yang apabila dapat dikelola dengan baik maka akan membawa manfaat untuk

kehidupan perusahaan tersebut.

Brand menjadi sebuah fenomena baru yang kompleks dimana dalam

pengelolaannya perusahaan memberikan perhatian lebih karena keberhasilan

sebuah brand juga merupakan keberhasilan dari perusahaan. Berdasaran jurnal

yang berjudul What Is A Brand? A Perspective on Branding Meaning yang ditulis

oleh Upendra Kumar Maurya dalam European Journal of Business and

Management, vol 4, no 3, hal 123, brand dijelaskan “..as a name, term, design,

symbol, or a combination of them, intended to identify the goods or services of

one seller or group of sellers and to differentiate them from competitor. In the

13

other words brands are means to differentiate from the competitors (or future

competitors)”. Dalam jurnal tersebut, brand dijelaskan sebagai pembeda tidak

hanya sebatas logo perusahaan tetapi brand memiliki peran-peran penting yang

membawa brand sebagai sebuah janji yang diberikan oleh perusahaan sehingga

perusahaan harus semaksimal mungkin meyakinkan konsumen bahwa janji yang

telah diberikan mampu ditepati sesuai dengan kebutuhan dan permintaan

konsumen. Brand sebagai sebuah janji merupakan bentuk dari visi yang diberikan

dalam kegiatan komunikasi pemasaran tentang bagaimana seharusnya sebuah

brand dan apa yang harus dilakukan untuk konsumen dalam jangka waktu singkat

maupun panjang. Brand merupakan bentuk perjalanan sebuah hubungan yang

berkembang berdasarkan pengalaman dan persepsi konsumen.

Kehadiran sebuah brand membawa nilai-nilai yang ingin disampaikan

oleh perusahaan kepada konsumen. Sebuah brand yang kuat dapat membawa

perusahaan kepada keberhasilan, sehingga perusahaan harus menetapkan strategi-

strategi khusus agar brand mereka mampu diterima oleh konsumen. Salah satunya

adalah dengan brand building adalah dengan membangun, meningkatkan, atau

menaikkan ekuitas brand yang dimensi-dimensi utamanya adalah kesadaran

asosiasi dan loyalitas pelanggan.

Ekuitas brand (brand equity) yang dimaksud adalah berupa nilai tambah

yang diberikan kepada produk dan jasa. Brand equity dapat tercermin dalam cara

konsumen berpikir, merasa, dan bertindak dalam hubungannya dengan merek, dan

juga harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang diberikan merek kepada

perusahaan (Kotler dan Keller, 2012: 263). Keterkaitan konsumen pada sebuah

brand terkait dengan brand equity yang ada mampu membentuk atau

mempengaruhi persepsi-persepsi yang ada dalam benak konsumen. Persepsi-

persepsi inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah image yang diberikan kepada

konsumen terhadap sebuah brand, atau brand image.

Hogan (2005) menggambarkan brand image sebagai asosiasi dari semua

informasi yang tersedia mengenai produk, jasa dan perusahaan dari brand yang

dimaksud. Informasi yang didapatkan dapat melalui pengalaman konsumen secara

14

langsung yang terdiri dari kepuasan fungsional dan emosional serta informasi

melalui persepsi yang dibentuk oleh perusahaan dari brand tersebut melalui

berbagai bentuk komunikasi, seperti iklan, promosi dan hubungan masyarakat

(public relation). Brand tidak hanya memenuhi janji yang diberikan oleh

perusahaan tetapi juga harus mampu memahami kebutuhan konsumen dan

mengusung nilai-nilai yang diinginkan oleh konsumen.

“Brand image can be defined as a perception about brand as reflected by

the brand association held in consumer memory” (Keller, 1998: 93). Sehingga

brand image dikatakan sebagai persepsi tentang brand yang digambarkan oleh

asosiasi dengan sebuah brand yang ada dalam ingatan manusia sebagai

konsumen. Oleh karena itu, brand image merupaka refleksi konsumen yang

berpegang pada ingatan konsumen dengan cara orang berpikir tentang sebuah

brand secara abstak meskipun konsumen tidak dihadapkan langsung pada brand

tersebut.

Dalam mengupayakan terbentuknya brand image di benak masyarakat,

maka perusahaan membutuhkan program komunikasi pemasaran yang kuat

(strenght), menyenangkan konsumen (favorable), dan berbeda dari pesaing

(unique) sehingga ingatan konsumen tentang brand dapat melekat dalam benak

mereka (brand association). Brand association merupakan segala sesuatu yang

dapat mengaitkan konsumen terhadap suatu merek, seperti pikiran, perasaan,

pengalaman, persepsi, citra, kepercayaan, sikap, dan sebagainya (Kotler dan

Keller, 2012). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang

mendukung terbentuknya brand image yang saling berhubungan dan

mempengaruhi satu sama lain, yaitu:

a. Strenght of brand association/familiarity of brand association (kekuatan

asosiasi brand)

b. Favorability of brand association (keunggulan asosiasi brand)

c. Uniqueness of brand association (keunikan asosiasi brand)

Strenght of brand association merupakan bentuk dari asosiasi dari sebuah

brand sebagai hasil dari penerimaan informasi oleh konsumen. Semakin kuat atau

15

dalam konsumen memikirkan informasi yang mereka terima tentang suatu

produk, maka akan semakin kuat pula asosiasi sebuah brand yang akan terbentuk.

Oleh karena itu untuk memperkuat asosiasi sebuah brand maka terdapat faktor

pendukung yaitu tingkat relevansi informasi terhadap target dan tingkat

konsistensi penyampaian informasi sepanjang waktu.

Favorability of brand association muncul karena keinginan dari

perusahaan melalui sebuah brand untuk meyakinkan konsumen bahwa brand

tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan sehingga anggapan positif

dapat muncul dengan sendirinya. Terdapat dua nilai yakni nilai positif dan nilai

negatif dimana subjek sudah tidak lagi dilihat sebagai konten dalam brand image

melainkan dilihat sebagai sebuah rasa yang muncul dari konsumen akibat dari

setiap asosiasi yang ada (Riezebos, 2003). Sedangkan uniqueness of brand

association hadir sebagai faktor pembeda dari brand lainnya dan suatu poin yang

dapat diunggulkan perusahaan apabila dibandingkan dengan pesaing lainnya. Hal

inilah yang menjadi dasar konsumen memilih brand tersebut.

Dalam penelitian ini, favorability of brand association mengukur seberapa

kuat responden menyukai The Body Shop sebagai produk yang bermanfaat bagi

mereka. Strenght of brand association mengukur seberapa kuat brand image yang

terbentuk dalam benak konsumen. Asosiasi yang kuat ini terbentuk berdasarkan

bagaimana program komunikasi pemasaran dan pengalaman konsumen terhadap

suatu brand. Uniqueness of brand association mengukur keunikan yang dimiliki

sebuah brand dihadapan konsumen. Beragam keunikan yang dimilik oleh brand

harus dapat ditanamkan oleh brand kepada kosmetik agar konsumen memiliki

kesan tersendiri terhadap brand image.

4. Teori Stimulus Organism Response

Teori Stimulus Organism Response merupakan salah satu teori yang

berada dalam ranah komunikasi massa. “Mass communication is messages

communicated through a mass medium to a large number of people”. Komunikasi

16

massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah

orang (Rakhmat, 2004: 188). Pada umumnya, komunikasi massa memerlukan

khalayak sebagai komunikan. Namun beberapa ahli komunikasi berpendapat

bahwa mass communication adalah komunikasi melalui media massa. Oleh

karena itu, untuk memudahkan penafsiran dari komunikasi massa, terdapat ciri-

ciri komunikasi massa, yaitu berlangsung satu arah, komunikator bersifat

melembaga, pesan yang disampaikan bersifat umum, media yang digunakan

menimbulkan keserempakan dan komunikan bersifat heterogen. Dalam

komunikasi massa, feedback merupakan hal penting dan utama yang dapat

mendukung keberhasilan dari komunikasi massa dengan menculnya respon-

respon yang terjadi secara sengaja maupun tidak. Feedback yang diberikan

merupakan hasil dari stimulus yang diberikan oleh komunikator, dimana dalam

komunikasi massa dikenal adanya 3 teori mengenai stimulus, yaitu teori stimulus

response, teori stimulus organism response, dan teori stimulus message channel

receiver.

a. Teori Stimulus Response (S-R)

Teori stimulus dan respons adalah salah satu teori yang

menjelaskan bahwa adanya proses komunikasi yang berjalan satu arah.

Teori ini merupakan suatu prinsip sederhana, dimana efek merupakan

rekasi terhadap stimulus tertentu. Stimulus merupakan informasi-informasi

yang diterima secara fisik melewati panca indera (Arens, Schaefer, dan

Weigold, 2009: 130). Sementara respon merupakan bentuk reaksi yang

diberikan individu terhadap dorongan yang ada dalam dirinya yang

mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku.

Teori stimulus respon juga dikenal dengan istilah teori peluru atau

teori jarum hipodemik (hypodermic needle theory). Teori ini mengatakan

bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa

(Fleur & Rokeach, 1989). Apabila pesan-pesan tersebut tepat sasaran,

maka akan mendapatkan efek yang diinginkan (Severin & Tankard, 2007:

17

146-147). Dalam teori ini, media massa memiliki pemikiran bahwa

audience dapat ditundukkan sedemikian rupa atau bahkan bisa dibentuk

dengan cara apapun yang dikehendaki media.

Teori S-R ini berkembang pada tahun 1920 yang dilatarbelakangi

adanya propaganda yang dilakukan oleh pemerintah melalui media massa,

yaitu surat kabar dan radio. Propaganda yang dilakukan oleh pemerintah

ini dirasa efektif untuk mempengaruhi karena mampu menjangkau

masyarakat secara luas. Dalam melakukan propaganda, pemerintah

memberikan pesan-pesan melalui media dengan sangat cepat dan kondisi

ini menyebabkan perkembangan teori peluru (bullet theory) yang

mengibaratkan pesan-pesan yang diberikan seperti peluru-peluru senapan

yang mampu merobohkan siapa saja yang terkena peluru (Wiryanto, 2000:

20).

Dengan demikian, the bullet theory dan hypodermic needle theory

memandang bahwa media massa merupakan wakil dari pemerintah atau

penguasa yang dapat membentuk opini publik dan menggeser perilaku

publik sesuai dengan keinginan pemberi pesan. Sehingga teori ini

dikatakan sebagai proses komunikasi satu arah.

b. Teori Stimulus Organism Response

Teori Stimulus Organism Response (S-O-R) muncul setelah adanya

propaganda yang dilakukan oleh pemerintah. Komunikasi pada masa

propaganda yang bersifat satu arah mulai tergantikan dengan komunikasi

dua arah dimana adanya pemberi pesan (sender) yang mengarapkan

respon atau feedback dari penerima pesan (receiver). Oleh karena itu,

teori ini secara sederhana memiliki elemen utama, yaitu pesan (stimulus),

receiver (organisme), dan efek (response)(Djamal & Fachruddin, 2011:

69). Dalam teori ini terdapat organisme sebagai penengah antara stimulus

dan respons (Miller, 2002: 238). Teori ini melihat bahwa pesan yang

18

diberikan oleh media akan menghasilkan respons yang bervariasi dari

individu yang menerimanya.

c. Teori Stimulus Messages Channel Receiver

Teori yang dikemukakan oleh David K. Berlo ini menekankan

pada adanya source (sumber), message (pesan), channel (saluran), dan

receiver (penerima). Berlo menambahkan penjelasannya bahwa sumber

adalah pihak yang menciptakan pesan, baik seseorang maupun suatu

kelompok. Pesan adalah terjemahan gagasan ke dalam suatu kode

simbolik, seperti bahasa atau isyarat. Saluran adalah medium yang

membawa pesan, dan yang terakhir adalah penerima sebagai orang yang

menjadi sasaran komunikasi (Fiske, 2012: 137). Teori ini memiliki

kelebihan dimana tidak adanya batas pada komunikasi massa tetapi juga

dapat ditemui dalam komunikasi antar pribadi dan berbagai bentuk

komunikasi lainnya.

Dalam teori ini terdapat proses komunikasi secara dinamik,

berkelanjutan dan berubah-ubah (on going) tanpa adanya titik awal

(starting point) atau titik akhir (stopping point). Oleh karena itu, dalam

menganalisa proses komunikasi ini perlu dilakukan pemenggalan

dinamika komunikasi yang menunjukkan siklus komunikasi S-M-C-R

secara utuh

Secara umum, teori-teori komunikasi yang ada memiliki kelebihan dan

kekurangan yang dapat melengkapi satu sama lain. Hal ini mengakibatkan tidak

semua teori dapat digunakan untuk menggambarkan sebuah fenomena yang

terjadi. Seperti yang terjadi pada penelitian ini yang bertujuan untuk melihat

adanya pengaruh endorser terhadap brand image melalui beauty vlogger. Terkait

dengan hal tersebut, terdapat titik awal proses komunikasi yaitu penggunaan

beauty vlogger sebagai bentuk endorser untuk mewakili sebuah brand dengan

19

titik akhirnya adalah brand image yang ada dalam benak konsumen atau audiens.

Sehingga penelitian ini menggunakan teori stimulus organism response.

Untuk mengukur atau mengetahui adanya pengaruh dari endorser terhadap

brand image, maka digunakan teori stimulus organism response dimana teori ini

berasumsi dasar adanya efek terarah yang ditimbulkan oleh media massa secara

segera dan terarah (Effendy, 2003: 252). Teori ini menekankan adanya aksi-reaksi

dimana kata-kata verbal, isyarat non verbal, simbol-simbol tertentu akan

merangsang pihak lain untuk memberikan respon dengan cara tertentu.

Sederhanya bahwa teori ini memiliki prinsip adanya respon sebagai reaksi balik

dari satu pihak ketika merima stimulus dari pihak lain. Unsur-unsur dalam teori

ini adalah pesan (stimulus), komunikan (organism), dan efek (response) (Effendy,

2003: 254).

Gambar 1.1

Model S-O-R

(Sumber: Effendy, 2003: 255)

Teori ini mejelaskan bahwa organisme dapat menghasilkan perilaku

tertentu jika ada stimulus tertentu sehingga efek yang ditimbukan adalah reaksi

khusus. Reaksi ini dikatakan sebagai respon atau perubahan sikap. Namun pada

proses di atas menggambarkan perubahan sikap bergantung kepada proses yang

terjadi pada individu. Stimulus yang diberikan kepada organisme dapat diterima

atau ditolak sehingga proses selanjutnya terhenti. Hal ini menandakan bahwa

stimulus tersebut tidak efektif dalam mempengaruhi organisme, maka tidak ada

perhatian (attention) dari organisme. Jika stimulus diterima oleh organisme maka

akan terjadi komunikasi dan ada perhatian dari organisme, dalam hal ini stimulus

20

yang diberikan efektif dan mampu menimbulkan reaksi. Langkah selanjutnya

adalah jika stimulus telah mendapatkan perhatian dari organisme maka dapat

terjadi kesediaan dalam mengubah sikap. Dalam perubahan sikap ini dapat terlihat

bahwa sikap dapat berubah hanya jika rangsangan yang diberikan melebihi

rangsangan semula. Perubahan terjadi apabila stimulus yang diberikan dapat

meyakinkan organisme, dan akhirnya secara efektif dapat mengubah sikap.

Hovland (dalam Effendy, 2003: 255) menjelaskan bahwa perubahan sikap adalah

serupa dengan proses belajar. Dalam mempelajari sikap yang baru, ada tiga

variabel penting yang menunjang, yaitu perhatian, pengertian, dan penerimaan.

Terpilihnya teori stimulus organism response dibandingkan dua teori

lainnya adalah karena teori stimulus channel message receiver (S-C-M-R) lebih

menjelaskan secara detail dimana setiap elemen dalam teori perlu penjabaran

secara luas. Teori S-C-M-R memiliki proses komunikasi yang dinamis dan

berkesinambungan sehingga tidak diketahui titik awal dan akhirnya yang apabila

digunakan dalam penelitian ini akan menimbulkan tidak adanya fokus pada satu

sumber tertentu. Sementara teori stimulus response (S-R) menjelaskan bawa

media massa menembakkan keinginan dari sumber langsung ke dalam pemikiran,

sikap dan perilaku yang akan dilakukan oleh penerima pesan yang berakibat

terabaikannya faktor-faktor lain dalam diri komunikan. Dalam teori S-R, hasil

dari komunikasi yang terjadi sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator

sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini merupakan bentuk komunikasi satu arah.

Pada penelitian ini digunakan teori Stimulus Organisme Response (S-O-R)

dimana memiliki tujuan dengan titik awal dan titik akhir yang jelas. Titik awal

dalam penelitian ini adalah pesan yang disampaikan pada penggunaan beauty

vlogger sebagai sosok endorser kemudian titik akhir dari penelitian ini adalah

brand image yang dihasilkan sebagai bentuk respon. Dikaitkan dengan teori S-O-

R ini, maka stimulus yang dimaksud adalah pesan yang disampaikan oleh beauty

vlogger sebagai sosok endorser, organisme yang digunakan adalah para audiens,

dan response yang diberikan adalah brand image dari produk The Body Shop.

21

G. Kerangka Konsep

Melalui pemaparan kerangka pemikiran tersebut, maka penelitian ini

menentukan konsep batasan yaitu pada konsep pesan beauty vlogger sebagai salah

satu bentuk dari endorser, konsep audiens, dan konsep brand image. Sementara

untuk teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Stimulus-Organism-

Respons (S-O-R). Dalam teori ini diasumsikan bahwa penyebab terjadinya

perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsangan (stimulus) yang

berkomunikasi dengan organisme. Oleh karena itu elemen-elemen yang

dibutuhkan dalam teori ini adalah pesan (stimulus), komunikan (organisme), dan

efek (respon).

Konsep pesan beauty vlogger sebagai endorser merupakan salah satu

bentuk kreatifitas dalam proses komunikasi pemasaran dengan konsep pendukung

(endorser) yang diharapkan mampu membantu dalam pencapaian tujuan

perusahaan dan menciptakan brand image produk pada benak konsumen. Dalam

proses penyampaian pesan yang disampaikan oleh beauty vlogger, perlu

diperhatikan adanya faktor dari pihak endorser agar pesan dapat tersampaikan

dengan baik yaitu trustworthiness (dapat dipercaya), expertise (keahlian),

attractiveness (daya tarik), respect (kualitas dihargai), dan similarity (kesamaan)

dengan memenuhi syarat-syarat pesan yang ideal, yaitu meaningful, believable,

dan destinctive. Sementara konsep audiens dalam hal ini merupakan bentuk

perhatian akan sosok beauty vlogger, pengertian terhadap sosok beauty vlogger,

dan penerimaan akan sosok beauty vlogger yang didapatkan setelah menerima

informasi atau stimulus dari beauty vlogger. Pada akhirnya muncul konsep brand

image sebagai hasil dari konsep-konsep sebelumnya dimana kehadirannya

dipengaruhi oleh faktor-faktor favorability of brand association, strenghtness of

brand association, dan uniqueness of brand association.

Mengacu pada kerangka pemikiran dan teori yang digunakan, berikut

adalah bagan kerangka konsep penelitian ini, untuk menggambarkan alur

konseptual penelitian ini.

22

Gambar 1.2

Kerangka Konsep

Bagan tersebut menunjukkan adanya tiga variabel utama dalam penelitian

ini. Variabel pertama adalah adanya kredibilitas dari beauty vlogger dan pesan

beauty vlogger yang merupakan variabel independen dalam penelitian ini.

Variabel kedua adalah audiens yang merupakan variabel anteseden. Sementara

variabel dependen dalam penelitian ini adalah brand image produk yang diteliti.

Oleh karena itu, untuk mengetahui variabel-variabel dari bagan kerangka konsep

di atas akan dijelaskan dalam tabel operasionalisasi konsep selanjutnya.

STIMULUS Kredibilitas beauty vlogger (X1,1)

− Trustworthiness (X1,1,1)

− Expertise (X1,1,2)

− Attractiveness (X1,1,3)

− Respect (X1,1,4)

− Similarity (X1,1,5)

Pesan beauty vlogger (X1,2)

− Meaningful (X1,2,1)

− Believable (X1,2,2)

− Distinctive (X1,2,3)

ORGANISM

Audiens (X2)

− Perhatian beauty

vlogger (X2,1)

− Pengertian beauty vlogger (X2,2)

− Penerimaan beauty vlogger (X2,3)

RESPONSE

Brand Image − Strenght of

brand association (Y1)

− Favorability of brand association (Y2)

− Uniqueness of brand association (Y3)

23

H. Operasionalisasi Konsep

Tabel 1.1

Operasionalisasi Konsep

No Konsep Variabel Dimensi Item Skala

1 Stimulus

Kredibilitas Beauty Vlogger

Trustworthiness

Kejujuran Likert

Konsistensi Likert Kepercayaan Diri

Likert

Expertise

Pengetahuan terkait brand

Likert

Pengalaman dengan brand

Likert

Keahlian dalam brand

Likert

Attractiveness

Timbulnya asosiasi positif

Likert

Merefleksikan brand

Likert

Respect Penghargaan terhadap endorser

Likert

Similarity

Kesamaan brand dengan endorser

Likert

Kesamaan dengan diri sendiri

Likert

Pesan Beauty Vlogger

Meaningful Menampilkan manfaat Likert

Believable Dapat dipercaya Likert

Destinctive Menjelaskan kelebihan dari pesaing Likert

2 Organism Audiens Perhatian

Perhatian selektif Likert Perhatian terbagi Likert

24

Perhatian terus-menerus Likert

Pengertian Minat Likert Pengalaman Likert

Penerimaan

Penerimaan positif Likert Penerimaan negatif Likert

3 Response Brand Image

Strenght of Association

Atribut Likert Manfaat Likert

Favorability of Association

Desirability Likert Deliverability Likert

Uniqueness of Association

Point of parity Likert Point of difference Likert

I. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini digunakan dua variabel, yaitu variabel independen

dan variabel dependen. Variabel adalah sesuatu yang mempunyai variasi nilai

sebagai operasional dari konsep sehingga dapat diteliti secara empiris

(Singarimbun, 1995: 42). Variabel dapat ditentukan dengan memilih dimensi-

dimensi tertentu dengan konsep yang memiliki variasi nilai. Oleh karena itu,

definisi operasional variabel ntuk masing-masing variabel dan indikatornya

adalah:

1. Dimensi kredibiltas endorser dalam pesan beauty vlogger

Pesan yang disampaikan oleh beauty vlogger sebagai bentuk endorser

merupakan variabel bebas dalam penelitian ini. Selain itu di dalam pesan yang

dibawanya, beauty vlogger juga harus memperhatikan kredibilitas dari sosok

endorser yang digunakan agar pesan yang disampaikan dapat dikatakan ideal.

Variabel bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi

sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2006: 33).

Variabel bebas (X1) dalam penelitian ini terdapat 8 (delapan) item, yaitu:

a. Trustworthiness (X1,1,1) merupakan model pola kepercayaan dan tingkat

penerimaan konsumen akan suatu pesan yang dibawa oleh sosok beauty

25

vlogger yang mengarah pada kepercayaan konsumen terhadap

kemampuan membawa pesan dalam menyediakan informasi dengan tidak

bias dan dengan cara yang baik. Hal oini diukur dengan indikator

kejujuran, konsistensi, dan kepercayaan diri.

b. Expertise (X1,1,2)merupakan keahlian sosok endorser yang dibuktikan

dengan wawasan yang luas sehingga mampu mempengaruhi kesan dan

persepsi konsumen terhadap kualitas produk tertentu. Hal ini diukur

dengan indikator pengetahuan, pengalaman, dan keahlian endorser

terhadap brand tertentu.

c. Attractiveness (X1,1,3)merupakan sosok endorser yang menimbulkan

asosiasi positif dan merefleksikan brand dengan daya tarik yang

dimilikinya lebih baik daripada sosok endorser lainnya. Hal ini diukur

dengan indikator timbulnya asosiasi positif dan merefleksikan brand.

d. Respect (X1,1,4) merupakan bentuk sosok endorser yang dicapai secara

pesonal dimana sosok endorser dihargai secara umum. Hal ini diukur

dengan indikator seberapa besar konsumen menghargai kualitas yang

dimiliki sosok endorser tersebut.

e. Similarity (X1,1,5) merupakan kesan yang terpancar dari sosok endorser

dan kesan produk yang dibuat sedemikian rupa agar selaras sehingga

proses penyampaian pesan dapat berhasil mencapai tujuannya. Hal ini

diukur dengan indikator kecocokan antara brand dan endorser serta

kecocokan endorser dengan konsumen

f. Meaningful (X1,1,6)merupakan bentuk pesan yang mampu menunjukkan

manfaat-manfaat dari produk. Oleh karena itu indikator dalam variabel ini

adalah pesan yang mampu menampilkan manfaat dari produk.

g. Believable (X1,1,7) merupakan bentuk pesan dimana informasi yang

diberikan harus dapat dipercaya dengan indikator adanya pesan yang

meyakinkan konsumen.

26

h. Destinctive (X1,1,8) merupakan bentuk pesan dimana adanya informasi

pembeda. Sehingga dalam variabel ini terdapat indikator pemberian

informasi kelebihan produk dengan produk pesaing.

2. Dimensi Perhatian, Pengertian, dan Penerimaan audiens

Perhatian, pengertian dan penerimaan audiens merupakan variabel

anteseden (X2). Variabel antesenden merupakan variabel yang mendahului

terjadinya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen (Y).

Variabel anteseden ini bisa merupakan variabel yang dapat memediasi

hubungan antara variabel independen dan variabel dependen (intervening)

atau memoderasi sehingga hubungan antara variabel independen dan variabel

dependen semakin kuat (moderating).

a. Perhatian atau atensi (X2,1) adalah proses secara sadar sejumlah kecil

informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi

didapatkan dari penginderaan, ingatan maupun proses kognitif lainnya.

Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang

terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap

rangsangan tertentu (Robert J. Sternberg, 2008: 124). Hal ini diukur

dengan indikator: (1) Perhatian selektif, (2) Perhatian terbagi, dan (3)

Perhatian terus-menerus.

b. Pengertian (X2,2) adalah tahap dimana responden mencoba memahami

stimulus yang diberikan. Pengertian ini terjadi apabila responden

memberikan perhatian pada stimulus tersebut. Pengertian ini akan diukur

dengan indikator: (1) Minat dan (2) Pengalaman.

c. Penerimaan (X2,3) adalah tahap dimana responden mengambil kesimpulan

kepada stimulus yang diberikan. Hal ini akan diukur dengan indikator: (1)

Penerimaan positif dan (2) Penerimaan negatif.

3. Dimensi Brand Image

Brand image adalah variabel terikat dalam penelitian ini dimana variabel

terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena

27

adanya variabel bebas (Sugiyono, 2006: 33). Adapun untuk variabel terikat

(Y) dalam penelitian ini memiliki tiga item, yaitu:

a. Strenght of association (Y1) adalah bagaimana kekuatan asosiasi dari

sebuah brand berada dalam benak konsumen. Hal ini diukur dengan

indikator: (1) Atribut yang merupakan bentuk komposisi fisik dari produk

atau brand yang berkaitan dengan aspek tangible dan (2) Manfaat yang

merupakan nilai personal yang melekat pada atribut produk (Keller, 1993:

4).

b. Favorability of association (Y2) merupakan bentuk tingkat kesukaan

terhadap asosiasi sebuah brand. Hal ini diukur dengan indikator (1)

Desirability (keinginan) dan (2) Deliverability (ketersampaian).

c. Uniqueness of association (Y3) merupakan bentuk keunikan sebuah brand

yang membedakan dengan brand lain. Hal ini dapat diukur dengan

indikator Unique Seling Proposition yang merupakan hal yang

membedakan dengan milik pesaing.

J. Hipotesis

Hipotesis diartikan sebagai perkiraan hasil atas research question yang ada

dalam penelitian (Punch, 2005). Hipotesis dalam penelitian ini berdasarkan

konsep di atas adalah:

H0 : Beauty vlogger sebagai pendukung (endorser) tidak memiliki

hubungan korelasional dengan brand image produk The Body

Shop.

H1 : Beauty vlogger sebagai pendukung (endorser) memiliki

hubungan korelasional dengan brand image produk The Body

Shop.

28

K. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei.

Penlitian kuantitatif merupakan penelitian yang tidak mementingkan kedalaman

data, yang penting dapat merekam data sebanyak-banyaknya dari populasi yang

luas (Masyhuri dan Zainuddin, 2008: 13). Sementara metode yang digunakan

yaitu metode survei adalah metode yang mengumpulkan dan memperoleh data

secara langsung dari sumber lapangan penelitian, biasanya melalui kuisioner dan

wawancara baik secara lisan maupun tertulis yang memerlukan adanya kontak

secara tatap muka antara peneliti dengan respondennya (Ruslan, 2003: 22).

Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan

menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok

(Singarimbun, 1995: 3). Sehingga dengan menggunakan metode survei

memungkinkan peneliti untuk melakukan generalisasi suatu gejala sosial atau

variabel sosial tertentu kepada gejala sosial atau variabel sosial dengan populasi

yang lebih besar (Burgin, 2005: 35).

Penggunaan metode survei dikarenakan metode ini dianggap mampu

melakukan pengukuran secara cermat terhadap penelitian ini. Setelah data telah

diperoleh melalui responden, maka dilakukan pengolahan data untuk mengetahui

hubungan korelasional antara pesan beauty vlogger dengan brand image The

Body Shop.

2. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto, 2006:

108). Populasi dijelaskan oleh Sugiyono (2006: 72) adalah wilayah

generalisasi yang terdiri dari subjek atau objek yang mempunyai kualitas dan

karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan

kemudian ditarik kesimpulan. Oleh karena itu populasi pada dasarnya adalah

segala objek dan subjek yang diteliti dalam penelitian ini. Populasi dalam

29

penelitian ini tidak memiliki batasan geografis yaitu para subsribers Abel

Cantika dalam official account YouTube Abel Cantika yang berjumlah

105.995 orang (data per tangal 25 September 2016). Oleh karena itu jumlah

tersebut ditetapkan sebagai populasi dari penelitian ini dikarenakan tidak

adanya sifat intervensi dari pihak manapun sehingga bersifat objektif.

Penetapan populasi dikaitkan oleh media yang digunakan oleh sosok

endorser dalam menyampaikan pesan yaitu menggunakan media sosial, salah

satunya YouTube.

b. Sampel

Sampel merupakan bagian dari populasi atau bagian dari karakteristik

yang dimiliki oleh populasi yang akan diteliti (Umar, 2000: 145). Penentuan

jumlah sampel pada penelitian ini berdasarkan rumus Slovin (Umar, 2000:

78)

keterangan:

n= ukuran sampel

N= ukuran populasi

e= presentase kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan

pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan.

Dalam penelitian ini sampel tersebut adalah 5%

Dengan menggunakan rumus di atas maka didapatkan sampel

sebanyak 398,49 yang dibulatkan menjadi 400 orang untuk memperoleh

angka genap. Sampel yang akan diambil dari populasi adalah mereka yang

menonton video review produk The Body Shop oleh Abel Cantika sebagai

dasar pertimbangan penetapan kriteria sampel tersebut karena pada penelitian

ini membutuhkan sampel yang tidak mendapatkan intervensi dari pihak

manapun selain dari pihak endorser dalam membentuk brand image.

30

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik purposive

sampling. Purposive sampling adalah penunjukan sampel yang didasarkan atas

ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Kasiram,

2008: 277). Dalam teknik ini, pengambilan sampel mencakup pihak-pihak yang

terseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat peneliti atas dasar tujuan

penelitian, sedangkan pihak-pihak dalam populasi yang tidak sesuai dengan

kriteria tersebut tidak menjadi sampel.

Penelitian ini memilih teknik pengambilan sampel di atas karena tidak

semua masyarakat yang dijumpai dapat dijadikan sampel, karena dalam penelitian

ini, peneliti hanya menggunakan sampel 400 orang yang merupakan subscribers

dalam akun YouTube Abel Cantika.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini akan digunakan sumber data primer yang merupakan

sumber data pertama dimana sebuah data dihasilkan (Bungin, 2001: 19).

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data langsung yaitu

menggunakan kuesioner dan studi pustaka. Studi pustaka digunakan untuk

mengumpulkan data dan teori dalam penelitian ini, maka peneliti memanfaatkan

berbagai macam data dan teori yang dikumpulkan melalui berbagai pustaka

penunjang guna melengkapi daya yang berhubungan dengan topik penelitian.

Kuesioner adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengirimkan suatu daftar

pertanyaan kepada responden untuk diisi (Sukandarrumidi, 2004: 78). Metode

kuesioner dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan skala Likert (Likert

Scale) yang kemudian mendapatkan data ordinal. Menurut Kinnaer dalam (Umar,

2000: 69), skala likert ini berhubungan dengan pernyataan tentang sikap

seseorang terhadap sesuatu, misalnya setuju-tidak setuju, senang-tidak senang,

dan baik-tidak baik. Data ordinal yang didapatkan kemudian akan diubah dalam

bentuk rasio guna memudahkan dalam pengolahan data pada program SPSS.

31

5. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Pada penelitian ini, metode uji validitas dilakukan terhadap 30 kuesioner

awal yang terkumpul dengan Pearson test, yaitu membandingkan nilai angka

rhitung dengan nilai korelasi tabel (rtabel), dimana derajat kebebasan = n-2.

Dengan sampel sebesar 30 responden, maka didapatkan nilai derajat kebebasan

(dk) = 28. Tingkat keyakinan dalam penelitian ini sebesar 95 %, sehingga

toleransi kesalahan (�� sebesar 5% maka didapatkan nilai dari rtabel adalah

0,239. Apabila angka rhitung > 0,361 maka item kuesioner valid. Namun apabila

angka rhitung � 0,361 maka item kuesioner dinyatakan tidak valid/gugur. Hasil

uji validitas akan ditampilkan pada bab 4.

Sementara untuk uji reliabilitas juga dilakukan terhadap 30 kuesioner awal

yang terkumpul. Reliabilitas adalah kemampuan suatu instrumen menunjukkan

kestabilan dan konsistensi dalam mengukur konsep. Adapun pengujian ini

didasarkan pada nilai Cronbach Alpha, dimana ketentuannya jika nilai Cronbach

Alpha > 0,6. Hasil uji reliabilitas akan ditampilkan pada bab 4.

6. Teknik Analisis Data

Setelah mengetahui mengenai metode penelitian, populasi dan sampling

serta teknik pengumpulan data yang akan digunakan saat penelitian, dibutuhkan

pula teknik dalam menganalisis data agar dapat memproses data lebih dalam dan

sederhana sehingga mudah untuk dibaca dan interpretasikan. Penelitian ini akan

menggunakan analisis data deskriptif, analisis regresi, dan analisis korelasional.

a. Analisis Deskriptif (Statistika Deskriptif)

Statistika deskriptif merupakan metode yang berkaitan dengan

pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan

informasi yang berguna. Statistika deskriptif hanya memberikan

informasi mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik

kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar (Dedy

Kuswanto, 2012: 27). Pada analisis deskriptif akan dilakukan analisis

mean dan crosstabulation.

32

b. Analisis Regresi

Analisis data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan

menggunakan analisis regresi sederhana dan berganda menggunakan

analisis jalur (path analysis). Analisis regresi sederhana adalah analisis

untuk mengetahui hubungan linier antara variabel independen (X1),

variabel anteseden (X2) dan variabel dependen (Y). Formula persamaan

linier adalah sebagai berikut:

Y= a0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X1 X2

Keterangan:

Y = variabel dependen

X2 = variabel anteseden

X1 = variabel independen

a = konstanta (nilai Y apabila X=0)

b1 = koefisien regresi untuk X1

b2 = koefisien regresi untuk X2

b3 = koefisien regresi untuk X3

c. Analisis Korelasional (Pearson Correlation Test)

Tujuan penelitian korelasional menurut Garu dalam Emzir (2007:

38) adalah untuk menentukan hubungan antara variabel, atau untuk

menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi. Sedangkan

menurut Suryabrata (1994: 24) adalah untuk mendeteksi sejauh mana

variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu

atau lebih faktor lain berdasakan pada koefisien korelasi.

Koefisien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi

antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 s/d -1.

Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan (strenght) hubungan linear dan

arah hubungan dua variabel acak. Untuk memudahkan melakukan

interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, penulis

memberikan kriteria sebagai berikut (Sarwono, 2006: 87):

33

0: tidak ada korelasi antara dua variabel

> 0 - 0,25 : korelasi sangat lemah

> 0,25 – 0,5 : korelasi cukup

> 0,5 – 0,75 : korelasi kuat

> 0,75 – 0,99 : korelasi sangat kuat

1 : korelasi sempurna

7. Timeline Penelitian

Tabel 1.2

Timeline Penelitian

Tanggal Kegiatan

Oktober 2016 Penyebaran uji kuesioner

Oktober 2016 Uji validitas dan uji reliabilitas

Oktober 2016 Penyebaran kuesioner

Oktober 2016 Pengolahan data

��������������� �����������������������������������

��������������������������������������