BAB 1

download BAB 1

of 15

description

Makna aswaja adalah

Transcript of BAB 1

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan aswaja sebagai manhaj al fikr. Th 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan sahabat Khotibul Umam Wiranu berjudul Membaca ulang Aswaja (PB PMII 1997). Konsep dasar yang dibawa dalam aswaja sebagai manhaj al fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH. Said Aqil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tesebut dalam pengertian aswaja.PMII memandang bahwa aswaja adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berfikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan, inilah makna aswaja sebagai manhaj al fikr.Sebagai manhaj alfikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), taadul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran).

1.2 Rumusan MasalahAdapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan dalam makalah ini adalah :1. Apa makna Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr ?2. Apa saja prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr ?3. Apa pengertian istinbath dan istidlal ?4. Apa saja sumber ajaran Aswaja ?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui makna Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr2. Untuk mengetahui prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr3. Untuk mengetahui pengertian istinbath dan istidlal4. Untuk mengetahui sumber ajaran Aswaja

BAB 2TINJAUAN TEORI

2.1 Makna Aswaja sebagai Manhaj al-FikrPara ulama sepakat bahwa Ahlussunnah wal-jamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.Sebagai manhaj al-fikr, Aswaja berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), taadul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Quran dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mutazilah) dan golongan Ahli Hadits.Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.Keseimbangan (taadul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali taadul dan tasamuh.

2.2 Prinsip Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr Aswaja sebagai manhaj (metode berfikir) memiliki sifat lebih fleksibel. Doktrin Aswaja tidak hanya berkutat pada doktrin belaka. Doktrin aswaja sebagai manhaj mempunyai nilai substansi yang universal, mencakup segalanya. Hal itu bisa dilihat dari nilai- nilai dasar Aswaja yaitu tawasuth, tawazun, tasamuh, taadul.

1. TawasuthTawasuth berasal dari kata wasatho artinya tengah-tengah. Hal ini berarti memahami segala bentuk ajaran Islam senantiasa berpedoman pada nilai-nilai kemoderatan.Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap ekstrimis.Dalam hal dosa besar, ia berada di antara teologi Khawarij dan Muktazilah. Dalam masalah kepemimpinan, ia berada di antara khawarij dan Syiah , penganut garis moderat di antara madhab liberal Muktazilah dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan berada di garis tengan antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan legalistik-formalistik yang membenci tasawuf. Tentu saja, sikap moderat ini memiliki landasan ortodoksi sehingga bisa dibedakan dengan pengertian pragmatis-oportunis. Kaitannya dengan konsep berbangsa dan bernegara, Ahlussunnah waljamaah mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan sehingga mampu dicapai kesepakatan yang lebih baik (aslah).

Hal ini sesuai dengan Firman Allah: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).

2. TawazunTawazun mempunyai makna seimbang. Setiap langkah dalam sendi kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan. Hal ini juga sesuai dengan konsep Islam, Hablumminallah, hablumminannas, hablumminal alam.Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan hukum atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan pertimbangan-pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan putusan/ kebijakan. Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan ekstrim kiri (liberalisme). Dalam hal sosial-politik pun, sikap tawazun diwujudkan dengan pertimbangan secara komprehensif dan holistik, baik ekonnomi-politik, geopolitik, sosio-kultur, dan hal-hal lainnya. Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu saja ia tidak berada dalam posisi mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih melihat prasyarat yang dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi kaidah-normativitas atau kah tidak. Hal ini termaktub dalam surat Alhadid ayat 25Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).

3. TaadulTaadul berasal dari kata adala yang artinya adil. Adil disini dimaknai bukan berarti harus sama, setara.adil disini dimaknai sesuai pada tempatnya dan kebutuhannyaTaadul ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap proporsional dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. Taadul berbeda dengan tamastul yang menghendaki kesamaan. Seseorang mampu mencapai kesamaan dan kesetaraan jika realitas individu benar-benar sama persis dan setara dalam segala sifat-sifatnya. Jika terjadi tafadlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Dalam konteks politik, sikap taadul ini tercermin dalam proporsional antara kewajiban pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan publik dan haknya seperti mendapatkan tunjangan dan lain sebagainya. Dengan hal ini, jika pemerintah tidak melaksanakan tugas itu atau mengambil hak rakyat, ia telah melakukan aniaya. Begitu pula rakyat yang membangkang dari ketetapan konstitusinal Negara, maka rakyat pun dinyatakan aniaya. Hal ini ditegaskan dalam firman allah. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Alma'idah: 9). 5. TasamuhTasamuh mempunyai makna toleransi. Atinya dalam menyikapi keberbedaan dan kemajemukan yang ada baik suku, agama, ras, senatiasa denga prinsip toleransi.Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran, keyakinan, social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai ajang untuk bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah peraudaraan yang utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama yang salah dan batil. Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan. Dalam pandangan Ahlussunnah waljamaah, tradisi-budaya yang secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan mengakulturasikannya dengan nilai-nilai keislaman.Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah waljamaah merumuskan konsep persaudaraan (ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah islamiyyah (persaudaan keislaman), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau insniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah SWT: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. (QS. Alhujurat; 13). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. (QS. Albaqarah: 30)

2.3 Pengertian istinbath dan istidlal2.3.1 Pengertian istinbathIstinbath berasal dari kata nabth yang berarti : air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.Upaya istinbath tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat. Pengertian istinbath ini senada dengan ijtihad, yakni mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghasilkan hukum syari yang bersifat prkatis (amaliyah).Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah hukum.b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma.d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.e. Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Quran dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dll.2.3.2 Pengertian istidlalSecara bahasa, kata istidlal berasal dari kata Istadalla yang berarti: minta petunjuk, memperoleh dalil, menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi memberikan arti istidlal secara umum, yaitu mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Dalam proses pencarian, al-Quran menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi alternatif kedua, Ijma menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat dalil belum bisa membuat keputusan hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan para ulama, seperti istihsan, Maslahah Mursalah, dll. Dengan demikian, teori istidlal merupakan pencarian dalil-dalil diluar keempat dalil tersebut.Menurut bahasa, kata dalil mengandung beberapa makna yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti dan saksi. Menurut kebiasaan para pakar studi hukum islam diartikan dengan sesuatu yang mengandung petunjuk (dalalah) atau bimbingan (irsyad). Definisi tentang dalil yang lebih mengarah pada landasan hukum yang dikemukakan oleh Abd al-Wahhab Khallaf yaitu sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis. Jadi dalil merupakan landasan bagi para pakar studi hukum islam dalam menetapkan suatu ketetapan hukum untuk diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat. Ketetapan bisa bersifat qathi (pasti) atau zhanni (tidak pasti). Dalil hukum dalam islam dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya terdapat dalam teks suci yaitu al-Quran dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Quran, sunnah, ijma, qiyas (sudah disepakati) sedangkan istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzariah, urf (tradisi), syaru man qablana (syariah sebelum masa nabi Muhammad SAW), dan madzhab al-shahabi (pendapat sahabat Nabi) (masih dipertentangkan).a. Al-QuranSecara bahasa, al-Quran dari kata qaraa yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya Al-Quran didefinisikan sebagai berikut: Kalam Allah, mengandung mukjizat dan diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad SAW, dalam bahasa yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, terdapat dalam mushaf, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri an-Nas. Kaum muslim sepakat menerima Al-Quran sebagai dalil atau sumber hukum yang paling asasi.b. SunnahMenurut bahasa, sunnah berarti jalan yang biasa dilaui atau cara yang senantiasa dilakukan. Secara istilah, sunnah adalah segala yang diriwayatkan Nabi baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan sifatya yang berkaitan dengan hukum.c. IjmaMenurut bahasa, Ijma berarti kesepakatan atau konsensus. Ijma terbagi menjadi dua bentuk yaitu Ijma sharih dan Ijma sukuti. Ijma sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid tentang hukum masalah dan tersebar luas, sementara sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang lainnya, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut.d. QiyasArti Qiyas secara bahasa adalah ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Qiyas memiliki empat rukun yaitu Ashl (wadah hukum yang diterapkan melalui nash atau ijma), faru (kasus yang akan ditentukan hukumnya), illat (motivasi hukum yang terdapat dan terlihat oleh mujtahid ashl), dan hukm al-asl (hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma).e. IstihsanDari segi bahasa, Istihasan berarti menganggap atau memandang baik pada sesuatu. Dari segi istilah, istihsan ialah meninggalkan Qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat darinya, karena terdapat dalil atau alasan yang menghendakinya. Sedangkan pendapat para ulama berbeda-beda dalam mengartikan istihsan. Istihsan dilakukan antara lain jika terjadi konflik kepentingan, yaitu kepentingan yang ruang lingkupnya lebih sempit, jika ketentuan hukum pada dalil khusus dilaksanakan secara apa adanya, dengan kepentingan yang ruang lingkupnya lebih jelas, yang didukung oleh ketentuan hukum pada dalil yang umum sifatnya.f. IstishlahIstilah lain dari istishlah adalah Maslahah Mursalah. Dari segi bahasa, istishlah berarti baik. Istishlah didefinisikan sebagi upaya penetapan hukum yang didasarkan atas kemaslahatan atau kebaikan. Maslahah terbagi tiga yaitu; yang diterima syara, yang ditolak oleh syara dan yang diperselisihkan oleh ulama muslim karena tidak ada dalil, baik yang menerima maupun yang menolaknya.[8]Penggunaan Istishlah harus memenuhi persyaratan yaitu bukan diukur dengan dugaan semata, sifatnya umum bukan perorangan , tidak bertentangan dengan dalil syara yang lain, serta diamalkan dalam kondisi yang memerlukan. Menetapkan ketentuan hukum dengan berdasarkan maslahah mursalah, merupakan bidang yang amat subur untuk mengembangkan hukum islam, khususnya dalam muamalah kemasyarakatan.g. IstishhabDari segi bahasa, istishhab berarti minta bersahabat atau membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Definisi istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan hukum yang telah ada pada masa lampau, hingga ada dalil yang mengubahnya.Ada dua macam istishhab: Pertama, melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas-asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Missal, segala macam makanan dan minuman, yang tidak terdapat dalil syara tentang keharamannya adalah mubah atau halal. Kedua, melngsungkan berlakunya hukum syara berdasarkan suatu dalil, dan tidak ada dalil lain yang mengubahnya. Misal, jika seseorang telah berwudhu, kemudian ragu-ragu apakah wudhunya telah batal atau belum, maka ia dihukumi belum batal atas dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakininya. Maka Istishhab hanya menjadi hujah untuk melangsungkan hukum tidak menetapkan hukum baru yag sebelumnya belum ada.h. 'UrfMenurut bahasa, Urf berarti yang kenal. Definisi Urf ialah sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Lebih lengkapnya Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan, atau kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu.Urf dibagi menjadi 2 macam yaitu urf shahih dan urf fasid. Urf shahih adalah tradisi yang tidak berlawanan dengan dalil syara serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban. Urf fasid adalah tradisi yang berlawanan dengan syara atau menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.a) Sadd al-DzariahSecara bahasa, sad berarti penutup dzariah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu atau sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Menurut pakar studi hukum Islam, dzariah berarti sesuatu yang menjadi perantara kearah perbuatan yang diharamkan. Dengan demikian, Sadd al-Dzariah berarti menutup segala sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan.b) Madzhab ShahabiMazhab Shahabi adalah pendapat para sahabat Nabi tentang suatu kasus yang dikutip oleh para ulama, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum. Sementara itu, al-Quran dan Sunnah tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut serta tidak ditemukan kesepakatan para sahabat yang menetapkan para sahabat tersebut. Maka dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama. Pertama, pendapat sahabat tidak dapat dijadikan dalil hukum. Kedua, pendapat shabat Nabi dapat dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari Qiyas. Ketiga, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila dikuatkan dengan Qiyas. Keempat, madzhab sahabat dapat dijadikan dalil hukum bila bertentangan dengan Qiyas. Pertentangan menunjukkan bahwa pendapat tersebut bukan bersumber dari Qiyas, melainkan dari Sunnah.

2.4 Sumber ajaran AswajaBerikut diuraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah.

A. Madzhab QauliPendapat atau pandangan keagamaan ulama yang teridentitas sebagai ulama sunni dikutip secara utuh qaulnya dari kitab mutabar dalam madzhab. Seperti mengutip dari kitab Al-Iqtishad fi al-Itiqad karangan Abu Hamid al-Ghazaliy yang menjabarkan paham aqidah Asyariyah atau kitab al-Umm yang menghimpun qaul Imam Syafii. Sekira umat diperlukan perluasan doktrin (elaborasi) seyogyanya merujuk ke kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni dalam madzhab yang sama. Seperti kitab al-Majmu karya Imam al-Nawawi yang mengulang pandangan fiqih Imam al- Syairazi dalam al-Muhadzab. Agar terjaga keutuhan paham madzhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisnya bermadzhab lain. Misalnya mengutip pendapat Imam Malik dari kitab Fiqhu al-Sunnah karya Sayid Sabiq, atau pensyarahan atas hadits koleksi Ibnu Daqiq al-Ied bertitel Muntaqa al-Akhbar dari ulasan al-Syaukani dalam Nayl al-Awthar.B. Madzhab ManhajiKetika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syari berupa kutipan ayat Al-Quran, nuqilan matan Sunnah atau hadits, untuk mewujudkan citra muhafadzah maka langkah kerjanya sebagai berikut : Pertama, kutipan ayat dari mushaf dengan rasam Utsmaniy lengkap dengan petunjuk nama surat dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Depaertemen Agama RI.; kutip pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari kitab tafsir yang tergolong mutabar. Keunggulan tafsir bila ditelusuri dari sumber dan media yang diperbantukan serta penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan Al-Quran. Integritas mufassir sebagai ulama sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran ulama Syiah Imamiyah (Jafariyah dan Itsna Asyariyah) telah memperluas sifat kemashuman melampaui wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah.Kedua, Penuqilan matan sunnah/ hadits harus berasal dari kitab ushulul hadits (kitab hadits standard) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. serta nama periwayat/nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadits sebagai hujjah syariyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahannya sebagai shahih, hasan atau dhaif. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhadditsin yang paham keagamaannya diakui sebagai sunni.Ketiga, Pengutipan ijma perlu memisahkan kategori ijma shahabi yang diakui tertinggi mutu kehujjahannya dari ijma mujtahidin. Sumber pengutipan ijma sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab seperti Imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarah hadits guna mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji pada masa sekarang belum memenuhi kualifikasi mujtahid level manapun.C. Pengembangan Asas Ijtihad MadzhabiPada tataran aplikasi hokum (tathabiq al-syariyah) terkait proses penyusunan RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asas-asas ijtihad yang dikenal pada jajaran ulama sunni. Misalnya : Umumu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabiin, Muraatu al-Khilaf, Kondisi Dharurat, asas Urf/Taamul, Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syaru al-Dzarai, Istishhab, Mashalih Mursalah, Maqashid al-Syariah, Siyasah Syariyah dan lain sebagainya.Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukung kearifan mengenali bobot masalah ijtihadiyah terutama: Frame (bingkai) masalah, Konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik, dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah, kadar kesulitan dalam pelaksanaan, membuka peluang hilah hukum dan resiko berjangka panjang. Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusan hokum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jamaiy) dan terjamin taat kaidah istidlal.

BAB 3PENUTUP

4.1 Kesimpulan1. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.2. Aswaja sebagai manhaj (metode berfikir) memiliki sifat lebih fleksibel. Doktrin Aswaja tidak hanya berkutat pada doktrin belaka. Doktrin aswaja sebagai manhaj mempunyai nilai substansi yang universal, mencakup segalanya. Hal itu bisa dilihat dari nilai- nilai dasar Aswaja yaitu tawasuth, tawazun, tasamuh, taadul.3. Dalam konteks hukum Islam (syariah), maka istinbat bisa diartikan upaya mengeluarkan hukum dari sumber syariat (al-quran dan hadis). Pengertian istinbath ini senada dengan ijtihad, yakni mengerahkan seluruh kemampuan untuk menghasilkan hukum syari yang bersifat praktis (amaliyah).4. Istidlal adalah mencari dalil (petunjuk) untuk mendapatkan apa yang dituju. 5. Langkah istinbath (deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlussunnah wal Jamaah yaitu Madzhab Qauli, Madzhab Manhaji dan Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi

4.2 SaranMakalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota IKAPIEffendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: KencanaHaq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-AhkamRusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana IlmuTim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press

15