BAB 1

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah a. Apa pengertian dari buta warna ? b. Apa saja klasifikasidari buta warna ? c. Apa etiologi dari buta warna ? d. Bagaimana patofisiologi dari buta warna ? e. Bagaiman manifestasi klinis dari buta warna ? f. Apa saja pemeriksaan penunjang buta warna ? 1.3 Tujuan a. Mengetahui pengertian dari buta warna b. Mengetahui klasifikasidari buta warna c. Mengetahui etiologi dari buta warna d. Mengetahui patofisiologi dari buta warna e. Mengetahui manifestasi klinis dari buta warna f. Mengetahui pemeriksaan penunjang buta warna

Transcript of BAB 1

Page 1: BAB 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dari buta warna ?

b. Apa saja klasifikasidari buta warna ?

c. Apa etiologi dari buta warna ?

d. Bagaimana patofisiologi dari buta warna ?

e. Bagaiman manifestasi klinis dari buta warna ?

f. Apa saja pemeriksaan penunjang buta warna ?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui pengertian dari buta warna

b. Mengetahui klasifikasidari buta warna

c. Mengetahui etiologi dari buta warna

d. Mengetahui patofisiologi dari buta warna

e. Mengetahui manifestasi klinis dari buta warna

f. Mengetahui pemeriksaan penunjang buta warna

Page 2: BAB 1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Dari Buta Warna

Buta warna merupakan kelainan genetik / bawaan yang diturunkan dari orang tua

kepada anaknya, kelainan ini sering juga disebut sex linked, karena kelainan ini dibawa

oleh kromosm X. Artinya kromosom Y tidak membawa faktor Buta warna. Hal inilah

yang membedakan antara penderita buta warna pada laki dan wanita. seorang wanita

terdapat istilah 'pembawa sifat' hal ini menujukkan ada satu kromosom X yang membawa

sifat buta warna. Wanita dengan pembawa sifat, secara fisik tidak mengalami kelainan

buta warna sebagaimana wanita normal pada umumnya. Tetapi wanita dengan pembawa

sifat berpotensi menurunkan faktor buta warna kepada anaknya kelak.

Apabila pada kedua kromosom X mengandung faktor buta warna maka seorang

wanita tsb menderita buta warna. Buta warna merupakan “penyakit” keturunan yang

terekspresi para pria, tetapi tidak pada wanita. Wanita secara genitis sebagai carrier.

Istilah buta warna atau colour blind sebetulnya salah pengertian dan menyesatkan, karena

seorang penderita “buta warna” tidak buta terhadap seluruh warna. Akan lebih tepat bila

disebut gejala defisiensi daya melihat warna tertentu saja atau colour vision difiency.

Seseorang yang menderita difisiensi penglihatan warna tersebut otaknya tidak

mampu menerima beberapa jenis warna secara normal. Tidak semua penderitanya

mengalami masalah dan sifat-sifat yang sama. Secara umum dan pasti dapat dinyatakan

bahwa defisiensi penglihatan warna tidak berarti buta terhadap segala warna. Yang

sebenarnya terjadi adalah reseptor mata mereka sering terkecoh (confuse) terhadap warna

yang mereka pandang.

Pada umumnya, terjadinya “buta warna” disebabkan oleh adanya reseptor warna

dalam retina mata yang kurang berfungsi secara normal (mal function). Pada dasarnya, di

dalam retina mata kita terdapat tiga tipe/jenis reseptor warna, yaitu merah, biru, dan

Page 3: BAB 1

hijau. Anomali warna terjadi sebagai hasil akibat kekurangan satu atau lebih dari reseptor

warna tersebut.

Persepsi warna adalah suatu aspek dari penglihatan visual yang membuat

sescorang dapat membeakan dua struktur bidang bebas dan pandangannya terhadap suatu

bentuk dan ukuran yang disebabkan oleh perbedaan dalam komposisi spektal dan

pancaran energi yang diamati.

Buta warna adalah kelainan warisan. Karena gen untuk pigmen visual merah dan

hijau terdapat pada kromosom X, buta warna merah atau hijau umumnya terjadi pada

laki-laki. Tidak seperti wanita, laki-laki hanya memiliki satu kromosom X sehingga tidak

ada salinan cadangan yang bisa mengganti gen cacat yang sesuai. Seorang wanita harus

memiliki cacat pada kedua-kromosom X agar menjadi buta warna merah atau hijau. Bila

hal itu terjadi, anak laki-lakinya juga pasti buta warna, karena dia mewarisi kromosom X

dari ibunya. Selain karena keturunan, bentuk buta warna yang ringan juga disebabkan

oleh mutasi gen opsin pada kromosom X.

Cedera otak atau stroke dapat mengganggu pengolahan warna di otak. Jika buta

warna baru terjadi di usia remaja atau dewasa, penyebabnya adalah penyakit di makula,

misalnya karena degenerasi makula atau kerusakan saraf optik di belakangnya

Sebagian besar orang menganggap buta warna bukan merupakan suatu masalah

yang serius, sehingga sering diabaikan meskipun dapat mengganggu pekerjaan. Buta

warna (color vision deficiency) adalah ketidakmampuan mata untuk membedakan

sebagian atau seluruh warna. Dapat terjadi secara kongenital maupun sekutider akibat

penyakit tertentu yang menyebabkan kelainan pada makula, seperti retinitis sentral dan

degenerasi makula sentral (age related macular degeneration). Buta warna kongenital

biasanya berhubungan dengan kromosom X yang menyebabkan buta warna merah-hijau.

buta warna merah-hijau merupakan bentuk yang sering ditemukan, hampir mencapai

99% Tetapi buta warna yang didapat atau sekunder biasanya birukuning, hanya l %.

Akibatnya hanya bermakna dalam pekerjaan yang mernbutuhkan penyesuaian warna

secara akurat misalnya pekerjaan penyesuaian gradasi warna intan.

Buta warna total sangat jarang terjadi. Sehingga kelainan yang sering disebut

delisiensi penglihatan wama (color vision dficiency) Bentuk defisiensi yang sering

Page 4: BAB 1

ditemukan adalah trikromat anomaly. Pada orang dengan buta warna total atau

akromatopsia terdapat keluhan silau dan nistagmus serta bersifat autosomal resesif.

Buta warna yang diturunkan tidak bersifat progresif dan tidak dapat diobati, dan

biasanya dapat menyebabkan gangguan yang nyata. Sehingga dapat mengakibatkan

penderita menjadi putus asa. Karena buta warna merah-hijau kadangkadang merupakan

syarat untuk dapat rnengerjakan pekerjaan tertentu seperti di bidang kedokteran, farmasi,

konveksi dan pengawas lalu lintas serta pekerjaan yang membutuhkan penglihatan

membedakan warna.

Buta warna terdiri dan beberapa tipe dan tingkatan. Banyak orang berpikir bahwa

mereka yang menderita buta warna hanya dapat melihat warna hitam dan putih, layaknya

menonton acara televisi hitam-putih, hal ini merupakan kesalahan dalam mengkonsepsi

suatu pemikiran dan ini tidak benar. Meskipun kondisi ini dapat terjadi, namun sangat

jarang. Suatu keadaaan yang extrim ditemukan buta warna total (monokromasi – tidak

adanya sensasi wama secara komplit).

Buta warna dapat menyulitkan atau bahkan membuat seseorang tidak mampu

melakukan pekerjaan tertentu yang membutuhkan persepsi warna dalam tanggung

jawabnya, seperti pilot karena banyak aspek penerbang-an bergantung pada pengodean

warna. Prevalensi buta warna di Indonesia adalah sebesar 0,7% (Riskesdas 2007),

sedangkan di Amerika Serikat pada tahun 2006 menurut Howard Hughes Medical

Institute, terdapat 7% pria, atau sekitar 10.5 juta pria, dan 0.4% wanita tidak dapat

membedakan merah dari hijau, atau mereka melihat merah dan hijau secara berbeda

dibandingkan populasi umum. Sejumlah 95 % gangguan buta warna terjadi pada reseptor

warna merah dan hijau pada mata pria.

Faktor utama yang sampai saat ini dipercaya sebagai penyebab utama buta warna

adalah faktor genetik yang sex-linked, artinya kelainan ini dibawa oleh kromosom X. Hal

ini yang menyebabkan lebih banyak penderita buta warna laki-laki dibandingkan wanita.

2.2 Klasifikasi dari Buta Warna

Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk7 :

Page 5: BAB 1

1. Trikromatik, yaitu keadaan pasien mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi

penglihatan. Pasien buta warna jenis ini dapat melihat berbagai warna, tetapi dengan

interpretasi berbeda dari normal. Bentuk defisiensi yang paling sering ditemukan:

a. Deuteranomali, dengan defek pada penglihatan warna hijau atau kelemahan

fotopigmen M cone atau absorpsi M cone bergeser ke arah gelombang yang

lebih panjang sehingga diperlukan lebih banyak hijau untuk menjadi kuning baku.

b. Protanomali, kelemahan fotopigmen L cone atau absorpsi L cone ke arah

gelombang yang lebih rendah, diperlukan lebih banyak merah untuk menggabung

menjadi kuning baku pada anomaloskop. Protanomali dan deutronomali terkait

kromosom X dan, di Amerika, terdapat pada 5% anak laki-laki.

c. Tritanomali, merupakan defek penglihatan warna biru atau fotopigmen S cone

atau absorpsi S cone bergeser ke arah gelombang yang lebih panjang. Kelainan ini

bersifat autosomal dominan pada 0,1% pasien.

2. Dikromatik, yaitu pasien mempunyai 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit membedakan

warna tertentu.

a. Protanopia, keadaan yang paling sering ditemukan dengan defek pada penglihatan

warna merah hijau atau kurang sensitifnya pigmen merah kerucut (hilangnya

fotopigmen L cone) karena tidak berjalannya mekanisme red-green opponent.

b. Deuteranopia, kekurangan pigmen hijau kerucut (hilangnya fotopigmen M cone)

sehingga tidak dapat membedakan warna kemerahan dan kehijauan karena kurang

berjalannya mekanisme viable red-green opponent.

c. Tritanopia (tidak kenal biru), terdapat kesulitan membedakan warna biru dari

kuning karena hilangnya fotopigmen S-cone

3. Monokromatik (akromatopsia atau buta warna total), hanya terdapat satu jenis pigmen

sel kerucut, sedangkan dua pigmen lainnya rusak. Pasien sering mengeluh fotofobia,

tajam penglihatan kurang, tidak mampu membedakan warna dasar atau warna antara

(hanya dapat membedakan hitam dan putih), silau, dan nistagmus. Kelainan ini bersifat

autosomal resesif.

a. Monokromatisme sel batang (rod monochromatism) Disebut juga suatu

akromatopsia (seluruh komponen pigmen warna kerucut tidak normal), terdapat

kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain, seperti tajam penglihatan

Page 6: BAB 1

kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin terjadi

akibat kelainan sentral hingga terdapat gangguan penglihatan warna total,

hemeralopia (buta silang), tidak terdapat buta senja atau malam, dengan kelainan

refraksi tinggi. Insidens sebesar 1 dalam 30.000 dan pewarisan secara autosomal

resesif menyebabkan mutasi gen yang menyandi protein photoreceptor cation

channel or cone transducin.

b. Monokromatisme sel kerucut (cone monochromatism)

Terdapat hanya sedikit defek atau yang efektif hanya satu tipe pigmen sel kerucut.

Hal ini jarang, 1 dalam 100.000. Tajam penglihatan normal, tidak tedapat

nistagmus, tidak terdapat diskrimanasi warna. Biasanya disebabkan monokromasi

biru, terkait kromosom X resesif, yang menyebabkan mutasi gen yang menyandi

opsin kerucut merah dan hijau.

2.2 Etiologi

Buta warna itu sendiri adalah ketidak mampuan seseorang untuk membedakan warna

tertentu. Orang tersebut biasanya tidak buta semua warna melainkan hanya pada warna tertentu

saja, meskipun demikian ada juga seseorang yang sama sekali tidak bisa melihat warna jadi

hanya tampak hitam, putih dan abu-abu saja. Normalnya sel kerucut (cone) di retina mata

mempunyai spectrum terhadap tiga warna dasar, yaitu merah, hijau dan biru. Pada orang yang

mempunyai sel-sel kerucut yang sensitive untuk tiga jenis warna ini, maka ia dikatakan normal.

Buta warna karena herediter dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta warna total), dikromasi

(hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus trikromasi (tiga sel kerucut berfungsi,

salah satunya kurang baik). Dari semua jenis buta warna, kasus yang paling umum adalah

anomalus trikromasi, khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari pria.Sebenarnya,

penyebab buta warna tidak hanya karena adakelainan pada kromosom X, namun dapat

mempunyai kaitan dengan 19 kromosom dan gen-gen lain yang berbeda. Beberapa penyakit

yang diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat menyebabkan seseorang

menjadi buta warna (Anonim, 2008).

Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi kemungkinan

seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna secara turunan lebih besar

dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika hanya terkait pada salah

Page 7: BAB 1

satu kromosom X nya saja, wanita disebut carrier atau pembawa, yang bias menurunkan gen buta

warna pada anak-anaknya. Menurut salah satu riset 5-8% pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta

warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi, protanopia, dan deuteranopia.

Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW (Opsin 1 Long

Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang menyandi

pigmen hijau (SamiS.Deeb dan Arno G. Motulsky, 2005).

Buta warna dapat juga ditemukan pada penyakit macula saraf optik, sedang pada kelainan retina

ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan kuning sedang kelainan saraf optik

memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau (Ilyas, 2008).

2.3 Patofisiologi

Penglihatan bergantung pada stimulasi fotoreseptor retina oleh cahaya. Benda-benda tertentu

di lingkungan, misalnya matahari, api, dan bola lampu,memancarkan cahaya. Pigmen-pigmen di

berbagai benda secara selektif menyerap panjang gelombang tertentu cahaya yang datang dari

sumber-sumber cahaya, dan panjang gelombang yang tidak diserapdipantulkan dari permukaan

benda. Berkas-berkas cahaya yang dipantulkan inilah yang memungkinkan kita melihat benda

tersebut.Suatu benda yang tampak biru menyerap panjang gelombang cahaya merah dan hijau

yang lebih panjang dan memantulkan panjang gelombang biru yanglebih pendek, yang dapat

diserap oleh fotopigmen di sel-sel kerucut biru mata, sehingga terjadi pengaktifan sel-sel tersebut

(Sherwood, 2001).

Penglihatan warna diperankan oleh sel kerucut yang mempunyai pigmen terutama cis

aldehida A2.Penglihatan warna merupakan kemampuan membedakan gelombang sinar yang

berbeda. Warna ini terlihat akibat gelombang elektromagnetnya mempunyai panjanggelombang

yang terletak antara 440-700 (Ilyas, 2008).Warna primer yaitu warna dasar yang dapat

memberikan jenis warna yang terlihat dengan campuran ukuran tertentu. Pada sel kerucut

terdapat 3 macam pigmen yang dapat membedakan warna dasar merah, hijau dan biru.

a.      Sel kerucut yang menyerap long-wavelength light (red)

b.      Sel kerucut yang menyerap middle-wavelength light (green)

c.       Sel kerucut yang menyerap short-wavelength light (blue)

Page 8: BAB 1

Ketiga macam pigmen tersebut membuat kita dapat membedakan warna mulai dari ungu sampai

merah.Untuk dapat melihat normal, ketiga pigmen sel kerucut harus bekerja dengan baik.Jika

salah satu pigmen mengalami kelainan atau tidak ada, maka terjadi buta warna. Warna

komplemen ialah warna yang bila dicampur dengan warna primer akan berwarna putih. Putih

adalah campuran semua panjang gelombang cahaya, sedangkan hitam tidak ada cahaya (Ilyas,

2008).

Gelombang elektromagnit yang diterima pigmen akan diteruskan rangsangannya pada korteks

pusat penglihatan warna di otak. Bila panjang gelombang terletak di antara kedua pigmen maka

akan terjadi penggabungan warna (Ilyas, 2008).

2.4 TANDA DAN GEJALA

Tergantung dari jenis buta warna yang diderita, biasanya seseorang yang

mengalami kekurangan penglihatan warna sering keliru dalam membedakan warna-

warna tertentu dan juga mungkin tidak dapat melihat suatu warna dengan terang

seperti orang normal.

1. Dikromatik

a. Protanopia: penderita tidak dapat membedakan warna merah dan hijau karena

pigmen merah tidak ada.

b. Dentranopia: penderita tidak dapat membedakan warna merah hijau karena

pigmen hijau tidak ada.

c. Tritanopia: penderita tidak dapat membedakan warna biru-kuning karena

pigmen biru hilang.

2. Trikromatik

Penderita memiliki 3 macam sel kerucut tapi salah satunya tidak berfungsi secara

normal. Gejala analog dengan defek pada dikromatik.

3. Monokromatik

Terdiri dari 2 bentuk walaupun keduanya tidak memiliki diskriminasi warna sama

sekali.

a. Monokromatik batang

Pengidap lahir tanpa sel kerucut yang berfungsi pada retina dengan gejala:

penurunan ketajaman penglihatan, tidak ada penglihatan warna, fotofobia dan

Page 9: BAB 1

nistagmus.

b. Monokromatik kerucut

Tidak memiliki diskriminasi cacat warna tapi ketajaman penglihatan normal,

tidak terdapat fotofobia dan nistagmus.

Monokromatik kerucut memiliki fotoreseptor kerucut tapi semua sel kerucut

mengandung pigmen penglihatan yang sama.

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Oftalmoskop

Suatu alat dengan sistem pencahayaan khusus untuk melihat bagian dalam mata,

terutama retina dan struktur terkaitnya.

2. Tes penglihatan warna

a. Uji ishihara

Dengan memakai sejumlah lempeng polikromatik yang berbintik, warna

primer dicetak di atas latar belakang mosaik bintik-bintik serupa dengan aneka

warna sekunder yang membingungkan, bintik-bintik primer disusun menurut

pola (angka atau bentuk geometrik) yang tidak dapat dikenali oleh pasien yang

kurang persepsi warna.

b. Uji pencocokan benang

Pasien diberi sebuah gelendong benang dan diminta untuk mengambil

gelendong yang warnanya cocok dari setumpuk gelendong yang berwarna-

warni.

3. Tes sensitivitas kontras

Adalah kesanggupan mata melihat perbedaan kontras yang halus, di mana pada

pasien dengan gangguan pada retina, nervus optikus atau kekeruhan media mata

tidak sanggup melihat perbedaan kontras tersebut.

4. Tes elektrofisiologik

a. Elektroretingrafi (ERG)

Untuk mengukur respon listrik retina terhadap kilatan cahaya bagian awal

respon flash ERG mencerminkan fungsi fotoreseptor sel kerucut dan sel

Page 10: BAB 1

batang.

b. Elektro okulografi (EOG)

Untuk mengukur potensial korneoretina tetap. Kelainan EOG terutama terjadi

pada penyakit secara dipus mempengaruhi epitel pigmen retina dan

fotoreseptor.

2.6 TERAPI BUTA WARNA

Hingga kini belum ada obat yang dapat menyembuhkan buta warna, tapi

bagaimanapun pengidap boleh diajar untuk menyesuaikan diri dalam mengatasi

kelemahannya dalam membedakan warna, seperti dengan menghafal bentuk, ukuran.

Untuk mengurangi gejala dapat digunakan kacamata yang berlensa dengan

filter warna khusus yang memungkinkan pasien melakukan interpretasi kembali

warna.

Page 11: BAB 1

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN BUTA WARNA

3.1 Pengkajian

Tn M berusia 30 Tahun datang ke poli mata pada tanggal 17 Mei 2015 untuk memeriksakan

mata. Tn M memiliki usaha rental komputer. Akan tetapi Tn M mengutarakan jika ia sering

salah memasukkan tinta pada printernya. Setelah di lakukan pemeriksaan TTV pada Tn N di

dapatkan hasil TD: 120/80, RR: 22x/menit, Nadi : 80x/menit dan Setelah dilakukan tes

isihara ternyata pasien positif menderita buta warna.

A. Identitas klien

Nama : Tn. M

Umur : 30 Tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : memiliki rental komputer

Bangsa : Indonesia

Suku : Jawa

Alamat : Jombang

Tanggal masuk :

Tanggal Pengkajian :

B. Riwayat keperawatan

Keluhan utama

Pasien mengeluh sering salah memasukkan tinta kedalam printer, dan ketajaman

penglihatan pasien berkurang.

Riwayat penyakit sekarang

Page 12: BAB 1

Sewaktu Tn.M bekerja Tn.M selalu salah memasukkan tinta kedalam printer dan

pasien mengaku ketajaman matanya berkurang. Tn.M mengira kalau ia menderita

Miopi. Kemudian Tn. M memutuskan untuk memeriksakan matanya ke poli mata

RSUD Jombang.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah mengalami penyakit mata sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga

Setelah dilihat dari genogram Tn.M ternyata di dapati ibu Tn.M juga menderita

buta warna

Keterangan :

XnX : perempuan buta warna

XX : perempuan normal

XnY : Laki-laki buta warna

XY : laki-laki normal

Riwayat kesehatan lingkungan

Pasien tinggal di lingkungan yang bersih

C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan TTV

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80x /menit

Nafas : 22x /menit

XnX XY

XnX XnY

Tn.MM

XX XY

Page 13: BAB 1

Suhu : 36,5oC

Pemeriksaan fisik

1) Sistem Pernapasan

Hidung

Inspeksi : Tidak ada pernafasan cuping hidung

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

Mulut

Inspeksi : mukosa bibir lembab , tidak ada sianosis.

Sinus paranasalis

Inspeksi : tidak ada tanda-tanda adanya infeksi

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

Leher

Inspeksi : simetris kanan kiri, JVP tidak meningkat

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran kelenjar

Limfe

Faring

Inspeksi : tidak ada odem

Area dada

Inspeksi : pola nafas efektif

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

Auskultasi : vesikuler.

2) Kardiovaskuler dan limfe

Wajah

Inspeksi : tidak pucat, konjungtiva merah muda

Leher

Inspeksi : tidak ada bendungan vena jugularis

Palpasi : irama denyutan arteri carotis communis normal

Page 14: BAB 1

Dada

Inspeksi : dada terlihat simetris

Palpasi : letak ictus kordis ( ICS 5, 1 cm medial dari garis midklavikula sinistra)

Perkusi : tidak ada tanda - tanda bunyi redup.

Auskultasi : bunyi jantung S1-S2 Tunggal

3) Sistem Persyarafan

1. GCS 15 : E4 V5 M6

2. Tanda rangsangan meningeal :

- Kaku kuduk (-)

- Brudzinsky I (-)

- Brudzinsky II (-)

- Kernig (-)

3. Pemeriksaan nervus

Nervus I olfaktorius (pembau)

Klien bisa membedakan aroma saat diberi kopi.

Nervus II opticus (penglihatan)

Bisa melihat benda yang jaraknya 35 cm dengan jelas.

Nervus III oculomotorius

Tidak oedem pada kelopak mata

Nervus IV toklearis

Ukuran pupil normal, tidak ada perdarahan pupil

Nervus V trigeminus (sensasi kulit wajah)

Klien bisa membuka mulut, menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan

Nervus VI abdusen

Bola mata simetris

Nervus VII facialis

Klien dapat membedakan rasa asin dan manis, bentuk wajah

simetris

Nervus VIII auditorius/akustikus

Page 15: BAB 1

Fungsi pendengaran baik  

Nervus IX glosoparingeal

Reflek menelan klien baik dan dapat membedakan rasa pahit

Nervus X vagus

Uvula klien oedem terlihat ketika klien membuka mulut

Nervus XI aksesorius

Klien tidak merasa kesulitan untuk mengangkat bahu dengan melawan

tahanan

Nervus XII hypoglosal/hipoglosum

Bentuk lidah simetris, klien mampu menjulurkan lidah dan

menggerakkannya ke segala arah

4. Reflek fisiologis :

Reflek biceps ++/++, Reflek triceps ++/++, Reflek KPR ++/++,Reflek APR +

+/++

4) Perkemihan dan eliminasi uri

Laki-laki

Genetalia eksterna

Inspeksi : tidak ada oedem, tidak ada tanda - tanda infeksi.

Palpasi : tidak ada nyeri tekan maupun benjolan

Kandung kemih

Inspeksi : tidak ada benjolan, dan pembesaran

Palpasi : kandung kemih penuh

Ginjal :

Inspeksi : tidak ada pembesaran daerah pinggang

Palpasi : tidak ada nyeri tekan.

Perkusi : tidak ada nyeri ketok.

5)Sistem pencernaan – eliminasi alvi

Mulut

Inspeksi : mukosa bibir lembab , gigi tidak ada plak dan karies. Tidak ada

pembesaran kelenjar karotis. Tidak ada lesi.

Page 16: BAB 1

5 5

5 5

Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada rongga mulut,

Lidah

Inspeksi : bentuk simetris, tidak ada tremor dan lesi.

Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan odem.

Abdomen

Inspeksi : tidak ada pembesaran abdomen, tidak ada luka bekas operasi.

Palpasi : tidak ada skibala.

Perkusi : tidak ada acietes.

Auskultasi : bising usus normal.

6) Sistem muskuloskeletel dan integumen.

Anamnesa

Kulit : lembab

Kekuatan otot

7) Sistem endokrin dan eksokrin

Kepala

Inspeksi : Tidak terlihat moon face, tidak alophesia (botak), rambut rontok

Leher

Inspeksi : tidak ada pembesaran kalenjar tiroid

Palpasi : tidak ada pembesaran kalenjar tiroid, dan tidak ada nyeri tekan.

Ekstremitas bawah

Palpasi : Akral hangat, tidak ada edema, tidak ada nyeri tekan,

8) Sistem reproduksi

Perempuan

Payudara

Inspeksi : payudara simetris

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan

Page 17: BAB 1

Axila

Inspeksi : Tidak ada benjolan, tidak ada massa

Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada massa

Genetalia

Inspeksi : tidak ada edema, tidak ada varises

Palpasi : tidak ada nyeri tekan

9) Persepsi sensori

Mata

Inspeksi : bentuk simetris, kornea normal, warana iris hitam, lensa normal jernih,

sklera putih, tes isihara (+)

Palpasi : tidak ada nyeri dan tidak ada pembengkakan kelopak mata

Penciuman-(hidung)

Palpasi : tidak ada pembengkakan dan tidak ada nyeri saat palpasi fosa kanina

Perkusi : tidak ada reaksi hebat pada regio frontalis, sinus frontalis dan fosa

kanina

D. Pemeriksaan penunjang

A. Tes isihara : pasien tidak bisa membaca angka pada buku

3.2 Analisa data

3.3 Intervensi

3.4 Implementasi

3.5 Evaluasi