BAB 1

download BAB 1

If you can't read please download the document

description

hidro

Transcript of BAB 1

Microsoft Word - Bab 1 - 5 Final.doc

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hujan merupakan satu bentuk presipitasi, atau turunan cairan dari angkasa, seperti salju, hujan es, embun dan kabut. Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi, sebagian menguap ketika jatuh melalui udara kering, sejenis presipitasi yang dikenali sebagai virga.

Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi didalamnya.

Jumlah air hujan diukur menggunakan pengukur hujan. Ia dinyatakan sebagai kedalaman air yang terkumpul pada permukaan rata, dan diukur kurang lebih 0.25mm. Air hujan sering digambarkan sebagai berbentuk "lonjong", lebar di bawah dan menciut di atas, tetapi ini tidaklah tepat. Air hujan kecil hampir bulat. Air hujan yang besar menjadi semakin leper, seperti roti hamburger; air hujan yang lebih besar berbentuk

payung terjun. Air hujan yang besar jatuh lebih cepat berbanding air hujan yang lebih kecil.

Pada dasarnya Hujan dapat saja terjadi di sembarang tempat, asalkan terdapat dua faktor, yaitu terdapat massa udara lembab, dan terdapat sarana meteorologis yang dapat mengangkat massa udara tersebut untuk berkondensasi. Hujan terjadi akibat adanya massa udara yang menjadi dingin, mencapai suhu di bawah titik embunnya yang memulai pembentukan molekul air. Titik embun adalah temperatur pada saat udara menjadi jenuh apabila udara didinginkan pada temperature tetap. Hujan hanya akan terjadi apabila molekul-molekul air hujan sudah mencapai ukuran lebih dari 1 mm. Hal ini memerlukan waktu yang cukup untuk tumbuh dari ukuran sekitar 1 100 mikron. Proses gerakan udara keatas disebabkan oleh berbagai sebab, yang kemudian hal tersebut menentukan jenis genetic hujan, yaitu hujan konvektif, hujan siklonik, dan hujan orografik.

Hujan konvektif biasanya terjadi sebagai hujan dengan intensitas yang tinggi, akibat massa udara yang terangkat keatas oleh pemanasan lahan, atau karena udara dingin yang bergerak di atas laut atau dataran yang panas. Hujan jenis ini dapat tejadi di daerah yang relatif luas, dan bergerak sesuai dengan gerakan angin. Pembentukan hujan ini dapat dilihat dalam sketsa gambar berikut.

(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)

Gambar 2.1 Proses Pembentukan Hujan Konvektif

Hujan Siklonik dapat terjadi karena udara lembab panas terangkat ke atas oleh lapisan udara yang lebih dingin dan lebih rapat. Penyebaran hujan jenis ini sangat dipengaruhi oleh landai bidang pertemuan antara udara panas dan udara dingin (warm front / cold front) dan biasanya merupakan hujan dengan daerah penyebaran terbatas

dalam waktu pendek. Proses pembentukannya seperti gambar berikut.

(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)

Gambar 2.2 Proses Pembentukan Hujan Siklonik

Hujan orografik terjadi karena massa udara lembab terangkat keatas oleh angin yang terangkat karena adanya gunung / pegunungan / dataran tinggi. Kejadian yang sebenarnya tidak sesederhana hal tersebut, karena mekanisme terangkatnya massa udara dapat disebabkan oleh gabungan dari ketiga hal tersebut, yang menyebabkan hujan memiliki variabilitas ruang dan variabilitas waktu yang berbeda-beda. Khusus di daerah tropic seperti Indonesia, variabilitas tersebut dapat terjadi sangat tinggi. Sketsa sederhana yang menunjukkan proses pembentukan hujan orografik dapat dilihat dalam

gambar berikut.

(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)

Gambar 2.3 Proses Pembentukan Hujan Orografik

2.1.2Karakteristik Sungai

Sungai merupakan jalan air alami. Laluan melalui sungai merupakan cara biasa air hujan yang turun di daratan untuk mengalir ke laut atau tampungan air yang besar seperti danau. Sungai terdiri dari beberapa bagian, bermula dari mata air yang mengalir ke anak sungai. Beberapa anak sungai akan bergabung untuk membentuk sungai utama. Penghujung sungai di mana sungai bertemu laut dikenali sebagai muara sungai.

Sungai mempunyai fungsi mengumpulkan curah hujan dalam suatu daerah tertentu dan mengalirkannya ke laut. Sungai itu dapat digunakan juga untuk berjenis- jenis aspek seperti pembangkit tenaga listrik, pelayaran, pariwisata, perikanan, dan lain- lain. Dalm bidang pertanian sungai itu berfungsi sebagai sumber air yang penting buat irigasi.

a. Daerah Pengaliran

Daerah pengaliran sebuah sungai adalah daerah tempat presipitasi itu mengkonsentrasi ke sungai. Garis batas daerah-daerah aliran yang berdampingan disebut batas daerah pengaliran. Luas daerah pengaliran diperkirakan dengan pengukuran daerah itu pada peta topografi. Daerah pengaliran, topografi, tumbuh-tumbuhan dan geologi mempunyai pengaruh terhadap debit banjir, corak banjir, debit pengaliran dasar dan lain- lain.

b. Corak dan Karakteristik Daerah Pengaliran

Daerah pengaliran berbentuk bulu burung

Jalur daerah di kiri kanan sungai utama dimana anak-anak sungai mengalir ke sungai utama disebut daerah pengaliran bulu burung. Daerah pengaliran sedemikian mempunyai debit banjir yang kecil, oleh karena waktu tiba banjir dari anak-anak sungai itu berbeda-beda. Sebaliknya banjirnya berlangsung agak lama.

(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)

Gambar 2.4 Daerah Pengaliran Berbentuk Bulu Burung

Daerah pengaliran radial

Daerah pengaliran yang berbentuk kipas atau lingkaran dimana anak-anak sungainya mengkonsentrasi ke suatu titik secara radial disebut daerah pengaliran radial. Daerah pengaliran dengan corak demikian mempunyai banjir yang besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai.

(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)

Gambar 2.5 Daerah Pengaliran Radial

Daerah pengaliran paralel

Bentuk ini mempunyai corak dimana dua jalur daerah pengaliran yang berada di bagian pengaliran yang sama, bersatu di bagian hilir. Banjir itu terjadi di sebelah hilir titik pertemuan sungai-sungai.

(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)

Gambar 2.6 Daerah Pengaliran Paralel

2.1.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) menurut definisi adalah suatu daerah yang dibatasi (dikelilingi) oleh garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam 3 kelompok, yaitu komponen masukan yaitu curah hujan, komponen output yaitu debit aliran dan polusi / sedimen, dan komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi. Setiap komponen dalam suatu DAS harus dikelola sehingga dapat mencapai tujuan yang kita inginkan. Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh kondisi tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan umat manusia pada saat sekarang ini dengan masih menjamin kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang.

DAS ditentukan dengan menggunakan peta topografi yang dilengkapi dengan garis-garis kontur. Untuk maksud tersebut dapat digunakan peta topografi skala 1:

50000. Garis-garis kontur dipelajari untuk menentukan arah dari limpasan permukaan. Limpasan berasal dari titik-titik tertinggi dan bergerak menuju titik-titik yang lebih rendah dalam arah tegak lurus dengan garis kontur. Daerah yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan titik-titik tertinggi tersebut adalah DAS. Gambar 2.4 menunjukkan contoh bentuk DAS. Dalam gambar tersebut ditunjukkan pula penampang pada keliling DAS. Garis yang mengelilingi DAS tersebut merupakan titik-titik tertinggi. Air hujan

yang jatuh di dalam DAS akan mengalir menuju sungai utama yang ditinjau, sedang yang jatuh di luar DAS akan mengalir ke sungai lain di sebelahnya.

Luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin besar DAS semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran

permukaan atau debit sungai.

(Sumber : Bambang Triatmodjo , Hidrologi Terapan, 2008)

Gambar 2.7 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.1.4PMF dan PMP

PMF (Probable Maximum Flood) adalah Banjir maksimum yang dapat terjadi di suatu daerah dengan durasi tertentu sedangkan PMP (Probable Maximum Precipitation) didefinisikan sebagai hujan maksimum boleh jadi di suatu pos hujan untuk durasi tertentu. PMP juga merupakan besaran hujan rancangan terbesar yang dapat digunakan untuk menyelamatkan bangunan hidrolik yang mengandung resiko besar.

Sasaran utama dari analisis hidrologi adalah menetapkan nilai rancangan debit sungai pada lokasi tertentu dengan tingkat resiko yang dapat diterima, sesuai dengan tingkat kerugian yang mungkin dialami. Untuk merancang bangunan dengan resiko bencana yang besar, khususnya jika menyangkut korban jiwa manusia, diinginkan debit rancangan tanpa resiko gagal sama sekali. Debit rancangan tersebut adalah PMF (Probable Maximum Flood) atau Banjir Maksimum Boleh Jadi (BMB).

Banjir Maksimum Boleh Jadi dihitung berdasarkan hasil dari perhitungan Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi. Jika data debit maksimum terbesar untuk suatu DAS dapat diamati dan diukur, maka perhitungan BMB menjadi sederhana. Karena data debit yang ada di Indonesia sangat jarang dan kurang lengkap, maka perhitungan CMB perlu dilakukan dan selanjutnya dapat dilakukan sintesis untuk menghasilkan BMB dengan menggunakan beberapa teknik hubungan hujan-limpasan. Dengan pertimbangan- pertimbangan demikian penting sekali diperhitungkan kondisi objektif fisik dari DAS bersangkutan yang akan menentukan hubungan hujan-limpasan yang perlu digunakan.

2.1.5Analisa Konsistensi Data

Satu seri data hujan untuk satu stasiun tertentu, dimungkinkan sifatnya tidak konsisten. Data semacam ini tidak dapat langsung dianalisis, karena sebenarnya data di dalamnnya berasal dari populasi data yang berbeda. Ketidak konsisten data seperti ini dapat saja terjadi karena berbagai sebab, yaitu :

Alat ukur yang diganti dengan spesifikasi yang berbeda, atau alat yang sama akan tetapi dipasang dengan patokan aturan yang berbeda.

Alat ukur dipindahkan dari tempat semula, akan tetapi secara administrative nama stasiun tersebut tidak diubah, misalnya karena masih dalam satu desa yang sama.

Alat ukur sama, tempat tidak dipindakan, akan tetapi lingkungan yang berubah, misalnya semula dipasang di tempat yang ideal, akan tetapi kemudian berubah karena ada bangunan atau pohon besar yang terlalu dekat.

Untuk menguji Konsistensi data digunakan Metode Double Mass Curve. Metode ini digunakan untuk menguji konsistensi data dari satu stasiun curah hujan, dengan menggunakan acuan data rata-rata stasiun stasiun hujan disekitarnya.

2.2Statistik Hidrologi

2.2.1Rata Rata Hitung

Rata-rata hitung disebut juga rata-rata dirumuskan sebagai berikut:

Rata rata Hitung = Jumlah Semua Nilai Data

Banyaknya Nilai Data

(2.1)

Perumusan dan perhitungan rata-rataakan lebih mudah dilakukan dengan memakai

simbol-simbol dari nilai data kuantitatif, X1,X2,X3,...,Xn.

X = X 1 + X 2

+ X 3 + ... + X n

n

(2.2)

2.2.2Simpangan Baku

Simpangan baku atau standar deviasi adalah ukuran sebaran statistik yang paling lazim. Singkatnya, ia mengukur bagaimana nilai-nilai data tersebar. Simpangan baku didefinisikan sebagai akar kuadrat varians. Simpangan baku merupakan bilangan tak- negatif, dan memiliki satuan yang sama dengan data. Rumus Simpangan Baku atau Standar Deviasi adalah:

2

S = ( X X )

(2.3)

n 1

S= Standar Deviasi

X= Nilai setiap data/pengamatan dalam sample

X= Nilai rata-rata hitung dalam sampel

n= Jumlah total data/pengamatan dalam sampel

= Simbol operasi Penjumlahan

2.2.3Metode Double Mass Curve

Metode ini digunakan untuk menghitung kepanggahan data ( konsistensi data ). Metode Double Mass Curve adalah metode yang membandingkan data hujan tahunan kumulatif stasiun yang akan diuji (sumbu Y) dengan kumulatif rata rata stasiun lain (sumbu X) sesuai dengan kelompok data yang di uji (Searcy dan Hardison, 1982).

Tabel 2.1 Contoh Tabel Konsistensi Data

Rata-Rata Stasiun

Lain

Kumulatif Rata-Rata Stasiun Lain

Kumulatif Stasiun yang Diuji

...

...

...

...

...

...

Y

Kumulatif Stasiun yang diuji

Garis Konsistensi

X

Kumulatif Rata rata Stasiun lain

Gambar 2.8 Grafik Konsistensi Data

Dari garis konsistensi dapat diketahui konsistensi data stasiun curah hujan yang diteliti. Jika garis yang dihasilkan berupa garis lurus, maka data curah hujan tergolong baik.

2.2.4Metode Hersfield

Metode Hersfield (1961, 1986) merupakan prosedur statistik yang digunakan untuk menghitung nilai Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi. Metode ini digunakan untuk kondisi dimana data Meteorologi sangat kurang atau perlu perkiraan secara tepat. Hersfield mengembangkan rumus frekuensi Chow. Rumus Metode Hersfield adalah

sebagai berikut:

X cmb = X n + K m n

(2.4)

Xcmb= Curah Hujan Maksimum Boleh Jadi

X n= Rata-rata dari data hujan harian maksimum tahunan

n= Simpangan Baku dari seri data Hujan harian maksimum tahunan

Km= Faktor Frekuensi

Faktor frekuensi (Km) dihitung dengan menggunakan tabel. Nilai Km berbanding terbalik dengan Hujan Rata-Rata Harian Maksimum Tahunan dan nilainya bervariasi untuk berbagai durasi seperti 1 jam, 6 jam, 24 jam. Hersfield membuat lengkung hubungan antara Hujan Rata-Rata Harian Maksimum Tahunan dengan Km dan durasi hujan. Melalui rumus di atas dapat dihitung nilai CMB jika seri data hujan

maksimum tahunan, rata-rata dan simpangan bakunya tersedia.

( Sumber : Tata Cara Perhitungan Curah Hujan Maksimum BolehJadi dengan Metode Hersfield, 2003)

Gambar 2.9 Grafik Perhitungan Km

2.2.5Peta Isohyet

Di Indonesia variabilitas ruang hujan sangat besar. Oleh sebab itu, peran masing masing stasiun hujan dalam menentukan besaran hujan Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi sangat penting. Cara Isohyet ini mencoba menerjemahkan pengertian tersebut untuk memperoleh hujan DAS, dengan garis isohyet.

Garis Isohyet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dalam suatu DAS yang mempunyai kedalaman hujan yang sama. Garis ini biasanya diperoleh dengan cara interpolasi data antar stasiun.

(Sumber : Sri Harto BR, Hidrologi, 2000)

Gambar 2.10 Contoh Pembuatan Peta Isohyet

(Sumber : Suyono Sosrodarsono, Hidrologi untuk pengairan, 2003)

Gambar 2.11 Contoh Peta Isohyet

Peta Isohyet digambar berdasarkan skala peta yang disesuaikan dengan interval curah hujan yang diinginkan. Interval curah hujan yang dipakai dalam pembuatan peta Isohyet disesuaikan dengan kebutuhan gambar atau sesuai dengan data. Interval yang selalu digunakan untuk pembuatan peta isohyet berkisar antara 10 50 mm. Manfaat pembuatan peta Isohyet adalah untuk melihat tinggi curah hujan pada daerah yang terdapat dalam peta isohyet.