BAB-1

download BAB-1

of 18

description

bab1

Transcript of BAB-1

AKTIVITAS MASYARAKAT CABEAN KUNTI

BAB IPENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Hubungan antara manusia dengan ruang merupakan salah satu dari sekian banyak relasi manusia yang dipelajari oleh para peneliti. Dalam kaitannya dengan kajian arkeologi, wujud relasi ini tampak nyata dalam pemukiman manusia dan pola-pola yang dihasilkannya, baik secara sadar maupun tidak. Sebuah pemukiman merupakan pengejawantahan (ekspresi) dari konsepsi manusia mengenai ruang, serta merupakan hasil dari upaya manusia untuk mengubah dan memanfaatkan lingkungan fisiknya berdasarkan atas pandangan-pandangan dan pengetahuan yang dimilikinya mengenai lingkungan tersebut (Ahimsa, 1995:10). Menurut Evon Z. Vogt (1956) studi pola pemukiman pada dasarnya mencakup usaha untuk mendeskripsikan butir-butir berikut : 1.hakekat dari suatu atau beberapa tipe rumah tinggal ("the nature of individual domestic housetype or types") 2.pengaturan spasial tipe-tipe rumah tinggal dalam hubungannya satu sama lain di satu desa atau suatu komunitas ("the spatial arrangement of these domestic house types with respect to one another within the village or community unit") 3.relasi antara tipe-tipe rumah tinggal dengan bangunan-bangunan arsitektur lainnya ("the relationship of domestic houstypes to other special architectural features") 4.perencanaan desa secara menyeluruh dan komunitasnya ("the overall village or community plan") dan 5.hubungan-hubungan spasial antara desa-desa atau komunitas-komunitas satu dengan yang lain di suatu kawasan yang luas sesuai dengan kelayakannya ("the spatial relationships of the villages or communities to one another over as large an area as feasible"). (Ahimsa, 1995:12)

Arkeologi keruangan pada dasarnya merupakan kajian dalam arkeologi yang mempelajari ruang tempat ditemukannya hasil-hasil kegiatan manusia masa lampau, sekaligus mempelajari pula hubungannya antar ruang dalam satu situs, sistem situs, beserta lingkungannya (Clarke, 1997: 9). Dalam analisisnya, terdapat tiga tingkat ruang, yaitu mikro, semi-makro, dan makro. Tingkat mikro memusatkan perhatiannya pada hubungan antar komponen di dalam suatu bangunan atau struktur, tingkat semi-makro memperhatikan hubungan antar komponen di dalam suatu situs, dan tingkat makro memperhatikan hubungan antar situs dalam satuan wilayah budaya. 1 (Riyanto, 1995:118)Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia dari lapisan apapun mempunyai angan-angan dan keinginan untuk menciptakan sebuah hunian atau tempat tinggalnya sebaik mungkin, seakan-akan itulah yang diidam-idamkan. (Ronald, 1990:1) Hal ini sangat menarik untuk dikupas, tentang bagaimana proses manusia mengembangkan gagasan, pemikiran dan perasaannya, sehingga sampai pada gambaran tentang perwujudan sebuah hunian.

Yogyakarta sebagai ibukota Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tidak dapat dilepaskan dari hadirnya bangsa-bangsa asing baik yang berasal dari Belanda, Cina Jepang, maupun Arab. Di antara bangsa-bangsa tersebut, bangsa Belanda lebih banyak tinggalan budayanya dari pada bangsa-bangsa lainya. Hal itu disebabkan oleh karena keberadaan bangsa Belanda di Nusantara ini didukung oleh suatu pemerintah yang resmi yaitu pemerintah Kolonial Belanda. (Anonim, 2003:12)

Hasil budaya monumental bercorak Eropa (Belanda) di Yogyakarta terdiri atas beberapa jenis baik sebagai kantor, benteng, tempat tinggal, tempat-tempat ibadah, maupun pabrik. Beberapa gedung yang hingga kini masih dapat diamati di antaranya adalah Benteng Vredeburg, Gedung Agung, Gedung BNI 46, Kantor Pos Besar, Kantor Bank Indonesia, Hotel Toegoe, Hotel Garuda, Stasiun Lempuyangan dan Stasiun Tugu, Gereja Margomulyo, Kompleks Permukiman Kota Baru dengan berbagai fasilitas baik hunian tempat tinggal, kantor, rumah sakit, sekolah, dan sarana ibadah. Adanya kawasan Kota Baru ini dipicu oleh banyaknya orang-orang Belanda yang bermukim di daerah Yogyakarta terutama sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII seiring dengan perkembangan perkebunan, perindustrian, dan maraknya perekonomian. (Anonim, 2003:12) Perkembangan wilayah hunian tidak hanya di pusat kota Yogyakarta lama, akan tetapi juga daerah pinggiran kota waktu itu, misalnya di sebelah utara ada kawasan Jetis, di sebelah timur ada kawasan Bintaran dan sebelah timur laut terdapat kawasan Kota Baru ini.

Kawasan pemukiman Kota Baru selain bangunan Hunian juga terdapat bangunan untuk keagamaan yaitu Gereja Santo Antonius, Gereja HKBP sekarang, Kolese Santo Ignatius, lapangan olah raga Kridosono. Di samping itu juga ada fasilitas-fasilitas pendidikan di antaranya Normaalshool, Christelijke MULO, dan AMS (sekarang SMP V, SMU Bopkri I, dan SMUN 3), serta fasilitas kesehatan seperti Rumah Sakit Petronella (sekarang Rumah Sakit Bethesda), Rumah sakit militer (sekarang Rumah Sakit DKT). Semua bangunan-bangunan di kawasan ini mempunyai gaya arsitektur yang khas yaitu gaya arsitektur eropa. Bagaimana gaya-gaya arsitektur eropa dan bagaimana penerapannya di kawasan permukiman Kota Baru ini merupakan suatu objek kajian arkeologi yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.Diantara bangunan-bangunan yang telah disebutkan di atas, salah satu tinggalan budaya kolonial berupa bangunan rumah tinggal di kawasan Kota Baru adalah sebuah bangunan yang terletak di jalan Abu Bakar Ali No.12. Bangunan ini sejak tahun 1966 beralih fungsi menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon suster yang diberi nama susteran Amal Kasih Darah Mulia. Bangunan ini dahulu merupakan sebuah bangunan tempat tinggal seorang bangsawan Belanda berketurunan cina 2.

Bangunan Susteran Amal Kasih Darah Mulia yang dulunya merupakan tempat tinggal ini juga merupakan sebuah bangunan yang menunjukkan apresiasi gagasan dan konsep yang matang oleh pembuatnya. Bangunan ini menghadap ke utara, bertingkat dua mempunyai halaman yang luas dan pagar yang berarsitektur cina. Fasad bangunan utama berbentuk segi lima diapit dua ruangan di kanan kirinya yang masing-masing mempunyai menara kecil bertingkat tiga. Ruangan depan mempunyai tiga pintu dengan dekorasi berupa kaca timah berwarna-warni. Interior bangunan ini meliputi lantai dengan tegel marmer dan tegel biasa, plafon kayu yang di pernis, hiasan kaca berhias timah, lampu gantung, almari kayu built-in, buffet, pelapis dinding kayu, bahkan sofa built-in, dapat dikatakan masih utuh. Dari interior dan pernak-perniknya yang mewah dan finishing yang prima dapat diduga bahwa bangunan ini dahulu milik keluarga Belanda kaya.

Untuk menuju ke lantai atas terdapat tangga kayu yang mempunyai hiasan berupa jeruji bersegi delapan. Di dekat tangga terdapat jendela dengan lubang angin di atasnya berbentuk bunga. Seluruh jendela dan pintu ruangan diberi hiasan kaca timah dengan berbagai motif. Dinding ruang tengah di lantai atas ini dahulu juga mempunyai pelapis dari kayu yang melapisi seluruh tembok rungan, namun karena dianggap terlalu mewah untuk sebuah ruang suster, pelapis tersebut di bongkar, dan dibuat sebuah lemari. Di luar ruangan tersebut terdapat sebuah balkon kecil menghadap ke utara untuk melihat pemandangan. Di rungan sebelah timur sebagian dindingnya juga mempunyai pelapis kayu. Selain itu terdapat pula meja rias mewah yang mempunyai tiga kaca rias berbentuk elips. Kaca yang di tengah berukuran besar, sedangkan kedua kaca samping yang lebih kecil dapat ditutupkan ke kaca yang besar. Sekarang kaca meja rias ini selalu ditutup karena dipandang terlalu mewah untuk suatu susteran. Di luar kamar tersebut terdapat sebuah kamar mandi dalam. Melihat beberapa data ini dapat ditafsirkan bahwa lantai atas ini adalah bagian pribadi, dan ruang timur berfungsi sebagai master-bedroom. (Anonim, 2003:158) secara keseluruhan nampak gaya indis mendominasi bangunan . Namun setelah tahun 1966 ketika bangunan ini bukan lagi menjadi rumah tinggal tetapi berganti fungsi menjadi tempat pendidikan dan asrama bagi calon-calon suster yang bias dikenal sebagai biara, bangunan ini mengalami perluasan ruang untuk memenuhi kebutuhan komunitas penghuni baru. Dalam proses perubahan fungsi bangunan yang terjadi nampak juga adanya peralihan sifat dari masing-masing ruang, yaitu profan ke sakral mengingat bahwa ketika menjadi sebuah biara, sifat dari bangunan ini berubah. Peralihan sifat sakral (suci) dikarenakan terdapat bangunan peribadatan yang disebut kapel. Kapel menurut penganut agama nasrani dikenal sebagai rumah tuhan (bait allah). penambahan ruang pada bangunan ini tetap memperhitungkan nilai estetika yang tinggi, yaitu nampak pada keselarasan bentuk arsitektur yang merupakan suatu adaptasi dengan bangunan rumah tinggal sebelumnya. Bangunan ini sampai sekarang masih terjaga kelestariannya, maka tak heran jika pada tahun 2002 Susteran Amal Kasih Darah Mulia ini mendapatkan Penghargaan Warisan Budaya yang disampaikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwana X. Dengan mengamati gaya arsitektur dari bangunan yang merupakan perpaduan dari tiga gaya arsitektur yaitu Jawa, Eropa dan Cina serta perkembangan tata ruangnya diharapkan dapat memberikan satu gambaran budaya yang ditampilkan dari sebuah fasat bangunan. Pengertian tentang arsitektur ini tergantung dari segi mana memandangnya. Dari segi seni, arsitektur adalah seni bangunan termasuk di dalamnya bentuk dan ragam hiasnya. Dari segi teknik, arsitektur adalah sistem mendirikan bangunan termasuk proses perancangan, konstruksi, struktur, yang juga menyangkut dekorasi dan keindahan. Dipandang dari segi ruang arsitektur adalah pemenuhan kebutuhan ruang oleh manusia atau kelompok manusia untuk melaksanakan aktivitas tertentu. Dari segi sejarah, kebudayaan dan geografi, arsitektur adalah ungkapan fisik penggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan waktu tertentu. (Sumalyo, 1997:1 )

Arsitektur yang dipakai dalam penelitian ini adalah arsitektur yang berarti seni pengorganisasian ruang. ruang yang dimaksud adalah keseluruhan bangunan Susteran Amal Kasih Darah Mulia Kota Baru yogyakarta ketika masih menjadi rumah tinggal sampai menjadi tempat pendidikan bagi calon suster yang terdiri atas berbagai ruang yang satu sama lain merupakan bagian yang integral. Serta kajian gaya (style), teknologi dan penerapannya dalam bangunan ini. Dalam hal ini paradigma arkeologi yang menggabungkan dimensi spasial, formal, dan, temporal sangat membantu untuk menjelaskan bagaimana perkembangan arsitektur dan penerapannya pada sebuah bangunan. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perkembangan ini antara lain terjadinya alih fungsi yang terkait dengan kebutuhan penghuni atau komunitas yang mendiami bangunan ini. Beberapa yang nampak terlihat dari perubahan alih fungsi adalah adanya kantor di sebelah ruang tamu utama, penambahan ruang untuk pendidikan, tempat ibadah (kapel), ruang tidur, dan ruang makan. Mengingat objek dari penelitian ini berangkat dari satu bangunan maka bisa dikatakan sebagai kajian ruang skala mikro. Kajian ini meliputi pengatuaran ruang dan hubungan antar ruang dalam satu bangunan tunggal dalam usaha rekonstruksi jenis aktivitas dan ruang aktivitas. (Mundardjito, 1990:1 )I.2 Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, topik permasalahan yang akan diajukan adalah mengenai arsitektur gaya dan pengorganisasian ruang, di mana dari definisi arsitektur sendiri meliputi penataan ruang dan lingkungan berdasarkan gagasan manusia untuk menata ruang dan lingkungannya. Bangunan yang dirancang dan di wujudkan itu sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang bisa bersifat fungsional, atau mungkin juga refleksi dari derajat sosial, ekonomi, politik, bahkan bisa juga mengarah pada unsur simbolisme 3. Untuk itu permasalahan yang akan dibahas adalah :1. Bagaimana pola tata ruang Susteran Amal Kasih Darah Mulia ketika masih menjadi rumah tinggal sampai beralih fungsi menjadi tempat pendidikan calon-calon suster sejak tahun 1966 ?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab dari perkembangan dan perubahan alih fungsi bangunan ini ?3. Apa yang melatarbelakangi unsur perpaduan gaya arsitektur eropa, jawa, dan cina pada bangunan ?

I.3 Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan tata ruang di Susteran Amal Kasih Darah Mulia ketika masih menjadi rumah tinggal sampai beralih fungsi menjadi tempat pendidikan bagi calon-calon suster yang nantinya dapat menunjukkan fungsi atau adanya hirarki dan sifat dari setiap ruang dalam bangunan. Hirarki yang dimaksud adalah ruang-ruang yang dianggab sakral, dan profan. sedangkan sifat yang dimaksud adalah wilayah yang bersifat pribadi (privacy area) dan wilayah yang bersifat umum (public area) 4.Penelitian ini juga berusaha mendeskripsikan gaya arsitektur baik interior maupun eksterior dalam kesatuan bangunan selama terjadinya perubahan alih fungsi tata ruang sejak tahun 1925 sampai tahun 1983. Bagi arkeologi, gaya arsitektur pada sebuah bangunan dapat menujukkan suatu makna simbolis, kronologi atau wujud dari perilaku manusia. Sedangkan menurut Budi Adelar Sukada, Gaya atau style pada sebuah bangunan penting dipahami terutama karena sering kali merupakan salah satu cara untuk mengekspresikan aspirasi dan cita rasa pemilik rumah, baik secara perorangan maupun berkelompok. Juga merepresentasikan selera umum yang berlaku dalam suatu periode. Dengan mengenali style bangunan gedung yang mendominasi suatu lingkungan, akan lebih mudah menduga periode pembangunannya. Selain itu, juga akan dapat dengan pasti menyatakan apakah bangunan gedung tersebut orisinil atau tidak apabila style-nya dapat dikenali 5.

I.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian-penelitian yang dilakukan pada kawasan Kota Baru telah banyak dilakukan terutama penelitian yang mengupas kawasan ini secara umum, seperti pola permukiman masyarakat Belanda di Kawasan Kota Baru dan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya permukiman di Kawasan Kota Baru seperti penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Junawan dalam skripsi sarjana pada tahun 1998 dengan judul "Kota Baru : Pola Pemukiman Masyarakat Belanda di Yogyakarta tahun 1899 1936" , Surayati Supangkat dan Rita Margareta Setyaningsih dalam BERKALA Arkeologi 1995 yang berjudul "Kota Baru : Kajian awal tentang kawasan di Jogjakarta". Serta Buku yang berjudul "Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta" terbitan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jogjakarta. Dalam buku ini banyak memaparkan tinggalan-tinggalan arkeologis di Yogyakarta yang di kemas dalam suatu periodesasi atau pembabakan, yaitu masa prasejarah, klasik (Hindu-Budha), Islam, dan kolonial. Keterangan mengenai tinggalan budaya bangsa Belanda khususnya di kawasan Kota Baru juga tak lepas dari pembahasan. Dalam buku ini juga terdapat satu deskripsi singkat mengenai bangunan Susteran Amal Kasih Darah Mulia yang menjadi objek dari penelitian .

Ada beberapa penelitian yang sudah mencoba mendeskripsikan satu bangunan saja di kawasan Kota Baru ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sulistianingsih Catur Wibowo pada tahun 2000 yang berjudul "Perubahan Penataan dan Fungsi Ruang Rumah Sakit Mata dr. Yap Jogjakarta tahun 1923-1999". serta penelitian yang dilakukan Daru Istiarin pada tahun 2000 yang berjudul "Perkembangan Tata Letak dan Fungsi Ruang pada Rumah Sakit Panti Rapih tahun 1929-1998". Dan penelitian "Pola Penempatan dan Tata Ruang SMU BOBKRI, SMU 3, dan SLTP 5 di Kota Baru Jogjakarta" Untuk penelitian perkembangan tata ruang dan arsitektur Susteran Amal Kasih Darah Mulia selama ini belum penah dilakukan. Beberapa literatur diatas dapat membantu memberikan gambaran umum mengenai kondisi geografis, sosial budaya, serta lingkungan permukiman kawasan Kota Baru.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menerapkan pendekatan keruangan. Arkeologi Ruang yang merupakan salah satu studi kasus dalam bidang arkeologi pada pokoknya lebih menitikberatkan perhatian pada pengakajian dimensi ruang (spasial). Perhatian arkeologi ruang lebih banyak ditekankan kepada benda arkeologi sebagai kumpulan atau himpunan dalam suatu ruang dari pada sebagai satuan benda tunggal yang berdiri sendiri (Mundardjito, 1993:5). Oleh karena itu keseluruhan bangunan, dan konteks lingkungan sebagai satuan ruang dijadikan bahan analisis.

Objek dari penelitian ini adalah sebuah bangunan yang terletak di Jalan Abu Bakar Ali No.12 Kota Baru Jogjakarta. Bangunan ini dulunya merupakan tempat tinggal keluarga Dr. Yap, kemudian ditempati oleh keluarga pribumi, dan pada tahun 1966 bangunan rumah tinggal ini beralih fungsi menjadi biara, tempat pendidikan calon-calon suster.

Penelitian yang akan dilakukan bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran dan menjelaskan secara rinci tentang fakta atau gejala tertentu yang diperoleh dalam penelitian (Tanudirjo, 1989:34). Sedangkan metode penalaranya menggunakan model penalaran induktif. Penelitian ini diawalai dengan pengumpulan data melalui observasi dan survey lapangan, untuk kemudian data yang sudah diperoleh tadi dianalisis untuk penarikan suatu kesimpulan. Sesuai dengan penalaran di atas maka tahap-tahap yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah :1. Tahap Pengumpulan Data

Tahap ini peneliti melakukan observasi dan survey di Susteran Amal Kasih Darah Mulia Kota Baru untuk mengetahui tata ruang dan komponen-komponen dari bangunan ini secara keseluruhan . Objek bangunan ini merupakan data primer. Selain itu juga peneliti akan melakukan wawancara kepada pihak susteran dan juga pemilik rumah tinggal ini sebelum dijadikan sebagai bangunan susteran yang dikatakan masih dapat dilacak keberadaannya. Sedangkan data sekunder yang digunakan berupa tinjauan pustaka baik buku ataupun laporan penelitian , peta, denah bangunan. Foto-foto dan dokumen Susteran Amal kasih Darah Mulia.2. Tahap Analisis Data

Pada tahap ini data-data yang terkumpul baik dari lapangan ataupun pustaka kemudian dianalisis untuk memperoleh gambaran pola keletakan ruang, fungsi, serta kondisi dari bangunan ketika masih berupa rumah tinggal keluarga Belanda sampai beralih fungsi menjadi Susteran Amal Kasih Darah Mulia. selain itu juga pada tahap ini juga dilakukan analisis elemen arsitektural yang meliputi teknologi, bentuk, gaya, bahan dan konstruksi bangunan.3. Tahap Kesimpulan

Pada tahap ini peneliti mengharapkan tujuan dari penelitian di atas dapat tercapai.CATATAN

1. Wilayah Budaya ; wilayah budaya diartikan sebagai satu kawasan yang luas,lebih dari satu situs. Ex. Kawasan permukiman Belanda di Yogyakarta tidak hanya terletak di Kota baru tetapi ada juga di Jetis, Bintaran yang merupakan satuan wilayah budaya.

2. Hasil dari wawancara tgl 19 Februari 2005 dengan Suter Wilhelmine.

3. Arsitektur memiliki batasan yang berbeda-beda tetapi pada dasarnya saling melengkapi.

4. Wilayah pribadi (privacy area);merupakan tempat yang tidak semua orang bisa leluasa masuk seperti kamar tidur, kamar mandi. Sedangkan wilayah untuk umum (public area)adalah tempat-tempat yang memungkinkan orang lain selain komunitas biara dapat masuk seperti kantor, ruang tamu, kapel, tempat pendidikan. Ketika berlalih fungsi menjadi menjadi biara, bangunan ini tertutup untuk kaum laki-laki. 5. Budi Adelar Sukada adalah pakar sejarah Arsitektur. Keterangan diambil dari internet http://www.kompas.com/kompas-cetak/0407/16/rumah/1151083.htms 17 Mar 2005 00:47:03 GMT

PAGE 16