bab 1-3

25
BAB I PENDAHULUAN Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang paska stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai epidemiologi, patogenesis, klasifikasi, manifestasi klinis, studi diagnostik, diagnosa diferensial dan pengelolaan kejang yang berhubungan dengan berbagai lesi serebrovaskular, dengan fokus pada penggunaan antikonvulsan pada usia lanjut. 1 Kejang paska stroke dan epilepsi paska stroke merupakan penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi paska stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko independen untuk stroke, dengan 1

Transcript of bab 1-3

Page 1: bab 1-3

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia

lanjut yang merupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari

stroke. Sekitar 10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan

kejang paska stroke pada umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah

serangan stroke. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai epidemiologi,

patogenesis, klasifikasi, manifestasi klinis, studi diagnostik, diagnosa diferensial

dan pengelolaan kejang yang berhubungan dengan berbagai lesi serebrovaskular,

dengan fokus pada penggunaan antikonvulsan pada usia lanjut.1

Kejang paska stroke dan epilepsi paska stroke merupakan penyebab

tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik sebagai gejala

klinis ataupun sebagai komplikasi paska stroke. Faktor usia menjadi faktor risiko

independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan kejadian

dan prevalensi kejang paska stroke dan epilepsi paska stroke.1,2

Kejang sekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahun-

tahun dan dianggap oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada

orang tua. Meskipun frekuensi kejang paska stroke diperkirakan hanya berkisar

antara 4% hingga 10%, namun banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi

retrospektif dan tanpa konfirmasi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien

begitu kecil dan juga tidak adanya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini

sering terjadi pada pasien dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak,

1

Page 2: bab 1-3

perdarahan subarachnoid atau riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya

seperti kejang lebih sering pada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak

ditunjang dengan bukti-bukti yang kuat.3

2

Page 3: bab 1-3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi

Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang paling

sering diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia

diatas 35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami

epilepsi, penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma

kepala.4

Resiko untuk terkena stroke meningkat sejak usia 45 tahun. Setelah usia

50 tahun setiap penambahan usia tiga tahun meningkatkan resiko stroke sebesar

11-20%. Orang berusia lebih dari 65 tahun memiliki resiko paling tinggi, tetapi

hampir 25% dari semua stroke terjadi sebelum usia tersebut, dan hampir 4%

terjadi pada orang berusia antara 15 dan 40 tahun. Jika tidak ditangani dengan

segera maka penderita stroke bisa berakhir dengan kematian atau kecacatan, yaitu

lumpuh, demensia dan gangguan lain seperti sulit bicara dan gangguan melakukan

kegiatan sehari-hari lainnya. Kurang dari 10% penderita stroke mengalami

komplikasi atau gejala sisa berupa kejang atau epilepsi. Hal ini paling besar

kemungkinannya terjadi pada mereka yang mengalami perdarahan intra serebral.4

Stroke merupakan faktor resiko epilepsi yang penting khususnya pada

kelompok usia lanjut. Penderita stroke memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar

mengalami epilepsi daripada populasi umum. Dari data register stroke, sekitar

5%-20% dari semua individu yang mempunyai riwayat stroke akan mengalami

3

Page 4: bab 1-3

kejang, namun epilepsi (kejang berulang) akan terjadi hanya pada sebagian kecil

dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunnya lebih dari 730.000

orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian konservatif kejang

setelah stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun.5

Upaya metodelogis terbesar dan paling teliti untuk memeriksa kejang

paska stroke adalah laporan dari kelompok penelitian prospektif multisenter

kejang paska stroke. Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara

10,6% dari 265 pasien dengan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632

pasien dengan stroke iskemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 34,1%

dari 1000 pasien, termasuk 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau

lebar, 8,5% dengan perdarahan subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan

3,7% dengan serangan transien iskemik pada hemisfer. Kejang yang merupakan

gambaran dari perdarahan intracranial berkisar antara 30% pada 1402 pasien.

Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachnoid, serangan kejang yang terjadi

pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi (17,9%) dari pada serangan yang

terjadi saat pasien berada di rumah sakit (4,1%).6

B. Klasifikasi dan Patogenesis

Kejang paska stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset cepat

atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral, sehingga dapat

disamakan dengan kejadian epilepsi paska trauma. Periode terjadinya kejang

paska stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu dapat

membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat terjadi

dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lambat.

4

Page 5: bab 1-3

Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang paska stroke dapat sesuai dengan

terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi

terjadinya kejang paska stroke dalam kurun waktu 2 minggu.7,8

Sebagian besar awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah

iskemia. Hampir setengah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang paska

stroke muncul dalam 24 jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang

disebabkan oleh stroke hemoragik juga terjadi pada 24 jam pertama.7,8

Selama cedera iskemik akut, akumulasi kalsium intraseluler dan natrium

dapat menyebabkan depolarisasi potensial transmembran dan efek kalsium

mediasi lainnya. Perubahan ionik lokal dapat mengurangi ambang terjadinya

kejang. Eksitotoxisitas glutamat adalah mekanisme kematian sel yang ditandai

dalam bentuk stroke eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin memiliki

peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya untuk

pengobatan kejang.1

Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dalam terjadinya

kejang onset cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksia, tingginya

tingkat neurotransmiter eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstraseluler. Dalam

penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaan, populasi

neuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat membran dan terjadi

peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan ambang terjadinya kejang. Pada

iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dalam

stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk

terjadinya aktivitas kejang.1

5

Page 6: bab 1-3

Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabkan terjadinya

kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyebab tersering

terjadinya status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk.1

Pada kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam

rangsangan saraf. Terjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel

neuroglia dan sel imun. Sebuah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus

untuk kejang onset lambat, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin

bertanggung jawab untuk kejadian onset lambat epilepsi paska trauma.1

Sebuah lesi permanen muncul untuk menjelaskan mengapa pada pasien

epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian kejang lebih tinggi dibandingkan

kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilepsi paska trauma, keterlambatan

timbulnya serangan dari kejang pertama membawa risiko yang lebih tinggi untuk

terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik didapatkan sekitar 35% pasien

epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada 90% pasien pada kejang onset

lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien stroke hemoragik, sekitar 29%

pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat vs 93% dengan kejang

onset lambat.1

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat

menyebabkan kejang paska stroke. Kejang paska stroke lebih mungkin untuk

terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus

otak dibandingkan dengan keterlibatan lobus tunggal. Namun, setiap stroke

subkortikal, kadang-kadang dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang. Penelitian

sebelumnya, mengandalkan pada teknik neuroimaging yang masih kurang

6

Page 7: bab 1-3

Sumbatan pembuluh darah di otak

sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabkan

terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling sering

disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyebab

kejang tidak dapat diketahui.1

Penderita stroke

Pendarahan di otak

7

Lesi iritatif

Iskemia

Sel otak melepaskan muatan listrik abnormal di luar kehendak

Kejang / epilepsi

Genetik Usia Obat-obatan

Page 8: bab 1-3

C. Faktor Resiko1

D. Manisfestasi Klinis

Mengingat bahwa sebagian besar kejang paska stroke disebabkan oleh lesi

fokal, kejang fokal paska stroke biasanya terjadi pada awalnya. Dalam sebuah

studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana adalah jenis

yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%). Dalam

penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, sedangkan

kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder. Kebanyakan serangan

berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata-rata

kurang dari satu tahun.1

8

Page 9: bab 1-3

Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang paska stroke, 9% memiliki

status epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kecacatan fungsional yang

lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, jenis

stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi atau

pola electroencephalographic (EEG).

E. Penegakan Diagnosis

Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi

periodik lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik

lateralizing pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang.

Pasien dengan fokus paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus,

menyebar dan temuan normal pada perlambatan EEG, bagaimanapun, ini

dikaitkan dengan risiko yang relatif rendah masing-masing 20%, 10% dan 5%.

Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi pencitraan

neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal.9

Perlambatan fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang

luas dari iskemia jaringan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau

daerah subkortikal. EEG dapat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis

yang buruk paska stroke fokal. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat

mengkonfirmasi kesan klinis iskemik hemisfer dan berlawanan dengan kejang

sebagai penjelasan selama sindrom neurologis akut. Tidak adanya kelainan EEG

tidak mengecualikan pasti iskemia serebral, terutama dalam struktur subkortikal

atau aktivitas kejang subtentorial atau intermiten.1

9

Page 10: bab 1-3

Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark.

Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan

resonansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studi-

studi menunjukkan peningkatan intensitas gambaran tahanan difusi yang berat dan

urutan T2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah.

Namun, hasil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular

dari ipsilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik

dan peningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik dengan

kontras. Studi lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran

tahanan difusi di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.

F. Penatalaksanaan

Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteristik

individu tiap pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan

komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk

mengevaluasi kejang paska stroke yang telah dilakukan untuk menilai agen

khusus. Mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara untuk

memulai pengobatan, karena hanya sedikit yang telah membuktikan bahwa kejang

paska stroke dapat kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang paska

stroke, kebanyakan dokter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika

mereka baru terserang stroke. Bladin et al berpendapat bahwa uji terkontrol

termasuk pasien dengan kejang paska stroke akan menimbulkan permasalahan

logistik yang luas dan mungkin tidak etis, meskipun insiden kejang paska stroke

relatif masih rendah. Arboix et al menyimpulkan bahwa efektivitas antikonvulsan

10

Page 11: bab 1-3

profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak yang dilakukan pada

pasien dengan risiko tinggi.6,10

Kejang paska stroke biasanya dikontrol dengan baik dengan antikonvulsan

tunggal. Ada beberapa jenis obat yang tersedia untuk epilepsi yang disebut dengan

AED (Anti Epilepsy Drug) atau obat anti epilepsi. Cara kerja obat ini dengan

mencegah aktivitas listrik yang berlebihan di otak, tetapi aktivitas otak normal

juga dapat terpengaruh berupa timbulnya rasa kantuk, pusing, kebingungan dan

efek samping lainnya.10

Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati epilepsi dibagi menjadi

obat lini pertama dan lini kedua. Obat lini pertama biasanya merupakan pilihan

pertama untuk mengontrol kejang, contohnya sodium valproate, carbamazepine,

fenitoin, fenobarbital dan primidone. Sedangkan obat lini kedua biasanya

digunakan jika obat lini pertama tidak dapat digunakan karena alasan tertentu

(dapat berinteraksi dengan obat lain), contohnya gabapentin, lamotrigin,

levetiracetam, oxcarbazepine, tiagabine, topiramate dan vigabatrin.10

Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini

pertama untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan.

Sekitar 10% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat

antiepilepsi, paling sering digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam

uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini

menunjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas

dari kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine. Meskipun

banyak dari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah

11

Page 12: bab 1-3

diteliti sebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam

praktiknya sering digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti

berkhasiat sebagai monoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat

antiepilepsi, harus dibatasi dosis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama

pada pasien stroke pada usia lanjut.1,2

Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang

terkena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama

melewati metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada

protein. Sebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk

mempertahankan rentang terapi yang konsisten dari kedua agen.1,2

Dalam pedoman yang direkomendasikan oleh Dewan stroke dari American

Heart Association menyatakan bahwa profilaksis kejang seragam dalam periode

akut setelah perdarahan intraserebral dan subarachnoid. Untuk perdarahan

intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan cedera saraf dan berkontribusi

lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada data klinis untuk

mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar dan subkortikal

dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah untuk terjadi

kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan bahwa dosis

fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL), dengan

penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang terjadi

selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah presentasi

munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi dan

mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang.2

12

Page 13: bab 1-3

G. Prognosis

Dampak buruk dari kejang paska stroke masih belum jelas dan memiliki

data yang bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi

prospektif, kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi

atau defisit neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih

baik dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa

kejang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang memberikan

kontribusi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam studi lainnya

dinyatakan bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48 jam dari

serangan stroke atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal

di rumah sakit yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak

menunjukkan adanya kejang (14,4%).1,2,7

13

Page 14: bab 1-3

BAB III

PENUTUP

Kejang paska stroke merupakan fenomena yang sering terjadi dan dapat

diobati, sedangkan kejang paska stroke yang berkembang menjadi epilepsi relatif

jarang. Lesi serebrovaskular yang terkait dengan kejang meliputi perdarahan

intraserebral (parenkim) dan subarachnoid serta trombosis vena serebral (dengan

atau tanpa infark pada vena) yang melibatkan lesi pada korteks cerebral, defisit

neurologis yang besar atau disabilitas, dan prosedur revaskularisasi yang

melibatkan arteri karotid internal.

Pengobatan kejang paska stroke tidak berbeda dari pendekatan untuk

mengobati kejang onset parsial akibat kerusakan otak. Kejang paska stroke

memiliki respon yang baik terhadap penggunaan obat antiepilepsi tunggal.

Pengobatan anti epilepsi memiliki 2 lini, pemilihan lini pertama maupun kedua

tergantung dari kondisi pasien. Mengingat bahwa kejadian epilepsi paska stroke

relatif rendah, tidak ada indikasi untuk pemberian antiepilepsi profilaksis untuk

mencegah kejang pada pasien dengan stroke iskemik akut yang tidak memiliki

riwayat kejang sebelumnya. Kebutuhan penggunaan antikonvulsan kronis harus

dievaluasi secara berkala, mungkin setiap 6 bulan.

Kebanyakan pasien dengan perdarahan intraserebral atau subarachnoid

harus mendapatkan terapi profilaksis antiepilepsi jangka pendek, meskipun tidak

ada data klinis yang mendokumentasikan efektivitasnya. Dampak buruk dari

14

Page 15: bab 1-3

kejang paska stroke masih belum jelas dan memiliki data yang bertentangan dari

serangkaian kasus yang berbeda.

15

Page 16: bab 1-3

Daftar Pustaka

1. Boovalingam P, Witherall R, Ho CL, et al. Post-stroke epilepsy. GM journal 2012:33-9.

2. Myint PK, Staufnberg EFA, and Sabanathan K. Post-stroke seizure and post-stroke epilepsy. Postgrad Med J 2006;82:568-72.

3. Abdullayeva, N. Comparative analysis of patients with post-stroke epilepsy. MHSJ 2012;11:27-30.

4. Feigin, V. Panduan bergambar tentang pencegahan dan pemulihan stroke. Ed 2. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006.

5. Harsono. Epilepsi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001.

6. Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. Seizures after stroke: a prospectivemulticenter study. Arch Neurol. 2001;57:1617-1622.

7. Camilo O and Goldstein LB. Seizures and epilepsy after ischemic stroke. Stroke 2004;35:1769–75.

8. Silverman IE, Restrepo L and Mathews GC. Poststroke seizures. Arch Neurol 2002;59:195–201.

9. Holmes GL and Ben-Ari Y. The neurobiology and consequences of epilepsy in the developing brain. Pediatr Res 2001;49(3): 320-5.

10. Anonymous. Epilepsy after stroke. Stroke Association, 2012.

16