B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B...

32
B A B II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Sirosis Hati 2.1.1. Definisi Sirosis hati (SH) adalah penyakit hati menahun yang ditandai oleh kerusakan parenkim hati difus dengan fibrosis luas dan konversi arsitektur hati yang normal menjadi nodul yang abnormal (Wolf, 2012). 2.1.2. Epidemiologi Prevalensi SH berbeda-beda di tiap negara. Lebih dari 40% pasien SH asimptomatik. Pada tahun 2000, terdapat 360.000 penderita dirawat di Amerika Serikat terkait dengan SH dan kegagalan hati. Penyebabnya multifaktorial yang tersering adalah penyalahgunaan alkohol, hepatitis virus kronis dan perlemakan hati yang mengakibatkan nonalcoholic steatohepatitis (NASH) (Heidelbaugh dan Bruderly, 2006). Jumlah alkohol yang dikonsumsi untuk menimbulkan suatu penyakit hati alkoholik adalah konsumsi alkohol yang melebihi 35 unit dalam seminggu, dimana 11 unit didefinisikan sebagai 10 hingga 12 gram alkohol (McCullough dan O’Connor, 1998). Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B menyebabkan SH sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30- 40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui (Nurdjanah, 2009). Indonesia adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan kurang-lebih 17,5 juta penduduk Indonesia menderita hepatitis kronis dengan 15-40% di antaranya akan berkembang menjadi SH, gagal hati, dan karsinoma hepatoseluler (KHS) (Hasan, 2005). 5

Transcript of B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B...

Page 1: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

1

B A B II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Sirosis Hati

2.1.1. Definisi

Sirosis hati (SH) adalah penyakit hati menahun yang ditandai oleh kerusakan

parenkim hati difus dengan fibrosis luas dan konversi arsitektur hati yang normal

menjadi nodul yang abnormal (Wolf, 2012).

2.1.2. Epidemiologi

Prevalensi SH berbeda-beda di tiap negara. Lebih dari 40% pasien SH

asimptomatik. Pada tahun 2000, terdapat 360.000 penderita dirawat di Amerika

Serikat terkait dengan SH dan kegagalan hati. Penyebabnya multifaktorial yang

tersering adalah penyalahgunaan alkohol, hepatitis virus kronis dan perlemakan hati

yang mengakibatkan nonalcoholic steatohepatitis (NASH) (Heidelbaugh dan

Bruderly, 2006). Jumlah alkohol yang dikonsumsi untuk menimbulkan suatu

penyakit hati alkoholik adalah konsumsi alkohol yang melebihi 35 unit dalam

seminggu, dimana 11 unit didefinisikan sebagai 10 hingga 12 gram alkohol

(McCullough dan O’Connor, 1998). Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan

bahwa virus hepatitis B menyebabkan SH sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-

40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui (Nurdjanah, 2009). Indonesia

adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B

(HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005).

Diperkirakan kurang-lebih 17,5 juta penduduk Indonesia menderita hepatitis kronis

dengan 15-40% di antaranya akan berkembang menjadi SH, gagal hati, dan

karsinoma hepatoseluler (KHS) (Hasan, 2005).

5

Page 2: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

2

Prevalensi SH di Indonesia bervariasi antar pusat pendidikan. SH

diperkirakan mencapai 4,5-7,5% dari pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam.

Di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda selama satu tahun ditemukan 30

penderita (2,1%), Semarang 5,4% dan Yogyakarta 4,1%.

Dari penelitian Somia dkk. (2004) di RSUP Sanglah Denpasar diperoleh 95

kasus SH dengan usia rata-rata 54,32 tahun, rasio antara laki-laki dan perempuan

2,06 : 1 (Somia dkk., 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Indrawan dkk. (2014) di

RSUP Sanglah mendapatkan 72 kasus SH dengan usia rerata 52,63 ± 12,39 tahun.

Penderita SH lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan

rasio laki-laki dan perempuan 2,6:1. Di Rumah Sakit Koja, Jakarta dijumpai

penderita laki-laki 62.5% (Ndraha dkk., 2013). Demikian juga penelitian di luar

negeri umumnya mendapatkan prevalensi penyakit SH lebih banyak pada laki-laki.

2.1.3. Patogenesis

Fibrosis hati ditandai oleh hilangnya hepatosit, destruksi mikroarsitektur hati,

proliferasi miofibroblas, dan deposisi komponen matriks ekstraseluler yang

berlebihan. Fibrosis hati lanjut akan mengakibatkan gangguan detoksifikasi, KHS,

hipertensi portal, kegagalan fungsi ginjal dan paru, dan tingginya mortalitas

(Grűnhage dan Lammert, 2012).

Hepatic stellate cell (HSC), yang juga dikenal sebagai sel Ito, liposit, atau sel

perisinusoid, berperan penting dalam proses fibrosis hati (Bertolani dan Marra,

2008). Aktivasi dan proliferasi HSC merupakan kunci utama pada proses

fibrogenesis (Gambar 2.1). HSC teraktivasi menjadi sel pembentuk kolagen melalui

berbagai faktor parakrin. Faktor tersebut dilepaskan oleh hepatosit, sel Kupffer, dan

endotel sinusoid setelah terjadi kerusakan hati (Wolf, 2012). HSC yang teraktivasi

Page 3: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

3

akan memproduksi matriks ekstraseluler, sitokin proinflamasi, dan kemokin seperti

transforming growth factor-β (TGF-β) (Grűnhage dan Lammert, 2012).

Peningkatan deposisi kolagen di celah Disse (celah antara hepatosit dan

sinusoid) dan penyempitan ukuran celah antar endotel mengakibatkan peningkatan

jumlah kapiler di sinusoid. HSC yang teraktivasi juga memiliki sifat kontraktil.

Peningkatan jumlah kapiler dan konstriksi sinusoid oleh HSC akan menyebabkan

terjadinya hipertensi portal (Wolf, 2012).

Gambar 2.1. Pada fibrosis hati, terjadi aktivasi HSC yang menghasilkan matriks

ekstraseluler (Friedman dkk., 2000)

2.1.4. Gambaran Klinis

2.1.4.1. Kegagalan faal hati (Kegagalan hepatoseluler)

Akibat kegagalan faal hati dijumpai gejala subyektif yang tidak spesifik

berupa rasa capai, lemah, penurunan berat badan, perut kembung, mual, kulit

berwarna kuning dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan spider nevi,

eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut yang kurang, atrofi testis dan

ginekomastia pada pria, ikterus dan perubahan status mental (ensefalopati

hepatikum). Pada pemeriksaan laboratorium sering ditemukan hipoalbuminemia

Page 4: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

4

disertai terbaliknya rasio albumin dan globulin serum (Heidelbaugh dkk., 2006,

Kusumobroto dkk., 2012).

2.1.4.2. Hipertensi portal

Hipertensi portal adalah sindrom yang berhubungan dengan penyakit hati

kronik dan mempunyai karakteristik peningkatan tekanan portal patologis. Bila

terjadi sumbatan aliran pada sistem portal, baik yang disebabkan oleh sumbatan intra

atau ekstrahepatik, maka akan tampak sirkulasi kolateral. Hal ini merupakan

konsekuensi dari terjadinya sumbatan, sebagai upaya kompensasi mengalihkan aliran

portal ke dalam vena sistemik (Waspodo, 2012). Secara klinis hipertensi portal

ditandai adanya asites, splenomegali, pelebaran vena-vena kolateral di dinding perut

(caput medusae), dan hemoroid. Pada studi barium ditemukan filling defect sebagai

tanda varises esofagus, worm like fashion pada varises gaster. Pada pemeriksaan

ultrasonografi ditemukan adanya pelebaran vena porta, splenomegali, serta asites.

Dengan Doppler flow dijumpai penurunan signifikan sirkulasi portal (Heidelbaugh

dkk., 2006).

2.1.5. Diagnosis

Sirosis hati didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis standar yang

dikeluarkan oleh International Hepatology Informatics Group (1994), yaitu secara

klinis didapat tanda sirosis seperti varises esofagus, splenomegali (dan/atau

perubahan darah tepi yang sesuai dengan hipersplenisme), asites, muscle wasting,

perubahan dermovaskuler seperti spider angioma, dan pada pemeriksaan

ultrasonografi didapatkan tanda yang menyokong sirosis seperti adanya nodulasi

pada parenkim hati, asites, splenomegali, atau perubahan vaskuler akibat sirosis

(Carroll dkk., 1994).

Page 5: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

5

Pada stadium kompensata, sering tanpa keluhan dan didapat secara kebetulan

pada pemeriksaan rutin. Pada stadium dekompensata tidak sulit menegakkan

diagnosis dengan adanya asites, edema pretibial, splenomegali, vena kolateral,

eritema palmaris, spider angioma, ikterus dan albumin serum yang menurun.

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif dengan akurasi tinggi

(Simonovsky, 1999). Needlemann dkk. mendapatkan bahwa akurasi ultrasonografi

sekitar 88%, sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain mendapatkan akurasi

diagnosis SH dengan ultrasonografi sekitar 88-100% (Dahlan dkk., 1990). Diagnosis

pasti SH ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi (Kusumobroto, 2012).

2.1.6. Skor Child Turcotte Pugh

Pada tahun 1964, Child dan Turcotte mempublikasikan tentang kriteria

empiris yang mereka temukan untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita

SH. Variabel penting yang mereka ajukan ada 5 jenis, yaitu kadar bilirubin serum,

albumin serum, asites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian pada tahun

1973, Pugh dkk. memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi

digantikan dengan waktu protrombin. Untuk kadar albumin, Pugh memberi batasan

terendah 2,8 mg/dL dimana pada kriteria Child batasan terendahnya 3 mg/dL.

Selanjutnya kriteria tersebut dikenal dengan modifikasi Child Turcotte Pugh (CTP).

Kelima variabel dibagi menjadi 3 kelompok yang diberi skor 1, 2 dan 3 secara

berturut-turut, sehingga berdasarkan nilai total dari kriteria ini dapat diklasifikasikan

dalam CTP A, B, dan C (Wolf., 2012).

Tabel 2.1. Klasifikasi Sirosis Hati Modifikasi Child-Turcotte Pugh (Wolf, 2012)

Variabel Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3

Ensefalopati - Stadium 1-2 Stadium 3-4

Asites - Ringan Sedang-berat

Page 6: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

6

Albumin (g%) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8

Bilirubin (mg%) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0

Protrombin time (seconds prolonged

or INR)

< 4

INR < 1,7

4 – 6

INR 1,7 – 2,3

> 6

INR > 2,3

Keterangan:

Jumlah nilai 5 – 6 : Child A (gangguan fungsi hati ringan)

Jumlah nilai 7 – 9 : Child B (gangguan fungsi hati sedang)

Jumlah nilai 10 – 15 : Child C (gangguan fingsi hati berat)

2.1.6.1. Bilirubin serum

Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan struktur tetrapirol yang tidak

larut dalam air, berasal dari destruksi sel darah merah (75%), katabolisme protein

hem (22%) dan inaktivasi eritropoesis sumsum tulang (3%). Bilirubin yang tidak

terkonjugasi akan mengalami konjugasi di hati dengan enzim glukuronil transferase.

Selanjutnya bilirubin terkonjugasi akan dikonversi menjadi urobilinogen di kolon

dan sebagian direabsorpsi dan diekskresikan ginjal dalam bentuk urobilinogen dan

dikeluarkan bersama feses sebagai sterkobilin. Pemeriksaan bilirubin serum dapat

dilakukan dengan menggunakan metode van den Bergh, dimana dapat ditentukan

tingkat bilirubin total dalam serum dan jumlah bilirubin terkonjugasi ataupun tak

terkonjugasi. Pada SH akan dijumpai peningkatan produksi bilirubin (Billing dkk.,

1969).

2.1.6.2. Albumin serum

Albumin merupakan protein plasma terbanyak dalam tubuh. Kadarnya

berkisar antara 3,5-5,5 g/dL dan merupakan 60% dari seluruh protein plasma.

Sintesis albumin terutama di hati yaitu sebanyak 9-12 g/hari pada orang dewasa

normal. Pada SH akan dijumpai rendahnya produksi albumin (Rothschild, 1975).

2.1.6.3. Waktu protrombin

Page 7: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

7

Protrombin (faktor II), faktor VII, IX dan X adalah faktor koagulasi yang

dihasilkan oleh hati dimana dalam pembentukannya memerlukan vitamin K. Adapun

peranan vitamin K adalah pada tahap karboksilasi gugus gamma glutamil. Waktu

protrombin pertama kali diperkenalkan oleh Quick tahun 1935 dimana prinsip

pemeriksaan ini, mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan dalam detik untuk

pembentukan fibrin dari plasma sitrat, setelah penambahan tromboplastin jaringan

dan ion kalsium dalam jumlah optimal. Hasil pemeriksaan waktu protrombin

tergantung dari beberapa hal seperti pengambilan bahan, penanganan bahan

pemeriksaan, macam reagen yang dipakai dan teknik pemeriksaan. Waktu

protrombin merupakan ukuran sintesis sel hati dan pada SH akan dijumpai

pemanjangan waktu protrombin (Tripodi, 2007).

2.1.7. Hepatogenous Diabetes

Intoleransi glukosa sering dijumpai pada pasien SH (Coller dan Troost, 1929;

Bragança dan Álvares-da-Silva, 2010), dan dikenal setelah Naunyn pertama kali

menggunakan istilah “hepatogenous diabetes” (HD) pada tahun 1906 (Cavallo-Perin

dkk., 1985). Intoleransi glukosa sendiri terjadi pada 96% pasien penyakit hati kronis

dan 20-30% pasien SH akan berlanjut menjadi DM (Compean dkk., 2009).

HD berhubungan dengan resistensi insulin. Umumnya resistensi insulin

terjadi karena defek pada tiga komponen; (i) berkurangnya ambilan glukosa oleh

jaringan perifer (otot), (ii) berkurangnya ambilan glukosa oleh jaringan splanknik

(hati), atau (iii) overproduksi glukosa oleh hati. Berbagai studi menyebutkan bahwa

ambilan perifer (otot) (Selberg dkk., 1993; Petrides dkk., 1998; Shan dkk., 2011) dan

splanknik (hati) pasien SH berkurang dibanding subyek normal. Dari berbagai studi

tersebut dapat disimpulkan bahwa pada SH resistensi insulin disebabkan karena

Page 8: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

8

berkurangnya ambilan glukosa oleh jaringan perifer (otot) dan jaringan splanknik

(hati) (Gambar 2.2).

Hiperinsulinemia pada SH disebabkan berbagai faktor, antara lain: (i)

peningkatan sekresi insulin oleh pankreas (Greco dkk., 2002), (ii) kerusakan

hepatosit mengakibatkan berkurangnya ambilan insulin (Hsieh dan Hsieh, 2011) dan

(iii) terhindarnya insulin dari metabolisme hati karena adanya pintasan portal

sistemik (Holland-Fischer dkk., 2010) (Gambar 2.2).

Berbagai studi menyatakan hubungan antara resistensi insulin dan

hiperinsulinemia pada SH (Petrides dkk., 1991; Garcia-Compean dkk., 2012).

Petrides dkk. (1991) menunjukkan adanya resistensi insulin pada pasien SH dengan

toleransi glukosa yang normal. Studi kerjasama dengan DeFronzo tersebut

menyatakan bahwa hiperinsulinemia dianggap sebagai faktor yang berperan dalam

terjadinya resistensi insulin pada SH. Kemudian pada tahun 1998, Petrides dkk.

kembali menegaskan hal yang sama dan dalam studinya menyatakan bahwa kondisi

hiperinsulinemia yang diperbaiki (dengan menurunkan kadar insulin plasma), akan

menormalkan sensitivitas insulin pada SH. Studi yang dilakukan Donadon dkk.

(2009) menunjukkan bahwa kadar insulin plasma dan resistensi insulin yang

digambarkan dengan indeks homeostasis model assessment (HOMA) meningkat

secara signifikan, dengan kadar terendah pada hepatitis kronik, meningkat pada SH,

dan tertinggi pada KHS.

HD juga meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pada beberapa

penelitian (Moscatiello dkk., 2007). Bertolani dkk. (2006) menyatakan bahwa

resistensi insulin mempercepat progresivitas fibrosis pada penyakit hati kronis.

Nishida dkk. melakukan TTGO pada 56 orang pasien SH dengan kadar glukosa

Page 9: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

9

puasa darah normal. Total 38% pasien didiagnosis DM, 23% mengalami intoleransi

glukosa, dan 39% normal. Setelah follow-up selama 5 tahun, angka mortalitas pasien

SH yang didiagnosis DM dan intoleransi glukosa lebih tinggi dibandingkan pasien

SH normal (44% dan 32% vs 5%) (Compean dkk., 2009).

Selain meningkatkan mortalitas, HD juga meningkatkan progresivitas SH

menjadi KHS. HD dalam suatu studi dikatakan meningkatkan risiko terjadinya KHS

hingga 10 kali lipat. Pasien KHS dan DM memiliki risiko mortalitas lebih tinggi

dibanding pasien KHS tanpa DM. Pada studi yang melibatkan 160 pasien KHS,

angka mortalitas tahun pertama pada pasien DM lebih tinggi dibandingkan non DM

(Compean dkk., 2009).

Pasien HD berbeda dengan pasien DM tipe 2 pada umumnya karena

prevalensi riwayat DM pada keluarga dan risiko komplikasi makro- dan

mikroangiopati yang lebih rendah. Pada studi yang dilakukan oleh Shan dkk (2011),

kadar protein dan mRNA glucose transporter (GLUT)-4 di otot lurik pasien SH

sama dengan subyek normal. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme yang berbeda

yang mendasari intoleransi glukosa pada DM tipe 2 dan HD. Mortalitas HD yang

meningkat tidak disebabkan oleh komplikasi klasik DM, namun disebabkan karena

peningkatan risiko kegagalan hepatoseluler.

Page 10: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

10

Gambar 2.2. Patofisiologi terjadinya Hepatogenous Diabetes (Garcia-Compean dkk.,

2009)

2.2. C-Reactive Protein (CRP)

2.2.1. Sintesis dan Struktur dari CRP

C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang pertama

yang digambarkan cukup baik dalam mendeskripsikan inflamasi dan kerusakan

jaringan. Pada tahun 1930 William Tillet dan Thomas Francis menemukan substansi

dalam serum penderita pneumonia yang membentuk presipitasi dengan C

polisakarida dari dinding sel Streptococcus pneumonia (Tillet dan Francis, 1930;

Pepys dan Hirschfield, 2003). Aktivitas „C-reactive‟ ini tidak dijumpai pada orang

yang sehat. McCarty dan Avery menyempurnakan penemuan ini dan menyebutnya

sebagai C-reactive protein pada tahun 1941 (Abernathy dan Avery, 1941).

Page 11: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

11

Gambar 2.3. Struktur molekular dan morfologi CRP manusia. (a) Mikroskop elektron

menunjukkan struktur mirip cakram pentamerik. (b) Diagram pita menunjukkan

lipatan lektin dan dua atom kalsium (bulatan) di tepat pengikatan ligan dari tiap

protomer. (c) Model molekul CRP yang menunjukkan molekul fosfokolin tunggal yang

berlokasi di lokasi pengikatan ligan pada masing-masing protomer (Pepys, 2003)

CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein plasma

pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5

subunit polipeptida non glikosilat identik dengan berat molekul 23 kDa yang diatur

dalam bentuk pentamer siklik (Gambar 2.3) (Thompson dkk., 1999). Setiap subunit

mempunyai satu lokasi pengikatan untuk molekul fosfokolin dan 2 lokasi pengikatan

untuk kalsium (Gambar 2.4) (Kushner, 1990).

Lokasi pengikatan ini membuat CRP dapat mengenali dan berikatan dengan

berbagai substrat biologis, termasuk komponen fosfokolin dan fosfolipid dari dinding

sel yang mengalami kerusakan dan kromatin dan antigen nuklear yang

mengakibatkan pembentukan kompleks CRP-ligan. Kompleks CRP-ligan dapat

mengaktivasi sistem komplemen, sehingga memfasilitasi fagositosis dan pelepasan

material dari sel yang rusak serta material toksik dari mikroorganisme yang

menginvasi. Kompleks CRP-ligan juga berikatan dengan neutrophil, makrofag, dan

sel fagositik lainnya, menstimulasi respon inflamasi dan pelepasan sitokin. Gambar

2.5 menunjukkan fungsi CRP dalam sistem imun (DuClos, 2000).

Page 12: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

12

Gambar 2.4. Struktur pentamer CRP, termasuk lokasi pengikatan kalsium dan

fosfokolin. Lokasi ini membuat CRP dapat mengenali dan mengikat berbagai macam

mikroorganisme, debris selular, dan materi inti dari sel yang rusak (Kushner, 1990)

Gambar 2.5. Fungsi kunci CRP dalam sistem kekebalan alami (DuClos, 2000)

2.2.2. Fungsi Biologis CRP

Sebagian besar fungsi CRP adalah dalam konteks pertahanan tubuh terhadap

agen infektif. Walaupun memiliki perbedaan struktur dengan molekul

immunoglobulin, CRP memiliki fungsi yang serupa dengan immunoglobulin, seperti

(1) mengenali dan mengikat fosfokolin yang terpapar pada dinding sel yang rusak di

bakteri, jamur, dan parasit; (2) berperan seperti opsonin, menandai bakteri, dinding

sel yang rusak, dan debris nuklear untuk fagositosis; (3) berikatan pada Cl,

komponen pertama dari jalur klasik sistem komplemen yang memicu aktivitas

Page 13: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

13

fagositik; dan (4) berikatan dengan leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit,

yang menstimulasi produksi sitokin inflamasi (DuClos, 2000).

CRP memiliki kontribusi terhadap pertahanan tubuh melawan infeksi maupun

proses inflamasi. CRP merupakan prototipe protein fase akut, meningkat dengan

cepat sebagai respon terhadap fosfokolin dan memainkan peranan penting pada

respon pertahanan pejamu. CRP meningkatkan bersihan sel yang mengalami

apoptosis, terikat pada antigen nuklear dan dengan menyamarkan autoantigen dari

sistem imun atau meningkatkan bersihannya, CRP dapat mencegah autoimunitas

(Marnell, 2005).

CRP juga berikatan dengan ligan autologous dan ekstrinsik lainnya, dan

mengagregasi atau mempresipitasi struktur seluler, partikulat, atau molekul yang

membawa ligan ini. Ligan auologus terdiri dari lipoprotein, membran sel yang rusak,

sejumlah bahan fosfolipid yang berbeda-beda dan berkaitan, partikel

ribonukleoprotein kecil nuklear, dan sel apoptotik. Ligan ekstrinsik terdiri dari

banyak glikan, fosfolipid, dan konstituen mikroorganisme lainnya seperti komponen

kapsular dan somatik bakteria, jamur, dan parasit, begitu juga dengan produk

tumbuhan (Gambar 2.5) (DuClos, 2000; Pepys, 2003).

2.2.3. Kadar CRP dalam Sirkulasi

Kadar median CRP pada dewasa muda sehat adalah 0,8 mg/L, persentil 90

adalah 3,0 mg/L, dan persentil 99 adalah 10 mg/L (Shine dkk., 1981), namun, setelah

adanya rangsangan fase akut, kadar CRP dapat meningkat dari 50 mcg/L hingga

lebih dari 500 mg/L, yaitu hingga 10.000 kali lipat. CRP dalam plasma diproduksi

oleh hepatosit dan terutama dipengaruhi oleh IL-6. Sintesis hepatik de novo dimulai

sangat cepat setelah rangsangan tunggal, konsentrasi serum meningkat hingga di atas

Page 14: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

14

5 mg/L dalam 6 jam dan mencapai puncak dalam 48 jam. Waktu paruh dalam plasma

adalah 19 jam dan cenderung menetap diakibatkan sintesis IL-6 yang

menggambarkan secara langsung intensitas proses patologi yang merangsang

produksi CRP (Vigushin dkk., 1993). Kadar CRP akan menurun tajam bila proses

peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam akan

mencapai nilai normal. Kadar CRP stabil dalam plasma, tidak dipengaruhi variasi

diurnal dan juga tidak dipengaruhi oleh makanan (Bucova dkk., 2008).

Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma atau

invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi bahan yang

berbahaya dan merusak jaringan. Adanya inflamasi akut akan mengaktifkan

makrofag sehingga terjadi fagositosis terhadap benda asing dan menyebabkan

peningkatan produksi sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF-α dan lain-lain. Peningkatan

sintesis CRP di parenkim hati diduga dicetuskan oleh IL-1 (Gambar 2.6) (Kawai,

2000; Hengst, 2003; Shrivastava, 2015).

Fosfokolin merupakan ligan alami dimana CRP akan berikatan dengan

afinitas tinggi, dan ligan kunci ini dapat dijumpai pada fosfatidilkolin di membrane

sel dan lipoprotein plasma (Casas, 2008).

Page 15: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

15

Gambar 2.6. Stimulasi dan sintesis dari reaktan fase akut selama inflamasi. Inflamasi

yang disebabkan oleh infeksi atau kerusakan jaringan menstimulasi sitokin yang

terkait dengan inflamasi, antara lain IL-1, IL-6, dan TNF-α. Sitokin ini menstimulasi

hepatosit untuk meningkatkan sintesis dan pelepasan protein fase akut yang positif,

seperti CRP. IL-6 merupakan sitokin utama yang berperan dalam stimulus produksi

CRP (Hengst, 2003)

2.2.4. Infeksi Bakterial pada Sirosis Hati

Infeksi bakterial merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pasien SH

(Fernandez dkk., 2002). Infeksi yang paling sering dijumpai adalah peritonitis

bakterial spontan, infeksi saluran kemih, pneumonia, selulitis dan bakteremia

(Arvaniti dkk., 2010). Metode kultur hanya menunjukkan hasil positif pada 50-70%

kasus, sehingga protein fase akut dapat digunakan dalam mendiagnosis infeksi pada

SH. Namun, pada SH berbagai faktor noninfeksi seperti KHS, reaksi inflamasi lokal

jaringan hati, dan translokasi bakterial secara potensial dapat menginduksi síntesis

berbagai penanda ini (Bota dkk., 2005; Albilos dkk., 2003; Marquez dkk., 2009).

Translokasi bakterial kronik tanpa infeksi bermakna berperan pada proses awal

Page 16: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

16

terjadinya berbagai komplikasi medis terkait infeksi pada pasien SH. Kondisi ini

akan ditandai oleh peningkatan kadar lipopolysaccharide-binding protein (LBP)

serum dan deoxyribonucleic acid (DNA) bakteri di serum atau cairan asites yang

menimbulkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi (Albillos dkk., 2003; Zapater

dkk., 2008). Berbagai penelitian klinis sebelumnya menunjukkan bahwa penanda

biokimia seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT) berguna untuk

identifikasi infeksi bakterial (Papp dkk., 2012; Tsiakalos dkk., 2009; Viallon dkk.,

2000).

Tsiakalos dkk. (2009) menganalisis nilai diagnostik beberapa protein fase

akut (CRP, ferritin, β2 mikroglobulin) sebagai indikator infeksi bakterial pada 88

pasien SH dan menemukan bahwa CRP merupakan pemeriksaan terbaik untuk

mendeteksi infeksi bakterial (área under curve 0.91). Penelitian ini mendapatkan

nilai cut-off 55.8 mg/L, yang menunjukkan sensitivitas (79%) dan spesifisitas (96%)

tinggi, dengan akurasi diagnostik yang baik (92%).

2.3. Resistin

2.3.1. Sejarah Penemuan Resistin

Resistin pertama kali ditemukan pada tahun 2001 oleh tiga kelompok peneliti

di tempat yang berbeda. Steppan dkk mengidentifikasi resistin dalam upaya mencari

target terapi thiazolidinedione (TZD) pada adiposit 3T3-L1. Analisis yang dilakukan

Kim dkk mengidentifikasi resistin sebagai protein yang disekresi oleh adiposit.

Kelompok ketiga menemukan resistin, yang disebut „FIZZ3‟ sebagai protein ikutan

Page 17: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

17

pada pembentukan „FIZZ1‟ (found in inflammatory zone) saat terjadi peradangan

paru.

Istilah "resistin" diambil karena pada observasi yang dilakukan oleh Steppan

dkk ditemukan adanya resistensi insulin pada tikus yang diinjeksi dengan

rekombinan resistin dan penurunan insulin dalam mentransport glukosa ke sel

adiposa (Steppan dkk., 2001).

2.3.2. Genetika, Struktur Protein, dan Sintesis Resistin

2.3.2.1. Struktur dan sintesis resistin

Resistin merupakan peptida kaya sistein dengan berat molekul 12.5 kDa yang

ditemukan dalam sirkulasi. Panjang propeptida resistin manusia 108 asam amino.

Sebelum disekresi ke sirkulasi, resistin melepaskan 16 asam amino dan bersirkulasi

sebagai dimer yang terdiri dari 92 asam amino yang dihubungkan oleh jembatan

disulfida (Stejskal dkk, 2002) (Gambar 2.7).

Gambar 2.7. Struktur protein resistin (Steppan dkk., 2001)

Resistin termasuk dalam salah satu keluarga protein yang dikenal sebagai

resistin-like molecules (RELM). Pada tikus, terdiri dari 4 keluarga RELM yaitu

RELM-α (FIZZ-1), RELM-β (FIZZ-2), resistin (FIZZ3), dan RELM-γ. RELM-α

diekspresikan di adiposa dan paru-paru. RELM-β di usus. Resistin di jaringan adiposa

Page 18: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

18

dan sel mononuklear, sedangkan RELM-γ di jaringan adiposa, saluran cerna dan

paru-paru.

Sampai saat ini, hanya 2 RELM, yakni resistin dan RELM-β yang ditemukan

pada manusia. Struktur dan ikatan kimia mempengaruhi aktivitas biologis RELM.

Banerjee mengemukakan bahwa struktur resistin dan RELM-β tampak sebagai

homodimer dengan ikatan disulfida, dimana pada kondisi tertentu homodimer ini

dapat bermigrasi menjadi monomer. Ketiga protein dalam keluarga resistin dapat

membentuk heterodimer dengan ikatan disulfida (Kunnari, 2008).

Penelitian resistin menggunakan crystallographic X-ray menunjukkan resistin

dalam struktur heksamer (Gambar 2.8). Tiga monomer resistin saling berikatan

sehingga terbentuk trimer. Resistin bersirkulasi dalam dua bentuk di mana bentuk

yang lebih dominan, high molecular mass (HMM) heksamer dan kompleks yang

lebih aktif, low molecular mass (LMM) trimer dengan perbandingan 6:1. Heksamer

yang lebih banyak ini merupakan homodimer dari 2 trimer identik yang dihubungkan

dengan ikatan disulfida. Hal ini menunjukkan bahwa proses regulasi melalui

pelepasan disulfida dibutuhkan untuk inisiasi bioaktivitas bentuk LMM (Kusminski

dkk., 2005).

Gambar 2.8. Diagram skematis resistin. (A) Struktur monomer resistin, (B)

menunjukkan bentuk heksamer yang terdiri dari dua trimer yang dihubungkan

Page 19: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

19

jembatan disulfida. (C) Jembatan disulfida pada bentuk heksamer resistin (Kusminski

dkk., 2005)

2.3.2.2. Genetika resistin

RETN, gen yang mengkode resistin, terletak pada kromosom 19p13.3 (Yang

dkk, 2007). RETN terdiri dari empat ekson dimana tiga di antaranya berperan dalam

pembentukan protein. Produk asam riboksinukleat (RNA) RETN terdiri dari 478

nukleotida (Kunnari, 2008). Translasi protein yang dimulai dari ekson II dan berakhir

pada pertengahan ekson IV akan menghasilkan produk yang terdiri dari 108 asam

amino (Steppan dkk, 2001) (Gambar 2.9).

Gambar 2.9. Struktur gen RETN (Kunnari, 2008)

Ciri anggota keluarga gen RELM adalah peptida N-terminal, regio tengah

yang beragam, dan sekuens kaya asam amino sistein C-terminal. Seluruh anggota

keluarga gen RELM memiliki residu 10 sistein. Hal ini akan menghasilkan sekuens

CX11CX8CXCX3CX10CXCXCX9CCX3, dimana C menandakan asam amino

sistein dan X merupakan asam amino lainnya (Holcomb dkk, 2001).

Empat gen keluarga gen RELM antara lain gen resistin (RETN), resistin like α

(RETNLA), β (RETNLB), dan γ (RETNLG). Pada manusia hanya ada 2 gen yaitu gen

resistin (RETN), dan gen resistin like β (RETNLB) (Kunnari, 2008). RETN mengkode

114 asam amino polipeptida. Asano dkk. (2010) dalam penelitian populasi yang

melibatkan 3133 orang berusia di atas 60 tahun di Jepang, mengemukakan bahwa

polimorfisme RETN berhubungan dengan kadar resistin serum dan kejadian berbagai

penyakit metabolik terkait resistensi insulin.

Page 20: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

20

2.3.2.3. Perbandingan antara resistin manusia dan tikus

Perbandingan antara mRNA resistin manusia dan tikus menunjukkan adanya

kesamaan 64,4% sekuens homolog, dimana, pada sekuens genom hanya terdapat

46,7% kesamaan nukleotida (Steppan dan Lazar, 2004). Hal yang menarik, sekuens

genom tikus ini tiga kali lebih besar dibanding manusia (Gambar 2.10).

Gambar 2.10 (a) Perbandingan resistin tikus dan kelompok RELM; (b) perbandingan

resistin dan RELMβ manusia; (c) perbandingan resistin tikus dan manusia.Sekuens

asam amino resistin dan kelompok RELM pada tikus dan manusia, dibandingkan

dengan resistin tikus (a, c) atau resistin manusia (b) (Steppan dan Lazar, 2004)

Resistin manusia dan tikus memiliki 59% kesamaan pada tingkat asam

amino. Sumber resistin pada tikus dan manusia juga berlainan. Resistin tikus

diekspresikan terutama pada jaringan adiposa; sedangkan, resistin manusia

diekspresikan pada makrofag (Gambar 2.11) (Asano dkk., 2010). Pemeriksaan

jaringan manusia dengan RT-qPCR menunjukkan bahwa resistin manusia

Page 21: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

21

diekspresikan paling tinggi pada sumsum tulang, jaringan paru, dan pada kadar yang

sangat rendah di jaringan adiposa (Steppan dan Lazar, 2004). Studi lainnya juga

menunjukkan bahwa mRNA resistin manusia ditemukan pada non sel lemak pada

cadangan adiposa, terutama di mononuklear yang bersirkulasi dan bukan di

preadiposit, sel endotel atau sel otot polos vaskuler (Savage dkk., 2001). Resistin

manusia juga dapat ditemukan pada jaringan plasenta manusia, terutama pada sel

trofoblastik (Yura dkk., 2003).

Gambar 2.11 Resistin tikus terutama dihasilkan di jaringan adiposit, sedangkan

resistin manusia lebih banyak dihasilkan oleh makrofag (Steppan dkk., 2004)

Seperti halnya tikus, resistin juga dapat ditemukan pada plasma manusia.

Ekspresi gen resistin tikus tertinggi dijumpai pada jaringan lemak gonad tikus betina

(Steppan dan Lazar, 2004). Sama halnya dengan manusia, kadar resistin serum juga

ditemukan pada kadar yang lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Norata dkk.

(2007) dalam studinya mengenai korelasi resistin dengan determinan sindrom

Page 22: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

22

metabolik berspekulasi bahwa kadar resistin yang lebih tinggi pada wanita ini dapat

disebabkan oleh cadangan jaringan adiposa yang lebih banyak pada wanita.

2.3.3. Mekanisme Kerja Resistin

Mekanisme kerja resistin belum diketahui secara jelas. Berbagai jaringan

pada tikus dan manusia dipengaruhi oleh resistin secara in vitro dan in vivo, antara

lain jaringan adiposa, hati, otot, endotel vaskular, kardiomiosit dan sel peradangan

(Gambar 2.12) (Steppan dkk., 2004).

Gambar 2.12 Peran fisiologis resistin tikus. Resistin mempengaruhi homeostasis

glukosa dan kerja insulin pada tikus. Resistin memiliki sifat antagonisme terhadap

kerja insulin. Sifat antagonisme ini menghasilkan berkurangnya supresi terhadap

produksi gula hati dan berkurangnya kemampuan otot lurik dan adiposa dalam

mengambil glukosa. Resistin juga memiliki peran dalam inflamasi (Steppan dkk., 2004)

Resistin terbukti berpengaruh terhadap inflamasi dan resistensi insulin dalam

berbagai penelitian. Overekspresi resistin mengganggu kerja insulin di jaringan

sensitif insulin (Rajala dkk., 2003), dan berkurangnya resistin yang bersirkulasi

meningkatkan respon insulin (Steppan dkk., 2001). Hiperresistinemia yang sengaja

dilakukan pada tikus oleh Rajala dkk. (2003) memperlihatkan perubahan

Page 23: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

23

homeostasis glukosa dan resistensi insulin pada organ hati dan otot lurik tikus

tersebut. Pada makrofag manusia, resistin meningkatkan produksi sitokin inflamasi

dan ekspresi molekul adhesi sel, seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-

1), inter-cellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan monocyte chemoattractant

protein-1 (MCP-1) (Lehrke dkk., 2004). Pada sel vaskular dari manusia dan hewan,

resistin menyebabkan proliferasi otot polos vaskular (Calabro dkk., 2004), disfungsi

endotel, dan adhesi serta infiltrasi endotel-monosit (Cho dkk., 2011).

2.3.3.1. Peran resistin dalam resistensi insulin

Gambar 2.13 Jalur signaling resistensi insulin yang disebabkan resistin pada tingkat

neuron. Resistin terikat pada TLR4 dan menginisiasi jalur signaling TLR4 (Akt, ERK

1/2, JNK, dan p38 MAPK). Jalur signaling downstream juga memicu upregulasi IL-6,

SOCS-3, dan PTP-1B (Benomar dkk., 2013)

Mekanisme molekular resistin dalam resistensi insulin dijelaskan melalui

penelitian yang dilakukan oleh Benomar dkk. (2013). Resistin akan bekerja di

hipotalamus dan meningkatkan ekspresi suppressor of cytokine signalling-3 (SOCS-

Page 24: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

24

3) dan phosphotyrosine phosphatase 1B (PTP-1B) yang merupakan regulator negatif

signaling insulin. Resistin juga mengakibatkan fosforilasi dan ekspresi reseptor

insulin dan insulin receptor substrate 1/2 (IRS 1/2) terganggu yang mengubah

sasaran downstream seperti phosphatidylinositol 3 kinase, Akt, dan mitogen-activated

protein kinase (MAPK). Resistin yang diberikan secara sentral

(intraserebroventrikular) juga akan mengganggu fosforilasi Akt dan extracellular

signal-related kinase 1/2 (ERK 1/2) otot dan jaringan adiposa (Gambar 2.13).

2.3.3.2. Peran resistin dalam inflamasi

Resistin merupakan penanda atau mediator berbagai kondisi inflamasi, seperti

penyakit hati kronis, penyakit paru, dan plak atherosklerosis (Asano dkk., 2010;

Beier dkk., 2008; Benomar dkk., 2013; Steppan dkk., 2001). Bahr dkk. (2006)

mengemukakan bahwa resistin berkorelasi positif dengan kadar TNF-α plasma pada

pasien SH. Bertolani dkk. (2006) menemukan adanya peran resistin dalam

patogenesis inflamasi hati melalui aktivitasnya terhadap HSC. Pada studi yang

dilakukan Rajala dkk. (2002), pemberian TNF-α dan IL-6 pada adiposit 3T3-L1,

kadar mRNA dan protein resistin tidak tampak meningkat (Rajala dkk., 2002). Studi

yang menggunakan stimulus proinflamasi lainnya, lipopolisakarida, menunjukkan

adanya peningkatan (Lu dkk., 2002) dan penurunan (Rajala dkk., 2002) ekspresi

resistin pada tikus dan adiposit 3T3-L1. Benomar dkk. (2013) mengemukakan bahwa

infus resistin sentral meningkatkan ekspresi IL-6 di hipotalamus dan jaringan sensitif

insulin perifer yang mempromosikan inflamasi dan resistensi insulin. Mekanisme

molekular dimana resistin mengakibatkan inflamasi hingga saat ini belum jelas.

Benomar dkk. melaporkan untuk pertama kalinya bahwa pengikatan resistin

Page 25: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

25

terhadap toll-like receptor (TLR)-4 akan mengakibatkan aktivasi jalur proinflamasi

dan yang pada akhirnya juga menimbulkan resistensi insulin (Gambar 2.13).

2.3.4. Resistin dan Penyakit Ginjal Kronis

Berbagai jenis adipokin seperti leptin, adiponektin, dan resistin ditemukan

meningkat pada penyakit ginjal kronis (PGK). Laju filtrasi glomerulus (LFG)

berbanding terbalik dengan kadar resistin plasma (Axelsson dkk., 2006 dan

Menzaghi dkk., 2012). Jalur utama eliminasi resistin terjadi di ginjal. Studi yang

dilakukan oleh Axelsson dkk. (2006) mendapatkan adanya peningkatan kadar resistin

pada pasien PGK, namun tidak didapatkan hubungan antara resistin dengan massa

lemak tubuh. Resistin juga berhubungan dengan berbagai penanda inflamasi pada

pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal. PGK merupakan suatu kondisi

inflamasi kronik yang berhubungan dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi

seperti interleukin (IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan lipopolisakarida

(LPS) sehingga lumrah dijumpai adanya hubungan dengan peningkatan kadar

resistin.

2.3.5. Resistin dan Infeksi Bakterial

Resistin ditemukan mengalami peningkatan pada berbagai kondisi infeksi

bakterial. Studi yang dilakukan oleh Koch dkk. (2009) menekankan peran resistin

sebagai protein fase akut pada pasien yang dirawat intensif. Kadar resistin dilaporkan

meningkat pada pasien sepsis dibanding non-sepsis dengan hubungan yang tegas

terhadap penanda respon inflamasi seperti leukosit, CRP, prokalsitonin, dan sitokin

proinflamasi seperti IL-6, IL-10, dan TNF-α. Pada sepsis berat atau syok septik,

kadar resistin serum meningkat hingga dua kali lipat dibanding pasien non-sepsis

yang dirawat intensif (Koch dkk. 2009).

Page 26: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

26

Wiest dkk. (2009) juga melaporkan adanya peningkatan resistin asites pada

pasien yang mengalami peritonitis dan menunjukkan korelasi positif dengan hitung

leukosit perifer. Karena resistin merupakan molekul kecil (12.5 kDa), inflamasi

peritoneum dapat memfasilitasi masuknya resistin dari kompartemen darah menuju

rongga peritoneum.

2.3.6. Resistin dan Penyakit Kardiovaskular

Studi prospektif yang dikemukakan oleh Zhang dkk. (2010) menemukan

adanya hubungan antara kadar resistin plasma dengan hipertensi. Resistin berperan

pada proses inflamasi melalui aktivasi IL-6 dan TNF-α lewat jalur nuclear factor

kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NF-κB). Resistin mengaktivasi sel

endotel sehingga terjadi pelepasan endotelin-1 dan peningkatan ekspresi molekul

adhesi seperti ICAM-1 dan VCAM-1. Resistin juga mengakibatkan proliferasi sel otot

polos vaskular. Semua proses ini mengakibatkan terjadinya inflamasi pada dinding

vaskular yang berperan pada berbagai penyakit kardiovaskular (Zhang dkk., 2010,

Asano dkk., 2010).

2.3.7. Resistin dan Hipertiroid

Studi yang menunjukkan adanya hubungan antara resistin dengan hipertiroid

pertama kali dikemukakan oleh Krassas dkk. (2005). Studi tersebut menunjukkan

bahwa kadar resistin meningkat pada keadaan hipertiroid dan menurun setelah

tercapai kondisi eutiroid. Resistin juga diperkirakan berperan pada keadaan resistensi

insulin yang menyertai tirotoksikosis.

2.3.8. Resistin dan Keganasan

Pamuk dkk. (2006) mengemukakan bahwa kadar resistin serum meningkat

pada pasien limfoma, leukemia akut, dan mieloma multipel. Yang dkk. (2003) juga

menyimpulkan bahwa ekspresi resistin dapat terjadi di sel leukemik perifer dan

sumsum tulang. Peningkatan kadar resistin serum disebabkan karena ekspresi resistin

Page 27: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

27

terutama ditemukan pada mieloblas dan limfoblas. Studi lain oleh Moschovi dkk.

(2010) mendapatkan bahwa kadar resistin serum pada anak yang menderita leukemia

limfositik akut lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat. Setelah diberikan

kemoterapi, kadar resistin serum menurun. Studi yang dilakukan oleh Moschovi dkk.

(2010) ini mendapatkan adanya hubungan antara kadar resistin serum dengan

beratnya derajat leukemia.

2.3.9. Resistin dan Kortikosteroid

Kelebihan glukokortikoid, atau sindrom Cushing, dapat menyebabkan

resistensi insulin. Studi yang dikemukakan oleh Masuzaki dkk. (2001)

memperlihatkan bahwa peningkatan lokal glukokortikoid yang disebabkan oleh

overekspresi spesifik jaringan adiposa dari 11β-HSD1 menunjukkan adanya obesitas

sentral dan gangguan sensitivitas insulin. Studi yang dikemukakan oleh Shojima dkk.

(2002) menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid (dexamethasone)

meningkatkan ekspresi mRNA dan kadar protein resistin 2,5 sampai 3,5 kali lipat

pada adiposit 3T3-L1 dan hingga 70% pada jaringan adiposa tikus. Peningkatan ini

terjadi hanya dalam waktu 1 jam setelah pemberian dexamethasone (Shojima dkk.,

2002). Namun pada suatu laporan lain tidak ditemukan efek glukokortikoid pada

ekspresi gen resistin terhadap adiposit 3T3-L1.

2.3.10. Metode Pemeriksaan Resistin

Resistin diperiksa menggunakan metode enzyme-linked immunoabsorbent

assay (ELISA) dengan spesimen berupa serum atau plasma dengan antikoagulan.

Serum dan plasma harus segera diperiksa atau disimpan pada suhu ≤ -20°C. Pada

penyimpanan dengan suhu 4°C selama 10 hari, tidak didapat perubahan kadar

resistin pada serum dan plasma. Penyimpanan reagen kit juga harus diperhatikan,

yaitu untuk reagen kit yang belum dibuka disimpan pada suhu 2-8°C dengan

memperhatikan tanggal kadaluwarsa, sedangkan reagen kit yang telah terbuka dapat

Page 28: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

28

bertahan selama 1 bulan. Weikert, dkk. (2007) menyatakan bahwa kadar resistin

tidak berbeda secara signifikan setelah diperiksa ulang pada pasien yang sama 1

tahun kemudian.

Kadar resistin dipengaruhi oleh (i) umur, dengan kadar yang lebih tinggi pada

masa kanak-kanak dan remaja dibandingkan anak umur pertengahan (Nüsken dkk.,

2006), (ii) jenis kelamin, dengan nilai yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan

pria, namun beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (Norata dkk.,

2007; Nieva-Vazquez dkk., 2014), dan (iii) indeks massa tubuh (IMT), dengan nilai

yang lebih tinggi pada IMT yang lebih besar (Azuma dkk., 2003).

2.4. Hubungan antara Resistin dengan Derajat Penyakit Sirosis Hati

Gangguan katabolisme lumrah dijumpai pada SH, antara lain berupa

peningkatan pengeluaran energi, penurunan massa lemak dan peningkatan

penggunaan energi dari lemak (Bahr dkk, 2006; Bugianesi dkk., 2005). Berbagai

kadar adipokin juga meningkat pada SH, salah satunya adalah resistin (Pagano dkk.,

2006). Pada hati manusia normal, ekspresi gen resistin ditemukan rendah, sedangkan

pada kondisi fibrosis hati berat, ekspresi gen resistin meningkat (Bertolani dkk.,

2006).

Studi yang dilakukan oleh Bahr dkk (2006) dan Kakizaki dkk (2008),

mendapatkan bahwa kadar resistin meningkat pada pasien SH, tergantung dari

tingkat keparahan SH dan etiologi dari penyakit hati kronik. Hasil yang sama juga

didapatkan oleh Yagmur dkk (2006) yang mengemukakan bahwa kadar resistin

plasma terukur tinggi pada penderita SH dibandingkan dengan kontrol sehat (p <

0,001), dan kadar ini meningkat secara proporsional sesuai skor Child-Pugh (r =

Page 29: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

29

0,391, p = 0,001) atau skor model for end-stage liver disease (MELD) (r = 0,414, p <

0,001). Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kadar resistin plasma sangat

terkait dengan kondisi inflamasi dan resistensi insulin yang sering dijumpai pada SH.

2.4.1. Hubungan antara Resistin dengan Inflamasi pada Sirosis Hati

Resistin diekspresikan pada jaringan hati dan ekspresinya meningkat pada

kerusakan hati berat, seperti penyakit hati alkoholik, hepatitis C kronik, dan NASH

(Bertolani dkk., 2006). Ekspresi resistin pada kerusakan hati berkorelasi secara

positif dengan paramater histologi inflamasi dan fibrosis, yang membuktikan bahwa

sel inflamasi merupakan sel utama tempat produksi resistin intrahepatik dan adanya

peran resistin terhadap HSC (Bertolani dkk., 2006).

Relevansi resistin dengan penyakit hati kronik telah ditunjukkan oleh studi

yang menganalisa konsentrasi resistin plasma pada pasien SH. Kadar resistin serum

meningkat pada pasien SH dibanding subyek sehat dan tergantung pada stadium

klinis penyakit serta kondisi inflamasi (Bahr dkk., 2006; Yagmur dkk., 2006;

Kakizaki dkk., 2008). Yagmur dkk. (2006) menemukan adanya korelasi antara

resistin serum pada penyakit hati kronik dengan parameter yang menunjukkan

kondisi inflamasi kronik, seperti TNF-α (r = 0,356, p = 0,007), IL-6 (r = 0,512, p <

0,001), CRP (r = 0,305, p = 0,005), dan hitung neutrofil (r = 0,294, p = 0,017).

Resistin meningkat ekspresinya pada monosit yang diberikan sitokin

proinflamasi, dan resistin juga merangsang sekresi sitokin proinflamasi. Pada tikus,

pemberian resistin memperburuk inflamasi dan resistensi insulin setelah injeksi

lipopolisakarida, melalui kaskade koagulasi (Beier dkk., 2008; Park dkk, 2011). Bahr

dkk. (2006) mendapatkan korelasi yang kuat antara kadar resistin plasma dengan

kadar TNF-α plasma (r = 0,62, p < 0,001) pada pasien SH. Kurangnya korelasi antara

Page 30: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

30

kadar resistin yang bersirkulasi dan gangguan hemodinamik hepatik

mengindikasikan bahwa dasar metabolik untuk peningkatan resistin pada SH

bukanlah penurunan bersihan oleh hati. Karena 10% dari massa sel di hati terdiri sel-

sel Kupffer, makrofag jaringan, Bahr dkk. Mengemukakan bahwa peningkatan kadar

resistin pada pasien SH disebabkan oleh produksi oleh sel-sel ini sebagai respon

terhadap TNF-α. Adanya kadar resistin plasma yang lebih tinggi pada vena hepatika

dibanding arteri hepatika (7,4 ± 0,5 vs 6,5 ± 0,5 ng/ml) pada penelitian ini

membuktikan adanya kemungkinan peningkatan kadar resistin plasma disebabkan

peningkatan produksi oleh hati. Peningkatan ini diperkirakan berasal dari sel Kupffer

karena tipe sel lainnya bukan merupakan sumber produksi resistin. Hepatosit dan sel

endotel tidak mengekspresikan resistin, dan walaupun pada tikus, ekspresi resistin

terlihat pada HSC yang tenang, hal ini tidak terjadi pada saat sel ini teraktivasi,

seperti yang terjadi pada hati yang mengalami fibrosis/ sirosis (She dkk., 2005; Bahr

dkk., 2006).

Studi yang ada saat ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar resistin pada

pasien SH berkorelasi positif dengan tingkat keparahan SH yang diukur dengan

derajat CTP dan secara negatif dengan sintesis protein hepatik. Oleh karena sifat

tersebut, resistin dapat berperan sebagai penanda baru terhadap proses fibrogenesis

hati.

2.4.2. Hubungan antara Resistin dengan Resistensi Insulin pada Sirosis Hati

Studi terdahulu menunjukkan adanya hubungan resistin dengan inflamasi

pada SH. Adanya keterkaitan yang sangat erat dengan resistensi insulin juga dapat

ditemukan pada SH. Berbagai kondisi resistensi insulin memperlihatkan adanya

kondisi inflamasi. Resistin diperkirakan juga berperan dalam menghubungkan

kondisi inflamasi dengan resistensi insulin pada SH (Bahr dkk., 2006). Melalui

Page 31: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

31

model eksperimental tikus yang dibuat SH melalui ligasi duktus biliaris, Lin dkk.,

menemukan adanya hiperinsulinemia dan peningkatan ekspresi resistin adiposa.

Pemberian insulin in vivo pada tikus meningkatkan ekspresi gen resistin secara

signifikan. Hal ini menunjukkan adanya peran resistin sebagai target gen

hiperinsulinemia pada SH (Yagmur dkk., 2006).

Studi yang dilakukan oleh Kakizaki (2008) menunjukkan adanya korelasi

antara kadar resistin plasma, dengan kadar insulin plasma puasa (r = 0,350, p < 0,01),

adiponektin (r = 0,418, p < 0,01), dan indeks HOMA-IR (r = 0,328, p < 0,01).

Walaupun peran resistin pada manusia masih kontroversial, studi yang dilakukan

Kakizaki dkk. menunjukkan bahwa resistin dapat berperan pada patomekanisme

terjadinya resistensi insulin (Steppan dkk., 2001). Disfungsi hati berat telah diketahui

menyebabkan resistensi insulin (Petrides dkk., 1998). Karena itu adanya korelasi

positif antara resistin dan HOMA-IR dan korelasi negatif antara resistin dan

quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) pada studi Kakizaki ini

tampaknya merupakan hal yang rasional. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa

induksi sitokin pada resistin dapat mengakibatkan kondisi resistensi insulin pada

keadaaan inflamasi (Bokarewa dkk., 2005; Reilly dkk., 2005).

Yagmur dkk. (2006) dalam studinya berpendapat bahwa kadar resistin serum

berkorelasi terbalik dengan parameter yang menggambarkan kapasitas biosintesis

hati, seperti albumin (r = -0,477, p < 0,001), aktivitas kolinesterase (r = -0,349, p =

0,001) dan insulin-like growth factor 1 (r = -0,360, p = 0,001). Kadar resistin serum

juga berkorelasi terbalik dengan sensitivitas insulin (indeks HOMA-S, r = - 0,296, p

= 0,008) dan berkorelasi positif dengan sekresi insulin (C-peptide, r = 0,290, p =

0,018). Oleh karena itu, resistin diperkirakan dapat menghambat kemampuan insulin

Page 32: B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B (HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005). Diperkirakan

32

dalam utilisasi glukosa pasien SH. Hasil-hasil penelitian ini menyiratkan resistin

memiliki peran kunci dalam patogenesis gangguan metabolik pada SH. Resistin

diharapkan dapat menjadi penanda klinis potensial inflamasi dan resistensi insulin

pada SH serta perjalanan klinis penyakit hati kronik pada masa mendatang. Dari

aspek terapi, resistin juga diharapkan dapat menjadi sasaran terapi untuk mencegah

gangguan metabolik pada pasien SH yang akan terjadi di kemudian hari.