B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B...
Transcript of B A B I 2.pdf · adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B...
1
B A B II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Sirosis Hati
2.1.1. Definisi
Sirosis hati (SH) adalah penyakit hati menahun yang ditandai oleh kerusakan
parenkim hati difus dengan fibrosis luas dan konversi arsitektur hati yang normal
menjadi nodul yang abnormal (Wolf, 2012).
2.1.2. Epidemiologi
Prevalensi SH berbeda-beda di tiap negara. Lebih dari 40% pasien SH
asimptomatik. Pada tahun 2000, terdapat 360.000 penderita dirawat di Amerika
Serikat terkait dengan SH dan kegagalan hati. Penyebabnya multifaktorial yang
tersering adalah penyalahgunaan alkohol, hepatitis virus kronis dan perlemakan hati
yang mengakibatkan nonalcoholic steatohepatitis (NASH) (Heidelbaugh dan
Bruderly, 2006). Jumlah alkohol yang dikonsumsi untuk menimbulkan suatu
penyakit hati alkoholik adalah konsumsi alkohol yang melebihi 35 unit dalam
seminggu, dimana 11 unit didefinisikan sebagai 10 hingga 12 gram alkohol
(McCullough dan O’Connor, 1998). Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan
bahwa virus hepatitis B menyebabkan SH sebesar 40-50% dan virus hepatitis C 30-
40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui (Nurdjanah, 2009). Indonesia
adalah negara endemis infeksi virus hepatitis B dan C. Prevalensi hepatitis B
(HBsAg) di Indonesia berkisar antara 3,5-9,1% dengan rata-rata 5,1% (Hasan, 2005).
Diperkirakan kurang-lebih 17,5 juta penduduk Indonesia menderita hepatitis kronis
dengan 15-40% di antaranya akan berkembang menjadi SH, gagal hati, dan
karsinoma hepatoseluler (KHS) (Hasan, 2005).
5
2
Prevalensi SH di Indonesia bervariasi antar pusat pendidikan. SH
diperkirakan mencapai 4,5-7,5% dari pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam.
Di Bagian Penyakit Dalam RSUP Samarinda selama satu tahun ditemukan 30
penderita (2,1%), Semarang 5,4% dan Yogyakarta 4,1%.
Dari penelitian Somia dkk. (2004) di RSUP Sanglah Denpasar diperoleh 95
kasus SH dengan usia rata-rata 54,32 tahun, rasio antara laki-laki dan perempuan
2,06 : 1 (Somia dkk., 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Indrawan dkk. (2014) di
RSUP Sanglah mendapatkan 72 kasus SH dengan usia rerata 52,63 ± 12,39 tahun.
Penderita SH lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan
rasio laki-laki dan perempuan 2,6:1. Di Rumah Sakit Koja, Jakarta dijumpai
penderita laki-laki 62.5% (Ndraha dkk., 2013). Demikian juga penelitian di luar
negeri umumnya mendapatkan prevalensi penyakit SH lebih banyak pada laki-laki.
2.1.3. Patogenesis
Fibrosis hati ditandai oleh hilangnya hepatosit, destruksi mikroarsitektur hati,
proliferasi miofibroblas, dan deposisi komponen matriks ekstraseluler yang
berlebihan. Fibrosis hati lanjut akan mengakibatkan gangguan detoksifikasi, KHS,
hipertensi portal, kegagalan fungsi ginjal dan paru, dan tingginya mortalitas
(Grűnhage dan Lammert, 2012).
Hepatic stellate cell (HSC), yang juga dikenal sebagai sel Ito, liposit, atau sel
perisinusoid, berperan penting dalam proses fibrosis hati (Bertolani dan Marra,
2008). Aktivasi dan proliferasi HSC merupakan kunci utama pada proses
fibrogenesis (Gambar 2.1). HSC teraktivasi menjadi sel pembentuk kolagen melalui
berbagai faktor parakrin. Faktor tersebut dilepaskan oleh hepatosit, sel Kupffer, dan
endotel sinusoid setelah terjadi kerusakan hati (Wolf, 2012). HSC yang teraktivasi
3
akan memproduksi matriks ekstraseluler, sitokin proinflamasi, dan kemokin seperti
transforming growth factor-β (TGF-β) (Grűnhage dan Lammert, 2012).
Peningkatan deposisi kolagen di celah Disse (celah antara hepatosit dan
sinusoid) dan penyempitan ukuran celah antar endotel mengakibatkan peningkatan
jumlah kapiler di sinusoid. HSC yang teraktivasi juga memiliki sifat kontraktil.
Peningkatan jumlah kapiler dan konstriksi sinusoid oleh HSC akan menyebabkan
terjadinya hipertensi portal (Wolf, 2012).
Gambar 2.1. Pada fibrosis hati, terjadi aktivasi HSC yang menghasilkan matriks
ekstraseluler (Friedman dkk., 2000)
2.1.4. Gambaran Klinis
2.1.4.1. Kegagalan faal hati (Kegagalan hepatoseluler)
Akibat kegagalan faal hati dijumpai gejala subyektif yang tidak spesifik
berupa rasa capai, lemah, penurunan berat badan, perut kembung, mual, kulit
berwarna kuning dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik ditemukan spider nevi,
eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut yang kurang, atrofi testis dan
ginekomastia pada pria, ikterus dan perubahan status mental (ensefalopati
hepatikum). Pada pemeriksaan laboratorium sering ditemukan hipoalbuminemia
4
disertai terbaliknya rasio albumin dan globulin serum (Heidelbaugh dkk., 2006,
Kusumobroto dkk., 2012).
2.1.4.2. Hipertensi portal
Hipertensi portal adalah sindrom yang berhubungan dengan penyakit hati
kronik dan mempunyai karakteristik peningkatan tekanan portal patologis. Bila
terjadi sumbatan aliran pada sistem portal, baik yang disebabkan oleh sumbatan intra
atau ekstrahepatik, maka akan tampak sirkulasi kolateral. Hal ini merupakan
konsekuensi dari terjadinya sumbatan, sebagai upaya kompensasi mengalihkan aliran
portal ke dalam vena sistemik (Waspodo, 2012). Secara klinis hipertensi portal
ditandai adanya asites, splenomegali, pelebaran vena-vena kolateral di dinding perut
(caput medusae), dan hemoroid. Pada studi barium ditemukan filling defect sebagai
tanda varises esofagus, worm like fashion pada varises gaster. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan adanya pelebaran vena porta, splenomegali, serta asites.
Dengan Doppler flow dijumpai penurunan signifikan sirkulasi portal (Heidelbaugh
dkk., 2006).
2.1.5. Diagnosis
Sirosis hati didiagnosis berdasarkan kriteria diagnosis standar yang
dikeluarkan oleh International Hepatology Informatics Group (1994), yaitu secara
klinis didapat tanda sirosis seperti varises esofagus, splenomegali (dan/atau
perubahan darah tepi yang sesuai dengan hipersplenisme), asites, muscle wasting,
perubahan dermovaskuler seperti spider angioma, dan pada pemeriksaan
ultrasonografi didapatkan tanda yang menyokong sirosis seperti adanya nodulasi
pada parenkim hati, asites, splenomegali, atau perubahan vaskuler akibat sirosis
(Carroll dkk., 1994).
5
Pada stadium kompensata, sering tanpa keluhan dan didapat secara kebetulan
pada pemeriksaan rutin. Pada stadium dekompensata tidak sulit menegakkan
diagnosis dengan adanya asites, edema pretibial, splenomegali, vena kolateral,
eritema palmaris, spider angioma, ikterus dan albumin serum yang menurun.
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan non invasif dengan akurasi tinggi
(Simonovsky, 1999). Needlemann dkk. mendapatkan bahwa akurasi ultrasonografi
sekitar 88%, sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain mendapatkan akurasi
diagnosis SH dengan ultrasonografi sekitar 88-100% (Dahlan dkk., 1990). Diagnosis
pasti SH ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi (Kusumobroto, 2012).
2.1.6. Skor Child Turcotte Pugh
Pada tahun 1964, Child dan Turcotte mempublikasikan tentang kriteria
empiris yang mereka temukan untuk menilai cadangan fungsi hati pada penderita
SH. Variabel penting yang mereka ajukan ada 5 jenis, yaitu kadar bilirubin serum,
albumin serum, asites, gangguan neurologis dan status nutrisi. Kemudian pada tahun
1973, Pugh dkk. memodifikasi kriteria Child, dimana variabel status nutrisi
digantikan dengan waktu protrombin. Untuk kadar albumin, Pugh memberi batasan
terendah 2,8 mg/dL dimana pada kriteria Child batasan terendahnya 3 mg/dL.
Selanjutnya kriteria tersebut dikenal dengan modifikasi Child Turcotte Pugh (CTP).
Kelima variabel dibagi menjadi 3 kelompok yang diberi skor 1, 2 dan 3 secara
berturut-turut, sehingga berdasarkan nilai total dari kriteria ini dapat diklasifikasikan
dalam CTP A, B, dan C (Wolf., 2012).
Tabel 2.1. Klasifikasi Sirosis Hati Modifikasi Child-Turcotte Pugh (Wolf, 2012)
Variabel Nilai 1 Nilai 2 Nilai 3
Ensefalopati - Stadium 1-2 Stadium 3-4
Asites - Ringan Sedang-berat
6
Albumin (g%) > 3,5 2,8 – 3,5 < 2,8
Bilirubin (mg%) < 2,0 2,0 – 3,0 > 3,0
Protrombin time (seconds prolonged
or INR)
< 4
INR < 1,7
4 – 6
INR 1,7 – 2,3
> 6
INR > 2,3
Keterangan:
Jumlah nilai 5 – 6 : Child A (gangguan fungsi hati ringan)
Jumlah nilai 7 – 9 : Child B (gangguan fungsi hati sedang)
Jumlah nilai 10 – 15 : Child C (gangguan fingsi hati berat)
2.1.6.1. Bilirubin serum
Bilirubin adalah suatu pigmen kuning dengan struktur tetrapirol yang tidak
larut dalam air, berasal dari destruksi sel darah merah (75%), katabolisme protein
hem (22%) dan inaktivasi eritropoesis sumsum tulang (3%). Bilirubin yang tidak
terkonjugasi akan mengalami konjugasi di hati dengan enzim glukuronil transferase.
Selanjutnya bilirubin terkonjugasi akan dikonversi menjadi urobilinogen di kolon
dan sebagian direabsorpsi dan diekskresikan ginjal dalam bentuk urobilinogen dan
dikeluarkan bersama feses sebagai sterkobilin. Pemeriksaan bilirubin serum dapat
dilakukan dengan menggunakan metode van den Bergh, dimana dapat ditentukan
tingkat bilirubin total dalam serum dan jumlah bilirubin terkonjugasi ataupun tak
terkonjugasi. Pada SH akan dijumpai peningkatan produksi bilirubin (Billing dkk.,
1969).
2.1.6.2. Albumin serum
Albumin merupakan protein plasma terbanyak dalam tubuh. Kadarnya
berkisar antara 3,5-5,5 g/dL dan merupakan 60% dari seluruh protein plasma.
Sintesis albumin terutama di hati yaitu sebanyak 9-12 g/hari pada orang dewasa
normal. Pada SH akan dijumpai rendahnya produksi albumin (Rothschild, 1975).
2.1.6.3. Waktu protrombin
7
Protrombin (faktor II), faktor VII, IX dan X adalah faktor koagulasi yang
dihasilkan oleh hati dimana dalam pembentukannya memerlukan vitamin K. Adapun
peranan vitamin K adalah pada tahap karboksilasi gugus gamma glutamil. Waktu
protrombin pertama kali diperkenalkan oleh Quick tahun 1935 dimana prinsip
pemeriksaan ini, mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan dalam detik untuk
pembentukan fibrin dari plasma sitrat, setelah penambahan tromboplastin jaringan
dan ion kalsium dalam jumlah optimal. Hasil pemeriksaan waktu protrombin
tergantung dari beberapa hal seperti pengambilan bahan, penanganan bahan
pemeriksaan, macam reagen yang dipakai dan teknik pemeriksaan. Waktu
protrombin merupakan ukuran sintesis sel hati dan pada SH akan dijumpai
pemanjangan waktu protrombin (Tripodi, 2007).
2.1.7. Hepatogenous Diabetes
Intoleransi glukosa sering dijumpai pada pasien SH (Coller dan Troost, 1929;
Bragança dan Álvares-da-Silva, 2010), dan dikenal setelah Naunyn pertama kali
menggunakan istilah “hepatogenous diabetes” (HD) pada tahun 1906 (Cavallo-Perin
dkk., 1985). Intoleransi glukosa sendiri terjadi pada 96% pasien penyakit hati kronis
dan 20-30% pasien SH akan berlanjut menjadi DM (Compean dkk., 2009).
HD berhubungan dengan resistensi insulin. Umumnya resistensi insulin
terjadi karena defek pada tiga komponen; (i) berkurangnya ambilan glukosa oleh
jaringan perifer (otot), (ii) berkurangnya ambilan glukosa oleh jaringan splanknik
(hati), atau (iii) overproduksi glukosa oleh hati. Berbagai studi menyebutkan bahwa
ambilan perifer (otot) (Selberg dkk., 1993; Petrides dkk., 1998; Shan dkk., 2011) dan
splanknik (hati) pasien SH berkurang dibanding subyek normal. Dari berbagai studi
tersebut dapat disimpulkan bahwa pada SH resistensi insulin disebabkan karena
8
berkurangnya ambilan glukosa oleh jaringan perifer (otot) dan jaringan splanknik
(hati) (Gambar 2.2).
Hiperinsulinemia pada SH disebabkan berbagai faktor, antara lain: (i)
peningkatan sekresi insulin oleh pankreas (Greco dkk., 2002), (ii) kerusakan
hepatosit mengakibatkan berkurangnya ambilan insulin (Hsieh dan Hsieh, 2011) dan
(iii) terhindarnya insulin dari metabolisme hati karena adanya pintasan portal
sistemik (Holland-Fischer dkk., 2010) (Gambar 2.2).
Berbagai studi menyatakan hubungan antara resistensi insulin dan
hiperinsulinemia pada SH (Petrides dkk., 1991; Garcia-Compean dkk., 2012).
Petrides dkk. (1991) menunjukkan adanya resistensi insulin pada pasien SH dengan
toleransi glukosa yang normal. Studi kerjasama dengan DeFronzo tersebut
menyatakan bahwa hiperinsulinemia dianggap sebagai faktor yang berperan dalam
terjadinya resistensi insulin pada SH. Kemudian pada tahun 1998, Petrides dkk.
kembali menegaskan hal yang sama dan dalam studinya menyatakan bahwa kondisi
hiperinsulinemia yang diperbaiki (dengan menurunkan kadar insulin plasma), akan
menormalkan sensitivitas insulin pada SH. Studi yang dilakukan Donadon dkk.
(2009) menunjukkan bahwa kadar insulin plasma dan resistensi insulin yang
digambarkan dengan indeks homeostasis model assessment (HOMA) meningkat
secara signifikan, dengan kadar terendah pada hepatitis kronik, meningkat pada SH,
dan tertinggi pada KHS.
HD juga meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pada beberapa
penelitian (Moscatiello dkk., 2007). Bertolani dkk. (2006) menyatakan bahwa
resistensi insulin mempercepat progresivitas fibrosis pada penyakit hati kronis.
Nishida dkk. melakukan TTGO pada 56 orang pasien SH dengan kadar glukosa
9
puasa darah normal. Total 38% pasien didiagnosis DM, 23% mengalami intoleransi
glukosa, dan 39% normal. Setelah follow-up selama 5 tahun, angka mortalitas pasien
SH yang didiagnosis DM dan intoleransi glukosa lebih tinggi dibandingkan pasien
SH normal (44% dan 32% vs 5%) (Compean dkk., 2009).
Selain meningkatkan mortalitas, HD juga meningkatkan progresivitas SH
menjadi KHS. HD dalam suatu studi dikatakan meningkatkan risiko terjadinya KHS
hingga 10 kali lipat. Pasien KHS dan DM memiliki risiko mortalitas lebih tinggi
dibanding pasien KHS tanpa DM. Pada studi yang melibatkan 160 pasien KHS,
angka mortalitas tahun pertama pada pasien DM lebih tinggi dibandingkan non DM
(Compean dkk., 2009).
Pasien HD berbeda dengan pasien DM tipe 2 pada umumnya karena
prevalensi riwayat DM pada keluarga dan risiko komplikasi makro- dan
mikroangiopati yang lebih rendah. Pada studi yang dilakukan oleh Shan dkk (2011),
kadar protein dan mRNA glucose transporter (GLUT)-4 di otot lurik pasien SH
sama dengan subyek normal. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme yang berbeda
yang mendasari intoleransi glukosa pada DM tipe 2 dan HD. Mortalitas HD yang
meningkat tidak disebabkan oleh komplikasi klasik DM, namun disebabkan karena
peningkatan risiko kegagalan hepatoseluler.
10
Gambar 2.2. Patofisiologi terjadinya Hepatogenous Diabetes (Garcia-Compean dkk.,
2009)
2.2. C-Reactive Protein (CRP)
2.2.1. Sintesis dan Struktur dari CRP
C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu protein fase akut yang pertama
yang digambarkan cukup baik dalam mendeskripsikan inflamasi dan kerusakan
jaringan. Pada tahun 1930 William Tillet dan Thomas Francis menemukan substansi
dalam serum penderita pneumonia yang membentuk presipitasi dengan C
polisakarida dari dinding sel Streptococcus pneumonia (Tillet dan Francis, 1930;
Pepys dan Hirschfield, 2003). Aktivitas „C-reactive‟ ini tidak dijumpai pada orang
yang sehat. McCarty dan Avery menyempurnakan penemuan ini dan menyebutnya
sebagai C-reactive protein pada tahun 1941 (Abernathy dan Avery, 1941).
11
Gambar 2.3. Struktur molekular dan morfologi CRP manusia. (a) Mikroskop elektron
menunjukkan struktur mirip cakram pentamerik. (b) Diagram pita menunjukkan
lipatan lektin dan dua atom kalsium (bulatan) di tepat pengikatan ligan dari tiap
protomer. (c) Model molekul CRP yang menunjukkan molekul fosfokolin tunggal yang
berlokasi di lokasi pengikatan ligan pada masing-masing protomer (Pepys, 2003)
CRP adalah anggota keluarga dari protein pentraksin, suatu protein plasma
pengikat kalsium dengan sifat pertahanan imunologis. Molekul CRP terdiri dari 5
subunit polipeptida non glikosilat identik dengan berat molekul 23 kDa yang diatur
dalam bentuk pentamer siklik (Gambar 2.3) (Thompson dkk., 1999). Setiap subunit
mempunyai satu lokasi pengikatan untuk molekul fosfokolin dan 2 lokasi pengikatan
untuk kalsium (Gambar 2.4) (Kushner, 1990).
Lokasi pengikatan ini membuat CRP dapat mengenali dan berikatan dengan
berbagai substrat biologis, termasuk komponen fosfokolin dan fosfolipid dari dinding
sel yang mengalami kerusakan dan kromatin dan antigen nuklear yang
mengakibatkan pembentukan kompleks CRP-ligan. Kompleks CRP-ligan dapat
mengaktivasi sistem komplemen, sehingga memfasilitasi fagositosis dan pelepasan
material dari sel yang rusak serta material toksik dari mikroorganisme yang
menginvasi. Kompleks CRP-ligan juga berikatan dengan neutrophil, makrofag, dan
sel fagositik lainnya, menstimulasi respon inflamasi dan pelepasan sitokin. Gambar
2.5 menunjukkan fungsi CRP dalam sistem imun (DuClos, 2000).
12
Gambar 2.4. Struktur pentamer CRP, termasuk lokasi pengikatan kalsium dan
fosfokolin. Lokasi ini membuat CRP dapat mengenali dan mengikat berbagai macam
mikroorganisme, debris selular, dan materi inti dari sel yang rusak (Kushner, 1990)
Gambar 2.5. Fungsi kunci CRP dalam sistem kekebalan alami (DuClos, 2000)
2.2.2. Fungsi Biologis CRP
Sebagian besar fungsi CRP adalah dalam konteks pertahanan tubuh terhadap
agen infektif. Walaupun memiliki perbedaan struktur dengan molekul
immunoglobulin, CRP memiliki fungsi yang serupa dengan immunoglobulin, seperti
(1) mengenali dan mengikat fosfokolin yang terpapar pada dinding sel yang rusak di
bakteri, jamur, dan parasit; (2) berperan seperti opsonin, menandai bakteri, dinding
sel yang rusak, dan debris nuklear untuk fagositosis; (3) berikatan pada Cl,
komponen pertama dari jalur klasik sistem komplemen yang memicu aktivitas
13
fagositik; dan (4) berikatan dengan leukosit polimorfonuklear (PMN) dan monosit,
yang menstimulasi produksi sitokin inflamasi (DuClos, 2000).
CRP memiliki kontribusi terhadap pertahanan tubuh melawan infeksi maupun
proses inflamasi. CRP merupakan prototipe protein fase akut, meningkat dengan
cepat sebagai respon terhadap fosfokolin dan memainkan peranan penting pada
respon pertahanan pejamu. CRP meningkatkan bersihan sel yang mengalami
apoptosis, terikat pada antigen nuklear dan dengan menyamarkan autoantigen dari
sistem imun atau meningkatkan bersihannya, CRP dapat mencegah autoimunitas
(Marnell, 2005).
CRP juga berikatan dengan ligan autologous dan ekstrinsik lainnya, dan
mengagregasi atau mempresipitasi struktur seluler, partikulat, atau molekul yang
membawa ligan ini. Ligan auologus terdiri dari lipoprotein, membran sel yang rusak,
sejumlah bahan fosfolipid yang berbeda-beda dan berkaitan, partikel
ribonukleoprotein kecil nuklear, dan sel apoptotik. Ligan ekstrinsik terdiri dari
banyak glikan, fosfolipid, dan konstituen mikroorganisme lainnya seperti komponen
kapsular dan somatik bakteria, jamur, dan parasit, begitu juga dengan produk
tumbuhan (Gambar 2.5) (DuClos, 2000; Pepys, 2003).
2.2.3. Kadar CRP dalam Sirkulasi
Kadar median CRP pada dewasa muda sehat adalah 0,8 mg/L, persentil 90
adalah 3,0 mg/L, dan persentil 99 adalah 10 mg/L (Shine dkk., 1981), namun, setelah
adanya rangsangan fase akut, kadar CRP dapat meningkat dari 50 mcg/L hingga
lebih dari 500 mg/L, yaitu hingga 10.000 kali lipat. CRP dalam plasma diproduksi
oleh hepatosit dan terutama dipengaruhi oleh IL-6. Sintesis hepatik de novo dimulai
sangat cepat setelah rangsangan tunggal, konsentrasi serum meningkat hingga di atas
14
5 mg/L dalam 6 jam dan mencapai puncak dalam 48 jam. Waktu paruh dalam plasma
adalah 19 jam dan cenderung menetap diakibatkan sintesis IL-6 yang
menggambarkan secara langsung intensitas proses patologi yang merangsang
produksi CRP (Vigushin dkk., 1993). Kadar CRP akan menurun tajam bila proses
peradangan atau kerusakan jaringan mereda dan dalam waktu sekitar 24-48 jam akan
mencapai nilai normal. Kadar CRP stabil dalam plasma, tidak dipengaruhi variasi
diurnal dan juga tidak dipengaruhi oleh makanan (Bucova dkk., 2008).
Inflamasi merupakan mekanisme proteksi yang terbatas terhadap trauma atau
invasi mikroba dengan reaksi yang menghancurkan atau membatasi bahan yang
berbahaya dan merusak jaringan. Adanya inflamasi akut akan mengaktifkan
makrofag sehingga terjadi fagositosis terhadap benda asing dan menyebabkan
peningkatan produksi sitokin seperti IL-1, IL-6, TNF-α dan lain-lain. Peningkatan
sintesis CRP di parenkim hati diduga dicetuskan oleh IL-1 (Gambar 2.6) (Kawai,
2000; Hengst, 2003; Shrivastava, 2015).
Fosfokolin merupakan ligan alami dimana CRP akan berikatan dengan
afinitas tinggi, dan ligan kunci ini dapat dijumpai pada fosfatidilkolin di membrane
sel dan lipoprotein plasma (Casas, 2008).
15
Gambar 2.6. Stimulasi dan sintesis dari reaktan fase akut selama inflamasi. Inflamasi
yang disebabkan oleh infeksi atau kerusakan jaringan menstimulasi sitokin yang
terkait dengan inflamasi, antara lain IL-1, IL-6, dan TNF-α. Sitokin ini menstimulasi
hepatosit untuk meningkatkan sintesis dan pelepasan protein fase akut yang positif,
seperti CRP. IL-6 merupakan sitokin utama yang berperan dalam stimulus produksi
CRP (Hengst, 2003)
2.2.4. Infeksi Bakterial pada Sirosis Hati
Infeksi bakterial merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pasien SH
(Fernandez dkk., 2002). Infeksi yang paling sering dijumpai adalah peritonitis
bakterial spontan, infeksi saluran kemih, pneumonia, selulitis dan bakteremia
(Arvaniti dkk., 2010). Metode kultur hanya menunjukkan hasil positif pada 50-70%
kasus, sehingga protein fase akut dapat digunakan dalam mendiagnosis infeksi pada
SH. Namun, pada SH berbagai faktor noninfeksi seperti KHS, reaksi inflamasi lokal
jaringan hati, dan translokasi bakterial secara potensial dapat menginduksi síntesis
berbagai penanda ini (Bota dkk., 2005; Albilos dkk., 2003; Marquez dkk., 2009).
Translokasi bakterial kronik tanpa infeksi bermakna berperan pada proses awal
16
terjadinya berbagai komplikasi medis terkait infeksi pada pasien SH. Kondisi ini
akan ditandai oleh peningkatan kadar lipopolysaccharide-binding protein (LBP)
serum dan deoxyribonucleic acid (DNA) bakteri di serum atau cairan asites yang
menimbulkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi (Albillos dkk., 2003; Zapater
dkk., 2008). Berbagai penelitian klinis sebelumnya menunjukkan bahwa penanda
biokimia seperti C-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin (PCT) berguna untuk
identifikasi infeksi bakterial (Papp dkk., 2012; Tsiakalos dkk., 2009; Viallon dkk.,
2000).
Tsiakalos dkk. (2009) menganalisis nilai diagnostik beberapa protein fase
akut (CRP, ferritin, β2 mikroglobulin) sebagai indikator infeksi bakterial pada 88
pasien SH dan menemukan bahwa CRP merupakan pemeriksaan terbaik untuk
mendeteksi infeksi bakterial (área under curve 0.91). Penelitian ini mendapatkan
nilai cut-off 55.8 mg/L, yang menunjukkan sensitivitas (79%) dan spesifisitas (96%)
tinggi, dengan akurasi diagnostik yang baik (92%).
2.3. Resistin
2.3.1. Sejarah Penemuan Resistin
Resistin pertama kali ditemukan pada tahun 2001 oleh tiga kelompok peneliti
di tempat yang berbeda. Steppan dkk mengidentifikasi resistin dalam upaya mencari
target terapi thiazolidinedione (TZD) pada adiposit 3T3-L1. Analisis yang dilakukan
Kim dkk mengidentifikasi resistin sebagai protein yang disekresi oleh adiposit.
Kelompok ketiga menemukan resistin, yang disebut „FIZZ3‟ sebagai protein ikutan
17
pada pembentukan „FIZZ1‟ (found in inflammatory zone) saat terjadi peradangan
paru.
Istilah "resistin" diambil karena pada observasi yang dilakukan oleh Steppan
dkk ditemukan adanya resistensi insulin pada tikus yang diinjeksi dengan
rekombinan resistin dan penurunan insulin dalam mentransport glukosa ke sel
adiposa (Steppan dkk., 2001).
2.3.2. Genetika, Struktur Protein, dan Sintesis Resistin
2.3.2.1. Struktur dan sintesis resistin
Resistin merupakan peptida kaya sistein dengan berat molekul 12.5 kDa yang
ditemukan dalam sirkulasi. Panjang propeptida resistin manusia 108 asam amino.
Sebelum disekresi ke sirkulasi, resistin melepaskan 16 asam amino dan bersirkulasi
sebagai dimer yang terdiri dari 92 asam amino yang dihubungkan oleh jembatan
disulfida (Stejskal dkk, 2002) (Gambar 2.7).
Gambar 2.7. Struktur protein resistin (Steppan dkk., 2001)
Resistin termasuk dalam salah satu keluarga protein yang dikenal sebagai
resistin-like molecules (RELM). Pada tikus, terdiri dari 4 keluarga RELM yaitu
RELM-α (FIZZ-1), RELM-β (FIZZ-2), resistin (FIZZ3), dan RELM-γ. RELM-α
diekspresikan di adiposa dan paru-paru. RELM-β di usus. Resistin di jaringan adiposa
18
dan sel mononuklear, sedangkan RELM-γ di jaringan adiposa, saluran cerna dan
paru-paru.
Sampai saat ini, hanya 2 RELM, yakni resistin dan RELM-β yang ditemukan
pada manusia. Struktur dan ikatan kimia mempengaruhi aktivitas biologis RELM.
Banerjee mengemukakan bahwa struktur resistin dan RELM-β tampak sebagai
homodimer dengan ikatan disulfida, dimana pada kondisi tertentu homodimer ini
dapat bermigrasi menjadi monomer. Ketiga protein dalam keluarga resistin dapat
membentuk heterodimer dengan ikatan disulfida (Kunnari, 2008).
Penelitian resistin menggunakan crystallographic X-ray menunjukkan resistin
dalam struktur heksamer (Gambar 2.8). Tiga monomer resistin saling berikatan
sehingga terbentuk trimer. Resistin bersirkulasi dalam dua bentuk di mana bentuk
yang lebih dominan, high molecular mass (HMM) heksamer dan kompleks yang
lebih aktif, low molecular mass (LMM) trimer dengan perbandingan 6:1. Heksamer
yang lebih banyak ini merupakan homodimer dari 2 trimer identik yang dihubungkan
dengan ikatan disulfida. Hal ini menunjukkan bahwa proses regulasi melalui
pelepasan disulfida dibutuhkan untuk inisiasi bioaktivitas bentuk LMM (Kusminski
dkk., 2005).
Gambar 2.8. Diagram skematis resistin. (A) Struktur monomer resistin, (B)
menunjukkan bentuk heksamer yang terdiri dari dua trimer yang dihubungkan
19
jembatan disulfida. (C) Jembatan disulfida pada bentuk heksamer resistin (Kusminski
dkk., 2005)
2.3.2.2. Genetika resistin
RETN, gen yang mengkode resistin, terletak pada kromosom 19p13.3 (Yang
dkk, 2007). RETN terdiri dari empat ekson dimana tiga di antaranya berperan dalam
pembentukan protein. Produk asam riboksinukleat (RNA) RETN terdiri dari 478
nukleotida (Kunnari, 2008). Translasi protein yang dimulai dari ekson II dan berakhir
pada pertengahan ekson IV akan menghasilkan produk yang terdiri dari 108 asam
amino (Steppan dkk, 2001) (Gambar 2.9).
Gambar 2.9. Struktur gen RETN (Kunnari, 2008)
Ciri anggota keluarga gen RELM adalah peptida N-terminal, regio tengah
yang beragam, dan sekuens kaya asam amino sistein C-terminal. Seluruh anggota
keluarga gen RELM memiliki residu 10 sistein. Hal ini akan menghasilkan sekuens
CX11CX8CXCX3CX10CXCXCX9CCX3, dimana C menandakan asam amino
sistein dan X merupakan asam amino lainnya (Holcomb dkk, 2001).
Empat gen keluarga gen RELM antara lain gen resistin (RETN), resistin like α
(RETNLA), β (RETNLB), dan γ (RETNLG). Pada manusia hanya ada 2 gen yaitu gen
resistin (RETN), dan gen resistin like β (RETNLB) (Kunnari, 2008). RETN mengkode
114 asam amino polipeptida. Asano dkk. (2010) dalam penelitian populasi yang
melibatkan 3133 orang berusia di atas 60 tahun di Jepang, mengemukakan bahwa
polimorfisme RETN berhubungan dengan kadar resistin serum dan kejadian berbagai
penyakit metabolik terkait resistensi insulin.
20
2.3.2.3. Perbandingan antara resistin manusia dan tikus
Perbandingan antara mRNA resistin manusia dan tikus menunjukkan adanya
kesamaan 64,4% sekuens homolog, dimana, pada sekuens genom hanya terdapat
46,7% kesamaan nukleotida (Steppan dan Lazar, 2004). Hal yang menarik, sekuens
genom tikus ini tiga kali lebih besar dibanding manusia (Gambar 2.10).
Gambar 2.10 (a) Perbandingan resistin tikus dan kelompok RELM; (b) perbandingan
resistin dan RELMβ manusia; (c) perbandingan resistin tikus dan manusia.Sekuens
asam amino resistin dan kelompok RELM pada tikus dan manusia, dibandingkan
dengan resistin tikus (a, c) atau resistin manusia (b) (Steppan dan Lazar, 2004)
Resistin manusia dan tikus memiliki 59% kesamaan pada tingkat asam
amino. Sumber resistin pada tikus dan manusia juga berlainan. Resistin tikus
diekspresikan terutama pada jaringan adiposa; sedangkan, resistin manusia
diekspresikan pada makrofag (Gambar 2.11) (Asano dkk., 2010). Pemeriksaan
jaringan manusia dengan RT-qPCR menunjukkan bahwa resistin manusia
21
diekspresikan paling tinggi pada sumsum tulang, jaringan paru, dan pada kadar yang
sangat rendah di jaringan adiposa (Steppan dan Lazar, 2004). Studi lainnya juga
menunjukkan bahwa mRNA resistin manusia ditemukan pada non sel lemak pada
cadangan adiposa, terutama di mononuklear yang bersirkulasi dan bukan di
preadiposit, sel endotel atau sel otot polos vaskuler (Savage dkk., 2001). Resistin
manusia juga dapat ditemukan pada jaringan plasenta manusia, terutama pada sel
trofoblastik (Yura dkk., 2003).
Gambar 2.11 Resistin tikus terutama dihasilkan di jaringan adiposit, sedangkan
resistin manusia lebih banyak dihasilkan oleh makrofag (Steppan dkk., 2004)
Seperti halnya tikus, resistin juga dapat ditemukan pada plasma manusia.
Ekspresi gen resistin tikus tertinggi dijumpai pada jaringan lemak gonad tikus betina
(Steppan dan Lazar, 2004). Sama halnya dengan manusia, kadar resistin serum juga
ditemukan pada kadar yang lebih tinggi pada wanita dibanding pria. Norata dkk.
(2007) dalam studinya mengenai korelasi resistin dengan determinan sindrom
22
metabolik berspekulasi bahwa kadar resistin yang lebih tinggi pada wanita ini dapat
disebabkan oleh cadangan jaringan adiposa yang lebih banyak pada wanita.
2.3.3. Mekanisme Kerja Resistin
Mekanisme kerja resistin belum diketahui secara jelas. Berbagai jaringan
pada tikus dan manusia dipengaruhi oleh resistin secara in vitro dan in vivo, antara
lain jaringan adiposa, hati, otot, endotel vaskular, kardiomiosit dan sel peradangan
(Gambar 2.12) (Steppan dkk., 2004).
Gambar 2.12 Peran fisiologis resistin tikus. Resistin mempengaruhi homeostasis
glukosa dan kerja insulin pada tikus. Resistin memiliki sifat antagonisme terhadap
kerja insulin. Sifat antagonisme ini menghasilkan berkurangnya supresi terhadap
produksi gula hati dan berkurangnya kemampuan otot lurik dan adiposa dalam
mengambil glukosa. Resistin juga memiliki peran dalam inflamasi (Steppan dkk., 2004)
Resistin terbukti berpengaruh terhadap inflamasi dan resistensi insulin dalam
berbagai penelitian. Overekspresi resistin mengganggu kerja insulin di jaringan
sensitif insulin (Rajala dkk., 2003), dan berkurangnya resistin yang bersirkulasi
meningkatkan respon insulin (Steppan dkk., 2001). Hiperresistinemia yang sengaja
dilakukan pada tikus oleh Rajala dkk. (2003) memperlihatkan perubahan
23
homeostasis glukosa dan resistensi insulin pada organ hati dan otot lurik tikus
tersebut. Pada makrofag manusia, resistin meningkatkan produksi sitokin inflamasi
dan ekspresi molekul adhesi sel, seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-
1), inter-cellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), dan monocyte chemoattractant
protein-1 (MCP-1) (Lehrke dkk., 2004). Pada sel vaskular dari manusia dan hewan,
resistin menyebabkan proliferasi otot polos vaskular (Calabro dkk., 2004), disfungsi
endotel, dan adhesi serta infiltrasi endotel-monosit (Cho dkk., 2011).
2.3.3.1. Peran resistin dalam resistensi insulin
Gambar 2.13 Jalur signaling resistensi insulin yang disebabkan resistin pada tingkat
neuron. Resistin terikat pada TLR4 dan menginisiasi jalur signaling TLR4 (Akt, ERK
1/2, JNK, dan p38 MAPK). Jalur signaling downstream juga memicu upregulasi IL-6,
SOCS-3, dan PTP-1B (Benomar dkk., 2013)
Mekanisme molekular resistin dalam resistensi insulin dijelaskan melalui
penelitian yang dilakukan oleh Benomar dkk. (2013). Resistin akan bekerja di
hipotalamus dan meningkatkan ekspresi suppressor of cytokine signalling-3 (SOCS-
24
3) dan phosphotyrosine phosphatase 1B (PTP-1B) yang merupakan regulator negatif
signaling insulin. Resistin juga mengakibatkan fosforilasi dan ekspresi reseptor
insulin dan insulin receptor substrate 1/2 (IRS 1/2) terganggu yang mengubah
sasaran downstream seperti phosphatidylinositol 3 kinase, Akt, dan mitogen-activated
protein kinase (MAPK). Resistin yang diberikan secara sentral
(intraserebroventrikular) juga akan mengganggu fosforilasi Akt dan extracellular
signal-related kinase 1/2 (ERK 1/2) otot dan jaringan adiposa (Gambar 2.13).
2.3.3.2. Peran resistin dalam inflamasi
Resistin merupakan penanda atau mediator berbagai kondisi inflamasi, seperti
penyakit hati kronis, penyakit paru, dan plak atherosklerosis (Asano dkk., 2010;
Beier dkk., 2008; Benomar dkk., 2013; Steppan dkk., 2001). Bahr dkk. (2006)
mengemukakan bahwa resistin berkorelasi positif dengan kadar TNF-α plasma pada
pasien SH. Bertolani dkk. (2006) menemukan adanya peran resistin dalam
patogenesis inflamasi hati melalui aktivitasnya terhadap HSC. Pada studi yang
dilakukan Rajala dkk. (2002), pemberian TNF-α dan IL-6 pada adiposit 3T3-L1,
kadar mRNA dan protein resistin tidak tampak meningkat (Rajala dkk., 2002). Studi
yang menggunakan stimulus proinflamasi lainnya, lipopolisakarida, menunjukkan
adanya peningkatan (Lu dkk., 2002) dan penurunan (Rajala dkk., 2002) ekspresi
resistin pada tikus dan adiposit 3T3-L1. Benomar dkk. (2013) mengemukakan bahwa
infus resistin sentral meningkatkan ekspresi IL-6 di hipotalamus dan jaringan sensitif
insulin perifer yang mempromosikan inflamasi dan resistensi insulin. Mekanisme
molekular dimana resistin mengakibatkan inflamasi hingga saat ini belum jelas.
Benomar dkk. melaporkan untuk pertama kalinya bahwa pengikatan resistin
25
terhadap toll-like receptor (TLR)-4 akan mengakibatkan aktivasi jalur proinflamasi
dan yang pada akhirnya juga menimbulkan resistensi insulin (Gambar 2.13).
2.3.4. Resistin dan Penyakit Ginjal Kronis
Berbagai jenis adipokin seperti leptin, adiponektin, dan resistin ditemukan
meningkat pada penyakit ginjal kronis (PGK). Laju filtrasi glomerulus (LFG)
berbanding terbalik dengan kadar resistin plasma (Axelsson dkk., 2006 dan
Menzaghi dkk., 2012). Jalur utama eliminasi resistin terjadi di ginjal. Studi yang
dilakukan oleh Axelsson dkk. (2006) mendapatkan adanya peningkatan kadar resistin
pada pasien PGK, namun tidak didapatkan hubungan antara resistin dengan massa
lemak tubuh. Resistin juga berhubungan dengan berbagai penanda inflamasi pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi ginjal. PGK merupakan suatu kondisi
inflamasi kronik yang berhubungan dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi
seperti interleukin (IL)-1, IL-6, tumor necrosis factor (TNF)-α, dan lipopolisakarida
(LPS) sehingga lumrah dijumpai adanya hubungan dengan peningkatan kadar
resistin.
2.3.5. Resistin dan Infeksi Bakterial
Resistin ditemukan mengalami peningkatan pada berbagai kondisi infeksi
bakterial. Studi yang dilakukan oleh Koch dkk. (2009) menekankan peran resistin
sebagai protein fase akut pada pasien yang dirawat intensif. Kadar resistin dilaporkan
meningkat pada pasien sepsis dibanding non-sepsis dengan hubungan yang tegas
terhadap penanda respon inflamasi seperti leukosit, CRP, prokalsitonin, dan sitokin
proinflamasi seperti IL-6, IL-10, dan TNF-α. Pada sepsis berat atau syok septik,
kadar resistin serum meningkat hingga dua kali lipat dibanding pasien non-sepsis
yang dirawat intensif (Koch dkk. 2009).
26
Wiest dkk. (2009) juga melaporkan adanya peningkatan resistin asites pada
pasien yang mengalami peritonitis dan menunjukkan korelasi positif dengan hitung
leukosit perifer. Karena resistin merupakan molekul kecil (12.5 kDa), inflamasi
peritoneum dapat memfasilitasi masuknya resistin dari kompartemen darah menuju
rongga peritoneum.
2.3.6. Resistin dan Penyakit Kardiovaskular
Studi prospektif yang dikemukakan oleh Zhang dkk. (2010) menemukan
adanya hubungan antara kadar resistin plasma dengan hipertensi. Resistin berperan
pada proses inflamasi melalui aktivasi IL-6 dan TNF-α lewat jalur nuclear factor
kappa-light-chain-enhancer of activated B cells (NF-κB). Resistin mengaktivasi sel
endotel sehingga terjadi pelepasan endotelin-1 dan peningkatan ekspresi molekul
adhesi seperti ICAM-1 dan VCAM-1. Resistin juga mengakibatkan proliferasi sel otot
polos vaskular. Semua proses ini mengakibatkan terjadinya inflamasi pada dinding
vaskular yang berperan pada berbagai penyakit kardiovaskular (Zhang dkk., 2010,
Asano dkk., 2010).
2.3.7. Resistin dan Hipertiroid
Studi yang menunjukkan adanya hubungan antara resistin dengan hipertiroid
pertama kali dikemukakan oleh Krassas dkk. (2005). Studi tersebut menunjukkan
bahwa kadar resistin meningkat pada keadaan hipertiroid dan menurun setelah
tercapai kondisi eutiroid. Resistin juga diperkirakan berperan pada keadaan resistensi
insulin yang menyertai tirotoksikosis.
2.3.8. Resistin dan Keganasan
Pamuk dkk. (2006) mengemukakan bahwa kadar resistin serum meningkat
pada pasien limfoma, leukemia akut, dan mieloma multipel. Yang dkk. (2003) juga
menyimpulkan bahwa ekspresi resistin dapat terjadi di sel leukemik perifer dan
sumsum tulang. Peningkatan kadar resistin serum disebabkan karena ekspresi resistin
27
terutama ditemukan pada mieloblas dan limfoblas. Studi lain oleh Moschovi dkk.
(2010) mendapatkan bahwa kadar resistin serum pada anak yang menderita leukemia
limfositik akut lebih tinggi dibandingkan kontrol sehat. Setelah diberikan
kemoterapi, kadar resistin serum menurun. Studi yang dilakukan oleh Moschovi dkk.
(2010) ini mendapatkan adanya hubungan antara kadar resistin serum dengan
beratnya derajat leukemia.
2.3.9. Resistin dan Kortikosteroid
Kelebihan glukokortikoid, atau sindrom Cushing, dapat menyebabkan
resistensi insulin. Studi yang dikemukakan oleh Masuzaki dkk. (2001)
memperlihatkan bahwa peningkatan lokal glukokortikoid yang disebabkan oleh
overekspresi spesifik jaringan adiposa dari 11β-HSD1 menunjukkan adanya obesitas
sentral dan gangguan sensitivitas insulin. Studi yang dikemukakan oleh Shojima dkk.
(2002) menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid (dexamethasone)
meningkatkan ekspresi mRNA dan kadar protein resistin 2,5 sampai 3,5 kali lipat
pada adiposit 3T3-L1 dan hingga 70% pada jaringan adiposa tikus. Peningkatan ini
terjadi hanya dalam waktu 1 jam setelah pemberian dexamethasone (Shojima dkk.,
2002). Namun pada suatu laporan lain tidak ditemukan efek glukokortikoid pada
ekspresi gen resistin terhadap adiposit 3T3-L1.
2.3.10. Metode Pemeriksaan Resistin
Resistin diperiksa menggunakan metode enzyme-linked immunoabsorbent
assay (ELISA) dengan spesimen berupa serum atau plasma dengan antikoagulan.
Serum dan plasma harus segera diperiksa atau disimpan pada suhu ≤ -20°C. Pada
penyimpanan dengan suhu 4°C selama 10 hari, tidak didapat perubahan kadar
resistin pada serum dan plasma. Penyimpanan reagen kit juga harus diperhatikan,
yaitu untuk reagen kit yang belum dibuka disimpan pada suhu 2-8°C dengan
memperhatikan tanggal kadaluwarsa, sedangkan reagen kit yang telah terbuka dapat
28
bertahan selama 1 bulan. Weikert, dkk. (2007) menyatakan bahwa kadar resistin
tidak berbeda secara signifikan setelah diperiksa ulang pada pasien yang sama 1
tahun kemudian.
Kadar resistin dipengaruhi oleh (i) umur, dengan kadar yang lebih tinggi pada
masa kanak-kanak dan remaja dibandingkan anak umur pertengahan (Nüsken dkk.,
2006), (ii) jenis kelamin, dengan nilai yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria, namun beberapa penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan (Norata dkk.,
2007; Nieva-Vazquez dkk., 2014), dan (iii) indeks massa tubuh (IMT), dengan nilai
yang lebih tinggi pada IMT yang lebih besar (Azuma dkk., 2003).
2.4. Hubungan antara Resistin dengan Derajat Penyakit Sirosis Hati
Gangguan katabolisme lumrah dijumpai pada SH, antara lain berupa
peningkatan pengeluaran energi, penurunan massa lemak dan peningkatan
penggunaan energi dari lemak (Bahr dkk, 2006; Bugianesi dkk., 2005). Berbagai
kadar adipokin juga meningkat pada SH, salah satunya adalah resistin (Pagano dkk.,
2006). Pada hati manusia normal, ekspresi gen resistin ditemukan rendah, sedangkan
pada kondisi fibrosis hati berat, ekspresi gen resistin meningkat (Bertolani dkk.,
2006).
Studi yang dilakukan oleh Bahr dkk (2006) dan Kakizaki dkk (2008),
mendapatkan bahwa kadar resistin meningkat pada pasien SH, tergantung dari
tingkat keparahan SH dan etiologi dari penyakit hati kronik. Hasil yang sama juga
didapatkan oleh Yagmur dkk (2006) yang mengemukakan bahwa kadar resistin
plasma terukur tinggi pada penderita SH dibandingkan dengan kontrol sehat (p <
0,001), dan kadar ini meningkat secara proporsional sesuai skor Child-Pugh (r =
29
0,391, p = 0,001) atau skor model for end-stage liver disease (MELD) (r = 0,414, p <
0,001). Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kadar resistin plasma sangat
terkait dengan kondisi inflamasi dan resistensi insulin yang sering dijumpai pada SH.
2.4.1. Hubungan antara Resistin dengan Inflamasi pada Sirosis Hati
Resistin diekspresikan pada jaringan hati dan ekspresinya meningkat pada
kerusakan hati berat, seperti penyakit hati alkoholik, hepatitis C kronik, dan NASH
(Bertolani dkk., 2006). Ekspresi resistin pada kerusakan hati berkorelasi secara
positif dengan paramater histologi inflamasi dan fibrosis, yang membuktikan bahwa
sel inflamasi merupakan sel utama tempat produksi resistin intrahepatik dan adanya
peran resistin terhadap HSC (Bertolani dkk., 2006).
Relevansi resistin dengan penyakit hati kronik telah ditunjukkan oleh studi
yang menganalisa konsentrasi resistin plasma pada pasien SH. Kadar resistin serum
meningkat pada pasien SH dibanding subyek sehat dan tergantung pada stadium
klinis penyakit serta kondisi inflamasi (Bahr dkk., 2006; Yagmur dkk., 2006;
Kakizaki dkk., 2008). Yagmur dkk. (2006) menemukan adanya korelasi antara
resistin serum pada penyakit hati kronik dengan parameter yang menunjukkan
kondisi inflamasi kronik, seperti TNF-α (r = 0,356, p = 0,007), IL-6 (r = 0,512, p <
0,001), CRP (r = 0,305, p = 0,005), dan hitung neutrofil (r = 0,294, p = 0,017).
Resistin meningkat ekspresinya pada monosit yang diberikan sitokin
proinflamasi, dan resistin juga merangsang sekresi sitokin proinflamasi. Pada tikus,
pemberian resistin memperburuk inflamasi dan resistensi insulin setelah injeksi
lipopolisakarida, melalui kaskade koagulasi (Beier dkk., 2008; Park dkk, 2011). Bahr
dkk. (2006) mendapatkan korelasi yang kuat antara kadar resistin plasma dengan
kadar TNF-α plasma (r = 0,62, p < 0,001) pada pasien SH. Kurangnya korelasi antara
30
kadar resistin yang bersirkulasi dan gangguan hemodinamik hepatik
mengindikasikan bahwa dasar metabolik untuk peningkatan resistin pada SH
bukanlah penurunan bersihan oleh hati. Karena 10% dari massa sel di hati terdiri sel-
sel Kupffer, makrofag jaringan, Bahr dkk. Mengemukakan bahwa peningkatan kadar
resistin pada pasien SH disebabkan oleh produksi oleh sel-sel ini sebagai respon
terhadap TNF-α. Adanya kadar resistin plasma yang lebih tinggi pada vena hepatika
dibanding arteri hepatika (7,4 ± 0,5 vs 6,5 ± 0,5 ng/ml) pada penelitian ini
membuktikan adanya kemungkinan peningkatan kadar resistin plasma disebabkan
peningkatan produksi oleh hati. Peningkatan ini diperkirakan berasal dari sel Kupffer
karena tipe sel lainnya bukan merupakan sumber produksi resistin. Hepatosit dan sel
endotel tidak mengekspresikan resistin, dan walaupun pada tikus, ekspresi resistin
terlihat pada HSC yang tenang, hal ini tidak terjadi pada saat sel ini teraktivasi,
seperti yang terjadi pada hati yang mengalami fibrosis/ sirosis (She dkk., 2005; Bahr
dkk., 2006).
Studi yang ada saat ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar resistin pada
pasien SH berkorelasi positif dengan tingkat keparahan SH yang diukur dengan
derajat CTP dan secara negatif dengan sintesis protein hepatik. Oleh karena sifat
tersebut, resistin dapat berperan sebagai penanda baru terhadap proses fibrogenesis
hati.
2.4.2. Hubungan antara Resistin dengan Resistensi Insulin pada Sirosis Hati
Studi terdahulu menunjukkan adanya hubungan resistin dengan inflamasi
pada SH. Adanya keterkaitan yang sangat erat dengan resistensi insulin juga dapat
ditemukan pada SH. Berbagai kondisi resistensi insulin memperlihatkan adanya
kondisi inflamasi. Resistin diperkirakan juga berperan dalam menghubungkan
kondisi inflamasi dengan resistensi insulin pada SH (Bahr dkk., 2006). Melalui
31
model eksperimental tikus yang dibuat SH melalui ligasi duktus biliaris, Lin dkk.,
menemukan adanya hiperinsulinemia dan peningkatan ekspresi resistin adiposa.
Pemberian insulin in vivo pada tikus meningkatkan ekspresi gen resistin secara
signifikan. Hal ini menunjukkan adanya peran resistin sebagai target gen
hiperinsulinemia pada SH (Yagmur dkk., 2006).
Studi yang dilakukan oleh Kakizaki (2008) menunjukkan adanya korelasi
antara kadar resistin plasma, dengan kadar insulin plasma puasa (r = 0,350, p < 0,01),
adiponektin (r = 0,418, p < 0,01), dan indeks HOMA-IR (r = 0,328, p < 0,01).
Walaupun peran resistin pada manusia masih kontroversial, studi yang dilakukan
Kakizaki dkk. menunjukkan bahwa resistin dapat berperan pada patomekanisme
terjadinya resistensi insulin (Steppan dkk., 2001). Disfungsi hati berat telah diketahui
menyebabkan resistensi insulin (Petrides dkk., 1998). Karena itu adanya korelasi
positif antara resistin dan HOMA-IR dan korelasi negatif antara resistin dan
quantitative insulin sensitivity check index (QUICKI) pada studi Kakizaki ini
tampaknya merupakan hal yang rasional. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa
induksi sitokin pada resistin dapat mengakibatkan kondisi resistensi insulin pada
keadaaan inflamasi (Bokarewa dkk., 2005; Reilly dkk., 2005).
Yagmur dkk. (2006) dalam studinya berpendapat bahwa kadar resistin serum
berkorelasi terbalik dengan parameter yang menggambarkan kapasitas biosintesis
hati, seperti albumin (r = -0,477, p < 0,001), aktivitas kolinesterase (r = -0,349, p =
0,001) dan insulin-like growth factor 1 (r = -0,360, p = 0,001). Kadar resistin serum
juga berkorelasi terbalik dengan sensitivitas insulin (indeks HOMA-S, r = - 0,296, p
= 0,008) dan berkorelasi positif dengan sekresi insulin (C-peptide, r = 0,290, p =
0,018). Oleh karena itu, resistin diperkirakan dapat menghambat kemampuan insulin
32
dalam utilisasi glukosa pasien SH. Hasil-hasil penelitian ini menyiratkan resistin
memiliki peran kunci dalam patogenesis gangguan metabolik pada SH. Resistin
diharapkan dapat menjadi penanda klinis potensial inflamasi dan resistensi insulin
pada SH serta perjalanan klinis penyakit hati kronik pada masa mendatang. Dari
aspek terapi, resistin juga diharapkan dapat menjadi sasaran terapi untuk mencegah
gangguan metabolik pada pasien SH yang akan terjadi di kemudian hari.