Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

88
Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya kami berhasil menerbitkan Jurnal Psikologi Unsyiah edisi ketujuh. Proses penerbitan jurnal ini merupakan sebuah proses yang tidak mudah namun dapat kami lalui dengan baik. Pada penerbitan jurnal kali ini kami masih menghadapi dinamika serupa dengan penerbitan-penerbitan sebelumnya seperti mengumpulkan tulisan, menyunting tulisan dan tantangan terbesar adalah mengelola waktu agar tugas ini dapat kami selesaikan sesuai waktu yang diharapkan. Proses yang kami lalui ini juga menuntut kesabaran, keteguhan, ketekunan, dan kesungguhan sehingga edisi ketujuh ini memiliki kualitas lebih baik dari edisi-edisi sebelumnya. Pada prosesnya, kami melalui beberapa perubahan, akan tetapi perubahan yang kami lakukan ini semata-mata guna meningkatkan mutu dari Jurnal Psikologi Unsyiah. Selain guna meningkatkan mutu, perubahan tersebut pun terjadi sebagai bagian dari proses belajar kami untuk menghadapi proses akreditasi. Keberhasilan kami dalam menerbitkan jurnal ini tentunya tidak luput dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, Tim Redaksi dalam kesempatan ini juga menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para pimpinan yang terus menyemangati kami dalam bekerja, rekan-rekan sejawat yang giat mengirimkan tulisan, para penyunting ahli yang memberikan masukan-masukan berarti kepada redaksi, serta kepada penulis dalam edisi tujuh ini yang tetap bersemangat memoles tulisannya. Jurnal ini merupakan media untuk mengomunikasikan hasil penelitian ilmiah di bidang psikologi, dengan demikian kami membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada para staf pengajar, mahasiswa, peneliti dan pemerhati psikologi di seluruh Indonesia untuk menyumbangkan tulisan ilmiahnya. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini akan menjadi sumber informasi yang sangat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis. Kami berharap kehadiran Jurnal Psikologi Unsyiah akan memperkaya khasanah kajian ilmu Psikologi di Indonesia. Wassalam Tim Redaksi

Transcript of Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

Page 1: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia, dan

hidayah-Nya kami berhasil menerbitkan Jurnal Psikologi Unsyiah edisi ketujuh. Proses

penerbitan jurnal ini merupakan sebuah proses yang tidak mudah namun dapat kami lalui

dengan baik. Pada penerbitan jurnal kali ini kami masih menghadapi dinamika serupa

dengan penerbitan-penerbitan sebelumnya seperti mengumpulkan tulisan, menyunting

tulisan dan tantangan terbesar adalah mengelola waktu agar tugas ini dapat kami selesaikan

sesuai waktu yang diharapkan. Proses yang kami lalui ini juga menuntut kesabaran,

keteguhan, ketekunan, dan kesungguhan sehingga edisi ketujuh ini memiliki kualitas lebih

baik dari edisi-edisi sebelumnya. Pada prosesnya, kami melalui beberapa perubahan, akan

tetapi perubahan yang kami lakukan ini semata-mata guna meningkatkan mutu dari Jurnal

Psikologi Unsyiah. Selain guna meningkatkan mutu, perubahan tersebut pun terjadi sebagai

bagian dari proses belajar kami untuk menghadapi proses akreditasi.

Keberhasilan kami dalam menerbitkan jurnal ini tentunya tidak luput dari dukungan

berbagai pihak. Oleh karena itu, Tim Redaksi dalam kesempatan ini juga menghaturkan

terima kasih sebesar-besarnya kepada para pimpinan yang terus menyemangati kami dalam

bekerja, rekan-rekan sejawat yang giat mengirimkan tulisan, para penyunting ahli yang

memberikan masukan-masukan berarti kepada redaksi, serta kepada penulis dalam edisi

tujuh ini yang tetap bersemangat memoles tulisannya.

Jurnal ini merupakan media untuk mengomunikasikan hasil penelitian ilmiah di

bidang psikologi, dengan demikian kami membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada

para staf pengajar, mahasiswa, peneliti dan pemerhati psikologi di seluruh Indonesia untuk

menyumbangkan tulisan ilmiahnya. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini akan menjadi

sumber informasi yang sangat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis. Kami

berharap kehadiran Jurnal Psikologi Unsyiah akan memperkaya khasanah kajian ilmu

Psikologi di Indonesia.

Wassalam

Tim Redaksi

Page 2: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

Vol 4, No. 7 Juni 2016 ISSN: 2252 - 6048

Jurnal Psikologi Unsyiah

Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Wakil Penanggung Jawab:

Ketua Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Penyunting Ahli (Penelaah Mitra Bestari): Eko A. Meinarno (Universitas Indonesia) Christiany Suwartono (Unika Atmajaya)

Josetta M. R. Tuapattinaja (Universitas Sumatera Utara)

Ketua Pelaksana: Maya Khairani

Wakil Ketua Pelaksana:

Kartika Sari

Penyunting Pelaksana: Mirza

Risana Rachmatan

Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Jl. Teungku Tanoh Abee Darussalam – Banda Aceh 23111 Telp. 0651 – 7555182

Email : [email protected]

Page 3: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

DAFTAR ISI

ARTIKEL

HALAMAN

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA PANTI ASUHAN KOTA BANDA ACEH Bella Anugrah Fitri; Zaujatul Amna

1 – 11

HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN KECENDERUNGAN KECANDUAN INTERNET PADA MAHASISWA Rahmalia Putri; Nucke Yulandari

12 – 26

HUBUNGAN ANTARA MODAL PSIKOLOGIS DAN KESIAPAN KARYAWAN UNTUK BERUBAH: PENINGKATAN MODAL PSIKOLOGIS MELALUI INTERVENSI MIKRO MODAL PSIKOLOGIS Tri Sakti Aria Yudisthira, Siti Farida Haryoko Boru Tobing, dan Arum Etikariena

27 – 43

STUDI KORELASIONAL ANTARA ORIENTASI TUJUAN PERFORMADAN KECEMASAN TERHADAP PERPUSTAKAAN PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA Dwieta Puspa Damayanti, Anita Listiara

44 – 56

PERBEDAAN KEBAHAGIAAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN DI BANDA ACEH DITINJAU DARI JENIS KELAMIN Fathur Rahmi AR; Dahlia

57- 71

GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA PADA PEGAWAI RS X BANDA ACEH Rony Rinaldi; Eka Dian Aprilia

72 – 85

Page 4: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

1

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA PANTI ASUHAN

KOTA BANDA ACEH

Bella Anugrah Fitri; Zaujatul Amna Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

[email protected]; [email protected]

Abstrak

Kehidupan remaja di panti asuhan akan memengaruhi kondisi hidupya, salah stau diantaranya adalah psychological well-being. Salah satu hal yang dapat memengaruhi Psychological well-being remaja yaitu penerimaan diri. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara penerimaan diri dengan psychological well-being pada remaja panti asuhan kota Banda Aceh. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel penelitian ini berjumlah 43 remaja yang terdiri dari 33 remaja laki-laki dan 10 remaja perempuan berusia 14-18 tahun yang tinggal di panti asuhan kota Banda Aceh. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Penerimaan Diri yang disusun berdasarkan teori Berger dan adaptasi Skala Psychological well-being Ryff. Hasil analisis data menggunakan teknik korelasi Pearson menunjukkan koefisien korelasi (r)= 0,564 dengan nilai p = 0,000 (ρ<0,05) yang menunjukkan hipotesis diterima, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan psychological well-being pada remaja panti asuhan Kota Banda Aceh. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi penerimaan diri pada remaja panti asuhan maka semakin tinggi pula tingkat psychological well-being remaja tersebut ataupun sebaliknya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja panti asuhan Kota Banda Aceh berada pada kategori tinggi untuk variabel penerimaan diri (100%) maupun psychological well-being (95,3%). Kata kunci : Penerimaan Diri, Psychological well-being, Remaja, Panti Asuhan

Abstract

Life in the orphanage can affect adolescents' living conditions, such as the influence it may have on their self-acceptance. Self-acceptance will affect to the psychological well-being. This study determined the relationship between self-acceptance and psychological well-being on adolescents at orphanages in Banda Aceh city. The sampling technique used was purposive sampling. The participants were 43 adolescents (33 males and 10 females), with the aged range between 14-18 years who lived in the orphanages in Banda Aceh city. The data collected by using; Self-Acceptance Scale based on Berger theory and Ryff’s Psychological well-being Scale revisited. The results of data analysis using Pearson correlation technique showed a correlation with coefficient value (r) = 0,564 and significant value (ρ) = 0,000 (ρ< 0,05), which means the hypothesis of this study was accepted. The study showed that there was the positive and significant correlation between self-acceptance and psychological well-being of adolescents orphanages in Banda Aceh city. The higher level of self-acceptance, the higher level of psychological well-being, and vice versa. The study showed there were adolescents of orphanages with a high category for self-acceptance (100%) and psychological well-being (95,3%). Keyword : Self-Acceptance, Psychological well-being, Adolescent, Orphanage

Page 5: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

2

PENDAHULUAN

Keberadaan panti asuhan sebagai

tempat tinggal sementara bagi anak dan

remaja terlantar memiliki persepsi negatif

dari masyarakat. Hal tersebut didukung

oleh pernyataan Mazaya dan Supradewi

(2011) yang menyatakan bahwa panti

asuhan masih diberi label negatif oleh

masyarakat karena panti asuhan seolah

menjadi tempat rengekan belas kasihan

anak-anak terlantar dan kekurangan.

Loman, Wilk, dan Frenn (2009)

menjelaskan bahwa anak panti asuhan

cenderung mengalami depersi, gangguan

perilaku seperti berperilaku agresif, tidak

mau menurut dan suka bertengkar. Hal

selaras juga diungkapkan Gandaputra

(2009) yang mengungkapkan bahwa anak

dan remaja panti asuhan cenderung

mempunyai kepribadian inferior, apatis,

pasif, menarik diri, mudah putus asa,

penuh dengan ketakutan sehingga anak

dan remaja panti asuhan akan sulit

membangun hubungan sosial dengan

orang lain.

Label negatif dari masyarakat dan

kondisi latar belakang remaja yang tinggal

di panti asuhan membuat remaja panti

asuhan menjadi pribadi yang pemalu dan

rendah diri. Oleh karena itu, remaja yang

tinggal di panti asuhan harus dapat

melakukan penerimaan diri. Rachmayanti

dan Anita (2007) menyatakan bahwa

peneriman diri merupakan dasar bagi

setiap orang untuk dapat menerima

kenyataan hidup, baik itu pengalaman

baik maupun buruk. Pengalaman tersebut

akan membentuk pola pikir individu

terhadap suatu kejadian yang dialaminya.

Pengalaman yang tidak menyenangkan

saat harus tinggal di panti asuhan dapat

dijadikan pengalaman hidup yang

berharga ketika individu dapat melakukan

penerimaan diri dengan baik.

Penerimaan diri yang dialami oleh

remaja panti asuhan secara tidak

langsung melibatkan lingkungan sosial

yang dapat memengaruhi kesejaheraan

psikologis (Barnett & Gareis, 2006).

Menurut Ryff (2013), pengalaman hidup

seseorang dapat memengaruhi kondisi

psychological well-being. Lebih lanjut Ryff

menyatakan bahwa psychological well-

being adalah kesejahteraan psikologis

individu yang mampu menerima diri apa

adanya dan selalu memiliki tujuan hidup

yang dipengaruhi oleh perkembangan

pribadi yang sehat dan penyesuaian

sosial.

Aini dan Aisyah (2013) menyatakan

bahwa psychological well-being pada

remaja yang tinggal di panti asuhan

dilihat dari kemampuan remaja yang

mampu menerima dirinya secara

Page 6: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

3

keseluruhan baik pada masa kini dan

masa lalunya. Remaja panti asuhan yang

menilai positif diri sendiri adalah individu

yang memahami dan menerima berbagai

aspek diri termasuk di dalamnya kualitas

baik maupun buruk, dapat

mengaktualisasikan diri, berfungsi

optimal dan bersikap positif terhadap

kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya,

remaja panti asuhan yang menilai negatif

diri sendiri menunjukkan adanya

ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya,

merasa kecewa dengan apa yang telah

terjadi pada kehidupan masa lalu,

bermasalah dengan kualitas personalnya

dan ingin menjadi orang yang berbeda

dari diri sendiri atau tidak menerima diri

apa adanya. Penilaian terhadap

pengalaman hidup tersebut merupakan

bagian dari proses penerimaan diri

individu.

Berdasarkan pemaparan di atas,

maka peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan antara penerimaan diri dengan

psychological well-being pada remaja

panti asuhan kota Banda Aceh, dengan

mengajukan hipotesis penelitian, yaitu

terdapat hubungan antara penerimaan

diri dengan psychological well-being pada

remaja panti asuhan kota Banda Aceh.

TINJAUAN TEORI

Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan suatu

penilaian dalam diri individu yang

berkaitan dengan keyakinan menjalani

hidup, bertanggung jawab, mampu

menerima kritik dan saran secara objektif,

tidak menyalahkan diri atas perasaannya

terhadap orang lain, menganggap diri

sama seperti orang lain, tidak merasa

ditolak, tidak menganggap berbeda dari

orang lain, dan tidak malu serta merasa

rendah diri. Penerimaan diri terdiri dari

sembilan kriteria yaitu; individu tidak

mengandalkan diri pada tekanan eksternal

melainkan berdasarkan standar-standar

internal sebagai panduan dalam

berperilaku, memiliki keyakinan diri

dalam menjalani hidup, bertanggung

jawab dan menerima konsekuensi atas

perilakunya, menerima pujian dan kritikan

secara objektif, individu tidak berusaha

untuk menolak dan mengingkari perasaan,

motif, keterbatasan dan kemampuan yang

dimiliki, merasa berharga dan sederajat

dengan orang lain, individu tidak merasa

bahwa orang lain akan menolaknya,

individu tidak menganggap dirinya aneh,

abnormal dan berbeda dengan orang lain,

serta individu tidak merasa malu atau self-

conscious terhadap orang lain (Berger,

1952).

Page 7: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

4

Psychological Well-being

Psychological well-being

merupakan suatu keadaan pencapaian

penuh dari potensi psikologis seseorang,

individu mampu menjadi pribadi yang

mandiri dari tekanan sosial, mampu

mengendalikan lingkungan eksternal,

mampu merealisasikan potensi diri secara

terus-menerus, mengembangkan relasi

yang positif dengan orang lain, dan

mampu memaknai kehidupannya dengan

tujuan hidup yang jelas, serta dapat

menerima kekuatan dan kelemahan diri.

Psychological well-being memiliki enam

dimensi antara lain; otonomi (autonomy),

penguasaan terhadap lingkungan

(environmental mastery), pertumbuhan

pribadi (personal growth), hubungan

positif dengan orang lain (positive relation

with others), tujuan hidup (purpose in life),

dan penerimaan diri (self acceptance).

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi

psychological well-being, antara lain; usia,

jenis kelamin, status sosial ekonomi,

dukungan sosial, religiusitas, dan

kepribadian (Ryff, 2013; Ryff 1989).

Remaja

Remaja merupakan individu yang

berada pada periode yang dimulai dari

usia 13 tahun hingga 16 tahun dan akhir

masa remaja dimulai dari usia 16 tahun

hingga 18 tahun, serta memiliki ciri-ciri di

antaranya adalah; masa remaja sebagai

periode penting, masa remaja sebagai

periode peralihan, masa remaja sebagai

periode perubahan, masaremaja sebagai

masa mencari identitas, masa remaja

sebagai usia yang menimbulkan

ketakutan, masaremaja sebagai masa

yang tidak realistik, dan masa remaja

sebagai ambang masa dewasa (Hurlock,

2009). Lusiana (2014) menyatakan

bahwa pada masa peralihan ini remaja

umumnya memiliki rasa ingin tahu yang

tinggi sehingga seringkali ingin mencoba

hal baru, menghayal, merasa gelisah,

serta berani melakukan pertentangan jika

dirinya merasa disepelekan atau tidak

dianggap.

Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan

Psychological Well-being pada Remaja

Panti Asuhan

Remaja penghuni panti asuhan

memiliki kemungkinan besar mengalami

persoalan kejiwaan dan sosial di masa

depan. Hal ini disebabkan oleh label

negatif dari masyarakat yang cenderung

menolak keberadaan mereka. Kondisi

tersebut juga menyebabkan remaja panti

asuhan tumbuh menjadi pribadi yang

pemalu dan rendah diri (Teja, 2014). Hal

tersebut dapat menghambat remaja

Page 8: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

5

untuk bersosialisasi dan berhubungan

interpersonal dengan orang lain yang

lebih luas dan lebih baik. Untuk

mengantisipasi munculnya hal tersebut,

maka remaja yang tinggal di panti asuhan

harus mampu menerima kondisi dirinya

yang penuh dengan keterbatasan

(Surbakti, 2009).

Ceyhan dan Ceyhan (2011)

menyatakan bahwa individu yang

menerima keadaan dirinya dapat

menghormati diri mereka sendiri, dapat

menyadari sisi negatif dalam dirinya,

mengetahui bagaimana untuk hidup

bahagia dengan sisi negatif yang

dimilikinya, serta memiliki kepribadian

yang sehat dan kuat. Proses penerimaan

diri terbentuk berdasarkan pengalaman-

pengalaman yang dilalui oleh individu.

Hal tersebut didukung dengan hasil

penelitian tentang penerimaan diri yang

dilakukan oleh Rachmayanti dan Anita

(2007) yang menunjukkan pengalaman

hidup akan membentuk pola pikir

individu terhadap suatu kejadian yang

dialaminya. Begitu juga yang terjadi pada

remaja yang tinggal di panti asuhan.

Pengalaman yang tidak

menyenangkan saat harus tinggal di panti

asuhan dapat dijadikan pengalaman

hidup yang berharga ketika individu dapat

melakukan penerimaan diri dengan baik.

Proses penerimaan diri yang menjadi

bagian pengalaman hidup remaja yang

hidup dan tinggal di panti asuhan dapat

memengaruhi psychological well-being

remaja itu sendiri. Ryff (2013)

menyatakan bahwa pengalaman hidup

adalah salah satu faktor yang dapat

memengaruhi psychological well-being

individu. Hasil penelitian Werdyaningrum

(2013) menunjukkan bahwa penerimaan

diri terhadap suatu kondisi yang dialami

oleh individu akan memengaruhi kondisi

psychological well-being. Hal serupa juga

dapat dialami pada remaja yang tinggal di

panti asuhan. Kondisi yang dialami remaja

yang tinggal di panti asuhan membuat

para remaja di panti asuhan harus

mampu menerima keadaan dirinya yang

mana hal tersebut akan memengaruhi

keadaan psychological well-being remaja

itu sendiri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kuantitatif dengan jenis

penelitian korelasi. Adapun populasi

penelitian yaitu seluruh remaja panti

asuhan kota Banda Aceh. Pengambilan

sampel menggunakan teknik purposive

sampling. Sampel penelitian berjumlah 43

remaja dengan kriteria sebagai berikut :

(1) remaja laki-laki dan perempuan yang

Page 9: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

6

berusia 13-18 tahun, (2) masuk ke panti

asuhan pada saat usia remaja (minimal 13

tahun), (3) tinggal di salah satu

panti asuhan kota Banda Aceh minimal 1

tahun, (4) bukan remaja penghuni panti

asuhan penyandang cacat atau dayah, (5)

bersedia mengisi skala penelitian ini.

Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah

sampel penelitian ini adalah 43 remaja

panti asuhan yang terdiri dari 33 remaja

laki-laki dan 10 remaja perempuan.

Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data

menggunakan dua skala psikologi yaitu,

Skala Penerimaan Diri dan Skala

Psychological well-being. Skala

Penerimaan Diri terdiri dari 25 butir

pernyataan yang dirancang dan disusun

oleh peneliti berdasarkan kriteria-kriteria

penerimaan diri yang dikembangkan oleh

Berger (1952), dengan menggunakan skor

penilaian modifikasi skala likert yang

terdiri dari empat pilihan jawaban yang

terdiri dari pernyataan favorable dan

unfavorable. Perolehan skor yang

semakin tinggi pada skala ini

menunjukkan penerimaan diri individu

semakin tinggi. Sebaliknya, perolehan

skor yang semakin rendah menunjukkan

penerimaan diri individu semakin rendah.

Skala Psychological well-being yang

digunakan dalam penelitian ini

merupakan skala adaptasi dari Ryff’s

Psychological well-being Scale versi 42

butir pernyataan. Skala ini menggunakan

skor penilaian modifikasi skala likert yang

terdiri dari enam pilihan jawaban yang

terdiri dari pernyataan favorable dan

unfavorable. Perolehan skor yang

semakin tinggi pada skala ini

menunjukkan psychological well-being

individu semakin tinggi. Sebaliknya,

perolehan skor yang semakin rendah

menunjukkan psychological well-being

individu semakin rendah.Berdasarkan

pengujian oleh Ryff (2013), psychological

well-being memiliki koefisien reliabilitas

sebesar 0,830. Pengujian yang dilakukan

peneliti di Banda Aceh diperoleh koefisien

reliabilitas sebesar 0,869.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang

digunakan yaitu teknik analisis

menggunakan teknik korelasi Pearson

dengan menggunakan program statistik

komputer. Hasil dari uji hipotesis ini

dapat dilihat pada nilai signifikansi ρ <

0,05 maka hipotesisnya diterima, dan

sebaliknya.

Page 10: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

7

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data

Jumlah sampel yang diperoleh

adalah sebanyak 43 remaja panti

asuhanyang terdiri dari 33remaja laki-laki

dan 10remaja perempuan. Hal tersebut

menunjukkan bahwad bahwa jumlah

sampel penelitian yang berjenis kelamin

laki-laki lebih banyak yaitu 76,7%

daripada jumlah sampel penelitian

perempuan yaitu sebanyak 23,3 %.

Selanjutnya, dari segi usia, remaja awal

dengan usia 13 sampai 15 tahun lebih

banyak daripada remaja akhir yang

berusia 16 sampai 18 tahun dengan

persentase 67,4% remaja awal dan 32,6%

remaja akhir. Hasil penelitian juga

memperlihatkan waktu lamanya tinggal

sampel penelitian di panti asuhan.

Lamanya waktu tinggal di panti asuhan

dibagi menjadi lima kategori dengan

persentase paling banyak pada kategori

lamanya tinggal selama satu tahun di

panti asuhan, yaitu 58,1%. Persentase

kategori lainnya yaitu 25,6% kategori

lama tinggal selama dua tahun, 6,9%

kategori lama tinggal selama tiga tahun,

4,7% untuk masing-masing kategori lama

tinggal selama empat tahun dan lima

tahun.

Pembagian kategori sampel yang

digunakan oleh peneliti adalah dengan

metode kategorisasi berdasar signifikansi

perbedaan karena jumlah individu dalam

kelompok yang diteliti jumlahnya tidak

begitu besar (Azwar, 2013). Cara

pengkategorian ini akan diperoleh dengan

menetapkan suatu interval skor yang

mencakup kategori sedang. Hasil

pengkategorian menunjukkan bahwa

100% remaja panti asuhan berada pada

kategori tinggi pada penerimaan diri dan

95,3% kategori tinggi dan 4,7% kategori

sedang pada psychological well-being.

Uji Hipotesis

Hasil uji asumsi menunjukkan

bahwa data berdistribusi normal dan

linier. Hal tersebut dilihat dari hasil

analisis variabel penerimaan diri K-S Z =

0,864 ρ = 0,444 > 0,05 dan variabel

psychological well-being dengan nilai K-S

Z = 0,868 ρ = 0,438 > 0,05. Hasil uji

lineiritas menunjukkan nilai signifikansi(p)

= 0,000 < 0,05). Hasil uji hipotesis

menunjukkan nilai signifikansi ρ = 0,000

(p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara

penerimaan diri dengan psychological

well-being pada remaja panti asuhan kota

Banda Aceh.

Page 11: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

8

DISKUSI

Hasil analisis korelasi yang

menunjukkan nilai signifikansi sebesar

0,000 (p < 0,05) dan korelasi positif yaitu

rhitung = 0,564. Hal tersebut

menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif dan signifikan antara penerimaan

diri dengan psychological well-being pada

remaja panti asuhan Kota Banda Aceh,

sehingga dapat dikatakan bahwa

hipotesis penelitian ini diterima.

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan, menunjukkan bahwa

psychological well-being yang tinggi yang

dimiliki oleh remaja panti asuhan

dibangun oleh penerimaan diri yang

dimiliki remaja panti asuhan. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian

yang dilakukan oleh Savitri, Kiswantomo

dan Ratnawati (2012) pada Remaja SOS

Desa Taruna Kinderdorf Bandung yang

juga menunjukkan bahwa pada dimensi

penerimaan diri, sebanyak 57,9% remaja

Kinderdorf memiliki penerimaan diri yang

tinggi. Lebih lanjut Savitri, Kiswantomo

dan Ratnawati menjelaskan bahwa

penerimaan diri tersebut muncul

dikarenakan adanya dukungan sosial dari

orang-orang yang berarti bagi remaja

sehingga membantu remaja untuk dapat

menerima dirinya apa adanya, serta

berkaitan juga dengan penghayatan dan

rasa syukur menjadi anak asuh di

Kinderdorf.

Hasil dari penelitian ini

menunjukkan skor penerimaan diri

berada pada kategori tinggi (100%). Hal

tersebut dapat terjadi karena adanya

proses penyesuaian diri remaja panti

asuhan dan peran kawom remaja

tersebut. Artha dan Supriyadi (2013) yang

menyatakan bahwa berinteraksi dengan

lingkungan sekitar dan orang lain sebagai

bentuk penyesuaian diri akan

memengaruhi individu menerima

keadaan diri. Penerimaan diri sebagai

remaja yang tinggal di panti asuhan akan

muncul seiring berjalannya waktu ketika

individu mencoba menyesuaikan diri

untuk tinggal di panti asuhan.

Faktor lainnya yang dapat

memengaruhi penerimaan diri pada

remaja panti asuhan di kota Banda Aceh

adalah adanya peran kawom atau dikenal

dengan istilah pengasuhan berbasis

kawom yang merupakan bagian dari

unsur budaya di Aceh. Salah satu yang

mengkaitkan peran kawom terhadap

remaja panti asuha, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Octiva pada tahun 2013

terhadap remaja panti asuhan pasca

tsunami Aceh, dijelaskan bahwa kawom

adalah keluarga besar dari anak, baik dari

pihak bapak beserta seluruh saudaranya

Page 12: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

9

maupun pihak ibu dengan keseluruhan

saudaranya yang memiliki tanggung

jawab dalam memberikan pengasuhan

terhadap anak yang kehilangan

pengasuhan orang tuanya. Walaupun

anak harus tinggal di panti asuhan,

namun kawom juga berperan dalam

kehidupan anak. Selain peran kawom

yang memengaruhi penerimaan diri

remaja panti asuhan, pemerintah dan

masyarakat Aceh juga turut berperan

dalam kehidupan anak dan remaja panti

asuhan. Pemerintah Aceh mengatur

aturan tentang perlindungan anak yang

tertulis dalam Qanun Aceh Nomor 11

Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 3 dalam Qanun tersebut

menjelaskan bahwa perlindungan anak

bertujuan untuk menjamin terpenuhinya

hak-hak anak untuk hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari eksploitasi, kekerasan

dan diskriminasi, demi terwujudnya anak

yang berkualitas, berakhlak mulia dan

sejahtera.

Lebih lanjut dijabarkan pada pasal

9, pasal 13 sampai dengan pasal 18

bahwa masyarakat dapat menjadi orang

tua asuh terhadap anak-anak terlantar,

anak miskin dan anak yatim atau piatu

dan pengasuhan anak dalam institusi

dilakukan oleh lembaga pengasuhan anak

dan dilaksanakan apabila fungsi dan

peran orang tua atau wali tidak dapat

memenuhi kebutuhan dasar anak dimana

lembaga pengasuhan anak yang

dimaksud memiliki tugas dan fungsi untuk

mengasuh, memberikan kebutuhan dasar

anak, meningkatkan kulitas sumber daya

manusia dan memberikan perlindungan

normatif, fisik, mental dan sosial sesuai

dengan agama yang dianut oleh anak.

Berdasarkan Qanun tersebut, terlihat

bahwa pemerintah dan masyarakat Aceh

turut berperan dalam pengasuhan anak-

anak terlantar dan anak-anak yang hidup

di lembaga pengasuhan yang akan

memengaruhi proses penerimaan diri

anak dan remaja tersebut.

Hasil penelitian ini juga

menunjukkan bahwa 95,3% remaja panti

asuhan berada pada kategori

psychological well-being tinggi dan 4,7%

berada pada kategori psychological well-

being sedang. Hal ini bisa terjadi karena

adanya penerimaan diri yang baik dan

sikap yang baik pada diri remaja panti

asuhan sehingga berdampak pada

psychological well-being. Ryff dan Singer

(2008) menyatakan bahwa individu yang

memiliki psychological well-being

tergolong tinggi seperti pada remaja panti

Page 13: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

10

asuhan dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa remaja panti asuhan memiliki

penilaian yang positif terhadap

pengalaman dan kualitas hidupnya yang

dilihat dari keenam dimensi psychological

well-being, yaitu kemandirian,

penguasaan lingkungan, pertumbuhan

pribadi, hubungan positif dengan orang

lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa terdapat hubungan positif dan

signifikan antara penerimaan diri dengan

psychological well-being pada remaja

panti asuhan Kota Banda Aceh. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa semakin

tinggi penerimaan diri maka semakin

tinggi pula psychological well-being

ataupun sebaliknya. Hal ini terjadi karena

penerimaan diri terhadap suatu kondisi

yang dialami oleh remaja panti asuhan

akan memengaruhi psychological well-

being remaja tersebut. Selanjutnya, hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa

umumnya remaja panti asuhan Kota

Banda Aceh berada pada kategori tinggi

untuk penerimaan diri dan psychological

well-being.

SARAN

Saran bagi peneliti selanjutnya

yang yang berminat melakukan penelitian

dengan variabel yang sama, maka dapat

diteliti dengan menggunakan metode

kualitatif melalui observasi dan

wawancara secara mendalam untuk

memperdalam hasil variabel penelitian,

terutama berkaitan dengan dinamika atau

gambaran psychological well-being pada

remaja panti asuhan.

DAFTAR PUSTAKA Aini, S. N., & Aisyah, S. N. (2013).

Psychological well-being penyandang gagal ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi,04(01), 35-45.

Amwidyati, S. A., & Utami, M. S. (2007).

Religiusitas dan psychological well‐being pada korban gempa. Jurnal Psikologi, 34(2), 164-176.

Artha, N. M. W. I., & Supriyadi. (2013).

Hubungan antara kecerdasan emosi dan self efficacy dalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja awal. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 190-202.

Azwar, S. (2013). Penyusunan skala

psikologi (Ed. 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barnett, R. C., & Gareis, K. C. (2006).

Parental after-school stress and psychological well-being. Journal of Marriage and Family, 68, 101-108. doi: 10.1111/j.1741-3737.2006.00236.x

Page 14: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

11

Berger, E. M. (1952). The relation between expressed acceptance of self and expressed acceptance of others. The Journal of Abnormal and Social Psychology, 47(4), 778-782. doi:10.1037/h0061311

Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).

Psychology of adjustment and human relationship. Terjemahan: R. S. Satmoko. New York: McGrawHill.

Gandaputra, A. (2009). Gambaran self-

esteem remaja yang tinggal di panti asuhan. Jurnal Psikologi, 7(2), 52-70.

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi

perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Ed. 5). Terjemahan: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Loman, M. M., Wilk, K. L., & Frenn, K. A.

(2009). Ponstitutionalized children’s development growth, cognitive, and language outcomes. Journal Development Behavior Pediatrics, 30(5), 426-434.

Lusiana, I. (2014). Interaksi sosial antara

remaja yang tinggal bersama orang tua dan remaja yang tinggal di panti asuhan. Jurnal Online Psikologi, 2(1), 81-92.

Mazaya, K. N., & Supradewi, R. (2011).

Konsep diri dan kebermaknaan hidup pada remaja di panti asuhan. Proyeksi, 6(2), 103-112.

Octiva, S. (2013). Book of abstracts; the

4th international conference on center on aceh and indian ocean studies in mahdi; perbedaan

proporsi gangguan mental pada remaja yang tinggal di panti asuhan dan tinggal dengan kawom paska tsunami. Aceh: ICAIOS.

Rachmayanti, S., & Anita, Z. (2007).

Penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi, 1(1).

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything,

or is it? exploration on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 1069-1081.

Ryff, C. D. (2013). Psychological well-being

revisited: advances in the science and practice of eudaimonia. Psychotherapy and Psychosomatics, 83, 10-28. doi: 10.1159/000353263

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The

stucture of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727.

Ryff, C. D., & Singer. (2008). Know thyself

and become what you are: a eudaimonic approach psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39. doi: 10.1007/s10902-006-9019-0

Savitri, J., Kiswantomo, H., & Ratnawati. (2012). Studi deskriptif mengenai psychological well-being pada remaja SOS desa taruna kinderdorf Bandung. Zenit, 1(1), 1-11.

Teja, M. (2014). Pelindungan terhadap

anak telantar di panti asuhan. Jurnal Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, VI(05), 9-12.

Page 15: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

12

HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN KECENDERUNGAN KECANDUAN INTERNET PADA MAHASISWA

Rahmalia Putri; Nucke Yulandari

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala [email protected]; [email protected]

Abstrak

Kecenderungan kecanduan internet adalah perilaku yang muncul akibat berinteraksi dengan dunia maya yang tidak terkontrol. Kesepian dianggap menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kecanduan internet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan kecenderungan kecanduan internet pada mahasiswa S1 Unsyiah. Hipotesis dalam penelitian ini terdapat hubungan antara kesepian dengan kecenderungan kecanduan internet pada mahasiswa Unsyiah. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif S1 Unsyiah yang berjumlah 377 orang, berusia 20-25 tahun (masa dewasa awal) dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Kesepian yang diadaptasi dari skala kesepian University California of Los Angeles Loneliness Scale-Ver 3 dan Skala Kecanduan Internet yang diadaptasi dari Internet Addiction Scale. Hasil analisis data dengan teknik korelasi Pearson Product Moment mendapatkan koefisien korelasi r(df) = 0,20, p < atau > .01 atau .05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kesepian dengan kecenderungan kecanduan internet pada mahasiswa S1 Unsyiah. Kata kunci: kesepian, kecanduan internet, mahasiswa, pearson product moment, UCLA loneliness

scale, internet addiction scale

Abstract

The relationship between loneliness and internet addiction tendency to the undergraduate student. Internet addiction tendency is a behavior that will arise as a result of interaction with the uncontrolled virtual world. Loneliness is considered one of the factors that influence internet addiction. The aimed of this study is to determine the relationship between loneliness and internet addiction tendency to undergraduate students of Unsyiah. The study hypothesized if there is a relationship between loneliness and internet addiction tendency to undergraduate students of Unsyiah. The samples of this study are 377 active undergraduate students of Unsyiah, aged 20-15 years old. The sampling technique used is proportional stratified random sampling. The data was collected using a loneliness scale that was adapted from University California of Los Angeles Loneliness Loneliness Scale-Ver and internet addiction scale was adapted from Internet Addiction Scale. The data was analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with correlation coefficient r(df) = 0,20, p < or > .01 or .05. It showed that there is a positive correlation between loneliness and internet addiction tendency to undergraduate students of Unsyiah. Keywords: loneliness, internet addiction, undergraduate students,pearson product moment, UCLA

loneliness scale, internet addiction scale

Page 16: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

13

PENDAHULUAN

Pengguna internet semakin

meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan

data dari Internet World Stats (2012)

diketahui bahwa pengguna internet dunia

tahun 2012 berjumlah 2,4 milyar orang

dengan pengguna terbanyak berasal dari

benua Asia sebesar 44,8% atau sekitar

1,07 milyar orang. Berdasarkan hasil

survey yang dilakukan Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII, 2014) diketahui bahwa jumlah

pengguna internet di Indonesia tahun

2014 mencapai 34,9% atau sekitar 88 juta

orang dari total penduduk Indonesia yaitu

252,4 juta orang dimana 0,027% atau 2,4

juta orang pengguna internet berada di

Aceh.

Hasil survey Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(2014) diketahui internet digunakan oleh

seluruh lapisan usia dan pengguna

internet paling dominan adalah usia

dewasa awal yaitu usia 18 sampai 25

tahun sebesar 49% atau sekitar 43 juta

penduduk Indonesia. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian yang dilakukan

Ceyhan dan Gurcan (2007), bahwa

individu yang paling banyak

menggunakan internet adalah individu

dewasa awal yaitu mahasiswa.

Terlepas dari banyaknya manfaat

yang diberikan internet, internet juga

memiliki dampak buruk. Dampak buruk

dari penggunaan internet yang

berlebihan dapat mengakibatkan

kecanduan internet. Kecanduan internet

adalah pemakaian internet yang tidak

terkontrol dan memiliki dampak yang

buruk bagi mahasiswa, diantaranya

muncul masalah dalam keluarga,

hubungan orang tua dan anak, hubungan

teman dekat menjadi terganggu secara

serius, juga muncul masalah akademik,

seperti menolak untuk belajar,

mengalami penurunan prestasi belajar,

dan mendapat hukuman karena

penggunaan internet yang berlebihan

(Young, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian

Caplan (2007) ditemukan bahwa kesepian

menjadi salah satu prediktor dalam

masalah penggunaan internet yang

berlebihan, karena secara teoritis

kesepian menjadi faktor utama yang

memiliki ciri-ciri seperti persepsi yang

negatif mengenai keterampilan sosial dan

kemampuan komunikasi yang buruk.

Morahan-Martin dan Schumacher (2003)

menyatakan seseorang yang memiliki ciri

persepsi yang negatif mengenai

keterampilan sosial dan kemampuan

komunikasi yang buruk lebih cenderung

Page 17: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

14

menggunakan internet secara berlebihan

karena mereka menggunakan internet

untuk menghindari interaksi sosial secara

langsung.

Berdasarkan teori psikososial

Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman,

2008), individu yang berada pada masa

dewasa awal, yaitu mahasiswa, akan

menghadapi tugas perkembangan untuk

membentuk hubungan intimasi dengan

orang lain (intimacy). Ketika hubungan

intimasi tidak berhasil dibentuk, maka

akan terjadi isolasi (intimacy vs isolate).

Weiss menyebutkan efek psikologis yang

ditimbulkan dari isolasi adalah kesepian

(dalam Santrock, 2003).

Kesepian adalah reaksi emosional

dan kognitif terhadap hubungan yang

lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan

daripada yang diinginkan oleh orang

tersebut, Peplau & Perlman (dalam

Santrock, 2003). Weiss mengungkapkan

bahwa kesepian tidak hanya disebabkan

karena kesendirian, tetapi karena tidak

adanya hubungan tertentu yang

diharapkan.Kesepian selalu muncul

sebagai sebuah respon terhadap

ketidakadaan suatu hubungan yang

diharapkan (dalam Weiten & Llyod,

2006).

Selain masalah dengan hubungan

intimasi, kesepian pada mahasiswa juga

dapat disebabkan oleh faktor lain yaitu

tugas perkembangan untuk menjalin

hubungan dekat dengan lawan jenis.

Ketidakmampuan membina hubungan

dengan lawan jenis dengan baik akan

menimbulkan rasa kesepian (Hurlock,

2009).

Menurut McKenna (dalam Kim,

LaRose, & Peng, 2009) kesepian secara

langsung memengaruhi individu untuk

interaksi online, karena individu yang

kesepian merasa bahwa mereka dapat

berinteraksi dengan orang lain dan

mengekspresikan diri lebih baik saat

online daripada saat mereka

melakukannya secara langsung.

Seseorang yang merasa kesepian

akan menjadi pemalu dan memiliki

kepercayaan diri yang rendah (Santrock,

2003 & Lake dalam Eriany, 1997).

Seseorang yang memiliki kepercayaan diri

yang rendah cenderung menjadi

kecanduan internet karena internet

menjadi tempat pelarian dari perasaan

tidak nyaman untuk berinteraksi secara

langsung dengan lingkungan (Andreou &

Svoli, 2013). Cacioppo, Hawkley,

Crawford, Budesson dan Kowalewski

(2002) menyatakan apabila individu

memiliki skor kesepian yang tinggi, maka

akan mempunyai skor depresi tinggi dan

berdasarkan penelitian yang dilakukan

Page 18: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

15

Young dan Rodgers (1998) diketahui

bahwa depresi berkaitan dengan

peningkatan penggunaan internet. Oleh

karena itu, penelitian ini memiliki tujuan

untuk mengetahui hubungan antara

kesepian dengan kecenderungan

kecanduan internet pada mahasiswa.

TINJAUAN TEORI

Kesepian

Definisi kesepian menurut Peplau

dan Perlman (1982) adalah keadaan yang

tidak menyenangkan yang terjadi ketika

hubungan sosial seseorang kurang

sempurna, baik secara kuantitatif

maupun kualitatif. Menurut Russell

(1996), kesepian merupakan kesatuan

dari kepribadian dinamis dalam individu

dari sistem-sistem psikofisik yang

menentukan karakteristik perilaku dan

berfikir, kemudian keinginan individu

pada kehidupan sosial dan kehidupan

dilingkungannya, dan juga depresi yang

ditandai dengan perasaan sedih, murung,

tidak bersemangat, merasa tidak

berharga dan berpusat pada kegagalan.

Aspek kesepian yang dijelaskan

oleh McWhirter (1990) berdasarkan Skala

Internet Addiction Scale terdiri dari tiga

aspek, yaitu: Loneliness related to

intimate others, yaitu memiliki kualitas

dan kuantitas yang rendah dalam

hubungan intimasi dengan orang lain,

Loneliness related to social others, yaitu

kekurangan hubungan sosial yang

mungkin dapat menjadi hubungan

pertemanan, dan Loneliness related to

affiliative environment, yaitu dimana

individu merasa jauh dengan kelompok

atau orang-orang terdekatnya.

Kecenderungan Kecanduan Internet

Suler (2004) menyebut kecanduan

internet dengan istilah cyberspace

addiction yang artinya ketagihan dengan

dunia maya yang dibentuk melalui

interaksi dengan komputer dan

menghabiskan banyak waktu disana.

Young (2009) menyebutkan kecanduan

internet adalah pemakaian internet yang

tidak terkontrol dan merugikan dan

ditandai dengan meningkatnya waktu

yang digunakan, uang, dan usaha untuk

kegiatan yang berkaitan dengan internet,

merasa cemas, sedih, dan gelisah jika

tidak dapat mengakses internet dan

menyangkal adanya masalah perilaku.

Menurut Goldberg (dalam Dewi, 2011)

kecanduan internet adalah pola

penggunaan internet yang maladaptif

yang menghasilkan pengrusakan diri.

Menurut Widyanto dan McMurran

(2004) terdapat enam aspek

kecenderungan kecanduan internet,

Page 19: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

16

diantaranya: Salience, yaitu perilaku

khusus yang muncul ketika sedang

mengakses internet seperti mengumpat

ketika diganggu saat mengakses internet,

Excessive use, yaitu penggunaan internet

yang berlebihan seperti jam penggunaan

yang melebihi batas yang direncanakan,

Neglect work, yaitu terganggunya jam

dan kualitas pekerjaan akibat

menggunakan internet, Anticipation,

yaitu selalu menunggu waktu untuk

mengakses internet, Lack of control, yaitu

ketidakmampuan mengontrol

penggunaan internet, Neglect social life,

yaitu meninggalkan kehidupan sosialnya

dan lebih memilih mengakses internet.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

metode penelitian kuantitatif. Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh

mahasiswa S1 Unsyiah sebanyak 22.213

orang. Pengambilan sampel dilakukan

dengan cara probability sampling yaitu

teknik proportional stratified random

sampling. Sampel dalam penelitian ini

diambil menggunakan pedoman tabel

Krejcie dan Morgan (1970) dengan tingkat

kesalahan 5% dan tingkat kepercayaan

95%. Menurut tabel Krejcie dan Morgan

jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah sebanyak 377 orang. Berikut

jumlah besar populasi dan sampel per

fakultas.

Tabel 1. Jumlah populasi per fakultas

Fakultas Jumlah Mahasiswa

Presentase Besar Sampel

Fakultas Ekonomi

1941 orang 8.74% 32 orang

Fakultas Kedokteran Hewan

650 orang 2.93% 12 orang

Fakultas Hukum

1790 orang 8.06% 30 orang

Fakultas Teknik

2861 orang 12.87% 48 orang

Fakultas Pertanian

1917 orang 8.64% 32 orang

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan

7249 orang 32.63% 124 orang

Fakultas Kedokteran

2434 orang 10.95% 42 orang

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

1090 orang 4.92% 18 orang

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

1682 orang 7.57% 28 orang

Koord. Kelautan dan Perikanan

599 orang 2.69% 11 orang

Total 22.213 orang

100% 377 orang

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan skala

psikologi untuk mengukur kedua variabel,

yaitu skala Kesepian UCLA (University

California of Los Angeles Loneliness Scale-

Page 20: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

17

Ver 3) dan Skala Kecanduan Internet IAS

(Internet Addiction Scale) yang diadopsi

dari skala baku. Skala Kesepian UCLA

disusun oleh Russell (1996) terdiri dari 20

aitem dan dijabarkan aspek-aspeknya

oleh McWhirter (1990) yang terdiri dari

aspek loneliness related to intimate

others, loneliness related to social others,

dan loneliness related to affiliative

environment. Skala Kesepian UCLA

tersebut disusun dalam model Skala

Likert yang terdiri dari empat alternatif

jawaban, yaitu Selalu, Kadang-kadang,

Jarang, dan Tidak Pernah.

Skala Kecanduan Internet IAS

disusun oleh Young (1998a) terdiri dari 20

aitem dan aspek kecanduan internet

berdasarkan skala kecanduan internet IAS

yang dijabarkan oleh Widyanto &

McMurran (2004) yaitu salience,

excessive use, neglect work, anticipation,

lack of control, dan neglect social life.

Skala kecanduan internet IAS tersebut

disusun dalam model Skala Likert yang

terdiri dari empat alternatif jawaban,

yaitu Selalu, Kadang-kadang, Jarang, dan

Tidak Pernah.

Teknik Analisa Data

Analisa data dalam penelitian ini

menggunakan korelasi parametrik

Product Moment Pearson dengan

bantuan piranti lunak SPSS (Statistical

Packages for Social Sciences) versi 16.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data Penelitian

Gambaran umum mengenai data

penelitian secara singkat dapat dilihat

pada tabel 1 berikut:

Tabel 2. Deskripsi data penelitian

Variabel Data Hipotetik Data Empirik

Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD

Kesepian 80 20 50 10 64 20 41,78 7,851

Kecanduan Internet

100 20 60 13,3

3 95 20 48,45 13,255

Berdasarkan hasil statistik data

penelitian, analisis deskriptif secara

hipotetik Skala Kesepian UCLA

menunjukkan bahwa jawaban minimal

adalah 20, maksimal 80, nilai rerata 50

dan simpangan baku 10. Sementara data

empirik menunjukkan jawaban minimal

adalah 20, maksimal 64, nilai rerata 41,78

Page 21: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

18

dan simpangan baku 7,851. Sementara itu

untuk Skala Kecanduan Internet IAS

menunjukkan bahwa jawaban minimal

adalah 20, maksimal 100, nilai rerata 60

dan simpangan baku 13,33. Sementara

data empirik menunjukkan jawaban

minimal adalah 20, maksimal 95, nilai

rerata 48,45 dan simpangan baku 13,255.

Selanjutnya dilakukan kategorisasi

untuk menempatkan subjek ke dalam

kelompok-kelompok berjenjang

berdasarkan variabel yang diukur. Jenjang

kategori yang digunakan adalah rendah,

sedang, dan tinggi. Berikut cara

pengkategorian pada Skala Kesepian:

μ − t(

α

2,n−1)

(S√n

⁄ ) ≤ X ≤ μ + t(

α

2,n−1)

(S√n

⁄ )

50 − (1,96)(7,851√377

⁄ ) ≤ X ≤ 50 + (1,96)(7,851√377

⁄ )

50 − (1,96)(0,40) ≤ X ≤ 50 + (1,96)(0,40)

50 − 0,78 ≤ X ≤ 50 + 0,78

49.22 ≤ X ≤ 50,78

49 ≤ X ≤ 51

Keterangan: µ = Mean hipotetik pada skala

t(α/2,n-1) = Harga t pada α/2 dan derajat kebebasan n-1

s = deviasi standar skor 18mpiric

Setelah memperoleh interval skor

sedang tersebut maka norma kategorisasi

diagnosis berdasarkan skor dan skor tiap

sampel penelitian pada variabel kesepian

tersebut sebagai berikut:

Tabel 3. Kategorisasi Kesepian

Rumus Norma Kategori Kategori Jumlah Persentase

X < 49 Rendah 289 76,6% 49 ≤ X ≤ 51 Sedang 48 12,7%

X > 51 Tinggi 40 10,7%

TOTAL 377 100%

Page 22: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

19

Untuk skala Kecanduan internet,

kategorisasi dibuat berdasarkan norma

yang telah ditentukan oleh Young (1998),

yaitu ( 20 ≤ X < 49 ) untuk kategori

pengguna biasa, ( 50 ≤ X ≤ 79 ) untuk

kategori bermasalah karena internet, dan (

80 ≤ X ≤ 100 ) untuk kategori kecanduan

internet.

Tabel 4. Kategorisasi Kecanduan Internet

Rumus Norma Kategori Kategori Jumlah Persentase

( 20 ≤ X < 49 ) Pengguna biasa 213 56,4%

( 50 ≤ X ≤ 79 ) Bermasalah karena

internet 157 41,7%

( 80 ≤ X ≤ 100 ) Kecanduan Internet 7 2%

TOTAL 377 100%

Hasil kategorisasi kesepian yang

dapat dilihat dari tabel di atas

menunjukkan bahwa sampel pada

penelitian ini sebanyak 76,6% memiliki

tingkat kesepian yang rendah, sebanyak

12,7% memiliki tingkat kesepian sedang,

dan sebanyak 10,7% memiliki tingkat

kesepian yang tinggi. Sedangkan hasil

kategorisasi kesepian dapat dilihat dari

tabel diatas menunjukkan bahwa sampel

pada penelitian ini sebanyak 56,4% adalah

pengguna biasa, sebanyak 41,7% memiliki

masalah karena internet, dan sebanyak

2% memiliki kecenderungan kecanduan

internet.

Tabel 5. Kategorisasi Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Variabel Kesepian

Kesepian Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

Rendah 131 orang 158 orang 289 orang

Sedang 28 orang 48 orang 48 orang

Tinggi 14 orang 40 orang 40 orang Total 173 orang 204 orang 377 orang

Berdasarkan tabel diatas terlihat

kesepian dengan tingkat rendah lebih

banyak dialami oleh perempuan dengan

jumlah 158 orang dibandingkan laki-laki

dengan jumlah 131 orang.

Page 23: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

20

Tabel 6. Kategorisasi Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Variabel Kecanduan Internet

Kecanduan Internet Jenis Kelamin

Total Laki-laki Perempuan

Rendah (Pengguna biasa) 91 orang 122 orang 213 orang

Sedang (Bermasalah karena internet) 78 orang 79 orang 157 orang

Tinggi (Kecanduan internet) 4 orang 3 orang 7 orang

Total 173 orang 204 orang 377 orang

Berdasarkan tabel diatas terlihat

perempuan memiliki tingkat kecanduan

internet yang lebih rendah atau pengguna

biasa dengan jumlah 122 orang

dibandingkan dengan laki-laki dengan

jumlah 91 orang.

Analisa Data Penelitian

Analisa data melalui SPSS

menunjukkan pada variabel kesepian

diperoleh hasil (K-S Z = 1.06, p=0.21 >

0.05) artinya variabel kesepian

berdistribusi normal dengan (p>0. 05).

Hasil uji normalitas variabel kecanduan

internet diketahui bahwa nilai (K-S Z =

1.11, p = 0.16>0.05) artinya variabel

kecenderungan kecanduan internet

berdistribusi normal dengan (p > 0.05),

maka digunakan analisis korelasi

parametrik melalui Product Moment dari

Pearson.

Hasil uji hipotesis menunjukkan

koefisien korelasi sebesar 0.204. Artinya

terdapat hubungan positif antara

kesepian dengan kecenderungan

kecanduan internet. Hubungan tersebut

mengartikan bahwa jika nilai kesepian

semakin tinggi maka akan semakin tinggi

pula kecenderungan kecanduan internet

pada mahasiswa Unsyiah.

Signifikansi hubungan antara kedua

variabel ditunjukkan dengan koefisien

korelasi r(df) = 0.20, p < atau > .01 atau .05.

Hasil analisa data juga menunjukkan r2

sebesar .042 (4.2%) yang artinya kesepian

berkontribusi terhadap kecanduan

internet sebesar 4.2%. Sedangkan 95.8%

diprediksi dipengaruhi oleh variabel yang

lain.

DISKUSI

Berdasarkan perhitungan statistik

yang telah dilakukan, dapat dilihat dari

hasil koefisien korelasi r(df) = 0.20, p < atau

> .01 atau .05 maka dapat dikatakan bahwa

hipotesis penelitian diterima. Hasil ini

menunjukkan bahwa kesepian memiliki

hubungan dengan kecenderungan

kecanduan internet pada mahasiswa.

Semakin tinggi tingkat kesepian seseorang

maka semakin tinggi pula kecenderungan

kecanduan internetnya.

Page 24: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

21

Hal ini sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan Moody (2001)

di Washington, Amerika Serikat yang

menemukan bahwa kesepian memiliki

hubungan yang signifikan dengan

kecanduan internet. Dalam penelitian ini

dijelaskan bahwa individu yang

menghabiskan waktunya untuk

mengakses internet memiliki tingkat

emotional loneliness yang lebih tinggi

dibandingkan tingkat social lonelinessnya.

Hal yang sama juga ditemukan oleh

Kim, LaRose dan Peng (2009) dalam

penelitiannya yang melibatkan 635 orang

mahasiswa dari dua universitas di

Midwestern. Penelitian ini menunjukkan

bahwa kesepian memiliki hubungan

dengan kecanduan internet. Dalam

penelitian ini diketahui bahwa individu

yang merasa kesepian tidak hanya

kesulitan mempertahankan interaksi

sosial di kehidupan nyata, namun juga

sulit mengatur penggunaan internet

mereka. Selain itu, individu tersebut juga

mengandalkan aktivitas internet sebagai

sarana untuk melarikan diri dari masalah

yang menyebabkan mereka semakin

terisolasi dan semakin merasa kesepian.

Jumlah mahasiswa yang berada

pada kategori pengguna biasa berjumlah

192 orang atau 51% dari jumlah sampel

penelitian. Jumlah ini lebih banyak

dibandingkan dengan jumlah mahasiswa

yang berada pada kategori kecanduan

internet yaitu sebanyak 140 orang atau

37,4% dari jumlah sampel penelitian. Dari

data tersebut dapat disimpulkan bahwa

tingkat kesepian pada mahasiswa Unsyiah

berada pada kategori rendah dan tingkat

kecanduan internet yang juga rendah.

Hal ini dapat diperkirakan terjadi

karena sampel yang digunakan pada

penelitian ini merupakan mahasiswa yang

belum diketahui apakah telah kecanduan

internet atau tidak. Sehingga hasil yang

hasil yang didapat adalah sampel berada

pada kategori pengguna biasa. Selain itu,

sebanyak 66% pengguna internet di

Indonesia mempercayai bahwa internet

lebih banyak memiliki dampak negatif

daripada dampak positif (Mukodim,

Ritandiyono & Sita, 2004)

Variabel kesepian dan

kecenderungan kecanduan internet

berada pada kategori rendah.

Berdasarkan data demografi diketahui

bahwa perempuan memiliki tingkat

kesepian yang lebih rendah yaitu

berjumlah 158 orang dibandingkan laki-

laki yang berjumlah 131 orang dan tingkat

kecanduan internet perempuan yang juga

lebih rendah dengan jumlah 122 orang

dibandingkan laki-laki dengan jumlah 91

orang. Beberapa penelitian menggunakan

Page 25: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

22

skala kesepian UCLA Loneliness Scale

mendapatkan hasil bahwa pria memiliki

tingkat kesepian yang lebih tinggi

daripada wanita (Brehm dalam Oktaria,

2009). Hal ini disebabkan laki-laki tidak

menyadari bahwa mereka merasa

kesepian sehingga tidak mampu

mengatasinya. Berbeda dengan

perempuan yang lebih peka dengan rasa

kesepian sehingga mampu mengatasinya.

Hal ini senada dengan pendapat Brehm,

Miller, Perlman & Campbell (2002), yang

mengatakan bahwa laki-laki lebih

kesepian dibandingkan wanita.

Selanjutnya Young (1998b)

menyatakan profil pecandu internet

mempunyai ciri-ciri laki-laki, muda, dan

paham mengenai komputer. Senada

dengan pendapat Busch dan Shotton

(dalam Young, 1996) yang menyatakan

pria lebih unggul dalam menggunakan

teknologi informasi dan merasa lebih

nyaman menggunakannya dibandingkan

wanita. Hal ini dapat menjadi salah satu

faktor penyebab kesepian dan

kecenderungan kecanduan internet pada

sampel penelitian ini berada pada

kategori rendah.

Hasil penelitian ini memiliki r2

sebesar 0,042 (4,2%) yang menunjukkan

bahwa kesepian berkontribusi terhadap

kecanduan internet sebesar 4,2%.

Sedangkan 95,8% diprediksi dipengaruhi

oleh variabel yang lain. Penelitian yang

dilakukan Young dan Rodger (1998)

menyatakan bahwa kecanduan internet

dapat dipengaruhi oleh tingkat depresi

seseorang. Selanjutnya Anggraeni,

Husain, dan Arifin (2014) menyatakan

bahwa kecanduan internet juga dapat

dipengaruhi oleh tipe kepribadian

introvert. Ningtyas (2012); Widiana,

Retnowati, dan Hidayat (2004)

menyatakan bahwa kecanduan internet

juga dapat dipengaruhi oleh kontrol diri.

Chak dan Leung (2004) juga melakukan

penelitian yang mengatakan bahwa

perasaan malu dan locus of control

seseorang dapat memengaruhi

kecanduan internet.

Keterbatasan dalam penelitian ini

adalah keterbatasan metode penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode

kuantitatif yang hanya menggunakan

sebagian kecil populasi sebagai sampel

penelitian dan men-generalisasikan

hasilnya terhadap seluruh populasi.

Dengan metode ini juga penelitian hanya

berfokus pada dua variabel yang akan

diukur, sehingga tidak mendapatkan

informasi mengenai variabel lain yang

juga memengaruhi hasil penelitian ini.

Page 26: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

23

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara

kesepian dengan kecenderungan

kecanduan internet. Penelitian ini juga

memperlihatkan adanya hubungan positif

antara kesepian dengan kecenderungan

kecanduan internet pada mahasiswa.

Berarti semakin tinggi kesepian

mahasiswa maka semakin tinggi pula

kecanduan internetnya. Begitu juga

sebaliknya, semakin rendah kesepian

mahasiswa maka semakin rendah pula

kecenderungan kecanduan internetnya.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa

mahasiswa Unsyiah memiliki tingkat

kesepian yang rendah dan menyebabkan

tingkat kecenderungan kecanduan

internet yang rendah pula.

Bagi peneliti selanjutnya yang ingin

meneliti variabel kecanduan internet agar

terus mencari informasi terkini atau teori

terbaru karena kecanduan internet

merupakan suatu fenomena yang terus

mengalami perkembangan dan dapat

mempertimbangkan variabel lainnya yang

berpengaruh terhadap kecanduan

internet, seperti tingkat depresi

seseorang, tipe kepribadian introvert,

kontrol diri, perasaan malu dan juga locus

of control.

DAFTAR PUSTAKA

Andreou, E. & Svoli, H. (2013). “The association between internet user characteristics and dimension of internet addiction among greek adolescent”. Int J Mental Health Addiction.11, 139-148.

Anggraeni, M., Husain, A. N. & Arifin, S.

(2014). “Hubungan tipe kepribadian introvert dengan kecanduan internet pada siswa kelas x di sman 1 banjarmasin”. Berkala Kedokteran.10(1), 1-8.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet

Indonesia. (2014). Artikel. Profil pengguna internet Indonesia 2014. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2016 melalui https://apjii.or.id/downfile/file/PROFILPENGGUNAINTERNETINDONESIA2014.pdf

Azwar, S. (2010a). Metode Penelitian.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brehm,S. S., Miller, R. S., Perlman, D., &

Campbell, S. M. (2002). Intimate Relationship Third Edition. New York: McGraw Hill.

Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L.

E., Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewski, R. B., & Berntson, G. G. (2002). Loneliness and health: Potential mechanisms. Psychosomatic Medicine, 64(3), 407-417.

Caplan, S. E. (2007). “Relations among

loneliness, social anxiety, and problematic internet use”.CyberPsychology & Behavior, 10(2), 234-242.

Page 27: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

24

Ceyhan, E. & Gurcan, A. (2007). “The validity and reliability of the problematic internet usage scale”. Educational Science: Theory & Practice, 7(1), 411-416.

Chak, K. & Leung, L. (2004). ”Shyness and

locus of control as predictors of internet addicition and internet use”. CyberPsychology & Behavior, 7(5), 559-570.

Davis, R. A., Flett, G. L. & Besser, A. (2002).

“Validation of a new scale for measuring problematic internet use: implication for pre-employment screening”. Cyber Psychology & Behavior,5(4), 331-345.

Dewi, N. (2011). “Hubungan antara

kecanduan internet dan kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa s1 fk uns yang sedang skripsi”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta. Universitas Sebelas Maret.

Eriany, P. (1997). Manusia kesepian

sebagai salah satu dampak psikologi dari kehidupan modern. Artikel. Di akses pada tanggal 24 Oktober melalui http://eprints.unika.ac.id/5345/1/manusia_kesepian.pdf

Hurlock, E. B. (2009). Psikologi

Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Internet World Stats. (2012, Juni 30).

World Internet Users and Population Stats [Website]. Diakses pada tanggal 17 Desember 2013 melalui http://www.internetworldstats.com/stats.htm

Kandell, J. J (1998). “Internet addiction on

campus: the vulberability of college

students”. CyberPsychology & Behavior, 1(1), 11-17.

Kim, J., LaRose, R., & Peng, W. (2009).

“Loneliness as the cause and the effect of problematic internet use: the relationship between internet use and psychological well-being”. CyberPsychology &Behavior, 12(4), 451-455

Krejcie, R. V. & Morgan, D. W. (1970).

“Determining sample size for research activities”. Educational and Psychological Measurement, 30, 607-610.

Latucosina, S. L. (2007). “Hubungan antara

pola asuh otoriter orang tua dengan depresi pada remaja”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Semarang. Universitas Katolik Soegijapranata.

Moody, E. J. (2001). “Internet use and its

relationship to loneliness”. CyberPsychology &Behavior, 4(3), 393-401.

Morahan-Martin, J. & Schumacher, P.

(2003). “Loneliness and social uses of the internet”. Computers in Human Behavior, 19, 659-671.

Mukodim, D., Ritandiyono, & Sita, H. R.

(2004). “Peranan kesepian dan kecenderungan internet addiction disorder terhadap prestasi belajar mahasiswa universitas gunadarma”. Proceedings, Komputer dan Sistem Intelijen, 111-120.

Ningtyas, S. D. Y. (2012). “Hubungan self

control dengan internet addicition pada mahasiswa”. Journal of Social and Industrial Psychology, 1(1), 28-33.

Page 28: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

25

Oktaria, R. (2009). Kesepian pada pria usia lanjut yang melajang. Artikel. Diakses pada tanggal 7 Mei 2014 melalui http://gunadarma.org/library/articles/graduate/psychology/2009/Artikel_10504146.pdf

Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, R.

D.(2008). Human Development; Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Peplau, L. A., Miceli, M., & Morasch, B.

(1982). Loneliness and self-evaluation. In L. A. Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: A sourcebook of current theory, research, and therapy (pp. 135–151). New York: Wiley.

Peplau, L. A. & Perlman, D. (1982).

Loneliness A Sourcebook of Current Theory, Research and Therapy. New York: A Wiley-Interscience Publication.

Russell, D. W. (1996). UCLA Loneliness

Scale (version 3): “Reliability, validity, and factor structure”. Journal of Personality Assessment, 66(1), 20-40.

Santrock, J. W. (2003). Adolescence;

Perkembangan Remaja (terjemahan). Erlangga: Jakarta.

Suler, J. (2004). “Computer and

cyberspace addiction”. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 1, 359-362.

Weiten, W. & Lloyd, M. (2006). Psychology

Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century. Edisi Keenam. Canada : Thomson Wadsworth.

Widiana, H. S., Retnowati, S., & Hidayat, R.

(2004). “Kontrol diri dengan

kecanduan internet”. Indonesian Psychological Journal, 1(1), 6-16.

Widyanto, L. & McMurran, M. (2004).

“The psychometric properties of the internet addiction test”. Cyberpsychology & Behavior, 7(4), 443-450.

Yohana. (2013). Hubungan antara pola

asuh otoriter dengan kesepian pada mahasiswa. Artikel. Diakses pada tanggal 4 Juni 2014 melalui http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/3757283.

Young, K. S. (1996). “Psychology of

computer use: sddictive use of the internet : a case breaks the stereotype”. PsyshologicalReport. 79. 889-902

Young, K. S. (1998a). Caught in the Net:

How to recognize the signs of Internet addiction and a winning strategy forrecovery. New York: John Wiley.

Young, K. S. (1998b). “Internet addiction:

the emergence of a new clinical disorder”. CyberPsychology & Behavior, 1(3): 237-244.

Young, K. S. (1999). Internet addiction:

symptoms, evaluation, and treatment. In L. Vande Creek & T. Jackson (Eds.) Innovations in Clinical Practice: A Source Book (vol 17; pp. 19‐31). Sarasota, FL: Professional Resource Press.

Young, K. S. (2009). “Internet addiction:

diagnosis and treatment consideration”. Journal Contemporer Psychoterapy, 39, 241-246.

Page 29: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

26

Young, K. S. & Rodgers, R. C. (1998). “The relationship between depression and

internet addiction”. CyberPsychology & Behavior, 1(1), 25.

Page 30: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

27

HUBUNGAN ANTARA MODAL PSIKOLOGIS DAN KESIAPAN KARYAWAN UNTUK BERUBAH: PENINGKATAN MODAL PSIKOLOGIS MELALUI

INTERVENSI MIKRO MODAL PSIKOLOGIS

Tri Sakti Aria Yudisthira, Siti Farida Haryoko Boru Tobing, Arum Etikariena Magister Profesi Psikologi Industri dan Organisasi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Modal Psikologis dan Kesiapan untuk Berubah serta efektivitas Intervensi Mikro Modal Psikologi dalam meningkatkan Modal Psikologis. Penelitian ini terdiri dari dua studi dengan dua desain penelitian berbeda yaitu cross-sectional dengan 531 partisipan dan before-and-after study dengan 6 partisipan. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner Modal Psikologis (Luthans, Avey, Smith & Li, 2008) dan kuesioner Kesiapan untuk Berubah (Hanpachern, 1997). Hasil analisis menunjukkan bahwa Modal Psikologis memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan karyawan untuk berubah. Intervensi Mikro Modal Psikologis diberikan kepada 6 partisipan. Hasil analisis Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan skor Modal Psikologis yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Hal ini berarti, Intervensi Mikro Modal Psikologis efektif untuk meningkatkan Modal Psikologis.

Kata Kunci: Modal Psikologis, Pelatihan Modal Psikologis, Kesiapan untuk Berubah.

Abstract

The purpose of this research is to find out the relationship between Psychological Capital and Employee Readiness for Change, and effectiveness of Micro Psychological Capital Intervention to increase Psychological Capital. The research has two studies which are a cross-sectional study (531 samples) and before-and-after study (6 samples). Measurement instruments are PCQ-12 (Luthans, Avey, Smith & Li, 2008) and Readiness for Change Questionnaire (Hanpachern, 1997). The results showed that Psychological Capital has a significant relationship with employee’s Readiness for Change and the paired Wilcoxon Signed Ranks Test’s results showed that there was a significant difference in Psychological Capital’s score between before and after the intervention. It means that Micro Psychological Capital Intervention is an effective intervention to increase Psychological Capital.

Keywords: Psychological Capital, Psychological Capital Training, Readiness for Change.

Page 31: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

28

PENDAHULUAN

Pada lingkungan yang dinamis,

organisasi harus memiliki kemampuan

untuk berubah dan beradaptasi secara

cepat dan proaktif untuk dapat

bertahan (Cumming & Worley, 2015;

Hanpachern, Morgan & Griego, 1998;

Luthans, Youssef & Avolio, 2007).

Meskipun perubahan

diimplementasikan untuk alasan positif

seperti beradaptasi dengan kondisi

eksternal ataupun mempertahankan

keunggulan kompetitif, karyawan sering

kali merespons negatif terhadap

perubahan dan menolak upaya

perubahan (Jones et al, 2007;

Wittenstein, 2008). Berdasarkan survei

yang dilakukan terhadap 3200 eksekutif

oleh Meaney dan Pung (2008),

diketahui bahwa hanya dua per tiga dari

organisasi yang berhasil mencapai

perubahan yang diharapkan. Dengan

demikian, organisasi menghadapi

tantangan besar dalam mengelola

perubahan secara efektif karena

perubahan organisasi yang gagal akan

menimbulkan kerugian finansial yang

sangat besar (Hanpachern, Morgan &

Griego, 1998). Kerugian finansial

tersebut disebabkan oleh penurunan

kepuasan pelanggan dan pendapatan

perusahaan, produktivitas yang

menurun, kehilangan karyawan yang

berharga, dan investasi atau biaya yang

telah dikeluarkan untuk perubahan

organisasi (Cabrey & Haughey, 2014;

‘The case for change management:

Costs and risks of poorly managing

change’, 2012).

Piderit (dalam Wittenstein, 2008)

menyatakan bahwa perubahan

organisasi dapat berhasil jika anggota

organisasi menerima perubahan

tersebut. Dengan demikian, perubahan

organisasi dimediasi oleh perubahan

individu (Schein, dalam Devos, Buelens,

& Bouckenooghe, 2007) sehingga jika

individu tidak berubah maka tidak ada

perubahan organisasi (Schneider, Brief

& Guzzo, 1996). Menurut Armenakis,

Harris, dan Mossholder (1993) salah

satu faktor yang berkontribusi terhadap

keberhasilan perubahan organisasi

adalah kesiapan untuk berubah dari

individu. Kesiapan untuk berubah

adalah kesiapan individu secara mental,

psikologis, dan fisik untuk berpartisipasi

dalam aktivitas perubahan organisasi

khususnya dalam pengembangan

organisasi (Hanpachern, 1997).

Menurut Hanpachern (1997),

perubahan organisasi sering kali gagal

karena kurangnya kesiapan untuk

berubah. Hal ini dikarenakan individu

Page 32: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

29

dengan tingkat Kesiapan untuk Berubah

yang tinggi cenderung untuk

berpartisipasi dan berkomitmen

terhadap perubahan organisasi

(Hanpachern, 1997).

Menurut Rafferty, Jimmieson dan

Amenarkis (2013), salah satu anteseden

dari Kesiapan untuk Berubah adalah

karakteristik individu. Oleh karena itu,

faktor individu adalah indikator paling

kritikal dalam kesiapan untuk berubah

(Steward, dalam Hanpachern, 1997).

Hal ini sejalan dengan Wanberg & Banas

(2000) yang menyatakan bahwa

perbedaan individu merupakan salah

satu prediktor utama pada keterbukaan

karyawan terhadap perubahan. Lebih

lanjut, perbedaan individu seperti

Efikasi Diri, (Self-Efficacy), Optimisme

(Optimisme), Harapan (Hope), dan

Resiliensi (Resiliency) memiliki

hubungan dengan keterbukaan dan

Kesiapan untuk Berubah (Avey,

Wernsing & Luthans, 2008; Eby, Adams,

Russel & Gaby, 2000; Luthans, Youssef

& Avolio, 2007; Rafferty, Jimmieson &

Amenarkis, 2013, Wanberg & Banas,

2000).

Pertama, Efikasi Diri adalah

keyakinan individu mengenai

kemampuannya untuk menggerakkan

motivasi, kognitif, dan tujuan untuk

melaksanakan tugas dalam konteks

tertentu (Albert Bandura, dalam

Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Efikasi

diri merupakan salah satu karakteristik

personal yang menjadi anteseden sikap

individu terhadap perubahan (Rafferty,

Jimmieson & Amenarkis, 2013). Efikasi

diri yang tinggi berhubungan dengan

penerimaan, kesiapan, keterlibatan, dan

komitmen dalam perubahan serta

beradaptasi lebih baik dalam perubahan

di organisasi (Vakola, Armenakis, &

Oreg, 2013). Oleh karena itu, individu

dengan Efikasi Diri yang tinggi akan

memiliki keyakinan terhadap

kemampuannya untuk menghadapi

perubahan (Herold, Fedor & Caldwell,

2007).

Kedua, Optimisme adalah gaya

atribusi yang menjelaskan peristiwa

positif sebagai sesuatu yang

memengaruhi diri secara menetap,

personal dan meresap, sedangkan

peristiwa negatif dijelaskan sebagai

sesuatu yang memengaruhi diri secara

sementara, eksternal, dan situasional

(Seligman, dalam Luthan, Youssef &

Avilio, 2007). Individu yang optimis

cenderung untuk memiliki pandangan

yang positif terhadap perubahan

organisasi (Wanberg & Banas, 2000) dan

menerima perubahan, melihat peluang

Page 33: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

30

di masa depan, dan fokus dalam

memanfaatkan peluang tersebut

(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).

Individu dengan optimisme yang

fleksibel menampilkan sikap yang

mandiri, menerima perubahan, dan

terbuka dengan ide-ide baru dan

perkembangan situasi kerja (Luthans,

Youssef & Avolio, 2007).

Ketiga, Harapan adalah keadaan

motivasi positif yang berasal dari

perasaan sukses yang terdiri ketekunan

dan cara mencapai tujuan (Snyder,

Irving, & Anderson, dalam Luthans,

Youssef & Avolio, 2007). Karyawan

perlu memiliki motivasi, menetapkan

cara mencapai tujuan alternatif

(harapan) saat menghadapi kendala,

membuat atribusi optimis saat terjadi

permasalahan, dan memiliki pandangan

positif untuk masa depan agar berhasil

dalam menghadapi perubahan (Avey,

Wernsing & Luthans, 2008). Menurut

Avey, Wernsing, dan Luthans (2008),

perubahan organisasi menuntut

karyawan untuk menyusun cara

mencapai tujuan yang baru dan

menyusun kembali strategi untuk

mencapai tujuan.

Keempat, Resiliensi adalah

kemampuan untuk bangkit kembali dari

keterpurukan, ataupun peristiwa

menantang dan sangat positif, serta

keinginan untuk mencapai hasil di atas

rata-rata (Luthans, Youssef & Avolio,

2007). Resiliensi memiliki hubungan

positif dalam mendukung karyawan

menghadapi perubahan organisasi

(Gittel, Cameron, Lim & Rivas, 2006).

Individu yang memiliki resiliensi yang

tinggi akan bangkit kembali dari

kekecewaan yang dialami selama

perubahan organisasi (Avey, Wernsing

& Luthans, 2008; Fugate, 2013).

Perubahan di dalam organisasi juga

menuntut karyawan untuk mempelajari

hal-hal baru. Namun, karyawan akan

menolak untuk mempelajari hal-hal

baru dan cenderung hanya mempelajari

hal-hal yang dibutuhkan (Beaudin &

William, 1990; Hanpachern, 1997).

Melalui resiliensi, karyawan

mendedikasikan dirinya untuk

pembelajaran yang berkelanjutan dan

selalu siap untuk mengembangkan diri

mereka untuk mengikuti perubahan

(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).

Efikasi Diri, Harapan, Optimisme,

dan Resiliensi merupakan komponen

yang membentuk Modal Psikologis

(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).

Luthans, Youssef dan Avolio (2007)

mendifinisikan Modal Psikologis sebagai

perkembangan keadaan psikologis

Page 34: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

31

positif yang memiliki karakteristik: (1)

memiliki efikasi diri untuk

menyelesaikan tugas yang menantang,

(2) memiliki atributif positif atau

optimis mengenai kesuksesan di saat ini

dan di masa depan, (3) gigih terhadap

tujuan dan mengarahkan langkah

menuju tujuan agar berhasil, dan (4)

berusaha serta bangkit kembali saat

dilanda masalah untuk mencapai

keberhasilan.

Pengaruh Modal Psikologis

secara keseluruhan lebih besar daripada

pengaruh Modal Psikologis per dimensi

(Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Oleh

karena itu, keempat dimensi Modal

Psikologis secara bersama-sama akan

memberikan pengaruh yang lebih besar

terhadap kesiapan untuk berubah.

Modal Psikologis yang positif berperan

penting dalam menghadapi sikap dan

perilaku negatif karyawan terhadap

perubahan organisasi (Avey, Wernsing

& Luthans, 2008). Kesiapan untuk

Berubah karyawan memiliki hubungan

yang positif dengan Modal Psikologis

(Fachruddin & Mangundjaya, 2012;

Mangundjaya, 2014; Lizar,

Mangundjaya & Rachmawan; 2014).

Berdasarkan pembahasan di atas

maka terlihat bahwa Kesiapan untuk

Berubah memiliki peran penting

terhadap keberhasilan perubahan

organisasi dan individu di dalamnya

memiliki peran paling kritikal. Akan

tetapi, penelitian mengenai individu

sebagai komponen penting dalam

proses perubahan organisasi kurang

memperoleh perhatian (Wanous,

Reichers & Austin, 2000). Raffery,

Jimmieson, dan Amenarkis (2013)

menyatakan hanya sebagian kecil

penelitian yang fokus pada anteseden

Kesiapan untuk Berubah pada level

individu. Oleh karena itu, peneliti ingin

mengetahui hubungan antara

karakteristik individu yaitu Modal

Psikologis dengan Kesiapan untuk

Berubah.

Hipotesis Alternatif Pertama (Ha1) :

Terdapat hubungan yang signifikan

antara Modal Psikologis dan Kesiapan

untuk Berubah pada karyawan di PT X.

Lebih lanjut, Vakola (2013)

mengungkapkan bahwa dibutuhkan

penelitian mendalam untuk

menjelaskan disposisi karakteristik

individu terhadap Kesiapan untuk

Berubah, khususnya predisposisi

karakteristik individu yang stabil yang

dapat digunakan sebagai dasar

pelatihan. Menurut Luthans, Youssef

dan Avolio (2007), dimensi-dimensi di

dalam Modal Psikologis dapat

Page 35: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

32

dikembangkan melalui Intervensi Mikro

Modal Psikologis (selanjutnya disebut

sebagai pelatihan Modal Psikologis)

yaitu sesi pelatihan yang sangat fokus

dan singkat. Peneliti berasumsi bahwa

peningkatan Modal Psikologis melalui

pelatihan Mikro Modal Psikologis akan

ikut meningkatkan Kesiapan untuk

Berubah.

Hipotesis Alternatif Kedua (Ha2) :

Terdapat peningkatan skor

pengetahuan Modal Psikologis yang

signifikan setelah diberikan pelatihan

Modal Psikologis.

Hipotesis Alternatif Ketiga (Ha3) :

Terdapat peningkatan skor Modal

Psikologis yang signifikan setelah

diberikan pelatihan Modal Psikologis.

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Desain Penelitian

Pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kuantitatif. Pendekatan

kuantitatif adalah penelitian yang

menggunakan langkah-langkah

pengukuran formal terhadap perilaku

meliputi kuesioner dan pengamatan

perilaku secara sistematis yang

dirancang untuk diolah menggunakan

analisis statistik (Stangor, 2010). Pada

penelitian ini, pendekatan kuantitatif

digunakan untuk mengetahui gambaran

variabel penelitian melalui analisis

statistik.

Selanjutnya, penelitian ini terdiri

dari dua studi dengandesain penelitian

yan berbeda. Studi pertama

menggunakan cross-sectional design,

yaitu desain yang dilakukan dengan satu

kali pengukuran untuk mengetahui

gambaran umum mengenai sikap, isu,

masalah, atau situasi (Kumar, 2005).

Cross-sectional design digunakan oleh

peneliti untuk mengetahui hubungan

antara variabel Modal Psikologis dan

variabel Kesiapan untuk Berubah. Studi

kedua menggunakan desain penelitian

before-and-after study. Menurut Kumar

(2005) before-and-after study adalah

desain yang mengukur perubahan sikap,

isu, masalah, atau situasi dengan

membandingkan perbedaan variabel

antara sebelum dan sesudah diberikan

intervensi. Pada penelitian ini, before-

and-after study digunakan untuk

melihat efektivitas pemberian

intervensi berupa pelatihan Mikro

Modal Psikologis terhadap peningkatan

Modal Psikologis.

Populasi dan Sampel Penelitian

Responden pada penelitian ini

adalah seluruh karyawan PT X dengan

Page 36: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

33

level jabatan di bawah General Manager

yang berjumlah 700 karyawan.

Pemilihan layer jabatan didasarkan pada

karyawan yang terkena dampak dari

perubahan namun tidak ikut serta dalam

pengambilan keputusan terkait

perubahan. Penatapan sampel pada

penelitian ini disesuaikan dengan desain

penelitian yang digunakan.

Dalam desain cross-sectional,

teknik pengambilan sampel yang

digunakan adalah convenience

sampling. Menutur Gravetter dan

Forzano (2012) convenience sampling

adalah teknik sampling dengan cara

memilih partisipan yang mudah didapat

untuk penelitian, yaitu berdasarkan

ketersediaan dan kesediaan partisipan

untuk mengikuti penelitian. Partisipan

pada desain penelitian cross-sectional

dipilih berdasarkan ketersediaan dan

kesediaan karyawan untuk mengisi

kuesioner penelitian. Sampel penelitian

pada desain penelitian cross-sectional

adalah seluruh karyawan PT X yang

berjumlah 700 karyawan dan bersedia

mengisi kuesioner Modal Psikologis dan

Kesiapan untuk Berubah.

Sedangkan dalam desain before-

and-after study, teknik pengambilan

sampel yang digunakan adalah

purposive sample. Purposive sampling

adalah teknik sampling dengan cara

memilih partisipan berdasarkan

penilaian peneliti atau ahli terhadap

partisipan yang mana dapat

memberikan informasi terlengkap untuk

mencapai tujuan penelitian (Kumar,

2005). Menurut Gravetter dan Forzano

(2012) dalam beberapa kondisi yang

sulit dan tidak mungkin untuk merekrut

banyak sampel, seperti ketersediaan

karyawan dan mempertimbangkan

metode intervensi yang digunakan.

Oleh karena itu, peneliti mungkin harus

menetapkan 10 hingga 12 sampel dalam

setiap perlakuan (Gravetter & Forzano,

2012). Jumlah sampel pada desain

penelitian before-and-after study

adalah 6 orang partisipan. Partisipan

dipilih berdasarkan penilaian peneliti

dan pihak perusahaan terhadap

karakteristik karyawan. Karakteristik

karyawan tersebut adalah karyawan

yang telah mengisi kuesioner Modal

Psikologis dan Kesiapan untuk Berubah,

memiliki level jabatan di bawah General

Manager, serta memiliki skor Kesiapan

untuk Berubah dan Modal Psikologis

yang rendah dibandingkan dengan

karyawan lain di dalam kelompoknya.

Page 37: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

34

Pengukuran

Variabel Terikat

Untuk mengukur Kesiapan untuk

Berubah, peneliti menggunakan

kuesioner Kesiapan untuk Berubah dari

Hanpachern (1997) yang diadaptasi ke

dalam bahasa Indonesia oleh Parahyanti

(2010). Kuesioner ini terdiri dari 14 item

yang mengukur tiga aspek yaitu aspek

partisipasi sebanyak 6 item, aspek

promosi sebanyak 4 item, dan aspek

resistansi 4 item. Kuesioner Kesiapan

untuk Berubah memiliki nilai α = .702

dengan nilai item-total correlation

berkisar antara 0.371 hingga 0.775.

Norma yang digunakan untuk kuesioner

Kesiapan untuk Berubah adalah norma

kelompok.

Variabel Bebas

Untuk mengukur Modal

Psikologis, peneliti menggunakan

kuesioner kuesioner Modal Psikologis

(PCQ-12) dari Luthans, Avey, Smith, dan

Li (2008). PCQ-12 terdiri dari 3 item

yang mengukur Efikasi Diri, 4 item yang

mengukur Harapan (2 item untuk

willpower dan 2 item untuk pathway), 2

item yang mengukur Optimisme, dan 3

item yang mengukur Resiliensi (Luthans,

Avey, Smith & Li, 2008). Kuesioner PCQ-

12 memiliki nilai α = .810 dengan nilai

item-total correlation berkisar antara

0.290 hingga 0.817.Norma yang

digunakan untuk kuesioner Modal

Psikologis adalah norma kelompok.

HASIL PENELITIAN

Gambaran Responden

Total responden pada penelitian

ini adalah sebanyak 534 responden atau

76.2% dari populasi yang berjumlah 700

karyawan. Terdapat 3 data responden

yang tidak dapat diolah karena terdapat

pernyataan-pernyataan di kuesioner

dengan respons yang tidak lengkap.

Dengan demikian, hanya 531 kuesioner

yang dapat diolah dalam analisis

kuantitatif. Peneliti juga melakukan

analisis statistik antara demografi

karyawan dan Kesiapan untuk berubah.

Hubungan Antara Modal Psikologis dan

Kesiapan untuk Berubah

Peneliti melakukan analisis

regresi berganda untuk mengetahui

interaksi hubungan Modal Psikologis

dan Kesiapan untuk Berubah.

Page 38: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

35

Tabel 1. Model Summary Modal Psikologis terhadap Kesiapan untuk Berubah

R R Square Adjusted R Square F Change

Sig.

.522 .273 .267 49.261 .000

Dari hasil perhitungan

menggunakan analisis regresi berganda

pada tabel 1 diperoleh hasil F = 49.261, p <

.05, dan R2 = .273. Koefisien determinan

(R2) sebesar .273 menunjukkan bahwa

keempat dimensi Modal Psikologis yaitu

Efikasi Diri, Harapan, Optimisme, dan

Resiliensi menjelaskan 27.3% variance

yang memprediksi Kesiapan untuk

Berubah sementara 72.7% diprediksi oleh

faktor lain. Dengan demikian, terdapat

hubungan yang signifikan antara Modal

Psikologis dan Kesiapan untuk Berubah

pada karyawan di PT X.

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Berganda Dimensi Modal Psikologis Terhadap Kesiapan untuk Berubah

Dimensi Modal Psikologis

b Standarized

Coefficient Beta t Sig.

(Constant) -.546 Optimisme 2.004 .347 8.466 .000 Efikasi Diri .829 .261 6.514 .000 Harapan .343 .095 2.140 .033 Resiliensi -.069 -.019 -.446 .656

Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa

nilai b constant sebesar -0.546 yang

merupakan nilai Kesiapan untuk Berubah

tanpa keempat dimensi Modal Psikologis

yaitu Efikasi Diri, Harapan, Optimisme,

dan Resiliensi. Sedangkan nilai b pada

Optimisme sebesar 2.004 menunjukkan

jika Optimisme meningkat sebesar satu

unit maka nilai Kesiapan untuk Berubah

akan meningkat sebesar 2.004. Selain itu,

nilai b pada Efikasi Diri sebesar 0.829

menunjukkan jika Efikasi Diri meningkat

sebesar satu unit maka nilai Kesiapan

untuk Berubah akan meningkat sebesar

0.343. Selanjutnya nilai b pada Harapan

sebesar 0.343 menunjukkan jika Harapan

meningkat sebesar satu unit maka nilai

Kesiapan untuk Berubah akan meningkat

sebesar 0.829. Terakhir, nilai b pada

Resiliensi sebesar -0.069 menunjukkan

apabila Resiliensi meningkat sebesar satu

unit maka nilai Kesiapan untuk Berubah

Page 39: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

36

akan menurun sebesar 0.069. Dengan

demikian peningkatan nilai Efikasi Diri,

Harapan, dan Optimisme akan diikuti

dengan peningkatan nilai Kesiapan untuk

Berubah. Namun, jika nilai Resiliensi

meningkat maka nilai nilai Kesiapan untuk

Berubah akan berkurang. Selanjutnya,

pada tabel 4.14 terlihat bahwa Efikasi Diri

(t(196) = 6.514, p < .05), Harapan (t(196)

= 2.140, p < .05), dan Optimisme (t(196) =

8.466, p < .05) merupakan prediktor yang

signifikan terhadap Kesiapan untuk

Berubah. Akan tetapi Resiliensi (t(196) = -

0.446, p > .05) bukan merupakan

prediktor yang signifikan terhadap

Kesiapan untuk Berubah.

Evaluasi Intervensi

Evaluasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah evaluasi pelatihan

dari Kirkpatrick dan Kirkpatrick (2007)

yang terdiri dari empat level yaitu level

reaksi, level pembelajaran (pengetahuan,

keahlian, dan sikap), level perilaku, dan

level hasil. Peneliti hanya mengukur level

reaksi dan level pembelajaran terkait

pengetahuan dan sikap. Hasil evaluasi

reaksi menunjukkan bahwa peserta puas

dengan pelaksanaan, alat bantu yang

digunakan, materi yang disampaikan,

fasilitator, dan pelatihan secara

keseluruhan. Evaluasi terhadap

pembelajaran dilakukan dengan

memberikan sebuah tes pre-post yang

berisi soal mengenai materi pelatihan.

Tes tersebut dilakukan sebelum pelatihan

(pre-test), yakni pukul 09.00 WIB dan

setelah pelatihan (post-test), yakni pukul

18.00 di hari yang sama.

Peneliti melakukan analisis statistik

untuk mengetahui signifikansi perbedaan

skor evaluasi pengetahuan sebelum dan

setelah dilakukan pelatihan dengan

metode Wilcoxon Signed Ranks Test. Di

bawah ini adalah hasil analisis statistik

tersebut.

Tabel 4. Hasil Analisis Wilcoxon Signed Ranks Test terhadap Skor Evaluasi Pembelajaran Pelatihan

Pair Mean Standard Deviation

Z .Sig

(2 tailed)

Skor Pre-Test 3.33 0.82 -2.032 0.042

Skor Post-Test 5.33 1.03

Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa

mean skor post-test lebih besar daripada

mean skor pre-test. Selain itu, terlihat

nilai Z = -2.032 dan p < .05 yang

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

signifikan antara skor pre-test dan skor

post-test pada evaluasi pembelajaran.

Berdasarkan hasil analisis tersebut,

Page 40: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

37

terdapat peningkatan skor pengetahuan

Modal Psikologis yang signifikan setelah

diberikan pelatihan Modal Psikologis.

Oleh karena itu, dapat diasumsikan

bahwa proses pembelajaran terkait

pengetahuan pada pelatihan Mikro

Modal Psikologis berjalan efektif

Tabel 5. Hasil Analisis Wilcoxon Signed Ranks Test terhadap Skor Modal Psikologis, Dimensi-dimensi Modal Psikologis, dan Kesiapan untuk Berubah.

Variabel Mean Pre-

Test Mean

Post-Test Z

.Sig (2 tailed)

Modal Psikologis 49.5 56.0 -2.207 0.027 Efikasi Diri 12.0 13.7 -2.401 0.041 Harapan 16.8 19.2 -2.232 0.026 Optimisme 9.2 10.0 -1.289 0.197 Resiliensi 11.5 13.2 -2.060 0.039

Kesiapan untuk Berubah

32.2 37.5 -2.226 0.026

Peneliti melakukan pengukuran

kembali terhadap Modal Psikologis dan

Kesiapan untuk Berubah partisipan untuk

mengetahui efektivitas intervensi yang

dilakukan. Berdasarkan tabel 4 terlihat

Modal Psikologis memiliki nilai Z = -2.207

dan p < .05. Hal tersebut menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan

antara skor Modal Psikologis sebelum dan

setelah dilakukan intervensi. Dengan

demikian, hipotesis alternatif tiga (Ha3)

diterima yang berarti terdapat

peningkatan skor Modal Psikologis yang

signifikan setelah diberikan pelatihan

Modal Psikologis. Lebih lanjut,

berdasarkan tabel 5 terlihat seluruh

dimensi Modal Psikologis mengalami

peningkatan mean. Selain itu, skor Efikasi

Diri (Z = -2.207, p < .05), Harapan (Z = -

2.401, p < .05), dan Resiliensi ( Z = -2.207,

p < .05) mengalami peningkatan yang

signifikan setelah dilakukan pelatihan

Modal Psikologis. Namun, skor

Optimisme (Z = -1.289, p > .05) tidak

mengalami peningkatan yang signifikan

setelah dilakukan pelatihan Modal

Psikologis. Di sisi lain, berdasarkan tabel 5

terlihat Kesiapan untuk Berubah (Z = -

2.226, p < .05) mengalami peningkatan

yang signifikan setelah dilakukan

pelatihan Modal Psikologis. Dengan

demikian, berdasarkan hasil analisis

tersebut dapat disimpulkan bahwa

Pelatihan Mikro Modal Psikologis efektif

untuk meningkatkan Kesiapan untuk

Berubah.

Page 41: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

38

DISKUSI

Semakin banyak peneliti yang

mengakui bahwa karyawan memiliki

peran penting dalam keberhasilan

melaksanakan perubahan organisasi

(Shin, Taylor & Seo, 2012). Namun sampai

saat ini, hanya sedikit penelitian yang

fokus terhadap karyawan (individu)

sebagai determinan keberhasilan

perubahan organisasi (Raffery, Jimmieson

& Amenarkis, 2013; Shin, Taylor & Seo,

2012). Penelitian ini meneliti mengenai

hubungan antara Modal Psikologis

sebagai karakteristik individu dan

Kesiapan untuk Berubah.

Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Modal Psikologis memiliki

hubungan positif yang signifikan dengan

Kesiapan untuk Berubah pada karyawan

di PT X. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Fachruddin dan Mangundjaya

(2012), Mangundjaya (2014) dan Lizar,

Mangundjaya, dan Rachmawan (2014)

yang menyatakan bahwa Modal

Psikologis memiliki hubungan yang positif

dengan kesiapan karyawan untuk

berubah. Selain itu, hasil penelitian

menunjukkan bahwa masa kerja, usia,

dan asal divisi karyawan memiliki

hubungan yang signifikan dengan

kesiapan karyawan untuk berubah. Hal ini

tersebut sesuai dengan pernyataan

Hanpachern, Morgan, dan Griego (1998)

yang mana variabel demografi memiliki

hubungan dengan kesiapan karyawan

untuk berubah. Selanjutnya, berdasarkan

hasil analisis ditemukan bahwa Efikasi

Diri, Optimisme, dan Harapan merupakan

prediktor yang signifikan terhadap

Kesiapan untuk Berubah. Menurut

Wanberg dan Banas (2000) individu

dengan Efikasi Diri memiliki keyakinan

terhadap kemampuannya sehingga ia

dapat bekerja dengan baik meskipun

tuntutan pekerjaan berubah. Dengan

demikian, individu dengan Efikasi Diri

memiliki keterbukaan penerimaan

terhadap perubahan yang lebih baik

(Vakola, Armenakis, & Oreg, 2013;

Wanberg & Banas, 2000). Sedangkan,

Individu yang optimis cenderung memiliki

pandangan yang positif terhadap

perubahan organisasi (Wanberg & Banas,

2000) sehingga menampilkan sikap yang

mandiri, menerima perubahan, dan

terbuka dengan ide-ide baru dan

perkembangan situasi kerja (Luthans,

Youssef & Avolio, 2007). Avey, Wernsing,

dan Luthans (2008) menyatakan bahwa

perubahan organisasi menuntut

karyawan untuk menyusun cara mencapai

tujuan yang baru dan menyusun kembali

strategi untuk mencapai tujuan. Dengan

memiliki harapan, karyawan memiliki

Page 42: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

39

motivasi dan dapat menetapkan cara

mencapai tujuan alternatif saat

menghadapi kendala sehingga dapat

berhasil dalam menghadapi perubahan

perubahan (Avey, Wernsing & Luthans,

2008).

Di sisi lain, Resiliensi bukanlah

prediktor yang signifikan terhadap

Kesiapan untuk Berubah. Peneliti

berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan

karyawan memiliki aset resiliensi yang

rendah dan perubahan PT X dinilai oleh

karyawan bukan untuk kepentingan

mengakomodasi perubahan di tempat

kerja. Luthans, Youssef, dan Avolio (2007)

menyatakan bahwa aset resiliensi yang

terdiri dari dimensi Modal Psikologis

lainnya (Efikasi Diri, Optimisme, dan

Harapan) memengaruhi Resiliensi

individu. Berdasarkan hasil penelitian

diketahui bahwa mayoritas karyawan di

PT X memiliki aset resiliensi (Efikasi Diri,

Optimisme, dan Harapan) yang rendah

sehingga memengaruhi skor Resiliensi.

Selain itu, Wanberg dan Banas (2000)

berpendapat bahwa Resiliensi

berhubungan dengan keinginan karyawan

untuk mengakomodasi perubahan di

tempat kerja namun Resiliensi tidak

berhubungan dengan perubahan yang

bertujuan untuk kepentingan organisasi

atau klien. Hal tersebut sejalan dengan

data kualitatif yang menyatakan bahwa

perubahan organisasi di PT X dirasakan

negatif oleh karyawan dan hanya

berfokus pada klien.

Lebih lanjut, hasil penelitian ini

juga menjawab pernyataan Vakola (2013)

yang mengungkapkan bahwa dibutuhkan

penelitian untuk menjelaskan disposisi

karakteristik individu terhadap Kesiapan

untuk Berubah, khususnya untuk

mengetahui predisposisi karakteristik

individu yang dapat digunakan sebagai

dasar pelatihan. Hal tersebut ditunjukkan

oleh hasil penelitian, yaitu (1) hubungan

yang signifikan antara Modal Psikologis

yang merupakan karakteristik individu

dan Kesiapan untuk Berubah, dan (2)

peningkatan Modal Psikologis dan

Kesiapan untuk Berubah yang signifikan

setelah dilakukan pelatihan Modal

Psikologis.

Hasil analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa dimensi Optimisme

tidak mengalami peningkatan skor yang

signifikan setelah dilakukan pelatihan

Modal Psikologi. Menurut Field (2009)

hasil yang tidak signifikan menunjukkan

bahwa pengaruh tersebut tidak cukup

besar namun bukan berarti tidak ada

perbedaan mean atau tidak ada

hubungan antar variabel. Peneliti

berasumsi bahwa hal tersebut

Page 43: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

40

diakibatkan oleh beberapa faktor.

Pertama, diperlukan waktu untuk terjadi

perubahan sikap melalui pelatihan

(Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2007). Kedua,

mayoritas peserta belum melakukan

rencana tindakan Employee Development

Program sehingga mayoritas karyawan

belum melaksanakan intervensi untuk

meningkatkan optimisme mereka.

Terakhir, Modal Psikologis khususnya

dimensi Optimisme dapat dipengaruhi

oleh faktor-faktor eksternal dari individu

seperti karyawan lainnya ataupun

organisasi (Gaddis & Helton-Fauth, dalam

Raffery, Jimmieson & Amenarkis, 2013;

Hodges, 2010; Luthans, Youssef & Avolio,

2007). Peneliti berasumsi bahwa

lingkungan yang kurang optimis

memengaruhi skor Optimisme dari

partisipan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat tiga kesimpulan

berdasarkan hasil analisis yang telah

dilakukan, yaitu (1) terdapat hubungan

yang signifikan antara Modal Psikologis

dan Kesiapan untuk Berubah pada

karyawan di PT X, (2) terdapat

peningkatan skor pengetahuan mengenai

Modal Psikologis yang signifikan setelah

dilakukan pelatihan Modal Psikologis, dan

(3) peningkatan skor Modal Psikologis

yang signifikan setelah dilakukan pelatihan

Modal Psikologis.

Berdasarkan uraian di atas, maka

peneliti memberikan beberapa saran

metodologis yang dapat dilakukan untuk

memperbaiki penelitian selanjutnya.

Pertama, penelitian berikutnya

disarankan untuk memperhatikan Ceiling

Effect. Hodges (2010) menyatakan bahwa

skor yang tinggi pada pre-test

menunjukkan kemungkinan Ceiling Effect

yang mana memberikan keterbatasan

dalam signifikansi perbedaan di dalam

kelompok. Kedua, seluruh peserta

intervensi harus memenuhi karakteristik

penelitian yaitu memiliki skor Kesiapan

untuk Berubah dan Modal Psikologis yang

rendah. Ketiga, desain penelitian

berikutnya dapat berbentuk quasi

eksperimen sehingga terdapat kelompok

kontrol untuk dapat membandingkan

mean dari kelompok yang diberikan

intervensi. Dengan demikian, dapat

diketahui pengaruh pelatihan Mikro

Modal Psikologis terhadap peningkatan

Modal Psikologis dan Kesiapan untuk

Berubah. Terakhir, evaluasi level

pembelajaran terkait sikap harus kembali

dilakukan dalam jangka waktu yang lebih

lama. Menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick

(2007) evaluasi level pembelajaran dapat

dilakukan sekurang-kurangnya 2 hingga 3

Page 44: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

41

bulan atau 6 bulan sejak pelatihan

dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA Armenakis, A. A., Harris, S. G., &

Mossholder, K. W. (1993). Creating readiness for organizational change. Human relations, 46(6), 681-703.

Avey, J. B., Luthans, F., & Mhatre, K. H.

(2008). A call for longitudinal research in positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 29(5), 705-711.

Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans F., &

Mhatre, K. H. (2011). Meta-analysis of the impact of positive psychological capital on employee attitudes, behaviors, and performance. Human Resource Development Quarterly, 22, 127-152.

Avey, J. B., Wernsing, T. S., & Luthans, F.

(2008). Can positive employees help positive organizational change? Impact of psychological capital and emotions on relevant attitudes and behaviors. The Journal of Applied Behavioral Science, 44 (1), 48–70.

Beaudin, B,P., & William, R. E. (1990).

Improving human performance: Applying adult learning principles to enhance meeting. Performance & Instruction, 20 (9), 7-11.

Bouckenooghe, D., & Devos, G. (2007).

The role of process, context and individual characteristics in explaining readiness to change: a multilevel analysis (No. 2007-12). Vlerick Leuven Gent Management School.

Cabrey, T. S., & Haughey, A. (2014). Enabling organizational change through strategic initiatives. Project Management Institute, Inc.

Coghlan. D., & Brannick. T. (2005). Doing

action research in your own organization. London: Sage Publication Ltd.

Cohen, R. J., & Swerdlik, M. (2009).

Psychological testing and assessment: An introduction to tests and measurement (7th Edition). United States of America: McGraw-Hill Primis.

Cummings, T. & Worley, C. (2015).

Organization development and change (10th Edition). United States of America: South Western Engage Learning.

Devos, G., Buelens, M., & Bouckenooghe,

D. (2007). Contribution of content, context, and process to understanding openness to organizational change: Two experimental simulation studies. The Journal of Social Psychology, 147 (6), 607-629.

Eby, L. T., Adams, D. M., Russel, J. E. A., &

Gaby, S. H. (2000) Perceptions of organizational readiness for change: Factor related to employees’ reaction to the implementation of team-based selling. Human Relations, 53 (3), 419-442.

Fachruddin, D. F., & Mangundjaya, W. H.

(2012). The impact of workplace well-being and psychological capital, to the individual readiness for changes. Asian Psychological Association. ISBN 978-602-17678-0-1.

Page 45: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

42

Field, A. (2009). Discovering statistic using

SPSS (3rd Edition). London: SAGE Publications Ltd.

Fugate, M. (2013). Capturing the positive

experience of change: antecedents, processes and consequences. The Psychology of Organizational Change, 15-40. New York: Cambridge University Press.

Gittell, J. H., Cameron, K., Lim, S., & Rivas,

V. (2006). Relationships, layoffs, and organizational resilience: Airline industry responses to September 11. The Journal of Applied Behavioral Science,42, 300-329.

Gravetter, F. J., & Forzano, L. (2012).

Research Methods for the Behavioral Sciences (4th Edition). Canada: Wadsworth Pub.

Herold, D. M., Fedor, D. B., & Caldwell, S.

D. (2007). Beyond change management: a multilevel investigation of contextual and personal influences on employees' commitment to change. Journal of Applied Psychology, 92(4), 942.

Hanpachern, C. (1997). The Extension of

the theory of margin: A framework for assessing readiness for change. Disertasi. Colorado State University.

Hanpachern. C., Morgan. G.A. & Griego.

O.V. (1998). An Extension of Theory of Margin: A framework for assessing readiness for change. Human Resources Development Quarterly, 9, No. 40.

Hodges, T. D. (2010). An experimental

study of the impact of psychological capital on performance,

engagement, and the contagion effect. Dissertations and Theses from the College of Business Administration, 7.

Kirkpatrick, D.L., & Kirkpatrick, J. D. (2007).

Implementing the four levels: A practical guide for effective evaluation of training program. San Francisco, California: Berrett-Koehler Publishers, Inc.

Kumar, R. (2005). Research methodology:

A step-by-step guide for beginners (2nd Edition). California: Sage Publication Inc.

Lizar. A. A., Mangundjaya. W. L. H., &

Rachmawan. A (2014). The role of psychological capital and psychological empowerment on individual readiness for changes. Proceeding of the Australian Academy of Business and Social Science Conference.

Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J.,

Norman, S. M., & Combs, G. M. (2006). Psychological capital development: toward a micro‐intervention. Journal of Organizational Behavior, 27(3), 387-393.

Luthans, F., Avey, J. B., Smith, R. C., & Li,

W. (2008). More evidence on the value of Chinese workers psychological capital: A potentially unlimited competitive resource?. The International Journal of Human Resource Management, 19 (5), 818-827.

Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J.

(2007). Psychological capital: Developing the human competitive

Page 46: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

43

edge. New York: Oxford University Press, Inc.

Mangundjaya, W. L. H. (2014). Is

Workplace Well-Being important to Individual Readiness for Change? Proceedings, The 5th International Asian Association of Indigenous and Cross Cultural Psychology.

McKay, K., Kuntz, J. R., & Naswall, K.

(2013). The effect of affective commitment, communication and participation on resistance to change: the role of change readiness. New Zealand Journal of Psychology, 42(2), 29-40.

Meaney, M., & Pung, C. (2008). McKinsey

global results: Creating organizational transformations. McKinsey Quarterly, August: 1-7.

Neves, P. (2009). Readiness for change:

Contributions for employee's level of individual change and turnover intentions. Journal of Change Management, 9(2), 215-231.

Parahyanti, E. (2010). Dignifying condition

and employee belief as predictors of employee readiness for organizational change. Paper presented at Asian Psychology Conference. Darwin, Australia.

Rafferty, A. E., Jimmieson, N. L., &

Amenarkis, A. A. (2013). Change readiness: A multilevel review. Journal of Management, 39 (1), 110-135.

Schneider B., Brief A.P. and Guzzo, R.A.

(1996). Creating a climate and

culture forsustainable organizational change. Organizational Dynamics, 24, 7-19.

Shin, J., Taylor, M. S., & Seo, M. G. (2012).

Resources for change: The relationships of organizational inducements and psychological resilience to employees' attitudes and behaviors toward organizational change. Academy of Management Journal, 55(3), 72 7-748.

Swanson, R. A., & Holton III, E. F. (2009).

Research in organizations: Foundations and methods of inquiry. California, United States of America: Berret-Koehler Publisher, Inc.

Vakola, M. (2013). Multilevel readiness to

organizational change: a conceptual approach. Journal of Change Management, 13(1), 96-109.

Vakola, M., Armenakis, A., & Oreg, S.

(2013). Reaction to organizational change from an individual differences perspective: a review of empirical research. The Psychology of Organizational Change, 95-122. New York: Cambridge University Press.

Wanberg, C. R., & Banas, J. T. (2000).

Predictors and Outcomes of Openness to Changes in a Reorganizing Workplace. Journal of Applied Pscyhology, 85 (1), 132-142.

Wittenstein, R. D. (2008). Factors

influencing individual readiness for change in a health care environment. ProQuest.

Page 47: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

44

STUDI KORELASIONAL ANTARA ORIENTASI TUJUAN PERFORMA DAN KECEMASAN TERHADAP PERPUSTAKAAN PADA MAHASISWA TAHUN

PERTAMA

Dwieta Puspa Damayanti, Anita Listiara

Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro [email protected]; [email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji korelasi antara orientasi tujuan performa dan kecemasan terhadap perpustakaan. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa tahun pertama dari suatu universitas negeri di Semarang, Jawa Tengah. Partisipan penelitian sebanyak 259 mahasiswa diperoleh dengan menggunakan cluster random sampling. Pengumpulan data menggunakan Skala Orientasi Tujuan Performa yang terdiri dari 27 aitem (indeks daya beda bergerak dari 0.332 hingga 0.638, dengan α= 0.887) dan Skala Kecemasan Terhadap Perpustakaan terdiri dari 33 aitem (indeks daya beda bergerak dari 0.308 hingga 0.546, dengan α= 0.887). Analisis data menggunakan teknik regresi sederhana. Hasilnya menunjukkan ada korelasi positif antara kedua variabel tersebut (rxy= 0.422; p<0,05). Orientasi tujuan performa memberikan kontribusi efektif sebesar 17.8% pada variasi kecemasan terhadap perpustakaan. Kemanfaatan dari penelitian ini selain merupakan penelitian awal tentang kecemasan terhadap perpustakaan, juga menunjukkan bahwa orientasi tujuan performa menjadi salah satu determinan yang penting bagi kecemasan partisipan terhadap perpustakaan.

Kata kunci: orientasi tujuan performa, kecemasan terhadap perpustakaan, mahasiswa tahun pertama

Abstract

The aim of this research is to examine the relationship between performance goal orientation and library anxiety. The participants of this study were 259 first- year undergraduate students from one state university in Semarang, Central Java. Participants included in this research were instructed to fill two questionnaires, that are Library Anxiety Scale (N = 33 items α=0,887) which based on Bostick’s aspects of library anxiety and Performance Goal-Orientation Scale (N = 27 items; α=0,887) which consisted performance goal-orientation characteristics from Pintrich (in Alderman, 2004). The result of this research demonstrates evidence that there is a positive correlation between performance goal orientation and library anxiety (rxy=0,422; p<0,05). means hypothesis accepted which is in first-year undergraduate students. Performance goal orientation effectively contributes 17,8% on library anxiety.

Keywords: Performance goal orientation, library anxiety, first-year undergraduate students.

Page 48: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

45

PENDAHULUAN

Nevid, Greene, dan Rathus (2005)

mengemukakan bahwa kecemasan

merupakan suatu keadaan emosional

yang tidak menyenangkan. Perasaan tidak

menyenangkan ini umumnya

menimbulkan gejala-gejala fisiologis,

gejala perilaku, dan gejala-gejala kognitif.

Perasaan-perasaan tertekan dan tidak

berdaya karena merasa cemas akan

muncul apabila individu tidak siap

menghadapi ancaman. Kecemasan dapat

disebabkan oleh berbagai objek di sekitar

individu, contohnya perpustakaan.

Ketidakmampuan dalam memanfaatkan

layanan perpustakaan akan mengikis

kepercayaan diri mahasiswa dan akan

memunculkan kecemasan ketika mereka

berada di perpustakaan (Jiao &

Onwuegbuzie, 1999b).

Perpustakaan perguruan tinggi

bertujuan untuk memenuhi keperluan

pengguna yang berada di lingkungan

perguruan tinggi, menyediakan bahan

rujukan atau referensi, menyediakan

ruang belajar bagi para pengguna

perpustakaan, menyediakan jasa

peminjaman bahan rujukan yang tepat

guna, dan menyediakan jasa informasi

aktif (Alwi, dkk, 2008). Sebagian

mahasiswa mengalami masalah dalam

memanfaatkan fasilitas perpustakaan.

Kondisi tersebut disebabkan karena

mereka tidak memiliki pengalaman atau

tidak terbiasa dalam menggunakan dan

menemukan sumber-sumber serta

layanan yang disediakan perpustakaan

(Chartes & Grimes, 2000). Menurut

penelitian Iskandiningsih dan Khusyairi

(2003) di UPT Perpustakaan suatu

universitas negeri di Surabaya, terdapat

sekitar 63.34 % mahasiswa yang

mengakui bahwa perpustakaan masih

dapat memenuhi 41-80% kebutuhan akan

informasi yang mereka butuhkan.

Mellon (1986) adalah orang yang

pertama kali mencetuskan konsep

kecemasan terhadap perpustakaan. Ia

menjelaskan bahwa dengan mengetahui

kecemasan terhadap perpustakaan dan

latar belakangnya, maka perencanaan

yang tepat untuk meniadakan kecemasan

tersebut dapat dilakukan. Penelitian

mengenai kecemasan terhadap

perpustakaan telah banyak dilakukan di

berbagai negara lain, tetapi masih jarang

dilakukan di Indonesia (Susantri & Anna,

2008). Jiao & Onwuegbuzie (dalam

Cleveland, 2001) mengemukakan bahwa

mahasiswa dengan kecemasan yang

tinggi terhadap perpustakaan akan

kehilangan ketertarikan untuk datang ke

perpustakaan sebanyak 2,5 kali lipat

dibanding mahasiswa lain. Di Iran telah

Page 49: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

46

dilakukan penelitian yang menemukan

bahwa 79% mahasiswa di sana

mengalami kecemasan terhadap

perpustakaan (Erfanmanesh, 2011).

Penelitian Lu & Adkins (2012)

membuktikan bahwa mahasiswa

pascasarjana di Universitas Missouri,

Amerika Serikat, juga mengalami

kecemasan terhadap perpustakaan.

Hambatan afektif dan terhadap staf

perpustakaan menjadi dua hambatan

terbesar yang mempengaruhi kecemasan

terhadap perpustakaan.

Mahasiswa dengan kecemasan

yang tinggi terhadap perpustakaan lebih

banyak melakukan kesalahan pada tugas-

tugas mereka dibandingkan dengan

mahasiswa dengan kecemasan yang

rendah (Jiao, Onwuegbuzie & Waytowich,

2008). Selain itu kecemasan terhadap

perpustakaan akan menjadi beban

psikologis bagi mahasiswa yang akan

berdampak pada ketidakoptimalan dalam

menggunakan sistem, pelayanan, dan

sumber pustaka di perpustakaan (Anwar,

Kandari & Al-Qallaf, 2004)

Selama dua dekade terakhir,

psikolog telah menggunakan teori Goal

Orientation (orientasi tujuan) sebagai

dasar untuk menguji hubungan orientasi

tujuan dengan kesuksesan siswa

(Midgley, 2002). Hasil penelitian

Heffernan, Hiromori, Matsumoto &

Nakayama (2012) mengatakan bahwa

tipe orientasi tujuan siswa itu

menentukan kepercayaan, kecemasan,

dan perilaku akademik mereka. Salah satu

orientasi tujuan adalah orientasi tujuan

performa (Midgley, 2002). Orientasi

tujuan performa berfokus pada

mendemonstrasikan kompetensi atau

kemampuannya dan bagaimana

kemampuan tersebut dinilai oleh orang

lain, misalnya dengan melampaui standar

performa normatif, berusaha menjadi

yang lebih baik dari orang lain,

membandingkan diri dengan orang lain,

menghindari penilaian yang kurang dari

orang lain, tidak ingin terlihat bodoh, dan

mencari perhatian orang lain atas

performa yang baik (Schunk, Pintrich, &

Meece, 2008). Penelitian yang dilakukan

Pintrich, Zusho, Schiefele, & Pekrun

(dalam Alderman, 2004) mendapatkan

hasil bahwa individu dengan orientasi

tujuan performa memiliki efikasi diri yang

rendah.

Berdasarkan penelitian Mellon

(1986) dengan menggunakan pendekatan

kualitatif, didapatkan bahwa salah satu

alasan yang mendasari mahasiswa

merasa cemas terhadap perpustakaan

adalah perasaan malu karena merasa

tidak memiliki kemampuan yang lebih

Page 50: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

47

baik dibandingkan teman-temannya. Jiao

& Onwuegbuzie (2001) dalam

penelitiannya menemukan bahwa

kebiasaan belajar yang buruk memiliki

efek yang besar akan munculnya

kecemasan terhadap perpustakaan.

Berdasarkan temuan-temuan di

atas dan untuk menambah referensi

penelitian mengenai kecemasan terhadap

perpustakaan di Indonesia, maka

penelitian ini bertujuan untuk menguji

secara empiris kaitan antara orientasi

tujuan performa dan kecemasan

terhadap perpustakaan, khususnya pada

mahasiswa tahun pertama. Kondisi

tersebut didasarkan pada hasil penelitian

dari Heffernan, Hiromori, Matsumoto, &

Nakayama (2012) yang melibatkan

mahasiswa Jepang. Hasilnya

menunjukkan bahwa kecemasan yang

lebih tinggi dirasakan oleh mahasiswa

tingkat pertama dibandingkan mahasiswa

tahun kedua. Penelitian Roebken (2007)

dengan melibatkan mahasiswa tahun

pertama di California juga mendapatkan

hasil bahwa 43% partisipannya berada

pada kelompok yang memiliki orientasi

tujuan performa.

TINJAUAN TEORI

Kecemasan terhadap Perpustakaan

Mellon (1986) dalam penelitiannya

menemukan bahwa mahasiswa

mengalami perasaan takut dan cemas

ketika mereka diharuskan memanfaatkan

perpustakaan. Individu dengan

kecemasan terhadap perpustakaan

melihat kemampuan mereka untuk

menggunakan perpustakaan tidak lebih

memadai dibandingkan kemampuan

orang lain, mereka merasa tidak tahu

bagaimana memulai, dan merasa kondisi-

kondisi tersebut adalah memalukan

(Mellon, 1986). Berdasarkan

penelitiannya Jiao, Onwuegbuzie, &

Lichtenstein (1996) mengartikan

kecemasan terhadap perpustakaan

sebagai perasaan atau emosi tidak

nyaman saat berada dalam perpustakaan

yang memiliki ciri kognitif, afektif,

psikologis, dan perilaku. Dalam penelitian

berikutnya, Jiao, Onwuegbuzie, & Bostick

(2004) menemukan karakteristik bahwa

siswa yang mengalami kecemasan

terhadap perpustakaan biasanya

merasakan ketidaknyamanan secara

emosional dan fisik, ketika menghadapi

tugas yang berkaitan dengan

perpustakaan, mengembalikan buku

perpustakaan, atau hal yang lebih rumit

seperti misalnya harus melakukan

Page 51: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

48

pencarian referensi yang lebih mendalam

di perpustakaan. Kecemasan terhadap

perpustakaan dapat dirasakan meningkat

dari rasa tidak percaya diri untuk

melakukan penelitian, jarang

mengunjungi perpustakaan, dan

ketidakmampuan untuk melihat relevansi

antara perpustakaan dengan

ketertarikannya maupun jalur karir (Jiao

dkk, 2004).

Berbeda dari Mellon, Bostick

(1992) adalah orang yang pertama kali

meneliti kecemasan terhadap

perpustakaan dengan pendekatan

kuantitatif. Bostick (1992) mendefinisikan

kecemasan terhadap perpustakaan

sebagai perasaan negatif ketika

menggunakan perpustakaan untuk

kegiatan akademik. Ia membuat Library

Anxiety Scale (Skala Kecemasan terhadap

Perpustakaan) yang terdiri dari 43 aitem

berdasarkan lima dimensi kecemasan

terhadap perpustakaan yaitu hambatan

staf, hambatan afektif, kenyamanan

perpustakaan, pengetahuan tentang

perpustakaan, dan hambatan mekanis.

Orientasi Tujuan Performa

Individu dengan orientasi tujuan

performa yang tinggi percaya bahwa

kemampuan mereka adalah konstan atau

tidak berubah, mengerjakan tugas

dengan keinginan supaya terlihat baik,

cenderung menghindari tugas yang

menantang, dan menolak untuk

menghadapi rintangan (Colquitt &

Simmering, 1998). Selain itu mereka juga

melihat kesalahan sebagai indikasi dari

kurangnya kemampuan (Gonzales,

Dreenwood, & Hsu, 2001). Ames dkk

(dalam Alderman, 2004) menjelaskan

karakteristik individu dengan orientasi

tujuan performa sebagai individu yang

berpikir bahwa pembelajaran bukanlah

tujuan, mereka terfokus untuk terlihat

pintar, tetapi tidak tangguh dalam

menghadapi kesulitan, dan menghindari

mengambil risiko.

Stipek (dalam Woolfolk, 2004)

memberikan daftar perilaku siswa yang

memiliki orientasi tujuan performa yaitu

menyalin makalah teman atau mencari

jalan pintas untuk menyelesaikan tugas,

mencari perhatian untuk mendapatkan

penilaian yang baik, dan hanya bekerja

keras pada tugas yang memiliki nilai tinggi.

Mereka juga mudah kecewa dan

menyembunyikan nilai jelek,

membandingkan nilai dengan teman

sekelas, memilih tugas yang

memungkinkan hasil yang bagus, tidak

nyaman dengan tugas yang tidak jelas

kriteria evaluasinya dan bertanya berulang

kali pada guru mengenai hal tersebut.

Page 52: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

49

Schunk dkk (2008) memperjelas

orientasi tujuan performa menjadi dua

fokus. Pertama, approach-focus yaitu

individu berorientasi untuk menjadi

superior, menjadi yang terbaik, menjadi

yang paling pintar, terbaik dalam tugas

dibandingkan orang lain, menggunakan

standar normatif seperti mendapat nilai

terbaik, jadi juara kelas. Kedua, avoidance-

focus yaitu individu terkonsentrasi untuk

menghindari inferioritas, berusaha keras

supaya tidak terlihat bodoh jika

dibandingkan dengan orang lain,

mengunakan standar normatif seperti

misalnya tidak menjadi yang terburuk di

kelas. Penelitian Wahyuningtias (2013)

mendapatkan hasil bahwa siswa dengan

orientasi tujuan performa memiliki tingkat

motivasi berprestasi yang lebih rendah.

Penelitian di atas seakan

menggarisbawahi pendapat Meece,

Blumenfeld, & Hoyle (1988) bahwa

kebanyakan peneliti telah melaporkan

bahwa orientasi tujuan performa

berhubungan negatif dengan penggunaan

strategi-strategi kognitif yang lebih tinggi.

Salah satu alasan yang dikemukakan

oleh Nevid dkk (2005) bahwa yang

menjadi faktor penyebab munculnya

kecemasan adalah faktor kognitif seperti

prediksi berlebihan tentang ketakutan,

keyakinan self-defeating atau irasional,

serta efikasi diri yang rendah. Individu

dengan orientasi tujuan performa yang

tinggi akan mudah berpikir bahwa orang

lain selalu memandang mereka tidak

kompeten dalam menggunakan

perpustakaan. Mereka juga tidak berani

mengambil risiko untuk bertanya kepada

staf perpustakaan (Van Kampen, 2004).

Individu yang merasa cemas dalam

menyikapi kondisi-kondisi yang berkaitan

dengan perpustakaan kemungkinan besar

akan enggan untuk memanfaatkan

perpustakaan sebagai sumber informasi

yang dapat membantu kesuksesan

akademik mereka. Anwar dkk (2004)

menegaskan bahwa kecemasan terhadap

perpustakaan merupakan hambatan

psikologis yang akan mengganggu

kesuksesan akademik seseorang.

Berdasarkan pemaparan di atas,

maka hipotesis yang akan diuji adalah ada

korelasi positif antara orientasi tujuan

performa dan kecemasan terhadap

perpustakaan.

METODE PENELITIAN

Partisipan

Populasi dalam penelitian ini

adalah mahasiswa tingkat pertama dari

suatu universitas negeri di Kota

Semarang, dengan status aktif mengikuti

kegiatan belajar mengajar. Teknik

Page 53: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

50

pengambilan sampel yang digunakan

adalah cluster random sampling.

Partisipan yang terlibat sejumlah 259

orang (rerata usia = 18.30 ) yang berasal

dari empat program studi yaitu Teknik

Sipil, Hukum, Keuangan Daerah, dan

Antropologi Sosial.

Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan

dua buah skala psikologi yang disusun

oleh peneliti. Masing-masing skala

tersebut yaitu Skala Kecemasan terhadap

Perpustakaan (N aitem = 33; α = 0.887)

menggunakan aspek-aspek yang

dikemukakan oleh Bostick (dalam

Cleveland, 2001). Sedangkan Skala

Orientasi Tujuan Performa (N aitem = 27;

α = 0.887) disusun berdasarkan

karakteristik orientasi tujuan performa

yang dikemukakan oleh Pintrich (dalam

Alderman, 2004) yang terdiri atas

performance approaching dan

performance avoiding. Kedua skala

menggunakan modifikasi bentuk skala

Likert, yaitu dengan empat alternatif

respon yang bergerak dari Sangat Sesuai

(SS) hingga Sangat Tidak Sesuai (STS).

Untuk skor aitem favorable bergerak dari

skor empat hingga skor satu. Adapun skor

untuk aitem unfavorable berlaku

sebaliknya, yaitu bergerak dari skor satu

hingga skor empat. Pengisian skala atau

kuesioner tersebut dilakukan secara

individual.

HASIL PENELITIAN

Analisis data untuk menguji

hipotesis dilakukan dengan menggunakan

teknik analisis regresi sederhana dalam

program Statistical Package for Social

Science (SPSS) versi 21.0. Hasil analisis

data menunjukkan adanya rxy = 0,422

(p<0,05), artinya ada korelasi positif

antara orientasi tujuan performa dan

kecemasan terhadap perpustakaan, atau

makin tinggi orientasi tujuan performa

individu cenderung akan diikuti

kecemasan terhadap perpustakaan yang

makin tinggi pula. Persamaan garis regresi

yang diketahui adalah y = 49,993 +

0,488x. Adapun kontribusi efektif dari

orientasi tujuan performa adalah sebesar

17,8% yang akan mempengaruhi variasi

kecemasan terhadap perpustakaan

partisipan.

DISKUSI

Berdasarkan temuan dalam

penelitian ini diketahui bahwa orientasi

tujuan performa memiliki korelasi positif

dengan kecemasan terhadap

perpustakaan. Artinya makin tinggi

Page 54: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

51

orientasi tujuan performa individu

cenderung akan disertai oleh makin

tingginya kecemasan individu tersebut

terhadap hal-hal atau kondisi yang terkait

dengan perpustakaan.Hasil penelitian ini

mendukung riset Mellon (1986) dan Van

Kampen (2004). Hasil penelitian ini juga

mendukung temuan sebelumnya dari

Meece dkk (1988) yaitu bahwa individu

dengan orientasi tujuan performa

cenderung menunjukkan perilaku-

perilaku yang mencirikan penggunaan

strategi-strategi kognitif yang berkorelasi

negatif dengan orientasi tujuan performa

itu sendiri.

Partisipan yang mengalami

kecemasan tinggi terhadap perpustakaan

pada umumnya merupakan individu yang

enggan mengambil risiko untuk memulai

interaksi dengan staf atau petugas

perpustakaan maupun untuk mencari

buku-buku atau referensi yang

dibutuhkan. Mereka merasa malu jika

hambatan tersebut diketahui oleh orang

lain. Pintrich dkk (dalam Alderman 2004)

menyampaikan bahwa individu dengan

orientasi tujuan performa memiliki efikasi

diri yang rendah, locus of control yang

rendah (Riyadiningsih, 2001) dan regulasi

diri yang rendah pula (Susetyo & Kumara,

2012). Individu dengan orientasi tujuan

performa tinggi akan lebih memikirkan

bagaimana penilaian orang lain terhadap

hasil belajarnya dan lebih memilih untuk

mencontek atau melakukan plagiasi

terhadap karya orang lain sebagai jalan

pintas dalam mencapai nilai atau

memenuhi tuntutan tugas akademiknya.

Ames (1992) menjelaskan bahwa

individu dengan orientasi tujuan

performa yang kuat akan lebih

memikirkan hasil belajarnya dibandingkan

dengan proses belajar yang harus

dijalaninya. Individu tersebut akan

menghindari belajar dan membuat tugas

kecuali tugas tersebut akan berpengaruh

baik bagi citra atau kesan dirinya

dihadapan orang lain. Kemampuan

regulasi diri yang rendah berarti

kemampuan yang rendah pula untuk

menyusun rencana belajar atau

menyiapkan strategi untuk

menyelesaikan tugas. Kondisi tersebut

pada akhirnya mendorong individu untuk

mudah memutuskan mengakui tugas

orang lain sebagai tugasnya, atau mencari

jalan pintas untuk menyelesaikan tugas.

Individu yang memiliki efikasi diri

yang rendah cenderung memiliki

komitmen rendah pada penyelesaian

tugas dan tidak meyakini kemampuan

dirinya sehingga tidak memberikan usaha

yang maksimal untuk mencapai target

yang lebih baik. Mereka akan

Page 55: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

52

mengerjakan tugas dengan tujuan untuk

menunjukkan pada orang lain bahwa

mereka juga dapat melakukannya dengan

baik, tetapi mereka cenderung

menghindari tugas yang menantang dan

menolak untuk menghadapi rintangan,

serta memilih-milih tugas (Colquitt &

Simmering, 1998). Kondisi tersebut

kemungkinan besar mendorong individu

untuk menghindari kunjungan ke

perpustakaan maupun berinteraksi

dengan staf perpustakaan. Bagi individu

dengan orientasi tujuan performa yang

tinggi, keinginan untuk menunjukkan

kesan baik di mata orang lain cenderung

memunculkan keengganan untuk

meminta tolong atau bertanya pada staf

perpustakaan. Dalam persepsi mereka

perilaku bertanya dan meminta tolong

kepada orang lain adalah sama saja

dengan menunjukkan kelemahan mereka.

Konsekuensi dari pemikiran negatif

tersebut adalah tendensi untuk

menghindari perpustakaan dan

meningkatnya rasa kurang nyaman jika

harus menyelesaikan tugas dengan

memanfaatkan fasilitas maupun layanan

perpustakaan. Kondisi tersebut sesuai

dengan pendapat Ames dkk (dalam

Alderman, 2004) yaitu bahwa individu

dengan orientasi tujuan performa adalah

individu yang ingin terlihat pintar, tetapi

tidak tangguh dalam menghadapi

kesulitan, dan menghindari mengambil

risiko.

Pada umumnya individu dengan

orientasi tujuan performa tidak meyakini

kemampuan dirinya, memberikan usaha

minimal dalam penyelesaian tugas,

memiliki perilaku belajar yang buruk, dan

cemas akan penilaian orang lain terhadap

dirinya. Hasil penelitian ini juga sesuai

dengan temuan dalam penelitian

Wahyuningtias (2013) bahwa siswa

dengan orientasi tujuan performa

ternyata memiliki motivasi berprestasi

yang lebih rendah. Hal-hal tersebut akan

membuat individu menjadi kurang

antusias dalam belajar. Dalam upayanya

menggunakan cara yang cepat untuk

mendapatkan hasil atau nilai yang

mendatangkan kesan baik tentang

dirinya, maka individu dengan orientasi

tujuan performa yang tinggi akan makin

merasa kurang nyaman jika harus

menggunakan waktu yang cukup lama

untuk menyelesaikan tugas dengan

mencari referensi di perpustakaan.

Dengan jarang memanfaatkan

perpustakaan, maka individu akan makin

kurang familiar dengan penataan buku-

buku atau referensi dan merasa kurang

nyaman untuk bertanya maupun

Page 56: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

53

berinteraksi dengan staf perpustakaan itu

sendiri.

Orientasi tujuan performa

menyumbang 17,8% terhadap perubahan

kecemasan terhadap perpustakaan.

Terdapat faktor selain orientasi tujuan

performa yang dapat mempengaruhi

kecemasan terhadap perpustakaan yang

tidak dibahas dalam penelitian ini, yaitu

usia, jenis kelamin, tahun ajaran, bahasa

asal, nilai rata-rata, dan status pekerjaan

(Jiao dkk, 1996), gaya belajar (Jiao &

Onwuegbuzie, 1999a), persepsi diri (Jiao

& Onwuegbuzie, 1999b), dan ras (Jiao

dkk, 2004).

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan, maka dapat disimpulkan

beberapa hal berikut ini, yaitu:

1. Terdapat korelasi positif antara

orientasi tujuan performa dan

kecemasan terhadap perpustakaan,

khususnya pada partisipan dalam

penelitian ini yang merupakan

mahasiswa tahun pertama.

2. Mengingat kontribusi efektif dari

orientasi tujuan performa sebesar

17,8 % terhadap variasi kecemasan

terhadap perpustakaan, maka makin

menegaskan bahwa orientasi tujuan

performa bukan merupakan satu-

satunya determinan bagi kecemasan

terhadap perpustakaan.

3. Adanya keterbatasan dalam

penelitian ini yaitu melibatkan

perpustakaan dari berbagai program

studi yang terpilih dalam pengambilan

sampel. Kondisi ini memungkinkan

adanya persepsi yang beragam

mengenai layanan dan keadaan

perpustakaan masing-masing.

Saran yang relevan, dengan

demikian, lebih ditujukan pada peneliti

berikutnya yang ingin mencermati lebih

lanjut mengenai konstruk kecemasan

terhadap perpustakaan. Ada baiknya jika

dapat memanfaatkan satu perpustakaan

yang menjadi fokus penelitian sehingga

variasi persepsi partisipan terhadap

perpustakaan yang dimaksudkan dapat

lebih terkontrol, terutama menyangkut

penataan lemari, desain ruang, dan

layanan petugas perpustakaan itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA Alderman, M. K. (2004). Motivation for

Achievement: Possibilities for teaching & learning (second edition). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.

Alwi, H., Sugono, D., Adiwimarta, S. S.,

Lapoliwa, H., Ruskhan, A.G., ....., & Supadi, H. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Page 57: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

54

Ames, C. (1992). Classrooms: Goals,

structures, and student motivation. Journal of Educational Psychology, 84, 261-271.

Anwar, M. A., Kandari, N. M., & Al-Qallaf,

C.L. (2004). Use of Bostick’s library anxiety scale on undergraduate biological science students of Kuwait University. Library and Information Science Research, 26, 266-283.

Bostick, S. l. (1992). The development and

validation of the library anxiety scale. (Disertasi). Michigan: Wayne State University Detroit.

Chartes, M. F., & Grimes, P. W. (2000).

Library use and undergraduates economics student. College Student Journal, 34, 557-569.

Cleveland, A. M. (2001). Reducing library

anxiety in first-year students : computer-assisted instruction vs bibliographic instruction. (Tesis). North Carolina: University of North Carolina.

Colquitt, J. A., & Simmering, M. J. (1998).

Conscientiousness, goal orientation, and motivation to learn during the learning process: A longitudinal study. Journal of Applied Psychology, 83, 654-665.

Erfanmanesh, M. (2011). Use of

multidimensional library anxiety scale on education and psychology students in iran. Library Philosophy & Practice, 9 (1), 1-10. . Diunduh dari http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1594&context=libphilprac

Gonzales, A., Dreenwood, G., & Hsu, J. W. (2001). Undergraduates students goal orientation and their relationship to perceived parenting styles. College Student Journal, 35, 182-193.

Heffernan, N., Hiromori, T., Matsumoto,

H., & Nakayama, A. (2012). The influence of goal orientation, past language studies, overseas experiences, and gender differences on japanese efl learners’ beliefs, anxiety, and behaviors. Journal of Applied Language Studies, 6, 19-39.

Iskandiningsih, M. I., & Khusyairi, J.A.

(2003). Kebutuhan informasi ilmiah mahasiswa: Sebuah studi kasus di UPT Perpustakaan Universitas Airlangga. Laporan penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.

Jiao, Q.G, Onwuegbuzie, A.J., &

Lichtenstein, A. (1996). Library anxiety: Characteristic of at-risk college student. Library and Information Science Research, 18, 151-163.

Jiao, Q.G., & Onwuegbuzie, A. J. (1999a).

Self-perception and library anxiety: An empirical study. Library Review, 48, 140-147. doi: 10.1108/00242539910270312.

Jiao, Q.G., & Onwuegbuzie, A. J. (1999b).

Is library anxiety important? Library Review, 48, 278-282. doi: 10.1108/00242539910283732.

Jiao, Q.G., & Onwuegbuzie, A. J. (2001).

Library anxiety and characteristic strengths and weaknesses of graduate students’ study habits.

Page 58: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

55

Library Review, 50, 73-80. doi: 10.1108/00242530110381118.

.Jiao, Q.G., Onwuegbuzie, A. J., & Bostick,

S. L. (2004). Library Anxiety: Theory, research, application. Maryland: Scarecrow Press Inc.

Jiao, Q.G., Onwuegbuzie, A.J., &

Waytowich, V. L. (2008). The relationship between citation errors and library anxiety: An empirical study of doctoral students in education. Information Processing and Management, 44, 948-956.

Lu, Y. & Adkins, D. (2012). Library anxiety

among international graduate students. Proceedings of the American Society for Information Science and Technology, 49, 28-31. Diunduh dari https://www.asis.org/asist2012/proceedings/Submissions/319.pdf

Meece, J. L., Blumenfeld, P.C., & Hoyle,

R.H. (1988). Students’ goal orientation and cognitive engagement in classroom activities. Journal of Educational Psychology, 80, 514-523.

Mellon, C.A. (1986). Library anxiety: A

grounded theory and its development. College and Research Libraries. 160-165. Diunduh dari https://www.ideals.illinois.edu/bitstream/handle/2142/40906/crl_47_02_160_opt.pdf?sequence=2

Midgley, S. E. (2002). Goals, goal

structures, and patterns of adaptive learning. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbraum Associates Publisher.

Nevid, J. S., Greene, B., & Rathus, S. A. (2005). Psikologi abnormal. Jilid 1. (edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Pintrich, P.R. (2000). Multiple goals,

multiple pathways: The role of goal orientation in learning and achievement. Journal of Educational Psychology, 92, 544-555.

Pintrich, P.R., & Schunk, D. H. (2002).

Motivation in Education: Theory, research, and application (edisi kedua). Upper Saddle River, New Jersey: Merrill/Prentice-Hall.

Riyadiningsih, H. (2001). Hubungan

kemampuan, orientasi tujuan, locus of control, dan motivasi berprestasi dengan self efficacy dan penetapan tujuan dalam rangka memprediksi kinerja individual. (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Roebken, H. (2007). The influence of goal

orientation on student satisfaction, academic engagement, and achievement. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 13, 5(3), 679-704.

Schunk, D. H., Pintrich, P. R., & Meece, J. L.

(2008). Motivation in Education: Theory, research, and application. (edisi ketiga). Upper Saddle River, New Jersey: Merrill/Prentice-Hall.

Susantri, T., & Anna, N.E.V. (2008).

Pengaruh kecemasan di perpustakaan (library anxiety) terhadap efektivitas pemanfaatan perpustakaan oleh mahasiswa di perpustakaan pusat Universitas Airlangga. Jurnal Penelitian Dinas Sosial, 7, 160-164.

Page 59: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

56

Susetyo, Y. F. & Kumara, A. (2012).

Orientasi tujuan, atribusi penyebab, dan belajar berdasar regulasi diri. Jurnal Psikologi, 39, 95-111.

Van Kampen, D.J. (2004). Development

and validation of the multidimensional library anxiety scale. College and Research Libraries, 65, 28-34. Diunduh dari

http://www.crl.acrl.org/content/65/1/28.full.pdf

Wahyuningtias, I.V. (2013). Hubungan

orientasi tujuan dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Negeri Semarang, 2 (1), 22-29.

Woolfolk, A. (2004). Educational

psychology. (9th edition). Boston: Pearson Educational.

Page 60: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

57

PERBEDAAN KEBAHAGIAAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN DI BANDA ACEH DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

Fathur Rahmi AR; Dahlia

Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala [email protected]; [email protected]

Abstrak

Perceraian merupakan salah satu peristiwa traumatis bagi anak, hal ini dikarenakan anak adalah korban yang merasa paling tersakiti dalam peristiwa tersebut. Remaja yang memiliki orang tua bercerai secara umum tidak dapat merasakan kebahagiaan karena dampak-dampak negatif yang dirasakan, namun beberapa diantara mereka ada yang dapat merasakan kebahagiaan. Salah satu faktor yang memengaruhi kebahagiaan adalah jenis kelamin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kebahagiaan remaja korban perceraian di Banda Aceh ditinjau dari jenis kelamin. Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian komparasi. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dan quota sampling dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 70 orang yang terdiri dari 35 remaja laki-laki dan 35 perempuan berusia 13-18 tahun. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mann-Whitney U. Hasil analisis data menunjukkan hasil signifikansi sebesar -0,000 < 0,05 dan nilai Z sebesar -3,738. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan kebahagiaan pada remaja korban perceraian ditinjau dari jenis kelamin di Banda Aceh. Remaja perempuan korban perceraian lebih bahagia dibandingkan dengan remaja laki-laki yang juga korban perceraian. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sikap orangtua yang memahami anak, adanya pemahaman anak terhadap perceraian orangtuanya, adanya dukungan emosional yang dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya, adanya penerimaan diri dan penyesuaian yang baik serta adanya nilai keagamaan.

Kata kunci: Kebahagiaan, remaja korban perceraian, jenis kelamin.

Page 61: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

58

Abstract

A divorce is a traumatic event. When divorce occurs, children are becoming main victims. Adolescents whose parents are going through the divorce often will not be able to feel happiness due to many negative impacts of this event, although some of them are not having trouble to feel happy. One of many contributing factors of happiness is sex. This research aimed to investigate the difference of happiness among adolescents victims of divorce in BandaAceh based on sex. Population in this research was adolescence victims of divorce in BandaAceh. Purposive sampling and quota sampling were used in this research to determine the sampling technique. Samples of this research were 70 adolescences that consisted of 35 males and 35 females with age ranged 13-18 years old. Happiness scale was used to collect the data; the scale was developed by the researcher based on Seligman’s theory of Happiness. Data was analyzed by using Mann-Whitney and showed significance level of 0,000<0,05 and Z-score-3,738. The result revealed that there was a significance difference in happiness between adolescence victims of divorce in BandaAceh based on their sex in which female teenagers were happier than male teenagers.

Keywords: happiness, adolescence victims of divorce,sex.

Page 62: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

59

PENDAHULUAN

Kasus perceraian di Indonesia

sudah menjadi fenomena umum di

kalangan masyarakat. Hal ini dibuktikan

dengan bertambahnya jumlah angka

perceraian setiap tahunnya (Nurhayanti,

2010). Jumlah angka perceraian di

Indonesia telah mencapai angka yang

sangat fantastis. Tercatat pada tahun

2007 terdapat 200.000 pasangan di

Indonesia melakukan perceraian.

Meskipun angka perceraian di Indonesia

tidak setinggi di Amerika Serikat dan

Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari

jumlah total perkawinan), namun angka

perceraian di Indonesia ini sudah menjadi

rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik

(Julianto, 2008).

Pada tahun 2008 kasus perceraian

berkisar antara 200.000 kasus, sedangkan

pada tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah

angka perceraian di Indonesia yang

mencapai 250.000 kasus (Fauzi, 2011).

Data tahun 2011 dari Pengadilan Agama

Mahkamah Syar’iyah Indonesia juga

menyatakan terdapat 363.470 perkara

yang berakhir dengan perceraian selama

tahun 2011 di seluruh wilayah Indonesia

yang menunjukkan peningkatan dari

tahun 2009. Provinsi Aceh termasuk salah

satu provinsi yang memiliki angka

perceraian yang tinggi (Mahkamah

Syar’iyah, 2011). Tingkat perceraian di

Aceh rata-rata mengalami peningkatan

setiap tahun, dan trend perceraian di kota

Banda Aceh mengalami peningkatan dari

tahun 2009 – 2011, dan terjadi

penurunan pada tahun 2012. Akan tetapi,

angka perceraian ini kembali meningkat

pada tahun 2013. Berdasarkan data dari

Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh

pada tahun 2013 tercatat 261 kasus

perceraian yang terdiri dari 186 kasus

cerai gugat dan 60 kasus cerai talak

(Mahkamah Syar’iyah, 2013).

Angka perceraian yang terus

meningkat mengakibatkan semakin

banyaknya anak-anak yang menjadi

korban perceraian orangtuanya (Dagun,

2002). Perceraian merupakan peristiwa

yang traumatis dan anak adalah korban

yang merasa paling terpukul dengan

peristiwa tersebut. Anak akan merasa

kehilangan orangtua yang utuh dalam

kehidupannya. Hal itu juga menjadi

pengaruh besar bagi perkembangan

kepribadian anak atau perkembangan

psikologis anak yang menimbulkan stres,

ketakutan, kecemasan sampai dengan

depresi (Setyawan, 2007; Indriyani, 2008).

Ternyata selain dampak negatif,

perceraian juga memiliki dampak yang

positif. Sebagian anak-anak yang memiliki

orangtua yang bercerai mampu

Page 63: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

60

mengatasi perubahan kondisi keluarga

setelah terjadi perceraian pada

orangtuanya tersebut dan mampu

bangkit dari permasalahan perceraian

orangtuanya (Karina, 2014). Anak akan

menjadi lebih baik setelah perceraian jika

orangtua yang memiliki hak asuh anak

adalah individu yang hangat, mendukung,

otoritatif, memantau kegiatan anak, tidak

memiliki harapan yang berlebihan kepada

anaknya, serta konflik orangtua mereda

(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini

didukung dengan sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Sun (2001) yang

mengungkapkan bahwa perceraian dapat

berdampak positif dan meningkatkan

kebahagiaan anak jika perceraian

tersebut dapat menyelesaikan konflik

yang terjadi pada orangtua sehingga anak

terhindar dari suasana keluarga yang

penuh ketegangan.

Spot (dalam Putra & Nashori,

2008) menjelaskan bahwa kebahagiaan

adalah penghayatan individu terhadap

perasaan emosional yang positif karena

telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang

diinginkan, terpenuhinya segala

kebutuhan, lepas dari segala sesuatu yang

menyusahkan, terwujudnya suatu tujuan

yang diinginkan, serta merupakan kondisi

dimana seseorang merasa senang dan

puas secara keseluruhan terhadap

kehidupan yang dijalaninya. Remaja yang

memiliki orangtua bercerai secara umum

tidak dapat merasakan kebahagiaan

karena dampak-dampak negatif yang

dirasakan setelah perceraian

orangtuanya, namun beberapa diantara

mereka ada yang dapat merasakan

kebahagiaan dengan beberapa hal yang

menjadi faktor pendukungnya. Hal ini

dapat dilihat dalam kutipan wawancara

yang dilakukan peneliti dengan remaja

perempuan dan remaja laki-laki yang

menjadi korban perceraian menunjukkan

adanya perbedaan kebahagiaan diantara

mereka.

Hasil wawancara yang telah

dilakukan oleh peneliti dengan dua orang

remaja laki-laki korban perceraian dan dua

remaja perempuan korban perceraian

menunjukkan bahwa responden

perempuan merasa lebih bahagia

dibandingkan dengan responden laki-laki

setelah orangtua berpisah. Kondisi ini

senada dengan pendapat Hurlock (2007)

yang menyatakan bahwa perempuan

merasa lebih bahagia karena memperoleh

kepuasan yang tertinggi dari hubungan

interpersonal, sedangkan anak laki-laki

memperoleh kepuasan dari prestasi.

Menurut Dewi dan Utami (2006) ada

beberapa kondisi-kondisi yang dapat

meningkatkan kebahagiaan anak dari

Page 64: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

61

orang tua yang bercerai, antara lain sikap

orangtua yang memahami anak, adanya

pemahaman anak terhadap perceraian

orangtuanya, dan adanya dukungan

emosional yang dirasakan anak dari

lingkungan sekitarnya.

Menurut Seligman (2005) ada

beberapa faktor yang memengaruhi

kebahagiaan, diantaranya adalah uang,

perkawinan, kehidupan sosial, emosi

negatif, usia, kesehatan, pendidikan, iklim,

ras, jenis kelamin, dan agama. Salah satu

faktor yang cukup memengaruhi

kebahagiaan adalah jenis kelamin.

Hoeksema dan Rusting (1999) menyatakan

bahwa perempuan merasakan

kebahagiaan yang lebih besar dan sering

memiliki emosi positif dibandingkan laki-

laki (dalam Easterlin, 2003). Penelitian lain

juga menyebutkan bahwa perempuan

lebih bahagia dibandingkan laki-laki di

sebagian besar wilayah Afrika, 15 negara

Eropa dan negara industri lainnya (Lima,

2011). Adanya perbedaan ini terjadi

karena perempuan tidak memiliki tingkat

emosi negatif dan tingkat depresi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki;

hal ini dapat disebabkan karena

perempuan lebih sering menunjukkan

perasaan dibandingkan laki-laki yang

sering menyembunyikan perasaannya.

Oleh karena itu, peneliti merasa penting

untuk melihat bagaimana remaja laki-laki

dan perempuan menghayati kebahagiaan

setelah perceraian orangtua mereka

sehingga berdasarkan latar belakang dan

fenomena yang telah dikemukakan di atas,

maka peneliti tertarik untuk meneliti

kebahagiaan pada anak korban perceraian

di Banda Aceh yang ditinjau dari jenis

kelamin.

TINJAUAN TEORI

Kebahagiaan

Seligman (2005) mendefinisikan

kebahagiaan sebagai perasaan positif

yang akan mendorong seseorang untuk

melakukan berbagai tindakan yang

positif. Veenhoven (2012) berpendapat

bahwa kebahagiaan merupakan kepuasan

subjektif dari keseluruhan hidup

seseorang dimana kebahagiaan adalah

sesuatu yang individu miliki dalam pikiran

dan hal-hal yang individu miliki dalam

pikiran yang dapat diukur dengan

menggunakan pertanyaan. Snyder dan

Lopez (2007) mendefinisikan kebahagiaan

sebagai kondisi psikologis yang dirasakan

individu secara subjektif. Kebahagiaan

juga dicirikan dengan level emosi positif

yang tinggi dan level emosi negatif yang

rendah.

Menurut Seligman (2005) terdapat

tiga aspek kebahagiaan, yaitu kehidupan

Page 65: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

62

yang menyenangkan (pleasant life),

kehidupan yang bermakna (meaningful

life), dan keterlibatan diri (engaged life).

Jenis Kelamin

Cristodoulu (2005) menyatakan

bahwa jenis kelamin adalah karakteristik

biologis antara laki-laki dan perempuan

yang bersifat universal dan tidak dapat

berubah. Karakteristik ini cenderung

digunakan untuk membedakan manusia

sebagai laki-laki dan perempuan.

Menurut Esplen dan Jolly (2006) jenis

kelamin merupakan hal yang menandai

perbedaan antara perempuan dan laki-

laki sebagai akibat dari sifat biologis, fisik,

dan perbedaan genetik diantara

keduanya. Lebih lanjut,Narwoko dan

Suyanto (2010) menjelaskan bahwa

pembagian jenis kelamin ditentukan

secara biologis dan melekat pada jenis

kelamin tertentu. Jenis kelamin

digunakan untuk membedakan laki-laki

dan perempuan berdasarkan unsur

biologis dan anatomi tubuh.

Remaja

Remaja merupakan proses yang

mengarah kepada kematangan seksual

atau fertilitas (kemampuan untuk

bereproduksi). Masa remaja dimulai pada

usia 11-20 tahun. Masa remaja

merupakan masa transisi dari masa

kanak-kanak yang menawarkan peluang

untuk tumbuh bukan hanya dalam

dimensi fisik, tetapi juga dalam

kompetensi kognitif dan sosial (Papalia

dkk, 2008). Hurlock (2007) menyatakan

bahwa masa remaja ditandai dengan ciri-

ciri yang mewujudkan adanya

ketidaktenangan jiwa, karena itu

membuat mereka mengalami

kegoncangan, mudah terpengaruh,

mudah emosional dan sebagainya.

Keadaan yang demikian ini membuat

remaja mengalami gangguan

keseimbangan mental apabila ditambah

dengan seringnya mengalami kegagalan

dalam pemahaman kebutuhan

kebutuhannya. Lebih lanjut, Hurlock

(2007) membagi remaja menjadi dua

bagian, yaitu masa remaja awal yang

berkisar antara usai 13-16 tahun dan

masa remaja akhir yang berkisar antara

usia 17-18 tahun.

Perbedaan kebahagiaan pada remaja

korban perceraian ditinjau dari jenis

kelamin

Perceraian merupakan peristiwa

yang traumatis dan anak adalah korban

yang merasa paling terpukul dengan

peristiwa tersebut. Perceraian selalu saja

menggoreskan luka batin yang dalam bagi

Page 66: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

63

anak karena anak akan merasa

kehilangan orangtua yang utuh dalam

kehidupannya. Kondisi ini berpengaruh

besar bagi perkembangan kepribadian

dan psikologi anak yang dapat

menimbulkan stress, ketakutan,

kecemasan sampai depresi (Setyawan,

2007; Indriyani 2008). Meskipun

demikian, perceraian dapat berdampak

positif dan meningkat kebahagiaan anak

jika perceraian tersebut dapat

menyelesaikan konflik yang terjadi pada

orangtua sehingga anak terhindar dari

suasana keluarga yang penuh ketegangan

(Sun, 2001).

Hartati (2012) menjelaskan bahwa

kebahagiaan bagi remaja bersumber dari

orangtua (keluarga).Temuan terhadap

faktor keluarga, terutama orangtua

sebagai sumber kebahagiaan tidak

terlepas perannya dalam kehidupan

remaja. Keluarga merupakan lingkungan

pertama bagi anak, tempat untuk

membimbing anak, dan untuk memenuhi

kebutuhan hidup anak (Rasjidi, dalam

Wati, 2010).

Menurut Seligman (2005), ada

beberapa faktor yang memengaruhi

kebahagiaan, dan salah satunya adalah

faktor jenis kelamin. Brody dan Hall

(1993) menjelaskan bahwa perbedaan

jenis kelamin dalam emosi seperti

kebahagiaan adalah bias secara sadar

atau tidak sadar oleh pengetahuan

individu terhadap streotipe jenis kelamin.

Stereotip jenis kelamin mengarahkan

kepada penilaian bahwa perempuan

mengekspresikan emosi seperti

kesedihan, kegembiraan dan takut lebih

intens daripada laki-laki, sedangkan laki-

laki mengekspresikan emosi marah dan

agresif lebih intens dari pada perempuan.

Strereotip jenis kelamin ini merupakan

self-fullfilling prophesies yang

mengarahkan pada perbedaan jenis

kelamin yang nyata dalam

mengekspesikan emosi, seperti

kebahagiaan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh remaja korban perceraian

di Banda Aceh. Pengambilan sampel pada

penelitian ini dilakukan dengan purposive

sampling dan quota sampling karena

dalam penelitian ini peneliti tidak

mengetahui pasti jumlah populasi dan

ada beberapa karakteristik penelitian

yang harus dipenuhi. Jumlah sampel pada

penelitian ini adalah sebanyak 70 remaja

korban perceraian yang terdiri dari 35

remaja laki-laki dan 35 remaja

perempuan.

Page 67: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

64

Metode Pengumpulan Data

Kebahagiaan dalam penelitian ini

diukur dengan menggunakan skala

kebahagiaan yang disusun oleh peneliti

berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan

yang dipaparkan oleh Seligman (2005)

yang mengacu pada tiga aspek

kebahagiaan, yaitu kehidupan yang

menyenangkan (pleasant life), kehidupan

yang bermakna (meaningful life), dan

keterlibatan diri (engaged life). Skala ini

terdiri dari 39 pernyataan menggunakan

model skala modifikasi Likert yang terdiri

dari 4 pilihan jawaban, yaitu Sangat

Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),

Sangat Tidak Sesuai (STS). Pada

pernyataan favourable bobot penilaian

yang digunakan yaitu angka 4 untuk SS, 3

untuk S, 2 untuk TS, dan 1 untuk STS.

Pada pernyataan unfavourable bobot

penilaiannya yaitu 1 untuk SS, 2 untuk S,

3 untuk TS, dan 4 untuk STS.

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian

diolah menggunakanteknik analisis one-

sample kolgomorov-smirnov test untuk uji

normalitas, teknik analisis one-way anova

untuk uji homogenitas, dan teknik analisis

Mann Whitney U untuk uji hipotesis.

Keseluruhan analisis statistic terhadap

data penelitian menggunakan SPSS20.0 for

Windows.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data

Untuk mendapatkan gambaran

umum mengenai data penelitian secara

singkat dapat dilihat pada tabel 1,

terdapat perbandingan antara hasil

hipotetik (yang mungkin terjadi) dan hasil

penelitian empiris (berdasarkan

kenyataan di lapangan). Deskripsi data

hasil penelitian dapat dilihat melalui tabel

berikut:

Tabel 1 Deskripsi data penelitian

Variabel Data Hipotetik Data Empirik

Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD

Kebahagiaan

156 39 97,5 19,5 141 75 121,9

7 12,071

Keterangan Rumus Skor Hipotetik : 1. Skor minimal (min) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai terendah dari pembobotan pilihan

jawaban. 2. Skor maksimal (max) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai tertinggi dari pembobotan

pilihan jawaban. 3. Mean hipotetik (µ) dengan rumus µ = (skor max + skor min)/2 4. Standar deviasi (σ) hipotetik adalah : σ = (skor max – skor min)/6

Page 68: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

65

Berdasarkan hasil statistik data

penelitian, analisis deskriptif secara

hipotetik menunjukkan bahwa jawaban

minimal adalah 39, maksimal 156, nilai

rerata 97,5 dan simpangan baku 19,5.

Sementara data empirik menunjukkan

jawaban minimal (X min) adalah 75,

maksimal (X max)141, nilai rerata 121,97

dan simpangan baku (SD) 12,071.

Deskripsi hasil data penelitian

tersebut dapat dijadikan batasan dalam

pengkategorian sampel penelitian yang

terdiri dari tiga kategori yaitu tinggi,

sedang, dan rendah. Pembagian kategori

sampel menggunakan model distribusi

normal kategori jenjang. Metode ini

digunakan karena estimasi skor subjek

dalam populasinya terdistribusi dengan

normal (Azwar, 2011b).

Cara pengkategorian ini akan

diperoleh dengan menetapkan suatu

kategori normatif skor subjek. Dalam

penelitian ini, peneliti menggolongkan

subjek ke dalam tiga kategori, yaitu

kategori rendah, sedang, dan tinggi.

Pengkategorian ini akan menggunakan

rumusan interval seperti yang ada dalam

tabel berikut:

Tabel 2 Rumus Norma Kategori

Rumusan Interval Kategori

𝑿 < (𝝁 − 𝟏, 𝟎𝝈) Rendah (𝝁 − 𝟏, 𝟎𝝈) ≤ 𝑿 < (𝝁

+ 𝟏, 𝟎𝝈) Sedang

(𝝁 + 𝟏, 𝟎𝝈) ≤ 𝑿 Tinggi

Berdasarkan rumus norma

kategorisasi tersebut, maka diagnosis

norma kategorisasi berdasarkan skor dan

skor tiap sampel penelitian pada variabel

kebahagiaan adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Kategorisasi kebahagiaan pada remaja korban perceraian

Rumus Kategori Jumlah Persentase

X < 78 Rendah 1 1,4

78 ≤ X < 117 Sedang 22 31,4 117 ≤ X Tinggi 47 67,1

TOTAL 70 100

Hasil kategorisasi kebahagiaan dapat

dilihat dari tabel 7 yang menunjukkan

bahwa remaja korban perceraian merasa

bahagia, sebanyak 67,1% berada pada

kebahagiaan yang tinggi, 31,4% pada

kebahagiaan yang sedang, dan 1,4%

Keterangan: µ = Mean hipotetik pada skala

𝜎 = Standardeviasipadaskala

Page 69: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

66

remaja korban perceraian memiliki

kebahagiaan yang rendah.

Uji Hipotesis

Sebelum dilakukan uji hipotesis,

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

dan homogenitas data yang merupakan

syarat yang harus dipenuhi sebelum

melakukan uji hipotesis.Berdasarkan uji

normalitas yang dilakukan pada 70 sampel

penelitian menunjukkan bahwa variabel

kebahagiaan memiliki sebaran yang

terdistribusi normal dengan skor K-S Z =

0,498 (p > 0,05).

Hasil uji homogenitas melalui

teknik analisis one-way anova

menunjukkan nilai signifikansi sebesar

0,032 (p< 0,05). Karena nilai signifikansi

lebih kecil dari 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa data penelitian ini

mempunyai varian yang tidak sama atau

dengan kata lain varian populasi

(jeniskelamin) bersifat tidak homogen.

Uji hipotesis pada penelitian ini

menggunakan metode statistik non

parametric uji Mann-Whitney U, hal ini

dikarenakan data memiliki sebaran yang

normal namun tidak homogen. Pengujian

hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney

U menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p <

0,05), artinya hipotesis dalam penelitian

ini diterima. Hal ini berarti terdapat

perbedaan kebahagiaan yang signifikan

pada remaja korban perceraian di Kota

Banda Aceh ditinjau dari jenis kelamin.

DISKUSI

Hasil penelitian ini menunjukkan

terdapat perbedaan kebahagiaan yang

signifikan pada remaja perempuan dan

remaja laki-laki korban perceraian. Hal ini

didasarkan pada perhitungan statistik

yang telah dilakukan dan dapat dapat

dilihat nilai taraf signifikansi sebesar

0,000 (p < 0,05), sehingga dapat

dikatakan bahwa hipotesis dalam

penelitian ini diterima.

Hasil penelitian ini juga

menunjukkan bahwa remaja perempuan

dan laki-laki korban perceraian di Banda

Aceh memiliki tingkat kebahagiaan yang

berbeda dimana remaja perempuan lebih

bahagia dibandingkan remaja laki-laki. Hal

ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata

yang diperoleh kelompok sampel

perempuan sebesar 44,59, sedangkan

kelompok sampel laki-laki sebesar 26,42.

Adanya perbedaan kebahagiaan pada

remaja korban perceraian di Banda Aceh

dapat dikarenakan perempuan memiliki

tingkat emosi negatif yang lebih rendah

dan tingkat depresi yang lebih rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Hal

tersebut mungkin terjadi karena

Page 70: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

67

perempuan lebih sering menunjukkan

perasaannya dibandingkan laki-laki yang

lebih sering menyembunyikan

perasaannya (Eddington & Shuman,

2005). Hal senada juga diperkuat oleh

penelitian yang dilakukan oleh Nihayah

(2013) yang menemukan bahwa ternyata

ada korelasi yang tinggi antara

pengungkapan perasaan positif serta

pengungkapan perasaan negatif dengan

kebahagiaan. Semakin tinggi

pengungkapan perasaan individu, maka

semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan

individu tersebut.

Penelitian lain juga menyebutkan

bahwa laki-laki lebih memaknai

kebahagiaan dari segi konkret, dan tidak

banyak laki-laki yang dapat memaknai

kebahagiaan dari segi eksistensial dan

spiritual. Hal ini disebabkan karena laki-

laki lebih menggunakan logikanya

dibandingkan perasaannya sehingga

pemaknaannya pun lebih cenderung ke

arah dirinya sendiri (personal), sedangkan

pada perempuan, pemaknaan

kebahagiaan lebih dari segi spiritual

karena perempuan lebih bersifat afektif

dalam melakukan serta memaknai segala

hal dibandingkan laki-laki yang lebih

menggunakan logika dalam menanggapi

masalah yang ada sehingga kebahagiaan

bagi perempuan lebih dimaknai sebagai

hal bersifat spiritual yang terkait dengan

relasinya dengan Tuhan (Wirawan, 2010).

Hal ini didukung oleh sebuah penelitian

yang dilakukan Kartasasmita (2010) yang

menyebutkan bahwa laki-laki lebih

memaknai kebahagiaan sebagai hal yang

memuaskan kebutuhan sehingga

mencapai apa yang diinginkan, sedangkan

perempuan lebih dapat memaknai

kebahagiaan dari sudut pandang spiritual.

Hasil dari penelitian ini juga

memerlihatkan bahwa kebahagiaan pada

remaja korban perceraian berada pada

kategori tinggi (67,1%), kategori sedang

(31,4%), dan kategori rendah (1,4%). Hal

ini dapat diartikan bahwa remaja yang

orangtuanya bercerai dapat merasakan

kebahagiaan setelah perceraian

orangtuanya. Menurut Dewi dan Utami

(2006) ada beberapa kondisi‐kondisi yang

dapat meningkatkan kebahagiaan anak

dari orangtua yang bercerai, antara lain

adanya sikap orangtua yang memahami

anak, adanya pemahaman anak terhadap

perceraian orangtuanya, adanya

dukungan emosional yang dirasakan anak

dari lingkungan sekitarnya (hubungan

pertemanan), adanya penerimaan diri

dan penyesuaian diri yang baik, serta

adanya nilai keagamaan.

Page 71: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

68

Adanya pemahaman anak

terhadap perceraian orangtua membuat

anak dapat menerima kondisi perceraian

tersebut. Perasaan nyaman yang

dirasakan juga membuat anak dapat

mengendalikan emosinya dalam

menghadapi keadaan perceraian

orangtuanya serta dapat membuat anak

untuk berpikir positif. Hal tersebut di atas

membuat anak mengalami peningkatan

kualitas kebahagiaan (Dewi & Utami,

2006). Selain pemahaman anak terhadap

perceraian, hubungan pertemanan juga

dapat menjadi salah satu faktor yang

membuat anak merasakan kebahagiaan

(Carr, 2004; Seligman, 2005). Seligman

(2005) menyatakan bahwa individu yang

menghabiskan banyak waktu untuk

bersosialisasi cenderung memiliki tingkat

kebahagiaan yang tinggi.

Carr (2004) percaya bahwa

pertemanan yang bersifat terbuka

memiliki kontribusi terhadap

kebahagiaan. Ketika remaja memiliki

penerimaan diri, penyesuaian diri atau

adaptasi yang baik dengan lingkungannya

juga akan membuatnya menjadi nyaman

dengan kondisi dirinya. Gore (dalam

Hikmatunnisa & Takwin, 2007)

menyebutkan bahwa individu dengan

adaptasi yang baik akan dapat

menghadapi kejadian hidup lebih baik

sehingga kebahagiaan pun menjadi lebih

baik.

Nilai keagamaan yang diperoleh

dari lingkungan tempat tinggal subjek,

yaitu lingkungan dengan masyarakat yang

memiliki tingkat religiusitas yang tinggi

juga dapat memberi pengaruh terhadap

kebahagiaan remaja yang ada di Aceh.

Para peneliti menemukan individu yang

tinggal di lingkungan yang masyarakat

atau keluarga memiliki nilai keagamaan

yang baik memiliki skor tinggi dalam

kebahagiaan (Myers, 2003). Ajaran agama

ternyata dianggap sebagai salah satu

jalan untuk memiliki kebahagiaan. Hal ini

diperkuat oleh penelitian Seligman (2002)

yang menemukan bahwa agama

merupakan hal penting dalam mengatasi

berbagai masalah psikologi, yaitu dengan

cara membangun emosi positif.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ada perbedaaan kebahagiaan

pada remaja korban perceraian di Banda

Aceh ditinjau dari jenis kelamin. Remaja

perempuan lebih bahagia daripada

remaja laki-laki. Hal ini dapat disebabkan

karena perempuan memiliki tingkat

emosi negatif yang lebih rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu,

pemaknaan kebahagiaan pada

Page 72: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

69

perempuan lebih pada segi spiritual

karena perempuan lebih bersifat afektif

dalam melakukan serta memaknai segala

hal dibandingkan laki-laki yang lebih

menggunakan logika dalam menanggapi

masalah yang ada. Penelitian ini juga

memperlihatkan bahwa kebahagiaan

remaja korban perceraian di Kota Banda

Aceh berada dalam kategori tinggi yang

dapat disebabkan oleh beberapa faktor,

diantaranya adanya sikap orangtua yang

memahami anak, adanya pemahaman

anak terhadap perceraian orangtuanya,

adanya dukungan emosional yang

dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya

(hubungan pertemanan), adanya

penerimaan diri dan penyesuaian diri

yang baik, serta adanya nilai keagamaan.

Kelemahan dalam penelitian ini

adalah hasil penelitian tidak dapat

digeralisasikan karena varian populasi

sampel penelitian ini tidak sama (tidak

homogen). Selanjutnya peneliti

menyarankan kepada peneliti selanjutnya

yang ingin meneliti variabel kebahagiaan

agar dapat menghubungkan dengan

variabel-variabel lain yang memiliki kaitan

atau hubungan dengan variabel

kebahagiaan, misalnya seperti

penyesuaian diri, dukungan sosial,

pemaafan, depresi, citra tubuh, dan lain

sebagainya sehingga dapat memperkaya

penelitian mengenai kebahagiaan

khususnya di Aceh yang masih belum

banyak penelitian mengenai kebahagiaan.

DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2011). Penyusunan Skala

Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brody, L. R., & Hall, J. A. (1993).Gender

and emotion.In M. Louis & J.M Havland (Eds).Handbook of emotions. New York: Guilford.

Carr, A. (2004). Positive psychology: The

science of happiness and human strengths. New York: Brunner-Routledge.

Cristodoulou, J. (2005). Glossary of

gender-related terms. Mediterranean Institute of Gender Studies. Diakses pada tanggal 20 September 2014 melalui http://www.peacewomen.org/assets/file/AdvocacyEducationTools/genderglossary_migs_aug2005.pdf.

Dagun, S. M (2002). Psikologi keluarga

(Ed. Ke-2). Jakarta: Rineka Cipta. Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2006).

Subjective well‐beinganak dari orangtua yang bercerai. Jurnal Psikologi. 35(2), 194-212.

Easterlin, R. A. (2003). Happiness of

women and men in later life: Nature, determinants, and prospects. Advances in Quality-of-Life Theory and Research. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Page 73: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

70

Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing psychology education. San Diego: continuing psychology education: 6 continuing education hours.

Esplen, E., & Jolly, S. (2006). Gender and

sex a sample of definitions. UK: BRIGDE Institute of Development Studies. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2014 melaluli http://www.iwtc.org/ideas/15_definitions.pdf.

Fauzi, A. (4 Agustus 2011). Menekan angka

perceraian. DetikNews. Diakses pada tanggal 20 Agutus 2014 melalui http://news.detik.com/read/2011/08/04/141444/1696529/471/menekan-angka-perceraian.

Hartati, N. (2012). Sumber-sumber

kebahagiaan remaja yang tinggal di panti asuhan.Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Hikmatunnisa, M.,& Takwin, B. (2007).

Pengaruh perbedaan agama orang tua terhadap psychological well-being dan komitmen beragama anak. Jurnal Psikologi Sosial. 2(13), 157-165.

Hurlock, E. B. (2007). Psikologi

perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima (terjemahan). Jakarta : PT. Erlangga.

Indriyani, F. N. (2008). Dampak psikologis

perceraian orang tua terhadap anak. Skripsi (tidak dipublis). Semarang: Universitas Katholik Soegijapranata.

Julianto, A. (2008). Tingginya tingkat perceraian di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Karina, C. (2014). Resiliensi remaja yang

memiliki orang tua bercerai. Jurnal Online Psikologi. 2(1). 152-169.

Kartasasmita, S. (2010). Happiness

description from game online player. Jurnal Psikologi. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Diakses pada tanggal 19 januari 2015 melalui http://www.researchgate.net/profile/Sandi_Kartasasmita/publication/264551969_Happiness_Description_from_Game_Online_Player/links/53e5514e0cf2fb7487170140.pdf.

Lima, S. V. (2011). A cross-country

investigation of the determinants of thehappiness gender gap. Journal of Economic Behavior & Organization. Italia:University of Milan-Bicocca, Department of Economics.

Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. (2013).

Perkara CG dan PAW Dominasi Perkara Tahun 2013 di Mahkamah Syari’yah Banda Aceh. Diakses pada 23 Agustus melalui http://www.badilag.net/berita-seputar-peradilan-agama/19563-perkara-cg-dan-paw-dominasi-perkara-tahun-2013-di-ms-banda-aceh--241.html.

Myers, D.G. (2003). Social Psychology.

Boston:McGraw-Hill. Narwoko, J. D., & Suyanto. (2010).

Sosiologi: Teks pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana.

Nihayah, Z. (2013). Hubungan asertif

dengan kebahagiaan pada

Page 74: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

71

mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2013 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Jurnal Psikologi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Diakses pada tanggal 19 januari 2015 melalui http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication.

Nurhayanti, L. (2010). Faktor-faktor yang

mempengaruhi angka cerai gugat (studi perkara di pengadilan agama Yogyakarta tahun 2006-2008). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D.

(2008). Human development (Psikologi perkembangan), Ed. 9. Jakarta: Kencana..

Putra, A A., & Nashori, F. (2008).

Kebahagiaan pada penyandang cacat tubuh (sebuah penelitian kualitatif). Jurnal Psikologi. Yokyakarta: Universitas Islam Indonesia. Diakses pada tanggal 18 September 2014 melalui psychology.uii.ac.id/images/stories//naskah-publikasi-04320228.pdf.

Seligman, M.E.P. (2002). Authentic

Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York: Free Press/Simon and Schuster.

Seligman, M.E.P. (2005). Aunthentic

Happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung: Mizan Media Utama.

Setyawan, I. (2008). Membangun

pemaafan pada anak korban

perceraian. Dipresentasikan pada Konferensi Nasional I IPK – HIMPSI : Stress Management dalam Berbagai Setting Kehidupan. Diakses pada tanggal 10 september 2014 melalui http://core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11718546.pdf.

Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive

psychology: The scientific and practical explorations of human strengths. Thousand Oaks, CA, US: Sage Publications.

Spot, C. A. (2004). Hubungan antara

dukungan sosial dengan kebahagiaan hidup pada wanita karir yang masih lajang. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Sun, Y. (2001). Family environment and

adolescent`s well‐being before andafter parent`s marital disruption: A longitudinal analysis. Journal ofMarriage and Family. 697‐713.

Veenhoven, R. (2012). Cross-national

differences in happiness: Cultural measurement bias or effect of culture?. International Journal of Wellbeing, 2(4), 333-353. doi:10.5502/ijw.v2.i4.4.

Wati, T. W. (2010). Dampak psikologis

perceraian orangtua pada remaja.Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.

Page 75: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

72

GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA PADA PEGAWAI RS X BANDA ACEH

Rony Rinaldi; Eka Dian Aprilia Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

[email protected]; [email protected]

Abstrak

Motivasi kerja adalah suatu pendorong yang berasal baik dari dalam maupun luar individu untuk melakukan pekerjaan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan. Motivasi kerja setiap individu tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi karena gaya kepemimpinan dapat mendorong motivasi kerja pegawai untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Rumah Sakit X merupakan rumah sakit yang menjadi pusat rujukan tertinggi di Provinsi Aceh dan mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Provinsi Aceh.Pegawai yang bekerja dalam lingkup rumah sakit ini diharapkan memiliki motivasi kerja yang tinggi agar fungsi pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan gaya kepemimpinansecara umum dengan motivasi kerja pegawai serta hubungan masing-masing gaya kepemimpinan dengan motivasi kerja di RS X. Subjek penelitian adalah pegawai RS X yang berjumlah 90 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan skala gaya kepemimpinan dari teori R. White & R. Lippit (dalam Winardi, 2000) dan skala motivasi kerja dari teori Maslow (dalam Munandar, 2001). Analisisdata menggunakan statistik teknik korelasi pearsondan regresi. Hasil penelitian ini diperoleh koefisien regresi sebesar (R)= 0.820 dan signifikansi p= 0.00 (p<0.01) sehingga menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan motivasi kerja. Gaya kepemimpinan secara keseluruhan memberikan kontribusi sebesar 66.2% terhadap motivasi kerja. Gaya kepemimpinan demokratis memberikan kontribusi secara positif terhadap motivasi kerja sebesar 35.1%, sedangkan gaya kepemimpinan otoriter memberikan kontribusi secara negatif terhadap motivasi kerja sebesar 52.8% dan gaya kepemimpinan bebas memberikan kontribusi secara negatif terhadap motivasi kerja sebesar 19.4%. Artinya, gaya kepemimpinan demokratis akan meningkatkan motivasi kerja sedangkan gaya kepemimpinan otoriter dan gaya kepemimpinan bebas menurunkan motivasi kerja pegawai.

Kata kunci : Gaya Kepemimpinan, Motivasi Kerja,Pegawai RS X.

Page 76: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

73

Abstract

Motivation is a driving force from both inside and outside the individual to do the work that leads to needs. The motivation of each individual depends on the leadership style that adopted by a leader in an organization because leadership style encourages employee motivation to achieve the goals of an organization. Hospital ‘X’ is a referral hospital in the Aceh Province. It tasks and function are to provide complete affordable health care by all levels of society in Aceh. Hospital employees are expected to have high motivation in providing the best health services and functions. Employee’s work motivation is influenced by hospital directors leadership style used in performing his duties as a top manager. This study aims to examine the relationship between directors leadership style and employees work motivation. Subject for this study is 90 employees of Hospital ‘X’. The method of data collection used in this study is the scale of leadership styles and motivation. Statistical analysis of the data uses Pearson Correlation and Regression techniques, with a regression coefficient (R),=0.820 and significance p=0,000 (p<0.001). The result of this study showed that there was a significant relationship between the leadership style and employee’s motivation. Leadership style as a whole accounted for 66.2% of the work motivation. Democratic Leadership Style contributes positively to the motivation to work at 35.1%, while the authoritarian leadership style and freestyle leadership are contributed negatively to the work motivation respectively 52.8% and 19.4%. Therefore, democratic leadership style will increase the motivation to work while the authoritarian leadership style and freestyle leadership will actually decrease employee motivation.

Kata kunci :Leadership Style, Work Motivation, employee of Hospital ‘X’

Page 77: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

74

PENDAHULUAN

Dimas (2008), menyebutkan

bahwa sumber daya manusia (SDM)

merupakan kunci utama dari sekian

banyak sumber potensi yang mendukung

keberhasilan organisasi. SDM yang

dimaksud adalah para pegawai atau

pegawai yang memiliki dorongan yang

kuat untuk maju secara lebih unggul

daripada yang lain dengan

mengungkapkan prinsip kejujuran, tidak

cepat merasa puas, inovatif dan tanpa

frustasi yang berlebihan dalam

menghadapi aneka perubahan situasi

yang berdinamika serta daya

adaptabilitas yang tinggi. Darmawan

(2008) mengatakan bahwa efektifitas

organisasi akan tergantung pada

keinginan bekerja para anggota yang

terikat tugas kelompok, baik pada saat

memecahkan masalah maupun pada saat

kerja sebagai kelompok, untuk itu, para

pegawai perlu diberi dorongan dan

semangat agar tugas-tugasnya dapat

berjalan dengan lancar sesuai dengan apa

yang diharapkan.

Motivasi kerja seseorang tidak

dapat dilihat dari satu dimensi yaitu

kebutuhan fisik saja. Teori modern

menjelaskan bahwa motivasi kerja

seseorang bukanlah karena dorongan

ekonomi saja, namun juga ada faktor

lainnya (Munandar, 2001). Maslow

(dalam Munandar, 2001) mengemukakan

bahwa kondisi manusia yang berada

dalam kondisi mengejar yang

berkesinambungan artinya, jika satu

kebutuhan dipenuhi, maka akan langsung

diganti dengan kebutuhan yang lain.

Untuk memenuhi kebutuhan yang ada,

individu memerlukan dorongan yang

disebut dengan motivasi (Danim, 2004).

Dalam organisasi, motivasi kerja pegawai

sangat berpengaruh terhadap instansi

tempat pegawai bekerja. Motivasi yang

tinggi akan berdampak kepada

peningkatan produktivitas kerja, tingkat

absensi akan menurun, perpindahan

pegawai(turn over) dapat berkurang dan

tuntutan yang sering kali terjadi dapat

diminimalisir. Pegawai dengan motivasi

yang tinggi akan bersemangat dalam

menjalankan tugasnya dan tidak akan

merasa terbebani dengan kewajibannya

dalam menyelesaikan pekerjaan yang

diberikan. Sebaliknya, pegawaidengan

motivasi rendah akan menjadi malas dan

uring-uringan dalam bekerja yang akan

berakibat kepada terhambatnya

pencapaian tujuan instansi.

Berdasarkan hasil pengamatan

yang peneliti lakukan di RS X terdapat

beberapa pegawai yang datang tidak

sesuai dengan jam kerja yang berlaku.

Page 78: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

75

Selain itu, peneliti juga mendapati

beberapa pegawai yang duduk di kantin

saat jam kerja berlangsung. Data tersebut

menunjukkan indikasi terjadinyatindak

ketidakdisiplinan pegawai dalam bekerja.

Hasibuan (2006) mengatakan

bahwa motivasi seorang pegawai sangat

bergantung bagaimana cara pemimpin

mendorong gairah kerja pegawai dalam

mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu,

gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh

seorang pemimpin akan sangat

menentukan motivasi kerja para

bawahannya. Semueil (2011) menyatakan

bahwa kepemimpinan merupakan

tindakan mempengaruhi, mengajak,

memotivasi individu lain dan

mengkoordinasikan tim, serta menjaga

keutuhan kerja sama anggota organisasi

untuk menuju pada perubahan dan

pengembangan organisasi yang

profesional dalam mencapai tujuan.

Prabu (2005) menyatakan bahwa

seorang pimpinan memainkan peranan

yang sangat penting dalam kehidupan

organisasi dalam usaha pencapaian

tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Pimpinan, baik secara individual maupun

secara kelompok tidak mungkin bekerja

sendirian. Pimpinan membutuhkan

sekolompok orang lain yang dikenal

sebagai bawahan, yang digerakkan

sedemikian rupa sehingga para bawahan

memberikan pengabdian dan

sumbangsihnya kepada organisasi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka

pemberian motivasi dikatakan penting

karena pimpinan atau manajer itu tidak

sama dengan pegawai karena seorang

pemimpin tidak dapat melakukan

pekerjaan sendiri. Keberhasilan organisasi

sangat ditentukan oleh hasil kerja yang

dilakukan orang lain (bawahan).

Juniarti (2010) menyebutkan

bahwa setiap gaya kepemimpinan

masing-masing akan memiliki efek bagi

keberlangsungan kerja pegawainya. Gaya

kepemimpinan otoriter akan

menimbulkan dampak keterpaksaan

dalam setiap kegiatan yang akan

dilakukan oleh pegawai. Akibatnya,

semakin dikekang atausemakin dibatasi

aktivitasnya, maka pegawai akan semakin

berani melawan dan bisa mengakibatkan

hilangnya semangat untuk bekerja karena

merasa terpaksa. Gaya kepemimpinan

bebas biasa membentuk pegawai untuk

dapat bertanggung jawab terhadap

kepercayaan pemimpin karena pada gaya

ini seorang pemimpin memberikan

kebijakan penuh kepada bawahan tanpa

mau ikut campur dengan segala aktivitas

kerja bawahannya. Kelemahan dari gaya

ini adalah jika pegawai tidak memiliki

Page 79: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

76

kesadaran akan tanggung jawab dan

amanah maka kepercayaan yang telah

diberikan menjadi sia-sia bahkan bisa

mengakibatkan pegawai lepas kontrol

karena adanya keacuhan dari pemimpin.

Gaya kepemimpinan demokratis

cenderung membuat pegawai merasa

dihargai dan diperhatikan dengan sering

meminta pendapat mereka atau bahkan

melibatkan mereka dalam menentukan

kebijakan sehingga akan membuat

semangat kerja pegawai semakin

meningkat.

Berdasarkan beberapa

permasalahan tentang gaya

kepemimpinan dan motivasi kerja

pegawai yang telah dipaparkan di atas,

maka peneliti tertarik untuk mengkaji

serta memahami lebih dalam

terkaithubungan gaya kepemimpinan

secara umum dengan motivasi kerja dan

bagaimana hubungan dari masing-masing

gaya kepemimpinan (otoriter, demokratis

dan bebas) dengan motivasi kerja

pegawai RS X Banda Aceh.

TINJAUAN TEORI

Gaya Kepemimpinan

White dan Lippitt (dalam Winardi,

2000) menyebutkan bahwa gaya

kepemimpinan adalah suatu gaya yang

digunakan oleh pemimpin untuk

mempengaruhi bawahan.Nawawi (2003)

mendefinisikan gaya kepemimpinan

sebagaiperilaku atau cara yang dipilih dan

dipergunakan pemimpin dalam

mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap

dan perilaku para anggota organisasi atau

bawahannya dan Fleshman (dalam

Aditama, 2002) menyebutkan bahwa gaya

kepemimpinan adalah usaha

mempengaruhi orang atau perseorangan

(interpersonal), lewat proses komunikasi,

untuk mencapai suatu atau beberapa

tujuan.

Adapun aspek-aspek gaya

kepemimpinan menurut White & Lippitt

(dalam Winardi, 2000) yaitu (a) gaya

kepemimpinan otoriter, yaitugaya

kepemimpinan yang bersifat terpusat

pada pemimpin (sentralistik) sebagai satu-

satunya penentu, penguasa dan

pengendali anggota organisasi dan

kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan

organisasi, (b) gaya kepemimpinan

demokratis, yaituGaya kepemimpinan

yang menempatkan manusia sebagai

faktor terpenting dalam kepemimpinan

yang dilakukan berdasarkan dan

mengutamakan orientasi pada hubungan

dengan anggota organisasi, (c) gaya

kepemimpinan bebas, yaituGaya

kepemimpinan yang berpandangan bahwa

anggota organisasinya mampu mandiri

Page 80: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

77

dalam membuat keputusan atau mampu

mengurus dirinya masing-masing, dengan

sesedikit mungkin pengarahan atau

pemberian petunjuk dalam merealisasikan

tugas pokok masing-masing sebagai

bagian dari tugas pokok organisasi.

Motivasi kerja

Maslow (dalam Munandar, 2001)

mengemukakan bahwa kondisi manusia

berada dalam kondisi mengejar yang

berkesinambungan. Jika satu kebutuhan

dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut

diganti oleh kebutuhan lain. Menurut

Robbin dan Judge (2003), motivasi kerja

adalah kesediaan untuk mengeluarkan

tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan

organisasi, yang dikondisikan oleh

kemampuan upaya itu dalam memenuhi

beberapa kebutuhan individual.

Selanjutnya Munandar (2001)

menyebutkan bahwa motivasi kerja

adalah suatu proses kebutuhan-

kebutuhan mendorong seseorang untuk

melakukan serangkaian pekerjaan yang

mengarah kepada tercapainya tujuan

tertentu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

motivasi kerjamenurut Herzberg (dalam

Munandar, 2001) dibagi menjadi dua

golongan besar yaitu faktor intrinsik dan

faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri

dari (a) tanggung jawab, (b) kemajuan, (c)

pekerjaan itu sendiri, (d) pencapaian dan

(e) pengakuan. Sedangkan faktor

ekstrinsik terdiri dari (a) administrasi dan

kebijakan perusahaan, (b) pengawasan,

(c) gaji, (d) hubungan interpersonal dan

(e) kondisi kerja. Selain Herzberg, teori

motivasi lain yang juga sering digunakan

dalam penelitian adalah teori motivasi

Maslow yang membagi motivasi kedalam

5 aspek yaitu (a) Fisiologis, (b) keamanan,

(c) sosial, (d) penghargaan dan (e)

aktualisasi diri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan

metode penelitian kuantitatif dengan

jenis penelitian korelasional. Metode

pengambilan sampel yang digunakan

dalam penelitian ini adalah simple

random sampling. Penentuan jumlah

sampel merujuk pada tabel nomogram

Harry King (Sugiono, 2011) dengan taraf

kepercayaan 95%, dari total populasi

sebanyak 127 orang karyawan

administrasi, maka diperoleh jumlah

sampel penelitian yang akan digunakan

adalah sebanyak 90 orang pegawai RS ‘X’

yang terdiri dari 54 orang laki-laki dan 36

orang perempuan. Pemilihan karyawan di

bagian administrasi dengan asumsi

bahwa karyawan di bagian tersebut lebih

Page 81: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

78

sering berinteraksi secara langsung

dengan pimpinan (direktur) rumah sakit.

Teknik Pengumpulan Data

Skala yang digunkaan dalam

penelitian ini terdiri dari dua skala yang

dibuat sendiri oleh peneliti. Skala gaya

kepemimpinan disusun berdasarkan

aspek-aspek gaya kepemimpinan dari

White & Lippitt(dalam Winardi, 2000) dan

skala motivasi kerja yang disusun

berdasarkan aspek-aspek motivasi kerja

dari Maslow (dalam Munandar, 2001).

Setiap pernyataan dalam skala

motivasi kerja terdiri dari pernyataan

yang bersifat favorable dan unfavorable.

Setiap pernyataan pada skala motivasi

kerja memiliki empat alternatif jawaban

yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak

Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Skala gaya kepemimpinan tidak

memiliki item unfavorabledikarenakan

bentuknya yang merupakan tipologi

sehingga tidak ada aitem yang bernilai

negatif. Masing-masing aspek dalam skala

gaya kepemimpinan terdiri dari 16 butir

aitem sehingga memiliki total 48 item

untuk 3 gaya kepemimpinan. Sedangkan

skala motivasi kerja terdiri 8 aitem untuk

setiap aspeknya dan memiliki total 40

aitem dengan rincian 20 aitem

unfavorabledan 20 aitem favorable.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang

digunakan untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini adalah teknik korelasi

Pearson Product Moment dan regresi

dengan metode entered. Keseluruhan

analisis data dilakukan dengan

menggunakan SPSS 16.0 for Windows.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Data

Untuk mendapatkan gambaran

umum mengenai data penelitian secara

singkat dapat dilihat pada tabel 3,

terdapat perbandingan antara data

hipotetik (yang mungkin terjadi) dan data

empirik (berdasarkan kenyataan di

lapangan).

Page 82: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

79

Tabel 1. Data Demografi Sampel Penelitian

Deskripsi Sampel Kategori Jumlah Persentase

(%) Total

Jenis Kelamin Laki-laki 54 60 100%

Perempuan 36 40 Lama Kerja < 10 tahun 50 56 100%

➢ 10 tahun 40 44 Usia 20-29 16 18 100%

30-39 35 38 40-49 ➢ 50

32 7

36 8

Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian

Variabel Data Hipotetik Data Empirik

Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD

Gaya Kepemimpinan (GK) 140 35 87.5 17.5 117 66 90.73 13.33

GK Otoriter 56 14 35 7 49 19 34.39 7.54 GK Demokratis 32 8 20 4 31 13 23.44 3.39 GK Bebas 52 13 32.5 6.5 46 19 32.90 6.68 Motivasi Kerja 124 31 77.5 15.5 124 60 81.81 11.91

Deskripsi hasil data penelitian

tersebut dapat dijadikan batasan dalam

pengkategorian subjek yang terdiri dari

tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan

rendah. Tabel normatif untuk

pengkategorian subjek dalam penelitian

ini berdasarkan data empirik pada dua

variabel, yaitu variabel gaya

kepemimpinan dan variabel motivasi

kerja. Tabel normatif kategorisasi dapat

dilihat sebagai berikut:

Tabel 3. Kategorisasi Subjek Penelitian

Kategori Rumus Kategori

Rendah X < (M -1,0SD) Sedang (M -1,0SD) ≤ X <(M +1,0SD) Tinggi (M + 1,0SD) ≤ X

Page 83: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

80

Berpedoman pada norma yang telah

disusun tersebut, peneliti melakukan

kategorisasi skor tiap-tiap subjek

penelitian pada masing-masing variable

penelitian. Hasil kategorisasi tersebut

dapat dilihat pada tabel 5, 6, 7 dan 8 di

bawah ini:

Tabel 4. Kategorisasi Gaya Kepemimpinan Otoriter Pada Subjek Penelitian

Kategori Interval Frekuensi Persentase

Rendah X < (34-7) 18 20%

Sedang (34-7) ≤ X <(34+7) 53 58.89%

Tinggi (34+7) ≤ X 19 21.11%

Jumlah 90 100%

Berdasarkan tabel diatas dari 90 subjek

diketahui sebanyak 18 orang (20%)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

otoriter di RS X rendah, 53 orang

(58,89%) menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan otoriter berada pada

kategori sedang, dan 19 orang (21,11%)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

otoriter berada pada kategori tinggi.

Tabel 5. Kategorisasi Gaya Kepemimpinan Demokratis Pada Subjek Penelitian

Kategori Interval Frekuensi Persentase

Rendah X < (23-3) 11 12.22%

Sedang (23-3) ≤ X <(23+3) 55 61.11%

Tinggi (23+3) ≤ X 24 26.67%

Jumlah 90 100%

Berdasarkan tabel diatas dari 90 subjek

diketahui sebanyak 11 orang (12,22%)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

demokratis di RS X rendah, 55 orang

(61,11%) menyatakan bahwa gaya

kepemimpinan demokratis berada pada

kategori sedang, dan 24 orang (26,67%)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

demokratis berada pada kategori tinggi.

Page 84: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

81

Tabel 6. Kategorisasi Gaya Kepemimpinan Bebas Pada Subjek Penelitian

Kategori Interval Frekuensi Persentase

Rendah X < (33-7) 16 17.78%

Sedang (33-7) ≤ X <(33+7) 59 65.55%

Tinggi (33+7) ≤ X 15 16.67%

Jumlah 90 100%

Berdasarkan tabel diatas, dari 90 subjek

diketahui sebanyak 16 orang (17,78%)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

bebas di RS X rendah, 59 orang (65,55%)

menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

bebas berada pada kategori sedang, dan

15 orang (16,67%) menyatakan bahwa

gaya kepemimpinan bebas berada pada

kategori tinggi.

Tabel 7. Kategorisasi Motivasi Kerja Pada Subjek Penelitian

Kategori Interval Frekuensi Persentase

Rendah X < (82-12) 7 7.78%

Sedang (82-12) ≤ X <(82+12) 69 76.67%

Tinggi (82+12) ≤ X 14 15.55%

Jumlah 90 100%

Berdasarkan tabel diatas dari 90

subjek diketahui sebanyak 7 orang

(7,78%) dengan skor pada kategori

rendah, 69 orang (76,67%) dengan skor

pada kategori sedang, dan 14 orang

(15,55%) dengan skor pada kategori

tinggi.

Sebelum dilakukan uji hipotesis,

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas

dan linearitas data yang merupakan syarat

yang harus dipenuhi sebelum melakukan

uji hipotesis. Hasil uji normalitas dari 90

sampel penelitian menunjukkan bahwa

variabel gaya kepemimpinan memiliki

sebaran yang normal yaitu K-S Z = 0.768,

dengan p= 0.597 (p > 0.05), sedangkan

variabel motivasi kerja memiliki sebaran

yang tidak normal yang ditunjukkan oleh

nilai K-S Z = 1.944, dengan p=0.001 (p <

0.05). Hasil uji linearitas melalui ANOVA

test of linearity menunjukkan nilai

signifikansi pada deviation from linearity

sebesar F= 71.934 dan nilai signifikansi

deviation from linearity p= 0.000 (p <

0.05), maka dapat disimpulkan bahwa

antara variabel gaya kepemimpinan

dengan motivasi kerja memiliki hubungan

yang linier.

Page 85: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

82

DISKUSI

Hasil pengujian hipotesis mayor

menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara gaya

kepemimpinan dengan motivasi kerja

yang ditunjukkan (R)=0.820 dan p=0.000,

dinyatakan signifikan karena p<0.01. Dari

perhitungan diperoleh hasil bahwa gaya

kepemimpinan memberikan pengaruh

sebesar 66,2% terhadap motivasi kerja

pegawai. Sumbangan tersebut termasuk

dalam kategori cukup besar. Ada 33,8 %

faktor lain yang juga mempengaruhi

motivasi kerja yang tidak terukur dalam

peneltian ini, seperti gaji, tanggung

jawab, pencapaian, kebijakan, kondisi

kerja, dan lainnya. Sedangkan untuk

analisa pada hipotesis minor

menunjukkan hasil bahwa gaya

kepemimpinan otoriter memiliki

sumbangan yang paling besar terhadap

motivasi kerja pegawai yaitu sebesar

52,8%. Gaya kepemimpinan otoriter

memiliki hubungan negative dengan

motivasi kerja, artinya semakin otoriter

gaya kepemimpinan yang diterapkan

maka akan semakin rendah motivasi

pegawai di RS X. Hal yang sama juga

terjadi pada gaya kepemimpinan bebas

yang memiliki korelasi sebesar 19,4%.

Artinya semakin besar kebebasan yang

diberikan oleh seorang pemimpin (nilai

kepemimpinan bebasnya semakin tinggi)

maka akan semakin rendah motivasi kerja

pegawainya. Sedangkan untuk gaya

kepemimpinan demokratis memiliki

korelasi positif sebesar 35,1%. Artinya

semakin tinggi (demokratis) seorang

pemimpin maka akan semakin tinggi

motivasi kerja pegawai di RS X.

Hasil penelitian ini menguatkan

penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Semueil (2011), yang juga

menyatakan bahwa terdapat hubungan

yang signifikan antara gaya

kepemimpinan dengan motivasi kerja,

dalam hal ini gaya kepemimpinan

memberikan kontribusi yang cukup kuat

terhadap motivasi kerja. Gaya

kepemimpinan mempunyai hubungan

yang sangat erat dengan motivasi kerja,

Karena keberhasilan seorang atasan

dalam menggerakkan orang lain untuk

mencapai suatu tujuan, tergantung pada

bagaimana atasan tersebut menciptakan

motivasi didalam diri setiap bawahannya

(Rivai, 2003).

Danim (2010) menyebutkan bahwa

pemimpin yang hebat adalah pemimpin

yang memiliki motivasi dan memotivasi

dengan kuat. Herzberg (dalam Danim,

2010) menyatakan bahwa kepemimpinan

Page 86: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

83

harus memainkan peran dalam rangka

menyediakan visi yang menarik,

kemampuan mempengaruhi dan

memimpin orang-orang menuju

pencapaian tujuan-tujuan tertentu,

memotivasi, menginspirasi dan

mendukung orang-orang kearah tujuan

organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian,

motivasi kerja para pegawai RS X

kebanyakan berada pada kategori

sedang, hal ini terlihat dari persentase

yang dihasilkan sebesar 76,67%,

sedangkan pegawai yang memiliki

motivasi kerja tinggi mencapai 15,55%

dari jumlah sampel dan sebesar 7,78%

pegawai memiliki motivasi kerja rendah.

Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi

karena adanya pergantian pimpinan yang

baru pada RS X yang dilakukan oleh

pemerintah daerah.

Hasil kategorisasi aspek gaya

kepemimpinan didapatkan bahwa rata-

rata dari ketiga aspek gaya

kepemimpinan berada pada kategori

sedang. Hal ini terlihat pada lebih dari

50% subjek memilih kategori sedang

dalam ketiga aspek gaya kepemimpinan

tersebut. Hasil ini kemungkinan

disebabkan oleh ketidakpahaman subyek

penelitian tentang gaya kepemimpinan.

Pada gaya kepemimpinan otoriter hanya

21,11% dari subjek yang mengatakan

tinggi, sedangkan pada gaya

kepemimpinan demokratis sebesar

26,67% menyatakan tinggi dan pada gaya

kepemimpinan bebas sebesar 16,67%

menyatakan tinggi. Artinya bahwa gaya

kepemimpinan di RS X tidak monoton dan

terpaku pada satu gaya saja, namun hasil

penelitian menunjukkan bahwa

pemimpin pada RS X menggunakan ketiga

gaya kepemimpinan dalam memimpin

instansi tersebut.

Selain itu, temuan di lapangan

menunjukkan bahwa secara umum,

motivasi kerja tidak terlalu tergantung

pada jenis kelamin maupun usia para

pegawai dengan kata lain tidak terdapat

perbedaan motivasi kerja pada jenis

kelamin maupun usia para pegawai. Hal

ini terlihat dari jumlah sampel pada

penelitian ini, rata-rata motivasi kerja

pegawai berada pada kategori sedang

yaitu sebanyak 69 orang atau sebesar

76,67%. Hal ini senada dengan penelitian

yang dilakukan oleh Yusuf (2006) yang

menyatakan bahwa faktor-faktor seperti

usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan

dan masa kerja tidak memiliki hubungan

yang nyata dengan motivasi kerja

pegawai. Bachtiar dan Cahyaningrum

(2006) juga menyatakan hal yang sama

bahwa motivasi kerja seorang pegawai

Page 87: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

84

tidak dapat diukur melalui masa kerjanya.

Seorang pegawai memiliki motivasi kerja

yang tinggi bukan karena masa kerja yang

lama, melainkan karena faktor-faktor lain

yang mendukung motivasi kerja.

Penelitian ini memiliki beberapa

keterbatasan dalam pelaksanaannya

antara lain partisipan penelitian hanya

berasal dari satu bagian saja dari

keseluruhan rumah sakit sehingga

keterwakilan sampel belum terpenuhi,

hal ini dilakukan karena faktor efisiensi

waktu dan keterbatasan tenaga dan

berakibat pada keterbatasan dinamika

penelitian yang dapat diungkapkan. Skala

yang digunakan merupakan buatan

peneliti sendiri sehingga memiliki

keterbatasan dari segi pengetahuan

maupun pemahaman akan teori yang

digunakan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang positif

dan signifikan antara gaya kepemimpinan

dengan motivasi kerja pegawaiRS X

dengan (R)=0.820 dan p=0.000 (p<0.01).

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan

bahwa sumbangan gaya kepemimpinan

dengan motivasi kerja sebesar R-

Square=0.662 atau 66,2%, sedangkan

33,8% lainnya dapat disebabkan oleh

variabel-variabel lain selain gaya

kepemimpinan yang tidak terlibat dalam

penelitian ini.

Penelitian ini juga bertujuan untuk

melihat aspek gaya kepemimpinan mana

yang memberikan kontribusi terhadap

meningkatnya motivasi kerja pegawai RS

X. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

gaya kepemimpinan demokratis

merupakan gaya kepemimpinan yang

memberikan kontribusi terhadap

meningkatnya motivasi kerja pegawai RS

X, sedangkan gaya kepemimpinan otoriter

dan gaya kepemimpinan bebas akan

memberikan kontribusi yang justru akan

menurunkan motivasi kerja para pegawai

RS X.

Saran peneliti bagi pihak rumah

sakit untuk dapat menerapkan gaya

kepemimpinan demokratis dalam

menjalankan kepemimpinan karena gaya

kepemimpinan demokratis dapat

meningkatkan motivasi kerja para

pegawai. Saran bagi peneliti selanjutnya

untuk dapat memertimbangkan variabel

lainnya yang memengaruhi motivasi kerja

seperti gaji, tanggung jawab dan

hubungan interpersonal. Selain itu

peneliti juga menyarankan kepada

peneliti lain untuk mempertimbangkan

karagaman/karakteristik sampel yang

akan digunakan agar variasi hasil

Page 88: Assalamualaikum Wr. Wb - rp2u.unsyiah.ac.id

85

penelitian dapat lebih beragam dan

memberikan masukan yang lebih

menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. (2002). Manajemen administrasi rumah sakit. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Andi. (2004). 10 Model penelitian dan

pengolahannya dengan spss 10.01. Semarang : Wahana Komputer.

As’ad, M. (2003). Psikologi industri.

Yogjakarta: Liberty Yogjakarta Bachtiar, M., &Cahyaningrum, D.A. (2006).

Perbedaan motivasi kerja pada pegawai kontarak ditinjau masa kerja. Naskah Publikasi. UGM, Yogyakarta.

Danim, S. (2010). Kepemimpinan

pendidikan, kepemimpinan jenius,etika, perilaku motivasional dan mitos. Jakarta: Alfabeta

Darmawan, Z. (2008). Hubungan

transformational leadership dengan semangat kerja dan moralitas pegawai. Skripsi. Unisba, Bandung.

Dimas, A. (2008). Hubungan gaya

kepemimpinan partisipatif dengan motivasi kerja pegawai pada area pelayanan dan jaringan PT. PLN distribusi Banten. Skripsi. Unisba, Bandung.

Hasibuan, M.S.P. (2006). Manajemen

sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Munandar. (2001). Psikologi industri dan

organisasi. Jakarta: UI-Press Nawawi, H. (2003). Kepemimpinan

mengefektifkan organisasi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prabu, A. (2005). Pengaruh motivasi terhadap

kepuasan kerja pegawai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional kabupaten Muara Enim. Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya, 3(6).

Rivai, V. (2003). Kepemimpinan dan perilaku

organisasi.Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Robbins, Stephen P & Timothy A. Judge

(2003). Perilaku organisasi, PT. Salemba Empat, Jakarta.

Semueil, W. (2011). Hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja guru SMK Negeri Manado. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 2(2).

Winardi. (2000). Kepemimpinan dalam

manajemen. Jakarta: Rineka Cipta. Yusuf, R. R.C. (2006). Analisis faktor-faktor

yang berhubungan dengan motivasi kerja pegawai(studi kasus divisi produksi bagian spinning, weaving, yarn dyeing dan dyeing finishing PT Unitex Tbk Bogor). Skripsi. Pertanian Bogor, Bogor.