askep hsfsksnsvsjsmsbsgysowlansbgsusnsbshsjnsgs

download askep hsfsksnsvsjsmsbsgysowlansbgsusnsbshsjnsgs

of 29

description

Vgdfbnjhbfsghnvxsdhjnbfhjnbgg vguvfj khsvdkyfdhkdbsbjvdyjsuoshsjbdkhvdkydgdljbdjbdvjgsfiysgwljgeiyfwi

Transcript of askep hsfsksnsvsjsmsbsgysowlansbgsusnsbshsjnsgs

  • 1

    PENGARUH SENAM OTAK DENGAN FUNGSI KOGNITIF LANSIA

    DEMENSIA DI PANTI WREDHA DARMA BAKTI KASIH

    SURAKARTA

    Rochmad Agus Setiawan 1)

    , Wahyuningsih Safitri

    2), Ari Setiyajati

    3)

    123Prodi S-1Keperawatan, STIkes Kusuma Husada Surakarta

    ABSTRAK

    Demensia merupakan sindroma klinis yang meliputi hilangya fungsi intelektual dan

    memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi dalam kehidupan sehari-hari. Senam otak adalah metode gerak aktif dan latih otak untuk mengaktifkandua belah

    otak dan memadukan fungsi semua bagian otak sehingga dapat meningkatkan fungsi

    kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif pada lansia demensia.Desain penelitian ini adalah quasy experiment dengan pre

    and post test without control dengan tehnik total sampling, yaitu tehnik pengambilan

    sample dimana jumlah sample sama dengan populasi.Sample dalam penelitian ini adalah

    lansia yang berada di Panti Wredha Darma Bakti Kasih Surakarta sebanyak 15 orang. Alat pengumpulan data yangdigunakan kuesioner Mini Mental Status Examination.

    Analisis uji statistik ini menggunakan Paired sample t test. Hasil penelitian ini

    menunjukkan t hitung (8,500) > dari t table (6,714) dan p value (0,000) < dari (0,05) sehingga Ho ditolak artinya ada pengaruh senam otak dengan fungsi kognitif lansia

    demensia.Senam otak efektif untuk meningkatkan fungsi kognitif pada lansia demensia.

    Diharapkan lansia dapat melakukan senam otak secara teratur.

    Kata Kunci : Senam otak, Lansia, Fungsi Kognitif, Demensia

    ABSTRACT

    Dementia is a clinical syndrome which includes the severe loss of intellectual function

    and memory so that it causes dysfunctions in their daily life. Brain gymnastics is an

    active motion method and a brain exercise to activate the two halves of the brain and to integrate all of the functions of the two halves so as to improve the cognitive functions.

    The objective of this research is to investigate the effect of brain gymnastics on cognitive

    function of the dementia elderly.This research used the quasi experimental research

    method with the pretest and posttest without control design. The samples of the research were taken by using the total sampling technique. They consisted of the dementia elderly

    as many as 15 person living in Darma Bakti Kasih Nursing Home of Surakarta. The data

    of the research were gathered through questionnaire of Mini Mental Status Examination. The data of the research were statistically analyzed by using the paired sample t test.

    The result of the research shows that the value of tcount is 0.000, which is smaller than that

    of =0.05 so that Ho is rejected, meaning that there is an effect of brain gymnastics on cognitive function of the dementia elderly.Thus, a conclusion is drawn that the brain

  • 2

    gymnastics is effective to improve the cognitive function of the dementia elderly. The

    elderly are expected to carry out the brain gymnastics regularly.

    Keywords: Brain gymnastics, elderly, cognitive function, and dementia

    PENDAHULUAN

    Perkembangan jumlah penduduk

    lanjut usia di dunia, menurut

    perkiraan World Healt Organitation

    (WHO) akan meningkat pada tahun

    2025 dibandingkan tahun 1990

    dibeberapa Negara dunia seperti

    China 220%, India 242%, Thailand

    337%, dan Indonesia 440% (Wiwin

    2011). Asia merupakan wilayah yang

    paling banyak mengalami perubahan

    komposisi penduduk dan

    diperkirakan pada tahun 2025,

    populasi lanjut usia akan bertambah

    sekitar 82%. Penduduk lanjut usia di

    Indonesia 2008 sebesar 21,2 juta

    jiwa, dengan usia harapan hidup 66,8

    tahun, tahun 2010 sebesar 24 juta

    jiwa dengan usia harapan hidupnya

    67,4 tahun dan pada tahun 2020

    jumlah lansia diperkirakan sebesar

    28,8 juta jiwa dengan usia harapan

    hidup 71,1 tahun (Arita, 2011).

    Jumlah penduduk lanjut usia di

    DI.Yogyakarta mencapai 5 juta jiwa

    dan Jawa tengah mencapai 3 juta.

    Jumlah Lansia di Puskesmas Weru

    sebanyak 16.191 orang. Surakarta

    menunjukkan penduduk yang berusia

    65 tahun keatas sebanyak 23.496

    orang (Badan Pusat Statistika 2012).

    Meningkatnya populasi lansia

    akan dapat menimbulkan masalah

    masalah penyakit pada usia lanjut.

    Menurut Departemen Kesehatan

    tahun 1998, terdapat 7,2 % populasi

    usia lanjut 60 tahun keatas untuk

    kasus demensia. Sebanyak 5 % usia

    lanjut 65 70 tahun menderita

    demensia dan akan meningkat dua

    kali lipat setiap 5 tahun mencapai

    lebih 45% pada usia diatas 85 tahun

    (Nugroho, 2008). Demensia

    merupakan suatu gangguan fungsi

    daya ingat yang terjadi perlahan

    lahan, serta dapat mengganggu

    kinerja dan aktivitas kehidupan

    sehari hari (Atun 2010).

    Demensia di tandai dengan

    adanya gangguan mengingat jangka

    pendek dan mempelajari hal hal

    baru, gangguan kelancaran berbicara

    (sulit menyebutkan nama benda dan

    mencari kata kata untuk

    diucapkan), keliru mengenai tempat -

    waktu orang atau benda, sulit

    hitung menghitung, tidak mampu

    lagi membuat rencana, mengatur

    kegiatan, mengambil keputusan, dan

    lain lain (Sumijatun 2005).

    Beberapa tindakan yang dapat

    digunakan untuk mengatasi demensia

    antara lain dengan mengenal

    kemampuan-kemampuan yang masih

    dimiliki, terapi individu dengan

    melakukan terapi kognitif, terapi

    aktivitas kelompok dan senam otak

    (Stuart & Laraia 2010).

    Senam otak adalah suatu usaha

    alternative alami yang sehat untuk

    menghadapi ketegangan dan

    menghadirkan relaksasi dalam

    kehidupan sehari-hari. Senam otak

    bertujuan meningkatkan rasa percaya

    diri, menguatkan motivasi belajar,

    merangsang otak kiri dan kanan,

    merelaksasi otak dan dapat

    meningkatkan fungsi kognitif (Andri

    2013).

    Kegiatan senam otak ditujukan

    untuk merelaksasi dimensi

    pemusatan, menstimulasi (dimensi

    lateralis) dan meringankan (dimensi

    pemfokusan). Dengan senam otak

  • 3

    diharapkan lansia demensia yang

    mengalami penurunan fungsi

    kognitif dapat meningkat, lebih

    bersemangat serta meningkatkan

    konsentrasi(Dennison 2010).

    Prinsip senam otak adalah

    mengaktifkan 3 dimensi otak,

    dimensi pemusatan dapat

    meningkatkan aliran darah ke otak,

    meningkatkan penerimaan oksigen

    sehingga dapat membersihkan otak,

    dimensi lateralis akan menstimulasi

    koordinasi kedua belahan otak yaitu

    otak kiri dan kanan (memperbaiki

    pernafasan, stamina, melepaskan

    ketegangan dan mengurangi

    kelelahan), dimensi pemfokusan

    untuk membantu melepaskan

    hambatan fokus dari otak

    (memperbaiki kurang perhatian,

    kurang konsentrasi) (Dennison dalam

    Anton 2010).

    Berdasarkan hasil studi

    pendahuluan yang dilakukan peneliti

    di Panti Wredha Darma Bakti Kasih

    Surakarta terdapat jumlah lansia 52

    orang dan yang mengalami demensia

    berjumlah 15 orang. Hasil

    wawancara dari 15 orang lansia di

    Panti Wredha Darma Bakti Kasih

    Surakarta yang mengalami demensia

    mengatakan keluhan yang sering

    dirasakan lansia di panti yaitu sering

    lupa saat menaruh barang, mudah

    lupa dengan nama sesama lansia di

    panti dan sering kebingungan saat di

    tanya seseorang. Hal yang mendasari

    tempat penelitian di Panti Wredha

    Darma Bakti Kasih Surakarta

    dikarenakan di panti tersebut

    terdapat paling banyak lansia yang

    mengalami demensia dari panti yang

    lain.

    Tujuan penelitian ini adalah

    untuk mengetahui pengaruh senam

    otak dengan fungsi kognitif pada

    lansia demensia.

    METODOLOGI

    Penelitian ini menggunakan

    rancangan quasi eksperiment. Desain

    penelitian yang digunakan yaitu

    kuantitatif dengan pre and post test

    without control. Penelitian

    dilaksanakan pada tanggal 10

    Februari sampai dengan 1 Maret

    2014 di Panti Wredha Darma Bakti

    Kasih Surakarta. Populasi dalam

    penelitian ini adalah lansia yang

    mengalami demensia berjumlah 15

    orang. Penelitian ini menggunakan

    teknik total sampling. Alasan

    peneliti mengambil total sampling

    karena jumlah populasi hanya 15

    orang yang memenuhi kriteria yang

    diinginkan yaitu lansia dengan

    demensia. Jumlah populasi yang

    hanya 15 menjadi alasan peneliti

    mengambil tehnik total sampling

    agar hasil yang didapatkan lebih

    signifikan. Berdasarkan studi

    pendahuluan lansia yang berada di

    panti wredha berjumlah 52 lansia

    dari krieteria lansia yang telah

    ditentukan lansia yang mengalami

    demensia didapatkan berjumlah 15

    orang, untuk memastikan lansia

    tersebut mengalami demensia

    peneliti menggunakan data rekam

    medik dari diagnosa dokter. Setelah

    itu peneliti mengajukan surat izin

    penelitian dari ketua STIKes

    Kusuma Husada Surakarta dan

    kepala Panti Wreda Darma Bakti

    Kasih Surakarta.

    Peneliti bekerja sama dengan

    perawat Panti wreda untuk

    menghubungi lansia dengan tujuan

    menjelaskan penelitian yang akan

    dilakukan yaitu tentang terapi senam

    otak serta tujuan penelitian, apabila

  • 4

    lansia bersedia maka peneliti

    memberikan lembar persetujuan

    menjadi responden penelitian untuk

    ditandatangani serta kontrak waktu

    untuk melakukan senam otak. Lansia

    yang bersedia menjadi responden di

    lakukan pre test terlebih dahulu

    dengan diberikan kuesioner Mini

    Mental Status Examination untuk

    menilai fungsi kognitif, dalam

    kuesioner tersebut terdapat 11

    pertanyaan yang harus dijawab oleh

    lansia untuk mengetahui skor fungsi

    kognitif. Setelah dilakukan pre test,

    selanjutnya peneliti dan perawat

    memanggil responden untuk

    berkumpul diaula panti untuk

    diberikan perlakuan senam otak

    dengan alat bantu video selama 15

    menit selama 3 minggu dari tanggal

    10 Februari-1Maret 2014. Post test

    dilakukan 3 hari setelah perlakuan

    dengan menggunakan pertanyaan

    dari kuesioner Mini mental status

    eximinitation untuk mengetahui

    fungsi kognitif pada lansia.

    HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik jumlah responden

    yang melakukan senam otak

    berjumlah 15 orang yang akan

    disajikan pada tabel dibawah ini.

    Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan umur (n = 15)

    Usia (tahun) Jumlah (n) Persentase %

    60-74 tahun (lanjut usia dini)

    11 53

    75-90 tahun

    (lanjut usia tua)

    4 27

    Jumlah 15 100

    Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui

    bahwa usia responden terbanyak

    adalah usia 60-74 tahun (53%)

    sebanyak 11 orang dan usia 75-90

    tahun (27%) sebanyak 4 orang. Hal

    ini sejalan dengan hasil penelitian

    terdahulu bahwa jumlah lansia yang

    mengalami demensia lebih besar

    pada umur 60-75 tahun yaitu (75%)

    (Marhamah 2009).

    Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin (n = 15)

    Berdasarkan Tabel 2 dapat

    ketahui bahwa responden yang

    berjenis kelamin laki-laki sebanyak

    4 responden (27%), sedangkan

    responden berjenis kelamin

    perempuan sebanyak 11 responden

    (73%). Hasil penelitian ini didukung

    oleh hasil penelitian Rekawati

    (2004), yang menyatakan bahwa usia

    harapan hidup perempuan lebih lama

    dibandingkan dengan laki-laki.

    Semakin tinggi usia harapan hidup

    perempuan maka semakin lama

    kesempatan lansia perempuan untuk

    hidup, sehingga semakin besar

    kemungkinan mengalami demensia.

    Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)

    Laki-laki 4 27

    Perempuan 11 73

    Jumlah 15 100

  • 5

    Tabel 3 Distribusi responden berdasarkan pendidikan (n = 15)

    Pendidikan Jumlah (n) Persentase %

    Tidak sekolah 2 20

    SD 6 40 SMP 5 27

    SMA 2 13

    Total 15 100

    Berdasarkan Tabel 3 dapat

    diketaui tingkat pendidikan

    responden yang tidak bersekolah

    sebanyak 2 responden (20%),

    pendidikan SD sebanyak 6

    responden (40%), pendidikan SMP

    sebanyak 5 responden (27%) dan

    pendidikan SMA sebanyak 2

    responden (13%). Hasil penelitian ini

    sesuai dengan hasil penelitian

    Rekawati (2004) yang menyatakan

    bahwa lansia yang berpendidikan

    rendah mempunyai risiko terjadinya

    demensia sebesar 2,025 kali lebih

    dibandingkan dengan usia lanjut

    yang berpendidikan tinggi, karena

    jika seseorang jarang

    menggunakan otak untuk berfikir

    akan menimbulkan risiko terjadinya

    penurunan kognitif.

    Tabel 4 Distribusi fungsi kognitif MMSE sebelum dilakukan senam otak (n=15)

    Klasifikasi Jumlah (n) Persentase %

    Normal 0 0

    Kognitif Ringan 3 20

    Kognitif Sedang 7 47

    Kognitif Berat 5 33

    Jumlah 15 100

    Berdasarkan Tabel 4 dapat

    diketahui bahwa nilai kognitif

    responden sebelum diberikan terapi

    senam otak dengan nilai kognitif

    ringan sebanyak 3 responden (20%),

    nilai kognitif sedang sebanyak 7

    responden (47%) dan nilai kognitif

    berat sebanyak 5 responden (33%).

    Hasil ini sesuai dengan penelitian

    sebelumnya yang menunjukan nilai

    kognitif sebelum diberikan senam

    otak adalah kognitif sedang sebanyak

    (60%) (Festi 2010).

    Menurut Pudjiastuti (2003)

    bahwa menurunnya kemampuan

    fungsi kognitif lansia dikarenakan

    susunan saraf pusat pada lansia

    mengalami perubahan morfologis

    dan biokimia, berat otak lansia

    berkurang berkaitan dengan

    berkurangnya kandungan protein dan

    lemak pada otak sehingga otak

    menjadi lebih ringan. Akson,

    dendrite dan badan sel saraf

    mengalami banyak perubahan,

    dendrit yang berfungsi sebagai

    sarana untuk komunikasi antar sel

    saraf mengalami perubahan menjadi

    lebih tipis dan kehilangan kontak

    antar sel saraf, daya hantar saraf

    mengalami penurunan sehingga

    gerakan menjadi lamban.

  • 6

    Tabel 5 Distribusi Fungsi kognitif MMSE sesudah dilakukan senam otak (n = 15)

    Klasifikasi Jumlah (n) Persentase %

    Normal 0 0

    Kognitif Ringan 8 53

    Kognitif Sedang 5 33

    Kognitif Berat 2 14

    Jumlah 15 100

    Berdasarkan Tabel 5 dapat

    diketahui bahwa nilai kognitif

    responden sesudah diberikan terapi

    senam otak dengan nilai kognitif

    ringan sebanyak 8 responden (53%),

    nilai kognitif sedang sebanyak 5

    responden (33%) dan nilai kognitif

    berat sebanyak 2 orang (14%).

    Menurut teori senam otak pada buku

    brain gym Paul dan Gail E. dennison

    menyatakan bahwa gerakan senam

    otak dapat merangsang seluruh

    bagian otak untuk bekerja sehingga

    dapat meningkatkan kemampuan

    kognitif. Gerakan senam otak juga

    mempunyai fungsi meningkatkan

    kewaspadaan, konsentrasi dan

    memori misalnya dengan gerakan 8

    tidur (lazy 8 yang berfungsi untuk

    meningkatkan konsentrasi dan

    memori. Hasil wawancara peneliti

    pada 15 ketika ditanya menyebutkan

    nama benda, pengurangan angka dan

    nama bulan dapat menjawab dengan

    baik dan tepat.

    Ada beberapa cara untuk

    mengatasi terjadinya demensia pada

    lansia baik secara farmakalogis

    maupun nonfarmakalogi. Pada

    penelitian ini menggunakan cara non

    farmakalogi yaitu terapi senam otak

    diberikan selama 15 menit setiap hari

    selama 2 kali secara teratur selama 3

    minggu. Selain itu peneliti ini sesuai

    dengan teori yang dikemukakan oleh

    seorang ahli yang menemukan

    gerakan senam otak di Amerika yang

    menyatakan bahwa terapi senam otak

    yang dilakukan selama 2 xsehari

    dalam 15 menit selama 3 minggu,

    secara teratur dapat mengurangi

    terjadinya penurunan fungsi kognitif

    (Denisson 2009).

    Sebelum dilakukan analisis

    bivariat, dilakukan uji normalitas

    untuk mengetahui data berdistribusi

    normal atau tidak. Uji normalitas

    dalam penelitian ini menggunakan

    uji Shapiro- wilk karena sample data

    kurang dari 50 (Sopiyudin 2013).

    Hasil uji normalitas Shapiro-wilk

    dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6 Uji Normalitas Shapirowilk (n = 15)

    Variabel Shapiro- wilk

    P value

    Pre test 0,484

    Post test 0,637

  • 7

    Berdasarkan Tabel 6, uji shapiro

    wilk test diperoleh p value sebelum

    intervensi 0,484 dan p value sesudah

    intervensi 0,637 sehingga p value

    yang diperoleh > 0,05 maka

    berdistribusi normal dan uji statistik

    yang digunakan adalah statistik

    parametrik dengan uji Paired Sample

    t- test.

    Berdasarkan hasil penelitian

    diketahui bahwa ada pengaruh senam

    otak dengan fungsi kognitif lansia

    demensia. Berdasarkan hasil

    penelitian yang dilakukan Lisniani

    (2010) bahwa senam otak dapat

    meningkatan fungsi kognitif dengan

    nilai yang signifikan sebelum 9,15

    dan sesudah 15,85 dengan selisih

    6,7. Hasil ini sesuai dengan

    penelitian sebelumnya yang

    menyatakan bahwa senam otak dapat

    meningkatkan daya ingat lansia

    dengan nilai signifikan yaitu p=0,005

    (p

  • 8

    atau bekerja berlangsung

    menggunakan seluruh otak (whole

    brain), mengurangi stress emosional

    dan pikiran lebih jernih, menjadikan

    orang lebih bersemangat, lebih

    konsentrasi, lebih kreatif dan efisien,

    kemampuan berbahasa dan daya

    ingat meningkat, hubungan antar

    manusia dan suasana belajar/bekerja

    lebih rileks dan senang.

    Hasil dari uji Paired Sample t-

    test didapatkan mean pre test 19.20

    dan untuk mean post test 20.33

    sehingga dapat dilihat adanya

    peningkatan fungsi kognitif sebelum

    dan sesudah perlakuan 1,13. Hasil t

    hitung sebesar 8,500 > t table 6,714

    dengan nilai p value 0,000 sehingga

    Ho ditolak artinya ada pengaruh

    sebelum dan sesudah senam otak

    dengan fungsi kognitif lansia

    demensia di Panti Wredha Darma

    Bakti Kasih Surakarta. Hasil

    penelitian ini menunjukkan bahwa

    senam otak secara signifikan

    bermanfaat dalam meningkatkan

    fungsi kognitif lansia yang

    mengalami demensia dibuktikan

    dengan hasil yang bermakna skor

    nilai fungsi kognitif setelah

    dilakukan senam otak.

    KESIMPULAN

    Berdasarkan hasil penelitian yang

    telah dilakukan dapat disimpulkan

    bahwa:

    1. Mayoritas usia responden

    yang mengalami demensia

    paling banyak berumur 60-

    74 tahun sebanyak 11

    responden (53%).

    2. Jenis kelamin responden

    paling banyak adalah

    berjenis perempuan

    sebanyak 11 responden

    (73%).

    3. Tingkat pendidikan

    responden paling banyak

    adalah pendidikan SD

    sebanyak 6 responden

    (40%).

    4. Nilai kognitif responden

    sebelum diberikan senam

    otak terbanyak adalah skor

    nilai kognitif sedang

    sebanyak 7 responden

    (33%).

    5. Nilai kognitif responden

    sesudah diberikan senam

    otak terbanyak adalah skor

    nilai kognitif ringan

    sebanyak 8 responden

    (53%).

    6. Ada pengaruh sebelum dan

    sesudah diberikan senam

    otak dengan fungsi kognitif

    lansia demensia dengan p

    value 0,000.

    SARAN

    Hasil penelitian ini

    diharapkan dapat menjadi refensi

    penanganan pada lansia yang

    mengalami demensia di Panti

    Wredha yaitu dengan senam otak dan

    menjadi dasar dalam pengembangan

    ilmu yaitu dengan penelitian dan

    seminar sebagai upaya untuk

    mengetahuipengaruh senam otak

    dengan fungsi kognitif lansia

    demensia. Penelitian yang

    selanjutnya disarankan lebih terfokus

    pada pengaruh senam otak yang

    dapat meningkatkan fungsi kognitif.

    DAFTAR PUSTAKA

    Andri S. 2013. Metode Dan

    Pelaksanaan Senam Otak,

    Mulia Medika, Jakarta. Anton surya prasetya. 2010,.Pengaruh

    terapi kognitif dan senam latih

    otak terhadap depresi dengan

  • 9

    harga diri rendah pada klien

    Lansia di Panti tresna whreda

    bakti yuswa natar Lampung,

    Fakultas ilmu keperawatan Universitas Indonesia, Jakarta.

    Arita Murwani dan Wiwin Priyantari.

    2011. Konsep Dasar dan Asuhan Keperawatan Home

    Care dan Komunitas,

    Fitramaya, Yogyakarta.

    Atun M. 2010. Lansia Sehat Dan Bugar, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

    Badan Pusat Statistik. (2010). Data

    Statistik Indonesia: Jumlah

    Penduduk menurut Kelompok

    Umur, Jenis Kelamin, Provinsi, dan Kabupaten/Kota,2005.

    Bandiah S. 2009. Lanjut Usia dan

    Keperawatan Gerontik, Mulia Medika, Jakarta.

    Dennison Paul E dan Gail E. Dennison

    2008. Buku Panduan Lengkap

    Brain Gym Senam Otak, Grasindo, Jakarta.

    Dwi Handayani dan Wahyuni. 2012. Hubungan Keluarga Dengan

    Kepatuhan Lansia Dalam

    Mengikuti Posyandu Lansia Di Posyandu Lansia Jetis Desa

    Krajan Kecamatan Weru

    Kabupaten Sukoharjo, Sekolah

    Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta, Surakarta.

    Hendrie H.C. (2003). Prevalence of

    Alzheimers Disease and

    Dementia in Two

    Communities: Nigerian

    Africans and African

    Americans, American Journal. Japardi Iskandar. 2003. Gangguan

    Tidur, Fakultas Kedokteran

    Bagian Bedah, USU, Jakarta. Johnson, M.H. 2005.

    Developmental cognitive

    neuroscience, Edisi 2. Oxford : Blacwell publishing.

    Kusumoputro Sidiarto. 2004. Mengenal

    Awal Pikun Alzheimer, UI-

    Press, Jakarta. Lisnaini. 2012. Senam Vitalisasi Otak

    Dapat Meningkatkan Fungsi

    Kognitif Usia Dewasa Muda, Fisioterapi Universitas Kristen

    Indonesi, Jakata.

    Marhamah. (2009). Asam Folat Berpotensi Kurangi Gangguan

    Kognitif pada

    Lansia,http://www2.kompas.co

    m/kompascetak/0410/28/ilpeng/1352062.htm diperoleh 10

    Juni2014.

    Markam. S dan Mayza. A Pujiastuti. H. Erdat. M. S. Suwardhana

    Solichien A. 2005. Latihan

    vitalisasi otak, Grasindo, Jakarta

    Maryam. 2008. Asuhan keperawatan

    Dan Kesehatan Pada Usia

    Lanjut, EGC, Jakarta. Maryam. Fatma. Rosidawati. Jubaedu.

    Batubara. 2011. Mengenal

    Usia Lanjut Dan Perawatannya, Salemba

    Medika, Jakarta.

    Murwani. priyantari 2011. Gerontik Konsep Dasar Dan Asuhan

    Keperawatan Home Care,

    Fitramaya, Yogyakarta. Nugroho. W. 2008. Keperawatan

    Gerontik Dan Geratrik, EGC,

    Jakarta. Paula. 2010. Pengaruh senam otak

    terhadap peningkatan daya

    ingat lansia i Panti Werdha

    Karya Kasih Mongonsidi Medan, Fakultas Keperwatan

    Universitas Sumatera Utara.

    Pipit. Festi 2010. Pengaruh brain gym terhadap peningkatan fungsi

    kognitif lansia di Karang

    Werdha Peneleh Surabaya, FIK UM, Surabaya.

    Purwaningsih. W. 2010. Asuhan

    Keperawatan Jiwa, Nuha

    Medika, Yogyakarta.

  • 10

    R. Boedhi Darmojo dan H. Hadi-

    Marton0. Ilmu Ksehatan Usia

    Lanjut, FKUI, Jakarta.

    Rekawati. E (2004). Faktor-faktor sosiodemografi yang

    berhubungan dengan

    terjadinya kepikunan pada usia lanjut di Indonesia

    berdasarkan data Susenas

    tahun 2001, tesis magister

    FKM UI, Jakarta, tidak dipublikasikan.

    Ros Endah. H.P 2009. Perbedaan

    Karakteristik Lansia dan Dukungan Keluarga Terhadap

    Tipe demensia pada lansia di

    Wilayah Kerja Puskesmas Gatak Sukoharjo, Fakultas

    Ilmu Kedokteran UI , Jakarta.

    Stanley. 2010. Buku Ajar Keperawatan,

    EGC, Jakarta. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk

    Penelitian, CV Alfabeta

    Bandung, Bandung. Sunaryo. 2013. Psikologi Untuk

    Keperawatan, EGC, Jakarta.

    Supardjiman 2003, Aplikasi Senam

    Otak, Salemba Medika,

    Jakarta.

    Watson, 2003, Perawatan Pada

    Lansia, EGC, Jakarta.

    Wiwin Priyantari 2011, Konsep

    Dasar dan Asuhan

    Keperawatan Home Care

    dan Komunitas, Fitramaya,

    Yogyakarta.

    Zulsita 2010, Pengaruh senam otak

    terhadap peningkatan daya

    ingat lansia di Panti Werdha

    Karya Kasih Mongonsidi

    Medan, Fakultas

    Keperawatan Universitas

    Sumatera Utara.

  • 1

    Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Cruris di RSUD

    Dr. Moewardi Surakarta

    Yunuzul Demo Satriya1)

    , Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M.Pd2)

    , bc. Yeti Nurhayati, M.Kes3)

    1,2,3) Prodi S-I Keperawatan, STIKes Kusuma Husada Surakarta

    Abstrak

    Insiden fraktur di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga

    menyebabkan pasien merasakan nyeri. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui

    teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan intensitas nyeri pada pasien pasca operasi

    fraktur cruris.

    Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan desain case study.

    Responden penelitian ini terdiri dari 4 responden pasien pasca operasi fraktur di RSUD

    Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian berlangsung dari tangal 1 April- 15 Mei 2014. Teknik

    pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini ialah wawancara mendalam dan

    observasi. Analisis data yang digunakan ialah analisis interaktif.

    Temuan hasil penelitian ini antara lain respon nyeri pasien pasca operasi fraktur

    berbeda-beda mulai dari skala, kualitas dan durasi. Respon pasien terhadap pemberian

    teknik relakasasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri pasien dari skala sedang

    menjadi ringan. Kendala pasien dalam melakukan teknik relaksasi nafas dipengaruhi oleh

    tingkat konsentrasi dan keadaan lingkungan sekitar pasien. Simpulan dari penelitian ialah

    bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat menurunkan skala nyeri yang dirasakan oleh

    pasien pasca operasi fraktur, namun hanya sebagai terapi pendamping medis.

    Kata Kunci : Teknik Relaksasi Nafas Dalam, Nyeri, Pasien Pasca Operasi Fraktur.

    Daftar pustaka : 23 (2001-2013)

    DEEP BREATHING RELAXATION TECHNIQUE OF THE POSTOPERATIVE

    CLIENTS WITH FRACTURE OF THE LOWER LEG AT DR. MOEWARDI

    LOCAL GENERAL HOSPITAL OF SURAKARTA

    ABSTRACT

    The incidence of fracture in Indonesia increases every year so that the clients feel

    painful. The objective of this research is to investigate the deep breathing relaxation

    technique to relief the pain intensity of the postoperative clients with facture of the lower

    leg (fractura cruris).

    This research used the qualitative method with the case study design. It was

    conducted from April 1st to May 15

    th 2014. The respondents of the research consisted of

    four postoperative clients with fracture of the lower leg at Dr. Moewardi Local General

    Hospital of Surakarta. The data of the research were gathered through in-depth interview

    and observation. They were analyzed by using the interactive model of analysis.

  • 2

    The findings of the research are as follows. The pain responses of the postoperative

    clients with fracture of the lower leg are different in terms of scale, quality, and duration.

    The clients response to the extension of deep breathing relaxation technique can decrease

    the scales of their pain from moderate to light ones. The constraints encountered by the

    clients to conduct the deep breathing relaxation technique are influenced by their

    concentration level and their surrounding condition. Thus, a conclusion is drawn that the

    deep breathing relaxation technique can decrease the scales of pain felt by the

    postoperative clients with fracture of the leg, but it only functions as complimentary

    therapy to medical one.

    Keywords: Deep breathing relaxation technique, pain, postoperative clients with

    fracture of the lower leg.

    References: 25 (2001-2013)

    PENDAHULUAN

    Kecelakaan lalu lintas

    menewaskan hampir 1,3 juta jiwa di

    seluruh dunia atau 3000 kematian setiap

    hari dan menyebabkan cedera sekitar 6

    juta orang setiap tahunnya (Depkes 2007

    & WHO 2011). World Health

    Organitation (WHO) mencatat pada

    tahun 2005 terdapat lebih dari tujuh juta

    orang meninggal karena kecelakaan dan

    sekitar dua juta mengalami kecacatan

    fisik. Kecelakaan di Indonesia

    berdasarkan laporan kepolisian

    menunjukan peningkatan 6,72% dari

    57.726 kejadian di tahun 2009 menjadi

    61.606 insiden di tahun 2010 atau

    berkisar 168 insiden setiap hari dan

    10.349 meninggal dunia atau 43,15%

    (WHO 2011).

    Kejadian fraktur di Indonesia

    yang dilaporkan Depkes RI (2007)

    menunjukkan bahwa sekitar delapan juta

    orang mengalami fraktur dengan jenis

    yang berbeda. Insiden fraktur di

    Indonesia 5,5% dengan rentang setiap

    provinsi antara 2,2% sampai 9% (Depkes

    2007). Fraktur ekstremitas bawah

    memiliki prevalensi sekitar 46,2% dari

    insiden kecelakaan. Hasil tim survey

    Depkes (2007) didapatkan 25% penderita

    mengalami kematian, 45% mengalami

    kecacatan fisik, 15% mengalami stres

    psikologis dan bahkan depresi, serta 10%

    mengalami kesembuhan dengan baik.

  • 3

    Hasil pra penelitian yang

    dilakukan oleh peneliti di RSUD Dr.

    Moewardi Surakarta pada tanggal 30

    November 2013 didapatkan data bahwa

    pada tahun 2011 penderita fraktur

    ekstremitas bawah terbanyak ialah

    fraktur tibia fibula sebesar 53 kasus,

    sementara hasil pada bulan Oktober

    sampai November 2013 terdapat

    peningkatan kejadian fraktur fibula tibia

    sebanyak 310 kasus.

    Fraktur adalah terputusnya

    kontinuitas jaringan tulang dan tulang

    rawan yang disebabkan oleh cedera,

    trauma yang dapat menyebabkan fraktur

    dapat berupa trauma langsung dan tidak

    langsung (Sjamsuhudajat dan Jong 2005).

    Penanganan fraktur pada ekstremitas

    bawah dapat dilakukan secara konservatif

    dan operasi sesuai tingkat keparahan

    fraktur (Smeltzer & Bare 2002). Prosedur

    pembedahan yang dilakukan pada fraktur

    meliputi reduksi terbuka dengan fiksasi

    interna (Open Reduction and Internal

    fixation/ ORIF) sasaran pembedahan

    digunakan untuk memperbaiki fungsi

    dengan mengembalikan gerakan,

    stabilitas, mengurangi nyeri dan

    disabilitas (Smeltzer & Bare 2002).

    Pembedahan dan anestesi dapat

    menyebabkan ketidaknyamanan bagi

    pasien. Pembedahan dapat menyebabkan

    trauma bagi penderitanya, sedangkan

    anestesi dapat menyebabkan kelainan

    yang dapat menimbulkan berbagai

    keluhan gejala. Keluhan harus

    didiagnosis agar dasar patologinya dapat

    diobati. Keluhan dan gejala yang sering

    dikemukakan adalah nyeri

    (Sjamsuhidayat & Jong 2005).

    Nyeri pasca operasi mungkin

    sekali disebabkan oleh luka operasi,

    tetapi kemungkinan sebab lain harus

    dipertimbangkan. Pencegahan nyeri

    sebelum operasi sebaiknya direncanakan

    agar penderita tidak terganggu oleh nyeri

    setelah pembedahan. Cara

    pencegahannya tergantung pada

    penyebab dan letak nyeri dan keadaan

  • 4

    penderitannya (Sjamsuhidayat & Jong

    2005).

    Proses keperawatan selama

    periode pasca operatif diarahkan untuk

    menstabilkan kembali keadaan fisiologi

    pasien, menghilangkan rasa nyeri dan

    pencegahan komplikasi. Pengkajian yang

    cermat dan intervensi segera membantu

    pasien kembali pada fungsi yang optimal

    dengan cepat, aman, dan senyaman

    mungkin. Nyeri setelah pembedahan

    normalnya dapat diramalkan hanya

    terjadi dalam durasi yang terbatas, lebih

    singkat dari waktu yang diperlukan untuk

    perbaikan alamiah jaringan-jaringan yang

    rusak (Smeltzer & Bare 2002).

    Individu yang merasakan nyeri

    merasa tertekan atau menderita dan

    mencari upaya untuk menghilangkan

    nyeri. Perawat menggunakan berbagai

    intervensi untuk menghilangkan nyeri

    atau mengembalikan kenyamanan.

    Perawat tidak dapat melihat atau

    merasakan nyeri yang klien rasakan

    (Smeltzer & Bare 2002).

    Tindakan untuk mengatasi nyeri

    dapat dibedakan dalam dua kelompok

    utama, yaitu tindakan pengobatan

    (farmakologi) dan tindakan non

    faramakologi (tanpa Pengobatan)

    (Tamsuri 2012). Penatalaksanaan non

    farmakologis terdiri dari berbagai

    tindakan penanganan nyeri berdasarkan

    stimulasi fisik maupun perilaku kognitif.

    Intervensi kognitif meliputi tindakan

    distraksi, teknik relaksasi, imajinasi

    terbimbing, umpan balik biologis,

    hypnosis, dan sentuhan terapeutik, selain

    itu stimulasi kulit dapat memberikan efek

    penurunan nyeri yang efektif. Tindakan

    ini mengalihkan perhatian klien sehingga

    klien berfokus pada stimulasi taktil dan

    mengabaikan sensasi nyeri, yang pada

    akhirnya dapat menurunkan persepsi

    nyeri (Tamsuri 2012).

    Pengendalian nyeri secara

    farmakologi efektif untuk nyeri sedang

    dan berat. Pemberian farmakologi ini

    tidak bertujuan untuk meningkatkan

    kemampuan klien sendiri untuk

  • 5

    mengontrol nyerinya, maka di butuhkan

    kombinasi farmakologi untuk mengontrl

    nyeri dengan non farmakologi agar

    sensasi nyeri dapat berkurang serta masa

    pemulihan memanjang.

    Metode non farmakologi

    tersebut bukan merupakan pengganti

    untuk obat-obatan, tindakan tersebut

    diperlukan untuk mempersingkat

    frekuensi nyeri yang berlangsung hanya

    berapa detik atau menit, terutama saat

    nyeri hebat yang berlangsung selama

    berjam-jam atau berhari-hari.

    Mengkombinasikan metode non

    farmakologi dengan obat-obatan

    mungkin cara yang paling efektif untuk

    mengontrol nyeri. Pengendalian nyeri

    non farmakologi menjadi lebih murah,

    sederhana, efektif dan tanpa efek yang

    merugikan (Potter & Perry 2006).

    Penelitian yang dilakukan oleh

    Nurdin dkk (2013) menyebutkan bahwa

    ada pengaruh teknik relaksasi terhadap

    perubahan intensitas nyeri pada pasien

    pasca operasi fraktur yang ditandai

    dengan sebelum diberikan tindakan terapi

    relaksasi yaitu nyeri ringan 1 orang, nyeri

    sedang 8 orang dan nyeri hebat terkontrol

    11 orang, sementara tingat nyeri pasca

    operasi setelah diberikan teknik relaksasi

    menurun menjadi tidak nyeri 1 orang,

    nyeri ringan 9 orang dan nyeri sedang 10

    orang.

    Serupa dengan penelitian di atas

    Carney (1983) menjelaskan bahwa

    pelatihan relaksasi dapat dilakukan

    untuk jangka waktu yang terbatas dan

    biasanya tidak memiliki efek samping.

    Carney mencatat penelitian yang

    menunjukan bahwa 60%-70% pada klien

    dengan nyeri kepala yang disertai

    ketegangan dapat mengurangi aktivitas

    nyeri sampai 50% dengan melakukan

    relaksasi (Potter & Perry 2006).

    Penelitian di atas didukung oleh

    penelitian yang dilakukan oleh Dewi dkk

    (2009) yang menyebutkan bahwa

    pengukuran rata-rata tingkat nyeri

    sebelum diberikan teknik relaksasi nafas

    dalam setelah di klasifikasi dari 10

  • 6

    responden, 4 orang (40%) mengalami

    nyeri ringan, dan 6 orang (60%) nyeri

    sedang. Hasil pengukuran tingkat nyeri

    rata-rata setelah pemberian teknik

    relaksasi nafas dalam dari 10 responden 5

    orang (50%) mengalami nyeri ringan,

    dan 5 orang lagi masih mengalami nyeri

    sedang. Bila dilihat dari sskala nyeri

    masing-masing responden, semua

    responden (100%) mengalami penurunan

    persepsi nyeri. Ada perbedaan hasil

    pengukuran skala nyeri sebelum dan

    sesudah pemberian teknik relaksasi nafas

    dalam pada lansia dengan arthritis

    rheumatoid.

    Tujuan dari penelitian ini adalah

    mengetahui teknik relaksasi nafas dalam

    untuk menurunkan intensitas nyeri pada

    pasien pasca operasi fraktur cruris.

    METODOLOGI

    Penelitian ini menggunakan

    pendekatan kualitatif dengan desain case

    study. Penelitian ini berlangsung dari

    bulan November 2013 sampai dengan

    Juni 2014 di Ruang Mawar II RSUD Dr.

    Moewardi Surakarta. Peneliti

    menggunakan 4 pasien pasca operasi

    fraktur cruris dan 1 perawat yang

    memberikan teknik relaksasi nafas

    dalam. Teknik pengumpulan data yang

    digunakan pada penelitian ini ialah

    wawancara mendalam dan observasi.

    Analisis data yang digunakan ialah

    analisis interaktif.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Pemberian teknik relaksasi nafas

    dalam pada pasien pasca operasi fraktur

    cruris di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

    dilakukan kepada 4 pasien. Pengumpulan

    data dengan menggunakan metode

    wawancara dilakukan kepada 4 orang

    pasien dan perawat. Wawancara ini

    dilakukan untuk memperoleh data

    tentang teknik relaksasi nafas dalam pada

    pasien pasca operasi fraktur cruris

    meliputi : (1) respon nyeri pasien yang

    mengalami pasca operasi fraktur cruris,

    (2) respon pasien terhadap pemberian

    teknik relaksasi nafas dalam, (3) kendala

    pasien dalam pelaksanaan teknik

  • 7

    relaksasi nafas dalam untuk mengurangi

    intensitas nyeri pasca operasi fraktur

    cruris, (4) kendala parawat dalam

    pemberian teknik relaksasi nafas dalam

    kepada pasien pasca operasi fraktur

    cruris.

    a. Respon nyeri pasien yang

    mengalami pasca operasi fraktur

    cruris

    Pada penelitian ini peneliti

    menggunakan pengkajian nyeri

    Provocate, Quality, Regio, Scale, Time

    (PQRST). Provocate adalah pengkajian

    untuk mengetahui penyebab nyeri,

    quality adalah pengkajian untuk

    mengetahui kualitas nyeri, regio adalah

    pengkajian untuk mengetahui daerah atau

    tempat yang nyeri, scale adalah

    pengkajian untuk mengetahui skala nyeri

    pasien dan time adalah pengkajian

    mengenai durasi nyeri yang dirasakan.

    Selain menggunakan pengkajian PQRST

    data juga didapatkan dari hasil observasi

    peneliti.

    Pengkajian PQRST didapat hasil

    nyeri secara subjektif di antaranya

    penyebab nyeri, kualitas nyeri, lokasi

    nyeri, skala nyeri dan durasi lamanya

    nyeri. Hasil observasi nyeri yang dapat

    diketahui melalui ekspresi wajah pasien.

    Berdasarkan pengalaman pasien dan

    pengamatan peneliti dapat ditunjukkan

    skala nyeri rata-rata skala 5 hingga 7.

    Skala nyeri 0 atau tidak nyeri

    terlihat dari ekspresi wajah, meliputi

    wajah tenang, pasien terlihat rileks, dan

    dapat melakukan aktivitas seperti biasa.

    Pada skala 1-3 yang termasuk dalam

    kategori nyeri ringan pasien menunjukan

    ekspresi wajah tampak merintih

    kesakitan, mengusap daerah nyeri atau

    melokalisir nyeri, dan pasien masih bisa

    melakukan aktivitas sehari-hari.

    Sementara pada skala 4-6 yang termasuk

    kategori nyeri sedang, dapat ditunjukan

    dengan karakteristik wajah pasien

    mengerutkan dahi, wajah tampak tegang,

    mengaduh, nggeget untu, gerakan

    melindungi bagian nyeri, nyeri terasa

  • 8

    cenut-cenut, merintih kesakitan dan

    berkeringat. Skala nyeri 7-9 yang

    termasuk kategori nyeri berat

    ditunjukkan dengan karakteristik pasien

    terlihat emosional, sesak nafas menggigit

    bibir, imobilisasi, menghindari

    percakapan, nyeri terasa seperti ditusuk

    dan pasien terlihat gelisah. Pada skala 10

    yang termasuk kategori nyeri tidak

    terkontrol terlihat dengan ekspresi wajah

    pasien menangis kesakitan, gelisah,

    pucat, focus untuk menurunkan nyeri,

    berkeringat, berteriak dan melakukan

    gerakan yang tidak terkontrol.

    Berdasarkan hasil pengamatan

    dan wawancara dengan pasien pasca

    operasi fraktur cruris diperoleh hasil

    bahwa kualitas nyeri pasien pasca operasi

    fraktur cruris adalah rasa cenut-cenut

    dialami oleh 2 pasien yaitu pasien 1 dan

    pasien 3, sementara pasien 2 dan pasien 4

    merasakan nyeri seperti ditusuk-tusuk.

    Berikut adalah pernyataan pasien saat

    diwawancarai :

    Pasien 1 : Nyerinya muncul setelah

    operasi mas, rasanya ya

    cenut- cenut gitu mas

    Pasien 2 : Ya nyerinya abis operasi mas,

    rasanya kaya ditusuk

    apalagi kalau malem

    Intensitas nyeri pasien pasca

    operasi fraktur cruris didapatkan hasil

    dari observasi bahwa sebelum

    mengkaji nyeri pasien peneliti

    memberikan penjelasan terhadap

    skala nyeri, sehingga pasien dapat

    menjelaskan nyeri yang dirasakan.

    Intensitas skala nyeri pasien termasuk

    dalam kategori nyeri sedang dengan skala

    5 dialami oleh 3 pasien, yaitu pasien 1,

    pasien 2 dan pasien 3 yang ditandai

    dengan pasien terlihat merintih kesakitan,

    pasien terlihat mengerenyutkan dahi saat

    nyeri yang dirasakan muncul dan

    melindungi daerah nyeri. Pasien 4

    mengalami nyeri berat dengan skala 7

    yang ditandai dengan pasien terlihat

    imobilisasi dan menghindari percakapan.

    Berikut ini pernyataan pasien mengenai

    skala nyeri yang dirasakan :

  • 9

    Pasien 1 : kalo disuruh memilih angka

    ya kira-kira nyerinya di

    angka 5 mas

    Pasien 4 : kalau disuruh milih angka 0-

    10 ya saya rasa angka 7 untuk

    nyeri saya.

    Tindakan yang biasa digunakan

    pasien untuk mengurangi nyeri ialah

    dengan cara mengipas bagian luka

    dilakukan oleh 1 pasien yaitu pasien 3

    dan mengelus bagian yang nyeri

    dilakukan oleh 3 pasien, yaitu pasien 1,

    pasien 2 dan pasien 4. Berikut ini adalah

    hasil wawancara mengenai tindakan

    pasien untuk mengurangi nyeri yang

    dialami :

    Pasien 1: hmmm yo paling dielus-elus

    mas biar gak sakit

    Pasien 3 : Paling dikipas-kipas aja sih

    mas biar gak terasa sakit

    Penelitian yang dilakukan oleh

    Ardinata (2007), menjelaskan bahwa

    kualitas nyeri yang dirasakan berkaitan

    dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya

    dirasakan individu. Kualitas nyeri sering

    kali digambarkan dengan berdenyut,

    menyebar, menusuk, terbakar, dan gatal.

    Tindakan pembedahan adalah

    suatu tindakan yang dapat mengancam

    integritas seseoramg, baik bio-psiko-

    sosial maupun spiritual, yang bersifat

    potensial ataupun aktual. Setiap tindakan

    pembedahan dapat menimbulkan respon

    ketidaknyamanan berupa rasa nyeri.

    Nyeri adalah suatu keadaaan subjektif

    dimana seseorang memperlihatkan

    ketidaknyamann secara verbal maupun

    non verbal (Engram dalam Solehati

    2008). Tamsuri (2012), menjelaskan

    bahwa faktor yang dapat meningkatkan

    dan menurunkan nyeri dapat dilihat dari

    berbagai perilaku yang dilakukan oleh

    pasien dalam mengubah intensitas nyeri

    (misal dengan aktivitas, istirahat,

    pengarahan tenaga, mengatur posisi

    tubuh, penggunaan obat-obatan, dan

    lainnya), dan apa yang diyakini klien

    dapat membantu dirinya. Perilaku ini

    sering didasarkan pada upaya try and

    error.

    Tidak semua orang yang terpajan

    stimulus yang sama (appendicitis,

    sebagai contoh) mengalami intensitas

    nyeri yang sama. Sensasi yang sangat

  • 10

    nyeri bagi seseorang mungkin hampir

    tidak terasa bagi orang lain. Lebih jauh

    lagi, suatu stimulus dapat mengakibatkan

    nyeri pada suatu waktu tetapi tidak pada

    waktu lain (Smeltzer & Bare 2002).

    b. Respon pasien terhadap

    pemberian teknik relaksasi nafas

    dalam

    Proses teknik relaksasi nafas

    dalam diberikan kepada pasien pasca

    operasi fraktur cruris hari kedua.

    Pemberian teknik relaksasi nafas dalam

    dilakukan sebelum pasien diberikan obat

    analgesik oleh perawat. Sebelum

    diberikan teknik relaksasi nafas dalam,

    perawat terlebih dahulu memberikan

    contoh kepada pasien tentang prosedur

    teknik relaksasi nafas dalam setelah itu

    perawat menganjurkan pasien untuk

    melakukan teknik relaksasi nafas dalam

    secara mandiri kemudian perawat

    mengevaluasi pemberian teknik relaksasi

    dan memotivasi pasien untuk melakukan

    teknik relaksasi nafas dalam saat

    merasakan nyeri. Teknik relaksasi nafas

    dalam dievaluasi setiap dua kali sehari.

    Respon pasien pasca operasi

    fraktur cruris terhadap pemberian teknik

    relaksai nafas dalam didapatkan data

    bahwa setelah melakukan teknik

    relaksasi nafas dalam, nyeri yang

    dirasakan oleh pasien mulai berkurang

    pada hari ketiga dan keempat. Skala nyeri

    psien berkurang dari sklala 5 menjadi 4

    dialami oleh 2 pasien yaitu pasien 1 dan

    pasien 2, penurunan skala 5 menjadi 3

    dialami oleh satu pasien yaitu pasien 3.

    Pernyataan tersebut dapat diketahui dari

    hasil wawancara berikut ini :

    Pasien 1 : relaksasi itu bisa mengurangi

    nyeri tapi cuma sedikit, kalo

    pas nyeri banget ya gak

    mempan mas. Sekarang sih

    nyerinya jadi 4 mas kurang

    lebih

    Pasien 3 : Ya kira-kira nyerinya

    sekarang jadi 3an mas

    Sedangkan pada pasien 4 tidak

    menunjukan adanya penurunan skala

    nyeri dan tetap pada skala 7 karena

    pasien terlihat kurang konsentrasi dan

  • 11

    lebih fokus pada nyeri yang

    dirasakannya. Berikut pernyataan pasien :

    Pasien 4 : Tapi relaksasinya itu kurang

    mempan mas, saya udah

    bolak balik pake kayak yang

    dibilangin mbaknya kemarin

    itu tapi sama aja tu,

    nyerinya gak berkurang

    mas. Ya kurang lebih masih

    sama mas 7an

    Hasil observasi menunjukkan

    bahwa penuruan skala nyeri 5 menjadi

    skala 3 dapat dilihat dari perubahan

    ekspresi pasien yang semula

    mengerutkan dahi, mengaduh dan

    nggeget untu, setelah diberikan

    relaksasi kini menjadi merintih kesakitan

    dan mulai dapat melakukan aktivitas.

    Sementara pada pasien dengan skala

    nyeri 5 yang turun menjadi 4 tidak

    terlihat adanya perubahan ekspresi wajah

    seperti tetap mengerutkan dahi,

    mengaduh dan melindingi daerah nyeri,

    begitu juga dengan pasien yang

    mengalami skala nyeri 7 yaitu responden

    4 yang terlihat menahan nafas, pasien

    terlihat lebih fokus pada nyeri yang

    dirasakan, pasien juga terlihat gelisah dan

    berkeringat. Hal ini menunjukan bahwa

    teknik relaksasi nafas dalam hanya dapat

    menurukan intensitas nyeri pada kategori

    nyeri sedang.

    Nyeri pasca operasi akan

    meningkatkan stres pasca operasi dan

    memiliki pengaruh negative pada

    penyembuhan nyeri. Kontrol nyeri sangat

    penting sesudah pembedahan, nyeri yang

    dibebaskan dapat mengurangi

    kecemasan, bernafas lebih mudah dan

    dalam, dapat mentoleransi mobilisasi

    yang cepat. Pengkajian nyeri dan

    kesesuaian analgesik harus digunakan

    untuk memastikan bahwa nyeri pasien

    pasca operasi dapat dibebaskan (Torrance

    dan Serginson dalam Farida 2010).

    Relaksasi adalah teknik untuk

    mengurangi ketegangan nyeri dengan

    merelaksasikan otot. Beberapa penelitin

    menyatakan bahwa teknik relaksasi

    efektif dalam menurunkan skala nyeri

    pasca operasi (Tamsuri 2012).

    Relaksasi nafas dalam dipercaya

    dapat menurunkan nyeri dengan cara

    merelaksasikan ketegangan otot yang

  • 12

    mendukung rasa nyeri. beberapa

    penelitian menunjukan bahwa relaksasi

    efektif dalam menurunkan nyeri pasca

    operasi. Tindakan relaksasi dapat

    dipandang sebagai upaya pembebasan

    mental dan fisik dari tekanan dan stres.

    Dengan relaksasi, klien dapat mengubah

    persepsi terhdap nyeri. kemampuannya

    dalam melakukan relaksasi fisik dapat

    menyebabkan relaksasi mental. Relaksasi

    memberikan efek secara langsung

    terhadap fungsi tubuh seperti penurunan

    tekanan darah, nadi, dan frekuensi

    pernafasan, penurunan konsumsi oksigen

    oleh tubuh serta penurunan tegangan otot

    (Smeltzer & Bare 2002).

    Penelitian yang dilakukan oleh

    Ernawati, Hartiti Tri, dan Hadi Idris

    (2010) menjelaskan bahwa dari 50

    sampel yang menglami nyeri saat

    disminore, sebelum diberikan relaksasi

    nafas dalam terdapat nyeri sedang

    sebanyak 31 orang (62,0%) dan sesudah

    dilakukan teknik relaksasi sebagian besar

    kategori nyeri ringan sebanyak 35 orang

    (70,0%). Dapat disimpilkan bahwa teknik

    relaksasi nafas dalam dapat menurunkan

    skala intensitas nyeri pada mahasiswi

    yang mengalami disminore di Universitas

    Muhamadiyah Semarang.

    Penelitian yang dilakukan oleh

    Pinandita Iin, Purwanti E dan Utoyo B

    (2012) mengatakan bahwa pengendalian

    nyeri secara farmakologi lebih sering

    digunakan untuk mengurangi intensitas

    skala nyeri dibandingakan dengan terapi

    nonfarmakologi. Namun demikian, terapi

    farmakologi tidak bertujuan untuk

    meningkatkan kemampuan klien dalam

    mengontrol nyeri, sehingga dibutuhkan

    kolaborasi dengan terapi nonfarmakologi

    agar sensari nyeri dapat berkurang serta

    masa pemulihan tidak memanjang.

    Pengendalian nyeri nonfarmakologis

    menjadi lebih murah, simple, efektif, dan

    tanpa efek yang merugikan.

    c. Kendala pasien dalam

    pelaksanaan teknik relaksasi

    nafas dalam untuk mengurangi

  • 13

    intensitas nyeri pasca operasi

    fraktur cruris

    Pasien pada penelitian ini dapat

    melakukan teknik relaksasi nafas dalam

    sesuai dengan yang diajarkan perawat.

    Selama melakukan teknik relaksasi nafas

    dalam peneliti tidak menemukan adanya

    kendala yang dialami oleh pasien, tetapi

    satu pasien terlihat tidak dapat

    berkonsentrasi saat melakukan teknik

    relaksasi nafas dalam sehingga nyeri

    yang dialami tidak menurun. Kondisi

    lingkungan juga mempengaruhi pasien

    terhadap pelaksanaan teknik relaksasi

    nafas dalam. Lingkungan yang ramai

    seperti pada penelitian ini yaitu ruang

    Mawar II RSUD Dr. Moewardi

    Surakarta yang merupakan ruang kelas 3.

    Satu kamar pada bangsal ini terdapat 11

    tempat tidur pasien, sehingga kondisi

    ruangan terlihat sangat ramai dan kondisi

    ini mempengaruhi pasien dalam

    berkonsentrasi saat melakukan teknik

    relaksasi nafas dalamnya.

    Hasil wawancara yang dilakukan

    kepada pasien mengenai kendala pasien

    dalam melakukan teknik relaksasi nafas

    dalam untuk mengurangi nyeri pasca

    operasi fraktur cruris didapatkan bahwa

    ketiga pasien tidak mengalami kendala

    saat melaksanakan teknik relaksasi nafas

    dalam yaitu pasien 1, pasien 2 dan pasien

    3. Berikut pernyataan yang disampaikan

    salah satu pasien tersebut:

    pasien 3 :Gak ada kendalanya mas itu

    gampang kok, tinggal

    tangannya ditaruh diatas dan

    diperut trus tarik nafas lewat

    hidung keluarin mulut sambil

    badannya dirilekskan

    Kecuali pada responden 4 yang

    menyatakan bahwa teknik relaksasi nafas

    dalam tidak dapat menurunkan nyeri

    yang dirasakan. Berikut pernyataan

    responden 4 yang menunjukkan bahwa

    teknik relaksasi nafas dalam tidak dapat

    menurunkan nyeri yang dirasakannya :

    Pasien 4 :Gak ada mas, tapi relaksasinya

    itu kurang mempan mas, saya

    udah bolak-balik pake kayak

    yang dibilangin mbaknya

    kemarin itu tapi sama aja tu,

    nyerinya gak berkurang mas.

    Ya kurang lebih masih sama

    mas 7an

  • 14

    Hasil observasi menunjukan

    bahwa pasien yang tidak mengalami

    kendala pasien tampak rileks, pasien

    tampak melakukan teknik relaksasi nafas

    dalam sesuai dengan urutan yang telah

    diajarkan perawat. Sedangkan pada

    responden 4 dapat melakukan teknik

    relaksasi nafas dalam sesuai dengan

    prosedur, namun pasien tampak kurang

    kooperatif dan terfokus pada nyeri yang

    dirasakannya, pasien juga terlihat

    menghidari percakapan dan tampak

    menggigit bibir yang menandakan

    kesakitan. Kondisi kamar pasien yang

    ramai dan berisik juga berperan pada

    tidak turunnya intensitas nyeri pasien.

    Kendala pasien saat melakukan teknik

    relaksasi nafas dalam dipengaruhi oleh

    tingkat konsentrasi seseorang dan

    lingkungan.

    Metode non-farmakologi yang

    dimaksud ialah bukan dengan pemberian

    obat-obatan, tindakan yang dilakukan

    hanyalah untuk mengurangi nyeri yang

    berlangsung beberapa menit saja. Dalam

    hal ini, mengkombinasikan terapi non-

    farmakologi dalam menurunkan

    intensitas nyeri merupakan cara yang

    optimal. Pengendalian nyeri dengan

    terapi non-farmakologi yang berupa

    teknik relaksasi nafas dalam dapat

    digunakan kapan saja, efisien, murah dan

    tidak terdapat efek samping pada

    penggunanya (Potter & Perry 2006).

    Penelitian yang dilakukan oleh

    Dewi D, Setyoadi, dan Widastra NM

    (2009) menyatakan bahwa relaksasi nafas

    dalam dapat menurunkan skala nyeri

    sedang pada lansia yang menderita

    arthritis rheumatoid menjadi skala nyeri

    ringan. Sehingga teknik relaksasi

    dianggap efektif dalam menurunkan

    intensitas nyeri pasien dan teknik ini

    dapat digunakan sewaktu-waktu secara

    mandiri dikarenakan gerakannya yang

    sederhana.

    Supaya relaksasi dapat dilakukan

    dengan efektif, maka diperlukan

    partisipasi individu dan kerja sama.

    Teknik relaksasi diajarkan hanya saat

  • 15

    klien sedang tidak merasakan rasa tidak

    nyaman yang akut hal ini dikarenakan

    ketidakmampuan berkonsentrasi

    membuat latihan menjadi tidak efektif

    (Potter & Perry 2006).

    d. Kendala parawat dalam pemberian

    teknik relaksasi nafas dalam

    kepada pasien pasca operasi

    fraktur cruris.

    Pada hasil wawancara dengan

    perawat mengenai kendala perawat saat

    memberikan teknik relaksasi nafas dalam

    kepada pasien pasca operasi fraktur cruris

    didapatkan data bahwa perawat tidak

    menemukan kendala dalam melakukan

    prosedur teknik relaksasi nafas dalam.

    Akan tetapi kendala perawat ditemukan

    pada pasien yang tidak kooperatif saat

    diajarkan teknik relaksasi nafas dalam.

    Berikut pernyataan perawat yang

    menunjukkan bahwa perawat tidak

    menemukan kendala dalam prosedur

    pemberian teknik relaksasi nafas dalam :

    Perawat : Gak ada kendalanya mas

    untuk prosedur teknik

    relaksasi nafas dalam,

    perawat memberikan teknik

    relaksai nafas dalam kepada

    pasien ya sesuai prosedur,

    yang membuat kendala ya

    biasanya pasien itu sendiri

    karena pasien kadang tidak

    kooperatif untuk diajarkan

    teknik relaksasi

    Untuk mengatasi kendala pada

    pasien yang tidak kooperatif dalam

    melakukan teknik relaksasi, perawat

    memberikan motivasi kepada pasien dan

    keluarga pasien. Berikut pernyataan

    perawat mengenai cara mengatasi

    kendala :

    Perawat : emmm, ya caranya kita

    motivasi ke pasien sama

    keluarga untuk melakukan

    teknik relaksasi nafas dalam

    secara mandiri

    Hasil observasi yang peneliti

    lakukan untuk kendala perawat dalam

    melakukan pemberian teknik relaksasi

    nafas dalam ialah tidak ada kendala yang

    ditemui saat mengajarkan teknik

    relaksasi nafas dalam kepada responden,

    perawat terlihat mengajarkan teknik

    relaksasi nafas dalam sesuai prosedur,

    perawat terlihat memotivasi pasien agar

    melakukan teknik relaksasi nafas dalam

    secara mandiri untuk mengurangi nyeri.

  • 16

    Teknik relaksasi nafas dalam

    merupakan suatu bentuk asuhan

    keperawatan, yang dalam hal ini perawat

    mengajarkan kepada klien atau pasien

    bagaimana cara melakukan nafas dalam,

    nafas lambat (menahan inspirasi secara

    maksimal) (Smeltzer & Bare 2002).

    Perawat sebagai pemberi asuhan

    keperawatan kepada klien diberbagai

    keadaan dan situasi, yang memberikan

    intervensi untuk meningkatan

    kenyamanan. Perawat bertanggung jawab

    secara etis untuk mengontrol nyeri dan

    menghilangkan penderitaan nyeri klien.

    Penting bagi perawat untuk memahami

    makna nyeri bagi setiap individu.

    Penatalaksanaan nyeri lebih dari sekedar

    pemberian analgesic. Dengan memahami

    nyeri lebih holistic, maka perawat dapat

    mengembangkan strategi yang lebih baik

    pada penanganan nyeri yang berhasil

    (Potter & Perry 2006).

    Apabila klien merasa terganggu

    atau menjadi tidak nyaman, maka

    perawat akan menghentikan latihan

    tersebut. Apabila klien tampak

    mengalami kesulitan dan mengalami

    relaksasi hanya pada sebagian tubuh,

    maka perawat memperlambat kemajuan

    latihan dan berkonsentrasi pada bagian

    tubuh yang tegang. Klien juga harus

    mengetahui sejak awal bahwa latihan ini

    dapat dihentikan setiap waktu. Dengan

    melakukan latihan, klien dapat dengan

    segera melakukan latihan relaksasi

    dengan mandiri (Tamsuri 2012).

    SIMPULAN

    a. Respon nyeri pasien yang

    mengalami pasca operasi fraktur

    cruris di RSUD Dr. Moewardi

    surakarta

    Nyeri merupakan suatu

    pengalaman persepsi dan emosional

    dari individu yang bersifat subjektif

    dan kurang menyenangkan. Untuk

    mengetahui intensitas skala dan

    kualitas nyeri perawat harus

    melakukan pengkajian dengan

    menanyakan intensitas nyeri yang

  • 17

    dirasakan oleh pasien. Respon

    individu terhadap nyeri dipengaruhi

    oleh beberapa faktor antara lain usia,

    jenis kelamin, kebudayaan makna

    nyeri, perhatian, ansietas, keletihan,

    pengalaman sebelumnya, gaya koping

    dan dukungan keluarga dan sosial.

    b. Respon pasien pasca operasi

    fraktur cruris terhadap

    pemberian teknik relaksasi nafas

    dalam

    Teknik relaksasi nafas dalam

    dapat menurunkan intensitas skala

    nyeri dikarenakan dengan relaksasi

    nafas dalam dapat merelaksasikan

    ketegangan otot yang mendukung

    rasa nyeri, sehingga nyeri yang

    dirasakan oleh responden dapat

    berkurang. Selain itu faktor yang

    mendukung keberhasilan teknik

    relaksasi nafas dalam guna untuk

    menurunkan intensitas nyeri adalah

    tahapan relaksasi nafas dalam, yang

    baik dan benar, tingkat konsentrasi

    individu dan lingkungan yang

    nyaman. Teknik relaksasi nafas dalam

    yang termasuk dalam terapi

    nonfarmakologis hanya digunakan

    sebagai pendamping dari pengobatan

    utama atau medis.

    c. Kendala pasien dalam

    pelaksanaan teknik relaksasi

    nafas dalam untuk mengurangi

    intensitas nyeri pasca operasi

    fraktur cruris

    Teknik relaksasi nafas dalam

    merupakan teknik yang sederhana dan

    dapat digunakan secara mandiri,

    sehingga tidak ditemukkannya

    kendala secara prosedur pada saat

    melakukan relaksasi nafas dalam. Hal

    tersebut dikarenakan gerakan yang

    digunakan pada relaksasi nafas dalam

    merupakan gerakan yang sederhana

    dan umum digunakan oleh semua

    orang.

  • 18

    d. Kendala perawat dalam

    pemberian teknik relaksasi nafas

    dalam kepada pasien pasca

    operasi fraktur cruris

    Banyaknya jumlah waktu

    yang dimiliki perawat dalam

    melakukan asuhan keperawatan,

    sehingga memudahkan perawat untuk

    melakukan intervensi secara mandiri

    untuk membantu pasien dalam

    mengurangi rasa nyeri yang dimiliki

    sehingga pada pelaksanaan pemberian

    teknik relaksasi tidak ditemukannya

    kendala pada perawat.

    DAFTAR PUSTAKA

    Ardinata, 2007.Multidimensional

    nyeri. Jurnal keperawatan rufaidah

    Sumatera Utara. Vol. 2. No. 2.

    Creswell, J.W, 2010. Research design

    pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan

    mixed. Edisi 3. Pustaka Pelajar.

    Yogyakarta.

    Departemen Kesehatan RI 2007. Riset

    kesehatan dasar. diakses 3 November

    2013. .

    Dewi, D, Setyoadi, dan Widastra, NM

    2009. Pengaruh teknik relaksasi

    nafas dalam terhadap penurunan

    persepsi nyeri pada lansia dengan

    arthritis rheumatoid. jurnal

    keperawatan soedirman. Vol. 4.

    No.2. Hal 46.

    Farida, A, 2010. efektifitas terapi

    musik terhadap penurunan nyeri post

    operasi pada anak usia sekolah di

    RSUP Haji Adam Malik Medan.

    Skripsi. Universitas Sumatra utara.

    Sumatra utara.

    Fathoni, A, 2006. Metodologi

    penelitian dan teknik penyusunan

    skripsi. Asdi Mahasatya. Jakarta.

    Helmi, Z.N, 2011. Buku ajar

    gangguan musculoskeletal. Salemba

    Medika. Jakarta.

    Helmi, Z.N, 2012. Buku saku

    kedaruratan dibidang bedah ortopedi.

    Salemba Medika, Jakarta

    Nurdin, S, Kiling, M dan Rottie, J,

    2013. Pengaruh teknik relaksasi

    nafas dalam terhadap intensitas nyeri

    pada pasien post operasi fraktur di

    ruang irina a blu RSUP Prof. DR. R.D

    kandou Manado. ejurnal

    keperawatan (e-kp), Vol 1. No. 1. Hal

    1.

    Patasik C.K, Tongka J dan Rottie J,

    2013.Efektifitas teknik relaksasi

    nafas dalam dan guided imagery

    terhadap penurunan nyeri pada pasien

    post operasi section caesarea di Irina

    D BLU RSUP Prof. Dr. R D Kandou

    Manado. ejurnal keperawatan (e-

    Kp). Vol. 1. No. 1.

    Pinandita I, Purwanti E dan Utoyo B,

    2012.Pengaruh teknik relaksasi

    genggam jari terhadap penurunan

    intensitas nyeri pada pasien post

  • 19

    operasi laparatomi. jurnal ilmiah

    kesehatan keperawatan. Vol. 8. No. 1.

    Potter, P.A & Parry, A.G, 2005. Buku

    ajar fundamenta keperawatan konsep,

    proses, praktik. Edisi 4. EGC. Jakarta.

    Reeves, C.J, Roux, G and lockhart, R,

    2001. Keperawatan medical bedah.

    Edisi 1. Salemba Medika. Jakarta.

    Sjamjuhidajat, R & Jong, D.W, 2005.

    Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. EGC.

    Jakarta.

    Smeltzer, S.C & Barre, B.G, 2002.

    Buku ajar keperawatan medikal

    bedah bruner & suddart. Edisi 2. Vol

    1. EGC. Jakarta.

    Smeltzer, S.C & Barre, B.G, 2002.

    Buku ajar keperawatan medikal

    bedah bruner & suddart. Edisi 2. Vol

    3. EGC. Jakarta.

    Solehati, T, 2008. Pengaruh latihan

    teknik benso relaksasi terhadap

    intensitas nyeri dan kecemasan klien

    post operasi section caesare di RS

    Cibabat Cimahi dan RS San tika

    Asih Bandung. Tesis. Universitas

    Indonesia. Jakarta.

    Sugiyono, 2013. Memahami

    penelitian kualitatif. Cetakan

    kedelapan. Alfabeta. Bandung.

    Sumantri, A, 2013. Metodologi

    penelitian kesehatan. Edisi 1.

    Kencana Prenada Media Group.

    Jakarta.

    Sutopo, H.B, 2006. Metodologi

    penelitian kualitatif dasar teori dan

    terapannya dalam penelitian. Edisi 2.

    Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

    Tambunan, E, 2009. Panduan praktik

    kebutuhan dasar manusia I berbasis

    kompetensi. Salemba Medika. Jakarta.

    Tamsuri, A, 2012. Konsep &

    penatalaksanaan nyeri. EGC. Jakarta.

    Waher, A, Salmond, S and Pellino, T,

    2002. Orthopaedic nursing. Edisi 3.

    PA. WB Saunders Co. Philadelphia.

    Wirya I dan Sari M.D, 2013.

    Pengaruh pemberian masase

    punggung dan teknik relaksasi nafas

    dalam terhadap penurunan intensitas

    nyeri pada pasien post appendiktomi

    di zaal C RS HKBP Balige tahun

    2011. Jurnal Keperawatan HKBP

    Balige. Vol. 1. No. 1.

    WHO, 2011. Decade of action or

    road safety: Indonesia. diakses 6

    November 2013.

    .