Askep Emfisema

64
Askep Emfisema A. Konsep Dasar 1. Pengertian Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarkan saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli.(Muttaqin,2008) Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai dengan pelebaran ruang udara didalam paru-paru disertai destruksi jaringan.(Somantri, 1996) Emfisema adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai oleh perbesaran abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding alveolar. (Asih, 2003) Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. (RAB, 1996) 2. Faktor Resiko Emfisema disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar dapat dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus emfisema. Faktor resiko lainnya termasuk keadaan sosial ekonomi dan status pekerjaan yang rendah, kondisi lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena polusi udara. (Reeves,dkk, 2001) 3. Klasifikasi

Transcript of Askep Emfisema

Page 1: Askep Emfisema

Askep Emfisema

A.    Konsep Dasar

1.    Pengertian

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi

klinis berupa melebarkan saluran udara  bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai

dengan kerusakan dinding alveoli.(Muttaqin,2008)

Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paru yang ditandai dengan

pelebaran ruang udara didalam paru-paru disertai destruksi jaringan.(Somantri, 1996)

Emfisema adalah perubahan anatomis dari parenkim paru yang ditandai oleh perbesaran

abnormal alveoli dan duktus alveolar serta kerusakan dinding alveolar. (Asih, 2003)

Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh

destruksi dari dinding alveoli. (RAB, 1996)

      

2.    Faktor Resiko

Emfisema disebabkan oleh faktor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar dapat

dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus emfisema. Faktor

resiko lainnya termasuk keadaan sosial ekonomi dan status pekerjaan yang rendah, kondisi

lingkungan yang buruk karena dekat dengan lokasi pertambangan, perokok pasif atau terkena

polusi udara.

(Reeves,dkk, 2001)

3.    Klasifikasi

Terdapat dua tipe emfisema, yaitu :

a.       Emfisema Centriolobular

Merupakan tipr yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada

region paru atas, inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar

tetap bersisa.

b.      Emfisema Panlobular (Panacinar)

Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah.

Bentuk ini bersama disebut centriacinar emfisema, sangat sering timbul pada seorang

perokok.

c.       Emfisema Paraseptal

Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang

perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.

Page 2: Askep Emfisema

Paracinal timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada

keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul kor

pulmonal (CHF bagian kanan).

(Somantri, 2009)

4.    Etiologi

 Merokok. Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang

erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).(Nowak,2004)

 Keturunan. Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada

emfisema kecuali pada penderita dengan enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini

menetralkan enzim proteoitik ysng sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak

jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.

Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif.

Orang yang sering menderita emfisema paru dalah penderita yang memiliki gen S atau Z.

Emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.

  Infeksi. Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-

gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang penderita

bronkhitis kronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan

kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronkhitis kronis disangka paling sering diawali

dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

 Hipotesis Elastase-Antielastase. Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim

proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan

keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru.

Struktur paru akan berubah dan timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah

pankreas, sel-sel PMN, dan marofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM).

Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase

bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase, yaitu sistem enzim alfa 1-protease-inhibitor

terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak

ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan

elastis paru dan kemudian emfisema. (Muttaqin, 2008)

5.    Patofisiologi

Page 3: Askep Emfisema

Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan

rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke

alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.

       Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke

luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang

menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul karena kedua

tekanan tersebut, volume paru yang terbentuk disebut functional residual capacity (FRC)

yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru yang menghasilkan

FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang

normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan

berkurang, sehingga saluran napas bagian bawah paru akan tertutup.

       Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan

lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli

yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu

tergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak

ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernapasan maupun aliran darah ke

alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara

ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).

       Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal

ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan

menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,

maka jaring-jaring kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan

ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area

pulmonal.

       Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk

efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang

mengalami emfisema ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami

obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran

keluar udara dari paru. Jika demikian paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

       Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negatif selama

inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan

selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan

yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan

bermanifestasi pada berubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transversal

Page 4: Askep Emfisema

mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena

adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

       Pada bebrapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian

napas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke

depan untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa

supraklavikula yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.

       Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi.

Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit

dan akhirnya tiodak memungkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi

rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal

ini terjadi karena elastisitas alveoli sangat menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi

klien untuk menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan napas

yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan. (Smeltzer dan Bare, 2002) (Muttaqin,

2008)

                                                                         

6.    Tanda dan Gejala

1)      Kurus

2)      Warna kulit pucat

3)      Nafas pendek

4)      Produksi sputum dan batuk jarang

(Somantri, 2009)

7.    Pemeriksaan Diagnostik

1)        Rontgen dada: menunjukkan hiperinflasi paru, pendataran diafragma, peningkatan ruang

udara retrostrenal, menurunnya marking vaskular/bullae.

2)        Uji fungsi paru: lihat pada asma; kapasitas total paru (TLC: Total LungCapcity) menurun,

kapasitas inspiratori menurun, dan volume residual meningkat.

3)        Analisa Gas Darah : PaO₂ (parsial O2) menurun, PaCO₂ (parsial CO2) normal atau

meningkat, pH normal atau asidosis, respiratori alkalosis ringan sekunder akibat

hiperventilasi.

4)        Bronkhogram : menunjukkan dilatasi silindris bronkhi pada saat inspirasi, kolaps bronkhial

pada saat ekspirasi akut.

5)        HSD dan hitung banding : Hemoglobin meningkat pada emfisema lanjut.

Page 5: Askep Emfisema

6)        Kimia darah : pemeriksaan antitripsin-α1 dilakukan untuk memastikan defisiensi dan

diagnosis emfisema primer.

7)        EKG saat latihan fisik, tes stres : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pulmonal,

mengevaluasi keefektifan terapi bronkhodilator, merencanakan atau mengevaluasi program

latihan.

(Asih, 2003)

8.    Penatalaksanaan

a.    Pentalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan kualitas hidup,

memperlambat perkembangan proses penyakit, dan mengobati obstruksi saluran napas agar

tidak terjadi hipoksia. Pendekatan terapi mencakup :

 Pemberian terapi untuk  meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja napas

 Mencegah dan mengobati infeksi 

 Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatlan ventilasi paru

  Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk memfasilitasi

pernapasan yang adekuat

 Dukungan psikologis

  Edukasi dan rehabilitasi klien

b.      Penatalaksanaan Medis

Jenis obat yang diberikan berupa :

  Bronkodilator. Terdapat dua jenis bronkodilator yaitu simpatomimetik (adrenergik)

dan senyawa xanthine. Bronkodilator ini bekerja pada tempat yang berbeda dan tampaknya

bekerja secara sinergis bilamana digunakan bersama-sama. Obat-obatan adrenalik yang

bekerja pada beta 2 yang terletak pada otot polos saluran nafas memiliki efek samping

terhadap jantung yang lebih kecil daripada obat-obatan golongan beta 1 yang memiliki

reseptor myokardium. (Long, 1996)

 Terapi aerosol, Terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi sehingga dapat

dibuang. Tindakan terapi aerosol harus diberika sebelum waktu makan untuk memperbaiki

ventilasi paru dan dengan demikian mengurangi keletihan yang menyertai aktivitas makan.

Page 6: Askep Emfisema

Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid tetap kontroversial dalam pengobatan

emfisema. Kortikosteroid digunakan untuk melebarkan bronkhiolus yang membuang sekresi

setelah tindakan lain tidak menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan. Dosis

disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping jangka

pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peninkatan nafsu makan. Pada jangka

panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum,osteoporosis, supresi adrenal, miopati

steroid, dan pembentukan katarak.

Oksigenasi. Terapi oksigenasi dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien

emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk

meningkatkan PaO2 hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan

sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan

gejala-gejala klien dan memperbaiki kulaitas hidup klien.(Muttaqin, 2008; Somantri, 2009)

9.    Komplikasi

Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal ini

mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan

menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,

maka jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel

kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah (kor pulmonal) adalah salah satu

komplikasi emfisema.terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena

jugularis, atau nyeri apada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung. (Nowak,2004;

Muttaqin,2008)

B.     Konsep Askep

       I.            Pengkajian

a.       Riwayat kesehatan klien dan keluarga. Sejak kapan klien menderita penyakit tersebut dan

apakah anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang sama.

b.      Pola makan : kehilangan nafsu makan, atau tidak, terjadi penurunan berat badan atau tidak,

turgor kulit.

c.       Pola tidur/aktivitas : kelelahan, kesulitan tidur, nafas pendek, kelelahan otot.

d.      Pemeriksaan fisik mencakup

1.      Inspeksi

Page 7: Askep Emfisema

Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan

serta penggunaan obat bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tapak mempunyai bentuk

dada barrel chest(akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan

dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu

napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada

aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan

sputum purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama infeksi pernapasan.

2.      Palpasi

Ekspansi meningkat dan taktil femitus biasanya menurun.

3.      Perkusi

Didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.

4.      Auskultasi

Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruksi

pada bronkhiolus.

e.       Pengkajian psikososial : klien sangat sulit membangun hubungan sosial dengan

lingkungannya, mengurung diri.

    II.            Diagnosa Keperawatan yang muncul

1.      Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan

nafas, dan menurunnya kemampuan batuk efektif.

2.    Gangguan perukaran gas b.d peningkatan kerja pernafasan, hipoksemia secara

reversible/menetap.

3.      Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan nafsu

makan.

4.      Kurangnya pengetahuan b.d informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan

pengobatan.

askep emfisema

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS

I. PENGERTIAN

Page 8: Askep Emfisema

• Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi

darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat

disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997)

• Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen

dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS

Jantung “Harapan Kita”, 2001)

• Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru

tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-

sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan

peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner &

Sudarth, 2001)

II. PATOFISIOLOGI

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing

masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang

timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan

penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit

paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang

batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk

secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya.

Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel. 

Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan

normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan

ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital

adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).

Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi

jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang

otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor

otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan

pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode

postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen

menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari

analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas

akut.

Page 9: Askep Emfisema

PATHWAYS

III. ETIOLOGI

1. Depresi Sistem saraf pusat

Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang

menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga

pernafasan lambat dan dangkal.

2. Kelainan neurologis primer

Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan

menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor

pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot

pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan

sangatmempengaruhiventilasi.

3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks

Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru.

Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma

dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.

4. Trauma

Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang

mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat

mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks,

pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.

Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk

memperbaiki patologi yang mendasar

5. Penyakit akut paru

Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan

oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma

bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang

menyababkan gagal nafas.

IV. TANDA DAN GEJALA

A. Tanda

Page 10: Askep Emfisema

Gagal nafas total

• Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.

• Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada

pengembangan dada pada inspirasi

• Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan

Gagal nafas parsial

• Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.

• Ada retraksi dada

B. Gejala

• Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)

• Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Pemerikasan gas-gas darah arteri

Hipoksemia

Ringan : PaO2 <> 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam.

PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan

keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder

terhadap hipoventilasi

Tujuan :

Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang

adekuat

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan :

• Bunyi paru bersih

• Warna kulit normal

• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :

• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia

• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan

tinmgkat kesadaran pada dokter.

• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2

atau penurunan dalam PaO2

Page 11: Askep Emfisema

• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.

• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam

• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau

penyimpangan

• Pantau irama jantung

• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan

• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.

• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.

3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo

Tujuan :

Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan:

• TTV normal

• Balance cairan dalam batas normal

• Tidak terjadi edema

Intervensi :

• Timbang BB tiap hari

• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam

• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung 

• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP 

• Monitor parameter hemodinamik

• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit

4. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.

Kriteria Hasil :

Pasien mampu menunjukkan

• Status hemodinamik dalam bata normal

• TTV normal

Intervensi :

• Kaji tingkat kesadaran

Page 12: Askep Emfisema

• Kaji penurunan perfusi jaringan

• Kaji status hemodinamik

• Kaji irama EKG

• Kaji sistem gastrointestinal

Daftar pustaka

Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott

company, Philadelpia.

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,

pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.

Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.

Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB

Lippincott Company, Philadelphia.

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

JURUSAN S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

A.  Pengertian

                 Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) adalah kelainan dengan klasifikasi

yang luas, termasuk bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Ini merupakan

kondisi yang terdapat pulih yang berkaitan dengan dispnea pada aktivitas fisik dan

mengurangi aliran udara (Baughman, 2000 : 444).

Page 13: Askep Emfisema

                 Penyakit paru obstruksi menahun (PPOM) adalah kondisi kronis yang berhubungan

dengan riwayat emfisema, asma, bronkiektasis, merokok sigaret, atau terpajan pada polusi

udara, terdapat sumbatan jalan nafas yang secara progresif meningkat (Tucker, 1998 : 237).

                 Penyakit paru obtruksi menahun (PPOM) adalah aliran udara mengalami obstruksi

yang kronis dan pasien mengalami kesulitan dalam pernafasan. PPOM sesungguhnya

merupakan kategori penyakit paru-paru yang utama dan bronkitis kronis, dimana keduanya

menyebabkan perubahan pola pernafasan (Reeves,    2001 : 41).

B.  Etiologi

                 Faktor-faktor resiko penting yang menyebabkan PPOM

1.   Perokok kretek

2.   Polusi udara

3.   Pemajanan di tempat kerja (batu bara, kapas, padi-padian)

      Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 sampai 30 tahun (Smeltzer, 2002 :

756).

                 Faktor penyebab lain menurut (Doenges, 1999 : 152) alergen, masalah emosi,

cuaca dingin, latihan, obat, kimia, dan infeksi.

    

C.  Manifestasi Klinik

1.      ) Batuk

2.      Sputum atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.

3.      Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan otot-otot pernafasan tambahan untuk

bernafas (Mansjoer, 2000 : 480

                 Manifestasi klinis dari PPOM adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan

yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak pada pagi hari.

Napas pendek sedang berkembang menjadi napas pendek akut. Batuk yang produktif dahak

memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin

banyak. Pasien sering mengalami infeksi pernapasan dan kehilangan berat badan menurun

atau cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara

maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Pasien mudah lelah, mudah mengalami

penurunan berat badan sebagai akibat dari nafsu makan yang menurun. Penurunan daya

kekuatan tubuh, kehilangan selera makan, penurunan kemampuan pencernaan sekunder

karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal (Reeves, 2001 : 44).

Page 14: Askep Emfisema

D.  Patofisiologi

                 Pada bronkhitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran nafas,

penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada

bronkhitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih

sempit berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel

gobles. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus.

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas

paru-paru (Mansjoer, 2000 : 480).

                 Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam tergantung

pada penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis penumpukan lendir dan sekresi yang

sangat banyak menyumbat jalan nafas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen

dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang disebabkan oleh

overekstensi ruang udara yang mengalir ke dalam paru-paru (Smeltzer, 2002 :  594).

E.  Pathway dan Masalah Keperawatan 

Page 16: Askep Emfisema

F.      Pengkajian Dasar

Menurut Doenges (2000 : 152-155) pengkajian dasar PPOM antara lain

1.   Aktivitas / istirahat

Gejala   :  a.  Keletihan, kelelahan, malaise

b.  Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.

c.  Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi tubuh tinggi.

d.  Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.

Tanda   :  a.  Keletihan

               b.  Gelisah, insomnia

               c.  Kelelahan umum atau kehilangan massa otot 

2.   Sirkulasi

Gejala   :  Pembengkakan pada ekstremitas bawah.

Tanda   :  a.  Peningkatan tekanan darah

               b.  Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat, disritmia

               c.  Distensi vena leher

               d.  Edema tidak berhubungan dengan penyakit jantung

               e.  Bunyi jantung redup

3.   Integritas ego

Gejala   :  a.  Peningkatan faktor resiko

b.  Perubahan pola hidup

Tanda   :  Ansietas, ketakutan, peka rangsang

Page 17: Askep Emfisema

4.   Makanan dan cairan

Gejala   :  a.  Mual atau muntah

b.  Anoreksia

c.  Penurunan berat badan

Tanda   :  a.  Turgor kulit buruk

               b.  Edema

               c.  Berkeringat

               d.  Penurunan massa otot

5.   Higiene

Gejala   :  Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan melakukan aktivitas

Tanda   :  Kebersihan buruk, bau badan.

6.   Pernapasan

Gejala   :  a.  Napas pendek, rasa dada tertekan

b.  Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari

c.  Riwayat pneumonia berulang

d.  Faktor keluarga dan keturunan

e.  Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus

Tanda   :  a.  Pernafasan cepat atau lambat, ekspirasi memanjang dengan mendengkur

               b.  Adanya penggunaan otot bantu pernapasan

               c.  Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi

               d.  Perkusi hipersonan

               e.  Kesulitan bicara

               f.   Warna pucat dan sianosis bibir dan dasar kuku

               g.  Terdapat jari tabuh (clupping finger) 

7.   Keamanan

Gejala   :  a.  Riwayat reaksi alergi, sensitif terhadap faktor lingkungan

b.  Adanya atau berulangnya infeksi

Tanda   :  Kemerahan atau berkeringat

8.   Seksualitas

Gejala   :  Penurunan libido

9.   Interaksi sosial

Gejala   :  a.  Hubungan ketergantungan

b.  Kurang sistem pendukung

c.  Kegagalan dukungan orang terdekat

Page 18: Askep Emfisema

d.  Penyakit lama

Tanda   :  a.  Keterbatasan mobilitas fisik

               b.  Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain

10. Penyuluhan atau pembelajaran

Gejala   :  a.  Penyalahgunaan obat pernafasan

b.  Kesulitan menghentikan rokok

c.  Penggunaan alkohol secara teratur 

Menurut Engram (1999 : 32-33) pengkajian dasar PPOM antara lain :

1.   Riwayat atau adanya faktor-faktor penunjang :

a.       Merokok produk tembakau (faktor-faktor penyebab utama).

b.      Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.

c.       Riwayat alergi pada keluarga.

d.      Riwayat asma pada masa anak-anak.

2.   Riwayat atau adanya faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi, seperti alergen

(serbuk, debu, kulit, serbuk sari, jamur), stres emosional, aktivitas fisik berlebihan, polusi

udara, infeksi saluran napas, kegagalan program pengobatan yang dianjurkan.

3.   Pemeriksaan fisik berdasarkan pengkajian sistem pernapasan yang meliputi :

a.   Manisfestasi klasik dari PPOM :

1)      Peningkatan dypsnea (paling sering ditemukan)

2)      Penggunaan otot-otot asesori pernapasan (retraksi otot-otot abdominal, mengangkat bahu

saat inspirasi, napas cuping hidung)

3)      Penurunan bunyi napas

4)      Takipnea

5)      Ortopnea

b.   Gejala-gejala menetap pada proses penyakit dasar

1)   Asma

a)Batuk (mungkin produktif atau nonproduktif), dan perasaan dada seperti terikat.

b)      Mengi saat inspirasi dan ekspirasi, yang sering terdengar tanpa stetoskop.

c)Pernapasan cuping hidung.

d)      Ketakutan dan diaforesis

2)   Bronkitis

a)Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi

hari dan sering diabaikan oleh perokok (disebut batuk perokok).

Page 19: Askep Emfisema

b)      Inspirasi ronki kasar (crakcles) dan mengi.

c)Sesak napas

3)   Bronkitis (tahap lanjut)

a)Penampilan sianosis (karena polisitemia yang terjadi sebagai akibat dari hipoksemia kronis).

b)      Pembengkakan umum atau penampilan “puffy” (disebabkan oleh edem asistemik yang

terjadi sebagai akibat dari kor pulmonal); secara klinis, pasien ini umumnya disebut “blue

bloaters”.

4)   Emfisema

a)Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter toraks anterior-posterior

meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru).

b)      Fase ekspirasi memanjang.

5)   Emfisema (tahap lanjut)

a)      Hipoksemia dan hiperkapnia tetapi tak ada sianosis : pasien ini sering digambarkan secara

klinis sebagai “pink puffers”

b)      Jari-jari tubuh

4.   Kaji berat badan dan rata-rata masukan cairan dan diet harian.

G.  Pemeriksaan Penunjang

1.   Sinar X dada

                  Hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal,

penurunan tanda vaskularisasi (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskular (bronkitis).

2.   Tes fungsi paru

                  Untuk menentukan penyebab dipsnea, menentukan apakah fungsi abnormal adalah

obstruksi atau restruksi, dan untuk mengevaluasi efek terapi.

3.   Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema

4.   Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.

5.   AGD

                  PaO2 menurun, PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema), dan

menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap

hiperventilasi.

6.   Bronkogram

Page 20: Askep Emfisema

                  Menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkial pada ekspirasi

kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkhitis.

7.   Kimia darah : meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.

8.   Sputum : menentukan adanya infeksi, patogen, gangguan alergi.

9.   EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronkitis),

peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emifisema), aksis vertikal QRS

(emfisema)

10. JDL (jumlah darah lengkap) dan diferensial

                  Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma) (Doenges,

2000 : 155).

H.  Komplikasi

                 Komplikasi dari PPOM menurut Tucker (1998 : 238) adalah

1.      Disritmia

2.      Gagal pernafasan akut

3.      Gagal jantung

4.      Kor pulmoner

5.      Edema perifer

6.      Hepatomegali

7.      Sianosis

8.      Distensi vena leher

9.      Murmur regurgitasi

10.  Polisitemia

11.  Peptik dan refluks esofagus

                 Komplikasi dari PPOM menurut Mansjoer (2000 : 481) infeksi yang berulang,

pneumothoraks spontan, eritrositosis karena keadaan hipoksia kronis, gagal nafas, dan cor

pulmonal.

                 Komplikasi dari PPOM menurut Smeltzer (2002 : 596)

1.      Gagal atau insufisiensi pernapasan

2.      Atelektasis

3.      Pneumonia

Page 21: Askep Emfisema

4.      Pneumothoraks

5.      Hipertensi paru

I.   Penatalaksanaan

1.   Penatalaksanaan medis menurut Tucker (1998 : 238)

a.       Terapi oksigen

b.      Berikan nafas buatan atau ventilasi mekanik sesuai kebutuhan

c.       Fisioterapi dada

d.      Pengkajian seri GDA

e.       Obat-obatan

f.        Bronkodilator

g.       Antibiotik

h.       Kortikosteroid

i.         Diuretik

j.        Vaksinasi influensa

k.      Kardiotonik 

2.   Penatalaksanaan keperawatan

                  Tindakan keperawatan menurut Doenges (2000 : 156-163), tindakan keperawatan

yang penting pada pasien PPOM adalah fisioterapi dada, batuk efektif, latihan nafas

dalam, memberikan posisi semi fowler, cegah terjadinya polusi lingkungan, kaji tingkat

ketergantungan pasien, mendiskusikan efek bahaya merokok dan menganjurkan pasien

untuk menghindari rokok, tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari, diskusikan

kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

J.   Fokus Intervensi

                 Menurut Donges (2000 : 156) fokus intervensi PPOM antara lain :

1.   Inefektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi

sekret, sekresi tertahan tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.

                  Tujuan yang ditetapkan adalah mempertahankan potensi jalan nafas dengan kriteria

hasil :

a.       Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih dan jelas.

b.      Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas, misal : batuk efektif dan

mengeluarkan sekret.

Page 22: Askep Emfisema

                  Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi inefektif bersihan jalan nafas adalah :

a.       Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas.

b.      Pantau frekuensi pernafasan.

c.       Catat adanya derajat dypsnea.

d.      Kaji pasien untuk posisi yang nyaman.

e.       Pertahankan polusi lingkungan minimum.

f.        Bantu latihan nafas abdomen.

g.       Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari. 

2.   Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan

nafas oleh sekresi, spasme bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.

                  Tujuan yang ditetapkan adalah mempermudah pertukaran gas dengan kriteria hasil :

a.       Pasien akan menunjukkan perbaikan ventilasi dengan oksigenasi jaringan adekuat dengan

GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan.

b.      Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau

situasi.

                  Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan pertukaran gas adalah :

a.      Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,

ketidakmampuan bicara atau berbincang.

b.      Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien memilih posisi yang mudah untuk bernafas dan

latihan nafas dalam.

c.      Kaji kulit dan warna membran mukosa.

d.      Dorong pengeluaran sputum.

e.      Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan bunyi tambahan.

f.        Awasi tingkat kesadaran atau status mental.

g.      Awasi tanda vital dan irama jantung.

h.      Berikan O2 tambahan sesuai indikasi hasil GDA dan intoleransi pasien.

3.   Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dypsnea, kelemahan

efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.

                  Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan masukan nutrisi dengan kriteria hasil :

a.       Pasien akan menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.

b.      Pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau

mempertahankan berat yang tepat.

                  Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi perubahan nutrisi adalah

a.      Kaji kebiasaan diit, masukan makanan saat ini.

Page 23: Askep Emfisema

b.      Auskultasi bunyi usus.

c.      Berikan perawatan oral, buang sekret.

d.      Dorongan periode istirahat selama 1 jam, sebelum dan sesudah makan.

e.      Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.

f.        Hindari makanan yang sangat panas atau sangat dingin.

g.      Timbang berat badan sesuai indikasi.

h.      Kaji pemeriksaan laboratorium.

i.        Konsul dengan ahli gizi.

4.   Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan

kerja silia, menetapnya sekret)

                  Tujuan yang diterapkan tidak ada tanda dan gejala infeksi dengan kriteria hasil :

a.       Menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu.

b.      Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko individu.

c.       Menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.

                  Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi infeksi adalah :

a.       Kaji suhu tubuh pasien

b.      Kaji pentingnya nafas dalam, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan

adekuat.

c.       Kaji warna, karakter, bau sputum.

d.      Ajarkan cuci tangan yang benar.

e.       Awasi pengunjung.

f.        Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.

g.       Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.

5.   Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi atau tidak mengenal sumber

informasi, salah mengerti tentang informasi, kurang mengingat atau keterbatasan kognitif.  

                  Tujuan yang ditetapkan adalah meningkatkan tingkat pengetahuan dengan kriteria

hasil :

a.       Menyatakan pemahaman kondisi atau proses penyakit dan tindakan.

b.      Mengidentifikasi hubungan tanda dan gejala yang ada dari proses penyakit dan

menghubungkan dengan faktor penyebab.

c.       Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

                  Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah kurang pengetahuan adalah :

a.       Jelaskan proses penyakit individu.

b.      Diskusikan obat pernafasan, efek samping, dan reaksi yang tak diinginkan.

Page 24: Askep Emfisema

c.       Anjurkan menghindari agen sedatif anti anestesi.

d.      Tekankan pentingnya perawatan oral atau kebersihan gigi.

e.       Diskusikan pentingnya menghindari orang yang sedang infeksi pernafasan akut.

f.        Kaji efek bahaya merokok dan nasehatkan menghentikan rokok pada pasien dan atau

orang terdekat.

g.       Berikan reinforcement tentang pembatasan aktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff Hood, Mukty, H.A., 2006, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press,

Surabaya.

Asih. N.L.G.Y., Effendy, C., 2004, Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan Sistem

Pernafasan, Editor Monika Ester, EGC, Jakarta.

Baughman, Diane, C., 2000, Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 1998, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik, (terjemahan), Alih

Bahasa : PSIK, Universitas Padjajaran, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan dan

Masalah Kolaboratif, Alih Bahasa : PSIK, Universitas Padjajaran, EGC, Jakarta.

Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik, (terjemahan), Alih

Bahasa : PSIK, Universitas Padjajaran, EGC, Jakarta.

Page 25: Askep Emfisema

Danusanto, H., 2000, Ilmu Penyakit Paru, Hipokrates, Jakarta.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman

untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (terjemahan), Alih Bahasa : I

Made Krisiana dan Ni Made Sumarwati, Ed. 3, EGC, Jakarta.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman

untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, (terjemahan), Alih Bahasa : I

Made Krisna dan Ni Made Sumarwati, Ed. 3, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, (terjemahan), Alih Bahasa :

Suharyati Samba, Vol. 1, EGC, Jakarta.

Engram, Barbara, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, (terjemahan), Alih Bahasa :

Suharyadi Samba, EGC, Jakarta.

Kee, J.L., 2008, Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi

Keperawatan, (terjemahan), Ed. 2, EGC, Jakarta.

Mansjoer, Arif, M., 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Editor Mansjoer Arif, Media Aesculapius,

Jakarta.

askep emfisema

09 Apr 2012 Tinggalkan Sebuah Komentar

by adindadienz in tugas Kaitkata:tugas

1. A.   PENGERTIAN

            Emfisema adalah perubahan anatomis paremkim paru yang biasanya ditandai dengan

perbesaran alveolus dan duktus alveolaris serta          destruksi dinding alveolus (Price).

Emfisema adalah penyakit obstruksi kronik akibat berkurangnya      elastisitas paru dan luas

permukaan alveolus (Corwin).

Page 26: Askep Emfisema

            Emfisema kronik adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang

diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronchitis

kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronchitis,

antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang hedediter, dimana terjadi kekurangan pada

globulin alfa antitrypsin yang diikuti oleh fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah

pada usia muda tanpa harus terdapat bronchitis kronik. (Tabrani Rab, 2006)

            Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang

disebut emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronchitis kronik dahulu.

Kebanyakan emfisema terjadi pada daerah distal dari bronkus, terutama pada asma bronchial.

Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap udara (air tapering), dimana

udara dapat masuk tetapi tidak keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi

emfisema lebih banyak pada pria daripada wanita. (Tabrani Rab, 2006)

Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi

klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkiolus terminal yang disertai

dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini meupakan tahap akhir proses yang mengalami

kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami

gejala emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen (irreversible)

yang disertai dengan bronchitis obstruksi kronis. Kondisi ini merupakan penyebab utama

kecacatan. (Arif Muttaqin, 2008)

Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat

irreversible dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi gembung atau barrel chest.

Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang

memberikan gambaran seperti pneumotoraks. (Tabrani Rab, 2006)

1. B.   ETIOLOGI

(Menurut Arif Muttaqin , 2008)

Berikut ini merupakan penyebab dari emfisema adalah:

1. Merokok

Page 27: Askep Emfisema

Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara

merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Nowak, 2004).

1. Keturunan

Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali

pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim

proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan

paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin

adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita

emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. Emfisema paru akan lebih cepat

timbul bila penderita tersebut merokok.

1. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun

menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seseorang penderita bronchitis

kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan

paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi

virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.

1. Hipotesis Elastase – Antielastase

Di dalam paruterdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar

tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan

menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah

emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag

alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh

asap rokok dan infeksi virus menyebabkan elastase virus bertambah banyak. Aktivitas system

antielastase, yaitu system enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin

menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara

elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian

emfisema.

1. C.   PATOFISIOLOGI

Page 28: Askep Emfisema

(Menurut Arif Muttaqin, 2008)

Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan recoil

elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke alveoli

menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.

Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke luar

(yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang

menarik jaringan paru ke dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan

tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual capacity (FRC)

yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan

FRC yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang

normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan

berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.

Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernapasan tersebut akan lebih cepat dan lebih

banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan dinding alveoli yang

rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun semua itu

bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak

ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebarannya udara pernapsan maupun aliran darah ke

alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara

ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama)

Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan. Hal ini

mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan 

menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,

maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan

ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area

pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (edema dependen), distensi vena

jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).

Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk

efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang

mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami

Page 29: Askep Emfisema

obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran masuk dan aliran

keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.

Untuk mengalirkan udara ke dalam dan ke luar paru dibutuhkan tekanan negative selama

inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan

selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernapasan

yang berdampak pada kekuatan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan

bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Transferal mengalami

peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitasparu karena adanya

kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.

Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis di mana tulang belakang bagian atas

secara abnormal bentuknya membulat atau cekung. Beberapa klien membungkuk ke depan

untuk dapat bernapas, menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang

terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan

1. D.   PATHWAY

1. E.   KLASIFIKASI

(Menurut Tabrani Rab, 2006)

Sebagai klinis diagnosis dari emfisema berdasarkan atas:

1. Pelebaran yang permanen dari sakus alveolaris. Pelebaran yang refersibel, seperti

pada asma, yang disebabkan oleh karena terperangkapnya udara dan dapat kembali

menjadi normal tidak digolongkan ke dalam emfisema.

2. Pelebaran dari sakus alveolaris (asinus) dan rusaknya dinding alveoli merupakan

gambaran normal pada usia lanjut dan perubahan fisiologi ini bukan merupakan

emfisema.

3. Yang terpenting pada emfisema adalah terdapatnya destruksi dari jaringan alveoli.

Secara faal menyebabkan paru kehilangan recoilnya dan kehilangan pembuluh darah

yang terdapat di unit paru tersebut, sehingga sebagian unit paru ini tidak berfungsi

lagi dan diambil alih oleh unit paru yang lainnya.

Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yakni:

Page 30: Askep Emfisema

1. Emfisema asinus distal atau disebut juga dengan emfisema paraseptal Lesi ini

biasanya terjadi di sekitar septum lobules, bronkus, dan pembuluh darah atau di

sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.

2. Emfisema sentrilobular disebut juga emfisema asinus proksimal atau emfisema

bronkiolus respiratorius. Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumoconiosis atau

penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya. Penyakit ini erat hubungannya dengan

perokok, bronchitis kronik, dan infeksi saluran napas distal. Penyakit ini sering

didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian

atas paru.

3. Emfisema parasinar

Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan erat dengan:

1. Defisiensi alfa antitrypsin

2. Bronkus dan bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang)

3. Emfisema irregular atau disebut juga dengan emfisema jaringan parut. Biasanya

terlokalisir, bentuknya irregular dan tanpa gejala klinis. Salah satu bentuk emfisema

yang lain adalah emfisema jaringan parut yang berbentuk irregular. Jaringan parut

yang menyebabkan irregular dan emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa,

histoplasmosis, dan pnemokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk

irregular dan limfangileiomiomatosis.

1. F.    TANDA DAN GEJALA

Gambaran Emfisematosa

AwitanUsia saat

didiagnosisSebab

Sputum

Dispnea

Rasio V/Q

Bentuk tubuh

Usia 30-40 tahun±60 tahunFaktor-faktor yang

tidak diketahui

Predisposisi genetic

Merokok

Polusi udara

Sedikit

Page 31: Askep Emfisema

Diameter AP dada

PA paru

Pola pernapasan

Volume paru-paru

PaCO2

PaO2

SaO2

Hematokrit

Polisetemia

Sianosis

Kor pulmoner

Relatif dini

Ketidakseimbangan V/Q minimal

Kurus dan ramping

Sering berbentuk seperti tong

Emfisema panlobular

Hiperventilasi dan dispnea yang jelas, dapat

timbul sewaktu istirahat

FEV1 rendah

TLC dan RV meningkat

Normal atau rendah (35-40 mmHg)

65-75 mmHg

Normal

35 sampai  45%

Hb dan Hct normal sampai tahap akhir

Jarang

Jarang kecuali tahap akhir

1. G.  PENATALAKSANAAN

Klien dengan emfisema rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada awal timbulnya

ranch-ranch infeksi. Organisme yang paling umum menyebabkan infeksi tersebut adalah S.

pneumonia, H.influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Terapi antimikroba dengan

tetrasiklin, amficilin, amoxicillin, atau trimetoprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya

Page 32: Askep Emfisema

diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertanda infeksi pernapasan seperti

yang dibuktikan dengan adanya sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid tetap controversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid

digunakan untuk melebarkan bronkhiolus dan membuang sekresi setelah tindakan lain tidak

menunjukkan hasil. Prednison biasanya diresepkan.

Dosis disesuaikan untuk menjaga klien pada dosis yang serendah mungkin. Efek samping

jangka pendek termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Pada

jangka panjang, klien mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal,

miopati steroid, dan pembentukan katarak.

Oksigenasi

Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada klien dengan emfisema berat.

Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2

hingga antara 65 dan 80 mmHg. Pada emfisema berat, oksigen diberikan sedikitnya 16 jm per

hari, dengan 24 jam lebih baik. Modalitas ini dapat menghilangkan gejala-gejala klien dan

memperbaiki kualitas hidup klien.

1. H.  PENGKAJIAN KEPERAWATAN

(Menurut Arif Muttaqin, 2008)

Anamnesa

Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan (onset) yang

membahayakan. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang lama,

mengi, serta nafas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala diperburuk oleh infeksi

pernapasan. Perawat perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali

setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.

Pemeriksaan Fisik Fokus

1. 1.      Inspeksi

Page 33: Askep Emfisema

Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan

serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk

dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan

dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot bantu

napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada

aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan

sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan

1. Palpasi

Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.

1. 3.      Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.

1. 4.      Auskultasi

Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif

pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia)

dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada

waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan tali

sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami

emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara

efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi

akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang

berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan

hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.

1. a.      Pemeriksaan Diagnostik

2. 1.      Pengukuran Fungsi Paru (Spirometri)

Pengukuran fungsi paru biaasanya menunjukkan peningkatan kapasitas paru total (TLC) dan

volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi

paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien dalam

mendorong udara ke luar dari paru.

Page 34: Askep Emfisema

1. 2.      Pemeriksaan Laboratorium

Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal penyakit. Dengan

berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia

ringan dengan hiperkapnea.

1. 3.      Pemeriksaan Radiologis

Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran margin

interkosta, dan jantung sering ditemukan bagai tergantung (heart till drop).

1. I.      DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

(Menurut Muttaqin A,dkk,2006)

1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-perfusi.

Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.

Intervensi :

1)      Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.

2)      Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.

3)      Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik dan batuk

efektif.

4)      Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.

Rasional:

1)      Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema mukosa

bronchial dan spasme muscular.

2)      Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi biasanya

digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.

Page 35: Askep Emfisema

3)      Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan

jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.

4)      Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.

Evaluasi:

1. Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.

2. Melaporkan penurunan dispnea.

3. Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.

4. Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan bronkokontriksi,

peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.

Tujuan : Pencapaian klirens jalan napas.

Intervensi :

1)      Beri pasien 6-8 gelas cairan/hari, kecuali terdapat kor pulmonal.

2)      Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmaik dan batuk.

3)      Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler, atau IPPB.

4)      Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam hari

sesuai yang diharuskan.

5)      Instruksikan pasien untuk menghindari iritan, seperti asap rokok, aerosol, dan asap

pembakaran.

6)      Berikan antibiotik sesuai yang diresepkan.

Rasional :

1)      Hidrasi sistemik menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran.

Page 36: Askep Emfisema

2)      Teknik ini akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi

tanpa harus menyebabakan sesak napas dan keletihan.

3)      Tindakan ini menambahakan air ke dalam percabangan bronchial dan pada sputum

menurunkan kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.

4)      Menggunakan gaya gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi

dapat lebih mudah dibatukkan atau diisap.

5)      Iritan bronkial menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukan lendir,

yang kemudian mengganggu klirens jalan napas.

6)      Antibiotik mungkin diresepkan untuk mencegah atau mengatasi infeksi.

Evaluasi :

1.  Mengungkapkan pentingnya untuk minum 6-8 gelas per hari.

2. Batuk berkurang.

3. Jalan napas kembali efektif.

1. Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir,

bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.

Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan.

Intervensi :

1)        Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.

2)        Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.

3)        Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika diharuskan.

Rasional :

1)      Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien akan

bernapas lebih efisien dan efektif.

Page 37: Askep Emfisema

2)      Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa

distres berlebihan.

3)      Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan.

Evaluasi :

1. Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya ketika

sesak napas dan saat melakukan aktivitas.

2. Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak dalam

aktivitas.

3. Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.

4. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan keletihan sekunder akibat

peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.

Tujuan : kemandirian dalam aktivitas perawatn diri.

Intervensi :

1)      Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan aktivitas.

2)      Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi sendiri, berpakaian sendiri, berjalan.

3)      Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan.

Rasional :

1)       Akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang

berlebihan atau dispnea selama aktivitas.

2)       Sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan mampu melakukan lebih banyak

namun perlu didorong untuk menghindari peningkatan ketergantungan.

3)       Memberikan dorongan pada pasien untuk terlibat dalam perawtan dirinya.

Evaluasi :

1. Menggunakan pernapasan terkontrol ketika beraktivitas.

Page 38: Askep Emfisema

2. Menguraikan strategi penghematan energi.

3. Melakukan aktivitas perawatan diri seperti sebelumnya.

1. Intoleran aktivitas akibat keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.

Tujuan: perbaikan dalam toleran aktivitas.

Intervensi:

1)      Dukungan pasien dalam menegakkan regimen latihan teratur.

Rasional:

1)      Otot-otot yang mengalami kontaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan

memberikan beban tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, kelompok otot

menjadi lebih terkondisi.

Evaluasi:

1. Melakukan aktivitas dengan napas pendek lebih sedikit.

2. Berjalan secara bertahap meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki

kondisi fisik.

1. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,

depresi, tingkat aktivitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja.

Tujuan: pencapaian tingkat koping yang optimal.

Intervensi:

1)      Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat yng ditujukan

kepada pasien.

2)      Dorongan aktivitas sampai tingkat toleransi gejala.

3)      Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi pasien.

Rasional:

Page 39: Askep Emfisema

1)      Suatu perasaan harapan akan memberikan pasien sesuatu yang dapat dikerjakan.

2)      Aktivitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan

pasien menjadi terkondisi.

3)      Relaksasi mengurangi stres dan ansietas dan membantu pasien untuk mengatasi

ketidakmampuannya.

Evaluasi :

1. Mengekspresikan minat di masa depan.

2. Mendiskusikan aktivitas dan metode yang dapat dilakukan untuk menghilangkan

sesak napas.

3. Menggunakan teknik relaksasi dengan sesuai.

1. Defisit pengetahuan tentang prosedur perawatan diri yang akan dilakukan di rumah.

Tujuan: kepatuhan dengan program terapeutik dan perawatan di rumah.

Intervensi:

1)      Bantu pasien mengerti tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

2)      Diskusikan keperluan untuk berhenti merokok.

Rasional:

1)      Pasien harus mengetahui bahwa ada metoda dan rencana dimana ia memainkan peranan

yang besar.

2)      Asap tembakau menyebabkan kerusakan pasti pada paru dan menghilangkan

mekanisme proteksi paru-paru. Aliran udara terhambat dan kapasitas paru menurun.

Evaluasi:

1. Mengerti tentang penyakitnya dan apa yang mempengarukinya.

2. Berhenti merokok

Page 40: Askep Emfisema

DAFTAR PUSTAKA

 

Muttaqin,Arif.2008.Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan.Jakarta:Salemba Medika.

Rab,Tabrani.2006.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrutes.

Muttaqin,A.dkk.2006.Standard Operating Procedure dan Standard Asuhan Keperawatan

RSUD Ulin Banjarmasin.Banjarmasin:Komite Keperawatan dan Keteknisian Medis RSUD

Ulin.

http://www.ziddu.com/download/64755169/pathway-emfisema.doc.html

Anonim. 2009. Penyakit Obstruksi Paru Kronik. http://www.kalbeportal.com.

———. 2009. COPD in Smoker. http://content.nejm.org/.

Davey. 2006. At a Glance Medicine: Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Jakarta: Erlangga

Guyton dan Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9: Insufesiensi Pernapasan.

Jakarta: EGC

Kumar dkk. 2006. Buku Ajar Patologi Jilid 2 Edisi 7: Paru dan Saluran Napas Atas.

Jakarta: EGC

LAPORAN PENDAHULUAN

EMFISEMA

A. Pengertian

Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus

terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216)

Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang

udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya.(Robbins.1994.253)

Page 41: Askep Emfisema

Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas

permukaan alveoli.(Corwin.2000.435)

B. Klasifikasi

Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang

terjadi dalam paru-paru :

1.      Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan

alveoli. Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit

inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat

aktivitas, dan penurunan berat badan.

                                  

2.      Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus

sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-

ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri),

polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis,

edema perifer, dan gagal napas.

                                                    

C. Etiologi

Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :

1.      Rokok

Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas,

menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar

mukus bromkus.

2.      Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian

emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara

seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi

makrofag alveolar.

3.      Infeksi

Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran

nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada

obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.

Page 42: Askep Emfisema

4.      Genetik

5.      Paparan Debu

D. Manifestasi Klinis

1.      Dispnea

2.      Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’

3.      Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori

pernapasan (sternokleidomastoid)

4.      Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.

5.      Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi

6.      Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum

7.      Distensi vena leher selama ekspirasi.

E. Patofisiologi

Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus

yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian tau

seluruhparu.

Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang

mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus

menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara

yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

Pada emfisema terjadi penyempitan saluran nafas, penyempitan ini dapat mengakibatkan

obstruksi jalan nafas dan sesak, penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya

elastisitas paru-paru.

F. Komplikasi

1.      Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan

2.      Daya tahan tubuh kurang sempurna

3.      Tingkat kerusakan paru semakin parah

4.      Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas

5.      Pneumonia         

Page 43: Askep Emfisema

6.      Atelaktasis

7.      Pneumothoraks

8.      Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

G. Pemeriksaan diagnostik

·         Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;

peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);

peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).

·         Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan

apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat

disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.

·         TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan

emfisema

·         Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema

·         Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma

·         FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada

bronkitis dan asma

·         GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis

h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial

pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis

·         JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma)

·         Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa

emfisema primer

·         Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan

sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi

·         EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial

(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis

vertikal QRS (emfisema)

·         EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi

keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.

Sumber : http://download-askep.blogspot.com

Page 44: Askep Emfisema