Asites
-
Upload
shelly-yoshianne-a -
Category
Documents
-
view
23 -
download
0
description
Transcript of Asites
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat
disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di rongga peritoneum
dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar takni transudasi dan eksudasi. Asites yang ada
hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adalah salah satu contoh penimbunan
cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling
sering dijumpai di Indonesia. Asites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada
beberapa penyakit. Asites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin
kompleks. Infeksi pada cairan asites akan lebih memperberat perjalanan penyakit pada
dasarnya oleh karena itu asites harus dikelola dengan baik.
Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudasi. Teori-teori itu misalnya
underfilling, overfilling, dan periferal vasodilatation. Menurut teori underfilling asites dimulai
dari volume cairan plasma yang menurun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia
akan menyebabkan transudasi, sehingga volume cairan intravaskular menurun. Akibat volune
cairan intravaskular menurun. Ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi garam danair
melalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan
intravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian selanjutnya yang
menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hari terjadi vasodilatasi perifer, vasodilatasi splanchnic
bed, peningkatan volume cairan intravaskular dan curah jantung. Teori overfilling mengatakan
bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma. Akibat reabsorpsi air oleh ginjal. Gangguan
fungsi itu terjadi akibat peningkatan aktivitas hormon anti diuretik dan penurunan aktivitas
hormon natriuretik karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan
kelanjutan asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan
neuroormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua teori itu adalah teori
vasodilatasi perifer. Menurut teori ini faktor patogenesis penyebab asites yang amayt penting
adalah hipertensi porta yang sering disebut sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang
sering disebut faktor sistemik.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resistensi sistem porta dan
terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta diimbangi dengan vasodilatasi
splanchnic bed oleh vasodilatator endogen. Peningkatan resistensi sistem porta yang diikuti
oleh peningkatan aliran darah akibat vaso dilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi
porta menjadi menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama
disinusoid dan selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul pada rongga peritoneum.
Vasodilatator endogen yang dicurigai berperan antara lain: glukagon, nitric oxide (NO),
calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial (ANF), polipeptida
vasoaktif intestinal (VIP), prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilatator endogen pada saatnya akan mempengaruhi sirkulasi arterial sistemik, terdapat
peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling relatif. Tubuh akan bereaksi
dengan meningkatkan aktivitas saraf simpatik, sistem renin-angiotensin-aldosteron dan arginin
vasopresin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garan oleh ginjal dan
peningkatan indeks jantung.
Asites lanjut amat mudah dikenali. Pada inspeksi akan tampak perut membuncit seperti perut
katak, umbilikus seolah bergerak kearah kaudal mendekati simpisis os pubis. Sering dijumpai
hernia umbilikalis akibat tekanan intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi, pekak samping
meningkat dan terjadi shifting dullness. Asites yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-
tanda fisik yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya dengan pudle sign untuk
menemukan asites. Pemeriksaan penunjang yang dapat memberiksan informasi untuk
mendeteksi asites adalag ultrasonografi. Untuk menegakkan diagnosis asites, ultrasonografi
mempunyai ketelitian yang tinggi. Parasenstesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap
pasien asites baru. Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang amat penting
untuk pengelolaan selanjutnya, misalnya:
1. Gambaran makroskopik.
Cairan asites hemoragik, sering dihubungkan dengan keganasan. Warna kemerahan
dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur kapiler peritoneum.
Chillous ascites merupakan tanda ruptur pembuluh limfe, sehingga cairan limfe tumpah
ke peritoneum.
2. Gradien nilai albumin serum dan asites.
Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada hubungannya
dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati bahwa gradien dikatakan tinggi
bila nilainya >1,1 gram/dL. Kurang dari nilai itu disebut rendah. Gradien tinggi terdapat
pada asites transudasi dan berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai
gradien rendah lebih sering terdapat pada asites eksudat. Konsentrasi protein asites
kadang-kadang dapat menunjukkan asal asites, misalnya protein asites < 3 gram/dL
lebih sering terdapat pada asites transudat sedangkan konsentrasi protein > 3 gram/dL
sering dihubungkan dengan asites eksudat. Pemeriksaan ini terbukti tidak akurat karena
nilai akurasinya hanya kira-kira 40%
3. Hitung sel.
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk menilai asal
infeksi lebih tepat digunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang meningkat lebih dari
250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan. Sedangkan peningkatan MN lebih
sering terjadi pada peritonitis tuberkulosa atau karsinomatosis.
4. Biakan kuman.
Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang dicurigai terinfeksi.
Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan kuman polimikroba
sedangkan peritonitis bakteri spontan monomikroba. Metoda pengambilan sampel
untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan dengan sampel untuk biakan kumah
dari darah yakni bed side innoculation blood culture bottle.
5. Pemeriksaan sitologi.
Pada kasus-kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitologi asites dengan cara
yang baik memberikan hasil true positive hampir 100%. Sampel untuk pemeriksaan
sitologi harus cukup banyak (kira-kira 200ml) untuk meningkatkan sensitivitas. Harus
diingat banyak tumor penghasil asites tidak melalui mekanisme karsinomatosis
peritoneum sehingga tidak dapat dipastikan melalui pemeriksaan sitologi asites.
Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif, meliputi:
1. Tirah baring.
Tirah baring dapat memperbaiki efektivitas diuretika, pada pasien asites transudat yang
berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika tersebut
berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus akibat tirah
baring. Tirah baring akan menyebabkan aktivitas simpatik dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron menurun. Yang dimaksud dengan tirah baring disini bukan istirahat total di
tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit diangkat, selama
beberapa jam setelah minum obat diuretika.
2. Diet.
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsumsi garam
perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 meq/hari. Hiponatremia ringan sampai sedang
bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah garam, mengingat
hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumlah total Na dalah tubuh
sebenarnya diatas normal. Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang
dari 40 meq/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang amat rendah justru dapat
mengganggu fungsi ginjal.
3. Diuretika.
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron,
misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat kalium, bekerja di
tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Sebenarnya potensi natriuretik diuretika
distal lebih rendah daripada diuretika loop bila etiologi peningkatan air dan garam tidak
berhubungan dengan hiperaldosteronisme. Efektivitas obat ini bergantung pada
konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis yang dianjutkan antara
100-600 mg/hari. Jarang diperkukan dosis yang lebih tinggi lagi.
Diuretik loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini sebenarnya lebih
berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati, karena mekanisme utama
reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, diuretika loop menjadi kurang
efektif.
4. Terapi parasentesis.
Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno. Pada
mulanya karena berbagai komplikasi, parasentesis asites tidak lagi disukai. Beberapa
tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena mempunyai banyak
keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik. Untuk setiap
liyter cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin
parenteral sebanyak 6-8 gram. Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap
diberikan. Parasentesis asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan
Child-Pugh C, kecuali asites tersebut refrakter.
5. Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari.
Asites sebagai komplikasi penyakit-penyakit yang dapat diobati, dengan menyembuhkan
penyakit yang mendasari akan dapat menghilangkan asites. Sebagai contoh adalah
asites pada peritonitis tuberkulosa. Asites yang merupakan komplikasi penyakit yang
tidak dapat disembuhkan memerlukan pengobatan tersendiri. Asites eksudat yang
penyebabnya tidak dapat disembuhkan, misalnua karsinoma peritoneum, sering hanya
dilakukan pengobatan paliatif dengan parasentesis berulang.