Asin
-
Upload
wahab-ropek -
Category
Documents
-
view
33 -
download
1
description
Transcript of Asin
DIKTAT MATA KULIAH
OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI
Disusun oleh :
dr. Novita Intan Arovah, MPH
PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN JURUSAN PENDIDIKAN KESEHATAN DAN REKREASI
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGAYAKARTA
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 2
DAFTAR ISI
BAGIAN I. DIABETES MELLITUS (DM) ................................................................ 3 1. Pengertian DM ................................................................................................... 3 2. Patofisiologi DM ................................................................................................ 3
a. Diabetes Mellitus Tipe 1 ................................................................................... 5 b. Diabetes Mellitus Tipe 2 ................................................................................... 7 c. Diabetes mellitus tipe 3 ................................................................................... 10
3. Penegakan Diagnosis DM ................................................................................ 11 a. Tanda dan Gejala DM ..................................................................................... 11 b. Pemeriksaan Laboratorium DM ...................................................................... 13
4. Resiko Komplikasi Diabetes DM .................................................................... 14 a. Komplikasi akut .............................................................................................. 14 b. Komplikasi kronis ........................................................................................... 14
5. Penatalaksanan DM .......................................................................................... 16 6. Program Latihan Fisik Penderita DM ................................................................ 17
a. Adaptasi Kadar Gula Darah Terhadap Latihan Fisik ..................................... 17 b. Prinsip Latihan Fisik Pada Penatalaksanaan Diabetes Mellitus ...................... 20 c. Aspek Sosio-Psikologis Penderita Diabetes Terhadap Latihan Fisik. ............ 21
BAGIAN II. ASMA BRONCHIALE .......................................................................... 27 1. Pengertian Asma Bronchiale .............................................................................. 27 2. Patofisiologi Asma Bronchiale ........................................................................... 28 3. Penegakan Diagnosis Asma Bronchiale............................................................. 31
a. Tanda dan Gejala DM ..................................................................................... 31 b. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Asma Bronchiale ................................. 32
5. Penatalaksanan Asma Bronchilae .................................................................... 34 a. Desensitisasi Alergen ...................................................................................... 34 b. Farmakologis (Obat) ...................................................................................... 34 c. Olahraga Bagi Penderita Asma ...................................................................... 34
6. Program Latihan Fisik Penderita Asma Bronchiale ........................................... 35 a. Pedoman Exercise Therapy pada Asma .......................................................... 35 b. Exercise Induced Asthma ................................................................................ 40 c. Rekomendasi Program Latihan Pada Penderita Asma .................................... 43
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 3
BAGIAN I. DIABETES MELLITUS (DM)
1. Pengertian DM
Diabetes mellitus (DM) yang pada masyarakat dikenal sebagai kencing manis
adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula
darah) yang terjadi secara terus-menerus. Pada penyakit ini tingginya kadar gula
dalam darah (hiperglikemia) dan dalam urin (glukosuria) terjadi karena gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Penyakit ini menimbulkan dampak
kesehatan yang signifikan mengingat dapat menimbulkan komplikasi kronik yang
bermanifestasi sebagai penyakit jantung kronis, hipertensi, gangguan otak
(stroke), system saraf (neuropati), mata (retinopati) dan ginjal (nefropati).
2. Patofisiologi DM
Pada proses pencernaan makanan, makanan yang diasup diubah menjadi
bentuk yang dapat diserap oleh tubuh. Makanan beruba karbohidrat diubah
menjadi bentuk karbohidrat bentuk sederhana (monosakarida) beruba glukosa,
galaktosa maupun fruktosa. Bentuk gula sederhana yang diserap oleh tubuh
masuk ke aliran adarah dan berfungsi untuk menyediakan energi bagi tubuh.
Glukosa yang ada dalam aliran darah akan masuk dimasukkan ke dalam sel untuk
dipergunakan sebagai bahan pembuatan energi utama dalam tubuh. Hormon yang
bertanggung jawab pada masuknya glukosa tersebut adalah hormon insulin.
Insulin adalah hormon yang dihasilkan pankreas, sebuah organ di samping
lambung. Hormon ini melekatkan dirinya pada reseptor-reseptor yang ada pada
dinding sel. Insulin bertugas untuk membuka reseptor pada dinding sel agar
glukosa memasuki sel. Sel-sel tersebut mengubah glukosa menjadi energi yang
diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Dengan kata lain, insulin membantu
menyalurkan gula ke dalam sel agar diubah menjadi energi. Jika jumlah insulin
tidak cukup, maka terjadi penimbunan gula dalam darah sehingga menyebabkan
diabetes.
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 4
Gambar 1. Patofisiologi Diabetes Mellitus
(http://aguslina.files.wordpress.com/2008/09/slide02.gif)
Secara patofisiologis, diabetes mellitus dibedakan menjadi dua macam
yakni diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Diabetes tipe 1 sering disebut Insulin
Dependent Diabetes Mellitus atau Diabetes Mellitus yang bergantung pada
Insulin. Diabetes tipe 1 berkaitan dengan ketidaksanggupan pankreas untuk
membuat insulin. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan cukup
insulin akibat kelainan sistem imun tubuh yang menghancurkan sel yang
menghasilkan insulin atau karena infeksi virus sehingga hormon insulin dalam
tubuh berkurang dan mengakibatkan timbunan gula pada aliran darah. Diabetes
tipe 2 sering disebut Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau Diabetes
Mellitus Tanpa Bergantung pada Insulin. Pada keadaan ini terjadi penurunan
sensitivitas insulin pada reseptor sel tubuh yang mengakibatkan tidak optimalnya
kerja insulin. Resistensi insulin ini sering disebabkan oleh tertutupnya reseptor
insulin oleh butir-butir lemak sehingga reseptor tidak dapat mengenali insulin.
Diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang sebagian besar diderita yakni
terjadi pada sekitar 90% hingga 95% penderita diabetes. Jenis diabetes ini paling
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 5
sering diderita oleh orang dewasa yang berusia lebih dari 30 tahun dan cenderung
memberat secara bertahap.
Klasifikasi Diabetes Mellitus
a. Diabetes Mellitus Tipe 1
Menurut WHO (1999) diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak
(bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-
dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena
berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta
penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat
diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sampai saat ini IDDM tidak
dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah
raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat
badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas
maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita
diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1
adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin,
dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat
monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk
tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin,
ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa
mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya
hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya,
juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan
untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah
ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 6
dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian
masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan
memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup,
perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan
dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus
sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa
dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka
yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent
hypoglycemic events". Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti
dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga
menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya
membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis.
Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat
menyebabkan kehilangan kesadaran.
Penyakit diabetes tipe 1 sering disebut Insulin Dependent Diabetes
Mellitus atau Diabetes Mellitus yang Bergantung pada Insulin. Jadi diabetes
tipe 1 berkaitan dengan ketidaksanggupan pankreas untuk membuat insulin.
Jadi diabetes tipe ini berkaitan dengan kerusakan atau gangguan fungsi
pankreas menghasilkan insulin. Penderita penyakit diabetes tipe 1 sebagian
besar terjadi pada orang di bawah umur 30 tahun. Itu sebabnya penyakit ini
sering dijuluki diabetes anak-anak karena penderitanya lebih banyak terjadi
pada anak-anak dan remaja. Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat
menghasilkan cukup insulin akibat kelainan sistem imun tubuh yang
menghancurkan sel yang menghasilkan insulin atau karena infeksi virus
sehingga hormon insulin dalam tubuh berkurang dan mengakibatkan
timbunan gula pada aliran darah.
Pada diabetes tipe 1, pankreas tidak dapat menghasilkan cukup insulin.
Karena kekurangan insulin menyebabkan glukosa tetap ada di dalam aliran
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 7
darah dan tidak dapat digunakan sebagai energi. Beberapa penyebab pankreas
tidak dapat menghasilkan cukup insulin pada penderita diabetes tipe 1, antara
lain karena:
(1) Faktor keturunan atau genetika. Jika salah satu atau kedua orang
tua menderita diabetes, maka anak akan berisiko terkena diabetes.
(2) Autoimunitas yaitu tubuh alergi terhadap salah satu jaringan atau
jenis selnya sendiri—dalam hal ini, yang ada dalam pankreas. Tubuh
kehilangan kemampuan untuk membentuk insulin karena sistem kekebalan
tubuh menghancurkan sel-sel yang memproduksi insulin.
(3) Virus atau zat kimia yang menyebabkan kerusakan pada pulau sel
(kelompok-kelompok sel) dalam pankreas tempat insulin dibuat. Semakin
banyak pulau sel yang rusak, semakin besar kemungkinan seseorang
menderita diabetes.
Karena pankreas kesulitan menghasilkan insulin, maka insulin harus
ditambahkan setiap hari. Umumnya dengan cara suntikan insulin. Perawatan
diabetes tipe 1 tidak bisa secara oral, karena insulin dapat hancur dalam
lambung bila dimasukkan lewat mulut. Cara lain adalah dengan memperbaiki
fungsi kerja pankreas. Jika pankreas bisa kembali berfungsi dengan normal,
maka pankreas bisa memenuhi kebutuhan insulin yang dibutuhkan tubuh.
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
Menurut WHO (1999) penyakit diabetes tipe 2 sering juga disebut
Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus atau Diabetes Mellitus Tanpa
Bergantung pada Insulin. Berbeda dengan diabetest tipe 1, pada tipe 2
masalahnya bukan karena pankreas tidak membuat insulin tetapi karena
insulin yang dibuat tidak cukup. Kebanyakan dari insulin yang diproduksi
dihisap oleh sel-sel lemak akibat gaya hidup dan pola makan yang tidak baik.
Sedangkan pankreas tidak dapat membuat cukup insulin untuk mengatasi
kekurangan insulin sehingga kadar gula dalam darah akan naik. Diabetes tipe
2 merupakan jenis diabetes yang sebagian besar diderita. Sekitar 90% hingga
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 8
95% penderita diabetes menderita diabetes tipe 2. Jenis diabetes ini paling
sering diderita oleh orang dewasa yang berusia lebih dari 30 tahun dan
cenderung semakin parah secara bertahap.
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-
related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM)
merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio
insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme
yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang
mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi
sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10 dengan
kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati
menjadi kurang peka terhadap insulin serta RBP4 yang menekan penyerapan
glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.
Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan
kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4
dan hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis
dan glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan
peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati. NIDDM juga dapat disebabkan
oleh dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi insulin. Pada tahap awal
kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang
ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia
dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas
terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun
semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi
dengan insulin kadang dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan
penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas
sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap
insulin, dalam kaitan dengan toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 9
kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing
manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di
dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk mempengaruhi anak
remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis.
Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas
fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat
pengurangan berat badan. Ini dapat memecah kembali kepekaan hormon
insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati, sebagai
contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di
deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, perawatan
dengan lisan antidiabetic drugs. Produksi hormon insulin adalah pengobatan
pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi)
kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin
(sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang
glukosa oleh hati (dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf
tertentu (metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon
insulin (thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin
akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan
glukosa yang normal.
Penyebab diabetes tipe 2 karena insulin yang dihasilkan oleh pankreas
tidak mencukupi untuk mengikat gula yang ada dalam darah akibat pola
makan atau gaya hidup yang tidak sehat. Semua penyebab diabetes tipe 2
umumnya karena gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini membuat metabolisme
dalam tubuh yang tidak sempurna sehingga membuat insulin dalam tubuh
tidak dapat berfungsi dengan baik. Hormon insulin dapat diserap oleh lemak
yang ada dalam tubuh. Sehingga pola makan dan haya hidup yang tidak sehat
bisa membuat tubuh kekurangan insulin. Beberapa penyebab utama diabetes
tipe 2 dapat diringkaskan sebagai berikut:
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 10
1. Faktor keturunan, apabila orang tua atau adanya saudara sekandung
yang mengalaminya.
2. Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat. Banyaknya gerai
makanan cepat saji (fast food) yang menyajikan makanan berlemak
dan tidak sehat.
3. Kadar kolesterol yang tinggi.
4. Jarang berolahraga.
5. Obesitas atau kelebihan berat badan.
Perawatan diabetes tipe 2 adalah dengan memaksa fungsi kerja
pankreas sehingga dapat menghasilkan insulin lebih banyak. Jika pankreas
bisa menghasilkan insulin yang dibutuhkan tubuh, maka kadar gula dalam
darah akan menurun karena dapat diubah menjadi energi. Dalam banyak
kasus, dapat diobati dengan minum pil, paling tidak pada awalnya, untuk
merangsang pankreas agar menghasilkan lebih banyak insulin. Pil itu sendiri
bukan insulin. Namun pankreas bisa lelah menghasilkan insulin jika terus
menerus dipaksa. Cara terbaik untuk mengatasi diabetes tipe 2 adalah dengan
diet yang baik untuk mengurangi berat badan dan kadar gula, disertai dengan
gerak badan yang sesuai .
c. Diabetes mellitus tipe 3
Diabetes mellitus gestasional atau diabetes melitus yang terjadi hanya
selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan
interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya. GDM
mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari
wanita penderita GDM bertahan hidup. Diabetes melitus pada kehamilan
terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan
secara penuh bisa perlakukan tetapi, tidak diperlakukan, boleh menyebabkan
permasalahan dengan kehamilan, termasuk macrosomia (kelahiran yang tinggi
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 11
menimbang), janin mengalami kecacatan dan menderita penyakit jantung
sejak lahir. Penderita memerlukan pengawasan secara medis sepanjang
kehamilan.
Resiko Fetal/Neonatal yang dihubungkan dengan GDM meliputi
keanehan sejak lahir seperti berhubungan dengan jantung, sistem nerves yang
pusat, dan bentuk cacad otot. Yang ditingkatkan hormon insulin hal-hal janin
boleh menghalangi sindrom kesusahan dan produksi surfactant penyebab hal-
hal janin yang berhubung pernapasan. Hyperbilirubinemia boleh diakibatkan
oleh pembinasaan sel darah yang merah. Di kasus yang menjengkelkan,
perinatal kematian boleh terjadi, paling umum sebagai hasil kelimpahan
placental yang lemah/miskin dalam kaitan dengan perusakan/pelemahan yang
vaskuler. Induksi/Pelantikan mungkin ditandai dengan dikurangi placental
fungsi. Bagian Cesarean mungkin dilakukan jika ditandai kesusahan hal-hal
janin atau suatu ditingkatkan risiko dari luka-luka/kerugian dihubungkan
dengan macrosomia, seperti bahu dystocia .
3. Penegakan Diagnosis DM
a. Tanda dan Gejala DM
Pada saat tubuh kekurangan insulin dan memiliki kadar gula yang
tinggi dalam darah, maka beberapa gejala yang umum bagi penderita diabetes
baik tipe 1 maupun tipe 2. Penderita diabetes dengan rutin melakukan
pengecekan untuk mengetahui kadar gula darah.Tiga rangkaian yang klasik
tentang gejala kencing manis adalah polyuria (sering kencing), polydipsia (
rasa haus terus dirasakan, meskipun sudah minum dalam jumlah yang banyak)
dan polyphagia ( selalu merasa lapar). Gejala awal berhubungan dengan efek
langsung dari kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai
diatas 160-180 mg/dL, maka glukosa akan sampai ke air kencing. Jika
kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa yang hilang. Karena ginjal
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 12
menghasilkan air kencing dalam jumlah yang berlebihan, maka penderita
sering kencing dalam jumlah yang banyak (poliuri)(Ruderman et.al: 1992).
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan
sehingga banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air
kemih, penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk
mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar
biasa sehingga banyak makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan
kabur, pusing, mual dan berkurangnya ketahanan selama melakukan olah
raga. Penderita diabetes yang kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan
penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan.
Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat
badan. Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan
bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum.
Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar
sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil
energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton,
yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah
menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah
rasa haus dan berkemih yang berlebihan, mual, muntah, lelah dan nyeri perut
(terutama pada anak-anak). Pernafasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh
berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau nafas penderita tercium
seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa
berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan
setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin
atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 13
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala
beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah
gejala yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi
ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000
mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka
penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma
hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik. Diabetes dan puasa Pasien yang
cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan
kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga
tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka
puasa. Untuk yang terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis
tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum berbuka lebih besar daripada
dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah
yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan
insulin (DMTI) dosis multipel, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan
Ramadhan. Meski gejala-gejala tadi bisa menunjukkan seseorang menderita
diabetes, namun cara terbaik untuk memastikan seseorang mengidap diabetes
atau tidak adalah dengan melakukan pengecekan.
b. Pemeriksaan Laboratorium DM
Tabel Kriteria Pemeriksaan Laboratorium
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 14
4. Resiko Komplikasi Diabetes DM
Diabetes Mellitus (DM) dengan karakteristik hiperglikemia (kadar gula
darah tinggi) dapat mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa
komplikasi akut (yang terjadi secara mendadak) dan komplikasi kronis (yang
terjadi secara menahun).
a. Komplikasi akut
1. Hipoglikemia yaitu menurunnya kadar gula darah < 60 mg/dl
2. Keto Asidosis Diabetika (KAD) yaitu DM dengan asidosis
metabolic dan hiperketogenesis
3. Koma Lakto Asidosis yaitu penurunan kesadaran hipoksia yang
ditimbulkan oleh hiperlaktatemia.
4. Koma Hiperosmolar Non Ketotik, gejala sama dengan no 2 dan 3
hanya saja tidak ada hiperketogenesis dan hiperlaktatemia.
b. Komplikasi kronis :
Biasanya terjadi pada penderita DM yang tidak terkontrol dalam
jangka waktu kurang lebih 5 tahun. Dapat dibagi berdasarkan pembuluh
darah serta persarafan yang kena atau berdasakan organ. Pembagian secara
sederhana sebagai berikut :
1. Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar (pembuluh darah
yang dapat dilihat secara mikroskopis) antara lain pembuluh darah
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 15
jantung / Penyakit Jantung Koroner, pembuluh darah otak /stroke, dan
pembuluh darah tepi / Peripheral Artery Disease.
2. Mikroangiopati, mengenai pembuluh darah mikroskopis antara lain
retinopati diabetika (mengenai retina mata) dan nefropati diabetika
(mengenai ginjal).
3. Neuropati, mengenai saraf tepi. Penderita bisa mengeluh rasa pada
kaki/tangan berkurang atau tebal pada kaki atau kaki terasa
terbakar/bergetar sendiri.
Selain di atas, komplikasi kronis DM dapat dibagi berdasarkan organ yang
terkena yaitu
1. Kulit : Furunkel, karbunkel, gatal, shinspot (dermopati diabetik: bercak
hitam di kulit daerah tulang kering), necrobiosis lipoidica diabeticorum
(luka oval, kronik, tepi keputihan), selulitis ganggren,
2. Kepala/otak : stroke, dengan segala deficit neurologinya
3. Mata :Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (myopia-
reversibel,katarax irreversible), Glaukoma, perdarahan corpus vitreus,
Retinopati DM (non proliperative, makulopati, proliferatif), N 2,3,6
(neuritis optika) & nerve centralis lain
4. Hidung : penciuman menurun
5. Mulut :mulut kering, ludah kental = verostamia diabetic, Lidah (tebal,
rugae, gangguan rasa), ginggiva (edematus, merah tua, gingivitis,
atropi), periodontium (makroangiopati periodontitis), gigi (caries dentis)
6. Jantung : Penyakit Jantung Koroner, Silent infarction 40% kr neuropati
otonomik, kardiomiopati diabetika (Penyakit Jantung Diabetika)
7. Paru : mudah terjangkit Tuberculosis (TB) paru dengan berbagai
komplikasinya.
8. Saluran Cerna : gastrointestinal (neuropati esofagus, gastroparese
diabetikum (gastroparese diabeticum), gastroatropi, diare diabetic)
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 16
9. Ginjal dan saluran kencing : neuropati diabetik, sindroma kiemmelstiel
Wilson, pielonefritis, necrotizing pappilitis, Diabetic Neurogenic
Vesical Disfunction, infeksi saluran kencing, disfungsi ereksi/
impotensi, vulvitis.
10. Saraf : Perifer: parestesia, anestesia, gloves neuropati, stocking,
neuropati, kramp
11. Sendi : poliarthritis
12. Kaki diabetika (diabetic foot), merupakan kombinasi makroangiopati,
mikroangopati, neuropati dan infeksi pada kaki
5. Penatalaksanan DM
Tujuan pengobatan diabetes pada dasarnya adalah mengontrol glikemi
atau gula darah hingga mencapai kadar gula yang mendekati normal (kadar gula
darah orang sehat). Namun, di tengah pengobatan ini harus dicegah terjadinya
hipoglikemi atau kadar gula darah yang terlalu rendah. Bila tujuan tersebut tidak
dicapai maka penderita diabetes akan merasa lebih sehat dan menikmati kualitas
hidup yang lebih baik. Selain itu, timbulnya komplikasi yang serius dan
mengancam jiwa penderita dapat dicegah. Menurut Ruslianti (2008),
pengobatan diabetes harus dikelola melalui beberapa tahapan yang paling terkait.
Pengelolaan diabetes ini meliputi edukasi, perencanaan makan, latihan jasmani,
dan penggunaan obat-obatan, baik oral maupun insulin. Terapi insulin wajib
diberikan pada penderita DM I. pada penderita DM II, sekitar 40 persenya juga
harus menjalani terapi insulin. Tes gula darah dapat secara efektif menentukan
jumlah insulin yang dibutuhkansetiap harinya (Fajans et.al: 2001).
Terapi insulin yang dianjurkan adalah saat pagi hari sebelum sarapan, dua
jam setelah makan, dan malam hari sebelum tidur. Selain itu, diperlukan pula
pengukuran pada saat tertentu, misalnya pengukuran yang lebih ketat jika terjadi
hipoglikemi, saat sebelum olah raga, dan pada kehamilan. Pengobatan diabetes
bisa dikatakan berhasil jika glukosa darah puasa adalah 80 sampai 109 mg/dl,
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 17
kadar glukosa darah dua jam adalah 80 sampai 144 mg/dl, dan kadar HB A1c
kurang dari tujuh persen.pengukuran hemoglobin (Hb) terglikosilasi HBA1c
(A1c) adalah cara yang paling akurat untuk menentukan tingkat ketinggian gula
darah selama dua sampai tiga bulan terakhir (Anderson et.al: 2003).
Hemoglobin adalah bagian dari sel darah merah yang mengangkut
oksigen. Salah satu jenis dari Hb adalah HbA dan HbA1c merupakan subtype
spesifik dari HbA, (Ruslianti, 2008). Semakin tinggi kadar glukosa darah, akan
semakin cepat HbA1c terbentuk, yang mengakibatkan tingginya kadar HbA1c.
HbA1c ini juga merupakan pemeriksaan tunggal terbaik untuk menilai risiko
terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh tingginya kadar gula darah.
Contohnya, pada saraf dan pembuluh darah kecil di mata dan ginjal. Selain itu,
juga bisa menilai risiko terhadap komplikasi penyakit diabetes. Mengingat bahaya
dan komplikasi yang dapat disebabkan penyakit diabetes, maka menghindari atau
mengendalikan kadar gula yang tinggi adalah cara terbaik.
6. Program Latihan Fisik Penderita DM
a. Adaptasi Kadar Gula Darah Terhadap Latihan Fisik
Respon hormonal tubuh dalam pengaturan kadar gula darah selama
latihan dipengaruhi oleh status hormonal seseorang, jenis latihan, durasi dan
intensitas latihan yang dilakukan. Riddell et al (2006) mengilustrasikan
respon adaptasi kadar gula darah pada (a) individu normal, (b) penderita
diabetes dengan keadaan overinsulinemia dan (c) penderita diabetes yang
mengalami underinsulinemia.
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 18
Gambar 1. Adaptasi Kadar Gula Darah Latihan Pada (a) Individu normal atau Penderita Diabetes yang Terkontrol, (b) Penderita Diabetes dengan Kelebihan
Insulin dan (c) Penderita Diabetes yang kekurangan Insulin (Riddell et.al: 2006)
Seperti yang terlihat pada gambar 1, kadar gula darah selama latihan fisik
diakibatkan oleh kerjasama antara insulin dengan horman kontranya (glukagon,
kortisol dan katekolamin). Hormon insulin bertugas mensuplai glukosa masuk ke
dalam otot-otot skelet sebagai sumber energi bagi aktivitas fisik, sedangkan hormon
kontra-insulin bertugas untuk memecah cadangan glukosa pada hati untuk dialirkan
dalam pembuluh darah. Dengan kata lain hormon insulin berperan dalam
penggunaan glukosa dalam sel (menurunkan kadar gula darah) sedangkan hormon
kontra-insulin berperan dalam produksi glukosa (menaikan kadar gula darah). Dapat
dilihat pada gambar 1 (a), bahwa pada individu normal yang melakukan aktivitas
fisik, produksi glukosa yang terjadi seimbang dengan penggunaan glukosa sehingga
diperoleh kadar gula normal (euglikemia). Pada gambar 1(b) terlihat hormon insulin
lebih dominan dibandingkan dengan hormon kontra insulin yang mengakibatkan
terjadinya hipoglikemia. Kelebihan insulin ini sering terjadi pada penderita diabetes
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 19
yang menggunakan insulin ataupun obat anti diabetika oral. Pada gambar 1 (c)
terlihat bahwa pada latihan fisik, penderita diabetes yang tidak mendapatkan obat anti
diabetika atau insulin yang memadai akan mengalami hiperglikemia. (Riddell et.al:
2006)
Seperti yang sudah diutarakan diatas, adaptasi kadar gula darah juga sangat
bergantung pada jenis, durasi dan intensitas latihan. Latihan anaerobik dengan
intensitas tinggi yang dilakukan dalam jangka waktu yang pendek cenderung
membutuhkan glukosa sebagai sumber energi (Sigal et.al: 2006). Sebaliknya latihan
dengan intensitas yang lebih rendah dengan durasi yang lebih lama akan cenderung
mempergunakan asam lemak bebas. Berdasarkan hal ini perlu dilakukan
pengembangan model latihan fisik yang dapat memanfaatkan kerja bionergetika
tersebut. Pengembangan model latihan fisik pada penderita diabetes seyogyanya
mengacu pada kombinasi latihan aerobik dan anaerobik yang menyasar patofisiologi
diabetes. Ringkasan titik tangkap jenis latihan fisik pada patofisiologi diabetes
mellitus tercantum pada tabel 1.
Tabel 1. Analisis Jenis Latihan fisik dalam kaitanya dengan Patofisiologi Diabetes
Jenis Latihan
Patofisiologi Diabetes
Intervensi
Anaerobik Peningkatan kadar gula darah (DM tipe 1 dan 2)
Latihan anaerobik memicu penggunaan karbohidrat dalam sel otot skelet dengan jalan meningkatkan transport glukosa non-nsulin melewati mekanisme pemacuan glucose transporter 4. (Thomas et.al: 2007)
Aerobik Penurunan sensitivitas Insulin pada reseptor akibat
Latihan aerobik meningkatkan sparring penggunaan lemak sebagai sumber energi. Sensitivitas reseptor insulin dapat ditingkatkan
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 20
obesitas (DM tipe 2)
Komplikasi kardiovaskular (DM tipe 1 dan 2)
karena penimbunan lemak pada membran sel berkurang (De Feyter et.al: 2007)
Meningkatkan ketahanan kardiovaskular sehingga menurunkan resiko gangguan kardiovaskular (Zinman et.al: 2003).
b. Prinsip Latihan Fisik Pada Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Latihan fisik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengelolaan diabetes, Waluapun demikian latihan fisik tersebut bukan tanpa
resiko. Oleh karenanyasuatu program latihan harus disusun untuk
memaksimalkan manfaat yang didapat sekaligus mengedepankan aspek
keselamatan dalam latihan fisik.
Tabel 2. Manfaat dan Resiko Latihan Fisik Pada Penderita Diabetes
Manfaat Resiko
Berperan mempertahankan kadar gula darah normal (euglikemia) lewat mekanisme penggunaan glukosa maupun peningkatan sensitivitas insulin Mengurangi ketergantungan pada obat antidiabetes Mengurangi resiko obesitas dan gangguan kardiovaskular sehingga mengurangi potensi komplikasi Meningkatkan harapan hidup dan kualitas hidup penderita diabetes dengan meningkatkan self-esteem.
Pada keadaan over atau under insulin dapat menimbulkan hiperglycemia atau hipoglikemia Dapat menimbulkan komplikasi ablasio retina pada retinopati. Meningkatkan resiko cedera pada tungkai yang berpotensi menimbulkan ganggren.
(Riddell et.al: 2006)
Berdasarkan tabel tersebut, dapat disimpulkan bahwa aktivitas fisik
pada penderita diabetes dapat dianalogikan seperti pisau yang bermata dua.
Apabila dilakukan secara tepat akan dapat memberikan manfaat yang besar,
akan tetapi bila tidak dilakukan secara tepat justru dapat menimbulkan
dampak yang membahayakan. Sebagai konsekuensinya, perlu dilakukan
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 21
pengembangan model latihan fisik yang dapat memaksimalkan manfaat dari
latihan fisik sekaligus menjamin keamaman latihan fisik. Secara praktis hal
ini dapat dicapai dengan jalan memperhatikan input, proses dan output
latihan yang dalam hal ini berupa :
1. Evaluasi pre-latihan untuk menentukan kesiapan penderita dalam
melaksanakan program latihan fisik sebagai dasar perencanaan
program latihan sekaligus meningkatkan unsur keamanan latihan.
2. Jenis, durasi dan intensitas latihan yang tepat untuk memaksimalkan
manfaat latihan fisik bagi penderita diabetes serta monitoring selama
latihan untuk menjamin keamanan latihan.
3. Evaluasi post-latihan yang dilakukan untuk menilai keberhasilan
latihan serta sebagai dasar pengaturan program latihan lebih lanjut.
Latihan fisik pada penderita diabetes dapat ditingkatkan melalui
latihan-latihan yang dilakukan secara benar, terukur, dan berkesinambungan.
Secara khusus prinsip dasar latihan bagi penderita diabetes mellitus adalah
continous, rhytmic, interval, progresif dan endurance (CRIPE).
Berdasarkan prinsip tersebut, model latihan fisik bagyang harus bersifat terus
menerus, berirama, memiliki interval lambat dan cepat, bersifat progresif serta
melatih ketahanan jantung paru. Selama ini model latihan yang dapat
memenuhi persyaratan ini didasarkan pada dasar gerak senam atau bahkan
hanya berupa lari maupun joging. Pada penelitian ini akan dianalisis gerak
dasar beberapa cabang olahraga permainan sekaligus konstruksi model
latihan berdasarkan analisis gerak dasar tersebut dan dikemas dalam bentuk
permainan yang menarik bagi penderita diabetes.
c. Aspek Sosio-Psikologis Penderita Diabetes Terhadap Latihan Fisik.
Olahraga telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan
diabetes. Banyak sekali manfaat yang diperoleh dari latihan fisik untuk
penderita. Salah satunya, latihan fisik terbukti bisa menurunkan kadar gula
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 22
darah penderita diabetes. Aspek sosio-psikologis penderita diabetes dalam
menjalankan latihan fisik pada dasarnya penderita diabetes merupakan
individu yang tidak dapat di lepaskan dari lingkungannya. Bentuk keterikan
tersebut tercermin dari kenyataan adanya unsur ketergantungan kebutuhan,
dukungan, kerjasama, baik dari keluarga, teman, dokter dan kelompok
penderita diabetes. Dasar sosio-psikologis penderita diabetes dapat diterapkan
dalam membentuk suatu group cohesiveness sebagai anggota tim, sehingga
penderita dapat secara penuh melibatkan diri dalam timnya. Dengan dasar
saling membutuhkan, masing-masing anggota kelompok akan bekerjasama
secara terpadu menjadi suatu kekuatan. Tidak tertutup kemungkinan
munculnya faktor kompetisi diantara anggota kelompok.
Kompetisi di dalam suatu kelompok, ketika masing-masing anggota
ingin menampilkan performa yang baik serta menghasilkan prestasi yang
optimal, memiliki penilainan berbeda intenstas dan perwududannya. Ada
kebutuhan penting yang dicari oleh penderita diabetes dalam mengikuti
latihan fisik, diantaranya: (1) dilandasiberolahraga untuk kesenangan,
memperoleh kesempatan untuk memenuhi kebutuhan akan latihan fisik,
aktivitas lain dan ketegangan. (2) bertemu dengan sekelompok orang yang
sama-sama mengidap diabetes untuk memenuhi kebutuhan berhubungan
dengan orang lain dan menjadi bagian dari anggota kelompok. (3)
memperlihatkan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan akan latihan
fisik setiap saat.
Motivasi untuk melakukan latihan fisik harus dilandasi oleh adanya
keinginan untuk mencapai dan meningkatkan sensitifitas insulin sehingga
ambilan glukosa darah meningkat dan otomatis kadar gula darah berkurang.
Dengan latihan fisik secara teratur, terbukti gangguan aktifitas fibrinolisis
dapat diperbaiki. Pengaruh lain latihan fisik terhadap penderita diabetes yaitu
dapat menurunkan berat badan pada penderita diabetes yang pada umumnya
memang memiliki tubuh yang gemuk. Menurunnya berat badan ini terutama
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 23
berkaitan dengan perbaikan dari metabolisme tubuh dan pemakaian lemak
tubuh secara berlebihan pada saat latihan fisik.
Aspek sosio_psikologis dikembangkan untuk membangkitkan
motivasi bagi pendrita diabetes diantaranya melalui latihan fisik yang dapat
berupa olahraga rekreasi dengan mengutamakan unsur permainan, kerjasama,
tantangan, dan variasi gerak. Olahraga rekreasi dilakukan sebagai bagian
proses pemulihan kesehatan dan kebugaran, rekreasi merupakan kegiatan
yang bertujuan untuk mencari hiburan, atau sekedar untuk melepaskan
kelelahan setelah dihadapkan pada berbagai kesibukan dan pekerjaan.
Sedangkan olahraga rekreasi adalah olahraga yang dilakukan untuk mengisi
waktu luang dengan tujuan akhirnya, memperoleh kesehatan, kebugaran
jasmani dan kegembiraan; membangun hubungan sosial. Latihan fisik bagi
penerita diabetes dalam pelaksanaannya mengacu pada prinsipnya yaitu; (a)
aktivitas dilakukan pada waktu senggang, (b) aktivitasnya bersifat fisik,
mental dan sosial, (c) mempunyai motivasi dan tujuan, (d) dilaksanakan
secara sungguh-sungguh dan fleksibel, (f) latihan fisik sangat bermanfaat
bagi penderita diabetes dan orang lain.
Aktivitas fisik merupakan salah satu pilar tatalaksana DM (Albright
et.al: 2000). Saat ini rekomendasi aktivitas fisik untuk penderita DM adalah
latihan fisik kombinasi latihan aerobik dan latihan resisten (Informasi
Kesehatan Exomed, Desember 2010). Besarnya dosis aktivitas fisik yang
tepat untuk penderita diabetes menurut American Diabetic Association (ADA)
dan American College of Sports Medicine (ACSM) merekomendasikan
latihan aerobik berupa latihan selama 150 menit dalam seminggu latihan
sedang-berat yang dilaksanakan minimal 3 hari dalam seminggu. Latihan fisik
sedang yang dimaksudkan adalah latihan dengan beban aerobik 40-60%
kekuatan fisik penderita, hal ini dapat dicapai dengan berjalan santai,
sedangkan latihan berat dilakukan dengan latihan yang lebih energik seperti
jogging (Thomas et.al: 2007).
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 24
Latihan resisten yang di rekomendasikan adalah latihan resitensi
minimal 2kali dalam seminggu dan idealnya 3 kali dalam seminggu berselang
(1 hari latihan resisten 1 hari bebas latihan). Rekomendasi lebih lanjut
meberikan petunjuk kepada pemula agar menjalani latihan dengan supervisi
pelatih profesional dalam latihan resisten. Rekomendasi ini menekankan
kepada regularitas artinya penderita diabetes disarankan untuk menjalankan
latihan dengan teratur untuk mendapatkan hasil yang maksimal adalam
kontrol gula darah. Rekomendasi latihan juga harus diberikan kepada semua
pasien diabetes termasuk pasien yang sudah mengalami komplikasi, penderita
hanya perlu menanyakan hal-hal khusus yang menjadi kekhawatiran mereka
sebelum memulai latihan kepada dokter (Snowling et.al: 2006).
Khusus penderita diabetes berusia 20 - 40 tahun, dianjurkan
meningkatkan aktivitas fisik secara bertahap di bawah pengawasan dokter.
"Kuncinya kita lebih baik berolahraga rutin 7,5 menit setiap hari ketimbang
berlari selama 30 menit tetapi hanya satu kali dalam setahun. Salah satu cara
yang dapat dilakukan untuk terhindar dari diabetes adalah dengan melakukan
jogging atau bahkan berlari cepat selama 30 menit setiap hari. Olahraga lari
rupanya membawa banyak manfaat. Derajat kesehatan hanya diperoleh
dengan berlari selama 7,5 menit perhar. Khusus penderita diabetes berusia 20
- 40 tahun, dianjurkan meningkatkan aktivitas fisik secara bertahap di bawah
pengawasan dokter. Lebih baik berolahraga rutin 7,5 menit setiap hari
ketimbang berlari selama 30 menit tetapi hanya satu kali dalam setahun.
Penderita diabetes harus menggabungkan aerobik dengan latihan beban untuk
mendapatkan hasil terbaik dalam menurunkan kadar gula darah Sebuah
penelitian baru menunjukkan, kombinasi latihan itu bekerja baik untuk
menurunkan berat badan, dibandingkan dengan aerobik atau latihan beban
saja. Gula darah adalah bahan bakar untuk otot, dan gula lebih banyak dibakar
selama kegiatan aerobik. Latihan beban membangun lebih banyak otot, dan
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 25
kedua kegiatan itu mengubah protein otot dengan cara meningkatkan proses.
Latihan aerobik dan latihan beban sangat baik untuk tubuh(Sato et.al: 2003)
Tujuan memberikan program latihan yang secara realistis dapat
memberikan rekomendasi tetap kepada dokter dan pasien. Program latihan
hanya membandingkan aerobik saja, latihan beban saja, dan kombinasi kedua
latihan itu. Latihan aerobik yang digabung dengan latihan beban untuk semua
orang dewasa. Ketiga kelompok itu berlatih dengan jumlah waktu yang sama.
Sedangkan kelompok keempat ditawarkan hanya latihan mingguan untuk
peregangan dan relaksasi, sebagai kelompok pembanding. Penderita diabetes
berjalan di atas treadmill yang menanjak sebesar dua persen setiap dua menit
untuk aerobik tersebut. Latihan beban juga diawasi dan dilakukan pada mesin
yang bekerja untuk otot-otot di tubuh bagian atas dan kaki, dengan berat
semakin ditambahkan untuk peserta yang berusaha meningkatkan kekuatan
latihan. Penderita diabetes setahu dapat bergabung dengan kelompok aerobik
dan latihan beban. Penderita diabetes dapat mengakibatkan kehilangan kedua
kakinya dan penglihatan. Terlalu banyak gula darah dapat merusak saraf,
mata, jantung dan pembuluh darah. Hanya kelompok dengan latihan aerobik
gabungan tersebut yang menurun kadar gula darahnya dan kehilangan berat
badan, meski ketiga kelompok kebugaran lainnya berhasil mengurangi ukuran
pinggang mereka (De Feyter et.al: 2007).
Olahraga dapat menbuat reseptor peka karena meningkatkan
metabolisme lipid baik, olahraga akan membuat glucose transpoerter 4
meningkat, olahraga aerobik ekstensiv maka yang dipecah glikogen, olhraga
dapat menguras glikogen sehingga prosentase glukosa dapat masuk tanpa
insulin akan meningkat Olahraga menbuat jantung berdenyut lebih kuat dan
lebih sering frekuensinyakarena jantung harus memberikan suplay darah pada
organ2, sehingga membuat dinding pembuluh darah lebih elastis. Ateroma
(penempelan sel lemak pada dinding pembuluh darah). Lapisan dinding sel
yang tunika intima ada yang luka akibat antioksidan yang banyak. Olahraga
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 26
dapat membuat profil lipid sehingga atheroma berkurang dan mencegah
terjadinya atherosklerosis. Penderita diabetes tidak boleh berolahraga: Jika
glukosa darah lebih dari 250 dan ketosis, jika glukosa darah lebih dari 300,
luk aktif (gangren), jika sedang demam. Yang boleh hanya olahraga aerobik/
jalan kaki yang intensitas rendah dan jalan diair,dan stretching (Houmard
et.al: 2004).
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 27
BAGIAN II. ASMA BRONCHIALE
1. Pengertian Asma Bronchiale
Asma merupakan gangguan penyempitan jalan napas yang dipicu oleh
berbagai jenis stimulus. Penyempitan jalan napas tersebut disebabkan oleh kontraksi
abnormal otot polos bronkhus dan pengeluaran lendir yang berlebihan pada respon
peradangan dinding bronkhus. Pada awalnya, asma dikaitkan dengan ketidak
seimbangan syaraf otonom, akan tetapi dewasa ini bukti-bukti terakhir menunjukkan
bahwa asma lebih berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas sistem kekebalan tubuh.
Pada asma, sel mast saluran pernapasan bereaksi dengan melepaskan mediator-
mediator peradangan yang berperan dalam proses penyempitan jalan napas.
Beberapa faktor pencetus terjadinya degranulasi sel mast antara lain berupa bahan
alergen, infeksi, aktivitas fisik, tekanan psikis dan obat-obatan seperti B-blockers dan
aspirin. Bahan-bahan yang sering bersifat alergenik dan memicu serangan asma
antara lain berupa: debu, tungau dan serbuk sari.
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 28
2. Patofisiologi Asma Bronchiale
Pada penderita asma, penyempitan saluran pernafasan merupakan respon
terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran
pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk
sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga.
Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan
jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya
peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil
diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan ini
menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas.
Sel-sel tertentu di dalam saluran udara (terutama sel mast) diduga
bertanggungjawab terhadap awal mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di
sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien yang
menyebabkan terjadinya: - kontraksi otot polos - peningkatan pembentukan lendir -
perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki. Sel mast mengeluarkan bahan tersebut
sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka kenal sebagai benda asing (alergen),
seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang.
Tetapi asma juga bisa terjadi pada beberapa orang tanpa alergi tertentu. Reaksi yang
sama terjadi jika orang tersebut melakukan olah raga atau berada dalam cuaca dingin.
Stres dan kecemasan juga bisa memicu dilepaskannya histamin dan leukotrien.
Sel lainnya (eosnofil) yang ditemukan di dalam saluran udara penderita asma
melepaskan bahan lainnya (juga leukotrien), yang juga menyebabkan penyempitan
saluran udara.Secara umum, pada asma terjadi 1) peradangan pada lapisan mukosa
dan sub mukosa bronchus, 2) respon yang berlebihan pada berbagai bahan alergen
dan 3) penyempitan bronkhus yang disebabkan oleh kontraksi otot polos bronchus.
Alergen memicu timbulnya degranulasi sel mast serta pengeluaran mediator-mediator
peradangan seperti histamine, leukotrien, bradikinin, prostaglandin dan interleukin.
Mediator kimiawi ini memicu vasodilatasi dan senyawa khemotatik yang bekerja
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 29
menarik berbagai jenis sel seperti eusinofil, monosit, limfosit dan basofil di area
peradangan. Sel-sel ini kemudian juga melepaskan mediator kimiawi yang pada
akhirnya memperparah reaksi peradangan.
Masuknya alergen ( debu, bulu hewan, kapas)ke saluran pernapasan
merangsang sistem imun membentuk antibodi IgE IgE menempel pada
permukaan sel mastosit di saluran pernapasan dan kulit alergen dan IgE
membentuk ikatan pada permukaan sel mastosit mencetuskan serangkaian
reaksi dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, leukotrin,
prostaglandin, eosinofil bronkokonstriksi, edema, produksi sekresi
meningkat obstruksi jalan napas atelektasis perfusi menurun
hipoksemia. Obstruksi jalan peningkatan sumbatan kerja pernapasan
meningkat sehingga menyebabkan fatique hiperkapnea asidosis
respiratorik
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 30
Konsep terkini patogenesis asma yaitu asma merupakan suatu proses
inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran napas, menyebabkan
terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas.
Hiperreaktivitas ini merupakan prediposisi terjadinya penyempitan saluran
napas sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang
Gambaran khas adanya inflamasi saluran napas adalah aktivasi eosinofil, sel
mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran napas.
Perubahan ini bisa jadi muncul meskipun asmanya tidak bergejala dan
pemunculan sel-sel tersebut secara luas berhubungan dengan derajat beratnya
penyakit secara klinis.
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktivitas bronkus
Pada asma dengan kausa non alergenik terjadinya bronkokonstriksi
tampaknya diperantarai oleh perubahan aktifitas eferen vagal yang mana
terjadi ketidak seimbangan antara tonus simpatis dan parasimpatis.
Saraf simpatis dengan reseptor beta-2 menimbulkan bronkodilatasi,
sedangkan saraf parasimpatis menimbulkan bronkokonstriksi.
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 31
3. Penegakan Diagnosis Asma Bronchiale
a. Tanda dan Gejala DM
Frekuensi dan beratnya serangan asma bervariasi. Beberapa penderita
lebih sering terbebas dari gejala dan hanya mengalami serangan serangan
sesak nafas yang singkat dan ringan, yang terjadi sewaktu-waktu. Penderita
lainnya hampir selalu mengalami batuk dan mengi (bengek) serta mengalami
serangan hebat setelah menderita suatu infeksi virus, olah raga atau setelah
terpapar oleh alergen maupun iritan. Menangis atau tertawa keras juga bisa
menyebabkan timbulnya gejala.
Suatu serangan asma dapat terjadi secara tiba-tiba ditandai dengan
nafas yang berbunyi (wheezing, mengi, bengek), batuk dan sesak nafas. Bunyi
mengi terutama terdengar ketika penderita menghembuskan nafasnya. Di lain
waktu, suatu serangan asma terjadi secara perlahan dengan gejala yang secara
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 32
bertahap semakin memburuk. Pada kedua keadaan tersebut, yang pertama kali
dirasakan oleh seorang penderita asma adalah sesak nafas, batuk atau rasa
sesak di dada. Serangan bisa berlangsung dalam beberapa menit atau bisa
berlangsung sampai beberapa jam, bahkan selama beberapa hari.
Gejala awal pada anak-anak bisa berupa rasa gatal di dada atau di
leher. Batuk kering di malam hari atau ketika melakukan olah raga juga bisa
merupakan satu-satunya gejala. Selama serangan asma, sesak nafas bisa
menjadi semakin berat, sehingga timbul rasa cemas. Sebagai reaksi terhadap
kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan banyak keringat.
Pada serangan yang sangat berat, penderita menjadi sulit untuk
berbicara karena sesaknya sangat hebat. Kebingungan, letargi (keadaan
kesadaran yang menurun, dimana penderita seperti tidur lelap, tetapi dapat
dibangunkan sebentar kemudian segera tertidur kembali) dan sianosis (kulit
tampak kebiruan) merupakan pertanda bahwa persediaan oksigen penderita
sangat terbatas dan perlu segera dilakukan pengobatan. Meskipun telah
mengalami serangan yang berat, biasanya penderita akan sembuh sempurna,
Kadang beberapa alveoli (kantong udara di paru-paru) bisa pecah dan
menyebabkan udara terkumpul di dalam rongga pleura atau menyebabkan
udara terkumpul di sekitar organ dada. Hal ini akan memperburuk sesak yang
dirasakan oleh penderita.
b. Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Asma Bronchiale
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya yang khas. Untuk
memperkuat diagnosis bisa dilakukan pemeriksaan spirometri berulang.
Spirometri juga digunakan untuk menilai beratnya penyumbatan saluran udara
dan untuk memantau pengobatan.
Menentukan faktor pemicu asma seringkali tidak mudah. Tes kulit
alergi bisa membantu menentukan alergen yang memicu timbulnya gejala
asma. Jika diagnosisnya masih meragukan atau jika dirasa sangat penting
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 33
untuk mengetahui faktor pemicu terjadinya asma, maka bisa dilakukan
bronchial challenge test.
c. Rangkuman Kriteria Diagnosis Asma
Seacara umum, diagnosis asma didasarkan pada :
i. Riwayat penyakit/gejala :
• bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau pengobatan
• gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
berdahak
• gejala timbul/memburuk terutama malam/ dini hari
• diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
• respons terhadap pemberian bronkodilator
• riwayat keluarga
• riwayat alergi/atopi
• penyakit lain yang memberatkan
• perkembangan penyakit dan pengobatan
ii. Pemeriksaan fisik :
• Wheezing/mengi pada auskultasi
• RR meningkat, hiperinflasi
• sianosis, gelisah , sukar bicara, takikardi, penggunaan otot
bantu pernapasan
iii. Tes faal paru
• melalui pemeriksaan spirometri untuk mengukur arus puncak
ekspirasi
(APE)
iv. tes kulit
v. Tes darah ditemukan eosinofil
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 34
5. Penatalaksanan Asma Bronchilae
a. Desensitisasi Alergen
b. Farmakologis (Obat)
c. Olahraga Bagi Penderita Asma
Beberapa penelitian lain memfokuskan pada pengaruh olahraga atau
aktivitas fisik terhadap kejadian asma secara umum. Wardel et al. (2000)
menyatakan bahwa hari ijin sekolah karena serangan asma menurun pada 18
anak yang melakukan 8 bulan program latihan fisik. Pada penelitian ini,
jumlah total hari ijin dari sekolah menurun dari 185 hari menjadi 69 hari dan
orang tua melaporkan serangan asma secara keseluruhan menurun derajat dan
frekuensinya seiring dengan penurunan toleransi latihan. Huang et al. (1989)
meneliti 45 anak yang mengikuti program berenang selama 2 bulan dan
menemukan penurunan serangan asma, dosis obat asma, kunjungan ke rumah
sakit dan hari ijin dari sekolah pada 12 bulan setelah program latihan. Manfaat
berenang pada anak asma juga dilaporkan Wardell et al. (2000). Mereka
menguji respon 73 penderita asma terhadap program latihan renang selama
2,4 tahun. Mereka menemukan 64% penurunan hospitalisasi serta 46%
penurunan jumlah sesi konsultasi dokter yang diperlukan. Sedangkan sekitar
dua pertiga anak melaporkan penurunan kebutuhan akan obat asma.. Hal yang
sama juga dilaporkan oleh Wardel et al. (2000). Mereka menguji respon 10
anak dengan asma berat terhadap program senam dan renang yang dilakukan
selama 8 bulan. Mereka melaporkan adanya penurunan hospitalisasi dan
penurunan kebutuhan obat asma. Peningkatan juga ditemukan pada variabel
psikologis antara lain : struktur ego, perkembangan sosial dan kapasitas
konsentrasi (Ram et al. 2000; Wardel et al. 2000; Veldhoven et al. 2001).
Dapat disimpulkan bahwa latihan fisik pada penderita asma dapat
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 35
menurunkan kecemasan dan meningkatkan kepercayaan diri penderita asma
dalam pengendalian gejala asma. (Barnes 1983; Strunk et al. 1988; Huang et al. 1989; Edenbrandht et al. 1990; Varray et al. 1991; Ahmaidi et al. 1993; Mahler 1993; Nixon 1998; Neder et al. 1999; Ram et al. 2000; Wardel et al. 2000; Veldhoven et al. 2001; Counil et al. 2003; Storms 2003; Evans et al. 2005; Welsh et al. 2005)
6. Program Latihan Fisik Penderita Asma Bronchiale
a. Pedoman Exercise Therapy pada Asma
Pedoman Checklist Pedoman Umum
Latihan fisik hanya dilakukan dengan dukungan obat dan edukasi Atlet dengan asma berat harus menyesuaikan aktivitas fisik yang dilakukan
Pedoman sebelum latihan fisik Pemanasan Aktivitas yang Direkomendasikan
Latihan fisik pada dosis latihan rendah sampai sedang, denyut nadi <75% Premedikasi (misalnya 200µg salbutamol (albuterol) 10 menit sebelum latihan fisik dimulai Berenang Bersepeda Berjalan Jogging
Pengawasan
Anak diminta untuk mengenal tanda-tanda munculnya serangan asma Obat obat emergensi untuk asma harus tersedia Anak diminta untuk istirahat sebelum melakukan aktivitas fisik yang berat (kompetitif)
Kontraindikasi Demam, sakit kepala, infeksi sistemik (Strunk, 1988) (Varray, 1991) (McKenzie et al. 1994(Neder, 1999) (Evans, 2005) (Kenzie, 2002))
Asma merupakan penyakit kronis yang sering menurunkan kapasitas
gerak. Program rehabilitasi diperlukan untuk penderita asma dan latihan fisik
merupakan bagian penting dari program ini. Hal ini dilakukan karena
penurunan kapasitas gerak ini sebagian besar disebabkan oleh kecenderungan
penurunan aktivitas dan gaya hidup yang relatif sedentary. Pada keadaan ini,
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 36
penderita asma semakin rentan terhadap keadaan yang disebut sebagai
exercise induced asthma (EIA). EIA merupakan keadaan asma yang dipicu
oleh aktivitas fisik. Banyak literatur membuktikan bahwa salah satu hal yang
dapat mengurangi EIA adalah peningkatan kapasitas fisik. Latihan fisik
terbukti memiliki manfaat kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup.
Latihan fisik dapat memperbaiki fungsi paru dan bronkhus. Walaupun
demikian mengingat derajat asma besera pencetusnya sanagt bervariasi,
latihan fisik bagi penderita asma bersifat spesifik bagi setiap individu.
Beberapa jenis latihan yang disarankan bagi penderita asma antara lain:
1. Senam Pernafasan
Senam asma juga merupakan salah satu penunjang pengobatan asma
karena keberhasilan pengobatan asma tidak hanya ditentukan oleh obat asma
yang dikonsumsi, namun juga faktor gizi dan olah raga. Bagi penderita asma,
olah raga diperlukan untuk memperkuat otot-otot pernapasan. Senam asma
bertujuan untuk:
• Melatih cara bernafas yang benar.
• Melenturkan dan memperkuat otot pernafasan.
• Melatih ekspektorasi yang efektif.
• Meningkatkan sirkulasi.
• Mempercepat asma yang terkontrol.
• Mempertahankan asma yang terkontrol.
• Kualitas hidup lebih baik.
Adapun syarat-syarat pelaksanaan senam asma, yaitu: tidak dalam
serangan asma, sesak dan batuk, tidak dalam serangan jantung, dan tidak
dalam keadaan stamina menurun akibat flu atau kurang tidur dan baru
sembuh.
Rangkaian senam asma pada prinsipnya untuk melatih memperkuat
otot-otot pernafasan agar penderita asma lebih mudah melakukan pernafasan
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 37
dan ekspektorasi. Senam asma sebaiknya dilakukan rutin 3-4 kali seminggu
dan setiap kali senam ± 30 menit. Senam asma akan memberikan hasil bila
dilakukan selama 6-8 minggu.
Senam asma tidak berbeda dengan senam pada umumnya. Berikut ini
rangkaian senam asma yang disarankan:
a. Pemanasan
b. Latihan Inti
Latihan inti A: Bertujuan untuk melatih cara bernafas yang efektif bagi
penderita asma. Dengan cara menarik nafas dan mengeluarkan nafas. Proses
pengeluaran nafas lebih lama 2 hitungan.
Latihan inti B: Bertujuan untuk melepaskan otot-otot pernafasan.
Dengan irama yang ritmis, otot-otot akan menjadi santai, sehingga
mempermudah pernafasan dan ekspektorasi.
c. Aerobik
Aerobik dilakukan supaya tubuh dapat menghasilkan pembakaran O2
tinggi untuk meningkatkan hembusan napas. Dan disesuaikan dengan kondisi
dan usia peserta senam asma
d. Pendinginan
Diakhiri pendinginan. alam pendinginan, dilakukan gerakan-gerakan
lambat agar otot-otot kembali seperti keadaan semula yaitu dengan
menggerakkan tangan sambil menarik napas pelan-pelan.
2. Latihan Pernafasan
Latihan pernafasan berbeda dengan senam pernafasan, meskipun
didalamnya juga terdapat latihan-latihan yang bertujuan memperbaiki
kelenturan rongga dada serta diafragma. Tujuan utamanya pada penderita
asma adalah untuk melakukan pernafasan yg benar (efisien). Pada penderita
asma latihan pernafasan selain ditujukan untuk memperbaiki fungsi alat
pernafasan, juga bertujuan melatih penderita untuk mengatur pernafasan jika
terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu serangan asma. Latihan
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 38
pernafasan utama bagi penderita asma adalah latihan nafas perut / diafragma.
Kekhususan di dalam latihan. adalah: berbeda dengan pernafasan normal
ekspirasi dilakukan secara aktif, sedangkan inspirasi, lebih banyak secara
pasif.
3. Latihan Relaksasi
Latihan relaksasi pada penderita asma bertujuan untuk mencapai
kondisi relaks baik sewaktu ada serangan maupun di luar serangan. Yang
ingin dicapai: penderita secara spontan dapat relaksasi, baik pada otot-otot
pernafasannya maupun mentalnya, pada saat serangan terasa akan datang atau
sedang dalam serangan. Bila penderita telah terlatih melakukan tehnik
pernafasan terpola seperti pada latihan nafas, hal ini juga dapat membantu
banyak untuk menghilangkan rasa tegang. Hal ini memberi rasa percaya diri
dan membuat penderita menjadi lebih relaks.
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada penderita
yang mengalami asma. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan
konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan
otot, yang menghentikan siklus ansietas-ketegangan otot. Ada tiga hal utama
yang diperlukan dalam relaksasi, yaitu : posisi yang tepat, pikiran beristirahat,
lingkungan yang tenang. Posisi penderita diatur senyaman mungkin dengan
semua bagian tubuh disokong (misal; bantal menyokong leher), persendian
fleksi, dan otot-otot tidak tertarik (misal; tangan dan kaki tidak disilangkan).
Untuk menenangkan pikiran penderita dianjurkan pelan-pelan memandang
sekeliling ruangan, misalnya melintasi atap turun ke dinding, sepanjang
jendela, dan sebagainya. Banyak beberapa teknik dalam melakukan latihan
relaksasi ini, antara lain :
Teknik Relaksasi Stewart
• Penderita menarik napas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 39
• Perlahan-lahan udara dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi
kendor dan merasakan dan merasakan betapa nyaman hal tersebut
• Penderita bernapas beberapa kali dengan irama normal
• Penderita menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-pelan
dan membiarkan hanya kaki dan telapak kaki yang kendor. Perawat
minta penderita untuk mengkonsentrasikan pikiran penderita pada
kakinya yang terasa ringan dan hangat
• Penderita mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran
pada lengan perut, punggung dan kelompok otot-otot yang lain
• Setelah penderita merasa rileks, penderita dianjurkan bernapas secara
pelan-pelan. Bila nyeri menjadi hebat, penderita dapat bernapas
dangkal dan cepat.
Teknik Relaksasi Progresif :
• Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan kemudian
lemaskan
• Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk atau
sambil berbaring yang nyaman
• Lakukan latihan dengan musik yang santai, bila dikehendaki
• Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang memberikan
perintah untuk mengkontraksikan otot, menghitiung sampai 10 kali
dan memerintahkan untuk melemaskan otot
Contoh latihan yang membantu bagi penderita PPOK
a. Mengangkat bahu, menurunkannya dan melemaskannya
b. Mengepalkan kedua tangan, mengepalkannya dengan kuat erat selama 5
detik,
dan melemaskannya dengan sempurna.
4. Latihan untuk Memperbaiki Postur Tubuh
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 40
Pada penderita asma berat yang kronis, terjadi perubahan anatomi.
Postur tubuh menjadi agak bungkuk dengan kedua bahu agak terangkat,
nampak otot-otot pernafasan menonjol, memendek dan kaku (barrel chest).
Terdapat saling keterkaitan antara : postur tubuh dan otot-otot tubuh yang
membesar dan kaku, serta pernafasan yang paradoksal. Senam pernapasan
untuk penderita asma, biasanya telah memasukan unsur perbaikan postur
tubuh ini di dalamnya.
5. Latihan Drainase (Pembuangan Sekret)
Pada serangan asma, terjadi reaksi peradangan jalan napas dan
peningkatan produksi sekret (cairan yang dihasilkan selaput dinding jalan
nafas lendir) jalan nafas sehingga terjadi hambatan aliran udara. sehingga
diperlukan program latihan agar penderita dapat secara efektif membuangnya
lewat beberapa mekanisme:
1. Batuk yg benar ( efektif )
2. Melakukan apa yang disebut drainase-postural, yaitu suatu usaha untuk
mengalirkan sekret pada saluran nafas dengan menggunakan gaya gravitasi.
Pada latihan ini penderita diposisikan sedemikian rupa pada waktu tertentu,
sehingga oleh karena gaya berat, sekret dapat mengalir ke bronkhus utama,
dan kemudian dapat dibatukkan ke luar. Senam pernapasan tidak ada efek
langsung pada program ini, tetapi dia akan memberikan efek yang positif
kepada efektifitas batuk, melalui perbaikan kapasitas vital paru, serta
perbaikan fungsi otot latissimus dorsi.
b. Exercise Induced Asthma
Aktivitas fisik merupakan salah satu yang sering memicu terjadinya
serangan asma. Sekitar 50-70% penderita asma melaporkan pernah
mengalami paling tidak satu kejadian EIA dalam hidupnya (Virant 1992;
Mahler 1993). Hal inilah yang kemudian menimbulkan kecenderungan bagi
penderita asma untuk mengurangi aktivitas fisiknya. Di sisi lain, dewasa ini
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 41
mulai bermunculan hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa program
olahraga disebutkan dapat memperbaiki gejala asma (Welsh et al. 2005).
Program olahraga yang banyak dianjurkan pada penderita asma adalah
latihan ketahanan, kekuatan, fleksibilitas dan pernapasan (Welsh et al. 2005).
Sejalan dengan patogenesis timbulnya EIA, latihan aerobik yang dilakukan
secara regular dapat menurunkan resiko terjadinya exercised-induced asthma
(EIA), dikarenakan berkurangnya kebutuhan ventilasi pada aktivitas fisik
(Counil et al. 2003; Storms 2003).
EIA merupakan sindrom klinis yang dicirikan dengan adanya
penyempitan atau sumbatan pada jalan napas yang biasanya muncul 5-15
menit setelah aktivitas fisik. Gejala EIA meliputi sesak napas, batuk dan atau
mengi (wheezing) (Mahler 1993; Storms 2003). Kadang kala, terdapat juga
beberapa individu yang mengalami serangan asma setelah 6 sampai 10 jam
setelah aktivitas fisik (Mahler 1993). Sekitar 40-50% penderita astma
mengalami periode refrakter yang merupakan suatu periode pemulihan
bronkhokontriksi yang berlangsung dalam 2 jam setelah serangan (Storms
2003).
Secara umum, pada asma terjadi 1) peradangan pada lapisan mukosa
dan sub mukosa bronchus, 2) respon yang berlebihan pada berbagai bahan
alergen dan 3) penyempitan bronkhus yang disebabkan oleh kontraksi otot
polos bronchus (Barnes 1983). Alergen memicu timbulnya degranulasi sel
mast serta pengeluaran mediator-mediator peradangan seperti histamine,
leukotrien, bradikinin, prostaglandin dan interleukin (Barnes 1983). Mediator
kimiawi ini memicu vasodilatasi dan senyawa khemotatik yang bekerja
menarik berbagai jenis sel seperti eusinofil, monosit, limfosit dan basofil di
area peradangan (Mahler 1993). Sel-sel ini kemudian juga melepaskan
mediator kimiawi yang pada akhirnya memperparah reaksi peradangan
(Mahler 1993).
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 42
Berbeda dengan patogenesis asma, mekanisme yang mendasari EIA
belum dapat diketahui secara pasti (Storms 2003). Teori hiperosmolar
menerangkan bahwa hiperventilasi pada saat berolahraga menimbulkan
hilangnya cairan pada permukaan bronchus. Hal ini memicu terjadinya
kenaikan osmolaritas sel-sel epitel bronkhus yang pada akhirnya memicu
terjadinya degranulasi sel mast yang menimbulkan reaksi peradangan pada
jalan napas (Storms 2003). Teori airway rewarming menyatakan bahwa pada
saat olahraga/aktivitas, hiperventilasi yang terjadi pada saat olahraga
menyebabkan pendinginan pada sel epitel dinding jalan napas (Storms 2003;
Welsh et al. 2005). Setelah aktivitas dihentikan terjadi proses penghangatan
kembali yang menyebabkan terjadinya pelebaran pada pembuluh darah
bronkhus sehingga terjadi eksudasi cairan pada dinding sub mukosa bronkhus
yang mencetuskan reaksi degranulasi sel mast dan pelepasan mediator
peradangan (Mahler 1993). Kedua teori tersebut tidak menempatkan alergen
dan respon peradangan sebagai hal yang mendasari asma, akan tetapi
menyatakan bahwa perubahan lokal pada dinding bronkhuslah yang
mencetuskan respon peradangan.
Hiperventilasi merupakan hal yang dianggap mendasari terjadinya
EIA. Hiperventilasi terjadi karena selama aktivitas fisik, paru-paru harus
memenuhi kenaikan aktivitas metabolik tubuh dengan jalan meningkatkan
ventilasinya untuk meningkatkan perolehan oksigen serta mempercepat
eliminasi karbon dioksida (Welsh et al. 2005). Pada individu normal, saluran
napas tidak mengalami perubahan pada saat aktivitas fisik sedangkan pada
penderita asma, keadaan jalan napas dapat mengalami perubahan yang derajat
perubahannya tergantung pada tingkat intensitas, lama dan kontinuitas
aktivitas fisik (Welsh et al. 2005).
Secara umum, diameter jalan napas dipengaruhi oleh keseimbangan
kerja saraf simpatis dan parasimpatis serta dipengaruhi oleh mediator sistemik
seperti katekolamin dan mediator lokal seperti histamine dan leukotrien
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 43
(Barnes 1983). Dewasa ini telah banyak dibuktikan bahwa, saluran napas pada
penderita asma lebih banyak mengandung sel-sel yang bertanggung jawab
pada proses radang dibandingkan dengan orang normal (Barnes 1983).
Hiperventilasi pada saat olahraga mengakibatkan pengeringan mukosa
bronkhus dan memicu pelepasan mediator kimiawi pemicu bronkhokontriksi
(Welsh et al. 2005). Walaupun demikian, baik pada penderita asma dan orang
yang normal terdapat beberapa mediator bronkho-dilator yang meningkat pada
saat olahraga yakni prostaglandin PGE2 dan nitrit oksida. Selain itu terdapat
interaksi mekanis antara perenkim paru dan jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi (Welsh et al. 2005). Dapat disimpulkan bahwa
variabilitas fungsi jalan napas disebabkan oleh keseimbangan antara mediator
bronchodilatator dan bronchoconstrictor namun dapat juga merupakan akibat
dari reflek dari efek mekanis pada berbagai level ventilasi.
c. Rekomendasi Program Latihan Pada Penderita Asma
Adapun penatalaksanaan asma dengan berolahraga secara terperinci dapat
dilakukan sebagai berikut :
i. Jenis olahraga
Jenis latihan olahraga yang direkomendasikan bagi penderita asma
adalah aktivitas aerobik yang dilakukan secara kontinyu, progresif dan
ritmis. Contoh dari aktivitas ini adalah : joging, bersepeda, dan berenang.
Berenang merupakan jenis latihan yang sangat dianjurkan, karena latihan ini
termasuk latihan kondisioning yang meningkatkan daya tahan terhadap
pencetus asma sekaligus erdapat komponen pengaturan nafas didalamnya.
Selain itu, pada saat berenang di pagi hari, penderita dapat menghirup udara
di atas permukaan air kolam yang hangat dan lembabyang dapat membantu
melonggarkan saluran pernafasan. Olehkarenanya latihan renang sebaiknya
dilakukan pada pagi hari. Disamping latihan aerobik, jenis lathan senam
pernapasan dan relaksasi perlu ditambahkan dalam program latihan asma.
DIKTAT MATA KULIAH OLAHRAGA TERAPI DAN REHABILITASI 44
ii. Frekuensi latihan
Sebagaimana program altihan pada umumnya, frekuensi latihan yang
disarankan adalah 3 hingga 5 kali perminggu. Latihan tidak dianjurkan untuk
dilakukan setiap hari untuk member kesempatan pada tubuh untuk
mengadakan recovery, sehingga penderita tidak mengalami kelelahan serta
mengurangi resiko cedera dan terjadinya exercise induced asthma.
iii. Durasi/Lama latihan
Lama latihan yang disarankan setiap kali latihan adalah selama 30- 45
menit, yang dilakukan secara kontinyu. Namun apabila penderita mengalami
keluhan sesak nafas selama berlatih kontinyu, lama dapat diganti dengan
latihan 3 kali perhari masing- masing 10 menit yang kemudian secara
bertahap ditingkatkan sesuai dengan durasi anjuran.
iv. Intensitas latihan
Kerjakan latihan yang disarankan adalah pada intensitas 60 % s.d 85
% denyut jantung maksimal (DJM). Dimana DJM dihitung dengan
mengurangi 22o dengan umur. Sehingga dapat disimpulkan semakin tua
seseorang intensitas latihan yang dianjurkan semakin kecil.
Tabel 1. Contoh Program Latihan Berenang pada Penderita Asma
Pemanasan
(10 menit)
Detak jantung sampai
dengan: 60 %
Latihan Inti
(30 menit)
Detak jantung : 60-85 %
Pendinginan
( 5 menit)
Denyut jantung sampai
dengan kembali normal
Stretching
Berenang lambat pada
kolam melintang
Berenang dengan
kecepatan sedang pada
kolam memanjang
Kerjakan latihan secara
terus menerus tanpa
berhenti, namun apabila
belum mampu, bisa
Relaksasi dengan
mengapungkan badan di air
atau melakukan gerakan
kaki sambil berpegangan
pada stang.
Stretching