Asas Dan Adagium Hukum
-
Upload
ahmad-taufiq-labera -
Category
Documents
-
view
256 -
download
22
description
Transcript of Asas Dan Adagium Hukum
1. Ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat, di sana ada hukum)
Dari adagium ini, dapat dijabarkan bahwa hukum ada karena adanya
masyarakat. Ketika manusia memutuskan untuk hidup berkelompok maka kemudian
mereka membutuhkan peraturan hidup bersama demi menjaga ketertiban dan
keamanan dalam pergaulan hidup. Peraturan-peraturan inilah yang menjadi ‘hukum’
di tengah-tengah masyarakat, yang menjadi pedoman mereka dalam bertingkah laku.
Saat seseorang melakukan pelanggaran hukum, maka ia sebenarnya juga berhadapan
dengan masyarakat. Ia harus menerima konsekuensi dari masyarakat, di samping
hukuman yang timbul dari sistem hukum yang berlaku, atas tindak pelanggaran yang
dilakukannya. Hal ini merupakan cerminan dari hukum sebagai sebuah ‘kesepakatan’
yang lahir dari masyarakat untuk menciptakan keadilan. Jika tidak ada masyarakat
maka tidak mungkin ada hukum karena hukum merupakan kebutuhan masyarakat.
Dengan kata lain, keberadaan hukum tergantung dari keberadaan masyarakat.
Masyarakatlah yang (seharusnya) menentukan apa dan bagaimana hukum yang
dikehendaki dan kapan hukum itu berlaku atau tidak berlaku lagi.
2. Fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan)
Adagium ini menghendaki bahwa hukum harus ditegakkan dalam kondisi
apapun. Secara umum asas tersebut lebih menekankan kepada adanya kepastian
hukum. Hukum lahir karena ada masyarakat terlebih dahulu dan mereka
menghendaki adanya hukum tersebut sehingga masyarakat harus selalu menjunjung
tinggi dan menghormati hukum di mana saja dia berada. Ketika terjadi pelanggaran
hukum maka aparat penegak hukum harus tegas dalam menegakkan hukum.
Masalahnya adalah, apakah hukum yang berlaku tersebut sudah mencerminkan
keadilan bagi masyarakat dan apakah aparat penegak hukum sudah memiliki kualitas
yang baik dan bisa bertindak tegas ketika terjadi pelanggaran hukum? Apakah ada
kondisi-kondisi tertentu yang merupakan pengecualian dari asas ini? Misalnya saat
ada seorang nenek yang mengambil ranting yang jatuh di pekarangan orang lain, lalu
dia ditangkap oleh Polisi dengan dugaan melakukan pencurian. Apakah kemudian
hakim harus menerapkan hukum secara kaku terhadap kasus ini dengan menghukum
si nenek? Benar bahwa mungkin telah terjadi pelanggaran hukum, perbuatan si nenek
tersebut sudah memenuhi semua unsur tindak pidana pencurian dan jaksa sudah
berhasil membuktikannya di sidang pengadilan. Tanpa mengesampingkan semangat
untuk menegakkan hukum, hakim (dalam kasus ini) harus dapat bertindak secara hati-
hati dalam menerapkan hukum karena ada unsur-unsur di luar ranah hukum yang juga
penting untuk dipertimbangkan dalam mengambil sebuah keputusan. Penting untuk
menjadi sebuah renungan bahwa hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat,
hukum ada untuk mewujudkan keadilan masyarakat dan memberikan kemanfaatan
bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, hukum harus bersifat luwes
(bukan berarti tidak tegas) dalam menyikapi perkembangan yang terjadi di
masyarakat karena hukum dibuat untuk mengatur manusia (makhluk hidup) bukan
mengatur benda mati sehingga aparat penegak hukum seharusnya jangan seperti
menggunakan “kacamata kuda” dalam proses penegakan hukum.
3. It is not what a lawyer tells me I may do; but what humanity, reason, and justice, tells
me I ought to do(Edmund Burke)
Adagium ini diucapkan oleh Edmund Burke, seorang negarawan asal Irlandia,
pada tanggal 22 Maret 1775. Kalimat ini kurang-lebih menyiratkan bahwa aparat
penegak hukum yang baik tidak hanya terpaku kepada teori dan konsep hukum saja.
Mereka juga harus memperhatikan sisi kemanusiaan, alasan di balik sebuah tindakan,
dan keadilan. Seperti yang telah dicontohkan dalam asas sebelumnya, penegakan
hukum tidak bisa dilakukan secara kaku. Proses penegakan hukum harus juga
memperhatikan hal-hal lain di luar hukum yang juga mempengaruhi keadilan
masyarakat. Ketaatan terhadap hukum secara membabi buta justru akan mencederai
rasa keadilan masyarakat, namun penegakan hukum yang dibarengi dengan nilai
kemanusiaan dan nilai-nilai lain yang mempengaruhi keadilan akan membawa hukum
mencapai supremasi, seperti yang diharapkan masyarakat. Demi keadilan, hakim tidak
dibenarkan hanya menerapkan hukum sebagai ”legal justice”, melainkan wajib
mengutamakan ”Moral Justice” atau ”Social justice”.
4. Ubi jus incertum, ibi jus nullum (hukum yang tidak pasti bukanlah hukum. Di mana
tiada kepastian hukum, di situ tidak ada hukum)
Asas ini menekankan pentingnya kepastian hukum. Hukum harus memiliki
daya ikat sedemikian rupa sehingga bagi siapapun yang melanggar hukum maka ia
harus dihukum. Ketaatan menjadi harga mati dalam asas ini. Beberapa hal yang
penting untuk diperhatikan, adalah, pertama, para penyusun peraturan perundang-
undangan harus ekstra hati-hati dalam penyusunan sebuah norma dalam produk
hukum yang dihasilkan. Jangan sampai rumusan norma menjadi multi tafsir dan
cenderung merugikan kepentingan rakyat. Kedua, para penegak hukum harus
memahami benar perangkat hukum yang berlaku di masyarakat karena mereka yang
nantinya melaksanakan pengawasan atas kepatuhan dan ketaatan masyarakat
terhadap hukum. Ketiga, masyarakat harus memiliki kebebasan untuk memberikan
aspirasinya dalam proses penyusunan suatu produk hukum sehingga ketika
kebebasan itu telah diberikan maka mereka memiliki kewajiban untuk tunduk dan taat
pada hukum yang berlaku. Ketiga hal tersebut dapat menjadi pilar-pilar yang kokoh
dalam menjamin kepastian hukum, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh asas ini.
5. Summon ius summa injuria (apabila kepastian yang dikejar setinggi-tingginya, ia justru
akan melukai. Menuntut hukum untuk dilaksanakan secara strict, justru akan
menghadirkan luka yang terdalam)
Seperti yang telah dijelaskan di atas, kepastian hukum memang penting dalam
upaya menegakkan supremasi hukum. Akan tetapi tidak selamanya penegakan hukum
bisa dilakukan secara kaku. Dalam prosesnya, apabila ketaatan terhadap hukum justru
melukai rasa keadilan masyarakat maka perlu keberanian dari aparat yang berwenang
untuk melakukan terobosan demi kemaslahatan yang lebih besar. Ini seperti teori
yang disampaikan oleh Emmanuel Kant bahwa hukum memiliki 2 sisi, yaitu sisi
kepastian hukum dan sisi kemanfaatan. Jika dua sisi dapat diwujudkan secara
bersamaan maka hukum itu ideal, namun ketika dua sisi itu saling berbenturan maka
yang harus diutamakan adalah sisi kemanfaatannya. Itulah mengapa bukan kepastian
hukum yang sebenarnya harus dikejar setinggi-tingginya namun bagaimana hukum itu
dapat memberikan manfaat bagi rakyat dan menciptakan keadilan sosial.
6. Malus bonum ubi se simulat tum est pessimus
Publius Syrus menyatakan bahwa “Malus bonum ubi se simulat tum est
pessimus” yang artinya adalah penjahat tidaklah lebih jahat kecuali bila ia berpura-
pura berbudi. Hal yang sama berlaku untuk aparat penegak hukum yang tidak
mempunyai komitmen untuk menegakkan hukum. Ketika mereka bisa disuap untuk
melindungi para penjahat dan dalam melakukan kejahatannya mereka berdiri di balik
hukum maka sesungguhnya mereka lebih jahat daripada penjahat. Mereka
mengkhianati kepercayaan masyarakat dan sekaligus mencoreng citra penegakan
hukum sehingga seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang lebih berat. Para
pemimpin dan wakil rakyat yang duduk di kursi pemerintahan pun harus menjunjung
tinggi moralitas dan amanah yang telah dipercayakan kepada mereka dengan
melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya dengan jujur, adil, dan
biajksana. Dengan adanya komitmen dari semua pihak untuk tunduk dan patuh pada
hukum yang berlaku maka keadilan bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan.
HUKUM dan KEADILAN
1. UBI SOCIETAS, IBI JUS (di mana ada masyarakat, di situ ada hukumnya). IUS CURIA NOVIT (seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya).
2. LEX SEMPER DABIT REMEDIUM – The law always give a remedy (hukum selalu memberi obat). EQUUM ET BONUM EST LEX LEGUM (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum).
3. LEX NEMINI OPERATUR INIQUUM, NEMININI FACIT INJURIAM – The law works an injustice to no one and does wrong to no one (hukum tidak memberikan ketidakadilan kepada siapapun dan tidak melakukan kesalahan kepada siapapun).DROIL NE DONE, PLUIS QUE SOIT DEMAUNDE – The law give no more than is demanded (hukum memberi tidak lebih dari yang dibutuhkan).
4. LEX REJICIT SUPERFLUA, PUGNANTIA, INCONGRUA – The law rejects superfluous, contradictory, and incongruous things(hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak).DORMIUNT ALIQUANDO LEGES, NUNQUAM MORIUNTUR –Laws sometimes sleep but never die (hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati).
5. INDE DATAE LEGES BE FORTIOR OMNIA POSSET – Law were made lest the stronger should have unlimited power (hukum dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas).
6. FIAT JUSTITIA RUAT COELUM atau FIAT JUSTITIA PEREAT MUNDUS – Let justice be done though the heaven should fall(sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan,keadilan harus tetap ditegakkan). JUSTITIAE NON EST NEGANDA, NON DIFFERENDA – Justice is not to be denied or delayed (keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda).
7. LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan). LEX DURA SED ITA SCRIPTA atau LEX
DURA SED TAMENTE SCRIPTA (undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian – pasal 11 KUHP).
8. LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT – Spreekhuis van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim. Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong undang-undang,melainkan mulut atau
corong keadilan (Bagir Manan, 2005 : 10).
9. INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).
10. EQUALITY BEFORE THE LAW (setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum). AUDI ET ALTERAM PARTEMatau AUDIATUR ET ALTERA PARS (para pihak harus didengar. Apabila persidangan dimulai, hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja).
11. UNUS TESTIS NULLUS TESTIS (satu orang saksi bukanlah saksi – pasal 185 ayat 2 KUHP). TESTIMONIUM DE AUDITU(kesaksian dapat didengar dari orang lain).
12. SIMILIA SIMILIBUS (dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal yang sama pula, tidak pilih kasih). BIS DE EDEM RE NE SIT ACTIO atau NE BIS IN IDEM (untuk perkara sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya– pasal 76 KUHP).
13. SUMMUM JUS SUMMA INJURIA; SUMMA LEX SUMMA CRUX(keadilan yang setinggi-tingginya dapat berarti ketidakadilan tertinggi).
14. ACCIPERE QUID UT JUSTITIAM FOCIAS NON EST TEAM ACCIPERE QUAM EXIORQUERE – To accept anything as a reward for doing justice is rather estorting than accepting(menerima sesuatu sebagai imbalan untuk menegakkan keadilan lebih condong ke tindakan pemerasan, bukan hadiah).
KEPASTIAN HUKUM
15. VAN RECHTSWEGE NIETING; NULL AND VOID (suatu proses peradilan yang dilakukan
tidak menurut hukum adalah batal demi hukum). UBI JUS IBI REMEDIUM (dimana ada hak,
disana ada kemungkinan menuntut, memperolehnya atau memperbaikinya bilamana hak
tersebut dilanggar).
16. LEX NEMINEM CIGIT AD IMPOSSIBILIA (undang-undang tidak memaksakan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin – pasal 44 KUHP). MONEAT LEX, PRIUSQUAM
FERIAT(UU harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya).
17. GEEN STRAF ZONDER SCHULD (tiada hukum tanpa kesalahan). CULPUE POENA PAR ESTO – Let the punishment be equal the crime (jatuhkanlah hukuman yang setimpal dengan perbuatan).
18. NULLUM DELICTUM NOELA POENA SINE PRAEVIA LEGE POENALI suatu aturan hukum tidak bisa diterapkan terhadap suatu peristiwa yang timbul sebelum
aturan hukum yang mengatur tentang peristiwa itu dibuat dan diberlakukan.
tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu.
19. PRESUMPTION OF INNOCENCE (asas praduga tidak bersalah: seseorang dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut
telah mempunyai kekuatan tetap). IN DUBIO PRO REO (dalam keragu-raguan diberlakukan
ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa).
20. INDEX ANIMI SERMO – Speech is the index of the mind (cara seorang berbicara menunjukkan jalan pikirannya).COGITATIONIS POENAM NEMO PATITUR (tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya). DE GUSTIBUS NON EST DISPUTANDUM (mengenai selera tidak dapat disengketakan).
21. VOLENTI NON FIT INIURA; NULLA INIURA EST, QUAE IN VOLENTEM FIAT (terhadap tindakan yang didasari persetujuan maka sifat melawan hukum yang terdapat dalam perbuatan tersebut dihilangkan).
PERBUATAN PEMERINTAH
22. HET VERMOEDEN VAN RECHMATIGHEID (kebijakan pemerintah harus dianggap benar
dan memiliki kekuatan hukum mengikat sampai dibuktikan sebaliknya).PRESUMPTION
JUSTAE CAUSA (gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan TUN).
23. INTERSET REIPUBLICAE RES JUDICATOAS NON RESCINDI – It is in the interest of the state that judgments already given not be rescinded (adalah kepentingan negara bahwa suatu keputusan tidak dapat diganggu gugat).
24. GOUVERNEUR C'EST PREVOIR (menjalankan pemerintahan itu, berarti melihat ke depan dan merencanakan apa saja yang akan atau harus dilakukan). LEX PROSPICIT, NON RESPICIT – The law looks forward, not backward (hukum melihat kedepan bukan ke belakang).
25. ERRARE HUMANUM EST, TRUPE IN ERRORE PERSEVERARE(membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan).
26. HODI MIHI CRAS TIBI (ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat). VERBA VOLANT SCRIPTA MANENT (kata-kata biasanya tidak berbekas, sedangkan apa yang ditulis tetap ada).
27. POWER TENDS TO CORRUPT; ABSOLUTE POWER TENDS TO CORRUPT ABSOLUTELY (kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang mutlak, pasti akan disalahgunakan). Hati-hati! THE KING CAN DO NO WRONG(Raja tidak dapat berlaku salah). Hati-hati! (Semestinya: Raja alim raja disembah, raja lalim raja disanggah).
28. PRIENCEPS LEGIBUS SOLUTUS EST (kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya). Hati-hati!
29. VEILIGDHEID CLAUSULE (apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam sebuah keputusan, akan diperbaiki sebagaimana mestinya). Hati-hati!
ILMU HUKUM
30. POLITIAE LEGIUS NON LEGES POLITII ADOPTANDAE (politik harus tunduk pada hukum,
bukan sebaliknya).
31. VOX POPULI VOX DEI (suara rakyat adalah suara Tuhan).SALUS POPULI SUPREMA LEX (kemakmuran dan kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi pada suatu negara).
32. UT SEMENTEM FACERIS ITA METES (siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai).
33. OPINIO NECESSITATIS (keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan). ADAEQUATIO INTELLECTUS ET REI (adanya kesesuaian pikiran dengan obyek. prinsip ini pada dasarnya merupakan rambu-rambu dalam merumuskan materi hukum yang telah diterima secara universal).
34. LEX POSTERIORi DEROGAT LEGI PRIORI atau LEX POSTERIORi DEROGAT LEGI ANTERIORI – A later statute repeals an earlier one (undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama). JUDICIA POXTERIORA SUNT IN LEGE FORTIORA – The later decisions is stronger in law(keputusan terakhir ialah yang terkuat di mata hukum).
35. LEX SPECIALIS DEROGAT LEX GENERALI (undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. Contoh: pemberlakuan KUHD terhadap KUHPerdata dalam hal perdagangan). LEX SUPERIOR DEROGAT LEGI INFERIORI (undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatnnya).
36. JURU SUO UTI NEMO COGITUR (tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contoh: orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus).NEMO PLUS JURIS TRANSFERRE POTEST QUAM IPSE HABET(tak seorangpun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki).
37. DIE RECHTS WISSENSSCHAFT IST BIS HEUTE EINE REINE RECHTS PRECHUNGS WISSENSSCHAFT GEBLIEBEN / Die Rechts Wetensschap heft zich te sterk geconcentreerd op de wetgevingsproducten en de rechtspraak (Ilmu Hukum dewasa ini, hanya tinggal Ilmu Peradilan).
38. PACTA SUNT SERVANDA (setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik).
39. KOOP BREEKT GEEN HUUR (jual beli tidak memutuskan sewa-menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih beralih tangan – pasal 1576 KUHPerdata).
40. RES NULLIUS CREDIT OCCUPANTI (benda yang ditelantarkan oleh pemiliknya bisa diambil untuk dimiliki). DA TUA SUNT, POST MORTEM TUNE TUA SUNT – Give the things which are yours while they are yours; after death they are not yours(berikanlah benda-benda kepunyaanmu saat kau masih memilikinya; setelah meninggal benda-benda tersebut bukan kepunyaanmu lagi).
41. MATRIMONIUM RATUM ET NON CONSUMMATUM (perkawinan yang dilakukan yang secara normal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin). Hati-hati!
42. DIVORTIUM DICITUR A DIVERTENDO, QUIA VIR DIVERTITUR AB UXORE – Divorce is so called from divertendo, because a man is diverted from his wife (perceraian berasal dari kataDivertendo, artinya seseorang pria dialihkan dari isrinya).
43. HOMO VOCABULUM EST NATURAE; PERSONA JURIS CIVILIS. – “Man” (homo) is a term of nature; “Person“ is a term of civil law (pria ialah istilah alami, person ialah istilah hukum perdata). FILIUS EST NOMEN NATURAE, SED HAERES NOMEN – “Son” is a name of nature, but “heir” a name of law (anak adalah nama yang diberikan oleh alam, tetapi ahli waris adalah nama yang diberikan hukum).
44. FILIUS IN UTERO MATRIS EST PARS VISCERUM MATRIX – A child in the mother’s womb is part of the mother’s vitals(seorang anak di dalam kandungan adalah bagian dari kehidupan ibunya). CUM LETITIMAE NUPTIAE FACTAE SUNT, PATREM LIBERI SEQUUNTUR – Children born under a legitimate marriage follow the condition of the father (anak yang terlahir dari sebuah perkawinan yang sah mengikuti kondisi ayahnya).
45. HEARES EST CADEM PERSONA CUM ANTECESSORE – The heir is the sinter person as the ancestor (ahli waris sama kedudukannya dengan pendahulunya).
46. CUJUS EST DOMINIUM, EJUS EST PERICULUM – The risk lies upon the owner (risiko atas suatu kepemilikkan ditanggung oleh pemilik).
47. CUM ALIQUIS RENUNCIAVERIT SOCIATATI, SOLVITUR SOCIETAS – When any partner has renounced the partnership, the partnership is dissolved (saat rekan telah meninggalkan persekutuannya, maka persekutuan tersebut dinyatakan bubar).
48. POTIOR EST GUI PRIOR EST (siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung). QUI TACT CONSENTIRE VIDETUR(siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui).
49. CLAUSAL REBUS SIC STANTIBUS (perjanjian antar-negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama).
50. QUIQUID EST IN TERRITORIO, ETIAM EST DE TERRITORIO(asas dalam hukum internasional
yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu).
51. IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI – Ignorance of fact is excused but not ignorance of law. Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum. IGNORANTIA JURIS NON EXCUSAT – Ignorance of the law does not excuse(ketidaktahuan akan hukum tidak dimaafkan).
52. JURIS QUIDEM IGNORANTIUM CUIQUE NOCERE, FACTI VERUM IGNORANTIAM NON NOCERE – Ignorance of law is prejudicial to everyone, but ignorance of fact is not (pengabaian terhadap hukum akan merugikan semua orang; tetapi pengabaian terhadap fakta tidak).
53. IGNORANTIA JUDICIS EST CALANAITAX INNOCENTIS – The ignorance of the judge is the misfortune of the innocent(ketidaktahuan hakim ialah suatu kerugian bagi pihak yang tidak bersalah).
54. JUDEX SET LEX LAGUENS – The judge is the speaking law(sang hakim ialah hukum yang berbicara). JUDEX DEBET JUDICARE SECUNDUM ALLEGATA ET PROBATA – The judge ought to give judgment according to the allegations and the proofs (seorang hakim harus memberikan penilaian berdasarkan fakta-fakta dan pernyataan).
55. IUDEX NON ULTRA PETITA atau ULTRA PETITA NON COGNOSCITUR (hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya). IUDEX NE PROCEDAT EX OFFICIO (hakim bersifat pasif menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya).
56. JUDEX HERBERE DEBET DUOS SALES, SALEM SAPIENTIAE, NE SIT INSIPIDUS, ET SALEM CONSCIENTIAE, NE SIT DIABOLUS – A judge should have two silts; the salt of wisdom, lest he be foolish; and the salt of conscience, lest he be devilish (seorang hakim harus mempunyai dua hal: suatu kebijakan, kecuali dia adalah orang yang bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat yang kejam).
57. JUDEX NON REDDIT PLUS WUAM QUOD PETENS IPSSE REQUIRIT – A judge does not give more than the plaintiff himself demands (seorang hakim tidak memberikan permintaan lebih banyak dari si penuntut).
58. JUDEX NON PUTEST ESSE TESTIS IN PROPRIA CAUSE. A judge cannot be a witness in his own cause (eorang hakim tidak dapat menjadi seorang saksi dalam perkaranya sendiri).INIQUUM EST ALIQUEM REI SUI ESSE JUDICEM – It is unjust for anyone to be judge in his own (adalah tidak adil bagi seseorang untuk diadili pada perkaranya sendiri). NEMO JUDEX IN CAUSA SUA – No man can be a judge in his own cause (hakim tidak boleh mengatur/mengadili dirinya sendiri).
59. JUDICANDUM EST LEGIBUS NON EXEMPLIS – Judgment must be given by the laws, not by examples (putusan hakim harus berdasarkan hukum, bukan berdasarkan contoh. seorang hakim tidak dibatasi untuk menjelaskan penilaian/putusannya sendiri).
60. JURAMENTUM EST INDIVISINLE, ET NON EST ADMITTENDUM IN PARTLY TRUE AND PARTLY FALSUM – An oath is indivisible; it is not to be accepted as partly true and partly false (sebuah sumpah tidak dapat dibagi; sumpah tersebut tidak dapat diterima jika sebagiannya benar dan sebagian lagi salah).
61. JURARE EAT DEUM IN TESTEM VOCARE ET EST ACTUS DIVINI CULTUS – To swear is to call God to witness, and is an act of religion (memberikan sumpah ialah sama halnya dengan memanggil Tuhan sebagai saksi hal itu adalah hal keagamaan).
62. CUM ADSUNT TESTIMONIA RERUM, QUID OPUS EST VERBIST– When the proofs of facts are present, what need is there of words? (saat bukti dari fakta-fakta ada, apa gunanya kata-kata?). FACTA SUNT POTENTIORA VERBIS – Deeds or facts are more powerful than words (perbuatan atau fakta lebih kuat dari kata-kata).
63. EI INCUMBIT PROBATIO QUIDICIT, NONQUI NEGAT – The burden of the proof rest upon the person who affirms, not the one who denies (beban dari bukti disandarkan pada orang yang menugaskan tuduhan bukan yang menyangkal).
64. DEBET QUIS JURI SUBJACERE RRBI DELINQUIT – Any offender should be subject to the law of the place where he offends(seseorang Penggugat harus mengacu pada hukum yang berlaku di tempat dia mengajukan gugatan).
LAIN-LAIN
65. HOMO HOMINI LUPUS; HOMO HOMINI SOCIUS (manusia adalah serigala bagi manusia
lainnya; manusia adalah kawan bagi sesamanya).
66. TRADITION ARE ADOPTED BY THE LAWS; AL-ADAT MUHAKKAMAH (adat dapat dijadikan hukum).
67. PRIMUS INTER PARES (yang pertama / utama di antara sesama).
68. COGITO ERGO SUM – I think, therefore I am - Ich denke, also bin ich - Je pense donc je suis (saya berpikir, dan oleh karenanya saya ada). DUBITO ERGO COGITO ERGO SUM – I doubt, therefore I think, and therefore I am.
69. ID PERFECTUM EST QUAD EX OMNIBUS SUIS PARTIBUS CONSTANT (sesuatu dinyatakan sempurna bila setiap bagiannnya komplit).
70. FRUSTRA LEGIS AUXILIUM QUAREIT QUI IN LEGEM COMMITTIT – Vainly does a person who offends against the law seek the help of the law (adalah sia-sia bagi seseorang yang menentang hukum tapi dia sendiri meminta bantuan hukum).
71. CUM DUO INTER SE PUGNANTIA REPERIUNTUR IN TESTAMENTO, ILTIMUM RATUM EST – When two clauses a will are found to be contradictory, the last in order prevails (jika terdapat perbedaan dalam suatu hakikat, maka terlihat jelas adanya 2 persepsi yang berbeda).
72. COMMUNI OBSERVANTIA NON EST RECEDENDUM – There should be no departure from common observance (tidak dapat ditarik kesimpulan dari pengamatan biasa; tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang menandakan maksud yang terdapat dalam pikirannya).
73. CUJUS EST COMMODUM, EJUS DEBET ESSE INC OMMODUM –The person who has the advantage should also have the disadvantage (seseorang yang mendapatkan suatu keuntungan juga akan mendapatkan suatu kerugian).