Asas-asas dan susunan hukum adat, 1960.pdf

278

Transcript of Asas-asas dan susunan hukum adat, 1960.pdf

Perpustakaan Soediman Kartohadiprodjo FHUI Buku ini harus dikembalikan pada:(Keterlambatan pengembalian pada tanggal dibawah ini dikenakan denda Rp. 500,- (perhari/1 buku)

. 'h -- ' r

ASAS2 DAN SUSUNAN HUKUM-ADAT

Rp. 75,—

PERPUSTAKAAN ^FAKULTAS HUKUM U.I.

T a n g g a l .. 5 . & \ 9}

No m o r S il \ e - 4 4 4 / H i O f t ;

Asa l B uku :

A S A S - A S A S DAN SH U K U M - A D A

(BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT)

OLEH :

Mr B. TER HAAR Bzn.

1960

Penerbit Negara : PRADI^Jj^-PA’RTfK íjTíL-f

D J A f # R T HUKU^ j ilL-

r

Pertjetakan Fadjar n.v. Surabaja

T ER DJE M AH AN

K. N g SOEBAKTI POESPONOTODosen U. 1 .1. Surakarta

SEPATAH KATA PENERDJEMAH.

Usaha terdjemahan ini timbal dari keinginan akan menjadjikan sebuah kitab jang lengkap kepada para peladjar pendahuluan hu- kum-aaat dibawah asuhan psnerdjemah, jang sebagian besar tidak atau kurang faham akan bahasa Belanda. Pada hal buah tangan Ter H aar ini betul sudah diterdjemahikan kedalam bahasa Inggris, tapi dalam bahasa Indonesia sepandjang pengetaihuan penerdjemah sampai sekarang belum ada salinannja.

M ula2 terdjemahan ini terbit sefatsal demi sefatsal, jang lalu di- bitjarakan dan disana sini dibetulkan bersama2, hal mana sangat dipermudah karena memang untuk penilikan sedemikian itu pem­berian nomor halaman2 terdjemahan sudah di'bjotjokkan dengan penomoran halaman2 dalam buku aslinja.

M engapakah djustru buah tangan T er H aar „beginselen en stelsel van het adatrecht" jang diterdjemahkan ? Karena antara lain menurut pendapat sardjana2 hukum-adat Prof. Soepomo dan Prof. Logemann „pandanigan jang mahir daripada T er H aar tentang asas2 dan susunan hukum-adat sampai sekarang masih tetap men- djadi uikuran".

Berhuibung dengan mutu keilmuan daripada isi buku ini, ditambah pula karena sukamja tjara penulis membahas soal2 •—■ jaitu anitara lain dengan memakai rangkaian kalima't2 jang pandjang, 'tapi padat dalam artinja — maka disini diusahakan suatu terdjemahan jang selurus mungkin, tidak ditambah atau dikurangi dengan djalan uraian, komentar atau lain2-nija dari fihak penjalin, itupun karena ia chawatir kalau2 dengan tak disengadja nanti akan timbul makna jang lain dari pada mestinja.

Kata- asing jang belum lazim, setengah lazim atau sudah lazim dipakai dalam bahasa Indonesia ditulis disini dengan senga.dja tidak menurut sesuatu sisfcim edjaan jang tertentu, itupun berhubung dengan sampai sekarang belu m adanja sistim itu, puda mengingat, sebagaimana termaklum, bahwa bahasa Indonesia sedang berada da­lam fase pertumbuhan, misalnja : delifkt, disertasi, exogaam, funksi genealogis, kritis, kongkrit, kooperasi, magis, materieel, objeik, toch dan sebagainja.

Pula dimana dipandangiija perlu untuk penegasan, maka pener- djemah tidak segan2 mentjantumlkan diam tara dua tanda kurung : kata , istilah, bahkan seluruh kalimat, kesemuanya dalam bentuk aslmja d:belakang terdjemahannja, m isalnja: pokroP-an (juristerij) paruh-hasil-itana-m (deelbouw), tolong menolong antara satu sama lain dan bertimbal balik (onderling en wederkerig hulpbetoon) dan sebagainja.

Pokok maksud usaha ini ialah, sebagaimana diterangkan diatas tadi, sekedar umtuk memenuhi kebutuhan jang perlu sekaji, lagi mendesak ; maka dari itu bilamana disana sini terdapat misaln.ja susunan kalimat jang. djanggal atau kata2 jang kurang lazimnja, diharap buat sebentar .berpegangan pada peribahasa : „djanganlahmembatja jang tersurat, tapi ambillah jang tersirat ....................."hendaknja.

Achimja, djuga karena penerdjemah -bukan n-, j a seorang ahli d a ­lam hal salin menijalin, maka setiap kritik jang bersifat memiban-gun atas usahanja jang serba kuran/g ini aikan diterimanja dengan segala suka hati.

Surakarta, Agustus 1953.

SO EBA K TI P O E S P O N O T O .

Pada tanggal 19 April 1941 gugurlah Ter H aar diitempat penga­singan Djermam. Pekerdjaannja keilmuan terbengkelailah oleh karenanja. Pekerdjaan jang berguna akan orang banjak untuk keluhuran tata usaha pengadilan itu berada dalam angin-ribut suatu revolusi politik dan sosial.

Saja tak chawatir kalau2 usaJia2-nja itu akan lenjap. Kemurnian- nja, kadarnija jang kritis dan kesukaannja akan hakekat, kesemua- nja itu adalah djaminan akan kebenaran pendapat saja itu. Baik pekerdjaannija, maupun manusia Ter H aar tidak akan dapat diha­puskan dari sedjarah peradaban Indonesia.

Penjelidikan dan pertumbuhan hukum-adat sesmigguhnja tidak pernah berhenti sedjak tahun 1940. Tapi penglihatan T er H aar jang mahir tentang asas2 dan susunanja buat sementara tetap men- djadi ukuran, sehingga pentjetakan ulangan dengan tiada peru- bahannja benar2 dapat dipertanggung-d'jawabkan.

M udahkan penindjauan kembali atau penggantian pada saat jang lebih tepat untuk itu nanti akan terbimbing oleh tenaga jang ber­pengalaman, jang tjakap dan jang penuh rasa chidmat pula terhadap almarhum 'hendaknja.

LO G EM A N N .

SEPATAH KATA PENGANTAR.

Pada perguruan-perguruan tinggi/fakultas-fakultas hukum atau­pun perguruan-perguruan sesamanja. buku Prof. M r E . e r H aar Bzn. „Beginselen en Stelsel van het Ada trecht dewasa in . mas.hmerupakan literatur-wadijib untuk mata-pe a P ran U, - ^ .

Tetapi kenjataan menundlukka». bahwa buku tersebut « dak lag, dapat dimengerti oleh sebagian 'besar para » a la s ,» , karena me­reka sudah tidak dapat memahami bahasa Belanda sedangkan bukuitu merupakan dasar bagi peladjaran u urn a a . ,

r'i • t-u 1 t t • Kolnmlah ada usaha untuk menterdjemah-Dar, f,hak U ",ve«,tas s d r . K . Ng. Soebajctikan buku tersebut. M aka dan itu teiujcm oPoesponoto ini wadjib kita sambut dengan gemb,ra. karena terd>e.maha» ini akan besar sekali manfaatnja bag, para ^

Dapat kami katakanserms, walaupun disana shu m terdjemahnja dan de-Kekurangan-kekurangan m> d>ak menexima kritik. kntik jang me- ngan sangat gembira beliau sedianudju kesempurnaan t ^ i ^ ^ J ' ^ b j o j o d i g o e n o jang diserahi

Sebagai asisten dan Prof. M r_ M. l ’u j hukum & fakultas tugas untuk mengudji para niaha • dan faku]tas HukumSosial Politik Universitas G adjah rianat menqandjur-Universitas Airlangga mengenai literatur; ^ ' J a p a t meng^ ^kan kepada para mahasiswa dan pe Puntuk menggunakan dan menilai terdjemahan ini. k ■

Terd jemahan ini sangal memenuhi k e b u t u h , . “ ,“1 Pp ”of M r mudah-mudahan — .'kalau kamu boleh memmidjam i _M, M. Djojodigoeno - buku jarog menguraikan „ A z a s ^ a peragaan” hukum adat ini akan berdjasa pada par dalam metnpeladjari hukum adat.

jogjakarta. M e i 1958.M r SO E JO N O H A D ID JO JO .

A N T A R K A T A(dari penu lis)

Pendahuluan untuk peladijaran hukum -adat penduduk Pribum i Indonesia ini m entjoba dalam dua hal m engem ukakan soal2 umum. Pertam a2 dengan djalan m emberikan tjo rak2 tanda-tjiri daripada' lem baga2 hukum Indonesia dan hubungan2-huku'm, sedem ikian ru ­pa, sehingga asas2 dan susunan hukum -adat Bumiputera dapat nampak keluar, pula sehingga perangai-chusus daripada hukum- adat dinjatakan oleh karenanja, kedua : dengan djalan m enundjuk- kan faktor2 jang mempengaruhi keadaan dan perubahan hukum - adat, pula dengan m enudjukkan keadaan sosial jang m em adjukan atau merintangi penkembangan tjo rak2 jang te rten tu itu. T etap i pendahuluan ini bermaksud djuga akan m engaitkan soal2 umum tadi pada 'bentuk2 gedjala2 istimewa daripada lem baga2, hubung­an2 dan ,0 perbuatan2 ; ag ar supaja dengan demikian seraja dapat sekedar memberikan gam baran tentang arti jang konkrit dari­pada soal jang diperikan setjara typologis, sehingga misalnja orang sekali tahu bahwa susunan-sanaksaudara berhukum ibu itu terutam a penting buat hukum -adat M inangkabau, bahw a perdjand jian-peli bara (verzorgingscontract) ru p a2nja adalah keistimewaan M inaha- ;a, bahw a hak pertuanan (beschikkingsrecht) dan paruh-hasil (deelwinning) ternak te rdapat dalam lingkungan rak ja t Pribumi dalam hampir semua lingkungan2-hukum ; tokoh2 hukum setem pat 3aban2 disebut, baik sebagai misal daripada lembaga jang konkrit jang dim aksudkan oleh lukisan jang abstrakt, m aupun untuk m enu­turkan adanja tjorak2 setem pat dan sim pangan2 lokal. H ukum -adat positief daripada beberapa lingkungan kadang2 ditundjukkan de­ngan djalan disebutkannja istilah2 Pribumi ; sebuah ichtisar jang agak pandjang lebar tentang susunan m asjarakat2-hukum disadji- kan sebagai peta-dasar daripada m edan foerlakunja hukum -adat pada pokoknja.

Sudah barang ten tu dengan djalan demikian itu penjusunan pen­dahuluan peladjaran hukum -adat jang ringkas buat sebagian adalah soal memilih2 dari bahan jang berlebih2-an apa jang patu t diambil sebagai misal jang konkrit, dan apa jang tidak. D engan sendirin ja tjara bekerdja demikian itu m engandung tja tja t „sem barangan’ , capi tja tja t ini agak diperlunak karena kejakinan bahwa ini han ja mengenai gam baran sesuatu sadja, bukannja m engenai lukisannja sendiri jang typologis itu — w alaupun tja tja t itu masih te tap ber­laku terhadap lukisan jang tak lengikap daripada a tu ran 2 hukum setem pat jang tidak termasuk dalam bentuk ( type) tadi.

H al teraohir ini memang tak dapat dielakkan lagi dalam pen ju ­sunan sesuatu pendahuluan jang hendak tetap ringkas, tetapi segan2 akan m engabaikan tjorak2 jang konkrit.

3\

Sudah s e m e s t i n j a pemil.han termaksud diatas tadi tenpengarun tanjak oleh keadaan perpustakaan hukum-adat. Terhadap bagian Timur dari pada Nusantara (sebelah Timur-nja Sulawesi dan Bali, terkefcjuali Ambon dan Kepulauan Uliaser) hampir tidak ada sama sekali saduran setjara hukum-adat daripada tulisan- ethnologis oleh tenaga2 jang terkenal dstempat2 situ, sedangkan djarang terdapat keputusan2 hakim jang diumumkan, pula bahan2 janc| disadjikan olelh para ethnografen jang tak berpendidikan dipandang dari sudut ethnologie djuga kurang heningnja. W alaupun demikian alangkan tidak tepatnja andaikata lingkungan^-hukum tadi d.ketjualiikan dan lukisan susunan hukum-adat, meskipun dalam hal tidak mengetjuali- kannja sekarang ini, penundjukan- kelingkunigan2 situ itu harus dengan hati2 sekali.

Buiku keiljil ini disusun untuk mereka jang memulai beladjar hu- kttm-adat, jaitu studen- rech'bs-hogeschool; ia bermaksud menjadji- kan tjatatan2 umum jang dapat menambah b a s i l n j a .(.ipeladjaran mengenai hukum-adat positief daripada suatu lingkungan-ihukum iang tertentu ; seraja ia bermaksud memberi peitundjuik kepada para pekendja2 diluar, supaja mereka tahu a'kan adanja lingkungan -*um, dalam mana hukum-adat — jang mereka hadapi (setjara kritis) dalam praktijk mereka jang menudju ksniataan — dapat mereka tindjau sebagai suatu bentuk kedjala jang istimewa. Tak ■ apat diungkiri — melainkan hanja dapat disesalkan — bahwa nr'* se^ ara abstrakt dan menurut sistim daripada tjora'k-^ U uni-adat sebagaimana disini dikerdjakan ini, adalah laksana

^jati dimusim kemarau. Tidak terdapat daun2nja unga—.nja jang memberi warna dari bau harum serta kese-

ihmT £ >a a se^uah naskah tentang hukum-adat jang hidup d.- a satu masjarakat jang konkrit; jang terdapat ada, hanjalah

^ angnja, pertjabangan2-nja dan petumdjuk2 kearah kuntjup2-nja.'^en^a^UUan atau PeranQ|ktirian” , „dapat dipakai atau

aiutk ’’ “ jenis2-nja” jang „mengedjutkan" (atau tak menge- buk an ” un99u an atau bjatjatnja hukum-adat” , maka dalam

Ken^ ^ Se ata^ katapun terdapat tentang itu, kum-n^if311 te^ memberi peladjaran, bahwa buat sementara hu- dari ^ *tf ' 'tak-tf ,»ulB daripada Bumiputera tidak d igan ti; maka > n „,jU’ Ju9a c Pandang dari sudut jang praktis, tetap berguna

P U ? 3"3" maSalaK 1111 sefciara teratur, atau Krl C 3< a se,Pata^ katapun tertulis mengenai persamaannja atau m 3 Persamaannja hukum-adat dengan hukum Nederland, raka t- J^esec ja^ljarau hukum-adat dengan hukum masja-djaran ja'1"1 3 man’ Ibrani atau lain-2-mja. Sebagai objek-pela- antara rl, 'vfiensc^aPP^lijk maka perbandingan setjara tjermat

hukum itU - kedua2-nja sudah barang tentu m‘ am hubungan bentukraja sendiri2 seluruhnja —■

berguna djuga. Perbandingan hukum-adat dengan hukum Neder- land sedemikian itu sepandjang pengetahuan saja belum pernah di­usahakan orang. Tapi tidak djarang diadakamija setjara kurang mendalam perbandingan lembaga2 hukum atau aturan2 hukum jang ditjabut keluar dari hubungan bentuknja masing2 ; perbandingan serupa itu mengakibatkan kesalah fahaman dan atjap kali pengani- ajaan. Sudah barang tentu sangat lain halnija soal betapa penting arti daripada ilmu hukum Barat beserta para ahfi-bukum jang te r­didik olehnja , untuk ilmu hukum-adat itu, arti mana karena besar- nija sukar untuik dilampaui.

Bahan2 untuik lukisan ini adalah tertimba dari „Adatrecht”-nja Van Vollenihoven dan karangan- tentang hukum-adat berikuitn-ja beserta keputusan2 jang diumumkan ; sebagai penutup daripada bab ke-empatibel’as akan dituturkan sedikit lebih landjut tentang ,pe­makaian sumber2 ini dan dalam 'bab jang terachir disadjikan sebuah ichtisar selajang pandang dari adanja tempat2 jang menghasilkan bahan2 tadi.

Beberapa bahan adalah terpetik dari naskah2 studen2-tahun- kel'ima.

Hukum tertulis untuk Bumiputera (mengenai perwalian, perka- winan-Kristen, perkumpulan kooperasi, pelajaran laut dan sebagai- uja) tidak diibitjarakan dalam buku ini, melainkan hanja disebutkan sadija kadang2.

Mengenai urutannja bab" : 'bab pertama — pada pokoknja mem­bahas susunan masjarakat^hukum — mungfkin akan dapat -disusul baik dengan bab tentang ¡hukum-tanah, karena haknija masjarakat atas tanah ¡dalam pada itu adalah terkemuka, maupun dengan baiD tentang hukum-tkesanaksa udaraan (¡dengan hukum-perkawinan dan huikum-waris) karena dengan demikian diperoleh sambungan pada iipa jang telah dituturkan ¡tentang factor genealogis daripada ma- sjarakat2 i tu ; mungkin baik dengan bab temtanig huikurn perhu- tangan (schuktenrecht), karena soal ini berpusat pada pertolongan bertimbal badik dalam lingikungan masjarakat2, maupun kemudian dengan hukum-peilanggaran (¡delictenreeht), karena dalam pada itu masjarakatlaih jang mempunjai arti jan.g mutlak.

Telah terpilih urutan masjarakait^huikum, hukum-tanah, perdijan- djian2-tainaih dan. perdjandjian2 jang bersangkutan dengan tanah

¡hukum perhutangan — jajasan2 — hukum-perseorangan — hu- kum-kesanaksaudaraan — hukum-perkawinan — hukum-wairis — hukum-pelanggaran j '-hubungannja satu sama lain, sebanjak mung­kin diletakkan dengan djalan penundjukan2 (verwijzingen). Peri­ngatan2 singkat pada penutup mengenai pengaruh lamanja waktu, bahasa-hukum dan pembentukan hukum, kesemuanja mengandung maksud untuk mengingaitkan akan persoalan2 umum jang bertalian•dengan itu.

5

KATA PEN G A N TA R PADA TJETAKAN .K E-EM PA T.

Sesudah dalam tahun 1941 diterbitkan tjetakan kedua jang tali berubah, maka dalam tahun 1946 buat ketiga kalinja dikeluarkan tjetakan baru, jang dengan tidak tepat disebut „tjetakan ke-dua jang tak berubah” . M aka dari itu penebitan ini adalah tjetakan jang ke-empat, jang tekst-nja tetap tak berubah pula, ketjuali tambahan sebuah daftar singkat daripada buku2, jang diselenggarakan oleh Mr. H. Th. Chabot. Dari penjebutan buiku2 jang diumumkan se­sudah terbitnja buah tangan Ter Haar dalam tahun 1939 itu, ter- njaita, bahwa peladjaran hukum-adat sedjak itu tidak berhenti. Da­lam pada itu buku ini sendiri diterdjemahkan kedalam bahasa Ing­gris dan terdjemahannija itu pada tahun 1948 diumumkan di New York, dengan sebagai pendahuluan dibubuhi sebuah fatsal tentang latar-belakang ethnologis daripada hukum-adat, pula tentang kedu­dukan hukum-adat dalam organisasi urusan-hukum di Hindia Be­landa dulu, fatsal mana ditulis oleh porfessor E. Adamson Hoebel dan A. Arthur Schiller. Demikianlah hasil-karya Ter Haar jang patut mendjadi tugu-peringatan terhadap Ter Haar ini dapat di- hampiri oleh chalajak ramai jang dapat membatja dalam bahasa Inggris, hal mana sudah tentu akan memberi sumbangannja terhadap penjiaran pengertian tentang sistim hukum-adat, setjara lebih luas dari pada apa jang sudah mungkin sampai pada saat itu dulu.

Pada hemat saja buat sementara belum tiba waktunja untuk me- nindjau kembali buku ini. Memang benar, bahwa pendudukan Dje- pang selama tahun2 1942—1945 dan selama revolusi nasional beri- kutnja tidak membiarkan begitu sadja djalannja kehidupan-hukum Indonesia ini; sebaliknja : proses2 kepribadian (individualisering), perbeda2-an (differentiatie), dan persama-crataan (nivellering), pula proces pelenjapan (desintegratie) disana sini dimasjarakat Indone­sia, tidak boleh tidak dipertjepat oleh karenanja, akan tetapi ke­onaran2 politik dan sosial jang masih menimpa Indonesia pada se­karang ini belum mengidinkan penjelidikan setjara wetenschappe- lijk mengenai berlakunja kaidah2-hukum-adat janig baru.

Penerbitan tjetakan ulangan ¡jang tak berubah ini menjebabkan keberatan2 jang tertentu. Kita sadari sepenuh2-nja, bahwa istilah2 iang terdapat dalam buku ini — dimana perkataan „inlandsch” atau „mheemsch” jang dipergunakan itu — sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan zamannja, bahkan menjinggung perasaan djua. Untuk ini diminta maafnja para pembatja. Selandjutnja „staatsrechtelijke geldmgsgrondslag” (dasar berlakunija menurut ilmu tata-negara) sudah berubah sama sekali, sehingga halaman 11 — 14 dapat diang­gap tak terpakai Jagi seluruhnja. Tapi andaikata dulu harus me~

6

nunggu dibubuhinja perubahan2 jang perlu, maka ini akan menje- babkan banjak kelambatan, pada hal berhubung dengan kebutuhan dikehendaki terbitnja kitab ini selekas mungkin.

Namun masih tetap berlaku apa jang ditulis oleh Prof. Logemann dalam tjetakan „kedua jang tak berubah” — jang betulnja tjetakan ketiga — ialah bahwa pandangan jang mahir daripada T er H aar tentang asas2 dan susunan hukum-adat bu3t sementara tetap men- djadi ukuran, sehingga sekarang ini tjetakan ulangan jang tak beru­bah dapat dipertanggung-djawabkan djuga sepenuhnja.

Djanuari 1950.S O E P O M O .

Demifldan kata pengantar dalam tjetakan ike-empat pada pener­bitan buku ini dalam bahasa aslinja, jaitu bahasa Belanda jang diter- djemahkan kedalam bahasa Indonesia untuk pertam.a kali ini oleh K. Ng. Soebakti Poesponotto, seorang jang mempunjai reputasi tje- aierlang sebagai pegawai negeri jang radjin dan setia, dan terdjamin mengenai perwatakannja sebagai pedjuang kemerdekaan jang tidak bertjatjat.

Disamping itu beliau djuga adalah dosen dari Perguruan Tinggi ,,Hajam W uruk” (Swasta) di Surabaja idalam mata-peladjaran hu­kum adait, jang mendjamin segi-segi ke-ilmiahan dari tjara penter- djemahan buku ini kedalam ibahasa nasional kita.

Mengenai buku ini sendiri, rasanja penerbit tidak perlu menge­mukakan lagi betapa penting artinja dibidang ilmu hukum bagi In­donesia sendiri, sebab hal itu bukan sadja penting bagi mereka jang ingin memperdalam pengetahuannja tentang ilmu hukum dan bagi pedi'abat-padjabat kehakiman dan kepamongpradjaan jang daiavu pekerdjaannja seringkali menghadapi soal-soal jang bersangkutan dengan hukum adat, bahkan buku ini penting djuga bagi dunia ilmu pengetahuan hukum dumia, terbukti buku ini pada tahun 1948 -telah d.iterd jemahkan kedalam bahasa Inggeris oleh Prof. A. A. Schiller dari Columbia University bersama-sama dengan Prof. E.A. Hoebel dengan nama „Adat-law in Indonesia”, diterbitkan oleh Institute ofPacific Relations.

Pada penerbitan dalam bahasa Indonesia jang pertama ini penja­lin telah m e n g u s a h a k a n untu.k memasukkan ikedaiamnja istilah-isti- lah baru. W alaupun demikian halnja, tidaklah menutup kesempatan bagi p e n e r b i t untuk meminta maaf ikepada para Guru Besar, para D o s e n , para Maha Siswa, para Hakim, para Djalksa, para Pamong Pradja dan lain-lam jang menggunakan b u k u ini untuk memberikan kuliah, untuik tbeladjar dan/atau untuk pegangan dalam menghadapi m a s a l a h - m a s a l a h hukum dan 'kepamongpradjaan atas segala keku­rangan jang selalu m u n g k i n ada.

Djakarta, 1960. P R A D N J A P A R A M I T A .

7

ISI.

H A L .ANTAR KATA (DARI PENULIS) .................................................. 3KATA PENGANTAR PADA TJETAKAN KE-EMPAT .............. 6ISI................................................................................................................. SF ATS AL PENDAHULUAN .................................................................. 11

D a sa r berlakunja hukum -adat m enurut ke ta tanegaraan ( daL l2) ............................................................................................ H

BAB PERTAMA : SUSUNAN RAKJAT ............................................ 151. M asja rak a t2-hukum dalam lingkungan rak jat (tjo -

rak 2 umum (15)_dan bentuk2 chusus (30) ) ......... 152. Lingkungan raidja2 ............................... ........................... 483. P edagang2 sebagai orang2 luaran m asjarakat ........ 514. Pelan tjaran susunan rad ja2 dan susunan guberne-

m en kedalam m asjarakat2 .............................................. 52

BAB KE-DUA : HAK2 ATAS TANAH ............................................ 56L H ak pertuanan (beschikkingsrecht) daripada

m asjarakat2 .......................................................................... 562 - H ak 2 perseorangan (dalam ketertiban hukum :

m asjarakat2, kerad jaan2 dan gubernem en) ............... 73BAB KE-TIGA: PERDJANDJIAN2 TANAH (GROND-

TRANSAKTIES)............................................................................. 83Pendirian dusun ............................................................ 83

2- Pembukaan tanah perseorangan ............................... 85P erd jan d jian 2 tanah segi-dua didalam lingkungan m asjarakat2 (gadai-tanah (93 ), d jual tanah (99)nienjewakan ta n a h (100) ) ............................................. g jM enjendirikan tanah .......................... ......................... jqq

5- Penghadiahan ( toeschenking) tanah ....................... 1016- Penghibahan (toescheiding) tanah .......................... 101'f* Surat akte ......................................... .................... 1028- Perdjandjian2 tanah diluar lingkungan m asjarakat2 103

BAB KE.EMPAT: PERDJANDJIAN2 JANG BERSANGKUTANDENGAN TANAH .................................................................... 105l - Perd jandjian .paruh-hasil-tanam (deelbouw) ....... 1052 ' S<hva .......................................... ......................................... 1083 - G abungan paruh-hasil tanam dan sewa dengan ga­

dai tanah ......................................................... ............... 109

8.

H A L .-}. T a n a h sebagai pend jam inan ( z e k erh ek ls te llin g ) ... 1]]5. P e rb u a tan pu ra- (sc h ijn -h an d eh n g ) ............................ i 136. P enum pang rumaih (.bijwoner) dan penum pang

pekarangan (opw oner) ......................................................... 1157. M em berikan tanah dengan hak-pakai ........................... 115

BAE KE-LIMA: HUKUM PERHUTANGAN(SCHULDENRECHT) ..................... .................................................. U 71. H a k 2 a ta s rum ah2, tanama-n", ternak. barang- ........ I I 72. P erbuatan kred'iet, to long-m enolong satu sam a lain

dan bertinilbal balik ................................................................ 121>. Perkum pulan2 .............................................................................. 12-4

4. P e rb u a ta n ” krediat perseo rangan .................................... 1265. M eru g ik an penag ih2 h u tang ............................................ J 306. A lat pengikat, tanda jang kelihatan ........................... ¡31

BAB KE-ENAM: JAJASAN- (STICHTINGEN) ........................ 1361. W akap (vrom e stich ting) .................................................. 1362. Jajasan (stich ting ) ................................................................ 137

BAB KE-TUDJLIH : HUKUM-PERSEORANGAN .......................... 1391. K ebadanan hukum ( rechtspersoonlij'kheid) daripada

perkum pulan2 .......................................................................... 1392 . P erseo ran g an - m anusia (natuurlijke personen).

K etjakapan berbuat (handelingsbekw aam heid ) ...... 140

BAB KE-DELAPAN: HUKUM-KESANAKSAUDARAAN ............. 1431. P erhubungan d ian ta ra anak terhadap kedua o rang-

tuan ja ......................................................................................... 1442. Perhu 'bungan d ian ta ra anak ter*hadap g o lo n g an 2

sanak sau d ara ........................................................................... 1473. Pem eliharaan a n ak 2 piatu ..................................................4. Pengam bilan-anak .............................................................. . 1^3

BAB KE-SEM BILAN: H U K U M -PER K A W IN A N ................................ 1:501. Bentuk2 perkawinan (perikawinan^-pinang. — lari

bersama, — baw a lari (159) ; perkaw inan2-djudjur,— mengabdi, — tukar-m enukar, — m engganti dan perkaw inan-m eneruskan (164) ; perkawinan dengan pem bajaran2 lain atau tanpa pemiba.jaran2 (164) ; perkaw inan-am bil-anak (164) : perkaw inan kanak'-(175) ; perm aduan (175) ; pengaruh agaima Islam dan agam a Kristen atas pelaksanaan perkaw inan(176) ) .................................................................................... 158'

o

H A L .

2. Pertjeraian perkawinan (pertjeraian menurut hu-kum-adat (179); pengaruhnja agama2 besar (183) ; lembaga2 Islam mengenai pertjeraian perkawinan (184) ; hukum Kristen mengenai pertjeraian perka­winan (187) ; akibat2-nja perputusan perkawinan (188) ) ............................................................................... 179

3. Hukum harta-benda-perkawinan (barang2 asal dariwarisan (189) ; barang2 jang diperoleh atas usaha sendiri (190) ; harta-benda-perkawinan sebagai mi­lik bersama diantara suami dan isteri (192) ; barang2 jang dihadiahkan kepada suami dan isteri bersama (196) ) ............................................................................. 189

BAB KE-SEPULUH. HUKUM WARIS ........................................... 1971- Harta-peninggalan jang tak terbagi2 ....................... 1982. Penghibahan2 dan wasiat2 ................ ........................... 2033. Pembagian harta-peninggalan ..................................... 2074. Ahli waris ...................................................................... 2085. Bahagian2 daripada harta-peninggalan ................... 212

BAB KE-SEBELAS. HUKUM-PELANGGARAN(DELIKTENRECHT....................................................................... 218

BAB KE-DUABELAS. PENGARUH LAMANJA W AKTU......... 226

BAB KE-TIGABELAS. BAHASA-HUKUM ...................................... 230

BAB KE-EMPATBELAS. PEMBENTUKAN HUKUM-ADAT ........ 235

BAB KE-LIMABELAS. KESUSASTERAAN HUKUM - A D A T........ 241

DAFTAR KETJIL DARIPADA SINGKATAN'2 ............................. 253

DAFTAR DARI ADANJA LINGKUNGANP-HUKUM DAN ANAK2-LINGKUNGAN-HUKUM .............................................................. 254

DAFTAR SOAL2 .............................. ..............................*..................... 258

DAFTAR ISTILAH* PRIBUMI .......................................................... 251

10

FATSAL PENDAHULUAN.D A SA R D A N L IN G K A R B E R L A K U N JA H U K U M -A D A T

M E N U R U T K E T A T A N E G A R A A N (D A L IL 2).

M engenai artin ja peraturan- wet, jang m enentukan tem patnja dan batas2-nja hukum -adat (-sipil) orang2 Indonesia dalam ling­kungan keseluruhan hukum di H india Belanda, terdapatlah sedjak dulu sampai sekarang banjak perbedaan p en d ap a t1). D isana sini saja pernah ambil bagian dalam pem bitjaraan mengenai masalah rni tapi dalam buku ini hanja saja tjantum kan sadja pendapat saja dalam bentuk dalil2. Bilamana saja harus membentangkan (mau tidak mau setjara pandjang lebar) alasan2-nja daripada apa jang harus berlaku dalam pada itu, maka tindakan saja ini akan mendjadi : menulis apa2 „sekitar” hukum-adat, pada hal mestinja ,,tentang” hukum-adat, hal mana sebagaimana telah ditundjuk oleh V an Vollenhoven merupakan suatu penjakit daripada lebih dari sebuah karangan.

I. Dalam alam peradilan-gubernemen untuk Bumiputera (In- landse gouvernementsrechtspraak) (djuga seberapa djatih ia meli­puti kaula2 landschap) (landschaps-onderhorigen).

1. Hukum-adat-sipil berlaku atas B um iputera2) oeraasarkan atas fatsal 131 a ja t 6 Indische Staatsregeling, seberapa djauh hu­kum sipil itu tidak diganti dengan ordonnansi2 (menurut wet) atau dengan hukum untuk golongan-Eropah (Europeanen-recht) jang sudah ditaikluiki m enurut batas2 jang sudah ditentukan oleh wet.

2. O rdonnansi2 jang telah ditetapkan sebelum 1 D januari 1920 dan jang m engatur hukum-sipilnja Bumiputera, harus berupa per- n jataan berlakunja (toepasselijk verklaring) undang2-untuk-golo- ngan-E ropah — kalau perlu sesudahnja diubah .— (fatsal 75 lama R egeringsreglem ent), itupun untuk sahnja dan untuk dapat di­berlakukan oleh hakim atas Bumiputeri.

3. O rdonnantie2 jang ditetapkan sesudah 1 Djanuari 1920 dan jang m engatur hukum-sipil Bumiputera harus :

1) Berhadapan dengan Van Vollenhoven dalam „Het Adatrecht van Neder- landsch-Indie" mengenai lebih dari satu so a l: dr. (mr) I. A. Nederburgh, Hoofd- stukken over adatrecht 1933 ; bertentangan dengan itu „Nederburgh over adat­recht" dalam Ind.T.v.h.R. 138 (1933) hal. 723; repliek dari Nederburgh dalam T. 139 (1934) hal. 477 (Adat- tegen W estersch recht).

2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) disini tidak dibitjarakan ; •djuga „perhubungan2 intergentiel" tidak.

11

a. berupa pecajataam benlakunja (toepasselijk verklaring) keten- tua/n2-hukum-untu)k-golongan-Eropah — seberapa perlu sesudahnja diubah — atas golongan-Bumiputera : itupun bilamana terdorong oleh 'kebutuhan2-m asjarakat jang ternjata ada dikalangan Bumipu- tera atau sebagian dar'padanja ;

b. Bumiipuitera dan golongan-Eropah diatur dengan peraturan- bersama djadi satu ; itupun bilamana terdorong oleh kebutuhan2- m asjarakat jang ternjata ad'a dikalangan Bumiputera atau sebagian daripadanja ;

c. lain dari pada iitu (bila t i d a k ternjata ada ’kebutuihan-ma- sjarakat jang serupa itu dikalangan. Bumiputera) dihormatilah hu- kum-aidat, tapi dapat menjimpang dari itu bilamana terdorong oleh kepentingan ¡umum atau oleh kebutuhan2-masjaira!kat jang ternjata ada dika'langan Bumiputera itu (fatsal 131 ajat 2 b Indisohe Staats- reg-eling).

-4. M engenai perintahnja wet supaja tidak diberlakukan hukum- adat ibila ia bertentangan dengan ,,asas2 jang sudah diakui umum daripada kepatutan dan keadilan” (fatsal 75 lama Regcringsregle- ment ajat 3 penutup) — dan perintahnja wet supaja dipakai sebagai pedoman : asas2 umum daripada hukum-sipil dan hukum-dagang untuk golongan Eropah itupun bilamana harus diputus „perkara2”'( „zaken") jang ,,tidak diatur” (,,niet geregeld” ) dalam hukum- adat (fatsal 75 lama Regeringsreglement ajat 6). maka kedua pe­rintah itu tidak berlaku lagi sesudah 1 Djamiari 1920 karena pera- turan2 itu olelh fatsal 131 ajat 6 Indische Staatsregeling tidak di- pertahanjkan.

Mengenai takluk dalam anggapan (veronderstelde onderwer- ping) (fatsal 29 Staatsblad 1917 no. 12) mana kala Bumiputera menindakkan perbuatan-hukum jang diatur dalam hukumnja go­longan Eropah tapi „tidak diatur” dalam hukum jang berlaku un­tuk gofongannja, maka takluk sedemikian itu hanja berakibat bahwa a u hukum tentang wissels, orderbriefjes dan surat2 serupa itu ber­laku atas Bumiputera itu.

II. Dalam alam peradilan Pribumi (Inheetnse rechtspiaak) di~ i aerah jang langsung dibawah perintah gubernemen ( rechtstreeks be&tuurd gebied).

A- 5. Tentang alam ini jang meliputi — ketjuali pembatasan2 oleh atau berdasarkan ordonnantie — penduduk Bumiputera Atjeh Raja dan Sinigikel seluruhnja ; Tapanuli Utara, Nias dan Padang Lawas ; Korintji dan M entawai ; Benkulen luar ibu kota ; Palem­bang luar ¡bu 'kota ; Djambi luar ibu kota ; bekas Kesultanan Ling- ga-Riauw ; Kaliimantan Barat dibagian jang langsung dibawah pe-

rintah giibernetmen, luar ibu kota ; M ahakam Hulu dan Pasir ; G o­rontalo ; Laikang (ditambah beberapa mas;'arakat2~adat) ; Maluku jang langsung dibawah perintah guibernemen (ke.tjuali ¿bu kota Ternate, Banda. Ambon dan. kepulauan O l'aser) dan Lombok, ma­ka disitu jang berlaku ialah hirkum-sipil-ad'at, hukum -pidana-adat dan hukum-atijara-adat, sepandjang tidak diganti dengan ,,alge- mene verordeningen" atau (mengenai hukum-pidana dan hukum- atjara) tid'alk diganti dengan ,, res i d e nt s ve rord e ning e n ", keseniuanja jang dengan tegas dinjatakan berlaku dalam lingkungan2 situ (fat- sal 130 dan 131 ajat 5 ..Ind'ische Staatsregeling” ).

6. O rdonnantie tertanggal 18 Februari 1932 Staatslblad no. 80 jang terachir d'iubah dengan ordonnantie tertanggal 23 Djuni 1938 staatsblad no. 371 dengan da fta r2-n ja dan pera tu ran2-peiaksanan- nja ( residenitsverordeningen) m engatur lingikar (om vang) berlaJku- nja hukum -adat seluruhnja.B. 7. M enurut hukum tata-negara maka p e r a d i l a n - d u ­s u n (dorpsjustitiie) jang dikaitkan pada peradilan gubernemen adalah suatu bagian daripada peradilan Pribumi dalam daerah jang langsung dibawah perintah gubernemen ; fa'tsal 3 a daripada „Re- glememt op de rechterlijke organisatie” jang ditambahkan dengan d jalan ordonnantie tertanggal 9 M aart 1935 staatsblad No. 102 memberi kesempatan untuk 'beriakunja peradilan-dusun itu, dengan tiada mengurangi1 -keutuhan kekuasaan mengadili (rechtsmacht) hakim2 guibernemen ; dalam linglkungan peradi'lan-dusun itu jang . beriaiku hanjalah hukum-adat.

III. Dalam alam pcvadilan-landschap (landschapsrechtspvaak).

8. M engenai alam fiii — jang meliputi :a. kaulaMand'Schap (landsschapsonderhorigen) daripada land-

schap2 dalam Hindia Belanda, ketjua'li ¡bilamana berdasarkan -kon- trafct atau menurut ..zelfbestuursregelen" kelkuasaan-mengadili atas kaula2 itu diserahkan kepada h a'k i m- gu b e m emen (didaerah2 swa- pradja di Djawa hampir semua kekuasaan-mengadiii diserahkan kepad'a hakim-guibernemen, 1) dan dilain2 tempat kekuasaan-menga­dili dalam 'hal2 .peilkeitjualian sadja jang diseraihkannja) ;

¡b. kaula2 gubernemen (lan'dsonderhorigen) dalam dua-tiga hal- periketijualian, jaitu bilamana mereka dudu pada waktu permukaan pemeriksaan perkara adalah termasuk kaula landschap atau i a- mana perkara itu mengenai tanaih2 milik jasan, mengenai ruma - dan 'tanaman2 jang lebih dani satu tahun umurnja (overjariig), benda2 mana kesemuanja jang terletak didaerah lanidschap situ , ~ maka jang berlaku dalaim alam itu ialah hukum-sipil-adat, hukum- pidana-adat dan hukum-atjara-adai (kaidang2 dalam bentuk ,,zelt-

1) Peraturan istimewa mengenai Atjeh, Kalimantan Barat, landschap2 Mana­do, Temate sudah hampir tiba saatnja untuk dihapuskan (Desember 1938).

13-

bestuursverordeningen), sepandjang tidak diganti dengan ordon- nantie2 ■— jang dengan tegas dan berdasarkan wenang jang diberi­kan kepada gubernemen menurut ,.kontrakt” atau „korte verklaring” (kontrakt pendek) — jang dinjatakan berlaku buat alam situ ; dan mengenai hukum-pidana dan hukum-atjara sepandjang tidak di­ganti dengan „residentsverordeningen” (fatsal2 12 dan 13 „Zelf- bestuursregelen 1938” dan ketentuan2 jang sesuai dengan itu dalam ..kontrakt2 pandjang” ; bandingkanlah fatsal 21 ajat 2 Indische Staatsregeling).

IV. Dalam alam peradilan agama (godsdienstige rechtspraak).

9. Hakim2 peradilan agama jang berkekuasaan-mengadili •— kekuasaan mana berbatasan dengan kekuasaan hakim2 peradilan gubernemen .— terdapat di Djawa dan Madura, di'ibu2 kota Pa­lembang dan Djambi, dikota2-pantai di Kalimantan dan di Ternate. Kekuasaan-mengadili daripada „sjarat2” di Sulawesi Selatan tidak diakui (lagi) oleh jurisprudentie ; bagaimana halnja di Padang dan di Ambon, maka rupa2-nja tiada kepastian.

10. Dalam alam hakim2 ini, jang mengadili orang2 Islam — se­pandjang menurut hukum-adatnja sekarang dan ordonnantie me- ngidinkan bahwa perkara2-nja diadili oleh seorang hakim peradilan agama — jang berlaku bukannja hukum-sipil-adat buat perkara2- nja itu, tapi hukum fikih Islam, jang walaupun demikian, dalam be­berapa soal telah terpungut (opgenomen) dalam hukum-adat (fat- sal 134 ajat 2 Indische Staatsregeling).

13* ^ a< a sekarang ini hakim peradilan agama di Djawa dandi Kalimantan Tenggara itu berkuasa mengadili hanja perkara2 jang harus diputus menurut hukum-perkawinan (huwelijksrecht), ketjuali

i amana Burgeriijk W etboek berlaku atas perkara itu (fatsal 2 o. aripada staatsblad 1882 No. 152 (Djawa) jang telah ditambah

staats^ ad 1937 No. 116, dan fatsal 3 daripada staatsblad 1937 No. 638 (Kalimantan Tenggara).

12. Didaerah2 luar Djawa lain2-nja maka kekuasaan-mengadili daripada hakim peradilan-agama itu terdiri dari mengadili perkara2 antara orang2 Islam satu sama lain, jang menurut hukum-adat da­lam masing2 lingkungannja harus diadili oleh hakim.2 peradilan agama, Biasanja perkara2 itu adalah perkara2 jang mestinja diadili menurut hukum-perkawinan, hukum-waris dan hukum-wakap.

H

BAB PERTAMA. SUSUNAN RAKJAT.1. M ASJA RAKA T2-H U K U M D IK A LA N G A N RAKJAT.

A. T ¡orak2 umum.

Bilamana orang meneropong suku bangsa Indonesia manapun djuga, maka tampaklah dimatanja dilapisan bagian bawah jang amat luasnja, suatu masjarakat jang terdiri dari gerombolan2 jang bertalian satu sama la in ; terhadap a l a m j a n g t a k k e ­l i h a t a n m a t a , terhadap d u n i a l u a r dan terhadap a l a m k e b e n d a a n , maka mereka bertingkah laku sede­mikian rupa, sehingga untuk mendapat gambaran jang sedjelas2-nja gerombolan2 tadi dapat disebut masjarakat2-hukum (rechtsgemeen- schappen). Dalam pergaulan hukum maka mereka jang merasa mendjadi anggauta daripada ikatan2 itu bersikap dan bertindak se­bagai suatu kesatuan; beberapa orang 'berbuat apa2, semuanja beruntung atau m erugi; adalah suatu aturan batin jang menjebab- kan, bahwa beberapa orang atau golongan orang mempunjai hak- mendahulu, hak-lebih atau kekuasaan : adalah barang2, tanah, air, tanaman2, kuil2 dan bangunan2 jang harus dipelihara bersama2 oleh anggauta2-ikaitan, jang harus dipertahankan oleh mereka bersama2 dan didjaga kebersihannja untuk kepentingan kekuasaan2 gaib, jang hanja mereka sendiri jang mengambil manfaatnja dengan me- ngetjualikan lain2 orang : terdjadinja masjarakat itu dialaminja se­bagai takdir alam, sebagai sesuatu kenjataan daripada hukum gaib ; tiada seorang jang mempunjai pikiran atau timbul angan2-nja akan kemungkinan membubarkan gerombolan i t u ; jang mungkin buat orang seorang ialah hanja keluar dari gerombolan atau melepaskan diri dari rangkaian, itupun hanja mungkin terhadap persekutuan2 jang adanja tergantung dari daerahnja.

Ilmu ethnologie pada zaman sekarang telah dapat menemukan gambaran jang djelas mengenai faham2 asli Pribumi tentang kesa­tuan jang kokoh dan teratur daripada masjarakat2 itu, hal mana kadang2 dilambangkan dengan wudjud manusia dengan dua ba- giannja (tweedelingen), empat-ibagiannja (vierdelingen) dan tjara membeda2-kan lainnja, dimana orang2 pendjabat pangkat ditetap­kan kedudukamnja dalam organisasi; ilmu 'tadi amat besar artinja untuk memahami susunan awal-mula dipurbaikala daripada masja- rakat2 Indonesia jang bergandengan dengan pembeda2-annja (klassifikatie) alamnbesar (kosmos) maupun alam manusia.

Benda2 keramat daripada masjarakat2 misalnija punen-nja orang3 Pagai, pusaka-dusun (pusaka laman) daripada orang2 Dajak- Ngadju dan Dajak-K'lemantan, sendjata2-nja orang Toradja, per­

15

hiasan- pusaka di Sulawesi Selatan, batu2 daripada bagian'J-clan di Ambon, matapu di Sumba,lontav-désa di Bali dan lainfi-n'ja lagi, maika itu semuanja adalah perumahan2 berwudjud benda atau per- w udjudan2 daripada daja-hidup. ialah daja sakti daripada masja- kat2 ; kesemuanja itu adalah tanda2 jang n jaita daripada kesatuan- m asjarakat jang betul2 ada ; begitu djuga2 rumah-persekutuan sopo (Batalk), sesat (Lampung), balai (M elaju), bailéo (M aluku), balé (Sunda) dan seterusnja, pula kadang2 djuga perahu-m asjarakat bélan (dikepulaium Kei dan A ru).

Terhadap ielbiih dari selinglkungaa-hiukum (Kalimantan. Bali, Batak) maika pada -achir2 ini saban2 penhatian diibudjukan kepada maksud-pokok jang bersifat peribadatan daripada masjarakat2 ;tu, ialah bahwa mereka merasa mendjadi anggauita perikatan itu karena merasa sama2 berwadjib menindakkan ibadat-sihir (religieus-ma- gische verricht'ngen) itu. Dalam masjarakat2 itu ternjata, bahwa persambungan kekerabatan, jaitu hubungan antara mereka berasal dari keiturunan satu leluhur, ada kalanja beranti mutlak atau pen­ting, ada kalanja tak seberapa artinja atau sama 'sekali tak berarti, teiihadap bentuk susunan masjarakat2 itu. Disatu fihak masjaraikat keítjil2 itu — 'beserta penghulu2 raikjat-nja dan ketua2 keraibatnja. pula atjapkali beserta sendi2-nija jang teratur'berupa kelas2 ■— nam­pak ke.paaa k:ta sebagai masjaraikat2-ihukum ; d'isitulah hukum-adat sebagai endapan daropada kenjataan2 sosial, dipungut daripa.danja dan oleh karenaraja didu'kungnja pula ; disitu pulalah hukum-adat dalam proses abadi di'bentuk dan dipelihara oleh dan dalam k e - p u t u s a n 2 pemegang2 kekuasaan (penghuiu-rakjat dan ra­pat2) jang didjatuhkan atas sesuatu tind akan- hukum atau afcns se­suatu perselsihan.

Dilain fihak maka m asjarakat2 itu dengan hak2 atas tanaiinja, atas^air dan tanam an2-nja, atas bangunan.2Hnja, benda" keram at dan lain.'- !b a ra n g 2 miliknya, nampak pada ki'ta s e b a g a i subjek’-hukum (rechtssulbjecten) jang turut serta dalam pergaulan hukum.

Bila dirumuskan sesingkat2-mja maka persekutuan2 itu dapat di­sebut : gerombolan2 jang teratur bersifat tetap dengan mempunjai kekuasaan sendiri, pula kekajaan sendiri berupa benda jang keli­hatan dan tidak kelihatan mata.

U ntuk m enginsjafi bagaim ana bentuk dan. susunan persekutuan2- liukum dikalangan rak jat di N usantara inli, maka terutam a orang harus tahu akan arti faktor2 territorial (daerah) dan genealogis (keturunan) bagi itimbuk'ja dan kelangsungannya m asjarakat2 itu.

Masjarakat — hukum. dimana faktor t e r r i t o r i a l , jaitu

16

adanja bersama- terikat pada sesuatu daerah jang tertentu — be­lum atau tidak penting ibaginja, adalah djarang terdapat dan dimana ada, keadaannja tak berarti. Suatu misal jang tepat untuk itu ialah suku-bangsa Gajo, terdiri dari clan2 jang berdiam berserak dan hanja terikat satu sama lain oleh hubungan'- clan. Kini rupa2-nja keadaan sedemikian itu berubah. Dekalangan banjaik suku2 'bangsa ada tanda- bahwa mereka djuga terikat oleh ikatan2 clan, Jepas apakah mereka mendiami daerah jang sama atau tidalk. M asjarakat" sedemikian itu mungkin adalah masjaralkat2 territorial belaka, tapi bukannja masjaraikat2-'hukum, bagaimanapun mungkin penting nja dipandang dari sudut lain. Atau, ibi'la sdbutan „buikan masjarakat2- hukum" ini agak keterlaluan, dapat djuga disebut masijarakat2-hu- kum (reohtsgemeenschappen) tapi jang amat terbelakang keduduik- annja sosial sebagai masjaralkat-ihukum ; misalnya ada tindakan ke­luar bersama2 dan teratur hanja pada hari-peringatan sesama ‘bapa leluhur 'jang maka m nja merupakan tanda persambungan bagi m e­reka semuan;ja.

Sebalilknja masjarakat-, dimana fa(ktor g e n e a l o g i s tidak berarti •— j a itu faktor terikatnja satu sama lain karena keturunan jang sama — dilkepulauan Indonesia ini ada banjaik. Desa di Dja- wa, Sunda, Madura, Bali, gampong (meunasah) di Aijeh, dusun2 didaerah Melaju, di Bangka dan Belitung, selbagian daripada ga­bungan2 wiilajah di Sumatra Selatan, gabungan2 dusuin dan wilaijah" di Sulawesi Selatan, negorij di Minahasa dan di Ambon — masja­rakat2 itu semata2 bersifat territorial, walaupun hubungannia de­ngan susunan genealogis dipelbagai masjarakat itu ada terang.

Terhadap masjarakat2 territorial ini harap diperhatikan sekarang djuga (lihatlah pula halaman 27) bahwa orang2, jang bersama2 mendiami dusun atau gabungan-wilasjaih, mereka itu djuga merupa­kan suatu g o l o n g a n , suatu k e s a t u a n , dengan ke­kuasaan pembelaananja keluar dan dengan pen jusunannja kedalam. Seseorang jang buat sementara berada dalam rantauan dapat tetap mendjadi anggauta masjarakat tadi ; seseorang jang datang dari luaran dapat djuga masuk mendijadi anggauta golongan itu, tapi untuk ini tidak tjiukup ia datang bertempat tinggal begitu sadja da­lam dusun, melainkan oranig itu harus d juga di'ifdinlkan masuk dalam golongan dimasijarakat (territorial) itu dan orang itu harus dipu­ngut masuk kedalam ikatan raja, jang dipefoharanlja dengan djalan tolong menolong satu sama laift. Kadang2 dan terhadap beberapa orang (relkanan sendiri) masuknja itu ada mudah, ditempai lain dan terhadap orang2 lain (oarng2 luaran) masuknja ada sukar atau ta/k mungkin sama sekadi. Soal sudah mendjadinja anggauta masja- rakat „sedijak duilu kala", djad'i djuga terhitung menurut ukuran

17

faktor kekerabatan dan keturunan, adalah faktor penting buat ke­dudukan anggauta itu dalam m asjarakat territorial ini.

K e d u a f a k t o r ini, ialah faktor genealogis dan faklor territorial, menetapkan bentuk dan susunan uma di Mentawai, euri di Nias, huta dan kuria di Baitaik, nagari di M inangkabau, marga dan dusun disebagian Sumatra Selatan, suku2 di Kalimantan, du­sun2 dan gabungan2 wilajah di Toradja, di Timur Besar dan kepu- lauan Timor. M aka dari itu penting sekali saban2 mengenal hasil paduan setempat daripada kedua faktor tadi.

Sebelum melukiskan beberapa misal jang kongkrit, maka dapat ditetapkan garis2 besar, titik2 perbedaan umum dan persamaan umum, agar supaja faktor genealogis dan faktor territorial itu lebih terang dapat dibeda2-kan dan selandjutnja dapat ditetapkan.

M engenai i k a t a n g e n e a l o g i s 'timbullah pertama2 kebalikan susunan vaderrechtelijk (hukum keturunan fihak bapa) dan moederrechtelijk (hukum keturunan fihak ibu), susunan paren- taal (hukum keturunan fihak2 bapa dan ibu) dan alternerend (hu­kum keturunan fihak bapa dan fihak ibu, berganti2). (Batjalah di- bagian hukum kekerabatan, halaman 147 dst.).

Susunan berhukum bapa (vaderrechtelijk) ialah suatu aturan, dï- mana persamaan keturunan (keturunan sedjati atau keturunan da­lam anggapan belaka) dari sesama bapa leluhur menetapkan ter­masuk golongan kaum mana seseorang dalam susunan kekerabatan- nja, tergolong c l a n atau b a g i a n - c l a n mana ; dan golongan2 itu hidup sebagai kesatuan2 sosial dan oleh karenanja dapat dikenalnja.

Nias, Gajo, Batak dan sebagian penduduk Lampung adalah misal jang tepat buat susunan vaderrechtelijk, di Bali susunan sedemikian itu masih benar2 kentara njata, di Maluku dan dilkepulauan Timor ia banjak terdapat pula.

Berhadapan dengan itu (di Minangkabau, Krintji, Semendo dan dikalangan sementara suku2-bangsa ketjil2 di Timur Besar) terda­patlah susunan berhukum ibu (moederrechtelijk) (huikum keturunan dari fihak ibu) ; disini jang mendjadi patokan buat tempatnja dalam ikatan ialah persamaan keturunan menurut garis perempuan dari satu ibu-leluhur, dan golongan jang terikat menurut sistim itu tadi, ialah bagian-clan, adalah terbesar artinja bagi kehidupan hukum. Pada susunan kerabat satu-segi (eenzijdig) itu afcjap kali terdapat aturan exogamie, jaitu larangan beïikawin dengan sesama anggauta clan atau bagian-clan. Bilamana dalam sesuatu masjarakat terdpat kedua matjam susunan kerabat itu, jang 'teratur sosial dan sebagai golongan dapat dikenal terang, seh’ngga masing2 anggauta baik termasuk clan patrilineal (clan bapa) maupun termasuk clan matri-

18

lineal (clan ibu), maka keadaan sedemikian itu dalam hufcum-adat dapat disebut „dubbel-uniJateraal” ; mungkin buat Indonesia masai buat itu ialah kepulauan Timor (Mollo di Timor, suku Kodi di Sumba ?) ; di Melanesia misal2 itu akan lebih mudah terdapat.

Berhadapan dengan itu, maka dilain2 tempat, misalnja diban.jak daerah di Kalimantan dan Sulawesi, faktor genealogis t.'dak terda­pat disusunan kerabat satu-segi (di-clan2), akan tetapi terdapat disusunan dua-segi (tweezijdig) atau disusunan parenteel ; disitu maka golongan2 kerabat baik dari fihak bapa maupun dari fihak ibu umumnja sama artinja bagi perhubungan2 huikumi.

Dengan djalan „endogamie", jaifcu berkawin dalam suikunja sen­diri (ini bukannja suatu keharusan, melainkan suatu kebiasaan) maka susunan2 parenteel sedemikian itu dapat mempertahankan t^atan2-nja (kearah semua fiihak) didalam suiku sendiri. Pada achir- nja : didaerah seperti Redjang, maka dasar kekerabatan bukannja patrilineel dan buikannja parenteel, akan tetapi dasarnja tergantung dari bentuk perkawinan ; jaitu bentuk perkawinan dimana anak termasuk clan-nja bapa (oleh karenanja djuga disebut perkawinan hukum bapa = vaderrechtelijk huwelijk) hal mana sama senngnja terdjadi dengan bentuk perkawinan, dimana anak termasuk clan-nja ibu (susunan-kerabat satu-segi „ b e r g a n t i 2 " = a l t e r - i/e r e n d eenzijdige verwantenorde, halaman 150) ; disamping itu ada lagi bentuk perkawinan ketiga, dimana anak sama keduduk­annya terhadap clan-nja bapa dan clan-nja ibu (tambahan lagi da­lam keadaan2 jang tertentu memindahkan anak dari clan-nja ibu ke clan-nja bapa djuga mungkin, hal. 157. Djuga dtpulau2 disebelah Timur terdapat beberapa misal daripada susunan ..berganti2 (alternerend) itu).

Mengenai s u s u n a n t e r r i t o r i a l dapat digambarkan dengan membeda2-kan tiga bagian, hal mana tidak berarti m e m b u a t tiga golongan jang aikan dapat meliputi keadaan senjata2-nja, me­lainkan tiga bagian itu berarti tiga pusat jang masiny2 m e n d j a d i pusatnja pelbagai bentuk2 tetap dan 'bantu'k2 peralihan. Ketiga d je­nis itu ialah : masjarakat-dusun, masjarakat-wilajah dan gabungan- dusun2 (de dorpsgemeensohap, de streekgemeenschap en de dor- penbond).

Bilamana satu tempat kediaman ketjil menghimpun ummat ma­nusia djadi satu ditempat situ sendiri ■— mungkin dengan meliputi perkampungan2 (pedukuhan2) jang berdiri sendiri dan agak djauh dan terpentjil letaknja — dan bilamana dalam pada itu penghulu masjarakat dan pendjabat-masjarakat lainnja semua njatanja

19

i

bertempat tinggal dipusat 'kedudukan ditempai situ djuga djadi satu, maka disitulah ada masjarakat-dusun jang tepat, ialah misal- mja : desa di Djawa dan Bali.

B.'lamana saban2 disesuatu daerah ada beberapa tempat kediaman ketjil, walaupun sedikit banja/k mempunjai kedaulatan dan peme­rintahan kepala2-nja sendiri sedjenis desa tadi, akan tetapi meru­pakan ¡bagian2 daripada satu masjarakat jang meliputi bagian2 itu semuanija, maka disimilah terwudjudnja m asjarakat-wilajah (streek-gemeensohap) jang tepat; ia mempunjai batas2 sendiri, pemerintahan sendiri, pula mempunjai ,,hak-pertuanan" (beschik- Kinigsrecht) atas tanah jang belum dibuka sedjak dulu 'kala, terletak ditengah2 dan sekelilingnja ladang2 jang masih dikerdjakan atau sudah ditinggalkan ; didalam lingkungannija maka dusun2 jang sam­pai tingkatan jang tertentu berdiri sendiri, mempunjai kedudukan dalam organisasi seluruhnja, termasuk dusun2 tadi 'baik tempat ke- d:aman jang pertama, ialah m duk-dusun, maupun dusun2 jang pada tingkatan achirnja berasal dari induk-dusun itu, ialah dusun bawahan, m:sal2 dari pada masjara)kat2-wilajah (streek-gemeen- schappen) jaitu : kuria beserta Ziuia-nja di Angkola atau M andai­ling, marga beserta dusun-nja di Sumatra Selatan.

Bilamana m asjarakat2- dusun jang mempunjai pemerintahan dan uaerah sendiri letaknja bersandingan satu sama lain dan bersama mengadakan perserikatan untuk memelihara kepentingan2 bersama (membikin saluran air, pertahanan bersama melawan musuh, per­adilan) atau memelihara hubungan satu sama lain berdasarkan atas asal mereka, dalam pada itu ada pemerintahannja jang bersifat ker- dja-sama dengan pemerintahan2 dusun itu, sedangkan tak ada hak- pertuanan (beschikkingsrecht) pada perserikatan itu, maka itulah jang disebut gabungan-dusun2 (dorpembond) ; misalnja didaerah Batak bagian tengah.

D jadi, dusun (jang ketjil) itu diantara tiga bentuk tadi adalah suatu pusat hidup daripada masjarakat ummat manusia jang berdiri sendiri atau terikat dalam persekutuan jang lebih tinggi atau meme­lihara hubungan dengan lain2 m asjarakat2 jang sedjadjar, setjara tak tetap, untuk kepentingan bersama. M engenai bentuk apa jang dipilih m asjarakat2 ketjil2 itu dalam hal ini, maka faktor iikatan genealogis daripada golongan2 penduduk itu besar artinja.

Karena beberapa keadaan maka dapat terdjadi bahwa bentuk2 •■adi tidak menotjoki keadaan2 jang senjatanja dan pertjampuran tangan dari luar menjebabkna bentuk2 menurut hukum-adat itu suikar akan dikenal kembali.

Disatu fihaik terdapat gabuingan2-wilajah, jang terdiri dari satu induik-daerah-kediaman dari mana lain2 tempa t-kedudukan itu me-

20

njiar, akan tetapi terhadap si-induk tetap bersikap sebagai muda terhadap tua ; dilain fihak terdapat djuga dusun2 jang pedukuJian-- r.ja mendajdi sebesar dusun2 sendiri, tapi tak sampai mendjadi se- djadjar penuh terhadapnja. Dalam hal ini, maka nagari di M inang­kabau mirip seperti laras di Minangkabau Selatan dulu (suatu gabungan-wilajah). Dusun2 jang digabungkan (lain misal) lambat laun disebut dusun pula, tapi pada hakekatnja mirip seperti gabu­ngan-wilajah setjara buatan. M asjarakat2 ketjil2 jang dalam ling- kungannja penduduknja berdiam tersiar dalam kelompok2 rumah- ketjil, rumah2 halaman-petani — seperti di M adura ■— menurut adatnja disebut d'hisa (dorp), sebagaimana di Sunda gabungan- wilajah djuga disebut desa. Sebutan2 desa dan nagari dalam arti etymologis adalah mengandung maksud gabungan2-wilajah (streek- gemeenschappen). Gabungan2-wilajah jang diakui sebagai swapra- dja, lalu disebut landschap2 (dan timbullah sebegitu banjak land- schap2 ketjil2). Perlingkupan2 jang tidak banjak setjara lalim meliputi gabungan2-wilajah adalah keradjaan2 dan landschap2 jang besar ; djuga antara kedua2-nja ini tidak ada batasnja jang tegas.

Dengan mengingat kedua pangkal-pengertian ini : beraneka-war- nanja susunan genealogis dan beraneka-warnan j a penggolongan2 ter- ritorial, maka pada sekarang dapat dibentangkan lebih landjut k e r d j a - s a m a k e d u a f a k t o r 2 i t u jang besar ar- tinija sehingga merupakan bentuk dan tjorak daripada masjarakat tersebut diatas tadi. Kenjataannja adalah begitu rupa, sehingga ba­tas2 daerah territorial itu — biasanja batas2 alam — (boleh dika­takan) memotong golongan2 kerabat dalam territoir itu dari golo­ngan2 kerabat ditempai2 lain ; masjarakat2-huikum genealogis2 tetap adalah bagian2-clan jang berdiri dan terbatas oleh terikatnja bersama2 dengan bumi didusunnja sendiri atau daerahnja s e n d i r i ,

suatu ikatan jang malahan terus berlaku atas mereka jang sudah pergi dari tempat situ sampai sangat lamanja tapi jang dalam po- koknja berarti hanja buat sementara sadja. Dilain fihak, maka ada- ii'ja bersama2 terikat pada bumi dusunnja atau daerahnja itulah jang menghimpun golongan2-keraibat jang bersama berdiam disitu tapi satu sama lain/ bukan sanak saudara (bagian2 dari pelbagai clan) mendjadi satu masjarakat-ihukum atau satu kesatuan. Clan*- itu se- luruhmja bukanmja masjarakat2-<hukum, tidak bertindak sebagai kesatuan, tidak mempunjai pemerintahan atau kekajaan sendiri, melainkan mereka adalah golongan-kerabat jang ber-segi-satu (eenzijdig) susunan2-nja dan berdiam terpentjar diseluruh wi­lajah, hanja kentara dari nama2-mja jang berhubungan dengan

21

d o n g e n g - - n j a keramat mengenai asalnja dan peitumbuhannja (h a­laman 17). Demikianlah halnja di Nias, Batak, M inangkabau, Re- djang dan lain2 tempat. Namun jang merupakan m a s j a r a - k a t - h u k u m ( r e c h t s g e m e e n s c h a p ) ialah bagian2- c l a n jang berada didusun atau didaerah, jang menjatakan berasalnja dari p e m b a n g u n ( s t i c h t e r ) atau p e m ­b a n g u n 2 dusun atau daerah situ atau dari leluhur jang sesudahmja pembangunan telah diidinlkan berdiam didusun atau di­daerah itu sebagai orang baru. O rang2 sesama clan dari lain2 tem­pat munig'kin dengan mudah dapat dipungut masuk dalam susunan- roja, ialah karena mereka adalah sanak-saudara sedari awal mulanja. akan tetapi sebelum mereka düpungut masuk, maika mereka tetap anggauta dari golongannja sendiri ditempat semuila, 'bukannja te r­masuk digolongan kerabat didusun situ.

Kerdjasama tersebut diatas, ialah daripada faktor geneologis dan faktor territorial mengakibatikan adanja pelbagai djenis susunan- rakjat, susunan2 .mana kadang2 timbul satu sama lain berdampingan disatu daerah ; hal ini akan dapat diterangkan dengan singkat lebih lanidjut.

Pertam a2 bagian-clan ialah sebagai satu2~nja golongan jang m en­diami sesuatu wilajah (territoir) jang terbatas. Dalam pada itu pa­da umumnja ada pergaulan jang ramai dengan bagian2clan tetangga (walaupun andaikata karena exogamie sad'ja), tapi kesatuan dari­pada susunan-rakjat, daripada dusun atau daerah hanja terdapat pada bagian-clan diwilajah situ sendiri. Misalnja : barangkali di- pedalaman pulau Buru.

Selandjutnja bagian-clan „dalam wilajahnja sendiri" tapi berdiam d;situ bersama dengan golongan2 atau perseorangan2 dari clan lain (disebabkan oleh pergaulan clan2 dan untuk memadjuikan pergaulan itu), jaitu mereka jang diwilajah situ tergolong penduduk kelas-dua. Diperlakukan sebagai kelas-dua ialah dalam hal turut sertanja da- lem pemerintahan wilajah situ, begitu djuga terhadap hak2 atas tanah ; dalam hal2 lain mereka dihargai sebagai sesama anggauta jang dibutuhkan. M isal2-nja orang2 Bataik-Toba dengan marga-nja jang meradja (regerende marga) dan pelbagai peraduduk-penum- pangnja (penduduik-penumpang daripada marga-perkawinan dan marga lain) dan orang2 Redjang dengan perserikatan2 daerahnja, dimana mereka se-clan (bang mégo) mewudjudikan satu masjarakat bersama2 orang2 golongan semendanja (aawgehuwden) dan orang21 uaran lainnja jang sudah menetap disitu (mereka disini tidak dapat dikatakan lagi dikurangi tingkat kedudukannija) dalam masjarakat2 sedemikian itu adalah tiga matjam rangkaian : rangkaian sanak2- saudara, rangkaian sanak2-saudara beserta golongan semendanija, ach:rnja rangkaian sesama anggauita dusuin.

22

Selandjutnja : bagian-clan dalam daerahnya sendiri sebagai pen­duduk pertama, tapi disampingnja dan d i a t a s n j a ada su- atu bagian-clan asing ,ang mendatang dari luar, merebut kekuasaan dan memerintah sebagai golongan jang berkuasa (kelas penghulu = hoofdenstand) dan jang tetap asing terhadap perikatan golongan penduduk pertama dengan tanahnja. dan penghulu dari golongan inilah mendapat (tetap memegang) djabatan ,,wali tanah" ( —* grondvoogd, hal, 69). Misalmja : Sumba Tengah dan Sumba Timur.

Keempat : pelbagai bagian.2-clan jang satu sama lain bukan sa- nak-saudara (atau mungkin menurut dongeng-asal-usul masih sanak-saudara tapi taik tjuikup berartinja buat aturan exogamie), djadi anak tjutju pembuka2 tanah jang pertama, jang masing2 per­tama kali menduduki bagian2 tanah sesudahnja oleh pembuka2 ta ­nah itu di'bagi2kannja diantara mereka sendiri, dengan demikian mereka merupakan satu masjarakat dengan berdaerah gabungan terriitoir2-dan itu, jang berbatasan satu sama lain (atau jang dae- rahnja dibagi habis mendjadi territoix2clan). Misai2 : beberapa nagari di Minangkabau, jang terdiri dari daerah--suku : beberapa marga di Beng'kulen.

Kelima : pelbagai bagian2-clain jang tidak bersanak-saudara satu sama lain, jang bersama2 mewudjudikan suatu masjarakat atas satu daerah jang tak terbagi2. M isal2 : beberapa nagari di Minangkabau dan dusun di Red jang.

Masjarakat-hukuim jang dapat disebut kesatuan daripada susu- nan-ra'kjat menurut misal2 tersebut diatas teranglah senantiasa ter- ritorial-genealogis tjampuran. Orang dari luar jang mendatang dapat masuik golongan masjarakat itu harnja dengan perbuatan rangkap jang tak terpisah satu sama lain, jaitu : m e n g g a b u n g k a n

diri dalam ikatan genealogis Pirbumi ditambah : berdiam di-territoir situ. Pertalian kesanak-saudaraan dan pertalian dengan tanah ke- dua2-nja adalah penting terhadap susunan masjarakat itu.

Dimana susunan kerabat segi-satu tak terdapat, djadi dimana tak ada bentukan clan, tapi kekeraibatannja berlaku baik menurut keturunan bapa maupun keturunan ibu, maka disana (Kalimantan. Sulawesi Tengah) terdapat masjarakat-kerabat (suku atau kerabat jang berdaerah sendiri, kerabat itu berdiiri sendiri atau dibawahkan suku). *) Demikian djuga halnja bilamana orang2 jang bukan

*) Dalam tulisan ini untuk golongan kerabat besar segi-satu jang tak tersusun sebagai masjarakat, dipakai sebutan „clan" dan buat bagian2-nja, sebutan: ..ba­gian-clan”, sedangkan untuk golongan besar — parenteel .— segidua — genea-

. 23

sanak-saudara karena lam anja berdiam disesuatu suku dapat mem­peroleh keduduikan dima9jarakat situ (hal mana disebut „men-ter- ritorial-kan” masjarakat, ini karena sebagai perseorangan dengan perseorangan2 lainiraja bersama2 berdiam disatu territoir, djadi bu- kannja ditetapkan oleh pertalian ikesanak-saudaraanraja) maka ang- gauta2 asli daripada siuku itu dapat masih lama terus berkedudukan istimewa, lebih2 mengenai hak2nja atas tanah, hal mana dapat terli­hat terang (Kalim antan).

Diladn2 tempat, walaupun sedari dulu mungkin seseorang datang berdiam dalam sesuatu dusun dan menggabungkan diri sebagai ang- gautanja dengan tiada halangan suatu apa terhadap soal kesanak- saudaraan, tapi meskipun demikian kekuasaan-adat dalam dusun dan hak atas tanah2 jang dibuka semula, dapat 'tetap di'tangan anak- tjuitju (satu sama lain tidak bersanak-saudara) daripada pendiri2 dusun jang pertama (dusun2 di Bali dan mungkin d'juga di Djawa dengan penduduk2-intinja sebagai kelas satu ; kelas dua dan kelas tiga).

Achirnja : ada djuga dusun2 dan gabumgan2-wilajah jang tak bertjorak susunan kekerabatan sedilki'fcpun dan tak mendahulukan kedudukan anak2-tjutju pendiri2 dusun itu, dan dimana pemilik ru~ mah-halaman beserta sedikit tanah-pertanian sudah begitu sadja ter­masuk penduduk kelas satu, atau dimana pembagian kelas2 sema sekali tidak ada.

Bagaimana territorial-pun djuga dasarmja masjarakat2-dusun ter­sebut tadi, namun sebagaimana telah diuraikan (halaman 17) um- mat manusia jang mendiami dusun itu merupakan satu gerombolan (di Bali disebut desa, di Djawa : wong akeh) jang sebagai kesatuan (bukan mengenai bentuknja) sama sekali dapat dipersamakan de­ngan isi ni huta. jaitu orang2 dusun seluruhnja di Batak dan dengan laman dusun di Pasemah.

Pembagian anggauta2 dalam kelas- itu terdapat di masjarakat41- hukum dalam bamjak lingkungan2-hukum ; namun patokannja meng- (k)elas ini adalah berbeda2. Tadi sudah disinggung „mempunjai tanah” sebagai patokan kelas : mempunjai tanah-pertanian beserta halaman, kadang2 mempunjai tanaih-pertanian tertentu 'beserta hala­man, demikian itu sudah mendjadikan pemiliknja „kelas satu” ; hak

logis, dipakai perkataan „suku" (stam) dan „kerabat" (geslacht) buat bagian1- nja. Disamping itu perkataan „suku” (stam) dapat dipakai buat: suatu gabungan dan2 jang hidup menjendiri. Perkataan „kerabat” (familie) bermaksud susunan kerabat segi-satu atau segi-dua terdiri dari sanak-saudara jang dapat dikenal kembali sebagai kesatuan. „Kerabat" itu dapat bermaksud sama dengan „bagian- cJan” atau „suku” atau bagian ketjil daripada keduaa-n]a itu, tapi senantiasa lebih besar daripada, .keluarga2" (gezinnen).

24

kelas dua ; jang tak mempunjai tanah selandjutnja tergolong keJas tiga. Rangka ini mengandung kemungkinan peralihan2 dan tjorak- ragam jang beraneka-warna ; k e l a s - p e m i l i k 2 - t a n a h atas halaman sadja atau hak atas tanah bukannja tanah2-inti : adalah suatu tanda-chas buat Djawa dan Bali. Kedudukan pemilik2 tanah, jaitu anggauta2 dari ummat-manusia jang pada asalnija ge­nealogis susun,anmja, berdiam disuatu masjarakat jang sudah men- djadi territorial (misalnja orang2 paung asal didusun2 tjampuran disungai Barito di Kalimantan) rupa2-mja berdasarkan atas pokok- pikiran tersebut diatas djuga. Hal sedemikian itu djuga terdapat terhadap kerabat2 pembuka tanah pertama di M inangkabau jang berderadjat diatasnja golongan2 ikerabat jang datangnja di-nagari diwaktu belakangnija, sedangkan rupa2-nja hal ini ada hubungannja dengan kedudukan sesuatu marga jang „meradja" (heersende mar­ga) ditanah Batak.

Dibanijak daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Timor timbullah dimasjarakat2 lingkungan rakjat suatu k e l a s p e n g ­h u l u (hoofdenstand) ■— kelas ,,'bangsawan" dan kelas2 di- alam radja2 tak dibitjarakan disinii ■— jang dipertahankan dengan djalan : huikum-waris Indonesia jang mengandung perketjualian buat kelasnja, pelarangan atas perkawinan pemudi2 penghulu de­ngan lelaki2 dari kelas jang dilbawahnja, pengambilan sebagai bini muda dari w anita2 kelas bawahan oleh anak2 laki2 bangsa penghulu, dan wanita sesama 'kelas didjadikan 'bini tua (hoofdvrouw). D jum­lah wang djudijur atau djumlah wang kemantin adalah, dimana aturan itu ada, buat pemudi2 dari kelas penghulu lebih tinggi dari pada buat anak3 perempuan orang kebanjakan, malahan mereka ini dilarang meminta wang djudjur jang ketinggian. Delikt2 (pe­langgaran2 dan kedjahatan2) jang diperbuat orang lawan penghulu2 dihukum menurut adat lebih berat. Penghulu2 itu memakai nama2 dan gelar3 jan(g tak mungkin ditjapai oleh orang 'ketjil. Pada upa- tjara2 adat maka penghulu2 mendapat hak2 mendahului, berupa : urutan2 duduiknja, matjam perkaikas tempat hidangannja jang di­edarkan, matjam bagian daging chewan tersembelih jang dipersem- bahikannja, pula mereka didahulukan dan dihormati. T jaranja peng­hulu2 diperbolehkan berpakaian adalah lain dari pada tjaranja raik- jat djelata, tjara pemaJtamn]ja-<pun lain dari pada orang ketjil, dan jang terachir ini terlarang memakai tjara itu. Karena tjara2 adat sedemikian itu maka perbedaan kelas tetap suatu perbedaan sosial jang dirasakan sehari2 dan banjak aturan2~huikum bertalian dengan itu.

Diwilajah2 jang b er-endogami e dusun atau suku, penghulu2-pun mentjari bini dilain2 tempat untuik menegakkan kelasnja (endoga- nrie-kelas = stamd-endogamie).

25

Kelas-penghulu suku Abun-g di Lampung, ialah penjimbang, su­dah mendjadi aturan jang setengah terpendam karena pangikat dan gelar jang lebih tinggi (pepadon) dapat dibeli oleh umum, walau­pun dilain2 tempat penghulu2 itu dapat menaikkan deradjatnja de­ngan djalan membajar setjara adat kepada lain5 penghulu.

Terhadap Sulawesi Selatan asalnja penbedaan kelas itu dikira orang ikarena susunan clan dahulu kala. Rupa-’-nja asas2 klassifi- katie primitief djuga turut mengakibatkan pembentukan golongan-' dan pembagian2 mendjadi kelas2.

Patokan umum daripada adanja kelas sedari dahulu kala ialah penghambaan dan ketaklukan (dari pihaik orang2 jang telah dikalah­kan, orang2 jang berhutang dan anak-<tjutjunja). K e l a s b u ­d a k ( s l a v e n s t a n d ) jang sekarang sudah lenjap, na­mun masih dapat dilkenal diibanjak masjarakat2, antara lain dari tjaranja berkawin, djumlahnja wang djudjur, diperlakunja bagai­mana dipista2 adat ; djuga soal bahwa seseorang berasal, dari lain tempat ada pengaruhn.ja atas huibungan2~huikum, misalnja mengenai tanah. Begitupun ada suku2 bangsa dipulau- tersebut dimana tak terdapat kelas-penghulu (misalnja suku Toradja jang berbahasa ,,barèe” begitupun djuga ada suku2 bangsa jang tak pernah menge­nal kelas taklukan dan kelas budak : namun tiga-serangkai : 'kelas- penghulu — orang ketjil atau kelas-merdeka (tergantung dari ke- bali'kannja ) — kelas-^budak, terdapat berulang2. Terkadang2 didae- rah2 lingkungan radja2 sedikit-banjak ada hubungannja, malahan ada perbjampuran, antara 'bangsawan-radja-bawahan dan penghu- lu2-’inasjarakat, namun disana perbedaan antra kelas-penghulu d a l a m masjarakat2 dan bangsawan-radja d i 1 u a r n j a kebanjakan masih dapat d.kenal kembali.

Di M'inahasa, di Ambon dan di Uliaser masjarakat rupa2-nja ti­dak (tidak lagi) mengenal perbedaan dalam kelas dengan kedudu- kannja hukum masing2, dilain fihak maka pembagian dalam kelas2 ini dibarujak pulau di Maluku mengakibatkan bentuknja golongan2 jang satu sama lain terpisah dengan tegasnja dengan nama2-nja sendiri dan endogamie-nja jang tertib (mèlrnèl, rènrèn dan iriri di Kei, dan marna, wuhru dan atari -dli Kisar dan sebagainja) ; perka­winan dengan tak sesama kelas (mésalliance) buat si-perempuan — (dulu) — diantjam dengan hukuman mati atau pembuangan.

Masjaraikat2 itu dengan susunannja genealogis-territorial beserta pemerintahann/ja collégial atau hanja ditangan satu orang (hal ma­na djarang) dan pembagiaimja dalam kelas2, biasanja dapat djuga dimasuki orang2 luaran. Memasuki masjarakat2 oleh o r a n g 2 I n d o n e s i a d a r i l u a r , orang2 sesama suiku atau orang2

26

luaran, adalah suatu proses jang .telah berabad2 berlangsung. Per­tama kali mereka mendatang sebagai budak dan dengan demikian memang membawa darah «baru dan menduduki tempat ekonomisjang amat penting, namun sebagai budak mereka tak dapat mema­suki inti susunan masjarakat. Selandjutnja ada jang mendatang se­bagai sanak-saudara ipar, terdiri dari perempuan2 atau lelaki2. Perkawinan2 ambil-anak (inlijfnhuwelijken) dibeberapa wilajah djustru diselenggarakan dengan lelaki2 dari lain tempat (mereka dari perbudakan dan perkawinan tadi, orang2 luaran setjara perseorangan dapat pula memasuki niasjairakat itu. Dimasjara- kat- jang terdiri dari golongan2 genealogis, dengan djalan„dipungut sebagai anak” (adoptie) atau dengan djalan meng­gabungkan diri dalam sesuatu keluarga, hal mana dalam hu- kum-adat sudah ada aturannja (di Minangkabau sebagai anak semang pada induk semang-n')a) dalam pada itu disadjikan sela­matan makan kepada penghulu2 dusun dalam rumah madjikannja. Djuga masjaralkat2 territorial, sebagaimana sudah diuraikan, tetap menolak masuikmja orang2 luaran kedalam gerombolan manusia itu. Orang jang hanja tinggal didaerah masjarakat, dapat mendjadi penduduk sementara atau tetap — namun terhadap masijarakat sa­ma dengan orang luaran jang bertempat tinggal diluar m asjarakat; ia dikenakan pemerintahan atasan (dari radja atau gubernemen) jang djuga melingkupi masjarakat itu ; ia dapat dengan djalan per- djandjian memperoleh hak menikmati (genoot) atas tanah masjara­kat (hal. 63) ; penghulu2 rakjat dapat menanggung keselamatannja terhadap masjarakat asalnija atau jang dikira asalnja, namun kedu- dukannja tetap ¡berlainan sama sekali dengan kedudulkan orang jang sudah dipungut masuk dalam gerombolan orang2 dalam masjarakat itu dengan aturannya tolong menolong bertimbal balik. Misalmja penduduk2 preman Pribumi di Minahasa dan di Ambon berada di­luar masjarakat, sebagaimana djuga biasanja prijaji di Djawa, jang kadang2 bertempat tinggal dan mempunjai tanah dalam desa situ, walaupun tentang hal ini ada perobahannja di Ambon. Untuk di­pungut masuk dalam ikatan adat harus ada idin dari pemerintah- masjarakat situ. Kadang2 permintaan idin itu harus disertai dengan persembahan^adat, terdiri dari nasi dan seekor ajaon atau wang (wang adat) ; dijuga sesudah diberi idin untuk menetap itu harus ada selingan beberapa tempo, sebelum ia dimasukkan dalam ikatan adat. Dalam dusurn2 di Ambon orang sampai lama tetap asing, baru sesudah beberapa turunan maka anak-tjutjunja iitu boleh dikatakan

27

dengan diam2 memperoleh kedudukan sebagai sesama anggauta dusun, ketjuali bila agamanja lain (orang2 Islam didusun2 Kristen), maka mereka buat selama2-nja tak akan dianggap sebagai sesama anggauta. Begitu djuga-m isalnja tidak mungkin seorang Indonesia tidak beragama Hindu mendjadi anggauta sesuatu dusun di B ak: dan bila ada kedjadian kepindahan dari orang Bali beragama Hindu keagama Kristen, maka jang menimbulkan pertengkaran ialah bah­wa orang2 Bali-Kristen tadi berkehendak tetap mendjadi anggauta, tapi tetap ditolaknja oleh m asjarakatnja. Bila terdjadi seseorang dan luaran sudah terpungut masuk dalam ikatan adat, maka karenanja haruslah ia memiliki penuh beban2-nja dan memperolehlah ia hak2 penuh sebagai lain2 sesama anggauta. Demikianlah keadaan selu- ruhnja di A tjeh, Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, M inahasa dan Ambon tentang ini. M isalnja pemasukan orang2 Djawa ke Sumatra Selatan makin lama makin banjak setjara demikian. Pemungutar. masuk dapat terdjadi setjara perseorangan atau setjara gerombolan» karena dalam Iingkungan2-hukum jang <ber-masjarakat2-wilajah ke­pada orang2 asing sesudah membajar wang adat diberi idin untuk mendirikan dusun. Karena anggauta2~masjarakat sendiri terbagi'2 mendjadi pelbagai golongan atau (kelas dengan berbeda2 haknja, maka kedudukan orang baru itu tergantung dari djawab pertanjaan : kira2 ia dulu termasuk golongan a p a ; ini belum ada keputusan apa2 diwaktu ia dipungut masuk ikatan adat itu. Apakah ia dapat dipilih mendjadi penghulu, atau apakah ia dapat memperoleh „hak- milik atas tanah dengan keharusan memikul beban2-nja, apakah dia turut mendapat bagiannja dari hasil2 „beschikkingsrecht” , mala­han apakah dia termasuk golongan jang berhak diundang, maka hal2 ini kesemuanja tergantung dari persetudjuan2 dibelakang.

Tentang djatuh ke- s u s u n a 11 - r a k j a t c o n c r e e t jang mana d’aja faktor2 genealogis dan territorial, perbedaan kelas dan pemasukan orang2 asing, nanti pada achirnja, maka hal ini ter­gantung dari banijalk keadaan2. Disatu fihak tergantung dari perdja- ianan nasibnija masjarakat sendiri sebelum, diwaktu dan sesudah la~ hirnja, pula dari reaksinja terhadap dan penolakannja melawan pe­ngaruh2 dari luar. Faktor besar jang mendorong keperubahan ben­tuk iala'h pengemibaraan keluar, jang disebabkan' oleh pelbagai ala­san (keinginan untuk berdiri sendiri, kekurangan hasil2 hutan atau kekurangan tanah, permusuhan kerabat lawan kerabat, dan seba- gainja). K eadaan2 jaaig didjumpai oleh gerombolan jang mengem­bara keluar itu, ialah : daeraih tak bertuan atau daerah jang sudab diduduki orang ; m asjarakat2 ummat manusia jang bersikap musuk

28

atau sahabat; lembah* sungai, pulau2 atau tanah datar, ini kese- muanja dapat mendjadikan salah satu faktor jang berpengaruh atas bentuknja masjarakat itu. Dilain fihak untuk itu pada umumnja adalah djuga suatu faktor jang menentukan, ialah susunan dari in- duk-masjarakat pada saat pengembaraan. Pergaulan dengan orang2 asing jang makin lama makin ramai dan oleh karenanja perubahan2 daripada kebutuhan2 ekonomis dan daripada tjara berfikir tentang peribadatan, kesemuanja itu tetap menjebabkan perkisaran, walau­pun perlahan2 tapi selalu.

Pengembaraan besar2~an mengakibatkan kolonisasi, ialah pem­bentukan m asjarakat2 orang2 luaran pada awal-mulanja, ditengah* rakjat jang sedjak purbakala berdiam disesuatu wilajah (jang djuga disebut penduduk asli). O rang2 kolonis tadi hidup dalam masjara- kat3 dan dalam pada itu dilingkungan rakjat dapat dikenal sebagai golongan2 jang tersendiri. Pekerdja2 Djawa daripada perkebunan2 jang besar2 hampir selalu bertempat tinggal berkumpul dalam kam- pong2 sendiri, sebagaimana orang2 Djawa jang berbojong setjara besar2-an dan dengan bantuan pemerintah ke Sumatra Selatan (Gedongtataan dan sebagainja). Namun djuga tanpa pertjampuran tangan pemerintah orang2 Indonesia berpindah dalam rombongan2 besar kelain2 tempat. Koloni2 Minangkabau dipantai Barat Atjeh. Koloni Toba sedjumlah 15000 djiwa di Tapanuli Selatan (Sajurma- tinggi), orang2 Bugis di Bali dan Lombok, orang2 Bandjar di Indra­giri dan sebagainja. Mereka datang menetap dalam susunannja sendiri dengan penghulumja sendiri (tapi jang sudah dirobah karena pengembaraannja jang djauh) dalam daerah tak bertuan atau men­desak lambat laun penduduknja asli keluar, atau djuga mereka se­bagai orang2 asing mengakui kekuasaan dan hak daripada pendu­duk jang mendahulu, jang tanahnja tetap mereka diami sebagai m asjarakat2 berdiri sendiri, misalnja : orang'2 M inangkabau (orang2 pengulu) ditengah2 suku Batin di D jam bi; orang2 kolonis Toba dan Karo ditanah Dairi, orang2 D ajak-M aanjan-Siung merupakan go- iongan-Bantai dalam masjarakat Dajak-Lawangan, dan seterusnia. Proces perobahan dalam ketertiban dusun itu kadang2 mendapat dorongan berwudjud pertjampuran m j a tangan daripada kekuasaan fihak luaran atau fihak Pribumi, jang melarang bertempat tinggal dipegunungan2, jang mengadakan bagian2 temtorial, jang membe­rikan tanah2 „lungguh”, jang menarik beaja2 dan menuntut kerdja rodi, jang membela kepentimgan setjara melampaui batas pengertiaii masjarakat, jang menempatkan pegawai2 disamping dan diatas penghulu2-rakjat dan jang mentjoba memberikan kepada penghulu2- rakjat suatu kekuasaan djabatan jang tak sesuai dengan imbangan2 adat.

29

O rang harus amat berhati- dengan gambaran2 tentang perkem­bangan dan pertumbuhan masjarakat2, gambaran2 mana jang ber­pangkal d jauh dizaman lampau ; gambaran2 sedemikian itu se'narus- rnja diiltuinida dulu sampai kita akan mengetahui sekedar dari zaman kultur jang lampau dari keadaan dan tudjuan kulturnja bangsa2 jang beribu2 tahun jang lampau memasuki kepulauan Indonesia ini.

Sebagai dasar pengalas untuk apa jang dalam buku ini akan di­uraikan tentang hukum-tanah dan huikum-perhutangan (gronden- en schuldenrecht)., pula untuk penetapan dan penegasan daripada apa jang tadi telah disinggung dalam garis besarnja mengenai susu­nan rakjat, maka berikutnja akan ditindjau lebih djauh kesatuan2 susunan rakjat dibeberapa lingkungan-hukum dan anak-lingkungan- huikum dilkepulauan Indonesia ini dalam garis2 besarnja — dalam pada itu akan selalu dipakai sebutan2 „m asjarakat” (de gemeen- schap), „kerabat” ( = de familie), „clan”, suku (de s tam) kerabat atau kaum (het geslacht) dan „penghulu2~rakjat” ( = de volkshoof- den) — susunan2-rakjat jang meskipun ada p enij i mp a n g ai i - - n j a dan bemtuk2-n.ja istimewa dari kehidupan praktis, namun masih dapat dikenalnja kem bali; dalam pada itu akan sekedar dapat ternjata djuga bagaimana beraneka-warnan.ja dan pendjelmaannja m asjara­kat2 dalam beberapa lingkungan-hukum.

Uruitain membahasnja diatur sedemikian rupa sehingga masjara­kat2 dimana faktor genealogisnja berlaku terkuat, didahulukan, dan dimana semata2 faktor terriitorial berlaku, diperbelakangkan, Timur Besar adalah dianak-tirikan dalam hal ini, karena sebab2 jang ter­sebut dalam antar kata.

B. Bentuk2 chusus.

I. M enurut patokan jang sudah kita tetapkan buat urutnja, maka harus didahulukan pembitjaraan mengenai masjarakat GAJO. Bagiam-clan jang tersusun atas hukuim-bapa dan exogaam ini adalah masjarakat-hukum (rechtsgemeenschap) ; rakjatmja berdiam terse­bar dalam kelompok2 jang terdiiri dari keluarga2, jang kadang2 sen­diri, tapi kebanjakan bersama kelompok2 keluarga dari lain bagian- clan (kampong) mereka bersama2 mewudjudkan suatu dusun, tem­pat kediaman bersama. Disitu tak ada kekuasaan, selainnja kekua­saan kepada-bagian-clan (reudjeu) atas anggauta2-nja {saudeureu), tidak ada pertalian selainnja pertalian sesama anggauta satu sama lain. M engenai Gajo Lueus pernah ada terbatjja bahwa bagian-clan drbawah reudjeu-rtja. dulu mempunjai lingkungan2-pengaruh terri- torial jang lebih luas dari pada luasmja tanah2 jang sudah dibuka oleh saudeureu-nja. Oleh kekuasaan di Atjeh maka dulu diangkat kepala2 untuk mengepalai daerah2, dengan sebutan kedjuron (keu- djruen) ; maka karena kekuasaan Belanda kedjuron itu — setidak2-

30

nja kedjuron petiambang di Gajo Lues dengan dewan reudjeu ijeq berasal dari daerah atau landschaproja— sekedar kekuasaan jang njata, sedang masing2 reudjeu diberi bagian suatu distrik sebagai daerah kekuasaannja, dalam daerah mana dia oleh kelompok2 kelu­arga dari golongan bagian-clan lain jang berdiam d'isitu diakui se­bagai kepala-distrik dan rupa2n.ja lambat laun djuga sebagai kepala (penghulu) adat.

Reudjeu (tjeq) dalam pemerintahan adat dibantu oleh petue buat urusan2 keduniawian dan oleh imeum buat urusan2 agama ; di Gajo Lues ia membawahkan kepala2 daripada bagian2 kaum nja, ialah reudjeu mtideu dengan rmeum-nja dan wakel-n]a. sendiri. Dengan tertib diadakan penmusjawaratan dengan sesama anggautanja. Su- ku-bangsa kedua jang tersusun serupa itu adalah orang2 PLIBIAN Ji Lampong.

Ketiga clan (merga ; dilain tempat2 di Sumatra-Selatan ..merga" berarti masjara'kat daerah, streekgemeenschap) berdiam bertjampu- ran didalam daerah jang diduduki suku-bangsa Pubian. Mereka terbagi2 mend'jadi bagian2-clan (kabuaian) jang dapait terbagi'2 pula mend'jadi kerabat2 'besar (suku). Dalam sebuah dusun (tiuk) mungkin ada berdiam suku dani pelbagai merga, malahan d juga bagian2 daripada suku jang tjenderong akan merdeka berdiri sen­diri. Penghulu2 (kepala2) jang sesungguhnja (lebih, tepat : ,,'ke­tua2” ) adalah penghulu2-su/cu (panjitnbang) ; kabuaian dibawahkan oleh paksi, sekali tempoh oleh panjitnbang2 bersama2. D jadi paksi itu mempunjai kekuasaan, tidak ..tergantung dari tempat dimana se­sama anggauta kebuaian-n]a berdiam. Karena pengaruh dari Ban.ten maka daerah P.uibian itu telah terbagi mendjadi bagian2 terriitorial, jang diakui oleh kekuasaan Belanda sesudah tabun 1928 dan jang sekarang mendjadi masjarakat2- wi'lajah (streekgemeensohappen) : pada awal mulanija dulu maka paksi2 bersama didaerah serupa itu mempunjai kekuasaan atas urusan2 jang tertentu ; kini masing2 ma- sjarakat-wilajah (disebut marga pula) mempunjai kepala-marga. Djuga disini per-teri'itorial-an karena pengaruh dari atas, tapi d;- bawahraja ' masih kentara susunannja sendiri jang asli. Suku i'tu masih bertindak sebagai mas.jarakat2-hukum genealogis. Pertalian sebagai masjarakat-hu'kum dengan kerabat-’-anja jang tersiar dilebih dari satu masjarakat-wilaijah, mendjadi len.jap, begitu djuga perta- liannja dengan kekuasaan penghulu2 dalam arti genealogis atas anggauta2-nija jang berdiam ditempat" lain. Seperti didaera'h Pubian ini dengan clan2-nja jeng berdiam ber.tjampuran di Lampong, maka di Padanglawas ada terletak suatu daerali ialah Tano sapand*jang. dimana empat clan Batak setjara demikian berdiam bertjainpuran satu sama lain ; dan rupa2-nja keadaan sedemikian itu terdapat diju­ga misalnja dipuilau Roti. Daerah2 serupa itu (dalam tingkatan be*-

31

sar dan tanpa masjarakat-hukum jang melingkupinja) adalah seperti bagian2-clan jang berdiam bertjampuran satu sama lain dalam suatu nagari.

S elandju tn ja susunan2 rakjat Gajo, begitu djuga Pubian dapat dibandingkan dengan susunan rakjat ALAS jang sukubangsa‘--nja (stammen, merga) dan suku--n)a (geslachten) terubah bentuknja oleh kekuasaan dari luar sehingga mendjadi masjarakat2-territorial (djuga disebut merga) ; didalamnja ada tempat2 berumah halaman djadi satu (kampong) dibawah kekuasaan seorang kepala jang di­sebut pengulu suku. Sedemikian rupa djuga dipulau SIMEULUE dimana disusunan rakjatnja terdapat persamaan jang luar biasa de- i;gan Pubian, Djuga disana bagian2-clan ber-hukum-bapa jang di' sebut suku, berdiam bertjampur dalam suatu „landschap” , suatu masjarakat- wilajah (streekgemeenschap) jang diurus oleh peng- hulu2 suku bersama dibawah pimpinan seorang dari mereka, ialah dn(uq pamuntjaq.

Segumpal daripada bagian-clan jang berdiam dalam suatu kam­pong dipimpin oleh seorang kepala kerabat jang ditundjuk oleh datuq, dan kepentingan2 kampong seluruhnja diurus oleh kepala2 itu bersama. Disana sini faktor territorial ada peranannja akan te­tapi sangat sedi'kit artinja. Demikian djuga dikalangan rakjat pen­duduk kepulauan L1NGGA-RIAU, jang berdiam tersiar dibanjak pulau 'ketjil2 terutama dalam pertaliannja genealogis dibawah pe­ngurusan kepala2 (penghulu2) bagian2-clan — sering disebut suku —’ sedang gerombolan2 genealogis itu tak menduduki daerah terri- toirnja sendiri.

2. Bentukan suatu bagian-clan didaerahmja sendiri rupa2-nija terdapat dibagian2 pedalaman dibanjak pulau2 ketjil2 (ENGGANO, BURU, SERAM, FLORES). Dipantai2 timbullah dusun2 tjampu- ran, terdiri dari kerabat2 pelbagai clan jang mengembara dari pe­dalaman, pula dari orang2 asing jang mendatang dari seberang laut. Di i r i a n , ialah didaerah pedalamannja jang dikundjungi orang buat pertama kali, terdapat suatu clan didaerahnja sendiri (clan-kanguru : Kauwerawet (clan babi dan seterusnja). Dalam ke- pmdahannja kepantai itu maka gerombolan2-genealogis ketjil2 itu {keret) mempertahankan kemerdekaannja sendiri2, mereka disana menduduki tanah semata2 buat mereka sendiri, walaupun mereka berdiam bersama2 kerabat2 dari clan2 lain dalam dusun2 jang di­perintah oleh seorang kepala-dusun, korano, tapi jang hanja mem- punjai sedikit kekuasaan atas orang2 jang bukan anggauta clannja.

, Bentuk terdiri dari bagian2-clan jang bukan karib satu sama iam tapi bersama2 mewudjudkan suatu masjarakat territorial adalah ■.erutama terdapat di MINANGKABAU. Sesama anggauta clan oerhukum-ibu jang tidak berdiam di- nagari jang sama, tidak me-

32

wudjudkan masjarakat-hukum, tidak mempunjai pemerintahan ber­sama, tidak berlceka'jaan bersama. M asjarakat2-hukumnja adalah : pertama2 kerabat (bagian-clan) dalam dusun ; kerabat2 itu adalah setengah sesama clan dan setengahnja lagi tergolong pelbagai clan : Kerabat2 sesama d an mendjadi merdeka berdiri sendiri sesudah me- snetjah belah diri ; selandjutnja kadang2 (tidak dimana2 tempat) gabungan2 daripada kerabat2 semafcjam itu jang setengahnja bukan- aja golongan clan2 jang bersanak-saudara; k e tig a : negaci jang terbentuk dari bagian2 clan, jaitu kerabat2 jang terhimpun atau tak •.erhimpun dalam gabungan. Clan2 Minangkabau itu mempunjai na- ma-^ sendiri, sebagaimana djuga clan2 Gajo, Pubian dan banjak clan2 Jainnja lagi.

Tidak ada suatu lukisan mengenai Minangkabau jang tak memu­lai dengan peringatan : d jangan menjamaratakan ; disini peringatan .-tu lebih tepatnja daripada dilain tempat, sehingga disini harija ga­ris2 pokok2 sadja jang digoreskan. Bilamana orang dalam angan2 mentjoba menggambarkan dengan djalan mentjipta pertuinbuban- iija dari bawah, maka haruslah orang memulai dengan mentjiptakan oebagai bahan : beberapa clan, umpama 24 ; pada saat jang tertentu maka datang berdiam perempuan2 dari pelbagai clan (dengan saudara2~nja lelaki dan suami2-n ja) baik didaerah tak bertuan, mau­pun ditanah jang belum terbuka, dalam lingkungan „beschikkings-i.'echt suatu nagari. Lambat laun bertumbuhlah dalam tempat ke- Jiaman situ kerabat2 itu, demikian djuga bertumbuhlah tempat ke­diaman itu sendiri.

Pertama golongan2-sanak-saudara : perempuan2 itu, jang dapat •lipandang sebagai nenek2-mojang tempat kediaman, menurunkan

eraibat“ dan foagian^-clan jang berpusat pada miliik-kerabat ( tanah", -Umah, barang2 'berharga, gelar-kerabat daripada kepala-kerabat). .sebuah kerabat (sa buah paruiq) hendaknja digambarkan dalam pikiran sebagai rumah-kerabat sendiri, dengan lelaki jang tertua- daripada keturunan jang tertua pula sebagai kepala-kerabatnja. Bi- tamana kerabat itu mendjadi kebesaran, maka didirikan sebuah ru­mah-kerabat baru, dimana sebagian kerabat berpindah untuk ber­tempat tinggal, sementara masih merupakan satu masjarakat dengan bagian--kerabat lainnja ; dengan djalan demikian (dibelakang teru - ‘ama meluas kerumah2-keluarga) meluaslah kerabat itu meliputi nagari (atau mereka berpindah kelain2 tem pat dan tiba diluar ma­sjarakat). Kepala daripada segenap kerabat tetap adalah lelaki ter­tua daripada keturunan jang tertua, ketjuali bila ia dikesampingkan karena tidak tjakapmja. Dalam kedudukannja itu ia ikut serta dalam pemerintahan dusun dan disebutnja pengulit andiko ; hanja bilama­na kerabatnja sudah mendjadi kebesaran atau bila orang2 baru da- Jam kerabat itu membentuk gerombolan baru jang ingin berdiri

33

sendiri, maika dapat terdjadi pemisahan, dan kedua bagian itu ma- sing2 di'bawahkan oleh penghulu ancliko-nja sendiri. Dalam kerabat serupa itu kadang2 terdapat banjaik atau sedikit atau sama sekali tiada tjabangnja., -jang sedikit banjak merupakan masjarakat berdin sendiri mengerumuni barang2 warisan bersama berasal dari perem­puan atau lelaki jang m eninggalkannja sebagai barang= hasil usaha-

,n ja sendiri semasa hidupnja, pula mereka mengerumuni b ag ian 2 ¡ba­rang2 pusalka kerabat jang diserahkan kepada mereka untuk dipa­kainya (hal. 199). T jabang2-kerabat itu kerapkali (itapi tidak di- m ana2 tempat begitu) ada dibawah pimpinan ketua2-nja sendiri ialah mamak kepala waris atau tungganai. Pengulu andiko itu m e­rangkap mamak kepala waris tjabangnja sendiri ; dimana tyabang2- kerabat tak mempunjai mamak kepala waris sendiri, maka pengulu andikoAah di masing2 tjaibang memangku kedudukan itu. B ila'ada orang2 ibaru — orang2 M inangkabau —■ m endatang dalam nagari maka walaupun sebelummja itu harus dipungut masuk lebih dulu dalam sebuah kerabat jang 'telah berdiam disitu, mereka dibelakang keban.jakan membentuk masjarakat tersendiri, d'ilandjutkan oleh perempuan2 daripada golongannja itu. Lamanja masa berdiam se­suatu kerabat dalam suatu nagari tetap membawa pengaruh atas ke- dudukannija kem asjarakatan, makin lama malkim terkemuka.. Orang- asing, ialah orang2 Indonesia buikan M inangkabau (jaitu orang2 T'Jias) dibiarkan dalam kedudukan taik-bebas ; apa jang disebut go­longan2 budak, ialah kemenakan dibawah lutuiq adalah 'dibawah perintah sebuah 'kerabat M inangkabau. Selagi bertumbuh golongan'-’- keraibat itu, maka bertumbuh terus pu la ikampongnja, ialah tratrag mendjadi dusun dan dusun mendjadi kota, itupun 'karena didirikan- nja disitu rumaih2 ¡jang kokoh kuat, dan kota mendjadi nagari, itu- pun 'karena telah didirikan ruimah-dewan sendiri {balai), tempat - mandi (tapian), tem pat pen.jabung ajam djantan (galenggang) <-Jan sebuah rumah-sem bahjang sendiri, keserm'uantja m enandakan terang, bahwa golongan,2 manusia disitu sudafh menetap dengan kokohnja aan bahwa manusia dan tanah sudah bertumbuh mendjadi satu se­bagai suatu kesatuan berdiri sendiri dengan njata. Bilamana lem­baga2 itu ada semua dan bilamana berdiam paling sedikit empat go­longan2 jang bukan se-clan didusun situ (nagari baampeq suku), ruku2 mana mempunjai daerah „beschilkkingsrecht” sendiri terpisah satu sama lain, maka dusun itu diakui sebagai nagari, dengan pe_ merintahan sendiri dan dengan pemisahan dan pembatasaruija dae­rah ,.beschikkingsrecht” umum milik nagari itu, pengakuan mana t ’langsungkan dengan upatjara'“ adat.

Susunan dan pemerintahan dalam nagari seJandiutnia,<*“• w « * , jang keduania terbelah dan t e J a , ’ ’

a'Jtnni.ah bamjak ben.tuk2-iperaiilhan. M enurut adat Rnrii T ' - ,.™,g benlafa, te ru lM . di 'A aa.m ™ k a

34

kerabat) bersama2 dan atas persamaan kedudukan memegang pe­merintahan dalam suatu nagari. Kerapatan nagari itu adalah kekua­saan jang tertinggi. Bagian-clan dalam arti sedjumlah kerabat- janq tergolong satu clan tapi berdiri sendiri berdampingan satu sama lain, disana disebut suku. Pemetjahan kerabat mendjadi dua bagian ter­dapat kerap kali. Sebaliknja bagian2-c.lan (disini disebut kampu- ang). terdiri dari kerabat2 jang berdiri sendiri, di Tanah D atar dan Limapuluhkota menurut adat~Kota~Piliang terhimpun dalam gabu­ngan- meliputi 4, 5, 6, dan 9 bagian2-clan termasuk golongan sekian clan pula jang terdiri dari kerabat berdiri sendiri, atau tidak ; gabu­ngan- ¡tu disana disebut suku misaJnja suku „nan ampeq" dan se- bagainja, namun kadang2 mempunjai djuga nama-clan daripada clan-nja kepala- suku. Dalam kefoanjakan nagari maka dari keba- n j akan clan2 itu ada anggauita2-nrja disitu ; mereka djauh dari pada selalu terhimpun sefcjara sama seperti gabungan empat, lima, enam dan gabungan2-sembilan tersebut tadi. Pengulu andilco dari pada suatu suku memerintah atas suku itu dan dia sendiri dipimpin oleh seorang pengulu suku ; empat pengulu suku itu dibawah pimpinan seorang kepala-dusun (putjuq nagari) memerintah atas negari itu, dengan pengulu andiko tadi. Kepala2-suftu disampingi oleh manti buat urusan pemerintahan umum, oleh dubalang buat urusan polisi dan oleh malim, buat urusan agama ; mereka dengan pengulu meru­pakan urang ampeq djinih. Pengangkatan dan pemberhentian pengulu andiko dalam hukum-adat diatur dengan pandjang lebar.

Susunan Minangkabau jaitu : gerombolan2 genealogis-jang sedari dulu bersama2 mewudjudkan suatu masyarakat, maka pertama2 su­sunan itu tjotjok dengan susunan di KRINTJI. Djuga disana ada­lah golongan2-sanak-saudara benhukumnibu (lurah, kelebu, perut) jang karib atau tidaik satu sama lain, bersama2 merupakan dusun. diliputi oleh masjarakat-wilajah mendapo. Serupa itu djuga diberi­takan orang terdapat dilkalangan su'ku- B A TIN di Djambi. Masja- rakat2-wila,jah territoriaJ (atau g a b u n g a n 2- d u s u n ) dipulati NIAS termasuk tokoh sedemikian rupa dljuga ; disana bagian2 daripada pelbagai clan, mado atau gana, baik menetap disatu tempat, baik tinggal terserak disuatu wilaijah (disini mirip tokoh pertama, hal. 31 32) berada dibawah kekuasaan pemerintahan- euri, jang bersifat pemerinitahan-gaibungan atau ‘pemerintahan masjarajcat-wilajaih . dusun2 itu terdiri dari bagian2-clan tersusun menurut hukum-bapa dibawah pimpinan kepala2-kerabat, diantara mana seorang mendja- bat kepala-dusun. Selandjutnja negorij did'jazirah H IT U (Ambon) adalah terbentuk dari masjarakat2-huikum genealogis (runiatau) jang menurut hukum-bapa susunannija, sedangkan misalnja dike-

35

laua-n Kei djuga bagian2clan berhukum-bapa pula jang mewudjud- kan dusun2 disi'tu. Mereka setengahnja adalah golongan penduduk asli dan setengahnija golongan orang2 luaran bangsa Indonesia jang mendatang di'belalkang dan berhasil dapat merebut kekuasaan peme- rintah-dusun. Kepala-dusun, orang kaja mempunjai hanja sedikit kekuasaan atas kepala2 kerabat (kepala soa).

4. Sebagai tokoh ke-4 daripada susunan rakjat menjusul seka- ramg maisjarakat2-hukum suku-bangsa BATAK. Djuga dulkalangan mereka terdapat golongan2 genealogis ialah clan2 atau bag.ian2-clan exogaam dan tersusun menurut hukum-bapa, jang mandiami daerah- »,ja sendiri. Golongan2 itu tersusun mendjadi lapisan2, jaitu dusun- kerabat, masjarakat-wilajah bagian-clan dan daerah-clan, tetapi d e ­ngan tanda-itjiri istimewa seperti tersebut diatas, ialah bahwa dalam sesama masjarakat itu senantiasa atau hampir senantiasa djuga ada berdiam anggauta2 daripada clan2 lain, walaupun dengan hak" jang kurang, jaitu : salah seorang dari mereka tak dapat mendjabat peng- hulu-masijarakat, mereka^kcfa* hak-milik penuh a;tas tanah-pertanian dan halaman jang didudukiruja, namun kedudukannja sedemikian rupa sehingga mereka harus dianggap sebagai anggauta*- masjara- kat-hukuim itu, dan termasuk isi ni huta. M ereka jang mendjadi ke­luarga semenda terkemuka mewakili g ol o n g an 2 -<nj a dalam pemerin­tahan dan kebanjakan dapat mendirikan dusun sendiri dalam ma- s i araka t-wi la j ah (walaupun kedudukan dusun2 itu seluruihnja ada­lah tetap : tempat buat pe nd u duk-p e niunrp an g sadja), namun mereka karena lamaraja berdiam bersam a2 .mempunjai kedudukan jang amat kokoh n/j a. C lan2 atau bagian^cJan Batak disebuit marga, dan bagi- an--clan jang disesuatu daerah adalah „tuan rumah” kebanjakan (dibagian Selatan tidak) disebut marga tanah. Dalam bahasa Be­landa disebutnja „heersende” atau „regerende” marga (marga jang menguasai atau marga jang mem erintah) berhadapan dengan orang" dari marga lain (penduduk-penum pang) jang diisebelah U tara dise­but parrippe. (Disebelah Selatan maksudnja parrippe ialah kelas- rakjat, berhadapan dengan kelas-penghulu). Dengan menerobos perhubungan antara m arga-tanah dan penduduk-penumpang ¡berla­kulah lain perhubungan jang ada per tali a ninja dengan perhubungan tersebut pertama tadi dengen tjara tertentu, jaitu : marga jeng me­njerahkan w anita2 terhadap mereka jang menerima w anita2. Ma- sing2 marga mempunjai „langganan" tetap dengan marga lainnja. jang mengakibatkan, bahwa dalam princiipenja pemudi2 dari satu marga diikawinkan dengan lelaki2 dari marga jang lain itu. Djadi jang pertama itu adailah marga jamg menjerahkan wanita2 (di Toba disebut hula-hula, disebelah Selatan : mora, dilain2 tempat disebut lain pula), jamg ¡kedua ialah marga jang menerima wanita2, horu (beru) namanija. Perhubungan ini tidak boleh bertimbal balik, maka

36

dari itu i'StiJahnja : asymmetrisch connubiurn. Djadi marga j a,n g ke­dua itu membutuhkan marga nomor tiga laga sebagai boin-n)a atau marga jang menerima wanita2-nja ; marga itu sendiri dengan demi­kian mendjadi hula-hula-mja marga nomor :tiga tadi. Begitulah dapat digambarkan dalam pikiran suatu lingkaran menangkflp daripada ti­ga marga atau lebih. M aka suatu lembaga jang ser:'ng terdapat ialah bahwa marga-boru-nja marga-tanah disesuatu daerah, dalam dusun ada perwaikiJannija sebagai marga jang menumpang (pertama) atau ..(eerste) bijwonende marga”, maka dalam pada itu ikadang2 dise- butnja : marga->perkawinan (trouw-marga) ; malahan dibagian Se­latan misalnja adalah satu sjarat untuk dapat diakui sebagai huta jang berdiri sendiri ialah bahwa harus marga boru-nja radja sudah ada perwakilannija didusun situ (namanja orang2-n,ja : bajo bajo na godang) (.bandingkanlah ini dengan sjarat ibahwa negari di M i­nangkabau harus memuat empat suku). Karena hula-hula itu mem- punjai keunggulan-hidup jang tertentu atas boru-nja, maka disini letaknja ketaiklukanraja jang rangkap daripada boru : sebagai marga penerima perempuan2 dan sebagai marga penumpang. Dibeberapa daerah (Padanglawas) maka hula-hula daripada marga-tanah (marga beilkuasa) mungkin d/juga adalah m a rga -pemump a ng, maka disini ke u n g g ulan-hidup marga ini sebagai hula-hula tidak merang­kap keungg-ulan-hidup sebagai sesuatu marga tanah, akan tetapi disi­ni kekuasaan hula-hula toch kailah dengan kekuasaan boru-nja, ka­rena marga pertama ani hanja penumpang dan karenanja tergantung pada boru-nja jang ibenkedudukan marga tanah itu. Dalam kenjata- annja perhubungan2 dalam hal dni sangat ruwetmja ikarena adanja persimpangan2 dan perkefcjualian2 jang beraneka warna, tapi orang tahu, bagaimana ,,sebetulnja” susunan itu menurut mestinija.

Sebaliknija ihila membatja lukisan tentang anak-lingkungan-hukuni ini, orang berpedoman pokok-prikiran bahwa masjarakat-huikum se­bagai kesatuan daripada suisunan masjarakat, adalah masjarakat - wilaijah (,streekgemeenschap) (urung, portahian atau sekarang disebut ,,negari”, kuria) dan dusun (huta), djadi bukannja bagian- clan-nja ; anak-tjutjunja pembangunan--huta merupakan marga tanah (heersende m arga), garis2 pembatasan terriitoir dusun2 dan wilajah“ memotong bagiian2-clan sebagai masjarakat2-ihukum terpu­tus dari bagian- clan-induknja (jaitu tempat asal daripada si-pem- buka-dusun itu) ; djadi sesama anggauta clan dari lain, tempat tidak termasuk marga-tanah dalam sesuatu dusun ijang tertentu. Di agian Selatan dan sebagai samibungannja daerah kedjurusan U tara dita- nah datar tinggi Toba, Balige, Lagi&oti dan Sumba n Djulu, disitu adalah hanja satu (¿jabang) marga jang „meradja dalam kurta, dalam negari dan dalam huta dengan penduduk-penumpangnja dan marga lain disampingruja, didaerahnja ; (tjalbamg) marga itu didae- rah2 Utara namanja hordja, nama mana sesuai dengan pudjaan2

37

jang disadijaiJca.il bersama, djadi : ,,persekutuan pudjaan". DaJam be­berapa masjarakat2 didaerah situ terdapat djuga, bahwa dua atau tiga marga berdiam berdampingan satu sama lain atau tjampur baur satu sama lain, ketiga2-nja adalah marga tanah, djadi kedudukannja satu terhadap jang lain mirip kerabat2 Minangkabau ; bedanja de­ngan itu terletak dipenduduk-penumpamg jang bersama ketiga marga tanah tadi djuga termasuk masjarakat itu. Didaerah Pakpak masjarakat-wilajah (atau gabungan dusun2) (aur) kebanjakan meli­puti marga jang karib satu sama lain, jang masing2, djuga sebaga^ marga tanah mempUnjai daerah sendiri2 (bandingkanlah dengan Nias). Disemenandijung Samosir ma s j a r ak a t2 - \vi 1 a j a h jang besar2 disebut mula2-nja : bius; disana berdiam bersama pelbagai marga tanah, dengan kelompokan-dusun^-nja terpisah satu sama lain le- taknja. Tanah2 belum terbuka jang termasuk lingkungan-hak-per- tuanan (beschikkingsrecht) ada dalam keadaan tak terbagi2. Seba- liknja di Barus maka disana dimasjarakat-wilajah jang besr (sem- barur) berdiam beberapa marga tanah atas dasar persetudjuan bertjampur baur satu sama lain (bandingkanlah Gajo), mereka mempunjai daerah-,.beschikkmgsrecht” tak terbagi2. Di'kalangan orang2 Batak-Karo maka kepribadian kampung2~dusun (kesain) terhadap masjarakat jang lebih tiruggi (kuta, urung) sangat kuatnja. Djuga disini dipakai sebutan marga tanah untuk marga jang „me- radja” . D aerah2 besar jang berdte sendiri di Simelungan itu telah mendjadi keradjaan2 ke-tjiP jang lalim ; masjarakat2 bawahan disana ada sangat tertekan.

Pemerintahan disemua masjarakat2-wilajah dan didusun2 perta­ma2 terletak ditangan seorang wakil dari marga jang „meradja” . kadang2 dengan dibantu oleh seorang sanak-saudaranja. Selandjut- nja dalam pemerintahan itu hampir senantiasa terdapat wakil2 dari marga-boru dan disebelah Selatan djuga wakil2 dari marga-penum- pang lainmja. Jaitu disebutkan, bahwa disebelah Selatan kuda itu diperintah oleh radja panusunan, kahanggi ni radja (karibnja, pe- suruhnja dalam segala matijam pekerdjaan, mungkin bakal peng­gantinya), bajo bajo na godang untuk marga bom-nja radja dan natoras untu'k penduduk-ipenumpang lainnja. Dalam kenjataan- nja kepala-kuria memerintah Ibersama kepa]a2-dusun dan kadang bersama bajo bajo n'a godang. Ditanah datar tinggi Toba, Bali g e dan sebagainja kepalanja dasebut radja pardjolo, jang memerintah dengan pembantu2 dan kaiki-<tangarunja : radja portahi; di Samosir radja doli 'bersama radja portahi, jang disana adalah kepala2 dari­pada marga jang „m eradja” ; di Pakpalk pendjabat2 pemerintahan, jaitu kepala2 marga tanah, dinamakan menurut 'bagian daripada

38

2

chewan tersembelih, jang mereka berhak menerimanja diwaktu upatjara2 (parisang isang djuga takal aur) parekor ekor dan par- tulan tengah) bersama dengan beru untak marga-penumpang. D ju­ga di Barus pemerintahan terdiri dari beberapa kepala. Dikalangan Batak-Karo maka kampong. kesain, dan dusun diketuai oleh pengu­in daripada marga tanah, dibantu oleh anak beru senina-nja, ialah ipar dan saudara dalam arti menurut ,,abu”-nja (klassifikato- risch) (hal. 127), Urung itu diperintah oleh sebuah dewan kepala2.

Dapat disamakan dengan susunan rakjat Batak ialah susunan daripada beberapa suku2~bangsa di Timur Besar, dimana djuga ter­dapat „asymmetrisoh connubium” .

5. Suatu tjara lain susunan-rakjat daripada jang telah dibitja- rakan sampai sekarang ialah golongan genealogis segi-dua, jaitu suku (stam) atau bagian2-rija : kaum2 (geslachten) (kadang5' dusun2 didiami sesama-anggauta-suku) jang mendiami territoir sendiri.

Terutama masjarakat2 tadi terdapat di K a l i m a n t a n . Perta­ma kali disana terdapat DAJAK PUNAN, suatu suku-pengembara jang dalam gerombolan2 ketjiil2 berkeliaran dalam suatu daerah- pengembara ; bila mereka menetap baharulah suku selurubnja da­tang berkumpul djadi satu, sebagaimana halnja dengan suku PE- NJABUNG di Barito-udik dalam taihun 1905. Jang paling terkenal sebagai suku2 jang sudah mendjadi kesatuan2 jang menetap ditem- pat Icediamannja sendiri ialah suku DAJAK KENJA didaerah Apo- kajan, suku MAANJAN SIUNG dan suku LAW ANGAN BE- LOH. Bagian2 daripada suku itu, ialah kaum2 (kerabat2) memang berdiam mendjadi satu dan memang agalk berarti, namun masjara- kat-hu'kum jang menguasai segala hulbugan^hukum dan perbuatan3- hukum adalah : suku dengan lingkung an-ha'k-per t uanan (beschaik- kingsrecht)-nja sendiri. Pimpinan ada ditangan kepala2 (penghulu2) suku dengan segala permufakatan dan kerdja-sama dengan orang* merdeka laki2 ; isifat2 pribadi kadang2 dapat mengakibatkan kekua­saan besar. Dilkalangan suku DAJAK LAW ANGAN lainnja, pula suku KLEMANTEN d'i Kota W aringin maka masjarakat2 jang terkemuka ialah dusun"2 jang terdiri dari kerabat2 dan jang berdae- rah sendiri, meskipun dalam pada itu masjaraikat suku tidaik terha­pus karenamja, tapi hanja bergerak dalam urusan2 mengenai tanah dan pemerintahan. Tingkatan perkembangan berikutnja terdapat antara lain dikalangan suiku NGADJU, O T DANUM dan. M A ­

ANJAN PATAI di Kalimantan Selatan; disana kerabat2 itu su­dah meningkat mendjadi masjarakat2 jang berdiri sendiri, pertalian-

39

suku tidak ada artinja. Diwilajah2 sini keadaannya sekarang men- djadi demikian.: makin mendekat pantai maka kerabat itu makin banjak jang diganti dengan dusun. O rang2 berasal dari golongan genealogis dulu pada asai mulanja masih djuga merupakan kelas jang dilebihkan tentang hak2 atas tanah (paung asal) — sampai djuga ini len.jap mendjadi dusun territorial seluiuhnja (didaerali pantai) jang merupakan masjarakat-hukum semata2. Hanja dikala- ngan beberapa suku, misalnja LONG GLATT, LEPO TIMEI dan LEPO ALIM (di Apo Kajari) maka suku2 jang mengembara itu lalu datang berdiam berserak disesuaitu daerah bersama suku2 jang terdapat sudah berdiam disitu, maka mereka dibiakkan dalam kedudukan dibawah (hal mana makin mendjadi kurang) tapi tidak sampai mereka didjadikan budak.

Djuga Sulawesi Tengah termasuk tokoh ini. Suku TO MORI di Sulawesi Tengah Tim ur masing2 tetap berdiam didaerahnja sendiri dalam masjarakat2 genealogis (suku2). M asjarakatr-hukum jang asalnja ialah suku jang berdiam didaerah sukunja sendiri, tapi di- belakang lalu memisah2 mendjadi dusun2 daripada sesama anggauta suiku, adalah m asjarakat2-nja orang2 TORADJA jan3 berbahasa ..baree” , walaupun penghulu2 jang berpengaruh masih mempunjai kekuasaan diluar dusunnja atas masjarakat2 karibnja dan walau­pun perairan ikan rupa2nja dapat dianggap sebagai „miliknja suku” . Dikalangan TORADJA SADAN masijarakat2-wilajahnja disebut buah atau pe.nan.ian dikepalai oleh indo buah atau pacenge dengan kelasnija nomer satu tomakaka ialah anak-tjutju pembangun masja- rakat itu ; buah itu rupa"-n.ja ibukanuja diusun2-!sesama-anggauta-su- ku semata2, dalam arbi kata bahwa orang2 luaran dapat dipungut masuk sebagai sesama dalam hak2-nja dalam masjarakat, walaupun teranglah kekuasaan ada ditangani tomakaka. kelas mana mengha­silkan parenge pula.

Ikaitan genealogis mendjadi berkurang dan lemjap didusun2 dan masja>rakat2-wilajah jang akan disebut berikutnija ini. Telah dite­rangkan tadi, bahwa masjarakat territorial serupa itu dapat terbit dari masjarakat genealogis, jaitu satu kaum kerabat jang berdiam didaerahnja sendiri, maka disitu lambat laun orang2 luaran menda­pat hak2 jang sama dengan anak-tjutju dari kaum jang asli sehingga mereka karena ikut berdiam didaerah itu djuga berhak atas bagian- nja dalam m asjarakat; sedangkan mungkin djuga bahwa masjara­kat2 dimana golongan2-genealogis disatu daerah berdiam tjampur baur satu sama lain, disitu karena pertalian kesanak-saudaraan men­djadi lemah masjarakatnja lantas mendjadi dusun2 atau wilajah2 ter­ritorial penuh ; proces ini terdjadi — seperti- kadang2 di marga di Sumatera Selatan dan didusun2 pantai di M aluku •— dimana golo-

40

ngan pengembara dari pelbagai suku sa/ma menetap bersama2 satu sama lain dan disini mereka menghapuskan segala pembatasan2 satu dengan lain. Tjara timbulnja masjarakat2 territorial itu tidak dari­pada semua lingkungan-^hu'kum (Atjeh, Sulawesi Selatan. Bali. Djawa) dapat diketahui.

6. Suatu misal daripada daerah-suku jang sudah mendjadi ter- ritoir pertama- terdapat rupa'--n ja di MINAHASA. Daerah suku ( — walak) asli beberapa lama (sekarang sudah tidak lagi) hidup terus sebagai distrik (dengan kepaJa-disti’ik), dimana berdiam se­mata- sesama anggauta suku ; djuga sampai seikarang batas2 daerah lama itu masih dihormati oleh pemburu2 dan orang2 pengumpul hasil hutan. D.dalam „distrik" itu, jang induk dusunnija atau tempatnja kediaman pertama masih dapat diketahui, maka oleh beberapa ke- rnbat didirikan negorij- ibaru, jang batas2-nja (sesudah empat ta ­hun) ditundjuk dan ditetapkan idengan upatjara. Sebagaimana di Minangkabau maka orang dapat menjelidiki asaP-mja dusun2 itu sampai kepada dusun pertama, ialah pokok pangkal daripada asal- uja segenap penduduk. Kerabat didalam suku „endogaam” itu tersu­sun menurut hukum-bapa — djadi dimana ,,bin/bm ti”-nja, (de ,,van ) (nama-kerabatnja) berasal dari fihak bapa, dan kerabat itu diketuai oleh kepala-kerabat (tua itn tevanak) tidak sebagai ma- sjarakat-hukum jang tertutup buat orang2 luaran, tapi sebagai suatu golongan jamg bersama2 berhak atas harta peninggalan jang tak te r­bagi2. Karena pemetakan distrik2 itu, maka lenjaplah pertalian-sa- nak-saudara sebagai faiktor dalam susunan inasjarakat2-hukum itu dan buat sekarang negorij itu harus dianggap sebagai m as j a raka t- hu'kum territorial dengan lingkungan-beschikkingsrecht-nja, diurus oleh hukum tua jang dibantu oleh kepala-djaga dengan meweteng sebagai pemban:tu2-nja pula.

7. Kedua, maka mas jaxakat2-wilajah di SUMATERA SELA­TAN, jaitu marga, setengahnja dapat dianggap sebagai wilajah- jang didiami oleh sesama anggauta2 clan, dimana tergolongnja da­lam golongan-sanak-saudara tak membawa keuntungan hak2 jang melebihi lagi, dan sebengahnja lagi harus dianggap sebagai suatu pembagian daerah oleh kekuasaan atasan, daerah mana diperkem­bangkan mendjadi masjarakat-wilajah (streek-gemeenschap) itu. Dalam marga itu terletak dusun, jaitu desa2 jang sekedar bertegak sendiri.

Dimasa lampau (sampai pertengahan abad ke-19), terdapat disini— sebagaimana sekarang masih terdapat di Kalimantan ' djuga segala matjam bentuk : orang2 KUBU jang mengembara dalam ge­rombolan2 ketjil2 didaerah pengembaraannja send iri; orang- ANAK LAKITAN, jang bergelandangan dari suatu pergabungam

4!

tanah ladang kepergabungan lainnja ; orang- REDJANG. suatu clan jang telah menetap didaerahnja sendiri ; orang- D JELMA DAJA didaerah KRUE, ialah clani2 jang memetjah2 sebagai bagi-^g an2-clan mnsing- dengan daerahnja sendiri2 ; dan orang-v"PA M1NGGIR didaerah SEMANGKA termasuk d'jenis itu djuga. Selandjutnja terdapat didaerah Ranau di Bengkulen dan dilain" tempat bag.ian2-clan daripada ipelbagai clan jang bersama2 berdiam dilembah sungai atau diwilaja'h lainnja, kadang2 dengan kedudukan jang lebih unggul buat bagian-clan jang berdiam terlebih dulu disitu. Selandjutnja pula dalam lingkungan luas sekeliling ibu-kota Palem ­bang, dalam daerah ,,lungguh”-mja (apanage) sultan", ialah di Ka- [5ungutan. terdapait pemetakan2 dusun-kerabat dibawah kekuasaan pemegang2 ,,lungg,uh” ; batas" menurut pemerintahan ; pegawai- diputjuk pimpinan ; hanja kerabat2-lah mula2 merupakan masjara- kat2-hukum ; pada achirnja djuga ini lenjap pula. Dipantai antara Palembang dan Banten-di-Lampong, jang tiada kekuasaen untuk mengatur (TULUNG BAWANG) terdapat kekatjauan besar di- kalangan masjarakat2 genealogis ketjil2 disana (suku) jang berdiam bertjampur baur satu sama lain. Penduduk2 pantai Bengkulen dan orang2 Paminggir sekitar teluk Lampong bersama2 unsur2 asing merupakan masjarakat2-wilajah tjampuran.

Pada sekarang marga itu harus dianggap sebagai masjarakat- wilajah terriitorial, dimana orang dapat mendjadi anggauta dengan djalan berdiam disitu dan memasukkan diri untuk dipungut oleh ummat jang mendiami masjarakat situ ; makin dekat tanah-usul.]aitu kearah daerah pegunungan, makin ada kemungkinan, bahwa masih ada pengaruhnja pertalian sanak-saudara atas penduduk marga itu.

Kepala2 marga dengan gelar pangeran atau depati disebut pasi- ra h ; kepala2-dusun disebut proatin, kria, depati, mangku atau pembarep; pembanitu2-nija dliselbuit penggawa, pemangku dan sete- rusnja ; djadi satu dengan kepala2 suku (tuo suku) dan tertua2 ke­rabat lainnja maka kepala2- dusun di Redjang itu disebut kutai.

S. Dipulau2 ketjil2 AMBON dan di ULIASER jang merupa­kan masjarakait ialah dusun, negorij, jang dipantai HITU memba­wahkan kerabat2, rumatau, ( ialah bagian2-clan) sebagai masjarakat2- hukum (hal. 35, 36), tapi di'larn2 tempat negorij itu hanja meliput; keluarga2. Dulu pada asalnja pendudulk berdiam dipedalaman se­bagai clan2 jang (tersuisun hukum-bapa, dan exogaam {aman, hena) didaerahnja sendiri dan terhimpun djadi satu mendjadi uli, dalam masa bersedjarah maka bentukan negorij dipantai itu dipaksakannja oleh kekuasaan dari luar. Disitu kerabat2 ( rumatau, soa) dan ka­dang2 kerabat2 jang tak kacilb satu isaima lain, berdiam bersama- di­bawah satu pemerintah, jang bersandar .pada kekuasaan asing pula.

42

Dwiec/ori/'-Kristen maka sedemikia-n itu mengakibatkan Jenjapnja m asjarakat-sanak-saudara ; didalam negorij situ hanja dati-lah m a­sih tetap sebagai tjabang-kerabat jang tertentu berhukum-bapa, jang memiliki perkebunan2, dan jang merupakan ..keraba^-m iti",' jang karena tindakan2 pemerintah Eropah atau pemerintahan negorij kadang- dirobah" bentu'knja mendjadi sebarang masjarakar-peniilik- tanah.

Negorij itu d kemudikan oleh kepala- negorij, disebut .regent". dengan dewan, saniri radjapati namanja. Dalam dewan itu duduk kepala soa ; soa di- ne^ory'-Kristen sekarang berarti ..kampong" menurut tata-usaha pemerintahan.

9. Suatu masjaraikat-wilajah ( ivanua atau banua, kadang- sjr- besar dusun), dimana sangat menjolok mata perwudjudan (materia- lisatie) daripada kesatuan daja-hidupnja masjarakat, adalah perse- kutuan-perhiasan (ornamentsehap), jaitu jajasan- gaukang (gau- kang-stichting) di Sulawesi Selatan; masjarakat2 itu dalam batin satu sama lain terikat oleh perasaan bahwa mereka bersama2 mem­punyai hubungan dengan suatu benda-pelik jang adjaib, suatu per­hiasan. jang disebut gaukang, kalompoan atau aradjang, menuxut kata orang pada asal mulanja berv/udjud : sebutir batu jang ditemu­kan, seputjuk tjabang berbonggol, sepubjuk bendera, seputjuk tom­bak, sebuah badjak atau lain benda, didalam mana daja-hidup ma­sjarakat berpusat dan jang dianggap perwudjudan daripada kesa- tuannja masjarakat. Benda pelik itu kebanjakan ditambah dengan barang2 berharga, jang dfbelakang kadang2 mengganti gaukang jang asli.

Pengembaraan- dari wanua asal dapat diuga merupakan masja- rakat2 jang berdiri sendiri, walaupun mereka tak ada gaukang na­mun kebanjakan lalu disebutnija sebagai bermartabat nomor dua, ialah anawamia. Terhadap swapradja2 M andar ada tersebut dalam tulisan bahwa disana bagiair-clan (apakah kesanak-saudaraannja menurut keturunan fihak lelaki?) adalah golongan2 jang penting artinja. Tapi masjarakat--n j a dimana" tempat adalah territorial. Pe- merintahnja adalah pendjaga (waardijn) perhiasan, jang disebut karaeng, arti, galarang, maradia, dan seterusnja adalah amat ber­aneka-warnanja sebutan dan tugas daripada para pembantu dan para kepala2 bawahan.; pada asalnja dulu m asin g2 jajasan-gaukang ada dewannja, hadat; susunan-rakjat itu sangat dipengaruhi oleh perse- kutuan2-keradjaan2 jang kuat — peperangan — gubernemen ; na­mun dibawahnija susunan itu tetap hidup terus wanua itu sebagai ,,cel" dan bentuk-asli daripada keradjaan itu sendiri.

10. Dusun BALI, ialah desa, adalah -masjarakat territorial sebu- lat2-nja ; perta]ian-sanak~saudara di Bali memang betul menghimpun masjarakat2-pemudjaan (jang genealogis dan kurang diketahui

43

orang), mendjadi satu, namun anggauta-'-nja berdiam berserakai. dibeberapa dusun dan tugasnja tidak lain dari memelihara kuil dan bersama? memudja mojangnja jang didewa--kan , susunannja kera­bat2 adalah menurut huikum-bapa, ket juali beberapa désa jang bei- susunan menurut hukum 'bapa-ibu. Désa itu adalah suatu masjai.akat jang pertama2 berdasarkan atas kewadjiban dan atas kehendak bei- sama untuk menjutjikan daerahnja buat dewa2-nja dan untuk me­mungkinkan penjelenggaraan pudjaan- dan upatjara -agama lain-- nija sebagaimana mestinja. Adalah perbedaan besar dalam susunan- dilu-ar dan didalam daerah „lungguh (apanage-gebied) dulu (jaiLu daerah disebelah Selatan Karangasem, Buleleng dan Djembrana di­kurangi dengan pegunungan2 Gianjar dan Bangli), pula perbedaan besar antara dusun2 kolot dan dusun" modern. Dalam dusun2 kolot anggauta2 jang diwadjilbkan dan berhak pula sebagai anggauta sem­purna untuk turut serta dalam pakerdjaan ipemudjaan, ialah sedjum- Iah tetap atau berganti2 (kadang2 duapuluh atau kelipatannja dua- puluh) daripada orang2 dusun jang mempunjad tanah"-pertanian jang tertentu atau mempunjai sekedar bidang tanah-pertanian dan jang harus sudah berkawin. Terdapatlah aturan2 jang sangat ber­beda2 mengenai penggantian bilamana seorang anggauta lowong : kebanjakan kedudukannja itu dapat diwarislkan dalam lingkungan kerabat, terkadang2 djuga tidak. Orang2 desa jang tertua ménger- d j akan tugas2-pengurus jang istimewa (pasek, dan sebagainja) ai- tinja, mereka harus mengerdjakan tugas istimewa diipemudjaan de­wa2. Malahan jang memutuskan perselisihan2 adalah pada hake- katnja anggauta* pengurus- désa, jang mendjaga djangan sampai daerah-dusun dinadjiskan karena perselisihan2. A nggauta2 désa itu disebuit désa, krama désa, kanoman dan sebagainja, namanja saban" lain. Diantara penduduk2-inti ini maka didalam désa kebanjakan ada segolongan penduduk-désa kelas dua, jang masih djuga mem- pumjai bagian tanah dan suatu tugas jang terbatas. Penumpang- dan orang baru datang, jang pada mulanja menumpang kepada krama désa merupakan lapisan'ketiga (sampingan). Selandjutnja didusun2 terletak diluar daerah „lungguh” radja2 dulu, terdapat pelbagai perkumpulan2, jang dibawahkan oleh désa. Pertama : 'batidjar, jaátu perkumpulan kampong ; lalu perkumpulan2 pemuda dan pemudi, perkumpulan2 musik dan sandiwara, dan seterusnja. Dalam daerah-„lungguh” maka masjarakat2-hukum serupa itu ter­dapat djuga sebagai perkumpulan2 jang merdeka terbentuknja, ti­dak dibawahkan oleh dusun2. Dusun2 model baru mengidinkan m asing2 penduduk lelaki jang sudah kawin masuk mendjadi ang­gauta perkumpulan-desa, mengharuskan mereka masuk anggauta ¡tu, dan desa2 modern it-u mempunjai kepala2-c?esa jang disebut

4-1

kadang- dengan beberapa orang pengurus lain ; dan klian itu a a a se agai gantinja pemerintahan desa oleh anggauta2 dusun jang tertua. Menurut kebiasaan (ada djuga perkefcjuaJiann.ja) sese­d an g men jadi penduduk bilamana ia satu tahun bertempat tinggal didesa, mempunjai rumah-halaman dan sudah kawin.

Disamping masjarakat- atau persekutuan- tersebut, maka di Bali jang esar artimja ialah persekutuan2-pengairan jaitu subak, jang .susunannja pelbagai tjaranja dan huibungannija dengan desa pelba­gai pula tjaranja ; suatu persekutuan diantara pemilik2 sawah diba­wa i pimpinan klian atau lain pengurus jang bertugas memelihara pe­ngairan. Djuga atas subak ini radja- dulu besar sekali penaaruhnja (hdaerah2 „lungguh”.

Desa di Lombok adalah masjarakat territorial, terdiri dari per­seorangan (keluarga2) jang satu sama lain buikan sanak-saudara. ia mempunyai lingkungan haik-pertuanan (beschikkingsikring) dan dikemudikan oleh seorang kepala desa.

Djuga desa di DJAWA adalah masjarakat territorial seb u la t-- nja an juga terdiri dari perseorangan2 (keluarga2) jang satu sa­ma ain ada ikatan sanak-saudara sedikit pun. Tidak termasuk ..anggauta esa, artinja bukannja sesama-anggauta-masjarakat, ia a se ainnija pendudulk desa 'berbangsa asing, kebanjakan djuga / ujaji, u a aupun mereka berdiam di desa situ ; namun mereka dapat djuga masuk kedalam masjaraikat-desa itu.

, ^ n99auta“- desa (hal. 25) dapat disilah2-kan dalam kelas pen- <- J u c anti (pribumi, sikep, kuli, baku, gogol) jang mempunjai ta­na per an.an dan rumah-halaman dam jang memikul beban2 penuh : .aij 3S / 7e rumah-halaman atau pemilik2 tanah-pertanian

J k u ’ Un§ ' in^ un9' dan sebagainja) jang memikul hanja bebe- pa e an, dan achirnja : kelas pemilik2 rumah atas halaman lain

' numPang) atau penumpang2 jang mentjari nafkah sendiri,\ sup, osor) dan mereka jang bekerdja untuk mereka jang di- umpang.i , anggauta2 serumah (anggauta2 kerabat), rajai, tidak

merupakan kelas tersendiri.

Di BANTEN desa itu terdiri dari beberapa ampian atau kam- Pong agak ketjil2 ; kampong2 tadi mempunjai kepala sendiri ialah .o otot, tua tua, dan seorang penghubung antara penduduk ampian dan kepala desa jang disebut djaro, jang mempunjai beberapa orang pesuruh.

Di PRIANGAN maka desa itu terdiri dari kampung atau lembur jang letaknja d jauh satu sama lain. Kepala2- kampung disebut man­dor, punduh, disini dibawahkan oleh kepala- desa (lurah). Lurah itu dibantu 'oleh beberapa orang polisi, ulu-ulu, dan sebagainja.

Di DJAW A TENGAH dan DJAW A TIMUR maka desa jang sebenarnja itu adalah suatu lingkungan kediaman jang disebut

45

kradjan dengan duikuh2-nija jang dibawahkannja (padukuan). Ke- pala-desa (ktiwu, bekel, lurah, patinggi) mempunjai kedudukan jang agak autocratis dan mempunjai barujak pembantu2-nja (kamitua. bahu, kebajan dan lain2-nija).

Di MADURA penduduk berdiam tersiar dikelompokan rumah- petani ; empat sampai sepuluh 'keluarga, kebanjakan sanak-saudara satu sama lain, bertinggal berkumpul dirumah-halamannja sendiri' dengan tanah2 pertanian disekitarnja. Beberapa buah kampony medji serupa itu merupakan satu kampong di'bawah pimpinan se­orang apel, jang dibawahkan lagi oleh kelompokan lebih besar ialah desa, dipimpin oleh kepala-cfesa, jang disebut kalebun. Desa sede­mikian itu walaupun hu'bungannja satu sama lain ada kendor, namun oleh penduduknja dianggap seibagai masjarakatnja.

Dimana2 kepala2-desa itu mempunjai penulis2 ( tjarilc, djurutulis) disampingnja. Dimana2 djuga dalam dusun ada pegawai urusan agama (modin, lebe, alim, ketib dan sebagainja). Dimana2 pendu- duik2-inti sekarang te rapat di<kumpul&n2~desa untuk membifcjarakan urusan2 desa jang penting ; kadang2 dljarang sekali (di Banten, di Madura) ; dilain2 tempat dengan tertibruja seikali sebulan, sekali da­lam tiga puluh lima hari, dan sebagainja ; dijarang atau kerapnja diadakan rapat ini djuga 'tergantung dari pendapat pegawai2 pe­merintah.

Dizaman dulu tectua--desa itu adalah pendjabat2 jang sangat penting (jang paling penting) dilapangan kehidupan desa seluruh - nja. Rupa2-nja mereka dikebanjakan wilajah sudah dihapuskan.

Beberapa desa merdika (perdika, pekuntjen, midjen, pesantren) adalah desa jang dahulu kala dibebaskan dari beban2 oleh radja, atau mendapat tugas2 istimewa darii radja, masih tetap mempunjai sifat istimewa itu atas persetudljuan dari Pihak gubernemen.

Djemaah2 Kristen itu bulcannja desa — walaupun memang ad? beberapa desa-Kristen ■— melainkan persekutuan2 daripada orang-’ Kristen jang termasuk dalam satu desa, dengan mempunjai kekajaan sendiri (gered|ja, kas) dan pengurusan sendiri.

12. M a s j a raka t2 -h uku m di ATJEH adalah semata2 territoria! pula.

Baik masijarakat-wilajah (jang besar) jai/tu jang dikemudikan oleh olcebalang, tjiq atau apapun d'juga sebutannja, mauipun dusun2-nja disebut gampong, meunasah. Tidak ada istilah Pribumi buat masja- rakat2 wilajah itu ; wilajah itu adalah landschap2 atau bagian2- hindschap (lebih dari seratus) atau — bila letaknja didaerah gu­bernemen < 'haminte2 Pri'bumi (Inland'sche gemeeniten). Mungkin clan- jang tersusun menurut hukum-bapa (kawom) dibagian2 udik, masih sedikit ada artinja, tapi mereka tidak merupakan unsur dalam

46

bentuik masjarakat terri torial ini. D jabatan daripada pemerintah - jang autocratis atas m asjarakat2-wilajah, ialah daripada ulèebalang.. tjiq, dapat diwariskan. Diputjuk pimpinan dusun2 adalah pertam a2 kepala dusun (keutjiq, peutua). jang dulu diangkat oleh ulèebalang,. tapi sedjak j'tu, djabatan itu djuga dapat diwariskan. Disàmping dia— disebut djuga bapa dusun — adalah teungku atau buat dilain tempat : imeum, disebut dijuga ibu dusun ; jang terachir ini ber­tugas memelihara urusan kerochanian dan ke-Islam-an, dan dua pen- djabat ini bersama suatu dewan tertua2, ureueng tnha. mendjalankan pemerintahan didusun.

13. Selandjutnja termasuk djuga golongan masjarakat- territo­rial jang b u la t2 ; dusun" di BANGKA dan BELITUNG dan dusun-" di PANTAI2 TIMUR KALIMANTAN dan SUMATRA (ling­kungan Melaiju). Seiandjutnja ,,onderdistrik2 di GORON­TALO, ¡alah m as j a raka t5-wila j a h di'bawahkan marsaolèh. dan du­sun dalam BOLAÀNG M ONGONDOW dikemudikan oleh kepa- la-dusun, (kimelaha) dibantu oleh pembantu2 probis dan disokong oleh tertua2 kerabat (guhangia). Terhadap penduduk' kepulauan BANGGAI dichabarkan orang bahwa mereka berdiam berserak se­luruh kepulauan dengan tiada seddkitpun ikatan atau hubungan satu sama lain. Kepala2-mja : tenggol, jang terdapat disana, rupa2-nja adalah bikinan radja2 Pribumi jang berasal dari luar. Djuga dika- langan suiku-bangsa NGADA dipulau FLORES, diantara M ang­garai dan Nagé, terdapat kehidupan tersiar sendiri2 tanpa hubu­ngan satu sama lain.. Kerabat2 ketjil2 berdiam disana dengan berdiri sendiri jang satu tak tergantung dari jang lain dan tanpa ikatan- masjarakat sedîkitpun diatasnja.

Demikianlah oleh masjarakat2 jang tersebut tadi dikuasailah kehidupan-huikum sehari2 daripada berd’juta2 orang2 Indonesia, an dipertahanlkainJah huikum-adat oleh p e n g h u l u 2 - r a k j a t - nja (volkshoofden), pengulu jang memegang adat. T u g a s menu­rut hukum-adait daripada penghulu2-rakjat ialah „meletakan s“aiz; pada tempatnja” ( = ,,elk ding zijn plaafcs geven” ) d'jadi memelihara djuga „ketertiban” (hukum), maka bagian2 dari tugas itu saban- akan muntjul untuk dibitjarakan ; baik dipandang dan sudut pen- d jagaan ketertiban-hukum (preventiieve rechtszorg) maupun dan sudut peradilan perselisihan2, maka tugas tadi meliputi se uru a pangan hukum. P e n g h a s i l a n daripada kepala2 dusun itu (terlepas dari tolong-menolong, pekerdjaan dinas untuk kepalan j a., hal. 122) mencerminkan mafcjam2 pekerdjaannja dan seharusnja — menilik sebutan2-nja istimewa — mendapat perhatian dari fihak hu- kum-adat. Untuk menerima dan membelandljakan jang tepat^sumba­

47'

I

ngan2 berdasarkan Islam, jang berupa beras/pad i dan wang (dja- kat sesudah panen dan pitrah sesudah puasa), maka hal2 ini diurus oleh pegawai dusun urusan agama.

Bagaimanapun djuga pentingnja pembentukan hukum dalam ma- sjarakat2 ketjil2 itu, namun masjarakat2 itu tidak merupakan masja- rakat Indonesia seluruhnja. Disamping hukum-adat d i m a s j a r a k a t * itu ada hukum-adat dari asal lain, ialah jang tidak terbentuk dima­sjarakat2 ketjil2 itu, walaupun ada kelharusann.ja .bertalian dengan itu. Karena disamping — walaupun djuga berhubungan — lingku- ngan-raJcjat daripada sesama anggauita2 masjarakat, terdapat ling- kungan-hukum daripada orang2 luar masjarakat (gemeenschaps- vreemden).

2. L IN G K U N G A N - RA D JA 2.

W alaupun satu sama -lain bertalian erat, namun lingkungan-ra- d ja2 dapat dipandang berhadapan dengan lingkungan-rakjat dima- s j a raka t" -hukum jang ketjil2 ; baik radja berasal keturunan dari bangsa penghulu2 diwilajah sendiri, bangsa mana 'bertumbuh men- djadi bangsa radja2, maupun dia seorang Indonesia berasal dari luar daerah situ ataupun bahkan dia seorang berasal dari luar Indo- nes:a, namun di mana" linglkungan-iradja2 itu mempunjai tjorak2 jang sama djenisnja. Pribadi radja itu adalah sebagai pemilik kekuasaan, titik-pusat daripada kekajaan daja-sakti dalam keradjaan itu, be­serta lembaga-(keradjaan), perhiasan2 keradjaannja, ialah apa jang disebut upatjara. Dapat dikatakan djuga, bahwa radja itu diwaktu naik taohta mewarisi benda2 keramat itu, atau bahwa benda2 kera­mat itu (sebagai perwudjudan kesatuan keradjaan) mewarisi dia. Radja dan keradjaann/ja adalah satu, segala2-nja dalam keradjaan­nja adalah miliknija, dalam theorie kekuasaannja tak terbatas, ia d i­hormati setjara radja Run£autu (Byzamtijns), ia didewa2-kan ; akan tetapi, karena kesedjahteraan keradijaan adalah kesedjahteraannja (dan sebaliknja) dan dalam praktijknja kekuasaannja terbatas, m a­ka dari itu ia tak menijinggung2-nja dan .membiaricann-ja sadja im- bangan timbal baliik antara keradjaan dan dirinja itu. Sekitarnja benkerumunlah kerabat radja (bangsawan) dan pegawai2-keradjaan tinggi. M artabatnja terhadap satu sama lain dari atas sampai keba- wah dibeda2kan dengan saksama, untuk perkawinan2 maka soal martabat ini sangat pemtmgnja, gelar akademie atau lain2 tanda" sukses dalam kehidupan memungkinkan memasuki golongan2 bang­sawan tadi, kepada mereka pula jang pada awal-mulanja tak ter­masuk golongan2 itu. T anda2 lahir daripada kebesaran itu dihormati dengan tjermatnja. Di Djawa misalnja djangan selkali2 orang timbul kehendaknija menjadjikan air teh kepada seorang pangeran dengan mempergunakan alat2 jang dapat dipergunakan djuga untuk seorang

48

tumenggung ; tetapi dikalangan mereka jang sudah modern hal se­demikian itu sudah makin hilang. Di Bali, maka kebangsawanan- kasta (rfc S% dari penduduk) itu dapat dianggap sebagai golongan ;ang hidup diluar desa. Dimana organisasi radja2 berasal dari ke- tumbuhannja susunan-rakjat, seperti di Sulawesi Selatan, dan d i­mana karena pertalian-perkawinan terdjadi perhubungan erat antara keturunan-radja" dan penghulu2-rak.jat (voikshoofden), maka disitu perbedaan antara penghulu2-rakjat dan bangsawan-radja2 adalah lebih bed’a dalam tingkatannja (gradueel) daripada dalam dasarnja (principieel) walaupun kedua golongan itu tetap dapat disilah-’-kan sebagai „golongan” dan „golongan-disisi”. walaupun radja dan >ke- rabatnja berada diluar, dan penghu'lu2-'rakjat rendahan didalam masjarakat2 ketjil2 itu (penghuluS-r.alkjat atasan kadang2 ditengah2- n ia ) .

Termasuk bangsawan dan pegawai^tinggi djuga ialah mereka jang mendjalankan pemerintahan atas penduduk,, jang tneaijampai- kan perintah2 dan jang menerima dan meneruskan pembajaran pa- djak2 (mereka dari tingkat atasan 'berpangkalan di-iibukota, mereka dari tingkat bawahan dii-pedalaman). Pegawai-bawahan radja dipe- dalaman segera sedikit b anjak memperoleh sifat penghulu-rakjat (volkshoofd). Seluruh golongan digadji oleh radja, 'karena mereka diberikan haik menarik pengihasilan-radlja dari wilajah jang tertentu. Alam radja dan bangsawan istana dengan bahasa-istananja, de­ngan keseniannja bunjii2-an, tari2-an dan sandiwara .dengan seni pandai, uikiran kaju dan ukiran kufenija, dengan sasteranja jang telah dilazimkan, mereka semuanjja bertinggal d'i ibukota, maka alam ta ' i mempunjai adat2 sendiri dan aturan2 hukum sendiri. Tentang pem a- gian susunan ikota2 keradjaan, hubungannja pembagian itu engan ..klassifikatie primitief”, jang djuga meliputi persusunan se uru bentuk 'keradjaan, dan susunan kepegawaian, maka soa mi a ® suatu kenijataan jang menarik perhatian tapi b e lu m tju up isei seluruhnja (Gorontalo, Tawaili, N g a j o g j a k a r t a dan sebagainj J . Adalah suatu organisasi dan susunan 'bertingkat-, jang mem kesempatan kepada para (kepala untuk tjampur tangan ■ a am uru kehidupan hukum daripada pegawai2 bawahannja : diwaktu ' ema- 'ian, diwaktu perkawinan, diperdjandjian2 atas tana , a a,m l . hutang pihutang wang, d a n seterusnja. Hak2 atas tana i i u o a adalah sebagian ha;k2-tempat-tanggal-djabatan (ambtelnke woon- rechten) atas tanah halaman, jang makin tjenderung eara • a • jasan. sebagian pula adalah hak® sementara buat orang asing (mi- salnija dikampong2 tempat tinggaJnja p e d a g a n g 2 dan ^ a ran ). P en­duduk lambat laun memperoleh hakB bebas jang dapat diperdagang­kan. atas bidang2 'ketjil2 tanah pekarangan sebagaimana dipedala- man tanah Dj awa ikadang2 Ibagiian® ikefijil2 daripada tanah halaman rumah2 kabupaten jang luas2 dipindahkan tangan, sehingga djatuh di tangan lain setbaga'i tanah j asan. Radija adalah hakim tertinggi, ia

49

menjuruh mengadili liwat pengadilan'J-nja, jang membina hukum- keradjaannja berwudjud keputusan2-<nja dan selain daripada itu me­ngadili djuga perselisihan2 diantara hamba" radja jang tak dapat diputuskan dimasjarakat- ketjil2 sehingga ia oleh karenanja ikut me­melihara dan mempengaruhi hukum-adat daripada masjarakat2 itu. Sebagai pedoman (instruksi), rad'ja menjampaikan kepada penga- dilan2-nja suatu undang undang (Ind.), suatu nawala (D j.), suatu ..kitab undang2 hukum” , jang kesemuanja berasal dari dalam negeti sendiri atau dari luarnja. Kemudian — lebih" karena pengaruh Ba­rat — tumbuhlah kebiasaan pembikinan undang-undang berupa pranatan (D j.). peswara (Bal.), undang undang, sehingga terda­patlah suatu hukum-adat tertulis, jang dalam alam rakjat rupa2-n.ja hanja dapat sekedar bertumbuh didusun2 di Ambon dan Bali. Aturan2 desa di Djawa adalah b u a t a n 2 pegawai2 pemerintah. Radja adalah kepala agama ; ia memerintahkan diaturnja urusan2 agama dan dalam sementaría hal djuga diadiliTiija perkara, kepada pegawai- tertinggi urusan agama, ialah kepala masdjid kota-istana. Dibawah hakim2 urusan2 keduniawian dan keagamaan dari pusat ini, maka terbentuklah susunan hakim2 bawahan d i tempat" pemerintahan jang tak begitu penting dalam daerah keradjaan. Buat orang2 luar ma­sjarakat (penduduk kota, pegawai2) maka pemegang hukum itu le­bih pentingnja daripada buat rakjat diluar tempat” situ.

Alam rad ja2, walaupun disatu f i hak berkedudukan djauh dari alam rakjat, namun berhubungan dengan itu djuga. Radja itu asal keturunan dari pahlawan-sakti dialam-gaibnja rakjat : arti kesak­tian benda2 pusaka keradjaan disadari oleh segenap rakjat dari tingkatan atas sampai kebawah ; pesta2 dan kenduri2 dengan pem­bagiannya makanair mengeratkan persatuan antara radja dan rakjat dengan ‘fcjarn mutlak dan d jitu buat kedua fihak ; dalam urusan perselisihan antara masjarakat2 jang dapat menimbulkan perang- saudara antara dusun2, pula dalam urusan pengaduan melawan penghulu2-rakjat, maka pengaduan dihadapkan radja, jang kepu- tusannja ditaatinja. Atja.p kali radja dalam kedudukan sedemikian itu dimohon mendjadi wasit didaerah2 pedalaman ; sebaliknja sekali tempoh dengan sengadja pengadilan2 radja dan kekuasaan radja untuk mengadili, didjauhkan dari lingkungan dusun, itupun untuk menolak pengaruh radja (sebagaimana dulu terdjadi oleh Tnganan Pag ring singan melawan Karangasem, Bali). Selaku perseorangan si-orang ketjil dapat menerobos semua instansi2 dan'dengan berpa­kaian putih memohon keadilan tertinggi dari radja sendiri (pépé. Dj.) ; djuga dalam rombongan2 besar rakjat dapat mengadu tan­tang sesuatu ke-tidak-adil-an kepada radja (massa-klacht).

Perempuan2 dari golongan rakjat dipungut oleh lelaki2 bangsa- wan sebagai isteri (atau bini muda) ; pertalian kekerabatan antara penghulu2-rakjat dan bangsawan-radja2 memperkokoh persatuan

50 ' ”

i

satu sama lain. Rad'ja pada umumnja membiarkan masjarakat2 itu melangsungkan ikehidupannja (-hukum) sendiri2 ; titik pertemuan ialah p e m u n g u t a n 2 wang, hasil-bumi dan tenaga. P u­ngutan- radja atjapkali dapat sesuai benar dengan kewadjiban2 Tne- nurut hukum-adat daripada anggauta2 masjarakat terhadap peng- hulu2-nja, misalnja : tolong-menolong, (hal. 122)dan bila demikian maka dipakai terus namanja, misalnja : kasuwijang (Sulawesi Sela­tan). Dalam urusan pungutan itu maka penghulu2 itu adalah peran­tara dariapda rakjat dan radja. Penaikan beban pekerdjaan rodi adalah suatu kenjataan jang terkenal, begitu djuga sebaliknja pen- tjegahan tuntutan2 radja jang tak sesuai dengan adat dikalangan rakjat. Lebih2 dknana pegawai2 digadji dengan pungutan2 tadi (..lunggu'h” hal. 78) maka pungutan itu 'berulang2 mengatjaukan atau membinasakan masjarakat2-hukuim (para pemiborong mendesak kedudukan penghulu2). Dalam lebih dari satu wilajah (Sulawesi Selatan, Sumbawa, Djawa) dulu ¡terdapat suatu organisasi luas da­ripada tukang2 keradjanan tangan hamba radija ja n g . satu sama lain dipersatukan dengan pertalian turun temurun (ikatan pertukangan hamba2 radja).

Timbulnja alam radja2 ini berarti djuga timbulnja golongan per­tama daripada orang2 Indonesia jang hidup diluar masjarakat2 ; apa jang dulu banjak terdapat, pada sekarang sudah banjak jang tidak ada lagi, dan banjak setengahnja berlangsung terus tapi dalam suatu bentuk jang berlainan : radja2 dan prijaiji di Djawa ; radja- dan keturunan radja2 di Atjeh, bangsawan2 Atjeh di P a d a n g , bang­sawan2 Djawa dan bangsawan2 pribumi di Palembang dan jam i, didaerah Melaju dan Sumatra, di Kalimantan, Sulawesi, ernate, Tidore. kepulauan Timor, Bima dan Sumbawa, Bali dan om

3. PEDAGANG-’.

Tepat disebut orang2 asing dalam masjairakat (gemeenschaps ■vreemden), djuga asiing diluar alam radja2, ialah orang- agang. Mereka dikota2 keradjaan mengadakan kampung-’ sendiri, a mana penting sekali buat perekonomian kerad'jaan. Untuk ni'Sngia api alam rakjat, maka mereka berlindung dibawah kekuasaan radja atau pembesar2 rendahan, sebagaimana di Toradja Bairat, seorang mu­safir asing mendapat d jaminan bantuan pembesar daerah situ de­ngan djalan imemiberikan persembahan kepadanja. Kadang2 mereka mempersatukan diri dialam rakjat ditempat2-kediamajmja bersama, misalnja dii-pasar jang berdiri sendiri di Sumatra Selatan, di T apa­nuli Selatan ; di Simeulue orang2 asing itu merupakan suku sendiri, ialah suku dagang. Mereka berdiam selaku perseorangan2 asing (terhadap masjairakat), fcjam.pur dengan orang2 dari suku2 bangsa

51

lain ditempai- kediaman pemerintahan dan ditempat2 pelabuhan. Hukum tak ter'ulis jang berlaku at3s perhubungannja dengan p en ­duduk masjarakat2 Pribumi adalah tergantung bulat2 disatu fi- hak dari hukum-adatnja persekutuan ketjil itu, tapi djuga dilain fi- hak sangat dipengaruhi oleh kebutuhan2 jang mengandung hukum daripada hakim2-djabatan, (kadang2) djuga dari hakim2 agama dan daripada pemeliharaan hukum oleh advocaat2 dan notaris2 — itu- pun sepandjang pendjabat2 tadi sadar akan sudut konstruktief da­ripada tugasnja. Terhadap ketertiban hukum daripada gubernemen (atau daripada radja), maka mereka tidak diketjualikan dari perlin­dungan, pembelaan dan pelonggaran jang berlaku atas ketertiban hukum didusun2. Persoalan2 hukum seperti soal timbulnja bung& menurut hukum (wettelijke interessen), hal2 dimana harus dianggap ada tergugurnja hak (rechtsverwerking), perlindungan kepentingar pemberi2 hutang bilamana si-pemindjam tak mampu sama sekali un­tuk membajar dan banjak soal2 lainnja lagi, maka 'kesemuanja itu ada patokannja sendiri buat perhubungan2 hukum dfkalangan me­reka.

4. M ELA N TA SN JA SU SU N A N PEM ER IN TA H A N RA DJA 2 DAN G U BERN EM EN KL-DALAM

M ASJA RAK A T2.

Antara kehidupan-hukum masjarakatMiukum Pribumi dan keter- tiban-hukum daripada radja2 dan daripada gubernemcn sebagai­mana dapat dimengerti selalu terdapat ketegangan jang tertentu. Masjarakat2 itu, bilamana tak tertjekek mati tetap berdiri sendiri sebagai lingkungan2-hukum, keluar dari ketertiban-hukura jang me ■ njelubunginja. Jang menjebabkan ketegangan ialah karena kedua- nja bersangkutan dengan object jang sama.

Pengaruh jang m e r u s a k dari pusat keradjaan2 terutams menimpa masjarakat jang terletak sekitar kediaman radja-, itupuc karena pemerintahan radja2 sendiri jang intensief, karena penghu­lu2 rakjat diganti dengan pegawai radja, karena pemindahan tangan daripada tanah untuk dimiliki sendiri, pemberian „lungguh” (apa- nages) ketjil2 kepada orang2 lain (jaitu pegawai2 atau sanak2-sau- dara diberi hak memungut hasil daripada beberapa kerabat atau daripada beberapa bidang sawah dari masjarakat2 (gemeenschap- pen), jang batas2-nja diabaikan, untuk diri sendiri, pungutan mana semestmja kepunjaan dan diperuntukkan radja jang memberikannja ,,lungguh” itu). Pengaruh2 sedemikian itu meresap kedalara kesul­tanan Atjeh, Palembang, Djambi, kesultanan2 Sumatra Timur, me­resap kedalam keradjaan2 jang kuat di Sulawesi Selatan (Bone, Gowa dan sebagainja), Ternate dan Tidore, Bali dan L o m b o k dan d i Djawa di nagaragung. Tidak selalu masjarakat itu m e n d j a d i ru­

52

sak seluruhnja karenanja ; desa di Bali tetap suatu m asjarakat-hu­kum walaupun, letaknja didaerah-Jungguh”, namun dusun2 disitu toch berbeda dengan desa dilain2 tempat, antara lain karena „radja melantas kedalam desa". Kemudian .— karena pengaruh Belanda ~ maka diwilajah2 situ kadang2 masjarakat2 itu dipulihkan lagi, ha! mana sebagai misal jang djelas ialah penjusunan-kembali (reorga- nisatie) didaerah2 swapradja di Djawa.

Kedua : kekuasaan pemerintahan radja dari luaran terhadap ma­sjarakat2 berpengaruh m e m p e r k o k o h , jaitu terhadap ma­sjarakat2 jang djauh2 letaknja, jang oleh karena dianggapnja seba­gai kesatuan2 wilajah pungutan padjak dan pekerdjaan rodi, maka dari itu dengan sendirinja bentuknja kedalam mestinja didjadikan lebih kokoh, misalnja : Banten terhadap marga dan bandacia Lam- pong — Palembang terhadap sikep marga ~ Ternate (barangkah) terhadap negorij2 di Ambon, terhadap clan didaerah clannja sendiri di kepulauan Sula — Karangasem dan keradjaan2 lain2-nja di Bali terhadap desa diluar daerah-lungguh —• Djawa terhadap desa di­daerah mantjanegara. Kekuasaan penghulu2 masjarakat bertambah ; kepentingan2 masjarakat mendesak sehingga buat anggauta2 masja­rakat lapangannja hidup pribadi hanja tinggal sedikit; kepentingan masjarakat h a r u s didahulukan, lebih2 mengenai soal tanah. Ditambah pula kedudukan radja2 sebagai hakim dalam perselisihan2 masjarakat2 itu satu lawan lain, pula berhubung dengan itu keba- ujakan lantas diberikan piagem sebagai surat pengesahan, maka kesemuanja itu adalah daja jsng memperkokoh masjarakat- itu da­lam bentuknja kedalam. Namun didalam masjarakat2 itu maka se- ¡ainnja kepentingan masjarakat sendiri adalah kepentingan lain jang caic dapat diabaikan. Kepentingan dan kehendak radja mendjadi faktor2 jang dapat dibandel oleh masjarakat itu. tapi setidak—nja ioch merupakan faktor2 jang harus diperhitungkan djuga.

Djuga gubernemen Belanda sampai pada tingkatan tertentu dan •sedjalan dengan pemerintahan radja2 mempengaruhi bentuknja su­sunan rakjat. Dibeberapa tempat — diikota2 besar — pengaruhnja m e r u s a k ; di Djakarta, Surabaja dan dikota serupa itu — tapi dalam batas sempit *—• masjarakat-hukum Pribumi tak tampak sama sekali. Hanja sekali — jaitu di Lampong — masjarakat disitu tak diakui, lalu dihapuskan, tapi buat siapa jang menindjau- nja lebih dalam masih ternjata tegas berlangsungnja terus masjara­kat itu tapi berada dalam kekatjauan -—1 maka masjarakat itu sedjak tahun 1928 dipulihkan kembali menurut hukum-adat.

Disampinig itu pengaruh gubernemen djuga bersifat m e m p e r ­

53

k o k o h , dimana gubememen itu seperti radja4, menetapkan ma- sjarakat2 itu sebagai kesatuan2 untuk pungutannja padjak dan pe- kerdjaan rodi ; kadang2 sama halnja dengan radja2 tjotjok dengan pungutan pekerdjaan untuk penghulu2-nja, ialah adat tolong-meno- lorug ; tjontohnja jang .tertua ialah barangkali tuntutan Compagnie megenai pekerdjaan dinas buat perdjalanan2-hongi atas dasar pe­kerdjaan dinas ¿Lm'tutc"’penghulu2~n ja jaitu apa jang disebut peker­djaan -Jcwarto. Pengaruh gubememen dulu kadang2 djuga bersifat m e m b a n g u n dimana diwilajah2 jang tak teratur timbul dusun2 jang bertumbuh dan seterusnja hidup langsung dalam suasana Pri­bumi, ialah suatu proces jang atjap kali terdjadi. Jang penting sekali ialah dipertahankannja hak2 dalam masjarakat2 itu terhadap penya­lahgunaan kekuasaan oleh penghuJu-’-rakjat. T jara2 untuk membela diri jang dulu ada pada rakjat (pindah kelain tempat, mengamuk) makin sukar buat didjalankan. Maka dari itu tambah perlu, bahwa hakim (orang pemerintah) jang berada diatas masjarakat2 melin­dungi hak2 anggauta2 masjarakat itu terhadap tindakan sewenang2 dari penghulu2 ; tapi djustru dalam hal ini maka -tindakan melin­dungi jang sangat (ikesangatan) meluas dapat men'jendi benar".

Tudjuan pemerintahan gubememen ialah pemeliharaan kesedjah- teraan positief, menjebabkan pelantjaran kedalam dusun2, hal mana lebih hebatnija daripada pemerintahan radja2 Pribumi, dan oleh ka- renanja mengakibatkan perobahan2 dalam kehidupan masjarakat. Dalam pada itu adalah terlalu sukar membeda2-:kan antara semu dan sungguh, karena dengan ditjatnja baru jang sesuai dengan undang-undang haminte Bumiputera (Inlandse gemeenteordonnan- ties) lama itu, kehidupan hukum jang sebenamja dalam masjarakat" dengan pengadilannja dusun, dengan pengurusannja tanah, dengan tolong-menolorignja satu sama lain, berlangsung terus atau dapat berlangsung iterus dengan tiada atau hampir tiada gangguannja. Undang2 Haminte Bumitputera untuk luar Djawa tahun 1938 (staatsblad no. 490) dengan terang2-an memberi kesempatan untuk itu. Bahkan gabungan2 dan pemetjahan2 persekutuan2 jang atjap kali mengerikan dalam tjaranja melaksanakannja, bahkan pengang­katan penghulu2 oleh fihak gubememen dan bikinan2 pangrehpra- d'ja jang didjalankan sebagai „aturan-desa" (dorpsregeling), kese- muanja itu kebanjakan adalah sebagai kulit luar, ibuikannja bagian dalam, walaupun tak dapat diungkiti pengaruhnja tindakan2 tadi, bahkan kadang2 pengaruh itu sangat mendalamnja. Bagaimana ke- djadiannja perpaduan dimasing2 wilajah antara bentuk menurut kelengkapannja disatu fihaik dan daja-hidup masjarakat dengan pe­ngaruh2 dari luar jang sudah meresapnja dan sedang meresapnja dilain fihak, maka perpaduan itu mudaih2-an lebih banjak daripada

54 _

/

sekarang, dilukiskan orang dalam risalah2 (monografieen) masjara- kat2-hukum *). Dalam pada itu henda'knja disendiri2-kan lukisan tentang lembaga2 dan hubungan" sosial dan tjara2 berdjalannja itu disatu fihak dan pentjatatan adanja b e n t u k 2 h u k u m , adanja h u k u m p o s i t i e f jang disimpulkan dari keputu- san2 dan aturan2 dilain fihak, hsntuk2 hukum mana pula dapat mendjadi bahan2 buat penyelidikan kearah nilai2-nja functioneel. Mengenai kedua persoalan itu : ialah lukisan kenjataan2 sos;al me­nurut tjara functioneel dan pentjatatan berdasar hukum-adat dari adanja hukum jang berlaku, maka masing2 dari keduanja itu dja- nganlah diabaikan hendaknja ; buat hakim maka k e d u a 2 - n j a adalah penting (hal. 236).

*) Seperti buah tangan Friedericy : „Ponre", dan ..Tnganan Fagringsingan’“ oleh Korn.

B A B K E D U A . H U K U M - T A N A H .

1. H A K -PER TU A N A N (BESCHIKKINGSRECHT) DARIPA D A MASJARAKAT-’.

Hubungan-hidup antara ummat manusia jang teratur susunannja idan bertalian satu sama lain disatu fihak dan tanah dilain fihak. jaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah jang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan jang mendjadi tem­pat kediaman orang2 halus pelindungnja beserta arwah leluhurnja. tanah dimana meresap daja2 hidup, termasuk djuga hidupnja ummat itu dan karenanja tergantung dari padanja, maka pertalian demikian itu jang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannja „serba berpa­sangan” (participerend denken) itu dapat dan seharusnja diang­gap sebagai p e r t a l i a n - h u k u m (rechtsbetrekking) um­mat manusia terhadap tanah. Sebagaimana kita telah maklum, maka ummat manusia itu ada jang berdiam disuatu pusat tempat kedia­man «— dengan atau tiada pedukuhan2-nja — jang lantas disebut masjarakat-dusun (dorpsgemeenschap), atau mereka ada jang ber­diam tersebar dipusat2 kediaman jang sama nilainja satu sama lain, disuatu wilajah jang terbatas, maka bila demikian mereka merupa­kan masjarakat-wilajah (streekgemeenschap).

Gerombolan itu berhak atas tanah itu, mempunjai hak tertentua t a s t a n a l i itu,- d a n m e l a k u k a n k aik i t u b a i k k e l u a r m a u p u n k e c la la in .

B&PdSSUPlt&ll Jilidi! ll&iJaJitinja Jialcnja Iceluar. malca geroinkolan itu sebagai kesatuan berkuasa memungut hasil dari tanah itu dengan menolak lain2 orang berbuat sedemikian itu, pula sebagai kesatuan ia b erta n g g u n g cljaw ab terhad ap orang" luaran m asjarakat atas per­buatan2 pelanggaran (delikten) d i bumi masjarakat situ jang sudah dilakukan oleh orang2 jang tak dapat diketemukan. Berdasarkan atas berlakunja hak kedalam maka masjarakat itu mengatur peruu- ngutan-hasil oleh anggauta2-nja, jang berdasarkan atas hak dari­pada masjarakat itu bersama, dan agar supaja masing- anggauta mendapat bagiannja jang sah, maka masjarakat itu djuga b e r ­h a d a p a n dengan anggauta2~nja, dengan djalan membatas; tuntutan2 dan hak2 perseorangan2 (untuk 'kepentingan masjarakat) dan dengan djalan melepaskan tanah2 jang langsung diperuntukkan kepentingan2 masjarakat2 dari usaha2 perseorangan jang memungut hasilnja untuk diri sendiri. H ak daripada masjarakat atas tanah itu,

1 jang dalam lukisan2 kuno disebut dengan sebutan2 „hak eigendom” (eigendomsrecht) dan „hak jasan kominal” (communaal bezits- recht), hal mana menjebabkan djalinan2 jang ruwet, maka oleh Van Vollenhoven diberi nama ,, !b e s c h i i k i n g s r e c h t ” (hak pertuanan), nama mana sebelumnja itu oleh lain2 orang sudah pernah dipakai dengan sambil lalu sadja, tapi sedjaik itu telah men-

'56

djadi istilah technis. Menurut ilmu sastera istilah tadi mudah me­nimbulkan salah tafsiran, oleh karena hak untuk „beschikken" (me­nguasai mutlak) dalam arti kata memindahkan tangan, d justru hak sedemikian itu t i d a k ada pada masjarakat itu (hal. 71). Tapi me­nurut sedjarahnja tidak mungkin menimbulkann.ja salah faham, ka­rena Van Vollenhoven seketika diwaktu pemberian nama itu pada tahun 1909 (dalam tulisannja „miskenningen", hai. 19, 20) dan se- sudahnja itu berulang2, enam tanda-2 „beschikkmgsrecht” (hak per- tuanan) itu — diamtara mana „tidak boleh dipindahkan tangan” — dengan tegas dilukiskan.

B e r l a k u n j a k e d a l a n i . Masjarakat itu, dalam arti kata anggauta2-nja bersama, mempergunakan hak pertuanan (be- schikkingsrecht)-nja berupa dan dengan djalan memungut keun­tungan dari tanah itu dan dari binatang2 dan tanaman2 jang terda­pat dengan tak terpelihara disitu. M asjarakat itu, dalam arti kata kesatuan daripada anggauta2-iija, membatasi kebebasan berbuat da­ripada anggauta2 perseorangan berdasarkan atas haknja atas tanah itu dan untuk kepentmgannja sendiri (kepentingan masjarakat). Hubungan hak-pertuanan terhadap hak2 orang-seorang adalah me- nguntjup-mengembang bertimbal balik dengan tiada hentinja. Be- sarnja perbedaan — dipandang dari sudut nilai sosial — hak orang- seorang terhadap hak-masjarakat mengakibatkan sama besarnja ke- -kuataiinja hak-m asjarakat untuk m em pertahankan diri terhadap hako r a n g - s e o r a n g it u , cle rn ik ia a t d ju c ja . s e b a J i k a i j a . T i i i d a k a i i 53 d-axi l u a r ,

k a l m s iiia i i a n t i c litjifcjaraJcaii leb iiii lad id jiif:, iiishm p e3iga.ru.hJ cleiijgais

pelbagai tjara berlakunja hak-inasijaraikat itu. Ham pir tiada tempat di N usantara ini (ketjuali mungikiin di'kcpulauan Banggai, di N gadndi F lo r es) jan y tiad a sam a sek a li terdapait ta n d a 2 udanja „b eseh ik -kingsrecht’ ’itu ; isinja — dalam arti kata hukum-positiei ada berbeda sangat satu sama lain, ialah karena faktor2 termaksud di- atas. Apa jang disini terutama akan diuraikan, adalah melukiskan tokoh-dasar di Indonesia sini daripada hak-pertuanan itu.

Sifat teristimewa daripada hak-pertuanan, sehingga membutuh- kannja nama tersendiri itu, ialah terletak pada daja timbai balik dan -pada hak itu terhadap haJc2 orang-seorang. Makin memperkuat ang­gauta masjarakat (karena pengolahnja tanah) hubungannja perse­orangan dengan sebidang tanah jang tertentu daripada bumi jang dihputi ,,beschikkimgsrecht”, makin memperdalam ia hubungannja- hukum perseorangan^ (terhadap tanah itu), maka makin surutlah hak2-nja masjarakat terhadap sebidang tanah-pertanian, kolam- ikan atau tanah-«pekarangan itu. Bilamana hubungan perseorangan atas tanah itu berkurang atau bila huibungan itu diabaikan terus- menerus, maka pulihlah hak-'-nja masjarakat, dan ,.beschikkmgs­recht” atas tanah itu berlaku kembali dengan tiada gangguannja. Mengenai tanah2 pertanian di Tapanuli Selatan jang ditjabut kem­

57

bali karena orang2-nja penumpang jang mengolahnja meninggalkan kuria, maka tanah2 itu (salipi na tartar) dibagikan kepada orang"' baru atau orang" miskin dengan ,,hak-pakai” . Dibeberapa lingku- ngan-hukum anaka hak2 perseorangan daripada anggauta2 atas sa­wah jang ditinggalkan, bertahan sampai lama lawan hak-masjarakat itu. Di M inahasa pada pokoknja hak2 perseorangan atas tanah jang terbuka itu bertahan selama2-nja sampai abadi, disana tidak ada pentjab.utan kembali setjara pelan2 atau tjepat daripada tanah2 jang ditinggalkan, untuk kepentingan „becshikkingsrecht” jang utuh ; tetapi sebalilknja dalam lingkungan-hukum situ m asjarakat ada ke­kuasaan (berdasarkan atas „beschikkingsrecht” ) untuk memberikan hak2 sem entara (hak2-pakai) kepada sesama-anggauta atas tanah ..hak-mililcnja” lain-2 orang, sebagaimana terdapat di Batak atas sawah-nija anggauta- marga jang „meradja" (de heersende marga) disitu.

D ibeberapa lingkungan-hukum maka kesedaran mengenai adanja hubungan-masijarakat dengan tanah itu terbukti dari adamja sela­m atan2 pada waktu jang tetap ditempat2 selamatan dusun diiibawah pimpinan penghulu2-m asjarakat pada permulaan mengerdijakan ta ­nah ; sedangkan kejaikinan dari adanja pertalian-hidup antara um- mat dan tanah djuga kentara diwaktu pista2 pembersihan dusun se­sudah panen dan diwaktu upatjara2 sebagai itu.

A nggauta2 masjarakat jang sebagai perseorangan memungut hasil dari tanah itu, dalam keba.njakan lingkungan-hukum pada po­koknja masih diakui bahwa mereka mempergunakan hak-m asjara­kat, selama penggarapan tanah itu semata2 diperuntukkan buat naf­kah keluarganja atau kerabatnja sendiri. Bila anggauta2 itu mele­wati batas (misalnja menggarap tanah itu untuk maksud perda­gangan) maka mereka diperlakukan seberapa djauh sebagai orang2 luaran masjarakat, dan hak-m asjarakat ,,keluar" berlaku terhadap mereka atu (seberapa djauh).

Sebagai (sesama) -pendukung hak-masjarakat maka anggauta itu mempimjai hak untuk berburu dan mengumpulkan hasil hutan untuk dipakai sendiri dan dengan demikian ia memperoleh hak mi­lik. atas apa jang diperolehnja ; selandjutnja ia ada hak mengambil buat dimilik-inja pohon2 jang tumbuh sendiri dihutan2 itu. Perbuatan sedemikian itu menimbulkan pertalian-perseorangan dalam hukum antara anggauta dan pohon itu ; dan meskipun perbuatan tadi di- djalankannja berdasar atas keangautaanmja daripada m asjarakat p e ­milik ,,beschikkingsrecht” itu, namun pertali'an-jhuikum setjara per­seorangan jang teJah ditimbulkan itu selandjutnija menempatkan si-anggauta itu sedikit banjak berhadapan dengan m asjarakatnja itu. Pertalian pribadi iitu diselenggarakan setelah si-anggauta itu mengadakan pudljaan dan- menempelkan -sesuatu tanda, ialah tanda larangan dan tanda milik, dalam pada itu mi-salnija djuga dipan-

58

tjanguja pasak2 untuk dapat dipandjatnja pohon iitu atau ditebang- nja tanaman2 sekitar pohon itu supaija mendjad'i bersih. Sedjak itt: maka pohon itu buat sementara dilepaskan dari kekuasaan anggau­ta2 lainnja untuk dipungut hasiinja ; haik masjaraikat mendjadS te r­lekuk, setengahnja terdesak keluar, namun hak-masjarakat itu m a­sih tetap meliputi hak-pribadi, sebagaimaan perseorangan diliputi oieh ummat seluruhnja, pudjaan (offer) perseorangan diliputi oleh pudjaannja masjarakat. Bila tanda2 itu mendijadi tidak kentara lagi karena kulit poihon atau t j abang- itu bertumbuh 'kembali. maka hak- masjarakat berpuJih kembali -sepenuhn!ja pula dengan menghapus­kan hak-perseorangan itu, maka masing2 anggauta dapat lagi me­miliki pohon itu menurut hukum.

Achimja anggauita masjarakat itu ada hak-membuka-tanah (ont- ginningsrecht), jaitu ia dapat m e n j el e n g g arakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai sebagian dari lingkungan hak-per- tuanan (ibeschikkingskring). Hak membuka tanah itu menurut hu- kum-adat adalah hanja salah satu daripada tanda2 lahir daripada , beschikkingsrecht” dan hanija ada pada anggauta2 masjarakat atas tanah2 dilingkungan hak-pertuanan sendiri (walaupun pada pokok- nja bak membuka tanah itu dapat diperoleh oleh orang2 luaran sa ­ban2 buat satu panen). Bila pembkaan tanah itu dilaksanakan diba- wah pimpinan penghulu2 bersama2 dan mereka jang membagi-'-kan- D'ja mendjadi tanah2 pertanian perseorangan, kemudian di tahun be- ri'kuitnja lagi terdjadi demilkian, sedang bagian j a n g ditinggalkan itu telah tertutup oleh semak2, maka disitu hubungan perseorangan adalah tidak berapa lama dan lemaih, sedangkan pertalian-masjara- kat jang meliputinja adadah kuat. Bila si-anggauta sendiri memilih sebidang tanah hutan dan disana menaruhkan tandanja dengan se­tahu nja penghulu, dan disana mengadakan pudjaan pula, maka dengan demikian ia telah melaksanakan pertalian-hukum dalam lingkungan ketertiban masjaraikat; hal itu berarti, bahwa diantara anggauta2 hamja dialah jang berhak m e n g e r d j a k a n tanah itu sebagai tanaih-peritanian, ialah tanah pertanian buat dia sekeluarga, asal se­lalu dikerdijakannja penebangan, pembakaran dan penanam an; dji- kalau dia melewatkan musimnja jang tertentu maka dapatlah ia oleh anggauta lainnja dipaksa memilih (berdasarkan ,, b e s c h i kkmg s- recht” ) : diamtara „.terus mengerdjakan tanah itu untuk diri sendiri atau „menjerahkannja kepada orang lain . Dengan perkataan lain ia sementara hanija mempunjai h a k - t e r d a h u l u (voorkeurs- recht) atas tanah itu. Bila ia meneruskan pekeidljaannja membuka dan menanami tanah itu sampai selesai, maka ia sebagai perketjuali- an menurut hukum hanja mempunjai hak-perseorangan selama satu tanaman, sampai panenntja, djadi ia hanja mempunjai h a k - m e - n i k m a t i (genotrecht). Atjap ikali ia mempunjai „hak-menik- mati" m e n u r u t k e n j a t a a n n j a , Jcarena tanahnja sesu-

59

dah panen su:dah „habis”, tak dapat menghasilkan sama sekali : se­telah ia meninggalkan tanah itu, maka masih tetap ada padanja ,,hak-terdahulu” (voorkeursrecht) atas tanah itu, selama pohon2-an dan semak2 jang tumbuh liar belum mentjapai besar-batang jang tertentu, tapi sesudah mentjapainja itu, maka hubungan hak-perse- orangan itu lenjaplah (di Minahasa tidak, hal. 58) dan „beschik- kingsrecht” timbul kembali dengan tiada gangguannja. Ia dapat memegang teguh haknja itu dengan djalan menanaminja dengan pohon2 buah2-an atau pohon2 k a re t; buikannja dengan djalan me­nanam satu pohon atau beberapa pohon, karena bila demikian ia hanja memperoleh hak-milik atas pohon2 itu belaka, tapi harus ia menanam pohon2 sebegitu banjaknja sehingga tanah itu merupakan kebun-buah2-an, kebun-karet atau kebun-kopi. Dengan demi­kian haiknja atas tanah seharusnja disebut h a k - m i l i k atau ..Inlands bezitsrecht” (busuran dikebun2-kopi di Djawa Tim ur), walaupun tanah itu bila tak dipelihara dapat haknja beralih ke ,,hak- terdahulu” dan selandjutnja lenjap sama sekali, sehingga „beschik- kmgsrecht” dengan tiada gangguannja hidup kembali. Achirnja ia dapat mentjetak tanah2-pertanian jang saban tahun dikerdjakan- nja dan tanda2 daripada tudjuannja itu berupa tanggul, saluran air atau saluran serupa itu dan halaman2 rumah, jamg didiami terus me­nerus, maka diatas tanah itu ia tetap mempunjai hak milik, selama, biarpun sedikit, masih nampak sisa2 daripada tanggul2 sawah dan tiang2 rumah itu. Tanah2-pertanian dan halaman2 rumah sedemiki­an itu ,dapat diwariskan dan pemiliknja Pribumi kebanjakan dapat mendjualnja dalam lingkungan masjarakat itu sendiri. Apakah ia dapat mendjualnja kepada orang2 diluar daerahnja, hal ini tergan­tung dari apakah „beschikkingsrecht” dalam berlakunja keluar te­tap menolaknja atau sudah tak berdaja lagi akan menolaknja. Mungkin djuga jang tinggal hamja h a k - t e r d a h u l u - u n - t u k - b e l i ( - t a n a h - t e t a n g g a ) ( n a a s t i n g s - r e c h t ) untuk sesama-anggauta, jang untuk mentjegah djangan ?ampai orang asing membeli tanah tetangganja itu, berhak ia mem- belinja sendiri seharga sama dengan tawaran si-asing.

Terhadap ladang2 dan kebun2 buah2-an jang sudah tetap, maka masjarakat itu tetap melakukan hak-pertuanannja pada pokoknja de­ngan djalan mengambil kembali tanah2~pertanian itu sesudah matinja pemunjanja dan selandjutnja diberikannja kepada -seorang pendu­duk dusun jang diangkat mendjadd penduduk-inti dari dusun situ, atau diberikannja (kebanjakan) kepada warisnja jang terpilih (hal. 214) ; dengan djalan menggantikan kedudukan ajah oleh anaknja lelaki sesudah ia kawin ; dengan djalan mendjaga djangan sampai se­seorang penduduk-inti dari dusun itu mempunjai lebih dari sebidang tanah pertanian jang biasa luasnja, djadi diadakan larangan men- djual tanaihnja dalam lingkungan dusun itu, sehingga dalam pokok-

60

nja semua penduduk dusun setjara sama-rata dalam memungut ha­sil tanah itu ; dengan djalan mengambil kembali tanah itu dimana pemegangnja bertindak buruk terhadap golongannja atau bila ia meninggalkan dusunnja, dalam hal mana tanah2 iitu lantas diberi­kan kepada orang2 lain: dadal (D j.), salipi na tartar Tap. Sel.).

Tekanan jang berat dari fihak kekuasaan-pusat atau kekuasaan- masjarakat jang karena sebab2 lain mendjadi amat kuat atau tetap amat kuat (Tnganan di Bali) dapat mengakibatkan, bahwa pengam­bilan2 kembali tanah2 itu mendjadi aturan jang berkala ; aturan2 sedemikian itu disebabkan baik oleh padjak2 dari fihak radja2, mau­pun oleh 'beban2 jang diletakkan oleh gubernemen, kesemuanja itu lebih2 terdjadi di desa di Tjirebon dan di Djawa Tengah ; begitulah timbul aturan pembagian-berkala daripada tanah2-pertanian, ha! mana tidak sedikit mendapat sokongan dari fihak pabrik2 gula, su- paja memperoleh tanah2 sewaan jang utuh tidak terpisah2. Dengan tjara demikian maka tertjapailah suatu aturan, sehingga penduduk desa sedjauh mungkin dapat hasilnja tanah setjara sama-rata-sama- rasa ; aturan itu kadang2 tetap berlaku, manakala ada perbedaan dalam kurus atau gemuknja tanah dalam satu desa, ataupun karena .sebab2 lain ; tapi aturan itu kadang2 tetap hampir semua dengan sendirinya tjenderung akan lenjap, bilamana desakan dari luar ber­kurang. Pembagian2 berkala daripada tanah itu tidak didjalankan terus (hal ini telah nampak di lebih dari satu tempat sedjak pengu­rangan pabrik2 gula di Djawa sedjak 1933) maka pertalian-hukum dengan perseorangan mendjadi erat. Bila pertjampuran tangan dari desa terhadap tanah mendjadi lenjap, maka achirnja tidak ada 'ha- langanmja bahwa seseorang mempunjai lebih dari sebidang tanah- pertanian, pula tak ada halangannja mendjual tanah2 pertanian ke­pada orang dari lain2 tempat setjara besar-an (misal jang terkenal : di Kedu), dan dengan demikian maka „ b e s c h ik k in g s r e c h t desa da­lam geraknja kedalam (dan keluar) hampir seluruhnja „tertahan . Hak mentjabuit kembali tanah bilamana si-pemunja tidak baik kela- kuannja, hal djatuhnja kembali tanah kepada desa bilamana di- tinggalkan atau pemunja-oija mati dengan tidak ada ahli wanisnja. bantuan dari fihak keapla2 desa dalam urusan p e r d j a n d j i a n menge­nai tanah, itu semuanja adalah ¡bekas2 jang terachir jang masih ada, ialah bekas2 daripada adanija „ b e s c h ik k in g s r e c h t . Adanja orang menamakan hak-desa itu dengan istilah „communaal bezit (tanah ..pekulen” tanah „gogolan”, dsb.-nja) dengan bagiannja „giliran atau „tetap” ("wisselende” of „vaste” aandelen), itupun karena orang tak dapat menangkap dan mengakui proces jang diuraikan diatas tadi (waluapuin dalam praktijk proces Itu berdjalan terus) ; pula orang menjebut „individueel recht” (hak-perseorangan), pada hal bila orang itu mengakui adanja hak-desa mestinija harus menje- butnja „hak-pakai atas satu bagian” (gebrui'ksrecht op een aan- deel) ; atau ada orang jang menjebutnja „¡hak-milik-perseorangan turun temurun” (erfelijk individueel bezitsrecht). dalam sebutan

61

mana sudah tidak diakui lagi adanja hak-desa), pula ada lagi jang menjebutnja ,,hak-milik-tjampuran” (gemengd bezit). maka semua­nya sebutan2 itu mengakibatkan kesalah-fahaman theoretis jang se- besar2nja, dan menjebabkan tindakan2 sosial jang sangat keliru pula.

Pertjam puran-tangan dari fihak negorij mengenai tanah2- d ah (jang dihubungkan dengan dikenakannja pekerdjaan rodi atas ke­rabat2 di Ambon) merupakan suatu persamaan jang d ji tu dengan pertjampuran-tangan desa mengenai tanah2-pertanian jang telah di­lukiskan diatas tadi. Di Ambon oleh pendijabat2 pemerintahan ne­gorij untuk pekerdjaan negeri dipergunakan tenaga2 dari kerabat2 jang tertentu jang dari fihak dusun telah diberi bagian tanah2-dali, seakan2 buat upahnja atas pekerdjaainnja dinas itu.

Kedalam, maka „besohakkingsrecht” itu djuga berlaku karena ba­gian2 tertentu daripada daerah sendiri dipakai buat tanah tempat kediaman umum atau buat keperluan2 masjarakat s e i b a g a i kesatuan (peikuburam, tjadangan kaju untuk pertukangan, penggembalaan umum. tanah2 aradjang di Sulawesi Selatan, tanah „bengkok” ) atau karena dipergunakan, untuk dipungut ihasilnija buat m a s j a r a k a t .sebagai kesatuan (sawah buat kas-desa, suksara, titisara, D j . , kolam perikanan jaing diborongkan untuk mengisi kas marga di Palembang, kas dusun-negorij di Ambon) dan oleh karenanija tertutup untuk di­petik hasilnja oleh sesama anggauta. Pentjadangan ini dapat dise­lenggarakan dengan djalan melarang memotong dan memetik : pu­la larangam memetik buat sementara (sasi di Ambon) atau larangan mengambil ilkan buat sementara (di'kalangan orang2 Toradja) ada­lah termasuk aturan2 pentjadangan ¿Itu.

Pemakaian tanah sebagai „bengkok” jang dipetik hasilnja oleh kepala atau pegawai masjarakat-hukum selama mereka mendjabat dinas, adalah 'terdapat didaeraih2 'jang telah ada sedikiit-banjak k e­kurangan ta n a h ; dilain2 tempat kepala2 desa 'djuga d'apat men- tjapai hasil jang sama, jaitu dengan djalan memiliki 'tenaga-kerdja daripada sesama-anggautanja. Pengertian tanah-bengkok itu dja- ngan ditjampur-adukkan dengan itanah jag oleh sesuatu kerabat di­serahkan kepada salah seorang anggaiuitanija jaing ditugasikan un­tuk mendjalanikan ikewadijilban-ikeraibat itu, puila d j angan disamakan dengan itamaih jang kadang2 difbuka oleh kepala dusun untuk dimi­liki sendiri selama2-rnja dengan mempergunakan (ciUiyil- jclllCj clidi* naskan kepadarvja {d u su n di Ambon jang ditjetalk dengan tenaga orang2 jang dikenalkan dinas- kwarto, hutan2 rotan jang luas jang diselenggarakan oleh kepala2 Dajak dengan mempergunakan tena­ga2 budak, hutan2 mana dimiliki dan dipelihara untuk diri sendiri, dan sebagainija). Karena tidak memibeda2-kan kemungkinan2 ini maka akibatmja atjapkali ialah pertengkaran2 janq berian qsunq sampai lama.

T anah2 ibengkak (ambtsvelden) daripada m asjarakat2 itu (sabaj - £ A Latak' ? alun9 aradjang di Sulawesi Selatan, dusun dati

ra ya i Ambon, bukti di Bali, dan seibagainja) berbeda pula de-

62

ngan tanah- bengkok jang kadang2 diiberiikaai oleh fihaJc radja ke­pada pegawai-rendahan daripada rad ja2 itu — dengan tak menghi­raukan adanja „beschikking^recht” daripada m asjarakat2 keitjil-' — dan oleh karenanja aturan ini term asuk atu ran2 dialam rad ja2. T anah2 bengkok di D jawa (bengkok, dsb.mja) sekarang adalah sebagian daripada tanah m asjarakat jang diperuntukkan gadji ke­pala desa . asal-usulnja mungkin berpangkal dialam rad ja2 ; tanah2 halaman rumah-djabatan (ambtserven) dizaman dulu daripada p a­ra bekel didaerah swapradja adalah benar” termasuk bengkok tadi. Istilah ,.gaduh" jang di D jawa dljuga terdapat untuk maksud beng­kok, adalah sangat membingungkan karena istilah itu ada maiksud- ivja djuga jang berhubungan dengan tanah „lungguh” (apanages).

Berlaku n ja ..beschikkingsreoht” kedalam seluru'hnja ada dibawah pengawasan daripada peng'hulu2 rakjat, kadang2 djuga daripada wali-’-tanah (grondvoogden) tersendiri, hal mana lebih landjut nanti (hal. 69).

B e r 1 a k u 11 j a k e l u a r . H ak pertuanan atau ,,beschik- kingsrepht" itu ternjata berlaku k e l u a r karena orang2 luaran masjarakat, orang2 dari lain2 tempat, termasuk djuga orang2 dari masjarakat-tetangga, hanja boleh memungut hasil dari tanah seling­kungan ,,beschikkingsrecht” sesudah mendapat idin untuk itu dari fihak majarakat, pula sesudah membajar wang-^pengakuan d ¡muka beserta wan g-penggantian dibelakang ; disitu si-asing tadi pada po- koknja tak dapat memperoleh hak orang-seorang atas tanab lebih lama daripada tempoh untuk meniikmatimja, ialah satu panen ( g e - n o t r e c h t ) ; pula ternjata berlakunja hak pertuanan keluar itu ialah bahwa orang2 luaran tak boleh mewaris, membeli atau mem- beli-gadai tanah2-pertanian, pula bahwa mereka malahan menurut hukum-adat dapat dilarang atau dibatasi dengan perdjandjian2 un­tuk mengindja'k daerah lingkungan „beschikkingsrecht itu (ini ter­lepas dari soal mungkin atau tadaiknja demikian itu menurut keta­tanegaraan pada sekarang ini).

Mereka jang datang dari luar harus berhubungan dengan peng­hulu2 raikjat untuk mendapat idin. P e r m o h o n a n idin itu menurut tjara Indonesia patutnja disertai dengan sekedar pem' erian u n tu ' membuka dijalan kearah djawaban ('jang baik). Selandjutnja maka di'beberapa 1 ing k n n g a n - hu kum terdapat tanda jang e i a 'an m a d sebagai pendahuluan, wang pemasuqan (A tjeh), me^ v jawa), i bajarkan pada permulaan mempergunakan tanah oleh si-asing, jaitu suatu tanda daripada kenjataan bahwa ia dengan icesadarannja mendatang ditanah milik orang lain untuk memungut hasilnja. M e­reka jang bukan golongan marga jang „merad'ja (heersende marga) misalnja di Angkola, dapat memperoleh idin mendirikan dusun da­lam daerah beschikkingsrecht-nja suatu kuria; (dusun itu lantas disebut: huía na ro) ; per.ghulunja (si-pembangun dusun, radja. sioban ripé) harus membajar dengan enam ekor keiibau, jang di-

63

peruntukkan ibuat masjarakat seluruhnja diinduk dusun dan dusun’ lainnja ■— jang merupakan se-kuria ■— dan karena demikianlah ma­ka di Bali seluruh penduduk padukuhan-immigrant2 Kastala (ter­masuk dijuga pegawai2 radja jang dipekerdjakan buat sementara di- sana) ditanah Tnganan (Bali) tak lain dan tak bukan hanja pema- roh2 (deelbouwers) atas tanah2-pertaniannja orang2 Tnganan.

Ketiga : adalah kebiasaan umum pemungutan beaja dibelakang, djuga dengan akibat, bahwa dengan demikian diaikui telah memu­ngut hasil dari tanah orang lain (maka dari itu bolehlah kadang- djumlah pembajaran senjatanja kalau perlu amat sedikitnja, asal ada pembaijaran apa2 sadja) sepuluh satu (10% ) sewa bumi, bu­nga kaju, dan sebagainja. Di M inangkabau maka amsal adat „lem­baga dituang, adat diisi" kadang2 ditafsirkan, bahwa padjak dan beaja dihajar” oleh orang2 luaran masjarakat. Bukannja penghulu-’ sadja mendapat bagian dari pemungutan2 itu, melainkan djuga orang2 banjak jang berhak atas tanah itu, seperti paung asal, jaitu golongan-inti didusun2 tjampuran ditepi sungai Barito (Kaliman­tan), hal. 25.

Terhadap orang2 luaran itu, maka m asjarakat dengan sadarnja tetap memegang haknja atas tanahnja ; orang2 luaran itu taik dapat mendesak kembali hak itu, mereka tak dapat berakar dalam tanah itu, mereka tetap duduk kendur2 diatasnja (orang menumpang ber­hadapan dengan orang asal, Redj.). Hanja bila dan dimana orang-’ ,,luaran asli” itu sepandjang masa, turun temurun, menetap dima- sjarakat, maka mereka (sebagai suatu bagian dari proces djalannja orang luaran mendijadi anggauta berdasarkan atas lamanja ia me­netap, hal. 27) memperoleh pemakaian tanah jang bersifat lebih tetap ; akan tetapi pemakaian tanah sedemikian itu pada saat2 gen­ting djuga tak dapat dipertahankan terhadap haknja masjarakat, karena itu adalah tetap „pemakaian oleh orang asing” (bila mening­galkan masjarakat, bila ada ketjenderungan akan mendjual tanah itu). Berhubung dengan itu, maka terdapatlah keadaan, bahwa ka­dang- dalam dusun2 atau kesatuan2 wilajah anak-tjutju daripada pembentuk atau pembentuk2 dusun merupakan suatu golongan inti, jang hanja dapat hak sebulat2-nja a.tas tanah, sedang sesama ang­gauta wilajah lainnja tentang itu hanja menempati kedudukan jang berkurang, walaupun mereka tak dapat disebut orang2 luaran lagi. Demikianlah dapat dimengerti perimbangan kedudukan mengenai tanah antara marga tanah (heersende marga) terhadap penum- pang2-nja di Batak (hal. 36) ; penumpang2 jang mendjadi sanak- saudara karena perkawinan dan jang mendatang dari lain2 daerah dapat (lambat laun) disana suatu hak miiik jasan atas tanah terten­tu, jang dihadiahkan karena perkawinan anaknja perempuan, w a­laupun kedudukannja mengenai hak atas tanah itu mula2 lemah.

Dalam lebih dari satu lingkungan-hukum terdapat, bahwa masja- raxat2 itu dengan tjara perdjandjian bertimbal balik menghapuskan kedudukannja ,,asiiig-.terhadap-satu-sama-lain” (voor-elkaar-vreem-

64

den-zijn) (misalnja berhubung dengan suatu pertalian perkawinan diant.ara penghulu2-nja), maka oleh karena itu aturan2 pembukaan tanah baru dan pengumpulan hasil2 hutan didasarkan atas berlaku- nja „beschikkingsrecht” kedalam, bukannja atas berlakunja keluar.

B e r t a n g g u n g d j a w a b l a h masjaraikat jang mem­punjai ..beschikkingsrecht” itu terhadap reaksi adat mengenai pe­langgaran atau kedjahatan jang terdjadi didaerah „beschikkings- recht”-nja dan jang diperbuat oleh seseorang jang tak dikenal ; ini dapatlah disebut sudut jang tak menguntungkan daripada „be­schikkingsrecht” dalam berlakunja keluar. Pertanggungan djawab tadi berdasarkan atas hubungannja dengan tanah dan ini ternjata dari hal2 jang telah kedjadian dimana orang2 dapat melepaskan diri dari pertanggungan djawabnja dengan djalan menjeiahkannja sebagian tanah lingkungan-,.beschikkingsrecht”, dimana majat si- terbunuh diketemukan orarng ; teranglah, bahwa disatu fihak per­tanggungan djawab itu berdasarkan atas alam pikiran „serba berpa­sangan” (participerend denken) dan dilain fihak timbul dari suatu siasat litjin jang dipandang perlu dari fihak radja2 atau fihak ke­kuasaan gubernemen. Bilamana pertanggungan djawab tadi h a - n j a berdasarkan atas maksud terachir ini, maka sifatnja sudah berubah. Disamping pertanggungan djawab tadi adalah pertang- ounngan djawab lain jang lain pula dasarnja, ialah pertanggungan djawab daripada segolongan sanak-saudara terhadap seorang dari­pada anggauta2-nja. Pada lahirnja mungkin kedua matjam pertang­gungan djawab itu luluh mendjadi satu nampa’.oija, bilamana suatu golongan sanak-saudara sebagai masjarakat-1 ukum mendiami territoir sendiri ; namun kedua lembaga jang berbeda mutlak satu sama lain ini, dalam hukum-adat tetap tertampak berdampingan.

T u g a s p e n g h u 1 u 2 - r a k j a t . Oleh karena itu maka penghulu—rakjat mempunjai tugas rangkap sesuai dengan berlaku­nja „beschikkingsrecht” jang rangkap pula, ialah keluar sebagai wakil2 masjarakat menghadapi orang2 luaran masjarakat, dan ke­dalam sebagai pengatur bagaimana anggauta2 sebagai sesama pen­dukung „beschikkingsrecht” melakukan hak-perseorangannja dan menanam hak2nja atas tanah itu ; ia bertugas sebagai pemelihara tanah jang dipergunakan langsung untuk kepentingan masjarakat. Barangkali „wali2-tanah” (grondvoogden) itu hanja mempunjai tu­gas kedalam ini.

B e n d a ( o b j e k t ) d a r i p a d a ,, b e s c h i k k i n g s - r e c h t ” . Hak pertuanan berlaku baik atas tanah, maupun atas perairan (sungai2, perairan pantai laut) dan djuga atas tanaman jang tumbuh sendiri (pohon2 lebah, pohon2 bualr-an, pohon2 untuk pertukangan) beserta atas binatang2 jangf hidup liar. Karena ber­bagai keadaan maka berlakunja „beschikkingsrecht” dalam lingku­

65

ngan-,,beschik‘kiogsreoht" jang tertentu d'apat sangat berbeda-. D: Djawa ..beschikkingsrecht'’ itu, mungkin han.ja sebagai perketjuali- an, dapat ternjata terhadap tanah jang belum terbuka (hutan2) , tenhadap dasar2 sungai jang mendjadi kering, pulau" jang timbul dan lain-’-nja, terhadap tanah jang dipungutnja dari perairan, maka ,,beschik!kin,gsrecht” itu sebagaimana diseluruh Nusantara selalu berlaku dengan terfcibnja ; terhadap pembawaan2 lumpur (aanslifo- bing) pada tanah-pertanian maka biasanja diakui d,juga haknja-ter~ dahulu (voorkeursrecht) si-pemilik tanah-pertanian itu atasnja. Pula berlaikunja „beschikkingsrecht’ atas tanah jang sudah dikerdjakan ;tu tidak selalu sama. Dalam pelbagai lingkungan2-hukum (misal- ruja di Tapanuli Selatan, Ambon. Bali, Djawa) dapatlah erang mcmbeda2-kan tingkatan dalam k e h e b a t a n n ja . dibeberapa dusun. Pertama : hak-masjarakat itu paling kuat atas tanah2 jang sebagai tak bertuan djatuh 'kembali kepada dusun dan lantas oleh dusun itu dibagikan lagi kepada pemilik baru angkatan dusun itu sendiri pextaliannja hukum perseorangan atas tanah itu buat sementara tak mengidinkan ia membuat perdjandjian suatu apa mengenai tanah itu dan kedudukannja lemah sekali terhadap tindakan dari fihak kekua­saan dusun, misalnja bila tanah itu diambil kembali karena peker- djjaan dinas dilalaikan. Kedua : „beschikkingsrecht” itu berlakunja djuga mendalam atas tanah jang mendjadi millk-inti daripada ang- gauita2 dusun; selama seorang keturunan (anak lelaki) memiliki tanahnja leluhur2-nja, maka pertalian-hukum perseorangan daripa­da penduduk-inti dusun dalam lingkungan dusun itu memang ko­koh, tapi kepentingan dusun mendjaga djangan sampai ada peru- hnihan dalam kedudukan-hukum tanah2-inti itu, pula djangan sam­pai tana'h2 dikenakan perd'jandijian-, djangan sampai dibagi- diantara ahli waris, djangan sampai djatuh terkumpul disatu tangan ; bila­mana anggauta-initi dusun meninggal tanpa anak-tjutju, maka d u ­sun mengangkat pemilik baru atas tanah2~pertaman atau kebun” (Ambon) jang lama-kelamaan memperoleh kedudukan jang sama seperti pemilik2 semula. K etiga: dimasjarakat sedemikian itu — disamping tanah2 jang sudah dibagikan oleh dusun dan disamping tanah2 milik penduduk-inti dusun ■— mungkin djuga terdapat hak- milik atas tanah-pertan ian atau atas kebun2, terhadap mana liak- masjarakat sudah terdesak ¡lebih dijaulh lagi Ikebelakang ; pemilik2 ini dapat menggadaikan dan mendjual tanah2nja, dijarang sekali ta- naJi2 itu djatuh kembali kepada dusun dan tindakan2 dusun terhadap tanah2 itu adalah dijarang p u la ; di Djawa d’isebutnja sawah jasa (berhadapan dengan sawah pekulén, gogolan), di Ambon d'isebutmja dusun pusaka (berhadapan dengan dati) dan seterusnja. Imilah ber­lakunja hak-dusun jang lipat tiga atau lipat dua, hal mana kadang2 disebut dengan istilah (jang umuimnja tidak tepat) : „milik-tjam- puran ( „gemengd bezit” ), (hal. 61).

66

/

Terhadap tanah-pekarangan berlakunja hak-masjarakat itu ka­dang2 djuga berlainan dengan terhadap tanah2-pertanian dalam dusun jang sama, itupun karena dari fihak dusun lebih mudah didja- lankan tindakan- untuk mentjetak pekarangan baru dari pada tin­dakan- untuk memiliki tanah2-pertanian baru.

L i n g k u n g a n „ b e s c h i - k k i n g s r e c h t ” j a n g r a n g k a p . Dengan dua djalan orang dapat mendjumpa: lingkungan „beschikkingsrecht” jang rangkap (dubbele beschikkings- kr.ng). Pertama (sebagai perketjualian) suatu lingkungan ..beschik­kingsrecht daripada sebuah dusun dipedalaman, jaitu daerah se- sungguhnja jang didiami dan dipungut hasflnja untuk hidup, dan disamping itu ■— kadang2 djauh djaraknja dari situ •— iingkungan ,,beschikkingsrecht” sepand.jang laut, daxi mana dusun itu mengam­bil hasil2 laut dan garam jang sangat dibutuhkannja. Selandjutnja dan jang lebih sering terdapat, jaitu lingkungan „beschikkingsrecht" rangkap jang bertokoh sedemikian rupa, sehingga suatu lingkungan tanah2 termasuk lingkungan-,.beschikkingsrecht” baik daripada du­sun, maupun daripada masjarakat-wilajah, dimana dusun itu terle­tak. Sebagai pangkal pikiran hendaknja orang gambarkan suatu wilajah jang sudah didiami oleh gerombolan2, atas dasar persamaan kedudukan, tersebar dabeberapa tempat kediaman. D an djurusan masing2 dusun dilaksanakan pembukaan tanah jang lantas ditanami dan kemudian ditinggalkan, sehingga tertutup lagi ditumbuhi semak’ dan dalam pada itu penduduk meladang lagi dilain tempat. Bila atas tanah2 pembukaan pertama ini hak-terdahulu sudah lenjap. maika tanah2 itu djatuh kembali kepada dusun dalam ..beschikkings­recht -nja jang mutlak ; disamping itu tanah2 itu masih tetap ter­masuk lingkungan-„ibeschikkingsrecht” daripada masjarakat-wiilajah jang melakukan haknja lebih tinggi dan jang tetap berwadjib me- mutusi perselisihan2 antara pengihulu2-dusun dan anggauta* dusun- n/ja, memutusi perkara boleh atau tidak bolehnja masuknja orang luaran dan sebagainja; anggauta2 masjarakat-wilajah (streek-ge- meenschap) dalam dusun tak dipandang sebagai orang* luaran. Tanah2 terletak antara wilajah2 dusun" adalah semataJ termasuk ..beschiklcingsirecht” masjarakat-wilajah sendiri. H ak2 atas tanah- belum terbuka daripada suku atati k ampuan g didalam sebuah nagari di Minangkabau atau daripada dati didalam negorij di Ambon, me­ngakibatkan imbangan sematjam itu djuga ( f a m i 1 i e - b t - s c h i k k i n g s r e c h t ) .

P e m b a t a s a n d a e r a h „ b e s c h i k k i n g s r e c h t . Pembatasan jang tegas daripada lingikungan-„beschikkingsrecht disemua lingkungan2-hukum adalah akibat daripada bertemu dengan gerombolan2 laun dan pemagaran dari gerombolan' itu, gerombolan-

67

mana sudah menetap diatas tanah situ sebagai kesatuan jang ber­diri sendiri atau sebagai demikian sudah memisahkan diri dari in- duik-dusun ; pembatasan jang samar2 dapat berlangsung terus bila tanah* kosong itu sangat luasnja.

P e r l i n d u n g a n n j a . Selama tidak ada kekuasaan le­bih tinggi meliputi masjarakat2 itu, maka pertahanan kedudukan ter­hadap daerah sendiri itu tergantung dari daja-pembelaan sendiri atau dari hormat menghormat haik masing2. M aka dari itu terdapat­lah dalam pemerintahan2 m asjarakat: pendja’bat2 jang terutama di­tugaskan untuk melindungi pembatasan2, ialah di M inangkabau : djaring, di M inahasa : teterusan, di Ambon : kepala kewang, di Tnganan (Bali) : lelipi slem bukit (djuga di Djawa : reksabumi?). Seketiika sesudah ada kekuasaan jang meliputi masjarakat2 ketjil itu dan sepand'jang pengaruh ¡kekuasaan iifcu — baik pemerintahan ga­bungan dusun2, maupun kekuasaan radja2 atau pemerintahan gubernemen pusat —■ maka timbullah suatu suasana dimana perta­lian antara gerombolan dan tanah dapat berlaku sebagai hubungan- hukum. Keinginan kearah situ adalah bukan sekali sadja mendjadi sebab daripada timbulnja pemerintahan radja2 Pribumi (Bali, In ­dragiri). Dusamping perlindungan jang berupa pendjaga2 batas, pa­troli2, perang2 dusun, terdapat surat2-pengakuan dari radja (pia­gam), kap utusan2 hakim2, serikat, ¡hakim2-irad.ja2, hakim2 guberne­men dan pendjabat2 pemerihtahan.

K a r e n a d i d i a m k a n n j a ,,beschiiklkingsrecht” ini da­lam perundang-undangan, maka aldlbatn.ja dulu dan sekarang ialah pelbagai pertentangan jang mestinja tak perlu ada.

N a m a . Nama untuk „beschilddngsrecht” sendiri jang menurn- d j ulekan adaraja suatu hubungan rupa2-nja dalam bahasa Indonesia tidak atau djarang terdapat — namun 'buat lingkungan-,,beschik- kmgsrecht” (beschikkingskring) sendiri sebagai lingkungan dim a­na2 pra'ktis ada istilahnja ; istilah itu adalah sebutan untuk lingku- ngan-„beschiikkingsrecht’’ baik sebagai mi'lik — patuanan (Ambon)— maupun sebagai daerah penghasil makanan — panjampelo (K a­limantan) — atau sebagai lapangan jang terpagar — pawatasar. (Kalimantan), wewengkon (D jaw a), prabumian (Bali), atau seba­gai tanah terlarang buat lain orang — tatabuan (Bolaang Mongon- dow). . Selandjutnja terdapat istilah2 seperti torluk (Angkola), Umpo (Sulawesi Selatan), riuru (Buru.), pajar (Bali), paer (Lom­bok), ulajat (M inangkabau). Selandijutraja „hak ulajat” ini bermak­sud ,,beschikkingsrecht” sebagai hak subjeotief dalam arti „technisch adatrechtelijk” , tapi terbenturlah orang pada'kenjataan, bahwa orang tak mengatakan haq ulajat nagari, melainkan „lingkungan” daripada nagari. Apakah perkataan2 golat di Bataik dan edikio d'i Enggano sudah betul disalin dengan „beschikJdngsrecht” dalam arti subjec-

68

tief, maka hal inu harus diselidiki lebih landjut. Disaimping .apa jang tersebut tadi masih banjak lagi istilah2 urutuk „beschikkingsrecht” itu.

W a l i - t a n a h (grondvoogd). Perkataan wali-tanah ter­dapat dipakai dalam kesusaster.aan dalam dua matjam arti.. Pertama jang dimaksudkan ialah seorang kahin-masjarakat (gemeenschaps- wichelaar) jang terutama mengetahui sjarat2 supaja kekuatan2 gaib membiarkan sadja perbuatan2 manusia mengenai tanah. Kedua : maiksudnja ialah seorang jang disamping pemegang2 pemerintahan umum mendjalankan kekuasaan2 jang timbul sebagai akibat dari ..beschikkingsrecht jang ada pada masjarakait. Dalam hubungan hukum-adat maka perkataan itu harus dipaikai dalam arti jang ter- achir ini. Pemisahan antara pemerintahan umum dan pekerdjaan2 jang bersangkut paut dengan adanja „beschikkingsrecht"’ bisa te r­dapat manakala kekuasaan asing memasuki atau dimasukkan dengan kekerasan kedalam masjarakat iitu. Dalam hal iinii mungkin terdapat tiga djabatan jang sedjadjar : kahin, wali-tanah, dan penghulu2 pe- megang pemerintahan umum. Namun selalu atau hampir selalu da­lam pada itu djabatan kahin dan wali-tanah djadi satu sebagaimana

bila tidak ada kekuasaan asing ■— djabatan wali-tanah dan peng- hulu-rakjat ada disatu tangan. Dalam makna hukum-adat maka wa­li-tanah itu adalah tanda daripada hubungan mutlak daripada tanah dan ummat manusia, jang berlangsung terus walaupun pemerintahan umum direbut oleh orang2 asing atau diserahkan kepada m ereka; dan djustru oleh karena wali-<tanah itu seolah2 adalah pendjelmaan dari hubungan ibadat-sihir (magisch-religieus) amtara ummat dan tanah, maka ia merangkap sebagai kahin (wichelaar) pada upaitja- ra2-tanah. Di Sumba Timur misalnja pemerintahan direbut oleh go­longan2 jang datang dari luar, tetapi penghulu2-n|ja (kepa]a2-nija) jaitu maramba menjerahkan urusan2 tanah kepada penghulu pen­duduk aseli sebagai mangu tanah (grondvoogden = wali2-tanah) • W ali-tanah jang dapat disamakan dengan itu di Savu disebut Deo rai, dan seterusnja. Tetapi diwilajah2 ¡situ sering sekali kekuasaan wali-tanah jang sesungguhnja adalah terletak leibih pada „perka- taan2-nja” ( = „tuan”, „pemilik” tanah) dari pada kenjataannja, dan sebenarnja ia hanjalah kahin. Selama peru/bahan2 jang menda­lam berlangsung, jang di Ambon mengakibatkan bentukan ne- gorij dengan pemerintahan-negrory-nja bikinan kekuasaan asing, maka kepala2 clan lama — upu aman — tetap mendjalankan tugas2- mja jang berdasarkan „beschikkingsrecht” sebagai tuan tanah (grondvoogden = wali2-tanah). Dibeberapa dusun di Pasemah masih terdapat djurai tua, keturunan langsung dari pembangun du­

69

sun dengan kekuasaannja dalam urusan tanah disamping pendjabat jang bertugas kepala dusun. Hal serupa ini dichabarkan orang puia tentang dusun2-tjampuran sepandjang sungai Barito di Kalimantan. Bila disitu lambat laun mendatang dan menetap sedemikian banjak orang2 asing, sehingga dari seorang diantaranja terpilih dan dipakai oleh pemerintah pusat sebagai kepala dusun, namun penghulu me­nurut hukum-adat daripada golongan asli tetap mendjabat penguiu dengan kewadjiban2 dan kekuasaan2-nja dalam urusan-’ tanah ; dju- ga disini nampak adanja ,,wali-tanah” pula.

Demikian djuga kadang2 timbul dijabatan wali-tanah bilamana dalam masjarakat pemerintahan penghulu oleh fihak luaran diserah­kan kepada seorang keturunan kerabat jang lebih muda daripada kerabat jang menurut hukum-adat mestinija melahirkan penghulu itu ; berhubung dengan itu maka dalam seibuah negari diwilajah Kampar timbul perpisahan penguiu aridiko — jaitu penghulu'- rak- jat — dan tuo ulajat, ialah wali2-tanah.

Pokok pikiran daripada lembaga wali-tanah, jaitu tak-terpisah-- nja ummat — tanah — masjarakat, kentara djuga dengan djalan lain. Dulu kala dichabarkan orang dari Minahasa bahwa perampa­san tanah (daerah) sesudah peperangan oleh si-pemenang perang, adalah ,.mustahil” , hal mana boleh disebut suatu pernjataan jang terkuat daripada pokok pikiran tadi agaknja.

Atjapkali da.pat diikenalnja digabungan administratief daripada daerah2 : desa baru di Djawa, negorij baru di Ambon, huta baru di Batak biarpun ditempatkan dibawah seorang kepala, dan admini­stratief dianggap satu daerah, namun dua atau tiga desa lama, huta atau negorij2 lama, jang digabungkan djadi satu dusun tadi, ma- sing2 tetap memililki daerah2-”beschikkingsrecht”-nja sebagai dae­rah2 persekutuan jang berdiri sendiri terlepas satu sama lain. Sese­orang dari sesama dusun-gabungan baru, tapi buikan dari sesama dusun lama, adalah dan tetaplah orang asing bagi dusun lama itu : malahan kepala-desanja djangan tjoba2 tanpa idin dari dusun lama menaruh sesuatu hak atas tanah dalam lingkungan dusun itu, dimana ia bukan anggautanja, walaupun dusun lama itu sudah mendjadi sa­tu bagian daripada dusun-gabungan jang dikepalainja.

Disamping banjak gedjala2 jang masih dapat dikenal daripada faham wali-tanah itu, maka banjak djuga terdapat kenjataan bahwa kekuasaan (pemerintahan) baru bertumbuh mendjadi satu hubu­ngan jang erat dengan tanah. Dikalangan Toradja Barat maka bangsawan, jaitu rupa2-n,ja golongan jang mendatang dari lain dae­

70

rah cljustru disebut : puee tampo, ialah tuan tanah.T a k d a p a t n j a d i p i n d a h t a n g a n ( o n v e r

v r e e m d b a a r h e i d ) Menjerahkan sebagian daripada daerah-..beschikkingsrecht” sebagai suatu perbuatan jang disenqa- dja, pernah djuga terdjadi, walaupun djarang. Hal ini tadi sudah pernah disinggung berhubung dengan pertanggungan djawab ter­hadap kedjahatan jang pendjahatnja tak dikenal, dan bekas2-nja terdapat didaerah-pertuanan (beschikkingsgebied) daripada suatu masjarakat. Menjerahkan sebidang tanah, dimana majat orang jang terbunuh itu terdapat, berarti membebaskan diri dari pertanggungan djawab. Sekali tempoh ada dichabarkan, bahwa ada sebidang tanah jang diserahkan bersamaan dengan pengoperan barang- sebagai gantinja, ialah untu'k tidak mengganggu kesetimbangan „magisch” jang sudah ada, (d¡kalangan beberapa suku Dajak disebut mandja- wi), perujerahan mana dianggap sudah selesai bilamana gerombolan baru itu sudah mulai memakai tanah jang diterimanja itu untuk me­ngubur majat2 anggauta2-nja jang mati (bantai, hal. 29). Karena peperangan-dusun atau karena tekanan pemerintahan pusat maika telah atjap kali terdjadi penjerahan banjak tanah, hal mana meng­akibatkan terlepasnja tanah benar2, djuga terlepasnja faham waii- tanah itu, walaupun faham itu tadinja masih lama berlangsung terus dalam keadaan tertidur. Kaidah : „daerah-pertuanan (beschikkings- gebied) tidak dapat dipindah-tangan tetap pertama2 berlaku, wa­laupun ada beberapa perketjualian2-nja.

M e n d j a d i n j a p e r s e o r a n g a n d a r i p a d a . . b e ­s c h i k k i n g s r e c h t ( d e v e r p e r s o o n l i j k i n g v a n h e t -b e s c h i k k i n g s r e c h t ) , Benituk-dasar da­ripada „beschi'kkingsrecht dengan demikian telah dikemukakan se­bagai suatu hak daripada golongan atas tanah jang dilakukan disatu fihak oleh golongan itu dan dilain fihak oleh penghulu2-nja atas nama golongan. Disinilah terletak sudah kemungkinan besar akan mendjadinja perseorangan daripada „beschikkingsrecht itu. Ke- d jadian ini nampak benar2 dalam pelbagai djenis. Djanganlah orang menggambarkan sedemikian rupa, bahwa pada asal-mulanja” dulu dimana2 di Indonesia jang terdapat hanja bentuk-dasar hak-masja­rakat atas tanah sebagai tersebut diatas dan bahwa disana sini lalu timbul perubahan2, pertumbuhan atau perusakan perangai, tap! se- harusnja digambaricannja sedemikian sadja. bahwa anda.kata orang dalam satu fcjerana menjadjfkan tokoh-pokok daripada hak- golo­ngan manusia atas tanah, maka disamping itu orang dapat nampak djuga pelbagai h u b u n g a n 2- h u k u m . dimana perseorangann.ia penghu­lu berkedudukan jang lebih tinggi. Tokoh luar biasa daripada „be­schikkingsrecht” jang mendjadi perseorangan ialah s u a t u negara ketjil dimana radja adalah tuan tanah (domeinheer) - tidak hanja nama sadja - daripada seluruh daerahnja, dan. d im a n a tanda-, jang menundljii'Ickan g o la n g a n - m a n u s i a rechts-subje: "t-nja.

71

adalah hanja lemah, tersembunji dan tak tampil kemuka, sebagai­mana hailnja dilkala-ngan Batak-Simelungan ; ditanah Batak bagian Selatan ternjaita selalu ada niat daripada penghulu2 supaja dirinja diakui sebagai pendukung2 „beschikkingsrecht”. D juga desa- (mer­deka) di Djawa, jang dikepalai oleh seorang kepala jang „digadu­hi” desanja itu oleh radja (in apanage) jaitu desa midjen, adalah dipandang dari sudut dusun suaitu tjontoh daripada mendjadinja perseorangan daripada „beschikkingsrecht” . T an d a2 daripada niat kearah perseorangan ialah : menarik orang2 luaran supaja mengex- ploitatie gosong2 mutiara atau tanah2 hutan ; menarik beaja dari sesama^anggauta2-golongannja, dalam pada itu lebih rendah djum- lahnja daripada beaja2 buat orang2 luaran m asjarakatnja ; m enetap­kan tempoh jang pendek, jang bila sudah lalu, berakibat tanah jang terlantar kembali kekekuasaan „beschikkingsrecht” (untuk selekas- nja dapat diserahkannija kepada lain orang dengan pembajaran bea­ja lagi) dan seterusnja.

P e n g a r u h k e k u a s a a n l e b i h t i n g g i . Dari fihak2 kekuasaan rad ja2 dan gubernemen „beschikkingsrecht” itu mendapat tidak hanja perlindungan jang telah diuraikan tadi (dan pengingkaran) melainkan djuga diterobos, dihapuskan dan dibu-

v bungkan (opschroeven) djuga olehnja (sedjalan dengan pengaruh- nja atas m asjarakat2 tadi, hal 52).

D apat disebut penerobosan „beschikkingsrecht” oleh fmak alam radja2 djuga, ialah kewadjiban mempersembahkan (dengan sedikit wang penggantian) hasil2 jang sangat berharga (tjula badak, mus­tika, kapur-barus, gading dan sebagainja) dan jang sudah terkum­pul sebagai barang radja; pula pengambilan tanah2-pertanian (atau penerimaan) oleh radja, jang terlepas dari masjarakat dipakainja sebagai milik radja (tanah pemburuan, tanah pertanian atau tanah „bengkok” bagi sanak-saudara radja atau bagi kepentingan2-radja lainnja). Perbuatan serupa itu oleh fihak gubernemen iberupa per- njataannja dengan undang2, bahwa hutan-djati adalah milik negeri. Termasuk penghapusan „beschikkingsrecht” ialah apa jang telah dibentangkan dimuka tadi tentang apa jang terdjadi dipusat2-ta- nah2-lungguh (apanage-centra) didaerah swapradja di D jawa, be­gitu djuga dikota2-tpamtai ibesar dan apa jang dimuka tadi telah di­uraikan sebagai suatu pelantasan kedalam m asjarakat2 sendiri. P ro ­ses ini mengakibatkan kepribadian (dalam pelbagai arti kata : baik daripada radja, maupun daripada pemegang2 lungguih atau daripada petani2) mengenai hubungan2nja dengan tanahnja, sehingga perta- lian-hidup dari golongan dengan tanah (golongan dalam arti ummat manusia) sudah lenjap karenanja.

Dapat disebut pembubungan (opschroeven) ialah akibait2 jang telah diuraikan dihalaman 61 tadi karena perintah2 dari rad ja2 atau dari gubernemen jang memaksa supaja tanah2 dikerd j akan sesaksa­ma mungkin untuk penduduk-desa sabanjak mungkin, seakan2 ta-

72

nah itu adalah upah atas pekerdjaan2 dinas jang sudah didjalankan atau seakan2 tanah adalah 'bahan 'buait pemberian hadiah, pada ha] mestinja seakan2 tanah itu, — dan memang sesungguhnja ■— adaiah suatu object-hak daripada lingkungan dusun. Dalam bentuk luar biasa jang sedemikian itu, malca hak-desa di Djawa adalah suatu alat untuk mentjapai tudjuan2 radja2 atau pemerintahan-pu- s a t ; dalam bentuk luar biasa itu maika hak-dati di Ambon mende­kati pengganti-kerugian untuk pekerdjaan2 dinas (-kwacto).

2. HAK PERSEO RANG A N.

A. Dalam ketertiban-hukum masjarakat2.

H u b u n g a n n j a d e n g a n h a k - p e r t u a n a n ( b e - s c h i k k i n g s r e c h t ) . Bilamana orang melukiskan tanda- tjiri isinja haik2-perseorangan atas tanah dan keadaannja hak2 itu, maika orang akan dapat mengulangi lagi apa jang diuraikan tadi mengenai „beschikkingsrecht” daripada masjarakat atas tanah, tapi ditindjaunja dari sudut lain. Sebagaimana „beschikkingsrecht” da­lam berlakunja kedalam dibatasi oleh hak2-perseorangan atas tanah, begituipun hak-perseorangan terbatas oleh kelonggaran jang diten­tukan (jang harus ditentukan) oleh „beschikkingsrecht” itu.

H a k m i l i k ( h e t I n l a n d s b e z i t s r e c h t ) . Bilamana seorang anggauita masjarakat menaruh hubungan-perse- orangan atas pekarangan atau ladang (pembukaan tanali sebagai perbuatan-hukum akan dibitjarakan berikut ini), ialah berdasarkan atas „beschilkkinigsrecht" jang ia ikut mendukungnja, maka dalam pokoknja haknija itu disebut hak-milik (Inlanids bezitsrecht), walau­pun lamanja ia menaruh hubungannja itu praktis tak lebih dari satu atau dua tabun panenan ; bilamana hubungan itu tak berlangsung lebih lama dari satu tabun panenan - sebagaimana halnja dengan tanah2-akuan di Djawa Utara, tanah t e l e n g di Sulawesi Selatan, begitu d juga dengan aturan jang terkeras daripada tanah2 dibebe- rapa desa di Djawa, dan seterusnja maka haknja itu apat but h a k - m e n i k m a t i ( g e n o t r e c h t ) . a as njata anitara hak-milik daripada sesama-anggauta, dan ®enmati daripada s e s a m a - a n g g a u ta , t id a k ada; disini te rn ja ta b a l iw a

„genotrecht” itu suatu tanda jang menjolok mata daripada kuatnj berlakunja „beschikkingsrecht” atas tanah2-pertaman, sehmgg berakibat bahwa sesudah setiap panenan - baik berhubung deng adanja bandjir2 tahunan maupun karena tekanan keras <iari m atau karena keadaan2 apapun djuga < maka lenjap a orangan itu dan tanali djatuh kembali kepada „beschitfkmgsrech seibulat2-nj a daripada dusunwi'laj aih-masj airaJkat.

73

?

Djuga untuk hak-milik ini rupa2-nja ajarang ada istilahnya : d a ­lam bahasa Pribumi maka tjukup disebutnja : sawah saja, sawah- nja, ladang saja, ladang-nja, kepunjaan saja atau kepunjaan-nja dan sebuitan2 serupa itu adalah sudah tjukup dalam bahasa Pribumi. Perkataan „milik’' berasal dari perkataan Arab, kebanjakan dipakai untuk menundjukkan bendanja umpama : „sawah itu milik saja” , jang bermaksud : atas sawah itu saja ada „Inlands bezitsrecht” . Perkataan Djawa wewenang bukannja bahasa-bitjara dan jang d i­maksudkan tidak hanja „hak-milik” sadja. M asjarakat—pun dapat mempun/jai „hak-milik” atas tanah. Bila m asjarakat itu 'beli tanah untuk dipakai buat kepentingan2-nja sendiri, maka disini dapat d i­sebut „hak-milik”-nja dusun atau wilajah. Dimana — sebagaimana kadang2 terdapat — perkataan2 dalam bahasa Pribumi mengan­dung arti b a ik : tanah „beschikkingsrecht” desa, maupun : tanah ..Inlamds bezatsrecht” desa, (misalnja istilah dvuwe desa (Bali), namun bahasa Belanda orang harus tetap membeda2-kannja. Ha- ]aman2-distrik jang terkenal di-ibukota M enado (kintal kalakeran) adalah salah satu dari 'banjak misal2 mengenai milik masjarakat. Pun kerabat2 dan tjabang2-clan adalah pemunja2 hak-milik dan d a ­lam hal ini dipakai sebutan jang tertudju kepada bendanja (haita pusaka, M in.):

H a k - m e n i k m a t i ( g e n o t r e c h t ) . Hak-menikmati jang sebenar'--mja ialah haknja seorang luaran masjarakat jang telah diiidinkan membuka sebidang tanah dalam lingkungan ..neschikkings- recht" dan jang hubungannja dengan tanah itu menurut liukumnja berachir sesudah panenan ; pun djuga bila pemakaian tanah setjara njata ada berlangsung lama, namun menurut hukum-adat haknja hanja suatu rangkaian „genotrecht” berturut2 terdiri dari „genot­recht” jang berachir sesudah setiap panenan. Sebagaimana ..Inlands bezitsrecht terbatas oleh berlakunja „beschikkingsrecht” kedalam, demikian djuga „genotrecht terbatas oleh berlakunja ,.beschik­kingsrecht” keluar.

H a k - t e r d a h u l u ( v o o r k e u r s r e c i t ) . Perm ula­an dan penghabisan daripada hak-milik sesama anggauta, dan seba- liknija : menguratjupnja dan dengan pelan2 pulihn/ja ..beschikkings­recht” masjarakat, kesemuanja itu tem jata oleh tanda h a k - t e r - d a h u l u a t a s t a n a h ( v o o r k e u r s r e c h t o p g r o n d ) , suatu hubungan-hukum jang memberi hak untuk me- ngerdjakan tanah itu (terus) dan unituk memilikinja (dengan „hak- milik” ), tetapi tuntutan hak serupa itu lenjap sama sekali, bilamana ada lain orang sesama-anggauta jang menginginkannja, dan mende­sak dia memilih satu antara d u a : benar2 (terus) m engerdjakan ta ­nah itu, atau menjerahkan tanah itu kepadauja (hal. 56). Demiki­anlah hukum-adat memberikan hak-terdahulu kepada orang jang dulu menaruh tanda pelarangannja atau mula2 membuka tanah ;

74

bilamana ia tidak mengerdjakan pekerdjaan- penebangan dan peni- bakaian menurut inusimnja, maka orang lain dapat mendesaicn.ja supaja memilih : mengerdjakan terus, aiau menjerahkan tanahnja kepadanja , tanah- hutan jang ada haknja- terdahulu dengan ada tandanja pelarangan, m.salnja di IViinahasa disebut : kawak, apar, palau , tanah-- apar atau tanah--palau itu rupa~-nja karena penjaJah- gunaan mendjadi tanah- .tjadangan tetap buat sesuatu kerabat ka­rena h a siil 2nh utann j a . Dilain tempat keadaan demikian itu tidak di­perbolehkan, sistimnja tidaik mengid.nJcan hakiperseorangan jang berlangsung terus atas tanah' jang beJum terbuka. Dikalangan be­berapa suku Dajak maka tanah2 terbuka dalam masa permulaan itu do sebu t: pupuh, sinian (nama buat ,.voorkeursrecht" jang mengan­dung makna bendaiuja). Kedua, maka dalam hukum-adat terkenal­lah ,.voorkeursrecht” daripada pemilik tanah pertanian jang da­hulu ; bilamana orang itu membiarkan tanah itu dalam keadaan tandus, djadi dalam proces pemulihan kembali ..beschikkmgsrecht". maka — sebelum proces itu selesai — setiap orang jang mengingin­kan tanah itu buat pertanian, harus memberi kesempatan kepada si- pemilik jang dulu itu untuk mengerdjakannja tanah itu sendiri. Se­lama ..voorkeursrecht” masih ada atas tanah itu, maka dilarang membukanja tanpa idin dari pemilik jang dulu, jang dapat menjata- ka,n tak akan mengerdjakan tenah itu lagi dan dapat memberikan idinnja, kadang2 dengan pemungutan pembajaran ; pun tanah sede­mikian itu ada namanja tersendiri, misalnja burukan (Kalimantan). Achimja ,,voorkeursrecht” ada pada orang jang memiliki ladang terletak diperbatasan tanah jang belum terbuka ; maka tanah jang belum terbuka disitu itu di Sumatra Selatan ¡alu disebut ekor-tanah (ekornja tanah-pertanian itu) atau hapuan, di Boalemo disebutnja ¡ah jalilio (anaknja tanah pertanian itu). Setokoh dengan ini ialah „voorkeursrecht” daripada pemililk tanah-pertanian atas tanah pem­bawaan lumpur (aanslibbing) pada tanah-pertaniannja itu (hal. 66).

H a k - t e r d a h u 1 u - u n t u k - b e 1 i ( n a a s t i n g s ­r e c h t ) . Disamping apa jang dilukiskan sampai sekarang ini maka terdapatlah hak-terdahulu-untuk-beli (naastingsrecht) seba­gai suatu hubungan-hukum jaing bertokoh sendiri. Maksudnja ialah suatu hak untuk membeli tanah-pertanian, halaman2 dan empang*-- ikan dengan harga jang ditawarkan oleh lain orang tjalon pembeli dengan mengesampingkan orang tjalon pembeli itu. Pun dalam hal ..naastingsrecht” ini dapat dibeda--kan tiga tokoh. Pertama hak daripada s a n a k 2 - sa u d a r a untuk membeli tanah jang melebihi hak2-nja orang2 lain jang djuga menginginkannja tapi bu­kan sanak-saudara ; selandjutnja hak daripada s e s a m a a n g ­g a u t a m a s j a r a k a t untuk membeli tanah-dusun dengan

75

mengalahkan tawaran2 dari orang2 luaran masjarakat (inilah ber- lakunja paling lemah daripada „beschikkingsrecht’’ atas tanah2-per- tanian dan tanah2 lainmja), dan achirnja : ialah hak daripada p e - m i l i k - t a n a h t e t a n g g a untuk membeli tanah2 berdam- pingnja dengan mengalahikan pembeli2 lainmja (seakan2 kelandjuitan daripada „voorkeursrecht”, setelah tanah berdampingan itu mendja- di tanah jang sudah terbuka).

H a k - p u n g u t - h a s i l - k a r e n a - d j a b a t a n - n j a ( a m b t e l i j k p r o f ij t r e c h t ) . Suatu hak matjam lain atas tanah ditangan penghulu2 dan pengurus2 masjarakait, adalah hak-pungut-hasil-karena-djabatannja (ambtelijk profijtreeht), jaitu hak atas bagian2 tanah dalam lingkungan „beschikkingsrecht” jang oleh masjarakat diberikan kepada pendjabat2' golongannja, perlu untuk nafkahnja, ialah : tanah2 „bengkok” (ambtsveiden)i. Bi'la dija- batannja itu berachir karena pendjabatnja mati atau diberhentikan, maka tanah-bengkok itu djatuh kembali kepada masjarakat mendja- d'i „beschikkingsrecht” lagi seutuh2-nja. (hal. 62).

H a k - p a k a i ( g e b r u i k s r e c h t ) . Seland'juitnija da­pat dianggap sebagai suatu hak saluran (afgeleid recht) ialah hak- pakai perseorangan atas tanah2, empang2 dan halaman2 jang berda­sar „Inlands beziitsrecht” dimiliki oleh suatu golongan (golongan sanak-saudara) jang djuga golongannja si-pemakai itu. Suatu ke­rabat Minangkabau ada haknja „Inlands bezitsrecht” atas sawah- pusaka, sedang anggauta2 dari kerabat itu (keluarga2) mempunjai hak-pakai atas tanah2 bagian sawahnpusaka jang dibagikan untuk mereka buat dipungut hasilnja, ialah jang disebut ganggam baun- tuiq, sebagaimana di Minahasa anggauta2 kerabat dijuga mempunjai „hak-pakai ’ atas tanah2-kerabat jang tak terbagi2, dan tokoh2-hu- kum serupa itu ditempat2 lain.

Didaerah2 Batak dan di Minahasa dapat dijuga disebut „hak-pa­kai hak daripada sesama anggauta masjarakat atas pekarangan atau atas tanah-pertanian jang dengan idin masjarakat ditjetak atas tanami2 „hak-milik" kepunjaan orang2 atau kerabat2 lain (hal. 58,

H a k - g a d a i d a n h a k - s e w a ( p a n d - e n h u u r - r.e c h t ) . Achirnja ada djuga apa jang dapat disebut hak2 jang timbul karena perdjandjian atas tanah (terlepas dari adanja hak2 asing) jaitu : hak-gadai daripada si pemegang gadai, pula haknja seorang jang menjewa tanah dengan pembajaran wang-sewanja le­bih dulu ; mengenai sifat daripada transaksi2 atas tanah itu berikut- nija akan dibitjarakan pandjang lebar (di- bab ke-3).

W a ik a p . Bilamana orang hendak menganggap jajasan „sa­leh” ini („vrome stichting”, wakap), sebagai suatu badan jang ber­diri sendiri dalam hukum, maka tanah jang disendirikan buat pen­dirian wakap itu adalah „hak-milik”-nija wakap itu ; andaikata ti­dak begitu maka tanah jang disendirikan untuk wakap itu tanpa

rechts-subject hal mana mungkin djuga karena kedudukan-hukum daripada tanah-wakap itu ditentukan sesempuma2-nja denqan su­rat akte penjendirian tanah itu, dimana djuga ditundjuk siapa jang diharuskan mempertahankan kedudukan-hukum chusus -ita* fanah wakaf itU. Tapi tokoh-hulmn jang teraebut p « “ , S S S a h mempunjai rechtssubject, adalah jang seharusnja lebih baik’dipilih orang.

Sekianlah pembitjaraan mengenai hak2 perseorangan dalam hu- bungannja dengan ketertiban-hukum jang lajak dalam masjarakat2- hukum ketjil2 itu. Telah diutarakan betapa suatu tekanan dari satu pusat (radja atau gubernemen) atas masjarakat2 itu dapat menga­kibatkan akan dibatasinja hak2-perseorangan oleh masjarakat du­sun, sedemikian rupa sehingga pemakaian tanah dalam dusun itu seakan2 sebagai penggantian upah buat pekerdjaan" untuk radja atau pekerdjaan-rodi, pada hal sebenarnja pemakaian tanah itu ha­rus tetap suatu pelaksanaan daripada suatu hak (hal. 61, 72) ; ini- laih suatu hal jang melampaui batas mengenai „hak-milik” jang su­dah lemah di-desa.

Bila kekuasaan pusat mengurangi tekanannja maka pertumbuhan hak2 atas tanah dalam ketertiban hukum didusun2 mendjadi lebih leluasa, sebagaimana diuraikan tadi, namun ketertiban-hukum dipu- sat tetap melingkupi ketert.'ban-hukum masjaarkat2-iketjal2 dan tetap mempengaruhinja ; tambahna pula ia mendjadi pengurus hal2 jang timbul dari terlepasonja hubungan3 dari masjarakat2 itu (hal. 49), pula ■—■ ini jang penting dalam kehidupan hukum — pusat tadi me­ngurus hubungan2-aja penghulu2 dengan analk-buahrtja, bila timbul perselisihan. Dimana haknja masjarakat atas tanah sudah hapus dan imasjarakat2-nja lenjap, atau dimana „beschiktkingsrecht” sudah patah, maka disiitu isi hak2-perseorangan atas tanah ditetapkan oleh ketertiban-hukum radja2 atau ketertiban-hukum gubernemen.3. H ak2 perseorangan dalam ketertiban-hukum didaerah2 kera- djaan.

Dalam alam fadlja2 maka ketegangan seperti jang tedaih diuraikan tadi, jaitu antara masjarakat beserta „beschikkingsrecht"-nja, dan hak2-perseorangan, djuga terdapat antara radja dan perseorangan- pemunja hak tanah. Bilamana dipakai untuk pangkal penindjauan kekuasaan pemerintahan radja2 (d,jadi bukannja suatu hak atas ta- nahnja radja), maka hak-perseorangan daripada kaula2-negaia ada­lah h a k - m i l i k ( I n 1 a n d s b e z i t s r e c h ) jang begitu berat bebannja sehingga taik selalu dapat 1 argai an mggi dan oleh karenanja mudah mendjad’inja lenjap ( an arena goja nja kedudukan maka djuga disebutnja „ h a * - m e n g g a r a p " ) ( b e w e r k i n g s i e c h t ) - atau h a k - p u -n g u t - h a s i l - k a r e n a - d j a b a t a n ( a m V 1 ^ r0if ij t r e c h t ) , mungkin djuga, h a k - p u n g u - 1 a s 1 -

k a r e n a - k e k e r a b a t a n ( f a m i l i e - p r o f i j t r e c h t )

7 T

.atas tanah-pertanian atau pekarangan.J v l i l i k - r a d j a ( v o r s t e n d o m e i n ) . Sudah tjukup-

lah kiran ja penindjauan tentang susunan-hukum atas tanah ialah . kekuasaan pemerintahan-radja2 dan hak2-perseorangan jang telah diuraikan tadi, dan seharusnja tjukup sampai sedemikian sadja ; ka­rena hanja dengan rumusan itu dapat difahami sampai pada hakiki- nja segala imbangan2 dalam pertaliannja satu sama lain, dalam se­luruh lingkarnja (djadi termasuk djuga imbangan2 jang meliputi masjarakat- ketjil2 itu), pula dapat difahami bagaimana reaksinja terhadap faktor2 sosial, dan bagaimana gerak-geriknja. Tiga hal jang m e n g aki batikan faham milik-radja (vorstendomein) dan hak-milik ■ radja (vorsteneigendomsrecht) toch dapat timbul dengan kuatnja ditengah2 imbangan2 itu. Hal pertama, jang talk membahajakan. ialah bahwa menurut, adat-bahasa setjara hamba (byzantijns) tanah itu disebut : tanah-Radja, milik-Rad'ja, milik-chusus-Radja, sebagai­mana segala2nja adalah kepunjaan Radja dan untuk Radja (hal. -i8). Hal kedua ialah bahwa dalam hubunganmja dengan orang2 asing tokoh-hukum „Inlands beziitsrecht” daripada radja2 atas tanah ko­song merupaikan bentuk-meruntjing daripada „beschikkingsrecht” jang sudah mendjadi perseorangan, hal mana memudahkan pembe­rian tambahan (complement) (pura2) pada haik2 jang lemah jang diluluskan kepada orang2 asdng2 misalnja ,,hak2-pikukuh” didaerah Swapradija2 di Djawa, dan hak2-sewa di Kalimantan, Riouw, dan dilain2 tempat, pula ,,hak2-idin” (grantrechten) di Sumatra Timur. Adalah menarik hati (walaupun -tank usah demikian) pemberian hak iambahan (puira2) sedemikian itu buat pemegang2 tanah2-bengkok ( tanah2-djabatan) dan tanah2-dipakai-sekerabat, jang dianggap adalah sepenuhnja milik Radja dalam „domeinrecht” ; dalam pada itu konstruksi ,,hak-milik-Radja atas tanah” (eigendomsrecht van de vorst), menimbulkan kesukaran2 besar, bila hak2-kerabat, hak-- pegawai dan hak-orang asing, kesemuanja masing2 memperkuat diri atau mendjadi hak2 jang dapat dipindahkan tangan, sebagaimana misalnja dulu di-ibu kota Jogjakarta ; djadi „domeinrecht” (hak- milik-radja2) jang theoretis itu, djustru karena dianggap mutlak da­lam pada itu menimbulkan faham2-hukum dan hubungan2-hukum jang sama sekali tak masuk akal, lain halnja dengan „beschikkings- recht” jang menjisi bila terdesak hak2-perseorangan. Hal ketiga, jang memperkuat faham „ h ak- m il ¿k- ra d j a - a t as-1 a n ah ” ialah karena pertumbuhan kearah hak-perseorangan jang disertai dengan beban2 padjak jang berat dan pengusiran2 jang kedjam disatu fihak dan hak2 jang tipis lagi tidak bebas atas tanah sebagai upah atas pe- kerdjaan2 rodi dilain fihak, maka hal ini semua hampir sama de­ngan ..paroh-hasil-tanam” (deelbouw) dimana jang mengerdjakan— disini Pribumi jang memakai tanah ■— hampir sama dengan pe­tani pemaroh (deelbouwer) dan radja hampir sama kedudukannya dengan pemilik tanah (Inlands bez'tter), dan keadaan ini, ialah te-

7 8

kanan aras ..Inlands bezitsrecht din'rlcint * l ■, , , , “J;P-rKuat karena aturan pemberiantanah ..lungguh (apanage. hal. /2 ).. . L u n g g u h ’- dan m i l i k - t a n a h ( a p a n a g e e n

g r o n d b e z i t ) . Seorang pemegang „lungguh" atau „apana­ge (pegawai atau anggauta kerabat) atas daerah ketjiJ, dengar, perantaraan pem borong-nja (bekel, Dj.) jang diberinja sekedar kekuasaan, atau dengan perantaraan penghulu’-rakjat jang beker- dja umtuknja, adalah dulu seorang tuan jang lebih keras dan lebih banjak tuntutannja daripada radja sendiri ; sebagai pengetjualiaTi. maka dulu dalam daerah ,,lungguh kebjil2, tanah2-pertanian jang lowong da.pat dikerdjakan oleh pemegang „lungguh” sendiri, «e- hingga ia sendiri mendjadi petani jang hajar padjak kepadanja sen­diri, djadi keadaannya tanah mirip tanah-djabatan (ambtsgrond) jang dipungut hasilnja karena djabatannja dengan hak „ambtelijk profijtrecht” .

Kesamaan jang hampir sempurna ini diperkuat karena suatu to­koh lain jang timbul sebagai akibat aturan-lungguh ini. Seorang pe­megang lungguh jang berhak atas sebagian hasii tanah sama dengar dulu haknja radja, seumpamanja dua per lima, maka ia dapat djuga menjediakan dua pex hma luas tanahnja untuk dirinja sendin se­hingga dengan djalan demikian hasil penuh daripada dua per lima tanah jang ia suruh kerdjakan oleh rakjat dalam pekerdjaan rodi, diperuntukkan buat dia sendiri dan hasil penuh dari tiga per lima ainnja untuk petani- jang mengerdjakannja. Bilamana pemegang- unggu i u, se agaimana dimasa achir2 ini banjak terdjadi didaerah wapra ja j jawa, tamibaihan ptila menjewaikan tanah-bagiannja

i u epa a per e unan atau penanam tebu, maka timbullah suatu Imana seakan- df^, jaitu pemegang lungguh, adalah tuan,

i ■ '. an Perkebunan (onderneming) seakan2 pemakai tanah dan inija si-orang ketjil jang bekerdija rodi dengan pemakaian sebi­

ang tanah sebagai upaihnja seakan2 petanan-ja. Lebih2 untuk me­mahami latar-belakang riwajatmja aturan2 hukum tanah ini, maka pengertian tentang berdjalannja lembaga „lungguh” ini adalah per- iU sama sekali. Di Djawa, dimana sistim lungguh ini dulu didjalan- kan paling sempurna masih terdapat desa jang telah diberikan seba­gai „lungguh kepada seorang anggauta kerabat-radja jang istime­wa dikasihinja, maka desa itu sebagai desa „merdeka” (desa midjen. hal. 46) dipertahankan oleh gubernemen dan merupakan sisa2 daripada sistim-lungguh, dan hubungan2-hukum jang timbul karenanja harus ditafsirkan atas dasar sistim tadi. Hampir sedjenis dengan desa midjen itu rupa2-nja adalah dusun2 jang oleh radja'“ Kaili dan Sigi di Toradja Barat dihadiahkan kepada pengantin pe­rempuan buat selama hidupnja diwaktu penkawinanaja supaja ia dapat memungut hasil padjak2 dari dusun itu untuk diri sendiri. Pun terhadap hubungan2-hukum atas tanah dalam alam radja2 di Sumatra. Kalimantan, Sulawesi dan Terna,te, maka „lungguh” itu penting artimja. Didaerah2 Swapradja di Djawa maka susunan

79

lungguh (apanage-stelsel) itu dihapuskan, jaitu dengan djalan peru­bahan organisasi jang memang sengadja diadakan, dilain tempat karena hapusnja pemerintahan radija2, atau karena perubahan2 ber­angsur2 dalam imbangan2 intern.

Karena reorganisasi2 didaerah2 Swapradja di Dijawa maka hapus­lah „lungguh” itu dan 'bersama itu hapus pula pemborongan j a de­ngan. sawah2 djabatan dan halaman2-rumah-.djabatannja ; sebagai pengganti muntjullah desa2 dengan „beschikkingsrecht” jang lemah, bak-milik petani2 dan hak-^pungut-hasil-karena-djabatan (ambtelijk profijtrecht) atas tanah2-pertanian untuk pendjabat2 desa.

P e k a r a n g a n 2 d i - i b u - k o t a . Keadaan ibu-kota Jogjakarta dibawah pemerintahan radja2 Djawa ada lebih terkenal daripada keadaan dilain kota2 keradjaan, tapi rupa2-nja dalam garis besamja merupakan matjam-chas (typerend) buat keadaan dilain2 tempat.

iPekarangan2 itu diliputi oleh susunan hak-pakai sebagai pendja- bat dan sebagai kerabat (ambtelijk- en familie-gebruiksrecht) de­ngan hak2-nja penghuni2 dan penumpang2, pula dikuasai oleh ma­kin lama makin mendesaknja pengaruh hak2-nj a orang2 asing, ru­mah2 tembok, kenaikan harga tanah, dan sebagainja. Bentuk dari­pada perkembangan-hukum jang sedjalan dengan perkembangannja kota-keradjaan mendjadi kota tempat tinggal (faham Barat), ada­lah pengakuan hak2 atas „rumah dan tanaman”, hak mana dapat di- d'jual, (jang achirnja sama dengan mendjual pekarangannja), se­hingga pada haikekatnja haik-penghum (opwoners-recht), hak-pakai sebagai kerabat (familie-gebruiksrecht) dan hak^pakai-karena-dja­batan (ambtelijk gebruiksrecht) sudah mendekati hak-milik (In- lands bezitsrecht) atas tanah, dengan fiura2 dipakai sebagai objek ialah : rumah dan tanaman, sedangkan kepada orang2 asing diberi­kan hak2 Belanda „opstal” atau „erfpacht” atau suatu hak jang da­pat disamakan dengan itu, ialah hak-pikukuh. Diwaktu reorganisasi itu maka hak-milik penuh atas pekarangan2 dikota diakui (atau di- tjetak)..C. H ak2~perseorangan dalam ketertiban-hukum gubernemen.

Bilamana tadi telah diuraikan pokok2 daripada hukum-tanah da­lam ketertiban-hukum dimasjarakat2-hukum jang ketjil2, pula dalam ketertiban-hukum didaerah2 keradjaan2 Pribumi, maka uraian ten­tang garis2-pokok hukum-tanah k e t e r t i b a n - h u k u m g u b e r n e m e n akan menjinggung sebagian daripada per- undang-undangan tanah. Tidak dibitjarakan disini pertjobaan akan melintangkan ketertiban-hukum tad'i terus menerobos „beschik- king^recht” , langsung meliputi hak2-perseorangan atas tanah. x)

-1) Dalam „Advies der Agrarische Commissie” jang tertjetak, Landsdrukkerij 1930, terdapat segala sesuatu jang menurut pendapat saja merupakan ketjaman sehat terhadap masalah ini. Keberatan2 jang menentang advies tadi, adalah ter­dapat dalam Verslag dari Panitya untuk mempeladjari Advies der Agrarische Commissie 1932, panitya mana dibentuk oleh perkumpulan „Indie-Nederland .

80

Pertjobaan itu mengakibatkan banjak kekatjauan jang tak terhing- ga - lalu dipertangguhkannja dan sedjak itu dihentikan, ialah ka­rena daja kekuatan kehidupan-hukum Pribumi dalam masjarakat2 ketjil. karena ^ b erap a instansi2 gubernemen (pegaw ai2 Pangreh Pradja dan hakim-) dan karena ilmu pengetahuan. Sekarang jang dinantr-kan hanja pemakaian perkataan „beschikkingsrecht” jang keluar dari mulut pembuat undang-undang, dan jàng ditahun2 adii-r" ini seperti dimasa jang lampau, sudah mengakui dan m enga­tur hak-pertuanan atu dalam kenjataannja, walaupun belum sampai pada seluruhnja.

Ketertiban-hukum gubernemen mentjengikang dan menjokong pertama- imbangan -hukum atas tanah sebagaimana telah terlukis dalam ketertiban-hukum masjarakat2 tadi, itupun dengan djalan peradilan hakimnja, pula pemerintahannja. Dasar daripada imba­ngan itu terletak dalam Indische Staatsregeling (het Regeeringsre- glement) dimana Koning dan Staten Generaal sedjak awal mulanja sudah menetapkan, bahwa ketertiban-hukum Pribumi di Indonesia akan dipakai sebagai dasar dan titilk pangkal dalam hubunganMiu- kuim antara orang2 Indonesia satu sama lain, pun djuga mengenai hubungannja dengan tanah.

Diluar masjarakat2-hukum ketjil2, dipulau'- kosong, dikota2 be­sar, dan didaerah tak bertuan, jang berlaku semata2 dan setjara langsung ialah ketertiban-hukum gubernemen (perundang-unda- ngan, peradilan-gubernemen, hulkum ta'k tertulis). Disitulah ter­dapat „hak-milik” jang tak terbatas oleh „beschikkingsrecht” atau oleh hak-radja2, namun oleh pembuat undang-undang dibatasi da­lam lalu-lintasnja hukum dengan lain2 bangsa ; rupa2-nja tanah2- djabatan (am btsgronden) tak terdapat, begitu djuga „ha'k-terda- hulu’r (voorkeursrecht ), „hak-menikmati” (genotrecht) dan ,,hak- ïerdahulu-untuk-beli” (naastingsreoht)-pun tak ada pula ; kesemua- nja itu langsung berhubungan satu sama lain dengan ketertiban- hukum daripada masjarakat2 ketjil2, namun diluar m asjarakat2 itu tak mendapat dasar apapun dan dimanapun djuga.

T a n a h 2 p a r t i k e l i r ( p a r t i c u l i è r e l a n d e - r ij e n ) . Dapat disamakan dengan „lungguh’ dialam radja^— dipandang dari sudut penekanan atas .hak-milik — ialah tanah- partikelir dilingkungan gubernemen. Karena menduduki tanah par­tikelir itu maka penduduk mendapat suatu hak jang seharusnja di­sebut ,,hak-milik” (Inlands ibezitsrecht) andai kata tanah parlvKeLr itu tidak sama sekali bakal didjual ; dan seharusnja mendjadi ..hak- milik”, bilamana tanah partikelir itu dibeli kembali atau ditjabut hak- nja (onteigend) oleh pemerintah ; tetapi bilamana karena pembata­san2 dari fihak tuan-tanah selama masih status ,.tanah-partikelir itu.

orang tak suka menjebutnja ..hak-milik’’, maka hak ilu dapat dise­but „ h a k - m e n g e r d j a k a n " ( b e w e r k i n g s r e c h t ), dan dalam undang-undang namanja ,,hak-er£pacht” (erfpachts- recht). Hak-mengerdjakan ini untuk daerah sebelah Barat sungai Tjimanuk dibatasi oleh huikum tertulis (Stbl. 1912 No. 422) dan untuk sebelah Timur sungai Tjimanuk oleh hukum tak tertulis. T en­tang tuan-tanah (jang perhubungannja dengan tanah tidak dapat mengikat perkembangannja perhubungan gubernemen dengan ta ­nah, dan jang dalam lalu-lintas-hukum civiel mendapat perlindung­an sebagai pemilik atau „eigenaar” ), maka ia disamping mempunjai hak untuk memungut padjak (tjuke) dan hak- lain2-nja terhadap penduduik jang mengerdjakan tanahnja, mempunjai djuga beberapa bidang tanah jang luas- dalam hak ,,eigendom” jang utuh.

Hak Pribumi a g r a r i s c h e i g e n d o m sama sekali di­tetapkan dengan suatu aturan tertulis, jang djuga mendjadi dasar- wja pula, jaitu staatsblad 1872 No. 177. Berulang2 terdjadi, bahwa kewadjiban untuk ..overschrijving” lebih2 bila tanah agrarisch eigendom itu diterimanja sebagai warisan seorang mati dilalaikan sama sekali, sehingga kedudukannja hukum lantas amat sangat go- jahnja ; itupun ketjuali bila kiranja dapat dianggap bahwa melalai­kan „overschijving” daripada tanah jang ditangan orang- Indonesia itu mengakibatkan bahwa tanah itu djatuh kembali kestatus „In­lands bezitsrecht” , hal mana akan dapat merupakan ,,djalan keluar’" jang sebaik2-nja.

82

BAB KETIGA. PERDJANDJIAN TENTANG TANAH.

Setelah diJccmukakan tjiri2 daripada hukum-tanah dalam keadaan m maka sekarang menjmul suatu perbjobaan membahas dalam

g-ans- besarriiia hukum-.tanah dalam keadaan bergerak. Ini berarti, bahwa haxus dndhtorican menurut rangfcanja. perbuatan2 menaruh dan memindahkan hak- atas tanah. Dalam perintjian lebih landljut maka usaha itu mekput, : pendirian dusun, pembukaan tanah oleh perseorangan, pendjualan tanah (tukar menukar tanah), penaga-¡ 2 ? ,? ,nah' Pe"lb .enan sewa -tanah.dengan wang sewa jang dibajar lebih dulu ; pentjadangan tanah untuk didjadikan 'benda-hukum ter­sendiri ; pemberian tanah dan penghibahan tanah (toescheiding van grond).

I. PEN DIRIA N DUSUN.Sebagaimana pembahasan pertalian-hukum atas tanah jang su ­

dah2 itu dimulai dengan membahas ¡halc-nja chalajaik (groepsrecht) jaitu hak-pertuanan (beschik'kingsrecht). maka lulkisan mengenai hukum-.tanah dalam keadaan bergerak harus memulai dengan per- buaitan-hukum jang mengakibatkan timbulnja hak--nja chalajak tadi.

Tidak mungkin dikatakan, bahwa suku2 bangsa Dj-awa dan Sun­da dulu memasuki pulau Djawa, bahwa suku"'bangsa Batak. Nias. Minangkabau atau suku manapun djuga memasuki Sumatra, bahwa suku-’ ibangsa Bugis, Toradja dan Minahasa memasuki Sulawesi, dan -sebagainja. Sebagai pangkal, harus dianggap lingkungan'-hu- kum jang sekarang ini, jang didiami oleh suku2 bangsa dengan dje- nis--n;ja sendiri dan dengaai kesatuan- susunan-rakjatnja sendiri : masingS lingkungan-hukuim itu mengalami proces pertumbuhan jang adijailb, ialah ¡bahwa masjarakat2-hukum baru timbullah dengan dja- lan perumpunan (uitstoeling) ijang berlangsung dengan tertibnja.

Sebagaimana dalam suatu golongan-sanalksaudara kerabat2 me­nimbulkan tjabang~-keraibat, ialah dalam proces dari abad kea'bad berwudjud penambahan dan pemisahan ummat manusia, tanah, gelar dan. Ibenda ladn2-nja, selandjutnja tjabang' kerabat itu menim­bulkan keralbat2 baru dan golongan2-isanaksaudara Ibaru ; sebagai­mana keluarga2 menimbulkan keluarga2 baru karena menjiamja anak2 dengan membawa sebagian dari kekajaan keluarga, demikian djuga orang2 penduduk dusun membentuk dusun2 dan miasjarakat-- wilaijah baru, tersusun menurut unsur2 sedjati daripada bangunnja sendiri. M asjarakatnja sendiri sudah menidjadi kesempitan. Dalam cljarak jang patut sudah tidak dapat diperoleh lagi hasil2 hutan jang mentjukupi, ibegiitu djuga tiada tanah-pertanian tjukup buat semua anggauta2 ; perselisihan satu sama lain menyebabkan keadaan hidup berkumpul tak tertahan lag i; keinginan akan ¡kemegahan mendorong orang mentjari kalangan kekuasaan dan kalangan-hukumnja sendiri,

83

mendorong dia ingin membentuik gerombolan anak-tjutju jang berdiri sendiri a tau 'apa sadja lain2-nja. Lalu pergilah serombongan ketjil untuk membuika tanah dan untuk berdiam disana (tnenjusuq, Redj.. truka, Dj.) bila mungkin, pada djarak jang tertentu dari masjara- katnja sendiri ; jang memimpin ialah saudara lela.ki muda aaripada penghulu-rakjat, atau sepuluh orang lelaki dan perempuan, beker- dja atas dasar persamaan satu sama lain. Didirikan pondok- ketjil. diadakan pudjaan untuk meletakkan hubungan dengan tanah. orang2 menebang, membakar dan menanam ; bilamana panennja berhasil baik, maka rumah'2-nja diperkokoh, makin banjak orang mendatang, didirikan dan dibuat balai-dusun, tempat pemudjaan. pagar dusun, tanah-lapang dusun, dan rumah-sembahjang ; masih tergolong sebagian daripada masjaraka.t asal sendiri, namun peker- djaan pendirian dusun berlangsung terus ; buat tahun kedua tanah pertanian dibuka dilain tempat, terhadap tanah2-pertanian dari ta­hun pertama jang ditinggalkan, maka rombongan baru itu berke u- dukan istimewa. M ula2 orang'2-nija jang mati masih dikubur di-in- duk-dusunnja, tapi dibelaikang ditempatnja sendiri jang baru itu (peristiwa penting) ; angkataji kedua dilahirkan ditempat baru itu (peristiwa jang tak 'kurang pentingnja), mereka sea.kan2 mempunjai perikatan jang terwudjud njata dengan 'tanah kelahirannja. Rom­bongan itu sedari awal-mulanja merupaikan suatu ketertiban sen­diri ; si-pendiri dusun dan anak-tjutjumja sebagai orang2 terkemuka dan di'bawahn.ja : kepala2 kerabat2 lainnja, atau : rapat jang terdiri dari pendiri2 dusun dan anak-tjutjunja, kemudian diperkuat oleh kepala2 kerabat2 jang datang dibelakang.

Rombongan jang memisah dan mengembang menurut keadaan bangunnja sendiri sedemikian itu, bertumbuh djadi satu dengan ta- nalinja mendjadi persekutuan-hidup, ialah karena kelahiran dan ke- matian, pudjaan2 dan tanda-2, penebangan dan pemulihan mendjadi semak kembali, penanaman dan panen, dan peikerdjaan2 dengan mandi keringat.

Pada suatu hari maka sisa2 hubungan dengan tempat-asal dipu­tuskanlah ; dalam pada itu diselenggarakan upatjara2 jang bermak­sud memperkuat kedudukan kesetimbangan dalam alam raja (kos­misch) daripada dusun baru itu dilingkungan jang lama ; batas'-nja ditetapkan, kedaulatannja dinyatakan, hak-pertuanannja (beschi'k- kingsrecht) baru terlahir, dan dengan itu maka pendirian dusun sudah selesailah.

Pendirian dusun dalam masjarakat-wilajah sendiri atas tanah iang telah dimiliki oleh pendirinja dengan „ h a ik - m il ik ' (seperti di- kalangan orang2 Batak) pada umuranja adalah suatu proces jang kurang hebatnja dan jang hanja m e m a k a n tempo pendek sadja.

84

Dalam lebih dar. satu lrngkungan-hukum maka disana banjak keadaan ,ang dan menghentikan proces ■ perumpunandusun- ; terdjadilah kekurangan tanah, karena daeraha-nja masja­rakat2 itu berbatasan satu sama lain dan tiada lagi terdapat ruangan jang kosong, atau karena tanah tak terbuka itu tidak diperbolehkan lagi diperuntukkan buat pendman dusun sebab disediakan buat tja- dangan tanah-hutan dan tanah-erfpacht. Lalu lintas tjepat mem­buka banjak kemungkmat^ bagi orang2 jang bertabeat dinamis, ke­mungkinan- mana mengganti kemungkinan dizaman dulu jang hanja berupa satu sadja, ialah : mengembara keluar dan lalu mendirikan dusun ; 'kota2 besar menjerap mereka, jang dulu sama mentjari naf- kahnja kedusun baru; pembentukan dusun2 jang besar mendapat sokongan dan fihask pemerintahan pusat. Meskipun demikian, na­mun perbuatan-’ pedirían dusun itu adalah dasar daripada ribuan masjarakat-, dimana sekarang penduduk melangsungkan kehi- dupani-hu'kumnja.

2. PEM BU K A A N -TA N A H PERSEO RANG AN.

Bilamana .pendirian dusun dan peletakan hak-pertuanan itu da­pat disebut suatu perbuatan ber-,,segd-satu" (eenzijdig) daripada, rombongan orang atas tanah, maka dengan tepat perbuatan segi satu dari individu ialah pembukaan tanah sebagian dari daerah-hak- pertuanan (beschikkingskring) oleh seorang anggauta masjarakat. Menurut hukum-adat maka hak-membuka-tanah (ontginningsrecht) itu tidak dapat ditempatkan disisi hak-pertuanan (beschikkings- recht), melainkan lebih baik disebutnja sebagai hak-nja si-anggauta sendiri untuk melakukannja dengan tjara tertentu atas „beschik- kingsrecht" jang dia ikut mendukunguja d.juga. Melakukannja itu terdjadi setjara gerombolan atau setjara perseorangan, dengan ke- tahuannja pernghulu-masjarakat lebiih dulu, d'jadi : dalam ketertiban- hukum masjarakat. Tentang pembukaan tanah oleh b u k a n - a n g g a u t a

masjarakat, jang bukannjja berdasar hak-membuka-tanah jang dia ikut mendukungnya, melainkan'karena ia sudah mendapat idin dari masjarakat jang ber-,,beschikkingsrecht” itu, maka soal ini telah di- bitjarakan diwaktu menindjau „beschikkingsrecht" dimuka : maka perbuatan orang itu dapat dianggap perbuatan atas d3sar perdjan- djian, bukannja perbuatan berdasar suatu hak jang didukung sen­diri oleh perseorangannja si-pembuka tanah itu.

Pembukaan tanah oleh sesama-anggauta gerombolan dalam hng- kungannja sendiri berlangsung dengan ketahuan penghu u-masja- rakat lebih dulu ; dengan tjara demikian maka ini ternjatalah suatu perbuatan-hukum jang menimbulkan hubungan3 jang Der a ■ nie nuntut perlindungan dalam ketertíban-hukmn masjarakat itu.

85

W"

Penghulu ('kepala) raendijaga djaiigan sampai nak--nja orang- lain —■ ialah hak2-terdalhulu (voorkeursrecht) — drlanggarnja (petneli- haraatn-hukum pentjegahan = preventieve rechtszorg). pula ia mendijaga djjamgan sampai terlanggar : tanah jang disediakan untuk kepentingan masyarakat — atas dasar „beschikkingsrecht” masja- rakat — atau tanah jang dilepaskan dari pemakaian perseorangan (perbuatan terachir ini dia sebagai perwakilan dari masjarakat jang ber-„balk-pejotuanan" iitu).

Tanah jang akan dibuka oleh orang-seorang itu diasingkan de­ngan djalan dibubuhinja suatu tanda larangan ; dengan demikian diberitahukan kepada orang2 lain, bahwa tanah jang ditandai sede­mikian itu adalah tanah larangan, si-tjalon-peinbuka dengan sjarat tertentu sudah menghubungkan diri dengan tanah itu, melanggar tanah itu berarti melanggar dirin]ja si-tfalon. Tanda5 larangan itu kadang2 berupa ikelar2 di pohon2 pembatasan, kadang2 galah2 jang ditaruhkan daun2, kadang2 dua batang tjanggah berpalang jang di- ganitungi sekian kait2 dari ka/ju sedljumlah bidang2 sama dengan tanah 'jang akan dibuka, atau digantungi sekian singat2 kerbau jang menundlj'uikkan sekian dendareja bi'la orang melanggar larangan rtu (sdbenarnija b e ra rti; sekian ekor kerbau harus si-pelanggar mem- bajar sebagai dendanya). Si-tjalon pembuka tanah mempersembah­kan pudljaannlja selaiku perseorangan, bi'la perlu dengan bantuannja kahin^tanah, perlumja supaja memperoleh suasana sedemikian rupa sehingga ia merubah keadaan itu dimungkinkan dengan tiada kena bahaja maut, pula untuk berdamai dengan orang‘--halus jang djahat dan unitulk meminta tolong kepada orang2-halus jang baik.

Pada saat jang telah ditetapkan oleh musimnja maka dapatlah dan haruslah 'tindakan2 pertama ikearah pembukaan itu ialah mene­bang, dimolai ; p erh u b u n g an -b uku m dengan tanah adalah „hak terdahulu" (voorkeursrecht) daripada pembuka tanah jang memo- lai itu.

Membuka tanah didaerah bukannya daerah masjarakat-hukumnja sendiri djalann/ja sama sadja, hanja harus ada idin sebelumnja, jang diberakan oleh kepala (penghulu) sebagai wakil daripada m asjara­kat jang mempunyai „beschikkingsrecht”-nija itu ; untuk menje- lenggarakan pudjaan perseorangan, maka harus ada bantuannja seorang anggauta daripada masjarakat jang berhak-pertuanan tadi.

Pembukaan tanah didaerah tak bertuan aturannja semata2 menu­rut aturan keradjaan Pribumi atau gubernemen. U ndang2 pembu­kaan tanah (ontginnmgsordonnanties) didaerah gubernemen de- ngan demikian1 tidak diha-lang2-i berlakunja oleh hak-pertuanan da­ripada masjarakat2. U ndang2 itu berlaku djuga terhadap lingku­ngan- , .beschiklkingsrecht” sepandjang tak menjalahi hak-pertuanan itu.

86

A k i b a t - h u k u m n o m o r d u a ( s e c u 11 d a i r ) d a r i p a d a p e m b u k a a n t a n a h . Karema tindakan- hukum segi-satu perseorangan itu, ialah pembukaan tanah, maka diletakkanlah hubungan perseorangan oleh si-pembuka tanah atas tanaih-pertanian jang dibuka itu, ialah hubungan- sihir (magisch) dan hubungan hukum dalam lingkungan ¡keseluruhan sihir dan ke­seluruhan hukum jang ada pada ummat dan tanah. Tapi h ub un gan antara tana>h-pertanian dan manusia itu tidak terbatas tegas sampai ke-manusia dan tanah sadja, melainkan djuga berlangsung terus dari manmsia ke-keluargamja dan ke-kera'batnja (ini tergantung dari tokoh susunan-kesanak-saudaraannja), ke-bagian clannja jang ber­diri sendiri, dan ke-u>aris-nlja ; pula berlangsung terus dari tanahnja itu ketanah-tetangganja (hak-terdahulu atau „voor'keursrecht” ) . Hubungan itu sekonjong- dapat mendjadi se-erat-’-nja antara kera­bat dan tanah, bila kedjadian (demikianlah dikalangan Dajak-M a- .injan di Kalimantan) si-,pembuka meninggal dunia dilapan-gan situ (tanah itu lalu disebut taneh kauhi) atau bilamana seorang perem­puan melahirkan anak diitanah situ ; pembukaan tanah itu dapat pula menjeba'bkan milik-kerabat, bilamana pembukaan itu memang untuk kerabat. Bilamana seorang lelaki jang tidak kawin — seorang pengembara jang terlepas dari sanak-saudaranja — disuatu tempat membuka sebidang tanah-tak-bertuan (mungkin dengan mrneia.pj aturan2 suatu undang2 pembukaan tanah) maka jang timbul tak lain hanja (hubungan-hukum antara si-pembuka dan tanah-perrani- an itu sadja.

3. PER D JA N D JIA N 2 TA N A H SEG I-DU A DIDALAM M ASJA RAKA T2.

Untuk memahami hakikintja perdjandijian- tanah segi-dua ( twee- zijdig) menurut hukum-adat, maka perlulah (dan logis-lah) mema­kai -sebagai pangkal : hubungan (-hukum) jang mengandung iba- dat~sihir (magisch religieus) antara manusia (dan warisnja) dan tanah (beserta tanah berdampingannja) didalam ketertiban-,hukum (dan ketertiban menurut sihir) masjarakat, hubungan mana jang timbul karena pembukaan tan'ah oleh perseorangan itu. Andai kaia kesatuan masjarakat itu dapat digambarkan sebagai suatu lingka­ran, maka didalamnja iitu hubungan2 sendiri2 daripada manusia-ta- nah-masjarakat merupakan lingkungan2 ketjjd- jang satu terhadap lain berkedudukan/ -jang tertentu, pula misalnja terhadap bidang2 tanah-keraibat, dimana tanah2 serupa itu ada terdapat.

M aka ternjata mungkin djuga melepaskan ,,apa- dari satuan jang digambarkan setjara kongkrit tadi, pula mungkin djuga me­mindahkan „apa2" tadd kepada lain satuan, asal pemindahan itu diselenggarakan dengan berhati2 setjukupnja dan asal didjaga dja- ngan sampai kesetimbangan itu terganggu, ialah dengan djalan me­mindahkan suatu tara (equivalent) dengan serentak dari satuan

87

kesatuan, kedjurusan kebalikannja. Unsur daripada perbuatan itu ialah peralihan jang serentak — pembajaran tunai — sehingga per- buatan-hukum sematjam itu kiran ja dapat disebut p e r b u a t a n t u n a i (kontante handeling). Ini terdapat dihukum-sanak- saudara, dimana orang memungut anak jang bukan karibnja de­ngan disertai pembajaran (berupa barang2 berchasiat atau wang. hal. 153), pula terdapat diwaktu kepindahan anak2 dari su/cu-nja ibu ke-suku-n]a bapa disertai pembajaran menurut adat (pedaut, Redj. hal. 157) ; terdapat dihukum-perkawinan diwaktu kawin-dju- d'juT (bruidschathuwelijk, hal. 165) ; terdapat di „hukum-kekajaan” (Vermögensrecht) diwaktu menjerahkan (hak atas) tanah ; pula terdapat diwaktu menjerahkan barang2 jang berchasiat benar dan jang 'berhubungan erat dengan orang jang membuatnja atau jang memilikinja (tanduk mendjangan terukir, sendjata tertempa, gigi2 matjan atau azimat lain, dan sebagainja). Inti kesemuan'ja itu ialah penjerahan untuk terima pembajaran tunai ; faham sedemikian itu dinjatakan dengan perkataan Indonesia „mendjual", perkataan Dja- wa ,,adol (bahasa tinggi : sade), istilah2 mana dalam hubungannja ini djadi tidak boleh disalin dengan bahasa Belanda : ,,verkopen , selainnja bila, dari sesuatu hal, ternjata bahwa jang dimaksudkan : penjerahan-buat~selama2-nja. Dalam hukum tanah maka perdjan- djian2-c?yuaZ itu dapat mengandung tiga djenis maksud :

A. menjerahkan tanah untuk terima pembajaran tunai sedjum- lah wang, sedemikian rupa, sehingga orang jang menjerahkannia tetap ada hak atas kembalimja lagi tanah itu kepadanja dengan djalan membajar kembali sedjumlah wang jang sama : antara lain2 menggadai (M in.), mendjual gade (Ind.), adol sende (D j.), nga- djual akad atau gade (Sund.) ;

B. menjeraihkan tanah untuk terima tunai pembajaran wang, tanpa hak menebusnja, djadi buat selama2-nja (mendjual lepas (Ind.), adol pias, runtumurun, pati bogor (D j.), mendjual djadja, Kalimantan) ;

C. menjerahkan tanah untuk terima tunai pembajaran wang de­ngan djandiji bahwa tanah akan kembali lagi kepada pemiliknja tan­pa perbuatan2~huJcum lagi, itupun sesudahnja berlalu beberapa ta- hun-panen (mendjual tahunan (Ind.), adol ojodan (D j.).

Dalam bahasa Belanda disebutnja : A. ..grondverpanding , B- ..grondverkoop” dan C. „grondvenhuur met vooruifcbetaalde huur- schat” .

Djuga dimana dasar jang mengandung ibadat dynamisme tidak ada (atau mulai tidak ada) pada imbangan2 tanah atau perdjan- djian2 tanah ini ,djadi imbangan2 tanah ini bukannja hasil daripada faham fikiran „participerend” , melainikan hasil dari perhitungan se-

dar dan analystis, namun perdjandjian2- djual ini dalam susunan hukum-adat hanja dapat difahami sebagai perdjandjian-’, dimana hak2 dipindahkan dengan djalan perbuatan- tunai (perdjandjian2 riil = reele overeenkomsten).

P e m b a n t u a n d a r i p e n g h u l u ! - r a k j a t , U n­tuk melaksanakan suatu perbuatan-hukum (rechtshandeling) jang menimbulkan suatu perubahan jang diinginkan dalam ketertiban- hukum dan jang berhak atas perlindungan hukum, maka ia harus dilaksanakan dengan pembantuan penghulu2-rakjat atau kepala2 dusun jang tugasnja itu (di D jawa) disebut dengan perkataan jang menundjukkan bahwa mereka itu dengan pembantuannia itu me­nanggung ( tanggung) bahwa perbuatan itu sudah tjukup tertib dan tjukup sah menurut hukumnja. M ereka mendjadikan perbuatan itu sampai kelihatan oleh umum, mengangkatnja sampai ke-ketertiban- hukum umum, mendjadikannja terang dan tidak gelap, peteng * D j .), mendjadikannja di bagasan adat (Bat.) dilalu-lintas hukum jang bebas dan terdjamin. Tugas penghulu2-masjarakat itu meliputi, djuga kewadjiban mendjaga hak2 waris-nja terdjamin, begitu djuga hak‘2-nja pemilik2 tanah2 berdampingnja, pula hak2-nja sesama-ang- gauta masjarakat. Bila ada tanah didjual lepas atau didjual gadai, maka — bila pertalian antara anggauta2 kerabat (waris) masih tju­kup eratnja — harus ada pernjataan bahwa mereka menjetudjuanja (atau mereka hendak mengoper tanah itu sendiri) ; dan dibeberapa wilajah harus djuga ada pernjataan bahwa pemilik2 tanah2 jang berdampingan menjetudjuinja ; dan bila dipindahnja-tangan kepada seorang diluar dusun harus ternjata bahwa anggauta2 masjarakat tidak mempergunakan ,,naastingsrecht"-mja (hak-terdahulu-untuk- beli, halaman 60, 75) ; kadang2 pembantuan kepala dusun itu djuga mendjamin berlakumja tanah itu sebagai tanggungan pindjaman (hal. 112) ; dengan tjara demikian didjaga supaja djangan timbui perselisihan2-hukuim dibelakang, bantuan kepala2 dusun itu me­ngandung nilai sama dengan suatu keputusan diluar perselisihan, misalnja dengan demikian sudah diputuskan apakah perdjandjian dengan orang luaran masjarakat diperbolehkan apa tidak oleh .,be- schikkingsrecht” (dalam berlakunija keluar) ; dan bila memang di­perbolehkan, maka pembantunja penghulu-masjarakat itu seolah- membuka pintunja lingkaran tadi untuk orang luaran itu ; dan da- lam lingkungan situ si-asing tadi lambat laun dapat dipungut masuk sebagai anggauta, atau ,,si-asing tetap asing jang harus membajar beaja (sewa bumi) terus sesudah terlaksananja perdjandjian tanah itu. W ang-pengakuan jang harus dihajarkan kepada penghulu2 di- waktu diadakan perdjandjian2 tanah itu, berupa sedjumlah ketjil. dikalangan orang2 Batak disebut pago-pago tapi biasanja disebut : wang saksi sadja.

Bila perdjandjian itu dilaksanakan diluar pengetahuan penghulu- masjarakat maka ia tak ditingkatkan sampai ketertiban-hukum, tak

89

b erlak u terhadap fihak ketiga, dan si-penerima oleh dunia luar tak diakui sebagai 'jang berhak atas tanah. Djuga dalam hubungan antara kedua fihak maka bila timbul perselisihan mengenai hak atas tanah- risico-nja ada pada si-penerima, jang tidak menerimanja de­ngan ..terang '. Pengabaian pembantuan penghulu-rakiat itu dapat dibetulkan (lagi dengan djalan melakukan tempoh jang lama, pula dengan perbuatan2 pengakuan langsung atau tidak langsung, ke- semuamja itu lalu dapat mengakibatkan bahw a hubungan-’-hukuni atas tanah jang baru — jaitu berdasar perdjandjian2 tadi — dapat berlaku sepenuhnja. Andai kata ternjata bahwa kepala-dusun sud'ah pernah menolak permintaan p e m b a n t u an-nja maka bila tooh tanpa pembantuanmija dilaksanakan suatu per d j and j ian-tanah, maka per- djand.jian sedemikian itu tidak sekali2 akan mendapat pengakuan oleh hukum.

Djadi menurut hukum-adat maka penggadaian tanah, pendjualan tanah dan penjewaan tanah dengan pembajaran wang-sewa lebih dulu, adalah penjerahan tanah dimuka penghulu-m asjarakat dan dengan setahunja waris dan pemilik2 tanah berdampingnja. untuk menerima tunai sedjumlah wang, dan pemjerahan sedemikian itu un­tuk !selama2-nja. atau, dengan permufakatan dibelakang baik untuk dapat ditebusnja kembali, maupun untuk kembalinja tanah sesudaih lewat tempoh tertentu. Kebanjakan perdjandjian sedemikian itu di- buat dengan tertulis, ialah diatas surat perdjandjian atau ,,akte” .

O b j e l k - n j a p e r d j a n d j i a n s - t a n a h . M engenai perbuatan2-tunai (kontante handelingen) dalam hukum-kekajaan maka tanahlah jang paling digemari sebagai objeknja. D apat disa­makan dengan tanah adalah empang2 ikan dan perairan lainnja jang dapat ditaruhkan 'hakr-.perseorangan. Selandjutnja djuga pohon2 mendljadi objek, pula rum ah2, itupun bila didjualnja atau digadai- kannja bersama2 dengan halamanmja. Ruma'h2 batu-pun hanja se­mata2 dapait pindah-tangan dengan djalan perdjandjian d jual (itu ­pun bila rum ah2 batu itu senjatanja mendjadi objek perdjandjian jang 'berlangsung sendiri, lepas dari lain2 perdjandljia.n, hal mana amat djarang akan, .terdjadinja). Kemudian maka hanja dengan djalan per d j andj ian-djual (djual- transaktie) itu sadijalah dapat dimi­liki benda2 jang sangat berhubungan dengan chasiat dan sangat m e­ngandung chasiat, sebagaimana telah diuraikan tadi, misalnja : azi­mat2, obat2, tanduk terukir, kadang2 keris2 dan sebagainja. Barang- lainnja, termasuk djuga rumah2 bambu dan .ternak, dapat dijuga di­serahkan dengan pem bajaran tunai, dijuga dapat bila perlu didjual dengan kredit. Dalam pada itu maika waing-.pembelian itu bukan- nja suatu sijarat supaja memungkiinkan pem indahan-tangan barang2 itu berdasarkan atas hukum-adat, tapi wang-pembelian itu hanja berarti sebagai „ tara” dalam arti ekonomis ■— seketika atau berang­sur2 — buat ganti serentak apa jang diterimanja, m a s a l a h mana akan dibentangkan di-ibab kelima berilkut.

A l a s a n . Alasan untuk perdjandjian-tanah itu lazimnja ialah bahwa si-pemilik tanah 'butuh wang. Bilamana ia tak dapat men- tjukupi kebutuhannja itu dengan djalan memindjam wang (mem­buat perdjandjian - w a n g ) maka ia dapat mempergunakan t a n a h -nija untuk memperoleh wang itu dengan djalan mem­buat p e r d j a n d j i a n - t a n a h ( g r o n d - t r a n s a l t - t i e ) . Atjap kali urutannja demikian : seseorang membutuhkan wang dan memindjam wang dan buat mengembalikannya maka ta- nahnja-pertanian atau pekarangannja didjadikan tanggungan (hal ini dibitjarakan nanti), arbiinja, orang itu berdjandji —■ bila dalam tem- poh jang sepatutnija wang itu belum dajpait dikembalikan ■— maka ia melunasi hutangmja itu dengan djalan membuat djual-transaktie (perd!jandjian-dijual) dengan tanahnja itu sebagai objeiknja (mem­buat perdjandjian ini dengan si-pemberi hutang sendiri atau dengan lain orang). Bilamana sampai sekian, dan jang berhutang membuat perdjandjian - djual (menggadaikan, mendjual lepas, memjewakan dengan wang~<sewanija dibajar lebih dulu) dengan si-pemberi-pindja- mannija, maka disini adalah suatu kontrak-pelunasan (delgings-kon- trakt) ; dengan demikian dijumlah-wang jang dihajarkan itu men- d'jadi gantmija pembebasan hutang, atau sama dengan pengakuan : „wangnja sudah saja (penjerah tanah) terima dengan baik” . Dika- langan orang2 Batak Toba penggadaian tanah sebagai kontrak-pe- lunasan hutang itu disebut sindov, sebutan mana berlainan dengan penggadaian tanah karena kebutuhan wang, hal mana disebut : dondon.

P e m b a j a r a n s e b a h a g i a n . Adalah sukar untuk ditetapkan, apakah ada kalanija dapat terdijadi dalam suatu perdjan­djian jang dljudjur, 'bahwa si-pemiilik menjerahkan tanahnja dan un­tuk itu dia dibajar wang hanija sdbagian, sedang sisanja akan dibajar pada lain waktu. Bila memang pernah ada kedijadiam demikian, ma­ka hal ini adalah suatu perketjualian jang djarang terdapat, karena penghulu2-<masjarakat menuntut pamlbajaran penuh daripada wang- harga jang sudah dimufakati, iitupun sebagai sijarat untuk memberi­kan pembantuannja. Andaikata toch timbul perselisihan hukum ka­rena tidak terbaijarnija sisanja wang-gadad, wang-djual, atau wang- sewa tadi, maka meniuruit hukum-adat perkara ini harus ditindjau dari sudut „perbuatan tunai” (kontante handeling) sep en u h n ja , djadi wang tunggakan itu sehairusnija dianggap sebagai suatu pin- dj aman-wan g biasa, seakan2 sesudah „penbuatan-tunai” penuh tadi, sebagian wangnja pembajaran dipinidjamkan lagi kepada si-pembajar wang ialah si-penerima tanah.

S a a t t e r i a k s a n a n j a p e r d j a n d j i a n . Pada saat dinjatakan dihadapan penghuilu (kepaila) : saija mengaku sudah menjerahkan tanah dan untuk itu sudah menerima wang-harganja, maka saat itulah saat ditaruhnja hak fahak lain itu atas tanah itu. jaitu ibaik hak-gadai atau hak-miilik, maupun hak-sewa. Sedjak saat

91

itulaih -— sampai ditebusnja, atau 'buat selam a2-nija, aitau sampai le- w atnja tempoh tertentu — sipem'bajar w ang itu mendjadi p e - m u n j a h a k a t a s t a n a h ( g r o n d g e r e c h t i g d e ) dan terletak padanja „pertanggungan-dijaw ab” , sebagaimana periba­hasa Bataik m engatakannja. Pemilik 'tanah semula jang m enggadai- 'kannja sedjaik itu hanja dengan dijalan menebus berhalk atas kemba- linja tanahmja ; pemilik tanah semula jang .mendijualnja lepas sedjak itu tak berhak lagi atas tanahnja ; pemilik jang memjewakannja de­ngan pembaijaran w ang-sew a lebih dulu, han ja sesudah lewat 'tem­poh janig te rten tu berhak atas kembailinja (m enuntut kembali) ta ­nahnja.

Bilamana dalam hal jang pertama dan jang ketiga hak-milik atas tanah itu oramg suka m enam akan „.hak-milik jang sudah terbuka (bloot inlandsch bezitsrecht) —■ misalnja untuk memenuhi peraturan „landrente” ■—■ m aka rupa2-n ja sebutan jang sedemikian itu tak ada keberataninja ; orang jang menggadaikaninija atau menjewanaaimja, bila r perlu, dapait memperoleh pengakuan hukum, bahw a tanahnja i.tu dapat ditebus kembali atau bahw a hak2 gadai dan sewa itu hanja berlaiku untuk sem entara sadja ; pula 'huku-m-adat mengenal tja ra2 lain, jang akan disebutkan berikut n j a, jang m engingatkan bahwa .,halk~milik”masih ada ditangan pemililk semula. Apakkah sisa2 haik jang masih ada ditangan si-pendjuial-gadai itu dapait dipi-ndah-fta- ngan, maka soal ini rupa2-nja tidak terang dan tidak boleh djadi. Hakim dengan kekuasaannja iikut membentuk hukum baru harus sa­ngat hati2 terhadap kem ungkinan2 serupa itu jang tak bersambung dengan alatn-pikiran-hukum daripada rakjat Pribumi ; ada kecha- watir.an jang beralasan terhadap kemungkinan main kongkalikong. T ap i hak si-pendjual-gadai dan si-pendjual-sew a benar2 dapat di­w ariskan.

P e n u n d a a n p e n j e r a h a n t a n a h . Penundaan pemakaian-tanah-setjara-tnijata oleh si-penerim a-gadai, sipembeli ta ­nah atau si-penjewa tanah d apat terd jad i karena tiga matjam kea­daan. Pertam a kali — jantu di D jaw a .— dapat dibuat persetudjuan dalam perdjandjian-djual, bahwa hak jang diperoleh karena trans- aktie tadi baru berlaku sesudahnya satu atau dua tahun atau lebih jang akan datang ; sesudah habis tempoh tadi, maka tak usah di­adakan tindakan kedua, nam un hak-n>ja sipenerima tamah mulai ber­laku pada saat jang telah dimufakati. Ini disebut : digangsur seta­hun, rong tahun dan sebagainja. Kedua, seketika sesudahnja dibuat perdjamdjian maka dapatlah seseorang, jaitu oramg jang menjerah­kan tana/hnja, diidinikan memakai tanah itu setjara njata, misalnja berdasairnja atas perdjand’jian paruh-hasil-tanam (deelbouw). D an ketiga, penundaan pemakaian tanah setjara n jata itu dapat disebab­kan karena pemakaian jang tidak sah oleh seseorang, misalnja oieh. si-penjerah sendiri.

S a ik s i . M ereka jang selaku d.jabatannja dalam m asjarakat. jang selaku kedudukannja sebagai waris atau sebagaii pemilik tanah

92

berdampingnja dan mereka jang memang semata2 sebagai saksi, dijadi kesemuanja itu jang menghadliri pembuatan perdjandjian. maka mereka itu biasanja disebut saksi. D jadi isbi'iah ini tidak boleh disamakan begitu sadija dengan perkataan „getuige” dalam bahasa Belanda, namun harus diterangkan djuga menurut kedudukannya chusus diwaktu hadlir itu.

G a d a i - t a n a h b e r h a d a p a n d e n g a n d j u a l - t a n a h . Djadi bila gadai-tanah dan dijual-<tanaih harus dianggap sebagai perdjandjian2-tanah jang pada hakekatnija sangat karib satu sama lain, namun k e m u n g k i n a n untuk mengembali­kan tanah jang digadaikan kepada si-pendjual-gadaii lagi, itulah jang kadang2 menjebabkan perbedaan penting dalam kedudukannja perdjandijian itu, ditimbang dengan : penijerahan tanaih untuk sela- m a--n ja ; perbedaan ini timbul dengan seterang2-n/ja dimana — seperti d'i'daerah Batak ■— ada larangan tidak diperbolehkan mem­berikan tanah sebagai „djudjur” (bruidschat), karena dengan tjara apapun djuga kerabat-fihak-perempuan (bapanja) tidak boleh mendijadi pemilik tanah dalam masjarakat itu, tapi disitu dijuga be­nar2 boleh tanah digadaikan kepada kerabat-fihak-perempuan untuk d;belakang ditebusnja kembali dengan ,,'djudjur” itu ; dan dilain2 tempat dimana „beschikkingsrecht” masih berlaku keluar terhadap ta.nah2-pertamian, hak-pertuanan itu melarang gadai-tanah dan djual-tanah kedua2-nja, tapi ada kalamja buat sekali itempoh hanja „dijual-tanaih” jang terlarang, „gadai-tanah” tidak. Pada umumruja terdapat ketjenderumigan jang sangat ada pada „gadai-tanah” di­banding dengan „dijuail-tanah” ; itu diseibabkan karena pengertian, bahwa perdjandijian terhadap segala tanah jang didjundjung tinggi sebagai tana-h-kerabat atau tanah-warisan itu ■—■ bila perdjandjian gadai .— dapait ditindjau kembali. Dibanjak wilajah oleli karenanja gadai-tanah itu leibih berulang2 terdapatnja dari pada djuai-tanah.

Tidak perlu diibitjarakan lagi fciranja, bahwa perdjandjian2-tanah menurut hukum-adat ini adalah sama sekali lain wudijudnja daripa­da „djual” („verkoop” ) jang terkenal dari susunan2-:hukum lain, jang menimbulkan 'kewadpban2 penijerahan dan pembajaran.

Sesudahn.ja membitj arakan tjorak--mja jang bersama, maka seka­rang dapat ditirudjau masing2 daripada tiga iperdljandjian2-djual itu sendiri'2.

A. Gadai-tanah.P e m b e r i a n n a m a . Perdjandijian gang menjebabkan

bahwa tanahnja diserahkan untuk menerima tunai sedijumlah waaig, dengan permufakatan bahwa si-penjerah akan berhak mengemba­likan tanah itu kedirinija sendiri dengan dijalan membajarkan se- djumlah wang jang sama, maka perdljandjian (transaktie) sedemi­kian itu oleh V an Vollenlioven dengan konsekwen dinamakan ga- dai-tanah {-sawah) (grond (-sawah) -verpanding). Perdj.andjian itu djuga masih atjap kali disebut dengan istilah „dijual dengan per-

93

diandjian beli kembali” (verkoop met beding van wederinkoop). tat>i i s t i l a h itu seharusnja dibuang djauh2 dan dalam bahasa-hukum murni s e h a r u s n j a dihindari. Pertam a kali bukankah ini terdjemahan

niq salah, jaitu perkataan „m endjual”, dalam „mendjual sende". mendjual akad" dan sebagainja disalin mendjadi „verkopen” ; di-

sini arti „mendjual” ialah : „m enjerahkan”, sebagaimana dalam mendjual lepas" perkataan „mendjual” berarti „m enjerahkan” dan

’ lepas” berarti „potjot” buat selama2~nja dari si-pemilik ; maka dari itu istilah tersusun „mendjual lepas” adalah bermaksud „verkopen” dalam bahasa Belanda. Kedua kalinja, maka „koop met beding van wederinkoop” mengandung saran pem indahan haik-milik, bila per­mufakatan „dibeli-kembali” (weder-in'koop) ini digantungkan pa­da tempoh jang tertentu Jamamja dan lantas diabaikan tempoh ini. djadi hak membelinja kembali lenjap, hail mana menurut hukum- adat tidak demikian (lihatlah dibawah) ; dan achirnja pemakaian dua perkataan Belanda jang berbeda2 menimbulkan kesan, bahwa seakan2 ada terdapat dua matjam perdjandjian (transakties) jaiitu „verpanding” dan „verkopen met beding van wederinkoop ; inipun tidak benar. Terdjem ahan „grondverpafiding (gadai-tanah) me­nguntungkan karena perdjandjian ini did j adakan perdjandjian ma­tjam tunggal (eensoontig) dan m atjam -sendiri (eigensoortig), diha­dapkan kedua perdjandjian2~c?/ua/ lainnja, namun dljuga ada dua keberatannja jang besar. Pertam a kali terdjeimaham sedemikian itu menjarankan seakan2 perdjandjian-tanah itu ada sifatnja „acces- soir” , pada 'hal perdjandjian iitu adalah suatu perbuatan-hukum jang berdiri sendiri (zelfstandige rechtshandeling) seperti „.men­djual dan „menjewakan” ; selandjutnja .— hal mana sama dengan tadi ■—■ terdjemahan tadi menjarankan pikiran seakan2 berdasar atas p a n d j a m a n - w a n g jang terus menerus, atas pembajaran kembali suatu pin djaman-wang dan karenanja lantas mendapat kembali tanah jang tergadai itu. Ini semua membingungkan. Gadai- tanah sama sekali bukan (lagi) pindjaman wang (suatu perdjan­djian wang) ; t a n a h - l a h jang mendjadi objek-nja perbuatan- hukum ini sebagai diuraikan dialas ; orang d a p a t menarik kem­bali tanah itu kepada dirinja sendiri dengan djalan membajarkan wang jang sudah diterimanja, tapi untuk itu ia tidak sekali2 diwa- djibkan ; peitbuatan^hukum itu adalah perdjandjian-'tainah jang ber­sifat sendiri. Sekali2 djanganlah dipakai lebih dari satu istilah buat menjebut perdjandjian itu, dan karena tidak ada jang lebih baik, maka hendaknja tetap dipakainja istilah ,,grondverpanding” („ga­dai-tanah” ), dan dalam pada itu harus dihindari ketjenderungan untuk m enghubung^kan dalam pikiran istilah itu dengan „pand- transaktie” Belanda jang „accessoir” itu.

W e w e n a n g s i - p e m i b e l i - g a d a i . Si-pembeli ga­dai sesudahnja ditaruhkan hak-gadai^nja atas ianah dihadapan penghulu-rakjat dapat memetik hasil tanah itu.-sepenuhnja, me- ngerdjakannja atau jnendiami-nja, memjuruh meiigerdjakannja atau

94

mendiaminja, membuat perdjandjian mengenai mengejdjakan tanah itu (memaruhnja dan sebagainja), perdjandjian2 mana berachir atau dapat berachir setiap panen. Ia dalam memperlakukan tanah itu ha- nja terbatas oleh kemungkinan kewadj'ibannja imenijediakannja un­tuk dikembalikan kepada si-pendjual gadai bila ditebusnja kembali. Djadi bilamana ia membuat perdjandjian-djual atas tanah itu, maka dalam ipada itu 'kemungkinan mengembalikan tadi harus tetap di­adakan, artinja, ia hanja boleh menggadaikan - terus (doorverpan- den) tanah itu. Kemungkinan ini adalah suatu pertolongan djuga bagi si-pembeli-gadai bila dia ibutuh wang. Walauipun ia pertama2 dapat menemui si-pendjual-gadainja dengan permintaan supaja ta- nah-pertaniannja ditelbus kembali (untulk menolong dia wang), tapi bilamana si-ipendijual-gadai itu tidak dapat atau tidak mau menebus, maka si-pembeli-gadai sama sekali tidak akan dapat menuntut kem- balinja wang-gadai, tapi memang boleh ia menggadaikan tanah itu kepada orang lain. Ia dalam pada itu bertindak atas tanggung-dja- wabnja sendiri mengenai djumlah wang jang ia peroleh, jaitu sama atau kurang dari pada wang-gadai semula ; jang 'teraehir ini disebut gadai-dibawah-harga (onderverpanding), bila kelak ia itenma wang tebusan, maka dia dapait menebus sendiri ; ia djuga dapat ambil orang lain untuk mengganti dia sebagai pembeli-gadai, sedemikian sehingga ia lenjap keluar dari urusan gadai ini (sesudahnja ia me­nerima wang-gadaimja dari pemlbeli-gadai ibaru itu), ini disebut m e n g g a d a i - t e r u s ( d o o r v e r p a n d i n g ) . Dalam hal ind pendjual-gadai iharus diberi tahu.

M e n u n t u t k e m b a 1 i n j a w a n g - g a d a i t a k m u n g k i n . Si-pembeli-gadad sebagai telah diutarakan tadi me­nurut hukum sama sekali tidak 'boleh menuntut ikemlbali wanig-ga- dainja dari si-pendjual-gadai. Sedemikian itu akan sama sekali ber­tentangan dengan sifat-hukumnja p erd j andj i an- g a d a i (dengan su­sunan hukum-adat) dan ■— jang lazimmja bersama2 djalannja •— dengan funksi sosial daripada gadai-tanah. Sebab seandamja si-pendjual-gadai dihukum mengembalikan wang-gadainja, tapi taik dapat atau tak suka membajarnja, maka sudah tentu barang2-n'ja bergerak (roerende goederen) dan sesudah itu 'barang2-nja tetap (onroerende goederen) disita, dan didjual, selandjutnja hasil pen- d'jualan itu dlipalkai buat menebus kemibali tanah jang digadaikan ta d i; dengan demikian maka jang ditjapai di justru /kebalikannja apa jang ditudju diwaktu pembuatan perdjandjian-gadai, jaitu : men- tjulkupi kebutuhan warug dengan mempergunakan tanah-pertanian- nja, dan membatasi risico iharnja sampai tanah-pertanian itu sadja. Sedang sekarang (oleh karena kepuitusan hakim) ia terpaksa men- djual dan imembelandjakan segala harta bendanija, ketjuali tanah- pertanian itu ; dengan fijara demikian maika perdjandjian-gadai itu akan terpaksa mendjadi perdjandjian - w a n g ( g e 1 d - transak- tie) pada hal mestinja perdjandjian - t a n a h ( g r o n d - transak- tie). Ini tak mungkin dalam ketertiban sistim hukum.

95

. i si-Dem beli-qadai sama, sekali tidak dapat, diberikan

. Pift 5 ^hak an ^g.^^jadika.n.. wang sebagai objek perd'jandjian) bagaima- demi . <persetud;juanmja antara kedua fiihaJk itu, ialah selainnja napun k e k u a s a a n jang sudah diberikan, jaiitu berupa boleh memu-hak tanah dan. boleh memakai tanah setjara apa sadja ; tapi^ gU^t ¿juga pembeli-gadai i t u diberi hak dan kekuasaan berdasar- k a n ^ t 33 pttsefcvedjviaii chusus dan sesudah lewat tempoh tertentu, u n t u k mengambil inisdatief buat mengaohiri perdjandjian-gadai ini.

T e m P 0 ^ p e m b a t a s a n l a m a n. j a g a d a i . Bila­mana ten.tang icmi tidak ada persetudjuan suatu apa (dalam hal ga- dai-tanah matjarn biasa) maka haik menebus tetap ada ditangan pemilak-tanah (semula) dan beralih kepada waris2-nja, begitu dju- ga k e w a d j i ib a n menubulka kemungkinan ditebus kembalinja tanah itu

„milik jang dapat ditebus kembali” — beralih kepada w a r i s 2- n j a s i - p e m b e l i - g a d a i . Sampai dimana tempoh jang lama toch ada kala- nija berpengaruh atas lenjapmja ¡kemungkinan ditebus-ikenibali, maka masalah ini dibitjarakan tersendiri di-)bab ke-sebelas. Tapi dalam

- banijak Jingkungan-hukum berulang2 terdapat, ibahwa diwaktu di­taruh hak-gadai itu, didjandjikasn suatu tempoh, dalam mana si-pen- djual-gadai harus sudaih menebus ; kebanjakan ditambahkan sjarat, bahwa bila dalam tempoh itu tidak ditefbus maka tanahnja djatuh mendjadi hak-milik (jang tak dapat ditebus lagi) si-pembeli-gadai. T a p i berlakunja dijandji atu senjatanja hanjalah bahwa s e s u d a h n j a lewat tempohnija, si-pembeli-g adai tutu hanija dapat m e n u n t u t

supaija perdjandjian-gadai itu dapat diaohArj. Ini berarti, bahwa biia si-pendjual-gadai tidak dapat atau tidak mau menebus maka si-ipcm- beli-gadai dapat menuntut supaja tainah diserahkan kepadanja d e­ngan „hadc-milik dengan djaJan perbuatan-fhukum kedua, dan mungkin dengan tambahan bajaran bila wang-gadainja lebih ren­dah dari pada harga pendjualan tainah itu.

Bilamana tentang i n i kedua filhaik tidak mentjapai p e r s e t u d j u a n satu sama lain, maika si-pembeli-gadai dapat memohon kepada hakim supaja ditetapkan dengan vonnis, Ibahwa pada saat didjatuhkannja vonmis atau saat jang berikutruja tanaih-gadai sudah beralih kepada- mja dengan ,,(hak-milik”, mungkin dengan ditambah pembajaran supaja wang-gadai mendljadi wang-pembelian.

Bila selewatnja tempoh menetbus si-pembeli-g.adai tak mempergu­nakan haknja unitulk amibil inisiatief mengachiri perdjandjian-gadai, maka h u b u n g a n - g a d a i tetap berlaku terus ; namun si- pendjual-gadai tetap berhak menebus .tanahnja dan si-pembeli-gadai tetap berhak mengachini hubungan-gadai ini dengan tjara jang di­

96

uraikan tadi.T e m p o h t i d a k b o 1 e 3i m e n e b u s . Pada perdjan-

djian-gadai dianitara kedua fihaik dapat didijandljiikan suatu tempoh, sama -selkali lain dijenisnja, jaLtu untuk' menetapkan saat selbelum mana si-pendjual-gadai tidak akan boleh meneibus. Bila mengenai saat ini tidak ada perdjandjiannja, maka buat penebusan berlaku dua aturan ini : tidak boleh meneibus sebelum si-pambeli-gadai paling sedikit satu kali sudah memungut panen dari tanah itu (atau tidak boleh menebus dalam satu tahun itu), dan boleh menebus pada saat tanah itu tidak dikerdijakan dan tidak ditanami, d jadi diwaiktu pendek sesud'aih panen jang terachir. Seibab tanaman itu adalah mul ikn.ja orang jang memanamnja; bila ditebus sebelum panen maka pemilik-,tanah itu akan harus memperbolehkan si-bekas-pembeli-ga­dai berada dlitanaihnja untuk memungut panenanaija. Diwaktu pem­buatan perdjandjian ada kalanja didjandjikan bahwa si-pembeli-ga- dad akan memegang tanath-gadaimja tidak hanja buat satu tahun sadja, tapi misalnija buat tiga atau lima tahun.

M e n g e m b a l i k a n t a n a h . Diwaktu ditebusnja, maka tanah itu harus dikembalifcannja dalam keadaannija diwaktu itu d ju­ga. Kenaikan harga tanaih atau perbaikan2 jang sudah dikerdjakan, tidak mendapat ganti. Tanam an- berumur lebih dari satu tahun jang ditanam tidak seidin si-pendjual-gadai mendjadi miliknju tersebut terachir ini, bila tidak sudah ddambilnja diwaktu pengembalian ta ­naih, itupun billamana (sebagaimana dikalangan orang2 Batak) me­nurut aturanjnija s i-p end j u a 1 - g ad a i tidak kehilangan haknja menebus karena ia diam2 membiarkan sadija ditanamnja dan bertumbuhnja pohon2-an serupa itu. Kerusakan tanah jang memang diperbuat de­ngan niat djahat harus diganti kerugiannja untuk si-ipendjual-gadai. Pada saat w ang-gadai itu diterima kembali, maka pada saat itu djuga berachirlah haknja swpembeli gadai. Tanggung-nja (D j.) ke- pala-masjarakat (ihal. 89)--sudah barang tentu disind sudah tak ber­laku lagi. Untuk si-pendjual-gadad sudah barang tentu adalah pen­ting bahwa ia memberitakan penebusan kembali ini kepada kepala- dusun.

P e n g e m b a l i a n w a n g - g a d a i s e k a l i - g u s . W ang-gadai atu harus dibajar kembali sekaii-gus, pembajaran se­bagian demi sebagian harus diaintdkan bahwa sebagian dari wang gadai diserahkan lebih dulu kepada si-pembeli-gadai sedangkan ba­ru ada penebuasn bila pembajaran bagian jang terachir sudah ter­laksana.

Dalam pelbagai lingkungan-hukum adalah terdapat suatu per­djandjian jang memakai nama „gadai-tanah” (dengan ada tamba-

97

JiaiHiija lagi), jang pada hakekatnja adalah suatu ,,perdjandjian-se- wa dengan penubajaran wang-sewanja lebih dulu , akan tetapi di- sini disebut: gadai-tanah dengan djandji bahwa wang-gadainja berangsur2 dibajar kembali dengan sebagian daripada hasil tanah itu, sehingga sesudah wang-gadai dilunasi (setjara demikian itu) maika tanah itu dengan tiada pembajaran Jagd harus dikembalikan kepada si-pendjual-gadai ta d i; misalnja dondon susut di M andai­ling, ngadjual tutung di D jawa B a ra t; oleh karenanja maka disam^ ping tokoh ini tidak ada terdapat „penjewaan tanah dengan pem- bajairan wang-sewanja lebih dulu” sebagai tokoh tersendiri.

T j o r a k 2 s e t e m p a t . Gadai-tanah itu adalah suatu perdjandjian jang baruja'k terdapat (boleh diikata'kan dimasing2 ling­kung an-hulkum ; sudah barang tentu dimana2 terdapat padanja ra­gam dan sifat2-nja setempat, jang bertalian dengan keadaan' sosial dilingkungan masing2.

Demikianlah •—• sebagai beberapa misal — dd Afcjeh dalam per- djandjian terdapat setjara formeel ,.penawaran dan penerimaan (idjaab kabul) jang berasal dari agama Islam ; diJcalangan orang2 Bataik haruslah perdjandjian itu, seperti segala perdjandjian jang penting, dilaksanaikan diatas nasi jang masih panas, pula dengan pe­netapan batas2-!mja ; di Minangkabau ikatanja hak dan kekuasaan menggadaittcan tanah~pusaka itu tergantung dari salah satu alasan, dimana kerabat membutuhkan wang untuk pembeaijaan-adat jamg mendesak (mengawinkan, seorang anak perawan, pengangkatan anggauta kerabat mendjadi pengulu andiko, mengubur orang mati, memperbaiki rumah-adat dan 'kadang2 lain2 lagi) ; ¡mungikin djuga, bahwa dalam hal2 tersebut tadi diperbolehkan menggadaikan atas tanggung-djawab kepak kerabat, sedangkan dalam hai2 lainnja h a­rus ada [kata sepa'kat ¡kerabat unituk berbuat itu (harus sekato) ; di Minangkabau djuga terdapat aturan kewadjiban si-pembeli-gadai untuk setiap tahun menjampaikan sedilkit hadiah berupa padi kepada si-pendjual-gadai sebagai pengakuan, bahwa jang terachir ini ada hak menebus ikembali (pitungguh gadai), buat menjafcakan maksud sedemikian itu maka orang2 Batak Toba djuga mempersilahkan si- pendjual-gadai memimpin upafcjara pudijaan-tainaih tahunan ; di-Bali ditaruh djandji djuga bahwa bilamana itanahnija lenjap wang-ga- dainja harus dibajar ikembali ; di D j awa dan dilain2 tempat ma'ka kekuasaan untuik menggadaikan tanah itu ada 'kalanja terhalang oleh „beschikkingsrecht”-c?esa ; kemungkinan jang dim ana2 terkenal, jautu menaikkan wang-gadai setjara lambat-laun sampai ketinglkat harga pembelian tanah, di Banten disebut : ndalami gadai, ialah ..memasufckan gadai lebih dalam” ; sebagai sjarat-ihukum untuk te ­tap 'ingat a dan j a hubungan-gadai iitu (sama dengan gunanja pitung-

98 '

r

guh gadai di M inangkabau) maka disana dan dilain tempat pula terdapat aturan mengulangi (dalam angan2) perdjandjian dihada- pan kepala dusun.

B. Djual tanah.

Sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka si-pembeli itu pada saat dilaksanakan perdjandijian-beli (pembajaran wang pembelian dihadapan penghulu-rakjat) memperoleh hak-milik atas tanah jang dibelinja.

B e l i d e n g a n h a t i d j u d j u r ( t e g o e d e r t r o u w ) d a r i o r a n g t a k b e r h a k . Dalam prak- tijk atjap kali terdapat, bahwa seorang tak berhak (misalnja seorang wakil atau sailah seorang dari sesama-pemilik2) mendjual sebidang tanah-pertanian atau pekarangan dengan bantuannja penghulu- rakjat (jang mungkin ia sendiri mengira berhadapan dengan orang jang benar2 berhak). Bilamana si-pemibeli (penerima) diwaktu beli

"tanah itu bertindak dengan hati djudijur maka ia terhadap pemilik sed'jati jang kerugian, diperlindungi sebagai orang jang berhak atas tanah, tapi hanja s e b a g a i p e m b e 1 i - g a d a i dengan tempoh jang ditetapkan dalam vonmiis hakim (jang didjatuhikan da­lam perkara jang timbul antara dia dan si-pemilik jang kerugian), itupun menurut suatu Ikeputusan baru'2 ini, jang dipandang dari su­dut sosial amat memuaskan, pula sangat tjotjok dengan sistimnja. Si-pemilik tanah itu lantas dapat memilih an tara menebus kembal; dan melepaskan tanah itu buat selama2-nja dan' ia seiudiri dapat mentjoba dapat kembalinja wang-pembelian dari pendjual-tana'h jang tjurang itu.

L e l a n g ( o p e n b a r e v e r k o o p ) . Pertanjaan jang timbul sedjalan dengan iitu ialah, bagaimanakah hukumnja bilamana ada tanah-pertanian kedjadian didjual lelang untuk kepentingan bukan-pemilik tanah itu ? Lelang berdasarkan vonnis jang meme­rintahkan pemisahan dan pembagian harta, atau berdasarkan pelak­sanaan vonnis atau akte notaris tidak diatur sedemikian, sehingga bersambung dengan asas2 ihukum-adat; ia menerobosnija. Tegasnja tidak ada aturans pendjagaan supaja pendjualan lelang itu dapat berlaku sebagai suatu pendjualan dalam ketertiban-ihukum dusun. M aka dari itu si-pembeh di-lelangan, walaupun ia beli dengan ber­hati djudjur, tidak dapat mempertahankan haknja atas „pembelian di lelangan” itu melawan tuntutannja pemilik-tanah jang sedjati, ia tak dapat menuntut beri akun j a hak-mutlak (onaantastbare titel), atas tanah itu dari peristiwa pembelian . di-'lelangan itu. Apakah orang jang teraohir ini tidalk sudah kehilangan haknja untuk menun­tut kembali tanahnja itu, maka pertanjaan ini adalah pertanjaan jang terlepas dari lain2-nja, dan jang harus didjawab dalam hubungan berlakunja lamanja tempoh (tijdsverloop) dan tergantung dari apa jang sudah terdjadi dalam tempoh tadi ('hal. 226).

(99

T j o r a k 2 s e t e m p a t . Keistimewaan2 itu tidak hanja terdapat pada gadai-tanah sadja, tapi djuga pada djual-tanah (idjaab kabul jang telah disebut tadi di Atjeh, dengan tiada menen­tang sifatnja ke-Indonesia-an daripada djual-tanah ; perkara2 adat di' Minangkabau, dan sebagainja). M enurut sumber lama, maka du­lu harga-pemlbelian iitu djuga terdiri dari beberapa 'benda: nasi, mangkak, tiikar, kendi, jang menandakan sifat chasiat (magisch) daripada tara-nja itu ; pada sekarang ada kalanja dengan sengadja di/tambahikan pada 'harga-pemlbelian itu sekeping wang tembaga, di- lain tempat seputjuik pisau atau setjarik 'kain. Penanaman 'batu- di- podjok"-nja tanaih (tanam batu) di Minangkabau, pemasangan tan-

. da-tambaih (plus-teken) jang dalam, sebagai tanda tanah sudah di­beli di Redijang dan ¡pemasangan tonggak- tetap ( tunggaq biuto) dipodjok keempat tanah-pertanian diwilajah situ djuga, penundju- kan batas- dikalangan orang2 Batak, maka kesemuamja itu adailah niiisal- daripada sjarat2 dan usaha2 untuk 'kepentingan pelindimgan- hukum.

C. Persewaan tanah dengan pembajaran wang-sewa lebiii dulu.

Adol taunan, ojodan, trowongan dan sebagainja adalah tjara per- .sewaan-tana'h jang biasa dilkalangan ralkjat Djawa ; diluar Djawa rupa2-nja perdjandjian sematjam ini kurang 'dilkenal orang, atau di­anggap sebagai semafcjam gadai, iala'h dondon susut (hal. 98). Tjaca pitungguh gadai di Minangkabau adalah scdijalan dengan kebiasaan di Djawa 'jang kadang2 terdapat, ialah ‘bahwa jang menjewa empat kali setahun memberikan sedikit hadiaih (seekor a,jam, beberapa bu­tir buah2-,an) sebagai itanda pengakuan, ikepada jang menjewakan. M e n j e w a k a n t e r u s ( d o o r v e r i h u r e n ) (pindah sewa) djuga terdapat di Dijawa selbagai sedjadjar dengan pindah gade. Sebutan Sunda: ngadjual paeh duwit (ngadjual tutung) me­ngandung angan2 ijang sama dengan istilah Batak jang tersebut tadi : dondon susut. Lamanija itemipoh persewaan adalah dalam hal jni tergantung dari besar-ketjiilnja 'hasil ijang terpungut setiap ta­hun.

4. PE N G A SIN G A N T A N A H U N T U K B EN D A - H U K U M (R E C H T S G O E D ) JA N G BERDIRI

SEN D IRI.

Diitempat sini „untuk peringatan” (pro memorie) harus disebut- nja sebagai perdj andj ian-tanah ; masalah ini akan dibit j arakan di bab 'ke-enam. 7

3

5. PEM BERIA N T A N A H .

Pemberian tanah kepada orang2 luaran, dimana hak-miiik seketi­ka itu d'juga berpindah-tangan, menurut berita, terdapat terutama di Sulawesi. Lebih2 terdapat atau dulu terdapat pemberian" tanah2- pertanian kepada radja (radja Bolaang Mongondow misalnja) atau kepada penghulu2 (M inahasa) supaja mendaipait rela-kasiih, pula pcmbajaran dengan tanah sebagai denda atau sebagai hadiah untuk pekerdjaan"~haldm. Di Minahasa tanah-pertanian djuga diberikan sebagai .tanda ambil-anak (adoptie-teken), sebagai djudjur (bruid- schat) dan sebagainja, demikian idijuga di Sulawesi Selatan. Tanah2 jamg diterima sedemikian itu 'kadang2 mempunijai nama2 jang me- nund’juklkan asalnja (tanah pei pamoja — „tanah fjang diberikan se­bagai djud/jur”, M inahasa). Djadi disiini kita harus menjebutkan „pemberian” dan „pembajaran menurut adat” sefbagai perdjandji- an2-tanah. Disamping itu terdapat „gadai-tanah” sebagai aturan se­mentara kearah pembaijaran-menurut-adat, djudjur, atau maskawin. Dibelakang tanah dtu ditebus dengan pembaijaran-wang sesunggu'h- nja (daerah" Batak, Sulawesi Selatam). Di Sulawesi Selatan dise- butnja sunrang sama, jaitu maskawin sementara. Pelbagai matjam pemberian2 tanah dikalangan orang2 Bataik Tdba, dari fihak ibapa- nja isterinlja dan dari kerabatn'ja isterinija, kepada dia (isteri) dan suaminja (bangunan, pauseang, indahan arian, dan sebagainja) ada bersifat hibaihan (toescheiding) sebagian harta-benda dari bapak kepada anaknja perempuan (dan menantu il^laki), Ihal. 205 — didae- rah Batak sebelah Selatan pemberian- sematjam itu djarang sekali berupa tanah.

6. PE N G H IB A H A N T A N A H .

Ke-Indonesia-an umum ialah penghibahan (toescheiding) tanah, hal mana dibelakang akan dilbiftjaralkan; sudah Ibarang tentu soal itu harus disebutkan bersama2 perdjandjian2-tanah, tapi akan d:bi- tjarakannja digolongan hukum-waris di-bab ke-sepuluh : masalah ini dipandang dari satu sudut jang tertentu adalah kebalikan daripa­da perdjanidijian-itanah sebagai „petfbuatan-tunai”, jaitu sepandjang pengertian bahwa ia dalam pokoknja adalah suatu perkisaran (ver- schuiving) dalam lingkungan para waris, (bu.kann.ja suatu pelepasan tanah keluar ling'kungan-waris itu dengan akibat2-nja sebagai ter­lukis diatas. Karena seibalb2 jang tertentu maka penghibahan seruipa itu dapat djuga menguntungkan orang2 bukan-karib. ialah si-suami.

101

7. SURAT (A KTE) U N T U K PERD JA N - DJIAN2 _ TA N A H .

Perdjandjian-tanah dihadapan penghulu-rakjat itu dalam keba- njakan Iingkungan-hukum di N usantara sini sering sekali — mala­han ada kalanja selalu ditulis dalara surat (akte). Surat akte itu dimana2 menampakkan pelik2 jang sama, ia dapat disimpulkan mendjadi tokoh jang tetap dan memuat pernjataan segi-satu dari orang jang menjerahkan tanahnja : saja jang bertanda tangan ini menjatakan mendjual tanah-pertanian saja, nama begini, batas2-nja begitu ; jang menerima penjerahan tanah ialah si-Fulan dan si-Anu, dengan harga sekian, djumlah mana sudah saja .terima penuh de­ngan b a ik ; perdjandjian kita ialah : tanah buat selama2-nja tetap milik si-penerima penjerahan, atau, tanah da.pat saja tebus kembali dengan 'harga sedjumlah wang jang sama, atau tanah akan dikem­balikan kepad'a saja sesudah sekian tahun.

Memang sifat sebenarnja daripada perbuatan-hukum itu tidak se­lalu terdapat seperti jang sudah dilukiskan diatas tadi, ialah terpisah mendjadi dua bagian ; surat akte itu djuga dapat memulai : saja jang bertanda tangan ini menjatakaji menggadaikan (mendjual gadai atau menggadai) — tapi lukisan jang terpisalh ini adalah gambar- potret jang murni daripada peristiwa-hukum ini. Surat akte itu di- tanda tangani oleh orang jang menjerahkan ; „ditanda tangani" ini berarti, bahwa orang jang bertindak itu menggores2-kan namanja nja dengan sesuatu matjam huruf dibagian bawah surat itu, atau, bahwa dia menaruh palang^perempatan disisi namanja jang telah dilukiskan 'disitu oleh orang lain, atau dia menaruh tjap djempol de­ngan sedikit tinta dibawah namanja itu. Selandjutnja surat akte itu setjara demikian tadi ditanda tangani oleh kepala-rakjat dari masja- rakat dimana leta'knja tanah itu, dan boleh djadi djuga oleh pen- djabat2-masjarakat lainnja jang berhadlir disitu ; kadang2 ditanda tangani oleh golongan waris jang sudah dimintakan persetudjuan- n ja ; kadang2 oleh pemilik2 tanah berdam pingnja; kadang2 oleh orang- jang berhadlir seibagai saksi untuk menambah kepastian, dengan kata2 lain : oleh segala matjam saksi. '

Surat .akte jang tersusun sedemikian itu diterimakan kepada orang jang membeli-lepas tanah itu, atau jang membelinja gadai, atau jang menjewanja, atau jang dihibahinja atau diberinja. Dengan surat akte itu dia dapat membuktikan sahnja (menurut hukum) hu- bungannja baru dengan tanah itu, terhadap siapa sadja, terutama terhadap orang2 dari luar masjara’katnja sendiri, lebih2 terhadap hakim djabatan, hal mana nanti dibitjarakan lebih landjut. Ia dapat membuktikan, bahwa perbuatannja hukum jang mengakibatkan dia memperoleh hak tetap, hak jang dapat dihapuskan atau hak semen­tara atas tanah itu, berhak djuga mendapat perlindungan, karena ia telah berichtiar sampai perbuatannja itu mendjadi terang, dan dise­

102

lenggarakan dengan terang--an pula. Maka surat itu disebut djuga surat keterangan, ialah surat bukti. T ak dapat diragu2-kan lagi bahwa surat itu dalam iberlakunja antara fi'hak2 jang bersangkutan, mempunjai tempat sendiri dalam alam pikiran „serba-berpasangan” (participerend) dariipada ra k ja t; tempat mana itu, maka belum d a ­pat didjelaskan samipai sekarang. Tentang terkaan2 bahwa surat itu dianggapnja selbagai tanda jang terlihat mata, artinja sebagai alat pengikat, atau, sebagai alat untuk memindahkan pertalian dengan tanah, alat mana diwudjudkan benda (gematerialiseerd), maka te r­kaan- itu tidak sama sekali bertitik2-singgung jang perlu dengan peristiwanja sendiri, lahir maupun batin ; maka dari itu terkaan2 itu tidak beralasan. Bilamana orang hendak membandingkan surat akte itu dengan lembaga Pribumi asli akan seharusnja surat itu dipan­dang sebagai tanda peringatan atau tanda pengenalan, seperti ta ­kik2 di Red jang dan batu2 di Minangkabau, d'jadi sebagai : tanda- bukti. Lebih mudah untuk difahami rupa2-« j a dalam alam pikiran „participerend” funksinja penanda-tanganan surat akte oleh peng- hulu-rakjat iitu. Ialah, ‘bahwa ia setjara njata berd'jandji buat sete- rusmja mengakui hubungan jang baru itu sebagai hubungan-hukum.

8. PERDJ A N D JIA N 2-T AN AH DILUAR M A SJA RA K A T2.

Pendirian dusun atas perintah radja sebagai sjarat perluasan ke­kuasaan atau sebagai tanda kasih-sajang jang diterima dari radja, sudah terkenal, misalnja di Djawa dan di Bali ; dusun itu kebanja- kan lantas mendapat kedudukan-hukum ‘jang istimewa (hal. 46). Buat pembukaan2 tanah diluar masjarakat2, maka satu-satunja atu­ran hukum* jang berlaku ialah aturan2 ketertiban-hukum-radja atau aturan2 ketertiban-hukum gulbernemen (hal. 86).

M engenai perdjandjian2-hukum segi-dua dapat dikatakan pada umumnja, bahwa ■— dimana m asjarakat2 ket'jil2 sudah lenjap atau tak pernah ada, sehingga hak2 perseorangan atas tanah langsung dikuasai oleh ketertiban-thu'kum lingkungan-radja" atau oleh guoer- nemen — disitu perdjandjian2 tadi .pertama kali talkluk kepada pe­raturan2 jang mungkin dikeluarkan dari fi'hak pengundang-undang (wetgever). Oleih karena orang2 dilluar m asjarakat2 jang melaku­kan hak2-tanalh itu kelbanja'kan selalu berhubungan dengan lingku­ngan masjarakat2 itu — mereka berasal dari dan kembali ke-masja- rakat2 itu, mempunjai pertailian“-nja kerabat dan kepentingan nja disitu pula ■— maka peraturan2 itu sudah semestinja nersambung

103

dengan hukum-adat jang terbentang diatas, ¡bila memang diinginkan supaja dapat d:mengertinja. Itulah sebalbnja mengapa peraturan Djokja mengenai perdjandjian2~tanah di-ibukota sesudah reorgani­sasi dapat disebut suatu djasa ijang besar. Sepandjang tidaik ada peraturan2~raja maka dapat dikatakan dengan pasti, bahwa kenjataan sosial mengenai perdagangan tanaih beserta ¡kebiasaan2 dan adat2- nja tentang itu, adalah sesuai dengan kesemuanja itu di-masjaraka.t"; sehingga keputusan2 hak:<m2-ikeradjaan dan ihakinr-gubernemen aal.am lingkungan ini seharusmja menerbitkan kaidah2 (regelen) jang sama dengan '.kaidah2 jang berlaku dalam dingkungan-rakjat itu. M aka pendaftaran, dikala sebelum dan sesudah adamja reorganisasi, diikantor rijksbestuurders didaerah2 Swapradja di Djawa, pula pen­daftaran oleh pegawai2 keradjaan di Bali, kesemuanja itu adalah misal2 jang tepat daripada pelengkapan kekurangan tad'i. Pendai-- taran serupa itu dilingkungan gubernemen jang belum ada, tapi sa­ngat dibutuhkan ialah untuk kota2 ibesar jang tidaik ada lagi kepala2 dusunnja dan untuk golongan2 janig hi'dup diluar masjarakat (prijaji). Sekali tempoh maka ditjoba oleh usaha setempat untuk se­kedar mentjuikupi kebutuhan ini (misalmja „InJands notariaat” M a­kasar) ; sampai dknana ikekurangan ini difijukupi dengan pendaftaran pada Pamong-Pradja ibuat daeraih2 diluar Djawa, jaitu jang sudah dibuika kemuiigikinannija untuk itu oleh peraturan2 tanah (agrarischereglementen), maka soal ini tjuikup iberguna untulk sengacija d is e l i d ik i tersendiri. J

Tentang m e n a n g g a l k a n [hak2 atas tanah sebagai per- uatan segi-satu, agar supaja sebidang tanah-pertanian mendjadi

.,vnj landsdomem” (tanah negeri jang sudah bebas) dan dengan demilcian .lantas mungkin dialihikanmija ikepada seorang 'bukan Pribu­mi, maka sebagai perbuatan - h uikum sedemikian itu sudah s e m e s t i n j a tepat berasal dan Iberada dalam ketertiban-¡hukum gubernemen. Dju- ga bagian i tu daripada ,,¡hukum-tanah" (agrarisch reoht) membu­tuhkan dengan mendesak penindjauan kembali s e d a l a m 2- n j a .

104

BAB KE-EMPAT. PERDJANDJIAN2 JANG BERSANGKUT-PAUT DENGAN TANAH.

Pokok pikiran perdjandjian2-tanah segi dua ialah : saja meleoas kan tanah setenmanja s edijumlah wan g jang tertentu' tuan adalah (buat selamas-mja, atau selama saja taik menebusnya, atau buat be­berapa tahun) pemumja hak atas tanah i t u ” , m a k a dari itu sudah “ “ esimja perdjanajian. sedemikian itu digolongkan daJam perdjan- d,ian- rnl (reele overeenkomsten) atas tanaih (dan atas objek2 jang daJam nal am dapat disamakan dengan itu) b e r h a d dengan perdjandjian^ matjam lain. Jantu pertama kali berhadapan dengan iperdijandjiair jang ibiasamja dilukiskan segolongan denqan perdjandjian2-tanah (girondtransacties), dimana tanah adalah factor penting tapi tak dapat disebut objek perdjandjian dan t i d a k bermaksud seperti pada perdjandjian--djual; dan selandjutnja ber­hadapan dengan perdjandjian2, dimana tanah taflc pegang peranan dan dimana tiada penbuatan-tumai (kontante handeling) melainkan ,,perbuatan2~krediet” (ikrediet-handelingen) ; hal terach’k ini akan

. « . « i 1 • 1 rt 1 t« u l v u ' l lcubitj arakan di-teb ke-Ji'ma.

I. PERD JANDJIAN PA R U H -H A SIL-TA N A M (D E ELB O U W -O V E R EEN K O M ST)

Perdjandjian berperangai tepai jang bersangkutan dengan tanah tapi jang tidak dapat dikatakan ber-olbjek tanah dalam arti kata hu^ kum-adat technis, ¿alah pe*djand'jian-paruh-ihasil~tanam (deelbouw. transaktie), jaitu suatu perdjandljiian jang terkenal dan lazim dalam segala lingkunganSJhukum. Dasarnja perbuatan-hukum dan funksi- nja tiada sama sekali peibandingamnja dengan perdjandjian2, djual. D a s a r perdjan djian par uih-ha&i 1-, tanam ialah : saja ada sebidang tanah 'tapi tak ada kesempatan atau kemauan mengusahakan sendiri sampai berhasillnija; tapi walaupun begitu saja hendak memungut hasil .tanah iitu dan .saja membuat pensetudjuan dengan orang lain supaja ia mengerdljakannija, menanamimja dan memberikan kepada saja sebagian hasil panenannija; padahal dasar daripada perdjan- djian-djual iaJah : saja ada sebidang ¡tanaih jang saja pergunakan untuk mentjukupi kebutuhan saija akan wang jang mendadak (atau saja lebih suika (buat sementara) memipurajai wang, dari pada ta­nah). F u n k s i perdljandljian-paruh-hasi'1-tanam ialah: mem­buat berhasilnja milik tanah tanpa pengusahaan-tanah sendiri d a n " mempergunakan tenaga-pekerdjaan dari orang lain jang tanpa mi- lik-.tanah send iri; funksi daripada perdjandjian-dyua/, ialah mem­pergunakan tanah unituik .segala ke)buituhan2-hidup, dan bahwa mi- lik-wang dibiikin berhasil (productief) dengan djalan mili'k-tanah.

105

a am bahasa Belanda 'kebalikan antara perdjandjian-tanah se­jati dan perdjandjian paruh-ihasi'l-tanam paling tegas dapat dinja-

a an engan jd'jalan demikian : d'isamping „mendjual lepas", " j 11 ^an ”meniewa'kan dengan pembajaran wang-sewa

,e . ,u u J a n 9 a n mengatakan „-memberikan tanah untuk di- er ja an atas dasar paruh-hasil-tanam”, tapi seharusnja perdjan- jian terac ir ini dilukiskan dengan kata2 m e m b i a r k a n si-

pemaru ditanah.nja pem:lik-tanah atau si-pemunja hak atas tanah itu, agar supaja si-pemaruh itu disana mengerdjaikan tanah, menana- minja an memaneninja. O b j e k perdjandjian bukannja tanah, tapi tenaga-pelkerdjaan dan tanaman. Pelbagai tjorak2 bertalian de­ngan sifatmja perdjandjian ini : pertama kali, ¡bahwa pembantuan peng u u2-rakjat tidak pernah mendjadi sjarat untuk sahnja ; untuk

e ra unja tak usah ada pengisaran (verschuiving) jang harus te­rang, pep jandjian itu 'terlaksana diantara kedua fihak sadja ; selan- ajutiija a wa dljarang dibuatnja surat akte daripada perbuatan-hu-

um itu , lebih- bahwa perdjandjian paruh-hasil-tanam itu diadakan uat satu tahun panen, dari musim tanam sampai musim panen ■—

i upun . i amana tak ada hal lain jang ditetapkan karena ada sebab2 is lmewa ~ an kalau demikian bahkan menurut principe-nja lama per jan, ¡jian hanja satu tahun-panen itu ; kemudian : bahwa .per-

ja n jia n semai jam ini dapat dibuat oleh siapa sadja jang iruenghaki , ^ 1 ^ ,a ‘ ■s*-pemilik tanah si-pembeli gadai, si-jpeiijewa

h , r r Kan 13n~djual taunan, dan malahan djuga si-pemakai ta- at 3 faU s’’iPemunjJa hak-pungut-ihasil-ikarena-djabatannja

; betul ia tidak .memiliki tanah, tapi Iph'i a an suai(:u usaha .— jang pada asasnja selalu diperbo-

- p ,. mengenai imengerdljaikannja tanah dan memperhasilkan-^ Perna^ a< a 'berlaJkunja „beschikkingsrecht" terhadap

, an u um itu bukan sesama anggauta2 selalu boleh men-ja i „pemaru* ¿tu (bila mereka sudah diidinkan masuk daerah

masjara at, afl 63), .merelka toch itidalk menaruh hubungan-perse- orangan atas tanah, tapi hanja Iberada ditanaihnja orang 'lain untuk 1 ^ jSana 9una kepentingan kedua fihak. Perdjandjian itu6 \ ,,menjuruh mengerdijalkan tanah-pertam an atas

upa , dani pada sesuatu percljandjian^tanah jang sesungguhnja.etak perbedaan antara kedua2-nja ialah bahwa si-ipemili;k tanah

sesudah terdja.di perdjandjian paruh-hasil-tanam tidak tjampur tangan lagi dengan penggarapan tanaihnja —■ ia menjerahkan peng­garapan tanahnja sepenuhnja kepada si-pemaruh, menjerahkan bi­bit padi dan lembu untuk membadjak, itupun bila didjandjikan de­mikian, dan menerima seperdua, sepertiga atau sebagdan lain dari­pada hasil tanaman jang ditanam oleh si-pemaruh ; sedangkan bila ia menjuruh menggarap tanahnja dengan upah, ia memberikan perintahnja buat setiap tindakan, memungut hasil panen sepenuhnja

106

buat dirinja sendiri dan membajankan upahnja berupa apapun djuga.

Djadi perdjandjian paruh-hasil-tanam itu terlaksana dengan djalan mengidinkan orang lain masuk ‘ketanah-pertanian dimana ia melakukan haknja dengan permufakatan bahwa orang jang diidin- kan masuk tadi — si-pemaruh — a'kan menanam tumbuh2~an dan akan menjerahkan sebagian hasil panennja ikepada si-pemunja hak atas tanah itu. Tentang permufakatan2 lebih Jandjut mengenai bibit padi, lembu untuk imembadja'k dan mengenai bagiannja tepat dari­pada hasil panen jang akan diserahkan kepada si-pemunja ,hak atas tanah dan lain2-mja lagi, maka hal2 ini biasanja disebutkan dengan tepatn.ja dalam perdjandjian itu.

Di Minangkabau perdjandjian itu di'sebut memperduai, di M ina­hasa tojo. Di Sulawesi Selatan : tesang, di Djawa Tengah maro (separuh lawan separuh) atau mertelu (satu lawan dua) di Pria- ngan nengah (setengah lawan setengah) dan djedjuron (satu lawan dua) dan sebagainja.

P e r h u b u n g a n 2 p a r u h - h a s i l - t a n a m. T entang buah pikiran, bahwa siapa jang mengerdjakan tanahnja orang lain harus menjerahkan setengah dari hasilnja 'kepada si-pemiliik itanah, maka buah pikiran itu adalah asas umum dalam hukum -adat; hal mana tak terbatas sampai hubungan jang teratur oleh persetudjuan sadja, melain'kan djuga berlaku atas tanah jang dipakai tidak sah (onrechtmatige occupatie) jang tidak hanja berlaku atas tanah-per- tanian jang ditanami sadja, melainkan djuga atas kebun2 jang hari:s dipelihara, suatu asas jang djuga berlaku atas penangkapan ikan dan atas peternakan.

S r a m a d a n p 1 a i s . Dua lemlbaga-disamping, jang ter­dapat pada paruh-hasil-tanam, harus disebutkan disini sebagai sam- bungannja. jang pertama ialah pembajaran sediikit wang pada per­mulaan perdijand'jian. Ini semata2 terdapat di Djawa Tengah dan disebutmja srama atau mesi. Pembajaran ini mengandung arti suatu persembahan jang disertai dengan permohonan (srama) atau me­ngandung pengakuan bahwa ia iberada ditanalhnija orang lain (mesi). Lembaga-di'samping jang kedua ialah perhubungan jang diletakkan orang diantara pindjaman-wang dan perdjand'jian p a r u h - h a s i l - t a - na-m. Si-pemilLk tanah pind'jam wamg tanpa bunga dari pemaruhnja, dan untuk itu si-pemaruh tetap boleh memegang hailcnja mengerdja­kan tanah sebagai pemaruh selama wang pindjaman itu belum dilu­nasi (balango di Sulawesi Selatan, plais di Bali), atau lebih tepat : wangnja si-pemaruh tak dapat dituntut kembalinja, selama dia diper­bolehkan sebagai pemaruh, tapi seiketilka dapat dituntutnja kembali bila ia dilarang terus mengerdjjalkan tanahnja si-,pemindjam wang. Kadang2 diadakan perhitungan daripada 'hutangnja dan keuntung- an2 -nja jang sudah terpungut, sedemikian, sehingga sesudah pemu­ngutan hasil setiap tahun wang pindjaman itu dikurangi dengan

10 T

djunnlah tertentu, ada kaJanja djuga djumlah wang pindjaman iLu tetap sadija besarnja sampai dilunaskan penuh sekal'i-gus.

K e l e n g a h a n . Andaikata si-pemaruh itak diperbolehkan me- ngerdjakan .tanah itu, maka ia berhak menuntut kerugian dari si-pe- milik tanah, ia tak dapat menuntut mendapat tanahnja •— sebagaima­na orang jang mendapat hak2 atas tanah atas suatu perdijandjian- djual; disi-m puila tem jata bedanja perdjandjian-tanah dan paruh-ha- si 1-tanam ; jang terachir ini berachir atau dapat diachiri sesudah se­tiap panen ; si-pemaruh ada hak aitais hasil .tanaman (jang ia sebagian harus .menjerahkannja) bukannja atas tanah ; ia da,pat dianggap se­bagai pemilik tumbuih2-an jang ditanamnja.

2 . SEW A .

Adalah tetap djanggal nampaknja — ituipun dalam kebanjakan lingkungian'2-hukum ■— tokoh daripada persewaan tanah2-pertanian dengan pembajaran wang-sewanja diibelakang, jaitu : „sewa Telah disadari, bahwa perkataan „sewa" itu meniundjukkan suatu transaktie dengan o r a n g 2 l u a r a n . Rupa"-nja tjotjok dengan maksud itu, bahwa misalnja di Tapanuli Selatan dipaikainja perkataan mengasi baik buat persewaan tanaih (sewa), maupun buat hak-menikmati (genotrecht) ; bahwa di Sumatra Selatan perkataan „sewa dalam istilah „sewa bumi" terkenal djuga, jaitu bermaksud padijak jang harus dibajar oleh orang luaran untuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan-,.beschikkingsrecht” ; bahwa penkaitaan tjii' kai di Kalimantan bermaksud baik pemibajaranmja orang luaran un­tuk pemungutan hasil dari daerah lingkungan-,.beschikkingsrecht , maupun bermaksud pembajarannja orang jang menjewa tanah ; bah­wa memperoleh hak mengumpulkan hasil hutan dalam lingkungan halk-pertuanan negocij di Ambon oleh orang2 luaran, disebut sewa ewang, dan bahwa di Bali menjewakan tanah-pertanian disebut ngupetenin, dan upeti itu adalah istilah buat padjak jang dibajarkan oleh orang2 luaran (sewa bumi tersebuit tadi), terpungut berdasar atas „beschikkingsrecht”.

Persewaan tanah oleh onderneming2, Jeibih2 onderneming2 gula, pada chususnja diisebut ,,sewa”, „njewa". Tapi bila dalam p^da itu diberikan „voorschot atas wang -sewa buat tempoh jang lama, maka timbul sangat banjaik pensamaannja dengan adol taunan. Dalam pergaulan2 diantara Pribumii di Djawa rupa2-nja dikatakan orang, bahwa sewa atas tanah2-pertanian tak ada terdapat, atau, bahwa „sewa” itu sama sadja dengatn adol taunan,. Persewaan tanah2-beng- kok di Djawa itu •— bagaimanapun djuga namanija .— selalu diang­

108

gap sebagai persewaan jang dapat diberhentikan set.'ap fahun dan wang jang terhajar lebih dulu (kepada ikepalaS.desa jang begitu se­ring kekurangan wang) itu dianggap sebagai „voorschot” (jang di­tuntut kembalinja bilamana ¡kepala desa itu karena drberhentikannja tak dapat memberikan pemakaian tanahnya kepada orang jang se­wa). Menijewalkan pekarangan2 dan rumah2 sedemikian itu adalah bukan adat Pribumi; dimana itu sudah mendjadi kebiasaan maka istilah sewa alkan tjotjdk dapat terpakai. Sewa sebagai matjam per- djandfian tersendiri karena itu seharusnja dapat diartikan : mengi- dinkan orang lain berada ditanahn.'ja jang ia berhak atasnja supaja orang itu m en g erdij akann j a atau mendiaminja dengan keharusan membajar sedjumlah wang tertentu sebagai wang sewa sesudah se­tiap bulan, setiap panen atau setiap tahun dan — seperti paruh-'hasil- tanam — setelah setiap pembajaran persewaan berachir, atau se t- daik—nij'a, dapat diachiri.

Dalam bentuik u'tu malka perdjandjian ini dapat diiseibut sedjadja.r dengan paruh-hasil-tanam, dan sebagai ikebalikan daripada „per- djandjian2-itanah” dalam arti 'kata jang sebenar2-nya.

3 BERBARENGNJA PARUH-HASIL-TANAM DAN SE W A DENGAN GADAI-TANAH DAN „PERSE­

W A A N TA N A H D EN GA N 'PEMBAJARAN W A N G SE W A LEBIH DULU ”.

Perdjand-jian2 paruh-hasil-tanam (dan sewa) mendapat arti isti­mewa dari kenyataan, bahwa perdljand-jian- tadi atjap kali dikaitkan pada „gadai tanaih”, .j a itu sedemikian, 'bahwa seketilka sesudah di­letakkan haknja ,si-pem'beli gadai atas tanah jang digadaikan, maka ia, pembeli gadai, memperbolehkan si-pendjual gadai berada ditanah jang baru sadja ididjual-gadai itu, sebagai pemaruh-hasil-tanam atau sebagai penjewa tanaih itu. Sebagaimana teilah dilbitjarakan, maka ia boleh bertindak sedemikian itu, begitupun di Djawa si-penjewa jang telah membajar wang-sewan'ja lebih dulu djuga boleh bertindak se­rupa itu, dan iterhadapnja uraian diatas tadi berlaku pula. Pembeli gadai itu tidak iboleh memibuat perdijandjian-djual atas-tanah jang dibelinja gadai itu, djuga tak iboleh men-djual (-nja) taunan, oleh karena dengan demikian ia (buat sementara) melanggar halknja si- pendjual gadai unituk meneibusnija; banja diperbolehkaunja untuk menggadaikan teirus (doorverpanden). Tapi tentang mengjdiinkan orang2 lain masuk ditanaih i'tu supa|ja mengerdjakannja atau ■men­diaminja atas dasar ikontrakt jang dapat diputuskan bolehlah ia. Bilamana ia s e k e t ik a ,mengidin-kan si-ipendjual-gadai ditanah jang di­gadaikan itu, maka kombinasi -kedua perdijandjian ini menempati funlksi e k o n o m ss daJam 'kehidupan masjarakat, jaitu, bahwa dia jang

109

•menjerahkan tanahnja untuk mendapat wang, sekarang ada kelebi­han tenaga peikerdjaan tapi tanpa memiliki tanah, maka selandjutnja ia dapat mentjurahkan tenaganja tadi ¡kepada pengerdjaan tanah, jang diterima oleh si-pembeli-gadai (ijang tidak diperiukannja karena ia sudah punja kebanjakan tanah), sehingga tanah itu keluar hasil- nja. D juga ¡bila ada petkarangan2 digadaikan, maka kekurangan tem­pat untuk (berdiam jang disebabkan oleh perdjandjian itu dapat di­penuhi pula karena tanah-pekarangan itu ditawarkan kepada si-pen- djual-gadai dtu, untuk tetap d'id'iaminja. Disamping itu barang kali lebih pentingnija lembaga itu dipandang dari sudut funksinja dalam masjarakat (dan sentimen) jaitu bahwa si-pemilik jang mandja ke­pada tanahmja dapat tetap beikerdja atau berdiam ditanah jang di- tjintamja itu.

A k i b a t 2 - h u k u m . M enurut hukum-adat maka akibat--nja hukum daripada perbuatan2-huikum gabungan tadi sudah d je las, paruh-hasil-tanam dan hubungan-sewa dapat diachiri dalam tempoft pendek ; bila timbul kelengahan dari fihak pemaruh atau .pemben paruh-hasil-tanam atau 'dari filha'k penjewa atau pemberi-sewa da­lam arti kata perdjandjian sewa, dapat timbul ha'k menuntut kerugian, bukannja ihak menuntut tertudju kepada tanah. Hubungan-gadai itu hanija dapat diachiri dengan Cjara jang terlukis di bab ketiga diba- wah 3. A.

Menilik kedjadian lahir maka kombinasi „gadai-sawah dengan „paruh-hasil-tanam”, atau „gadai-pekarangan” dengan „sewa ba- njak mirip perdjandjian-wang (geld-transaktie) dengan tanah seba­gai pendjaminan (zekerheid). Karena dipandang dari sudut lahir terdjadi hanija demikian, bahwa seorang memberi wang kepada orang lain dan selama wang itu belum dikembalikan oleh orang lain itu, ia menerima dari dia sebagian dari hasil panen tanah-pertanian-, nja, atau pembajaran2 berkala. Perdjandjian sematjam itu d a p a t djuga diselenggarakan sebagai p e r d j a n d j i a n - w a n g . dimana tanah disangkutkan isebagai pendjaminan, akan tetapi menu­rut hukum-adat perdjandjian sedemikian itu adalah lain tokonnja. Persewaan tanah dengan pembajaran wang-sewa lebih dulu, diga­bungkan dengan „memperbolehkan si-pemberi-sewa sebagai penje­wa ditanahnja sendiri”, adalah Jahirnija mirip dengan „voorschot atas tanaman atau „pindjam wang” dengan menifcjil saban tahun berupa padi (paruh) atau berupa wang (sewa). M enurut hukum- adat maka djuga disini sudah tentu ada perbedaan2 jang djauh se­kali dalam artinja, antara perdjandljian2-tanah (grond-transakties) disatu fihak dan perdjandjian" wang (geld-transakties) dilain fihak.

110

4. PEN DJA M IN A N (ZEK ERH EID STELLIN G ) D EN GA N TAN AH.

Mempergunakan tanah sebagai pendjaminan adalah persetudjuan ..accessoir” pada perdjandjian-po'kok pindjaman wang ; rupa2-nja bersifat persiapan, dalam pengertian demikian, bahwa d i waktu me­nerima wang-pindjaman — djadi diwaktu mentjukupi kebutuhan- wang dengan djalan perdjandjian-wang — seketika sudah ditetap­kan sebidang tanah-pertanian, jang bila perlu atau bila dikehendaki akan dipakai untuk perdjandjian-pelunas (delginskon.trakt),djadi de­ngan demikian pindjaman-wang diganti dengan perd'jandj’ian-tanah (hal. 91) ; di beberapa ]ingkungan2-hukum (Bali, daerah- Batak) tanah jang ditundjulk sebagai pendjamin itu — bilamana bunganja. sudah meningkat sampai tingkatan tertentu, djadi hutangnja sudah bertambah — di-„g a d a i"-kan kepada si-pemberi pindjaman wang (atau haruskah digadaikan kepadamja ?). Di Djawa maka „gadai” itu (sebagai perbuatan-hukum) afcjap kali disusuli dengan pendja­minan (zekerheidstelling). Titik-inti perdjandjian pendjaminan ialah : saja ¡berdjandji, selama hutang saja belum lunas, tidak akan membuat perdjandjian-tanah atas tanah saja, ketjuali untuk kepen­tingan si-berpiutang saja (perdjandjian-tanah dengan dia atau de­ngan orang lain). Perdjandjian sedemikian itu dimana2 ada namanja sendiri: tahan (Bat.), babaring (Daja'k Ngadju),ma&ania/z (Bal.), tanggungan, djonggolan (Dj.) dan seterusnja, dan disamping itu ru- pa2~nja istilah-petikan ,,bor roh”, ,,borg” „bocrot" terdapat sangat bertaburan.

P e n d j a m i n a n d i b a w a h t a n g a n (onderhandse zekerheidstelling). Perdjandjian ini -— itupun di Djawa — sering diselenggarakan diantara fihak2, tiada setahunja kepala dusun atau lain penghulu-rakjat; oleh karenanja sama sekali tidak berlaku ter­hadap fihak ketiga. Ini berarti pertama2, bahwa perdjandjian-d/ua/ jang diselenggarakan dengan mengakibatkan persetudjuan selama masih ada hutang atas tanah jang didjaminkan (dibawah tangan) tadi, adalah sah menurut hukum ; dan kedua, bahwa tanah jang dibuat pendjamin tadi dapat didjual atas dasar vonnis hakim untuk memenuhi pindjaman2-wang lain, sedangkan si-pemberi hutang de- noan pendjaminan dibawah tangan itu tak ada haik-mendahului (voorrecht) terhadap penagih2 hutang lainnja. Ini tidak berarti, bahwa pendjaminan dibawah tangan ini_oleh karenanja terhapus gunanja sama sekali, sebagaimana kadang dikatakan orang <— un- tungnja penepatan djandji tersimpul dalam pendjaminan itu berda­sarkan alasan2 jang lain dari pada keinginan „djangan sampai kalah bila terseret perkara kedepan hakim” ; baginja kekalahan dalam per­selisihan dimasjarakat (tidak didepan hakim) sadja dalam praktijk- nja akan tidak kurang beratnja buat dirasakan ; namun tidak dapat dirumuskan suatu- k a i d a h - h u k u m (rechtsregel) jang dapat dipakai untuk melindungi si-penerima „pendjaminan dibawah ta­ngan” itu terhadap fihak ketiga.

111

m

P e n d j a m i n a n. d e n g a n s e t a h u 11 j a k e p a l a d u s u n . B i l a m a n a perdjandjian itu diselenggarakan dengan seta- huraja penghulu2-rakjat — sebagaimana selalu terdjadi misalnja di- daerah- Batak da.n di Bali — maika dapat dilkatakan ¡bahwa si-pemi- lik tanah tidak dapat dan tidak boleh memindahkan tangan tanahnja atau menggadaikannya dengan tiada memiperuntuikkan hasil tanah itu buat menitjil 'hutangn.ja. Penghulu-raikjat itu harus memberitahu­kan perd'jandjian jang aJkan diselenggarakan itu kepada si-pemberi hutang, andaikata si-pemind;jam wan g melengahkaninja ; bilamana dia tak berbuat begitu, maka ada ketjurangan, dan si-penerima pen- djamman menurut hukum berhak atas iperlindungan ; faktor" masja- ra-kat dalam hal2 sedemikian itu berlaku tentu sa’dja lebih :kuat dari pada pen d jaminan, diibawah tangan. Perdjandjiian-ia/jan Bataik, begi­tu djuga makantah Bali mengakui haik mendahulu (voorrecht) untuk si-pemberi hutang dengan pendjaimaman ini, bjlamana tanahnja di­ri jual umum atas perintah vonniLs hakim. Bagaimanakah di Djawa dalam hal2 d'iimana filhak2 cLiwaktu membuat perdjandjian memang mendapat ibantuannija kepala dusun dan perdjandji'an itu tertulis da­lam surat akte (sebagaimana selalu terdjadi di Bali) ? Ada terdapat keputusan2 dan penuilis? jang 'kesemuamja berpendapat, bahwa dalam hal2 itu toch tak dapat dialkui hak-.mendahulu, ¡karena pendaftaran pada ikepala dusun itu tidak (’belum) merupakan suatu aturan, dari mana dapat tergantung berlaikunja suatu transakbie dalam lalu-imtas hulkum ; ada djuga (keputusan2 dan penulis" jang mengakui, bahwa pemberitahuan serupa itu ¡kepada (dan pendaftaTan oleih) kepala du­sun — bila ini semua terselenggara sukarela oleh fihak2 itu — sung­guh mengakibatkan suatu halk-umenidahulu jang dapat diwudjudkan dengan djalan hukum positief. Penijelesaian setjara wet dalam hal ini dulu sudah ada dalam persiapan, tapi rupa2-mja «kandas ditengah djalan. Kemungkinan setjara wet untuk „memegangkan” tanah de­ngan tjara ik r e d i e t v e r b a n d — suatu aturan hyipofclieek tjip- taan Barat —■ hamja berguna terhadap pindjaman '2 jang diberikan oleh ,,volkskredietbanlk” d'an beberapa badan,2 lain (stbl. 1908 No. 542).

P e r b e d a a n 2 m e n u r u t i h u i k u m - a d a t d i a n - t a r a : g a d a i - t a n a h d i s u s u l d e n g a n p a r u h -h a s i l - t a n a m d a n p i n d j a m a n w a n g a t a s P e n d j a m i n a n . Penggadaian tanah, seketiika disusuli dengan membiarkan si-pendjual gadai ditanaihnja jang digadaikan, sebagai pemaruh atau pemjewa (sewa), walaupun lahirnya dan terkadang2 menurut berlakunja dumasjarakat tidak berbeda ban.jalk dengan „pen- djaminan-tanah buat pindjaman-wang jang berbunga, tapi ken/ja^ taannja ialah bahwa gadai-tanah” itu suatu ,,perdjand}.an-d jual dan ,,pendjaminan” ( zekerheidstelling) bukan, maka 'kenjataan ini menurut hukum-adat mengakibatkan beberapa titLk2-perbedaan

112

jang penting (dengan ,kata2 lain: perbedaan dalam sistimnja dian- iara kedua tokoh-’-(hukum itu, ja.ng ;dapat dunjatakan dengan sebutan bahwa „gadai-tanaih” situ adalah perdjandjian-cfjual dan „pendjami- jian” itu bukan, maka pembedaan itu antara lain ternjata dari hal- jang (berikut ini) ; untuk gadai-tanah maka ¡bantuan penghuiu-rakjai adalah selalu mendjadi sjarat m u t laik ; ibila g adai-tanah maika wang- gadai tidak-dapat-sama-sekali dituntut kembali, sedangkan wan g jang dipindljamikan atas pen'dljaminan itu bila timbul kelengahan me­mang dapat dituntut kembaJinjja ; si-pembeli-gadai dapat menggadai- kan-terus tanahnja, sedangkan si-peneriima pendjaminan tak dapat berbuat apa2 terhadap tanahnja; bila ¡timbul kelengahan dan bila dalam perdjanldljian sudah ditetalkan tempohnja harus menebus —• maka si-pem'beli gadai dapat menuntut supaja tanah diserahkan ke- padanija untuk mendjadi milik-nja dengan halk-cmiliik, sedangkan bila pindjaman-wang atas perdijaminan hanjalaih wang jang dapat ditun­tut kembalinja ; bila timbul kelengahan tentang penjerahan separuh- nja 'hasil-panen atau penjerahan wang-isewanija, maika sinpembeli ga­dai dapat menola’k si-pendjual-gadai untuk terus mendjadi pemaruh atau penjewa, sedangkan bila ada ikelengahan mengenai pebajaran bunga-nija wang pin'djaman atas pendjaminan, maka biasanja pin- djaman pokok lantas dapat dituntut kembalinja. Bila tanahnja musnah karena air bah misalnja, maika si-pembeli gadai (jang memberikan wang) tak ada hak-.menuntut sama sekali atas si-pendjual-gadai, sedangkan si-pemberi piutang atas pendljaminan tetap hak-nja-me- nuntut dengan seutuh2-mja. Di Bali dengan tegas memang ditaruh djandji bahwa bila tanahnija musnah maka wang-gadainja dapat di­tuntut kembalinya, di'situ ternijata bahwa kalau tiada d'jandji chusus ini, akibatnija ialah ikebaMkannja.

Sudah barang tentu titik2-perbedaan menurut hukum-adat itu ba­ru mendljadi persoalan, sesudah ditetapkan senjatanija, tokoh-hukum jang mana jang dihadapi itu.

5. PERBU A TAN PU R A 2 (S C H IJN H A N D E L IN G ).

Tentang suatu kebiasaan jang bamjak terdapat, dan menjuramkan perdjandjran (wang), puia saban2 meiugclhawatiitkan akan bertjam- pur-aduk-nja perdj and) ian-wang dengan perdljandljdan tanah, maka kebiasaan itu' dalam hubungan ini membutuhkan ditindjaunja lebih landjut. Kebiasaan ¡itu ialah, bahwa disamping pindjaman-wang jang d i s e m b u n j i k a n d'imuntjulkan k e p a d a u m u m dju- al-.tanah (atau gadai-tanah, atau sewa-tanah dengan pembagaran wang-sewa lebih dulu) jang seketika disusuli dengan paruh-hasil- tanam atau sewa; isoal ini disebabkan oleh dua keadaan. Keadaan pertama ialah keseganan jang berdasar agama Islam untuk memin- djamkan wang atas perdjandjian bunga. Namun orang hendak

113

memperhasiikan kekajaannja wang dan membelandjakannja pura-' buat perdjandjian2 tanah, pada hal ia senjatanja tak lain dan tak bu- xan memindjamkan wang. Dalam praktijk adalah ini suatu soal ke- njataan jang sulit, ialah apakah ada perdjandjian p u r a 2 serupa itu apa tidak. Dapat d juga duduknja perkara dulu sedemikian, bahwa si-kekurangan wang minta pindjam wang, tapi ■si-.pemunija wang ber­dasarkan atas alasan2 agama tidak mau memindjamkan wangnja. tapi bersedia untuk menjelenggaralkan perdjandjian tanah (dengan ..paruh-hasil-tanam” ). M aka bila demikian, tak lain dan tak bukan ;ang terselenggara itu 'ialah suatu perdjandjian-tanah. Akan tetapi oiia dulu si-pemunja wang itu berkata ; baik, saja kasi pindjam ke­padamu seribu rupiah atas bunga sepuluh persen, tapi marilah kita S'mpul'kannja dalam surat akte dijual-beli -tanah jang -disusuli dengan perdjandjian sewa, karena saja hendak berpura2 kepada umum -se­olah2 saja menaati larangan agama Islam mengenai memindjamkan wang dengan pungut bunganja, m^ka bila demikian adalah dua P^" mufakatan-, satu jang disembunjikan dan satu jang diumumkan, djadi sematjam pura2 jang relatif (relatieve simulatie). Pada hemat saja, maka dalam hal ini hakim harus memutuskan berlakunja perdjandji­an jang -sungguh2 diantara dua fihak itu, dengan tak menghiraukan ke-saleh-an jang hanja pura2 itu ; hanja bila ada orang- lain sebagai fihak ketiga jang membela hak2-nja berdasarkan atas adanja pei- djandjian jang diumumkan itu, maka adanja perdjandjian terachir ini harus mendjadi bahan pertimbangan djuga.

P e r b u a t a n p u r a 2 s e b a g a i p e n d j a m i n a n . Suatu hal lain jang mendorong keperbuatan pura2 relatif jaitu ke­inginan untuk memberikan seputjuk surat kepada si-pemberi piutang jang -— b i l a t i m b u l k e l e n g a 'h a n — memberikan ke­pada si-pemberi piutang itu suatu hak-mendahulu terhadap penagih' hutang lainnja, pula terhadap lain2 orang jang memperoleh sesuatu hak atas tanah itu. Djadi, suatu usaha untuk melengkapi sesuatu kekurangan tertulis atas surat perdjandjian, perlunja untuk dapat di- pakainja buat membela haknja melawan fihak ketiga. O rang mau memindjamkan wang kepada orang lain, -tapi perdjandjiannja di­simpulkan dalam perdjandjian ,,djual-tana'h” atau „gadai-tanah , perlunja supaja bila ada kelengahan dapat diberlakukan menurut hukum suatu penerkaman kearah sebagian daripada kekajaannja si- pemunja hutang jang berupa tanah. Kebanjakan perdjandjian -pura- ini dapat dikenal dari tjara memperhitungkan wang kerugian (harus diartikan sebagai bunga, tidak sebagai wang-sewa), piria kentara dari sebab sesudah „djual-tanah’ si-pem.beli tak memperdulikan pemakaian tanah olehnja setjara njata, -dan sebagainja. Perdjandji­an2 berlipat serupa itu mudah diminta dengan keras oleh pemberi2 wang, karena memang orang jang membutuhkan wang itu bertabeat kurang timbang-menimbang dan dapat di-ramas2. Pada hemat saja hakim tidak boleh sama sekali mengakui berlakunja p e m b e l i a n pura2 itu, karena dengan demikian si-pemindjam wang akan terdje-

114

rumus dalam genggaman si-pemberi hutang sampai melewati batas. Bila perdjandjian pura2 itu berupa „gadai-tanah”, maka hakim jang memutuskan berlakunja itu dapat mendamaikan semua fihak jang bersangkutan dan fihak ketiga dengan tjara jang memuaskan. D a­lam pada itu (ini terlepas dari kemungkinan mengusahakan supaja fihak2 berdamai sendiri atas tanggung-djawabnja sendiri) ia dalam- menentukan ¿iki;bat2~rilja hukum harus berpedoman pada perdjandjian gadai sebagai perdjand'jian-tana'h, dan seharusnja ia hanja mengakui akibat2-nja hukum „gadai-tanah ditambah paruh-hasil-tanam atau sewa” dalam hubungan menurut susunan hukum-adat — pembmg- kaian jang tetap daripada lembaga2 serupa itu dalam keputusan2 adalah sjarat nomor satu untuk kepastian hukum.

6 . PEN U M PA N G -R U M A H DAN PE N U M PA N G - PEK ARA NGA N.

Serupa sifatnja dengan paruh-hasil-tanam dan sewa ialah perdjan­djian jang banjalk terdapat jaitu mengidinkan orang lain mendirikan dan m e n d ia m in ja sebuah rumah diafeas pekarangann'ja, dimana terle- t-ak mmahnia ianq ia diami sendiri; djadi m e n g i d i n k a n m a ­s u k o r a n g l a i n d i p e ' k a r a n g a n n j a s e b a g a i p e n u m p a n g - p e k a i a n g a n . ( b i j w o n e r ) . B ila s e ­

seorang setjara demikian diidinkan berdiam dipekarangan dalam ru- mahnja s e n d i r i jang tidak ditinggali (oleh pemilik tanah itu) sendiri ( m e n g i d i n k a n seseorang sebagai penumpang-rumah (opwoner) dipe- k a r a n g a n n j a ) , maka miripnja kepada sewa adalah lebih terang ; pem- bajaran kerugian tidak ada ,tapi penumpang pekarangan itu diharus­kan m e m b e r ik a n bantuannja. D'juga idin menumpang itu dapat d i -

t , abu t kembali oleh si-pemilik-tanah, walaupun ia harus bajar wang- keruaiannja untuk ongkos pindah (tukon tali, Dj.) itupun bila bu- kannja si-penmnpang-pekarangan atau si-penumpang-rumah sendiri j a n a m e n im b u lk a n sebab pentjabutan kembali idin untuk mendiami- mja p e k a r a n g a n itu. P e n u m p a n ig -p e lk a ra n g a n dan penumpang-rumah itu disebut indung. lindung, magersan (D j.), numpang (djuga Ind.).

7. M EM BERIKAN TA N A H U N T U K DIPAKAI.

Perihal mengindirikan orang2 lain jang tak berhak untuk memakai tanah selandjutmja agaik sering terdapat terutama karena dua sebab. Pertama kali orang jang buat sementara meninggalkan tempat kedia- mannja terkadang2 mengidinkan kepada sanak-saudaranja atau

' s e s a m a - a n g g a u t a dusun laimnja — selama ia tidak ada — unituk me­

115

i

nanami .tanah-pertaniann/ja dan dengan demikian untuk „men.jimpan- nja” buat dia {titip, D j.).

• Kedua kalinja maka kerabat2 atau golongan2 waris memberikan tanah-lkerabat aitau tanah2-pertan.ian dari harta peninggalan jang masih tak terbagi, 'biasanja kepada sesama anggauta--kerabat atau kepada sesama-waris2 untuk dipakai. Dihalaman 76 bagian atas ber­hubung dengan ini maka hubungan si-pemakai dengan tanah itu disebut hak-pakai; .barangkali lebiih tertib menurut susunan hukum- adat, bila dalam faal tersebut tadi pertama2 dipilihkan rumus : diidin- kan masuk tanah orang lain denigan kemungkinan idin itu ditjabut kem'bali, seketiika bila itu dikehendaikinja oleh si-pemiliik tanah. D a­lam hubungan : IkeraJbat-pemiliik dengan sesama-anggauta-kerabat- pemakai maka rumus itu sudah barang tentu kelemahan — karena disinii si-sesama-anggauta kerabat itu menunuit kaidah2 hukum-adat dapat melindung.i hak-pakainija melawan sewenang2 jang mungkin timbul.

D i l ' u a r m a s j a r a k a t 2 , jaitu dJkota2 radja2 dan diko- ta^Hpantai jang besar, malka hal diidinikan untuk menumpang dipe- karangan, baiilk berdiam sendiri maupun 'berdiam disisi rumah si-pe- miLk-tenah atau orang jang berhak atasnja ikarena djabatannja. (ambtelij'k profijtgerechtigde) maka hal jang sedemikian itu adalah suatu tokoh jang berulang2 terdapat disana. Dihalaman 80 Ibagi'an atas, sedemikian itu telah diseibut selbagaii suatu bentuk untuk me- njimpulikan sesuatu hak atas tanah, perlunja supaja kelihatan umum bahwa hak-milik-Tadja (domein-recht van de vorst) masih dihormati-

,,Persewaan-tanah Djaikarta” (de Bataviasche grondhunr) terma­suk dalam golongan ini. Guna melindungi penumpang2 maka timbul­lah daripadanja dengan djalan peraturan2 wet suatu matjain hak jang tertentu (Staatsblad 1918 No. 287).

Persewaan rumah2 biasa (sewa) adalah sebetulnija han.ja di- kota2 besar lazim djuga dilkalangan orang2 Indonesia.

Disana „mendjuail peikarangan” dan „menggadaikan pekarangan disusuli dengan penjewaan oleh si-pendjual atau si-penggadai sen­diri kabanijakan ■—■ lebih Ibamjalk bila dibanding dengan tempat2 lain —“ adalah penbuatan-pura2 buat pemmdjaman-wang atas peii- djaminan.

116

BAB KE-LIMA. HUKUM PERHUTANGAN (SCHULDENRECHT).

1 . HAK 2 A TA S R U M A H 2, T U M B U H K A N JA N G TER TA N A M , TERN A K , B E N D A 2.

Diwa/ktu melukiskan hak2 atas tanah maika ihak-masjarakatlah (gemeenschapsrecht) di.terkemukakan, pada hal terhadap djen-is- benda jang tersebut diatas haik jarng nomor satu dilakukan atasnja, ialah „ h a Jk ~ m i 1 d ik ( h e t I n l a n d s b e z i t s r e c h t ): suatu hak daripada masjaraikat seibagai kesatuan susunan-rakjat, ja~ itu hak jang lebih tinggi, tidalk terletak atas benda2 tersebu.t selainnja sebagai perketjualian s a d ja ; diikalangan suJcu2 Dajaik seperti suku M aanjan Siung tidaklah bolelh ‘barang"-pusaka diwariskan kepada o r a n g 2 diluar daerah-su:ku, djuga tidalk boleh dibawanja .keluar, dan dalam repuiblik-dusun Tnganan Pagringsingan (Bali) rupa2-nja ha­rus dikemukaikan dahulu, bahwa segala milik orang2 dusun, lembu-- nja, ajam2-nja dan perkaikas-rumahnj'a, kesemuanja i:tu ada dibawah hak-dusun, sedangkan dibeberapa dusun lainmja dipulaiu situ dapat­lah dusun iitu menuntut sebagai ternaik dan barang2 untuk keperluan masjarakat itanpa penggantian kerugian suatu apa.

Hak miiik atas rumaih2 dan atas tumbuh2-an tertanam adalah pada asasnja terpisah dari haik atas tanah, dimana benda2 itu b erad a : se­seorang dapat mendjadi pemilik pohon2 dan rumah" jang berada di­atas pekarangan orang lain ; menanam pohon2 atas tanah gerombo- lanmja itu (misalnja di Ambon hal itu sering terdijadi), maika mereka mendjadi pemiliik2 pohon2 itu ; terhadap hak untuk mempunjai ru­mah — hak miana dapat ditjaibut ikemibali -—■ atas pekarangan orang lain disampimg rumaihnja si-pemililc pekarangan itu sendiri, maka untuk itu adalah istilah2-hukumn'ja jang tersebut diihalaman 115 ; is­tilah numpang (demikian djuga terhadap orang luaran jang berdiam ditanah daerah ihaik-pertuanan) menumdjukkan bahwa orang itu ti­dak ada sama sekali sangikut-pautnja dengan tanah dan berada ter­lepas diatasnja (hal 64) walaupun ia ada rumah d'iatasnja ; pohon- buah2-an dapat didjual dan digadaikan sendiri2.

Tapi pemisahan jang principieel diantara hak atas tumbuh2-an, rumah2 disatu 'fihak dan 'hak atas tanah dilain fihak, ada djuga pem­batasan2-«;]a.

Pertama kali bila ada perdjandjiain2 (transaikties) mengenai pe­karangan maka dalam praktijlcnija selalu termasuk situ djuga rumah2 dan tanaman2-nja ; djadi dengan demikian maka rumaih2 dan tana­man2 bersama pekarangannya adalah objeik perdj and) ian-Jjual, se­dangkan disamping itu adalah m u n g 'k i n bahwa, rumah2 dan pohon2 diperdagangkan terlepas dari tanahnja, dalah setjara orang

117

■mendjual benda2 ; namun hal terachir ini, bila mengenai rumah, biasanja berarti bahwa rumah itu dipindahkannja. Demikianlah da­lam bahasa D jawa di Swapradja terdapat dua istilah jang berhada­pan satu sama lain, ialah adol ngebregi dan adol bedol: mendjual rumah supaja didiami oleh si-pembeli ditempa t situ djuga, berhada­pan dengan : mendjual rumah supaja diangkutnja oleh si-pembeli dari tempat situ.

Kedua kalinja hak atas pohon2 (dan atas rumah2) itu terkadang memb3wa-serta ha<k atas tanah. Suatu misal paling tepat dalam hal ¡ni ialah peristiwa, bahwa seseorang anggauta masjarakat telah me­nanam pohon2 (-buah2~an) ditanah-pertanian tjetakannja, maka se­sudah dipanennja tanah itu terpaksa d'itinggalkannja buat waktu ¡ang lama, itupun karena kersangnja tanah. Karena itu pada umuiu- nja, dan berhadapan dengan hak-pertuanan mutlak jang sedang pu­lih kembali, maka ia kehilangan haknja perseorangan atas tanah itu, tetapi ia tetap memegang hak-miljkmja atas pohon2 jang dita- namnja itu, pula dibeberapa lingkungan--hukum ditambah hak atas sekian itanah seluas jang dinaungi oleh dau'n2-an pohon2 itu. Bila­mana pohon2 itu tertanam sedemikian dekatnja satu sama lain se­hingga diantaranija ta'k ada lagi siisa2 ruangan -jang patut buat apa2 lain, maika hak-milik 'atas tanaih itu ■— atas kebun2 buah2-an itu ■— tetaplah ada pada si-pemilik pohon2 itu ; djadi dalam hal2 sedemikian itu maka hak atas tanah mengikuti hak atas tumbuh2-an jang lebih dari satu tahun .umurmja (hal. 60). Karib dengan tokoh ini ialah bahwa hak-menebus (hak-mililk) ®i-pendljual gadai lenijap, karena dia sudah membiarkan si-pembeli-gadai menanami tana'h- pertanian jang tergadai itu dengan pohon2 ('hal. 9 7 ).

Selandjutnja maka hak atas tanah itu dengan tiada dapat terpu­tus bertalian dengan hak atas sebuah rumah batu, jang, memang begitu, 'talk dapat dipindahkan (lain halnja dengan rumah2 bambu atau rumah2 kaju). Maka dari itu a;turan2whukum mengenai peka­rangan2 (dljuga aturan2 wet seperti larangan memindahkan tangan tanah .kepada orang2 bukan-iPrilbumi ialah „vervreemdingsverbod” ) terpaksa harus djuga berlaku atas rumah2 batu (bersama tanah jang beckenaan dengan itu) ; tentang ke-tidak-pasti-an2 berdasarkan ike- njataan, jaitu apakah harus dianggap rumah batu apa tidak, berapa luas tanah jang harus dianggap pekarangannja rumah itu, maka per­soalan2 ini adalah timbul, tapi tidak mengurangi sama sekali pokok pangkalnija.

Suatu kebiasaan aneh dalam hubungan antara hak atas rumah bersama tanaman2-nja dan haik atas tanah, sudah pernah tersebut dalam lain nasabah. Ialah kebiasaan dalam alam rad'ja2 jang tetap menjebut hak atas itanah itu : hak — Radja, tanahnja disebut tanah-

.118

nja Radja (kagungan dalem, D j.), akan tetapi hak2-perseorangan atas tanah seperti senjata2-nja diakui djuga sedemikian rupa, sehingga disebutnja : hak atas rumah dan tanamannja ; disini asal- n.ja istilah tersebut diatas tadi b u a t: mendjual rumah dengan hak untuk pembeli-nja untuk mendiami peikarangannja sekali (ngedcl ngebregi). Tindakan2 dan pembatasan2 hak dari fihak pemerintahan, dalam hubungan2 mengenai hak-pura2 daripada radja atas tanah ini, adalah pada hakckatnja berdasarkan atas kekuasaan besar daripada radja dalam menidjalankan pemerintahannja (hal. 78).

Orang jang telah menanamnja, jaitu pemilik tumbuh2-an jang di- tanamnja, dapat djuga mendjadi pokok pangkal daripada imba- ngan2-hukum jang timbul bilamana ia menanam padi atau hasil bumi serupa itu atas tanahnja lain orang. Si-penanam j a n g melanggar hak itu dapat diwadjibkan menjerahkan kepada si-pemilik tanah itu se­bagai pembajaran kerugian baik seperduanja, maupun sebagian la- mnja daripada panennja; bedanja diantara inengerdjakan tanah de­ngan melanggar hak „dengan itikad 'baik” (te goeder trouw) dan „dengan itikad djahat” (te kwader trow) rupa2-nja dmjatakan se­demikian rupa, bahwa penanam -beritikad baiik diperbolehkan memu­ngut sebagian jang patut sebagai pengganti usahanja dan beaja jang telah dibelandjakannja (biasamja separuh hasil panennja), dan bah­wa si-penanam beritikad djahat diwadjibkan nomor satu berusaha supaja si-pemilik tanah tidak merugi — walaupun jang terachir ini tida'k usah lantas mendapat keuntungan berlebih2-an. Penanam jang sah atas tanah orang lain jang telah dengan idinnja pemililk ada disitu menurut persetudjuan, misalnja pemaruh-hasil tanam meunrut hukum-adat dapat djuga dianggap sebagai pemilik hasil panen jang sebagian harus ia menjerahkannja kepada pemilik tanah. Bila sebi­dang tanah-pertanian jang ada tanamannja padi jang sedang meng- hidjau di Tnganan (Bali) harus dikembalikan kepada dusun, maka hasil panen adalah untuk dusun (apakah ini suatu gambaran daripa­da suatu perketjualian ?).

Milik temalk terkadang2 terilkat pada aturan2 tersendiri mengenai menjembelihnja dan memindahkannja tangan, tapi tidak sedemikian sehingga hak atas ternak itu tidak dapat diseibut hak-milik. Dibebe- rapa daerah, ialah di daerah2 Batak, terdapatlah karena adanja pa- ruh-hasil-pelihara (deelwinning), banjak milik-paruhan (deelbezit) atas te rnak ; seseorang oleh karenanija adalah pemilik atas misalnja. seperempat lembu. Milik ¡kapal2 (atjapkali milik-kerabat atas pera­hu2, misalnja di Sulawesi Selatan) dipandang dari sudut hukum- adat tidak ada ikeistimewaannja suatu a p a ; bila fatsal 1 dari staats- blad 1933 No. 49 ditafsirkan menurut suatu tafsiran jang tertentu,- maika kewad-jiban untuk mendaftarkan menurut fatsal 1 dari staats- blad 1933 No. 48 jang mengakibatkan berlakunya hukum bagi orang2 Eropah atas Pribumi, dapat mengakibatkan kesukaran- besar.

119'

M engenai benda2 jan g ada -hubungan m j a chasiat dengan pemiliknja telah sedikit dibitjarakan dihalaman 90, ialah bahwa benda2 tadi ha- nia dengan perdjandjian-djual dapat diserahkan kelain tangan. Pen- djualan benda2 dari tangan satu ketangan lain, berlangsung biasa sadja ; d'juga istilah mendjual jang dipakai untuk itu mcnundjukkan selalu pendljualan (¡tunai), lain halnja dengan menggadaikan (ver- panden) atau „menjewakan” (verhuren). M enggadaikan beada2 (meganglcan, Ind., njekelaké, D j.) itu berlangsung dengan djalan menjerahkan ibarang2-nija ketangan lain. Barang-gadainja harus di­simpan sampai lama. Bila si-pemberi-gadai kelamaan léngahnja un­tuk menebusnja, maka barangnja dapat didjual untuk diperhitung­kan, atau dapait djatuh ketangan isi-penerima-gadai. Bila barang ga­da fn. j a hanja disimpan sadja, maka biasanja harus dibajar bunganja wang-gadai itu ; bila barang dipakainija, ma'ka tak usah dibajar bunganja.

M aka tidak ada alasannja (dan tidak mungkin dapat) untuk me­mulas hubungan"-h.ukum atas 'tanah dan benda2 jang telah dilukis­kan ini kedalam suatu pembagian-dua (tweedeling) dengan d.jalan memisah2-kan .barang2 itu mendjadli barang2 bergerak dan barang2 tetaip ; apakah terpisah atau tidak terpisah hak atas tanah dengan hak atas tanamannja, maka pertanjaan sedemikian itu ■— suatu ke­balikan jang berpangkal pada susunannhukum asing — rupa2-nja membingungkan (bukankah tanalh dan tanam an kedua2-nja dapat di'sebut „barang2 tetap” , tapi walaupun begitu atas masing2, orang lainlah jang memipuimjaii ihaik-oniiliknja). Bilamana orang karena se­suatu aturan wet terpaksa membeda2-ikan bar.ang2 tetap dari ba­rang bergerak dalam suatu harta ikekajaan jang dimiliki orang me­nurut hukum-adat, seperti imisaln'ja aturan2 Reglemen Bumiputera (Inlands Reglement) mengenai, perujitaan, maka 'bila terdjadi tum- 'bukan hukum-tertulis (wettenrechit) dan hukum-adat, maka lantas ■timbul pertanjaan bagaimanakah tafsirannja jang menurut sesuatu tjara jang pasti (methodische in te rp re ta re ). Tijara jag tepat untuk menafsirkan rupa2-nja begini : itanah tidak sjak lagi sebagai barang- tetap dipasang berhadapan dengan ternak dan ibenda2 jang pasti ba­rang2 b erg erak ; tapi dianitara tkeduanja harus diakui segolongafi , ,benda2-4cesangsian” (twijfelgoederen) : rumah2 kaju, rumah2 bam­bu, pohon2 buah2~an, padi ijang masiih berada ditanah-pertanian, dan isebagaiinja. Dljenis barang2 ini karena itu seharusnja digolong­kan dalam golongan barang tetap atau barang bergerak, tergantung - dari maksud jang logis daripada peraturan jang ditafsirkan, dihu­bungkan dengan sifat2 istimewa barang2 itu, djadi penggolongan itu tidak usah selalu set j ara sam a buat masing2 Karang. Tentang per­tanjaan : „A pakah pohon kelapa itu menurut hukum-adat barang te­tap atau barang bergerak ?, bilamana dikemukakan dahulu dan se- landjutnija diinginkan djawabannja jang bersifat umum, maka per­soalan demikian itu pada hemat saja tidak masuk diakal.

120

K H aj ? T tJiPi a / au,teuysrecht) atas perhiasan perahu dikepulauan Kei adalah sadjaik dahulu kala asli Bumiputera ; hak pentjipta atas

unga isarotig- Minangkabau adalah rupa"nja dizaman modern ini ¡tun'buln.ja.

, x 2 ^ J ^ R B U A TA N "K R B D IET’ t o l o n g m e n o l o n gAN TARA SA TU SAM A LAIN DAN BERTIM BAL BALIK

(K R ED IETH A N D ELIN G , O N D ER L IN G EN W ED ER K ER IG H U L P B E T O O N )

Bila ipokok pikiran untufk perbuaitan tunai (konitante handeling) adalah : saja hanja dapat melepaskan tanah, benda2 dan orang- jarng semuanja bertalian dengan saja, keluar dari ling.karcyi-hidup saja jarng terikat, hanja bilamana pada saat saja melepaskannja itu de­ngan serentak ada taranja jang menggantinja (dalam arta magis, ekonomis .dan hukum-adat) .— namun pokok .pikiran untuk p e r b u a t a n Jc r e d i e t adalah sama sekali lain, ialah ; saja memlberikan apa2 kepada orang lain atau saja bokerd'ja buat orang la in ; hal ku memberilkan haik pada saja atas ba- asan bud'i pada waiktu dibelakangnja; hal ini memberikan — arus dikataikan disini — ikepada orang lain .tadi suatu ke- arusan atas balasan ibudi (jang diinginkan olehnja dan pada waktu

dibelalkangnija) dari fihaknja ikepada saja ; perbuatan2 kita adalah suatu bagian dari pergaulan segolongan ikita, atau pergaulan orang seorang, jang 'kesemuanja menudju .k e s e t i m b a n g a n ( e v e n w a c 'h t ) j eng memjebabkan kemenangan kepada siapa jang memberi lelbiih dari pada menerima, sehingga memberikan kem- 1 3 1 rV ^emi^a * ka n keleibihan) itu mendjadi suatu keinginan, suatu cewa ijiban, suatu amalan umtuk mempert aihamkan deradjatnja, ma- a an untuk mempertahankan hidupnja sendiri (bukankah itu men- -jaga jangan sampai ia didjadikan budak) (pandeling) ikarena tak aPa, unasi hutangnja). Tiada alasannya umtuk mempersoalkan

► ° 'r f 1 ■ ran m0n9enai .perbuatan tunai ini menurut waktunja mula" L<~f' , a. Il?^a s-belum atau sesudahnya perbuatanwkrediet. Kedua2~nja a a a i ibentuk2 dasar, tokoh2 asli sedjak purbakala, jang terdapat didasar peristiwa-hukuonjke- Indonesiaan.

juga soal „memberi”, „menerima” dan „memberi kembali” ini berlaku kedalam masjarakat dan berlaku keluar, sebagai halnja dju- ga dengan huibunga.n-hukum mengenai tanah. Sesama anggauta me­nolong satu sama lain bertimbal balik ; golongan2 ialah golongan-’ kerabat, Icadjurusan luar berhubungan setjara tertib dengan d'jalan saling tukar barang2, hal mana digandengkan pada .penukaran pe­rempuan ; dalam hal ini maka terkadang2 bagian2-clan exogiaam-iah jang mendy'adi pelaku2~tnja.

T o l o n g - m e n o l o n g d i a n t a r a s a t u s a m a l a i n (onderling hulpbetoon). Tolong-menolong bertimbal balik didalam masjarakat dapat dibedaikan dari pada tindaikan bersama2 buat satu maksud untuik masjarakat, ialah tolong->menolong d i a n t a r a s a t u s a m a l a i n (onderling hulpbetoon). Kewadjiban un-

121

tuk ikut berbuat sedemikian itu, berdasarkan langsung atas kaidah hukum-adat, bukannja atas dasar „karena sudah menerima apa2”, atau „karena ingin menerima pembalasan budi nanti”. Batasnja adalah samar2, akan teapi tokohhmja mudah dapat dikenal. Bila mi­salnja harus didirikan sebuah rumah-masijarakat, atau harus ditjetak suatu pekuburan untuk masjarakat, maka orang2 lelaki jang kuat menjumibang untuk itu berupa tenaganja dam benda. Bila orang2 dusun bersama2 membuka sebidang tanah hutan dibawah pimpinan kepalan j a, jang lantas oleh kepala i-tu dibagi2-kannja diantara mereka sebagai !tanah2-pertanian perseorangan, maka disini dapat dianggap adalah tokoh „tolong-menolong diantara satu sama lain’ . Bila ta- nah2-nja terlebih dulu sudah dipilih dan dibagi2-kan, dan sesudah itu satu menolong jang lain dalam pembukaan tanah itu, maka disini harus disebut tolong-menolong 'bertimbal balik (wederkerig) ; pe- rintjian2 ini hanja berguna buat kepentingan susunan jang bheoretis. Bila penghulu2 mendapat pertolongan dari segenap masjarakat da­lam hal mendirikan ruimahnja dan menanami tanah2-nja djabatan. maka disini dapat dianggap pertolongan sesama anggota2 diantara satu sama lain untuk kepentingan pendjabat pemerintahan masja- rakatnja, djuga dapat dianggapnija pula pemberian tenaga sebagai penukaran pekerdjaan2 penghulu tadi untuk kepentingan masjarakat. Pekerdjaan2 untuk penghulu2 itu disana sini dapat terkenal sebagai lembaga tersendiri: pantjen (D j.), resajo (M in.), kwarto (AniK).

Di Djawa dan ditempat2 lain maka tolong-menolong diantara sa­tu sama lain ini masih berlangsung terus berupa pekerdijaan--desa ; sebagai kebalikan pekerdjaan2 untuk penghulu2, maka biasanja di- sebutnja dengan istilah jang sama dengan „tolong-menolong bertim­bal balik”.

P e n u k a r a n ' b a r a n g 2 d i a n t a r a g o l o n g a n 2 orang2. Penukaran barang2 berupa „djudjur” (bruidschat) dan pem­berian2 pada waktu peristiwa2 penting dalam kehidupan, terkadang2 pada asasnja berlangsung menurut djalan jang sudah mendjadi adat, hal mana mengakibatkan kepindahan tangan barang2 kesatu d j uru­san, dari satu bagian-clan kebagian-clan lainnja ; begitu djuga hal- nja dengan perempuan (asymmetrisch connubium). Dikalangan orang2 Batak dan dilbagian Timur daripada N usantara (hal. 36, 39) maika banjak daripada adat ini masih terd'apat disana, walaupun hal ini baru aohir2 ini sadja dikenal orang. Perdjand'jian berupatjara da­ripada orang2 Euri di Nias dulu mengandung persetudjuan2 menge­nai penetapan takaran beras, ukuran berat uinituk babi2, ukuran ka­dar untuk tjampuran mas, persetudjuan mana tentunja diadakan ber­hubung dengan faiham penukaran barang2 tersebut ta d i ; apa jang disebut „peralatan2”, upatjara2 adat dan leibih2 upatjara2 peralihan (overgangsriten) adalah terdiri dari „memberi dan menerima’ itu, dan dari „djamuan2 dan pemborosan2” itu, kesemuanja sebagai sjarat mutlak. Tentang artinja funksioneel, pula sebagai faktor dalam pe­netapan aturan2 mengenai tingkah laku diantara golongan2 satu sa­

122

ma lain ditepati .— tidak mengundang buat datang disuatu upatjara, tidak datang disuatu peralatan jang diadakan pada waktu ada per­selisihan tentang tingkah la'ku mereka satu sama lain ■— maka arti funksioneel sedemikian itu tidak dapat diabaikan begitu sadja. M a­sih amat sangat kurangnja penjelidikan jang semata2 diadakan ten­tang berlakunja faktor2 tersebut tadi.

T o l o n g - m e n o l o n g b e r t i m b a l b a l i k ( w e - d e r k e r i g h u l p b e t o o n ) . Tolong-menolong bertimbal balik didalam masjarakat, didalam dusun, persekutuan-wilajah, ge­rombolan genealogis, pula penukaran tenaga dan barang2 dari kelu­arga satu ke-keluarga lainnja, kesemuanja itu selalu terdapat dima- na- di Nusantara ini, hanja sadja tidak sama nilainja. lln tuk itu dju- ga maka sangat pentingnja : slamatan, peralatan2 chitanan dan per­kawinan dan sokongan diwaiktu ada kelahiran dan kematian. Sum­bangan- tamu- (sumbang, Dj., parijambung, Sund. passoloq, Bug. dan sebagainja) itu terkadang benar2 ada dibawah pengawasan ter­tib mengenai apakah sama nilainja atau tidak. Selandjutnja lebih2 peristiwa- seperti mengerdjakan tanah2-pertanian dan mendirikan rumah-, menjebabkan penukaran tenaga : adat ini disebut sambat sinambat (D j.), resaja (Sund.), marsiadapari (Bat.), seraja (Ind.), iulung menulung (Ind.), masohi (Amb.) dan sebagainja. M endekati ,,tolong-menolong bertimbal balik” ialah pemberian ketjil2 jang se­begitu banjak kali diantara sanaksaudara dan tetangga baik satu sama lain, jang 'kesemuanja berdasarkan atas anggapan pada suatu waktu nanti si-terberi akan membalas budi setjara patut berhubung dengan sudah diterimanja pekerdjaan atau barang dari orang lain itu ; 'pula mendekati itu, ialah hubungan2 satu sama lain, dimana di- wadjibkan mengamalkan kesabaran sobanjak2-nja, dan bila timbul perselisihan tidak lekas harus memberikan suatu keputusan jang di­paksakan kepada mereka tapi suatu perdamaian antara satu sama lain (rukunan, D j.). Djuga arti funksioneel daripadanja adalah be­sar ;sesama anggauta- dalam masjarakat2 terikat tidak dapat mele­paskan diri dari apa jang diharapkan oleh masjarakat mengenai tingkah lakunja ; perbuatan krediet perseorangan masih bersifat sa­ngat terikat.

P e r t o l o n g a n c h u s u s ( g e s p e c i a l i s e e r d h u l p b e t o o n ) . Disamping tolong-menolong bertimbal balik jang berfcjorak umum dalam masjarakat, maka pertolongan chusus jang diberikan oleh golongan2 chusus seperti : oleh pemuda2, pemu­di2, pemotong2 kaiju, pemilik2 tanah adalah merupakan tjorak chusus dalam adat tolong-menolong bertimbal.balik oleh keluarga2, namun dalam pada itu tetaplah masjarakat, jaitu dusun, mendjadi dasar daripada tolong-menolong itu.

123

3. P E R K U M P U L A N 2.

Suatu asas lain terdapat bilamana terdjadi, bahwa lingkungan jang didalammja orang2 bertolong-menolong satu sama lain, men- djaai terlepas. Dengan maksud untuk pertukaran tenaga dan ba­rang2 bertimbal balik maka timbullah golongan2 jang bertjenderung akan bertindak keluar sebagai kesatuan2 jang berdiri sendiri. Makin lemah atau makin mendjadi lemah dusun2 atau masjarakat'2 lain itu karena sebab2 dari dalam atau dari luar, atau makin suka orang akan bertindak keluar batas dusun, maka makin teranglah peristiwa ini menampakkan diri. Atjapkali adalah ¡kepentingan2 tertentu, jang sedang dipelihara orang dalam pelbagai matjam kerdjasaina. Sebagai misal ialah tjara pindjam wang ■—• jang rupa2-nija ditirunja dari orang2 Tionghwa —■ jang disebut hwe, jaitu dimana beberapa orang setiap bulan membajar sedjumlah wang jang tertentu dan masing- dari mereka bergilir2 boleh memakai djumlaih wang sekaligus selu- ruhnja (sarikat di D jakarta, djula djula di M inangkabau, mohaqka di Salaiar). Pula kongsi2 ketjil uintuk'potong lembu3 di Atjeh dan misalnya aipa jang disebut perkumpulan2 kematian jang sangat terse­bar selurub tanah Djawa. Di M inahasa namamja ialah perkara- pulan2-/7zapa/as, dalam hal mana perkataan m a p a 1 u s berarti baik tolong-menolong bertimbal balik, m aupun g e r o m b o la n 2 jang diben- tuk untuk beraneka tudjuan, misalmja untuk memberikan bantuan diwaktu mengerdjakan tanah — tidak bamja oleh anggauta2-nja sa- dja dalam bubungan tolong-menolong bentimbal-balik, tapi djuga ditudjukan bantuannja kepada orang2 Juaran dengan memungut upah ; djuga untuik pemberian pindjaman (mapalus wang) dibentuk perkumpulan2 serupa itu djuga. Jang paling terkenal dan paling me­ningkat ialah pembentukan gerombolan merdeka jang ditudjukan kepada kepentingan benda di Bali. D isana sakaha itu seperti di M i­nahasa dapat mengandung dua arti, ialah suatu gerombolan jang akan menunaikan suatu tugas dalam lingkungan ikatan desa dan karenanija terkadang2 ~ tapi tidak selalu begitu ( s e p e r t i perkumpu- lan-bandjar, perkumpulan-pemuda2) — memperoleh kepribadian sebagai ,,perkumpuilan”, atau artinija jang kedua ialah : suatu per­kumpulan jang terbentuk dengan sukarela djuga diluar ikatan- d e - s a , jang bertudjuan menggali tembusan2 bukit, memanen tanaman di.tanah-iperfcaniian, menjelenggarakan permainan musik, memindjaai- kan wang.

Persekutuan2-ipengairan jang tersohor ialaih subak Bali, dengan dasarnja benda (milik sawah) dan sifatnja dinas sedilkit banjak te­lah disebut diihalaman 45.

Demikianlah lembaga tolong-menolong bertimbal balik disatu fihak dapat dianggap sebagai dasarnja perbuatan-krediet : jaitu

124

„memberi’ agar supaja nanti dapat menerima penggantiannja jang senilai, hal mana dipribadikan (geindividualiseerd) dan dichususkan mendjadi „pemindjamaTi wang", „pembelian barang2 dengan kre- diet” dan sebagainja, mendjadi : utang piutang, jang ditentukan sampai setjermat2-nija dan kebanjakan kurang tjermatnja pula, ter­ikat oleh tempoh2-nja, dilain fihak dapait dianggapnja sebagai dasar daripada kerdjasama jang beraneka warna bentuknja, jang kesemua­nja timbul dari pelbagai kebutuhan masjarakat Pribumi.

Pada umumn-ja mi tidak berarti, bahwa segala bentuk2 kerdjasa­ma jang tetap, berpangkal pada tokoh „tolong-menolong bertimbal balik” itu. Suatu lembaga seperti apa jang diisebut s a s i model baru di Ambon, jaitu kerdjasama antara pemilik2 'kebun kelapa untuk pendjagaan dan pendjualan hasilmja, berdiri sendiri terlepas dari- padanja, demikian djuga perkumpulan2 jang mentjontoh kooperasi Eropah. Kooperasi2 Pribumi jang itelah mendaftarkan diri adalah dibawah peraturan2 wet menurut staatsblad 1927 No. 9!.

P a r u ' h - ' h a s i l - t a n a m s e b a g a i k o n g s i .

Dalam bab ke-empat maka paruh-hasil-tanam (deelbouw) dipe­rakan sebagai suatu perdjandijian jang bersangkut paut dengan tanan, agar supaja perdjandjian itu pertama2 ditempatkan dalam hubungan menurut susunan-nja dengan perdjan<ijian2-'t3nah. Paruh-hasil-ta­nam harus dibifcjarakan disini djuga karena perdjandjian itu djuga dapat dipandang sebagai suatu bentuk (kerdjasama ■—• dikatakan orang djuga sematjam kongsi (maafcschap) — antara pemilik tanah dan pekerd'ja, dimana djasa si-pemilik 'ialah mengidinkan si-pekerdja masuk ditanahnja dan djasa si-pekerdja terdiri dari mengerdjakan, menanami dan memaneni .tanah itu, sedangkan satu atau lainnja jang menjediaikan padi-bflbit dan lembu pemlbad'jak, dan selaradjuitnja hasil kerdjasama itu dibagi mendjadi bagian2 jang ditetapkan atas persetudjuan lebih dulu atau oleh kebiasaan.

P a r u h - l a b a ( d e e l w i n n i n g ) • Kerdjasama ber- bentuk serupa itu terdapat diseluruh Nusantara mengenai ternak. Pemilik ternak ■— karena beberapa sebab ■—■ menjerahkan ternaknja ketangan orang lain jang memeliharanja dan memungut bersama2 si-pemiti'k masing" separuhnja dari hasil atau tamibahnlja harga dari­pada chewan jang diserahkan itu. Perdjandjian sedemikian itu dalam bahasa Belanda disebut „deelwinning van vee . Dengan sangat ba- njak tjara sedemikian itu maka sapi2 dan kerbau" diserahkan orang lain dan diperhasilkan ; anak2-nja dibagi menurut urutan tertentu antara si-pemaruh-laba dan si-pemilik ternak, atau anak—mja aidjual

dan pendapatannja dibagi, atau chewannja sendiri pada permulaan perdjandjian ditetapkan harganja 'kemudian didjualnja dan kelebihan harganja dibagi, aitau pada achirnja, an^k2-nja tetap dalam imbangan tertentu mend'jadi milik-bersama (milik paruhan) daripada si-pemi- lik induk dan si-pemelihara chewan2 itu. Maka dimana2 karena se- ringnja didjatuhkan 'keputusan2, sudah timbul aturan2 jang pasti- mengenai hak2 dan ikewadjiban2 kedua fihak. Bilamana chewannja mati ditangaai pemaruh-laba, maka dialah jang memikul tanggung- djawahnja tentang kerugiannja, bila ia lalai dalam pemeliharaannja dan matinja chewan itu disebabkan oleh kelalaian itu. Bilamana chewannja diambil kembali oleh pemiliknja sebelum beranak, pada hal si-pemaruh-laba tidak menjebabkan pengambilan kembali itu, maka dia, pemilik, harus mengembalikan segala heaja jang telah diperuntukkan pemeliharaan chewan itu, ketjuali bila si-pemaruh- laba sampai saat itu sudah memungut hasil dari tenaga chewan itu ; persetudjuan2 beraneka warna pada umumnja tiap2 kali membubuhi tjorak setempat atau tjorak perseorangan pada perdjanajian ini. Isti­lah2 Pribumi untuk itu terkadang2 sama dengan istilah2 untuk pa- ruh-hasil-tanam. Tidak hanja ternak ibesar, melainkan djuga kam­bing, ajam dan itik dipelihara dan diperhasilkan dalam kerdjasama satu sama lain setjara demikian itu.

4. PER B U A TA N 2~KREDIET PERSEORANGAN.(IN D IV ID U ELE CRED IETH A N DELIN G EN )

M e m i n d j a m k a n wang dengan berbunga atau tidak, ada­lah sudah mend’jadi kelaziman dimasjarakat Pribumi, tidak hanja sebagai perbuatan-hukum dengan orang2 Arab, Tionghoa, India dan Eropah sadja, melainkan djuga sebagai pembuatan-Hukum orang'- Indonesia satu sama lain, dan tidak djarang untuk memenuhi kewa- ajibannja membajar kepada pemerintah. Dalam pada itu memang benar terdapat sekedar daja penghambat karena larangan memungut bunga dari agama islam, tapi walaupun demikian djumlah pemin- djamkan wang dan perkumpulan2 pemindjamikan wang Pribumi adalah banjak sekali. Orang Batak membedakan manganahi ■— me- mindjam dengan membajar bunga <— dari morsali, ialah memindiam tanpa bajar bunga. Disamping itu maka „memindjam” (utang, me- mindjam) barang2, barang2~toko, makanan dan sebagainja berulang4 terdapat, begitu djuga sebaliknja, ialah memindjam wang dengan permufakatan mengembalikannja berwudjud buah2-an, tanaman, kuliit2 chewan dan barang perdagangan serupa itu.

Bilamana dalam bahasa Belanda faham2 „beli (dan d jual) dengan harga tunai” dan „beli atas krediet” kedua2~nja satu sama lain di­sambung dengan perkataan „beli (dan djual)” sebagai pembagi persekutuan jang terbesar (grootste gemene deier), maka dalam

126

bahasa-hukum Indonesia kedua faham itu pada hakekatnja berlainan berhadapan satu sama lain, ialah sebagai membeli mendjual berha­dapan dengan memindjam (memindjamkan). Karena memindjamkan wang dengan bunga itu sudah begitu lazimnja sehingga wang itu di­hargai sebagai bagian harta jang dapat menghasilkan bunga, maka hakim bila ada 'kelalaian membajar mungkin akan memutuskan su- paja jang lalai itu djuga membajar bunga kepada si-pemindjamkan wang sebagai pembajaran kerugiannja, jaitu pembajaran „ b u n g a k a r e n a k e l a l a i a n ” ( m o r a t o i r e i n t e r e s s e n ) . Tapi dikalangan orang2 Batak penggantian bunga itu sama sekali tidak diidinikan oleh hukum-adat, malahan bunga buat tempoh sedjak djatuhmja vonnis sampai pelunasan hutangpun tidak diidinikan pula.

Menagih hutang harus didjalankan dengan kesopanan terhadap si-pemind'jam ; menagih seseorang begitu sadja didjalan umum ada­lah tidak senonoh (didaerah2 Batak, Bali dan sebagainja).

M e n a n g g u n g p r i b a d i buat hutangnja orang ¡ain pertama2 mungikin disebabkan karena adanija ikatan sekerabat ber­hadapan dengan dunia luar. Hutangnja seorang daripada sesama anggauta clan ■— lebih2 bila mengenai kewadjiban adat jang harus dipenuhi — adalah hutangnja rombongan, penagihan dapat ditudju- kan 'kepada masing2 dari anggauta2 rombongan itu : tanggung me~ nan99ung. Seorang anggauta jang menjebabkan beban keharusan membajar jang sangat keberatan buat sesama anggauta2-nja, dapat dikutjilkan atau dibuang keluar adat (sebagaimana sebagian tanah dari lingikungan-beschikkingsrecht dapat ditanggalkan bila ummat semasjarakat situ tidak dapat atau tidak mau memenuhi pembajaran- adat karena ada terdjadi kedjahatan atau pelanggaran disitu sedang­kan jang berbuat itu tak dapat diketemuikan). Ini adalah soal ber- lakumja hubungan-Jcrediet 'keluar (dipandang dari sudut golongan sekerabat), Tanggung djawab ahli waris terhadap hutang2-nja si-mati — djika memang meninggalkannya hutang (hal. 216) — barang kali bertalian dengan faham tadi.

Menanggung pribadi buat hutangnja orang lain mungkin djuga berdasaifkan atas rasa-kesatuan daripada sanaksaudara2, seperti misalnja didaerah2 Batak. Diikalangan orang2 Batak Karo maka se­seorang lelaki selalu bertindak bersama2 atau dengan penanggung- nja anak beru senina-nja, jaitu sanak saudaranja semenda dan kera- batnja sedarah, jang seakan2 mewakili golongan2 mereka berdua jang bertanggung-djawab (hal. 39).

Bersama2 menanggung hutang-pun ada djuga, jaitu diantara sua­mi dan isteri, itupun bilamana kesatuan-harta-perkawinan ada ber­dasarkan atas adanja bekerdja bersama2 untuik (keluarganja.

Kemudian djuga dalam hukum-adat terdapat perdjandjian, dimana seseorang mendjadi penanggung hutangnja orang lain. Si-penang- gung itu disebut dalam bahasa Indonesia djamin, perkataan borreg,

127

ialah perkataan jang sudah berubah mendjadi perkataan Pribumi, adalah pendjaminan berupa tanah (hal. 111). Si-penanggung dapat ditagjh bila dapat dianggap bahwa pelunasan pihutang tak mungkin lagi diperoleh dari si-pemindjam sendiri. Menurut susunannja maka dalam hukum-adat tidak banjak kemungkinannja untuk perkemba­ngan tokoh perdjandjian sematjam ini. Tentang diperhambakan ke­pada si-pemindjamkan wang karena tak dapat mengembalikan wang- pindjamannja .— sedemikian rupa sehingga si-pemindjamkan wang berkuasa penuh atas diri si-pemindjam — maka hal ini adalah lem­baga jang terkenal umum dalam hukum-adat Indonesia : „perbuda­kan karena berhutang” (pandelingschap). Lebih2 bila hutang--adat (wang perdamaian dan sebagainja) tidak dapat dilunasi oleh jang bersalah atau oleh golongan-kerabatnja, maka jang bersalah itu ke­hilangan .pribadinja untuk keuntugan si-penagih pindjaman, ialah sebagai satu2-nja tjara untuk memulihkan kembali kesetimbangan (evenwicht) jang telah dirusaknja. Siapa jang mentjari pertolongan kepada seorang penghulu jang kaja dalam menghadapi penagih2-nja hutang jang memusuhi dia, maka dia mendjadi budaknja (pande- ling) penghulu itu. W alaupun lembaga and sudah terlarang, tapi bu­ah pikiran jang mendjadi dasarnja masih terus berlaku dalam per­gaulan2 Pribumi, terkadang2 dalam bentuk jang tak terlarang jaitu melunasi hutang dengan djalan bekerdja untuk si-penagih hutang.

Sebagaimana memindjam wang dan' barang sebagai perbuatan- krediet perseorangan dapat dipandang daJam hubungan memberi apa2 satu sama lain dalam tolong-menolong bertimbal balik, pun per- djandjian-bekerdja (arbeidsovereenkomst) dengan bekerdja-untuik- satu-sama-lain-bertimbal baliknja dapat dihubungkan dengan bentuk peribuatan-’krediet jang telah berkepribadian (geindividualiseerd).

entang menumpang diirumah orang lain dengan mendapat makan juma tapi harus bekerdja untuk tuan rumah, maka tokoh sedemi- ian berulang2 terdapat dan dengan bertjampur baur dengan

mem erikan penumpangan kepada sanak-saudara jang miskin de- ^9an imbangan tenaga bantuannja dirumaih dan diladang (rayai,

Perihal bekerdja sebagai buruh dengan mendapat upah diladang, i pertenunan2, dipembati'kan2 dan sebagainija djuga banjak terdapat

jawa. dan dilain2 tempat, itupun bila mana tak dapat diselesaikan gan tjara tolong-menolong bertimbal balik. Hubungan-pekerdja-

an mu ai berlaku dengan terbajarnja sedikit wang pengikat (pan- J^.r' a 3), jang mungkin didjadikan persekot atas upah, seba-™ pembajaran dimuka sebagian dari wang djudjur terkadang2 adat d 3n ^ ^ h -p e r tu n a n g a n . Suatu sisa dari zaman buta hukum-

j , en9a^ kebodohannja menijebabkan berlakunja formeel hukum burin3 2 ejanc a (staatsblad 1879 No. 256) atas kebanjakan hu- tingg )1 "^ aan (tidak atas pekerdjaan jang bertingkatan lebih

128

Tidak kurang seringnja terdapat pengupahan untuk bermatjam2 pekerdjaan (pekerdjaan2 .perantaraan, pertolongan, pengobatan, pe- kerdjean orang ahli sihir, dan sebagainja).

Saksi2 jang didatangkan diwaktu perdjand'jian dibuat biasanja di­beri sedjumlah wang sedikit sebagai tanda sudah tersangkut paut dengan urusan itu (dikalangan orang2 Dajak disebutnja turus) atau sebagai „wang kenang2-an” (orang2 Batak menjebutnja : ingot-ingot pula, ditempait2 lain d'juga terkenal sebagai wang saksi).

Beberapa perbuatan2-krediet rupa2-nja sudah lazim (endemisch) diwilajah2 jang tertentu, Misalnja p e r d j a n d j i a n k o m i ­s i ( c o m m i s s i e - c o n t r a c t ) ( k e m p i t a n ) di Dja- wa, jaitu menjerahkan barang2 kepada orang2 lain untuk didjual dengan perdjandjian bahwa sesudah lewat tempoh jang tertentu baik barang2-nja, maupun harganja jang sudah ditetapkan sebelumnja, diterimakan kepada pemiliknja. Orang harus berhati2 terhadap ang­gapan bahwa perdjand'jian2 serupa itu terdapat chusus dalam ling- kungan2-hukum jang tertentu, karena anggapan sedemikian itu mungkin berdasarkan atas 'ketidak-tahuan tentang soal serupa ini didaerah2 lain. Di Djawa terdapat wilajah2 dimana perdjandjian idjon atau idjoan, pendjualan tanaman padi jang masih muda, sama sekali tidak ada, melainkan dimana biasanja hanja tanaman padi jang sudah tua dan sedang berada disawah didjual (tebasan), se­dangkan ditempat2 lain kedua tijara pendjualan ini sudah lazim, dan sebagainja.

Mempunjai kedudukan istimewa dalam hukum-kekajaan-adat adalah p e r d j a n d j i a n . - p e l i h a r a ( v e r z o r g i n g s - k o n t r a k t ) Minahasa. Nama „verzorgingskontrakt” ini asal- nja dari V an Vollenhoven, di Minahasa sendiri perdjandjian ini di­sebut „adoptie”, tapi menurut isimja sesungguhnija ternjata bukannja perbuatan dilapangan hukum-kesanaksaudaraan ; istilah2 Pribumi antara lain ialah ngaranan dan mengara anak. Isinja perdjandj.an ini ialah bahwa fihak jang satu —1 pemelihara — (zorggever) me­nanggung nafkahnja fihak jang lain — terpelihara — (zorgtrekker) lebih2 selama masa tuanja, pula menanggung pemaikainannja dan pengurusan harta-peninggalannja, sedangkan sebagai imbangan si- pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalannya si-terpeli- hara, terkadang2 sebagian sama dengan seorang anak. Bilamana ti­dak ada anak, maka si-pemelihara adalah satu2-n,ja waris. W alau­pun perdjandjian ini dapat diselenggarakan dianitara orang2 dari se­barang umur dan malahan djuga dengan orang jang tak berkawin sebagai si-terpelihara, namun sampai tingkat tertentu funksinja ialah funksi „adoptie” (ambil anak) dimana lebih2 suaini-isteri jang tak mempunijai anak dengan tjara demikian mengikat orang2 muda se­bagai pemelihara2-mja, hal mana lebih2 dalam bahasa Indonesia di­sebutnja mengaku anak. Tapi hubungan menurut hukum-kesanak­saudaraan diantara anak dan orang2 tuanja sendiri oleh karenanja t dak terputus ; si-terpelihara tidaik mewaris dari si-pemelihara. Mes-

129

kipun kesemuanja itu, namun rupa2-nja kebalikan jang menjolok ma­ta ,__ jaitu perdjandjian-pelihara bersifat hukum-Jcekajaan diban­dingkan dengan „adoptie” jang berdasar perbuatan-hukum menurut hukum-kesanalksaudaraan —' itu mengurangkan unsur kepribadian dalam hubungan si-terpeli'hara dan si-pemelihara dan oleh karena- nja hubun.gan ini tidak memuaskan, hal mana dulu timbul diwaktu pembitjaraan tentang hukum-per<kawinan untuk orang2 IndonesiaKristen. '

Dari dakat dapat dibandingkan dengan perdjandjian-pelihara M inahasa ini ialah suatu adat di Bali, dimana seseorang menjerah­kan dirinja bersama segala harta-bendanja kepada orang lain (ma- kehidang raga). Orang jang menerima penjerahan sedemikian itu wadjib menjelenggarakan pemakamannja dan pembakaran majatnja si-penjerah, pula wadjib memelihara sanaksaudara2~nja jang diting­galkan ; untuk itu kesemuanja maka ia ada hak atas harta-pening- galannja.

Suatu alamat bahwa ditempat2 lain djuga terdapat hubungan2- pelihara seperti di M inahasa itu, ialah misalnja chabar, bahwa di Ambon terdapat surat2 wasiat jang memlbernkan bagian djuga kepa­da orang jang telah memelihara si-peninggal warisan sampai pada saat adjalnja.

5. M ERU G IK A N PE N A G IH 2 H U TA N G .Sampai dknana barang2 milik seseorang tetap dapat diperuntuk­

kan guna membajar hutang2-nja pemili'kmja walaupun barang2 itu sudah dipindahkan tangan kepada fihak ketiga, maka soal ini harus­lah didjawab dengan tertibnja menurut hukum-tak-tertulis rakjat Pribumi. Dalam banjak hal maika pemetjahannija soal pasti dapat di­peroleh, djilka orang berpedoman pada sjarat jang mutlak, ialah bahwa harus dibela kepentingan mereka jang disangkut-pautnja da­lam lalu-lintas hukum dan bahwa harus ada keajudjuran hati (goe- de trouw) dalam lalu-lintas hukum tadi. Tidak termasuk disini per- tjobaan2 akan merugikan penagih2-ihutang dengan djalan perbua­tan 2-pura2 (schijnhandelingen) jang disengadja benar2 (absolule, simulatie) ; perbuatan2 itu dapat dituntut chusus sebagai perbua- tan2-pura2 belaka. Merugikan ¡penagih2-hutang dengan djalan hiba- han2 'kepada bakal waris, pembagian harta perkawinan-bersama, pemberian2, djadi : perbuatan2 .jang dapat didjaubi, dan karena su­dah didljalankannja, perbuatan2 itu hampir2 menjebabkan gagalnja tuntutan2 si-penagih hutang atas barang '2 itu — maka oleh keputu- san2 hakim2 gubernemen dianggap batal. Begitu djuga tidak diakui- nja sah perbuatan2 mendjual a'tau menggadaikan barang dalam keadaan sedemikian ru/pa sehingga fihak lainnja patut ha- rus mengerti bahwa penagiih2-hutang karena perbuatan2 itu akan mendjadi korban, ialah merugi. Hal jang sudah diketahui umum bah- va telah ada masuk gugat penagihan terhadap si-pendjual itu, hal

a anja hubungan kesanak-'saudaraan jang karib diantara si-pembeli dan si-pendjual, dan hal2 lain serupa itu, kesemuanja itu sudah ber-

130

ulang- didjadikan dasar untuk keputusan, jang bermaksud bahwa perbuatan-hukum tadi tidak melemjapkan haknja si -pen a g -h-h utang untuk menuntut haknja atas barang- tadi. Tetapi bila fihak ketiga jang tersangkut dalam perdjand'jian dalam hal itu berhati djudjur, maka ia harus dilindungi djuga lawan si-penagih-hutang itu. Dalam hal2 serupa itu harus ada kemungkinan pemetjahan soal jang mem- pertahanlkan baik kepentingan si-penagi'h-hutang, maupun si-fihak ketiga tadi walaupun tidak seluruhnja (misalmja •hasil tanah bu§t se­lama tempoh teritentu diperuntukkan si-penagih-ihutang jang patut dapat mengharapkan hasilnja setisnbang dengan pihutangnja -— ta­pi hak atas tanah ditetapkan men dijadi haknja si-pemlbeli, ialah fi­hak ketiga tadi). Boleh dijadi pemetjahan2 soal serupa itu dapat di­selenggarakan dengan dijaJan perdamaian (minnelijke schikkingen).

Djuga bilamana harta si-pemindjam dalam keadaan terujepit oleh „beschikkingsrecht” masjarakat, atau termasuk harta ibenda jang be­lum dibagi2 atau karena sesuatu hal masih terikat, maka dalam hal2 ini banjak t'mbul kesulitan2 karena peraturan-executie jang masih mengandung kekurangan2. Dalam keputusan2 harus diusahakan agar supaja kepentingan2 si-penagih-hutang d'kawinkan setjara patut dengan kepentingan2 mereka untuk guna siapa milik2 itu dja- tuh dala;n keadaan terikat tadi. Tem jata bahwa kebanjakan si-pena- gih-huitanglah' jang 'kalah, tapi sebalilkraja sekali tempoh kepentingan2 fihak2 jang turut berhak djuga dilanggar dengan kekerasan jang melampaui batas oleh penagah'2-hutajig itu.

6 . ALAT PENGIKAT. TA N D A JANG KELIHATAN. (H ET BINDMIDDEL, H ET ZICH TBA RE TEK EN ).

Bedan,ja diantara perdijandijian dengan wang-pengikat dan per- buatan-tunai sudah terang — kedua2-nja seolah2 adalah kebalikan- nja satu sama lain ; kedua-nja dapat dihadapkan satu lawan lain se­bagai : perdjandjian „comsensueei” lawan perdjandjian „reeel jaitu jang pertama suatu perd'jandijian jang menimbulkan akibat2 karena persetudjuan kemauan, 'lawan jang kedua jaitu suatu perdjandjian jang terdiri dari perwudjudan perobahan2 jang memang ditudju ; d jadi acr.gan demikian tidak akan t'mbul lagi icewadjiban2 untuk berbuat dijasa2 (prcstaties) nanti, tapi djasa2 itu sudah terselengga­ra pada saat dibuat perdjandjian itu djuga. Kedua matjam perbua­tan2 iru — perbuatan-tunai dan perdjandjian dengan wang-pengi- kat — dapat djuga, sebagaimana ada kalanja terdjadi, disebut ..reeel ’, karena dalam kedua2-nja itu ada barang dipindahkan ta- naan dari seorang ke-seorang walaupun diperd^andjian pertama : agar supaja serentak (terwudjud maksudnja dan diperdjandjian ke- diio : agar supaja masing2 terikat setjara njata untuk mewudjudkan apa jang d i dj andaikan, pada tempoh jang akan datang. M aka dari 'tu pada hakekatn^a perdjandjian dengan memakai pengikat itu le­

131

bih karib dengan perbuatan-krediet. Bedanja diantara kedua2-nja terletak disini, ialah bahwa dalam hal perbuatan krediet maka salah satu fihak sudah seketika mewudjudkan djasanja, djasa mana mem- punjai daja akan mewadjibkan fihak lamnja untuk mewudjudkan djuga djasa imbangannja (tegenprestatie) jang sudah dipersiskan lebih landjut dalam perdjandjian itu atau tidak ; sedangkan dalam hal perdjandjian dengan memaikai w a n g - p e n g ik a t , djasa- kedua fi­hak jang sudah ditetapkan dalam p e r s e tu d ju a n sama- haius diwu- djudkan dimasa datang dan kedua fihask itu masing- berdjandji un­tuk melaksanakan itu.

Namun perdjandj-iam2 dengan memaikai wang-pengikat sudah se- mestinja tidak boleh disebut „consensueel” begitu sadja, sebab da­lam ipada itu p e r m u f a k a t a n d e n g a n k a t a - s a - d j a belum mewadjibkan*apa2. Pada saat sesudah terselenggara suatu hubungan dalam mana persetudjuan harus berlaku • di- anitara kedua fihaik, ialah dengan djalan menerimakan ditangan se­keping mata wang ketjil atau sebuah benda lain, baharulah terlahir kewadjiiban2 tertentu dari persetudjuan itu ; amat atjap kali perse- tud'juan i'tu mengenai suatu perbuatan-tunai j a n g mereka akan me- njelenggarakan : jang satu fihaik a k a n membeli sawa/inja, pe­karangannya dan djuga lembumja, dan fihaik jang iain a k a n mendjual tanahnja dan sebagainja kepadanija. Bila ¡kedua fihSk su dah mentjapai kata sepaikat, maka si-bjailon ipembeli memberikan kepada si-tjaion pendjual satu rupiah atau satu ringgit sebagai pandjer, tanda. Bila tidak diterimakan parzd/er-nja itu, maka orang- nja menganggap dirinja tidak te rika t; ibila sudah diberikan dan di- terimanja pandjer-nja itu, (wis dipandjeri, begitulah disefbutnja per­djandjian itu dalam bahasa Djawa) maka orangnja merasa dirinja sudah terikat. Ini mengandung arti jang seibenarn-ja dalam pergaulan sehari2, baihwa orangnja djuga menepati persebudijuan itu — terdo­rong oleh rasa teriikat oleh hubungan sihir dan oleh rasa kesopanan. Menurut hukum-adat artinja hanjalah demikian, bahwa si-tjalon pembeli 'kehilangan pandjer-mja bila ia sesudah menerimakannja tocli tidak menepati persetudjuannja, atau dalam hal terachir ini fihak lainnja diberinja suatu alasan jang patut untuk tidak menepati per- setudjuannja; sedangkan sebagai ikebalikannja, si-tjalon pendjual bila timbul kelengahan dari fihaiknja sendiri wadjib mengembalikan pandjer itu dan biasanja diharuskan pula membajar sedjumlah wang sebesar pandjer itu seikali lagi. Dicbabarkan, bahwa dikalangan orang2 Toradja sesuatu 'perdjandjian seketilka mengikat setelah di- utjapkan dengan formil perkataan „ja” , hal mana berarti, bahwa ia menanggung kewad'jibannja.unitulk membajar. Ditempai2 lain rupa"- nja tidak terdapat hal serupa dtu. ■'

Tentang m e m a k s a untuik m e n e p a t i persetudjuan - nja, maka hal ini (hampir) tetap taik mungkin. Kerugian jang dide1

rita (kebanjakan) dapat dituntut dari fihak jang bersalah kelenga­han.

W ang-pengikat itu timbul tidak hanja dalam persetudjunn akan menjelenggarakan peibuatan-tunai dimasa datang sadja, melainkan djuga misalnja bila djasa dari satu fihak, walaupun seketika dimu- jainja, penjelenggaraannja aikan memakan tempoh jang lama, se­dangkan djasa dari fihak lairmja harus diselenggarakan dimasa d a­tang ; demikianlah halnja dengan perdljandjian-Jcerdja (arbeidskon- tralct). Orang jang masuk kerdja menerima pandjer sedjumlah ketjil dari mad'jikannja jang membajarkan upahnja dibelakang. Panajer itu dipotongkan dari pembajaran upah, maka dari itu pandjer itu mendapat sebutan ekonomis sebagai persekot (voorschot), dan oleh karena itu artinja menurut hu'kum-adat, pula menurut alam pikiran „serba berpasangan” ( participerend ) menghilang dibelakang sebu­tan ini.

H a d i a h - p e r t u n a n g a n . Suatu kedjadian jang benar2 sed'ialan dengan itu dalam hukum-perkawinan ialah hadiah-pertu- nangan (verlovingsgescheruk). Terikatnja bertimbal balik memolai pada saat menerimakan pemberian-pertunangan atau pertaruh-per- tunangan (verlovingspand). Dimana pertunangan itu merupakan pengantar daripada perkawinan-djudijur 'dalam masjarakat berhu- kum-bapa, maka hadiah-pertunangan itu luluh mendjadi satu dengan pembajaran-dimuka daripada sebagian dari djudjur. Di Minangka­bau dan ditempat2 lain terdapat 'tukar-menukar tanda2-pertunangan (mempertimbangkan tanda) ; namun kebanjakan lelakilah jang meberikan hadiah-pertunangan .— jang terkadang2 lurusnja disebut „pengikat” djuga (bandinglah dengan sebutan2 tertjantum dihala- man 160), dan perempuanlah jang menerimanja. Di Krintji tanda paletak itu adalah pefara/;-pertunangan (verlovingspand,) jang di­kembalikan sesudah perkawinan. Terikatnja adalah sesuai dengan terikatnija dalam hukum-kekajaan ; siapa jang memutuskan atau me- njebaibkan alasan patut untuk memutuskan pertunangan, maka kehi-

* langanlah ia hadiaih-pertunangannja (ikeralbat fihak pemuda) atau harus mengemlbalikannja setjara berlipat (ikerabat fihak pemud'i) dan harus membaijar kerugianmja (karena sudah memberikan hadiah2 berhubung dengan perkawinan jang akan datang).

B e n 't u k 2 l a i n . Di Minahasa maka hubungan ikatan an­tara bapa, jang tak berkawiin sah, dengan anaknja, diselenggarakan dengan 'djalan pemberian hadlah-adat kepada iibumja anak itu (lili- kur) ; begitu dijuga pertalian antara si-pemungut anak dan si-terpu- ngut anak diselenggarakan dengan djalan pemberian hadiah tanah (paradé). Djuga tanda2 jang kelihatan tadi rupa2-nja dapat ditaf­sirkan artinja sebagai pernijataan-dengan-benda buat hubungan-da- lam-angan2, jang berlaku dimasa datang.

Kebiasaan2 lain jang begitu banjak d’jumlahnja berdasarkan atas buah pikiran, bahwa penjerahan sesuatu benda dari seorang ke-se- orang lainnja itu, menyelenggarakan ikatan jang diinginkan diwaictu

133

penjerahan benda itu. Sedikit pemberian, biasanja terdiri dari ma­kanan, jang disertakan dengan suatu permohonan kepada seseorang jang berkuasa atau berpengaruh (dimata Barat terlalu keseringan dianggap suapan) ; sedikit pemberian berupa'daging, jang menjer- tai undangan; petaruh untuk pemeriksaan perkara (proces-pand). mungkin djuga pemberian untuk pemeriksaan perkara (proces-ge- schenk) jang oleh si-penggugat ditambahkan pada djumlah dalam gugatanmja, maka kesemuanja itu harus ditafsirkan setjara sematjani itu djuga'; pemberian2 itu membuka djalan, sepandjang mana akan diletakkan 'hubungan sementara jang diinginkan, dan sepandjang mana djawaibannja ■— ialah keputusannja — dapat mendatang. D a­lam makna sedemikian itu djuga dapailah pemberian scama dalam paruh-hasil-.tanam (hal. 107) kiranja d.hubungkan dengan perdjan- djran terselbut terachir ini. Saja sudah menerima apa- dari lain orang, saja sekarang wadjib memenuhi apa jang dikehendaki dari saja, mi- salnja memenuhi undangan, memberikan djawaban (walaupun djuga djawaban menolalk), memberikan keputusan (walaupun' keputusan menolak), mengidinkan dia mengerdjakan. tanah saija sebagai pe- manih, dan seibagadnja. Ini tiidak selufuhnja sama dengan pandjcr. tapi sangat karib seikal i padanja, dan rupa2-<nja dipandang dari su­dut sihir (magisch) sama alamnja. Dalam hal pandjer, dan par.ini]- set, maka persetudjuannja disusuli dengan suatu tanda jang keliha­tan, dan memberi dan menerima itu menjebaibkan persetudjuan men- djadi mengikat bertimbal balik ; dalam hal suatu pemberian jang menjertai sua.tu permohonan, malka orang jang diberi karena mene­rima pemberian itu mewadjibkan dirinja untu'k memberikan suaiu djawaban ; tirkadang2 djuga wadljib memenuhi permohonan itu (da­lam hal undangan, dalam hal sram al) ; „pemberian'’ itu mengan­dung sedikit banjak unsur paksaan, (walaupun mungkin lemah).

Orang dapat mengikat dirinja pada keputusan2 jang didjatuhkan pada hal ia sendiri itidak ihadlir, ialah karena suatu „tanda jang ke­lihatan” -djuga, sebagai halnja dengan orang di Bali jang membawa­kan .kerisnja kepada seorang penduduk-inti dusun kerapat desa, bilamana ia sama sekali berhalangan datang ; seibaga.i halnia djanda di Bali jang mempergunakan keris suaimin.ja jang mati sebagai wa- kilnja untuk mengambil anak (adopteren) buat almarhum ; atau me­ngikat dirinja pada pertmatan2-hukum jang terselenggara selama ia

tak hadlir, seperti halnja dengan radja (di Djawa) jang untuk per-• kawinannija dengan bini muda diwakilinja oleh seorang pegawai jang

dibawakan nja kerisruja ; dapat djuga orang — seperti tuan2 besarandar di Sulawesi Selatan — mengikat dalam arti kata sihir se-

orang gadis pada diirinja dengan djalan mengirimkannja seputjuk keris, dan haruslah gadis tadi ,.ditebuis kembali” dari pemberian ke- ns itu supaja dapat memperoleh kemerdekaannja kembali kalau ia menghendakinja.

T a n d a l a r a n g a n . D en g a n djalan ini kentara karibnja diantara „tanda jang kelihatan" sebagai hubungan dari seorang

134

dengan seorang, dengan tanda jang kelihatan sebagai hubungan dari seorang dengan tanah atau dengan pohon : tanda larangan (hal. 8 6 ) jang sudut positaef-nija menimbulkan huibungan-hukum, sedang­kan sudut negatief-nja jaitu menfcjegah supaja mereka lain orang te­tap mendjau'hikan diri dairi padanija. Dengan djalan demikian — di­pandang dari sudut lebih umum .— terdekatilah salah sa.tu dari dasar' hubungan-hukum perseorangan atas benda jang sudah dikerdjakan sendiri : sebidang .tanah atau sebuah sungai ketjil di Kalimantan jang telah dibersihkan sendiri, sebatang pohon jang sudah ditarah sen­diri, dan seterusnja. Menurut alam pikiran „serba-berpasangan” (participerend), maka dengaoi djalaai demikian itu rupa-’-nja terse­lenggara pertalian gaib (metajuiridisch) jang menimbulkan pentjer- minannja juridis dalam hukum-adat.

S u r a t a k t e . Surat imi sudah barang tentu ada kaianja di­anggap sebagai „tanda jang kelihatan” serupa u.tu djuga. Bukannja surat akte perdjandjian-c(/«a/, karena anggapan serupa tadi menurut sistimn.ja taik dapat dlpertanggung-djawabkan (hal. 10 2 ) ; djuga tidak (dianggap sebagai tanda >jang kelihatan) suatu surat tanda bukti dari sesuatu perbuatan-ikrediet perseorangan, karena dalam hal ini daja jang mengikat itu .berpambjar dari djasa (prestatie) sen­diri jang sudah dituna.'kan (djadi „prestatie” ini sendiri dalam berla- kunja, ada karib dengan ,,.tanda jang keli'hatain” ) ; tapi benar dapat dianggap seibagai ,,tanda jang kelihatan”, ialah misalnja penandaita- nga.nannja surat aikte oleh kepala dusun, dengan mana ia memper­lihatkan umum hulbungan masjaraikat dengan kedudukan-hukum jang baru ini ibua.t masa datang ; atau djuga setjarik surat jang oleh se­orang diberikan kepada seorang la.nnja jang lantas berdjandji (me­ngikat dirimja) untuk memberikan suaranja untuk si-pemberi surat tadi, atau surat jang dipakai un.tuk mengambil orang iain sebagai pe~ kerdjanja, dan sabagamja.

DaJam a l a m r a d j a 2 , maka „tanda jang kelihatan” itu adalah suatu tokoh-hu'kum jang dimaina2 sudah lazim, sebagai per- njataan dan perkuatan pertalian-hukum antara radja dan radja-ang- katan. antara radija dan penghulu rakjat. Buat maksud itu maka di­berikan oleh radija2 kepada radja- dibawah 'kekuasaannja satu setel pakaian, seputjuk sendjata, sebatang tongkat, djuga pernjataan pe- ngaikuan jang digoreskan dalam logam (piacjem) , dan benda2 itu diterima oleh jang ¡benkepentingain dengan kesedaran aKan maksud- i ja tadi. Boleh dijadi diperkenankan djuga menjamakannja seluruh- nja dengan „.tanda2 jang kelihatan” serupa itu ialah : geiar2 jang oleh radja dikaruniakan kepada penghulu2 jang mengabdi padanja. Persembahan2 jang dihaturkan ikehadapan radja sebaliknja keba- njakan bersifat persembahan-pengantar jang disusul dengan permo­honan kearah pengakuan.

135

BAB KE-ENAM. JAJASAN2 (STICHTINGEN).1 . W A K A P.

Suatu perbuatan-hukum jang bersifat tersendiri dan dipandang dari suatu sudut tertentu bersifat rangkap dan oleh karenanja harus disdni dibit jarakan tersendiri, ialah im-ivakap-kan tanah atau benda.

Maksud „bersifat rangkap" ialah bahwa perbuatan itu disatu fi- hak adalah suatu perbuatan mengenai tanah atau benda, jang me- njebabkan objek itu mendapat kedudukan-hukum jang chusus (hal. 76), tetapi dilain fihak seraja itu, perbuatan tadi menimbulkan suatu badan dalam hu'kum-adat, ialah suatu badan-hukum (rechtspersoon) jang bersanggup ilku't serta dalam kehidupan hukum sebagai subjek- hukurn (rechtssubject).

Lembaga-hu'kum Islam waqf, ijang telah terterima (gerecipieerd) dibanjak daerah2 di Nusantara sini, dan jang disebut dengan istilah Belanda „vrome stichting”, sudah sering mengakibatkan kekatjauan

arena sebutan itu ; dikiranja, bahwa perbuatan seru,pa itu hanja di­perkenankan buat tudjuan tertentu, jang bersifat ibadat dan saleh ; menurut kemjataaininja orang dapat mewakapkan tanah dan barang untuk sebarang tudjuan, jang tidak menjalaihi hukum sutji. Namun dapat djuga dibeda2kan dua matjam wakap, jang paling sering kali te rdapat; pertama2 memperuntiuklkan tanah-peiumahan buat masdjid a"au surau (dijika perlu ditambah dengan tanah-pertanian jang ha- silnja diperuntukkan buat pemeliharaan mesdjid itu dan buat naf-

ah pegawamja, aitambah lagi dengan kitab2 Qur-an untuk dipakai imesdjid) , kedua, memperuntuikkan sebagian daripada kekajaan-

nja, agian mana tak dapat dipindahkan tangan buat selama2-nja, uat anak-tjutju jang diperkenankan memungut hasilnja. Sebagai-

a‘fc3 an tadi, maika lembaga-hukum ini terterima (gerecipi- ^e,r ° oran9 Indonesia Islam dari hukum Islam sebagaimana U Lr jaturnJa disiitu. Artimja: pembuat wakap harus mempunjai

an uasa penuh (ditindjau menurut hukum-adat) atas barang K l ’^ caP"^an ’ barangnja harus ditundjuk dengan djelas dan

. \ l ° e kearah larangan Islam ; tudjuannja (jang halalarus ilukiskan dengan kata2 jang terang, itupun bilamana tu-

J n jang tidak dilahirkan, tidak kentara dengan sendiri-nja ; tu­ri' k °n^r S aitn^a ^arus tetap ; orang2 jang diwaikapi harus ditun-

) se erang -nja dan seberapa mungikin mereka menjatakan me-

136

nenma baik perwakapan itu (kabul), si-pembuat wakap dapat me­netapkan pengurusannja dengan djalan mengangkat seorang pengu­rus ; bilamana pengurusnja tida'k ada maka kepala pegawai niesdjid menurut hukum diharuskan mengurusnja, l'tupun di Djawa. Bilama­na pembuatan wakap itu sudah terlaksana sepenuhnja, (untuk itu kebanjakan dibuat surat akte) maka kedudukan-hukum daripada bara*jg itu diatur oleh hukum-adat (oleh unsur^againa dari pada- nja; ; segaia sesuatu jang harus ditindaikkan untuk mentjapai tu- d uannja adalah kewadjiban si-pengurus, termasuk djuga menuntut perkara.

Andaikata wakap itu semata2 hanja ¡bersangkutan dengan hu- . kum-tak-tertulisnja orang2 Priibumi sadja, maka akan tijukuplah de­

ngan tokoh-hukum (rechtsfiguur) demikian, jaitu pada suatu benda jang tidak ada pemunjanja dan tudjuannja ditentukan dengan leng­kap dan tudjuan itu dapat ditjapai sepenuhnja bila perlu dengan memaksa supaja aturan2 jang 'ditentukan oleh pembuat wakap itu didjalanikan, aturan2 mana ¡berlaku sebagai hukumnja wakap itu. Tetapi pada saat bilamana wakap itu bersinggungan dengan sistim- huikum-tertuli'S, jang berdasarkan faham, bahwa semua barang2 da­lam pergaulan-hukum harus ada pemiliknja (ambillah sebagai misal : Kitab Undang2 Hukum Pddana) maka haruslah dianggap, bahwa memang ada seorang pemili'k atas barang jang diwakapkan itu, djadt : ada wakap jang mempunjai seorang pengurus sebagai wakil- nja. Oleh karenanja tokoh itu mendjadi lebih lengkap, perbuatan2- huku-m mengenai wakap (misalnja mendjual sesuatu „kepada wa­kap ) dapat dilaksanakan djuga dalam hukum-tak-tertulis dengan tiada kesukaran. Dipandang dari sudut demikian, maka wakap itu dalam hal berdirinja-sendiri (zelfstandigheid) menurut hukum-adat sama dengan perkumpulan jang bertindak sebagai badan-hukum (rechtspersoon, hal. 139), hanija bedanja antara dua itu ialah bahwa wakap itu bukannja ke-banjaik-an (veelheid) jang bertindak sebagai ke-satu-an ; maka dari itu seharusnija dimasukkannija golongan ba­dan-hukum Pribumi (Inlands rechtspersoon).

2 . JAJASAN (ST IC H T IN G ).

Demikianlah wakap jang ditafsirkan seperti tadi benar2 dalam sistim hukum-adat adalah suatu djembatan jang memungkinkan pentjadangan tanah, benda, wang sebagai suatu 'badan-hukum-adat jang berdiri sendiri, ialah sebagai jajasan (stiohting), terlepas dari

137\

pembatasan- jang ada pada wakap menurut agama Islam : oieh ka- renanja terlahirlah suatu badan-hukum (recbtspersoon) jang dapat ikut serta dalam pergaulan hukum dalam batas2 jang ditetapkan di- wa'ktu mendiriikann.ja, jaitu dalam surat akte-nja. Sudah berulang“ temjata, .bahwa kemungkinan tadi dibutuhkan. misalraja bila orang ingin m enijen dirikan suatu dana (fonds) jang berbunga (jang kare­na melanggar huikum agama tak dapat dibuat wakap) dan jang.ha- silnja diperuntukkan ana'k-tjutju-nja. Perbuatan sedemikian itu ha­rus diitafsirlkan sama sekali lcoas dari aturan2 Islam jang telah ter­terima (gerecipieerd), dan dipertimbangkan menurut kebutuhannja sendiri2 ; adalah sebagai tjara „methodisdh” tidak tepat bilamana orang meletakkan perhubungan-buatan-.dengan-perketjuair.an2 anta­ra „jajasan" dan lembaga wakap. sedemikian itu akan mengakibat­kan ,,.pokrol2-an” ( juristerij) jang .kosong belaka. Bilamana orang2 Indonesia Krisiten andaikata melaksanakan perbuatan-hukum serupa itu, maika hal iini seharusnja alkan ditafsirkan menurut ukurarv jang sama dengan orang2 Islam tadi.

Mengapakah tokoh-hukum (rechtsfiguur) sedemikian itu, jang tumbuh dalam ‘keadaan sosial jang n.jata dan jang dapat didukung oleh sistim hukum-adat, tidak dapat dimasukkan dalam hukum-tak- tertu'lis dengan djalan 'keputusan2 ? Tetapi dalam keputusan- itu ha­ru^ setjara sistirn disusun kaidah2 jang bertalian satu sama lain dan jang menjadj.ikan bentuk-hukum jang tepat untuk memenuhi kebu­tuhan2 masjarakat. '

138

BA13 KE-TUDJUH. HUKUM-PERSEORANGAN (PERSONENRECHT).

Tentang kedudukan orang2 asing dari masjarakat dan pengaruh - nja perbedaan2 kelas, maka 'kesemuanya itu telah dlbitjarakan dalam bab pertama : mengenai jajasan2 sebagai badan hukum dalam bab ke-enam.

1. KEBADANAN HUKUM (RECHTSPERSOON LIjK- HEID) DARIPADA PERKUM PULAN2.

Bagaimana kedudukannja hukum daripada gerombolan2 jang te­lah menggabungkan diri dalam perkumpulan2 (hal. 124, 125), maka karena ken jataa.nn ja jang bertjorak beraneka warna, hal itu tak capat ditangkap dalam satu rumusan. Dalam sangat banijak hal maka suatu perkumpulan serupa itu merupakan kesatuan jang iberdiri sendiri, atas nama siapa pengoirusnja djuga bertindak hukum, pula jaing da­pat mempunjai wang, sebuah gedung dan tanah2, dan sebagai kesa­tuan sedemikian itu dalam perh ub un g a n-h ulk u m djuga diakui oleh masing2 orang, jang tidak tahu menahu akan persoalan- kebadanan hukum Barat (hal terachir ini ta'k dapat dikatakan terhadap semua instansi2). Diakui pula tanggung djawaib mil.knja iperkumpulan ter­hadap kewadjiban2 perkumpulan itu dan haknja perkumpulan untuk menggugat dan membela diri sebagai 'kesatuan dimuika hakim. Per­soalan2 seperti : apakah ada tanggung^djawab „subsidiair” (sebagai pengganti) (subsidiaire aansprakelijkheid) pada anggauta2 pengurus (jang bertindak hukum), atau pada anggauta2 perkumpulan, dan apakah anggauta2 bila keluar dari perkumpulan dapat menuntut haknija atas sebagian daripada milik perkumpulan (hal ini sudah lazim dikalangan orang2 Batak Tdba), maka persoalan2 ini sabanT akan dipebjahkan oleh instansi2 jang berkuasa memutuskan dan sa- ban2 akan tergantung pada faktor2 setempat jang mjata.

Dalam peraturan2 wet maka adanja badan2 hukum Pribumi ini sudah sedjak lama mendapat pengakuan (landschap'2, masjarakat2 wilajah, dusun2, d'jemaah2 Kristen, bagian2 berdiri sendiri daripada geredja, kerabat2 Minangkabau, perkumpulan2 koperasi). Suatu peraturan (untunglah) sudah ada dalam persiapan ( 1938), jaitu jang akan bermaksud mengakui perkumpulan2 dan kongsi2, asal sadija me­menuhi sjarat2-nja jang bersifat materieel dan formeel. Peraturan2 jang sedjadjar dengan itu selandj'Uitnja d'juga tentu akan disusun mengenai jajasan2 (stichtingen), untuk mend'jaga djamgan sampai bentuk „jajasan” itu dipakai untuik menghindarkan diri dari sjarat2 jang harus dipenuhi oleh sesuatu perkumpulan jang dapat diakui bcrdirinja sendiri, sjarat2 mana diperluikan untuk pemeliharaan hu­kum. Dilapangan mi, maka demi susunan tertib daripada hukum, harus t:dak mungkin ada pengaturan sebagian demi sebahagian.

139

2 . PERSEORANGAN» MANUSIA. K E T JA K A P A N U N T U K B E R B U A T (NATU URLIJKE PERSONEN.

HANDELINGSBEKW AAM HEID).Menurut hukum-adat, maka jang tjakap u-ntuik berbuat (hande-

hngsbekwaam) ialah lelailci dewasa dan perempuan dewasa, itupun sudah barang tentu dalam batas ikatan milik^kerabat dan mihk-ke- luarga, fkatan mana .— sebagaimana atjap kali sudah ternjata •— dalam pelbagai lingkungan-hu'kum tidak sama sifatnja dan tidak sama kefkuatanmja. D juga dalam suasana hukum-bapa moka perem­puan jang sudah kawin 'biasanja .dapat berbuat dengan bebas dalam lingkungannja sendiri, walaupun Jceunggula.n (overwicht) suami da­lam perkawinan-d jud'j u r (bruidschathuwelijk) amat besar. Tapi da­lam perkawinan-amibil-anak (inlijf-huwelijk) keunggulan suami tak ada sama sekali, malahan sebaliflcnja. Halnja si-suami diharuskan memberi pemhantuarmja kepada perbuatan si-isteri dalam urusannja

partikelir ~ misalnja dalam mengadjvkan perkara dimuka penga-dilan berhubung dengan perdagangannja jang didjalanikan sendiri —’ maka rupa2-nja keharusan sedemikian itu hamja terdapat dalam suatu wilajah belaka.

Menurut hukum-adat masjarakat2-hukum ketjil2 itu, maka saat seseorang mendjadi dewasa ialah saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang jang sudah .berkawin meninggalkan rumah ibu-bapa- nja atau ibu-bapa mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda jang merupakan keluarga jang berdiri sendiri. Berumah beban berdiri sendiri dapat djuga terlaksana dengan djalan menghuni bilik tersendiri dalam rumah-kerabat atau menghuni sebuah rumah dipe- karangannja ibu-bapanja atau menghuni sebuah rumah dipe.kara- ngannja sendiri. Terkadang2 tergantung dari keadaan jang senja- tanja, apakah sesuatu tjara penghunian rumah dapat dianggap „ma­sih menumpang” ataukah sudah dapat disebut „berumah sendiri” ; anggapan orang2 dilingkr.ngan situ sudah barang tenitu sangat pen- tingnja untuk penetapan ini. Anggapan orang2 setempat situ d justru dapat ternjata dan perlakuan mereka terhadapruja diwaktu tolong- menolong diantara satu sama lain bertimbal balik dan diwaktu sela­matan2 dalam lingkungan dusun situ. Bukankah disitu kelihatan apa­kah orang2 itu masih bekerdja untu'k lain2 orang sebagai penduduk penumpang atau sudah sebagai orang2 jaai.g .berdiri sendiri dan be­kerdja untuk diri sendiri dan kelihatan djuga apakah mereka diun­dang sendiri untuk ikut serta pada sedekah atau slamatan. Keadaan belum sampai umur menurut hukum-adat berachir dengan berachir- nja keadaannja sebagai anak isi rumah ; bukan asal sudah kawin begitu sadja. Dalam lebiih dari satu lingkungan-huikum pengantin- baru selama tahun atau tahun2 jang pertama tetap tergolong keluar-

0 ga orang tuanja, jang ditumparginja dalam rumahnija ; mereka se- landjutnja dididiik kearah bakal berdirinja sendiri dan mendapat mi­lik sendiri diwaktu meninggalkan rumah orang tuanja itu untuk berumah sendiri (mentjar, Dj. mandjae, Bat.).

140

Bila ada simpangan (afwijking) dari djalan jang normaal (kolot) dalam sesuatu, maka dapatlah timbul pelbagai persoalan. Bagaimana djika dalam suatu keluarga fbu-bapa meninggal dunia dan anak lakr tertua jang mengoper pimpinan, sedang-kan ia tetap tak berkawin dalam tempoh lebih lama dari pada lazimnja ; bagaimana djika ada pemuda diang'kat mendjadi pedjabat-cfesa, dan aa berdiam diruma.. dan berdiri sendiri, tapi belum djuga kaw in; bagaimana djika adu pemuda2 jang mendapat didikan ditempat djauh dari keluarganya dan sebagai mahasiswa hidup berdiri sendm dan sesudah itu sebagai budjang hidup berdiri sendiri dan dalam -keadaan demikian menerimasuatu djabatan ?

ha

tjakap berbuat itu b a to antarT .tjakap berbuat” daa.sanaksaudara^nja (wans), ^ ifcu sudah barang t21ltu tidaK

tak tjakap berouat jang ede kesukaraaa, maf e dalam hal-tegas. A g a r supaja dapat cLhrn kgn sQa], jang ,meragu--kaa,jang masing2 -boleh ^ ^ ^ g ana|kan dengan setahunja lebih dulu maka kewadjiban tadi Jilaks pergaulan hukum jangdaripada golongan .serba umum” (com-sudah lepas dari masjaraka J ^n ^ ber-buat” atau „takmuun) maka soal apakah ^ 9 Dalam h kungaT1tjakap berbuat” harus ditetap!kan ^ “ 9 dengyan pen,j a n g s u d a h m a d j u s e d e m jk ia _ m a k a u m u r la h . j a n g d ih i tu n g

tjatatan sipil atau burg fflenidjjadi pertimbangan penting. Dc-tahunan (18 tahun -), 5 4 ) sudah ditetapkan, bahwan g a n o r d o n n a n t i e ^ a a t s b m da]perkataan ..-minderjarfc ¿enfijapai penuh umur 2 1 tahunketentuan" w et berarti - be i tu )_ M erek a jaug berada da-(ketjuah bila sudan e , . gestelden) atas keputusan landraadlam perwalian (onder ^ ^ „ n i - s kepada landraad dimana ditetap- di Djawa dapat ^ ° ^ a h Z m u r mereka sudah berachir (fat.al 30 kan bahwa k e a a a a n d-ibawah 1 3 1 D j a n u a r i 1 9 3 1 , staatsbladajat 2 daripada ordonnantie 99^ mem(bahajakan> dibiarkanN o .53). O rang2 gila, se dituntut pernjataan gila, dan de-sadja; namun terhadapnja ^ berbuat. Hakim ada bertugasngan sendirinja pern-jataan t ^ akibat2-nja hu'kum -bilamanamenetapkan - w a l a u p u n -begitu tem jata sudahorang2 jang tak tjakap berbu ^ J ^ bda,ka bila didahulukanberbuat apa2 sendiri. Akan ^ mereka tadi selalu -akan diang-dalam g-am-baran bahwa perb ^ . Qjeh pengUndang-urxianggap batal (metig), hal m tsb]ad 1931 No. 5 3 tersebut. Pcrem-

fatsal, 29 f >a t .2 oleh bapa-nja atau bila ia tidak ada,ESlSTeSrlTet™» ^ W* <-«>. d» —141

i mempunjai sifat sendiri js.ng ditetapkan oleh hukum Islam ¡anu sudah terterima (gerecipieera) (hal. 178).

Orang jang berdasarkan hukum-adat tampil kemuka untuk, orar.ci lainnja disebut pada sangat umumnja wakil-nja; di Djawa misalnja djuga disebut djugul. Tentang pemeliharaan o j eh orang- lain, jang meliputi orang2 jang tak tjakap berbuat, maka untuk pemeliharaan itu di Ambon ada istilahnja. ialah pedindungan.

Keharusan (orang jang tak tjakap berbuat) untuk diwakih menim­bulkan perbuatan-hukum : m e w a k i 1 k a n a i r i n j a (jcepa-da orang jang tja/kap berbuat). Dalam ha'P, dimana kedatangan sen­diri ada suatu keharusan, namun karena sebab- jang sangat penting terkadang2 masih dapat, dijuga mewakilkan buat dirirja ; lericadang- kepada wakilraja itu (djuga disebut : wakil) dibawakan suatu tanda jang kelihatan, jaitu seputjuk keris (hal. 134).

Amat seringnja terdjadi bahwa sanaksaudara2 mendjadi wakilnja satu sama lain, begitu dijuga h ain j a dengan suami jang mewakil: jsterinja ; tidaik ditanjalkan apalkah ada suratnja kuasa atau apakah ada perbuatan pemberian perintah tegas untuk perwakilan itu , ru- pa--nja hap terachir ini hanja perlu, bila jang aikan ‘mendjadi wak’!- itu orang2 asing ; maka hal terachiir ini dipengadi'lan dalam lebih dari satu lingkungan-hukum adalah terlarang, tapi sebal.knja terka­dang2 diharuskan. Dipengadi'lan gubernemen sudah barang tentu diharuskan oleh wet : pemberian (kuasa chusus jang .tertulis (bijzon- dere schriftelijke volmacht).

Bila ada terdjadi selkali tempoh, ibahwa seseorang buat mengha­dap pengadilan proatin mewakilkan untuk dirinija sendiri seorang penghulu rakjat di Lampong (dan dalam2 tempat), atau 'seseorang (jang patut) jang dengan begitu sadja menghadap untuk dia, maka hal sedemikian itu diperbolehkan, sebagaimana djuga di Djawa orang boleh mengirimkan walcil-nja. kerapat-desa. Angkatan se­orang wakil 'tetap (di Lampong disebutnya pegang penjambul) ada­lah suatu perbuatan-hukum j a n g formeel, hal mana ada kalaiija ada hubungannja dengan kesegenian penghulu-rakjat jang' tidak suka mendjadi ailatmja printah pangreh-pradja ; suiku Dajak Ngadjo me- njebut alat sedemikian itu aso blanda, ialah andjing iketjil 'kepunjaan Belanda.

Tentang walkiip tetap (merangkap mendjadi pembantu2) daripa­da .pemegang2 pangkat-adat (beudeul, Gaj., iungkat, Min.) bual pekerdjaan jang kurang penting, atau untuik m enggan tinja dnvaktu mereka sendiri 'tidak ada, maka hal.ini sudah dikenal dimana2. M e­ngirimkan wakil buat naik hadiji bilamana orangnja sendiri tak dapat p.ergi, adalah suatu perbuatan sal(jh, •

142

BAB KE DELAPAN. HUKUM-KESANAKSAUDA - RAAN. (VERWANTSCHAPSRECHT).

Sebagai atjara mengenai hukum-kesanaksaudaraa'n dapat dikemu- kakan lebih dulu, apakah akibat2-r.ija sosial daripada kesanaksauda­raan biologis itu. dan seketika jang menjolok mata ialah bahwa di Nusantara ini kesanaksaudaraatn ibiologis dari satu mal,jam, mungkin djuga amat berbagai2 dalam ak:bat"-nja hukum. Pada unnminja di­mana- terdapat suatu 'hubungan-hukum jang berdasarkan atas kesa- nansaudaraan orang-tua terhadap anak'-nja, tapi isi daripada hu­bungan itu adalah berbagai2 dan dapat tergantung dari lnaitijam per­kawinan orang-tuanija. Dimana2 terdapat akffbat2-hukum jang dise­babkan karena berasal dari keturunan sesama nenek-mojang, akar, tetapi sampai berapa djauh berlakunja, atau apakah berla'kunja ke- arah kedua fihak atau hamja kesatu fihak, dan apakah keturunan dari satu fihak sama akiibat2-n'ja huikum dengan keturunan dari fihak lainnja, hal" serupa itu tidak dapat ditentukan terlebih dulu dan harus diselidiki tersendiri untuk suku bangsa masing2.

Bila disebutkan semua matjam perhubungan2 hukum dimana ke­sanaksaudaraan ada arti 'bagimja, maka sedemikian itu akan meng- akiibatmja ulangan2 dari-pada apa jang telah diuraikan, jang tak ada gunanja disini. Ikatan kesanaksaudaraan sebagai faktor dalam su­sunannya masjarakat--hukum telah dibitj arakan dalam bab pertama ; mengenai hubungan2-kesanaksaudaraan jang m en g akibatkan perin- tang perkawinan atau ketjenderungan peiikawinan, maka hal mi se- mestinija ditekankan dalam bab hukum-peikawman ; soal i kata,n ke- sanaksaudaTaan sebagai dasarmija hukum-waris seharusnja dibitja- raka.n dalam bab : hukum-waris ; tentang ikatan kesanaksaudaraan sebagai dasar buat pertanggungan djawab bersama terhadap suatu kedjahaitan atau pelanggaran, maka soal mi termasuk bab : hukum- pelanggaran (delictenrecht) dan mengenai tuntutan2 hak daripada seorang waris berhubung dengan haik2-nja salah seorang dari mereka atas sebidang tanah-pertanian. atau pelkarangan. maka hal ini telaH disinggung dalam bai> : hukum-tanah.

Disini jang akan dibitjarakan sendiri2 hanja soal2 :1 • kapan dan sampai dimana anak d'iwaktu lahir® j a terhadap se­

orang perempuan dan seorang lelaki berkedudukan seoagai ke- dudukan.nja anak terhadap ibu dan bapa ;

2 . bagaimana kedudukan anak diwaktu lahirnija terhadap golo­ngan2 sanaksaudara ilbunja dan bapanja;

3. bagaimana tjaranija pemeliharaan amaik jang ditinggalkan mat> kedua orang-tuanja (atau salah seorang daripada oiang-tuanja) ,

143

bagaimana tjaranja orang dengan djalan suatu peiibuatan-hukum dapat menimbulkan hubungan2-hukum jang sama dengan hubu- ngan2-hukum kesanaksaudaraan biologis jang ditetapkan o'leh keadaan sosial.

Pembitjaraan soal2 ini bertemu dengan ketegangan jang terdapat dikalang&n banijak suku2 bangsa Indonesia antara keluarga dan ke­rabat (suku; bagian-clan), ketegangan mana djuga nanti akan ter- njata dupembitjaraan tentang hukum-perkawiinan, hukum-kekajaan- perkawinan dan hukum-waris; jaitu ketegangan jang sedari dulu selalu terdapat, tapi .pada masa achir2 ini mendijadi lebih kuat karena keadaan penghidupan, dan pengembaraan jang makin meluas meli­puti seluruh Nusantara dan makin meningkatnja kesadaran akan kemerdekaan dikalangan pemuda karena pendidikannja sekolah se- tjara Barat. Oleh karena itu maka malkui tambahlah arti keluarga, hal mana mienjebabkan makin merosotoja arti kerabat.

1. PERH U BU N G A N ANAK DENGAN ORANG-TUANJA

Dalam persoalan jang telah dirumuskan diatas tadi telah dibeda-- kan antara hubungan-kesanaksaudaraaii sebagai pengertian umum dan hubungan chusus daripada anak terhadap orang-tuanja. Ini ada­lah perlu antara lain karena dalam susunan hukum-bapa, sanaksau- dara2 dari fihak ibu terhadap si-anak ibenilai lain dari pada ibu itu sendiri 'terhadap anaknja dan dalam susuman hu'kum-kis^a sanaksau­dara2 bapa djuga lain liilainja dari pada bapa itu sendiri terhadap anaknja itu. Pellbagai perhubungan (ikewadjiban memelihara, hak untuk dipelihara, wewenang untuk mengawinkan, perhubungan2 berdasarkan hukum-waris) timbul bersama2 ibunija sebagai ibu atau bersama2 bapanya sebagai bapa, djadii tidak sebagai mereka orang jang paling karib dianitara sesama anggauta=-nija kerabat.

Anak jang lahir dalam perkawinan ber-ibu orang perempuan jang melahirkannja dan ber-bapa orang laki2 suami perempuan itu, jang menurunkan dia. Dalam uraian ini sudah termasuk simpangan2 (af- wijkingen) daripada keadaan 'bi'asa (normaal), jang mungkin ter­dapat.

A n a k j a n g l a h i r d i 1 u a r p e r k a w i n a n da­lam beberapa lingkungan-hukum ber-ibu serupa tadi, ialah oranq perempuan tak berkawin jang melahi’rkanmja, sebagaimana seorang anak terlahir dalam perkawinan ber-ibu si-perempuan jang melahir­kan dia. (Minahasa, Ambon, Timor, Mentawai). Tapi ditempa t2 lain terdapat perlawanan keras terhadap ibu jang tak berkawin 'beserta anaknja, dulu pada awal mulanja mereika kedua2nja (karena takut akan adanja kelahiran jang tidak didahului oleh upatjara2 penkawin-

144

an?) diasingkan dari masjarakat, dibunuh (dimatikan lemas) atau di­persembahkan kepada radja sebagai budak, djadi mereka itu dipin­dahkan kegolongon : orang2 asing buat masjarakat. Tapi berhubung dengan itu dulu dan sekarang ada aturan2 untuk mentjegah supaja ibu dan anaknja djangan tertimpa nasib jang malang itu, jaitu : k a - w i n p a k s a jang dipaksakan kepada si-lelaiki, jang ditundjuk oleh si-perempuan — jang memang tunangannja atau bukan — se­bagai jang menurunkan anak jang masih ada dalam kandungannja itu dan lelaki itu dipaksa supaja 'kawin dengan perempuan itu (ra- pat-marga di Sumatra Selatan misalnja dalam hal ini masih sadja mendjaluhkan hukuman supaja si-lelaki mengawin perempuan sede­mikian itu, demikian djuga hakim di Bali, jang menghukum si-lelak- bila ia tidak mau mengawin si-perempuan, sedangkan kepala2 desa di Djawa pada hakekaitnja dalam hal ini menitjoba memaksakan per­kawinan), dan 'k a w i n d a r u r a t , ialah perkawinan seba­rang lelaki (umpama : kepala desa) dengan perempuan jang hamil, supaja nanti kelahirannya bajii dijatuh didalam perkawinan (nikah tambelan, Dj. = laphuwelijk, pattongkoq siriq, Bug. = penutup malu = schaamte-bedekking). Karena sekarang pembuangan keluar masjarakat itu sama sekali tidak atau djarang (Nias) ada, maka ibu dan anak diluluskan, walaupun si-anak tetap disebut dengan sebagai anak-diluar-perkawinan atau astra (Bali), haram djadah (D j.), ketjuali bila ada alasan2 tertentu untuk mengesahkan anaac itu (Bali), terkadang2 perlu dilaksanakan pembajaian- adat supaja diperbolehkan tetap tinggal dalam masjarakat. Perhubungan anak dengan ibunja jang tak berkawin, selandjutnja sama dengan perhu­bungan anak terla'hir dalam perkawinan, dengan ibunja. Di Bali m a­ka anak2 jang terlahir dalam suatu masa berhidup kumpu se e u aperkawinan, adalah sah. . .

Di M inahasa, maka pefhubungan seorang anak dengan lela*. tak. berkawin jang m e n u r u n k a m i ja , sama dengan perhubungan anak dengan bapanya. Bilamana si-bapa buat dia sendiri menffhendaa su­paja perhubungan itu tidak d ira g u k a n , maka ia membenKan kepa­da ibunja anak itu - bila ia (lelaki) tidak b e r h i d u p kumpul dengan dia (perempuan) -— suatu hadiah, j-ang disebut t i uc ( a . Ditempat" lain, maka anak terlahir diluar perkawinan menurut hu- kum -adat: tidak ber-bapa. Anak2 daripada Bumiputera KristLu ter­kadang-' (djuga b e r d a s a r k a n a t a s ordonnantie tahun 193:> staabsblad no. 7 4 ) d a p a t disahkan diwaktu perkawinan {dterken, Ambon).

Bilamana seorang anak diturunkan dalam perkawinan oleh seo­rang lelaki jang bukan suaminja si-perempuan, maka menurut hu- kum-adat bapanja anak itu ialah lelaki suaminja perempuan itu, ke- tjuali bila ia m e n o la k ke4 >apa-an-nja dengan alasan2 jang dapat d,- te rm a hal mana s e t id a k 2- n j a mungkin di Djawa ; lagi berlainan hal-

145

nja di Minahasa, dimana dalam hal itu bapa-d'iluar-perkawinan tetap •liakui sebagai bapa, tentu sadja sepandjang ke-bapa-an-nja ini su­dah dapat ditetapkan.

Menurut hukum-adat rupa2-mja tidak mendjadi soal tempoh be­rapa lama s e s u d a ' h n j a p e r k a w i n a n anak itu lahir : hukum Islam menuntut lahimija anak harus dalam tempoh lebih dari enam bulan sesudah perkawinan supaija anak itu dapat dianygap saJh ; aturan ini 'boleh djadi disana sinii (tapi setidak—nja d j arang) berpengaruh atas hukum-adat; namun dengam pasti aturan tadu tidak mengubah aturan kawin-paksa dan kawin-daruiat tersebut tadi.

Menurut ‘hukum-adat, maka anaik jang lahir s e s u d a h t e r ­p u t u s perkawinan, ber-ibapa lelaki ¡bekas suami, itupun bilamana 'nhirnja i'tu dalam tempoh lamanja orang hamil; tempoh empat ta­hun jang ditetapkan oleh hukum Islam tidak pernah diambil oper dimanapun d,juga.

Anaik2 'keturunan bini" selir adalah terbelakang dibanding dengan anak2 ¡keturunan bini tua, ialah mengenai ha:k atas warisan dan hak atas deradijat 'baparoja.

Akibat-hukum daripada perhubungan anaik bapa, a.an anak — ibu, dima.na2 adalah larangan perkawinan bapa dengan, arjaknja pe­rempuan dan ibu dengan anaiknja laki2 ; selandijutnja bertimbal ba­lik : kewad'jiban memelihara dan hak terpelihara; namun dalam pada itu tuntutan- hak danpada kerabat unilateraal dalam had" ter­tentu — hal ini lebih landjut dihalaman 152 — mengesampingkan kewad'jiban2 dan hak2 daripada ibu atau bapa ;bapa ■ kalau ad'a — selalu harus bertindaik sebagai ivali-nja (wakilnja) anakmja perem­puan pada perkawinan2, jang diselenggarakan menurut aajaran aga­ma Islam. Hukum-waris-tanpa-wasiat (ab intestato) antara orang fua dan anak2-nja lebih 'berdasar atas susunan sanaksaudara dan pada berdasar aitas perhubungan : ibu/bapa — anak ; tapi praktijk- n.ja penghibahan (toescheiding) menijebabkan setjara praktis 'banjak perubahan dalam hal ioii, misailnja untuk menguntungkan perhu- bungam antara seorang bapa Minangkabau dengan anaknja (hal. 205).

Tantang penghapusan dan penanggalan perhubungan orang tua— anak2 dengan dijalan suatu perbuatan-hukum, pula pengusiran seorang anaik laiki2 oleh ’bapanja maka kesemuanja itu setjara lor- meel mungkin djuga dipelibagai lingkungan-^hukum : mangahphp (Angkola), pegat mapianaq (Bali).

Mengenai menitipkan seorang anaik kepada orang ladn untuk dipe- lihararuja sebagai anaq piara, maka untuk ini seorang tua dimana2 di­perkenankan sebagai suatu tjara untuk memenuhi kewadjibannju

i 46

melihara anak. Ini adalah sama seka'i bukannja menjerahkan anak '^ntuk diambiJ anak (adoptie) oleh orang lain, masalah mana akan dibitjarakan nanti, walaupun terkadang2 menurut ksnjataannja sukar untuk dibeda2-kan.apakah adoptie atau apakah penitipan sadja. A- nak jang dititipkan dapat sewaktu2 diambil kembali oleh orang tua- nja dengan penggantian beaja2-nja.pelihara.

2. PER H U B U N G A N ANAK TER H A D A P GOLONGAN-’- SAN A KSA U DA RA 2-NJA.

Masih kurang diselidiki orang, apakah anak terlahir diluar per­kawinan, jang ibunja tak berkawin itu bersama anaknja hampir2 ti­dak diperbolehkan dalam masjarakat, apakah anak sedemikian itu perhubungannja dengan golongan sanaksaudara fihak ibunja sama sekali seperti anak jang sah. Di Redjang tidak demikian, anak terla­hir diluar perkawinan tidak termasuk golongan-sanaksaudara ; di Djawa rupa2-nja dalam hal ini tidak ada bedamja antara anak ter­lahir diluar perkawinan dan anak janig sah. Dimana perhubungan anak terlahir diluar perkawinan dengan bapanja diakui orang, maka pengakuan ini berlaku djuga atas perhubunganmja dengan golongan- sanaksaudara-nija.

Sebagaimana telah diseibutkan sebagian dalam bab pertama, maka susunan-sanaksaudara sosial (pernilaian sosial daripada perhubung­an kesanak-.saudaraan biologis) adalah sangat berbeda2-nja.Disini hanja beberapa soal2 pokok sadja dapat diulangi dan dibitja­rakan.

Dalam beberapa lingkungan-hukum maka perhubungan antara golongan-sanaksaudara fihak bapa dan anak, adalah sama sekali sa­ma dengan perhubungan antara anak itu dan golongan-sanaksauda- ra fihak ibunja, inilah susunan-sanaksaudara berhukum ibu-bapa (ouderrechtelijk), atau „parenteel”, atau d'juga „bilateral”. Menge­nai larangan2 perkawinan, ketjenderungan2 perkawinan, hukum-wa- ris, kewadjiban-pelihara, maka peiihubungan2-hukum kesemuanja itu berlaku kedjurusan kedua fihak dengan mutu jang sama. Dalam pa­da itu harus dibeda2-kan dua tokoh satu sama lain. Pertama : suku2 -*msalnja didaerah2 pedalaman Kalimantan dan Sulawesi Tengah, di­mana dipertahankan sistim berhukum ibu-bapa (ouderrechtelijk) tadi, ialah karena „endogamie” (kebiasaan, berkawin dalam jingkungan suku didaerah kediaman sendiri) dan karena terpentjilnja suku2 itu dari orang2 asing. Mungkin dalam lingkungan situ sudah mendjadi kebiasaan bahwa suami2 berdiam kumpul serumah dengan kerabat- isteri-.nja, sehingga anaknja itu lebih banjak menampak kerabat ibu­nja dari pada kerabat bapanja, tapi menurut bukum-adat tidak ada perbedaan antara kedua2-nja itu. Kedua : suku2 bangsa jang hidup-

14Z

nja tidak dalam iikatan genealogis jang agak besar, melainkan setja- ra sekeluarga demi sekeluarga susunamija dimasjarakat2 territorial seperti di Atjeh, di Djawa dan sebagai,nja. Disana sudah semestinja tidak ada lagi „exogamie” atau „endogamie ber­dasarkan atas penggolongan2 sanaksaudara (tapi terkadang- ada „endogamie" dusun2) : larangan2-peikawinan, ketjenderungan-perkawinan, hukum-waris, kewadj iban^,pelihara adalah kedjuru- san kedua fihak : sama. Hanja bila diamat-amati dengan sak­sama, maka terdapatlah kebiasaan2 jang mungkin berasal dari zaman susunan-sanak-saudara jang segi-satu- (eenzijdig) atau dari zaman jang sudah dipengaruhi oleh susunan-sanaksaudara segi-satu, jang berasal dari dasar hukum Islam ; namun dugaan2 mengenai asal se­rupa, itu adalah terlepas dari pertanjaan : apakah funksi dan nilai menurut hukum daripada kebiasaan2 itu pada waktu sekarang. Di- pulau2 Kalimantan dan Sulawesi terlihatlah dari pedalaman kedlju- rusan pantai2 suatu peralihan 'dari suatu susunan jang terikat da­lam masjarakat2 suku, kaum dan kerabat dan jang berhukum ibu- bapa kearah suatu gerombolan berhukum i'bu-ibapa, jang hanja ter­diri dari keluarga2 sadja (dalam lingkungan dusunnja).

Dalam lingkunjgaai2-hukum lainnja maka susunan-sanaksaudara sosial bukannja segUdua (tweezijdig), melainkan segi-satu (eenzij­dig) ialah umiflateraal dan berhuikuim-bapa atau berhukum-iibu.

Ini beranti pertama : bahwa golongan2-sanaksaudara (kerabat2, bagian2-clatn) jang dapat dikenal sebagai kesatuan2 sosial •— ialah karena susunamnja kedalam dan karena sebagai kesatuan tersangkut pada tanah, rumah2 dan benda2 lainnja, pula pada nama, gelar, pangkat-adat atau apapun djuga — adalah terdiri atas dasar ketu ­runan segi-satu, dan oleh karenanja golongan2 itu hanja meliputi mereka jang berasal keturunan menurut garis lelaki dari sesama ba­pa leluhur, atau, hanja meliputi mereka jang berasal keturunan me­nurut garis perempuan dari sesama ibu leluhur. Bila dalam satu ma­sjarakat kedua dasar susunan jang segi-satu itu menjebabkan tim- bulnja kesatuan sosial jang njata .— djadi : golongan2-sanaksaudara segi tjampuran — masing2 dengan penghulunja sendiri, namanja sendiri, milik2 dan kepentingan2 sendiri, djadi dimana masing2 (de­ngan saudara2-nja laki2 dan perempuan seibu-ibapa) termasuk dua clan jaiitu clan sanaksaudara se-ibu leluhur menurut garis perempuan dan clan sanaksaudara (lain sekali) se-bapa leluhur menurut garis lelaki, maka dalam hal ini dapatlah susunan ini diberi nama jang terkutip dari ilmu ethnologie, ialah susunan „dubbelunilateraal ’ (se- gisatu-rangkap). Betapa patutnja dan mudahnya susunan rangkap

s

serupa itu buat anggauta2 jang bersangkutan, tapi mungkin sangat ruwetnja buat si-penindjau dari luar ; dalam ketertiban-hu'kum ma- sjarakat- di Nusantara sekarang ini, maka susunan sedemikian itu djarang terdapat. Hal menurut naluri d'iwariskannja barang2 terten­tu dari bapa kepada anak2 dan disamping itu barang2 lainnja dari ibu kepada anak perempuan, adalah boleh djadi suatu tjorak „dub- belunilateraal” (Atjeh, Savu).

Namun dikalangan banjak suku2 bangsa Indonesia dasar susunan segi-satu belaka itu mengakibatkan penggolongan sosial jang ken- tara dan baik clan „matrilineaal” maupun dan „patrilineaal ’ adalah satu '-nja dasar susunan sanaksaudara ; lebih2 dengan djalan ..exo­gamie dapatlah dipertahankan ke-segisatu-annija itu.

Djadi ke-segisatu-an susunan sanaksaudara itu 'beraiti, keaua bahwa dalam susunan serupa itu perhubungan sosial anak jang me­nurut susunan termasuk golongan kesanaksaudaraan ibu berada d a­lam suatu perhubungan sosial lain terhadap golongan sanaksaudara dari fihak bapanja. Dalam susunan berhukum-ibu maka golongan sanaksaudara fihak ibu buat si-anak adalah penting dalam sosialnja, melebihi s e g a l a 2 - n j a ; seketika anak itu dalam segala perhubuugan'-- nja h i d u p mendjumpai . l a r a n g a n - p e r k a w i n a n , begitu djuga e. g mie, berlaku digolongan situ ; dalam susunan berhukum bapa clan-nja bapalah sedemikian djuga pentingnja. Tapi itu t i berarti, bahwa dalam susunan berhukum-ibu bagian^clannja bapa (b e rh u W ib u ) buat seanak seakan2 t i d a k a d a arto ja ; djuga tak berarti, bahwa dalam susunan berhukum-bapa bagian - clannja ibu ( b e r h u k u m - b a p a ) buat si-anak seakan2 t a k berarti• Di Minangkabau misalnja g o l o n g a n kerabat bapa (bakc bah) d.pelba- gai u p a t j a r a 2 ada w a k i l n j a , tericadang2 golongan tadi datang meno­long untuk nafkah si-anak, ada ketjenderungan tegas « ^ perka­winan dengan golongan itu, dan mereka dapat d ^ g a n ^ h u l u , orang2 asing lainnja mengoper barang - n j a sua u era a j .

habis mati. D.daerah2 Batak dimanaaal) pertama2 adalah penting b u a t seorang pemuda .arena <ha tjen^

derung akan memilih bakal ^ k t l ^ i p e r i u b u n g a nlandjutnja buat dia adalah n1 1 1 1 /TViHa) ianq telah^ dibicarakan (hal.

1 iin.tuik nembaiaran „djudjur -nija anaKnja.bemkan sumbungaiwi'ja u mu*. jjci , , , . ,dan seterusnja. Djadi walaupun hamja satu dan kedua golongan-sa- naksaudara (biologis) ber-segi-satu itu jang mendjadi penting da­lam sosialnja d is u a iu masjarakat, namun buat seorang anak, gok>

14S>

ngan- (segi-satu) daripada bapa dan ibu keduanja mempunjai arti sosial, biarpun golongan-bapa artinja djauh lebih besar dalam suatu susunan berhukum-bapa dan golongan-ibu djauh lebih besar da­lam suatu susunan berhukum-ibu. Tapi apa jang dikemukakan disini ini hanja lengkap, bila dikalangan suku-bangsa bersusunan sanak- saudara segi-satu (tunggal) itu, hanja mempunjai satu matjam 'tjara perkawinan, seperti di Minangkabau dan dikalangan orang2 Batak - Toba (hal. 165). Namun ada djuga suku2 bangsa Pribumi, dimana terdapat (paling sedikit) dua tjara perkawinan, ialah perkawinan djudjur (bruidschathuwelijk) jang mengakibatkan si-anak termasuk bagian-clannja bapa (berhukum-bapa), dan perkawinan ambil-anak (inlijfhuwelijk) jang mengaikibatkan si-anak termasuk bagian-clan­nja ibu (berhukum-bapa). Disini ibu (kerabatnja) adalah penting se- luruhnja dalam arti sosial buat si-anak. Bila perkawinan2 ambil- anak itu hanja merupakan perketjualian sadja, maka susunan-sa- r.aksaudara itu tetap bersifat hukum-bapa ; bila andaikata perka­winan2 ,ambil-anak itu mendjadi aturan tetap (Saparua?), maka ini mau tidak mau akan menimbulkan susunan berhukum-ibu. Bilamana perkawinan2 „djudjur" dan perkawinan2 „ambil-anak' sama se- ringnja terdapat (seperti di Redjang, hal. 19), maka golongan2 sa- naksaudara, jang sosial kentara njata, terdiri dari sanaksaudara ke­turunan dari sesama leluhur-bapa atau sesama leluhur-ibu dan ter­gantung dari bentuknja perkawinan orang tuanja keturunannja itu diukur apakah menurut garis lelaki atau menurut garis perempuan. Dengan demikian belum diperoleh susunan „parenteel”, belum pula susunan „dubbelunilateraal” dan tidak dapat djuga disebut segi-ba- pa atau segi-ibu, karena perketjualiannja djumlahnja akan sama de­ngan aturannja pokok jang .toch dapat ditetapkan lebih dulu dengan sebarangan sadja (walaupun di Redjang terdapat alamat2 kearah patrilineaal) — akan tetapi disini adalah golongan2 sanaksaudara (suku) jang tersusun segi-satu, jang satu berdampingan dengan jang lain, sedangkan garis jang menetapkan matjam ke-segisatu-an itu saban2 melonftjat dari segi-bapa ke segi-ibu (tergantung dari bentuk perk^winannja) ; djadi dapat disebutnja susunan sanak-saudara ,,bet ganti2 (alternerend). D ju ga dalam pada itu maka sudah ba­rang tentu kedua golongan2 sanaksaudara, dari fihak bapa dan dari fihak ibu, penting dalam sosialnja buat si-anak, tapi selalu salah satu dari keduanja adalah primair, jang lain : sangat secundair. Suatu su­sunan „berganti2 (alternerend) (dimana rupa2-nja sebagai gedja- la-pengantar (begeleidend verschijnsel) : ialah lembaga penjerahan anak dari bagian-clannja ibu kepada bagian-clannja bapa) boleh dja-

.150

di disana Sini di'kepulauan Timur Besar ada texdapat.Suatu susunan sanaksaudara segi-satu dapat memperoleh tjorak

hukum-ibu-bapa jang tertentu, bilamana (seperti di Bali; exogamie tidak ada atau mendjadi tak terpakai lagi (Mentawai) atau perka­winan didalam lingkungan bagian-clan diperkenankan untuk meng­hindari biaja2 jang besar (Timor Tengah), atau bila ada perkawin­an matjam ketiga jang mengakibatkan si-anak kedudukannja ter • hadap susunan2-sanaksaudaranja bapa dan ibu kedua2-nja sama sa- dja (semendo radjo radjo, Redjang ; tambik anak djurai duwa ne­geri duwa, Pasemah). Dikalangan orang2 Semendo dan Rebang di Sumatra Selatan jang susunannja berhukum-ibu, maka anak jang tertua bersama inti kekajaannja kerabat atau ketkajaan keluarganja mempertahankan hukum-ibu dengan djalan bentuk perkawinan jang dipilihnja (tunggu tubang), tapi buat lain2-nja disitu susunannja berhukum-ibu-bapa, itupun karena terdjadinja perkawinan semendo- anaq-tengah.

Suatu perkara jang penting tapi masih kurang diselidiki orang ialah soal sampai dimana pemutusan ikatan2 kesanaksaudaraan se­bagai akibat pendirian dusun (hal. 22 84) ada pengaruhmja atas exogamie (pasti tidak „selalu” dan pasti tidak „tak pernah” ). M e­ngenai kemungkinan membelah golongan exogaam itu karena dia­dakan suatu perkawinan, maka hal ini sebagaimana dibawah ini, di- halaman 162. Soal dimana suatu keluarga berdiam, dikerabatnja ba­pa (patrilokaal) ataukah dikerabatnja ibu (matrilokaal) adalah m e • n u r u t k e n j a t a a n n j a penting sekali buat si-anak, tapi per­hubungan2 menurut hukum-adat dengan (golongan2) sanaksaudara dapat djuga menerobosnja ; di Kalimantan misalnja maka walaupun disana ada perhubungan2 menurut hukum ibu-bapa, tapi si-isteri hampir selalu, setidak2-nja sesudah lahir anaknja jang pertama, su­ka berdiam dalam lingkungannja sendiri.

Tjorak umum daripada susunan-sanaksaudara Indonesia ialah apa jang disebut pernilaian-sanak-saudara setjara menurut „abu”-nja (klassifikatorisch). Seluruh angkatan (generatle) dari fihak orang- tuanja terhadap si-anak dalam beberapa hal berkedudukan sama se­perti bapanja atau ibunja sendiri terhadapnja. Perbedaan angkatan (generatie) menjebabkan larangan perkawinan.

3 . PEM ELIH A RA A N A NA K 2 P IA TU .

Bilamana dalam suatu keluarga tiada salah seorang dari orang- tuanja, pada hal disitu ada anak2-nija jang belum dewasa, maka d a­lam suatu wilajah jsng susunan-sanaksaudara-nja b e r h u k u m i b u - b a p a seorang orang-tua jang masih ada itu meneruskan memegang kekuasaan ibu-bapa — melainkan bila anak2 itu diserah­kan kepada kerabat daripada jang mati itu, sebagai halnja dikalang­an suku Dajak-Ngadju djika suaminja itu adalah orang asing. Bila­

15»

mana dalam wilajah berhukum-ibu-bapa sedemikian ’itu kedua orang-tuanja tidak ada, maka wadji'blah sanaksaudara2 (kerabat') jang terdekat daripada salah satu segi jang berkesempatan paling bank, memelihara anak2 piatu itu. Djustru dalam pada itu sudah barang tentu sangat pentingnja soal dalam suasana apa anakJ itu terdidik dimasa orang-tuanja masih hidup. Djuga soal pembajaran diwaktu perkawinan orang-tua mj a du'lu berpengaruh pula atas soai pemeliharaan tadi, sebagaimana halnja dikalangan beberapa suku2 D ajak di Kalimantan. Anak2 jang sudah agak besar mengambil ke- putusan sendiri menurut sukanja sendiri. Bagaimana saban- penye­lesaian,nja jang concreet sebagai akibat kedua faktor tadi, ialah : sanaksaudara terdekat dan soal kesempatan terbaik (terlepas dari ketjenderunganraja anak2), maka hail ini -adalah urusan kerabat. D ji­ka tentang hal ini ada timbul kesukaran2 atau 'bilamana tiada se- orangpun jang tersedia ataupun jang tersedia itu adalah seorana jang tak tjakap, maka idi Djawa dan Madura untuk itu diangkat se­orang wa-li (voogd) oleh pengadilan landraad (bab II ordonnantie 31 Djanuari 1931, stbl. 110. 53).

Bila dikalangan suatu suku bangsa bersusunan-sanaksaudara s e g i - s a t u salah seorang orang-,tua meninggal dunia, jang t i d a k menjerahkan anak2-nja dibawaih kekuasaan kepala"-kera- bat-nja sendiri — djadi di Minangkabau jang mati itu bapan.ja dan di Batak, Lampong dan Bali jang mati itu ibunja dalam perkawinan djuidjur — maka seorang orang-tua jang masih hidup meneruskan dengan seorang diri pegang kekuasaan-kerabatnja. Bila dalam ke­adaan sedemikian aitu meninggal dunia djuga seorang orang-tua la- mmja itu ■— djadi dia 'janig menjerahkan anak-nja dalam lingkungan kekuasaan kerafbatnija sendiri — maka lantas nampaknja tegas ke­tegangan antara keluarga dan kerabat. Di Minangkabau anak2 itu tetap berada dibawaih kekuasaan kerabat ibunja (jang mati) ; bapa- nja akan pcrdulikan kepada mereka sedemikian rupa sepandjang keadaan2 senjatanja memgind'mkanmja. Dikalangan orang2 Batak, begitu djuga di Bali maka ibunja anak2 sesudah mati,nja bapanja te­tap sebagai pendidik anak2-onjja iitu bertinggal dalam kerabat bapanja baik sebagai isteri daripada ad'ik lelaki baparuja anak2 (perkawinan- lpar = zwagerhuwelijik), .maupun sebagai djanda. Bila ia ingin akan kembali kekerabatoja sendiri atau akan kawin dengan seorang lain maka dapatlah ia berfcjerai dari kerabat 'suaminija, tapi anak--nja tetap berada dilbawah kekuasaan kerabat bapanja tadi. Bila terajadi hidup-kekaluargaan mendjadli lebih kokoh dari pada apa jang biasa sebelum itu, ialah sebagai akibat pengembaraan atau keadaan2 lain- nja, maka keadaan2 jang sudah berubah itu dapat melanggar aturan pokok tadi dengan djalan mempergunakan a'turan perketjualian

152

demikian : „ketjuali bila kepentingan anak2 mengharuskan me­reka sampai aew asanja bersama ibunja merupakan suatu ke­luarga dibawahi keku?saan-orang~tua j'aitu ibunja, dan dalam sua- sana-kehidupan dimana mereka sudah biasa” . Tapi barang2~nja da­pat tetap diurus oleh kerabat fihak bapa itu, walaupun hasilnja harus diperuntukkan buat anak2 itu.

Bila kedua orang-tua meninggal dunia, maka dirsusunan-sanaksau- dara segi-satu kekuasaan atas anak2 — arfcireja baik pemeliharaan dirinja maupun barang2~nja —• d jatuh (tetap) pada 'kepala2 kerabat ■atau tertua2 kerabat jarng sudah menguasai keluarga itu seluruhnja" (ialah berhubung dengan perkawinan orang-tuanja).

M engenai akibat pertjeraian perkawinan bagi anak2, ihal. 188.

4. PEN G A M B ILA N ANAK.

Diatas tadi sudah tersinggung, bahwa dengan djalan suatu per- buatan-huikum dapatlah orang mempengaruhi adanja pergaulan55 jang berlaku sebagai ikatan2 kesanak-saudaraan biologis jang dalam sosialnja telah ditentukan. Jaitu pertama : halnja kawin-ambil-anak (inJijfhuwelijk). Dalam suisunan berhukum bapa, dimana kepala^ kerabat berkuasa atas dan akan diganti oleh anggauta2 kerabatnja jang bersanaksaudara dengan mereka menurut garis keturunan lela­ki, maka dalam hal dni dengan djalan perkawinan tanpa „djudjur" kesanaksaudaraan biologis itu liwat si-iibu dapat diberinja terus se­demikian rupa, sehingga anaik2 jang aikan lahir termasuk golongan kerabatnja si-ibu (jang berhukum-bapa). Tentang masalah'ini diba­lakan g lebih landjut diruangan ,,hukum-perkawinan” .

Tentang memungut seorang anaik jang tak termasuk golongan ke­rabat, kedalam kerabat, sedemikian sehingga timbul suatu hubungan jang sama dengan hubungan jang telah ditetapkan dalam sosialnja atas dasar kesanaksaudaraan biologis, maka perbuatan sedemikian itu adalah sangat umum di N usantara sini ; perbuatan itu disebut dalam bahasa Belanda : „kindsaainneming” ialah „adoptie” (ambil an ak ).

Pertama2 harus ddlkemukakan a m b i l a n a k o r a n g 2 a s i n g kedalam suatu golongan-sanaksaudara jang kokoh ialal; bagian-clan, atau kerabat. Anaik itu dilepaskan dari limgkung3nnja lama dengan serentak diberikan taranja, berupa benda2 berdhasiat (m agisch), dan setelalh pembajaran sedemikian itu anak dipungut masuk kedalam kerabat jang mengambil a n a k ; inilah ambil- anak sebagai perbuatan tunai- (hal. 8 8 ). A lasannja ialah kechawa- tiran akan habis mati kerabatnja ; keluarga jang tak beranak itu da­lam pada itu berbuat dalam lingkungan kekuasaan kerabatnja dan bersama kerabatnja; si-anak dipungut oleh seajodoh ibu-bapa. tapi perbuatan itu adalah urusan kerabat. Anak itu menduduki seluruh- nja kedudukan anak kandung dadpada ibu-bapa jang mengambil anak dan ia adalah terlepas dari g olong an-sanak sau dara n j a semula.

153

Pengambilan anak itu dilaksanakan dengan, upatjara2 (rites de pas- sage) dan dengan pembantuannja penghulu2, hal ini harus terang, harus ditingkatkan dalam ketertfban-hukum masjarakat (Nias, Ga- jo, Lampong, djuga Kalimantan). Di Minangkabau rupa2-nja ,,adoptie" iitu tidak ada, didaerah perbatasan antara Minangkabau dan Mandailing terkadang2 sekali tempoh ada, di Angkola tidak ada.

Kedua : a d o p t i e d i B a l i (njentanajang) terseleng­gara hampir selalu d a l a m lingkungan clan besar daripada ka­um keluarga, jang karib menurut naluri (purusa), walaupun dimasa achir3 mi lebih (lagi) diperbolehkan memungut anak2 berasal diluar lingkungan itu ; dalam beberapa dusun djuga sanaksaudaranja si- isteri (daripada pcadana) diambil anak. Bila bini tua tak mempunjai anak, tapi bini selir mempunjainja, maka anak2 itu terkadang2 de­ngan djalan adoptie didjadikan anak2-n'j a si-b ini tua. Bila tidak ada sanaksaudara lelaki jang dapat diambil anak, maka dapat djuga se­orang anak perempuan dipungut sebagai sentana. Anak itu dipu.iguc dengan djalan perbuatan-huikum rangkap, jaiitu pertama dipisahkan dari kerabatnja sendiri (dengan djalan membakar seutas benang sampai putus) dan dilepaskan dari ibu-kandungnja dengaji djalan pembajaran-adat berupa seribu kepeng beserta satu setel pa­kaian perempuan, sesudah itu ia dihubungkan dengan kerabat jang memungutnja : diperas. Suami jang mengambil anak bertindak un­tuk itu dengan persetudjuan kerabatnja; diumumkannja dalam de­sa (siar), dari fihak rad'ja harus dikeluarkan idin untuk itu, pega­wai2 radja menjusun seputjuk surat akte (surat peras). Alasannja ialah kechawatiran akan meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan akan kehilangan garis-keturunanrija sendiri. Hadiah dibe­rikan kepada anak itu sendiri. Anak itu sesudahnja dipungut sebu- ]at2-nja karib dengan anggauta2-kerabatnja baru, pula mengenai huikum-waris maka ia sudah terputus dari kerabatnja jang lama. Se­sudah matinja si-suami maka djandanja dapat mengambil anak atas nama dia (hal. 134).

Ketiga : harus disebutkan bentuk pengambilan a n a k k e ­m e n a k a n 2 1 a k i 2 (dan k e m e n a k a n 2 p e r e m p u ­a n ) di Sulawesi, Djawa dan dilain2 tempat, bentuk mana terka­dang2 terdapat disamping pengambilan anak asing dan dapat dibe- da2-kan satu sama lain karena pembedaan sebutannja dan karena tia- danja pembajaran (Gajo, Pasemah, golongan2 pepadon di Lam­pong). Adoptie kemenakan2 ini adalah perkisaran dalam kerabat da­lam arti luas (dapat dibandingkan dengan perkisaran milik tanah

154

karena penghibahan) ; pembajaran2 biasanja tidak ada. Tetapi ter- njata di Djawa Timur masih terdapat suatu aturan jang menjalakan bahwa adoptie disana itu adalah perbuatan-tunai (kontanite hande- ling) jaitu pembajaran mata wang (ber-chasiat) sedjumlah rong wang sagobang (17^ sen) kepada orang-tua kandung sebagai sen- djata penghobat untuk memutuskan ikatan anak dengan orang tua- nja itu (pedot). Di Minahasa terdapat tanda jang kelihatan parade (rupa2-nja bukan : lilikur) jang diberikan kepada si-anak untuK memperkuat adoptie itu (hal. 133) ; mengenai apa jang disana dise­but ,,adoptie”, pada hal sebefcudnja adalah perdjandjian-pelihara (verzorgingskontrakt) terdapat dihalaman 129. Keluarga tak ber­anak mengambil anak itu terutama untuk mendjaga supaja mempu- nja anak-tjutju jang meneruskan garis keturunannja sendirj, tapi djuga ada maksud2 lainnja (supaja memperoleh tenaga pekerdja di- rumah dan sebagainja). Djuga keluarga2 ber-anak2 mengambil an ak ; seseorang mengambil anak djuga dengan harapan supaja mendapat anak sendiri, puila ada djuga karena kasihan terhadap anak laki2 ketjil jang mend'jadi anak piatu. Misalnja di Djawa dan di Sulawesi maka adoptie itu djarang dengan setahunja kepala" dusun ; ditempat2 lain terkadang2 djuga kepala2 kerabat dan peng­hulu2 rakjat dJberinja tahu tentang pengambilan anak itu ; di Pase- mah tindakan itu dibikin terang dengan djalan diberitahukannja ke­pada segenap penduduk 'dusun jang terkumpul untuk itu, ialah ; laman dusun. Di Djawa terdapat djuga adoptie anak2 asing, tapi adoptie kemenakan2 sangat melebihi lazimnja; hal ini memperkokoh ikatan kekerabatan. Anak jang telah dipungut itu diperlakukan sama sekali sama dengan anak kandung, perihal ia telah diambil anak itu tidak disebut2 lagi. Namun mengenai hukum-waris ia tetap berhak atas warisannya orang tuanja kandung. Atas barang pendnggalannja orang tuanja jang mengambilnja anak, maka ia ada djuga hak jang tertentu, tapi boleh djadi (djustru karena di sini adoptie ini bukannja urusan kerabat dan perbuatan itu tidak dibikin terang) tidak ber­hak atas barang2 pusaka berasal dari warisan jang harus dikemba­likan kepada keralbatnija si-suami sendiri atau keraibatnja si-isteri sendiri (hal. 211). Di Sulawesi Selatan terdapat djuga dalam prak- tijknja penghibahan (itoescheiding) kepada anak angkat itu, tapi rupa"-n,ja ia tak ada hak sebagai seorang waris-dimana-tiada-wasiat (abintestaat erfgenaam). .

Pada achirnja harus disebut djuga aturan ambil anak oleh seorang suami jang tak beranak dan jang di-„adopteer” ialah anak2-nja ti­ri (anak2 isterinja), sebagaimana antara lain terdapat di Redjang (mulang djurai) dan disana perbuatan ini tidak diperkenankan se­lama bapanja anak2 tad'i masih h idup ; pula aturan itu terdapat dT- kalangan suku Dajak-Maanijan-Siung (ngukup anaq).

155

Pengangkatan anaknja laki2 bini selir mendjadi anaknja laki2 bini tua membawa perubahan kedudukannya huikum dan memberikan ke- padanja hak atas penggantian bapanja dalam martabatnja (Lam- Pong) ; di Bali, maka bila bini selir itu mempunjai tempat pemudja- an sendiri, pemindahan anak itu harus dengan upatjara-ambij-anak lengkap, sebagaimana diuraikan diatas tadi.

Diwilajah2 berhukum bapa sudah barang tentu anak' la.ki- jang diambil anak, melainkan (seperti benar2 terdjad'i dikepulauan Kei) bila memungut anak perempuan untuk memberi ¡kesempatan supaja e orang anak 'laki2 dapat menempuh perkawinan anak2-saudara

bertimbal balik (cross-cousin-huwelijik) jang diharapkan. Sama halnja dengan inii terdjadi di Sumba ; adoptie anak ¡perempuan ke- dalam bagian-clan berhukum bapa (kabisu) untuik kemungkinan suatu ¡perkawinan dengan seorang pemuda dari kabisu lain jang ter­tentu ; dan rupa2~nja dapat dibandingkan dengan ini ialah iialnja pemungutan seorang perempuan tjalon isteri radija-pendefa^iu Si- ngamangaradja dimasukkan kedalam marga golongan-Lontung, ka­rena Singamangaradja iitu seharusnija kawin dengan perempuan dari marga serupa itu. Mengenai pengambilan anak' perempuan oleh su­ku Semendo di Sumatra Selatan atau oleh suiku2 Da;jaik-Landak dan Dajak-Tajan, agar supaja mempunjai seorang anak perempuan jang teitap dapat mengurusi kekajaiannja initi (hal. 2 0 0 ), ¡anak perem­puan mana mendapat kedudulkan diatasnja anak** laki-, maka per­buatan sedemikian itu d'juga mudah dapat dimengerti,

Adoptie seorang laki2 jang lantas kawin dengan anaknja perem­puan sd-pengambil anak, terdapat di Bali dan di Timur Besar (di- samping perkawinan-ambil-anak tanpa adoptie) ; terlepas dari pada hal itu tadi, maka biasanija jang diambil analk itu ialah anak* jang tak berkawin ; pada umumnja jang mengambil anaik itu berkawin (di Bali sekali ¡tempoh jang mengambil anak itu dijuga mereka jang td a k berkawin) dan jang sekian lebih tua dari mereka jang diambil a nak sehingga jang terachir ini ■— menilik perbedaan umurnja — andai-kata .dapat disebutkan anak2 kandungnja sendiri.

Membatalkan adoptie itu pada asasnja mungkin dalam hal2 dinia- na a< a kemungkinan mengusir anak (hal. 146) ; di Bali itu mungkin karena banjak seibab2 lain lagi jang tak menjenangkan, begitu djuga

i Kalimantan, tapi disini diharuskan pembajaran pelanqqaran (dp h'cts-betaling) jm g tinggi.

Suatu perbuataii'hukum jang harus disebutkan dalam hubungan I,ni’ 1E ah halnja seorang anak perempuan jang didijadikan ,,pelan- <-i]ut-keluarga” (sentana) di Bali. Manja analk" laki2 sepeninggal ¡ba-

156

panja dapat menerima harta pzmnggalaiui'ja dan dapat melandjut- kan kedudukannja sebagai kepala keluarga (hal.200). Bilamana ti­dak ada anak laki2, maka dapatlaih seorang anak laki2 diambil anak, baik oleh si-bapa, maupun oleh djandanija atas nama dia, bila si-ba- pa itu mati. Tapi akan gantinja itu dapatlah si-bapa mengangkat a- naknija perempuan mendjadi sentana dan dengan demikian diberi- kannja ihak2 dan ke\vadjibana-nja seseorang anak laki2 tertua. Anak perempuan sedemikian iitu tidak dapat berkawin setjaira lain dari p a ­da perkawinan-ambil-anak (inlijfhuwelijk), maka suaminja lalu dise­but sentana tarikan.

Pada achirnja mengenai perbuatan-hukum jang mengubah kedu­dukan anak dalam kesanaksaudaraan, disini diingatkan akan pemin­dahan seorang atau dua orang anak oleh bapanja dari bagian-clar.(suku)-nja ibunija — dimana mereka tergolong berdasarkan atas „perkawinan-ambil-anak” orang tuanja ■— ke-su/cu bapanja sendiri ; pemindahan itu terdjadi baik karena sudah ada pembajaran-adat jang ditetapkan diwaktu dilangsungkan perkawinan, maupun karena terlaksananja suatu pembajaraa dibelakang sesudah itu (pcdaut. Redj.) ; hal ini termasuk perbuatan2 tunai (hal. 8 8 ).

157

BAB KE-SEMBILAN. HUKUM-PERK AWIN AN.I. B E N T U K 2 PE R K A W IN A N .

Dapat dikatakan, bahwa menurut hukum-adat maka perkawinan itu adalah urusan kerab3t, urusan keluarga, urusan masjarakat, uru­san deradjat dan urusan pribadi, satu sama lain dalam hubungan- mja jang sangat berbeda2.

Buat golongan2 sanaksaudara, jang merupakan kesatuan2 atau niasjarakat2-hukum (bagian2~clan, suku2, kerabait2) maka perkawi­nan anggauta2-nja itu (perkawinan lelaki2-nja perkawinan wanita2- nja atau perkawinan kedua2-nja) adalah suatu usaha jang menje- babkan terus berlangsungnija golongan dengan tertibnja, suatu sja- rat jang menjebabkan terlahim ja angkatan baru jang meneruskan golongannja itu. Namun dalam lingkungan masjarakat2 kerabat maka perkawinan itu djuga selalu merupakan sjarat untuk menerus­kan (berharap meneruskan) silsilahnja sendiri diimasa datang buat keluarga jang tertentu jang termasuk dalam masjarakat kerabat itu, djadi ini adalah urusan keluarga, urusan ibu-bapa. Bilamana golo­ngan2 kerabat" itu tidak merupakan nilai masjarakat2-hukum, tapi keluargalah jang primair (atau mendjadi prim air) dalam kehidupan hukum, maka per'kawinan itu — walaupun pengaruh sanaksaudara2 dapat terus terasa — adalah pertama12 urusan keluarga; anak2 dari keluarga itu karena per.kawinanmja, djuga meneruskan garis hidup (sosial) orang tuanja (atau salah seorang dari orang tuanja). Dalam hubungan2 'kerabat jang segi-satu, maka perkawinan itu adalah dju­ga suatu sjarat jang mengatur kesanaksaudaraan-semenda (aanver- wantschap) daripada golongan2 itu ; perkawinan adalah suatu ha- Qian daripada \a\u-lil\itas clan, jang menjebabkan bagian2~clan mem­pertahankan atau merobah kedudukan® j a keseimbangan dalam su- kunja dan dalam lingkungan masjarakatnja seluruhnja, jang bersifat sudah puas dengan seorang dlrinja (zelfgenoegzaam). Dari sebab itulah perselisihan2~hukum antara dua «kerabat, perseteruan2-kerabat jang sudah berlangsung lama, terkadang2 dihentikan dengan djaJari perkawinan lelaki dari kerabat jang satu dengan perempuan dari kerabat jang lain (daerah2 Batak).

D alam m asjarakat2-hukum jang merupakan kesatuan2 susunan rakjat, ialah m asjarakat2 dusun 'dan wilajah, maka perkaw inan an g- gauta2~nja itu adalah suatu peristiwa penting dalam proces masuik- nja m endjadi inti sosia l daripada m asjarakat2 itu — itupun bilam ana m ereka ada kem ungkinan m asuk, m engingat h a l2 lainnja — , m ereka -alu m endapat hak2 dan kew adjiban2 sepenuhnja dan sepenuhnja pula bertanggung d jaw ab m ereka atas keselam atan m asjarakat d a ­lam arti kata kebendaan maupun kerochaniani.

Dengan d jalan perkawinan (jang tepat) itu djuga maka kelais2 atau deradjat2 didalam dan diluar masjarakat2 dipertahankan ; de­

158

ngan demikian maka perkawinan itu adalah urusan deradjat atau kelas.

Pelbagai funksi perkawinan itu kesemuanya ternjata dalam hal bagaimana kepala2 kerabat (kepala2 clan), orang-tuanja dan kepala2 dusumn/ja berijampur-tangaai dalam pemilihan perkawinan, dalam bentuknjja perkawinan dan dalam pelaksanaannja perkawinan. Per­kawinan sebagai perisbiwa-hukum harus mendapat tempatnja dalam keteritiban-hukum, perbuatan itu haruslah terang, penghulu2-msjara- kat jang bersangkutan dalam pada itu djuga menerima pambaijaran-- penetapannja.

Namun ■—■ walaupun urusan keluarga, urusan kerabat dan urusan masjarakat — perkawinan itu senantiasa tetap urusan-hinup perse­orangan djuga daripada fihak2 perseorangan jang kebetulan ber­sangkutan dengan itu, urusan jang diinginkan atau disegankan. D ja- iannja segala sesuatu daripada perkawinan-pmang (aanzoekhuwe- Jijk), lebih2 bentuk2-nja perkawinan-lari-bersama (vluchthuwelijk) dan perkawinan-bawa-lari (schaakhuwelijk) mentjermmkan kete­gangan tadi antara golongan ummat manusia dan manusia sebagai perseorangan.

U patjara2 mengenai perkawinan itu dimana2 mengandung faham2 dan kebiasaan2 dari peribadatan „dynamisme'’ dan „ammisme” ; te­tapi kesemuanja itu merupakan djuga titik2-singgung bagi agama2- wahju Islam dan Kristen kedua2-mja, jang mempengaruhi adat2 per­kawinan dan hukum-perkawinan, masing2 dengan tjaranja sendiri2.

A. Perkawinan~~pinang, .— Iari-bersama, ■— bawa-lari (aanzoek-. wegloop ■— , schaakhuwelijk).

Menurut tjara bagaimana perkawinan iitu dilaksanakan, maka da­pat dipasang satu disamping jang laitn dan satu dihadapan jang lain : p e r k a w i n a n - p i n a n g ( a a n z o e k h u w e l i j k ) , p e r - x a w i n a n ~ l a r i ~ b e r s a m a ( v l u c h t - o f w e g l o o p -h u w e 1 ij k dan p e r k a w i n a n- b a w a-1 a r i ( s c h a a k - h u w e 1 ij k ) .

P e r k a w i n a n - p i n a n g (meminang, Ind., nglamar, E>j.), mempun'jai tjorak2 Indonesia jan g sangat umum.

Fihak kesatu —■ kebamjakan fihak pemuda — dengan menghi­dangkan sirih mengadjak fihak lainmja mengadakan pencawinan jang tertentu. Peminangan sedemikian itu hampir selalu aidjalankan oleh seorang utusan atau seorang wakil, biasanija dalam pada itu dipakainja banjaik2 peribahasa2 kiasan jang muluk2. Fihak jang bertindak adalah golongan sekerabat, atau orang-tuamja aengan per- setudjuannja golongan sekerabatnija, atau djuga orang-tuanija sen­diri, kesemuanja kebanjakan sesudah perundingan dengan mereka jang bersangkutan, atau jang bersangkutan sesudah perundingan dengan mereka. Saban2 disebutkan, bahwa bakal suami-isteri itu berpengaruh jang menentukan atas pemilihan bakal djodohnja itu. Terhadap kebanjakan lingkungan2-hukum maka bahan2 untuk soal

159

ini adalah pandjang lebar. Bila pemimangannja itu diterima baik, maka ini biasan.ja tidak sekaiigus mengakibatkan perkawinan, me­lainkan mengakibatkan p e r t u n a n g a n dulu, jaitu persetu- djuan antara kedua fihak, dimana mereka satu sama lain bertimbal balik berdjandji mengadakan perkawinan )ang tertentu ; terkadang- •— ini bukannja suatu keharusan —• ditetapkan pada saat pertuna­ngan itu hari bakal perkawinannja, ditetapkan pula besar ketji'lnja pembajaran2-peiikawman, dan dibuat perdjandjian mengenai pemba- jaran denda pelanggaran, bilamana pertunangan dibatalkan. Per­djandjian ini baru mengikat kedua fihak pada saat diferimakaoinja hadiah-pertunangan (verlovingsgeschenk) ialah alat pengikat atau tanda jang kelihatan, jang terkadang2 diberikan oleh fihak lelaki kepada perempuan, tenkadang2 dari kedua fihak, satu kepada jang lain (Batak, Minangkabau, kebanjakan suku Dajak, beberapa suku Toradja dan suku T o M ori) ; mengenai alat pengikat dalam nu- bungan umum lihatlah halaman 133. Di M inahasa rupa2-nja hal ini tidak terdapat. Di Atjeh hadiah-pertunangan itu disebut tanda kong narit, jaitu tanda baihwa perdjandjian telah mengikat ; di Nias : bobo mibu, pengikat rambut ; dikepulauan M entawai sesèrè, berasal dari sèrè jang berarti mengikat ; di Sulawesi Selatan : passikkoq berasal dari sikkoq jang berarti mengikat; dikalangan suku Tobelo di Halmaheira : tapu, jang berarti : djangkar ; dikepulauan Kei : mas ajè, mas pengikat ; dalam bahasa Djawa : pandjec dan pa- ningset alat untuk mengikat (dari perkatan singset), dalam bahasa Sunda: panjangtjang, d'juga berarti alat pengikat, selandjumja : tanda, tjengkerem dan perkataan2 serupa itu. Hadiah ini mendjad* milik kerabatnja, atau, orang-tuanja, atau si-perempuan sendiri. Se­kali tempoh rupa2-nja hadiah-pertunangan dan sebutannja ini dida­sarkan atas tudjuan lain; demikianlah dikalangan suku Toradja, jang menjebutnja pudjonpo dan di Bali, dimana sirih peserta hadiah itu disebut basé panglarang, perkataan2 mana berairti : alat untuk mentjegah (orang2 lain djangan sampai mengawin pemudi itu). Hadiah pertunangan seluruhnja di Bali biasanja disebut patvèwèh begitu sadja, artimja pemberian ; didesa Tnganan Pagringsingan pertunangan itu disebut masawèn, artinja : menaruh tanda larangan (dengan djalan menghidangkan sirih) ; buah pikiran jang sama ter- Kandung djuga dalam perkataan pou gossi dikalangan To Lainang di Sulawesi Tenggara. Sekali tempoh perhiasan jang telah diterima­kan kepada orang-tuanja pemudi itu sesudaih pelaksanaan perkawi­nan dikembalikan, maka sedemikian itu disebut petaruh-pertunangan (verlovingspand) (Krintji). Tanda rasan orang2 Redjang adalah agian pertama daripada hadiah-pertunangan jang diterima oleh si-

pemudi sebelum ia memberikan djawabanmja dan harus dikembali- annja bila ia menolak peminangan, maka dari itu disebutnja djuga

gaaai. Sudah barang tentu perasaan terhadap daja chasiatnja barang

160

hadiah sedemikian iitu sudah berkurang dan tanda itu berobah arti- nja mendjadi b u 'k t i , bahwa pertunangan sungguh2 sudah ter- djadi ; tapi menurut pengalaman djanganlah lekas2 menganggap, bahwa kepertjajaan terhadap daja2 chasiat itu sudah Icnijap. Keper- tjajaan iitu dimana2 tetap ada artinija, bila mana pertunangan m en­djadi batal dan karenanja harus diurus pembatalan itu.

Bilamana pentunangan ditu untuk meréka -jamg belum ’akil baliq. maka sudah barang tentu jang berbuat ialah orang-tuanja atau ke­pala2 kerababmja : dalam hakiija mereka jang sudah 'aikil baliq, maka biasanja mereka jang ¡bersangkutan ada hak bersuara.

A l a s a n untuk bertunangan itu dapat amat berbeda2. Orang dengan segera menghendaki sudah adanija kepastian allcan perkawin­an jang diinginkan ; terkadang2 orang mendapat pertolongan dari baikal menantunja ; dimana pergaulan .kelamin dikalangan pemudi'^ sebelum pertunangan ada bebas, maika dikehendaki supaja pemudi itu segera mcndjauhikan diri dari pergaulan itu, dan selandjutnja ka­rena pertimbangan2 lain2 lagi jang bertalian dengan keadaan sosial. Biasanja berhubungan dengan pertunangan ini diadakan perdjamuan makan, dimana sanaksaudara2 turut duduk beihaddir, sedangkan per­tunangan diberitahukan Ikepada penghulu2 imasjarakat agar supaja masjarakat turut mengikuti djuga peristiwa-hukum baru ini dan un­tuk mendapat djaminan perlindungan hulkum dengan djalan pem- ban.tuanmja penghulu2 tadi. Pertunangan itu, lebih2 orangnya jang bersangkutan, dalam bahasa Indonesia disebut tunangan, di Bali : buntjing, dalam bahasa Djawa :patjangan dan seterusmja. Meman- tjang anak perempuan jang masih muda umurraja untuk dipinangkan (misek) dengan anaik laki2 jang tertentu ■— sematjam pertunangan dimuka — dilkalangan suiku Daja'k Ngad.ju disebut mamupuh.

Dibeberapa 1 i n gikun gan 2-ihu'kum mereka jang berkepentingan da­pat memaksa dengan djaJan istümewa, jaitu dengan tjara „memi­nang dengan paksa” sehingga dengan demikian hampir tak dapat disebut „meminang” lagi. Di kalangan suku Da/jaik Ngadju misalnja si-pemuda naik tangga masuk rumah si- pemudi dengan membawa hadiah jang berharga dan ia tidak pergi lagi dari situ, sebelum dimu­fakati balkaJ perkawinannya, .atau sebelum diba<jar denda jang hai ga­nja sama dengan hadiah tadi. Dalam hai ini perikawinan seketika, i- adakan tanpa pertunangan. Seikali tempoh pemudi djuga dapat me­maksa supaja dilkawin, ialah dengan dialan mengurung si-pemu a dalam rumahnja dan imembabankan barang2 hadiah, itupun bi amana ia sudah hamil. Sepasang anaik muda memaiksa 'kearah perkawinan (antara lain diikalangan Toradja) dengan djalan terus tinggal ber­kumpul satu sama lain diwaktu pagi2 dalam r u m a h n ja si-pemudi.^

Sudah barang tentu pada saat terlaiksananja pertunangan ma^a seketika berlaku aturan2 mengenai la ra n g a iv -p e r fc a rw in a n dan ketjen- derungan-perkawinan : larangan beflkawin dalam lingkungan (bagi­an) clannja sendiri (exogamie), larangan untuk mengadakan h u ­

161

bungan-perkawinan jang bertimbal balik, larangan2 mengenai aufcara pupu2 kesanaksaudaraan mana jang tak boleh berkawin satu sama lain, larangan berkawin dengan bini jang sudah tertjerai daripada sesama anggauta2 clan, ketjenderungan kearah anak perenipuaunja saudara-laki2 ibunja, jaitu kearah perkawinan „cross-cousin" (per­kawinan anak saudara-laki2 dengan anak saudara-,perempuan) se- gi-satu, desakan supaja berkawin dengan pemudi dari dusunnja sen­diri, dan seterusnja. Tambahan pula dibamjak wilaja'h seorang sau­dara perempuan jang muda tidak boleh kawin sebelum saudaranja perempuan jang lebih tua sudah kawin. Larangan2 sedemikian itu adalah keras benar dan harus didjalanlkan, atau dapat ditjabut de­ngan djalan pembajaran adat, jang mendjadikan tawarnja akibat2 buruk jang ditakuti itu. Demikianlah terkadang2 dengan mudah (dan terkadang2 tak mungkin) berkawin dengan seorang sanaksau- dara dari lain tjabang-kerabat dalam sesama lingkungan bagian- clannja jang exogaam, sedemikian rupa sehingga sedjak saat itu hanjalah tj abang -•kerabat itu sadja jang exogaam, bukannja lagi bagian-clan jang lebih besar itu ; untuk itu perlu diadakan pemba­jaran2 istimewa, dan perkawinan itu di juga dengan terang2-an disebut perkawinan dengan membelah golongan jang exogaam (pe- tjah suku, Redj., merubuh sumbai. Pas. dan seterusnija).

Akibat pertunangan itu ialah pertama2, bahwa satu fihak terikat perdjandjian untuk berkawin dengan fihak lainnja ; tapi paksaan langsung untuk berkawin adalah d j arang sekali terdapat. Akibat2- hukum lainnija daripada pertunangan itu ialah : timbulnja keharusan memberikan hadiah2 jang amat berbeda2 menurut setempat, d ja d i: bilamana tidak ada pemberian hadiah maka pertunangan dibatal­kan ; perlindungan, terhadap siiperempuan supaja terhindar dari pergaulan kelamm jang bebas, serupa tjaranjja dengan terhadap pe­rempuan jang telah berkawin ('tapi bersetubu'h dengan pemudi jang bertunangan tidak dimana2 tempat disamakan dengan zina) : molai timbulnja (terkadang2) pergaulan segan5 antara menantu lelaki dan kedua mertua.

Pembatalan pertunangan dengan djalan permufakatan satu sama lain adalah urusan kerabat dan urusan masyarakat.

Jang dianggap sebagai pembatalan pertunangan dari satu fihak (eenzijdig), mungkir (Ind.), ialah baik mengurungkan perkawinan dengan djalan memberikan alasan2 jang patut kepada fihak jang lain, maupun mengundurkan diri dengan tiada sebab- -11 j a jang di- anggap patut. Jang bersalah karenaruja kehilangan tanda-nja atau ia harus mengembalikannya berlipat, atau ¡harus membajar denda-pe- langgaran lainnija. Djumlah v/ang pembajaran itu ditetapkan djuga diwaktu pertunangan. Inli disebut dalam sebuah buku ketjil tentang Minangkabau : ketjil tanda gedang ikatan : hadiah pertunangan se- ketjil itu mengakibatkan (bila pertunangan batal) keharusan untuk membajar denda jang lebih besar. Bilamana kedua fihak dianggap

162

sama salahnja. maka dimana2 seban j ak mungkin dipulihkan kearah keadaan semula (tanda dikembalikan begitu sadja, dan sebagamja).

Dalam hukum Islam tidak ada pertunangan sebagai att ran hu­kum, djadi hakim agama ta k ta h u menahunja pula. Aturan*-hukum untuk orang- Indonesia Kristen biasanja mengandung d;vas suatu peraturan tentang pertunangan ; tapi undang-undang dalam staats- blad 1933 no. 74 tidak.

Pada hari jang tertentu dilangsungkanlah perkawinan itu. Dalam lingkungan-hukum manapun djuga tidak dapat dengan saksama di- tundjuk saat manakah saat terdjadinja perkawinan itu ; apakah pada saat menerimakan hadiah2 perkawinan jang tertentu (di Sulawesi Selatan), apakah peraiakan kemantin laki2 kerumah kemantin pe­rempuan dengan di'iringi oleh banjak orang dan berbagai2 barang2 ; tentang pertemuan dengan upatjara daripada kemantin laki'2 dan perempuan, penijelenggaraan pudjaan dan serapah-, makan bersa­ma2 (pembaharuan hubungan diantara da.ja2 jang hidup), pembaja­ran djudjur, berkumpul sebagai suami dan isteri, itu semuanja adalah peristiwa2 jang dipelbagai wilajah2 ternjata termasuk sebagai saat pelaksanaan perkawinan. Sebalikn'ja hukum Islam dan hukum Kris­ten ada satu saat tertentu jang dianggap sebagai saat pelaksanaan perkawinan itu.

P e r k a w i n a n - l a r i - i b e r s a m a ( w e g l o o p h u w e - 1 ij k ) . Bakal sedjodoh lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan setjara formeel, ialah perkawinan-lari-bersama atau sama2-melarnkart-diri (wegloophuwelijk of vluchthuwelijK), maka haj ini sudah tjara umum dalam susunan kesanaksaudaraan jang berhukum bapa, dan dijuga terdapat dalam wilajah2 berhukum ibu-bapa, malahan djuga jang berhukum ibu. M aksudnja ialah untuk menghindarkan diri dari berbagai2 'keharusan2, sebagai akibat per- kawinan-pinang, lebih2 untuik menghindarkan diri dari n n ta n gan­dari fihak orang tua dan, sanaksaudara2. T ap i perbuatan itu ti selalu sungguh2 ditjela oleh permiJimja. Keduanja meningga putjuk surat atau suatu benda atau pula sed'jumlah wan3 .. rumahnja si-pemudi (peninggalan, L am pong).l “ “ ^ epcJ1gjlulu diri dirumah seorang sanaksaudaramasjarakat, dan perundingan2 mengenai ,,dlj ; fwalau-dimulai atas dasar 'kemjataan sudah adanja iper awm j n 2P„„ pergaulan sUa„M steri ^kadang* ),mungkin menghasi'lkan : „ p e rk a w in a n ^ ~ R , ,dl Lampong Sekali tempoh - misalnja dikalangan2dan dikalangan beberapa suku ^ udi (dimana si-pe-masih dijuga dapat ditjegah oleh kerabat p

163

muda harus akan ¡menumpang dalam rumahnja). Karena perkawi- nan-lan-bensama ini, maka atjap kali ipambajaran- per awman (djudjur, pemberian perkawinan dan selbagainja) mendjadi kurang . tapi terkadang2 (di Bah mdsalnija) djudjurnija tetap sama tinygmja, atau terkadang2 malahan diinginkan tambahan penibaijaran lagi (Lampong). Di Sulawesi Selatan perbuatan lari-bersama itu adalah pelanggaran adat (adat-delict), perkawLnanmja baru dilaksanakan kalau sudah dan diwaktu diadaikan perdamaian. W alaupun demiki­an untuk kepentingan anak2-nja jang lahir sesudah perKawinan, diakui djuga akibat2 nja hukum daripada pergaulan hidup si- a a 1 dan si~perempuan dalam masa antara lari-bersama disusul i.ngan berkawinn.ja setjara Islam, dan saat perdamaianinja dengan .‘ver^oa pemudi, masa mana dapat berlangsung agak lama.

Jang disebut ' p e r k a w i n a n - b a w a - l a r i ( s c h a a h u w e 1 ij k ) ialah terkadang2 : lari dengan seorang perempuan jang sudah dibunanglcan atau dikawinlkan dengan orang ain, ter 'a dang2 membawa lari perempuan dengan palksaan. Hai jang pe- ini chabarnja terdapat miiisalnja di Kalimantan ; si-.pembawa an haruskan membajar denda ikepada fihaik jang tersinggung, a^n e landjutmja harus membajar pembajaran2 perkawinan biasa, a jana kedua ini adalah maksud „perkawinan-bawa-lari misalnija i pong dan Bali. Atjapkali bedanja dengan perkawinan- ari- er^ina sangat sukarlah untuk ditentukan. Bilamama pemudi ioi di awa an sungguh2, maka si-ipemuda itu dapalt dibunuh sebelum ia sampai i tempat sembunjiannja atau d i tempat perlindungannja. Sesu a sampai ditempat perlindungannja itu, imaka serupa perkawinan-iari- bersama, diselenggarakan upatjaraiuja, jaiitu menerimakan dju jur- nja, semuanja itupun bilamana sudah terdjadi pergaulan setjara su- ami-isteri. Djalannija penijelesaian adalaih sama dengan ha nja per kawinan-ilari-bersama; dalam hal ini maka atjapkali pem "jaran nja amat tinggi. Karena itu di Sulawesi Selatan pelarian pamu u dan pemudi biasanja disebut „bawa lari" (schaikang), cian > perbuatan itu senantiasa menimbulkan perlawanan hebat ari n a sanaksaudara si--pemudi, jang lalu memperoleh hak untuk memou- nuh si-pemuda.

B. Perkawinan2-djudjur, — mengabdi, bertukar, — mengganti,— meneruskan (biuidschat-, dien-, mil-, vervang- en veivoig- huwelijk) ; perkawinan dengan pembajaran2 lain atau tanpa pembajaran; perkawinan-ambil-anak (inlijfhuwelijk) .

Tentang hubungan bentuik perkawinan dengan susunan sanak­saudara maka hal mi sudah dibitjarakan dalam uraian jang sudah2, dilebih dari satu ruangan ; berhubung dengan itu pertama2 akan di- tindjau disini beda2-nja mafcjam2 perkawinan jang tertjantum diatas. Tapi terlebih dulu harus disini dipasang peringatan umum, ialah

164

bahwa rupa2-nja diseluruh Nusantara karena upatjara peralihan (overgangsrite) jang terpenting ini, terdjadi pertukaran2 hadiah jang tertentu. Dimana2 dalam pada itu ada pembajaran2 menurut naluri diwaktu perkawinan, terdiri dari wang atau benda ; arti isti­mewa daripada masing2 hadiah itu adalah djauh dari pada diketahui orang, kebanjakan djuga sudah mendjadi samar2 dan lenjap dise­babkan oleh perobahan2 jang mendalam dalam susunan sosial, tapi ditempat2 lain arti ini masih ada terang dan bening. Perkawinan tanpa pcmbajaran-adat apapun djuga adalah suatu bentuk istimewa seperti „perkawinan ambil-anak”, atau, rupa2-nja suatu perketjuali- an jang djarang sekali ada ; jaitu suatu geajala daripada proces kepribadian jang kuat atau daripada pengaruh agama Kristen. D ju­ga disini oleh karenanja ada bahajanja menjama-ratakan, pula disini dibutuhkan peristilahan jang hati2.

Diantara berbagai2 bentuk2 perkawinan adalah kebalikan jang pa­ling luas artinja : di'satu fihak perkawinan untuk mempertahankan suaunan-sanaksaudara2 berhukum bapa jang konsekwen, jaitu si- perempuan dilepaskan dari golongan sanaksaudaranja dan berpisah (sebagai anggauta keluarga semenda) ke-golongan sanak-saudaranja si-suami, anak2-nja termasuk dalam clan-nja, tjara perkawinan lain tidak ada, rnisalnja : dikalangan suku Batak Toba ; berhadapan de­ngan itu (dilain fihak) perkawinan jang mempertahankan susunan- sanaksaudara2 jang konsekwen berhukum ibu ; si-isteri tetap tinggal dalam golongan permilinja (suaminja tetap tinggal digolongannja sendiri) anak2-nja termasuk clannja si-isteri, perkawinan setjara la.n lak ada, rnisalnja : orang2 Minangkabau. Perkawinan jang pertama iiu selalu disertai dengan pembajaran2, sedangkan orang insjaf be­nar2 akan maksudnja itu, jaitu dengan demikian memungkinkan ber- alihnja si-perempuan, dan melepaskannja beserta anak2-nja nanti dari hubungan-clannja, membebaskan dia dari kekuasaan dewa-’- ruinahnja (Bali). Oleh karena itu boleh djadi sifat rangkap daripa c!a perkawinan .ini dapat dipandang demikian: dari s a t u sudut, pe­rempuan dan pembajaran2 lainnja itu adalah bagian ( an daripada lalu-lintas-clan, jaitu pertukaran..nilai (waardenrui ), j s menggerakkan. segala sesuatu ; dari sudut lainnja, peni a!a,ia ngan mata wang dan barang2 itu adalah siarat melepaskan perempuan itu dan mengalihkannja (bersc.ma so3iaj. dennoa tiada mengganggu keseimbangan- -b j barang

nan ia™ lersebu. dmomor duaPerkawinan jang tersebut omomui UUU * v - kali djuga disertai dengan pertukaran hadiah2, taipa si~perenipuai* dalam pada tu bukannja bagian daripada pertukaran-nilai, dia tidakdilepaskan dengan sjarat barang2 jang dipindahkan tangan , per-•---- rlalnm masjarakat2 jangIU1&.cITcM1 llciu 1 etii“ ucuctiiji ouum ••• r ou -tersusun berdasarkan hukum ibu adalah suatu uiu^an ,berapa artinja. Penjerahan wang dan barang- an 113

165

pada kerabatnja si-isteri dengan maksud m e m a s u k k a n sMsteri kc dalam golongan si-suami, sedemikian rupa sehingga ana - J akan lahir sebagai angkatan mudanja bagian-clannja si-su vmeneruskan clan-mja, itulah d j u d j u r ( b r u 1 , ba„jang setepat2-nija (dalam arti techmis hukum-adat). r rang2 aitau hadiah2 lainnja selaiin dari pada itu, jang 'ia XT-y:a,rena perkawinan, seharusnja diberi sebuian dengan isti a ain.di perkawinan-*djudjur itu (untuk m e m p e r t a h a n k a n susunan .bapa) adalah perbuatan tunai (contante handeling) da am ar 1 sebut dia tas (hal. 88). Perkawinan untuk mempertahan an sus'' hukum ibu dapat disebut (negatief) p e r k a w i n a n tanpa peni aj ^(dan tanpa lain2-nja) ; si-suami diidinkan m a s u k kepada ( era isterinja, dengan tiada beralih mendjadi satu dengan go ongan si-perempuan dengan anak2-nja tetap berada dalam ling ungansendiri, si-suamipun begitu djuga. kpaitu

Suatu kebalikan dalam bentuk2 perkawinan dengan 'tida se ^djau'h maksudnja, ialah : disatu fihak perkawinan djudjur an ^fihak perkawinan tanpa djudjur, pada hal 'k e d u a 2- n j a a ^ ^lingkungan susunan-sanaksaudara berhukum bapa, jaitu p e r w i n a n - a m b d l - a n a i k ( i n l i j f h u w e l i j k ) . .('kadang2) bermaksud mengambil si-suami ifcu sebagai anak laki--nja dan supaja (selalu) anak2-nja si-isteri jang akan lahir m e n e r u s ain dan-nja b3panja siisteri, jang berhukum bapa (hal. 150). Ua ain pada itu sekali tempoh orang dapat membatja, bahwa si-lelaki di e- paskan dari dan-nja setjara seperti apa jang terdjadi diperkawinan djudjur terhadap si-perempuan (Bali, Sumba), jaitu dengan pemba- jaran djudjur uintuk kemantin lelaki (bruidegomschat) kadang- djuga dapat terbatja, bahwa si-lelaki diambil anak (adoptie) dan masuk dalam dan-nja si-perempuan (hal. 156) ; si-lelaki (orang luacan atau orang sesama anggauta masjarakat) kebanjakan diidin­kan masuk kekerabat si-isteri (jang berhukum bapa) tanpa p e n g a ­jaran suaitu apa. Dihalaman 150 bagian atas telah dibentangkan, bahwa bila perkawinan-djudjur berulang2 terdjadi sama s e r in g n ja dengan perkawinan-ambil-anak terdjadi, maka hal ini mengakibat­kan susunan-sanaksaudara segi-satu-berganlti2 (alternerend — een'zijdige verwantenorde) dan bila perkawinan-ambil-anak ini msn- djadi lazim, maka hal ini pasti mengakibatkan susunan hukum ibu (jang tidak berarti ditetapkan disind, bahwa susunan hukum ibu itu selalu setjara demikian terdjadinja, walaupun dengan tjara derniki-' anJah timbulnja susunan hukum ibu di Saparua dan dikalangan suku Semendo di Palembang, suku mana berasal keturunan dari suku Pasemah, jang befhukum hapa).

Kebalikan jang mengandung maksud paling sempit jaitu: disatu lihak peikawinan-djudjur jang „tunai” , dilain fihak suatu perkawi­nan jang pembajarannja ditundak atau, suaitu perkawinan dimana suami dan isteri sudah memolai hidup berkumpul, tapi si-suami be-

166

kerdja mengabdi ikerabat mertuanja sampai djudjur-nja terbajar lu­nas ( p e r k a w i n a n - m e n g a b d i = d i e n h u w e l i j k ) , atau dilain fi'hak suatu perkawinan dalam suatu susunan, dimana diperbolehkan mengadakan hubungan2-perkawinan bertimbal balik (djadi dimana tidak ada „asymmetrisch connubium” ), dimana se­akan2 pembajaran2 djudjur jang harus dipenuhi bertimbal balik di­perhitungkan satu dengan jang lain sehingga mendjadi hapus ke- dua2-nja ( p e r ' k a w i n a n - b e r t u k a r = r u i l h u w e - 1 ij k ) ; atau, pada achirnja, bila seorang lelaki dari sesama clan meneruskan perkawinannja saudaranja laiki2 jang mati (sesama ang- gauta clan), atau, bila seorang perempuan mengganti perkawinannja saudaranja perempuan jang mati, kesemuanja tanpa pembajaran djudjur baru ( p e r k a w i n a n - m e n g g a n t i d a n p e r - k a w i n a n - m e n e r u s k a n = v e r v a n g ■—■ e n v e r v o l g - h u w e 1 ij k ) . Dua (tiga) djenis-pokok bentuk perkawinan, jang telah dibitjarakan sampai sekarang ini : perkawinan djudjur (berhu­kum bapa), perkawinan tanpa atau dengan lain pembajaran (berhu­kum ibu) dan perkawinan-ambil-anak (berhukum bapa), kesemua- nja ada pada susunan-sanaksaudara segi-satu, dengan bagian-clan- nja (kerabatnja) sebagai masjar akat-hu'kum. Dimana bagian-clan itu tidak (tidak lagi) merupakan masjarakat-hukum, namun disitu dapat dikenal kembali suatu susunan-sanaksaudara berhukum bapa, misalnja dalam hal larangan2 perkawinan dan dalam hal itjara2 me- warisnja nama, kedudukan dan barang2 (Ambon, Bali), walaupun dalam pada itu ada tjoraik2-n'ja hukum ibu-bapa, misalnja persamaan hak si-suami dan si-isteri atas barang2 jang diperoleh dalam perka­winan ; dalam hal ini terdapat djuga : perkawinan djudjur beserta bentuk2 jang termasuk situ, pula perkawinan-ambil-anak.

Bilamana dalam susunan berhukum bapa titiknja pangkal : dengan djalan „djudjur” anak2 (djadi sungguh2 semua anak2) beralih ke­pada kerabat si-suami —. dengan djelasnja di Sulawesi T en g a h titik­nja pangkal ialah : dengan djalan pembajaran djudjur (jang djuga perlu agar supaja anak--nja itu (tidak mendjadi pandir) maka si-su- ami mendapat hak atas anak2 jang sama dengan haknja si-isteri atas mereka (djadi tergalang disini susunan berhukum ibu-bapa , >-atiada pembajaran djudjur, maka anak2 tetap berada sama se^a ar kerabat si-suami. Itulah sebabmja mengapa misalnja sanaksau ara si-suami sematinja suami itu dengan lekas2 melunasi dju ju™}a’ lamana djandanja akan kawin lagi, jaitu untuk mendjaga sampai suaminja nomor dua -—■ dengan djalan seketika mei * penuh djudjur tadi — mengambil untuk dirinja a n a k 2- n j a suam. p tama itu. ,

Namun dalam kebanjakan daerah2 jang berhukum ibu-' apa. ka funksi bentuk^perkawinan jang dibitjarakan tadi, su a en dasarnja. W alaupun demikian hampir dimana2 terdapat aturan p

167

bajaran2 perkawinan, jang beberapa diianitarar.ja pasti bersifat dju­djur, jaitu sisa daripada susunan hukum bapa dizaman lampau ; atau terdapat pertukaran hadiah2 jang berasal dari susunan clan dulu kala ; kesemuanja itu dalam susunan hukum ibu-bapa jang berlaku pada sekarang sudah memperoleh arti sendiri dan funks. lain, jang hanja dapat dimengerti dalam Imgkungannja sendiri. Pembajaran-1 itu seharusnja tidak disebut dengan istilah : djudjur. Bilamana dite- rimakannja kepada si-perempuan prilbadi, maica pembajaran2 itu di­sebut p e m b e r i a n - p e r k a w i n a n ( h u w e l i j k s g i f t ) , sebagaimana mas kawin 'berasal dari hukum Islam, jang telah terte­rima (gerecipieerd) oleh o r a n g 2 I s i a m dimana2 ; selandjutmja dapat disebutnja hadiahnpefkawinan atau pembajaran-perkawinan, walau­pun dalam istiilahnja Pribumi tetap mengandung kenangan akan„dju- djur" sebagai bagian daripada perbuatan tunai (tukon, D j.).

Mengenai beberapa dairi bentuk2 perkawinan jang -tersebut itadi perlulah diadakan .peringatan2 leibih landJjuit. Istiilah2 untuk djudjur dalam arti fechnis ialah rnisalnja : beuli niha (Nias Selatan), undjul: (Gajo), undjung, sinamot, pangoli, boli, tuhor (Batak), djudjur (Tapanuli Selatan dan Sumatra Selatan), seroh (Lampong), kule(Pasemah), wilin, beli (Maluku). belis (Timor), patuku n luh (Bali).

Sepanajang istilah2 tadi berasal dari akarnja perkataan2 jang me­ngandung maksud: „beli”, „wang pembelian” (daripada, tanah), maka sedemikian itu menundjukkan tjiri jang bersama ^aitu tjiri

M C,dua perbuatan - P^W inan-d juA ju r dan per-t S ! h ? t ~ Pe*uata„2 tunai) : ialah melepaskan se-. , , 9,an. n su“ tu bubungan kehidupan, jaitu suatu lingkungankehidupan, dengan djalan sua!il perl>ua(an ^

S : : i t ’n " * ' dala” ^seimballgan ( I w i c h t s - J i S 1 8 ak'bat Pd6pas“ ba9ian tadi

“ “ t k° n " *hajaran* perkawinan jang J * a d T t e d j T T 9, T f t “1* ’ P“ -'dengan berlallcunja ,<l'iudmr" hubungannjad, Atjeh, pektin dftahm gln suk„= d S T K “ * T I ‘' ' ' " " " 1 dan sompa di Sulawesi Selaian. “ T ?rupa2-nja adalah (mendjadi) nemh^ian nahasa’ kesemuanja itu belaka. enan-perkawinan (huwelijksg-iit)

Pembajaran2 perkawinan daripada n ran ^ r> • i , bersifat pertukaran hadiah2 dan oenmm l umumnjrfdaja pelepas .jang ada pada djudjur • malahan 1 bal‘k' tanP3,ang te.ah dipotong d a„ J L U . t Z S /

168

winan dikumpulkan djadi satu dengan potongan tali-puser si-isten (dan ini perbuatan tidak terbalik) untuk menjatakan keruikunannja dengan djalan kebendaan in i Barang2 jang diterimakan sebagai pembajaran perkawinan harus djuga disimpan djadi satu dengan benda2 tersebut diatas. Djuga di-achirat anak2 tetap kumpul ibunje., setidak2-nja mereka ditaruh dalam peti-penjimpan-tulang2 ibumja, melainkan bila si-suami menambah lagi dengan pembajaran isti­mewa (disuku Maanjan disebutnja pangidaran para) hal mana ber­akibat bahwa tulang2 anak2-nja dikumpulkan dalam peti-penjirr- pan-tulaaig2 si-bapa. Pembajaran i t u l a h barang kali sungguh* harus disebut: djudjur.

Pemberian-peikawinan (huwelijksgift), begitupun djinamee d f Atjeh, sunrang di Sulawesi Selatan dan mas kawin diikalangan Is­lam terkadang2 adalah sjarat sahnja perkawinan, walaupun di Su­lawesi Selatan pembajaran itu dapat dilaksanakan dalam angan2 sadja (fictief) dengan djalan memindjam sunrang (sunrang niin- rang) itu ; dalam perkawinan-djudjur maka djudjurnja itu sukar untuk dapat disebut sjarat mutlak buat sahjuja perkawinan, tanpa djudjur tidak ada perkawinan-djudjur. Tukon di Djawa itu tidak pernah sekali2 mengandung maksud lain dan >pada suatu pertolo­ngan dari fihak lelaki dalam pengeluaran belandja untuk pista-per- kawinan, demikianlah dianggapnja orang.

Djudjur (dan pembajaran2-perkawinan lainnja) dimana2 mem- punjai t jorak setempat, jang disebabkan oleh : perbedaan dalam su- sunan d udjur, pengaruh bedanja kelas tjaranja mengumpukan dan membagi2 djudjur itu dan perbedaan dalam banjak keadaan2 la.n

la9L . , .. ,tl1 terdiri dari bend'a2 jang tinggi nilainja da-l a n f S hasil pengajauan, budak2.tanah, porselei-n, t e n u n a ^ - ^ “ ; ^dari sedjumlah W S a i elonomii (wang), maka dljudjur pembajaran djudju „-.-«dihikan hati, jaitu djudjur lantas disa- itu mendapat sifat jang' perempuan disamakan deng?n¡nafa», ^ bah” ”barang jamg dibeii, , J L j j 2 berhukum bapa karena perkawinan-olah^ perempuan dalai? ibel’ian” berkedudukan rendah dalamdjudjur itu sebagai ,, kenjafcaannja sudah lenjap. Usaha2masjarakat — dim ^i;„mDijiqijcan pembaijaran djudjur itu dalam ke- melarang dan menges ^ ^ 2 mana bertalian dengan ang-tertiban hukum 9ubcm? 2 tak berhasil dan tak menghapuskan gapan2 salah tadi - |Jcetertiban hukum dimasjarakat2 atau dfke- aturan djudjur utu d disusun oleh fihak radtja2 dan fihaklas- atasan. APa k a h , jLLaruihnija atau masih berpengaruh, maka.pbernem en p e rn ^ ada pe^g^ ^ Hampir sel,a]u bagian2 ter-hal mi tak daPat .^,k pCnguntukannja sendiri2, jaitu baik ba-¡“ 9“ 'senMtt* sanaksaudara to -

169

tentu daripada si-pemudi (dengan maksud menguraikan lepas pe­mudi itu dari hubunt,an2-nja satu demi satu, dan dengan djalan demikian seakan2 memulihkan kerugian2~nja sampai pada perintji- a'nnja), maupun seperti dikatakan bahwa pembajaran2 itu ditjuikupi untuk apa jang dikatakan „menaik tangga”, „alat pengikat kera­bat2”, „pengganti pisau pemotong tali puser si-perempuan diwak- tu lahirnja” dan sebagainja.

Djumlah wangnja adalah dimana2 berbeda2 menurut deradjat si- perempuan (hal. 25). Malahan didaerah jang perbedaan kelas ku­rang nampaknja, namun orang2 kebanjakan tidak boleh membaja' dan menerima djudjur jang lebih dari pada lang sudah ditetapkan buat golongan m ereka; ini adalah dianggapnja pelanggaran terha­dap hak2-nja orang2 besar setjara tak halal, hal mana niemrbahaja- kan ketenteraman masjarakat. Terkadang2 djudjur itu besar ketjilnja djumlahnja tergantung dari besar ketjilnja djudjur jang dahulu di­hajarkan untuk ibunja si-pemudi. Djudjur untuk perawan adalah selalu lebih tinggi dari pada djudjur untuk perempuan jang telah t er t jerai atau untuk d'janda. Dalam lingkungan hubungan2 perka­winan segi-satu seperti dikalangan orang2 Batak, di Maluku dan diikepulauan Timor, maka dalam perkawinan jang diselenggarakan tidak dalam lingkungan hubungan2 kesanalksaudaraan semenda jang sudah ada —■ djadi mengakibatkan hubungan sanaksaudora semen- da jang baru ■— maka dalam 'hal ini dj'umlahnija djudjur jang hari'S dibajarkan ada sangat lebih tinggi dari pada djudjur biasa. Bila ke­adaan2 sosial berubah sedemikian sehingga bahan2 jang asli dari­pada suatu djudjur tidak dapat dihasilkan 'lagi (tengkorak2 hasil pengajauan, budak2 dan seterusmja) atau sehingga djudjur itu me­nurut perimbangan sudah mendjadi ketinggian sampai tak dapat di­pertahankan dalam arti ekonomis, maka amat atjap kali dipertahan- kanlah sampai lama djumlah2 dan 'bahan2 lama itu, tapi hanja da­lam p e r k a t a a n 2 sadja, dan pada kenjataannja digantinja dengan benda2 jang kurang nilainja atau benda2 lain (barang* ramban, Lampong) atau dengan wang ; kebiasaan sedemikian itu dapat djuga ada pertaliannja dengan penguntuikan chusus daripada bagian2 tertentu daripada djudjur itu.

Suatu djudjur sesudah „pem'bawaan lari” adalah lebih tinggi, se­sudah „pelarian bersama” sering kali lebih rendah, tapi djuga ada kalanja lebih tinggi, dibandingkan dengan djudjur biasa.

Mengenai siapa jang berusaha mengumpulkan djudjur dan siapa jang menerimanja, maka hal ini sudah barang tentu lagi ada hubu- ngannja erat dengan keadaan masjarakatnja pada umum r-j a ; terka­dang2 suatu golongan besar sanaksaudara2 (clan seluruhnja atau suiku) memberikan sumbangannja untuk itu, tapi terkadang2 hanja orang tuanja si-suami jang menghasilkan djudjur itu seluruhnja. Di- kalangan pelbagai suku2 bangsa terdapat pengaruh bertimbal balik jang selalu berlaku dan dipelihara baik2, an ta ra : ikut membaja*

170

djudjur, hak atas ikut menikmati djudjur dan hak atas meminta bantuan untuk pembajaran djudjur ; ini adalah djuga : bagian dari­pada lalu-lintas clan.' Disamping akibat-foukum daripada pembajaran djudjur (kepm-

dahan si-isteri kegolongan sanaksaudara2 si-suami dan masuknja •anak2-nja kegolongan situ) timbullah akibatnja kemasjarakatan, ia­lah kewadjiban akan pembajaran 'kembali d'judjumja bila perkawi­nan terputus, hal mana menjebabkan kokohnja i'katan perkawinan itu.

Tentang pengembalian sebagian daripada pembajaran, (misalnja menurut chabar dari Pasemah dan B ali: sebagian daripada djudjur. di Atjeh menurut kebiasaan sebagian daripada hadiah-perkawinan, hal mana djuga terdapat di Minahasa dan d'iitempat2 lain), pula de­ngan sengadja tetap dipindjamnja sebagian daripada djudjur atau hadiah-perkawinan (misalnja di Pasemah, beberapa suku Dajak, Toradja, di Halmaheira, Timor dan Djawa), begitu djuga pembe­rian ketjil setiap tahun dari si-isteri kepada kerabatnja asa ( m bon), maka kesemuanja itu berarti suatu pemjataan daripada suatu hubungan menerus sesudah perkawinan antara perempuan ta i c ngan ikerabatnja asal — makin mendalam diartikan demi 'an ju djur itu, sudah barang tentu maki.-: mendalam pula funKsmja , apa^ djuga djudjur itu sudah mendjadi naluri (traditie) jang osong.

Hadiah pembalasan dari fihak perempuan, jang misalnja dicha barkan dari Sumba (sepotong kain bersulamkan nan9 ™as’ se® or lembu, seekor kuda) dan dari Roti (chewan- dan ain ) arang a i berarti sebagai bagian daripada pertukaran k*^anSr a am ”las, seperti djuga ragi-ragi dikalangan sulku ata - o a. a i pembalasan jang bernang2 terdapat d'i Kalimantan_ rupa--nja hari:s diartikan sebagai bersifat sama dengan pembajaran biasa dan fihak lelaki, ja itu : memulihkan keseimbangan sihir (rnsigisch). pengaruih „magis” jang menimpa anggauta- kera at > a e iena ia menjentuh si-perempuan.

Tentang barang2 jang dilbawakan si-perempuan diwaktu p winannja dan dalam lingkungan imbangan2 i er u um aP kuat si-suami mendapat haik ataswja, tapi ditempa am ’ si-isteri sendiri dan djuga ada ikalanja, tapi djarang, men i bersama — djadi : b a r a n g b a w a a n - nja ' u 1 1 z , .dalam arti economis terkadang2 merupakan suatu penggantian dan pada djudjur itu ; dalam arti hukum-adat ma^ a arang isteri Ltu sama sekali lain sifatnja dari pada djudjur. arang ini artinja hampir sama dengan sebagian ikokajaan e uarga jaiig i hibahkan kepada si-pemud'i, jang toch ikut mempunjai a a asn, tapi karena perkawinannja, ia kehilangan hak- atas e ajaan . e u

171

arga tadi (hal. 205).Sebagaimana telah dikatakan, maka p e r k a w i 11 a n m e -

n g a b d i ( d i e u li u w e 1 ij k ) itu adalah suatu ragam dan- pada perkawinan djudjur, suatu tjara berkawin jang diluiuskan ber­dasarkan atas seibab2 jang praktas bila mana orang tiaak mampu membajar djudjurnija sekaligus (mandinding, Batak ; ering beli, di- kalangan Peminggir di Lampong ; nunggonin di Bali, dan sebagai- n ja ). Si-suami tidak dipungut masuk dalam kerabat n. j a si-isten . anak2 jang terlahir dalam masa pengabdian Ltu biasanja termasuk golongan sanaksaudara2 si-isteri dan bukannja golongan si-suami . tapi mereka dibela'kang pindah kegolongan si-suami bila djud.j urnja kelak d’ibajar lunas. Tapi dikal angan Batak Toba, maka aalam per- kawinan-mengabdi atau perkawinan menumpang-rumah (inwocnhu- welijk) anak2 sekaligus termasuk dalam marga bapanja. Suatu bei.- tuk daripada perkawinan-menga'bdi, ialah disebut ngisiq terdapat di- kalangan Paminggir di Larapong, di sini maka djasa si-suami terdiri dari pemberian nafaqah kepada anggauta2 'kerabat si-isteri. Perka­winan mengaibdi di Bali dapat mengandung isi semat jam itu djuga. Di Tapanuli Selaitan terdapat kemungkinan bahwa salah seorang da­ripada anaik2 perempuan diberikan kepada kerabat si-isteri, bilamana perkawinan diputuskan sebelum djudjumja terbajar, itupun supaja djudjur jang kelak akan diibajankan untuk anaik perempuan itu dapat dianggap sebagai djudjur untuk ibunja. Dapat disamakan dengan ini ialah aturan antara lain dikalangan salah satu dari suku2 katjil di Timor, dimana seorang anak perempuan diberikan kepada kerabat si-isteri, bila tiada pembajaran djudjur. Dimana pada umumnja tim­bul suatu ke-'tidaik-mam.pu-an untuk menghasilkan djudjur, maka ada kalanja perkawinan-onengabdli itu dapat beralih men d'jadi perkawm- an-ambil-anaik, perkawinan mana dapat mendjadi bentuk perkawiv- an jang lazim sebagai pengganti bentuk perkawinan djudjur, dengan akibat2-,nija jang mendalam terhadap hukum-^kesanaksaudaraan jangtelah dibentangkan diatas (hal. 150, 166).

P e r k a w i n a n - i b e r t u k a r ( r u i l h u w e l i j k ) ada- h ™ c am lingkungan dimana hubungan2 perkawinan bertim-

oal badik sudah a d a ; sudah barang tentu hal itu tidak mungkin da~ «m lingkungan ,,asymmetrisch connulbium”. Dimana bentuk tadi ter­garang atau ditakuiti dalam lingkungan susunan san.aksaudara berhu- Kum ibu-bapa, maka haruslah orang menjadan bahwa ia disim men- ctjumpai suatu bentuk perkawinan jang telah tidak terpakai lagi, di­mana larangan itu dulu ada artinja. Di Djawa misaln'ja hal itu tidauc

i'inginkan dan ditakuti, jaitu rentetan perkawinan2, jang menje- babkan orang tua kedua fihak djadi dua ikali berhadapan satu sama ain sebagai : orang tuanja kemantin laki-perempuan ialah sebagai esan, suatu ke-tesan-an jang rangkiaip membawa ketjelakaan. A-

Kan tetapi terkadang2 orang sangat tjenderung kepada suatu perka­winan jang menjebabkan bahwa orang-tua kedua fihak dua kali mendjadi besan-nja satu sama lain (Begelen) asal sadja djangan

172

sampai anak sulung berkawin dengan anak bungsu dan anak bungsu dengan anak sulung. Di Ambon ada (mendjadi?) ketjenderungan terhadap perkawin.an-barganti atau perkawinan-lbertukar (wissel — of ruilhuwelijk) i n', sebagaimana djuga halruja misalnja dikalangan To Lainang di Sulawesi Selaian bagian Timur, dipulau Savu, di Irian Barat dan ditempat2 lain lagi. Mengenai perkawinan-'bertukar dalam arti kata bahwa suami2 menukarkan isteri--nja, maka hal ini ¿ekali tempoh pernah dachaibarkan orang d3ri Kalimantan, akan te­tapi rupa2-nja 'tak penting untuk diindahkan.

Perkawinan seorang lelaki dengan saudara perempuan isteriuja jang meninggal dunia, dimana isteri kedua ini tanpa pembajaran djudjur seakan2 menduduki tempat isteri jang pertama, — jaitu p e r k a w i n a n - m e n e r u s k a n ( v e r v o 1 g h u w e 1 ij k )— di Pasemah misalnja disebut tvngka t; di Djawa Tengah perka­winan dengan ipar-tperempuannja itu disebut karang wuhi.

Kebalikan dari pada itu, ialah p e r k a w i n a n - m e n g g a n - t i — ( l e v i r a a t h u w e l i j k atau v e r v a n g h u w e - 1 ij k ) — (pareakhon ddikalangan Bataik Toba, ganti tikar atau L,- win anggau di Palembang dan Bengdculen, njemalang dikalangan golongan2 pepadon di Lampong, dan sebagainja) terdijadi bila se­orang djanda jang menetap dalam kerabat suaminja jang telah mati, kawin dengan adik laki2 dalam arti 'kata menurut „aburuja” (klassifi- katorisch) daripada suaminja jang meninggal dunia tadi. D jenis perkawinan ini adalah perangai daripada lingkungan hukum bapa dan sebagai penjiku (conplement) dafipada perkawinan dijudjur. Ini adalah terkadang2 ditudijukan unitulk mendapat seorang anak laki2 terlahir dari djanda itu sebagai pengganti menurut hukum dar pada almarhum suami tadi (njemalang negikan, Lampong). Barang kali istilah medun randjang di Djawa adalah suatu kenangan^ dari nu.- Ijam perkawinan itu. Perkawinan serupa ini dapat menajad« lem­baga jang amat bermanfaat untuik si-dijanda bersama ana<c2-nja, tapi djuga dapat mendjumpai keberatan2 perseorangan.

P e r i k a w i n a n j a n g m e m p e r t a h a n k a n k e t e r ­t i b a n h u k u m - i b u tida'k disertai pembajaran2 serupa d ju ­djur atau hadiah-kemanitin. Si-suamd tetap berada dalam golongan sanaksaudaranja, tapi diluluskan ¡bergaul dalam lingkungan kerabat si-isteri sebagai utang sumando (Min.), ialah ipar. Diwaktu pelaik- sanaan perkawinan ia didijemput ikeiluar dari rumahnja (didjapuiq, didjemput) dengan sekedar diadakan upatjara untuk melu'lusKan d.a pergi (alat melepas mempelai) dan setelah itu dibawanja „keru- mah", jaitu 'kerumabruja isterdnja. Djuga diadakan sdkedar,pemberi­an hadiah2 unituk memperkuait perhubungan perkawinan bertimbal balik : bako, perhubungan mana diusaihalkan berlangsungnja terus sedjauh mungkin dengan dijalan perkawinan2 ¡berilkutnja.

Hal p e r k a w i n a n - a m b i 1 - a n a 'k ( i n 1 ij f h u w e - 1 ij k ) telah dibitjara'kan beberapa ikali (hal. 27, 150, 153, 166). Hubungan kesanaksaudaraan (biologis daripada anak terhadap

173

-ibunja oleh karenanja memperoleh nilai sosial jang pada umumnja __menurut susunan — ada pada hubungan kesanaksaudaraan d e ­ngan si-bapa. Perkawinan itu antara lain d isebut: anggap (Gajo) - semando ambil anaq, nangkon, tjambur sumbai, dan sebagainja (Sumatera Selatan), kawin ambil piara (Ambon), njeburin (Bali) Dikalangan beberapa suku bangsa, maka sering kali si-suami itu se­orang, orang dari lain tempat atau seorang orang berasal dari kelas

. lendahan, dikalangan lainmja kebamjakan seorang orang sesama su­ku bangsa dan sesama kelas. Djarang sekali terdapat terbatja bahwa si-lelaiki dilepaskan dari golongan sanaksaudaranja dengan djalan sesuatu pembajaran, sebagaimana dalam beberapa hal terdjadi di Bali (1000 duit atau satu bantal, dan padi sebagai djudjur kemantin ielaki (bruidegomschat)), dan djarang pula terdapat terbatja adanja sesuatu pembajaran buat seorang lelaiki 'jang beralih dari kabisu di Sumba ke~kabisu isterinija (hal 166). Dikalangan golongan3 pepa- don di Lampong, maka seorang pendjabat kebesaran adat (penjim- bang) jang bini tuanja (bini ratu) hanja mempunjai anak2 perem-

'puan, dapat mempertahankan kebesarannija (negikan) buat tjabang kerahatnja sendiri (kurung) dengan dja'lan mengawinkan anaknja

. perempuan setjara kawin-ambil-anak itu. Ini dapat dengan djalan : (1) suatu perkawinan jang menjebabkan anak-saudaranja (kawin iegaq-tegi), .— atau (2) seorang lain dipungut masuk dalam kerabat si-bapa dan sebagai anak menanitu laki2 memperoleh kebesaran dan warisannja, agar supaja kelak'diwariskannja ikepada anaknja laki2, tegasnja anak laki2 dari menantu dan anakmja perempuan si-bapa tadi (kawin ambil anaq) ; pula dapat d'juga dengan djalan: (3) suatu perkawinan jang menijebabkan si-suami betul beralih kekerabat 1 sterinja, tapi ia hanija memelihara sad’ja (kebesaran dan warisan un­tuk isterinja dan anaknja laiki2 ¡kelak, ialah analk laiki2 mereka (djcng mirul) ; kemudian dapat dengan djalan : (4) suatu perkawinan jang menjebabkan si-suami tidak beralih dari 'kerabatnja sendiri keKera- bat isterinja, tapi hanja diluluskan disitu sebagai penurun anak-tju- tju (mengindjam djago), Hanja dikalangan satu golongan, ialah suku Sewo Mego, maka exogamde menolak perkawinan anaik-sau- dara dengan anak-isaudara (neefjes-huwelijk). Dikalangan orang - jang tidak tergolong kelas penghulu2, dimana soalmja hanja untuk meneruskan harta warisan, maka terdapat perkawinan2 serupa itu. tapi dengan nama2 lain ; 'begitu djuga dikalangan golongan2 Pe­minggir. Djuga di Bali terdapat kedua bentuk ini bila seorang bapa hanja mempunjai anak2 perempuan jaitu : si-menamtu laki2 dipu- ngutnja seluruhnja sebagai pendukung haik2, dan disamping itu : si-menantu laki2 hanja diluluskan sebagai penurun anak-tjutju ibuat anaknja perempuan dan kerabatnja. Perubahan perkawinan ambil anak mendjadi perkawinan djudjur atau perkawinan hukum ibu- bapa (semendo radjo radjo) adalah mungikin djuga, misalnja di Su­matera Selatan.

\ 7\

M engenai memasukkan seorang gadis kedalam kerabat suaminja- dengan maksud supaja ia bersama suaminja memiliki harta penina- galan inti, jang mestinja kelak dimiliki terus oleh seorang anak pe­rempuan, maka hal ini disebuit perkawinan - semendo-ngangkit dan menurut chabar terdapatnja diwilajah Semendo di Sum.atera Sela­tan ; perkawinan serupa itu rupa2-nja djuga terdapat didaerah per­batasan Minangkabau dan Mandailing, dimana seorang ielaki dai i kerabat jang tak mempunjai perempuan2 lagi sebagai pelandjul2 su- kunja terkadang2 lantas kawin dengan perempuan Batak dengan pembajaran djudjur untuk dengan djaJan demikian memasukkan perempuan itu dalam kerabat Minangkabaunja.

C. Perkawinan2 anak2.

Perkawinan2 jang baik kemantinnja perempuan maupun Jteman- tinnja laki2 belum balig adalah diperbolehkan menurut hukum-adat dalam kebanjakan lingkungan2-hukum ; tapi terkadang2 ■— sepert di Krinfcji, disuku Toradja, .di Roti .— sedemikian itu tidak terdapat : di Bali siapa ¡kawin dengan seorang pemudi jang belum balig dapat dihukum. Agama Islam tidak merupakan halangan terhadap perka­winan2 anak9. A tjap kali djalannja sedemikian, bahwa bila diingin­kan perkawinan anak2, maka perkawinan setjara Islam dilaksanakan lebih dulu (kawin gantung, Ind.) dan baru menjusul perkawinan setjara adat seketiika sesudah hidup berkumpul setjara suami-isteri telah mungkin. Sesudah segala sesuatunja jang telah dikatakan me­ngenai betapa besar kemungkinan kepentingan2 buat golongan2 sa- naksaudara jang timbul dari hubungan jang terselenggara dengan perkawinan itu, maka dapat dimengerti, bahwa terkadang2 malahan anak2 jang belum lahir sudah didjandjfikan akan dikawinkan dengan fihak jang diinginkan dan bila sudah lahir dalam umur jang masih muda sudah dikawinkan. Tetapi agama Kristen jang dipeluknja me­netapkan bahwa perkawinan hanija mungkin bila kemantin2-nja su­dah balig, begitu djuga fatsal 4 „Christen-Inlanders-regeling buat Djawa, Ambon dan Minahasa, staatsblad 1933 no. 74. Harus dibe­dakan dari perkawinan2 anak2 jang telah diuraikan diatas (kedua fihak belum ’akil-balig) ialah p e r k a w i n a n 2 k a n a k - p e r e m p u a n ( m e i s j e s - h u w e l i j k e n ) , dimana si-suami sesudah terlaksana perkawinan terus menumpang dirumav. mertuanja dan bekerdija untuk mereka (hal mana atjap kali memang mendjadi alasan perkawinan serupa ini), tapi pergaulan suami-is­teri ditunda sampai anak perempuan itu ■— isterinja sudah balig.

D. Permaduan.Diikalangan sangat kebanjakan suiku2 ibangsa di N usantara ini dan

buat sangat kebanjakan orang dari lapisan rakjat maka perkawinan serentak dengan perempuan lebih dari seorang — walaupun cliper-

175

bolehkan — adalah amat tidak lazimnja. D iktlas2 atasan lebih ba- njak sekali terdapat perkawinan dengan dua orang perempuan atau lebih. H an j a djarang sekali terdapat larangan terhadap polygamie, seperti di Tnganan 'Pagrmgsingan di Bali. Memeluk agama Kristen berarti menerima kewadjiban untuk ber-monogamie, jang djuga dibebankan dalam ordonnance staatsblad 1933 no. 74 : me­meluk agama Islam mengandung larangan dalam ¡keadaan berkawin serentak dengan lebih dari empat orang perempuan.

Bila bini2 itu bukatKija sederadjat dengan si-suami, malka ber- ulang2 mereka berkedudukan sebagai brni kedua, ialah selir. Bini ;ang sama deradjatmja adalah bini tua. Seorang laki2 dapat djuga hanja berkawin dengan seorang selir dan dibelakang tambaih ber­kawin dengan bini tua. Biasanja ‘hanija anak2nja bini tua atau jang dipungut ana'k olehraja (Lampong, Bali) beihaik penu'h atas warisan atau djabatan baparuja.

Dimana perkawinan permaduan ini masing2 bini dengan ana!k2- nja sendiri tinggal rumah sendiri2 dan masing2 merupakan satu ke­luarga dengan barang2-nja ¡keluarga sendiri2, maka keluarga" flu tetap terpisah seluruhnija satu dari lain.

E. Pengaruh agama Islam dan agama Kristen atas hukum-perka- winan.

Setelah agama Islam atau agama Kristen dipeluk oleh suatu bang- sa jang berhuikum tak tertulis, maka timbuJIaih karenanja suatu ke­tegangan dilapangan hukum-perkawinani. Tidak begitu karena, se­perti telah diutarakan tadi, ada pertentangan antara keperfcjajaan2 dan kebiasaan dari alam peribadatan-siihir jang sudah mendarah da­ging disatu fihak dan ketentuan2 agama temtang perkawinan dilain fihak ; ini adalah lain soal, lambat laun dapat ditetapkan apa jang dipertahankan dari unsur- 'lama disisi atau didalam agama-dunia jang baru itu, pula bagaimana unsur2 dari ikedua fihak 'bila perlu melengkapi atau mempengaruhi satu sama ladoi. Tapi letaknij a kete­gangan itu ialah bahwa perkawinan menurut sjarat2 Islam atau Kristen itu memberi ikemungikinan kepada pemuda dan pemudi akan menghindarkan diri dari paksaan fihak2 kerabat dan masjaralcat. paksaan mana mestinja dikenalkan pada mereka bila perkawmann'ja menurut adat. Kemungkinan tadi dengan tiba2 memberikan keme­nangan ikearah kepribadian kemanusiaan, kemenangan mana diper­oleh tidak setjara merebut apa2 dalam ïingkungannija sendiri dengan djalan perdjoangan melawan alam-serba-umum (het commune) me­lainkan diperoleh dengan djalan m e n e r o b o s apa2 jang la-

176

ma. Orang dapat kawin menurut aturan2 hukum agamanja sendm dibawa h perlindungan pemuka2 agamanja dengan tidak usah niem- perdulikan exogamie, ketjenderungan perkawinan, endogamie dusun atau apa2 lain lagi. Drsatu fihalk didjumpai perlawanan benar2 oleh kekuatan jang dahsjat daripada alam pikiran tradisionil sendin, pu­la oleh kekuatan penghulu2 rakjat dan tertua2 kerabat, kese-muanija berdasarkan adat nalun, dan oleh karenanja todh masjJi amat ba- njak perkawinan2 terlaksana dalam batas2 'hukum adat ; dan ruala- han terkadang2 (misainja di Tapanu'li Selatan) harus disebut pene­rimaan (receptie) ta'k lengkap daripada hukum perkawinan Islam, sedangkan pemuka2 agama, baik Islam maupun Kristen, terkadang* berusaha mcndjalankan tugasnja dalam lingkungan hubungan adat, tetapi orang2 Kristen selalu dengan mudahnja sudalli 'bertubrukan dengan kekuasaan adat naluri, lantas mereka ditinggalkan diluar masjarakat lama jang serba-uimuotn (commuun) sifatnja dan ditak­lukkan kepada ketentuan2 hukum tertulis jang resmi atau setengah resmi mengenai hukum perkawinan Kristen ; dan buat orang2 Idam inaka, dimana ada hakim2 agama, sah atau tidaiknija sesuatu perka­winan diukur hanja menurut peraturan Islam semata2. Oleh karena itu kaum progres ¡p dan kaum radikal mendapat sendjata jang kuat ditangannja, jang berdada baik atau busuk menuru-t kejakinan pe- megangnja sendiri2. Kemungkinan menerobos apa jang lama itu adalah termasuk faktor2 jang semuanja melanggar kekuasaan peng­hulu2 adat. Tjukup dikenal umum : peristiwa2 pemuda2 Batak jang dulu-kala diluar tempat kediamannja dan bertentangan dengan hu- kum-adat, mereka kawin sefcjara Islam ; 'kesukaran2 serupa itu di Minangkabau ; perubahan .pelanggaran „membawa lari perempuan di Sulawesi Selatan dengan 'bantuan aturan Islam nikah mendjad' suatu tjara perkawinan jang diakui, walaupun ini mereka paiiciang lebih baik diatur lagi dikemudian hari, dan sebagamja. Perkawinan setjara agama terkadang2 mendjumpai titik-singgung dalam bentu^ portkawinan jang memungkinkan peikatwn.man setljara tidak keras atau setjara ramah tamaih d ¿samping perkawinan resmi menurut hukum- adat, ialah : porda dumpang di Tapanuli Selatan, dan baku piara di Minahasa, dan sebagaiinja. Bila perkawinan terputus maka timbul­lah pertikaian jang sama. Adalah buait masing2 ipengundang-undang suatu tugas jang genting (precair) akan memegang peranan 'dalam tubrukan daja2 masjarakat ini, akan tetapi mungtkin djuga mendjacli sama gentingnja, bilamana daja2 ini dibiarkan sadja mentjari penje- lesaianmja sendiri.

Sebagai sekedar pertjobaan untuk mengatur masalah ini adalah iatsal 4, ajat 26 staatsblad 1932 no. 482 jang — buat Minangkabau

177

dan daerah2 Batak — melarang pegawai urusan perkawinan Mus lim memberikan bantuannja, bilamana perkawinan tidak m e m e n u h t sjarat“2 hukum-adat.

Adalah terdapat perbedaan umum diantara t j aranja agama Islam mempengaruhi hukum-perkawinan dan tjaranja agama Kristen mempengaruhinja. Perkawinan Islam adalah suatu p e r d ja n d j i a r .(kontrakt) antara pengantin laki2 dan wakilnja (wali) pengantin pe­rempuan, disaksikan oleh paling sedikit dua orang saksi, dimana dengan kata2 keramat diutjapkan penawaran dan penerimaan (idjaab kabul) dan d'jumlah pemberian perkawinan (mas kawin) ditetapkan (sedang biasanja pengantin laki2 menambaihnja dengan mengutjapkan talaq bergantung). W ali itu adalah bapanja keman- tin perempuan dan bila mana ia tidak ada, sanaksaudaranja laki2 jang paling karib dari garis keturunan laki2. Hanja bapanja (atau kakeknja) berwewenang mengawinkan anaknja perawan walaupun bertentangan dengan kemauan pemudi itu (wali mudzjbit). Bila tiada seorang wali, maka pengulu, jaitu kepala pegawai2 urusan agama, dapat bertindak sebagai wali darurat, atau fihak2 jang ber­kepentingan dapat mengangkat seorang wali-pembamtu ( liakam) • Saksi4 itu harus memenuhi sjarat2 jang tertentu. Pemberian per­kawinan, mas kawin (mahr) adalah pembajaran sedilkit djumlahnja (terkadang2 lima rupiah) dari sMelaki kepada si-perempuan, ada kalanja djuga digabungkan djadi satu dengan pembajaran2 lain, mi- salnija di Djawa dengan tukon, di Sulawesi Selatan dengan sunrang. di Atjeh dengan djinamee, sampai mendjadi djumlah jang lebih tinggi. Adalah sering kali suatu kelaziman maskawin itu dipindjam buat selamanja. Ordonnantie-perkawinan buat Djawa tahun 1929, stbl. no. 348 dan ini buat luar D'jawa tahun 1932, stbl. no. 482 ada­lah bukanmja peraturan2 sipil (burgerrechtelijk), melainkan peratu­ran2 administratief, jang mewadjibkan supaja meminta pertolongan- nja seorang pemuka agama jang telah ditetapkan dalam hal perkawi­nan2 jang terselenggara menurut peladjaran agama Islam ; itupun untuk kepastian hukum dan untuk ketertiban dengan ada antjamar.- nja hukuman terhadap siapa jang melalaiikannja.

Disamping pelaksanaan perkawinan menurut peladjaran Islam dapat tetap bertahan perkawinan setjara a d a t: hal terachir ini me­mang tetap masih bertahan dalam tingkatan'2 „hampir lenjap sama sekali sampai „hampir masih utuh seluruhnja” . Dikalangan2 jang beragama kuat terkadang2 terdapat penolakan terhadap keadaan de­mikian itu, akan tetapi dalam kehidupan huikum dimasjarakat2 maka pelaksanaan perkawinan Islam itu adalah suatu bagian daripada pe­laksanaan perkawinan seluruhnija, disamping unsur2 Pribumi asli dan dengan terkadang2 masih tetap memakai sifat Pri'bumi tadi. Demi­kianlah bahkan di Minangkabau tak dapat dikatakan bahwa bapa - nja si-kemanitin perempuan sebagai wali-nja menurut peraturan Is­

178

lam berkedudukan lebih penting dalam hal perkawinannja anak2 pe­rempuan itu daripada mamaq kepala waris-mja, — jaiitu wali-nja me­nurut hukum-adat, d justru ikebalikanaija.

Tetapi hu k u m -p er k awin a n daripada orang2 Indonesia Kristen ti­dak meluluskan disampingi oleh penkawinam-adat; hukum itu bera- saha mengatur perkawinan seluruihmja dan dalam pada itu membiar­kan berlangsung hanja unsur2 perkawinan Pribumi asli sadja, jang senjata2-nja dapat dihubungkan dengan agama Kristen. Sed‘ja:k o- rang telah menjadari betapa „djudjur” itu berarti menghambat per- tjeraian, maka pemibajaran djudjur itu terkadang2 turut termasuk unsur2 jang dibiarkan berlangsung terus ; a'kan tetapi pengaruh aga­ma Kristen terhadap unsur2 dan perangai Pribumi asli adalah lebih menghantjurkan daripada pengaruh agama Islam terhadapnja. M e­ngenai perkawinan Bumiputera2 Kristen maika oleh orang2 Katholiek dilangsungkanmja oleh kedua fihak jang berkepentingan dalam ge redja, d'Jkalangan orang2 Protestant dilangsungkan oleh seorang pe­muka agama. Perkawinan serupa ini biasanja didahului oleh pembe­rian tahu jang diharuskan. Buat mereka di Ambon, Minahasa dan Djawa maka oieh ordonnantie tanggal 15 Pebruari 1933, staatsblad no. 74 diaturnja suatu perkawinan s ip il; disitu diantara lain2 ditetap­kan setjara hukum sjarat2 perkawinan jang harus dipenuhi menurut agama Kristen, pula dirumuskan beberapa aturan jang bersambung pada hukum-adat.

Perbedaan dalam bekerdjanja pengaruh Islam dan pengaruh Kris­ten jang dibentangkan disimi ini terdapat djuga diluar lingikungan hukum-perkawinan; misalnya di Ambon — jaitu bahkan di Hitu jang Islam — masih terdapat pendjabat masjaraikat jang bertalian dengan alam pikiran ibadat-sihir seperti : paderi-perkebunan (tuin- priester) dengan sebutan mauwin, pendjabat mana tak terdapat lag: di Ambon bagian K risten; pula pada umumn'ja perbedaan termak^- sud diatas terdapat bila dibandingkan satu sama lain : Ambon bagi­an Kristen dan bagian Islam.

2. PE R PU T U SA N PER K A W IN A N .

A. Pertjeraian perkawinan menurut hukum-adat.

Perkawinan sebagai urusan Ikeluarga dan kerabat mempunjsi funksi untuk memungkinkan pertumbuhan setjara tertib daripada masjaraikat2 kerabat kearah angkatan2-roja b a ru : anak2 jang lahtr dalam perkawinan itu meneruskan masjarakat sanaksaudara itu, me­neruskan pula bagian-clan, suiku, 'kerabat dan keluarga. Selandjutnja perkawinan itu mempertahanikaai m asjarakat--dusun dan wilaja».

179

sebagai kesatuan2 susunan rakjat. Sebagaimana masings perbuatan ¡.ambahan baru dalam proces kehidupan dialam besar (cosm-,'sch) jang keramat dan tiada terduga maka perkawinanpun adalah suatu upatjara-ibadat (rite) ; tentang kepindahan sedijodoh jang baru ber­kawin ke-kelas-mas jarakat baru dan ke-masa-hidup jang baru, tim- bulnja hubungan untuk menemukan kedudukan keseimbangan ter­hadap masjarakatnja sendiri dan terhadap dunia luar, ma'ka kese- muanja itu adalah peristiwa upatjara ibadat; dalam pada itu ma­nusia dengan kemauannja dapat menentukan djurusan proces per- tumbuhannja dengan djalan pemilihnja bentuk perkawinan, puia da­pat mendorong kebiaikan jang diinginkan dengan djalan perbuatan2 sihir. Disamping itu maika perkawinan sebagai urusan ‘kerabat dalam beberapa lingkungan2-hukum mempertahankan hubungan goloi.gan2 sanak-saudara satu sama lain, dam meneruskan hubungan jang ber­timbal balik atau hubungan perkawinan jang segi satu (eenzijdige h uwelij ksibetrekkmg).

Terlepas dari kesemuanija itu, maka berfkumpulnja dua orang un­tuk pergaulan suami-isteri dan untuk berumah kumpul buat selama- nja, adalah urusan jang sangat bersifat perseorangan.

Berbagai2 funksi jang telah diisebut dalam pembitijaraan tadi di- sini harus direnungikan kembali, 'karena funksi2 itu berpengaruh pu­la atas alasan2 dan kemungkinan2 untuk pertjeraian. Pada umum- nija kerabat dan masijarakat menginginkan agar supaja perkawin­an jang sekali telah diiangsungkan dapat bertahan buat seiama:;-nja. Tapi dapat timbul keadaan2, dimana kepentingan kerabat dan masja- rakat menghendaki perputusan perkawinan itu ; disamping itu ada haP jang bersifat perseorangan oleh masjarakat dianggap sebagal alasan2 untuk bertjerai. Makin terdesak kebelakang masjarakat (ba- ,:k kerabat maupun dusun) dalam hail ini sehingga d juga kekuatan- nja sebagai pengikat mendjadi berkurang, makin berubahlah faktor2' lain bertalian dengan pentingnja kedudukan keluarga (dan berhu­bungan dengan peraturan2 agama2 wahju) jang menguasai perihal pertjeraian perkawinan itu.

Dalam susunan sanaksaudara berhukum bapa maka perputusan perkawinan „dtjudjur” beranti kembalin<ja si-isteri dan dj-udjurnij«. Alasan2 seperti madjir (tak beranak laki2), tjatjat2 .badan dan seba- gainja, jang menghalangi berlangsung.nja funksi perkawinan seba­gai urusan masjarakat, dapat pertama2 mengakibatkan pertjeraian itu ; bertjerai dengan alasan2 sedemikian itu ada'lah suatu perkara jang sudah semestiruja dianggap patut, dan jang diurus oleh tertua2 kerabat dan ,penghulu2-masjara/kat. Hubungan kesanaksaudaraan

i 80

semenda dari golongan terhadap lainnja .jang telah dikuatkan (atau bahkan telah ditimbulkan) karena perkawinan itu dapat dilangsung­kan terus dan 'bila diinginkan dapat diperbarui dengan djalan per­kawinan lainnja lagi. Mengenai perkawinan-ambil-analc maka sudah barang tentu alasan2 jang tersebut diatas itu sudah tjukup untuk bertjerai : perkawinannja ternjata gagal, tidak mentjapai tudjuan- nja. Bilamana perkawinan serupa itu menimbulkan kemungkinan ada harta perkawinan milik bersama, maka karena perijeraian itu barang2-nja lantas dibagi antara lelaki dan perempuan.

Chusus dari Kalimantan dichabarkan Ibahwa diisana terdapat pertjeraian perkawinan jang bahkan dituntut demi kepentingan ma- sjarakat, berdasarkan atas keadaan jang membahajaikan dipandang dari sudut sihir (magie), hal terachir ini chusus ternjata dari impi­an2 buruk daripada salah seorang suami-isteri itu ; diwaktu bertje- rai tidak diadakan pembajaran2 dan segala sesuatunja dapat pulih kembali bilamana sihir bumk itu telah berlalu.

Pada umumnja dianggap sebagai alasan untulk peritjeiraian ialah : zina daripada si-isteri. Karena perbuatan sedemikian itu maka ia melanggar baik kepentingan2 masjarakatnja maupun perasaan2 si suami jang dimasing2 lingkungan hukum berhak atas perlindungan. Hanja sekali tempoh orang dapat membatja, bahwa bilamana den- danja sudah terbajar, malka perbuatan zina itu lalu tak mengandung alasan lagi untuk pertjeraian perkawinan (misalnja dikalangan be­berapa suku Daja'k). Tapi pada umumnja dimasing2 susunan kera­bat si-suami dengan alasan perbuatan zina oleh fihak perempuan, dapat melangsungkan terus perputusan perikawinanmja, jang dalam segala2-nja merugikan fihak isteri itu i 'billamana ia tepergok dan terbunuh, maka tak usah dibajar wang perdamaian (zoengeld) atas kematiannja atu ; bilamana ia talk terbunuh maka haruslah ia (ke- rabatnja) mengeluarkan pembajaran-pelanggaran (deliJktsbeta-iing). (terkadang2 sebesar djumlali djudijuomja), harus mengembalikan djudjurmja (pemberian-perkawinan di Sulawesi Selatan tidak usah dikembalikan) dan ia 'kehilangan halknja atas harta-perkawinan (huwelijksgoed). Buat peristiwa seorang perempuan jang „dilem­par keluar perkawinan dengan tidak diperbolehkan membawa apa'2’’ ada penkataan2~nja kiasan, misalnja : metu pindjungan (Dj.).. balik tarandjang (Sund.), turun kain sehelai sepinggang (M ei.), solaribainenna (M ak.).

Rupa2~nja dimana2 menurut hukum-adat mungkin djuga diada­kan perputusan perkawinan atas permufakatan dan kemauan mereka satu sama lain. Benar djuga kepala2 'kerabat dan hakim2 — bila tiada alasan2 masjarakat seperti kemadjiran, zina dari fihak si- perem puan, dan impian2 burulk — berusaha meniadakan niat kedua fihak itu, sehingga di beberapa wilajah pertjeraian serupa itu adalah

181

djarang, tapi lama 'kelamaan karena segala sesuatu dapat diselesai­kan dengan permufaikatan satu sama lain — dimana akibat2 ke­uangan dan akibat2 bertalian dengan nasib anak*-n.ja dapat ditetap­kan pula —' maka tjara penjelesaian setjara itu tooh dapat djuga mengakibatkan pertjeraian. Tetapi tjara ini sudah barang tentu sama sekali lain soalnja dari pada bertjerainja suami-isteri sebagai dua orang seorang masing2 .karena kekerasan hatinja dan kemauannja sendiri2, hal mana dalam rangka watak sosial daripada hukum-adat sudah barang tentu tak dapat dibenarkan.

Kemudian kefbanjaikan adalah mungkin djuga, bahwa salah se­orang daripada suami-isteri — karena sebab2 jang bertalian dengan pergaulannja perseorangan — meminta tjerai dengan keras dengan djalan apapun dljuga. Pertjeraian tadi, d'justru karena urusan per­seorangan, selalu ada hubungannya dengan p e r s o a l a n s i a p a i j a n g s a l a h ( s c h u l d v r a a g ) . T enkadang'1 tentang apakah ia ada hak atau tidak uimtuik meminta tjerai itu ter­gantung dari „schuldvraag” ini. Demikianlah di Pasemah dengan perkawinannja djudjur si-isteri dapat menuntut tjerai hanja bila suaminjja bersailah karena melanggar salah satu dari larangan2 adat (memotong abah-abah tenun, memotong rambut si-isteri, dan seba- gainja, ialah : larangan kule)v Ditempat2 lain dalam theorie takmungkin seorang isteri menuntut pertjeraian dani peikawinan-dju- djur, walaupun ia dapat menimbulkan 'keadaan2 jang njata, sehing­ga ia toch mendapat lulus kebendailuija. Tapi persoalan siapa jang salah itu lebih2 meliputi a'kibat menurut 'hukum-keikaj aan daripada pertjeraian, .jaitu siapa jang harus membajar wang-pelanggaran (delictsbetaling) sebagai reaiksi adat aitas ikelakuan tak senonoh, apakah djudjurmja harus dikembalikan (seluruhnja atau sebagian) ataukah tetap djtangan kerabat si-isteri (sebagai pembajaran-pe- langgaran dari fiha'k si-suami), apakah jang harus d'fkerd'jakan ter­hadap harta-benda-penkawinan, dan sebagainja. Soalnja dalam ke- semuanja itu ialaih bahwa suami-isteri jang 'tidak rulkun hi'dupnja, atjap kali memaksa lawanmja keara'h fihak jang bersalah (suami memaksa dengan dijalan : bepergian sampai selkian lamanja, si-isteri memaksa dengan dijalan bertingikah laku setjara mengusik dia, dan sebagainja). Terfkadang2 perikara pertjeraian itu djuga didahului dengan kepergian si-isteri kepada orang tuanja dan ia tidak kem­bali 'kepada soiamimja, sehingga berakilbat mereka hidup tertjerai satu sama lain dalam tempoh lama. Para ihalkim dan para penghulu rakjat pada achirmja bertugas menetapkan siapa jang salah (sesudah usaha2 jang memakan tempoh banjaik untulk mempertahankan utuh- nja perkawinan) dan memutuskan perkawinan. Dimana ada ke ­mungkinan memaksa putusnja perkawinan atas dasar keseganan dari satu fihak sadlja dengan tiada alasan2 lain jang sah — misalnya jang memaksa itu si-suami dalam perikawunan djudijur — maka fihak jang bertindak demikian itu terhadap aiklbat2 mengenai harta-benda- raja dianggap fihak jang salah. Buat si-isteri jang dengan tjara d e ­

182

mikian memutuskan perkawinan-ambil-anaik maka perbuatanmja itu toch tidak mengakibatkan kerugian apa2 baginja. Terkadang- di­adakan perbuatan2 sebjara kiasan (symbolisch) seperti mendjatuh- kan ketanah sepotong bambu tiga kali, memotong seutas rotan sam­pai putus, dan sebagainja, begitu d'juga dikalangan beberapa suku bangsa (Batak. Toradja Barat) diberikan suatu tanda jang kelihatan mata, kesemuanja bermaksud bahwa perkawinan sudah putus de­ngan senijata2-Tuja.

B. Pengaruh agama- besar.

Apa 'jang diutarakan diatas tadi mengenai perputusan perkawinan menurut hukum-adat 'hanja terdapat djarang dalam perangainja utuh ; hampir selalu sudah dimasu'kimja aturan2 keagamaan. Agama Islam dan agama Kristen dalam berlakunja atas soal pertjeraian itu mendapat ketjotjokan satu sama lain pada dua titik. Pertama2 kedua agama ini mentjela sekeras2-nja pertjeraian. Kedua, maka kedua agama ini mempersoalkan sudut perseorangan daripada perputusan perkawinan, dan bukannja perkawinan seibagai urusan masjarakat. Oleh karena itu peraturan2 agama tadi menggali dari bawah (onder- mijnen) kekuatan pengaruh tertua2 kerabat dan kepala2 dusun, ke­kuatan mana bersifat mengatur dan memulihkan, iitupun meskipun kedua pendjabat tadi mendorong 'keras atas pribadi kemantin2 agar supaja mereka tetap benkiblat kepada mereka pendjabat2 tadi. W a­laupun titik-pangkalnja sama, namun agama Islam dan agama Kris­ten itu atas pertjeraian-perkawinan menurut hukum-adat berpenga­ruh berlawanan satu sama lain dalam tiga ha'l. Peraturan2 Kristen bila ditindjau pada umumnja memperketjil kemungkinan praktis untuk pertjeraian, sedangkan peraturan2 IsJam memperbesar ke­mungkinan i tu ; peraturan2 Kristen menempatkan suami dan isteri dikedudukan jang sama terhadap adasan2 untulk tjerad dan terhadap tuntutan tjerai, sedangkan peraturan2 Islam kepada suami membe­rikan kelonggaran jang lehih dari pada kepada is te ri; peraturan2 Kristen selalu membutuhkan pertjarmpuran tangan pemerintah dan hampir selalu pertjeraian ditetapkan dengan keputusan hakim, se­dangkan peraturan2 Islam menimbulkan kemungkinan untuk mem­bikin putus perkawinan diluar perbjampuran tangan pendjabat2 pe­merintah.

Tindakan penjusunan peraturan dengan d jalan undang-undang, peraturan mengenai perputusan perkawinan keduniawian buat Bu- miputera2 Kristen di Djawa, Ambon dan Minahasa, peraturan ten­tang pendaftaran adanja pertjeraian diikaJangan orang2 Islam, ke­semuanja itu dlisampmg adat dan perilbadatain merupakan unsur jang kefciga daripada gambaran-hukum jang ruwet tentang perputusan perkawinan diantara anak2 negeri.

Dengan pelbagai tjara maka berkumpullah djadi satu ketentuan-

183

jang berdjenis2 dan kemungkinan-2 jang berbeda2 pula dalam ber­bagai2 lmgkungan2-hukum dan kalangan'-hukum. Hal ini pertama- ternjata dari tjaranj.a mendjalankan aturan2 Islam mengenai perpu- tusan-perkawiman dalam praktijk ; kedua : ternijata dari kelongga­ran2 (consessies) jang diberikan oleh aturan2 penkawinan Kristen antuk menjesuaikan diri dengan keadaan“2 jang njata.

C. Pectjeraian perkawinan setjara Islam.

Talaaq ialah pengusiran 'terhadap si-isteri oleh si-suami. Sesudahi.jatuh satu talaaq, maka moladlah masa iddah : tiga masa haid (100 hari) atau, bilamana si-isteri hamil, sampai 40 hari sesudah mela­hirkan analk. Selama masa iddah perempuan itu tidak boleh kawin lagi, sedangkan si-lelaki tidak boleh menambah djumlah isterinja sampai 'lebih 'dari empat orang terhitung binimja jang ditalaaq itu. pula selama masa itu si-perempuan ada hak atas kehidupan, ialah nafaqah dari bekas suammja, dan suami ini dapat tjabut kembali ta- laaqnja .— rudjuq ■— dan amlbil kembali isterinja. Sesudah talaaq kedua, maika akibat2-hukum jang sama dengan jang tersebut tadi muilai berlaku, tapi sesudah talaaq ketiga maka rudjuq sudah tak mungkin lagi. Meskipun lelaiki dapat memberikan talaaq itu sebagai perbuatan segi-satu (eenzijdig) sebulat2-nja •— dan ribuan kali di- djalanikamnja 'sedemikian pula — namun ada terdapat wilajah2, di- mana bentuik pertjeraian perkawinan sudah memdjadi sedemikian rupa, ialah sungguhpun iterdiri dari pengusiran sebagai perbuatan segi-isatu dari sinsuami, tapi permufakatan dengan kerabat dan para penghulu dalam pada itu masih tetap lazim, bahkan pernah terdjadi, bahwa si-suami tidak mempergunakan tailaaq setjara Islam, melain­kan mengadjukan tuntutan untuk pertjeraian perkawinan kepada hakim.

Chul’. Talaaq ibu dapat djuga diutjapkan oleh suami atas permin­taan isteri, ialaih sesudah si-isteri membawa hati suaminja kesitu de­ngan djalan suatu pembajaran ikepadanja. Perputusan perkawinan demikian itu disebut chul’ (kuluq) (membuka pakaian) ; pemba­jaran dari fihak isteri ini disebut penebus talaaq (Ind.), pemantjal (D j.), (penolakan dengan sodokan 'k.aki).pengiwal (D j.), (tara), dan sebagainja. Pembajaran tad!i dapat terdiri dari sedijumlah wang, tapi djuga dapat dengan djalan menanggalkan hakruja atas sebagian dari harta benda hasil merdka bersama dalam penkawinan atau atas mas kawin jang masih „dipindjam” oleh suaminja itu. Akibatnija ialah perkawinan putus dengan tiada kemungkinan untuk tudjuk sesudahrbja ; melainkan lantas berlangsung masa iddah, dalam tem- poh mana suami masih berkewadijiban memberi nafaqah kepadanja. Djuga lembaga ini terkadang2 adalah seperanggu pakaian Islam \jang tembus tjahaja) untuk menutupi kemungkinan ke-Indone- sia-an jang telah dipermudah, jaitu kemungkinan pertjeraian atas

184

inisiatief si-isteri tanpa ada kesalahan dari fihak suami, djadi harus fihak isteri mengembalikan pembajaran--perkawinan (d'judjur, ha- diah-perkawinan). Demikian .terdapatlah misalnja di Sulawesi Se­latan ..membeli ke-tidak-mau-an” (-nja si-isteri terhadap suaminja) pammali kateang (Mak.) : si-isteri memperoleh pertjeraian atas pembajaran 'kembali olehnja (dalam keadaan2 biasa) pemberian- perkawinannia sebagai „harta pengganti ke-bidak-mau-annja (si- isteri) lagi terhadap suaminja” . Hubungan dengan pemberian-per- kawinan dan dengan djudjur ada tersebut djuga dilain tempat (se­bagaimana djuga dahulu chul' berhubungan dengan ma.hr. jaitu djudjur).

Adalah suatu ifcjoraik ke-Indonesia-an asli jang tegas ialah ke­mungkinan jang disana sini diperbolehkan, jaitu si-isteri menga­dukan 'tuntutan dimuka hakim bermaksud memaksa suaminja untuk menerima sedjutnlah wan.g (dalam pada itu d'justru sedjumlah dju- djurnja) sebagai harga talaaq. Bila si-suami ‘tetap tak mau meneri- manija, maika hakim menetapkan bahwa dia dianggap sudah mengu- tjapkan talaaq-nja, atau haikim dengan mudah bikin putus^ perka­winan tanpa talaaq; dijumlah wan.g jang dipandang sudah patut tetap atas kemauan si-isteri tersimpan pada hakim untuk disediakan akan dibajarkan kepada si-suami. Pengaduan dari fihak isteri se­demikian itu di Solo disebut ,,rapaq lumuh", jaitu pengaduan, bah­wa ia sudah enggan terhadap perkaiwinannja; mengadakan pemba­jaran jang bermaksud memaksa untuk pertjeraian perkawinan itu didaerah2 pedalaman Benglkulen disebut : membeli talaaq, tapi di Salaiar (Sulawesi Selatan) disebut: panggalli kaandaang, ialah harga pengganti ketidaik-mauan (-nja si-isteri terhadap suaminja).

Talieq. Bertjorak 'ke-Indonesia-an umum ialah pertjeraian per­kawinan berdasarkan atas pengaduan si-asteri, bahwa sjarat2 untuk menalaaq jang dulu digantunglkan oleh si-suami, sudah ditjukupi: taqleq. Kemungkinan untuk mentjerai isteri dengan djalan meny- gantungkannija pada sudah atau belum d'ipenuhinja suatu sjarat itu memang betul 'berdasar atas hukum Islam, akan tetapi aturan jang praktis mengharuskan masing- orang Islam diwaktu dilangsungkan per-kawinamraja mengufcjapkan sebuah rumus, — bahwa bila ia me­ninggalkan isterinja sdkian bulan dengan tiada diberinja nafaqah- nja (atau bila ia memperlaikukan isterinja setjara kurang baik se­bagai tersebut dalam fatsal perdjandjian) dan isterinja itu tidak te­rima, lalu mengadulkannija kepad'a hakim (pemerintah) maka ia, j s - terinja, dianggap sudah di-talaaqmja — aturan sedemikian itu ada­lah suatu penjesuaiain hukum Islam dengan hukum-adat, sepandjang menurut hukum teraohir ini inifciaitiief untuk bentljerai dapat diadjukau dari fihak si—isiteri. Ha'kim agama diwilajah2 jang terdapat haKim serupa itu dan bila 'tidak terdapataja terkadang2 h a k i m - Pribumi (inheemse rechter) atau (misalnja di Lampong, di M inahasa) se­orang pegawai urusan agama, adalah instantie pemerintah dimana

18j

isteri harus mengemukakan pengaduannja (:apaq gaib) ; fihak pe­merintah sebetulnya harus menjatakan sadja (sesudah mendengar­kan aturannja dua orang saksi) bahwa sjarat talaaq jang digantung­kan dulu, sudah diitjukupi dan oleh karenanja perkawinan dianggap sudah putus (karena talaaq dari fihak si-suami). Tapi banjak hakim beranggapan lain tentang ini (dan inflah suatu bukti bahwa praktijk peraturan ini berkedudukan dialam Pribumi asli) dan mem­bikin putus sendiri perkawinan itu berdasarkan atas kelakuan si- suami. Agar supaja dalam hal- tadi dapat ditjegah kemungkinan untuk xudjuq, maka terkadang2 wewenang untuk membuat rudjuk itu dengan tegas disingkirkan ; pula terkadang2 didalam rumus sen­diri ditetapkan, bahwa mas kawin jang dipindjam suami itu akan diperuntukkan sebagai wang-pembeli talaaq, sehingga talaaq jang sudah didjatuhkan itu dengan sendirmja mendjadi chul’ dimana rudjuq tidak diluluskan. Dalam bentuk ini ada terdapat sambungan- nja pada lembaga2 hukum-adat dan letaknja sambungan itu ada dalam isinja perdjandjian2, misalnja : bila saia (suami) memotong abah2 tenun atau menggunting rambut isteri saja (Bar.jumas) ; bandingkanlah dengan larangan kule dari Pasemah, hal. 182.

Fasch. Lain aturan agama Islam, jaitu fasch (pasah) dilakukan djuga setjara jang menjimpang dengan peladjaran agama Islam murni, tapi lebih menjesuaikan lembaga Islam dengan lingkungan hukum-adat. Pasah -.dalah pertjeraian perkawinan jang dinjatakan oleh hakim o^rdasarkan atas .tjabjat2 jang sudah ada diwaktu di- angsungkan perkawinan, misalnja ketidak-sanggupan si. suaml m .

7 e,tapi s“ “ 9 W di Indonesia * t -

tida . m e m p a n k e h W;,pa„ ^ p a d a n " ^ ^ ^ ^suami .t» d,panggil dan (walaupun dia ta t datang) diberinta L e m - patan dalam tempoh tiga hari supaja membukfik^ T f 1 a at memeliharakan dsterinja. Bila si-ister. d^ta™ 7 * f ?nqan bukti bahwa suaminja belum sadil V * “ 9 P lagi „¡a. maka perkawinan lalu d,„ia” a £ r * * * *inilah djuga suatu bentuk daripada pertierafa T a p£;sd/!n ^atas permintaan si-isteri. n Peikawinan Pribumi

Perbuatan murtad terhadap aqamanH .pada orang perempuan jang murtad itu t- ™ i n hak wa mendjadi putuslah perkawinannia ka U memalcai alasan bah- d j adi buat hakim — dalam keadaan2 ja n ^ T ,murtadnia itu- Bolel1 kan tjukup bahwa peristiwa itu benar- 1 ^ U ,an9f mem,bukti' dalam peribadatan — perbuatan murtad '?eK| asar kcsungguhannija atu alasan tjuikup untuk membikin putus* U 7 * dan9 sebagai su- mintaan dari salah satu fihaJk. L em iW ^ P.ericawinann'ja atas per-

9 lamnja daripada agama186

Islam tidak begitu pentingnja buat kehidupan hukum Pribumi untuk dituturkan disini. Mengenai lembaga-hukum terdiri dari wasit2 jang keputusannja mengikat, ialah hakam, bilamana timbul pertjederaan jang tak dapat diserukunkan lagi (sjiqaaq), maka pemakaian lem­baga ini oleh mahkamah urusan agama Islam telah disahkan ; se­belum itu usaha serupa itu hanja dibenarkan oleh suatu aliran ketjil.

Akibat sosial jang mendalam daripada pengaitan pertjeraian per­kawinan pada lembaga2 Islam ialah, bahwa pemje’lesaian2 jang me- nuruit hu/kum-adat melalui ipenghulu2-raikjat .— jang dengan per­mufakatan kerabat2 mempertimbangkan mentjegah atau mengatur pertjeraian — maka tjara penjelesaian itu terantjam berlangsungnja dan terhapus oleh karenanja. Hal ini menjebabkan suatu ketega­ngan serupa dengan apa jang tersebut diatas, hal. 176, terhadap pe­laksanaan perkawinan : kemungkinan terbuka untuk setjara melom­pat2 memenangkan keinginan2 dan pendapat2 perseorangan — jang bertalian dengan peribadatanmja pribadi sendiri — dzngan menga­lahkan sjarat2 daripada masjarakat jang serba-umum (commune samenleving). Misalnja talaaq jang diutjapkan oleh seorang laki2 jang berkawin setjara perkawinan-ambil-anak adalah suatu misal jang tegas daripada gangguan2 sosial serupa tadi.

Kemudian maka oleh pengundang-undang diwadjibkan supaja di­laporkan kepada pegawai urusan perkawinan adanja talaaq2 jang sudah terdjadi, dengan antjaman hukuman atas kelalaian melapor- kannja itu.

D. Hukum Kristen tentang perputusan perkawinan.

Buat o r a n g 2 Indonesia jang beragama Katholiek maka pertjerai­an perkawinan itu menurut hukum geredja tidak mungkin. Apakah buat mereka harus dianggap ada kemungkinan untuk memutuskan perkawinan keduniawian menurut hukum tak tertulis (sebagaimana kemungkinan ini betul2 ada dalam bamjalk pergaulan2 hukum ber­dasarkan atas aturan2 hukum tak tertulis) maka soal ini adalah su­atu pertanjaan (jang menurut pendapat saja harus didjawab de­ngan : ja). Orang2 Indonesia jang beragama Protestant biasanja mengakui beberapa perkara jang berat sebagai alasan2 buat pertje­raian : zina (oleh lelaki dan oleh perempuan), penganiajaan berat, peninggalan dengan niat djahat, terkadang2 djuga kemadjiran. Di Minahasa pertjeraian dinjatakan atas dasar permohonan bersama untuk itu oleh suami-isteri, di Ambon atas dasar keadaan bertjerai satu sama lain dalam itempoh jang agak lama. Biasanja badan jang dianggap berwewenang untuk memeriksa tuntutan2 pertjeraian ialah landraad atau hakim Pribumi (inheemse rechter) ; dulu di Djawa sampai masa lama jang berwewenang untuk itu ialah dewan-geredja (kerkeraad).

187

Dengan ordonmantie tertanggal 15 Pebnrari 1933, staatsblad no. 74, maika diadakan peraturan2-wet mengenai pertjeraian perkawi­nan (keduniawian) dikalangam (semua) Bumiputera2 Kristen di Djawa dan Madura, di Ambon dan di Minahasa. Diantara enam aflaean umttuk pertjeraian terdapat pertjederaan jang tak dapat dipu­lihkan kembali — bukannja kemadjiran — dengan kata2 lain : hanja kemadjiran jang menimbulkan pertjederaan jang itak dapat dipulih­kan kembali. Telah diusahakan suipaja bersambung pada hukum - adat ialah dengan djailan diperintahkan dengan peraturan agar su- paja hakim mejakinikan diri dani adanja kemustahilan pulihnja per­tjederaan itu dengan djalan menanjai sanaksaudara2 dan orang2 jang biasa bergaul dengan suami-isteri itu.

E. Akibat2 pertjeraian perkawinan.H

Akibat2-nja pertjeraian perkawinan buat sebagian telah dibitjara- kan. Sesudah pertjeraian si-tperempuan bebas untuk kawin lagi. Baik menurut hukum-adat, maupun menurut hukum Islam ia tidak dapat menuntut nafaqahmja dari bekas suaminja, tapi menurut hukum Kristen dapat, ialah berdasarkan atas faittsal 62 dari ordonnantie tahun 1933: Anak2 jang masih menjusu (dibawah 2 a 3 tahun) se­lalu mengikuti ibunja. Sesudah iitu merelka tetap berada dalam kera­bat jang semestinja menurut susunan ikesanaksaudaraan, atau — bi­lamana susunan ikesanaksaudaraan itu tidak mengidinkan sedemi­kian itu •— mereka berkumpul pada salah seorang dari ibu-bapanja jang diserahinja atas keputusan diwaktu perkawinan dmjat.->kan tje- rai. Kesalahan daripada salah seorang laki-bini menjebabkun se­orang laki-bini lainnja jang tak bersalah memperoleh hak lebih ataa anak2 itu ; p.lihannja anak2 sendiri adalah sering kali penting ; pen­ting djuga siapa dari laki-bini jang memiberi nafaqah anak2 itu. Mengenai pemberian na£aqah ini maka bapalah (djuga dalam tem- poh anak2 itu masih menjusu) jang berwadijib. Tapi dalam susunan berhukum ibu-bapa maka dapatlah si-ibu jang mendidik anak2 dan mampu untuk memberi nafaqah kepada mereka, diwadjibkan untuk itu disampinig si-bapa. Bila ada perselisihan tentang hal ini dan dalam pada itu harus diambil kepuitusan, maka kepentingan anak­lah jang mendijadi faktor jang berat. Pengaruh daripada kesalahan atas akibat2 jang timbul menurut bukum-kakajaan perkawinan su­dah disebutkan ta d i ; akibat2 pertjeraian perkawinan mengenai ba­rang2 daripada keikajaan itu saban2 akan disebutkan dalam hukum- harta-perikawinan (huwelijksgoederenreohit).

188

3. H U K U M -H A RTA -PERK A W IN A N .(H U W EL IJK SG O ED ER E N R E C H T).

Keluarga2 jang timbul karena perkawinan membutuhkan dasar ke­bendaan ; suami dan isteri (bersama anak2-nja) sebagai kesatuan keluarga jang terwudjud karena perkawinan, harus hidup bersama2 dan untuk itu harus memiliki barang2. Dimana kesatuan kerabat se­bagai masjarakat berarti sosial jang penting, maka kekajaan keluar­ga tertampak tegas terhadap kekajaan kerabat; terkadang2 batas2- nja tipis2 dan samar2, terkadang2 terang dan (kelihatan benar2 Dimana ikerabat2 tidak timbul sebagai kesatuan2 jang tersusun, maka keluarga2 dengan kekajaan2^]'a merupa'kan inti2 masjarakat jang terbatas dengan tegas, tetapi walaupun demikian, ikatan kerabat masih meliputi keluarga2 itu, dan mempengaruhi keadaan hukum da­ripada milik keluarga. Terhadap kerabat2 sebagi masjarakat2, maka keluarga itu meloloskan diri untuk berdiri sendiri, dengan golongan2 jang lebih besar itu maka keluarga setiap hari berada dalam kese­timbangan, tapi djuga berada dalam ketegangan jang tertentu ; da­lam pergaulan2 jang sudah madju, maka ¡keluarga itu sedang mele­paskan diri atau sudah melepaskan diri dan ikatan kerabat jang mengurungnja ; tapi terhadap keluarga2 jang berdiri sendiri seba- liknja kerabat2 sebagai golongan sanak-saudara-taik-tersusun saban2 mengemukakan tuntutan2 hak2-inija. Dengan djalam hukum-harta- peiikawinan itu maka harta-keluarga itu terpalku pada tempat- aja antara kedua ikutub jang tidak sama kuatnja, ialah kerabat dan keluarga, t

Dapat dikatakan pada umumnja bahwa kekajaan keluarga dapat dibeda2-ikan dalam empat ¡bagian: A. harta hibahan atau warisan jang diikutkan kepada salah seorang suami-asteri oleh kerabatnja ;

. harta jang oleh salah seorang suami-isteri tadi masing2 diperoleh atas usahanja sendiri sebelum atau selama perkaw inan; C. harta jang diperoleh oleh suami-isteri dalam masa perkawinan atas usaha­nja bersama ; D. hanta jang dawaktu perkawinan dihadiahkan ke­pada suami-isteri bersama.

A. Harta warisan.

Suatu asas jang sangat umum berlakunja daripada hukum-adat n onesia ialah bahwa mengenai hartanja kerabatmja sendiri jang eras dari warisan atau hibahan, maflca harta itu tetap mendjadi

mi i 'J a sa ah seorang dari suami-isteri jang kerabatnja menghibah- an a au mewariskan barang2 itu kepadanja. H arta serupa itu dise-

P' l / r v t ^adju), sisila (M ak.) babaktan (Bal.) asai, t p r d i a r ) 13 + nd-)> gana, gawan (D j.) dan sebagainja. Bila

i perpu usan perkawinan 'karena pertjeraian maka harta itu

1S9

tetap mengikuti si-suami atau si-isteri jang memilikinja semula, dan sesudah matinja si-pemilik maka harta itu tidak pindah tangan diluar kerabatnja, artinja tidak djatuh sebagai harta warisan ketangan se­orang daripada suami-isteri jang masih hidup dan barang kali di Djawa oleh karena itu djuga tidak diwaris oleh anak2 angkat, agar supaja barang2 itu djangan sampai hilang, kata orang. Di M inang­kabau harta-benda kerabat tidak mungkin dapat dihibahkan dan tak dapat diwaris oleh anggauta kerabat orang seorang. Dalam soal in¡ maka disana keluarga atau tjabang-kerabat tidak begitu tertampak tampil kemuka, ialah karena mereka mempunjai hak-pakai atas har­ta-benda kerabat, jaitu mereka mempunjai ganggam bauntuiq atas harta pusaka (hal.76, 116), sama dengan hak-keluarga atas barang2- pusaka di Ambon. Akan tetapi hampir disemua tempat2 lainnja har­ta-benda kerabat jang sudah did'jadfkan harta-benda keluarga itu nampak terpisah lebih terang. H arta jang diikutkan kepada pengan­tin perempuan sebagai „bdkal” (uitzet) dalam susunan berhukum bapa (di Pasemah misalnja) terkadang2 'tetap mendjadi miliknja si-isteri dan diwaris oleh anak2-nja dan bila ia mati tjldak meninggal-' kan anak2, diwaris oleh suaminja, walaupun bila terdjadi pertjerai- an barang2 itu dibawanja kembali kekerabat tempat asalnja. T a ­nah2 jang dikalangan suku Batak diberikan kepada pengantin perem­puan sebagai harta pemberian kemantin perempuan (bruidsgift) di­miliki oleh si-suami (dan oleh si-isteri) dengan hak-mili!k, walaupun setiap tindakan untuk menguasainja (beschi'kking) harus didahului dengan permufakatan dengan kerabat si-isteri. Bila ada anak2-nja, maka mereka ini adalah pelandjut2 sewadjarnja dalam angkatan berikutnja mengenai barang2-nja orang tuanja jang berasal dari wa­risan atau hibahan (hal. 197, 208), Anak2 itu adalah tempat dima­na pelbagai matjam harta-benda keluarga kepumjaan orang-tuanja berkumpul d j adi satu sebagai satu mafijam harta benda (ialah jang disebut barang asal), dan begitulah seterusnja. Dikalangan Dajak arti pusaka itu disamping barang2 warisan djuga meliputi barang2 (ber-chasiat) jang di'terimanja ditangan misalnja sebagai pemba- jaran-perkawinan atau pembajaran denda dan barang2 mana diper­untukkan buat diwariskan kepada ahli waris. Berhadapan dengan pusaka dalam pengertian umum sebagai „milik jang keramat” ter­dapat harta jang diperoleh atas usaha sendiri — buat pengusaha sendiri harta itu d jauh dari pada „keramat” — ialah harta benda jang dikalangan Dajak Ngad'ju disebut dengan istilah „nukar” dan jang diitempat2 lain djuga disebut (dalam arti kata umum) : pen- tjarían.

B. Harta jang diperoleh sendiri.

Kemungkinan buat seorang lelaki berkawin atau seorang perem­puan berkawin untuk mempunjai harta sendiri buat diri sendiri, ada- 'ah tergantung disatu fihak dari daja-serap (absonberende kracht)

190

daripada (harta-benda) kerabatnja (kerabat fihak lelaiti atau fihak perempuan), dilain fihak djuga tergantung dari daja-serap kekajaan umum daripada keluarga. Dimana ikatan kekerabatan masih kuat, maka harta jang baru dapat diperoleh itu sedjak pada permulaarmja diperuntukkan buat si-peroleh dan buat setengah daripada sanaksau- dara2-nja jang dengan dia merupakan kesatuan-sosial, itupun bila­mana ia tidak dapat meninggalkan harta itu sebagai warisan kepada anak2-nja sendiri jang termasuk dalam ikatan kekerabatan situ dju­ga. Seorang lainnja daripada suami-isteri jang bukan si-peroleh me­nurut hukum-adat tetap diluar milik harta serupa itu, sudah barang tentu ia sebagai satu bagian daripada keluarga turut merasakan buah hasil harta itu bila ada ; untuk menguasainja sebulat2-nja ha­rus ada persetudjuannja, setidak2-nja setahunja u>ans-nja( jaitu sesama anggauta kerabat. Baik harta jang diperoleh sebelum per­kawinan, maupun selama perkawinan, dapat berkedudukan hukum sebagaimana jang ibentangkan tadi.

Demikianlah misalnja harta jang diperoleh oleh suatu keluarga Batak mendjadi miliknja si-suami dalam ikatan kerabatnja, artinja, bahwa si-isteri atau kerabatnja tidak mungkin mendapat hak sedi- kitpun untuk dirinja sendiri atas sebagian harta, walaupun si-isteri itu selama perkawinan ikut merasakan hasilnja kekajaan keluarga itu. Perempuan Batak dapat djuga memiliki harta bendanja sendiri misalnja sebidang tanah jang dulu oleh bapanja dihadiahkan kepa- danja sebagai gadis (tano atau saba bangunan), akan tetapi ba- rang2 ¡tu termasuk dalam ruang „harta-hibahan”, jang tetap terikat (walaupun dengan pengikat jang dapat direnggangkan) pada ke- kajaan-kerabat aslinja. Demikianlah disatu fihak terikatnja pada kerabat sendiri dari fihak suami atau isteri membatasi milik atas ke­kajaan sendiri ; dilain fihak djustru karena terikatnja pada golongan kerabat2 itu dapat ditjegah djangan sampai ada barang2 djatuh tjampur djadi satu mendjadi milik dalam harta-benda keluarga umum. Di M inangkabau maka harta pentjarian — barang2 jang di­peroleh atas usahanja sendiiri — baik daripada si-isteri, maupun d a ­ripada si-suami, kena daja-penari'k (cohaesie)-nja harta-benda ke- - rabat, dan menghadapi itu maika daja-penarik (adhesie)-nja harta- benda keluarga umum dapat ibentahan, bilamana suami dan isteri kedua2-nja ikut berdjasa dalam memperoleh harta-benda tadi, itu­pun ketjuali perkisaran2 dalam hukum-adat jang akan disebutkan berikut ini.

Terlepas dari berlakun-ja ikatan kerabat jang bersifat memba­tasi, maka barang jang sebelum perkawinan diperoleh oleh si-lelaki atau si-perempuan sendiri, tetap ada miliiknja suami atau isteri sen­diri, sebagaimana djuga pindjam an2 sebelum perkawinan tetap ada­lah pindjaman2 perseorangan2. Di Sumatra Selatan barang2 serupa itu disebut harta pembudjangan (dari si-suami) dan harta penan­tian (dari si-isteri), di Bali baik dari si-isteri maupun sirsuami : guna kaja.

191

Tapi barang2 jang diperoleh pada masa perkawinan serupa itu— lagi terlepas dari berlakunja ikatan 'kerabat jang telah dibentang­kan diatas tadi ■— tergolong dalam gabungan-harta daripada suami dan isteri jang aikan disebutkan berikut ini, walaupun ada keadaan2 jang menjebaibkan barang2 jang diperoleh dimasa perkawinan itu mendjadi mildknja suami atau isteri send iri; misalnja di Atjeh peng­hasilan suami mendjadi miliknja sendiri, bilamana si-isteri dulu tidak memberikan dasar materieel kepada keluarga berupa tanah halaman atau kebun, atau tidak memberikan si-suami bekal untuk perdjalanannja (atau apakah ini bukannja usaha masjarakat untuk membenarkan adatnja terhadap peladjaran agama Islam jang tak mengenal aturan sedemikian itu?) ; di Djawa Barat misalnja maka penghasilan2 jang diperoleh dimasa perkawinan mendjadi miliknja si-isteri sendiri, itupun bila isteri tadi diwaktu perkawinan adalah kaja dan lakinja miskin ; Tupa2-aija misalnja dikalangan prijaji di Djawa dapat dianggap bahwa penghasilan si-suami mendjadi mi- ilknja sendiri. Kemudian tetap mendjadi miliknija si-isteri senairi terkadang2 barang2 atau wang, jang dihadiahkan kepadanja priba­di karena perkawinannja itu (ketjuali bila pemberian itu bukannja penghibahan, pem'bdkalan barang2 kepada 'kemantin perempuan (uitzet), dan sebaginja oleh fihak orang tuan, j a si-isteri, barang2 dan wang mana kebarujakan memang milik si-isteri (dalam ikatan kerabat), akan tetapi tergolong djenis barang asal, jang telah dibi- tjarakan diatas tad i). Dimana di antara pembajaran2-perkawinan itu terdapat suatu pemberian-perkawinan (huwelijksgift) kepada si-perempuan seperti djinamee di Atjeh, hoko di Minahasa dan se­perti sunrang dibagian terbesar diSuIawesi Selatan, malka barang2 atau wang itu — demikian djuga mas kawin dan dilain2tempat sega­la pembajaran2 jang mendjadi satu dengan maskawin — tetap ada- iah miliknija si-iisteri pribadi. Djuga hadiiah2 jang diterima oleh si- perempuan dari t j alon suaminja atau dari kerabatnja karena perka- winannja itu, kebanyakan tetap adalah miliknja sendiri (di Atjeh tetap miliknja sendiri hanja ^pemberian^pembukaan-keperawanan" {„ontmaagdingsgave’ ’) dan hadiah-hari-ketudjuih (zevende-dagis- o fh n^ ’ bC9itU denda )an9 (misalnja di Kalimantan) harus dibajar

eh salah seorang dari suami-isteri kepada lainnija karena sesuatu pelanggaran (delikt).

C. Harta-perkawinan bersama antara suami dan isteri

)azimnja atucan tentan9 barang asal sebagai jang diben- angkan diatas, jang tetap terikat pada kerabatnja asli, begitu la-

nja pula aturan bahwa harta ibenda jang diperoleh dimasa per- awrnan mendjadi harta bersama antara suami dan isteri, sehingga

merupakan harta^benda (sebagian daripada kekajaan keluarga) mana 'ka,ai1 timbul keperluannja (terutama bila perkawinan putus)

192

suami dan isteri (masing2 buat sebagian) ada 'haik atasnja. Adalah suatu perketjualian 'besar, 'bila ada terdapat aturan jang tidak lulus­kan kesempatan unfeu'k mewudjudkan h arta bersama serupa tersebut diaitas itu. H anja d iman,a terdapat masjaraikat2 jang tersusun menu­rut hukum-bapa, mafka kekajaan-kerabat dari fihak suami (dalam perkawinan djudjur) atau keikajaan-kerabat fihak isteri (dalam perkawinan ambil anak) tidalk meluluskan kesempatan untuk me- wudjudkan harta-'bersama berdasarkan hukum, walau sediikitpun djuga. Tapi dalam pada itu dapat diperhatikan suatu ketjende rungan, bahw a makin berkurangnja pengurungan oleh kerabat, ber­akibat makin bertambahnja teri'katnja harta benda ikepada keluarga. D an hanja dimana (terlepas dari pengaruhruja kerabat) terdapat suatu keunggulan (overwicht) jang besar pada sallah seorang dari pada suami-isteri — seperti jang telah dituturican diatas tadi tentang perkawinan2 diwilajah Sunda daripada perempuan 'kaja dengan le­laki miskin (njalindung ka gelung)atau sebaliknja (manggih kaja) dan sebagainja — mafca keunggulan pribadi itulah mentjegah ter- w udjudnja ihanta-bersama.

Lain daripada itu praikbis-nja dim ana2 masing2 kekayaan keluarga sebagian terdiri dari hartasuaran# (M in .), bacang perpantangan (Kalim antan), tjakkara (Bug. dan M ak .), druwe gabro (Bal.), ba- ran9 gana gini (D j.), guna kaja (Sund.) d'an sebagian.

T erkadang2 daja penari'knija barang-'kerabat itu tergantung dari besar ketjilnja harta- 'bersama itu. M engenai harta-'bersama dalam perkawinan ini jang paling terbatas malknanja ialah terdapat di M i­nangkabau. D isana rupa2-nja jang dianggap harta suarang hanja barang2 jang diperoleh benar2 'karena pekerd'jaanmja suami dan isteri bersam a2. Akan tetapi djuga disana perubaihan sosial ■ jan9 berwud'jud penggantian rumah-kerabat mendljadi rumah-ikeluarga — membawa pengaruhsedemiOcian rupa selhingga batasnja sebutan har- ta-bersama ini mend'jadi lebih luas.

Biasa jang digolongkan dalam harta-'bersama ddantara suami dan 'steri ialah barang2 jang diperoleh selama perikawinan dan dalam pada itu keduanja, suami dan isteri, dalam arti kata umum, beker- dja untuk kepentingan keluarga sehingga tnemperolehnija itu ; djuga sjarat jang terachir. ini — jaitu bekerdja untuik kepentingan keluar­ga dapat diabaikan, sehingga barang2 jang diperoleh dalam per­kawinan, selalu adalah <kekajaan>bersama keluarga ; sekali tempoh terdapat suatu peralihan dalam hal ini, seperti da Bali, dimana ba­rang2 jang diperoleh selaku perseorangan (disana „guna ka ja ') sesudah tiga tahun dianggap harta-foersama diantara suami dan iste­ri (druwe gabro). Demikianlah dilapangan milik atas barang2 ter- njata ada perkisaran titik-berat, ialah dari kerabat 'ke-tkeluarga. H a- diah-kepada kedua pengantin karena .perikawinannja (lembagamo- dern) mendjadi milik bersama diantara suami dan isteri.

193

Timbullah berbagai2 persoalan hukum jang istimewa. Buah hasil daripada harta benda perseorangan terkadang2 disebut harta-bersa- nia bila seorang daripada suami-isteri jang tak mempunjai barang- asal itu turut bekerdja untuk memperhasilkannja (turut mempeli- hara ternak asal daripada isterimja atau suaminja, misalnja di Dja- w a), terkadang2 buah hasil itu selalu ada miliknja pemiliknja pemi- 'ik barang—asal itu. Pendapatan daripada barang-asal jang didjual atau ditukarkan adalah barang-asal. Bila barang barang-asa/ diper­gunakan ¡buat mentjukupi keluarga, maka pemiliknja, si-suami atau si-isteri, biasanja tak berhak menuntut penggantinja, djuga tak berhak sedemikian itu bila perkawinan putus.

Terkadang2 terdapat pemberitaan2 tentang hartaperkawinan da­lam istilah2 jang seraja mengandung petundjuk siapa jang harus membuktikan (bewijsrisico) bila timbul perselisihan : barang2 itu adalah harta-bersama, ketjuali bila dibuktikan, bahwa si-isteri tidak memegang rumah-tanggamja. Sedemikian itu dapat membingung­kan :buat menetapkan siapa jang harus membuktikan dulu (verde- ling van de bewijsrisico) jang mendjadi soal ialah bagaimana kea- daannja jang normaal dan oleh karenanija dengan sendirinja sudah dapat dianggap benar dan bila jang d'jadi perkara itu menjimpang dari keadaan normaal, simpangan mana terutama jang harus dibuk­tikan : tapi soalnja sendiri semestinja termasuk soal hukum-madi (materieel recht). Selama masa perkawinan maka suami-isteri ber­buat dengan harta-bersama itu dengan permufakatan jang lajak, terang2-an atau diam2, masing2 dalam lingkungan kekuasaannja sendiri2 jang lajak. Bila diadakan perdjandjian2 ( transakties) jang penting, maka terkadang2 'kedua orang tampil kemuka, akan tetapi bilamana si-suami jang bertindak maka dianggap dahulu, bahwa isterdnja sudah mufakat tindakanmja itu dan perbuatan si-suami itu sudah sah walaupun ia untuk itu tidak berbitjara dengan isterinja. ■l api andai kata si-isteri tetap menentang setjara terang2-an. mana si-suami tak berkuasa bertindak sendiri, ketjuali dalam keadaan me­maksa ; f ¡¡hak ketiga hendaknja mempertimbangkan kemungkinan ini. Sama halnja dengan membuat pindjaman ; kewad'jiban2 mem- bajar jang telah didjandjikan oleh suami atau isteri harus ditunaikan dengan mempergunakan harta-bersama sebagai kewadjiban2 keluar­ga. H utang2 sedemikian itu harus dibajar dengan harta-bersama, ^ila tak tjufcup, dengan barang -asal.milik suami atau isteri jang su~

aah bertindak membuat hutang ta d i; malahan dii M akasar dapatlah arang2-asa/ (aJtau barang2-sfst7a) didjual untuk melunasi huitang'2-

bersama sebelum didjual harta-bersama untuk iitu ; teltapi barang2- asal daripada seorang jang telah mati .tid'ak dapat diperlakukan de­mikian. Amd'aii kata si-suami atau si-isteri mempumjai huitang sendiri

misalnja hutang jang terdjadi sebelum dia kawin — maka hutang itu pertam a2 harus dibajar dengan barang-asaZ-nja si-djodoh jang

194

bersangkutan dan nomor dua : dengan harta-bersam a seluruhnija. Selama penkawinan taik dapat dikatakan adan:ja suatu bahagian suami abau isteri daripada harta-bersam a ijang taik terbagi-, dan pe- njitaan aitas suatu bahagian dari seluruhnya jang tak 'terbagi- untuk membajar .hutang adalah (dan praktis-n ja) suatu 'kemustahilan, 'ka­rena 'harta-benidia aitu selama 'perkawinan tak dapat dibagi- bila tidak dikehendaidnija oleh siapa ijang berikepenitingan.

Pembagian barang2 penkawinan itu terd jadi bila perkawinan putuc karena pertjeraian hidup. Bilamana tidaik ada peristiwa, bahwa sa­lah seorang dari suami-isteri berkelaikuan begitu buruk sampai ke­hilangan segala haknja atas sebagian harta-pertkawinan oleh karena- nja, atau bahwa si-isteri m eninggalkan bagiannja sebagai pemba- jaran kerugian atas talaq jang didjatuhkan atasmja (hal. 181, 184). maka biasanja masing2 dari suami-isteri mengambil kembali ba- rang2-nja asal, mungkin ditambah djuga dengan barang milik jang diperolehnya pribadi d an bagian n, j a dari harta-benda dalam perka­winan. Selandjuitnja harta-bersam a itu dibagi-dua sama bagiannja atau 'kalau tidaik, dalam perim bangan dua bagian buat si-suami daii satu bagian buat si-isteri. Perim bangan pembagian jang terachir ini ruipa--nja adalah patokan Indonestia untuik menilai berapa tenaga si- suami jang dianggap sudah disumbangkan buat harta-ibersama tad' dan berapa sumbangan tenaga si-isteri ; dikatakaninija orang : sapi- kul sagendong (D j .) susuhun sarembat (Bal.). Tentang anggapan bahwa pembagian itu berasal dari hulkum Islam, maka anggapan sedemikian itu ¡taik dapalt dipertahankan karena ada wilaijah2 dima- na agama Islam tak berpengaruh sedikitpun .tapi todh patokan penij bagian jang sama dengan itadli sudah lazdm diamltaira Pribumi. M engenai anggapan bahw a patokan pembagian serupa itu d juga harus diperlakukan atas peristiwa2 lainmja (misalnja bila ada pem­bagian harta peninggalan), maka anggapain sedemikian iitu menga­baikan adanja perbedaan dalam dasar' pembagian, ialah dasar pem­bagian harta perkawinan dan dasar pembagian menurut hukiim- waris. ‘D ilapaiigan hukum-waris maka pernillaian : lelaki dua bagian terhadap perempuan satu bagian, adalah barang 'kali berasal daJ hukum Islam, barang kali djuga 'karena ralkjat meniru tja ra pemba-

) giannja harta-perikawinan, itapi djarang selkali m enurut suatu kai-- dah hukum-adat setempat. Bila perkawinan mendjad'i putus karena inatinja suami atau iisteri maika djodoh jang masih tinggal hidup itu menguasai harta-bersam a setjara seperti sebelum terputusmja periKa winan ; djodoh 'jang ditinggal mati itu beihak atas harta-bersama itu untuk nafaqahnija sendiri ; bilamana nafaqah ini telah dipenu ij setjara paitu't, maika dapat d'ibagi2-nja harta tadi antara dia dan ahii waris nja djodoh jang mati : bilamana ada anak2 jang lahir dan per­kawinan tadi, maika pada achirnja merelka mewaris harta-bersama itu sebagai barang a sa l; bilamana tidaikada anaik2, maka ruipa2-auja sematinja djodoh jang terlama hidup ini, harta-bersama tam dibagi-

diantara sanaksaudara si-suami disatu fihak dan sanaksaudara si- isteri dilain fihak dengan memakai patokan jang akan dipakai andai kata suami dan isteri dulu diwaktu hidupnja membagikannja dian­tara mereka satu sama lain. Bilamana diwaiktu hidupnja si-djodoh jang ditinggalkan mati suami atau isterimija itu diadaikan pembagian harta, maka di Djawa misalnja, tidaik diadakan perhitungan jang saksama, ialah anak2 bersama ibunja atau bapanja mendapat bagian sama masing2 dari harta seluruhnja, jang terdiri dari dijumlah se­mua ¡barang2 didjadikan satu ; di Sulawesi Selatan si-isteri disam- pimg ibagiannija daripada harta bersama mendapat djuga iporsinja sebagai djanda (weduwe-iportie), si-suami mendapat bahagiannja sebagai djanda laki2 (weduwnaarsdeel) (tawa kabaluang).

Sedang pembagian harta-bersama semasa suami dan isteri masih hidup setjara paiksa dimana2 menurut hukum-adat tak mungkin sama oeJcali, namun pembagian 'barang2 itu dengan permufakatan satu sama lain ada djuga terdapat, dan pembagian iserupa itu berlaku diantara suami dan isteri bersama ahli warisnja. Pelaksanaannja pembagian ialah menuruit patokan jang dikehendaki mereka sendiri, kalau tidak begitu, dengan djalan penghibahan oleh mereka bersama kepada salaih seoramg daripada ahli warisnj'a. Alasannja untuk itu mungkin misalnja karena si-suami akan naik ihadji dengan seorang diri sadlja. Dalam pada itu terhadap penuntut2-pi!ndjaman lama (bila keperatingannija dirugikan) pembagian sematjam tadi akibat- nja tidak berlaku atas mereka, dan terhadap penuntut2-pindjaman baru pembagian itu hanja berlaiku akibatnja atas mereka billamana pembagian harta dalam lingkungan keluarga sendiri itu sudah tju- kup diumumkan sepatutnja, sebelum timbul hutang baru itu.

Mengenai perbuatan menolak haik unituk ikut memiliki hanta jang diperoleh bersama dalam perkawinan (uitsluiten van de gemeen- schap van goederen) pada semulanja, maka pembuatan sedemikian itu ■ sebagai perbuatan-hukum ■— tidalk terdapat dalam hulkum- adat. Sebaliknija karena pengaruh Kristen (Kaltiholiek) ru p a ^ - ru ja terkadang2 terdapat djuga ikedjadi'an, balhwa sedjalk mu'lanja sudah diitetapikan — inli adalah satu2-nja perfcebjualian :jang djarang ada —- oahwa djuga barang2 -asal akan mendjadi hartaJbersama diantara suami-rsteri (faitsal 50 daripada ordonnantie tanqqal 15 Pebruari 1933 stbl. 74).

D. Harta-benda jang dihadiahkan kepada suami-isteri bersama. 'Di Madura ada terdapat, bahwa disana diwaktu perkawinan di­

langsungkan, kepdda suamii-isltoi diberikan hadiah baranq2 (barang pembawaan) jang pembagiannja diantara mereka berdua ada ber­lainan 'tijaran'ja dari pada pembagiannja h a r t a-b e n d a jang diperoleh dimasa perkawinan (ghuna ghana). Sedang barang2 .jang tersebut terac-hir ini pembagiannja : dua bagian untuk suami, satu bagian untuk istri, namun barang pembawaan ini pembagiannja : suami dan isteri mendapat bagian sama, jaitu masing2 separuh.

196

BAB KE-SEPULUH. HUKUM-WARIS.Dalam hubungan jang sangat eratnja dengan apa jang telah di-

bitjarakan dalam bab2 lainnja maka huikum-waris-ada t itu meliputi aturan2-hukum jang bertalian dengan procès dari abad 'ke-abad jang menarik perhatian, ialah procès penerusan dan peralihan kekajaan materieel dan immaterieel dari turunan ke-turunan. Hanja tinggal ditundjukkan sadja sampai dimana berlakunja pengaruh lain2 atu- ran2-hukum atas lapangan hukum-waris dalam m asing2 lingkungan hukum. Hak pertuanan (beschikkingsrecht) membatasi pewarisan tanah ; perdjamidjian2 tanah seperti penggadaian tanah harus dilan- djutkan oleh ahli waris ; kewadjiiban2 dari hak2 jang timbul dari per­buatan2 kredieit tetap berlaku terus sesudah matinja orang jang su­dah berbuat itu ; bangurwuja susunan sanaksaudara2, begitu djuga bentuknja perkawinan, kesemuanja ada penitingnija dalam hukum- waris. Perbuatan2 hukum seperti ambil-anak (adoptie), perkawinan- ambil-anak (inlijf-huwelijk), pemberian bekal kepada penganitïn pe­rempuan (uitzet-verstrekkdng), kesemuanja itu dapat djuga dipan­dang sebagai tindakan2 dailam lingkungan hukum-waris — ialah hu­kum-waris dalam arti luas tersebut diatas ialah ; penjelenggaraan pemindahan tangan dan peralihan kekajaan kepada turunan berikutnja.

Bilamana procès termaksud diatas itu digunting2 mendjadi po­tongan2 ketjil2 dengan djalan : menempatkan „penghibahan” (toe- scheiiding) disamping „wasiat” (uiterste wils'beschiiklking ) dan di- samping „pewarisan tanpa ada wasiiat” (abintestaatvererving) — ■menempatkan „harta peninggalan jang tetap tak terbagi2” diha­dap an „pembagian harta-ipeninggalan” — pula dengan djalan : membandingkan bagian2 warisan menurut undang-undang (legi- ticme porties) dengan „wewenang untuk menolak seseorang waris dari warisan” ( ontervingabevoegheid ), ■— maka penjaringan dau pemisahan sedemikian itu disini djuga tak dapat dihindarkan untuk mendapat iohtisar dan pengertian jang sefbaik2-nja, ■— tapi peng­guntingan dailam arti kata diatas tadi adalah djuga suatu penje- rangan atas pengertian tentang keseluruhan peristiwa-hidup tadi. Dalam kenijaltaannja orang tidak tjukup dengan berfcaruja sadja ba­gaimana suatu kekajaan-tertentu sudah diperlakukan semestinja pe- miliiknja, dengan dijalan demikian itu orang akan memperoleh gam­baran jang pin t jang ; namun d'alam pada itu orang dapat dan ha­rus memisahkan tokoh-hukum „kepkidahan milik kekajaan diwaktu mafci” „ dari to,koh-hukum „penghibahan (toescheiding) diwaktu hidup , dan sebagainja.

Dilap angan hukum-waris dapat mudah ditundjuikkan adanja 'kesa­tuan dan ¡berdjenis2-an dailam hukuin-adait Indonesia. Dapat disu­sun aturan2 pokok dan asas2, jang sangat umum berlakunja, tapi tak dapat disusun satu aturan, jang diisemua lingkungan hukum ber­perangai lahir jang sama. Kaidah : „bila seorang ¡pemilik Bum-iputera ;nati maka pertama2 anak2-iîja mewaris dari dia” adalah hanja se­lengah betul terhadap daerah2 Batak, ialah „benar” hanja terhadap anak2 laki2 (walaupun d'alam pada i/tu barang2 jang telah dibawakan

1 9 7

kepada anak2 .perempuan -bidak boleh diabaikan begitu sadja) ; di Mhiangkabau kaidah itu setengah betul, artinja „betul bila jang mati itu ¡bun'ja ; bila jang mati itu bapanja, maka jang mewans dan dia ialah angkatan muda keturunan saudara2 perempuan si-mati, bukannja angkatan muda keturunan (dia bersama) istermja (wa­laupun dalam pada itu penghibahan* berkala dari bapa kepada anak--nja tidak boleh diabaikan begitu sadlja) ; didaerah- Lamp.ong kaidah iitu setengaih betul, dalam pengeribian bahwa disana hanija anak jang tertua mewaris — tapi dengan dibebani kewadjiban mem­perlakukan keluarganja bapanja seperti keluarganja sendiri. M e­ngenai kaidah ¡jang menyebutkan bahwa harta peninggalan sesudah matinya pemiliknya dalam keadaan- (tertentu masih tetap tidak diba­gi-, maka aturan ini di Minahasa mengakibatkan keadaan jang lain dari pada di Minangkabau, 'lain pula dari pada di Bali atau di Dja- wa, dan sebagainlja.

Aturan2 hukum-waris tidak hanja mengalami pengaruh peru­bahan- sosial da,n semakin eratmja pertalian keluarga jang beraki­bat semakin longgarmja pertalian clan dan su:ku sadja, .melainkan, djuga mengalami pengaruhmja sistim2 hukum asing, jang . m e n d a p a t

kekuasaan berdaisaitkan atas agama karena ada ¡hubung.ann.ja lahir jang tertentu dengan agama itu : dan kekuasaan tadi misalnja di- pratijk-kan atas soal2 jang consreet oleh hakim2 agama, walaupun •pengaruh itu atas hukum-waris tidak begitu kentara seperti atas hukuim-perkawinan ; adailah tergantung dari kekuatan ibsnituk2-nja hukum-waris .sendiri apakah ia dapat teltap menolak pengaruh itu, ataukah .pengaruh itu dapat menyebabkan perubahan2 jang m enda­lam atasnja.

Pertama2 disini akan dibitjarakan hal harta-iperainggalan jang tetap tidak dibagi2 ; sesvjdah itu : hal p eribua t a n 2-h u kui m jang 'me' lvgakibatkan atau mempengaruhi pembagiannya; seland'jutnya .hal ahli waris dlilmana tiada wasiat (abmtestoot) dam kemudian hal • diwarisnija bagian- jang tertentu daripadla harta-ipeninggalan dan hutang2. Mengenai kebiasaan membawakan, kepada si-mati barang2 kel’.ang kuburnija — barang2 mana menurut alam pikiran „serba- berpasangan" (partici.perend) sedemikian erat hulbungannja dengan pribadinja si-mati, sehingga orang lain tak dapalt memilikin;ja tan.pa mendapat bahaija oleh ikarenanja — maka hail itu harus dianggap sebagai suaibu kebiasaan jang sudah lenyap atau sedang mendjadi len'jaip.

1. DARI HAL T E T A P TAK TER B A G I2-NTAH A R T A -P E N IN G G A L A N .

Adanija hanta-pemnggalan teitap tinggal talk dlibagi2 itu dalam be­berapa lingkungan-hukum ada hubungannya dengan aturan bahwa harta benda jang diltinggalkan oleh kakek2 (dan nenek2) itu tidak mungklin ¡dimiliki, melainkan setjara milik-bersama beserta waris la­innya, jang saifiu dengan lain merupakan suatu kebulatan jang tak da­palt terbagi2. H arta keralbalt di Minangkabau ialah ha ria pusaka,

198

dan tanah--ikerabat dati didjazirah Hitu dipukia Ambon kesemuan j a itu dapat dipakai sebagai tjontoh. Masimg- anaiT jang lahir adalah peserta dalam gabungan-,perseorangan- jang memiliki barang--¡kerabat, tanah2npertaman, pekarangan dengan rumah dan tema'kmja, keris- dan perhiasan- mas-intan ; masing2 lela­ki a;tau perempuan jang meninggal dunia meninggalkan gabungan- perseorangan'2 (personen-complex) tadi untuk berlangsung terus dengan tiada gangguannja. Sepandjang seseorang diwaktu hidup- nja ¡telaih memperoleh harta bsnida atas usahanja sendiri (harta pen- tjarian) maka bila ia mati barang2 itu djatuh 'ketan ga n analk-tjutju- nja jang berhak atasmja sebagai warisan jang bulat dan tak terba­gi2, anak-tjutju mana sewaktu hidupnja dulu djuga sudah ada nubungannja terhadap barang2 tadi sebagai waris (hal. 189). Bila­mana misalmja di Minangkabau ada seorang perempuan mati ijang mempunjai sawah sebagai milik perseorangan, maka sawah itu men- djadi mlik-bersama-jang-<taik-'teibagi2 daripada anak2-nja ; itu dise­but harta pusaka angikatan pertama (oleh karenanja rupa2-nja diju- ga disebut harta saka, atau hatla pusaka rendah). Dengan ¡tjara serupa itu djuga malka harta pentjarian-: mja /seorang laki2 mendijad'i harta (pu)saka daripada saudara--mja / laki2 dan pe­rempuan dan an'ak-tjuitjunja saudara-’-nja perempuan, kesemuania menurut garis iketurunan perempuan. Demikianlah ada pada ha.rtn pusaka iitu s e n id j 2 -nja ( g e l e d i n g e n ) . Harta benda terkuno berasal dari banjak angkatan2 nenek2 leluhur jang lampau, jai'tu dari nenek2 leluhur jang d'ulu turut membantu pem­bentukan nagari, ialah disebut harta pusaka tinggi, dibawah pengu- rusannja kepala daripada kesatuan kerabat jang terbesar, ialah pengulu andiko, dan harta benda jang termuda berasal dari sese­orang lelalki atau perempuan dari angkatan jang baru lalu jang me­ninggal dunia ; diiantara dua2-nja terdapat gabungan2 harta benda berasal dari leluhur^ dari beberapa angkatan ijang lalu. Kesemuanja itu dalam praktijknja mendjadi lebih gampang dari pada nampak- nja, ialah karena adamja golongan2 jang habis mati, dan pergabu- ngan harta2 mendjadi satu oleh 'karenanija, dan sebagairtja. Bilamana suatu gabungan kerabat mend'jadi kebesaran, maka lantas membe­lahlah dijuga ikekaijaan jang tadinija ¡tak terbagi2 iitu (gadang nia- njimpang). Dimana — seperti diidjazirah Hiitu dipulau Ambon — kekajaan2 kerabat tak terbagai2 (dati) serupa itu ad'a ditangan ba- gian-olan berhuikum bapa maka anak2-n'ja si-suami (dan si-isteri) dan ana'k-tjutjunija anak2 laiki2 adalah pelamdjutr-nja. Djadi tanda- tjiri daripada 'keadaan tetap tak teibagi2-n|ja kekajaan pertama2 ia­lah karena t a k m u n g k i n -mja membagi2-inja, dan kenjataan bahwa sesuatu golongan bersama2 mempunjai hak atasnja, terka­dang2 dibawah pimpinan seorang kepala kerabat, ialah mamak kepala waris, kepala dati. Bilamana harta kerabat sedemikian itu djatuh terlantar dengan tiada jang mengurusnya, guntung (M in), linjap (Amb.) karena kerabat habis mati, punah (M in.), maika bisa

199

lantas djatuh ketangan kerabat2 jang karib atau — bila mi tidak ada — ketangan masjaraikat.

T jara lain daripada keadaan tetap tak terbagi2-nja harta pening­galan ialah karena hanja seorang anak — anak lak r jang tertua— (seperti dikalangan sebagian penduduk Lampong, dan seperti dulu selalu dari sekarang terkadang2 masih di Bali) jang berhak untuk mewaris ; pula karena berhak mewaris hanja anak perempu­an jang tertua (sebagian) dan bila tidak ada anak" perempuan, anak laki2 jang termuda dikalangan suku Semendo di Sumatera Se­latan, dikalangan suku2 Dajak Landak dan Dajak Tajan di Kali­mantan Barat. Analk laiki2 tertua sematinija bapanja beralih mendu­duki tempatnja ; ia mendjadi pemilik kak." aan, tapi sekalian ia ber- kewadjilban memberi nafakah kepada saudara2-nja laki? dan perem­puan, mengawinkannja dan menijokomgnja dalam perdjoangan kehi- dupanmja. Di Bali ia harus tetap memperuntukkan sebagian daripada kekajaan itu ■— „bagian kuil-rumah” ~ buat peribadatan. Saudara2 laki2 'jang tidak suka setjara demikian itetap tinggal serumah dengan saudaranja laiki" tertua, mereka mengembara — misalnija di Lam­pong .— dengan keluarga2-nja ketempat2 lain ; dengan djalan de­mikian maka rupa2-nja seluruh marga sekarang diduduki orang. Tapi harta peninggalan si-bapa tetap turun temurun dalam keadaan ke­satuan jang tak ¡terbagi2, dimiliki oleh penjimbang, anak laki2 tertua daripada anak laki2 tertua, dan sebagainja ; bilamana ia tak ada lagi dan tak diusahakan gantinja dengan djalan negikan, jang berarti : mendirikan tjabang, maka tjabang itu mati habis (mupus) dan har­ta peninggalan djatuh ketangan ¡tjabang jang paling karib dengan- nja. Kemungkinan bahwa anak2 jang lebih muda minta beaja na • iaqah untuk dirinja berupa sebagian harta sekaligus — ialah bahwa mereka untuk itu ingin mendapat sebag'an dari harta tadi sekaligus (zich laten uitboedelen) — dapat mengakibatkan timbulnja suatu hak atas sebagian harta dan dapat mengakibatkan hapusnja hukum- waris berdasar anak jang tertua (maijoraatserfrecht). Di Bali proses penghapusan sedemikian itu rupa2-n>ja makin mend.apat kemad.juan. Tentang kedudukan istimewa daripada analk perempuan tertua di­kalangan suku Semendo, jaitu tunggu tubang (di'bawah pengawasan anak laki2 tertua, ialah pajung djurai) dan kedudukan anak perem­puan tertua dikalangan suku2 Dajak Sandak dan Dajak T ajan . anaq pangkalan, kesemuanja djuga mengandung maksud dan mem­beri kekuatan untuk memegang bagian2 pokok daripada harta itu m endjad i satu sebagai kebulatan jang tak ¡terbagi2, terdiri dari satu daripada m,asing2 djenis : sebidang tanah-pertanian, sebidang tanah pekarangan, seekor kerbau, sebatang pohon kelapa ; sekumpulan harta ini buat sekalian anak2 tetap mendjadi „pangkalan” mereka Pergi mengembara dan djuga „pangkalan” mereka pulang untuk memperoleh perlindungan. Setjara semafcjam itulah cupa2-nja harus ditafsirkan kedudukan jang dilebihkan dalam hukum-waris daripa­da anak laki2 termuda dikalangan sebagian rakjat Batak ; dia jang

200

paling lama tinggal dirumah mendapat sebagian dari budal jang masih dalam keadaan taie terbagi2 jang dulu ada diitangan si-pening- gal warisan agar supaja dipertahankannja 'terus ('buat diiimja). Ke- wadjiban2-nja terhadap saudara'-ruja perempuan jang belum kawin (kewadjiban2 mana dipikulnja bersama dengan kakak2-nja laki2) adalah seimbang dengan kedudukannja jang dilebihkan itu.

H arta2 kerabat tak terbagi2 jang terkenal di M inahasa ialah barang kalakéran, berbeda dengan harta 'kerabat Minangkabau — ini terlepas dari tata-susunan raikjat M inahasa jang berhu'kum ibu- bapa dengan kelebihan difihak bapa ■— dalam pengertian, bahwa harta tadi mungkin dan boleh dibagi2 asalkan semua orang jang berhak menjetudjuinja. M engenai 'keadaan tetap tak terbagi2-nja barang jang diperoleh atas usaha perseorangan, jaitu barang-pas/ni, misalnja : tanaman2 diatas .tanah kalakéran, maka bi'la pemil'knja itu mati lantas di waris sebagai harta-bersama daripada golongan anakntju'tjunja orang jang meninggal dunia itu ■— djadi golongan anak-tjutju jang merupakan seibagaian ketjii dari kerabat seluruhnja, jang memiliki harta-kalakéran ■—■ maika keadaan itu djuga merije- babkan timbulnja sematjam sendi2 dalam susunan kerabat seperti di M inangkabau, hanja sadja urusan ini mendjadi amat lebih ruwet disebabkan oleh perkawinan2 endogamie disana. Disinilah letaknja kekatjauan dalam hal hukum-tanah di Minahasa, dan orang berke­hendak mengatasinja dengan djaJan memungkinkan dan menge­sahkan pembagian2 harta-peninggalan itu tanpa persetudjuan bu­lat daripada anggauta2 kerabat (jang tidak selalu bisa didapatnja hubungan). Penjelesaian masalah ini buat sementara tidak mung­kin karena kurang baiknja organisasi peradilan (gubernemen), ku­rang tepatnja pengertian tentang funksi jang mau tidak mau harus dimiliki oleh peradilan untuk mengadili perkara serupa itu dan oleh karenanja timbul usaha jang kurang tepat pula untuk memperbaiki peradilan tadi.

Di Ambon maka tanah2 d ¿luar golongan tanah2- dati diwaris oleh anak-tjutju peninggal2 warisan dalam arti hukum ibu-bapa ; warisan itu mendjadi m lik- pusaka jang tetap tak terbagi2, walaupun dapat djuga diusahakan untuk dibagi2nija. Djuga sekitar milik ini timbul sendi2 diantara gerombolan2 ketjii daripada mereka jang berhak atas pusaka ini (anak~t>jutju anggauta kerabat jang sudah memper­oleh milik ■— perusahaan ■— sendiri, ialah karena ia telah membuka tanah sendiri atau menambah djumlah tanaman sendiri) dalam ling­kungan golongan kerabat jang lebih besar dan jang memiliki tana­man2 jang lebih tua ; djuga disana timbul permudahan jang praktis mengenai penggolongan para ikut berhak, penggolongan mana se­mula teoretis mendjadi sangat ruwet sekali nampaknija.

Diluar bentuk2 daripada keadaan tetap tak terbag:i2-nja harta-pe­ninggalan jang tersebut diatas itu, maka adalah perangai ke-Indo­nesia-an umum, bahwa harta-peninggaJan itu sematinja si-pening- gal tetap diteruskan sebagai kebulatan harta jang tak terbagi2 dan

201

sebagai kekaijaan keluarga ; dasar daripada tak terbagar-nja itu ada­lah pokok pikiran, bahwa hanta jang diperoleh itu memang tersedia untuk mentj'ukupi kelbuituhan2 dan (keinginan- materieel daripada k e 1 u a r g a •• nja. Adalah disadari sebagai perkara jang sudah se- mestimja, bahwa — bila pemimpin daripada keluarga itu meninggal dunia — harta-ibendanja (-harta-benda Ikeluarganja) tetap berlang­sung dalam keadaan tak terbagi2 diibawah pimpinan orang lain ( jai-tu analk laki- jang tertua, djandanja) untuk'kepentingan keluarga, sam- ' pai palda s-uabu waktu kelak dilbag.r-nja diantara anggauta2 keluarga perseorangan umtuik dipakai lagi sebagai dasar daripada keluarga2 jang dibentu'k oleh mereka. Djuga dalam padaiitu iharus seialu di­ingat, 'bahwa pembagian itu tidak perlu dan atjap ka-li tidak terdiri dari satu perbuatan sekaligus pada satu saat, melainkan pembagian itu terdiri dari satu procès beramgisur- daripada pemberian 'tanah2 pertanlian, pekarangan", rumah2 kepada anak2 jang pergi menjiar (berkawin), dan sisan'ja djatuh iketangan anak jang .termuda ■— jang terlama tinggal d'irumah — ialah sesudah kedua orang buanja meninggal dunia. Dalam procès ¿mi maka kematian orang tua mungkin merupakan suatu incident jang tak berpengaruh njata atas djalamnja urusan menurut hulkum-adat ; mungkin djuca kematian itu mendjadi alasan untuik membagi2 harta-benda itu sam­pai habis setjara pasti. Dalam hulbungan ini maka pertanijaan jang mendjadi soal dalam hukum-adat ialah, apakah — -bila seseorang jang dianggap sebagai pemilik harta-benda iifu meninggal dunia seorang warismja, umpama anaknja jang sudah dewasa dapait m e - n u n t u t pembagian sekaligus dan pasti daripada harta peninqga- lanlan itu. D.jawaban atas ¡pertanjaan Ani ialah, bahwa : bilamana keadaan «alk itenbaga2-nja dan kumpulan djaidi -satu daripada harta- penniggal'an utu perlu dan dibutukkan untuik mentjapai tudiuan harta itu sebagai kdkajaa^-keluarga ~ .bilamana misalnja seorang djanda atau anak2 .jang belum dewasa 'harus mendapat naf agahnya daripa- danija dan pemberian nafaqah ini akan kurang dapat terlaksana andaikata diadakan pembagian - maka pembagian itu tidak (be­lum) .boleh dituntut oleh seorang waris itu. Tentang sampai dimana orang dengan permufakatan satu sama lain segera atau tidak sege­ra membagi- harta-penmggalan itu, maka hal ini tergantung dari banjak faktor2 ekonom,s dan peribadatan-sihir (magisch-religieuze factoren). Putera-- Bataik -.jang bapan.ja sudah mentjapai suksès ba­njak dengan setjepat mungkin memiliki bagiannja dalam harla- benda jang berasal dan diperoleh sendiri oleh s.-mati; bagiannyaitu seraja akan memberkahi dia djuga dengan (keuntungan2 jang adapada barang2 itu sebagai kekuatan gaib; tapi mereka akan mem- oiankan mrsalnja ladang'* yang diwarisnja dari kakèk2 Je'lu.hurnja daiam 'keadaan -tak terbagi2 diantara mereka saiu sama lain seumur hrdupnja. bebahknlja orang- Dajak membiarkan dalam k e a d a a n 2 tak terbagi- diantara golongan2 a-hli-waris : barang2 jang mengandung banjalk chasiat „magis seperti gong2, sendjata- kuno dan pakaian2

202

M

kuno; erang- ahli waris jang pegang pimpinan adalah hairja pemakai- atau pengurus" (beheerders) barang2 itu. Dikalangan su-

- k u Toradja Barat maka sekumpulan harta-benda kerabat tak di­singgung2 dan berada dalam keadaan tak terbagi2 dibawah pengu­rusan salah seorang dari perempuan-’ jang tertua ; si-ilelaki bila ia Kawin pindah kerumah isterinja dengan itidak membawa barang apa2 jang berharga. Di Djawa pembagian harta-peninggalan itu dapat segera dilaksanakan karena misalnja kebutuhan akan wang dan berhubung dengan ini, karena keharusan untuk memiliki tanah-- pertanian sendiri agar supa.ja dapat 'dipakai djaminan pimdjjaman Kepada „volkscredietbank” ; andaikata soal inii 'tidak ada, maka pembagiamnja harta itu sampai lama alk a n tak terlaksana.

Di'lain f i hak, maka dalam alam pikiran „serba-berpasangan” (par- ticiperend) adanja milik bersama atas ketkajaan >taik terbagi- itu — misal n/ja sebidang tanaih jang tak terbagi2 — adalah d'juga suatu sjarat jang riil untuk memegang ¡dijadi satu perialian-ikerabait sendiri. Djuga oleh karena itulah maka orang dengan sengadja membiarkan harta-peninggalan sampai lama dalaim keadaan tak'terbagi2 dan oleh sebab itu, maka ■— bila toch diadakan pembagian — dibiarkan se­ri jengkal tanah jang praktis tak ada harganja diluar pembagian se­bagai sauh jang konkrit jang mengekalkan rapa.tnja percalian-ikera- bat (misalmja : tanah wawakes un teranak di Minahasa, terdijema- han nja lurus : alat pengiikat keralbat). Aid'alah menurut hulkum-ad.at mustahil andaikata ada seorang waris jang 'tak rela lanitas diper­bolehkan menuntut pembagiannja sedjengkal tanaih tersebut; djuga tak mungikm sama sekali dikurangi sediikiitpun berlr.kunja aturan2 adat jang telah diuraikan tadi, bilamana ada orang meminta berlaku- :ija aituran-hukum Barat jang menetapkan ..bahwa seseorang tak dapat dipaksa tetap ikut memiliki harta-peninggalan jang berada dalam keadaan 'tak terbagi2”, ataupun bila ia 'meminta berlakunja ’Jmu fik.'li (pliohtenleer) agama Islam, jang meluluskan pembagian harta-peninggalan dengan seketika-.

Pemakaian dan pengurusan harta-peninggalan tak terbagi2 itu terkadang2 terlaksana bergilir2 datangan salah satu dari keluarga2 jang berhak (giliran, D j.), terkadang2 diitangan masing- dari mere­ka sebagian2 dan 'terkadang2 ditangan ialah satu dari mereka. Bila­mana tidak ad'a peridijandijiiain, maka fiid'alk ada kewadjiban untuk membagi atau menjerahkan hasil daripada harta itu, d'an sudah ba­rang' tentu d.kemud'ian hari (bila dliaid'alkan pembagian harta) tidak dapat dituntut oleh ah'li waris bersama penggantian daripada hasil harta-peninggalan jaing sudah dlipunguit oleh si-waris jang meme- yangnja untuk dirinja sendiri iitu, tunituitan mana, seperti telah ke- djadian, sekali tempoh diit|joban|ja d'iadjulkan kemuka Laudraad- di

. Djawa.2. PEN G H IB A H A N 2 DAN W ASIAT-’ (TO ESCH EI-

D IN G EN EN U ITER STE W ILSBESCH IK K IN G EN ).Kebalikan benar2 daripada tetap tak terbagi^-nja harta-peningga-

203

lan, tetapi walaupun demikian berdasarkan atas pokok pikiran jang sama (kekajaan sebagai kekajaan keluarga, diperuntukkan buat da­sar kehidupan materieel anggauta2 keluarga dalam keturunan- be- rikutnja), adalah pembagian2 harta-peninggalan diwaktu masih m- dupnja pemiliknja. Diwaktu anak mendjadi dewasa, dan pergi me­ninggalkan rumah orang tua untuik menjiar, dan memulai berumah tangga dan membentuk keluarga jang berdiri sendiri (mentjac, D jr mandjae, Bat. hal. 140) maka sangat abjap ¡kali anak2 itu sudah di­bekali sebidang tanah-pertanian, sebidang tanah pekarangan de­ngan ruimahreja, dan beberapa ekor ternak, harta-benda mana perta­ma2 merupakan dasar materieel buat keluarga baru itu, dan barang';tu sudah merupakan bahagiannja dalam harta-benda keluarga, jang kelak diperhitungkan pada pembagian harta-peninggalan sesudah matinja kedua orang tuanja. Mengingat keadaan biasa daripaaa peninggalannja orang tani ketjii, maka apa jang diterima itu djuga tetap sama dengan bahagiannja dikemudian hari ; hanja dikalangan jang ada sedikit mampu, sesudah matinja orang tua masih ada ke­tinggalan barang untuk dibagi2, walaupun semua anaik2 itu dengan fcjara tersebut diatas sudah mendapat bahagian masing2. Seorang laki2 jang naik hadji afcjap 'kali diwaktu hidupnja membagi2 harta- bendanja. Mengenai sering atau tidaknja penghibahan sewaktu hi­dup (marisake, D j., papassang, Sulawesi Selatan) tidak lain hanja dapat dituturkan bahwa itu atjap kali ada terdjadi dan atjap kali djuga tidaik. Penghibahan .tanah 'kepada seorang anak laki2 atau anak perempuan diwaktu ia ikawin adalah suatu perdjandjian-tanah (grondtransaktie), tapi Suatu perdjandjian-tanah d i d a 1 a m lingkungan sanalksaudtara, dijadi: suatu perkisaran (verscliuiving), suatu kepindahan tangan menerus sebagaimana mestinja dari se­orang ike-seorang lainnja didalam lingkungan sanak-saudara jang sudah ada, lingkungan mana meliputi si-pemberi dan si-terberi 'ke- dua2-nja (hal. 101). Oleh karenanja ia bukannja perdjandjian- djual, dimania pembajaran sedjumlah wang dengan tunai adalah djasa-pembalasan (tegenprestatie) sebagai sjarat mutlaik untuk me­lepaskan tanahnja. Pemberian bantuan dari penghulu2-rakjat adalah perlu sekali buat berlakunja keluar, terhadap masjarakat dan terha­dap fihak2 ketiga lainnja. Djuga penghibahan ini haruslah „terang' supaja mendapat perlindungan lalu-lintas hukum diluar lingkungan kerabat, misalnja terhadap penagih2 hutangnija si-penghibah menge­nai pindjaman2-nja sesudah penghibahan. Tapi sebagai perbuatan berdasarkan hukum-waris penghibahan itu berlaiku dalam lingku­ngan kerabat tanpa di-,,terang -kan sedemikian itu dan d i si ni pem­berian bantuan dari fihak penghulu jang dibutuhkan tadi dapat di­ganti dengan pelaksanaan dan pengalkuan menurut kenjataannja (feitelijke vestiging en er.kenndng) daripada hubungan-hukum jang baru ini selama waktu jang tertentu (hal. 90) ; pembantuan atau dengan setahunja golongan kerabat jang berkepentingan, ialah waris-nja, terkadang2 adalah sjarat untuk sahnija perbuatan penghi­bahan itu, dengan pengertian bahwa masing2 waris dapat menuntut

204

hak n. j a dengan berhasil atas alasan bahwa penghibahan itu terdjadi dengan tidak setahunja dan merugikan dia ketjuali bila tempon jang lama dan berhubung dengan apa jang kedjadian dalam tempoh ¡tu membenarkan 'keadaan penghibahan itu.

Perbuatan penghibahan itu d juga dikenakan pembatasan jang di­adakan karena hak pertuanan (beschikJdngsrecht) masjarakat (ha- nja sesama anggauta masjarakat dapat memiliki tanah, tidaik boleh dua bidang tanah-pertanian ditangan seorang sesama anggauta, dan sebagainja).

Terhadap semua perbuatan lainnja jang berdasarkan hukum-wa- ris, maka penghibahan itu tanda-tjirinja ialah, bahwa penjerahan barangnja beriaku dengan seketika.

Perbuatan penghibahan jang paling sederhana ialah penjerahan tanah kepada seorang anak jang berhak atas warisan ; dalam pada itu orang-itu a itu terikat pada aturan, bahwa semua anaik harus men­dapat bahagian jang patut daripada harta-peninggalan (bahwa me­nolak dari warisan (omtervcn) adalah terlarang menurut hukum- ■adat), aikan tetapi selain dari pada itu ia bebas dalam hal tjaranja membagi dan menentukan besar ketjilmja bahagian maising2. Namun perbuatan penghibahan itu mempunjai funiksi lain diluar perkisaran dalam lingkungan aturan2 hukum waris dimana tiada wasiat (abin- testaat erfrech't) ; karena dengan d j ala n penghibahan inii, maka tim­bul kemungkinan untuk sedikiit banjak membetulkan (korrelctie) aturan2 hukum-waris-tanpa-ada-wasiat jang sudah tepat dipandang dari sudut struktueel atau traditioneel atau saleh (religieus), tapi jang tidak atau tidak lagi memberikan kepuasan. Demikianlah ■aturan hukum-waris Baitak Toba — ialah bahwa hanja anak2 laki2 jang dapat bagian ¡harta-peninggalan bapanja — diperlunak dengan d'jalan penghibahan tanah-pertanian atau ternak oleh bapa kepada anak2-n;ja peirempuan jang belum kawin atau selagi kawin, pula ke­pada anak daripada anak perempuan ini, jang nomor satu lahirnja (saba bangunan, pauseang, indahan arian) ; demikianlah aturan hu­kum Minangkabau, bahwa seorang lelaki hanja mewariskan kepada keturunan ibunlja, dapat .tetap diitenma baik, ialah karena dalam praktijknja hampir masing2 bapa menghibahkan kepada anaik2-nja sendiri sebagian sedik't atau semua harta-benda hasil usah a n j a sen­diri ; demikianlah di Ambon jang berhukum-bapa, bapanja kemantin perempuan biasamja menghibahkan sebuah kebun buah2-an (dusun lelepeello) kepada keluarga baru itu ; demikianlah dulu di Djawa orang dapat membela diri melawan hakim2 agama jang tak menga­kui hak2-mja „anak angkat” atas warisan, ialah diengan djalan menghibahkan hanta-lbendanja atau sebagian daripadamja kepada anakmja angkat itu (hal mana memang 'terdjadi djuga dengan ter- tibnja). O rang2 jang tidak beranak dapat memiliki dan menguasai harta-bendamja sendiri dengan tiada pembatasan—nja menurut hu- kum-waris, itupun ketjuali bila pertalian kerabat sebegitu kuatnja, sehingga harta-benda itu semua atau sebagian harus diwariskan ke­

205

pada golongan ahli waris jang lebih besar ; untuk mendjam.n kedu­dukan materieel daripada isteri atjap .kali djuga diadakan penghiba­han. Achi'rnja apa ijang dinamakan pembekalan kemamtin perempuan (uitzet) jang diberikan untuk dibawa oleh anak2 perempuan jang baru ikawiin ( terkadang2 dengan upa.tijara besar2-an seperti pcunij- kleh di Atjeh) dapat djuga dipandang sebagai (semat jam) penghi­bahan. Djudjur jang dtilbajarkan 'kepada kerabat fihaik perempuan untuk kepentingan anak." laki2 jang 'baru kawin itu memang betui ■berairiti pemalkaiian keikaijaan 'keluarga ataiu 'kerabat untuk bentukan keluarga salah seorang dari anak2, akan .tetapi meskipun begitu — sebagaimana'ternjata dari uraian diatas tadi ■— .menurut hu'kum-adat hal itu tidak karib dengan penghibahan.

Tentang 'tanah 'hibahan djatuh kembali kepada si-penghibah bila­mana orang jarog dihibahi itu meninggal dunia dengan taik mening­galkan anaik, maka hal ini ibulkannja suatu aturan jang tersendiri, akan tetapi berdasar atas berlaikunja aturan2 hukum-waris atas ba­rang -asal.

"W a s i a t 2 ( u i t e r s t e w ii 1 s 'b e s c h i k k i n g e n ) . Pemilik harta-benda sewaiktu hidupnja dapat dijuga dengan tjara ]ain mempengaruhi dan oleh karena nja mienijebaibkan pembagian harta i.tu. Pertama2 dengan dja'lan pembuatan 'jang bertudjuan agar supaja sebagian tertentu dlaripada ikekajaannja diperuntukkan bagi salah seorang dari ahli waris sedjak saat matinja si-peninggal wa­risan kelak. Pada salah satu kesempatan diihadapan para waris, maka tanah-pertanian atau pekarangan disebut olehnja 'bahwa di- peruntuikkannja 'buait anakmja jang ditunldljuk dengan namanja pula. Bilamana si-peninggal warisan tidak m.enitjabut 'kembali wasiatnja itu, maka orang jang diwasiati ada hak atas bahagian kekajaan da­ripada harta-peninggalan ijang diperuntukkan buat dia, itupun se- pandjamg keadaan harta-.peninggalan itu mengidinkannija mengi­ngat pin d j aman2 jang harus dibajar dari padanja, pula mengingat larangan-menolak-dari-warisan (ontcrvinigsverbod). D iman a per­buatan ini ada terdapat, maka rupa2-nja disebutnya dengan istilah Islam : hibah wasiat.

W asiat setijara lain, ijang sangat lebih lazimnja dan dimana2 di Nusantara sini terkenal dan di-praktijkkan, ialah pada saat terachir diwafctu sakitnja atau setidak2-n:ja pada waktu pendek sebelum adjalnja maka peninggal warisan itu mendljiumlah harta-bendanja dan menjatakan keinginan2-nija .trhadapnija. Di Djawa maka wasiat serupa itu disebut wekas (bahasa tinggi: weling), !di M inangka­bau : um anat; dMain2 tempat djuga diselbutnja dengan istilahrujasendiri2. Malkstudmja setengah ialah mamlberilkan pernyataan jang m engikat terhadap sifat daripada barang2 harta-peninggalan (ba­rang berasal dari warisan, barang (jang dii.peroleh sendiri, barang jang diperoleh selama .perkawinan, dan sebagaimija) setengah lainnja maksudnja ialah untuk memaksakan, kepada ahli waris pembagian jang oleh si-peninggal wariisan dianggap adil, dan untuk mentjegah

206

perselisihan tentang harta-peninggalan itu. Djuga umanat itu ter­gantung dari aturan2 tentang pembayaran pindijaman si-mati dan tentang menolak-dari-warisan (onterving) dan sebagaimija.

Rupa'--nja dalam 'kebanja.kan lingkungan2 hu'kum dikalangan go­longan jang termampu mulai mendjadii kelaziman menyurafikan wasial si-peninggal warisan itu dalam testamen t. Djuga terhadap soal ini berlaku sudah barang tentu pembatasan2, berdasarkan hukum-madi (materieel recht). Dimana testament 'itu masih lembaga jang baru, maika haruslah diluluskan masulk mend'jadi hukum dengan djalau pembentuikan hulkum 'dalam tokoh jang sudah dimana2 tersesuai de­ngan susunan hukum-adait; masalah ini sudah ada titik2 sambung- annja berupa hibah wasijat dan umanat. Hanja sekali tempoh ter­dapat larangan tegas untuk membuka n w asiat2 seperti di Tnganan Pagringsingan di Bali, dimana masjarakatnja masih sangat iberse- mangat seriba umum dalam segala hal (commune samenleving). P e­nyusunan testament itu menurut hulkum-adat tidak usah memakai perantaraan seorang notaris, dan 'bila itoch memakainya perantaraa.n- nja sedemikian itu untulk ¡kepastian hukum hanija ada baiknja, bila notaris itu berpendidikan hukum-adat.

3. PEM B A G IA N H A R T A -PEN IN G G A LA N .Bilamana si-peninggal warisan sewaktu hidupnya tidak memberi­

kan semua hairlta-fbemdanija dengan djjailan penghibahan, dan bila­mana — sesudah dipotong huitang2-nja, hal mana dcibawah ini akan dibibj arakan .— masih ada sisanja, maka 'harta-peninggalan itu lan­tas dapat dibiarkan dalam ikeadaan tsik terbagi2 setjara jang diurai­kan diatas atau 'bila tidaik demikian, pada suatu waktu ¡kemudian da- palt dibagi2. Pembagian iind adalah suatu perbuatan daripada ahli waris bersama, biasanja tidiaik menurut aturan2 jang ikeras apalagi menurut tuntutan2 'keinginan, melainkan biasanja 'terselenggara da­lam suasana kebaikan 'hati, pemberian bantuan dan pemberian (ke­lebihan kepada siapa2 ijang paling 'kurang untung nasi'bnja. Karena perbuaitan itu maika terletaklah hak2-nija perseorangan daripada tvaris ; bila menurut huikum-tanah diharuslkan, maka pembagian ini diberitahuikan kepada pengihulu2 rakjat, itupun bilamana mereka du­lu talk 'hadfa pada waktu ada pembagian ihariba-peninggalan iffcu : di D jawa hadli-rnija itu adalah suatu perkecualian.

Bilamana salah seorang waris atau beberapa orang waris meng­hendaki membagi2 harta-peninggalan, sedangkan waris2 lainnja tak mau -meniurutinja, maika lantas timbullah perkara ■— itupun bila pa­ra waris tak dapat didamaikan satu sama lain ■ ■ perkara mana mem­butuhkan kepuibusan halldim, lialah halkim dusun (doripsireciiter) altau hakim dja'batan ('beroepsredhter). Bilamana talk ada alasan- menga­pa mereka berkeberatan tentang pembagian ini, maika mereka jang berkeberatan tadi dapat dipaksa untuik turut memisah kan dan memlbagi2-lkan harta-ibenda. itu. Saijang sekali peikeidljaan hakim - gubernemen mengenai pembagian harta-peninggalan ini menurut hukum-atjara adalah salalh satu daripada bagian2 hukum-atjara jang

¥

2 0 7

nalmq tak memuaskan. Bila tetap adanja pembandelan. maka vonius itu di-susul dengan pendjualan paksa 'kepada umum, malahan terka­d a n g (tapi ini tidak tepat) disusul dengan pertjampuran tangan instansi3 jang pada umumnja d justru harus d ija tuhkan dan pemba­gian harta-peninggalan itu. Perlu dan mendesak sekali diadakannja perbaikan dalam masalah ini.

4. AHLI W ARIS.Ternjata dari apa jang telah diuraikan tadii, bahwa pada umum­

nja mereka jang paling karib dengan generasi berikutnja, ialah me­reka jang mend'jadi besair dalam keluarga si-peninggal warisan, me­reka itulah ahli w aris; pertama2 anak2-lah jang mewaris. Sebagai­mana djuga telah tertjatat tadi, maka ikatan keluarga dalam bebe- * rapa lingkungan2 hukum diterobos oleh ikatan golongan2 kerabat jang segi-satu susunannja. Dikalangan kerabat2 jang merupakan ba- gian2-clan. (segi-bapa atau segi-ibu) maka dalam hal ini m e n d ja d i tertampaklah ketegangan diantara hak2 daripada ikatan keluarga dan hak2 daripada ikatan kerabat. Seketika sesudah keadaan2 sosial berubah janig misalnja menjebabkan meningkatnja pengembaraan jang mengakibatkan pula kehidupan kekeluargaan jang berdiri sen­diri, atau perubahan tadi menjebabkan tak terpakainya lagi rumah2 kerabat jang sangat berharga itu, jang berarti taimlbahnja rumah- keluarga dan oleh karenanja pula tambah kokohnja kehidupan ke­keluargaan jaing berdiri sendiri, maka oleh kairemanja ikatan hukum jang berdasarkan hubungan kekeluargaan (harta-perkawinan bersa­ma, berhaknja anak2 atas warisan dari k e d u a orang-tua) lebih kokoh dari pada ikatan hukum jang berdasarkan ikatan kekerabatan (hal. 193). Dengan djalan praktijknja penghibahan maka terdjadi- lah dalam hukum waris-tanpa-ada-wasiat berhak-nja anak2 atas harta-lbenda keluarga sebulat2-nja.

Halnja anak2 berhak atas warisannja kedua o r a n g - tuan j a ada­lah suatu tanda daripada susunan kesanak-saudaraan jang berhu­kum ibu-'bapa, susunan mana baik berdasarkan atas susunan suku jang bersegi-dua (Dajak dan Toradja), maupun susunan jang ter- djadi sebagai akibat terpetjahnja susunan kerabat mendjadi ikatan2 keluarga, seperti misalnja di Djawa.

Dalam susunan sanaksaudara jang, bersegi-.satu, sebagaimana telah tertjatat diatas, adalah terdapat dua halangan terhadap me- warisnja anak2 dari (keidua) orang tuanja,. Pertama2 anak2 tidak mewaris dari salah seorang orang-tfcuanja jang diengan seorang diri- nja tetap tergolong lingkungan kerabatnja sendiri, dini a n 3 anak2- nja itu itidak termasuk, misalnja : Minangkabau, dimana anak2 te r­masuk bagian clan ibunja sedangkan si-bapa tid'ak turut tergolong situ melainkan tetap terikat dalam golongan kerabatnja send iri; liak-warisnja anak2 menuruit hukum-waris-tanpa-ada-wasiat atas harta-ipeninggalan bapan,ja dalam pada itu menurut sistimn'ja sama sekali tidak m ungkin; praktijknja penghibahan mengoreksi ketidak­

208

mungkinan itu ; perkisaran2 dalam keadaan2 sosial dapat mengha- puskannija buat sebagian atau seluruhnja. Dimana anak2 perempuan mewaris harta ilbunja dan anak2 'laki2 mewaris harta bapamja, seperti di Savu, maka halangan sementara itu djuga dapat diiatasi dengan djalan penghibahan ; walaupun demikian maka si-bapa dari harta-benda-pusaA-a-inja jang anak perempuaninja tak mungkin akan dapat hak-waris atasnja, dapalt menghibahkan sebidang kebun misalnja kepada anaiknja perempuan (dan keturunan- nja perempuan) itu (haru kaballa). Kedua: jang merupakan ha­langan lain sama sekali untuk anak2 jang akan mewarisi harta dari xedua orang-,tuamja dalam lingkungan susunan sanak-saudara segi-isatu, 'ialah bentuknja perkawinan, jang mengakibatkan anak jang baru kawin iitu terlepas dari golongan sanak-saudaranja; jaitu perkawinan „djudjur” dalam arti jang sebu'la.t2-nija, dan per- kawinan-ambil-anak (inlijfhuwelijk) dalam bentuk2-nja jang tarten- iu : misalnja golongan2 pepadon di Lampong dan dikalangan Batak Toba, dan dikalangan terachir ini anak perempuan karena perka- vinannja keluar dari kerabat bapan'ja, sehingga ia tak dapat hak su-

a tu apa sebagai waris dimana 'tiada wasiat (sepertii djuga seorang anak perempuan di Bali misa'lnja jang sudah kawin tiada berhak atas sebagian daripada 'harta peninggalan bapamja). Suatu praktijk daripada penghibahan2 diwaktu dan sesudah perkawinannja mem­beri koreksi atas peruguifcjilan in i; dan bahwa d'iikailangan Baitak (To- oa.) anak perampuan — walaupun ia bukannja waris jang berhak —• dengan menjadjikan makanan dan memakai sopan-santun adat jang sudah mendjadi aturan, sesudah matin'ja bapanija meminta sekedar bagian dari harta peninggalan bapanja, permintaan mana bila masih ada dalam batas kepatutan anak2 laki2 dan sanaksaudara2 jang ber- Jiak itu tak dapat menola'knja.

Dalam golongan anak2 jang berhak atas warisan dibeberapa ling- Kungan hukum timbullah suatu perbedaan jang berhuibungan dengan Keadaan tetap -tak 'terbagi2-nja harta-(inti) orang-rtua jang berupa iiak-miliik (Imlands bezit) daripada anak laki2 'jang tertua (beberapa Kalangan Batak, Lampong, Pasema'h, Baili), daripada anak-perem- puan jang tertua (Semendo, Dajak Landak dan Dajak Tajan), da­ripada anak laki2 jang termuda (kalangan Batak lainnja, dilain2 tempat di Bali), daripada anak laki2 jang tertua dan jang termuda, dan sebagainja (hal. 200). Perbedaan diwildja'h2 jang berhukum 'bu-bapa diantara anak2 laki2 dan anak2 perampuan, dalam penger­tian bahwa anak2 laki2 berhak sebesar dua kalinja bagiannja anak2 perempuan, -rupa2-nja dimana-manapun tidak berasal dari Pribumi asli; aturan sapikul sagendong (dua lawan satu) sebagai patokan Pribumi unituik pembagian, semata2 berlaku atas perimbangan d a­lam harta-ibersama dalam perkawinan (hu'Welijksgemeenschap), "walaupun rupa2-nja setjara ikiasnja rafcja.t — dan diperkuat oleh hukum agama Islam — disana sini (tapi d'jarang) sudah mendapat iempat untuk berlaku atas hukum-waris setempat (hal. 195).

209

Titik panqkal: kekajaan keluarga sedjak awal mulanja diperun­tukkan buat dasar kehidupan materieel d a r i p a d a mereka jang mu -Ljul terlahir dari keluarga dtu. tem jata d.,tetapkan dengan^ adanj aturan hukum-adat p e n g g a n t i a n t e m p a t (F ^ats vulling). Anak2 daripada anak2 jang mati lebih dulu sebelum ma nja si-peninggal warisan mendapat bahagiannja orang-tuanja dc i liarta-penin^galan kakeknja. Hanja peradilan agama terkadang- menerobos pokok pikiran ini.

Tentang kedudukan d j a n d a terhadap harta-peninggalan, maka titik pangkal hukum-adat ialah bahwa perempuan itu sebagai o -r a n g a s i n g talk berhak atas warisan tapi sebagai i s t e r i ia ikut memiliki harta-benda jang diperoleh selama perkawinan, daiam batas2 jang telah ditetapkan sebagaimana dibentangkan diatas (hal- 195) ; ditambah pula bahwa ia dimana2 ada hak atas nafaqahnja dari harta-penmggalan itu seumur hidupnja, ketjuali dimana aturan sedemikian itu tidak diperlukan lagi berhubung dengan susunan ber­hukum ibu. Di Bali, maka selama airualknya laki2 dlihadapan djenazah bapanja belum diresmikan sebagai penggantinja, maka djanda itu menurut hukum adalah penguasa atas 'harta^p?mnggalan , m e ­n u r u t k e n j a t a a n n j a ia dillain2 Itempat aibjap -kali djuga bertindak sebagai penguasa sedemikian itu dljuga. Dijadi djanda itu sebagai waris tidak mendapat ibagian -dari barang2 suaminja jang b e r a s a l d a r i w a r i s a n tapi; dimana perlu, ia dapat te ­tap memungut hasilnija harta-ibenda itu (sebagai harta dalam keald'a- an tak terbagi'-2) seumur hidupnjja, atau ia dapait menerima sebagian aaripad&nija sebagai pemberian mafaqahnija selkaligus. Bilamana ia dalam suisuman berhukum-hapa dipungut masuk dalam kerabat si- s-uami, maka dapatlah ia tetap tinggal disana dengan mendapat na- faqahnija, terkadang2 djuga mendapat sebagian dari harta-penin.gga- lan buat dirinjasendiri (Bali). Tapi bila ia memi,sahkan di-n dari ke­rabat suaiminlja .jang maiti tadi, maka ia tidak pernah membawa unituk dirinja sesuatu Ibarang daripada isuam'inja, -seakaru2 ia sudah menlda- paitnlja selbagai 'barang warisanj. Djuga suami tidalk mewaris dari is- teiinija; alda beberapa perketjualiannija, misalnya bahwa diwilajah- berhukum bapa seperti Pasemah, ijaitu bahwa barang pembakalannja (uitzet) perempuan jang didapatnj-a dari orang tuanjja diwaktu dia kawin dijudjur dan jang dia tetap memilikinja bila ia foe-rt jerai dari lakinja, maka 'barang2 itulah djatuh ketangan suaminja sebagai w a­risan bila ia .— si-istri -— meninggal dunia ; atau, 'bahwa ■—1 seperti di Bali ,— 'bahagiannja daripada harta-perkawinan, begitu djuga barang2 jang diiperolehntja sendiri ataiu bar.ang2-n|jia send'M jang diba- wanija 'diwaktu kawin, bila ia mati, diwaris oleh suaminija.

Mengenai hanta-perkawinan bersama (gemene huwelijksbedoel), dimana ini ada, maka 'bilamana tiada anak2, seorang djodoh semati- ii'ja djodoh lainnja mewaris harta warisan seluruhnja, dan sematinja djodoh terachir harta tadi mendjadi harta warisan, jaitu separoh djatuh kepaida san-ak-saudaranja djodoh jang seorang dan separoh

2 1 0

kepada sanak-saudaranja d jodoh lainnja, atau, dua per tiga kepada sanak-saudaranja si-suami, satu per tiga kepada sanaksaudaranja si- isteri (sapikul sagendong) . Pembagian sedemikian itu dapat djuga ^ diselenggarakan sebelum matinja djodoh jang hidup terlama dan barang kali terkadang2 djuga dapat dipaksakan untuk diselenggara kannja bila ia kawin lagi atau karena sebab2 lain, pada waktu sebe­lum itu. Banjak terdjadi (dalam w ilajah2 berhukum ibu-bapa), bah­wa haknja dianda atas nafaqah dan atas bahagiannja dari barang2 jang diperoleh bersama dalam perkawinan, — bilamana ada anak'2- nja — diwaktu pombagian dinilai hak2 itu dan diwudjudkan, ialah dengan djalan diber kan kepadanja bahagian jang kira2 seharga de­ngan itu, sedangkan — sebagaimana telah dituturkan ■— djuga sua­mi itu sendiri berulang2 mendjamin nafaqah isterinja dengan djalan penghibahan. D juga ada kalanja terdengar (Sulawesi Selatan. D ,a- wa T engah), bahwa disamping bahagiannja dari harta-perkawinan bersama, ada porsi (portie) djanda atau porsi djanda laki2 (jang sebagai demikian diselesaikan tersendiri). Barang kali pengaruh hu­kum Islam jang berlaku disini.

Anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannja seba­gai orang asing. Sepandjang perbuatan ambil-anak (adoptie) telah menghapuskan perangainja sebagai „orang asing” dan mendjad;- kannja perangai „anak” , maka anak angkat berhak atas warisan se­bagai seorang anak. Itulah titilk ipangkalnja hukum-adat. Namun bo­leh djadi, bahwa t e r h a d a p k e r a b a t 2 - n j a kedua orang-tua jang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa2 dari barang2- asal daripada bapa atau ibu ang- katnja — atas barang2 mana kerabat2 sendiri tetap mempunjai hak- nja jang tertentu —, tapi ia m endapat barang2 (semua) jang diper­

ai.. d.a ' am Perkawinan, hal. 155. Demikianlah misalnja di Purwo- +E J i i3Wa) masalah ini masih kurang diselidikinja dan masih iada kepastian. Di Pasemah maka berhaknja anak angkat atas wa­

risan itu dibitjarakan pada waktu ambil anak dengan sesama ang- gauta2 dusun. Dalam hal ambil-anak kemenakan2 (neefjes-adoptie) anak angkat itu tetap berhak atas warisannija orang tuanja sekan­dung, sedangkan dilain2 tempat (misalnja di Sumatra Selatan) ma- ka segala hubungan hukum-waris dsngan orang tuanja dan kerabat- nja sekandung karena pengambi'lan-anak ini (terputus. Ambil-anak sebagai perbuatan tumai selalu menimbulkan hak sepenuhnja atas warisan. Keinginan agar supaja dapat memberikan terus harta bendanja kepada si-anak-angkat (mempertahankan garis ketu- runannja sendiri dalam proces umum daripada penggantian ke­turunan2) itulah biasanja jang mendjadi alasannja pengambilan anak itu. Tentang pengaruh jang brsifat mengganggu2 daripada ha­kim2 jang mengadili menurut hukum Islam, djuga hal ini dulu (dan sekarang) ditiadakan dengan djalan penghibahan2. Hal diwarisnja harta peninggalan bilamana tiada anak — ini terlepas dari hak2-nlja

d jodoh, jang terlama hidupnja, begitu djuga haknja anak-angkat andalah mudah. H arta-benda itu kembali satu langkah disilsilahnja si-mati dan mendjadi warisan untuk anak-tjutjumja dia jang terda­pat disilsilah itu ; bila keturunan termaksud tadi tidak ada, maka te­rus kembali satu langkah lagi dan begitulah seterusnja. Jang dimak­sudkan dengan perkataan silsilah ini sudah barang tentu si si ah segi-bapa (vaderzijdig) atau segi-ibu (moederzijdig) atau pula ,, er- ganti2" (altem erend), kesemuan,)a tergantung dari wataknja susu- nan-sanak-saudara, dan sekali tempoh (di Timur Besar) malahan . mengenai beberapa barang2 tertentu ialah silsilah segi-bapa, menge­nai barang2 lainnja : silsilah segi->ibu. Generasi jang tertua umum)a dan jang masih hidup mengetjualikan (uitsluiiten) generasi2 jang e- bih muda umumja, ketjuali bila disini djuga berlaku penggantian tempat (plaatsvervuiliing) jang telah dibentangkan tadi. Dimana anak2 karena berlaikunja ikatan kerabat diketjualikan dari warisan ■ ' seperti bila ada seorang laki2 mati di Minangkabau maka harta- peninggalan diwaris setjara demikian djuga : pertama’ ibunja lelaki itu beserta anak-tjutjumja (saudara2 laki2 dan p e r e m p u a n d3ripa a si-peninggal warisan itu) ; ‘bila mereka tidak ada, neneiknja si-mati beserta anak-tjutjunja (djadi praktis-: saudara2 sepupunja si-pe- ninggal warisan laki2 dan perempuan, jang M ahirkan oleh bibi2-nja dari garis keturunan ibunja), dan demikianlah seterusnja. Bilamana sama sekali «ada ahli warisnja, maka harta-peninggalan djatuh ke­pada masjarakat territoriaal-nja si-mati dan djatuh dibawah pengu­rusan penghulu-masjaralkat.

5. BAHA GIAN 2-NJA H A R TA -PEN IN G G A LA N .

Dari apa jang telah dibibjarakan sudah berulang2 'temjata, bahwa harta-benda jang ditinggalkan oleh si-mati itu tak boleh dipandang sebagai kesatuan jang bulat dan jang diwaris setjara jang sama. D a­lam harta peninggalan itu mungkin ada barang2-nja jang masih ter­kait pada ikatan kerabat, berhadapan dengan barang2 jang masih terkait pada ikatan keluarga, atau barang2 jang termasuk golongan martabat kebesaran (waardigheid) jang tertentu. Dalam harta-pe- nimggalan itu mungkin ada barang2-nja jang masih terkait pada ikatan tertentu daripada masjarakat hukum, pada ikesatuannja susu­nan raikjat; dan terhadapnja, maka semai tinja orang seorang jang berhak, haik pertuanan (beschikkingsrecht) dimasjarakatlah berlaku dengan tjara tertentu. Dalam harta-pening g alan itu mungkin ada hutangnja (schulden) disamping labanya (baten). Tapi disamping perbedaan dalam kedudukan-hukum barang2 itu, adalah keadaan m enurut kenjataannja daripada bahagian harta-peninggalan itu atjap kali berpengaruh atas djalannja perwarisanmja. Pekarangan orang-tuanja misalnja, di Atjeh terutama diwaris oleh anak perem­212

puan (jang tertua), didaerah2 Batak terutama oleh anak laki2 jang termuda atau tertua. Buat daerah2 Batak sudah pernah disebutkan disini perbedaan diantara barang2 jang mengandung daja chasiat daripada si-mati berhadapan dengan barang2 biasa — perbedaan serupa itu terdapat djuga ditempat2 lain (di Kalimantan misalnja). tapi dengan akibat2 lain.

B a r a n g 2 k e r a b a t . Perbedaan dalam hal diwarisnja barang2 berasal dari kerabat (barang2 'berasal dari warisan) dan barang2 diperoleh sendiri dalam keluarga, lebih2 kelihatan bilama­na si-peninggal harta tidak mempunjai analc; barang asal lantas kembali kepada kerabatnja sendiri (agar supaja djangan mendjadi „hilang ) sedangkan barang2 ¡keluarga d jatuh ikepada d!jodoh jang terlama hidupnja. Telah pernah dituturkan, bahwa dalam beberapa lingkungan2 hukum hal diwarisnja barang2 jang diperoleh dalam keluarga ifcu djuga dapat dipengaruhi oleh ikatan kerabat jang kuat (hal. 191). Tanah2 jang diikailangan Bataik Toba dihadiahkan se­bagai pemberian Icepada kemantin perempuan (beserta suamimja), bila sMsteri maiti betul tetap ada ditangan suamimja dan kerabatnj_a, tapi setjara demikian rupa, sehingga sampai 'beberapa turunan la- manja tidak diperbolehkan memindah tangan (beschiikken) tanah2 itu oleh 'kerabat mertua (bom) dengan tiiada setahunija fihaik si-isteri (hula hula) dan dengan tiada memberi kesempatan ikepada jang ter— achir ini untuk mendahului membelinja (naastingsrecht).

B a r a n g 2 m a r t a b a t k e b e s a r a n . Benda2 jang keramat dalam lingkungan sesuatu (kerabat mungkin terkait pada ke­dudukannya orang jarng memaikainija, misalnja barang2-pusaka-kra- ton dari kasepuhan Tjdreibon dapat terkait dengan siapa jang menda­pat (mewaris) m artabat Sultan Sepuh. Dengan tjara demikian rupa djuga dapatlah suatu nama diwairis hanja oleh seorang waris jang berkeduduikan tjotijok dengan nama itu. Dapat dikatakan djuga, bahwa waris jang mewaris barang-inti ikerabat itu mendjadi peme- gangnja jang sah.

B a r a n g 2 k e l u a r g a . Perbedaan dalam djalan diwamsinja barang2 ini dapat tambul berhubung dengan perkawinan ikedua. A nak2 dari perkawinan pertama mewaris barang2 jang diperoleh selama perkawinan itu, anak2 dari perkawinan kedua tidak menda- pait bahagian apa2 dari padanja (Kalimantan). Malka sesuai dengan itu di M una di Sulawesi Selatan dikatakan, bahwa barang2 dari iru- ma'h jang satu tida'k boleh beralih kerumah jang lain ; dilain2 tempat dalam lingkungan situ terdapat peribahasa hukum-adat jang bemak- sud sama dengam itu. Di D jawa bias an j a kesukaran- jang timbul bi- Ja ada lebih dari satu perkawinan diitjjegah setjaTa demikian djuga,

213

:alah dengan djalan praktijknja penghibahan2. Bilamana misalnja anak2-nja dari perkawinan pertama sudah dikawinkan sehingga me­reka sudah tidak termasuk lagi sebagai anggauta2 keluarga jang ter­bentuk oleh perkawinan nomor dua, maka mereka sematinja bapa- nja tidak mewaris harta-peninggalannja jang terdiri dari barang2 di­peroleh dalam perkawinan nomor dua, .— artinja „tidak” disini ialah bilamana mereka itu sudah mendapat bahagiannja barang2 keluarga dari perkawinan pertama ; mereka tetap berhak atas barang2- asal bapanja. Bilamana dua orang isteri daripada seorang suami dengan anak2-nja merupakan keluarga2 tersendiri, maka harta-benda kelu­arga2 itu tetap terpisah satu sama lain (hal. 176). Makin ruwet'im- bangan2-nja dalam sesuatu keadaan jang istimewa, akan makin te­pat penjelesaiannja dengan djalan perdamaian (schikking) ; tapi penjelesaian2 dengan djalan perdamaian sedemikian itu hanja me­muaskan, bilamana bernada-dasar dan berasas kaidah2 bentuknja hukum waris jang berlaku.

B a r a n g 2 m i l i k m a s j a r a k a t . Hak pertuanan (be- schikkingsrecht) masjarakat atas tanah dalam berlakunja kedalam terkadang2 menghalangi diwarisnja tanah2 pertanian, oleh karena sematinja penduduk-inti dusun maka tanahnja (setidak2-nja baha­giannja tanah menurut patokan berhubung dengan kedudukannja sebagai peraduduik-inti) djatuh kembali ike-hak pertuanan sebulat2- nja daripada dusun dan oleh dusun itu lantas diserahkannja kepada sesama anggauta dusun kelas dua jang sudah tiba gilirannja untuk itu; bilamana tanah sematjam itu biasanja diserahkan kepada seo­rang warisnja si-mati, maka ini menimbulkan -— itupun bila keada­an2 sosial tidak menghalanginja — hak mewaris atas tanah milik penduduk-inti dusun ; namun terkadang2 hak mewaris tanah sede­mikian itu tetap menghadapi berlakunja kedalam daripada „beschik- ldngsrecht”, jaitu dimana berdasarkan „beschikkingsrecht” hak perseorangan atas tanah-pertanian hanja dapat diperbolehkan sam­pai suatu keluasan jang tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Ini berarti (dibeberapa desa di Djawa dan di-beberapa desa di Bah) bahwa tanah si-peninggal warisan tidak boleh dengan d ja­lan mewaris ini ditambahkan pada tanah jang sudah ada semula pa­da waris itu, dan sebali'knja, tidak boleh tanah daripada si-pening­gal warisan dibagi2 diaiutara para ahli waris sampai mendjadi bi­dang2 tanah jang lebih ketjil. Larangan penggabungan dan larangan pembagian ¡bahagian tanah menurut patolkan 'jang ad'a pada masja­rakat berdasarkan atas hak-pertuanan-nja adalah suatu tanda ke- ujataan d'aripada berlakunja haik-pertuanan kedalam. Dalam pada itu dapat timbul banjak keadaan2 jang tanggung2 sebagai akibat mempertahankan pada lahimija pokok2 kaidah itu karena salah satu

.214

sebab, tapi dalam batinnja membiarkan pelanggaran2 terhadapnja- Misalnja : waris jang sudah mempunjai bahagian tanah pertanian se­bagai penduduk-inti dusun membalik nama tanah itu atas nama iste- rinja atau anaknja laki2 jang tertua dan dia sendiri menerima tanah- pertanian tinggalan bapamja jang m ati; atau : dua orang saudara mendaftarkan tanah-pertanian tinggalannja bapanja atas nama sau­dara jang tertua, tapi selandjutnja seumur hidupnja keduanja berlaku sebagai orang2 jang berhak atas tanah itu, masing2 atas separohnja ; pembesar2 dusun memang membantu tindakan itu dengan djalan mendaftarkan tanah itu atas nama laki2 jang tertua „c.s.” — cum suis .— perkataan Latin mana sudah memasuki banja'k desa, tapi tak lain dan tak bukan hanja sebagai sees.

H ak waris atas tanah itu terkadang2 bertemu dengan bcrlakunja ..bescbikkingsrecht” keluar, ialah karena jang terachir ini mengha­langi diwarisnja tanah-pertanian bahagiannja penduduk-inti dusun oleh waris2 jang tfdak bertempat tinggal dalam dusun situ. Djuga di- simi keadaan2 peralihan : mengangkat seorang kuasa buat pekerdja- an2 desa, mendaftarkan tanah itu atas nama seorang sanaiksaudara, dan selbagaimja. Bilamana timbul perselisihan haruslah keputusan- nja itu menghormati djuga arti jang dalam daripada keadaan per­alihan sedemikian itu.

B a r a n g 2 j a n g t e r t e n t u k a r e n a k e n j a t a - a n k e a d a a n n j a . Pengaruhnja keadaan jang senjatanja daripada bahagian2 harta itu tidaik berwudjud suatu larangan atau, andjuran, tapi berwudjud suatu tjara jang ditjenderungi untuk mem- baginja. Harus disesalkan, bahwa bila ada ke-tidalk-mau-an dar - pada seorang waris atau lebih •— karena d'jalannja segala sesuatu seperti biasa sadja menurut jang sudah2 — tidak dapat diperguna­kan pengaruhnja hafcim gubernemen untuk menuruti ketjenderungan tadi, walhasil harta-peninggalan seluruhnja dilelang dan wang pen- dapatannja dibagi2 ; ini adalah tindakan jang merusak, pada hal mestinja : membangun (construotief), hal. 207.

H u t a n g 2 . Kewadjiban2 untuk membajar hutang jang ada atau jang timbul diwaktu m a tinja atau 'karena matinj'a si-peninggal warisan itu achirnja termasuk djuga bahagian2 daripada harta-pe­ninggalan, walaupun sebagai bahagian2 negatief.

Laba, (baten) jang ada pada harta-peninggalan si-mati boleh dan harus pertama2 dipergunakan untuik memelihara d jenazah dan untuk menguburnja. Bila seorang waris jang atas tanggung djawab- nja sendiri dan dalam batas2 kepatutan mendjual sesuatu bahagian tertentu daripada harta-peninggalan untuk keperluan itu, maka tin- dakansvja itu adalah sah menurut hukumnja. Beaja2 pemakaman itu mendapat hak terdahulu (preferent). Aturan ini berlaku dimana-.

215-

'Selandjuitttja diibeajai dari harta-peninggalan l t u PeSt^ selamatan2 pembakaran2 majat atau upatjara2 .majat atau p ) apa sadja jang lazimnja harus diselenggarakan untuk orang ] ^ 9 meninggal dunia diwaktu sesudah matinja. Tapi pem e au J tuk J ud»k ada hak-mendahutui a t a s pembajaran hutang -n,at

peninggal warisan, pengeluaran2 wang itu d]adi bu ann,J eischul_harta-peninggalan jang berhak, terdahulu (preferen e ,den), melainkan dapat dibajar dari s i s a n j a harta-peni:ngga laba dipotong hutang — sebelum sisa itu dibagi «nja. tdjuga ada kalanja dibeajai oleh waris2 sendiri dengan a au diperhitungkan dengan harta-peninggalan kelak. Dari u aw , katakan, bahwa siapa jang turut membeajai perongkosan Pein man dan pesta2-kematian, oleh karenanja lantas mendja i war' !

Tentang persoalan, apakah hutang2-nja si-peningga w • djuga diwaris oleh ahli waris (atau — sama soalnija — sam mana ahli waris bertanggung d jawab atas h u t a n g 2 ~ n j j a si-pen warisan jang pada saat matinija masih belum terhajar unas , dalam hal ini harus d ib e d a k a n : pertama2 dari lebih dari kungan-hukum terdapat sebagai tiitik p a n g k a l unitu n1 e n pertanjaan ini, dengan 'tiada perketjualiannja, ia a po o demikian: ahli waris adalah bertanggung dijawab atas huta g - J peninggal warisan (Batak Toba, Dajak, Bali). Tapi a a®* P kekuasaan si-penagih hutang diperlunak karena penagi u • diwadjibkan (dengan antjaman hapusnja haknja un ui m ipembajaran) dalam tempoh 40 hari sesudah matinja si-pen.i gg warisan atau sebelum selamatan jang akan diselenggarakan un u si-mati itu {njekoh di Bali) mengadljukan penagdihannja kepada para ahli waris, setiidakS-nja memberitahukannja kepada mereka ; pula dalam hal ini memperlunak kekuasaan penagih2 hutang djuga, bah­wa terhadap ahli waris dalam keadaan demikian dianggap sungguh2 ada alasan jang istimewa supaja sabar d’alam penagihannja atau su- paja diluluskan membajar pirudjaman itu tidak ibuat seluruhnja. T en­tang bagaimana hubungannja pada ahli waris satu sama lain bila ada perselisihan mengenai pembajaran hutang si-mati ini, maka soal ini tak ada terdapat disebut?.

Titik pangkal lainnja — lebih sempit dari pada jang disebutkan tadi tapi rupa2-nja lebih umum — ialah, bahwa banja harta-pening­galan jang tinggal tak terbagd24ah jang harus dipergunakan untuk membajar hutang2~nja si-peninggal warisan. Titik pangkal ini meng­akibatkan perumusan kaidah hukuim-adat: hanja sisa harta-pening- galan dapat diwaris. Dalam pada itu bukannja saat matinja si-pe- ninggail warisan, melainikan saat pembagian harta-peninggalan diang­gap sebagai saat diwarisnja harta itu. Pembagian (djadi : diwarisnja harta) tidak didijaiankan sebelum semua hutang diibaijar lunas. Dja- lannija penijelesaian sedemikian itu memang boleh disebut bentUK

. 2 1 6

dasar daripada diwarisnja harta-peninggalan menurut hu<kum-adat. Dalam lingkungan rakjat dimasjarakat2 hukum ketjrl maka si-pe- ninggal warisan sebelum matinja atjap kali tentunja sudah men- djumlah hutang2-r.ja, bilamana itu memang ada, atau dalam tempoh empat puluh hari sesudah matinija, penagih2 hutangnja akan mene­mui ahli waris untuk mendapat pelunasan dari hairta-peninggalan jang tak terbagi itu. Djuga dalam hubungan ini dapat terbatja pula, bahwa penagih2 hutang jang dalam tempoh empat puluh hari tidak muntjul, aikan kehilangan haknja untuk menuntut kembalinja wang- nja dari harta-peninggalan. Diimana aturan sedemikian itu tidak ada dan titiflc pangkal „waris bertanggung djawab penuh atas seluruh hutangnja si-anati” tidak ada pula, maika patut disini dikemukakan pertanjaan : bagaimanakah hukumnja, bilamana ada penagilh-hutaiig daripada si-peninggal warisan muntjul sesudahnja harta-pening- galan itu terbagi2 habis ? Dalam kebanjakan lingkungan hukum, di­sini misalnija di Djawa, haruslah pertanjaan itu didjawab : ahli wa­ris itu bertanggung dijawab atas hutang2-nja si-pendnggal warisan sepandjang mereka sudah mendapat laba dari pembagian harta-pe­ninggalan itu. Disini harus ditambah : pada principe-n'ja atas per­imbangan jang sama dengan perimbangan jang dipakai membagi2 warisan d iantara ahli waris itu satu sama lain. Bilamana laba2-nja harta-peninggalan itu tidak mentjulkupi, maka hutang iitu untuk se­bagian tetap taik terhajar. Penghibahan2 (toescheidingen) dari wa­risan sesudah terdjadinja hutang2 rupa2-nja dapat dituntut untuk pelunasan hutang. Penghibahan2 sebelum itu : tidak. Dalam prak- tijknja ternjata atjap kali hal ini diurus sedemikian sehingga seorang waris menanggung beres tentang pelunasan hutang2 jang diwaktu diadakan pembagian warisan beliuim terhajar dan oleh karenanja ia : lalu mendapat bahagian jang seimbang dengan itu ; atau ia menda­pat segala Iaba2-nja dan melunasi segala hutang2-nja (atau seba­gian hutang2-jti!ja bila terdapat banjak selisi'hnija jang tak mengun­tungkan).

Sudah barang tentu pembagian warisan jang senjata2-<nja itu ter­gantung dari bermafcjam2 watak dan pertimbangan2 — kebaikan ha­ti, loba, kasihan ■— ; bila timbul perselisihan pertama2 ditjoba oleh semua dnsitansi untuik mendamaalkaninja, dan diusahakan supaja fi- hak2 jang berselisihan itu mendapat penjelesaian setjara damai atas tanggung-djawabnija sendiri2 ; tapi bilamana usaha2 ini gagal, maka harus perkara ini diputus atas dasar 'kaidah2 dan sistim hukum-wa- ris-adat Indonesia.

217

BAB KE-SEBELAS. HUKUM-PELANGGARAN (DELIKTENRECHT).

Dalam ketertiban-hukum dimasjarakat2 hukum ketjil rupa"-nja jang dianggap suatu pelanggaran (delikt) ialah setiap gangguan se- gi-satu (eenzijdig) terhadap kesetimbangan dan setiap penubrukan dari segi-satu pada barang2 kehidupannja materieel dan immaterieel orang seorang, atau daripada orang2 banjak jang merupakan satu kesatuan (segerombolan) ; tindakan sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi ■— jang sifatnya dan besar ketjilnja ditetapkan oleh hukum-adat — ialah r e a k s i - a d a t ( a d a t r e a k s i ) , karena reaksi mana kesetimbangan dapat dan harus dipulihkan kem­bali (kebanjakan dengan djalan pembajaran-pelanggaran berupa barang2 atau wang).

Lukisan tersebut diatas mengemukakan terdahulu kemungkinan orang untuk dapat menggambarkan dalam angan2-nja suatu masja­rakat dimana ada hubungan diantara manusia, kekuatan2 gaib, ta­nah, barang2 dan lain2-nja lagi jang berada didunia ini •— hubu­ngan mana dalam alam pikiran di masjarakat situ dianggap sebagai biasa (normaal), dan sebagai sjarat mutlak untuk kehidupan jang bahagia dan harmonis, pula hubungan mana dapat disebut „kese­timbangan” (evenwicht). Oleh karena baik umat manusia, maupun masjarakat itu masing2 adalah pusat daripada gabungan hubungan'' —■ sehingga orang dapat mengatakan lingkaran-hidupnja manusia (levenskring) atau lingkungan-hidupmja masjarakat — maka kea­daan jang „biasa” (normaal) itu ialah keadaan kesetimbangan di­antara lingkungan2 hidup tadi satu sama lain. Benar djuga isi dari­pada lingkaran-hidup orang seorang boleh djadi tak sebegitu ber­arti kalau dibanding dengan isiraja masjarakat sendiri, namun di­mana2 linigkaran-hidupraja perseorangan ada isinja djuga, walau­pun sedikit; tentang proces memperkuat dan memperbesar lingka­ran-hidup perseorangan atas kerugiannja lingkaran-hidup masjara- xat, maka soal ini telah disebut beberapa kali (proces kepribadian -- individuaiiseringsproces). Gabungan2 jang disini disebut ling- karan2-hidup itu meliputi lingkaran termaksud dihalaman 88 dari­pada hubungan2 manusia-itanah-barang2, ditambah apa sadja jang ada hubungannija dengan manusia setjara lain dari apa jarig terse- Dut ta d i ; atas setiap kemeradjalelaan dari luar dan atas setiap pe­langgaran jang tak senonoh, penjinggungan, bahkan pembifijaraan setjara tak patut, mengenai limglkaran-hidup tadi beserta apa jang berhubungan dengan itu, maka reaksi daripada manusia ialah bah­wa ia lantas merasa malu dan lantas berkehendak menghilangkan malunja (atau sebab2 daripada mal u n j a itu). Tambahan pula luki­san diatas itu mengemukakan terdahulu bahwa apa sadja jang men- djadi subjek-nja hubungan2 tadi oleh alam pikiran masjarakat di- djindjing tinggi, sehingga oleh karenanja ada nilainija jang dapat di­samakan dengan nilai2 lainnja ;, maka dari itu benda2 materieel dan benda2 imma'terieel dapat digantikan satu dengan jang lain untuk

218

pemulihan kembali kesetimbangan jang diinginkan.Jang dimaksudkan dengan „alam pikiran dalam masjarakat

ialah paduan daripada alam pikiran „serba berpasangan (partici- perend) (mengalami) dan alam pikiran akal-budi (analyserend), sebagaimana alam pikiran itu dalam setiap masjarakat menguasa; anggapan umum daripada gerombolan ummat manusia (représen­tations collectives) itu.

Kemudian lukisan tadi mengemukakan terdahulu adanya suatu kesadaran, bahwa mempertahankan diri itu tidak hanja suatu ke­mungkinan sadja, melainkan djuga suatu k e h a r u s a n , bila lingkaran hidup itu terlanggar, dan untuk, mengganti nilai jang te r­langgar Jitu dengan tara jang sama (reprociteitsidee).

Bila dipandang dari sudut situ, maka penuntutan pem bajaranJ- pelanggaran ( deliktsbetalingen ) itu termasuk tugas untuk mengem­balikan kesetimbangan „kosmisch” jang dalam m asjarakat jang h i­dup sudah barang tentu saban2 harus dii/tentu'kan ; dari kesetimba­ngan mana tergantung kebahagiaan manusia dan ummat manusia. Gangguan tetap daripada kesetimbangan itu akan melemahkan ti­dak hamja objèk jang terlanggar sadja, melainkan djuga masjarakat seluruhnija. M aka d'ari itu p embaij ara n -d e 1 ikt itu — b:la jang dilang­gar itu objek2 daripada hubungan „magisoh” — sangat karibnja dengan pembajaran untuk „peribuatan tunai” (hal.88) ; jang per­tama itu memulihkan kemibali, sedang jang kedua mienitjegah gang- guan-kesetimbangan ( evenwichts-verstoring ). Pembajaran delikt itu buat sebagian ada hubunganmja djuga dengan pemibaijaran untuk perbuatan-krediet (krediethandeling), jang menjebabkan terpeli'ha- ramja „memberikan, mengambil dan mengembalikan" sebagai seba­gian daripada proces-kesetimibangan.

Djadd perkataan „ p e l a n g g a r a n ” ( d e 1 d k t ) iitu bermaksud suatu petfbuatan segi satu ■— jang oleh fihak jang lain tidak dibenarkan setjaira teranig2-an atau d'iam2 .— menudju kea- rah gang g ua:n- kesetimlbangan (evenw.chtsverstoring).

Tapi alasan2 untuk gangguan2 kesetimbangan (jang objectief) dan pemulihan kembali kesetimbangan itu, djuga diwaktu ada pe­langgaran, diidijeladjahi oleh suatu unsur iang sangat pr.badi sifat- njja ialah unsur „dibikin malu" jang telah dituturkan tadi, atau un­sur „disinggung perasaannija sehingga mendjadi m alu ' (in een ma- /u-complex ) ; unsur : rasa tidak enak, 'kemarahan atau balas den ­dam daripada orang jang terkena diisatu fihak dan unsur : kelalaian dan maksud sengadija daripada si-penjinggiung dilain fihak. Perseli­sihan, permusuhan dan rasa bentji antara dua orang sesama ang- gauta (penjinggung dan tersinggung ) ' itu melemahkan gerombo­lan — hubungan jang baik harus dipulihkan kembali, rasa dendam harus dilenijapkan demi kepentingan masjarakait, si-tersingg.ung menunitut ganti — maka disini alasan2 perseorangan dan alasan2 masjarakat bertjampur aduk satu sama lain dan bergabung men- djadi satu.

219

Pada bentuk-dasarmja maka h u k u m -■pelanggaran itu sama serba- samanja (homogeen) dengan hukum-adat bagian- lainnja , karena perbedaan dalam pernilaiannja barang2 materieel dan immateriee* dan perbedaan dalam imbangan2 nilai satu sama lain, maka hukum- pelanggaran itu dalam berlakunya sangat berdjems--nja. Kehorma­tan dan kesopanan, hidupnja anggauta2 keluarga dan kerabat, tu- buhnja sendiri, kesehatan dan .sjarat2 hidup „magisch , milik ba­rang2, hubungan dengan anak2 dan bini, kesemuanja itu terrfiasu iingkaran-hidupnija perseorangan2, jang harus dilindungi terhadap pelanggaran; penjinggungan terhadapnja menjebabkan gangguan kesetimbangan, menimbulkan rasa malu, ikemarahan dan dendam, pula melemahkan perseorangannja, golongan sanaksaudaranja dan m a9jarakatn,ja sekali. Penjinggungan2 itu jang mempunjai nama-'- nja jang tersendiri, atjap kali djuga meliputi sedjumlah perbuatan'^ jang mirip satu sama laiin — misalnja buat berma'tjam2 pentjurian, walaupun sebutan Pribumi daripada delilkt itu dapat mengandung maksud2 jang dapat meregang, seperti dago dagi (Min.) terhadap ^ pembandelan melawan pemegang2 kekuasaan adat, kagau gau (Bug.) terhadap perbuatan apa2 jang buruk.

Pembajaran2-<pelanggaran itu mempunjai hubungan jang chas — jang tak dapat didjelaskan lebih landjut — dengan apa jang dilang­gar, misalnja : tiga piring buat pelanggaran „penghinaan biasa , tiga piring dan seekor babi buat „penghinaan berat” , sepuluh piring buat „penghinaan terhadap seorang penghulu rakjat (dikalangan D ajak Lawangan), inilah sebuah sebarang misal daripada hubu- ngan pelanggaran dan pembajarannja, misal mana 'terambil dari ri­buan dan ribuan misal2 lainnja, jang kesemuanja djuga ta'k dapat diterangkan seperti misal jang tersebut tadli.

Pembajaran2-pelanggaran itu aitjap kali menandakan sifatnja janq „magisch”, ialah ternjata dari kegemaran akan menyebutkan nama2: nja barang2 jang harus diberikan sebagai pembajaran oleh si-pe- ianggar (misalnja sekian ekor lembu, sekian orang buda'k), pula ternjata dari halnja mereka dengan fliada keberatan meluluskannja, bahwa barang2 tadi pada ¡kenjataanmija diganlti dengan benda2 jang sedikit harganja dalam nilai wang, atau dengan sedjumlah wang. Pembajaran2-delikt itu dalam beberapa lingkungan-hukum mengan­dung petundjulk jang chusus, misalnja bosi sebelas kepala tadjau (Kalimantan Barat), jang artinja : sebuah periulk seharga 10 susun mangikok dan 12 mangkok-lepas, pembajaran-delikt mana ditetap­kan bukannja buat suatu djenis pelanggaran2, melainkan buat se­kumpulan bermatjam2 pelanggaran2 (jang menurut nilainja rupa2- nja sederadjat satu sama lain). Suku Toradja membeda2-kan : buat ke.djah.atan dengan mulut suatu pembajaran dengan memakai se­ekor ajam sebagai dasar, buat kedjahatan dengan tangan suatu pera- bajaran-delikt dengan 'memaJcai seelkor kambing sebagai dasar, buat

220

kedjahatan2 dengan badan seluruhnja suatu pembajaran dengan memakai seekor lembu sebagai dasar. Tergantung dari berat atau tidaknja kedjahatan jang diperbuat maka pembajaran-delikt jang sebenarnja adalah misalmja : seekor ajam ditambah tiga benda, atau seekor lembu ditambah lima benda, dan seterusruja. Di-c/esa Bali banjak kesalahan2 dihukum dengan denda wang. Demikianlah ma- sing2 lingkungan hukum mempunijai peta pelanggarannja dan reak- siraja jang chas. Rupa2-mja adalah suatu tjorak umum, bahwa untuk pentjurian (dan delikt2 kekajaan lainnja) pembajarannja delikt-nja adalah dua kali atau beberapa kali lipat harganja benda jang ter- tjuri.

Bilamana si-tersinggung dan si-penjjinggung tergolong dalam se­sama masjarakat, maka kebahagiaan masjarakat itu menuntut penje- lesaian, (baik hanja atas permintaan si-tersinggung (karena malu ?), maupun terlepas dari itu ; penghulu2 bergerak menudju kepemulihan kembali pelemahan masjarakat itu dan untuk menfcjegah djangan sampai mendjad'i keterlaluan, pula mentjegah mala-petaka dan men- tjegah kebinasaan seluruhnja. Kelakuan sesama anggauta m asjara­kat jang melanggar nilai2 materieel dan immaterieel daripada masja­rakat sendiri dengan tiada menjinggung orang seorangnja, misai- nja : pergaulan kelamin diantara orang2 jang perkawmannja satu sama lain akan dapat mengganggu ketertiban susunan daripada masjarakat, melahirkan, anak dengan tiada perkawinan lebih dulu, .melanggar bagian2 tanaJi pertuanan (beschikkiragsrecht) jang diper­untukkan kepentingan2 masjarakat, tidak datang disuatu kumpulan dusun, dan sebagaiinja, menggerakkan penghulu2 (-m asjarakat) jang lantas berusaha melindungi nilai jang terlanggar itu. Pemba­jaran2 d'elilkt untuk penjelesaian penistiwanja itu diterima oleh si- tersinggung sendiri atau bersama masjarakat (atau hanja oleh ma­sjarakat sadja). Oleh karena daja^hidup jang „magisch” dalam ma­sjarakat itu dengan djalan istimewa berpusat d'i-penghulunja dan olehnja dipantjarkannja kepada masjarakat, maka dari itu pemba­jaran kepada penghulu2 adalah suatu sijarat untuk memperkuat ma­sjarakat jang sudah mendjad'i lemah (dan dipand'ang dari sudut situ maka pembajaran denda kepada pemerintah atau kepada sesu­atu kas, dikalangan banjak suku2 bangsa, tid'ak ada gunanja). Di­pandang dari sudut ekonomis maka denda2 serupa itu adalah peng­hasilan jang dihargakan sekali oleh penghulu2. T entang member­sihkan masjarakat (dengan djeruk) jang sudah dilbiikin kotor, me- njadjikan selamatan kepada si-tersinggung dan kepada penghulu2- masjarakat dan disitu mengakui salah dan minta maaf, mendjand;ji- kan dengan kata2 akan memulihkan kemibali segala sesuatu sebagai reaksi daripada tindakan jang m enjerahkan seseorang mendapat kemenangan untuk dirinja dengan tjara tidak sah, kesemuanja itu adalah tijara2 ke-Indonesia-an umum untuk merajatakan reaksi2 atas

221

deliikt2, ifej'ara2 mana rupa2-n.ja sangat serasinja untuik mengembali­kan rasa harga diri daripada orang jang sudah dibikin malu itu. Djuga disini terdapat tjara2-n,ja jang chusus. seperti: memberi-ma- kan-dari-tangan, tarian dengan diiringi bunyikan d i waktu meneri­makan pembajaran-pelanggaran dikalangan Batak, dan sebagainja. Si-sesama anggauta jang tetap berkepala batu, oleh karena itu de­ngan sendirinya berada diluar adat atau dibuang keluar adat. Ia di­persukar dalam hidupnja dhnasjarakat sampai ia tak tahan lagi. Bila keterlaluan diusirlah dia.

Bilamana penjinggungan dari luar maajaraikat ditudjukan kepada sesama anggauta masjarakat maika terlanggarlah kesetimbangan da- iipada masjarakat2 itu (daripada si-tersinggung dan si-penjing- gung), masjarakat itu merasa terkena dan dalam .penuntutan penje- iesaiannja timbullah reaksi dari masjarakat lawan masjarakat. Re­aksi inii berlaku baik terhadap golongan sanalksaudara, bagian-clan. maupun terhadap masjarakat dusun. Bilamana ¡kepentingan2 masja­rakat dilanggar d'ari fihak luar (pelanggaran atas tanah jang terma- suik lingkungan „besdiikkingsrecht” misalnja) maka sudah barang tenitu penghulu2 daripada masjarakat jang merugilah jang membuat reaksi terhadapnija. Bila perselisihan rni tidak mi2ndjadi perang dusun (seperti dulu) maika diusahakan pewj elesaiann j a dengan sjarat2 jang sama dan atas dasar2 pemilaian jang sama, seperti penjelesaian di- dalam masjarakait. Dimana ada kekuasaan jang melingkupdnja, baik berwudljud gabungan diusun2 (dorpenbond), maupun pengadilan ra- d>ja atau pengadilan guibernemem, maka penjelesaiannja dapat di­paksakan dengan vonrais : perseorangan2- dari pelbagai masjarakat “ Ju berhadapan satu sama lain sebagai orang seorang.

rang taik usah membuat gambaran jang 'berlebih2-an daripada 16 V v. masiara^at jang timbul dengan sendiriinija (spontaan) ; ba­it v! iani9 ta^ ..dli-reailcsi” , melainkan terserah Jkepadanja sendiri, ersera juga kepada berlakunja tjelaan sesama anggauta2, bahkan

pun -eburukan (trdalk idapat lerujap oleh karenan'ja. Demikianlah w<>ici\ ik , U U mas;n9" orang tahu (dadjazirah Tenggara^nja Sula- mi *, , Wa SU!dah bertahun2 latman'ja ada huibunigan2 sumbang i ^ c erLn'9e veriioudingen) jang 'berat dalam suatu masjarakat

orang tahu sedari dulukala apa sehairusnija 'realksi adat terha- apnja, akan tetapi para penghulu membiarikannja sadja. Dilain fi- ai terdengar lagi realksi2 jang timbul dengan seradirinja (spon-an ) ri masjarakat dan penghulu2, tapi lantas dihubungkan

orang engan pembajaran denda jang menguntungkan penghulu'-1 X 1 1 ,

M aka dari iifcu sukarlah untuk ditundljuikkan pada umuminja sam-■ S3Doid u-etB.uaioasa;*} jnisiun Eipudirjep ijire Eueunp, redpemU' an ‘kesetimbangan, pemeliharaan nilai2 perseorangan dan pe­

222

meliharaan nilai2 masjarakat. Terkadang2 pelanggaran2 tetaip .tidak diusut, bilamana si-tersinggung menahan perasaannja dan tinggal diam. T erkadang2 sebagian daripada gabungan pembajaran2-pe- langgaran (samengestelde deliktsbetaling) atau suatu perbuatan-pe- mulihan, oleh si-penjinggung ditudijuikan semata2 umtuk melenjapkan kesusahan si-tersinggung, terlkadang2 pem bajaran (tunggal (ankel- voudig) berakibat madjemuk (meervoudig). Dilain fihak terkadang2 hanija orang jang 'berfbuat itu sendiri diharuskan mengadakan re- aksi-adat, bilamana kesalahan ada padanja ; terkadang2 reaksinja lebih berat bilamana kesalahan ada padamja dibanding dengan bila­mana tiada kesalahan padamja.

Suatu 'keruwetan jang ipemuh kesulitan2 jang taik dapat disele­saikan timbul, 'bilamana hukum-pelanggaran daripada masjarakat- hukum iketjiJ2 itu bertemu dengan hukum-ipelanggaran (hukum-ipi- dana) daripada lingkungan rad ja2 dian daripada lingkungan guibcr- nemen. Radja melindungi nilai2 materieel dan 'immaterieel dalam lingkuingannja dengan djaJan anltjaman hiulkuman. Pelanggaran2 dan hukuman2 itu (jang 'terkadang2 lain dari pada jang diilkenaJ dimasja- raikat2 tersebut tadi) adalah tertulis dalam buku unda n g -und ang . Akan tetapi pengadilan rad ja2 menghadapi delikt jang terdjadi di- antara sesama anggauita2 masjarakat saitu sama lain, atau' mengha­dapi deljkit2 jang tendjadi melawan anggauta2 dari m asjarakat2 lain, sehingga djuga ketertiiban-hukum pusat terlanggar karenanja. P e­ngadilan2 itu dalam mendjalankan piagam2 rad'ja seibagaa reaksi atas delikt2 itu memakai pernilaian2 daripada lingkungan rad ja2, jang dalam ketertiban-h uikum dimasjaralkat2 ketjil2 itu 'tidak tjotiok. Labih tak tjotjok lagi halraja dengan peradilan pidana dalam ketertiiban- hukum gubernemen jang dlidjallankan dengan pengaru'hnja pegawai2 pangreh-pradja atau pegawai2 kehakiman. Gubernemen sama d'ju- ga melin'duinigii niilai2~.nja sendiri dengan dijailan m endjatuhkan hu­kuman2, tetapi seraja itu ila mentjamiputri tangan sampai mendalam dalang keterbilban-hiukum daripada m asjarakat2, ialah karena pelang­garan" jang menurut hukum-pidana Barat termasuik perbuatan janig dapat dihukum lantas diperintahkan unbulk dihukumnja diengan tu- djuan- menuirut asas- dan pernilaian2 huikum-pidana Barat. Dengan demikian maka h u k u m - p elang g ar an daripada m asjarakat2-huikum ketyiP itu t.dak saima sekali dipadukan dengan hubungannja jang or­ganis. Seluruh „ilmu pemiladan” ( „waardeleer” ) daripada masja­rakat2 jcebjil itu tetap tidak 'dimengerti ; seibagai gantinja disorong­kan ikedalam se/buah kitab undang-undang hukum-pidana "dari luar jang berdasar „ilmu pernilaian” perinibangan2 Barat dan hukum- pidana Barat. Pertemuan irui adalah suabu 'tulbrulkan, kekuasaan gu- bernemen meneruskan tjaranja, walaupun bjara itu merusak bagian2 penang daripada apa jang 'hendak diiperfcahankannja (ialah masja- raikat keitjir itu sendiri).

Hakim hukum-pidana guiberaiemen boleh dikatakan tidak berdaja untuk berbuat apa2 buat kepentingan hukum -pelanggaran-adat; di-

223

waktu achir2 ini ditundjukkan sebagai pintu dairurat akan kemung­kinan mendjatuhkan hukuman bersjarat (voorwaardelijke veroorde- ling), dimana sjaratnja itu terdiri dari reaksi-adat; hakim dalam perkara sipil tidak berkesempatan berbuat apa2 dilapangan hukum- delikt ini.

Hakim-dusun (dorpsrechter) sedjak tahun 1935 menurut wet dapat mendjatuhkan hukuman berupa reaksi2-adat jang bukannja hukuman menurut kitab undang-undang hukum-pidana, akan tetapi dalam hal ini ia terbatas hanja sampai r e a k s i2-adat tambahan (bij- komende adatreakties) meminta maaf, mengadakan selamatan dan sebagainja), bilamana oleh hakim gubememen sudah didjatuhkan hukuman.

Dalam lingkungan peradilan Pribumi (Inheemse rechtspraak) deliKt2-adat itu dapat seluruhnja diadili menurut hukum-adat (dja^- d i : haik misalnja pembunuhan dengan direntjanakan lebih dulu, pembunuhan biasa, pentjurian dan zina, maupun menjentuh tangan seorang perempuan, sumbang, makan apa2 dari pinggan kuningan berkaki (dikalangan suku Batak Karo) dihadapan kalimbuhu-nja (seseorang dari marga jang menghasilkan pengantin perempuan) dan ribuan perkara sematjam itu. Baik reaksi2 untuk kepentingan masjarakat, maupun reaksi untuk kepentingan perseorangan dapat

e uanja didjalankan bersama2. Tapi kebanjakan didjatuhkan hu- uman dari kitab undang-undang hukum-pidana, djadi dikenakan u uman setjara Barat, jang dikehendaki oleh lingkungan guber- em en , mengenai sampai dimana sedemikian itu tak dapat dihin-

2^ ma^a soa sangat sukarnja untuk dikiraikan. Kebia- ( Se^ a an 'dengan itu diikuti pula oleh hakim-landschap u_i . sc aP®rechter). M aka dari iitu djuga buat hakim2 Pribumi dan mim k' ^ C aP t^ b u llah persoalan tersendiri, hukuman2 apa jang hmVif ^ dibarengkan dengan hukuman dari undang-undang..m e n n ^ l telah dadjatuhkan itu, agar supaja disampingBarat H*- ^ (”stra^ en ) sebagai kehendak ketertiban-hukum pemulih memuas|kan hati orang seorang jang bertudjuan akan diuaa 311 u £m^a^ kesetimbangan atas dasar pernilaiannja, pun tertiban*0111 v,aii.tU ma9 ara®cat2 ketjil itu untiuk mempertahankan ke- (saniktip/3 U T ^ en9an ,fcjaranija sendiri. Tapi antjaman hukuman bali in' ( 3 ^ ^ enu^ nja usaha2 perdamaian dan pemulihan kem- lu2 da1 merLJ® enggarakan selamatan, meminta maaf dari penghu- terdir‘^ ° raij^ terkemuka, dan sebagainja) terkadang2 nanti akan buann l-3? 1 3r ^u^uinan Barat, oleh karena sanktie adat — di-bant + Uai ma9 ara^a*:> dikeluarkan dari lingkungan bantu-mem-

u sa u sama lain dan ditaruhkan diluar adat — kurang dapat

224

didjalankan ialah karena makin longgarnja hubungan dan karena banjaknja d jalan2 keluar jang disadji'kan oleih lalu-lintas dan oleh kota jang besar. Tapanuli dan Amboina sudah pernah mer.tjoba mengadakan samktie-adat serupa itu dengan djaian peraturan2 „keur” .

Penuntutan ganti-rugi berupa wang, karena kerugian jang di­perbuat dari sebab kelalaiannja terhadap kepenttingan orang lain (atau karena disengadja lalai) menurut hukum -adat seharusnja di- mana- dimungkinkan. Bila didapat kerugian karena perbuatan bi­natang ternak jang terlepas misalnja, maka diilbanjak wilajah orang boleh membunuh ternak itu. Bila ia tidak memiburuuhruja, tapi ia min­ta gan'tinja kerugian, maka permintaan sedemikian itu dapat djuga diluluskan. Kerugian jang disebabkan diluar salahnja seseorang — itupun bila kerugian itu bersiifat ekonomis dan bulkannja ,,'magis"— tak dapat menjebabkan bahw a orang itu dihukum untuk meng- gantinja.

Persoalan, siapakah jang bertanggung djawab atas kerugian jang telah ditimbulkan •—■ apakah pengemudinja kendaraan, atau (djuga) pemiliknja Buimipultera •— sudah pernah dua, tiga kali timbul ber­hubung dengan terdjadlimija ketjelakaan2 mobil. Pemilik Bumipuitera daripada mobil di D jaw a menurut bdberapa keputusan dipertang­gung djawabkan untuik itu, hal miana rupa2-nja setjara sistiin sesuai dengan misalnja pertanggungan djaw ab pemilik ternak terhadap kerugian2 jang disebabkan oleh ilembu2 jang dilepaskan oleh anak* penggembalanja jang ada dibawah pemeliharaaninija, akan tetapi keputusan sedemikian itu 'tidak dimana2 sesuai dengan keiinsjafan- hukum Pribumi.

Tanggung-dijawab daripada 'masjarakat jang ber-Jbeschdkkings- recht atas delilkt2 jang terdjadi dilingkungan „beschikkingsrecht ’- nja itu, tapi tak dapat diketemukan pelanggar2-nja, adalah suatu misal daripada kew adjiban untuk pemulihan kesetimbangan •—■ de­ngan d,jalan pem bajaran-delikt ■— dengan sediikitpun tiada unsurnja perseorangan, melainkan hanja atas dasar pertalian ,,ummat-manu- sia dan tanah” sadja.

225

BAB KE-DUABELAS. PENGARUH LAMANJA WAKTU (INVLOED VAN TIJDSVERLOOP).

Baik hak2 atas tanah, maupun h ubung an 2 - h u k u m diantara per­seorangan3 adalah menurut hukum-adat tergantung dari pengaruh lamanja waktu. Djangka waktu jang ditetapkan dengan tahunan se­sudah mana sesuatu hak dapat diperoleh atau ¡mendjadi lenjap, ha- nja terdapat dimana penetapan djangka waktu sedemikian itu sung­guh2 terdjadi, ialah oleh perundangan desa (Bali), oleh peraturan radja2, oleh pengaruh pangreh-pradja, atau oleh keputusan2 hakim2- keradjaan atau hakim2-gubernemen. Dalam hukum tak tertulis dari­pada masjara'kat24iukum, maka jang menyebabkan seseorang tak dapat melakukan hak2 jang ia katakan ada padanya — dan jang se- baliiknja menjebabkan fihak lainnja mendjadi aman oleh karcnanja— ialah : perubahan2 jang njata diiisebabkan -karena lamanja waktu, misalnja perubahan keadaannya tanah, atau kalau tidak demikian : karena sudah tak teringatnja lagi letaknya peristiwa2 sebenarnja jang terdjadi pada walktu jang sudah „lama lampaunya.

H ak2 perseorangan atas tanah tidak dapat dipertahankan terha­dap hak2-auja sesama anggauta2 atas tanah itu jang berakar dalam hak-masjarakat, dan haik2 itu lenjap, bilamana bekas2~nja pengo­lahan tanah sudah hilang dan bilamana tanah ketumbuhan lagi oleh semak2 sampai menutupinja. Haik atas pohon-pohonan jang tumbuh dirimba menidjadi lenjap bilamana tanda2 jang diparangkan padanja 'tu telah tertutup kem bali oleh kulit kajuruia jang 'baru tumbuh kem­bali. H ak terdahulu (voorkeursrecht) dariipada si-ipembuka tanah

apat mendjadi lenjap bilamana tanda-larangannja (verbodsteken) sudah hilang. Bilamana hak-pertuanan (beschikkingsrecht) itu men jadi hak-perseorangan, maka pernah terdjadi, ¡bahwa penghu- u -ca ja t jang lalim lantas menentukan djangka walktu jang pendek, t M ^ tern >° 1 mana halk2-perseorangan ifcu tidak laku lagi bilamana ana itu ditinggalkanny a (agar supaja dapait diserahkannja lagi

,a oran9 lain. atas pembajaran kepadamja). a ain pelbagai lingkungan-hukum terdapat i9tilah2-hukum Pri-

surT'v, ,menunjdju'kkan pengertian: sudah kelamaan lampaunya, lah ^ mendjadi kabur karena lamanija, sehingga sudah lampau, ia-

° r Karo), prakara lama (Batak Toba) kada-nurnfSa • r entan9 perihal penggadaian tanah terkadang2 me- risor ¡*UnsPru< en^ e Pribumi (daerah2 Batak, Gorontalo) dan ju­san Uf ^ntl£ 9u^einemen ada terdapat diiputusikan, bahwa karena ka l-Tv 3man a ditunda2 penebusan tanah jang digadaikan itu, ma- men * S/ ’1 ent^ ua gadai dilkatakan sudah mendjadi hapus. T ap1

nuruit ukum-adat djustru hak menebus itu tidaik dapat dilanggarnen^uk *'^n< a‘nl.ia sampai lama ; sebelum hakim dalam hal ini me-

an bahwa ada pengaruh lamanja walktu jang melenyapkan226

V

hak-menebus dtu,- maika ia .barang sepuluh kali mempertimbangkan- nja lebih dulu hendaknja. Demiikian dijuga halnja dengan hak2-per- seorangan a:tas harta-peniinggaian jang ¡tak terbagi-. Hal membiar­kan. harta-peninggalan dalam kead’aan tak terbagi2 telah dilukiskan dalam bentuk2-nja menuruit hukum-adat (hal. 198) ; dalam waiktu jang sangat lama beberapa waris dapat diiilu^kan menikmati terus bahagian2 harta itu, jang tidak terbagi2 dan oleh karenanja tidak ada hak2-perseorangan atasn/ja ; alkam tatapi muoigikin keadaan jang senjatanja itu lama kelamaan dengan diam2 diakui oleh para sesa- ma-waris sebagai suaitu pengaturan jang defm tief. Bilamana tim ­bul perselis.han -karena segolongam waris menolak melawan tin­dakan mengehaki sebahagian harta itu dengan halk-perseorangan, dengan alasan 'bahwa harta itu maisilh dalam Jceadaan belum terba­gi2 — atau kareaia perkawinan jaaitg tak dianginlkan atau karena per­tikaian kerabat laiinnja jang menjebaihkan orang memibongikair-bang- kir keadaan „jang sebenanruja” d.arutara anggauta2 (kerabat ■— maka apa jang telah terdjadi dengan semjata2-nja itooh harus dinilai djuga dalam hukum. Adadah suafiu pekerdjaan jam g halus serta sukar buat jnentjari apa ijang harus dipandang penting untuk dilberlaikuikan atas perimbangan-nhuikuni, dan aipa janig tidak, halus dan su'kar pula buat mentjari batasinja antara : membiarkan sebagaimana kenjataannja dengan membiarkan masjh tetap dipegang hak2-nja disatu fihak dan ,,rechtsverwertking’’ (penghilangan hak sendiri) diiilain fihak. Dalam pada itu tmalka suaitu voiranis darj|pad!a landraad Tulungagung pada tahun 1923 ( adatrechtbundel X X II hal. 27) memberi tauladannja seitjara mahir.

M engenai penagihan hutang2 terhadap sesama anggauta dusun dan ¡kenalan2 d.feigikiuangain ralkjat Pirilbumi maika hak menagih tidak lenijap (karena ketiadaan menagih dalam d jangka waiktu jang diten­tukan dengan tegas, karena sedemikian itu aikan menjalahi kewa- djiban pertama daripada setiap penagih hutang : jaitu ia wadjiib sa­bar, pandijang haitii dan lemah-lembut (sabar, Dj.J ;d:simi terdapat bumtut pengaruh tolong-menolong ibertitmibal JjaJilk. Tapi d i luar su- atu batas jang tertentu dan dailam hu'bungan2 dliluiair situ ■ lebih- ujuga 'terhadap pembakaran - betfkaJa ■— maika ¡memang terdapat a<dla pengaruhn.ja sdkap 'dliiam2 dan silkap diingin daripada si-penag.'h hu- tang ; aturan2 hukum janig iberlaiku d’alaim pada itu seharusnja lebih iamdjut ditentukan dalam keputusan2.

Telah bertilang- ¡terdjadli daJasn liiaiiglkungan radija2 ■— dan seba­gai akibat pengaruh pegawai ipemedtntah bangsa Eropah ■ ■ bahwa diadakan t.jnd'alkan2 (Batalk, Kalimantan, Batfi, D jawa) jang menje- babkan dibatalkannja dan tak dapat ditenimanja (onontvankelijk) perkara2 jang berasal dari masa t daik ad'a kepastian hukum (meng­hadapi petjah perang, menghadapi pendudukan sesuatu daerah).

■Dalam keputusan.'2 hakim2 (jang karena kewadljibannja untuk me­melihara kepastian jang patut daripada hak2-mja subjectief sese­orang, dan jang dim ana2 mereka memperhatikan -— walaupun de~

227

ngan perhatian j a n g kurang ibersistimnja .— lembaga : penghilangan hak sendiri (rechtsverwerking), dikenakan (aantasting) lamanja w aktu), orang harus membeda2-kan adanja tiga garis. Pertama2 memang dianggap benar, bahwa hak2 madi (materiele rechten) atas tanah dapat mendjadi lenjap misalnja karena dilalaikannja da­lam wakitu jang lama, atau hak2 itu dapat terbit karena berlangsung- nja sampai lama keadaan jang senjatanja, keadaan mana sesuai de­ngan pelaksanaan sesuatu hak ; djuga, bahwa hutang2 tidak dapat diitagih lagi karena sinpenagih hutang kelamaan berdiamkan diri. Dalam hukum-adat selalu akan diperhitungkan lamanja waktu dan apa jang telah terdjadi dalam waktu itu -— setelah dipertimbangkan menurut kepatuitan — ; dan tidak diperhitungkan djumlahnja tahun jang pasti, walaupun tidak mustahil bahwa di'kalangan jang pendu- duknja makin lama makin banjak menghitung dengan almanak2 dan tahun2, kepuutsan2 atas soal terachir ini akan diamui orang dju­ga. Diimana dalam hal perdjandjian2 tanah diharuskan adanja pem­bantuan dari penghulu rakjat agar supaja diperoleh hak mendapat perlindungan hukum dari fihak inasjarakat, maka bilamana permin­taan bantuan ini dilalaikan, rtupa2-nja kelalaian serupa itu dapat dipermaaf bila berdasarkan atas lamanja waktu dan atas perbuatan2 pengakuan langsung atau tidak langsung daripada penghulu tadi dalam djangka waktu itu (hal. 90. 204). Begitu djuga lamanja ■waktu itu dapat melenjapkan haknja seorang waris, jang mestinija

^ h u n j a dalam sesuatu perdjandjian (transaktie), pada hal* f / naPi ia ^ u9a ^dak melawannja dalam djangka waktu jang sa U t- kiim dapat menghindarkan diri dari bahaja jangadatv K*' se 5a9ra' akibat daripada tergesa--nja menganggapuntuil!-3 er amanja waktu, ialah dengan djalan memaksa dirinjaitu mem ^ a asan Pandjang Idbar pada dasar sistiim keputusan

Kedu 7persanak Pengaruh lamanja waktu 'iitu dipakai sebagair i ^ h T J T m?edren) 'ten,tan9 adamja atau len.japnja suatu pe- njancrkal l Uechtsfeit) atau suatu haik. Pada asasnja buikti-pe-kal itu tidak^K ifW S mas'^ mungkin, tapi selama bukti-penjang- dalam k e 3 f- maka dalam perkara sengketa dan kemudian„ re c h ts fe i^ a ta ^ h C an^^aP sudah 'terang adanja atau lenjapnja

dak perlu d^am pemeriksaan perkara dapat menganggap ti-berdasarka ^ 9!'“Pen99u9ait sampai membuktikan gugatnja, ialah bahwa ia d 1 3n^a atas sa*u-<satunja pendirian si-penggugat sendiri, suatu p e r is i an\ Perkara itu menuntut suatu hak jang timbul dari pada itu d a ^ f ian'9 sudah amat lama lampau ; hakim dalamlama h-, a^af ^ ^ o la k memeriksa perkaramia itu karena prakata

A d a lT na kedaluwarsa-dibitjarak me?^e^a^ an kebingungan belaka bilamana masalah ini Anggapan"' en9an memakai istilah „verjaring” (lewat w aktu).

-.verjaring itu memang ada dalam hukum-adat” menje-228

bahkan Jcesalah fahaman seaikan2 tempoh „verjairmg” tigapuluih, atau sepuluh aitau lima tahun sudah dikenal sebagai lembaga umum diikalangan rakjat Indonesia disesuatu lingkungan-huikum ; angga­pan : „verjaring itu tidak ada” menjebabkan salah pengertian, se­akan2 menurut hukum-adat tiada sama sekali atau tak mungkin sa ­ma sekali ada pengaruh lamanija waktu atas hubujigan2-hukum. M aka kedua anggapan ini salah. Matka dari itu dalam hal ind jang mendjadi soal tak lain dan tak bukan ialah soal umum jang difat- sal2 berikutnja dikupas lebih landjut, jaitu : bahw a hakim jang ber­pendidikan akademis harus setjara patut berusaha (dalam perumu­san pertimbanganruja dan dalam keputusannja) menjadari apa jang diberlakukan, dulu dan sekarang, oleh hakrm-raikjat dengan intuisi- nja (intuitief) untuk mentjiptakan keputusan2-nija ; dalam pada itu nilai daripada perubahan2 sosial harus dliperhitungkan djuga seba- ik2-inja.

229

BAB KE-TIGABELAS. BAHASA - HUKUM.Sebuah lukisan hukum-adat dalam bahasa Belanda harus dengan

susah pai j ah menempuh kesukaran jang disebabkan karena bahasa Belanda adalaih satu-satunja bahasa jang „memang” tjotjok buat hu­kum Belanda sadja. Suatu pembangunan landjutan setjara keilmuan daripada susunan hukum Belanda jang berdasarkan atas pengertian' lentang-« hukum Belanda, dalam pada iitu dengan sendiriinja mesti bcrtudjuan membersihkan bahasa-hukum Belanda. Lebih tegas lagi (kairenia keduanja i-nli adalah satu) : untuk selalu menjadarka.n diri lebih dalam dan untuk membuat dirinja sadar tentang bagian- umumnja dan bagian2 chususnja kesatuan hukum Belanda (sebagai sudut chusus daripada Hukum dalam ariti kata jang umum) jang dy- namis dan jang berlaku, maika orang harus mempergunakan baha- sa-hukum Belanda jang oleh karena itu selalu menudju kekemurni- annja. Pekerdjaan ini d i dj alankan dalam hubungan bertimbal balik oleh rakjat dan oleh para ahli-huftum (jang termasuk golongan rak- jat) sebagai bahasa-hukum rakjat dan bahasa-hukum technis, jang^ di Nederland menimbulkan bahasa-undang-undang dalam susunan-' nja jang istimewa dan jang ber-tak-kebebasan jang nisbi (betrek- kelijkheid) disamping ber-kemerdekaan jang nisbi (betrekkelijke zelfstandigheid) pula. Suatu bahasa-hukum jang murni itu bukan­nya suatu barang jang dapat diperoleh dan dipertahankan sebagai milik tetap sekaligus pada suatu hari, melainkan adalah ia suatu proces jang berlangsung terus dan tak pernah berachir. Ap^ jang dalam bahasa-rakjat sebagai keinginan-hukum dan jang dalam kc- putusan- hakim-raikjat sebagai hukum janig beilaku dinijaitaikan d e­ngan bahasa jang tak sempurna dip.’ikiirnija iitu, dipilkritkan lebih lan- ajut, difahami dan ditentukan lebih landjut dalam bahasa jang telah disaring oleh aihlwhukum, oleh hakim-di jabatan, oleh peng.undang- uindang (bila ia ada seorang aihli-ihuikum) dan oleh ilmu pengetahu­an. Apa jang disumbangkan kepada huikum jang berlaku oleh para ahli-hukum, hakim2 dan para pengundang-unidang,, adalah sumba­ngan berupa bahasa-hukum jang telah disaring, itupun sepandjang pengertian mereka mengtdinkannja. Tentang adanija ke-tidak-ke- tjermatan sebagai akibat sifat berubah2 dariipada hukum, disamping banjak ke-tidak-ketjermatan karena ipemgertian jang kurang sem­purna (dari filhak rakjat dan fihaik judist (semua)) maka hal ini da­pat dimengerti, dimana2 dan selailu akan terus begitu k e a d a a n n j a - Oleh karena itu istilah2 hukum Belanda jang ada pada waktu se­karang ind peniting artinja pertama2 dalam proces jang tersebut tadi.

Demi pekerdjaan-piikiran seorang ahlwhukum (jurist) Belanda di- tudjukan kepada huikum asing — kepada hukumnja bangsa Indone- sia — maka timbullah persoalan baru. Istilah2 hukum dalam mak­na Belanda tak dapat dialpakan dan djuga tak dapat dioper olehnja- Ia tidak dapat mengopernya, karena dalam suatu hukum jang ber-230

pengertian2 begitu „asing” dan dalam suatu lingkungan sosial jam g begitu „asing” pula, maikna Belanda tiidalk dapat berlaku seba­gai makna Belanda; dengan demikian istilah itu nanti alkan mema­sukkan suatu unsur „asing” dalam hukum-adat; iia tidak dapat mcngalpaikannja, oleh 'karena ia dapat melahirkan pikriirannja setjara jang dimengerti orang hanja dengan mempergunakan istilah2 hulku m Belanda, atau, dengan kesadaran dengan djalan menijiingkirkan isti­lah2 tadi. Ia harus memahami haikekatnja hulkum-adat (pada achir- nja selalu dengan mempergunakan bahasa-ihukum rakjat Pniibumi) dan untuk melukiskannja itu ia harus mematai peiikataan2, kalimat2, halaman2 dan kitab2, jang memundjulkkan maikna jang tepat terha­dap pengartian jang telah d'iperolehnja iitu. Djadi istilah2 jang ter­pilih itu pertama2 dalam hubungannja isatu sama lain dan batas2-nija satu sama lain harus serasii buat susunan hukum-adat, seraja harus diibatasi jang tetap dari maikna istiiilah2 hiuikum Belanda. Beginilah tjara mengerdjaikannja : dari pengartian-hukum jarng chusus ('ko- pen, eigendom, vruchtgabruik, pand) orang melangkah kesuatu pe­ngartian jang leibih umum ; ,,!kopen” (-beli) dan seterusnja ; pengar­tian umum tadi selandjutnja dichususkan lagi sampai ke-pengartian mengenai peilbuaitain2-hulkum tertentu atau hu!bungan2-hukum dalam hukum-adat. Ba'Jk terlhadap pengartian umum, maupun teithaidap pe­ngartian Belanda, maka jang chusus itu (het bijzondere) dapat di- njatakan dengain djalan ditamihahmja sepatah kata niama sifat (bij- voeglijk ruaamwoord) atau dengan djalan uraian (omschrijving) ; misalnya dDnjataikan : „Ibel'i” (ikopan) adalah menurut hukum-adat bukan perdjandjian „consenisueel” melaiinikan perdljand'jian „reeel’ . Betapa banjak kesalah-fahaman d’an (poikrol2-an (juristerijen) sudah Umbul hanja dani perkataan itu sadja, malka d'ilsini hanja diperingat­kan sad'ja aikan itu ; chusus mengenai „Silat reeel daripada perdjan- dijian djual ibeli” itu oleh jurist2 sudah dilkemulkaikan kebodohan2 jang tak teifbilang ibanjaikmja, jang merapalkan sekian Ibamjaik llmtang2 an­tara hukum-adat dan perumusan pengartiiannja dalam ibahasa Be­landa ; apa jang terbentang diatas ini sama d!juga berlakumja atas : „eigendom”, „ibezit”, „communaal bezilt”, „pand”, „ikoop met bediing van wederinikoop”, „verloving”, „koophuwelijk”, bruidsahat”, „voorsohot”, „vrome" stidbting, „huiur”, „roerend goed”, „verja- ring”, dan sebagaiiinja.

Pemakaian bahasa Belanda unbulk melu'kisikan hulkum-adat Indo­nesia -safcjaira berfikir dengan kesedlaran dan ketenangan, mengaiki- batkan pekerdjaan „menerdljemahikan" ibahasa-hukum Pribumi ke­pada bahasa Belanda itu mendijadi pekerdjjaan jang bersusah pajah— pekerdjaan mana oleh V an VaMenhoven dengan sekaligus telah diangkat sampai 'ketingikatan keilmuan — hal mana lambat laun menjebabkan banjak perbaikan, tapi selalu terserang dan terantjam (setjara le'bih 'helbait idarli pada dailam pembentukan bahasa-hufkum

231

baru) oleh penkisaram. hukum sendiri dan oleh keserarapangan2 kuasa2 perkara (zaakwaamemers) jang benbitjara dan berpikir da­lam sama bahasanja rakjat ialah fihak2 jang berkepentingan ; pula diserang dan diantjam — ini sajang — pu'la oleh keserampangan- dan ke-sementara-an2 — jang tidak dapait dielakkan djuga — da-riripada !bahasa jimst.

Peringatan2 tentang bahasa Belanda sebegai baihasa-hukum uratu'k hukum-adat sekarang disusul dengan dua peringatan tentang ba- hasa-hukum Pribumi.

Pertama2 : perkembangan technis setjara sedar daripada bahasa jang dipakai untuk menjebutikan hubungan2-huikum dan pertbu- atan2-hukum adalah memang disana sini (Bataik, Mimangikabau, Sunda) sudah berlangsung dengan tjaranja sendiri2, tapi dimana- ada ketinggalan dibanding dengan pembentukan kelas ahli-hukum (juristenstand) anak2 negeri pada masa sekarang, itu pun, sudah barang tentu, karena bentukan itu 'berlangsung dalam bahasa Be­landa dan inisiatief untuk menjadur bahasa sendiri sampai sekarang tidak ada. Untuik ini maka buah tangan Vergouwen tentang Batak Toba jang berisi kata2 buat bagian2 hukum jang penting lebih ber- djasa dari pada lain orang, dan Kom minta perhatian untuk bahasa- hukum Bah jang sudah berkembang sampai suatu tingkatan terten­tu, pula ia minta peihatian untuk psngarun jang merusak daripada bahasa Melaju sekarang jang terpakai dipengadilan2 Pribumi. Pada suatu saat maka para ahli-hukum Indonesia akan harus mengerti bahasa Pribumi tadi dan mereka akan harus berusaiha mempeladjari- nja apa jang perlu untuk dapait lebih memahami tjara pembedaan2- nja Pribumi .dan faham2-hukum Pribumi. Dipteringatkan kiranja misalnja akan selkian banjak seibutan2 mengenai delfkt2 dan pem- bajaran delikt, jang orang2 Belanda jang mempeledja'ri hukum- adat masih sedikit dapat mempergunakannj a.

Selandljutnja: semestinja (hampir selalu) ada pertalian jang sungguh („wezenlijK ) diantara lembaga2, hubungan2 atau perbu­atan2 jang disebut dengan istilah2 jang sama, dan ada perbedaan jang sungguh diantara lembaga2, hubungan2 atau perbuatan2 jang disebut dengan istilah2 jang berbeda2 ; mesfcinja dapat dipungut makna jang lebih dari istilah2 mengenai tanah dan benda2, ialah ber­hubung dengan keduduikannja-4iukum; mestinja mungkin djuga akan m em isahkan „istilah2 jang perlu” dan „istilah2 jang kebe­tulan satu dari jang lain. Inilah sebabnja betapa besar sekali gu- n u j a penjebutan istilah2 Pribumi itu (hal mana sebagai persiapan sangat dipergiat oleh V an Vollenhoven). Mallinckrodt menjadji- kan beberapa tauladan jang menondjol daripada usaha untuik men- tjari pengartian-inti daripada istilah2-hukum jang pada lahirnja berbeda2 satu dari jang lain. Perhatiannja sebagaimana djuga perhatian Korn dan Vergouwen terhadap persoalan bahasa-hukum

232

berada dibawah pengaruh buah tangan Van Vollenhoven „Indone- sische rechtstaal dari tahun 1922, dimana persoalan- jang berhulbu- ngan dengan itu-buat pertama kalinja dikemukakan. Pekerdjaan pe­ngusutan dan penjaringan arti2 kata2 itu ad'alah suatu usaha jang amat halus. Misalnja disini ditundjukkan persoalan2 jang paling ter­kenal ; apakah maksudnya pemakaian istilah adol, djual, tuku, beli — dan kata2 jang etymologis bertalian dengan itu — terhadap pengar- tian2-hukum jang dinjataikan dengan kata2 itu? Mengenai perkataan „ tukon" sebagai pembajaran d’iwaktu perkawinan Djawa ada ter­dapat sediikit kesusasteraannja hukum-adat, tapi tiada kata sepakat terhadapnja, demilkian djuga halnja mengenai perkataan „adol". Apeikah artinja, bahwa oleh suatu suku Dajaik persiapan pembuka­an tanah oleh seorang sesama anggauta masjarakat (bukannja pem­bukaan oleh orang asing) disebuit dengan perkataan jang sama de­ngan perkataan untuk : suatu perdjandjian jang telah diperkuat de­ngan suatu tanda jang kelihatan, dan untuk „pertunangan dimuka” (voorverloving) (mamupuh) (hal. 161) ? Apakah ketiganja itu sa­ma2 mengandung maiksud : menaruihkan suatu haik terdahulu (voor- keursrecht) ? Dan apakah ini terdjumpa kembali dalam halnja suiku Batalk diibagian Selatan, dimana suatu tanda jang kelihatan atas tana'h jang disedialkan untuk dibuka disebut dengan istilah jang sa­ma dengan istilah untuk had i ah-p ertunan g an (toto) ? Bagaimana­kah im'banganinja jang tepat daripada istilah mamili — dan perka­taan Dajaik Ngadju untuk : „beli”— dan pericataan2-nija : mandjawi (menguasai sesuatu buat selama2-nja dengan dijalan memberikan pembayaran jang „magis” ) dan mamekat (menguasai sesuatu buat sementara dengan dijalan memberikan pembajaran jang „magis ). Mengandung apakah pericataan „sanda” jang terdapat baik dalam perdjand'jiain2-.tanaih, mauipun dalam perkawinan2 ; apakah jang ter­kandung dalam „tuan" : tuan tanah, tuan wang ? Apakah funksinja jang dipetik dani pertkataan2 Arab sepertli „milik ’, „haq , atau dari kata2 Belanda seperti : „borreh” ? Apaikah nilainya (dan maksudnja) pepatah-hukum seperti : ,,haq bamilieq, harato bapunja dan sete- rusnja dan seterusnya ? Halnija menjeibut objek2 ihuikum, dengan is- tilah2-adat jang Ibersanglkutan dengan objek2 >itu, adalah lebiih dari terkenal : patuanan, ulajat, panjampeto, nuru, prabumian dan seba- gainja terhadap liingkungan-ihak pertuanian (ibeschillckingskring) ; harta pusaka urntuik harta-tbenda-kerabat: harta pentjarian, pasini untuk harta-benida-perseorangan; barang kalakeran untuk harta- benda jang menidjadl hakraja orang Ibamjaik (kerabait, dusun, atau masjarakat manapun djuga) ; harta saka, harta pusaka rendah, har­ta suarang, barang gana, gini, gana-gini dan ratusan lain2-nja lagi.

2 3 3

Dalam setiap lingkungan-huikum adalah dihadapan kita soal- : pernilaian istilah2 hukum-rakjat serupa jang tersebut tadi menurut nflaiin,ja jang sedjati, pemakaian 'istilah2 itu dalam bahasa hukum - adat Pribumi jang sudah disaring, dan penemuan 'kata2 jang paling tjotjdk dengan istilah2 hulkum-adat fcadli dalam baihasa Belanda, 'ke­semuan j a iifcu ada dihadapan 'kita sebagai sebidang itanah-laipang pe- kerdjaan, jang itiidaik (seperti ladang) mendjadi habis sesudaih be­berapa tahun dan talk menghasilkan apa2 lagi, melainkan (seperti sawah) — bila diikerdjalkannja terus menerus — setiap tahun meng­hasilkan panenuija djiuga.

234

Ii

BAB KE-EMPATBELAS. PEMBENTUKAN HU­KUM-ADAT.

Tiada suatu alasanpun dlju a unituk menijebut barang sesuatu de­ngan nama ,,hukum” selaiininja apa jang diputuskan sebagai „hu­kum” oleh pendjabat2 masjarakat jang 'bertugas menetapkan dalam keputusan2-nja bagaimana hukumruja —- (kira2 dengan kata2 demiki­an itu orang Inggris Gray pada hemat saja, djuga terhadap hukum- adat, memberi dj awaban jang itepat atas pertanjaan, bila manakah setjara theoretis orang .daipat .menamakan h u k u m - adat jang berlaku (geldend adat r e c h t ) (berhadapan dengan a d a t ) , dan 'kaidah2- ‘h u k u m tak tertulis jang benlaku (geldende ongeschre- ven r e c h .t s - normen) (berhadapan dengan (kaidah2 tak tertulis mafcjam lain) (ongeschreven nonmen van anderen aand). Keputusan2 jang diambil oleh pendukung2 kekuasaan, d ia la h penghuiu2-rakjat, —■ keputusan“ mana selalu dapat dan iharus dliitafsdrkan tidak haruja sebagai keputusan jang kongikrit, melaimkan djuga sebagai suatu •kaidah un.tuk perkara2 jang „sama” (jaStu [perkara- jang mengan­dung kedjadian2 jang bersangkutan dengan oitu, d'jadi perkara2, jang s e b e r a p a d j a u h sama) — menundijuikkan adanja kaiidah2-'hukumnija jang berlaku dalam m asjarakat; jaitu bentuk2- hukum daripada nilai2 dan perniiilaiian2 maiajarakat, bentuk2-<hufkum mana timbul dari beraneka ged.jatfa2-ih.idup jang bebas. Tapi kaidalr- hukum serupa itu tidak semua sama pad'atnja ; bertambah dan ber­kurang padatnija i/tu ‘tergantung dari : apakah dlisokongnija oleh soal ada pertaliannja atau tiada pertaliannja setjara sistim dengan kai­dah2 lainnja (karena sistknmja), apakah disokong oleh penghargaan baik atau kurang baik oleh kemjataan sosial (sociale werkelijkheid) dan oleh sja.rat2 perikemanusiaan, atau apaikaih disokong oleh kepu­tusan2 jang sama sedjumlah besar atau sedjumlah ikebjil, faktor2 ma­na kesemuanja dapat memperkuat atau memperlemah satu sama lain.Barang siapa jang bertugas memberi ikaputusan oleh karena itu ha­rus benar2 sadar alkan tan.ggung-djawabmja (bahwa dia adaJaJi un­sur daJam hal pembentukan hukum. Karena funlksin.ja haruslah -a, d a r i s e b a b ia adalah pembesar masjarakat, memberi kepu­tusan sedemikian rupa sehingga da.pa't disalurkan dari padanja . kaidah (keputusan jang ditafsirkan sebagai kaodaJi) jang menurut kejakinannja akan berlaku dalam ligkungan dimana ia mengadui itu. Jaitu pertama2 untuk perkara jamg kongfcrit iltu, tapi djuga un­tuk semua perkara2 lainn.ja jang seberapa djjaiuih mengandung ke­djadian2 jang sama dan jang 'barsangikutan (relevant) (dalam ke­adaan2 sosial jang sama dan jang bersangkutan pula). Masing- pembesar janq bertugas memberi 'keputusan — iafah masing- nak.m ~ oleh karena itu harus memaklumi keputusan2 jang dahulu daJam Perkara2 jang sama, jang ibeifkwaliteit istimewa karena tanggung- djawab istimewa dari orang jang dahulu memberi keputusannja itu. T a mibaihan pula 'karena perkara itu oleh keputusan dan dalam kepu-

235

tusan selalu dilukiskan dengan t e p a t b e t u l ( p r e s i e - s e r i n g ) dan d i r u m u s k a n ( f o r m u l e r i n g ) , maka dari itu akibatnja ialah, bahwa setiap kepuutsan memberi se­dikit banjak sumbangan pengertian terhadap apa jang harus „bena- ku” (geldend). Djadi setjara psychologis dan setjara functioneel se­tiap keputusan mengakibatkan suatu daja pengaruh jang tertentu. Tapi dijuga hanja suatu d a j a p e n g a r u h j a n g t e r t e n - t u . Karena djustru tanggung-djawab-terhadap-masjarakat jang diberikan kepada hakim (atau pemegang kekuasaan laimnja) karena funksi memutuskan itu, menjebabkan ; bahwa dia (untungnja karena ia tidak terikat formeel pada sesuatu keputusan jang dahulu atau „precedent” ) dalam perkara2 jang sama baru boleh (tapi djuga lan­tas harus) memperkuat keputusan2 jang dahulu2 itu hanja bilamana keputusan itu ternjata dapat dipertahankan ; jaitu dapat dipertahan­kan sesudahnja diudjinja atas seluruh sistimnja hukum-adat seba­gaimana jang bersambung dengan kenjataan sosial (sociale werke- lijkheid), sehingga hukum-adat itu adalah perwudjudan sendiri dari­pada kenjataan sosial itu, jang tak ada hentinja berubah2 dan jang dalam keputusan dahulu2 mungkin mendapat tafsiran jang „salah” ; selandjutnja diudji atas sjarat2 perikemanusiaan jang harus dipe­nuhi bila hakim berkehendak memberi keputusan jang dia dapat mempertanggung-djawabkannja. Penghargaan setjara kritis terha­dap keputusan2 jang dahulu2 itu sudah barang tentu talk dapat d;- pisahkan dari penghargaan setjara kritis daripada hakim jang mem­beri keputusan dulu, jaitu bagaimana dia pad'a umumnja dan apakah ia terkenal sebagai tjaikap apa tidak dalam menunaikan tugasnja. Djadi peradilan menurut hukum-adat itu adalah pertama2 : memba­ngun terus mewudjudkan huikum dalam masjaralkat. Bilamana hakim tidak mendapatkan keputusan dari tempoh dahulu daiam perkara sama jang mengandung kedjadaan2 jang bersangkutan, atau bila­mana keputusan2 itu ternjata tak tahan udji, maka ia toch harus memberi keputusan djuga jang menurut kejakimannja harus berlaku sebagai 'keputusan-hukum, djadi djuga sebagai kaidah-hukum, da­lam lingkungan tempat iia mengadili. Untuk mendapatkan keputusan itu haruslah ia melantas kedaJam susunan-hukum seluruhnja, harus­lah ia mengena] kenjataan sosial dan mengerti sjarat2 perikemanu­siaan. Oleh karena itu kewadjiban untuik mengadili menurut hukum- adat berarti : memberikan bentuk 'kepada apa jang dibutuhkan se- oagai keputusan-hukum ¡jang berlaku (kaidah-hukum) dengan se­bagai bahan ialah faktor2 tadi (sistim hukum, kenjataan sosial dan sjarat2 perikemanusiaan), kesemuanja dengan fcjara jang dapat d i­pertanggung djawabkan pada waktu sekarang ; bila dikatakan se­tjara subjectief: memberi bentuk kepada apa jang dibutuhkan me­nurut keinsjafan-keadiilan rakjat Pribumi sebagai keputusan-hukum (kaidah-hukum) jang berlaku, kemsjafan-hukum mana dengan ke- insjafan-hukum hakim sendiri pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.

236

i

Kedua bagian daripada tugas hakim jang telah dtibeda2-kan tadi, alam praktijknja peradilan jang seJalu beraneka-warna, tidak mun-

t,ul sebagai dua kemungkinan jang tegas batasmja antara satu de­ngan jang lain, melainkan ¡kadang2 hanja muntjul sebagai unsur2" jang setengah dikenal dan jang bertjamipur baur satu sama Jain, daripada peikerd.jaan kehaikiman.

DemiKianlah tugas Ihakim menurut huikum-adat; baiik tugas ha­kim ra'kjat, maupun tugas hakiim pemerintah. Pada hakekatnja tiada perbedaan dalam funksi mereka .— bagaimana besarnja mungkin perbedaannja dalam kesadaran mereka mengenai apa jang ditindak­kan (jang harus ditindakkan). Penghulu-rakjat-hakim masjaraikatr jang tumbuh dan dalamnja — 'bertindak (kalau dikatakan dengan tadjam) menurut intuisi (intuitief) kearah kaidah2 jang dirumuskan diatas tadi ; hakim-pemerintah jang datang dari luar dan jang ber­pendidikan akademis (kalau dikatakan dengan tadjam) mendjadi sa­dar akan kaidah2 jang berlaku untuk dia karena insjaf alkan tugasnja setjara theoretis. Kekuatan struktieel daripada hukum-adat, pertaha­nan duri jang ulet daripada hukum-adat terhadap pengingkaran dan pelanggaran bahkan dari pihak pengundang2 pusat, hakim2 dan pen- djabat2 pemerintah, kesemuamja itu tidak dapat diterangkan sebab apa, selainnja oleh karena adanja k e te r t i b a n -hukum masjarakat2 ke- tjil2, jang dipelihara dengan djalan keputusan2 penghulu2 rakjat dan pendukung2 'kekuassaan adat dalam praktijknja sehari2 bila ada suatu . perbuatan-hukuim atau bala timbul perselisihan. Kewadjiban jang di­bebankan atas pundak hakim-ipemerintah untuk mengadili menurut hukum-adat berarti kewadjiban untuk melakukan apa jang d a 1 e m k e t e r t i b a n - 'h u k u m P r i b u m i sudah mendjadi „hu­kum jang berlaku” dengan sendirimja, jang olehnija difahami me- . nurut sistim-nja dan olehnja dibangun terus menurut sdstim-nja pu­la ; berarti djuga dalam menjelidiki dapat bertahan atau tridaknja suatu kaidah jang sudah dJketemulkan — begitu djugia dalam hal mem'buataja keputusan sepandjamg belum ada pembentukan hukum- nja .— anemaikai sebagai titik pangkal : kenjataan sosial daripada p e n d u d u k r a kj a t P r i b u m i . Oleh karena ahli-hukum jang iberpenididJkan terlalu ke-Barat-an belum fcjukup siap untuk tu­gas ibu, oleh karena organisasi daripada 'kekuasaan 'kehakiman ku­rang menjokong terlaiksananja tugas itu (walaupun dalam hal ini sudah ada perbaikan banjak), maka dari itu akibatruja ialah ; ku- rangnja penghargaan dan ke-tiada-pengakuannja mflai-hukuin jang sebenarnja daripada keputusan2 hakim (lebih2 keputusan2 Land- raad2) ,hal mana walaupun demikian tak mengurangi sedikitpun arfci ikeputusan2 ¿Itu 'jang principieel. Harus dipikirkan, Ibahwa hakku gubernemen-pun nomor saifcu djuga h a r u s memutusikan (dalam rangka wewenangnja) *) itupun baik berdasarkan haikilki furuksinja, maupun berdasarkan peraturan undang-undang. Ia 'dilarang enggan-

*) dan melampaui batas wewenangnja,

' 23T

mengadili (redhtsweigermg). Ia 'harus memutus m e n u r u h u k u m , ia harus memberi keputusam-hukum dalam perhubu­ngan, dimanja tia mendjalankan tugasnja. Kewadjilban terse ut, ia a * memberi kepuitusan-hukum, membuat kepubusantiija mendja. i ( ai dah -) hukum dan. menuntut dari padan.ja tjara belkend'ja jang iurai- kan diaitas tadli. ,

Dari uraian imi tak dapat sama iselkali diambiil ikias djangan an diiambil .kias setjara ipatut ■—’ suatu dak'l, bahwa hakiim itu tjui up hanjja meniiinidjau kepuitusan2 dahulu2 sadja, tju'kup mengambil um pulannija jiurisprudenitie sadja untuk dflbaitjamja.

Djuga tidak 'dliicaitalkan dalam uraian itu, baihwa seakan- tugas ihakim itu semata2 hanjja terdiri dari pembikinan ke p u fcus a n --h uku m, dan tidak tecdliini dari mengusahakan (dengan segala daja upaja) tertjapainja penijelesaian2-perdamaian (scbilkkiingen) ; hal itu adalah diluar aihjara pembitjaraan dalam soal ini.

Bila orang membantah, bahwa hakim harus memasuki desa un/tuk menemulkan hukum-adat disana berupa kaidah2 jang dilengkapi de­ngan anfcjaman ihukuman (samkfiie) dan bahwa hakkn itu bila memu­tus sering sekali tjukuip memutus peristiwa2-nja (feiten) sadja, ma- ika ia tak dapat menegasikan apa jang diimaksuidlkan dengan : „mene­mukan”, ./kaidah2” dan „jang dilengkapi dengan amtjaman huku­man” itu ; pembantah ditu djuga tidak memikirkan dalam2, apakah funksi-inja setiap kap utusan itu (ialah — selaiirmija mengusahakan perdamaian, bila peflisfiiwa2-nja tidak terang ■—■ selalu pertama2 un­tuk menetapkan hubungan-thukum (rechtsibetrelkking) dan banta­han itu bila d:djelaslkan lebih landijut pada hemat saja djatuhnja sama sadja dengan uraian jang d'ilbanitah tersebut diatas. Adalah buat peradilan jang didljalamkan oleh ahili2-hukum pendjabat (be- roepsjuristen) sjarat nomor satu untuk mengiiimsjafi perhubungan jang ada diantara „hukum-adat" dan tugasnja halkim ; perhatian tidak boleh oleh perumpamaan (ibeeldspraak) lantas dibelokkan dari nilai functioneel 'keputusan iltu dan dari tanggung-«dijawab hakim jang bertalian dengan itu.

Adalah tak mungkin untuk memdlidilk „juirist” sebagai hakim-pen- djaJbat untuik mengadili Bumiputera, seraja membela sembojan : ..djangan melakuikan hukum-ijurist ( „juriistenrecht” ) atas Bumipute­ra”. Pertentangan jang taik 'terdamaikan 'imi sudah berakibat tidak baik dan akan terus bera'kilbat tidak baik, selama pertentangan itu tidak diatasi. Sembojan V an Vollenhoven dari tahun 1905 tersebut sebagai suatu unisur dalam perdljoangan melawan penjatuan-Jiukum (unifiikatie) dan 'melawan pemjodoran hukum Barat adalah dalam maknanja jang terbatas itu tjukup dapat dimengerti dan tj>u;kup serasi pula. Sembojan tadi, jang dalam suasana jamg sekarang sudah men- ajadi djerniih berikat V an Vollenhoven, harus diganti deifgan : buat ^ orang Indonesia bukum-jurist (jurilstenrecht) jang baiik dan jang bersambung pula pada hukum-Pribumi.

238

Hubungan jang hidup dengan pergaulan-hukum jang dilingkupi oleh peradilannja, ialah „memasuki desa" adalah buat masing2 ha­kim hukum-adat satu2-nja djalan untuk dapat mengudji keputusan2 jang dulu2, pula untuk dapat membuat keputusan2 baru setjara j a,n g dapat dipertanggung djawabkan, dengan kata2 lain, umtuk beladjar ikut mengalami setjara subjectief umsur2 jang iterpentiing daripada susunan-hukum itu, pula untuk beladjar m el a n't as terus kedalam ke- imsjafan-keadilan Indonesia. Akan tetapi „didalam desa" situ ia mendapatkan d jauh dari pada semua jang dibufeuhkann'ja.

Usaha dengan djalan usul2 penjelesaian setjara perdamaian (schikkingsvoorstellen) agar supaja fihak2 jang berkepentingan me­ngadakan aturan- penjelesaian atas tanggung-dljawaib sendiri se­hingga tidak perlu lagi ada keputusan2~lmkum, adalah tugas jang sa­ngat pentingnja daripada haikim2 dalam mengabdi masjarakat. Ia ha­rus berusaha mendapat sambungan pada praktijknlja rukunan orang'2 Indonesia, dalam pada itu makin bamjak, makin ¡baik. Dalaiin pera- nannja jang actief dalam pada itu, ia djuga dapat (dan harus) mem­pergunakan pengetahuanmja, bagaimana ia akan membuat keputus- annija-hukuim, anidai kata fihak" jang berkepentingan tidak mau pe- nijelesaiam setjara perdamaian. Bila fihak2 jang berkepentingan tidak mau begitu, maka hakim harus memutus send'iri atas tanggung-d.ja- wab sendiri, dan berlakulah apa jang terbentang diatas tadi menge­nai tjara membuat kepuitusan-hukum.

A d alah praktisnja tidak mungkin baihwa hakim berhubung a p.

(kontakt) dengan tertibnija dengan lingkaran-ih/ukum '(rechtsmi- lieu) untuk setiap keputusan-hukum : buat sebagian sebabn.ja itu ter­letak pada sifataja peurikara dan sifatnja persoalan2 jang timbul (mi- salnja : kebadanan-huikum (rechtspersoontlijkheid) daripada suatu perkumpulan dan akibat2~nja terhadap tanggung-djawabnija pengu­rus atau anggauta2~nja ; tanggung-clijawabraja buat seperdua atau buat seluruhnja bagi seorang salksi jang menuliskan keterangannja atas surat tanda kedatangan surat „teirtJjatat” (aangetetkend), .surat tanda mana iternjata ditanda tangani oleh seorang Ibukan jang di- a lam ati; pengedjaran2 penggamitiian kerugian jang dlilsebalbkan K a ­

rena perbiiatan-2 jang merugikan penagih2 hutang ; akibat- pendju- 31301 lelang jang diselenggarakan oleh seseorang jang tak Ibcrhak, dan sebagairuja dan sebagaiinija). Buat sebagian pula ketidak-mung- kinan tadli dijuga terletak pada : kekurangan tempoh, kekurangan pengetahuan tentang ba'hasa dan 'keadaan2 serupa ibu la nnja. S e - p a n d j a n, g hubungan (Ikomtakt) itadi tak mungkin dan oleh .ka­renanya baiki m tak memperoleh bahan pengudljiiam dari padanja, ma­ra ' h a r u s l a h ia menuruti keputusan2 jang duku- jang tahan mdji atas sisfiim dan ajarat2 perikemanusiaan, hal2 mana dedapatnja tahu dari buiku2. Bila 'timbul kesangsiian atau ibila ada kurang leng­kap pengertian, maka kaida'h2 jang lebih padat (idichbheid) dan jang disokong oleh keputusan2 jang bainijak, ada lebih bertahan ter­hadap simpamgian2-mija dari pad'a kaidah2 jang sedikit padatnja (mi-

239-

salnja kaidah itu hanija terdapat dalam satu keputusan sadja pada tcmpoh jamg baru lalu).

Lebih pandjang lebar tentang masalah ini : De rechtspraak van de landraden naar ongeschreven recht (Peradilan landrad2 menurut hukum tak tertulis), pidato Djakarta 1930 dan : H et adat-recht en de volkenkunde in wetenschap, praktijk en onderwijs (Hukum-adat

'dan ilmu bangsa2 dalam i'lmu pengetahuan, ipraktijk dan peladja- ran), pidato Djakarta 1937; Holleman, W .P .N .R . 3557 (1938).Ind. Tijdschrift van het Recht, djilid 147 (1938) hal. 428; Loge- mann, Ind. Tijdschrift van het Recht, djilid 148 (1938) hal. 27 de­ngan kata menjusul dari Holleman di hal. 36 ; V an Hattum dalam W .P .N .R . 3587 dengan kata menjusul dari Holleman. Lihatlah dju- ga : Adat-erfrecht op Java (Hukum-waris-adat di Djawa) Ind- Tijdschrift van het Recht, dijilid 148 (1938) hal. 201.

Dalam buku ind telah ditjoba untuik melukiskan susunan (stelsel) hukum-adat Indonesia. Lukisan susunan itu saban2 diperkuat de­ngan d jalan penjebutan kaidah2 hukum-adat sebagai kaidah2 jang berlaku. H anja buat sebagian dapat disebutkan keputusan2 jang mendjadi dasar kaidah2 itu ; buat bagian terbesar maka pemberitaan kaidah2 huikum-adat itu berdasarkan atas pengetahuan dari kesu- sasteraan, dijadi dari tangan 'kedua dan keberiikutnja, jang sudah ba­rang tentu setelah saja saring dan saja pilih ¡hanija pemberitaan2 jang pada hemat saja taihan udji terhadap dapat atau tidak dapat di- terimanija, ituipun berhubung dengan susunan-'hukum, kemjataan so­sial dan sjarat2 perikemanusiaan, sebagaimana Ikesemuanja iitu nam­pak pada saja dam menimbulkan penghargaan saja terhadapnja. Adalah sudah semestinja termasuk tugasnja peluikiisan hukum-adat setjara keilmuan, ialah untuk -memilih dan untuik menjatakan apa \ jang harus berlaku menurut pendapaitnja ¡penulis, bilamana harus diambil keputusan2. Hakim jang bertanggung djawab pada kong- kritnija harus selalu Ibertanja lagi pada dirinya apatah pendapatnja itu tahan udji aan apatah kaidahnya hukum-adat itu sudah dirumus- xan dengan tepatnja.

240

BAB KE-LIMABELAS. KESUSASTERAAN HU- KUM-ADAT.

Pusat kesusasteraan hukum-adat —• buku-penutup daripada masa lampau, pondamen buat masa depan — adalah akan tetap 'buat se- lamanja buah tangan jang agung daripada V A N VOLLENHO- V E N : „Het adatrecht van Nederlandsch-Indie” djilid I 1906 —1918. Untuk setiap lingkungan-hukum terdapatlah 'kesusasteraannija (literatuur), dari mana bahan2~nija diambilnja buat lukisan lingku­ngan itu jang disusun setjara ichtisar dan menurut sistiim : dalam' kitab itu dibagian belakang terdapat waktunya memibahas setiap lingkungan-huskum itu, ¡ialah dalam tahun berapa diawtara tahun 1906 ■ tahun 1918 itu. Ilmu efchnologie-hu'kum dari masa sebelum tahun itu dan jang hantja selkali tempoh sadja pada waktu itu men- deikaiti ilmu hukum-adat, dalam kitabnya V an VoIIenhoven ternjata sudah ada tafsirannya menurut huikum-adat. Tidak dapat sama se­kali dikatakan tiidaik penting iberhubung dengan kemadjuan ilmu huikum-adat dalam tempoh 20 -— 30 tahun sedjak itu — untuk me- nindjau sekali lagi bahan2 (gegevens) jang lebih tua (SNOUCK HUR- GRONJE, WILKEN, LIEFRINCK, KOOREMAN, DE ROOY, het „Eindre- sume” dan sebagainja), tapi dapat dikatakan pada umumnja, bahwa bahan2 dari tahun2 sebelum 1906 — 1918 sudah termasuk dalam kitab-ibaiku V an VoIIenhoven ta d i; hanja beberapa sadja dari tu­lisan2 itu nanti akan disebut lagi diisini. Bila ditindjau kearah lainnja mak^ dijilid pertama daripada ikitabnja V an VoIIenhoven itu tetap dapat disebut pusatnija pelukisan huikum-adat dan kesusasteraan hukum-adat, karena kesusasteraan jang iteribit sesudah itu seluruhnja berdasaitkan atas uraiannja jang setjara sistim iitu ; peristiwa2 dan pengelihatan2 baru jang mendatang benar djuga memperluas sistim- nya, menambahnya, disana sini seikedar mempertegaknija, akan tetapi pada hakefkatnja tidak sediikitpun dapat meromibalknya.

Djilid II daripada „Adatrecht van Nederlanidisah-Indie”-nja Van VoIIenhoven 1918 ~ 1931 membahas huikum-adatruja golongan Ti­mur Asing (Vreemde OosterHingen), hukum-agama, dan terutama ,,pemeliiharaan dan pemibentuikan hiukum-adat oleh hakim , dan ..pembingikaian” („inlijsting” ) daripada hukum-adat, dan nasabah jang taik terbilang banyaiknja daripada hukum-adat dengan hukum (-undang-undang) gulbememen.

Disamping itu terdapatlah sekumpulan karangan2 dalam djilid III (1904 ~ 1931) (diantara mana „Inidonesische rechtstaal” 1922), dan empat buiku2 ketjil jang tak termasuk djilid itu : „Miskenningen van het adatredhit” (1909) 1. Inlanrisohe gemeente, 2. beschikkings- ¡recht, 3. adatrecbfisy-stemaitiieik, 4. adatrecht van J a v a ; „Een adat-

241

wetboeknje voor heel Nederlandsch-Indië 1910 ; „De Indonesiër en zijn grond” ; „De ontdekking van het adatrecht” 1928. Dalam pi- datonija dalam bulan Agustus 1932 diaula gedung „rechtshoge- school” : „De poëzie in het Indisch recht” dibitjarakan djuga bebe­rapa lembaga hukum-adat. Bersandar atas dan disokong oleh pe- kerdjaannja jang (keilmuan itu maka dïantara kitab2-nja V an Vollen- hoven jang 'ketjil2 itu .terdapat banjak tulisan-2-•persoalan (strijd- schriften) ; empat garis2-pokok mendjadi tanda tjiri perdjoangannja, ialalh : 1. menentang penjatuan hukum (unifikatie) dan menentang desakan sefcjara lain terhadap hulkum-adat oleh hukum Barat ; 2.

.. membela agar supaja arti peradjilan-adat diakui ; 3. menentang per- ingkaran ( miskenning ) hak2 masjarakat-*hukum Pribumi dan hak- perseorangan atas tanah ; 4. menentang peringkaran terhadap wa­tak masjaralkat2 Prilbumi sendiri. Di ke-empat2-nja front ini sudah dapat didudukinja banijalk medan, walaupun apa jang telah direbut setijara ikeilmuan itu 'belum seluruhnija berlaku dalam praktijknja pe­merintahan, peradilan dan peru miang-undangan.

Suatu kumpulan daripada'bahan2 jang senjatanya ada (feitelijke gegevens) dalam surat2 archief, keputusan2 daripada hakim' ma- tjam apa sadija diiseluruh Nusantara, beberapa (karangan- asli me­ngenai hukum-adat, kesemuanja itu dengan pimpinan V an Vollen- hoven sedjak tahun 1910 ( sedjak 1933 dengan pimpinannja Van Ossenbruggen) dihimpun 'dijadi satu dalam „adafcrechtbundels . jang diselenggarakan oleh ..commissie voor het adatrecht” (panitya mana sedjak 1917 mengurus „Adatrechtstiichtimg), dan diterbitkan oleh Koniniklijk Instituut voor Taal - Lamd - en Volkenkunde van Nederlandsch-Ind'ië. Sudah tenbilt empatpuluh berkas (1938) ; lier- kas jang penghabisan memuat pelukisan setijara paindjang lebar (260 halaman) isi2-nja berkas2 lainnja, jang disusun oleh mr. Van Ossenbruggen ; daftar2 daripada istila.h2 hukum Prilbumi terdapat

aJam berkas XXX ibuat 29 berkas2 jang pertama dan dalam berkas A L buat berkas2 jang berikutnja. Sedjaik tahun 1914 maka dengan p:mpiinan Van, Vollenhoven dan

cta am 9 djilid (10 buiku) 'bahagian2 dari 'kesusasteraan ethnologie (-• Z1111) dihimpun dijadli sabu seitljara hukum-adat dalam ruanganjang beratijara sama dengan masalah2 jang terbahas olah bahagian2 Jcesusasteraan tadi Rangkaian iitu idisebut : „Pandecten van het adat-reoht dan meliputi : Het beschiklkingsrecht over grond en wa- ter (hak pertuanan atas tanah dan air) (1), het voofkeursredht op ?^?n' en , 9en° treaht van gironld (haik terdahulu atas itanah dan ih f ™en,J mati tainiah) (2), het inlandis 'beziitsreaht van grond en n 1” 9s'r^c*lt ^ an gronld (hak m,ilik atas tanah dan hak me-ngerdjakan tanah) (3), de overige rechten op grond en water (hak2

^ atas 'tanah dan air) (4), het erfredhit (huikum-waris) (5), het recht om te huwen en het recht inzake verlovimg (haik untuk ka- van dan hukum mengenai pertunangan) (6), het recht inzake hu- welijks-sluiting (hukum tentang kelangsungan peiikawinan) (7),

242

het recht inzaike gezinsleven en huwelijks-oratbinding (hu'kum me­ngenai kehidupan dalam keluarga dan p enfcj e rad ain - perka wi n a n )' (8), schuldenrecht (huikum perhuitanigan) (9), ditamibalh dalam ta­hun 1936-dengan pimpinanmija IDEMA, dengan : het adatshrafrecht ( hukum-pidama-adat) ( 10).

Dalam tahun 1927 terbitlah tjetaikan kedua daripada „Liiteratuur- lijst voor het adatrecht van Indonesië”, jang saban tahun dileng­kapkan dengan djalan tambahan2, jang sakararug (9aimpai 1 Sep­tember 1937) sebagai ichitisar dihimpun dalam supplement-h'jst oleh Mr. HOLLEMAN dan ditjetaik 'kembali dalam adatrechtbundel XI.

Dalam tahun 1923 (tjetakan Jke-3 dalam talhun 1934) dengan pimpinanmija Varn Vollenhoven dihiimpumlaih segala peratuiran2~wet mengenai huikum-siipdl Pribumi, jang bersambung padia hukum-adat : „Verordeningen inlanidsch privaatrecht” .

Dalam tahun 1932 maka atas desakan V an Vollenhoven tersu­sunlah oleh V A N HINLOOPEN LABBERTON „Diotionaiire des te r­mes du droit indonésien” jang diterbitkan oleh „Koninklijke alcade- mie voor wetensohappen” di Amsterdam.

Kepuitusan2 menimit huikum-adat jang terdapat dalam het Indisch Tijdschnift van het Recht (dulu : het Recht in Nederlandsch Indië) (sedjaik 1849), dalam Indisch weeikblad van het Recht (dari 1864— 1914), dalam W e t en adat (1897 ■— 1899) dan dalam Adat- rechtbundels (sedjak 1911) (barulah dalam tahun 1912 diichtisarkan dalam disertasinja Mr. K.L.J. ENTH O VEN (dengan pimpinan V an Vollenhoven.) „H et adatrecht der Inlaniders in de jurisprudence" 1849 — 1912, dilteruskan oleh Mr. J.C. V A N DER MEULEN (1912— 1923) dan oleh Dr. E.A. BOERENBEKER 1923 — 1933. Sedjak 1929 maika vonnis2 daripada hakim2 pengadilan untuk Bumiputera terhimpun oleh : het Indisch tijd'schrift van het Recht, sebagai pe­nerbitan2 tersendiri jang diisëbut „landraadsmummens”, nomor jang ke-18 terbit dalam bulan Agustus 1938 (lihatlah V an Vollenhoven : A datrecht I. hal. 83 (1907) : „Pembagian daripada kedua madjalah hukum jamg tersebut itu dalam ruangan „wettenrecht ’ dan dalam ruangan-tetap adat-recht” mungkin aikan menambah kebaikannya (mengumumkan bahan2 pembangun jang mungikin dapat ditambah­kan oleh peradMan guibememen) jang sudah ada itu. Bagdan In- landsch recht” daripada daftar-kartu2 (ikaartregiisiter) nederlands- mdische juriispnudenjtie sedljak tahun 1937 memudaihikan orang untuk mengadji keputuisan2 jang aida sedjak tahun 1929. Sebuah himpunan ..Indonesische dorpsakiten" disusuin dan diisaJin oleh Dr. Mr. TIRTA- W IN A T A dan M r . W . A . M U L L E R (atas saran V an Vollenhoven) ter­bit dalam tahun 1933 di Djakarta.

243

■Barang siapa melihat sekitar ini semua dan dalam pada itu me­ngingat pula duapuluh buah disertasi tentang soal2 hukum-adat (buait sebagian buah tangan pegawai2 pangreh-pradja jang ber- praktijk sendiri) jang disusun dengan pimpinannja V an Vollenho- ven, maka orang dapat sekedar menggambarkan betapa arti peker- djaan beliau itu untuk dlmu huikum-adat. Barang siapa telah kenal pada 'beliau tahu bahwa pendjumlahan tulisan2 ini hanja merupakan gambaran jang djauih dari sempurna dari apa jang telah diamalkan beliau dengan lisan dan perbuatan.

D aftar kesusasteraan 1927 tersebut diatas dan tambahannja sam­pai 1 Septemberl937 dalam adatrechtbundel XI jang disusun baik setjara sistim maupun setjara abdjad, memungkinkan dalam seke- djap mata untuk menjelidiki buat setiap lingkungan-hukum (anak- lingkungan-hukum) apa sadja jang sudah terbit mengenai hukum- adat sesudahnja (dan sebelumnija) tahun dliwaktu „pertinggal („legger” ) membitij arakan lingkungan itu. Djuga sebagai penun- djukan sumber2 jang terutama jang sudah ditimba untuk „Penda­huluan ini, menjusul disind sebuah iohtisar menurut sistim daripada buku2 tadi. Mengingat arti daripada kesusasteraan hukum-adat -da­patlah lingkungan2-hukum (dan anakMingkungan-hukum) sekira- nja dibagi mendjadi tiga golongan.

1. Pertama2 wiiajah2 jang sudah ada pembahasannja setjara de­ngan sengadja dan menurut sistim seluruh hukum-adat atas dasar keadaan sekarang daripada ilmu hukum -adat; sebagai demikian maka haruslah 'diselbut:

A. anak-lingkungari-hukum (rechtsgouw) Bataik Toba oleh bu- kunja j.c. VERGOUWEN ,,Het rechtsleven der toba-ibataks”, 1933 ialah^ sebuah buku jang disini ditaruh paling atas, karena lingku­ngan -hukum selalu disebut dalam urutan jang tetap (Atjeh, daerah2 Gajo, Alas dan Baitak, dan sebagainja sampai Djawa Ba­rat), tapi anaik-lingikungan-hulkum tadi dljuga tentu akan dapat tem­pat paling atas seandainija urutan tersebut digantungkan pada baik atau tidaknja tjara melukiskan suasana hukum-adat sampai menda­lam dengan disertai pembahasan persoalan2 hukum -adat; saijang sekali buku itu mengenai hukum-tanah tidak lenglkap dan hanja me- nundjuiknija kepada buah tangan YPES jang terbit pada tahun 1932 dan jang nanti akan disinggung cteini ;

B. lingkungan-hulkum Kalimantan oleh disertasinj a ], MAL- LINCKRODT ,,Het adatrecht van Borneo”, dua dijilid, 1928, ialah sebuah buku jang lebih memberi penerangan mengenai suasanan'ja daripada mengenai persoalan2 hukum jang chusus ;

C. anak-ling’kungan-hu'kum Bali dan lingkungan Bali dan Lom­bok oleh disertasinja, kemudian ibukunja Dr. V.E. KORN ,.Het adat­recht van Bali, tweede druk”, 1932, ialah sebuah buku jang mengan-

244

T — ----------------------■

1dung bahan2 jang sudah dikerdjakan setjara icbtisar dan dalam- djumlah jang mengagumkan banjaknja ; mengenai suasana hukum- adat Bali dimjatakannja lebih tepat betul oleh luki'sanroja (monogra- fie) penulis itu : „De dorpsrepubliek Tnganan Pagringsingan", 1933;

D. lingkungan-hukum Djawa Barat, oleh bukunja Rd. Mr. SO E . POMO „Het adatprivaatrecht van W est-Java” , 1933, dknana per- soalan2-hukum dan djawabannja, jang disimpulkan dalam kaidaih2, dititik-beratkan sepenuhnja, sedangkan suasananja mendjadi terasa,, karena saban'2 diberitakan djuga pengalaman2 daripada penjelidikan dimedan mengenai keinsjafan-hukuim dilingkungam (mill'ieu) situ.

Buku2 jang tersebut tadi kesemuanja djuga berdasarkan atas pe- njelidikan penulis2-nja sendiri tentang hukum ditempat situ.

2. Selandjutnja wilajah2, jang pembahasann-ja hukum-adat aisitu meliputi persoalannja seluruhnjja, tapi pembahasan itu hanija meru­pakan satu bahagian daripada pelukisan mengenai tanah dan bangsa (land - en volksbeschrijving) oleh seorang penulis jang tidak ehusus berpendidikan hukum -adat; mengenai itu harus disebutkan disini :

A. lingkungan-hukum Atjeh oleh bukunja Dr. C. SNOUCK HUR- GRONJE „De Atjehers” , 1893, djad'i terbitnja sebelum „legger", akan tetapi walaupun demikian tidak boleh tiada ada. Bukunja J.J. KREEMER „Atjeh", 1922 tidak mendatangkan bahan baru, sesu­dah terbitnja buku2-nja Snouck Hurgronje dan V an Vollenhoven ;

B. a n ak- li n g ku ngan-ihukum Gajo, oleh bukunja Dr. SNOUCK HUR- GRONTE „H et Gajoland”, 1930, ialah tjatatan2 dari pemberitaan2 orang2 Gajo jang mengembara ;

C. anak-lingkungan-hukum Baitak Toba dan Batak Dairi, terha­dap apa jang mengenai susunan-o:akjat dan hukum-adat, oleh bu­kunja W.K.H. YPES, „Bijdrage tot de kennis van de stamverwant- schap, de inheemsche rechtsgemeenschappen en het grondenrecht der Toba - en Dairi-Bataks’\ 1932 (daftar mengenai ini dalain Ad.B. X X X V III hal. 467) ;

D.^, anak-lingkungan-hukum Nias, oleh bukunja E.E.W.G. SCHRÖ­DER.„ N ias” , dua djilid, 1917;

E. lingkungan-hukum daerah-Toradja oleh bukunja Dr. N. ADRL- ANldan ALB. C. KRUYT „De Baree-sprekende Toradja”, tiga djilid 1912 dan bukunja Dr. ALB. C.‘ KRÜYT „De W est Toradja op Mid- den-Celebes”, empat djilid 1938.

3. Pada aahirnja wilajah2 jang ada pembaJiasanimja setjara de­ngan sengadja mengenai bahagian2 daripada huikum-adat, ditu'lis oleh tenaga2 jang berpendidikan hukum -adat:

A. anaik-lingkungan Batak, terhadap apa jang m engenai: susa- nan-rakjat oleh „N ota omfcrent de inlandsdhe rechtsgemeenschappen

245

m het gewest Tapanuli", buah itangan Dr. B.J. HAGA 1930, Lands- druikikerij, dian

hukum-tanah, oleh diisertasin'ja A. ENDABOEMI ,.Het grondenrecht m de Babafclanden” , 1925 ;

B. lingkungan-huikum daerah Mimanglkabau, mengenai :gadai tanah, oleh disertasin-ja Mr. H. GUYT „Grondverpanding in

M inangkaibau’ ’, 1936, Dijakanta ;

C. lingfoungan-hulkum Sumatra Selatan mengenad :hukum kesanaksaudaraan Pasemah, oleh disertasinja W. HOVEN

..De Pasemah en haar verwantechaps-, huwelijlks-en erfrecht” , 1927, Leiden ;

susunan takjat dan hukum-kerabat Redjang, . olelh disertasinja Mr. H AZ AIRIN ,.De Redljang”, 1936, Djakarta ;

susunan rakjat dan hukum-tanah Palembang, oleh disertasinja Dr. J.W. VAN ROYEN .,De Palemibangsche imarga en haar grond — en waterreohten", 1927, Leiden;

susunan-rakjat di Lampong, oleh „Nota over Lampoengsche mer- ga’s" buah itangan Dr. J.W. VAN ROYEN, 1930, Lamdsdrukkerij ;

D. lingikungan-hukum daerah Melaju, mengenai :susunan cakjat Riouw, oleh nota : „Erkenning en vorming van de

. rechtsgemeensahappen in het gewest Riouw en onderhoorigheden” , buah tangan p. WINK, 1929, Lamdsdrukkerij ;

E. lingkungan-ihulkum Minahasa, mengenai: hukum-tanah, oleh „Verslag van een onderzoek inzake adst-

grondenrecht in de Minahasa” , oleh Mr. F.D. HOLLEMAN, 1930,

F. lingikurugan-huikum Sulawesi Selaitan mengenai : susunan-rakjat, oleh disertasinja II.J. FRIEDERICY „De standen

bij de Boegineezen en Makassaren”,.1933, Leiden ;

G. lingikfungan-hukum Amboina, mengenai :hukum-tanah Ambon, oleh ibu'kunja Mr. F.D. HOLLEMAN. „Het

adatgrondenrecht van Amibon en de Oel'iassers”, 1933 ;

H. anak-4ingkungan-huikuim Lombok, mengenai : hukum-adat orang2 Sasak, oleh disertasinja Th. NIEWENHUYZEN

„Sasaiksch adatrecht”, 1932 ;

I. lingikumgan-hukum Djawa Tengah dan Djawa Timur bersa­ma Madura, mengenai :

perdjandjian2'tanah dan hukum perhutangan, oleh bukunja

.246

M , F.D. HOLLEMAN ..Het adaireeht van de afdeeling Toetoeng- agoeng” , 1927 ;

hukum-adatnja udjung jang Timur daripada D jawa oleh d iser- tasinja J .w . DE STOPPELAAR ..B lam bangancc a & re dan :

susunan-rakjat. oleh „Eindverslag over het desa-autonomie-on- derzoek op Java £n M adoera" oleh F.A.E. LACEULLE, 1929 ;

K. sebagai tam bahan untuk irngkim gan-hukuin D jaw a B arat a tas bukunja M r. Soepomo dapatlah d'teebut disertasi daripada Dr. A. KNOTFENBELT „ V e r p a ß en zekerheid'steinng in den O ost-P re- anger” , 1924, Djaikartai.

L. M engenai t a j a «fisetat d,smi ^u t =i1i>i<;rhe adatwetsboek van Koetai (M ed.

• T I t ' l ?0°5KEL ; f n CAROH . .H * Handels- en Zee-recht in Kon. Ak.) 1935 ; Mr. LI.) CARON . dlsertaslde ad 'atrechtsregelen van den rechts gUtrecht. 1937 RC Mr. SOEPOMO „De « O r g a n e va* het agra- risch stelsel in het gewest Soerakarta . t e t a * . Le.den^ . r a KFRN Tavaansche »chtsbedeeliag . 1927 en R d.M .M r SOE-

K ^ , vorstenlandsche weöboeken , diser-RIPTO ,,On(twikkelimgisgang der vors

taisi, Leiden 1929. ni^alaih2 dalam adatrechtbundek tadi ti-Kjairaingain2-imadhaJah dan msaiam f , Voci^a«?-, , ^ J ij-pTsilahlkan mentjarrnija didaftar- kesusas

dak d iseb u t; „ n t * m M had efflpat buah datip , .

f “ “ r ? t d w » . M fa re“ Penit“n9n)adan(a d.adalcan p e * e t ,Uatan teu sB 5 te iaa„-hukKn-adat.sebagan p e n g « danpada k<*“ 9 dBhuJuai, in i: Hoofdlijnen vand.jacli: sebagai sumiber dan buflau P fnQW ’het huwelijlcjsrecht in de Latnpongs . olehl Mr. H. GUTijdschrift van heit Recht , djilid Biidraaen

„U i. en over de M inahasa" o 1 * Dr. L. ADAM d a t o B,,dragenKoninMiJk Imstrtuut” , dljütod 81 ( *

, , TI in Zuid-C elebes oleh Mr. C.T..„Huw elifk en Huwehf-ksrean JülnVi 147 M938^

j. i r « Tiid^chirift van h e t recht , d ilid 14/ (19:5»; BERTLING dalam ,,Ind. i ljascw*“

dan J* . . . . . . , j _ ,k en nds v a n a d a t en ad a trech t van Ztiid-„ P o n re , b .jd rage tot de to » Bijd Koninklijk Insh-

Cetebes", oleh H.J. FRIEDERICY daiam ..o j« y

tuiut” . dijilid 89 (1932). menqichtisaiTkan harus .d iseb u to n lagi Dari tiutaan2 jamg ibersä fa* 111 9

d isin i ;Disertasi3 Leiden : „ joUSTRA 1922 ;,,Indonesisch watemeoht °*

247

„D e auitonomie van hat ¡indonesisch donp”, oleh L. ADAM 1924 ;„Indonesische en Indische democratie” oleh B.J. HAGA;„Indonesische sawahverpanding” , oleh SOEBRÖTO, 1925 ;„De rechtstoesitamd van de getrouwde vrouw volgens het adat-

rechit van Ned. Indie", oleh S.R. BOOMGAARD 1926 ;

„D e Indonesische Bruidschat”, oleh L.B. VAN STRATEN 1927;

„De vrouw in het indonesisch adatrecht”, oleh E.A. BOERENBE- KER 1931 ;

„Het gewas in Indonesie, religieus adatrechtelijk beschouwd”, oleh SOEKANTO, 1933;

„Het adatdel’otenrecht in de magishe wereldbeschouwing”, oleh N.W. LESQUILLIER, 1934 ;

„Inlandsche gemeente en indonesisch dorp”, oleh W.P. VAN DAN, 1937, dimana pada chususnija harus diseibut disini apa jang dike- muikakan dalam buku itu mengenai faktor genealogis dan territorial dalam susunan rakjat, dan apa jang mengenai dusun Sunda (dalam kata2 istilah lain dani pada jang dipakai dalam pendahuluan ini).

Disertasi Wageniimgen :„Deelbouw in Nederlandsch-Indie” , oleh A.M.PA SCHELTEMA

1931.

Bu'ku ketjilnja Dr. J.H. BOEKE „Dorp en desa”, 1934, dipelopori oleh „Dorpsheratel” (dalam Ind. Gen.) 1931 dan disusul dengan „De grenzen van het indonesisch dorp”, dalam T . Aardr. Gen. 1937 jang terutama memibahas soal .ummat manusia dalam masjarakat2 territorial.

Mengenai Timur Besar dan kepulauan Timor maka ¡kesusasteraan huikum-adat dalam arti kata sempit, adalah djarang. Kesusasteraan Amu bangsa2 jang memuat anekawarna tentang hukum -adat adalah hampir semuanja semata2 terfijantum dalam karangan2 madjalah ke- t juali bukunija pater H. GEURTJENS „H it een vreemde w erdd” tentang pulau Kei, dan beberapa buiku laiimja.

Tapi sangat pentingaja unfnik pengetahuan tentang susunan- rakjat, hukum-kesanaksaudaraan dan hukum-perkawinan didaerah situ (jang mengenai pulau Seran) ialah disertasinja j p H DUYVEN D A K .,H et kakeangenootsohap van Seran”, 1926; lebih2 disertasiniaF.A.E. VAN WOUDEN „Sociale structuur-typen in de Groote Oost 1935 dan apa jang ditulis oleh Mr. F.D.E. VAN OSSENBRUGGEN tentang itu dalam „H e t econoiraisch-magisch element in Tobasche

.248

verwantschapsverhoudingen”, Kon. A'k. 1935 jaitu tjatatan 29, ka­rangan mana sudah barang tentu terutama penting buat anak-ling- kungan-hukum Batak Toba. Mengenai susunan kesanaksaudaraan pa/entaal (dalam Kol. Tijdschrift 1934). kesanaksaudaraan semen- da (dalam Mensch en Maatschappij 1935), perkawinan cross~cou~ sin jang asymmetrisch (dalam Tijdschrift Bat. Gen. 1936) maka Dr. H.T.H. FISCHER-lah jang menulisnja.

Mengenai hubungan antara hukum-adat dan alam pikiran „serba berpasangan” (participerend) maka Mr. F.D. HOLLEMAN mengurai- kannja dalam pidatonja perguruan tinggi Leiden ,,De commune trek in het indonesisch rechtsleven”, 1935.

Tulisan2 Pribumi jang penting untuik pengetaihuan hukum-adat adalah antara lain. :

Untuk anak-lingkungan-hukum Batak „Patik Dohot Uhum ni Halak Batak”, 1899, disalin oleh Vergouwen dalam adatrechtbun- del XXXV, hal. 1 dst^nja; r

untuk lingkungan-hukum daerah-Minangkabau : buku2 ketjil da­ripada D. SANGGOENODIRADJO, „Kitab tjoerai paparan adat lemba­ga alam Minangkabau”, 1919 dan „Kitab atoeran adat lembaga alam Minangkabau”, 1924 (tentang in i: Ind. T.v.h.R., djilid 140 (1934) hal. 152) ;

untuk lingkungan hukum Djawa Barat : HADJIHASAN MOES- TA PA: „Bab adat-adat oerang Pnangan d'jeung oerang Soenda lian ti eta”, 1913, permulaan terdjemahan dalam „Djawa”, 1931.

Hasil negatief daripada pendjuimlahan ani ialah, bahwa beberapa lingkungan-hukum sangat membutuhkan pelukisan setjara ichtisar daripada hukum-adatnja, pula suatu penguraian daripada apa jang tersebut dalam pertinggal (Jegger) tentang masalah2 . tadi. Djuga bila ada karangan2 setjara bahagian demi bahagian jang melukis­kan hanja bahagian2 daripada hukum-adat, maka timbullah suatu kekurangan jang dapat terasa sehari2 : ialah suatu penguraian se­tjara siStimnja daripada masalah seluruhnja dalam hubungannja satu sama lain.

Untuk anak-lingkungan-hukum Djawa Tengah adalah sebuah buku tentang hukuim-sipil-adat hampir selesai: naskahnja sebagian besar telah d'apat saja batja untuk saja pungut hasiln j a ; di Tapa­nuli Selatan, Minangkabau, Lampong, Minahasa dan Sulawesi Se­latan <—■ disini sekedar disebutkan hanja lingkungan2 jang ada per- adilannja guibernemen atas peniduduik Pribumi ■— tidak kurang ke- butuhannja akan kitab serupa tadi. Adalah pekerdjaan tjukup ba- njak untuk kaum jurist-hukum-adat.

249

\

Penjusunan daftar „kesusasteraan tambahan” jang sekarang be­rikut mi pada garis besarmja didasarkan atas pembagian dan aturan jang telah dipakai oleh T er H aar tadi. Kesusasteraan sesudah pe­rang kairena alasan- praktis disini dinjatakan dengan lebih pan- dji-ng lebar dari pada kesusasteraan sebelum perang.

Ad a tr echtbundels no. 41 dan 42 terbit diwaktu perang ; no. 4 5 dapat diharap terbitnija sedikit waktu lagi.

Dua „pemberitaan kesusasteraan untuk hulkum-adat'’ telah diter­bitkan jang kedua2-nija meliputi masa 1 September 1937 sampai achir bulan April 1943, djadi bersambung dengan daftar kesusaste­raan jang termuat dalam adatrechtbundel no. 40.

Dalam kata pengantar landraadnummer'ke- 24, T. 154 hal. 85 dan seterusnja diberitakan oleh redaksi „Indisch Tijdschrift van het Recht” , bahwa ini adalah landraadnummer jang penghabisan dan bahwa selandjutnja keputusan2 jm g peiuting buat hulkum-adat akan dimuat dalam nomor2 bias<3 djiS3!RpitlQ vonnis® hulkum-sipil Eropah, Auikum-pidana dan lain2-xija. Orang berpendapat, bahwa landraad- ruummers itu sudah selesai mendjalankan tugasaija jaiiitu : membang­kitkan minat terhadap hukum-adat.

Dalam pertengahan tahun jang pertama pada tahun 1947 di Djogja terbitlah nomor pertama daripada „Hoekoem” , ialah madja- lahnja para ahli hukum Republik.

Dalam tahun 1940 maika Djawa Tengah memperoleh „pemba- . hasamnja sefcjaira dengan sengadja dan menurut siistimnja huikum- adat seluruhnjja” iberuipa „Het adatrecht van Milddel-Java” oleh Mrs. DJOTODIGOENO dan TIRTAWINATA.

Djumlah „pekuklisan2 setjara dengan sengadja darapada bahagian2 hulcum-adat oleh para ahli jang berpendidikan hukum-adat” , ber­tambah sebagad berikuit, jailtu mengenai :

A. anaik-lingikungain^hukum Bataik :

1.J. KEUNING „Verwantschapsrecht en volksordening, huwelijks- recht en erfrecht in het Koeriagefbaed van Tapan/oeli” , disertasi Leiden, 1948.

2. M.H. NASOETION, GELAR SOETAN OLOAN „De plaaits van de' vrouw in de Babalosche Maatschappij” , Disertasi Utrecht 1945.

B. daerah M inangkabau:V.E. KORN ,.D e vrouw elijke m am a'in de M 'inangkabause famiilie” ,.

Bijdragen, djilid 100.

250

C. Lingkungan-hukum Sumatra Selatan':1. W .F. LUBLINK WEDDIK, „ Adatdelictenrecht in de Rapat-m ar-

ga-rechtapraak van Palembang”, disertasi D jakarta 1939,2. H.H. MORISON. ..De M endapo Hiang in het district Korintji”;

disertasi Djakarta 1940.

E. Limgkungan-hukuni Minahasa :J.J. DORMEIER, „Banggaisch Adatrecht''. disertasa Leiden 1945.Tentang huikum-Islam terbitlah buah tangan :1. V.E. KORN. ..Mohammedaansch recht en adatrecht in Britsch

en Nederlandsch-Indie", Bijdragen, djilid 104.2. J. PRINS, „Adat en Islamitiesche Plichtenleer in Indonesie”, di­

sertasi Leiden, 1948.

Huikuim-taaiah dibahas oleh :1. E.H.s' JACOB. ..Landsdomein en adatrecht". disertasi Utrecht,

1945.2 ' V.E. KORN dan r . VAN DIJK. „ Adatgrondenrecbt en Domein-

fictie”, Goranchem 1946.3. M. SONIUS. ..Over de keuze van het recht op de grond”, T.

1947 p. 152.

Dari tudisan2 jatng bersifat ichtisar ¡harusilah disebut disini :1. H. KÄMPEN, ..De regeling van het rechtswezen in de Buitenge-

westen”, disertasi Leiden 1939.2. R VAN DIJK „Samenleving en adatrechtsvorming", disertasi

Leiden 1948.Pada tahun2 jang achir2 sebelum perang maka mendjadi tambah

pentincjnja buat hukum-adat ialah s:aran2 daripada Mrs. SOEKASNO,

SOENARIO d'an lain2-nja berhubung dengan „de schuldbevrijdings- actie op Java” (usaha pembebasan dari hutang di Djawa), dalam „Volkscredietwezen”.

Mereika jaing berkehendak mengetahui poliitiek pemerintah me­ngenai hukum-adait, jang didjailanlkan sebelum perang, dipersilahkan m embat ja tu&ananja b . TER HAAR „Halverwege de nieuwe adat- rechtpoli'tiak”, Kol. Studien 1939. Ini adalah uraian landjutan dari­pada „Een keerpunit dm de adatrech-bpolitiek'’, ialah buah tangan pe­nulis itu d juga dalam Kol. Stuidien 1928.

Bahan2 lebilh landjuit tentang soal imi dapat diperoleh dari prae- advias2 dalam Juristen Congres ke-V taihiin 1939 daripada Mrs. H. GUYT dan M. SLAMET mengenai „De beteekeniis van de term adat­recht in de wetgeving”.

251

Pedoman.2 ddmasa sesudah perang terdapat dalam kedua pidato SOEPOMO, j an'9 diut'japkan daJam tampah singlkat berturut2 :

1. „Soail2 politiek hukum dalam pembangunan negara Indone­sia” , jang terbit dalam nomor pertama daripada madjalah ,,floe- koam”.

2. „Kedudukan ihukum-adat dikemudian hari”, termuat dalam

„Hoekoem", nomor 2, April 1947 dan sebagian dalam terdjemahan dimuat dalam T. 1948 hal. 43 ; dan dalam tudjuh ¡buah dalil2 SOE­POMO mengenai „Hoekoem sipil Indonesia dikemudian hari” dalam „Hoelkoem”, Apriil 1947.

Bahan2 menurut kenjataan sesudah masa perang mengenai susu­nan kethakiman dan mengenai hukum-atjara terdapat dalam tulisan :

1. R. OERIP KARTODIRDJO. „De redhtspraak op Java en Madoe- ra tijdens de Japansche bezetting 1944 — 1945”, T . 1947, hal. 8.

2. H.KJ. COWAN, ..De indische rechtsbedeling na de bevrijding”. .,Imdonesie”,tjh. lke-2 hal. 64.

Sebuah sumbangan dari fihaik ilmu ibangsa2 jang pemtimg uintuk iebih memahamkan istilah ihukum-adat adalah ibuah tangan J.F.B. DE JOSSELIN DE JONG. „Customary law, a confusing fiction”, pe­nerbitan „Indisc'h Instituut” 1948 (Mededeling No. LXXX. Afd. Volkenkunde no. 29).

Tenitang hubungan antara 'hukum-adat dan alam pilkiran „serba berpasangan” (pairticiperend), maika masalah ini dlibahas oleh :

1 . B . T E R H A A R , »De betekeniis van de tegenstelling panticipe- rend'kritisch denken en reohtspraak naar adatreoht”. Mededeliiugen der Nederlandsche Akademie van Wetensdhappen, Afd. Letterkun- de, Amsterdam 1941.

2. R. S O E P O M O dalam pidatonja pengantar, „De verhouding van individu en gemeenschap an het adatrecht", Djakarta 1941.

Pada achirnija iharus diisebutkan dis'imi isuatu minat jang makin bertambah dari fihalk Amerika iterhadap hulkum-adat :

1. R. KENNEDY m enjiarkan sebuah „BiW iography o f Indonesian peoples and cultures” , Y ale U niversity Press, N ew H aven 1945.

2. A.A. SCHILLER dalam Congres „Institute of Pacific Relations” ke-9 taihun 1945, melaporican tentang „Legal and admmiisfcrative problems of t'he Nefcherlands Indies” ; bersama2 e .A. HOEBEL maka ia menjalin buah tangan B. TER HAAR„Beg.inselen en stelsel van het adatrecht” kepada bahasa Inggris dengan memakai djudul „Adat- law in Indonesia” , Institute of Pacific Relations 1948.

252

SINGKATAN2. /Unit u k menundjuMcan asalnja istilah2 Indonesia maka terkadang2

nama daripada suiku-bangsa atau ibahasa disingkat sebagaimana ter- tjantum dibawaih ini :

amb. = ambons (terdj. : Amb. = Amibon)bal. = balies (itendj. : Bal. = Bali)bat. = bataks (terdj. : Bait. = Batak)boeg. = boegiinees (terdj. : Bug. = Bugis)daj. dajak (terdj. : Daj. = Dajaik)9aJ ■ gajoos (terdj. : Gaj. - Gajo)jav. javaans (tendij. : Dj. = Djawa)mak. makassaans (terdj. : Mak. = Maikasar)mal. = maleis (terdj. : Mei. = Melaju)min. minangkabaus (¡terdj. : Min. = Minangkabau)pas. = pasemahs (terdj. : Pas. = Paisemah)redj. — redjangs (terdj. : Redj. = Redjaing)soend. — soenidaas (tendlj. : Sund. = Sunda).

253

DAFTAR DARIPADA L1NGKUNGAN2-HUKUM. AN AK2-LIN GKUN G AN -HUKUM DAN LAIN2 WILAJAH2, TEMPAT2 ATAU SUKU2-BANGSA.Abung (suku bangsa di Lampongj 26,

42.'Agam (di Minangkabau) 34.Alasland (daerah Alas) 32.Ambon 13, 14, 17, 27, 28, 35, 42, 50.

53, 54 , 62, 66. 67 68, 69, 70, 73,73, 117. 122, 123, 125, 130, 144, 145. 167. 171, 173, 174, 175 179, 183, 187, 188, 190. 199, 201, 205,225.

Anak-lakitan (suku bangsa di Suirui- tra Selatan) 41.

Angkola (di Tapanuli Selatan) 20. 63, 68. 146, 154.

Aru.eilanden = kepulauan Aru (di Maluku) 16.

Atjeh 13, 17, 28, 41, 46. 51, 52, -63, 98. 100, 124, 148, 149, 160. 168, 169, 171, 178, 192, 206. 212.

Bali 16, 18, 20, 25, 28. 29, 43, 49, 50, 51, 52, 53, 62, 64, 66, 68, 74, 98, 103, 104. 107, 108, 111, 112, 124, 127, 130, 134 145, 146, 151,152, 154. 156, 160, 161, 164, 165,167, 168. 171, 172, 174, 176, 189191, 193, 195, 198, 200, 209, 210,214, 216, 221, 226,. 227, 232.

Balige (di Tapanuli) 37, 38.Banda (Maluku) 13.Bandjarezen (orang2 Bandjar) 29.Banggai archipel r= kepulauan Bang­

gai (sebelah Timurnja Sulawesi) 47, 57:

Bangka 17, 47:Banten 45, 46, 53, 98.Baree sprekende Toradja = suku To-

radja jang berbahasa baree 26, 40.Barus (daerah2 Batak) 38, 39.Batakalnden (daerah2 Batak) 16, 18

20, 22, 25, 36, 62, 64, 68, 70, 12 76, 89, 93, 98, 100, 101, 111, 1 1 2 ’ 119, 122, 123, 126, 127, 129, 14o’152, 156. 158, 160, 168, 170, 172’183, 190, 191, 197, 202, 204, 205’209, 213, 222, 226, 227, 232.

Batavia = Djakarta 53, 116, 124.

Batin-bevolking penduduk Batin (di Djambi) 29, 35.

Belitung 17, 47.Bengkulen 12. 23, 42. 173.Bima (di Sumbawa) 51.Boalemo (dilengan-Utara Sulawesi)

75.Boeginezen = orang'2 Bugis 29, 123.

145, 220.Buleleng (di Bali) 44.Buru (Maluku) 22, 32, 68.Bolhang Mongondow (dilengan-Uuirj

Sulawesi) 47. 68.Bone (di Sulawesi Selatan) 52. Borneo = Kalimantan 14, 16, 18. 19.

23, 24. 25, 39, 47, 51, 64. 68, 70. 75. 78, 79, 87, 108, 135. 147. 148. 151. 152, 156, 171, 173, 181, 192 193. 213, 227.

Boven-Kapuas r= Kapuas Udik (Ka­limantan) 168.

Boven-Mahakam = Mahakam Hulu (Kalimantan) 13.

Celebes = Sulawesi 19. 25. 51, 79, 101, 148, 154, 216.

Dajak 62, 71, 75, 117, 129, 160, 163,168, 171, 181, 190, 202, 208, 216, 233.

Djambi 12, 14, 29, 51, 52.Djelma-daja (suku bangsa di Suma­

tra Selatan) 42.Djembrana (di Bali) 44.Enggano (di Barat Sumatra) 32, 68. Flores 32, 47.Gajo Lueus 30, 31.Gajoland = daerah Gajo 17, 18, 30

38, 142, 154, 168, 174.Gedongtataan (di Lampong) 29. Gorontalo 13, 47, 49, 226.Gowa (di Sulawesi Selatan) 52. Groot Atjeh = Atjeh Raja 12.Grote Oost = Timur Besar 18, 30,

39, 151, 156, 212.Halmahera 171.Hitu (djazirah daripada Ambon) 35,

179, 199,

254

Indragiri (Sumatra Tengah) 29, 68: Java = Djawa 14, 17, 20, 24, 25,

27, 41, 45, 49 - 53. 61, 62, 63, 65, 66, 68, 70, 72. 73, 74, 79, 83, 88, 89, 92, 98. 100, 105, 109, 111, 112, 115, 116, 120, 122, 123, 124,128, 129, 132, 134, 140, 141, 142,145, 147, 154, 155, 160. 161, 168,169, 171, 172, 173, 175, 178, 179,181, 183, 184, 187, 188, 190, 192 - 196. 203 . 208, 211. 213, 217. 225.226, 227. 233.

Kaili (Toradja Barat) 79. Knmpar-streek - wilajah Kampar (di

Minangkabau) 70.' Karangasem (di Bali) 44, 50. 53.

Karo-Batak = Batak Karo 38,. 39, 127, 224. 226.

Kastala (Bali) 64.Kedu 61.Kei-eianden = kepulauan Kci (M.i-

luku) 16, 26, 121, 156, 160. Kenja-dajak = Dajak Kcnja 39.Kisar (kepulauan Barat Daja) 26. Klemantan-dajak = Dajak Klcmantan

39.Kodi (suku bangsa di Sumba) 19. Kubu (suku bangsa di Sumatra Sela­

tan) 41.Korintji, Krintji (Pantai Barat Suma­

tra) 12, 18, 35, 133, 160, 175. Laguboti (di Tapanuli) 37.Laikang (Sulawesi Selatan) 13. Lampongs = Lampong 16. 18, 26, 31

53, 142, 152, 154, 156, 163, 164, 168, 170, 172, 173, 174, 176, 185, 198, 200, 209.

• Landak- en Tajan-dajak = Dajak Landak dan Dajak Tajan 156, 200. '209.'

Lawangan-dajak = Dajak Lawangan 29. 39, 220.

Lepo alim (suku bangsa di Kaliman­tan) 40.

Lepo timei (suku bangsa di Kaliman­tan) 40.

Lima.puluh-kotn (di Minangkabau)35.

Lingga-Riouw 12, 32.Lombok 13, 29, 45, 51. 68.Long glatt (suku bangsa di: Kaliman­

tan) 40.Maanjan-patai-dajak •= Dajak Maa-

njnn Patai 39.

Maänjan-siung-dajak = Dajak Maä- njan Siung 29, 39, 87, 169.

Madura 14, 17, 21, 46, 152, 188, 196. Makasar 104, 194.Manado 13, 74.Mandailing (di Tapanuli Selatan) 20.

98. 154, 175.Mandar (di Sulawesi Selatan) 39,

134.Mentawai 12, 15, 18, 144, 151, 160. Middel-Celebes = Sulawesi Tengah

23, 147, 167.Middel-Java = Djawa Tengah 61.

107, 211.Middel-Sumba = Suinba Tengah 23. Middel-Timor = Timor Tengah 151. Minahasa 17, 26, 27. 28, 41. 58, 60.

68, 70. 75. 76, 101, 107, 124, 129, v 133. 144. 145, 146, 160, 168. 171,175. 177, 179, 183. 187, 188, 192.198, 201, 203.

Minangkabau 18. 21, 22, 23, 25, 27,29, 32 , 33. 34, 35, 38, 41. 64, 68.74, 76. 88, 98, 99, 100. 103, 107,121, 122, 124, 133, 142, 149, 150,152, 154, 160, 162, 165. 173, 175.178, 190, 191, 193, 198, 199, 201,206, 208, 212, 220, 232.

Muna (Tenggara Sulawesi) 213.Mollo (di Timor) 19.Molukken = Maluku 13, 16. 1S, 41,

168, 170. -Ngada (suku bangsa di Flores) 47.

57.Ngadju-dajak = Dajak Ngadju 15.

39. 111, 142, 161, 189, 190. Ngajogjakarta 49, 78, 80, 104.Nias 12, 18, 22, 35. 38. 122, 145, 154,

160.Nieuw Guinee = Irian Barat 32, 173- Noord-Java = Djawa Utara 73. Noord-Tapanuli -r Tauanuli LItara

12.

de Oeliaseis = kepulauan Uliaser 13,26. 42.

Oost-Java Djawa Timur 60. 154. Oost-Sumba = Sumba Timur 23, 69. Ot-danum-dajak rz Dajak Ot Dnnum

39.Padang 14, 51.Padang Lawas (daerah- Batak) 12,

31, 37. 'Pagaiers = orang’-* Pagai (Mentawai)

15.

255

/*

Pak-pak. gebied = daerah Pak-pak (didaerah2 Batak) 38.

Palembang 12, 14, 42, 51, 52, 53, 62,173.

Pasemah (Palembang) 24, 69, 151, 155, 162, 166, 168. 171. 173. 182r-186, 209, 210, 211.

Pasir (Kalimantan) 13.Peminggir (suku bangsa di Lampong)

42, 172, 174.Pengulu-bevolking = penduduk Pe-

ngulu (Djambi) 29.Penjabung (suku bangsa di Kaliman­

tan) 39.Pubian (suku bangsa di Lampong) 31. Punan-dajak = Dajak Punan 39. Purworedjo (Djawa Tengah) 211. Ponre (di Sulawesi Selatan) 45. Preanger — Priangan 45-, 107.Rebang (suku bangsa di Lampong

Utara) 163.Redjang (Bengkulen) 19, 22, 23, 42,

64, 84, 88, 100, 103. 147, 150, 151, 155, 157, 160, 162.

Riouw 13, 32, 78.> Roti (kepulauan Timor) 31. 171, 174.

Sadan-toradja = Toradja Sadan (Su­lawesi Tengah) 40.

Sajurmatinggi (Tapanuli Selatan) 29. Salaiar (sebelah Tenggara Sulawesi)

124.Samosir (pulau didanau Toba) 38. Saparua 150, 166.Savu *(kepulauan Timor) 69, 149 173

209.Semendo (Palembang) 18, 166, 175

200, 209.Seram (Maluku) 32.Sigi (Toradja Barat) 79.Simelungun (daerah2 Batak) 38, 71. Simeulue (sebelah Barat Atjeh) 32.

Singkel (Atjeh) 13.Sula-eilanden = Pulau2 Sula 53. Sumba kepulauan Timor) 16- 149

156, 166, 171, 174.Sumban Djulu (Tapanuli) 37. Sumbawa 51.Sundalanden = daerah2 Sunda 17 88

100,. 123, 160, 181, 193, 232. ’ Surabaja 53.Solo 185.Sumatra 25, 80.Sumatra’s Oostkust = Sumatra T i­

mur 47, 52, 78.

256

Tanah datar (di Minangkabau) 35. Tano sepandjang (di Padanglnwas)

31.Tapanuli 225.Tawaili (Sulawesi Barat) 49.Temate 13. 14, 51, 52, 53, 80.Tidore 51, 52.Timor 25. 144, 168, 171, 172. de Timorgroep = kepuluan Timor

18, 19, 51, 170.Tjirebon 61, 213.Tnganan Pagringsingan (di Bali) 50,

55, 61, 63, 68, 117, 119, 160. 176, 267.

Toba-batak — Batak Toba 22. 29. 37, 38, 91, 149, 165, 171, 173, 205. 209, 213, 216, 232.

Tobelo (di Halmaheira) 160. Tulungagung (Kediri. Djawa) 227. Tulungbawang (Lampong) 42. Tolainang (dilengan Timur Sulawesi)

160, 173.Tomori (suku bangsa di Sulawesi Tengah) 40, 160.Toradja (Sulawesi Tengah) 16, 18,

40. 132, 160, 171, 175, 208, 220. Vorstenlanden = daerah swapradja

(di Djawa) 13, 72, 78, 79, 80, 104, 118.

Westerafdeling van Borneo — Kali­mantan Barat 12, 13, 220.

West-Java = Djawa Barat 93, 192. Westkust van Atjeh = Pantai Barat

Atjeh 29.West-toradja (Toradja Barat) 51, 71.

79, 183, 202.Zuid-Celebes — Sulawesi Selatan 14,

16. 17, 26, 28, 41, 43, 49, 51, 52. 62, 68, 73, 101, 107, 119, 155, 160, 163, 164, 168, 169, 177, 178, 181,185, 192, 194, 196, 204, 211.

Zud-Nias = Nias Selatan 168. Zuid-Oost-Borneo = . Kalimantan

Tenggara 14.Zuid-Oost-Celebes = Sulawesi Teng­

gara 160, 173, 222.Zuid-Sumatra = Sumatra Selatan 17.

18, 20, 28, 29, 31, 40, 41, 42, 51. 75. 108, 145, 151, 168. 174, 175, 191, 211:

Zuid-Tapanuli = Tapanuli Selatan 29, 38, 51, 58, 61, 66, 101, 10S, 168, 172, 177, 233.

Ichtisar daripada lingkungan2-hukum dalam urutannja jang lazim dengan nama2 ,inak2_lingkungan-hukum, suku2 bangsa, tempatS dan wilajah2, jang terdapat da­lam daftar tersebut diatas.

1. Atjch (Atjeh Besar, Pantai Barat Atjeh, Singkel, Simeulue).2. Daerah2 Gajo, Alas dan Batak.

A. Daerah Gajo (Gajo Lueus).B. Daerah Alas.C. D a e r a h 2 Batak (Tapanuli).

I. Tapanuli Utaraa. Batak Pakpak (Barus).b. Batak Karo.c. Batak Simelungan.d. Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Sumban Djulu).

II. Tapanuli Selatana. Padang Lawas (Tano sapandjang).b. Angkola.c. Mandailing (Sajurmatinggi).

2a. Nias (Nias Selatan).3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanahdatar, Limapuluh kota, wilajah

Kampar, Korintji).3a. Mentawai (orang2 Pagai). (4. Sumatra Selatan.

A. Bengkulen (Redjang).B. Lampong (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulung

Bawang).C. Palembang (Anak-Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Semendo).D: Djambi (penduduk Batin dan penduduk Pengulu).

4a. Enggano.5. Daerah Melaju (Lingga-Riouw, Indragiri, Sumatra Timur, orang2 Bandjar).

6. Bangka dan Belitung.7. Kalimantan (Dajak, Kalimantan Barat. Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara,

Mahakam Hulu, Pasir( Dajak Kerija, Dajak Klemanten, Dajak Landak dan Dajak Tajan, Dajak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dajak Maanjan Siung, Dajak Ngadju, Dajak Ot Danum, Dajak Penjabung Punan).

8. Minahasa (Menado)..9. Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo).

10. Daerah Toradja (Sulawesi Tengah, Toradja, Toradja berbahasa baree, To- radja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toradja Sadan, To Mori.'To Lainang. ke- pulauan Banggai).

v 11. Sulawesi Selatan (orang2 Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar,' Makasar, Salaiar, Muna).

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmaheira, Tobelo, pulau2 Sula).13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, pulau2 Uliaser, Saparua, Buru, Se-

ran, pulau- Kei, pulau2 Aru, Kisar).14. Irian Barat.15. Kepulauan Timor (kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba,

Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Savu, Bima).16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Bu-

leleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa).17. Djawa Tengah dan Djawa Timur beserta Madura (Djawa Tengah, Kedu,

Purworedjo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaja, Madura).18. Daerah2 Swapradja di Djawa (Solo, Jogjakarta).19. Djawa Barat (Priangan, d a e r a h S Sunda, Djakarta, Banten).

257

DAFTAR SOAL..nansprakelijkheid beschikkingsgerech-

tigde gemeenschap = tanggung-dja- wab masjarakat jang ber-.,hak per- tuanan’’ 65, 71. 127.

.aansprakelijkheid voor handelingen van anderen = tanggung-djawab terhadap perbuatan- lain orang 127. 128, 225.

aan.'prakelijkheid voor schade door vec = tanggung-djawab terhadap kerugian disebabkan oleh ternai:225.'

absolute simulatic == pura2 jang di- sengadja benar2 130.

■adatjuristi'n = para ahli-hukum-adat 229, 24-1.

adatreaktie = reaksi-adat 182, 215. dst.

adel = bangsawan 25, 48. 49. 50. adoptie = ambil anak 153. advocaten = adpokat- 52. agrarische commissic 80 noot. agrarisch eigendom 82. agrarische reglemcnten = p e r a t u r u n S

tanah 104. agrarische wetgeving =: perundang-

undangan tanah 68. 81, 104. akte 102, 135.alternerende verwantcnorde = susu­

nan sanaksaudara setjara ,,bergan­ti2” 19, 150, 166, 212.

arabtsveldcn = tanah2 bengkok 62, 72, 76. 106, 108.

animistische gebruiken = kcbiasaai.- aniraistis 159.

apanage (gebied) = lungguh (dae­rah) 42, 44, 49, 51, 52. 53, 63, 72 78, 79, 80, 81.

arbeidskontrakt := perdjandiian ker dja 128, 133.

asymmetrisch connubium 37 39 t'? 167, 172, 249. ' ’

bataviase grondhuur = persewaan ta­nah Djakarta 116.

begeleidingsgave = pemberian pena.hantar 107, 134.

begrafeniskosten = beaja pemakaman 215.

begrafenisvereniging = perkumpulan kematian 124.

beheer (van een boedel) = penguru­san (harta peninggalan) 203.

bemiddelen = menjelesaikan setjara damai 214, 217. 239.

beschikkingsgebied = daerah ber- hak-pertuanan 38, 56 dst. 73, 83,84. 85. 86, 98, 106. 117. 12/, 197, 204, 205. 214, 225.

beslissingen = keputusan'- 16. -47, 4S.52, 89. 104, 123, 138. 207. 217. 223 - 230, 235 dst.

bevestigingsgeschenk = hadiah pe­ngakuan 132, 133, 159.

bewerkingsrecht = hak mcngcrdjakan tanah 82.

boete (deliktsbetaling) ^ denda (pembajaran pelanggaran) 181, UJ2, 221, 222.

borgtocht = pendjaminan 128. bruidegomsehat = wang djudjur jang

dibajar oleh iihak perempuan 166. 174.

bruidschat = djudjur 88, 101. H0,149,'150, 152, 153, 163, 164, 166.dst., 179. 180. 182, 185, 193, 206.209.

buitenechtelijk kind = anak terlahir diluar perkawinan 144 — 147.

bijvrouwen = bini2 selir 146, 155.176.

Christendom (werking van h e t—) = agama Kristen (daja daripada — ) 46. 145, 159, 163, 175, 176 dst., 183,196.

christengemeenten- = djemaal)2 Kris­ten 46, 139.

clan, clan-gedeelte = clan, bagian- clan 17, 21, 22, 23 (noot) 30 - 39, 87, 122, 144, 148, dsb.

commissie-kontrakt = perdjandjian komisi 129.

..communaal bezit” = hak jasan ko- minal 56, 61.

corps adat-juristen = kaum ahli-hu- kum-adat 249.

cross-cousin~huwcli|k = perkawinan anak saudara-laki2 dengan anak saudara-perempuan 156, 162.

cum suis (c.s.) = denqan lain'--n|a215.

deelbezit = milik paruhan 119, 126. deelbcmw = paruh-hasil-tanam 105,

125.deelbouw - verhoudingen := perimba­

ngan- paruh-hasil-tanam 107. deelwinning = paruh-laba 125. deliktsbetaling (boete) =: pembajaran

pelanggaran (denda) 181, 192, 218 dsb.

258

dcsadiensten — pekerdjaan-' dinas buat dcsn 122.

désaoudsten = tertua'2 désa 45. dienhuwelijk =: perkawinan-menual.'-

di 167. 172. djatibos (landsdomein) = hutan dja-

t¡ (tnnah milik ncgcri) 71. djual-transaktie = pcrdjandjian djual

88 dst.. 105. 108 — 113. 120, 135. 20-).

doorbreking pcnorobosr.il 72. 176, 177.

dorpenbond — gabungan diisun- 19. 20 . 68 , 222 .

dorpsgemcensdiap - masjarakat du­sun 17. 20, 21. 24. 27, 15S. 180.

dorpsgod.sdienstbcnnibten - pega- wai'^-urusan-agama 43.

dorpsjustitie .— nengadilan dusun i :.44, 54, 224. 237.

dorpsoffcrplaats = tcmpat pernudjaan dusun 59.

dorpsregelingcn := peraturan- dusun 54, 226.

dubbcle bcschikkingskring = lingku­ngan hak-pertuanan rangkap 67.

dubbelunilaterale orde = susunau ..dubbelunilateraal" 19, 148. 149,150.

dynamistisclie (magisdie) gebruiken = adat'2 jang dinamistis (sihir) 159.161. 169. 171, 176, 181, 183, 202. 219, 220.

eenheid van Indoticsisch adatrecht — kesatuan hukum-adat Indonesia197.

endogamie 19. 25. -26. 147, 148. 1.7, 201.

..erfelijk individueel bezit” = hak mi­lik perseorangan jang dapat diwa­riskan 61.

erkenningsgesdienk = hadiah penga- kuan I 33.

ethnologie 15, 148. 241, 242.evenwicht ” kesetimbangan l*i 1. 15¿*

165, 168. 180, 189, 218, dst.excominunicering — dibuang keluar

adat 122. 123. 145. exogamie 18, 22, 148, 149, 161. 174,

177.farailiebcschikkingsrecht “ hak-pci -

tuanan daripada kerabat 6 7 familiebezit = milik kerabat 76, 8/.

116, 190, 198 dst., 213. . _fictieve waardering van goederen =

pernilaian dalam angan- daripada harta benda 170, 220.

gebruiksrecht = hak pakai 76, 10ó.116.

gedwongen huwelijk — perkawinan paksaan 144. ,

geldlening = pindjamar. wanq 91. l i l 113, 126.

geldlening en deelbpuw = pindjaman wang dan paruh-hasil-tanam 107.

geledingen in familiebezit = sendi- dalam milik-kerabat 199, 201.

gemeenschapshuizen — rumah- masja- rakat 16.

gcmecnsehapsvreemden = o r a n g 2 ¡i;- aran masjarakat 23, 26, 27, 28. 4C. 42. 51. 52, 63. 64, 69, 72, 86, 89, 93.

I 106, 108, 117, 145.I ..gemengd bezit" = ,,milik tjampuran"

61. 66.genealogiuche faktor der volks-orde-

ning — faktor genealogis daripada susunan-rakjat 16, 18.

genotrecht = hak menikmati 59, 63. 74.

geslacht = kerabat 23. 24 (noot) 39. gewas —. tanaman 60, 97, 117 — 120. gezinsgoederen = harta-benda-keiu-

arga 213.godsdienstige rechtspraak = peradilan

agama 14, 50 163, 177, 185, 187, 198, 205, 210.

gouvcmementsrechtsorde = keterti-ban-hu'cum-gubernemen 11, '52, 53, 54, 68. 72. 77, 80, 81. 82, 86, 103, 104. 116. 142. 169. 187. -201, 2C3, 207, 215. 222, 223, 226, 228. 237

grantrediten = hak--idin 78.‘ ganswachters — peudjaga- batas 68. grondverhuur met vooiuitbetaalde ' huurschat = persewaan tanah de­ngan pembajaran wang sewa lebih dulu 88, 98. 100.

grondverkoop — pendjualan tanah 88, 99, 100, 114.

grondverpanding . = gadai tanah S?,93 dst., I l l , 112, 114.

grondvoogd = wali tanah 61. 65, l>9. tjrondwichelaar = kahin-lanah 69, 86.

heersende (regerende) marga = mar­ga jang meradja (memerintah) 22.25, 36. 38, 64.

heffingcn = pungutan- 49. 51. 53, 5 ,6!, 72.

herinneringsgeld = wang kcnang"-an 129.

259

heilige voorwerpen (der gemeenschap) = barang2 keramat (daripada ma- sjarakat) 15, 16.

heilige voorwerpen (in de vorsten sfeer) = barang2 keramat dialani radja2) 48, 50.

heilmaaltijden (slametan) = slamcian 50. 122, 140, 161, 163. 209, 216.

hoofdendiensten = pekerdjaan2 dinas untuk penghulu 122.

hoofdenstand = kelas penghulu 2325. 26.

hoofdplaatsen = ibu2 kota 49. 53, 78,80, 104, 116.

huiskind = anak isi rumah 140. huur van diensten = pemakaian tena-

g a 2 atas-upah 128, 129. huwelijksgift = pemberian diwaktu

perkawinan 101, 164, 168, 181. huwelijksvoorkeur == ketjenderungan-

perkawinan 36, 149, 161, 177. huwverbod = larangan-perkawinan

146. 149. 151, 161, 167.inheemse rechtspraak = peradilan

Pribumi 12, 185, 187, 223, 224. 226. inkomsten der godsdienstbeambten uz

penghasilan2 pegawai2 urusan aga­ma 48.

inkomsten der hoofden = penghasi­lan2 penghulu2 48, 64, 89, 122.

inlands bezitsrecht = hak jasan 73. inlandse-gemeentc-ordonnantie =: un­

dang2 haminte Bumiputera 54. inlijfhuwelijk =: perkawinan-ambil-

anak 27, 150, 153, 157, 166. 17',174, 181, 183, 187, 193, 197, 209.

islaam (werking van den.) := Islam , (berlakunja.) 114, 126, 136, 146.

148, 159, 163, 175, 176. dst.. 183-186. 192, 195. 203, 205, 210, 21).

islamistisch schoolrecht — hukumfikli Islam 14.

kapungutan (di Palembang) 42. kasten-adel (op Bali) = bangsawan

kasta (di Bali) 49. katholieken = kaum Katholiek 179

187. 196.kinderen = anak2 140, 144 dst. ISS. kinderloosheid als reden voor adop-

tie = kemadjiran sebagai alasan , airbiLanak 153, 154. kinderloosheid als reden voor huve- lijksontbinding = kemadjiran sebagai

alasan untuk pertjeraian 180, 181,188.

klassifikatie = pembeda2_an 15, 26. klassifikatorische verwantschaps-waar-

dering = pernilaian kesanak-sauda- raan menurut ,,abu"-nja 39, 151, 173.

koffietuinen (O —Java) = k e b u n 2 ko­pi (Djawa Timur) 60.

kolonisatie 29.Kontante handeling = perbuatan tu­

nai 88, 105, 121, 133, 154, 155, 157.166. 168, 211, 219.

koöperatieve verenigingcn (inlandse)- = perkumpulan2 kooperasi (Bumi­putera) 125, 139.

kooper te goeder trouw = pembeli- dengan hati djudjur 99.

krankzinnigen = orang2 gila 141. krediethandeling tegenover kontante

handeling = perbuatan krediet ber­hadapan perbuatan tunai 121.

landschappcn = landschap2 21, 139. landschapsrechtspraak = peradilan

landschap 13, 49, 50, 53, 68, 223 227.

leviraat-huwelijk = kawin menerus dengan adik marhum suaminja 173.

magische (dynamistische) gebruiken = kebiasaan2 jang magis (dynamis- tis) 159, 161, 169, 171, 176, 181. 183, 202, 219, 220.

majoraat-erfrecht = hukum-waris berdasar atas haknja anak laki2 jang tertua 200.

malu zijn = mendjadi malu 218 dst. massaklacht = pengaduan rakjat de­

ngan djalan menghadap bersama'2 50.

matrilokaal = kediaman keluarga di- kerabat ibu 151.

minderjarig = belum tjukup umur 141.

meisjes-huwelijk = perkawinan pe- mudi2 jang masih muda 175.

monografieën = lukisan2 55. moratoire interessen — bunga karena

kelalaian 127. naastingsrecht =: hak-terdahulu-un-

luk-beli (tanah-tetangga) 60, 75. nayelstreng = tali puser 168, 170. neefjes.adoptie = pengambilan anak

kemenakan2 154...nietigheid van handelingen = „ba-

talnja" perbuatan2 141. noodhuwelijk = kawin darurat 145. notariaat (inlands) 104. notaris 52, 207.offer = pudjaan 38, 58, 59, 86, 163.

260

onderhoudsplicht = kewadjiban me­melihara 146, 147.

onheelbare tweespalt = pertjederaan jang tak dapat dipulihkan kemb;.!i187, 188.

onroerend en roerend goed = bararg tetap dan barang gojang 120.

ontginningsrecht = hak membuka ta­nah 59. 85, 86, 10.i.

openbare verkoop = pendjualan le­lang 99. 207. 215.

opzet = sengadja 219, 225. ormimentsehap (in Zuid-Celebes) T:

persekutuan-perhiasan (di Sulawe­si Selatan) 43.

overeenkomst in woorden = perdjan- djian lisan 132.'

overqanqsriten = upatjara2 peralihan 122, 153, 154, 165.

overschot (van den boedel) = sisa (daripada harta peninggalan) 216.

overspel = zina 181. pandelingsehap = pembudakan kare­

na hutang 121, 128. párentele orde = susunan menurut

hukum ibu-bapa 19, 23, 147, 148, 151.

participerend denken “ alam pikiran „serba berpasangan'' 103, 135, 19¿.203, 219.

particulière landerijen = tanah2 par­tikelir 81.

patrilokaal = kediaman keluarga di- kerabat bapa 151.

pleegkind = anak piara 146, 147. prauwen = perahu'- 119. protestanten = kaum Protestant 1 / 9,

187.recht op grond en gewas (samenhar.g

van) — hak atas tanah dan tana­man (hubungannja dengan) 60, 97. 106, 117. 118, 119.

rechtsgemeenschap = masjarakat-hu-kum 15, 16, 17, 21, 22, 139, 148, 158, 167.

rechtspersoon = badan hukum 137. 139.

rechtsverwcrking = penghilangan hak sendiri 227.

rechtsweigcring = enggan mengadili237, 238.

reciprociteit = pembalasan 219. registratie van grond-transakties =

pendaftaran perdjandjian^-tanah104.

rente =: bunga 126, 127.

reorganisatie der Vorstenlanden = perubahan organisasi didaerah-" Swapradja di Djawa 53. 80.

roerend en onroerend goed = barang gojang dan barang tetap 120.

ruilhuwelijk =: perkawinan bertukar167. 172.

rijkssieraden = perhiasan2 keradinan- 48. 50.

samenvoeging dorpen = penggabu.ngan dusun- 21, 54, 70.

schaamte-verhouding = perhubungan- jang mengandung keseganan 162.

schenken van grond = memberi hadi­ah tanah 101.

sehepen = kapal- 119. sehikken =• menjelesaikan setjarn da­

mai 214, 217, 229, 239. schuld = hutang 162, 182. schuld (onachtzaamheid) = salah

(kelalaian) 126, 219, 225. schulden (vererving van) = hutang4

(diwarisnja) 215. schuldig blijven van huwelijksgift =

tetap masih memindjam pemberian- perkawinan 169, 171.

séwa vergeleken met retributie = se­wa dibanding dengan pungutan, beaja 108.

slavenstand = kelas budak 26, 40. sociale werkelijkheid =: kenjataan so ■

sial 55, 237. solidaire aansprakelijkheid = tang­

gung-menanggung 127. stam = suku 23, 24 (noot) 39. stand = kelas, martabat 22, 24, 25,

26, 44, 45, 38, 49, 158, 159, 170. stenen huizen = rumah- tembok 80.

118.stichters (van een dorp) = p e n d i r i2

(dusun) 22, 25. 33, 37, 83. streekgemeenschap = masjarakat wi~

lajah 19, 20, 158, 180. streken zonder gemeenschapsvorming

= wilajahS tanpa bentukan masj?- rakat 47, 57.

suiker-industrie = perindustrian gula61, 79.

symbolische handeling = perbuatan simbolis 183.

taak der volkshoofden = tugasnja p e n g h u l u 2 rakjat 47, 65, 85, 89, 97.99, 106, 112, 113, 122, 142. 145.153, 155, 159, 161, 162, 163, 177.181, 182, 187, 207, 221. 222.

tegengesehenk = hadiah pembalasam 171.

261

territoriale faktor (der volksordening) =5 faktor territorial (daripada su­sunan rakjat) 16, 19.

.tcrritorialisering = inendjadi territorial 24, 31, 40, 41.

tertiggeven van decl van bruidschat of huwelijksgift = mengembalikan :>e- bagian daripada djudjur atau dari­pada pemberian-perkawinan 171.

testament 206. 207. titel = gelar 135, 148. toelaten tot grondgebruik = meluluh­

kan untuk pemakaian tanah 106 dst. toenemend gezinsleven = kehidupan

kekeluargaan jang makin meningkat 144. 152.

toescheiding penghibahan 101, 146. trouw-marga _ marga perkawinan

22. 37.'tijdsverloop — lamanja waktu 90.

204, 226 dst.

uitzet = pembekalan kemantin p i- rempuan 171, 191, 206, 209, 210.

uitzwerming = pengembaraan 29. 83. 84. 152.'

vcrbodsteken = tanda larangan 86, 134, 160.

■verdcling van huwelijksgoed = pem­bagian harta-perkawinan 195, 196.

vcrgocding van vruchten = penggan­tian daripada hasil jang telah dipa­kai habis 203.

verjaring = kelew.it waktu 229. vrrloving — pertunangan 160. verlovingsgeschcnk - = hadiah-pcrti.-

nangan 133, 160. verpersoonlijking van het besthik-

kingsrecht ^ mendjadinja perse­orangan daripada hak-pertuanan 71.226.

verseheidenheid van indonesisch adal- recht ~ beraneka-warnanja hukuni- adat Indonesia 197.

vervanghuwelijk ^ perkawinan- niengganti 167. 173.

verstoting van cen kind ¿= pengusi-

ran seorang anak 146. 156. vertegenwoordiging = perwakilan 142. vervolghuwelijk = perkawinan mene­

rus 167, 173. verzorqinqskontrakt = perdjandjian-

pelihara 129. volkshoofden : zio : taak der — —

penghuhi2 rakjat ; lihatlah : tu-gasnja —

volkshoofden versus genoten = peng­hulu- rakjat lawan sesama- ang- gauta 54, 71.

volwassen' worden — mendjadi de­wasa 140.

voogdij =: perwalian 152, 153. voorkeiirsrecht = hak terdahulu 59,

74.voorwaardelijke verstoting = ta lieq

185.vorstendomein --: tanah milik radja2

78, 79, 80, 116, 118. vorstenverering = penghormatan ter­

hadap radja2 48, 78. vrome stichtina = jaiasan saleh 76,

100, 136.vrije desa = desa merdika 46, 72. 79. waardigheidsgocderen = barang2 tan­

da kebesaran 213. weduwe = djanda 195, 210. welvaartszorg =: pemeliharaan ke­

makmuran 54. wetgeving (van het gouverneir.ent) =

perundang-undangan (daripada gu- bernemen) 68, 177, 183, 242.

wetgeving (in de vorstensfeer) = perundang-undangan (dalam alam radja2) 50, 226.

zamelrecht = hak mengumpulkrn (hasil hutan) 58.

zekerheidstelling vergeleken met nrondverpanding plus deelbotiw — pendjaminan dibanding dengan ga­dai tanah, ditambah paruh-hasil- tanam 112.

zelfstandige pasar =. pasar jang ber­diri sendiri 51.

-oengcld = pembajaran wanq untuk perdamaian 181.

DAFTAR ISTILAH2-HUKUM PRIBUMI,-idol 88. 233. adol bedol 118. adol ngebregi 118. adol ojodan 88, 100. adol pati bogor 88. adol pias 88..adol run tumurun 88. adol scndc 88.

adol taunan 100, 108. adol trowongan 100. akuan 73.alat melepas mempelai 173. alim 46. aman 42. ampian 45.anaq beru senina; 127.

262

anaq pangkalan 200. anaq piara 146. anak samnng 27. anawanua 43. anggap 174. aur 38. apnr .75. apel 46. aradjang 43..iru 43.asal 189. 192. 194. 206. 211. 214.asli 189.aso blanda 142.astra 145.atnn 26.babaktan 189. babaring 111. bagasan adat 89. bahu 46. baileo 16.bajo bajo na aodami 37. 38.bako 173.bako baki 149.baku 45.baku piara 177.balai 16. 34.balango 107.bale 16.balik tarandjang 181.bandaria 53.bandjar 44, 124.liang mego 22.bangunan 101.banua 43.bantai 29, 71.barang asal 190, 192. 213.barang gana 233.barang gana gini 193.barang gini 193.barang kalakeran 201. 233.barang pembawaan 196.barang perpantangan 193.barang radja 72.basc panglarang 160.bekel 46, 79.belan 16.beli 168. 233.belis 168.bengkoq 62.beru 39.beru senina 39.beudeul 142.beuli niha 168.besan 172.bini ratu 174.bius 38.Bodi-Tjaniago.adat 34. buah 40. bukti 62.

bunga kaju 64.buntjing 161.buruh 128.burukan 75.busuran 60.bol i 168.borg 111.boru 37. 149.213.borreg 127.borrot 111.borreh 111, 233.bosi sebelas kepala tadjau 220.chul’ 184, 186.dadal 61.dago dagi 220.dati 43, 62, 66, 67, 73, 199. 201. catuq pamuntjaq 32. deo rai 69. depati 42.désa 24, 43, 44. 45, 49, 124, 221, 226. désa 17. 20, 21. 45. 46, 53, 61. 70. 72.

77, 79, 141. 215. 238. désa midjén 79. didjapuiq 173. didjemput 173. diérkén 145. diperas 154. djadah 145. djakat 48. djnmin 127. djaring 68. djaro 45. djedjuron 107. djeng rairul 174. djinamee 168, 169. 178. ¡92. djual 88, 90, 92. 94. 105. 109. 112..

117. 135, 204, 233. djual séndé 94. 1djual taunan 106. djudjur 168. djugul 142. djula djula 124. djurai tua 69. djurutulis 46. djonggolan 111. dubalang 35.dusun 18. 20. 23. 34, 35. 11. 42. 62..

211.dusun dati radja 62. dusun lépépéello 205. dusun pusaka 66. dondon 91.dondon susut 98, 100. druwé désa 74. druwé gabro 193. fasch 186. édikio 68. ékor tanah 75. ering beli 1 72.

263’ N

-euri 18, 35, 122, gadai 160.gadang manjimpang 199. gaduh 63.■galarang 43. galenggang 34. galung aradjang 62. gampong 17, 46. gana 35, 190. gann gini 233. ganggam bauntuiq 76, 190. gangsur 92. ganti tikar 173. gaukang 43. gawan 189. gelap 89. ghuna ghana 196. giliran 203. gini 193, 233. guhangia 47. guna kaja 191, 193. guntung 199. gogol 45. golat 68. liadat 43. hakam 178, 187. hakim 185. bapuan 75. haq 233.haq bemilieq harato bapunja 2 33. haq ulajat 68. haru kaballa 209. harta pembudjangan 191. harta penantian 191. harta pentjarian 191, 199. 233. harta pusaka 74. 190, 198. 199. 233 harta pusaka rendah 199, 233. harta pusaka tinggi 199. hnrta saka 199, 233. harta suarang 193, 233. hena 42.hibah wasijat 206, 207. hukum tua 41. hula hula 36, 37, 149, 213 huta 18, 20, 37, 70. huta na ro 63. hoko 168. 192. hordja 37. hwc 124. iddah 184.idjaab kabul 98. 100. 17S. idjoan 129. idjon 129. imeum 31,47. indahan a ria n 101. indo buah 40. indung 115. induq semang 27. ingot ingot 129.

iriri 26.isi ni huta 24, 36. jali jalilio 75. kabisu 156. 174. kabuaian 31. kabul 98, 100, 137, 178. kadaluwarsa 226, 228. kagau gau 220. kagungan dalem 119. kahanggi ni radja 38. kalakeran 201. kalimbubu 224. kalompoan 43. kamitua 46. kampuang 35, 67. kampong 30, 32, 45. kampong medji 46. kanoman 44. karaeng 43. kasepuhan 213. kasuwijang 51. kawak 75.kawin ambil anaq 174. kawin ambil piara 174. kawin anggau 173. kawin gantung 175. kawin tegaq tegi 174. kawom 46. kebajan 46. kedjuron 30. kedjuron petiambang 31. kelebu 35.kemenakan dibawah lutuiq 34.kempitan 129.kepala dati 199. •kepala desa 45.kepala djaga 41.kepala kewang 68.kepala soa 36, 43.kerapatan nagari 35.keret 32.kesain 38, 39.ketib 46.ketjil tanda gedang ikatan 162,keudjruen 30.keutjiq 47.kimelaha 47.kintal kalakeran 74.klebun (kalebun) 46.klian 45.kule 168.kuli 45.kuluk 184.kuria 18, 20, 36, 38, 58, 63.kurung 174.kuta 38.kutai 42.kuwu 46.kokolot 45.

264

korano 32. kota 34, 53.Kota-Piliang-adat 35."kradjan 46. krama desa 44. kria 42.kwarto 54. 62, 73, 122. laman 15.laman dusun 24, 155. larangan kule 182, 186. laras 21. lebe 46. lelepeello 205. lelipi slem bukit 68. lembaga dituang adat diisi 64. lembur 45. lepas 94. lilikur 133, 145. 155. limpo 68. lindung 115. lingkungan 68. linnjap 199. lurah 35, 45. mado 35. magersari 115. mahr 178, 185. makantah 111, 112. makehidang raga 130. malim 35.malu 218, 219, 221.mamaq kepala waris 34. 179, 199.mamekat 233.mamili 233.mamupuh 233.mandinding 172.mandjae 140, 204.mandjawi 71, 233.mandor 45.mangaliplip 146.manganahi 126. manggadai 88, 102. manggih kaja 193 mangku 42. mangu tanah 69 roanti 35.•nantjanagara 53. mauwin 179. mapalus 124. mapalus w ang 124. maradia 43. roaramba 69. roarapu 16

* 37- * <■ma>ga tanah 36, 38 39 marisakc 204. m am a 26. maro 107. mnrsaoleh 47.

marsiadapari 123.mas aie 160. •mas kawin 168, 169, 178, 186, i92.masawèn 160. medun randjang 173. megangkan 120.meletakan suatu pada tempatnja 47. mèlmèl 26.membeli 127. membeli talaaq 185. meminang 159. memindjam 126, 127. memindjamkan 127. memupuh (mamupuh) 161. memperduai 107. mempertimbangkan ta:-:da 133. mendapo 35. mendjual 88, 102, 127. mendjual djadja 88. mendjual gadai 102. mendjual lepas 88. mendjual taunan 88. mengaku anaq 129. mengara anaq 129. mengasi 108. mengindjem djago 174. menjusuq 84. mentjar 140, 204. merga 31.merubuh sumbai 162. mertelu 107. mesi 63, 107. metu pindjungan 181. meunasah 17, 46. mewètèng 41. midjèn 46, 72. miliq 74, 233. misek 161. modin 46. mulang djurai 155. mungkir 162. mupus 200. mohaqka 124. mora 36. morsali 126.nafaqah 184. 186. nagaragung 52.nagari 18, 21, 23, 32. 33, 34, 37. 6/.

68.nayari baatnpcq suku 34.nangkon 174.natoras 38.nawala 50.ndalami gadé 98.negeri 37.negikan 174.negorij 17, 41, 42. 53 62, 67, 69, 70. negorij-dusun 62.

265

ncngah 107.ngadjual akad 58.ngadjual gade 88.ngadjual paeh duwit 100. ’ngadjual tutung 98, 100.ngaranan 129.:i3.edol ngehregi 119. njisia 172. njlamar 159. ngukup anaq 155. ngupetenin 108. nikah 177. nikah tnmbclnn 145. njalindung kagelung 193. njeburin 174. njekelake 120. njekoh 216. njemalang 173. njentanajang 154. nukar 190.numpang 45, 115, 117. nunggonin 172.nuru 68,233. nusup 45. ulajat 68, 233. uleebalang 46. uli 42. ulu ulu 45. unia 18.umannt 206. 207. undang-undang 50. undjuk 168. undjung 168.upah 128. //upatjara 48.upeti 108.upu aman 69.urang ampeq djinih 35.urang sumando 173.urcung tua 47.urung 37, 39.utang 126.utang piutang 125.orang asal 64.orang dagang 51.orang kaja 36.orang menumpang 64.pndukuan 46.paer 68.pago pago 89.pnjar 68.pajung djurai 200. paksi 31. palau 75.pammali kateaang 185. pandjer 128, 132, 134, 160. pangalli kaandaang 185. pangeran 42. 48.

pangidaran para 169. pangoli 168. paningset 134. 160. panjambung 123. panjampeto 68. 233. pantjen 122. paung asal 25, 40, 64. pauseang 101. pnpasang 204. parade 133, 155. pareakhon 173. parekor ekor 39. parenge 40. parisang isang'39. parripe 36. partulan tengah 39. pasah 186. pasar 51. pasek 44. pasini 201, 233. pasirah 42. pasikkoq 160. passo!oq 123. paswara (peswara) 50. patinggi 46. patjangan 161. patuanan 68, 233. patuku n luh 168. pattongkoq siriq 145. pawatasan 68. pawcweh 160. pedaut 88, 157. pedot 155.pegang penjambut 142. pegat mapianaq 146. pekain 168. pekuntjen 46. pemangku 42. pemantjal 184. pembarep 42. penanian 40.penebus talaaq 184. .penggawa 42. pengiwal 184. pengulu 39, 70.pongulu andiko 33, 34, 35, 70, 98, 199. pengulu jang memegang adat 47. pengulu suku 35. peninggalan 163.penjimbang (panjimbang) 26, 31. 200. pentjarian 190. pepadon 26.

. pepe 50. perdika 46. perlindungan 142. perusahan 201, perut 35. persekot 133. pesantren 46.

266

peteng 89. . : .petiambang 31.petjah suku 162.petuëu 31.peungklèh 206.peutua 47.piagem 53, 68, 135.pikukuh 78, 80.pimbit 189.pindah gadé 100.pindah séwa 100.pitungguh gadai 98, 99, 100.pitrah 48.plais 107.pudjonpo 160.pue tampo 71.punah 199.punduh 45.punèn 15.pupuh 75.purusa 154.pusaka 15, 76, 98, 190, 201.pusaka laman 15.putjuq nagari 35.politie (polisi) 45.porda dumpang 177.portahian 37.pou gossi 160.prabumian 68, 233.pradana 154.prakara lama 226, 228.pranatan 50.prijaji 27, 45, 104.pribumi 45.proatin 42, 142.radja 38, 135.radja doli 38.radja panusunan 38.radja pardjolo 38.radja portahi 38.radja sioban ripé 63.ragi ragi 171.rajat 128.ramban 170.ranan kotor 226.rapaq gaib 186.rapaq lumuh 185.reksabumi 68.rènrèn 26.resaja 123.resajo 122. . 1reudjeu 30.redjeu mudeu 31.rudjuq 184, 186.rukunan 123, 239.rumatau 36, 42.rong wang sagobang 155.saba bangunan 191, 205.saba indahan arian 205.

saba na bolak 62. --saba pauseang 205.sabar 227.sabuah paruiq 33.sade 88.sakaha 124.saksi 92, 102.salipi na tartar 58, 61.sambat sinambat 123.sampingnn 44.sanda 233.saniri radja pati 43.sapikul sagcndong 195, 209, 221.sarikat 124.sasi 62, 125.sasuhun sarembat 195.saudeureu 30.sawah gogolan 66.sawah jasa 66.sawah pekulen 66.sedekah 140.sekato 98. ^sembarur 38.semendo ambil anaq 174.scmendo anaq tengah 151.semendo ngangkit 175.semendo radjo radjo 151, 174.sentana 154, 156.sentana tarikan 157.sepuluh satu 64.seraja 123.seroh 168.sesat 16.sesere 160.sewa 108 - 110, 113, 115, 116.sewa bumi 64, 89, 108.sewa ewang 108.siar 154.sikep 45.sikep-marga 53.sinamot 168.sindor 91. siruan 75. sisila 189, 194. sjiqaaq 187. slametan 140. soa 42.

i a » « 35. 37. « . 5,.67, 88, 150, 157.

suku dagang 51. suku „nan dmpSq rsuksara 62. sumbang 123. sunrang 168, 169, 178, sunrang niinrang lo”- ^sunrang sanra 101. 'surat keterangan 103. 'surat peras 154.

267

solari bainenna 181. sompa 168. sopo 16. srama 107, 134. tahan 111, 112. takal aur 39. talaaq 184, 187. ta'lieq 185. tambiq anaq 151.tambiq anaq djurai duwa negeri duwa

151,tanah pei pamoja 101.tanah wawakes un teranak 203.tanam batu 100.tanda 132, 160, 162.tanda kong narit 160.tanda paletak 133.tanda rasan 160.taneh kauhi 87.tanggung 89, 97.tanggung menanggung 127.tanggungan 111.tano bangunan 191.tapian 34.tapu 160.taqleq 185.tawa kabaluang 196.tebasan 129.tegi (negikan) 200.teleng 73.tenggol 47.terang 89, 90, 102, 106, 154 155, 159,

204. tesang 107. teterusan 68. teungku 47. tiuh 31. titisara 62. tjakkar,a 193. tjambur sumbai 174. tjarik 46. tjengkerem 160. tjeq 31. tjiq 46. tjukai 108. tjuke 82. tlosor 45.tua un teranak 41. tuan 233.

tuan tanah 69, 233. tuan wang 233. tuhor 168. tuku 233.tukon 168, 169, 178, 233.tukon tali 115.tulung menulung 123.tumenggung 49.tunangan 161.tunggaq biuto 100.tungganai 34.tunggu tubang 151, 200.tungkat 142, 173.tuo ulajat 70.tuo suku 42.turun kain sehelai sepinggang 181.turus 129.tuwa tuwa 45.tojo 107.tomakaka 40.torluk 68.totabuan 68.toto 233. trataq 34. truka 84. van 41.wakap 76, 136, 137, 138. wakel 31. wakil 142. walak 41.wali 141, 146, 179. wali mudzjbir 178. wanua 43. wang adat 27, 28. wang antaran 168. wang pemasuqan 63. wang saksi 89, 129. waqf 136.waris 87, 89, 92, 101, 102, 1 4 1 m

198, 199, 204 — 207, 227 wekas 206. weling 206. wewenang 74. wewengkon 68. wilin 168. wis dipandjeri 132. wuhru 26. wong akeh 24.

268

RA

LA

T(ja

ng

psn

tin

g3)

CO

G

wU

¿ 4CO"'d

COVuWS

<0~o

O 2

n 3 ^ <CDg 'V- cotOc S<y co

GO

c/3COg

G3 CO¡0 # •4-» Mco COCOG ‘«3 3co U 3S y IU • —< *JO ^ ’O -o -o

S-*i

•«*■<4-JCO 3a GCJ 3G r-<o; 3

oS•S»-G 3

_ o C/) ~z

cO4-»

H3«<UD.

H .CO 3 <3

H3 ¿4 ¿JTCO 3 S05J3 2

c c3 CO- s•"2 «-G5 33 COt9 "S' *3 " d " 3 " S

GtOv )3

3*5

COX»MCJ

co*sCODO . _

u .CO COQ*TdCOm(J

r O

CO£CO

J3

coCO

cowt-(<uE

aco05CCO

3~a

03 .2c c -5sw 2 co S o t ó

c3 co 3

’d

CO¿ 4‘CCJ

JQ’ v -g

, H í o 03 0 , ^ - ° -O^ w co g

^ 3

5CO QJ Q, - o

GCJ

<DG<U

oo p nG H ^CO 5 ‘3 .JD J3

- aco

GCO

GCOV G¿4co -G tO

3 coco •4—» co ¿4CO3 JD ~a 3

-C *o ~d XJ

m —«(N O

(N m a\

vD o TJ-« ko

GCOE

_ro

roJ3

¡ S f e S 0 0 ^ ' rr> r r ) t ^ ' 0 ■S’ VO C<-> CN oo r>.t f i f i f ^ i n s o o i j o a M" m ^ o o cN_ _ ( N ( N ) (N )

Perpustakaan UI

PERP( p A K . |

3 L