Artikel Advokat Syariah Perempuan

4
Advokat Syariah Perempuan Menurut Pandangan Mutakalimin dan Fuqaha Oleh : Darmawan Peserteruan antara pro dan kontra pengunaan gelar serjanah syariah pada Prodi AHS, yang satu sisi tetap ingin mau mengunakan Serjanah Hukum Islam yang satu sisi tetap mengunakan aturan dari ulil amri yaitu serjanah syariah, alasan yang dikemukakan oleh yang kontra dengan serjanah syariah adalah mereka akan susah di terimah di lapangan perkerjaan karena tidak mengetahui apakah gelar serjana syariah itu sama dengan serjana hukum islam, maka hal ini perlu di luruskan akan paradigma pemikiran bahwa dalam peradilan baik itu kehakiman dan advokat tetap menerima fakultas yang bergelar serjanah syariah asal dia serjanah hukum atau serjanah dari fakultas syariah. Sudah barang tentu ini tidak ada pendikriminasian oleh pihak pembuat undang-undang dengan tidak mencantunkan fakultas syariah ikut dalam memberikan bantuan hukum baik itu peradilan umum, maupun peradilan agama. Oleh karena itu alumnus fakultas syariah jangan berkecil hati, karena perkembangan semakin baik membutuhkan advokat yang muslim terutama di pengadilan agama, namun lagi-lagi pengadilan agama saat ini telah banyak diisi oleh advokat yang tidak mengerti sama sekali akan istilah-istilah fiqih yang digunakan oleh peradilan agama, misal Nafkah Mut’ah, wali adhol, dll. Maka ini akan semakin menyulitkan advokat yang bukan berbasis syariah tersebut, oleh karena itu ini tantangan tersendiri bagi jurusan ahs untuk menjadi advokat diperadilan agama, dengan begitu secara menyeluruh akan menjadi baik serta berjalan apa yang diinginkan oleh pihak baik Hakim peradilan maupun pihak yang berperkara. Dalam aturan undang-undang No. 18 tahun 2003, menjelaskan bahwa dalam pasal 1, ayat 1 menjelaskan, advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan

Transcript of Artikel Advokat Syariah Perempuan

Page 1: Artikel Advokat Syariah Perempuan

Advokat Syariah Perempuan

Menurut Pandangan Mutakalimin dan Fuqaha

Oleh : Darmawan

Peserteruan antara pro dan kontra pengunaan gelar serjanah syariah pada Prodi AHS, yang satu sisi tetap ingin mau mengunakan Serjanah Hukum Islam yang satu sisi tetap mengunakan aturan dari ulil amri yaitu serjanah syariah, alasan yang dikemukakan oleh yang kontra dengan serjanah syariah adalah mereka akan susah di terimah di lapangan perkerjaan karena tidak mengetahui apakah gelar serjana syariah itu sama dengan serjana hukum islam, maka hal ini perlu di luruskan akan paradigma pemikiran bahwa dalam peradilan baik itu kehakiman dan advokat tetap menerima fakultas yang bergelar serjanah syariah asal dia serjanah hukum atau serjanah dari fakultas syariah. Sudah barang tentu ini tidak ada pendikriminasian oleh pihak pembuat undang-undang dengan tidak mencantunkan fakultas syariah ikut dalam memberikan bantuan hukum baik itu peradilan umum, maupun peradilan agama.

Oleh karena itu alumnus fakultas syariah jangan berkecil hati, karena perkembangan semakin baik membutuhkan advokat yang muslim terutama di pengadilan agama, namun lagi-lagi pengadilan agama saat ini telah banyak diisi oleh advokat yang tidak mengerti sama sekali akan istilah-istilah fiqih yang digunakan oleh peradilan agama, misal Nafkah Mut’ah, wali adhol, dll. Maka ini akan semakin menyulitkan advokat yang bukan berbasis syariah tersebut, oleh karena itu ini tantangan tersendiri bagi jurusan ahs untuk menjadi advokat diperadilan agama, dengan begitu secara menyeluruh akan menjadi baik serta berjalan apa yang diinginkan oleh pihak baik Hakim peradilan maupun pihak yang berperkara.

Dalam aturan undang-undang No. 18 tahun 2003, menjelaskan bahwa dalam pasal 1, ayat 1 menjelaskan, advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini. Sedangkan pasal 2 ayat 1, mengatakan bahwa yang dapat diangkat sebagai advokat adalah serjanah yang berlatar berlakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Jadi setelah melihat dengan jelas aturan Undang-Undang No.18 tahun 2003, yang menjadi sorotan adalah Pasal 2 ayat 1, memang secara keras Undang-Undang tersebut mengatakan berlatar pendidikan hukum tinggi, Oleh sebab itu dalam Undang-Undang ini pun juga tidak menjelaskan apakah harus Fakultas Hukum Umum atau sekedar fakultas Syariah, tapi menurut penulis UU ini hanya mempunyai makna bisa di tafsirkan yang barang tentu tafsiran dari Undang-Undang tersebut adalah Undang-Undang tidak mengatakan hanya Fakultas Hukum Umum namun secara gamblang Undang-Undang tersebut memberikan istilah berlatar Pendidikan Hukum, jadi syariah pun terutama Ahs dan Hesy pun belajar tentang pendidikan Hukum dan mempunyai suatu yang lebih dalam mata Kuliahnya, dalam Prodi Ahs dan Hesy belajar mengenai Hukum Peradilan agama maupun Undang-Undang peradilan umum lainnya. Dan Dalam Undang-Undang ini pun tak ada yang menjelaskan akan pendikriminasian dalam perbedaan antara advokat syariah dengan advokat umum, sebab mereka sama-sama berlatar pendidikan hukum itu saja. Jadi tidak ada perbedaan dalam undang-Undang tersebut.

Page 2: Artikel Advokat Syariah Perempuan

Advokat perempuan dan advokat laki-laki

Setelah melihat Undang-Undang Advokat diatas, yang tidak sedikit pun memberikan pendikriminasian antara fakultas syariah dengan fakultas Hukum umum, maka dalam tulisan ini penulis ingin menampilkan pendapat ulama akan membolehkan apakah advokat perempuan ikut mengambil bagian dalam pembelah hukum yang kita kenal dengan advokat yang telah dijelaskan diatas.

Dalam dunia peradilan advokat perempuan pada saat ini sudah banyak, karena pengaruh dari keserataran gender, sebab perempuan pun juga sama dengan posisinya dengan laki-laki yaitu ikut menyampaikan amanat dan menegakkan hukum di antara manusia yang berselisih dan juga bisa memberi batuan berupa pembelaan dalam hukum.

Disini penulis akan sedikit memberikan penjelasan tentang Advokat perempuan itu sendiri, Imam syafi’i menjelaskan bahwa perempuan tidak boleh menjadi hakim, kalau perempuan tidak boleh menjadi hakim, berarti advokat pun saya rasa imam syafi’i pun tidak membolehkan. adapun dasarnya adalah hadis dari Abu Bakrah “Tidak Berbahagiah orang yang menyerahkan urusan kepada wanita” (Bukhairi : 4163). Dalam penjelasan mengenai imam syafi’i mengenai peradilan bisa kita temukan dalam kitab Al-Umm dan Buku karangan Musthafa Diibu Bhigha yang menyusun Fiqih Menurut Mazhab Syafi’i hal. 387.

Oleh karena itu Kalangan Mutakilimin Melarang perempuan menjadi hakim bahkan barang tentu melarang akan menjadi pembela hukum advokat, Sedangkan kalangan Fuqaha membolehkan Hakim perempuan dengan dasar bahwa umar terdahulu mengangkat perempuan menjadi pengawas pasar. Dan dalam ayat yang mengatakan “Sampaikanlah amanat kepada yang berhak menerimanya (ayat ini tidak menjelaskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan), dalam menyelesaikan perkara di antara manusia”. dalam pandangan mazhab Fuqaha sendiri bisa kita temukan dalam bukunya Al-hidayah, Fathul Qodir, dan Alimayah.

Itu kalangan Mutakilimin dan Fuqaha namun kita juga menemukan pendapat yang agak berbeda dengan Imam Syafi’i, yaitu Farid Abdul Khaliq yang mengatakan hadis yang disampaikan oleh Imam Syafi’i itu adalah Hadis Ahad walaupun hadis itu Shohe sebab alasan dia hadis ini diriwayatkan satu riwayat dan mempunyai makna tidak jelas. Dan kita bisa menemukan pendapat farid ini dalam bukunya Fiqih Politik islam halaman 130.

Oleh sebab itu Baik Undang-Undang, Maupun kitab Fiqih Fuqaha dan Kotemporer farid Abdul Khaliq, secara jelas tidak mempersoalkan akan kedudukan perempuan dan memandang sama perempuan dengan laki-laki hal ini dasar al-Qur’an yang dijadikan hujja akan persamaan dalam memberi bantuan Hukum antara laki-laki dan perempuan itu adalah Qur’an Surat Ali Imran : 104.

Setelah melihat berbagai penjabaran diatas maka, penulis mengambil kesimpulan

1. Dalam undang-undang No.18 tahun 2003 tidak ada yang membedakan antara fakultas syariah dengan fakultas Hukum Umum asal dia belatar dan belajar pendidikan tinggi hukum.

Page 3: Artikel Advokat Syariah Perempuan

2. Alumunus sayariah mempunyai nilai lebih dari fakultas hukum lainnya dengan menguasai Hukum Islam juga Hukum Negara.

3. Adapun advokat perempuan dan advokat laki-laki semuanya sama dan tidak ada dasar yang tidak membolehkanya[].