Kode Etik Advokat

426
N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM) DISAHKAN PADA TANGGAL: 23 MEI 2002 DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH: PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA DKI JAKARTA 2002 KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA PEMBUKAAN Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya. Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya. Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya

Transcript of Kode Etik Advokat

Page 1: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

KODE ETIK ADVOKAT   INDONESIA

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM)

DISAHKAN PADA TANGGAL: 23 MEI 2002

DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH: PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA DKI JAKARTA 2002

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

PEMBUKAAN

Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.

Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan.

Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.

Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.

BAB I KETENTUAN UMUM

Page 2: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 1Yang dimaksud dengan:a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.

f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan kliennya.

BAB IIKEPRIBADIAN ADVOKAT

Pasal 2Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat.e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).

Page 3: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat.i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara(Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokatdan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atauoleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama iamenduduki jabatan tersebut.

BAB IIIHUBUNGAN DENGAN KLIEN

Pasal 4a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.

c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saatyang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkankerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidakmengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

BAB IVHUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT

Pasal 5a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak

Page 4: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.

BAB VTENTANG SEJAWAT ASING

Pasal 6

Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VICARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA

Pasal 7a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan “Sans Prejudice “.b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan.c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat “ad informandum” maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenaiperkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya.

Page 5: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

BAB VIIKETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK

Pasal 8a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.

d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut.

BAB VIIIPELAKSANAAN KODE ETIK

Pasal 9a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.

BAB IXDEWAN KEHORMATAN

Bagian PertamaKETENTUAN UMUM

Pasal 101. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:

Page 6: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:

a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;c. Pengadu/Teradu.

Bagian KeduaPENGADUAN

Pasal 111. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:

a. Klien.b. Teman sejawat Advokat.c. Pejabat Pemerintah.d. Anggota Masyarakat.e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.

Bagian Ketiga TATA CARA PENGADUAN

Pasal 121. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Page 7: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian KeempatPEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 131. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.2. Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.

3. Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.4. Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.5. Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.6. Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan.7. Pengadu dan yang teradu:

a. Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.b. Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.8. Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:

a. Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;b. Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.c. Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.9. Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir:

a. Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari dengan memanggil pihak yang tidak hadir secara patut.b. Apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar

Page 8: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

yang sama kecuali Dewan Kehormatan Cabang/Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum atau kepentingan organisasi.c. Apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan diteruskan tanpa hadirnya teradu.d. Dewan berwenang untuk memberikan keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.

Bagian Kelima SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH

Pasal 141. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.

2. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.3. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,4. Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu.5. Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

Bagian Keenam CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pasal 15(1) Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa:

a. Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;b. Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;c. Menolak pengaduan dari pengadu.(2) Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.(3) Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.(4) Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.(5) Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.

Page 9: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian KetujuhSANKSI-SANKSI

Pasal 161. Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:

a. Peringatan biasa.b. Peringatan keras.c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.2. Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:a. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.

b. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.c. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.d. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.

3. Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.4. Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.

Bagian Kedelapan PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN

Pasal 17Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:a. Anggota yang diadukan/teradu;b. Pengadu;c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi;d. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;e. Dewan Kehormatan Pusat;f. Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesembilan PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT

Pasal 181. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.2. Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus

Page 10: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.3. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.4. Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.5. Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.

6. Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.7. Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.8. Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.9. Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.10. Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.11. Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.12. Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.13. Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian KesepuluhKEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN

Pasal 191. Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri.2. Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.3. Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.4. Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:

Page 11: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;b. Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan;d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan;e. Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;f. Instansi-instansi yang dianggap perlu.5. Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.

Bagian Kesebelas

KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN

Pasal 20Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi.

BAB XKODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN

Pasal 21Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.

BAB XI ATURAN PERALIHAN

Pasal 221. Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.2. Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.3. Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.4. Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.

Pasal 23Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.

Page 12: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

BAB XXII PENUTUP

Pasal 24Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 23 Mei 2002 Oleh :1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)

Ttd. Ttd.

H. Sudjono, S.H. Otto Hasibuan, S.H. MM.Ketua Umum Sekretaris Jenderal2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)

Ttd. Ttd.

Denny Kailimang, S.H. Teddy Soemantry, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

Ttd. Ttd.

H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)

Ttd. Ttd.

Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.Sekretaris/Caretaker Ketua Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL

Ttd.

Ttd.

Soemarjono S., S.H. Ketua UmumHafzan Taher, S.H. Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)

Ttd. Ttd.

Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)

Page 13: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ttd. Ttd.H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

PERUBAHANI

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi :

BAB XXIIPENUTUP

Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002.

Ditanda-tangani di: Jakarta Pada tanggal: 1 Oktober 2002 Oleh:

KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA:

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)

Ttd.

Ttd.

 

H. Sudjono, S.H.

Otto Hasibuan, S.H. MM.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)

Ttd.

Ttd.

 

Denny Kailimang, S.H.

Page 14: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Teddy Soemantry, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

Ttd.

Ttd.

H. Indra Sahnun Lubis, S.H. E. Suherman Kartadinata, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)

Ttd. Ttd.

Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.Sekretaris/Caretaker Ketua Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL

Ttd. Ttd.

Soemarjono S., S.H. Hafzan Taher, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)

Ttd. Ttd.

Trimedya Panjaitan, S.H. Sugeng T. Santoso, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)

Ttd. Ttd.H. A. Z. Arifien Syafe’i, S.H. Suhardi Somomoeljono, S.H.Ketua Umum Sekretaris Jenderal

 

Page 15: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN   ORANG

16 Nov

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007

TENTANG

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1. bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas;

2. bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia;

3. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;

4. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang;

5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

 

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

Page 16: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

 

2. Undang-Undang …

 

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 4235);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan:   UNDANG-UNDANG  TENTANG  PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

 

 

 

2. Tindak …

 

Page 17: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

1. Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.

2. Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

3. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

5. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

6. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.

7. Eksploitasi Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.

8. Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.

 

1. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.

2. Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.

 

 

 

12. Ancaman …

 

1. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.

2. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

3. Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Page 18: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

4. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.

BAB II

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Pasal 2

(1)       Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(2)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat

(1).

 

Pasal 3

 

Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 4

 

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 5

Page 19: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

 

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 6

 

Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

 

Pasal 7

(1)       Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)       Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus

juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

milyar rupiah).

Pasal 8

(1)     Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)     Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

(3)     Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.

Page 20: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 9

 

Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).

 

Pasal 10

 

Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 11

 

Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 12

 

Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

Pasal 13

(1)       Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

(2)       Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Page 21: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

 

Pasal 14

 

Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Pasal 15

(1)     Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

(2)     Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

 

1. pencabutan izin usaha;2. perampasan kekayaan hasil tindak pidana;3. pencabutan status badan hukum;4. pemecatan pengurus; dan/atau

1. pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Pasal 16

 

Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).

Pasal 17

 

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

 

Pasal 18

 

Page 22: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.

BAB III

TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 19

Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 20

 

Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 21

 

(1) Setiap orang yang melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

(2) Jika …

 

(2)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(3)       Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Page 23: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 22

 

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 23

 

Setiap orang yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses peradilan pidana dengan:

1. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku;

2. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku;3. menyembunyikan pelaku; atau4. menyembunyikan informasi keberadaan pelaku,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

 

Pasal 24

 

Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Pasal 25

 

Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Page 24: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 26

 

Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 27

 

Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.

BAB IV

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN

DI SIDANG PENGADILAN Pasal 28

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 29

 

Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

1. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada:

 

1)     tulisan, suara, atau gambar;

2)     peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau

3)     huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Page 25: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 30

 

Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.

Pasal 31

(1)       Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.

(2)       Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

 

Pasal 32

 

Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 33

(1)      Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

(2)      Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.

Pasal 34

 

Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak jauh melalui alat komunikasi audio visual.

Pasal 35

 

Page 26: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau pendamping lainnya yang dibutuhkan.

Pasal 36

 

(1) Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.

(2) Informasi …

 

(2) Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.

Pasal 37

(1)         Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.

(2)         Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa untuk keluar ruang sidang.

(3)         Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang sidang pengadilan.

Pasal 38

 

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.

Pasal 39

(1)        Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup.

(2)        Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua asuh, advokat, atau pendamping lainnya.

(3)        Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.

 

Page 27: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 40

(1)         Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak, atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.

(2)         Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.

Pasal 41

(1)         Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.

(2)         Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.

Pasal 42

 

Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya.

BAB V

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Pasal 43

 

Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 44

(1)        Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas.

(2)        Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila keluarga saksi dan/atau korban mendapat ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan keterangan saksi dan/atau korban.

Page 28: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 45

(1)      Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 46

(1)      Untuk melindungi saksi dan/atau korban, pada setiap kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.

(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 47

 

Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

 

Pasal 48

(1)        Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

(2)        Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:

 

1. kehilangan kekayaan atau penghasilan;2. penderitaan;

1. biaya   untuk   tindakan   perawatan   medis dan/atau psikologis; dan/atau2. kerugian   lain   yang   diderita   korban   sebagai akibat perdagangan orang.

 

(3)     Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam

amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang.

Page 29: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(4)     Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.

 

(5)         Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.

(6)         Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(7)         Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Pasal 49

(1)         Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.

(2)         Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

(3)         Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

 

Pasal 50

(1)         Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.

(2)         Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.

(3)         Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.

(4)         Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 51

Page 30: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1)      Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.

(2)      Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(3)      Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.

Pasal 52

 

(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.

(2) Untuk …

 

(2)         Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.

(3)         Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat pula membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.

Pasal 53

 

Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan.

Pasal 54

(1)         Dalam hal korban berada di luar negeri memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke Indonesia atas biaya negara.

Page 31: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2)         Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia.

(3)         Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum internasional, atau kebiasaan internasional.

 

Pasal 55

 

Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.

BAB VI

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN

Pasal 56

 

Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 57

(1)        Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

(2)        Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.

Pasal 58

(1)         Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.

(2)         Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/ akademisi.

 

Page 32: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Pemerintah …

 

(3)         Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.

(4)         Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas:

 

1. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;

2. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja

sama;

1. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;

2. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta3. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.

 

(5)      Gugus tugas pusat dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat

setingkat menteri yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Presiden.

(6)      Guna mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang diperlukan.

(7)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VII

KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN

PERAN SERTA MASYARAKAT

 

Bagian Kesatu Kerja Sama Internasional

Pasal 59

Page 33: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

 

(1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral.

(2) Kerja sama …

 

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat

Pasal 60

(1)         Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.

(2)         Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 61

 

Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah wajib membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.

Pasal 62

 

Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum.

Pasal 63

 

Page 34: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

 

Pasal 64

 

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya.

 

BAB IX KETENTUAN PENUTUP

 

Pasal 65

 

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan Pasal 324 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia lI Nomor 9) jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 66

 

Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.

Page 35: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

 

Pasal 67

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 April 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

HAMID AWALUDIN

 

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 58

 

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007

 

TENTANG

 

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

I. UMUM

 

Page 36: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.

 

Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

 

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

 

Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya akan menderita baik secara fisik maupun psikis.

 

 

Perbudakan …

 

Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.

 

Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan

Page 37: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara.

 

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.

 

Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.

Pencegahan …

 

Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum

Page 38: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 3

Ketentuan ini dimaksudkan bahwa wilayah negara Republik Indonesia adalah sebagai negara tujuan atau transit.

Pasal 4

Cukup jelas.

 

Pasal 6

Yang dimaksud dengan frasa “pengiriman anak ke dalam negeri” dalam ketentuan ini adalah pengiriman anak antardaerah dalam wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “luka berat” dalam ketentuan ini adalah:

1. jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut;

2. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian;

3. kehilangan salah satu pancaindera;4. mendapat cacat berat;5. menderita sakit lumpuh;

Page 39: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

1. mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut; atau

2. gugur atau matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam ketentuan ini adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang.

Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kekuasaan” dalam ketentuan ini adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Page 40: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus, dan/atau pelarangan pengurus tersebut mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama” dalam ketentuan ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kelompok yang terorganisasi” adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung.

Pasal 17

Cukup jelas.

 

Pasal 18

Yang dimaksud dengan “dipaksa” dalam ketentuan ini adalah suatu keadaan di mana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

Pasal 19

Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah.

Yang dimaksud dengan “dokumen lain” dalam ketentuan ini meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.

Pasal 20

Cukup jelas.

Page 41: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “petugas di persidangan” adalah hakim, penuntut umum, panitera, pendamping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam persidangan tindak pidana perdagangan orang.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ketentuan ini berlaku juga bagi pemberitahuan identitas korban atau saksi kepada media massa.

Pasal 25

Cukup jelas.

 

Pasal 27

Dalam ketentuan ini, korban tetap memiliki hak tagih atas utang atau perjanjian jika pelaku memiliki kewajiban atas utang atau perjanjian lainnya terhadap korban.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan “data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik” dalam

Page 42: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

ketentuan ini misalnya: data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik lainnya, atau catatan lainnya seperti:

1. catatan rekening bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;

2. catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau

3. dokumen, pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Yang dimaksud dengan “penyedia jasa keuangan” antara lain, bank, perusahaan efek, reksa dana, kustodian, dan pedagang valuta asing.

Pasal 33

Cukup jelas.

 

Pasal 35

Yang dimaksud dengan “pendamping lainnya” antara lain psikolog, psikiater, ahli kesehatan, rohaniwan, dan anggota keluarga.

Pasal 36

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan informasi tentang  perkembangan   kasus  yang  melibatkan   dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “informasi tentang perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta putusan pengadilan.

Pasal 37

Page 43: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Yang dimaksud “perekaman” dalam ayat ini dapat dilakukan dengan alat rekam audio, dan/atau audio visual.

Ayat (2)

Yang dimaksud “pejabat yang berwenang” adalah penyidik atau penuntut umum.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ketentuan ini dimaksudkan untuk:

a. memungkinkan bahwa terdakwa yang melarikan diri mengetahui putusan tersebut; atau

 

 

b. memberikan …

 

b. memberikan tambahan hukuman kepada terdakwa berupa “pencideraan nama baiknya” atas perilaku terdakwa yang tidak kooperatif dengan proses hukum.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Page 44: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Ayat (1)

Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kerugian lain” dalam ketentuan ini misalnya:

1. kehilangan harta milik;2. biaya transportasi dasar;

1. biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; atau2. kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Dalam ketentuan ini, penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi.

Ayat (6)

Page 45: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Restitusi dalam ketentuan ini merupakan pembayaran riil (faktual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi kesehatan” dalam ketentuan ini

adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis.

Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” dalam ketentuan ini

adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan

pengembalian   keberfungsian   sosial   agar   dapat melaksanakan

perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam

masyarakat.

Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” dalam ketentuan ini adalah penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak atas “pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh korban atau kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada kepolisian.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan masalah-masalah sosial, dan dapat

Page 46: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dilaksanakan secara bersama-sama antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Dalam ketentuan ini, pembentukan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dengan memperhatikan asas prioritas. Dalam hal daerah telah mempunyai rumah perlindungan sosial atau pusat trauma, maka pemanfaatan rumah perlindungan sosial atau pusat trauma perlu dioptimalkan sesuai dengan Undang-Undang ini.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perwakilannya di luar negeri” dalam ketentuan ini adalah kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya yang sesuai peraturan perundang-undangan menjalankan mandat Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum di luar negeri.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 55

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lain” dalam ketentuan ini mengacu pula pada undang-undang yang mengatur perlindungan saksi dan/atau korban.

 

Page 47: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam ketentuan ini adalah instansi yang menjalankan urusan antara lain, di bidang pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan, hukum dan hak asasi manusia, komunikasi dan informasi.

Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” dalam ketentuan ini meliputi provinsi dan kabupaten/kota.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penanganan” meliputi antara lain, kegiatan pemantauan, penguatan, dan peningkatan kemampuan penegak hukum dan para pemangku kepentingan lain.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pemerintah Republik Indonesia” dalam ketentuan ini adalah pejabat yang oleh Presiden diberikan kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bantuan timbal balik dalam masalah pidana” dalam ketentuan ini misalnya:

1. pengambilan alat/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang;2. pemberian dokumen resmi dan catatan hukum lain yang terkait;3. pengidentifikasian orang dan lokasi;

1. pelaksanaan permintaan untuk penyelidikan dan penyitaan dan pemindahan barang bukti berupa dokumen dan barang;

2. upaya pemindahan hasil kejahatan; 1. upaya persetujuan dari orang yang bersedia memberikan kesaksian

atau membantu penyidikan oleh pihak peminta dan jika orang itu berada dalam tahanan mengatur pemindahan sementara ke pihak peminta;

2. penyampaian dokumen;

Page 48: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

1. penilaian ahli dan pemberitahuan hasil dari proses acara pidana; dan

 

i.   bantuan lain sesuai dengan tujuan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” dalam ketentuan ini dapat berupa perlindungan atas:

1. keamanan pribadi;2. kerahasiaan identitas diri; atau

1. penuntutan hukum sebagai akibat melaporkan secara bertanggung jawab tindak pidana perdagangan orang.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4720

  

Page 49: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN   PERMUKIMAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANGPERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif;b. bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia;c. bahwa pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

- 2 -d. bahwa pertumbuhan dan pembangunan wilayah yang kurang memperhatikan keseimbangan bagi kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan kesulitan masyarakat untuk memperoleh rumah yang layak dan terjangkau;e. bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur sehingga perlu diganti;f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 33 ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAdan

Page 50: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASANPERMUKIMAN.

BAB I .

- 3 -

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.2. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.3. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.4. Lingkungan hunian adalah bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman.5. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.

6. Penyelenggaraan …

- 4 -6. Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian, termasuk di dalamnya pengembangan kelembagaan, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.7. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.8. Rumah komersial adalah rumah yang diselenggarakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.9. Rumah swadaya adalah rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat.10. Rumah umum adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.11. Rumah khusus adalah rumah yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus.12. Rumah Negara adalah rumah yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.

Page 51: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

13. Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.14. Perumahan kumuh adalah perumahan yang mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian.

- 5 -15. Kawasan siap bangun yang selanjutnya disebut Kasiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang.16. Lingkungan siap bangun yang selanjutnya disebut Lisiba adalah sebidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umumnya telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas dan merupakan bagian dari kawasan siap bangun sesuai dengan rencana rinci tata ruang.17. Kaveling tanah matang adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan untuk rumah sesuai dengan persyaratan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah, rencana rinci tata ruang, serta rencana tata bangunan dan lingkungan.18. Konsolidasi tanah adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat.19. Pendanaan adalah penyediaan sumber daya keuangan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber dana lain yang dibelanjakan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20. Pembiayaan .

- 6 -20. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau setiap pengeluaran yang akan diterima kembali untuk kepentingan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik yang berasal dari dana masyarakat, tabungan perumahan, maupun sumber dana lainnya.21. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman.22. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.23. Utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian.24. Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.25. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.26. Badan hukum adalah badan hukum yang didirikan oleh warga negara Indonesia yang kegiatannya di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.27. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

- 7 -28. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur

Page 52: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

penyelenggara pemerintahan daerah.29. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.

BAB IIASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan dengan berasaskan:a. kesejahteraan;b. keadilan dan pemerataan;c. kenasionalan;d. keefisienan dan kemanfaatan;e. keterjangkauan dan kemudahan;f. kemandirian dan kebersamaan;g. kemitraan;h. keserasian dan keseimbangan;i. keterpaduan;j. kesehatan;k. kelestarian dan keberlanjutan; danl. keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan.

Pasal 3

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk:a. memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

b. mendukung .

- 8 -b. mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagiMBR;c. meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan;d. memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;e. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya; danf. menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan.

Pasal 4

Ruang lingkup penyelenggaraan perumahan dan permukiman meliputi:a. pembinaan;b. tugas dan wewenang;

Page 53: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. penyelenggaraan perumahan;d. penyelenggaraan kawasan permukiman;e. pemeliharaan dan perbaikan;f. pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh;g. penyediaan tanah;h. pendanaan dan pembiayaan;i. hak dan kewajiban; danj. peran masyarakat.

kawasan

terhadap

- 9 -

BAB IIIPEMBINAAN

Pasal 5(1) Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:

a. Menteri pada tingkat nasional;b. gubernur pada tingkat provinsi; danc. bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota.

Pasal 6(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi:

a. perencanaan;b. pengaturan;c. pengendalian; dand. pengawasan.(2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan koordinasi lintas sektoral, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan, baik vertikal maupun horizontal.

Pasal 7

(1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a merupakan satu kesatuan yang utuh dari rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

(2) Perencanaan .

- 10 -(2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.(3) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun pada tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota yang dimuat dan ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka

Page 54: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana tahunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(4) Perencanaan pada tingkat nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi.(5) Perencanaan pada tingkat provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.

Pasal 8

Pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b meliputi:a. penyediaan tanah;b. pembangunan;c. pemanfaatan;d. pemeliharaan; dane. pendanaan dan pembiayaan.

Pasal 9

Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi pengendalian:

- 11 -a. rumah;b. perumahan;c. permukiman;d. lingkungan hunian; dane. kawasan permukiman.

Pasal 10

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d meliputi pemantauan, evaluasi, dan koreksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV TUGAS DAN WEWENANG

Bagian Kesatu Umum

Pasal 12(1) Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman mempunyai tugas dan wewenang.(2) Tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

Bagian Kedua .

Page 55: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

- 12 -

Bagian Kedua Tugas

Paragraf 1 Pemerintah

Pasal 13

Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional di bidang perumahan dan kawasan permukiman;b. merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;c. merumuskan dan menetapkan kebijakan nasional tentang penyediaan Kasiba dan Lisiba;d. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional di bidang perumahan dan kawasan permukiman;e. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan nasional penyediaan rumah dan pengembangan lingkungan hunian dan kawasan permukiman;f. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR;g. memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR;h. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pada tingkat nasional;i. melakukan dan mendorong penelitian danpengembangan penyelenggaraan perumahan dankawasan permukiman;

j. melakukan .

- 13 -

j. melakukan sertifikasi, kualifikasi, klasifikasi, danregistrasi keahlian kepada orang atau badan yangmenyelenggarakan pembangunan perumahan dankawasan permukiman; dank. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Paragraf 2 Pemerintah Provinsi

Pasal 14

Pemerintah provinsi dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:a. merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi pada tingkat provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional;b. merumuskan dan menetapkan kebijakan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional;c. merumuskan dan menetapkan kebijakan penyediaan Kasiba dan Lisiba lintas kabupaten/kota;

Page 56: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

d. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional pada tingkat provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;e. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi pelaksanaan kebijakan provinsi penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman;f. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman lintas kabupaten / kota;

g. memfasilitasi …

- 14 -g. memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;h. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR;i. memfasilitasi penyediaan perumahan dan kawasanpermukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR; danj. memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pada tingkat provinsi.

Paragraf 3 Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 15

Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan mempunyai tugas:a. menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi;b. menyusun dan melaksanakan kebijakan daerah dengan berpedoman pada strategi nasional dan provinsi tentang pendayagunaan dan pemanfaatan hasil rekayasa teknologi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;c. menyusun rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;d. menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman;

- 15 -e. melaksanakan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan;f. melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;g. melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota;h. melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;i. melaksanakan peningkatan kualitas perumahan danpermukiman;j. melaksanakan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional;k. melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan

Page 57: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

permukiman;l. mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;m. mengalokasikan dana dan/atau biaya pembangunan untuk mendukung terwujudnya perumahan bagi MBR;n. memfasilitasi penyediaan perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama bagi MBR;o. menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba; danp. memberikan pendampingan bagi orang perseorangan yang melakukan pembangunan rumah swadaya.

- 16 -

Bagian Ketiga Wewenang

Paragraf 1 Pemerintah

Pasal 16

Pemerintah dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:a. menyusun dan menetapkan norma, standar, pedoman, dan kriteria rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang layak, sehat, dan aman;b. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman;c. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman;d. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional;e. melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan pelindungan hukum dalam bermukim;f. mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;g. mengoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman;h. mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat nasional;

i. mengendalikan .

- 17 -

i. mengendalikan pelaksanaan kebijakan dan strategi di bidang perumahan dan kawasan permukiman;j. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh;k. menetapkan kebijakan dan strategi nasional dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;l. memfasilitasi pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman; danm. memfasilitasi kerja sama tingkat nasional dan

Page 58: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

internasional antara Pemerintah dan badan hukumdalam penyelenggaraan perumahan dan kawasanpermukiman.

Paragraf 2 Pemerintah Provinsi

Pasal 17

Pemerintah provinsi dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:a. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;b. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;c. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;d. melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi dalam rangka mewujudkan jaminan dan kepastian hukum dan pelindungan hukum dalam bermukim;

e. mengoordinasikan …

- 18 -e. mengoordinasikan pemanfaatan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta pemanfaatan industri bahan bangunan yang mengutamakan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal;f. mengoordinasikan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;g. mengevaluasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat provinsi;h. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat provinsi;i. mengoordinasikan pencadangan atau penyediaan tanahuntuk pembangunan perumahan dan permukiman bagiMBR pada tingkat provinsi;j. menetapkan kebijakan dan strategi daerah provinsi dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dengan berpedoman pada kebijakan nasional; dank. memfasilitasi kerja sama pada tingkat provinsi antara pemerintah provinsi dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

Paragraf 3 Pemerintah Kabupaten/Kota

Pasal 18

Pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan pembinaan mempunyai wewenang:a. menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;b. menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota bersama DPRD;

Page 59: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. memberdayakan .

- 19 -c. memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;d. melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota;e. mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman bagi MBR;f. menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada tingkat kabupaten/kota;g. memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;h. menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota; dani. memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahankumuh dan permukiman kumuh pada tingkatkabupaten/kota.

BAB VPENYELENGGARAAN PERUMAHAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 19

(1) Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

(2) Penyelenggaraan .

- 20 -

(2) Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.

Pasal 20(1) Penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 meliputi:

a. perencanaan perumahan;b. pembangunan perumahan;c. pemanfaatan perumahan; dand. pengendalian perumahan.(2) Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah atau perumahan beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum.(3) Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibedakan menurut jenis dan bentuknya.

Page 60: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian Kedua Jenis dan Bentuk Rumah

Pasal 21

(1) Jenis rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan berdasarkan pelaku pembangunan dan penghunian yang meliputi:a. rumah komersial;b. rumah umum;c. rumah swadaya;

d. rumah …

- 21 -d. rumah khusus; dane. rumah negara.

(2) Rumah komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.(3) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.(4) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok.(5) Rumah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah untuk kebutuhan khusus.(6) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.(7) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.(8) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Pasal 22(1) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan berdasarkan hubungan atau keterikatan antarbangunan.(2) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. rumah tunggal;b. rumah deret; dan

- 22 -

c. rumah susun.

(3) Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36 (tiga puluh enam) meter persegi.

Bagian Ketiga Perencanaan Perumahan

Paragraf 1 Umum

Page 61: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 23(1) Perencanaan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah.(2) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. perencanaan dan perancangan rumah; danb. perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.(3) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari perencanaan permukiman.(4) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah.

Paragraf 2 .

- 23 -

Paragraf 2 Perencanaan dan Perancangan Rumah

Pasal 24Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan untuk:a. menciptakan rumah yang layak huni;b. mendukung upaya pemenuhan kebutuhan rumah oleh masyarakat dan pemerintah; danc. meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang terstruktur.

Pasal 25Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki keahlian di bidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26(1) Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi persyaratan teknis, administratif, tata ruang, dan ekologis.(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat bagi diterbitkannya izin mendirikan bangunan.(3) Perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari perencanaan perumahan dan/atau permukiman.

Pasal 27 .

- 24 -

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3Perencanaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum

Page 62: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 28(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan meliputi:

a. rencana penyediaan kaveling tanah untuk perumahan sebagai bagian dari permukiman; danb. rencana kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.(2) Rencana penyediaan kaveling tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan sebagai landasan perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum.(3) Rencana penyediaan kaveling tanah dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah bagi kaveling siap bangun sesuai dengan rencana tata bangunan dan lingkungan.

Pasal 29

(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 harus memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan ekologis.

(2) Perencanaan …

- 25 -

(2) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah memenuhi persyaratan wajib mendapat pengesahan dari pemerintah daerah.

Pasal 30(1) Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dapat dilakukan oleh setiap orang.(2) Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki keahlian di bidang perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Pembangunan Perumahan

Paragraf 1 Umum

Pasal 32

(1) Pembangunan perumahan meliputi:a. pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan / ataub. peningkatan kualitas perumahan.

(2) Pembangunan .

- 26 -(2) Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan yang

Page 63: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

mengutamakan pemanfaatan sumber daya dalam negeri dan kearifan lokal yang aman bagi kesehatan.(3) Industri bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia.

Pasal 33(1) Pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR.(2) Pemerintah daerah berwenang mencabut izin pembangunan perumahan terhadap badan hukum yang tidak memenuhi kewajibannya.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kemudahan perizinan dan tata cara pencabutan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34(1) Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.(2) Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan.

- 27 -(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk badan hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum.(4) Dalam hal pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian berimbang.

Pasal 35(1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.(2) Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 36(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah kabupaten/kota.(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan daerah.(4) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.

Pasal 37 .

- 28 -

Pasal 37

Page 64: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian berimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2 Pembangunan Rumah

Pasal 38(1) Pembangunan rumah meliputi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun.(2) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan berdasarkan tipologi, ekologi, budaya, dinamika ekonomi pada tiap daerah, serta mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan.(3) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh setiap orang, Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah.(4) Pembangunan rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Pasal 39(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara.(2) Pembangunan rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

- 29 -

(3) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi barang milik negara/daerah dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40(1) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menugasi dan/atau membentuk lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab:

a. membangun rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara;b. menyediakan tanah bagi perumahan; danc. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian.

Pasal 41(1) Pembangunan rumah negara dilakukan untuk mewujudkan ketertiban penyediaan, penghunian, pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas rumah yang dimiliki negara.(2) Pembangunan rumah negara diselenggarakan berdasarkan pada tipe dan kelas bangunan serta pangkat dan golongan pegawai negeri di atas tanah yang sudah jelas status haknya.

- 30 -

Page 65: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, penyediaan, penghunian, pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas rumah yang dimiliki negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status pemilikan tanah;b. hal yang diperjanjikan;c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dane. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43

(1) Pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat dilakukan di atas tanah:a. hak milik;

- 31 -b. hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan; atauc. hak pakai di atas tanah negara.

(2) Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah.(3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebani hak tanggungan.(4) Kredit atau pembiayaan rumah umum tidak harus dibebani hak tanggungan.

Pasal 44(1) Pembangunan rumah tunggal, rumah deret, rumah susun, dan/atau satuan rumah susun dapat dibebankan jaminan utang sebagai pelunasan kredit atau pembiayaan.(2) Pelunasan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.

Pasal 45

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli, sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).

Pasal 46

Page 66: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ketentuan mengenai rumah susun diatur tersendiri dengan undang-undang.

Paragraf 3 .

- 32 -Paragraf 3Pembangunan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum

Pasal 47(1) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.(2) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum wajib dilakukan sesuai dengan rencana, rancangan, dan perizinan.(3) Pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus memenuhi persyaratan:

a. kesesuaian antara kapasitas pelayanan dan jumlah rumah;b. keterpaduan antara prasarana, sarana, dan utilitas umum dan lingkungan hunian; danc. ketentuan teknis pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.(4) Prasarana, sarana, dan utilitas umum yang telah selesai dibangun oleh setiap orang harus diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima Pemanfaatan Perumahan

Paragraf 1 Umum

Pasal 48

(1) Pemanfaatan perumahan digunakan sebagai fungsi hunian.

(2) Pemanfaatan .

- 33 -

(2) Pemanfaatan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan hunian meliputi:a. pemanfaatan rumah;b. pemanfaatan prasarana dan sarana perumahan; danc. pelestarian rumah, perumahan, serta prasarana dan sarana perumahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2 Pemanfaatan Rumah

Pasal 49(1) Pemanfaatan rumah dapat digunakan sebagai kegiatan usaha secara terbatas tanpa membahayakan dan tidak mengganggu fungsi hunian.(2) Pemanfaatan rumah selain digunakan untuk fungsi hunian harus memastikan terpeliharanya perumahan dan lingkungan hunian.(3) Ketentuan mengenai pemanfaatan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan daerah.

Page 67: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Paragraf 3 Penghunian

Pasal 50(1) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal atau menghuni rumah.(2) Hak untuk menghuni rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. hak milik; ataub. sewa atau bukan dengan cara sewa.

- 34 -

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghunian dengan cara sewa menyewa dan cara bukan sewa menyewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 51(1) Penghunian rumah negara diperuntukan sebagai tempat tinggal atau hunian untuk menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.(2) Rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dihuni selama yang bersangkutan menjabat atau menjalankan tugas kedinasan.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghunian rumah negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 52(1) Orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai.(2) Ketentuan mengenai orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keenam Pengendalian Perumahan

Pasal 53(1) Pengendalian perumahan dimulai dari tahap: a. perencanaan;

b. pembangunan .

- 35 -b. pembangunan; danc. pemanfaatan.

(2) Pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam bentuk:

a. perizinan;b. penertiban; dan/atauc. penataan.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Page 68: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian Ketujuh Kemudahan Pembangunan dan Perolehan Rumah bagi MBR

Pasal 54(1) Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagiMBR.(2) Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan.(3) Kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:

a. subsidi perolehan rumah;b. stimulan rumah swadaya;

c. insentif .

- 36 -c. insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;d. perizinan;e. asuransi dan penjaminan;f. penyediaan tanah;g. sertifikasi tanah; dan/atauh. prasarana, sarana, dan utilitas umum.

(4) Pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dituangkan dalam akta perjanjian kredit atau pembiayaan untuk perolehan rumah bagi MBR.(5) Ketentuan mengenai kriteria MBR dan persyaratankemudahan perolehan rumah bagi MBR sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur denganPeraturan Menteri.

Pasal 55(1) Orang perseorangan yang memiliki rumah umum dengan kemudahan yang diberikan Pemerintah atau pemerintah daerah hanya dapat menyewakan dan / atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah kepada pihak lain, dalam hal:

a. pewarisan;b. penghunian setelah jangka waktu paling sedikit 5 (lima) tahun; atauc. pindah tempat tinggal karena tingkat sosial ekonomi yang lebih baik.(2) Dalam hal dilakukan pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, pengalihannya wajib dilaksanakan oleh lembaga yang ditunjuk atau dibentuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam bidang perumahan dan permukiman.

- 37 -(3) Jika pemilik meninggalkan rumah secara terus-menerus dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun tanpa memenuhi kewajiban berdasarkan perjanjian, Pemerintah atau pemerintah daerah berwenang mengambil alih kepemilikan rumah tersebut.(4) Rumah yang telah diambil alih oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana

Page 69: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dimaksud pada ayat (3) wajib didistribusikan kembali kepada MBR.(5) Ketentuan mengenai penunjukkan dan pembentukan lembaga oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIPENYELENGGARAAN KAWASAN PERMUKIMAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 56

(1) Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.

(2) Penyelenggaraan .

- 38 -(2) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim.

Pasal 57

Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung perikehidupan dan penghidupan di perkotaan dan di perdesaan.

Pasal 58(1) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan berkelanjutan.(2) Arahan pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. hubungan antarkawasan fungsional sebagai bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung;b. keterkaitan lingkungan hunian perkotaan dengan lingkungan hunian perdesaan;c. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan pengembangan kawasan perkotaand. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perdesaan dan pengembangan kawasan perdesaan;e. keserasian tata kehidupan manusia dengan lingkungan hidup;f. keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan setiap orang; dan

g. lembaga .

Page 70: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

- 39 -

g. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan kawasan permukiman.(3) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:

a. pengembangan yang telah ada;b. pembangunan baru; atauc. pembangunan kembali.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai arahan pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 59(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perkotaan;b. pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan; atauc. pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan.(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perkotaan;b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan;c. peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perkotaan;d. penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya;

e. pencegahan …

- 40 -e. pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; danf. pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak teratur.

(3) Penyelenggaraan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:a. penyediaan lokasi permukiman;b. penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; danc. penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 60(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan, pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan, pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana

Page 71: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah.(3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat membentuk atau menunjuk badan hukum.(4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(5) Khusus .

- 41 -

(5) Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh gubernur.

Pasal 61(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perdesaan;b. pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan; atauc. pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan.(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup :

a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perdesaan;c. peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perdesaan;d. penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya;e. peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan; danf. pengurangan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan.(3) Penyelenggaraan pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

- 42 -a. penyediaan lokasi permukiman;b. penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; danc. penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 62(1) Pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk memulihkan fungsi lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.(2) Pembangunan kembali dilakukan dengan cara:

a. rehabilitasi;b. rekonstruksi; atauc. peremajaan.

Page 72: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Pembangunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap melindungi masyarakat penghuni untuk dimukimkan kembali di lokasi yang sama sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 63Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan:a. perencanaan;b. pembangunan;c. pemanfaatan; dand. pengendalian.

Bagian Kedua …

- 43 -

Bagian Kedua Perencanaan Kawasan Permukiman

Pasal 64(1) Perencanaan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.(2) Perencanaan kawasan permukiman dimaksudkan untuk menghasilkan dokumen rencana kawasan permukiman sebagai pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan kawasan permukiman.(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk memenuhi kebutuhan lingkungan hunian dan digunakan untuk tempat kegiatan pendukung dalam jangka pendek, jangka menengah, danjangka panjang.(4) Perencanaan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang.(5) Dokumen rencana kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh bupati/walikota.

(6) Perencanaan kawasan permukiman harus mencakup:a. peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan;b. mitigasi bencana; danc. penyediaan atau peningkatan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

- 44 -

Pasal 65

Perencanaan kawasan permukiman terdiri atas perencanaan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan serta perencanaan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Pasal 66(1) Perencanaan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dilakukan melalui:

Page 73: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan;b. perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan; atauc. perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan.(2) Perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. penyusunan rencana peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perkotaan;b. penyusunan rencana peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan;c. penyusunan rencana peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perkotaan;d. penyusunan rencana pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dane. penyusunan rencana pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak teratur.

(3) Perencanaan .

- 45 -(3) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyusunan rencana penyediaan lokasi permukiman;b. penyusunan rencana penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; danc. penyusunan rencana lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.(4) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi perencanaan lingkungan hunian baru skala besar dengan Kasiba dan perencanaan lingkungan hunian baru bukan skala besar dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.(5) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didahului dengan penetapan lokasi pembangunan lingkungan hunian baru yang dapat diusulkan oleh badan hukum bidang perumahan dan permukiman atau pemerintah daerah.(6) Lokasi pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.(7) Penetapan lokasi pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan;

a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan;b. rencana penyediaan tanah; danc. analisis mengenai dampak lalu lintas dan lingkungan

- 46 -

Pasal 67(1) Perencanaan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dilakukan melalui:

Page 74: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. pengembangan lingkungan hunian perdesaan;b. pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan; atauc. pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan.(2) Perencanaan pengembangan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. penyusunan rencana peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan dengan memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;b. penyusunan rencana peningkatan pelayanan lingkungan hunian perdesaan;c. penyusunan rencana peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan hunian perdesaan;d. penyusunan rencana penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya; dane. penyusunan rencana peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan.(3) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyusunan rencana penyediaan lokasi permukiman;b. penyusunan rencana penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

c. penyusunan .

- 47 -

c. penyusunan rencana penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi;.

Pasal 68(1) Perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dan perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk memulihkan fungsi lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.(2) Perencanaan pembangunan kembali dilakukan dengan cara:

a. penyusunan rencana rehabilitasi;b. penyusunan rencana rekonstruksi; atauc. penyusunan rencana peremajaan.

Pasal 69(1) Perencanaan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 meliputi perencanaan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.(2) Perencanaan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 48 -

Pasal 70

Page 75: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan, pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan dan perdesaan, dan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.

Bagian Ketiga Pembangunan Kawasan Permukiman

Pasal 71(1) Pembangunan kawasan permukiman harus mematuhi rencana dan izin pembangunan lingkungan hunian dan kegiatan pendukung.(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 72

Pembangunan kawasan permukiman terdiri atas pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan serta pembangunan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan.

Pasal 73

(1) Pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilakukan melalui:a. pelaksanaan pengembangan lingkungan hunian;b. pelaksanaan pembangunan lingkungan hunian baru; atau

c. pelaksanaan .

- 49 -

c. pelaksanaan pembangunan kembali lingkungan hunian.

(2) Pelaksanaan pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:a. pembangunan permukiman;b. pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; danc. pembangunan lokasi pelayanan jasa pemerintahan dan pelayanan sosial.

Pasal 74(1) Pembangunan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 meliputi pembangunan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.(2) Pembangunan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 75

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam pelaksanaan pengembangan lingkungan hunian, pembangunan lingkungan hunian baru, dan pembangunan kembali lingkungan hunian.

Page 76: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian Keempat .

- 50 -

Bagian Keempat Pemanfaatan Kawasan Permukiman

Pasal 76

Pemanfaatan kawasan permukiman dilakukan untuk:a. menjamin kawasan permukiman sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah; danb. mewujudkan struktur ruang sesuai dengan perencanaan kawasan permukiman.

Pasal 77

Pemanfaatan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 terdiri atas pemanfaatan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan serta pemanfaatan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan.

Pasal 78(1) Pemanfaatan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dilakukan melalui:

a. pemanfaatan hasil pengembangan lingkungan hunian;b. pemanfaatan hasil pembangunan lingkungan hunian baru; atauc. pemanfaatan hasil pembangunan kembali lingkungan hunian.(2) Pemanfaatan hasil pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

a. tempat tinggal;b. prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

- 51 -

c. lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 79(1) Pemanfaatan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 meliputi pemanfaatan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.(2) Pemanfaatan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 80

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam pemanfaatan hasil pengembangan lingkungan hunian, pembangunan lingkungan hunian baru, dan pembangunan kembali lingkungan hunian di perkotaan atau perdesaan.

Bagian Kelima Pengendalian Kawasan Permukiman

Page 77: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Paragraf 1 Umum

Pasal 81(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melaksanakan pengendalian dalam penyelenggaraan kawasan permukiman.(2) Pengendalian kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:

a. menjamin .

- 52 -a. menjamin pelaksanaan pembangunan permukiman dan pemanfaatan permukiman sesuai dengan rencana kawasan permukiman;b. mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; danc. mencegah terjadinya tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan tidak teratur.

Pasal 82

(1) Pengendalian dalam penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dilakukan pada tahap:a. perencanaan;b. pembangunan; danc. pemanfaatan.

(2) Pengendalian kawasan permukiman dilakukan pada lingkungan hunian perkotaan dan lingkungan hunian perdesaan.(3) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan dilaksanakan pada:

a. pengembangan perkotaan; ataub. perkotaan baru.

(4) Pengendalian penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan dilaksanakan pada pengembangan perdesaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, sosial, dan/atau budaya perdesaan.

Paragraf 2 .

- 53 -

Paragraf 2Pengendalian Perencanaan Kawasan Permukiman

Pasal 83(1) Pengendalian pada tahap perencanaan dilakukan dengan:

a. mengawasi rencana penyediaan prasarana, sarana dan utilitas umum sesuai dengan standar pelayanan minimal; danb. memberikan batas zonasi lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung.

Page 78: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Pengendalian perencanaan kawasan permukiman dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Paragraf 3Pengendalian Pembangunan Kawasan Permukiman

Pasal 84(1) Pengendalian pada tahap pembangunan dilakukan dengan mengawasi pelaksanaan pembangunan pada kawasan permukiman.(2) Pengendalian dilakukan untuk menjaga kualitas kawasan permukiman.(3) Pengendalian pada tahap pembangunan yang dilakukan dengan mengawasi pelaksanaan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.(4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan pengamatan terhadap penyelenggaraan kawasan permukiman secara langsung, tidak langsung, dan/atau melalui laporan masyarakat.

(5) Evaluasi …

- 54 -(5) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan penilaian terhadap tingkat pencapaian penyelenggaraan kawasan permukiman secara terukur dan objektif.(6) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kegiatan penyampaian hasil evaluasi.(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan penyelenggaraan kawasan permukiman diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 4Pengendalian Pemanfaatan Kawasan Permukiman

Pasal 85(1) Pengendalian pada tahap pemanfaatan dilakukan dengan:

a. pemberian insentif;b. pengenaan disinsentif; danc. pengenaan sanksi.(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:

a. insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;b. pemberian kompensasi;c. subsidi silang;d. pembangunan serta pengadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan / ataue. kemudahan prosedur perizinan.(3) Pengenaan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:

a. pengenaan .

- 55 -a. pengenaan retribusi daerah;

Page 79: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

b. pembatasan penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;c. pengenaan kompensasi; dan/ataud. pengenaan sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.

(4) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dapat dilakukan oleh:

a. Pemerintah kepada pemerintah daerah;b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya;c. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada badan hukum; ataud. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah kepada masyarakat.(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif, pengenaan disinsentif, dan pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIIPEMELIHARAAN DAN PERBAIKAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 86

(1) Pemeliharaan dan perbaikan dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman yang dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perorangan.

(2) Pemeliharaan .

- 56 -(2) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman.(3) Pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.

Pasal 87

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan perbaikan prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.

Bagian Kedua Pemeliharaan

Pasal 88(1) Pemeliharaan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum dilakukan melalui perawatan dan pemeriksaan secara berkala.(2) Pemeliharaan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh setiap orang.

Pasal 89(1) Pemeliharaan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan, dan permukiman wajib dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau setiap orang.

Page 80: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Pemeliharaan sarana dan utilitas umum untuk lingkungan hunian wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

- 57 -

(3) Pemeliharaan prasarana untuk kawasan permukiman wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 90

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dan Pasal 89 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Perbaikan

Pasal 91

Perbaikan rumah dan prasarana, sarana, atau utilitas umum dilakukan melalui rehabilitasi atau pemugaran.

Pasal 92(1) Perbaikan rumah wajib dilakukan oleh setiap orang.(2) Perbaikan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan dan permukiman wajib dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau setiap orang.(3) Perbaikan sarana dan utilitas umum untuk lingkungan hunian wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.(4) Perbaikan prasarana untuk kawasan permukiman wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 93

Ketentuan lebih lanjut mengenai perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

- 58 -BAB VIIIPENCEGAHAN DAN PENINGKATAN KUALITAS TERHADAP PERUMAHAN KUMUH DAN PERMUKIMAN KUMUH

Bagian Kesatu Umum

Pasal 94(1) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh guna meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni dilakukan untuk mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru serta untuk menjaga dan meningkatkan kualitas dan fungsi perumahan dan permukiman.(2) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pada prinsip kepastian bermukim yang menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki tempat tinggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 81: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau setiap orang.

Bagian Kedua .

- 59 -

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 95(1) Pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru mencakup:

a. ketidakteraturan dan kepadatan bangunan yang tinggi;b. ketidaklengkapan prasarana, sarana, dan utilitas umum;c. penurunan kualitas rumah, perumahan, dan permukiman, serta prasarana, sarana dan utilitas umum; dand. pembangunan rumah, perumahan, dan permukiman yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. pengawasan dan pengendalian; danb. pemberdayaan masyarakat.(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan atas kesesuaian terhadap perizinan, standar teknis, dan kelaikan fungsi melalui pemeriksaan secara berkala sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(4) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan terhadap pemangku kepentingan bidang perumahan dan kawasan permukiman melalui pendampingan dan pelayanan informasi.

(5) Pencegahan …

- 60 -(5) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan / atau setiap orang.(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.Bagian Ketiga Peningkatan Kualitas

Paragraf 1 Umum

Pasal 96

Dalam upaya peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menetapkan kebijakan, strategi, serta pola-pola penanganan yang manusiawi, berbudaya, berkeadilan, dan ekonomis.

Pasal 97

Page 82: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 didahului dengan penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh dengan pola-pola penanganan:a. pemugaran;b. peremajaan; atauc. pemukiman kembali.

(2) Pola-pola .

- 61 -

(2) Pola-pola penanganan terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan melalui pengelolaan untuk mempertahankan tingkat kualitas perumahan dan permukiman.

Paragraf 2 Penetapan Lokasi

Pasal 98(1) Penetapan lokasi perumahan dan permukiman kumuh wajib memenuhi persyaratan:

a. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;b. kesesuaian dengan rencana tata bangunan dan lingkungan;c. kondisi dan kualitas prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan dan tidak membahayakan penghuni;d. tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan;e. kualitas bangunan; danf. kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.(2) Penetapan lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh wajib didahului proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah.

- 62 -

Paragraf 3 Pemugaran

Pasal 99

Pemugaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a dilakukan untuk perbaikan dan/atau pembangunan kembali, perumahan dan permukiman menjadi perumahan dan permukiman yang layak huni.

Paragraf 4 Peremajaan

Pasal 100(1) Peremajaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, permukiman, dan lingkungan hunian yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat sekitar.(2) Peremajaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan terlebih dahulu

Page 83: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat terdampak.(3) Kualitas rumah, perumahan, dan permukiman yang diremajakan harus diwujudkan secara lebih baik dari kondisi sebelumnya.(4) Peremajaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan melibatkan peran masyarakat.

Paragraf 5 .

- 63 -

Paragraf 5 Pemukiman Kembali

Pasal 101(1) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf c dilakukan untuk mewujudkan kondisi rumah, perumahan, dan permukiman yang lebih baik guna melindungi keselamatan dan keamanan penghuni dan masyarakat.(2) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memindahkan masyarakat terdampak dari lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rawan bencana serta dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

Pasal 102(1) Pemukiman kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 wajib dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota.(2) Lokasi yang akan ditentukan sebagai tempat untuk pemukiman kembali ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Paragraf 6 Pengelolaan

Pasal 103(1) Pengelolaan dilakukan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas perumahan dan permukiman secara berkelanjutan.(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat secara swadaya.

- 64 -

(3) Pengelolaan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi oleh pemerintah daerah.

Bagian Keempat Pengaturan Lebih Lanjut

Pasal 104

Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan lokasi, pemugaran, peremajaan, pemukiman kembali, dan pengelolaan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX PENYEDIAAN TANAH

Page 84: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 105(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab atas ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.(2) Ketersediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penetapannya di dalam rencana tata ruang wilayah merupakan tanggung jawab pemerintahan daerah.

Pasal 106

Penyediaan tanah untuk pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman dapat dilakukan melalui:a. pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai negara;b. konsolidasi tanah oleh pemilik tanah;

c. peralihan .

- 65 -c. peralihan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;d. pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;e. pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar; dan/atauf. pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 107(1) Tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a yang digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman.(2) Pemberian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada keputusan gubernur atau bupati/walikota tentang penetapan lokasi atau izin lokasi.(3) Dalam hal tanah yang langsung dikuasai negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaikan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan.(4) Dalam hal tidak ada kesepakatan tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyelesaiannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 66 -

Pasal 108(1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilakukan di atas tanah milik pemegang hak atas tanah dan/atau di atas tanah negara yang digarap oleh masyarakat.(2) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan:

a. antarpemegang hak atas tanah;b. antarpenggarap tanah negara; atauc. antara penggarap tanah negara dan pemegang hak atas tanah.(3) Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan apabila paling sedikit 60% (enam puluh persen)

Page 85: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi paling sedikit 60% (enam puluh persen) dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi menyatakan persetujuannya.(4) Kesepakatan paling sedikit 60% (enam puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mengurangi hak masyarakat sebesar 40% (empat puluh persen) untuk mendapatkan aksesibilitas.

Pasal 109(1) Konsolidasi tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf b dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret, atau rumah susun.(2) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh bupati / walikota.(3) Khusus untuk DKI Jakarta, penetapan lokasi konsolidasi tanah ditetapkan oleh gubernur.

- 67 -

(4) Lokasi konsolidasi tanah yang sudah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak memerlukan izin lokasi.

Pasal 110

Dalam pembangunan rumah umum dan rumah swadaya yang didirikan di atas tanah hasil konsolidasi, Pemerintah wajib memberikan kemudahan berupa:a. sertifikasi hak atas tanah;b. penetapan lokasi;c. desain konsolidasi; dand. pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

Pasal 111(1) Sertifikasi terhadap pemilik tanah hasil konsolidasi tidak dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.(2) Sertifikasi terhadap penggarap tanah negara hasil konsolidasi dikenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Pasal 112(1) Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan melalui kerja sama dengan badan hukum.(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara penggarap tanah negara dan/atau pemegang hak atas tanah dan badan hukum dengan prinsip kesetaraan yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.

Pasal 113

Ketentuan lebih lanjut mengenai konsolidasi tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

- 68 -

Pasal 114(1) Peralihan atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf c dilakukan setelah badan hukum memperoleh izin lokasi.(2) Peralihan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah ada kesepakatan bersama.(3) Pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di hadapan

Page 86: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

pejabat yang berwenang.(4) Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib didaftarkan pada kantor pertanahan kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 115(1) Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf d bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum dan/atau rumah khusus.(2) Pemanfaatan dan pemindahtanganan tanah barang milik negara atau milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 116 …

- 69 -

Pasal 116

(1) Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf e bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan penataan permukiman kumuh.

(2) Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 117

(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf f bagi pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan penataan permukiman kumuh.

(2) Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB X …

- 70 -

BAB XPENDANAAN DAN SISTEM PEMBIAYAAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 118(1) Pendanaan dan sistem pembiayaan dimaksudkan untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.

Page 87: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Kedua Pendanaan

Pasal 119

Sumber dana untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan berasal dari:a. anggaran pendapatan dan belanja negara;b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atauc. sumber dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 120

Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dimanfaatkan untuk mendukung:

a. penyelenggaraan .

- 71 -a. penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan/ataub. kemudahan dan/atau bantuan pembangunan dan perolehan rumah bagi MBR sesuai dengan standar pelayanan minimal.

Bagian Ketiga Sistem Pembiayaan

Paragraf 1 Umum

Pasal 121(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah harus melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.(2) Pengembangan sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. lembaga pembiayaan;b. pengerahan dan pemupukan dana;c. pemanfaatan sumber biaya; dand. kemudahan atau bantuan pembiayaan.(3) Sistem pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip konvensional atau prinsip syariah melalui:

a. pembiayaan primer perumahan; dan/ataub. pembiayaan sekunder perumahan.

Paragraf 2 .

- 72 -

Paragraf 2 Lembaga Pembiayaan

Page 88: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 122(1) Pemerintah atau pemerintah daerah dapat menugasi atau membentuk badan hukum pembiayaan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.(2) Badan hukum pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas menjamin ketersediaan dana murah jangka panjang untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.(3) Dalam hal pembangunan dan pemilikan rumah umum dan swadaya, badan hukum pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjamin:

a. ketersediaan dana murah jangka panjang;b. kemudahan dalam mendapatkan akses kredit atau pembiayaan; danc. keterjangkauan dalam membangun, memperbaiki, atau memiliki rumah.(4) Penugasan dan pembentukan badan hukum pembiayaan di bidang perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3 Pengerahan dan Pemupukan Dana

Pasal 123

(1) Pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (2) huruf b meliputi:a. dana masyarakat;

b. dana .

- 73 -b. dana tabungan perumahan termasuk hasil investasi atas kelebihan likuiditas; dan / atauc. dana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab mendorong pemberdayaan bank dalam pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman secara berkelanjutan.(3) Pemerintah dan pemerintah daerah mendorong pemberdayaan lembaga keuangan bukan bank dalam pengerahan dan pemupukan dana tabungan perumahan dan dana lainnya khusus untuk perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c bagi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengerahan dan pemupukan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 124

Ketentuan mengenai tabungan perumahan diatur tersendiri dengan undang-undang.

Paragraf 4 Pemanfaatan Sumber Biaya

Pasal 125Pemanfaatan sumber biaya digunakan untuk pembiayaan:a. konstruksi;

Page 89: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

b. perolehan rumah;c. pembangunan rumah, rumah umum, atau perbaikan rumah swadaya;

d. pemeliharaan …

- 74 -d. pemeliharaan dan perbaikan rumah;e. peningkatan kualitas perumahan dan kawasan permukiman; dan/atauf. kepentingan lain di bidang perumahan dan kawasan permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5 Kemudahan dan Bantuan Pembiayaan

Pasal 126(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan untuk pembangunan dan perolehan rumah umum dan rumah swadaya bagi MBR.(2) Dalam hal pemanfaatan sumber biaya yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah umum atau rumah swadaya, MBR selaku pemanfaat atau pengguna yang mendapatkan kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan wajib mengembalikan pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(3) Kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. skema pembiayaan;b. penjaminan atau asuransi; dan/atauc. dana murah jangka panjang.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan/atau bantuan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 6 .

- 75 -

Paragraf 6 Pembiayaan Primer

Pasal 127(1) Pembiayaan primer perumahan dilaksanakan oleh badan hukum.(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga keuangan sebagai penyalur kredit atau pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 7 Pembiayaan Sekunder

Pasal 128(1) Pembiayaan sekunder perumahan berfungsi memberikan fasilitas pembiayaan untuk meningkatkan kapasitas dan kesinambungan pembiayaan perolehan rumah.(2) Pembiayaan sekunder perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh lembaga keuangan bukan bank.(3) Lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan sekuritisasi aset pembiayaan perolehan rumah yang hasilnya sepenuhnya diperuntukkan

Page 90: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

keberlanjutan fasilitas pembiayaan perolehan rumah untuk MBR.(4) Sekuritisasi aset pembiayaan perolehan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui pasar modal.

BAB XI …

- 76 -

BAB XIHAK DAN KEWAJIBAN Pasal 129Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak:a. menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur;b. melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;c. memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;d. memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;e. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; danf. mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat.

Pasal 130

Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang wajib:a. menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kesehatan di perumahan dan kawasan permukiman;b. turut mencegah terjadinya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan dan membahayakan kepentingan orang lain dan/atau kepentingan umum;c. menjaga dan memelihara prasarana lingkungan, sarana lingkungan, dan utilitas umum yang berada di perumahan dan kawasan permukiman; dan

d. mengawasi .

- 77 -

d. mengawasi pemanfaatan dan berfungsinya prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan kawasan permukiman.

BAB XIIPERAN MASYARAKAT

Pasal 131(1) Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberikan masukan dalam:

a. penyusunan rencana pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;b. pelaksanaan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman;

Page 91: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman;d. pemeliharaan dan perbaikan perumahan dan kawasan permukiman; dan/ataue. pengendalian penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membentuk forum pengembangan perumahan dan kawasan permukiman.

Pasal 132(1) Forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) mempunyai fungsi dan tugas:a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;b. membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman;

c. meningkatkan .

- 78 -c. meningkatkan peran dan pengawasan masyarakat;d. memberikan masukan kepada Pemerintah; dan/ataue. melakukan peran arbitrase dan mediasi di bidang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

(2) Forum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari unsur:a. instansi pemerintah yang terkait dalam bidang perumahan dan kawasan permukiman;b. asosiasi perusahaan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman;c. asosiasi profesi penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman;d. asosiasi perusahaan barang dan jasa mitra usaha penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman;e. pakar di bidang perumahan dan kawasan permukiman; dan/atauf. lembaga swadaya masyarakat dan/atau yang mewakili konsumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

Pasal 133

Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan ayat (2), serta forum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (3) dan Pasal 132 diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XIII …

- 79 -

BAB XIIILARANGAN Pasal 134Setiap orang dilarang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.

Pasal 135

Setiap orang dilarang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain.

Page 92: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 136

Setiap orang dilarang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba.

Pasal 137

Setiap orang dilarang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya.

Pasal 138

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun dilarang melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebelum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.

Pasal 139 .

- 80 -

Pasal 139

Setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman.

Pasal 140

Setiap orang dilarang membangun, perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang.

Pasal 141

Setiap pejabat dilarang mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang.

Pasal 142

Setiap orang dilarang menolak atau menghalang-halangi kegiatan pemukiman kembali rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan masyarakat setempat.

Pasal 143

Setiap orang dilarang menginvestasikan dana dari pemupukan dana tabungan perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.

Pasal 144

Page 93: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Badan Hukum yang menyelenggarakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, dilarang mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum di luar fungsinya.

- 81 -

Pasal 145(1) Badan hukum yang belum menyelesaikan status hak atas tanah lingkungan hunian atau Lisiba, dilarang menjual satuan permukiman.(2) Orang perseorangan dilarang membangun Lisiba.

Pasal 146(1) Badan hukum yang membangun Lisiba dilarang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah.(2) Dalam hal pembangunan perumahan untuk MBR dengan kaveling tanah matang ukuran kecil, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan.

BAB XIV PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 147

Penyelesaian sengketa di bidang perumahan terlebih dahulu diupayakan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Pasal 148

(1) Dalam hal penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pihak yang dirugikan dapat menggugat melalui pengadilan yang berada di lingkungan pengadilan umum atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa.

(2) Penyelesaian .

- 82 -(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui arbitrase, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsilisiasi, dan/atau penilaian ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana.

Pasal 149

Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) atas pelanggaran dapat dilakukan oleh:a. orang perseorangan;b. badan hukum;c. masyarakat; dan/ataud. pemerintah dan/atau instansi terkait.

BAB XVSANKSI ADMINISTRATIF

Page 94: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 150

(1) Setiap orang yang menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1), 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), Pasal36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 38 ayat (4), Pasal 45, Pasal 47 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 49 ayat (2), Pasal 63, Pasal 71 ayat (1), Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 135, Pasal 136, Pasal 137, Pasal 138, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal145, atau Pasal 146 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi …

- 83 -(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. peringatan tertulis;b. pembatasan kegiatan pembangunan;c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;d. penghentian sementara atau penghentian tetap pada pengelolaan perumahan;e. penguasaan sementara oleh pemerintah (disegel);f. kewajiban membongkar sendiri bangunan dalam jangka waktu tertentu;g. pembatasan kegiatan usaha;h. pembekuan izin mendirikan bangunan;i. pencabutan izin mendirikan bangunan;j. pembekuan/pencabutan surat bukti kepemilikan rumah;k. perintah pembongkaran bangunan rumah; l. pembekuan izin usaha; m. pencabutan izin usaha; n. pengawasan; o. pembatalan izin;p. kewajiban pemulihan fungsi lahan dalam jangka waktu tertentu;q. pencabutan insentif;r. pengenaan denda administratif; dan/atau s. penutupan lokasi.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVI .

- 84 -

BAB XVIKETENTUAN PIDANA

Pasal 151(1) Setiap orang yang menyelenggarakan pembangunan perumahan, yang tidak membangun perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa membangun kembali perumahan sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, prasarana, sarana, dan utilitas umum yang diperjanjikan.

Page 95: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 152

Setiap orang yang menyewakan atau mengalihkan kepemilikannya atas rumah umum kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 153(1) Setiap orang yang menyelenggaraan lingkungan hunian atau Kasiba yang tidak memisahkan lingkungan hunian atau Kasiba menjadi satuan lingkungan perumahan atau Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin.

- 85 -

Pasal 154

Setiap orang yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 155

Badan hukum yang dengan sengaja melakukan serah terima dan/atau menerima pembayaran lebih dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00(satu miliar rupiah).

Pasal 156

Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan dan/atau permukiman di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 157

Setiap orang yang dengan sengaja membangun perumahan, dan/atau permukiman di tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya bagi barang ataupun orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 158 .

- 86 -

Pasal 158

Page 96: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Setiap pejabat yang dengan sengaja mengeluarkan izin pembangunan rumah, perumahan, dan/atau permukiman yang tidak sesuai dengan fungsi dan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 159

Setiap orang yang dengan sengaja menolak atau menghalang-halangi kegiatan pemukiman kembali rumah, perumahan, atau permukiman yang telah ditetapkan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah setelah terjadi kesepakatan dengan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal142, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 160

Setiap orang yang dengan sengaja menginvestasikan dana dari pemupukan dana tabungan perumahan selain untuk pembiayaan kegiatan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal143, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (limapuluh miliar rupiah).

Pasal 161

(1) Orang perseorangan yang dengan sengaja membangun Lisiba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (2), dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Selain …

- 87 -

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dapat dipidana dengan pidana tambahan berupa pembongkaran Lisiba yang biayanya ditanggung oleh pelaku.

Pasal 162(1) Dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), Badan Hukum yang:

a. mengalihfungsikan prasarana, sarana, dan utilitas umum diluar fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144;b. menjual satuan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1); atauc. membangun lisiba yang menjual kaveling tanah matang tanpa rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1).(2) Selain pidana bagi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurus badan hukum dapat dijatuhi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 163

Page 97: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1), Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 156, Pasal 157, Pasal 160, atau Pasal 161 dilakukan oleh badan hukum, maka selain pidana penjara dan pidana denda terhadap pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda terhadap orang.

BAB XVII …

- 88 -

BAB XVIIKETENTUAN PERALIHANPasal 164Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469), dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai perumahan dan permukiman, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XVIII KETENTUAN PENUTUPPasal 165(1) Semua peraturan pelaksanaan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.(2) Semua kelembagaan yang perlu dibentuk atau yang perlu ditingkatkan statusnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini sudah terbentuk paling lama 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 166Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 167Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar .

- 89 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakartapada tanggal 12 Januari 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

Page 98: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 7

Salinan sesuai dengan aslinyaSEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIAKepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho

PENJELASAN ATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANGPERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif sehingga terpenuhinya kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia.

Negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pembangunan …

- 2 -

Page 99: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk ikut berperan. Sejalan dengan peran masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan kawasan permukiman, Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk menjadi fasilitator, memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat, serta melakukan penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek yang terkait, antara lain, tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia, kearifan lokal, serta peraturan perundang-undangan yang mendukung.

Kebijakan umum pembangunan perumahan diarahkan untuk:a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman yang didukung prasarana, sarana, dan utilitas umum secara berkelanjutan serta yang mampu mencerminkan kehidupan masyarakat yang berkepribadian Indonesia;b. ketersediaan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan kebutuhan rumah, perumahan, permukiman, serta lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan;c. mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna;d. memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dane. mendorong iklim investasi asing.

Sejalan dengan arah kebijakan umum tersebut, penyelenggaraan perumahan dan permukiman, baik di daerah perkotaan yang berpenduduk padat maupun di daerah perdesaan yang ketersediaan lahannya lebih luas perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pengelolaannya. Pemerintah dan pemerintah daerah perlu memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dalam bentuk pemberian kemudahan pembiayaan dan/atau pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum di lingkungan hunian.

Penyelenggaraan .

- 3 -

Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman tidak hanya melakukan pembangunan baru, tetapi juga melakukan pencegahan serta pembenahan perumahan dan kawasan permukiman yang telah ada dengan melakukan pengembangan, penataan, atau peremajaan lingkungan hunian perkotaan atau perdesaan serta pembangunan kembali terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Untuk itu, penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman perlu dukungan anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan belanja daerah, lembaga pembiayaan, dan/atau swadaya masyarakat. Dalam hal ini, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat perlu melakukan upaya pengembangan sistem pembiayaan perumahan dan permukiman secara menyeluruh dan terpadu.

Di samping itu, sebagai bagian dari masyarakat internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de Janeiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements. Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan

Page 100: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pengaturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi MBR, meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik di lingkungan hunian perkotaan maupun lingkungan hunian perdesaan, dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Penyelenggaraan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan

- 4 -

dan pemerataan kesejahteraan rakyat, yang meliputi perencanaan perumahan, pembangunan perumahan, pemanfaatan perumahan dan pengendalian perumahan.

Salah satu hal khusus yang diatur dalam undang-undang ini adalah keberpihakan negara terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam kaitan ini, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu, dengan memberikan kemudahan, berupa pembiayaan, pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum, keringanan biaya perizinan, bantuan stimulan, dan insentif fiskal.

Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang. Penyelenggaraan kawasan permukiman tersebut bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian bermukim, yang wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman yang terpadu dan berkelanjutan.

Undang-undang perumahan dan kawasan permukiman ini juga mencakup pemeliharaan dan perbaikan yang dimaksudkan untuk menjaga fungsi perumahan dan kawasan permukiman agar dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan untuk kepentingan peningkatan kualitas hidup orang perseorangan yang dilakukan terhadap rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum di perumahan, permukiman, lingkungan hunian dan kawasan permukiman. Di samping itu, juga dilakukan pengaturan pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini dilaksanakan berdasarkan prinsip kepastian bermukim yang menjamin

hak …

Page 101: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

- 5 -

hak setiap warga negara untuk menempati, memiliki, dan/atau menikmati tempat tinggal, yang dilaksanakan sejalan dengan kebijakan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1Cukup jelas.

Pasal 2Huruf aYang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” adalah memberikan landasan agar kebutuhan perumahan dan kawasan permukiman yang layak bagi masyarakat dapat terpenuhi sehingga masyarakat mampu mengembangkan diri dan beradab, serta dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Huruf bYang dimaksud dengan “asas keadilan dan pemerataan” adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.

Huruf cYang dimaksud dengan “asas kenasionalan” adalah memberikan landasan agar hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk warga negara Indonesia, sedangkan hak menghuni dan menempati oleh orang asing hanya dimungkinkan dengan cara hak sewa atau hak pakai atas rumah.

Huruf dYang dimaksud dengan “asas keefisienan dan kemanfaatan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki berupa sumber daya

- 6 -

tanah, teknologi rancang bangun, dan industri bahan bangunan yang sehat untuk memberikan keuntungan dan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

Huruf eYang dimaksud dengan “asas keterjangkauan dan kemudahan” adalah memberikan landasan agar hasil pembangunan di bidang perumahan dan kawasan permukiman dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi MBR agar setiap warga negara Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dasar akan perumahan dan permukiman.

Huruf fYang dimaksud dengan “asas kemandirian dan kebersamaan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman bertumpu pada prakarsa, swadaya, dan peran masyarakat untuk turut serta mengupayakan pengadaan dan

Page 102: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

pemeliharaan terhadap aspek-aspek perumahan dan kawasan permukiman sehingga mampu membangkitkan kepercayaan, kemampuan, dan kekuatan sendiri, serta terciptanya kerja sama antara pemangku kepentingan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.

Huruf gYang dimaksud dengan “asas kemitraan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan peran pelaku usaha dan masyarakat, dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik langsung maupun tidak langsung.

Huruf hYang dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang,

keselarasan .

- 7 -

keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungan, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah, serta memperhatikan dampak penting terhadap lingkungan.

Huruf iYang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dilaksanakan dengan memadukan kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengendalian, baik intra- maupun antarinstansi serta sektor terkait dalam kesatuan yang bulat dan utuh, saling menunjang, dan saling mengisi.

Huruf jYang dimaksud dengan “asas kesehatan” adalah memberikan landasan agar pembangunan perumahan dan kawasan permukiman memenuhi standar rumah sehat, syarat kesehatan lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

Huruf kYang dimaksud dengan “asas kelestarian dan keberlanjutan” adalah memberikan landasan agar penyediaan perumahan dan kawasan permukiman dilakukan dengan memperhatikan kondisi lingkungan hidup, dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju kenaikan jumlah penduduk dan luas kawasan secara serasi dan seimbang untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.

Huruf lYang dimaksud dengan “keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan” adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman memperhatikan masalah keselamatan dan keamanan bangunan beserta infrastrukturnya, keselamatan dan keamananan lingkungan dari berbagai ancaman yang membahayakan penghuninya, ketertiban administrasi, dan keteraturan dalam pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman.

Page 103: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

- 8 -

Pasal 3Huruf aYang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan hukum bagi setiap orang untuk bertempat tinggal secara layak, baik yang bersifat milik maupun bukan milik melalui cara sewa dan cara bukan sewa. Jaminan hukum antara lain meliputi kesesuaian peruntukan dalam tata ruang, legalitas tanah, perizinan, dan kondisi kelayakan rumah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Huruf bYang dimaksud dengan “penataan dan pengembangan wilayah” adalah kegiatan perencanaan, pembangunan, pemanfaatan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah, antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan, sebagai bagian utama dari pengembangan perkotaan dan perdesaan yang dapat mengarahkan persebaran penduduk dan mengurangi ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan ruang.

Huruf cYang dimaksud dengan “daya guna dan hasil guna sumber daya alam” adalah kemampuan untuk meningkatkan segala potensi dan sumber daya alam tanpa mengganggu keseimbangan dan kelestarian fungsi lingkungan dalam rangka menjamin terwujudnya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berkualitas di lingkungan hunian perkotaan dan lingkungan hunian perdesaan.

Huruf dYang dimaksud dengan “memberdayakan para pemangku kepentingan” adalah upaya meningkatkan peran masyarakat dengan memobilisasi potensi dan sumber daya secara proporsional untuk mewujudkan perumahan dan kawasan permukiman yang madani. Para pemangku kepentingan antara lain meliputi masyarakat, swasta, lembaga keuangan, Pemerintah dan pemerintah daerah.

- 9 -

Huruf eCukup jelas.

Huruf fYang dimaksud dengan “rumah yang layak huni dan terjangkau” adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan penghuninya, yang mampu dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.Yang dimaksud dengan “lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan” adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan tata ruang, kesesuaian hak atas tanah dan rumah, dan tersedianya prasarana, sarana, dan utilitas umum yang memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan.

Pasal 4Cukup jelas.

Page 104: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 5Cukup jelas.

Pasal 6Cukup jelas.

Pasal 7Ayat (1)Cukup Jelas

Ayat (2)Cukup Jelas

Ayat (3)Cukup Jelas

Ayat (4)Yang dimaksud dengan “menjadi pedoman” adalah bahwa rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di daerah mengacu kepada rencana penyelenggaraan perumahan dan

- 10 -

kawasan permukiman Nasional, bukan untuk membatasi kewenangan daerah, tetapi agar ada acuan yang jelas, sinergis, dan keterkaitan dari setiap perencanaan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di tingkat daerah, berdasarkan kewenangan otonomi yang dimilikinya sesuai dengan platform rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman nasional. Rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di daerah dijabarkan lebih lanjut berdasarkan visi dan misi kepala daerah yang diformulasikan dalam bentuk RPJM daerah.

Ayat (5)Yang dimaksud dengan “menjadi pedoman” adalah bahwa rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di tingkat kabupaten/kota mengacu kepada rencana penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di tingkat provinsi.

Pasal 8Cukup jelas.

Pasal 9Cukup jelas.

Pasal 10Cukup jelas.

Pasal 11Cukup jelas.

Pasal 12Cukup jelas.

Page 105: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 13Cukup jelas.

Pasal 15Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Huruf gCukup jelas.

Huruf hCukup jelas.

Huruf iCukup jelas.

Huruf jCukup jelas.

Huruf kCukup jelas.

Huruf lCukup jelas.

Huruf mCukup jelas.

- 11 -

- 12 -

Huruf nCukup jelas.

Page 106: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf oCukup jelas.

Huruf pYang dimaksud dengan “pendampingan bagi orang perseorangan” adalah upaya memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat yang berprakarsa dan berupaya melakukan pembangunan rumah secara mandiri.

Pasal 16Cukup jelas.

Pasal 17Cukup jelas.

Pasal 18Cukup jelas.

Pasal 19Cukup jelas.

Pasal 20Cukup jelas.

Pasal 21Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

- 13 -Ayat (5)Yang dimaksud dengan “kebutuhan khusus”, antara lain adalah kebutuhan untuk perumahan transmigrasi, pemukiman kembali korban bencana, dan rumah sosial untuk menampung orang lansia, masyarakat miskin, yatim piatu, dan anak terlantar, serta termasuk juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan rumah di wilayah perbatasan negara.

Ayat (6)Cukup jelas.

Ayat (7)Yang dimaksud dengan “bantuan dan kemudahan” adalah dukungan dana dan kemudahan akses bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumahnya.

Page 107: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (8)Cukup jelas.

Pasal 22Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “rumah tunggal” adalah rumah yang mempunyai kaveling sendiri dan salah satu dinding bangunan tidak dibangun tepat pada batas kaveling.Yang dimaksud dengan “rumah deret” adalah beberapa rumah yang satu atau lebih dari sisi bangunan menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau rumah lain, tetapi masing-masing mempunyai kaveling sendiri.Yang dimaksud dengan “rumah susun” adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

- 14 -

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 23Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Huruf aYang dimaksud dengan “perencanaan” adalah kegiatan merencanakan kebutuhan ruang untuk setiap unsur rumah dan kebutuhan jenis prasarana yang melekat pada bangunan, dan keterkaitan dengan rumah lain serta prasarana di luar rumah.Yang dimaksud dengan “perancangan” adalah kegiatan merancang bentuk, ukuran, dan tata letak, bahan bangunan, unsur rumah, serta perhitungan kekuatan konstruksi yang terdiri atas pondasi, dinding, dan atap, serta kebutuhan anggarannya.

Huruf bCukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 24Huruf aYang dimaksud dengan “rumah yang layak huni” adalah rumah yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni.

Page 108: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf bCukup jelas.

- 15 -

Huruf cYang dimaksud dengan “tata bangunan dan lingkungan” adalah kegiatan pembangunan untuk merencanakan, melaksanakan, memperbaiki, mengembangkan, atau melestarikan bangunan dan lingkungan tertentu sesuai dengan prinsip pemanfaatan ruang dan pengendalian bangunan gedung dan lingkungan secara optimal, yang terdiri atas proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan perbaikan bangunan gedung dan lingkungan.

Pasal 25Yang dimaksud dengan “setiap orang yang memiliki keahlian” adalah setiap orang yang memiliki sertifikat keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kompetensi.

Pasal 26Ayat (1)Yang dimaksud dengan “persyaratan teknis” antara lain persyaratan tentang struktur bangunan, keamanan, keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.Yang dimaksud dengan “persyaratan administratif” antara lain perizinan usaha dari perusahaan pembangunan perumahan, izin lokasi, peruntukannya, status hak atas tanah, dan/atau Izin Mendirikan Bangunan (1MB).Yang dimaksud dengan “persyaratan ekologis” adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan fungsi lingkungan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.Yang termasuk persyaratan ekologis antara lain analisis dampak lingkungan dalam pembangunan perumahan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

- 16 -

Pasal 27Cukup jelas.

Pasal 28Ayat (1)Huruf aCukup jelas.

Huruf bYang dimaksud dengan “rencana kelengkapan prasarana” paling sedikit meliputi jalan,

Page 109: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

drainase, sanitasi, dan air minum. Yang dimaksud dengan “rencana kelengkapan sarana” paling sedikit meliputi rumah ibadah dan ruang terbuka hijau (RTH). Yang dimaksud dengan “rencana kelengkapan utilitas umum” paling sedikit meliputi, jaringan listrik termasuk KWH meter dan jaringan telepon.Perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan harus mempertimbangkan kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas umum bagi masyarakat yang mempunyai keterbatasan fisik, misalnya penyandang cacat dan lanjut usia.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “rencana penyediaan kaveling tanah” dalam ketentuan ini adalah penyediaan sebidang tanah yang dibagi dengan ukuran tertentu yang dipersiapkan sebagai dasar perencanaan kebutuhan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 29Cukup jelas.

Pasal 30Cukup jelas.

- 17 -

Pasal 32Cukup jelas.

Pasal 33Ayat (1)Pemberian kemudahan perizinan bagi badan hukum yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi badan hukum di bidang perumahan dan permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 34Ayat (1)Yang dimaksud dengan “hunian berimbang” adalah perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “perumahan skala besar” adalah perumahan yang direncanakan secara menyeluruh dan terpadu yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.

Page 110: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 35Cukup jelas.

- 18 -

Pasal 36Cukup jelas.

Pasal 37Cukup jelas.Pasal 38Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “tipologi” adalah klasifikasi rumah yang berupa rumah tapak atau rumah susun berdasarkan bentuk permukaan tanah, tempat rumah berdiri meliputi rumah di atas tanah keras, rumah di atas tanah lunak, rumah di garis pantai/pasang surut, rumah di atas air/terapung (menetap), rumah di atas air/terapung (berpindah-pindah).Yang dimaksud dengan “ekologi” adalah persyaratan yang berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan, baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan.Yang dimaksud dengan “budaya” adalah klasifikasi rumah berdasarkan hasil akal budi/adat istiadat manusia yang diwujudkan dalam bentuk dan arsitektural dan kelengkapan ruangan rumah.Yang dimaksud dengan “dinamika ekonomi” adalah kondisi permintaan masyarakat dari berbagai selera yang dipengaruhi oleh tingkat keterjangkauan dan kebutuhan rumah.

- 19 -

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 39Cukup jelas.

Pasal 40Cukup jelas.

Page 111: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 41Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perjanjian pendahuluan jual beli” adalah kesepakatan melakukan jual beli rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli rumah dengan penyedia rumah yang diketahui oleh pejabat yang berwenang.

Ayat (2)Huruf aCukup jelas. Huruf bYang dimaksud dengan “hal yang diperjanjikan” adalah kondisi rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk rumah, spesifikasi bangunan, harga rumah, prasarana, sarana, dan utilitas

umum …

- 20 -

umum perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima rumah, serta penyelesaian sengketa.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eYang dimaksud dengan “keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen)” adalah hal telah terbangunnya rumah paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh jumlah unit rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 43Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “pemilikan rumah” adalah pemilikan rumah berikut hak atas tanahnya.

Ayat (3)Cukup jelas.

Page 112: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 44Cukup jelas.

- 21 -

Pasal 46Cukup jelas.

Pasal 47Ayat (1)Lihat penjelasan Pasal 28 ayat (1) huruf b.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “rencana” adalah rencana lokasi dan rencana teknis yang meliputi rencana jumlah dan jenis prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan yang terintegrasi dengan perumahan yang sudah ada serta lingkungan hunian lainnya. Yang dimaksud dengan “rancangan” adalah desain teknis untuk mewujudkan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 48Cukup jelas.

Pasal 49Ayat (1)Yang dimaksud dengan “usaha secara terbatas” adalah kegiatan usaha yang diperkenankan dapat dikerjakan di rumah untuk mendukung terlaksananya fungsi hunian.Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha yang tidak membahayakan fungsi hunian” adalah kegiatan usaha yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan bencana yang dapat mengganggu dan menyebabkan kerugian.Yang dimaksud dengan “kegiatan yang tidak mengganggu fungsi hunian” adalah kegiatan yang tidak menimbulkan penurunan kenyamanan hunian dari penciuman, suara, suhu/asap, sampah yang ditimbulkan dan sosial.

- 22 -

Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.

Page 113: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 50Cukup jelas.

Pasal 51Cukup jelas.

Pasal 52Ayat (1)Yang dimaksud dengan “orang asing” adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia.Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 53Ayat (1)Pengendalian perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai.

Ayat (2)Huruf aYang dimaksud dengan “perizinan” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui pemberian arahan dalam bentuk perizinan yang antara lain meliputi izin mendirikan bangunan dan izin penghunian.

Huruf bYang dimaksud dengan “penertiban” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

- 23 -

Huruf cYang dimaksud dengan “penataan” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan perumahan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 54Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan” adalah rencana pembangunan tahunan, rencana program jangka menengah, dan rencana program jangka panjang.

Ayat (3)Cukup jelas.

Page 114: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (4)Yang termasuk perolehan rumah dapat berupa pemilikan rumah, perbaikan rumah, dan sewa beli rumah.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 55Ayat (1)Yang dimaksud dengan “hanya dapat menyewakan” adalah pembatasan menyewakan dan/atau mengalihkan perolehan atas rumah yang melalui kemudahan dari Pemerintah atau pemerintah daerah kepada pihak lain dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rumah umum bagi MBR, memberikan kesempatan yang sama bagi MBR lainnya untuk memperoleh kemudahan perolehan rumah umum, dan menjadi sarana pengendalian pengelolaan rumah umum.

- 24 -

Huruf aCukup jelas.

Huruf bYang dimaksud dengan “paling sedikit 5 (lima) tahun” adalah tempo waktu penghunian minimum pada rumah umum sejak diperolehnya kemudahan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.

Huruf cCukup jelas.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “lembaga” adalah lembaga yang ditunjuk atau dibentuk Pemerintah atau pemerintah daerah antara lain untuk melaksanakan distribusi dan pelimpahan/pengalihan rumah umum yang diperoleh MBR.

Ayat (3)Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah perikatan perjanjian antara MBR penerima kemudahan Pemerintah atau pemerintah daerah dengan lembaga yang ditunjuk atau dibentuk pemerintah antara lain untuk menghuni, memelihara, dan tidak mengalihkan rumah tersebut kepada pihak lain selama jangka waktu tertentu.

Ayat (4)Yang dimaksud dengan “didistribusikan kembali kepada MBR” adalah pengalokasian rumah umum kepada MBR yang berhak sesuai dengan persyaratan untuk memperoleh kemudahan dalam memiliki/menghuni rumah umum.

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Cukup jelas.

Page 115: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

- 25 -

Pasal 56 Ayat (1)Yang dimaksud dengan “tempat kegiatan yang mendukung” adalah bagian dari kawasan perkotaan dan kawasan perdesaaan guna mendukung perikehidupan dan penghidupan penghuni kawasan tersebut yang berupa aktivitas pelayanan jasa pemerintahan, aktivitas pelayanan jasa sosial, dan aktivitas ekonomi.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 57Cukup jelas.

Pasal 58Cukup jelas.

Pasal 59Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Huruf aYang dimaksud dengan “efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan” adalah upaya untuk meminimalkan penggunaan sumber daya untuk menciptakan kondisi lingkungan hunian perkotaan secara lebih optimal, guna meningkatkan pelayanan perkotaan.Huruf bYang dimaksud dengan “peningkatan pelayanan” adalah upaya yang harus dilakukan melalui penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum sesuai dengan kebutuhan sehingga fungsi lingkungan hunian perkotaan dapat memadai.Huruf cPeningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum perkotaan dimaksudkan untuk menciptakan fungsi, baik lingkungan hunian yang telah ada maupun lingkungan hunian yang baru sehingga lebih baik dan dapat mendukung

perikehidupan .

- 26 -

perikehidupan dan penghidupan setiap penghuni dalam lingkungan hunian yang sehat, aman, serasi, dan berkelanjutan.

Huruf dYang dimaksud dengan “penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan yang dibatasi dan yang didorong pengembangannya” adalah pembatasan bagian-bagian dalam kawasan perkotaan yang dapat dikembangkan sebagai upaya peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan, dan bagian yang tidak dapat dikembangkan karena keterbatasan daya dukung lingkungan yang dimaksudkan untuk keselamatan penghuni kawasan perkotaan.

Page 116: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf eYang dimaksud dengan “pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh” adalah upaya penetapan fungsi sesuai dengan tata ruang.

Huruf fYang dimaksud dengan “tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak terencana dan teratur” adalah tumbuh berkembangnya perumahan di lokasi yang tidak direncanakan untuk perumahan atau fungsi lain akibat perkembangan lingkungan hunian perkotaan yang tidak sesuai dengan tata ruang.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 60Cukup jelas.

- 27 -

Pasal 61Ayat (1)Penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan pertanian, baik yang dibutuhkan sebelum proses produksi, dalam proses produksi, maupun setelah proses produksi.Ayat (2)Huruf aYang dimaksud dengan “efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan” adalah upaya untuk meminimalkan penggunaan sumber daya untuk menciptakan kondisi perdesaan secara lebih optimal.Huruf bCukup jelas. Huruf cCukup jelas.

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 62Ayat (1)Yang dimaksud dengan “pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan” adalah upaya mengembalikan atau memulihkan kondisi fisik dan non fisik kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan agar dapat berfungsi kembali sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 117: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang .

- 28 -

Yang dimaksud dengan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis, seperti gempa bumi, akibat perang, tsunami dan lain-lain.

Yang dimaksud dengan penurunan kualitas perumahan dan permukiman adalah proses menurunnya kondisi fisik, non fisik dan fungsi perumahan dan kawasan permukiman yang dapat menganggu perikehidupan dan penghidupan penghuni dan sekitarnya.

Ayat (2)Huruf aYang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan atau lingkungan hunian perdesaan melalui perbaikan dan/atau pembangunan baru rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk memulihkan fungsi hunian secara wajar sampai tingkat yang memadai.

Huruf bYang dimaksud dengan “rekonstruksi” adalah pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan atau lingkungan hunian perdesaan melalui perbaikan dan/atau pembangunan baru rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum dengan sasaran utama menumbuhkembangkan kegiatan perekonomian, sosial, dan budaya.

Huruf cYang dimaksud dengan “peremajaan” adalah pembangunan kembali perumahan dan permukiman yang dilakukan melalui penataan secara menyeluruh meliputi rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan dan permukiman.

- 29 -

Ayat (3)Yang dimaksud dengan “tetap melindungi masyarakat penghuni di lokasi yang sama” bertujuan untuk memberikan jaminan hak bermukim dengan tanpa menggusur penghuni lama.

Pasal 63Cukup jelas.

Pasal 64Cukup jelas.

Pasal 65Cukup jelas.

Pasal 66Cukup jelas.

Page 118: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 67Cukup jelas.

Pasal 68Cukup jelas.

Pasal 69Cukup jelas.

Pasal 70Cukup jelas.

Pasal 71Cukup jelas.

Pasal 72Cukup jelas.

- 30 -

Pasal 74Cukup jelas.

Pasal 75Cukup jelas.

Pasal 76Cukup jelas.

Pasal 77Cukup jelas.

Pasal 78Cukup jelas.

Pasal 79Cukup jelas.

Pasal 80Cukup jelas.

Pasal 81Cukup jelas.

Pasal 82Cukup jelas.

Pasal 83Cukup jelas.

Page 119: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 84Cukup jelas.

Pasal 85Ayat (1)Huruf aPemberian insentif dimaksudkan untuk mendorong setiap orang agar memanfaatkan kawasan permukiman sesuai dengan fungsinya.

- 31 -

Huruf bPengenaan disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sebagaimana mestinya oleh setiap orang.

Huruf cPengenaan sanksi dimaksudkan untuk mencegah dan melakukan tindakan sebagai akibat dari pemanfaatan kawasan permukiman yang tidak sebagaimana mestinya oleh setiap orang.Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Cukup jelas.

Ayat (5)Cukup jelas.

Pasal 86Ayat (1)Yang dimaksud dengan “pemeliharaan dan perbaikan” adalah upaya menjaga kondisi prasarana, sarana, dan utilitas umum secara terpadu dan terintegrasi melalui perawatan rutin dan pemeriksaan secara berkala agar dapat berfungsi secara memadai.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

- 32 -

Pasal 88Ayat (1)Yang dimaksud dengan “perawatan” adalah proses menjaga/mempertahankan fungsi rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum termasuk memperbaiki jika terjadi kerusakan, yang dilakukan secara rutin.

Page 120: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang dimaksud dengan “pemeriksaan secara berkala” adalah proses memeriksa kondisi fisik rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam jangka tertentu sesuai dengan umur konstruksi, untuk mengetahui masih dapat berfungsinya rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum tersebut.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 89Cukup jelas.

Pasal 90Cukup jelas.

Pasal 91Yang dimaksud dengan “rehabilitasi atau pemugaran” adalah kegiatan perbaikan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum jika terjadi kerusakan untuk mengembalikan fungsi sebagaimana semula.

Pasal 92Cukup jelas.

Pasal 93Cukup jelas.

Pasal 94Ayat (1)Cukup jelas.

- 33 -

Ayat (2)Prinsip kepastian bermukim dilaksanakan dengan cara menghindari penggusuran paksa yang tidak manusiawi, serta mengutamakan cara memandang tempat tinggal sebagai hak dasar.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 95Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Yang dimaksud dengan “pendampingan” adalah kegiatan pelayanan kepada masyarakat

Page 121: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dalam bentuk pembimbingan, penyuluhan, dan bantuan teknis untuk mewujudkan kesadaran masyarakat dalam mencegah tumbuh berkembangnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh.Yang dimaksud dengan “pelayanan informasi” adalah kegiatan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk pemberitaan hal-hal terkait upaya pencegahan perumahan kumuh dan permukiman kumuh, meliputi rencana tata ruang, perizinan, standar perumahan dan permukiman.

Ayat (5)Cukup jelas.

Ayat (6)Cukup jelas.

- 34 -

Pasal 97Cukup jelas.

Pasal 98 Ayat (1) Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cCukup jelas.

Huruf dYang dimaksud dengan “tingkat keteraturan dan kepadatan bangunan” adalah kesesuaian koefisien dasar bangunan dan koefisien lantai bangunan dengan persyaratan yang ditetapkan oleh setiap daerah.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal 99Cukup jelas. Pasal 100Ayat (1)Lihat penjelasan Pasal 62 ayat (2) huruf c.

Page 122: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

- 35 -

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “tempat tinggal” adalah tempat tinggal sementara yang disediakan bagi penghuni perumahan kumuh atau permukiman kumuh selama proses peremajaan.

Ayat (3)Cukup jelas.

Ayat (4)Yang dimaksud dengan “melibatkan peran masyarakat” adalah upaya mengikutsertakan masyarakat dalam proses peremajaan.

Pasal 101Cukup jelas.

Pasal 102Cukup jelas.

Pasal 103Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Yang dimaksud dengan “difasilitasi oleh pemerintah daerah” adalah upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan keswadayaan masyarakat dalam pengelolaan perumahan, antara lain dalam bentuk pemberian pedoman, pelatihan/penyuluhan, serta pemberian kemudahan dan/atau bantuan.

Pasal 104Cukup jelas.

- 36 -Pasal 106Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cYang dimaksud dengan “peralihan hak atas tanah” adalah proses jual beli hak atas tanah kepada pembeli yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.Yang dimaksud dengan “pelepasan hak atas tanah” adalah pelepasan yang dilakukan oleh pemegang hak atas tanah menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara karena pembeli tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.

Page 123: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf dCukup jelas.

Huruf eCukup jelas.

Huruf fCukup jelas.

Pasal 107Cukup jelas.

Pasal 108Cukup jelas.

Pasal 109Cukup jelas.

Pasal 110Huruf aCukup jelas.Huruf bCukup jelas.

- 37 -

Huruf cYang dimaksud dengan “desain konsolidasi” adalah rancangan tentang penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Huruf dCukup jelas.

Pasal 111 Ayat (1)Tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemilik tanah telah menyumbangkan sebagian hak atas tanahnya untuk Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP) dan Tanah Pengganti Biaya Pembangunan (TPBP).

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 112Ayat (1)Kerja sama dengan badan hukum dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi penggarap tanah negara atau pemegang hak atas tanah dapat bersama-sama meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “prinsip kesetaraan” adalah persamaan kedudukan antara penggarap tanah negara dan / atau pemegang hak atas tanah dan badan hukum yang bekerja sama dalam

Page 124: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

pelaksanaan konsolidasi tanah dengan prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung.Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah notaris.

Pasal 113Cukup jelas.

- 38 -

Pasal 114Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah notaris.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 115 Ayat (1)Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah upaya memfungsikan tanah barang milik negara atau tanah barang milik daerah untuk kepentingan pembangunan rumah umum dan/atau rumah khusus.

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 116Cukup jelas.

Pasal 117Cukup jelas.

Pasal 118Ayat (1)Yang dimaksud dengan “sistem pembiayaan” adalah sistem yang mengatur pengerahan, pemupukan, penyaluran, dan pemanfaatan dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana yang dilaksanakan oleh lembaga keuangan dengan atau tanpa kemudahan dan/atau bantuan.

Ayat (2)Cukup jelas.

- 39 -

Page 125: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 119Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Huruf cYang dimaksud dengan “sumber dana lainnya” adalah dana yang dihasilkan dari perjanjian atau kesepakatan bersama yang dapat berupa hibah atau bantuan, pinjaman, baik dari sumber dana dalam negeri maupun luar negeri.

Pasal 120Cukup jelas.

Pasal 121Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Huruf aYang dimaksud dengan “pembiayaan primer perumahan” adalah pembiayaan di sisi pasokan pada saat kredit atau pembiayaan pembangunan rumah, perumahan, permukiman dan lingkungan hunian diterbitkan; dan di sisi permintaan kredit atau pembiayaan perolehan rumah diterbitkan yang dilaksanakan oleh bank dan/atau lembaga keuangan bukan bank.

Huruf bYang dimaksud dengan “pembiayaan sekunder perumahan” adalah penyelenggaraan kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada lembaga keuangan penerbit kredit dengan melakukan sekuritisasi. Sekuritisasi yaitu transformasi aset yang tidak likuid menjadi likuid dengan cara pembelian aset

- 40 -

keuangan dari lembaga keuangan penerbit kredit dan penerbitan efek beragun aset.

Pasal 122Cukup jelas.

Pasal 123Ayat (1)Huruf aYang dimaksud dengan “dana masyarakat” adalah dana yang berasal dari masyarakat yang disimpan di lembaga keuangan dalam bentuk giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Page 126: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf bYang dimaksud dengan “dana tabungan perumahan” adalah simpanan yang dilakukan secara periodik dalam jangka waktu tertentu, yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati sesuai dengan perjanjian, dan digunakan untuk mendapatkan akses kredit atau pembiayaan untuk pembangunan dan perbaikan rumah, serta pemilikan rumah dari lembaga keuangan.Apabila tabungan perumahan telah melembaga, dana APBN untuk pembiayaan murah jangka panjang dapat dihentikan.Yang dimaksud dengan “hasil investasi” adalah hasil investasi atas kelebihan likuiditas pada instrumen investasi yang aman, berupa deposito dan surat utang negara.

Huruf cYang dimaksud dengan “dana lainnya” adalah dana yang sah sesuai peraturan perundangan yang berasal dari selain butir a dan butir b, yang antara lain dapat berupa dana investor institusional (seperti perusahaan asuransi dan perusahaan pengelola dana pensiun) di pasar modal; dan dana APBN pos pembiayaan khusus untuk perumahan.

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3) …

- 41 -

Ayat (3)Yang dimaksud dengan “lembaga keuangan bukan bank” adalah lembaga keuangan yang mengelola tabungan perumahan seperti Bapertarum-PNS (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-PNS) dan tabungan perumahan untuk TNI/Polri.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 124Cukup jelas.

Pasal 125Cukup jelas.

Pasal 126Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Yang dimaksud dengan “pemanfaat atau pengguna” adalah MBR yang memperoleh kemudahan dan bantuan berupa pembiayaan perumahan.

Ayat (3)Huruf aYang dimaksud dengan “kemudahan atau bantuan berupa skema pembiayaan” adalah kemudahan atau bantuan dalam mendapatkan akses kredit/pembiayaan, keterjangkauan

Page 127: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

pengembalian kredit/pembiayaan yang dikaitkan dengan skema pembiayaan melalui keringanan dalam uang muka dan/atau; suku bunga; dan/atau jangka waktu pengembalian.

Huruf bYang dimaksud dengan “kemudahan atau bantuan berupa penjaminan atau asuransi” adalah kemudahan atau bantuan dalam mendapatkan akses kredit/pembiayaan yang dikaitkan dengan pengurangan potensi resiko kredit yang dihadapi

- 42 -

lembaga keuangan dalam menerbitkan kredit/pembiayaan pemilikan rumah dan perbaikan rumah.

Huruf cYang dimaksud dengan “kemudahan atau bantuan berupa dana murah jangka panjang” adalah ketersediaan dana dengan suku bunga terjangkau yang sekaligus mampu menanggulangi ketidaksesuaian antara jangka waktu sumber biaya berupa tabungan, giro, deposito dengan jangka waktu pengembalian atau tenor kredit pemilikan rumah.

Ayat (4)Cukup jelas.

Pasal 127Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Yang termasuk lembaga keuangan sebagai penyalur kredit atau pembiayaan antara lain berupa bank dan Perusahaan Pembiayaan.

Pasal 128Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Yang dimaksud dengan “sekuritisasi” adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi liquid dengan cara pembelian aset keuangan dari kreditor asal dan penerbit efek beragun aset.

Ayat (4)Cukup jelas.

- 43 -

Pasal 129Huruf aCukup jelas.

Huruf bCukup jelas.

Page 128: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf cYang dimaksud dengan “informasi” adalah pengetahuan tentang penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang antara lain meliputi peraturan, kebijakan, program, kegiatan, informasi kebutuhan dan penyediaan rumah, serta sumber daya yang dapat diakses.

Huruf dYang dimaksud dengan “manfaat” adalah keuntungan sebagai dampak dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, antara lain melalui kesempatan berusaha, peran masyarakat, dan pemanfaatan hasil pembangunan.

Huruf eYang dimaksud dengan “penggantian yang layak atas kerugian” adalah kompensasi yang diberikan kepada setiap orang yang terkena dampak kerugian akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman. Penggantian tersebut mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf fCukup jelas.

Pasal 130Cukup jelas.

Pasal 131Ayat (1)Yang dimaksud dengan “peran masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman” adalah pelibatan setiap pelaku pembangunan dalam upaya pemenuhan kebutuhan perumahan bagi seluruh masyarakat.

- 44 -

Ayat (2)Cukup jelas.

Ayat (3)Dalam rangka mendorong peran masyarakat, forum pengembangan masyarakat dapat melakukan satu atau lebih fungsi dan tugas sesuai dengan kewenanganannya.

Pasal 132Cukup jelas.

Pasal 133Cukup jelas.

Pasal 134Lihat penjelasan Pasal 42 ayat (2) huruf b.

Pasal 135Cukup jelas.

Page 129: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 136Cukup jelas.

Pasal 137Cukup jelas.

Pasal 138Cukup jelas.

Pasal 139Cukup jelas. Pasal 140Yang dimaksud dengan “tempat yang berpotensi dapat menimbulkan bahaya” antara lain, sempadan rel kereta api, bawah jembatan, daerah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET), Daerah Sempadan Sungai (DSS), daerah rawan bencana, dan daerah kawasan khusus seperti kawasan militer.

45

Pasal 141Cukup

jelas.

Pasal 142Cukup

jelas.

Pasal 143Cukup

jelas.

Pasal 144Cukup

jelas.

Pasal 145Cukup jelas. Pasal 146Ayat (1)Yang dimaksud dengan “menjual kaveling tanah matang tanpa rumah” adalah suatu kegiatan badan hukum yang dengan sengaja hanya memasarkan kaveling tanah matang kepada konsumen tanpa membangun rumah terlebih dahulu. Penjualan kaveling tanah matang kepada konsumen hanya dapat dilakukan apabila badan hukum tersebut telah membangun perumahan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari rencana pembangunan perumahan di Lisiba dan dalam keadaan terjadi krisis moneter nasional yang berakibat pada kesulitan likuiditas pada badan hukum tersebut.

Page 130: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (2)Cukup jelas.

Pasal 147Cukup jelas.

Pasal 148Cukup jelas.

Pasal 149

Pasal 150Cukup jelas.

Pasal 151Cukup jelas.

Pasal 152Cukup jelas.

Pasal 153Cukup jelas.

Pasal 154Cukup jelas.

Pasal 155Cukup jelas.

Pasal 156Cukup jelas.

Pasal 157Cukup jelas.

Pasal 158Cukup jelas.

Pasal 159Cukup jelas.

Pasal 160Cukup jelas.

Pasal 161Cukup jelas.

- 46 -

- 47 -

Page 131: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 163Cukup jelas.

Pasal 164Cukup jelas.

Pasal 165Cukup jelas.

Pasal 166Cukup jelas.

Pasal 167Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5188

FORM – SURAT MENOLAK HADIR DI SIDANG   PERCERAIAN

……………, …. Nopember 2011

Lampiran : Fotocopy KTP dan Surat Nikah

Page 132: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Kepada Yth.Bapak Hakim Pengadilan Negeri ……………Perkara No…………………………… Jalan ……………………..

Dengan Hormat,

Perkenankan saya yang bertandatangan dibawah ini, {nama lengkap}, beralamat di {alamat KTP}, dengan ini menyampaikan kepada Bapak Hakim :

1. Saya membenarkan seluruh gugatan yang diajukan oleh suami saya;

2. Pada intinya, saya juga ingin berpisah/cerai dengan suami saya karena sudah tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga saya dan suami saya;

3. Untuk selanjutnya, saya tidak akan hadir menghadiri persidangan karena mengurus anak-anak saya;

Demikian saya sampaikan. Terima kasih.

Hormat saya,

 

MateraiRp. 6.000

…………………………………….

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA   NEGARA

Page 133: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 51 TAHUN 2009TENTANGPERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat;b. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380);4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

Dengan Persetujuan BersamaDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIAdanPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA.

Page 134: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal IBeberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380) diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:1. Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.2. Hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan hakim pada pengadilan tinggi tata usaha negara.3. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.6. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.7. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.8. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hokum bagi seseorang atau badan hukum perdata.10. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan12. Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.

2. Ketentuan Pasal 9A diubah sehingga Pasal 9A berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9A(1) Di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur

Page 135: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

dengan undang-undang.(2) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.(3) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan.

3. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 6 (enam) pasal yakni Pasal 13A, Pasal 13B, Pasal 13C, Pasal 13D, Pasal 13E, dan Pasal 13F yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13A(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Pasal 13B(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa dan berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang hukum.(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Pasal 13C(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat (2), Komisi Yudisial melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung.(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan bersama dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Pasal 13D(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A ayat (2), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Yudisial berwenang:a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf d;f. meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau pengadilan;g. melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk kepentingan pemeriksaan; dan/atauh. menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Page 136: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 13E(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib:a. menaati norma dan peraturan perundangundangan;b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; danc. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal hakim diatur dalam undangundang.

Pasal 13FDalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.

4. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan tata usaha negara, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. warga negara Indonesia;b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;d. sarjana hukum;e. lulus pendidikan hakim;f. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;g. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun;h. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban; dani. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil ketua pengadilan tata usaha negara hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun sebagai hakim pengadilan tata usaha negara.

5. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A(1) Pengangkatan hakim pengadilan tata usaha Negara dilakukan melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif.(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

6. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Page 137: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 15(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, dan huruf h.b. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua pengadilan tata usaha negara, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan tata usaha negara;d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung; dane. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran Kode Etik dan atau Pedoman Perilaku Hakim.(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi tata usaha negara harus berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi tata usaha negara atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara yang pernah menjabat ketua pengadilan tata usaha negara.(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua pengadilan tinggi tata usaha negara harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi tata usaha Negara atau 2 (dua) tahun bagi hakim pengadilan tinggi tata usaha negara yang pernah menjabat ketua pengadilan tata usaha negara.

7. Ketentuan Pasal 16 ayat (1) diubah dan di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.(1b) Usul pemberhentian hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) hanya dapat dilakukan apabila hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

8. Ketentuan Pasal 19 ayat (1) diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:a. atas permintaan sendiri secara tertulis;b. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tata usaha negara, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan tinggi tata usaha negara; dan/ataud. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.

9. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Page 138: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 20(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;b. melakukan perbuatan tercela;c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan;d. melanggar sumpah atau janji jabatan;e. melanggar larangan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18; dan/atauf. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial.(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya diberhentikan sebagai hakim.

11. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 22 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1a) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

12. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25(1) Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-

Page 139: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

undangan(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak lainnya.(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:a. tunjangan jabatan; danb. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundangundangan.(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:a. rumah jabatan milik negara;b. jaminan kesehatan; danc. sarana transportasi milik negara.(5) Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.

13. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. warga negara Indonesia;b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;d. berijazah sarjana hukum;e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tata usaha negara, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan tinggi tata usaha negara; danf. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

14. Ketentuan Pasal 29 huruf b dihapus sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f;b. dihapus;c. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi tata usaha negara, atau 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengadilan tata usaha negara.

15. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda atau 4 (empat) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha negara.

Page 140: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

16. Ketentuan Pasal 31 huruf b dihapus sehingga Pasal 31 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f;b. dihapus;c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi pengadilan tata usaha negara, 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera pengadilan tata usaha negara, atau menjabat sebagai panitera pengadilan tata usaha negara.

17. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha negara.

18. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga Pasal 33 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 33Untuk dapat diangkat menjadi panitera muda pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara, 3 (tiga) tahun sebagai panitera muda, 5 (lima) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, atau menjabat sebagai wakil panitera pengadilan tata usaha negara.

19. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tata usaha negara.

20. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:

Page 141: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai panitera pengganti pengadilan tata usaha negara atau 8 (delapan) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tinggi tata usaha negara.

21. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 36Panitera tidak boleh merangkap menjadi:a. wali;b. pengampu;c. advokat; dan/ataud. pejabat peradilan lainnya.

22. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 38A dan Pasal 38B, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38APanitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara diberhentikan dengan hormat dengan alasan:a. meninggal dunia;b. atas permintaan sendiri secara tertulis;c. sakit jasmani atau rohani secara terus menerus;d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tata usaha negara;e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan tinggi tata usaha negara; dan/atauf. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

Pasal 38BPanitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;b. melakukan perbuatan tercela;c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan;d. melanggar sumpah atau janji jabatan;e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36; dan/atauf. melanggar kode etik panitera.

23. Ketentuan Pasal 39B diubah sehingga Pasal 39B berbunyi sebagai berikut:

Pasal 39B(1) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. warga negara Indonesia;b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Page 142: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

d. berijazah pendidikan menengah;e. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai juru sita pengganti; danf. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita pengganti, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri pada pengadilan tata usaha negara.

24. Ketentuan Pasal 41 dihapus

25. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. warga negara Indonesia;b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;d. berijazah sarjana hukum atau sarjana administrasi;e. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang administrasi peradilan; danf. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban.

26. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43Untuk dapat diangkat menjadi wakil sekretaris pengadilan tinggi tata usaha negara, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f; danb. berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang administrasi peradilan.

27. Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 51A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51A(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses persidangan.(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan.(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

28. Ketentuan Pasal 52 ayat (1) diubah dan diantara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 52 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas hakim.

Page 143: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1a) Ketua Pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita di daerah hukumnya.(2) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), ketua pengadilan tinggi tata usaha negara di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat pengadilan tata usaha negara dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) ketua pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran, dan peringatan.(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

29. Di antara Pasal 107 dan Pasal 108 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 107A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107 A(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.

30. Ketentuan Pasal 116 diubah, sehingga Pasal 116 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 116(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.(4) Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.(7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Page 144: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

31. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga Pasal 135 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 135(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc, seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) kecuali huruf d, huruf e, dan huruf h.(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi hakim ad hoc.(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan

32. Di antara Pasal 144 dan Aturan Tambahan ditambah 4 (empat) pasal yakni Pasal 144A, Pasal 144B, Pasal 144C, dan Pasal 144D yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 144A(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan tata usaha negara dapat menarik biaya perkara.(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.(3) Biaya perkara sebagaimana pada ayat (1) meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), merupakan penerimaan negara bukan pajak yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung.(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 144B(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144A ayat (3).(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 38B.

Pasal 144C(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melampirkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang bersangkutan.

Pasal 144D(1) Pada setiap pengadilan tata usaha negara dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 145: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal IIUndang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

Disahkan di Jakartapada tanggal 29 Oktober 2009PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttd.DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakartapada tanggal 29 Oktober 2009MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd.PATRIALIS AKBAR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 160Salinan sesuai dengan aslinyaSEKRETARIAT NEGARA RIKepala Biro Peraturan Perundang-undanganBidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,Wisn

 

 

Setiawansesuai dengan aslinyaPENJELASANATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 51 TAHUN 2009TENTANGPERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga membawa konsekuensi perlunya pembentukan atau perubahan seluruh perundang-undangan di bidang

Page 146: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

kekuasaan kehakiman.Pembentukan atau perubahan perundang-undangan tersebut dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merupakan salah satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.Perubahan kedua yag dilakukan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, baik menyangkut teknis yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara antara lain sebagai berikut:1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun hakim pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan, akuntabel, dan partisipatif serta harus melalui proses atau lulus pendidikan hakim;3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc.4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim;5. kesejahteraan hakim;6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara;8. bantuan hukum; dan9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada dasarnya untuk mewujudkan penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan yang terpadu (integrated justice system), terlebih pengadilan tata usaha negara secara konstitusional merupakan salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mempunyai kewenangan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tata usaha negara.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal IAngka 1Pasal 1Cukup jelas.Angka 2

Page 147: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 9AAyat (1)Pengadilan khusus merupakan diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan peradilan tata usaha negara, misalnya pengadilan pajak.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Angka 3Pasal 13AAyat (1)“Pengawasan internal” atas tingkah laku hakim agung diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim benar-benar terjaga.Ayat (2)Cukup jelas.Pasal 13BCukup jelas.Pasal 13CCukup jelas.Pasal 13DCukup jelas.Pasal 13ECukup jelas.Pasal 13FYang dimaksud dengan “mutasi” dalam ketentuan ini meliputi promosi dan demosi.Angka 4Pasal 14Ayat (1)Huruf aCukup jelas.Huruf bCukup jelas.Huruf cCukup jelas.Huruf dCukup jelas.Huruf ePendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh Mahkamah Agung dan Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu yang ditentukan dan melalui proses seleksi yang ketat.Huruf fCukup jelas.Huruf gCukup jelas.Huruf hCukup jelas.Huruf iCukup jelas.

Page 148: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (2)Cukup jelas.Angka 5Pasal 14ACukup jelas.Angka 6Pasal 15Cukup jelas.Angka 7Pasal 16Cukup jelas.Angka 8Pasal 19Cukup jelas.Angka 9Pasal 20Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Cukup jelas.Ayat (5)Cukup jelas.Ayat (6)Cukup jelas.Ayat (7)Yang dimaksud “dengan peraturan perundangundangan” adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.Angka 10Pasal 21Cukup jelas.Angka 11Pasal 22Ayat (1)Yang dimaksud dengan “diberhentikan sementara” dalam ketentuan ini adalah sanksi yang dikenakan kepada seorang hakim untuk tidak memeriksa dan mengadili perkara dalam jangka waktu tertentu selain pemberhentian sementara yang dimaksud dalam Undang-Undang Kepegawaian.Ayat (1a)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Angka 12Pasal 25

Page 149: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Huruf aCukup jelas.Huruf bCukup jelas.Huruf cYang dimaksud dengan “sarana transportasi” adalah kendaraan yang dapat berupa kendaraan bermotor ataupun bentuk lainnya yang digunakan untuk menunjang tugas-tugas hakim.Ayat (5)Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim diberikan penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim mampu memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.Ayat (6)Cukup jelas.Angka 13Pasal 28Cukup jelas.Angka 14Pasal 29Cukup jelas.Angka 15Pasal 30Cukup jelas.Angka 16Pasal 31Cukup jelas.Angka 17Pasal 32Cukup jelas.Angka 18Pasal 33Cukup jelas.Angka 19Pasal 34Cukup jelas.Angka 20Pasal 35Cukup jelas.Angka 21Pasal 36Huruf aCukup jelas.

Page 150: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf bCukup jelas.Huruf cCukup jelas.Huruf dYang dimaksud dengan “pejabat peradilan lainnya” adalah sekretaris pengadilan, wakil sekretaris pengadilan, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, dan pejabat struktural lainnya.Angka 22Pasal 38ACukup jelas.Pasal 38BCukup jelas.Angka 23Pasal 39 BAyat (1)Huruf aCukup jelas.Huruf bCukup jelas.Huruf cCukup jelas.Huruf dYang dimaksud dengan “pendidikan menengah” adalah Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk pendidikan lain yang sederajat.Huruf eCukup jelas.Huruf fCukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.Angka 24Cukup jelas.Angka 25Pasal 42Cukup jelas.Angka 26Pasal 43Cukup jelas.Angka 27Pasal 51 AAyat (1)Terkait dengan berlakunya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, pengadilan wajib membuka atau memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui informasi dan data mengenai putusan serta biaya perkara di pengadilan.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua pengadilan yang bersangkutan dikenakan

Page 151: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

sanksi administratif berupa teguran tertulis dari Ketua Mahkamah Agung.Angka 28Pasal 52Cukup jelas.Angka 29Pasal 107 AAyat (1)Dalam membuat penetapan dan putusan, hakim harus bersandar pada keadilan hukum dan norma yang ada dan berlaku di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, seorang hakim tidak dibenarkan untuk membuat penetapan atau putusan yang didasarkan oleh adanya kepentingan dan atau keuntungan pribadi.Ayat (2)Cukup jelas.Angka 30Pasal 116Ayat (1)Meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi catatan panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Tenggang waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak saat putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hokum tetap.Ayat (2)Cukup jelas.Ayat (3)Cukup jelas.Ayat (4)Yang dimaksud dengan “pejabat yang bersangkutan dikenakan uang paksa” dalam ketentuan ini adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan pada saat memutuskan mengabulkan gugatan penggugat.Ayat (5)Cukup jelas.Ayat (6)Presiden sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan berkewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap aparatur pemerintah yang tidak menjalankan fungsi pemerintahan dengan baik.Ayat (7)Cukup jelas.Angka 31Pasal 135Cukup jelas.Angka 32Pasal 144ACukup jelas.Pasal 144BCukup jelas.Pasal 144CAyat (1)Cukup jelas.Ayat (2)Cukup jelas.

Page 152: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (3)Yang dimaksud dengan “kelurahan” dalam ketentuan ini termasuk desa, banjar, nagari dan gampong.Pasal 144DAyat (1)Cukup jelasAyat (2)Yang dimaksud dengan bantuan hukum yang diberikan “secara cuma-cuma” adalah bantuan hukum yang diberikan sampai pada pelaksanaan eksekusi putusan.Ayat (3)Cukup jelas.

Pasal IICukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5079

KESIMPULAN PERKARA   PRAPERADILAN

KESIMPULAN

PERKARA PRAPERADILANNO. 03/PID.PRAB/2011/PN.BKS

ANTARA

Page 153: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

MONDANG SILABAN (PEMOHON)

BERLAWANAN DENGAN

NEGARA REPUBLIK INDONESIA, cq. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, cq KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA, cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH METRO JAYA, cq. KEPALA KEPOLISIAN RESORT METRO BEKASI, cq. KEPALA KEPOLISIAN SEKTOR BEKASI UTARA(TERMOHON)

UNTUK DAN ATAS NAMA PEMOHON MONDANG SILABAN

OLEHTIM PENASEHAT HUKUMNYAPENGABDI BANTUAN HUKUM

SYUKNI TUMI PENGATA. SHPARLAUNGAN. SHHUTAMI SIMATUPANG. SHARIF HUTAMI. SHMUKHLIS MUHAMMAD MAUDUDI. SH

LEMBAGA KONSULTASI DAN BANTUAN HUKUMPERHIMPUNAN MAHASISWA HUKUM INDONESIA

“JIKA DADAMU BERGETAR MELIHAT KETIDAKADILAN, MAKA ENGKAULAH SAUDARA SEPERJUANGANKU”ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH,

SALAM SEJAHTERA BAGI KITA SEMUASELAMAT SIANGSALAM PERMAHI !!!

BAPAK HAKIM YANG KAMI MULIAKAN, SAUDARA-SAUDARA KUASA HUKUM TERMOHON YANG TERHORMAT DAN HADIRIN SIDANG PRAPERADILAN YANG KAMI HORMATI YANG TELAH MENGIKUTI DENGAN KHIDMAT BAHAGIAN DARI PROSES PENEGAKAN HUKUM INI;

BAHWA PADA PERSIDANGAN PADA HARI RABU TANGGAL 02 NOVEMBER 2011 ACARA PEMERIKSAAN PERKARA PRA PERADILAN INI TELAH SAMPAI PADA TAHAP PEMBUKTIAN, DIMANA PARA PIHAK TELAH MENYATAKAN TIDAK ADA LAGI HAL YANG AKAN DISAMPAIKAN PADA SIDANG HARI INI. KAMI SELAKU KUASA PEMOHON AKAN MEMPERGUNAKAN HAK PEMOHON UNTUK MENYAMPAIKAN KESIMPULAN;

UNTUK ITU MAKA PADA PERSIDANGAN HARI INI PERKENANKAN KAMI KUASA PEMOHON MENYAMPAIKAN KESIMPULAN PEMOHON SEBAGAI BERIKUT :

SALVA OMNE REVERENTIA,

Page 154: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

BAHWA DARI HASIL PEMERIKSAAN DIPERSIDANGAN BERDASARKAN JAWABAN-JAWABAN YANG TELAH DAJUKAN OLEH TERMOHON SERTA SURAT-SURAT BUKTI YANG DIAJUKAN TERMOHON DAPAT PEMOHON TARIK KESIMPULAN SEBAGAI BERIKUT :

A. JAWABAN TERMOHON PADA PERSIDANGAN HARI SELASA TANGGAL 01 NOVEMBER 2011

1. BAHWA PADA MEMORI JAWABAN TERMOHON, TERDAPAT KESALAHAN YANG FATAL DAN JELAS YAKNI:

QUOTE :

- HALAMAN JUDUL ; “JAWABAN TERMOHON, DALAM PERKARA PRAPERADILAN NO : W8-DF.AT.01.10-4001, DI PENGADILAN NEGERI BEKASI”

- HALAMAN PERTAMA, PARAGRAPH KEDUA, “BERDASARKAN SURAT KUASA TERTANGGAL 31 OKTOBER 2011 BERTINDAK UN”BERDASARKAN SURAT KUASA TERTANGGAL 31 OKTOBER 2011 BERTINDAK UNTUK DAN ATAS NAMA KAPOLSEK BEKASI UTARA SEBAGAI TERMOHON PRAPERADILAN, PADA KESEMPATAN INI PERKENANKANLAH KAMI MENGAJUKAN JAWABAN, SEBAGAI TANGGAPAN ATAS PERMOHONAN PRAPERADILAN NOMOR : W8-DF.AT.01.10-4001 TANGGAL 26 OKTOBER 2011 YANG DIAJUKAN OLEH MONDANG BORU SILABAN CS MELALUI KUASA HUKUMNYA SEBAGAI BERIKUT;”

UNQUOTE :

- BAHWA PEMOHON MENDAFTARKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN TERHADAP PEMOHON KE PENGADILAN NEGERI BEKASI PADA HARI SENIN TANGGAL 24 OKTOBER 2011 DI KEPANITERAAN PENGADILAN NEGERI BEKASI OLEH PANITERA IBU HJ. U. YUNIATI, SH, CN DENGAN NOMOR REGISTER : 03/PID.PRAB/2011/PN.BKS BUKAN NOMOR : W8-DF.AT.01.10-4001;

B. PENANGKAPAN, PENAHANAN PEMOHON TIDAK SAH

2. BAHWA DARI BUKTI-BUKTI SURAT YANG DIAJUKAN TERMOHON YAKNI

a. BUKTI T-1 ; LAPORAN POLISI NO : LP/541/K/X/2011/SEK-UT ATAS NAMA PELAPOR ROSINTAN BORU SIMOSIR,b. BUKTI T-2 ; SURAT PEMBERITAHUAN PUTUSAN NO. B/15/F/X/2011/SEK-UT TANGGAL 05 OKTOBER 2011,c. BUKTI T-3 ; SURAT PERINTAH PENANGKAPAN NO. SP-KAP/56/X/2011/SEK-UT,d. BUKTI T-4 ; SURAT PERINTAH PENAHANAN NO. SP-HAN/15/X/2011/SEK-UT TANGGAL 05 OKTOBER 2011,e. BUKTI T-5 ; KWITANSI TANGGAL 20 SEPTEMBER 2011,f. BUKTI T-6 ; BUKTI TERIMA KIRIMAN POS INDONESIA KE MONDANG BORU SILABAN YANG DIKIRIM TANGGAL 07 OKTOBER 2011 DENGAN KETERANGAN SURAT KEMBALI KARENA ALASAN TIDAK JELAS DAN

Page 155: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

g. BUKTI T-7 ; AMPLOP SURT POLRI RESORT KOTA BEKASI SEKTOR BEKASI UTARA NO. B/15-F/X/2011/SEK-UT,

3. BAHWA SESUAI PASAL 59 UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA MENYATAKAN ; “TERSANGKA ATAU TERDAKWA YANG DIKENAKAN PENAHANAN BERHAK DIBERITAHUKAN TENTANG PENAHANAN ATAS DIRINYA OLEH PEJABAT YANG BERWENANG, PADA SEMUA TINGKAT PEMERIKSAAN DALAM PROSES PERADILAN, KEPADA KELUARGANYA ATAU ORANG LAIN YANG SERUMAH DENGAN TERSANGKA ATAU TERDAKWA ATAUPUN ORANG LAIN YANG BANTUANNYA DIBUTUHKAN OLEH TERSANGKA ATAU TERDAKWA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM ATAU JAMINAN BAGI PENANGGUHANNYA”.

4. BAHWA SESUAI PASAL 59 UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA, PEMBERITAHUAN PENAHANAN TIDAK HANYA DITUJUKAN KEPADA KELUARGA SAJA. TAPI DIMANA TERSANGKA DAN TERDAKWA TINGGAL SAAT ITU. ATAU ORANG LAIN SERUMAH DENGAN PEMOHON, ATAU KELUARGA BORU SILABAN, ATAU KELUARGA SUKU BATAK LAINNYA YANG DIKENAL DAN MENGENAL PEMOHON;

5. BAHWA HANYA SATU KALI PENGIRIMAN SURAT PEMBERITAHUAN PENAHANAN MELALUI POS TERCATAT YANG KEMBALI DIKARENAKAN ALAMAT TIDAK JELAS (VIDE BUKTI T-6) MENUNJUKKAN KETIDAKSERIUSAN TERMOHON DAN PENGABAIAN HAK-HAK ASASI MANUSIA PEMOHON;

6. BAHWA DENGAN KEMAJUAN TEKNOLOGI INFORMASI SAAT INI, SEYOGYANYA TERMOHON DAPAT MENYAMPAIKAN PEMBERITAHUAN PENAHANAN TERSEBUT SESUAI RUJUKAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TIDAK HANYA MELALUI SURAT. NAMUN DAPAT MELALUI ALAT KOMUNIKASI YANG DIMUNGKINKAN ANTARA LAIN MELALUI SHORT MESSAGE SERVICE (SMS) ATAU EMAIL ATAU BENTUK KOMUNIKASI LAINNYA YANG DIIJINKAN PERUNDANG-UNDANGAN SESUAI RUJUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TEKNOLOGI ELEKTRONIK;

7. BAHWA MENGINGAT PADA DASARNYA PENAHANAN TERSEBUT ADALAH PERAMPASAN TERHADAP HAK DAN KEBEBASAN PEMOHON, PENAHANAN SEHARUSNYA DILAKUKAN DENGAN PENUH KEHATI-HATIAN DAN SESUAI DENGAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA OLEH TERMOHON;

BAHWA BERDASARKAN URAIAN-URAIAN TERSEBUT JELAS SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM PASAL 59 UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TIDAK TERPENUHI. DENGAN DEMIKIAN LAGI-LAGI TERBUKTI PENAHANAN YANG DILAKUKAN TERHADAP PEMOHON OLEH TERMOHON TIDAK PUNYA DASAR HUKUM;

BERDASARKAN ARGUMENTASI YURIDIS YANG KAMI KEMUKAKAN DALAM KESIMPULAN DIATAS KIRANYA TELAH CUKUP DASAR BAGI PEMOHON

Page 156: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNTUK MEMOHON KEPADA BAPAK HAKIM YANG MULIA AGAR BERKENAN UNTUK MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON SELURUHNYA;

 

BEKASI, 03 NOVEMBER 2011 HORMAT KAMIUNTUK DAN ATAS NAMA PEMOHON MONDANG SILABAN,KUASA HUKUMNYA,

PARLAUNGAN. SHSYUKNI TUMI PENGATA. SH

HUTAMI SIMATUPANG. SHARIF HIDAYAT. SH

MUKHLIS MUHAMMAD MAUDUDI. SH

Page 157: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN   HIDUP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat

merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa pembangunan ekonomi nasionalsebagaimana diamanatkan oleh Undang-UndangDasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945diselenggarakan berdasarkan prinsippembangunan berkelanjutan dan berwawasanlingkungan;

c. bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan;

e. bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

f. bahwa agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Page 158: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

2. perlindungan . . .

2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidupadalah upaya sistematis dan terpadu yangdilakukan untuk melestarikan fungsi lingkunganhidup dan mencegah terjadinya pencemarandan/atau kerusakan lingkungan hidup yangmeliputi perencanaan, pemanfaatan,pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, danpenegakan hukum.

3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.

5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.

6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Page 159: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.

8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.

9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.

10. Kajian . . .

10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.

14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.

16. Perusakan . . .

16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Page 160: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.

20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.

21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.

22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.

23. Pengelolaan . . .

23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yangmeliputi pengurangan, penyimpanan,pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,pengolahan, dan/atau penimbunan.

24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatanmembuang, menempatkan, dan/ataumemasukkan limbah dan/atau bahan dalamjumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentudengan persyaratan tertentu ke media lingkunganhidup tertentu.

25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.

26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.

28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.

29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup.

Page 161: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

32. Setiap . . .

32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.

34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan masyarakat.

35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.

37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.

39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu Asas

Pasal 2

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:

a. tanggung jawab negara;

Page 162: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

b. kelestarian dan keberlanjutan;

c. keserasian dan keseimbangan;

d. keterpaduan;

e. manfaat;

f. kehati-hatian;

g. keadilan;

h. ekoregion;

i. keanekaragaman hayati;j. pencemar membayar;

k. partisipatif;

l. kearifan lokal;

m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan

n. otonomi daerah.

Bagian Kedua Tujuan

Pasal 3

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:

a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. menjamin . . .

b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;

d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;

f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;

Page 163: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; danj. mengantisipasi isu lingkungan global.

Bagian Ketiga Ruang Lingkup

Pasal 4

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi:

a. perencanaan;

b. pemanfaatan;

c. pengendalian;

d. pemeliharaan;

e. pengawasan; dan

f. penegakan hukum.

BAB III

PERENCANAAN

Pasal 5

Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan:

a.inventarisasi . . .

a. inventarisasi lingkungan hidup;

b. penetapan wilayah ekoregion; dan

c. penyusunan RPPLH.

Bagian Kesatu Inventarisasi Lingkungan Hidup

Pasal 6

(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan hidup:

a. tingkat nasional;

b. tingkat pulau/kepulauan; dan

c. tingkat wilayah ekoregion.

Page 164: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya alam yang meliputi:

a. potensi dan ketersediaan;

b. jenis yang dimanfaatkan;

c. bentuk penguasaan;

d. pengetahuan pengelolaan;

e. bentuk kerusakan; dan

f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.

Bagian Kedua Penetapan Wilayah Ekoregion

Pasal 7

(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.

(2) Penetapan . . .

(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:

a. karakteristik bentang alam;

b. daerah aliran sungai;

c. iklim;

d. flora dan fauna;

e. sosial budaya;

f. ekonomi;

g. kelembagaan masyarakat; dan

h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Pasal 8

Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.

Page 165: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian Ketiga Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 9

(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas:

a. RPPLH nasional;

b. RPPLH provinsi; dan

c. RPPLH kabupaten/kota.

(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional.

(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun berdasarkan:

a. RPPLH nasional;

b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan

c. inventarisasi tingkat ekoregion.

(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun berdasarkan:

a. RPPLH provinsi;

b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan

c. inventarisasi tingkat ekoregion.

Pasal 10

(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9disusun oleh Menteri, gubernur, ataubupati/walikota sesuai dengankewenangannya.

(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:

a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;

b. sebaran penduduk;

c. sebaran potensi sumber daya alam;

d. kearifan lokal;

e. aspirasi masyarakat; dan

Page 166: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

f. perubahan iklim.

(3) RPPLH diatur dengan:

a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;

b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan

c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk

RPPLH kabupaten/kota.

(4) RPPLH memuat rencana tentang:

a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;

b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;

c. pengendalian, pemantauan, sertapendayagunaan dan pelestarian sumber dayaalam; dan

d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

(5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah.

Pasal 11

Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IV PEMANFAATAN

Pasal 12

(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH.

(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:

a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;

b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan

c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.

Page 167: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh:

a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan;

b. gubernur . . .

b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau

c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

BAB V

PENGENDALIAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 13

(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pencegahan;

b. penanggulangan; dan

c. pemulihan.

(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing.

Bagian Kedua . . .

Bagian Kedua Pencegahan

Pasal 14

Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas:

Page 168: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. KLHS;

b. tata ruang;

c. baku mutu lingkungan hidup;

d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;

e. amdal;

f. UKL-UPL;

g. perizinan;

h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;

i. peraturan perundang-undangan berbasislingkungan hidup;

j. anggaran berbasis lingkungan hidup;

k. analisis risiko lingkungan hidup;

l. audit lingkungan hidup; dan

m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf 1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Pasal 15

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi:

a. rencana . . .

a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan

b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.

(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme:

Page 169: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah;

b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan

c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pasal 16

KLHS memuat kajian antara lain:

a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan;

b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;

c. kinerja layanan/jasa ekosistem;

d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;

e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan

f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Pasal 17

(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.

(2) Apabila . . .

(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui,

a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS; dan

b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

Pasal 18

(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2 Tata Ruang

Page 170: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 19

(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS.

(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Paragraf 3 Baku Mutu Lingkungan Hidup

Pasal 20

(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.

(2) Baku mutu . . .

(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:

a. baku mutu air;

b. baku mutu air limbah;

c. baku mutu air laut;

d. baku mutu udara ambien;

e. baku mutu emisi;

f. baku mutu gangguan; dan

g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:

a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan

b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, ataubupati/walikota sesuai dengankewenangannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e, dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.

Paragraf 4

Page 171: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup

Pasal 21

(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

(2) Kriteria . . .

(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.

(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi:

a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;

b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;

c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;

d. kriteria baku kerusakan mangrove;

e. kriteria baku kerusakan padang lamun;

f. kriteria baku kerusakan gambut;

g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau

h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada paramater antara lain:

a. kenaikan temperatur;

b. kenaikan muka air laut;

c. badai; dan/atau

d. kekeringan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 5 Amdal

Pasal 22

Page 172: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.

(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:

a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

b. luas wilayah penyebaran dampak;

c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;

e. sifat kumulatif dampak;

f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 23

(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:

a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;

b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;

c. proses . . .

c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;

d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;

e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;

f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;

g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;

h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau

i. penerapan teknologi yang diperkirakanmempunyai potensi besar untukmempengaruhi lingkungan hidup.

Page 173: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 24

Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup.

Pasal 25

Dokumen amdal memuat:

a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan;

c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan;

d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan;

e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup; dan

f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 26

(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.

(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. yang terkena dampak;

b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau

c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.

(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.

Pasal 27

Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan kepada pihak lain.

Page 174: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 28

(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.

(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikatkompetensi penyusun amdalsebagaimana dimaksud pada ayat (1)meliputi:

a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;

b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan

c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 29

(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Komisi . . .

(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensidari Menteri, gubernur, ataubupati/walikota sesuai dengankewenangannya.

(3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 30

(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur:

a. instansi lingkungan hidup;

b. instansi teknis terkait;

c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;

Page 175: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;

e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak; dan

f. organisasi lingkungan hidup.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu.

(3) Pakar independen dan sekretariatsebagaimana dimaksud pada ayat (3)ditetapkan oleh Menteri, gubernur, ataubupati/walikota sesuai dengankewenangannya.

Pasal 31

Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 32

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.

(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan amdal.

(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33

Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 6 UKL-UPL

Pasal 34

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-

UPL.

(2) Gubernur atau bupati/walikotamenetapkan jenis usaha dan/ataukegiatan yang wajib dilengkapi dengan

Page 176: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UKL-UPL. Pasal 35

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:

a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan

b. kegiatan usaha mikro dan kecil.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.

Paragraf 7 Perizinan

Pasal 36

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.

(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.

(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 37

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.

(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (4) dapat dibatalkan apabila:

a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;

b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi

UKL-UPL; atau

Page 177: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 38

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara.

Pasal 39

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat.

Pasal 40

(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.

(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.

(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.

Pasal 41

Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 8 Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Pasal 42

(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.

(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;

b. pendanaan lingkungan hidup; dan

c. insentif dan/atau disinsentif.

Pasal 43

(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf a meliputi:

Page 178: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;

b. penyusunan . . .

b. penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;

c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah; dan

d. internalisasi biaya lingkungan hidup.

(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi:

a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;

b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup; dan

c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.

(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam bentuk:

a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;

b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;

c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;

d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;

e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;

f. pengembangan asuransi lingkungan hidup;

g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup; dan

h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 9

Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 44

Page 179: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Paragraf 10 Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 45

(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai:

a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan

b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.

(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Pasal 46 . . .

Pasal 46

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan lingkungan hidup.

Paragraf 11 Analisis Risiko Lingkungan Hidup

Pasal 47

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis risiko lingkungan hidup.

(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pengkajian risiko;

b. pengelolaan risiko; dan/atau

c. komunikasi risiko.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 12 Audit Lingkungan Hidup

Page 180: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 48

Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kinerja lingkungan hidup.

Pasal 49

(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:

a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup; dan/atau

b. penanggung jawab usaha dan/ataukegiatan yang menunjukkanketidaktaatan terhadap peraturanperundang-undangan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit lingkungan hidup.

(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala.

Pasal 50

(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugasi pihak ketiga yang independen untuk melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

(2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup.

Pasal 51

(1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan hidup.

(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.

(3) Kriteria . . .

(3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kemampuan:

a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit lingkungan hidup;

b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan kesimpulan, dan pelaporan; dan

c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai tindak lanjut audit lingkungan hidup.

Page 181: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga Penanggulangan

Pasal 53

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;

b. pengisolasian . . .

b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; dan/atau

d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Pemulihan

Pasal 54

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:

a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;

b. remediasi;

c. rehabilitasi;

Page 182: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

d. restorasi; dan/atau

e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 55

(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan menggunakan dana penjaminan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VI PEMELIHARAAN

Pasal 57

(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya:

a. konservasi sumber daya alam;

b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau

c. pelestarian fungsi atmosfer.

(2) Konservasi . . .

(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan:

a. perlindungan sumber daya alam;

b. pengawetan sumber daya alam; dan

c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

Page 183: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.

(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;

b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan

c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Bagian Kesatu Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

Pasal 58

(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Pasal 59

(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.

(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan pengelolaan limbah B3.

(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain.

(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam izin.

Page 184: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga . . .

Bagian Ketiga Dumping

Pasal 60

Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalamPasal 60 hanya dapat dilakukan denganizin dari Menteri, gubernur, ataubupati/walikota sesuai dengankewenangannya.

(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIII

SISTEM INFORMASI

Pasal 62

(1) Pemerintah dan pemerintah daerahmengembangkan sistem informasilingkungan hidup untuk mendukungpelaksanaan dan pengembangan kebijakanperlindungan dan pengelolaan lingkunganhidup.

(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat.

(3) Sistem . . .

(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.

Page 185: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IX

TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 63

(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan nasional;

b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;

c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional;

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS;

e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca;

g. mengembangkan standar kerja sama;

h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

i. menetapkan dan melaksanakankebijakan mengenai sumber daya alamhayati dan nonhayati, keanekaragamanhayati, sumber daya genetik, dankeamanan hayati produk rekayasagenetik;

j. menetapkan . . .

j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon;

k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;

l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;

m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas batas negara;

n. melakukan pembinaan dan

Page 186: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;

o. melakukan pembinaan dan

pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan;

p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa;

r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat;

s. menetapkan standar pelayanan minimal;

t. menetapkan kebijakan mengenai tatacara pengakuan keberadaan

masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

u. mengelola . . .

u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;

v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;

w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;

x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium lingkungan hidup;

y. menerbitkan izin lingkungan;

z. menetapkan wilayah ekoregion; dan

aa.melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.

(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;

c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi;

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

Page 187: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;

f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;

g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lintas kabupaten / kota;

h. melakukan pembinaan danpengawasan terhadap pelaksanaankebijakan, peraturan daerah, danperaturan kepala daerahkabupaten / kota;

i. melakukan . . .

i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan

antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa;

l. melakukan pembinaan, bantuan teknis,dan pengawasan kepada

kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan;

m. melaksanakan standar pelayanan minimal;

n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;

o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;

p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;

q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;

r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan

s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi.

(3) Dalam . . .

Page 188: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(3) Dalam perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup, pemerintah

kabupaten/kota bertugas dan berwenang:

a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;

c. menetapkan dan melaksanakankebijakan mengenai RPPLHkabupaten/kota;

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;

f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;

g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;

i. melakukan pembinaan danpengawasan ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatanterhadap ketentuan perizinanlingkungan dan peraturan perundang-undangan;

j. melaksanakan standar pelayanan minimal;

k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;

l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

n. memberikan . . .

n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;

o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan

p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Page 189: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 64

Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri.

BAB X

HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN

Bagian Kesatu

Hak

Pasal 65

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Setiap . . .

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 66

Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 67

Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68

Page 190: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga . . .

Bagian Ketiga Larangan

Pasal 69 (1) Setiap orang dilarang:

a. melakukan perbuatan yangmengakibatkan pencemaran dan/atauperusakan lingkungan hidup;

b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;

f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;

g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;

i. menyusun amdal tanpa memilikisertifikat kompetensi penyusun amdal;dan/atau

j. memberikan informasi palsu,

menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.

BAB XI

Page 191: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

PERAN MASYARAKAT

Pasal 70

(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Peran masyarakat dapat berupa:

a. pengawasan sosial;

b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau

c. penyampaian informasi dan/atau laporan.

(3) Peran masyarakat dilakukan untuk:

a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;

c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;

d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan

e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

BAB XII

PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu Pengawasan

Pasal 71

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.

Pasal 72

Page 192: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.

Pasal 73

Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 74

(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang:

a. melakukan pemantauan;

b. meminta keterangan;

c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan;

d. memasuki tempat tertentu;

e. memotret;

f. membuat rekaman audio visual;

g. mengambil sampel;

h. memeriksa peralatan;

i. memeriksa instalasi dan/atau alattransportasi; dan/atau

j. menghentikan pelanggaran tertentu.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabatpengawas lingkungan hidup dapatmelakukan koordinasi dengan pejabatpenyidik pegawai negeri sipil.

(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup.

Pasal 75

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Page 193: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian Kedua . . .

Bagian Kedua Sanksi Administratif

Pasal 76

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.

(2) Sanksi administratif terdiri atas:

a. teguran tertulis;

b. paksaan pemerintah;

c. pembekuan izin lingkungan; atau

d. pencabutan izin lingkungan.

Pasal 77

Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 78

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

Pasal 79

Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.

Pasal 80

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:

a. penghentian sementara kegiatan produksi;

b. pemindahan sarana produksi;

c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;

d. pembongkaran;

Page 194: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;

f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau

g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:

a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;

b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau

c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.

Pasal 81

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Pasal 82

(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.

(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 83

Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XIII

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 84

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.

Page 195: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.

(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua . . .

Bagian Kedua

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

Pasal 85

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai:

a. bentuk dan besarnya ganti rugi;

b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan;

c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau

d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 86

(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga

Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Paragraf 1

Page 196: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan

Pasal 87

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.

(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut.

(3) Pengadilan dapat menetapkanpembayaran uang paksa terhadap setiaphari keterlambatan atas pelaksanaanputusan pengadilan.

(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 2 Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 88

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Paragraf 3

Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Pasal 89

(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3.

Paragraf 4

Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 90

Page 197: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5 Hak Gugat Masyarakat

Pasal 91

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6

Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup

Pasal 92

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum;

b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan

c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Paragraf 7 Gugatan Administratif

Pasal 93

(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara apabila:

Page 198: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;

b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL; dan/atau

c. badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.

(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.

BAB XIV

PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN

Bagian Kesatu Penyidikan

Pasal 94

(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup.

(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang:

a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

d. melakukan pemeriksaan ataspembukuan, catatan, dan dokumen lainberkenaan dengan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolaanlingkungan hidup;

e. melakukan . . .

e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;

f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

Page 199: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

h. menghentikan penyidikan;

i. memasuki tempat tertentu, memotret,dan/atau membuat rekaman audiovisual;

j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau

k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.

(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan.

(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

(6) Hasil . . .

(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 95

(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua Pembuktian

Pasal 96

Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:

a. keterangan saksi;

b. keterangan ahli;

Page 200: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. surat;

d. petunjuk;

e. keterangan terdakwa; dan/atau

f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

BAB XV KETENTUAN PIDANA

Pasal 97

Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Pasal 98

(1) Setiap orang yang dengan sengajamelakukan perbuatan yangmengakibatkan dilampauinya baku mutuudara ambien, baku mutu air, baku mutuair laut, atau kriteria baku kerusakanlingkungan hidup, dipidana denganpidana penjara paling singkat 3 (tiga)tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahundan denda paling sedikitRp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) danpaling banyak Rp10.000.000.000,00(sepuluh miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00

(dua belas miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00

(lima miliar rupiah) dan paling banyak

Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar

rupiah).

Pasal 99

Page 201: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00

(satu miliar rupiah) dan paling banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Apabila . . .

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit

Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00

(enam miliar rupiah).

(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda

paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga

miliar rupiah) dan paling banyak

Rp9.000.000.000,00 (sembilan miliar

rupiah).

Pasal 100

(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling banyak Rp3.000.000.000,00

(tiga miliar rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu

kali.

Pasal 101

Page 202: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga

miliar rupiah).

Pasal 102

Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah).

Pasal 103

Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga

miliar rupiah).

Pasal 104

Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 105

Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

Pasal 106

Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara Kesatuan RepublikIndonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana

Page 203: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

penjara paling singkat 5 (lima) tahun danpaling lama 15 (lima belas) tahun dan denda

paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliarrupiah) dan paling banyak

Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 107

Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima

belas miliar rupiah).

Pasal 108

Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00

(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 109 . . .

Pasal 109

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 110

Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 111

Page 204: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar

rupiah).

Pasal 112

Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak

Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 113

Setiap orang yang memberikan informasipalsu, menyesatkan, menghilangkan

informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling

banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 116

Page 205: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.

Pasal 117

Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 118

Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

Pasal 119

Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

b. penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;

c. perbaikan akibat tindak pidana;

d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 120

(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi.

(2) Dalam melaksanakan ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 119

Page 206: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

huruf e, Pemerintah berwenang untukmengelola badan usaha yang dijatuhisanksi penempatan di bawah pengampuanuntuk melaksanakan putusan pengadilanyang telah berkekuatan hukum tetap.

BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 121

(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit lingkungan hidup.

(2) Pada . . .

(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 122

(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.

(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup.

Pasal 123

Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

BAB XVII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 124

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 125

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor

Page 207: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126

Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

Pasal 127

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 3 Oktober 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 3 Oktober 2009

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140

Salinan sesuai dengan aslinya

S EKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,

SETIO SAPTO NUGROHO

PENJELASAN ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG

Page 208: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

2. Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara.

Indonesia juga berada pada posisi yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dampak tersebut meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman serta penyakit manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil, dan punahnya keanekaragaman hayati.

Ketersedian . . .

Ketersediaan sumber daya alam secara kuantitas ataupun kualitas tidak merata, sedangkan kegiatan pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang semakin meningkat. Kegiatan pembangunan juga mengandung risiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi ini dapat mengakibatkan daya dukung, daya tampung, dan produktivitas lingkungan hidup menurun yang pada akhirnya menjadi beban sosial.

Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem yang terpadu berupa suatu kebijakan nasional perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat sampai ke daerah.

3. Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Undang-Undang ini mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan

Page 209: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi.

4. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia telah meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu menuntut dikembangkannya sistem pembuangan yang aman dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Di samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat, industrialisasi juga menimbulkan dampak, antara lain, dihasilkannya limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

Dengan menyadari hal tersebut, bahan berbahaya dan beracun beserta limbahnya perlu dilindungi dan dikelola dengan baik. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah Indonesia.

Menyadari potensi dampak negatif yang ditimbulkan sebagai konsekuensi dari pembangunan, terus dikembangkan upaya pengendalian dampak secara dini. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) adalah salah satu perangkat preemtif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan amdal dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai amdal dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen amdal, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang amdal.

Amdal juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh izin usaha.

5. Upaya preventif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Dalam hal pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sudah terjadi, perlu dilakukan upaya represif berupa penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang sudah terjadi.

Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikembangkan satu sistem hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum sebagai landasan bagi perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam serta kegiatan pembangunan lain.

Undang-Undang ini juga mendayagunakan berbagai ketentuan hukum, baik hukum administrasi, hukum perdata, maupun hukum pidana. Ketentuan hukum perdata meliputi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di dalam pengadilan meliputi gugatan perwakilan kelompok, hak gugat organisasi lingkungan, ataupun hak gugat pemerintah. Melalui cara

Page 210: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

tersebut diharapkan selain akan menimbulkan efek jera juga akan meningkatkan kesadaran seluruh pemangku kepentingan tentang betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup demi kehidupan generasi masa kini dan masa depan.

6. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

7. Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan.

8. Selain . . .

8. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengatur:

a. keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;

b. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;

c. penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

d. penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

e. pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;

f. pendayagunaan pendekatan ekosistem;

g. kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;

h. penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

Page 211: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

i. penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidanasecara lebih jelas;

j. penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan

k. penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

9. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan "asas tanggung jawab negara" adalah:

a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.

b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Huruf b

Page 212: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang dimaksud dengan "asas kelestarian dan keberlanjutan" adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Huruf c . . .

Huruf c

Yang dimaksud dengan "asas keserasian dan keseimbangan" adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "asas manfaat" adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkungannya.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "asas kehati-hatian" adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Huruf g

Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "asas ekoregion" adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal.

Huruf i

Yang dimaksud dengan "asas keanekaragaman hayati" adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber

Page 213: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

Huruf j

Yang dimaksud dengan "asas pencemar membayar" adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.

Huruf k

Yang dimaksud dengan "asas partisipatif" adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Huruf l

Yang dimaksud dengan "asas kearifan lokal" adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Huruf m

Yang dimaksud dengan "asas tata kelola pemerintahan yang baik" adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.

Huruf n

Yang dimaksud dengan "asas otonomi daerah" adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Page 214: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Kearifan lokal dalam ayat ini termasuk hak ulayat yang diakui oleh DPRD.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Page 215: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Ayat (1)

Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain pengendalian:

a. pencemaran air, udara, dan laut; dan

b. kerusakan ekosistem dan kerusakan akibat perubahan iklim.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "wilayah" adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan/atau aspek fungsional.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Page 216: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf b

Dampak dan/atau risiko lingkungan hidup yang dimaksud meliputi:

a. perubahan iklim;

b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati;

c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan;

d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam;

e. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan;

f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau

g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Pelibatan masyarakat dilakukan melalui dialog, diskusi, dan konsultasi publik.

Ayat (2) . . .

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Page 217: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "baku mutu air" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "baku mutu air limbah" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air .

Huruf c

Yang dimaksud dengan "baku mutu air laut" adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "baku mutu udara ambien" adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "baku mutu emisi" adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "baku mutu gangguan" adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Page 218: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "produksi biomassa" adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk menghasilkan biomassa.

Yang dimaksud dengan "kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa" adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan produksi biomassa.

Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa mencakup lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kriteria baku kerusakan terumbu karang" adalah ukuran batas perubahan fisik dan/atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan" adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Page 219: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Jasad renik dalam huruf ini termasuk produk rekayasa genetik.

Page 220: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan

hidup dimaksudkan untuk menghindari,

meminimalkan, memitigasi, dan/atau

Page 221: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

mengompensasikan dampak suatu usaha dan/ataukegiatan.

Pasal 26

Ayat (1)

Pelibatan masyarakat dilaksanakan dalam proses pengumuman dan konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan tanggapan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 27

Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain lembaga penyusun amdal atau konsultan.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Page 222: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas. Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Rekomendasi UKL-UPL dinilai oleh tim teknis instansi lingkungan hidup.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Ayat (1)

Pengumuman dalam Pasal ini merupakan pelaksanaan atas keterbukaan informasi. Pengumuman tersebut memungkinkan peran serta masyarakat, khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan keputusan izin.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 40

Ayat (1)

Page 223: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang dimaksud dengan izin usaha dan/atau kegiatan dalam ayat ini termasuk izin yang disebut dengan nama lain seperti izin operasi dan izin konstruksi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Perubahan yang dimaksud dalam ayat ini, antara lain, karena kepemilikan beralih, perubahan teknologi, penambahan atau pengurangan kapasitas produksi, dan/atau lokasi usaha dan/atau kegiatan yang berpindah tempat.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "instrumen ekonomi dalam perencanaan pembangunan" adalah upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "pendanaan lingkungan" adalah suatu sistem dan mekanisme penghimpunan dan pengelolaan dana yang digunakan bagi pembiayaan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendanaan lingkungan berasal dari berbagai sumber, misalnya pungutan, hibah, dan lainnya.

Huruf c

Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup.

Disinsentif merupakan pengenaan beban atau ancaman secara moneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup.

Page 224: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 43

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "neraca sumber daya alam" adalah gambaran mengenai cadangan sumber daya alam dan perubahannya, baik dalam satuan fisik maupun dalam nilai moneter.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "produk domestik bruto" adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu.

Yang dimaksud dengan "produk domestik regional bruto" adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antardaerah" adalah cara-cara kompensasi/imbal yang dilakukan oleh orang, masyarakat, dan/atau pemerintah daerah sebagai pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "internalisasi biaya lingkungan hidup" adalah memasukkan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu usaha dan/atau kegiatan.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "dana jaminan pemulihan lingkungan hidup" adalah dana yang disiapkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup yang rusak karena kegiatannya.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "dana penanggulangan" adalah dana yang digunakan untuk menanggulangi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang timbul akibat suatu usaha dan/atau kegiatan.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "dana amanah/bantuan" adalah dana yang berasal dari sumber hibah dan donasi untuk kepentingan konservasi lingkungan hidup.

Ayat (3)

Page 225: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf a

Yang dimaksud dengan "pengadaan barang dan jasa ramah lingkungan hidup" adalah pengadaaan yang memprioritaskan barang dan jasa yang berlabel ramah lingkungan hidup.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "pajak lingkungan hidup" adalah pungutan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sumber daya alam, seperti pajak pengambilan air bawah tanah, pajak bahan bakar minyak, dan pajak sarang burung walet.

Yang dimaksud dengan "retribusi lingkungan hidup" adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap setiap orang yang memanfaatkan sarana yang disiapkan pemerintah daerah seperti retribusi pengolahan air limbah.

Yang dimaksud dengan "subsidi lingkungan hidup" adalah kemudahan atau pengurangan beban yang diberikan kepada setiap orang yang kegiatannya berdampak memperbaiki fungsi lingkungan hidup.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "sistem lembaga keuangan ramah lingkungan hidup" adalah sistem lembaga keuangan yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam kebijakan pembiayaan dan praktik sistem lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank.

Yang dimaksud dengan "pasar modal ramah lingkungan hidup" adalah pasar modal yang menerapkan persyaratan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi perusahaan yang masuk pasar modal atau perusahaan terbuka, seperti penerapan persyaratan audit lingkungan hidup bagi perusahaan yang akan menjual saham di pasar modal.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi" adalah jual beli kuota limbah dan/atau emisi yang diizinkan untuk dibuang ke media lingkungan hidup antarpenanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "pembayaran jasa lingkungan hidup" adalah pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "asuransi lingkungan hidup" adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Huruf g

Page 226: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang dimaksud dengan "sistem label ramah lingkungan hidup" adalah pemberian tanda atau label kepada produk-produk yang ramah lingkungan hidup.

Huruf h

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kriteria kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi, antara lain, kinerja mempertahankan kawasan koservasi dan penurunan tingkat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "analisis risiko lingkungan" adalah prosedur yang antara lain digunakan untuk mengkaji pelepasan dan peredaran produk rekayasa genetik dan pembersihan (clean up) limbah B3.

Ayat (2)

Huruf a

Dalam ketentuan ini "pengkajian risiko" meliputi seluruh proses mulai dari identifikasi bahaya, penaksiran besarnya konsekuensi atau akibat, dan penaksiran kemungkinan munculnya dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap keamanan dan kesehatan manusia maupun lingkungan hidup.

Huruf b

Page 227: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Dalam ketentuan ini "pengelolaan risiko" meliputi evaluasi risiko atau seleksi risiko yang memerlukan pengelolaan, identifikasi pilihan pengelolaan risiko, pemilihan tindakan untuk pengelolaan, dan pengimplementasian tindakan yang dipilih.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "komunikasi risiko" adalah proses interaktif dari pertukaran informasi dan pendapat di antara individu, kelompok, dan institusi yang berkenaan dengan risiko.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi" adalah usaha dan/atau kegiatan yang jika terjadi kecelakaan dan/atau keadaan darurat menimbulkan dampak yang besar dan luas terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup seperti petrokimia, kilang minyak dan gas bumi, serta pembangkit listrik tenaga nuklir.

Dokumen audit lingkungan hidup memuat:

a. informasi yang meliputi tujuan dan proses pelaksanaan audit;

b. temuan audit;

c. kesimpulan audit; dan

d. data dan informasi pendukung.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 228: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b . . .

Huruf b

Yang dimaksud dengan "remediasi" adalah upaya pemulihan pencemaran lingkungan hidup untuk memperbaiki mutu lingkungan hidup.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah upaya pemulihan untuk mengembalikan nilai, fungsi, dan manfaat lingkungan hidup termasuk upaya pencegahan kerusakan lahan, memberikan perlindungan, dan memperbaiki ekosistem.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "restorasi" adalah upaya pemulihan untuk menjadikan lingkungan hidup atau bagian-bagiannya berfungsi kembali sebagaimana semula.

Huruf e

Cukup jelas.

Page 229: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pemeliharaan lingkungan hidup" adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia.

Huruf a

Konservasi sumber daya alam meliputi, antara lain, konservasi sumber daya air, ekosistem hutan, ekosistem pesisir dan laut, energi, ekosistem lahan gambut, dan ekosistem karst.

Huruf b

Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat dikelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan.

Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dan perseorangan dapat membangun:

a. taman keanekaragaman hayati di luar kawasan hutan;

b. ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luasan pulau/kepulauan; dan/atau

c. menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan, khususnya tanaman langka.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Page 230: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang dimaksud dengan "pengawetan sumber daya alam" adalah upaya untuk menjaga keutuhan dan keaslian sumber daya alam beserta ekosistemnya.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "mitigasi perubahan iklim" adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam upaya menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sebagai bentuk upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.

Yang . . .

Yang dimaksud dengan "adaptasi perubahan iklim" adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan, dan konsekuensi yang timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 58

Ayat (1)

Kewajiban untuk melakukan pengelolaan B3 merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup yang berupa terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, mengingat B3 mempunyai potensi yang cukup besar untuk menimbulkan dampak negatif.

Ayat (2)

Page 231: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Pasal 59

Ayat (1)

Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan pihak lain adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin.

Ayat (5) . . .

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Ayat (1)

Sistem informasi lingkungan hidup memuat, antara lain, keragaman karakter ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, dan kearifan lokal.

Ayat (2)

Page 232: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

Ayat (2)

Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas keterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektivitas peran serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan, dan evaluasi hasil pemantauan lingkungan hidup, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup dan rencana tata ruang.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Page 233: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 66

Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan / atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan.

Pasal 67 . . .

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69 Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

B3 yang dilarang dalam ketentuan ini, antara lain, DDT, PCBs, dan dieldrin.

Huruf c

Larangan dalam ketentuan ini dikecualikan bagi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Huruf d

Yang dilarang dalam huruf ini termasuk impor.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Page 234: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Ayat (2) . . .

Ayat (2)

Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pemberian saran dan pendapat dalam ketentuan ini termasuk dalam penyusunan KLHS dan amdal.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Page 235: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Yang dimaksud dengan "pelanggaran yang serius" adalah tindakan melanggar hukum yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang relatif besar dan menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "ancaman yang sangat serius" adalah suatu keadaan yang berpotensi sangat membahayakan keselamatan dan kesehatan banyak orang sehingga penanganannya tidak dapat ditunda.

Huruf b

Page 236: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup Jelas.

Pasal 84

Ayat (1)

Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak keperdataan para pihak yang bersengketa.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup untuk menjamin kepastian hukum.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Ayat (1)

Ketentuan dalam ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk:

a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;

b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau

Page 237: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (3) . . .

Ayat (3)

Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 88

Yang dimaksud dengan "bertanggung jawab mutlak" atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksud dengan "sampai batas waktu tertentu" adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kerugian lingkungan hidup" adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat.

Tindakan tertentu merupakan tindakan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan serta pemulihan fungsi lingkungan hidup guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Page 238: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Pasal 94

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan koordinasi adalah tindakan berkonsultasi guna mendapatkan bantuan personil, sarana, dan prasarana yang dibutuhkan dalam penyidikan.

Ayat (4)

Pemberitahuan dalam Pasal ini bukan merupakan pemberitahuan dimulainya penyidikan, melainkan untuk mempertegas wujud koordinasi antara pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Page 239: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa dengan itu; dan/atau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Yang dimaksud dengan "melepaskan produk rekayasa genetik" adalah pernyataan diakuinya suatu hasil pemuliaan produk rekayasa genetik menjadi varietas unggul dan dapat disebarluaskan setelah memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan "mengedarkan produk rekayasa genetik" adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran komoditas produk rekayasa genetik kepada masyarakat, baik untuk diperdagangkan maupun tidak.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Page 240: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 113

Informasi palsu yang dimaksud dalam Pasal ini dapat berbentuk dokumen atau keterangan lisan yang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang senyatanya atau informasi yang tidak benar.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Page 241: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas.

Pasal 118

Yang dimaksud dengan pelaku fungsional dalam Pasal ini adalah badan usaha dan badan hukum.

Tuntutan pidana dikenakan terhadap pemimpin badan usaha dan badan hukum karena tindak pidana badan usaha dan badan hukum adalah tindak pidana fungsional sehingga pidana dikenakan dan sanksi dijatuhkan kepada mereka yang memiliki kewenangan terhadap pelaku fisik dan menerima tindakan pelaku fisik tersebut.

Yang dimaksud dengan menerima tindakan dalam Pasal ini termasuk menyetujui, membiarkan, atau tidak cukup melakukan pengawasan terhadap tindakan pelaku fisik, dan/atau memiliki kebijakan yang memungkinkan terjadinya tindak pidana tersebut.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Izin dalam ketentuan ini, misalnya, izin pengelolaan limbah B3, izin pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Cukup jelas.

Pasal 127

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5059

Page 242: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN   ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 23 TAHUN 2002

TENTANG

PERLINDUNGAN ANAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;

b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;

c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan;

d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;

e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya;

f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, e, dan f perlu ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak;

Mengingat :

1. Pasal 20, Pasal 20A ayat (1), Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3143);

Page 243: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277);

4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3668);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3670);

6. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja) (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3835);

7. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);

8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Immediate Action for The Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3941);

Dengan persetujuan :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Page 244: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.

6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.

9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.

11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.

12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.

13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.

14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.

15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

Page 245: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

 

BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. non diskriminasi;

b. kepentingan yang terbaik bagi anak;

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

 

BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN ANAK

Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Page 246: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

Page 247: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 14

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;

c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

e. pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

Page 248: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. menghormati orang tua, wali, dan guru;

b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

BAB IV

KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 20

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Bagian Kedua

Kewajiban dan Tanggung JawabNegara dan Pemerintah

Pasal 21

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Page 249: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 22

Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 23

(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.

(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24

Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Bagian Ketiga

Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Pasal 25

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Bagian Keempat

Kewajiban dan Tanggung JawabKeluarga dan Orang Tua

Pasal 26

(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

(2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB V

KEDUDUKAN ANAK

Page 250: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Bagian Kesatu

Identitas Anak

Pasal 27

(1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.

(2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran.

(3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.

(4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.

Pasal 28

(1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.

(2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan.

(3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya.

(4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua

Anak yang Dilahirkan dariPerkawinan Campuran

Pasal 29

(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan salah satu dari kedua orang tuanya.

(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), sedangkan anak belum mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.

Page 251: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

BAB VI

KUASA ASUH

Pasal 30

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, melalaikan kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Pasal 31

(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga, dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi yang bersangkutan.

(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan diasuhnya.

Pasal 32

Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) sekurang-kurangnya memuat ketentuan :

a. tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;

b. tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya; dan

c. batas waktu pencabutan.

BAB VII

PERWALIAN

Pasal 33

Page 252: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Dalam hal orang tua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.

(2) Untuk menjadi wali anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

(3) Wali yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) agamanya harus sama dengan agama yang dianut anak.

(4) Untuk kepentingan anak, wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib mengelola harta milik anak yang bersangkutan.

(5) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penunjukan wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 34

Wali yang ditunjuk berdasarkan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak.

Pasal 35

(1) Dalam hal anak belum mendapat penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(2) Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertindak sebagai wali pengawas untuk mewakili kepentingan anak.

(3) Pengurusan harta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus mendapat penetapan

Pasal 36

(1) Dalam hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hari tidak cakap melakukan perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali, maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.

(2) Dalam hal wali meninggal dunia, ditunjuk orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.

 

BAB VIII

PENGASUHAN DAN PENGANGKATAN ANAK

Bagian Kesatu

Page 253: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pengasuhan Anak

Pasal 37

(1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.

(4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan.

(5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial.

(6) Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 38

(1) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

(2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya dan/atau fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial, tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak.

Bagian Kedua

Pengangkatan Anak

Pasal 39

(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

Page 254: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.

Pasal 40

(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.

(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.

Pasal 41

(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX

PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN

Bagian Kesatu

Agama

Pasal 42

(1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya.

(2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya.

Pasal 43

(1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya.

(2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.

Bagian Kedua

Kesehatan

Pasal 44

Page 255: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyeleng-garakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.

(2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didukung oleh peran serta masyarakat.

(3) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan.

(4) Upaya kesehatan yang komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan secara cuma-cuma bagi keluarga yang tidak mampu.

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 45

(1) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.

(2) Dalam hal orang tua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pemerintah wajib memenuhinya.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 46

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan.

Pasal 47

(1) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.

(2) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan :

a. pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak;

b. jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan

c. penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.

Bagian Ketiga

Page 256: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pendidikan

Pasal 48

Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 49

Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.

Pasal 50

Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diarahkan pada :

a. pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;

b. pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan asasi;

c. pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional di mana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal, dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendiri;

d. persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab; dan

e. pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Pasal 51

Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Pasal 52

Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.

Pasal 53

(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

(2) Pertanggungjawaban pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula mendorong masyarakat untuk berperan aktif.

Pasal 54

Page 257: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

 

Bagian Keempat

Sosial

Pasal 55

(1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga.

(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.

(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat, sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.

(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial.

Pasal 56

(1) Pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat :

a. berpartisipasi;

b. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;

c. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak;

d. bebas berserikat dan berkumpul;

e. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan

f. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

(2) Upaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikembangkan dan disesuaikan dengan usia, tingkat kemampuan anak, dan lingkungannya agar tidak menghambat dan mengganggu perkembangan anak.

Pasal 57

Page 258: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.

Pasal 58

(1) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan, dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan.

(2) Pemerintah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Bagian Kelima

Perlindungan Khusus

Pasal 59

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

Pasal 60

Anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 terdiri atas :

a. anak yang menjadi pengungsi;

b. anak korban kerusuhan;

c. anak korban bencana alam; dan

d. anak dalam situasi konflik bersenjata.

Pasal 61

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter.

Pasal 62

Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b, huruf c, dan huruf d, dilaksanakan melalui :

Page 259: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

a. pemenuhan kebutuhan dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan

b. pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.

Pasal 63

Setiap orang dilarang merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa.

Pasal 64

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;

e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum;

f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi;

c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan

d. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.

Pasal 65

Page 260: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.

(2) Setiap orang dilarang menghalang-halangi anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya, dan menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses pemba-ngunan masyarakat dan budaya.

Pasal 66

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :

a. penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan

c. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.

(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 67

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 68

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

Page 261: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 69

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya :

a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 70

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui upaya :

a. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak;

b. pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan

c. memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu.

(2) Setiap orang dilarang memperlakukan anak dengan mengabaikan pandangan mereka secara diskriminatif, termasuk labelisasi dan penyetaraan dalam pendidikan bagi anak-anak yang menyandang cacat.

Pasal 71

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

BAB X

PERAN MASYARAKAT

Pasal 72

(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk berperan dalam perlindungan anak.

Page 262: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

Pasal 73

Peran masyarakat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI

KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

Pasal 74

Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang ini dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

Pasal 75

(1) Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota.

(2) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

(3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelengkapan organisasi, mekanisme kerja, dan pembiayaan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 76

Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :

a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;

b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

BAB XII

Page 263: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

KETENTUAN PIDANA

Pasal 77

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan :

a. diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau

b. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

c. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 78

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 79

Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 80

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Page 264: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 83

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 84

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 85

(1) Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 86

Page 265: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 87

Setiap orang yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 88

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 89

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 90

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 89 dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau korporasinya.

(2) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah 1/3 (sepertiga) pidana denda masing-masing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Page 266: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 91

Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 92

Pada saat berlakunya undang-undang ini, paling lama 1 (satu) tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia sudah terbentuk.

Pasal 93

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Disahkan di Jakartapada tanggal 22 Oktober 2002

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakartapada tanggal 22 Oktober 2002

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 109

Salinan sesuai dengan aslinya

Page 267: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

SEKRETARIAT KABINET RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II

Ttd.

Edy Sudibyo

Penjelasan …

P E N J E L A S A NA T A SUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 23 TAHUN 2002TENTANGPERLINDUNGAN ANAK

UMUM

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki

Page 268: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :

a. nondiskriminasi;b. kepentingan yang terbaik bagi anak;c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dand. penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

PASAL DEMI PASALPasal 1Cukup jelas

Pasal 2

Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak.

Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.

Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua.

Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Hak ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Anak.

Pasal 5

Page 269: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Pasal 6

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan orang tuanya.

Pasal 7

Ayat (1)

Ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.

Ayat (2)

Pengasuhan atau pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan norma-norma hukum, adat istiadat yang berlaku, dan agama yang dianut anak.

Pasal 8

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Cukup jelas

Pasal 12

Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Page 270: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 13

Ayat (1)

Huruf a

Perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Huruf b

Perlakuan ekploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

Huruf c

Perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

Huruf d

Perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan peng-aniayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

Huruf e

Perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

Huruf f

Perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 14

Pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya.

Pasal 15

Perlindungan dalam ketentuan ini meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis.

Page 271: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 17

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Yang dimaksud dengan bantuan lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 18

Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.

Pasal 19

Cukup jelas

Pasal 20

Cukup jelas

Pasal 21

Page 272: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Pasal 22

Dukungan sarana dan prasarana, misalnya sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, balai kesehatan, gedung kesenian, tempat rekreasi, ruang menyusui, tempat penitipan anak, dan rumah tahanan khusus anak.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 24

Cukup jelas

Pasal 25

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Page 273: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 31

Ayat (1)

Page 274: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 32

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengadilan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi yang beragama selain Islam.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 34

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 275: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 36

Ayat (1)

Lihat penjelasan Pasal 33 Ayat (2)

Ayat (2)

Lihat penjelasan Pasal 33 Ayat (2)

Pasal 37

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan kata seyogianya dalam ketentuan ini adalah sepatutnya; selayaknya; semestinya; dan sebaiknya.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Pengasuhan anak dalam panti sosial merupakan upaya terakhir.

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 276: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Ketentuan ini berlaku untuk anak yang belum berakal dan bertanggung jawab, dan penyesuaian agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara musyawarah, dan telah diadakan penelitian yang sungguh-sungguh.

Pasal 40

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kesiapan dalam ketentuan ini diartikan apabila secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Page 277: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Anak dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-unangan yang berlaku.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (1)

Cukup jelas

Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas

Page 278: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 46

Penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan menimbulkan kecacatan, misalnya HIV/AIDS, TBC, kusta, polio.

Pasal 47

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 48

Cukup jelas

Pasal 49

Cukup jelas

Pasal 50

Cukup jelas

Pasal 51

Cukup jelas

Pasal 52

Cukup jelas

Pasal 53

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Page 279: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Pasal 54

Cukup jelas

Pasal 55

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan frasa dalam lembaga adalah melalui sistem panti pemerintah dan panti swasta, sedangkan frasa di luar lembaga adalah sistem asuhan keluarga/perseorangan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 57

Cukup jelas

Pasal 58

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 59

Page 280: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Pasal 60

Cukup jelas

Pasal 61

Cukup jelas

Pasal 62

Yang dimaksud dengan frasa gangguan psikososial antara lain trauma psikis dan gangguan perkembangan anak di usia dini.

Pasal 63

Cukup jelas

Pasal 64

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 66

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Page 281: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 67

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 68

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 69

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 70

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 71

Ayat (1)

Page 282: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 72

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 73

Cukup jelas

Pasal 74

Cukup jelas

Pasal 75

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan frasa tokoh masyarakat dalam ayat ini termasuk tokoh adat.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Kelengkapan organisasi yang akan diatur dalam Keputusan Presiden termasuk pembentukan organisasi di daerah.

Pasal 76

Cukup jelas

Pasal 77

Cukup jelas

Page 283: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 78

Cukup jelas

Pasal 79

Cukup jelas

Pasal 80

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 81

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 82

Cukup jelas

Pasal 83

Cukup jelas

Pasal 84

Cukup jelas

Pasal 85

Page 284: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 86

Cukup jelas

Pasal 87

Cukup jelas

Pasal 88

Cukup jelas

Pasal 89

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 90

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 91

Cukup jelas

Pasal 92

Cukup jelas

Pasal 93

Page 285: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN   1945

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

(yang dipadukan dengan Perubahan I, II, III & IV)

PEMBUKAAN

(Preambule)

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebagsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

BAB IBENTUK DAN KEDAULATAN

Pasal 1

(1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.* (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-UndangDasar.* (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.

* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :

(1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik.(2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Page 286: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

BAB IIMAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Pasal 2* (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyatdan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota Negara.(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi:(1) Majelis permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.

*Pasal 3(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan negara.

BAB IIIKEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARAPasal 4(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

Pasal 5* (1) Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.(2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi : (1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undangdengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 6* (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagi Presiden dan Wakil Presiden.* (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :

Page 287: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Presiden ialah orang Indonesia asli.(2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.

*Pasal 6A(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.* Perubahan III 9 November 2001

* (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, duapasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.* Perubahan IV 10 Agustus 2002* (5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diaturdalam undang-undang.* Perubahan III 9 November 2001*Pasal 7Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.

*Pasal 7A

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.* Perubahan III 9 November 2001

Pasal 7B* (1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DewanPerwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.* (2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

Page 288: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.* (3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusihanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.* (4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.* (5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau WakilPresiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.* (6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untukmemutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.* Perubahan III 9 November 2001* (7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.* Perubahan III November 2001*Pasal 7CPresiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan PerwakilanRakyat.

* (1) Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukankewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.* (2) Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktuenam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.* Perubahan III November 2001* (3) Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidakdapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan siding untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, samapi berakhir masa jabatannya.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :

Page 289: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis batas waktunya.

*Pasal 9

(1) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden)

“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden) :

“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan

segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan bangsa”.

(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden) :“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden) :Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

Pasal 10

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Page 290: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 11* (1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.* Perubahan IV 10 Agustus 2002* (2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkanakibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.* (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

* Perubahan III November 2001, sebelumnya berbunyi:Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 12

Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-undang.

*Pasal 13(1) Presiden mengangkat Duta dan Konsul(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.* Perubahan 119 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi:Pasal 13(1) Presiden mengangkat Duta dan Konsul.(2) Presiden menerima Duta negara lain.

*Pasal 14(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.* Perubahan 119 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :Pasal 14Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. * Pasal 15Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan Undang-undang.

* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi : Pasal 15Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.

Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.* Perubahan IV10 Agustus 2002

Page 291: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG Dihapus.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :BAB IVDEWAN PERTIMBANGAN AGUNG Pasal 16(1) Susunan Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang-undang.(2) Dewan ini berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah.

BAB VKEMENTERIAN NEGARA Pasal 17(1) Presiden dibantu oleh Menteri-menteri negara.* (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.* (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.(3) Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.* (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalamundang-undang.* Perubahan III 9 November 2001BAB VIPEMERINTAHAN DAERAHPasal 18* (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dandaerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.* Perubahan II18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi:Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa.* (2) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.* (3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DewanPerwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.* (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahandaerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.* (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusanpemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.* (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.* (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalamundang-undang.* Perubahan II 18 Agustus 2000.

Pasal 18A* (1) Hubungan wewenang antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah

Page 292: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

propinsi, kabupaten, kota, atau antara propinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.* (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dansumber daya lainnya antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.* Perubahan II 18 Agustus 2000.Pasal 18B* (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yangbersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.* (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adatbeserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.* Perubahan II 18 Agustus 2000.

BAB VIIDEWAN PERWAKILAN RAKYATPasal 19* (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.* (2) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.* (3) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.* Perubahan II18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi:

(1) Susunan Dewan Perwakilan Rakyat ditetapkan dengan Undang-undang.(2) Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

Pasal 20* (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.* (2) Setiap rancangan Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat danPresiden untuk mendapat persetujuan bersama.* (3) Jika rancangan Undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,rancangan Undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.* (4) Persidangan mengesahkan rancangan Undang-undang yang telah disetujuibersama untuk menjadi Undang-undang.* (5) Dalam rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidakdisahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-undang dan wajib diundangkan.

* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :(1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.(2) Jika sesuatu rancangan Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

* (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsipengawasan.* (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain

Page 293: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.* (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiapanggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.* (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggotaDewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.* Perubahan II 18 Agustus 2000.* Pasal 21Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan Undang-undang.* Perubahan I 19 Oktober 1999, sebelumnya berbunyi :

(1) Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan Undang-undang.(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

Pasal 22(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.(2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.* Pasal 22A

Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.* Perubahan II 18 Agustus 2000.* Pasal 22B

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.

* Perubahan II18 Agustus 2000.

* BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH* Pasal 22C

(1) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.(2) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.(3) Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.(4) Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.

* Perubahan III9 November 2001.* Pasal 22D

Page 294: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.(4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.* Perubahan III 9 November 2001.

BAB VIIBPEMILIHAN UMUM

* Pasal 22E(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.(4) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

* Perubahan III 9 November 2001.

BAB VIIIHAL KEUANGAN

Pasal 23* (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaankeuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.* (2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukanoleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

Page 295: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaranpendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.* Perubahan III 9 November 2001, sebelumnya berbunyi :

(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan Undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan Pemerintah, maka Pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.(2) Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-undang.(3) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-undang.(4) Hal keuangan negara selanjutnya diatur dengan Undang-undang.(5) Untuk memeriksa tanggung-jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya

ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.* Pasal 23A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.* Perubahan III 9 November 2001.* Pasal 23BMacam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.* Perubahan IV10 Agustus 2002* Pasal 23CHal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.* Perubahan III9 November 2001.* Pasal 23DNegara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.* Perubahan IV10 Agustus 2002.

BAB VIIIABADAN PEMERIKSA KEUANGAN* Pasal 23E

(1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.(2) Hasil pemeriksa keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.(3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.

* Perubahan III 9 November 2001.

(1) Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.(2) Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.

* Perubahan III 9 November 2001.

Page 296: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* Pasal 23G

(1) Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.* Perubahan III 9 November 2001.

BAB IX KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 24* (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.* (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badanperadilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.* Perubahan III19 November 2001, sebelumnya berbunyi :

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-undang.(2) Susunan dan kekuasaan Badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-undang.* (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diaturdalam undang-undang.* Perubahan IV 10 Agustus 2002.* Pasal 24A(1) Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, meguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

(2) Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.(3) Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.(4) Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung.(5) Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.

* Perubahan III 19 November 2001.

* Pasal 24B

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Page 297: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* Perubahan III 9 November 2001.* Pasal 24C

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.(3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.(4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.(5) Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.(6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

* Perubahan III 9 November 2001.

Pasal 25

Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-undang.

* BAB IX A WILAYAH NEGARA

* Pasal 25A

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.* Perubahan II, 18 Agustus 2000.BAB XWARGA NEGARA DAN PENDUDUK

* Pasal 26* (1) Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggaldi Indonesia.* (2) Setiap warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.

Perubahan II 18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi : WARGA NEGARA Pasal 26(1) Yang menjadi Warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara.(2) Syarat-syarat yang mengenai kewargaan negara ditetapkan dengan undang-undang.

Page 298: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 27(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.* (3) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.

* BAB XA HAK ASASI MANUSIA

* Pasal 28ASetiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. * Perubahan II18 Agustus 2000.

* Pasal 28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

* Perubahan II 18 Agustus 2000.* Pasal 28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.* Perubahan II 18 Agustus 2000.

* Pasal 28D

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

(5) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat

Page 299: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.(6) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.(7) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

* Perubahan II 18 Agustus 2000.

* Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

* Perubahan II 18 Agustus 2000.* Pasal 28G

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.* Perubahan II 18 Agustus 2000.

* Pasal 28H

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

* Perubahan II18 Agustus 2000.* Pasal 28I

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung

Page 300: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

jawab negara, terutama pemerintah.(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

* Perubahan II 18 Agustus 2000.* Pasal 28J

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.* Perubahan II 18 Agustus 2000.

BAB XIAGAMA

Pasal 29(1) Negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa.(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.

BAB XIIPERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA Pasal 30* (1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dankeamanan negara.* (2) Untuk pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanandan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.* (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, danAngkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.* (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjagakeamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.* (5) Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara RepublikIndonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.

* Perubahan II18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi : PERTAHANAN NEGARA Pasal 30(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.(2) Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan Undang-undang.

BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Page 301: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* Pasal 31* (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.* (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajibmembiayainya.* (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikannasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.* (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluhpersen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran

pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.* (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Perubahan IV10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi: PENDIDIKAN Pasal 31(1) Tiap-tiap Warga Negara berhak mendapat pengajaran.(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang.

* (1)* (2)

* Pasal 32

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi : Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

* BAB XIV * PEREKONOMIAN NASIONAL DANKESEJAHTERAAN SOSIAL(1) (2)(3)

Pasal 33

Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi : BAB XIVKESEJAHTERAAN SOSIAL* (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi denganprinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Page 302: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.* Perubahan IV 10 Agustus 2002.* Pasal 34(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.

* BAB XV* BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA,SERTA LAGU KEBANGSAAN

Perubahan II18 Agustus 2000, sebelumnya berbunyi: BENDERA DAN BAHASAPasal 35Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.Pasal 36Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.* Pasal 36ALambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.* Perubahan II18 Agustus 2000.* Pasal 36BLagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dalam undang-undang.

* Perubahan II18 Agustus 2000.

BAB XVIPERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

* Pasal 37(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Page 303: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :(1) Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir.

ATURAN PERALIHAN

* Pasal I

Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

* Pasal II

Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :Pasal IPanitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada pemerintah Indonesia. Pasal IISegala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal IIIUntuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pasal IVSebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.

ATURAN TAMBAHAN

* Pasal I

Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.

* Pasal II

Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.

Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 10 Agustus 2002 Sidang Tahunan Majelis

Page 304: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.* Perubahan IV 10 Agustus 2002, sebelumnya berbunyi :

(1) Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.(2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.

 

Page 305: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor: 1 TAHUN 1974 Tentang:   PERKAWINAN

Bentuk:

UNDANG-UNDANG (UU)

Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974)Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)Sumber: LN 1974/1; TLN NO. 3019Tentang: PERKAWINAN

Indeks: PERDATA. Perkawinan.DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESAPresiden Republik Indonesia,Menimbang :bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.

Mengingat :1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal29 Undang-Undang Dasar 1945;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN :Menetapkan:UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.BAB IDASAR PERKAWINAN Pasal 1Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Pasal 2

(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) . Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3(1) . Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya bolehmempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.(2) . Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untukberisteri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.

Page 306: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 4(1) . Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.(2) . Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izinkepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5(1) . Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimanadimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.(2) . Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidakdiperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.BAB IISYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6(1). Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.(2) . Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.(3) . Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggaldunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.(4) . Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalamkeadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.(5) . Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebutdalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.(6) . Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal iniberlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 7(1) . Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

Page 307: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.(2) . Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat memintadispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.(3) . Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau keduaorang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

Pasal 8

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Pasal 9

Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 10

Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Pasal 11(1) . Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktutunggu.(2) . Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diaturdalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pasal 12

Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.BAB IIIPENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal l3Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Page 308: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 14(1) . Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garisketurunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.(2) . Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah

berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 15

Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 16(1) . Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnyaperkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.(2) . Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1)pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 17(1) . Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerahhukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.(2) . Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonanpencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pasal 18

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.Pasal 19Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.Pasal 20Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal 21

(1). Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap

perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

Page 309: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(2) . Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yangingin melangsungkan perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.(3) . Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukanpermohonan kepada pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas.(4) . Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat danakan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.(5) . Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yangmengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB IVBATALNYA PERKAWINAN

Pasal 22Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 23

yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

Para keluarga :

a. dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; Suami atau isteri;Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;

b. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan

c. setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 25

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri.

Pasal 26(1) . Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinanyang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh

Page 310: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.(2) . Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasandalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Pasal 27(1) . Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalanperkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.(2) . Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalanperkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.(3) . Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itumenyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal 28(1) . Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilanmempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.(2) . Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

BAB V

PERJANJIAN PERKAWINAN

(1) . Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihakatas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.(2) . Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggarbatas-batas hukum, agama dan kesusilaan.(3) . Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.(4) . Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapatdirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.BAB VIHAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERIPasal 30Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Page 311: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 31(1) . Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukansuami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.(2) . Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.(3) . Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.Pasal 32(1) . Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.(2) . Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal iniditentukan oleh suami isteri bersama.

Pasal 33

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

Pasal 34(1) . Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatukeperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.(2) . Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.(3) . Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing

dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.BAB VIIHARTA BENDA DALAM PERKAWINANPasal 35(1) . Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi hartabersama.(2) . Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta bendayang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36(1) . Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak ataspersetujuan kedua belah pihak.(2) . Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyaihak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.BAB VIIIPUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYAPasal 38Perkawinan dapat putus karena :a. kematian,b. perceraian danc. atas keputusan Pengadilan.

Page 312: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 39(1) . Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilansetelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.(2) . Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antarasuami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.(3) . Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalamperaturan perundangan tersendiri.

(1) . Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.(2) . Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal inidiatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.BAB IX KEDUDUKAN ANAK Pasal 42Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Pasal 43(1) . Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubunganperdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.(2) . Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diaturdalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 44(1) . Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan olehisterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.(2) . Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak ataspermintaan pihak yang berkepentingan.

BAB X

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK

(1) . Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak merekasebaik-baiknya.(2) . Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal iniberlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Page 313: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 46(1) . Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak merekayang baik.(2) . Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya,orang tua dan keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Pasal 47(1) . Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belumpernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.(2) . Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukumdidalam dan diluar Pengadilan.

Pasal 48

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Pasal 49(1) . Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannyaterhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;b. la berkelakuan buruk sekali.(2) . Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetapberkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.

BAB XI

PERWALIAN

(1) . Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belumpernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.(2) . Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupunharta bendanya.

Pasal 51(1) . Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankankekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.(2) . Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atauorang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.(3) . Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan hartabendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.(4) . Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawahkekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

Page 314: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

(5) . Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang beradadibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.Pasal 52Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.Pasal 53(1) . Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebutdalam Pasal 49 Undang-undang ini.(2) . Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksudpada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

BAB XII

KETENTUAN-KETENTUAN LAIN

Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak

Pasal 55(1) . Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan aktekelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.(2) . Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada,maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.(3) . Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini,maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Bagian Kedua Perkawinan diluar Indonesia

Pasal 56(1) . Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orangwarganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.(2) . Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembalidiwilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Bagian Ketiga Perkawinan Campuran

Pasal 57

Page 315: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 58

Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan

Republik Indonesia yang berlaku.(1) . Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atauputusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.(2) . Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukanmenurut Undang-undang Perkawinan ini.

Pasal 60(1) . Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbuktibahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.(2) . Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1)telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.(3) . Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan suratketerangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.(4) . Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, makakeputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat(3).(5) . Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidakmempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkandalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Pasal 61(1) . Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.(2) . Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpamemperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.(3) . Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan iamengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.

Pasal 62

Page 316: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.

Bagian Keempat Pengadilan

Pasal 63(1) . Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;b. Pengadilan Umum bagi lainnya.(2) . Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh PengadilanUmum.

BAB XIIIKETENTUAN PERALIHAN Pasal 64Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.

Pasal 65(1) .

Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.(2) .

Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.

B A B XIV KETENTUAN PENUTUP

Pasal 66

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67(1) . Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang

Page 317: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.(2) . Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturanpelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTOJENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.

PENJELASAN ATASUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR I TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PENJELASAN UMUM :1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :

a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam Hukum Adat;b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan;e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini disatu fihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan dilain fihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang bersangkutan.4. Dalam Undang-undang ini ditentukan Prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkayanan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Page 318: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut :a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang masih dibawah umur.Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita,ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi,wanita.e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.

5. Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah.Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan

Page 319: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Pasal 2

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku

bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

Pasal 3(1) . Undang-undang ini menganut asas monogami.(2) . Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syaratyang tersebut Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

Pasal 4Cukup jelas.

Pasal 5Cukup jelas.

Pasal 6(1) . Oleh karena perkawinan mempuryai maksud agar suami dan isteridapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.(2) . Cukup jelas.(3) . Cukup jelas.(4) . Cukup jelas.(5) . Cukup jelas.(6) . Cukup jelas. Pasal 7

(1) . Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perluditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.(2) . Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuanyang mengatur tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.

Page 320: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 8Cukup jelas.

Pasal 9Cukup jelas.

Pasal 10.

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Pasal 11Cukup jelas.

Pasal 12

Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 13Cukup jelas

Pasal 14Cukup jelas.

Pasal 15Cukup jelas.

Pasal 16Cukup jelas.

Pasal 17Cukup jelas.

Pasal 18Cukup jelas.

Pasal 19Cukup jelas.

Pasal 20Cukup jelas.

Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Page 321: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 23Cukup jelas.

Pasal 24Cukup jelas

Pasal 25Cukup jelas

Pasal 26Cukup jelas.

Pasal 27Cukup jelas.

Pasal 28Cukup jelas.

Pasal 29

Yang dimaksud dengan “perjanjian” dalam pasal ini tidak termasuk tak’lik – talak.

Pasal 30Cukup jelas.

Pasal 31Cukup jelas.

Pasal 32Cukup jelas.

Pasal 33Cukup jelas.

Pasal 34Cukup jelas.

Pasal 35

Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing.

Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Pasal 38Cukup jelas.

Page 322: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 39(1) . Cukup jelas.(2) . Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.(3) . Cukup jelas.

Pasal 40Cukup jelas.

Pasal 41Cukup jelas.

Pasal 42Cukup jelas.

Pasal 43Cukup jelas.

Pasal 44Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.

Pasal 45Cukup jelas.

Pasal 46Cukup jelas.

Pasal 48Cukup jelas.

Pasal 49Yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.

Pasal 50Cukup jelas

Page 323: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM

Pasal 51Cukup jelas

Pasal 52Cukup jelas

Pasal 53Cukup jelas.

Pasal 54Cukup jelas

Pasal 55Cukup jelas.

Pasal 56Cukup jelas.

Pasal 57Cukup jelas.

Pasal 58Cukup jelas.

Pasal 59Cukup jelas.

Pasal 60Cukup jelas.

Pasal 61Cukup jelas.

Pasal 62Cukup jelas.

Pasal 63Cukup jelas.

Pasal 65Cukup jelas

Pasal 66Cukup jelas

Pasal 67Cukup jelas

 

Page 324: Kode Etik Advokat

N. SYAFUAN, SH,.SE,.MM