Artikel
description
Transcript of Artikel
FIKIH JURNALISTIK
Di dalam kehidupan kita sekarang ini yang notabene nya digelari dengan zaman edan (entah
yang edan zamannya atau orang-orang yang hidup dalam zaman tersebut, entahlah) tidak akan lepas
dari hukum-hukum syara' yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-
dalil tafsil (jelas), singkatnya adalah fiqh. Amalan perbuatan manusia tidak akan lepas dari unsur
haram, sunnah, wajib, makruh, maupun mubah. Oleh karenanya dalam setiap perbuatan manusia
khususnya bagi muslim harus mempunyai dasar fiqh sehingga dalam setiap tindakan yang
dilakukannya tidak menyimpang dari syariat agama. Pun demikian, perkembangan zaman yang
semakin pesat ini juga tak luput dari peran seorang jurnalis yang menyebarkan informasi yang
didapatinya dengan hasil wawancara. Seseorang yang melakukan jurnalisme atau orang yang secara
teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara
teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasikan dalam media massa seperti koran, radio, televisi,
majalah, film dokumentasi dan internet. Seorang jurnalis mencari sumber mereka untuk ditulis
dalam laporannya dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling obyektif dan tidak
memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat, oleh karenanya dalam konteks
ini penulis akan sedikit mengulas tentang bagaimana jurnalistik dalam pandangan fikih, atau lebih
umum lagi dengan sebutan fikih jurnalistik. Sebelum membahas lebih lanjut lagi, penulis akan sedikit
mengemukakan mengenai definisi dari fikih itu sendiri dan komunikasi.
FIKIH
Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman mendalam terhadap suatu hal,
beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikih merupakan
suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil Al-Qur'an dan Sunnah.
Fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas
persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam
Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan
haknya sebagai hamba Allah (KH. Muhammad Wafi, Lc. M.si, 02 feb 2009 ).
Sejatinya, hukum dibuat untuk mencapai kemaslahatan manusia, tak terkecuali hukum Islam
yang diyakini bersumber dari Al-Qur'an, hadits, ataupun imam-imam madzhab. Apabila hukum tidak
lagi mengkaver kepentingan maslahah manusia, saat itu pula hukum perlu ditinjau kembali dan
selanjutnya dibuatkan hukum yang baru yang lebih akomodif, dengan tetap tidak menafikan ajaran-
ajaran prinsipil agama (Ahmad Imam Mawardi. 2010. Fiqh Minoritas).
KOMUNIKASI
Komunikasi adalah suatu proses dimana seseorang atau beberapa orang, kelompok,
organisasi, dan masyarakat menciptakan dan menggunakan informasi agar terhubung dengan
lingkungan dan orang lain. Pada umumnya komunikasi dilakukan secara lisan atau nonverbal yang
dapat dimengerti oleh kedua belah pihak (Ruben Brent D dan Lea P Stewart. 2006). Peran
komunikasi dalam kehidupan sangatlah urgen, dimana seseorang tak akan dapat bertahan hidup
tanpa ada proses sosialisasi di lingkungan masyarakat tanpa adanya komunikasi. Banyak pakar
komunikasi yang berbeda-beda dalam mendefinisikan komnunikasi disebabkan karena pengalaman
yang berbeda-beda yang menimbulkan perbedaan pula dalam mendefinisikan tentang komunikasi,
namun berapapun jumlah pakar yang mengemukakan definisi tentang komunikasi yang berbeda-
beda tapi pada hakikatnya mempunyai maksut yang sama, ialah komunikasi sebagai proses
pertukaran informasi, gagasan, ide antara satu orang dengan orang lain, kelompok, organisasi
maupun massa.
Banyak orang yang gagal karena mereka tidak terampil berkomunikasi. Menurut Prof. Deddy
Mulyana dalam bukunya, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Mengatakan bahwasanya banyak orang
gagal karena mereka tidak terampil berkomunikasi. Kegagalan Megawati Soekarnooutri untuk
menjadi presiden RI adalah karena ia kurang mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasannya,
meskipun PDI-Perjuangan meraih jumlah suara tertinggi dari rakyat pemilih dalam pemilu 1999.
Sebaliknya, Amien Rais tampil sebagai Ketua MPR karena keterampilannya berkomunikasi, meskipun
perolehan suara partainya (PAN) kecil. Dalam pemilu 2004, karena problem serupa, Megawati gagal
terpilih kembali sebagai presiden RI setelah menggantikan Gus Dur yang dilengserkan DPR. Dengan
demikian penulis akan sedikit mengulas mengenai korelasi antara fikih dengan jurnalistik agar
seorang jurnalis tidak mengalami kegagalan dalam menyampaikan berita dengan cara menabrak
hukum-hukum fikih.
ATURAN FIKIH TENTANG FUNGSI KOMUNIKASI
Mengapa kita berkomunikasi ? apakah fungsi komunikasi bagi manusia ? pertanyaan ini
begitu luas, bisa dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga tidak mudah kita jawab. Para pakar
selama ini lebih fasih membahas "Bagaimana berkomunikasi" dari pada "Mengapa kita
berkomunikasi." Dari perspektif agama, secara gampang kita bisa menjawab bahwa Tuhan-lah yang
mengajari kita berkomunikasi, dengan menggunakan akal dan kemampuan berbahasa yang
dianugerahkan-Nya kepada kita (Deddy Mulyana. 2008. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar).
"Tuhan yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Qur'an. Dia menciptakan manusia,
yang mengajarinya pandai berbicara" (Ar-Rahman: 1-4). Perhatikan pula ayat-ayat berikut.
" Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-
benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" Mereka menjawab: "Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" Allah berfirman: "Hai Adam,
beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada
mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan
dan apa yang kamu sembunyikan". (Al-Baqarah: 31-33)
Judy C. Pearson dan Paul E Nelson mengemukakan bahwa komunikasi mempunyai dua
fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi: keselamatan fisik,
meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai
ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki
hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat (Judy C. Pearson dan Paul E
Nelson. 1979. Understanding and Sharing. Hlm 10-11).
Nyatanya, fenomena perkembangan pers mempunyai kekuatan dahsyat untuk
mempengaruhi perubahan budaya dan etika masyarakat. Media massa, baik cetak maupun
elektronik, punya kekuatan untuk mengendalikan jalan pikir, gaya hidup, keinginan, bahkan seluruh
aktifitas manusia sepanjang hidupnya.
Karena kepentingan kelompok tertentu, muncul lah sisi negatif, ketika tuntutan yang ada
telah menjadikan media massa sebagai mesin pencetak uang dan penghasil profit materi belaka.
Maka kerja pers lebih memfokuskan pemberitaan dan penayangan berita-berita yang mempunyai
daya kuat untuk mempengaruhi, serta menempuh berbagai cara demi mencapai kepentingan bisnis
pers itu. Yang terjadi kemudian adalah tindakan permissif (ibaahiyyat) dalam banyak hal, melupakan
idealisme, kode etik (norma etik), norma hukum, serta menjadi "budak" konsumen (pembaca dan
pemirsa) untuk selalu mengikuti kecenderungan ambisi pasar. Ini tidak lain adalah bentuk
pergeseran dari misi utama dan tanggung jawab media sebagai motor pendidik masyarakat.
Pastinya dalam setiap berita yang mereka publikasikan akan ada pertanggung jawabannya
baik di dunia maupun di akhirat, berpegang teguh pada aturan-Nya bukanlah penghambat laju
kreatifitas jurnalisme dan "ikon-ikon" kemajuan zaman lain. Seperti beberapa waktu yang lalu
mengenai kasus pemblokiran sejumlah situs Islam di Indonesia menjadi pergulatan tentang wacana
lama antara kebebasan dan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Dalam kisah yang lain,
Tim Weiner mampu membongkar kegagalan Central Intelligence Agency (CIA) sebagai spionase
amatiran di sebuah negara adidaya, yang kini telah tertutupi oleh media atau bahkan ada unsur
kesengajaan media dalam memoles Central Intelligence Agency (CIA) sebagai agen rahasia ternama
dan terbaik di dunia, meski dalam kenyataan nya tidaklah seperti itu. Oleh karenanya, diharapkan
untuk semua jurnalis menyadari akan betapa pentingnya mematuhi hukum-hukum syariat dan
dengan penuh kesadaran pada diri masing-masing untuk tunduk terhadap kode etik jurnalistik dalam
penyebaran suatu informasi.
Pun dalam mempublikasikan suatu informasi bagi seorang jurnalis harus melewati beberapa
tahapan, jika suatu informasi itu benar ? inrofmasi tersebut bermanfaat ? jika iya, maka seorang
jurnalis wajib menyebarkan informasi tersebut kepada receiver. Namun jika seorang jurnalis dirasa
mendapat informasi tersebut kebenaran dan kemanfaatannya masih diragukan, dengan kata lain
informasi tersebut belum pasti benar dan bermanfaat maka seorang jurnalis tidak boleh
mempublikasikannya kepada media massa. Agar tidak terjadi simpang siur bagi receiver / salah
paham dalam mengartikan sebuah berita. Dengan demikian, setelah mengetahui tahap-tahapan
dalam penyampaian informasi diharapkan para jurnalis bisa mengikat aktifitasnya dengan hukum-
hukum agama dan menerimanya dengan penuh kesadaran, tanpa rasa egoisme (ananiyah), atau
acuh tak acuh terhadap ajaran agamanya. Pendek kata, tidak mengharamkan yang dihalalkan syariat,
dan tidak menghalalkan yang telah diharamkan syariat, demi mengejar keuntungan dan prestasi
maksimal dalam dunia yang digelutinya. Inilah yang dikenal sebagai "Fikih Informasi". Syariat Islam
maha universal untuk mengatur segala ranah kehidupan manusia, termasuk dunia informasi. Dalam
fikih informasi tersebut, juga berisi kumpulan hukum syariat yang berhubungan dengan tahap kerja
jurnalisme, baik profesi maupun warga (citizen journalism), hingga sampai pada tujuannya. Tahapan
tersebut dimulai dari membuat hingga menyampaikan termasuk saat menerima informasi, baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, dan bentuk lainnya.
Dalam beberapa kondisi, menyembunyikan informasi memang dilarang dalam syariat.
Hukum sebenarnya adalah pelaranganan membuka rahasia orang, namun dengan syarat informasi
yang menjadi rahasia tersebut tidak berhubungan dengan hak personal atau masyarakat. Jika
berhubungan, maka informasi ini harus diungkap, tidak boleh disembunyikan. Hal ini dengan tujuan
agar tidak terjadi ‘penghianatan’ terhadap kepentingan orang lain.
Hukum ini diperkuat oleh hadits Nabi Muhammad SAW (yang artinya), "Perbincangan dalam
suatu majelis dalam amanat, kecuali 3 (tiga) hal: pembunuhan, zina, atau merampas harta orang lain
dengan tanpa hak."
Tidak haram, jika dengan menyembunyikan suatu informasi, malah menyebabkan orang lain
terdzalimi, atau menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
Dalam hal ini seorang jurnalis muslim harus menelaah terhadap informasi yang didapatinya,
mana yang boleh dan mana yang tidak boleh disebarkan, ajaran Islam telah begitu jelas mengatur
masalah ini. Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan kepada para jurnalis, dan para tukang
update status maupun twit diharapkan bisa merenungi terhadap apa yang saya sampaikan diatas,
sehingga dalam penyebaran informasi tidak mengandung hal-hal yang menimbulkan kebencian dan
perpecahan bagi siapapun yang membaca informasi tersebut. Wallahu'lam bishawab.
NAMA : MOCHAMAD NUR HADI
NIM : B06214013 (E3)