Arianto Wibowo

128
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DI AREAL PERTAMBANGAN PT. ANTAM TbkUNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS PONGKORKABUPATEN BOGOR TAHUN 2010 SKRIPSI OLEH: ARIANTO WIBOWO NIM: 104101003173 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M / 1431 H

description

ArBow

Transcript of Arianto Wibowo

Page 1: Arianto Wibowo

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI

DI AREAL PERTAMBANGAN

PT. ANTAM TbkUNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS

PONGKORKABUPATEN BOGOR

TAHUN 2010

SKRIPSI

OLEH:

ARIANTO WIBOWO NIM: 104101003173

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2010 M / 1431 H

Page 2: Arianto Wibowo

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI

DI AREAL PERTAMBANGAN

PT. ANTAM Tbk UNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS

PONGKOR KABUPATEN BOGOR

TAHUN 2010

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

OLEH:

ARIANTO WIBOWO NIM: 104101003173

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2010 M / 1431 H

Page 3: Arianto Wibowo

i

LEMBAR PERNYATAAN Denganinisayamenyatakanbahwa :

1. Skripsiinimerupakanhasilkaryaaslisaya yang

diajukanuntukmemenuhisalahsatupersyaratanmemperolehgelar strata 1 di

FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam Negeri (UIN)

SyarifHidayatullah Jakarta.

2. Semuasumber yang

sayagunakandalampenulisaninitelahsayacantumkansesuaidenganketentuan

yang berlaku di FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam

Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.

3. Jika di

kemudianhariterbuktibahwakaryainibukanhasilkaryaaslisayaataumerupakanjip

lakandarikarya orang lain, makasayabersediamenerimasanksi yang berlaku di

FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam Negeri (UIN)

SyarifHidayatullah Jakarta.

Jakarta, Juni 2010

AriantoWibowo

Page 4: Arianto Wibowo

ii

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Agustus 2010

AriantoWibowo, NIM : 104101003173

Faktor-Faktor Yang BerhubunganDenganPerilakuPenggunaanAlatPelindungDiri Di Areal Pertambangan PT. ANTAM Tbk, Unit BisnisPertambanganEmasPongkorKabupatenBogorTahun 2010

xxi+ 102halaman, 11tabel, 12gambar, 3lampiran

ABSTRAK

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir dari metode pengendalian kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Meskipun demikian, penggunaan APD akan menjadi sangat penting apabila pengendalian secara teknis dan administratif telah dilakukan secara maksimal namun potensi risiko masih tergolong tinggi. Besarnya manfaat dari penggunaan alat pelindung diri (APD) ini pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya karena ternyata masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya. Keefektifan penggunaan alat pelindung diri adalah terbentur dari para tenaga kerja sendiri.Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku pekerja sehingga tidak menggunakan alat pelindung diri yang telah disediakan oleh perusahaan antara lain APD dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang berakibat penurunan performa kerja selain itu juga dapat menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang baru.

Untuk itu penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di areal pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor Tahun 2010.Didalamnyaakandibahasmengenaipengetahuan, pelatihan, pengawasandankebijakansebagaifaktor yang didugamempengaruhiperilakupenggunaanalatpelindungdiri.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung diri pada pekerja di PT.ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Tahun 2010.Jumlahsampel yang diambildalampenelitianinisebanyak 110 orang dipilihsecaraacakmenggunakantekniksystematic random sampling.

Data hasilpenelitianmenunjukanbahwadidapatkanadahubunganbermaknaantarapengetahua

Page 5: Arianto Wibowo

iii

ndenganpenggunaanapd (p value = 0,000 dengan OR 57,694), tidakadahubunganbermaknaantarapelatihandenganpenggunaanapd (p value = 0,938), adahubunganbermaknaantarapengawasandenganpenggunaanapd (p value = 0,000 dengan OR 32,533), danadahubunganbermaknaantarakebijakandenganpenggunaanapd (p value = 0,000 dengan OR 87,040).

Saran yang diajukanuntukmeningkatkanpenggunaanapdpadapekerjayaitudengancarapeningkatanpengawasan, menjalankanperaturanapd yang sudahadadenganbenardanpeningkatanpengetahuandanpemahamantentangpenggunaanapd. DaftarBacaan : 53 (1980 - 2010)

Page 6: Arianto Wibowo

iv

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY PUBLIC HEALTH MAJORING OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY Undergraduated Thesis, August 2010 AriantoWibowo, NIM : 104101003173

Factors Associated With the Use of Personal Protective Equipment Behavior In Mining Area of PT.AntamTbk, Gold Mining Business Unit Pongkor Bogor Year 2010 (xxi+ 102pages, 11 tables, 12pictures, 3attachments)

ABSTRACT

Use of Personal Protective Equipment (PPE) is the final stage of the method of control accidents and occupational diseases. Nevertheless, the use of PPE will be very important if technically and administratively controls have been carried out to the maximum but still relatively high risk potential. The amount of benefits from the use of personal protective equipment (PPE) on the job does not guarantee that all workers will wear it because there are still many workers who do not use it. The effectiveness of the use of personal protective equipment is bumped from his own labor. Many factors influence the behavior so that workers do not use personal protective equipment provided by companies such as PPE can cause discomfort resulting decline in job performance but it also can pose health and new safety hazards.

This study aims to determine the factors associated with the behavior of the use of personal protective equipment in the mining area of PT.ANTAM Tbk Gold Mining Business Unit Pongkor Bogor in 2010. Therein will be discussed on the knowledge, training, supervision, and policies as factors suspected to influence the behavior of the use of personal protective equipment.

This type of research is a descriptive study that uses a quantitative approach with cross sectional method that aims to know the description of the use of personal protective equipment to workers in PT.ANTAM Tbk Gold Mining Business Unit Pongkor Bogor in 2010. The sample in this study as many as 110 people selected at random by using sistematic random sampling.

Data obtained results showed there is significant relationship between knowledge with the use of PPE (p value = 0,000 with OR 57,694), there is no significant relationship between training with the use of PPE (p value = 0,938), there is significant relationship between supervision with the use of PPE (p value = 0,000 with OR 32,533), and there is significant relationship between the policy with the use of PPE (p value = 0,000 with OR 87,040).

Page 7: Arianto Wibowo

v

Recommendation suggested to increase the use of PPE at work by increased supervision, follow the existing rules of PPE correctly and increased knowledge and understanding of the use of PPE.

Reading list: 53 (1980-2010)

Page 8: Arianto Wibowo

vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU

PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRIDI AREAL PERTAMBANGAN

PT. ANTAM Tbk UNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS PONGKOR

KABUPATEN BOGOR TAHUN 2010

Telah disetujui dandiperiksauntuk dipertahankandi hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta,Agustus 2010

dr. Yuli Prapanca Satar, MARS Pembimbing Skripsi

Page 9: Arianto Wibowo

vii

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, Agustus 2010

Penguji I

dr. Yuli Prapanca Satar, MARS

Penguji II

Yuli Amran, SKM, MKM

Penguji III

Ir. Bambang SP, MKKK

Page 10: Arianto Wibowo

ix

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : AriantoWibowo

TTL : Jakarta, 30 November 1986

JenisKelamin : Laki-laki

Alamat : Kp. Sindangkarsa RT.04 RW.04 No.19 TaposDepok 16455

Telepon : 021-87743565

Handphone : 081388444345

E-mail : [email protected]

PENDIDIKAN FORMAL

2004 – 2010 : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Program Studi Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2001 – 2004 : SMA Negeri 3 Depok

1998 – 2001 : SLTP Negeri 7 Depok

1992 – 1998 : SD Negeri Sukamaju Baru 3

Page 11: Arianto Wibowo

x

KATA PENGANTAR

بسم ا هللا ا لرحمن ا لر حیم

ا لسال م علیكم ورحمة ا هللا و بر كا تھ

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah

memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat

Pelindung Diri di Areal Pertambangan PT.ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan

Emas Pongkor Kabupaten Bogor Tahun

2010”.Shalawatdansalamjugatercurahbagijunjungandansuritauladankita, Nabi

Muhammad SAW.Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada:

1. Orang tua saya, spirit of my life, Terima kasih atas semua kasih sayangnya,

kesabarannya membesarkan penulis, dan perjuangannya sehingga penulis

dapat menikmati dan mengenyam pendidikan sejak kecil sampai sekarang.

2. Prof. DR (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. dr. Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku Ketua Program StudiKesehatan

Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga

Page 12: Arianto Wibowo

xi

sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini yang selalu

memberikan saran, nasihat dan bimbingan.

4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM dan Ir. Bambang SP, MKKK, atas

kesediaannya menjadi dosen penguji. Terimakasihatasbimbingan, arahan,

dan saran yang berharga.

5. IbuItingShofwati, ST, M.KKK,selakuKoordinatorPeminatan K3 yang

selalumemberikanmotivasikepadapenulisuntukmenyelesaikanskripsiini.

6. SegenapBapak/IbuDosen Program StudiKesehatanMasyarakat, yang

telahmemberikanilmupengetahuan yang

sangatbergunabagipenulisselamamengenyampendidikansebagaimahasiswa.

7. BapakAriyanto Budi Santoso, ST, MMselakuSafety and Environment

ManagerPT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang

telahmembantupenulisdalammemberikankritikdan saran yang

bermanfaatselamakegiatanskripsiberlangsung.

8. BapakSabari, Selaku AM Safety PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang

telahmembantupenulisdalammemberikankritikdan saran yang

bermanfaatselamakegiatanskripsiberlangsung.

9. Seluruh Staf Safety Dept PT.ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu.

10. Seluruh karyawan PT.ANTAM Tbk, yang telah bersedia menjadi responden.

11. Seluruh teman-teman Kesehatan Masyarakat Angkatan 2004 khususnya K3

atas kebersamaan yang menyenangkan, semoga kisah kita menjadi sebuah

kisah klasik di masa depan.

Page 13: Arianto Wibowo

xii

Skripsi ini memang masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu diharapkan kritik

dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki isi skripsi ini. Akhir kata,

semogaskripsiinidapatmemberikontribusikepadaperkembanganilmu K3

danbermanfaatbagisemuapihak yang membutuhkan.Amien.

و ا لسال م علیكم ورحمة ا هللا و بر كا تھ

Jakarta,Juni2010

Penulis

Page 14: Arianto Wibowo

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... i

ABSTRAK ....................................................................................................... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................... vi

LEMBAR PENGESAHAN............. ................................................................... vii

LEMBAR PERSEMBAHAN............................................................................ viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................... ix

KATA PENGANTAR......... ............................................................................... x

DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ...........................................................................................xviii

DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xx

LAMPIRAN ....................................................................................................... xxi

BAB I

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 7

1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................... 8

1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................... 9

1.4.1. Tujuan Umum ................................................................... 9

1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................... 9

Page 15: Arianto Wibowo

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebuah perusahaan dalam menjalankan aktifitasnya selalu menginginkan

keberhasilan baik berupa hasil produksi maupun layanannya. Untuk menunjang hal

tersebut maka diperlukan tempat kerja yang sehat dan aman sehingga tidak terjadi

kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja yang menyebabkan penurunan hasil

produksi dan buruknya pelayanan terhadap konsumen (Sumbung, 2000).

Saat ini peran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangatlah vital, selain

sebagai salah satu aspek perlindungan terhadap tenaga kerja juga berperan untuk

melindungi aset perusahaan. Hal ini tercermin dalam pokok-pokok pikiran dan

pertimbangan dalam undang-undang no. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja

yaitu bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan

dalam melakukan pekerjaan dan setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja

perlu terjamin pula keselamatannya serta setiap sumber produksi perlu dipakai dan

dipergunakan secara aman dan efisien, sehingga proses produksi berjalan lancar. Hak

atas jaminan keselamatan ini membutuhkan prasyarat adanya lingkungan kerja yang

sehat dan aman bagi tenaga kerja dan masyarakat di sekitarnya (Pudjowati, 1998).

Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk

upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran

lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan

penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan

Page 16: Arianto Wibowo

2

produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun

kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses

produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan

berdampak pada masyarakat luas (Kusuma, 2004).

Sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 tingkat kecelakaan kerja di Indonesia

tergolong tinggi. Hal tersebut harus menjadi perhatian semua komponen agar masalah

keselamatan dalam bekerja dapat ditingkatkan. Pelaksanaan keselamatan di setiap

tempat kerja sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang No.1 Tahun 1970 dan

UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, merupakan kewajiban pengusaha

untuk melindungi tenaga kerja dari potensi bahaya yang dihadapi. Semuanya untuk

mewujudkan kondisi kerja yang aman, sehat, bebas kecelakaan dan penyakit akibat

kerja (Pelalawan, 2008).

Penggunaan teknologi disamping memberikan dampak positif, tidak jarang

mengakibatkan pengaruh buruk terutama apabila tidak dikelola dengan baik.

Berbagai sumber bahaya di tempat kerja baik dari faktor fisik, kimia, biologi, mesin,

peralatan kerja dan perilaku manusia merupakan faktor risiko yang tidak dapat

diabaikan begitu saja. Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

mengupayakan agar risiko kecelakaan kerja dapat diminimalisasi melalui teknologi

pengendalian terhadap lingkungan atau tempat kerja serta upaya mencegah dan

melindungi tenaga kerja agar terhindar dari dampak negatif dalam melaksanakan

pekerjaan (Budiono, 2005).

Laporan International Labour Organization (ILO) memasukkan Indonesia

sebagai negara dengan angka kecelakaan kerja terbesar kedua di dunia. Laporan itu

Page 17: Arianto Wibowo

3

didasarkan pada survei terhadap 53 negara tahun lalu, sesuai data ILO, terjadi 65.474

kecelakaan kerja di Indonesia. Di antara jumlah tersebut, 1.451 orang tenaga kerja

meninggal dunia. Selain itu, 5.326 pekerja cacat tetap dan 58.697 sembuh tanpa cacat

(Dwi, 2008).

Berdasarkan laporan dari PT Jamsostek mengenai jumlah kecelakaan kerja

yang terjadi di Indonesia pada tahun 2006 didapatkan bahwa total kasus yang terjadi

sebanyak 95.624 kasus kecelakaan kerja yang terdiri dari cacat fungsi sebanyak 4.973

kasus, cacat sebagian sebanyak 2.918 kasus, cacat total sebanyak 122 kasus, jumlah

kematian sebanyak 1.784 kasus dan yang mengalami sembuh sebanyak 85.827 kasus

(Depnakertrans RI, 2007).

Berdasarkan data Depnakertrans, angka kecelakaan kerja di Indonesia masih

tergolong tinggi, meskipun cenderung turun dari tahun ke tahun. Tahun 2000 terjadi

98.902 kasus, tahun 2001 terjadi 104.774 kasus, tahun 2002 terjadi 103.804 kasus,

tahun 2003 terjadi 105.846 kasus, tahun 2004 terjadi 95.418 kasus, tahun 2005 terjadi

99.023 kasus dan tahun 2006 menjadi 95.624 kasus (Mohamad, 2008). Depnakertrans

tahun 2007 menunjukkan 65.474 kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.

Hal itu mengakibatkan jatuhnya korban 1.451 orang meninggal, 5.326 orang cacat,

dan 58.697 orang sembuh tanpa cacat (Ip, 2008).

Unit kerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor ada 3 unit kerja yaitu unit

produksi tambang, unit development dan unit supporting. Pada unit supporting terdiri

dari sarana tambang, pengisian ulang, pemeliharaan peralatan tambang, perencanaan

tambang dan quality control (pengukuran tambang serta pengawasan kadar dan

geoteknik). Unit kerja ialah pembagian satuan kerja di area proses maupun non proses

Page 18: Arianto Wibowo

4

yang masing-masing terdiri atas beberapa jenis pekerjaan (Suma’mur, 1996). Jenis

pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap risiko terjadinya kecelakaan akibat

kerja. Jumlah dan macam kecelakaan akibat kerja berbeda-beda di berbagai kesatuan

operasi dalam suatu proses (Suma’mur, 1996).

Tingkat kecelakaan kerja pada PT. Aneka Tambang selama lima tahun

terakhir tergolong tinggi. Korban mencapai 1.209 orang, meliputi 118 orang

meninggal dunia, 439 orang luka berat, serta 652 orang luka ringan. Korban

kecelakaan kerja di tambang pada tahun 1997 sebanyak 269 orang, meliputi 143

orang luka ringan, 102 orang luka berat, dan 24 orang meninggal dunia. Tahun

berikutnya korban kecelakaan sebanyak 259 orang, meliputi 147 orang luka ringan,

93 orang luka berat, dan 19 orang meninggal dunia. Tahun 2001 sebanyak 106 orang

luka ringan, 86 orang luka berat, serta 19 orang meninggal dunia. Tahun 2003

sebanyak 103 orang luka ringan, 74 orang luka berat, dan 31 orang meninggal dunia.

Pada tahun 2003 tercatat 153 orang luka ringan, 84 orang luka berat dan 31 orang

meninggal dunia (Jan, 2004).

Pongkor adalah salah satu tambang emas bawah tanah di Indonesia yang

menggunakan kombinasi metode penambangan konvensional dan mechanised cut

and fill. Pada tahun 2006 ada 58 kejadian kasus kecelakaan kerja dengan nilai FR =

3,29 dan SR = 44,152. Pada tahun 2007 ada 63 kasus kecelakaan kerja dengan nilai

FR = 1,59 dan SR = 6,90. Serta pada tahun 2008 ada 64 kasus kecelakaan kerja

dengan nilai FR = 3,01 dan SR = 33. nilai FR dan SR dari tahun 2006 sampai dengan

tahun 2008 mengalami grafik yang turun naik dikarenakan perbedaan jumlah jam

kerja yang dicapai. Pada tahun 2006 sebanyak 1.815.516 meningkat di tahun 2007

Page 19: Arianto Wibowo

5

menjadi 1.867.430 dan turun pada tahun 2008 menjadi 1.801.463 (PT. ANTAM,

2009).

Kejadian kecelakaan kerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dari tahun

2006 sampai dengan tahun 2008 meningkat dan paling banyak terjadinya kecelakaan

kerja pada area pertambangan. Pada tahun 2006 kejadian kecelakaan kerja di area

pertambangan ada 40 kasus (69%) dari total kasus kecelakaan kerja di PT. ANTAM

Tbk UBPE Pongkor mengalami peningkatan menjadi 45 kasus (71,4%) pada tahun

2007. Hal ini berarti pekerja di area pertambangan PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor

berisiko mengalami kecelakaan kerja (PT. ANTAM, 2009).

Kecelakaan kerja dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor antara lain

adanya faktor teknologi, manajemen dan manusia. Faktor teknologi terkait dengan

kemampuan dari suatu peralatan atau mesin. Faktor manajemen yaitu berupa

komitmen, kebijakan, pengawasan dan prosedur kerja mengenai pelaksanaan K3.

Faktor manusia yaitu perilaku atau kebiasaan kerja yang tidak aman (Suma’mur,

1996).

Cara yang terbaik untuk mencegah kecelakaan kerja adalah dengan

menghilangkan risikonya atau mengendalikan sumber bahayanya secara teknis dan

apabila mungkin, bila tidak mungkin maka perusahaan perlu menyediakan alat

pelindung diri yang sesuai bagi pekerja yang berisiko, sesuai dengan UU No. 1

Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Bab IX pasal 13 yang menyatakan barang

siapa akan memasuki suatu tempat kerja diwajibkan mentaati semua petunjuk

Keselamatan Kerja dan memakai alat pelindung diri yang diwajibkan (Suma’mur,

1996).

Page 20: Arianto Wibowo

6

Menurut ILO (1993) upaya yang efektif untuk mencegah kecelakaan kerja

yang tidak terduga adalah dengan menutup sumber kerja tersebut, tetapi jika tidak

mungkin maka alternatif lain adalah dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD)

bagi pekerjanya yang bekerja pada tempat yang memiliki risiko kecelakaan kerja

yang cukup tinggi. Umumnya ada lima kategori pengendalian bahaya, yaitu eliminasi,

subtitusi, engineering, administratif dan alat pelindung diri. Eliminasi yaitu dengan

cara menghilangkan bahaya kerja, substitusi dengan cara mengganti bahan atau

proses kerja dengan yang lebih aman, engineering dengan cara membuat pelindung

pada bagian mesin yang membahayakan pekerja, administratif dengan cara job

rotation dan terakhir yaitu Alat Pelindung Diri (APD).

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir dari metode

pengendalian kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Meskipun demikian,

penggunaan APD akan menjadi sangat penting apabila pengendalian secara teknis

dan administratif telah dilakukan secara maksimal namun potensi risiko masih

tergolong tinggi. Besarnya manfaat dari penggunaan alat pelindung diri (APD) ini

pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya karena ternyata

masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya..

Alat pelindung diri sudah lazim digunakan oleh pekerja, namun pada

kenyataannya belum semua pekerja menggunakan sebagaimana seharusnya.

Keefektifan penggunaan alat pelindung diri adalah terbentur dari para tenaga kerja

sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku pekerja sehingga tidak

menggunakan alat pelindung diri yang telah disediakan oleh perusahaan antara lain

APD dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang berakibat penurunan performa kerja

Page 21: Arianto Wibowo

7

selain itu juga dapat menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang baru.

Dengan menggunakan APD pada waktu bekerja maka kemungkinan untuk terjadi

kecelakaan menjadi kecil. Oleh karena itu APD harus diperhatikan oleh semuanya

baik oleh pekerja maupun oleh perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

Kejadian kecelakaan kerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dari tahun

2006 sampai dengan tahun 2008 meningkat dan paling banyak terjadinya kecelakaan

kerja pada area pertambangan. Pada tahun 2006 kejadian kecelakaan kerja di area

pertambangan ada 40 kasus (69%) dari total kasus kecelakaan kerja di PT. ANTAM

Tbk UBPE Pongkor mengalami peningkatan menjadi 45 kasus (71,4%) pada tahun

2007. Hal ini berarti pekerja di area pertambangan PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor

berisiko mengalami kecelakaan kerja.

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir dari metode

pengendalian kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Meskipun demikian,

penggunaan APD akan menjadi sangat penting apabila pengendalian secara teknis

dan administratif telah dilakukan secara maksimal namun potensi risiko masih

tergolong tinggi. Besarnya manfaat dari penggunaan alat pelindung diri (APD) ini

pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya karena ternyata

masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya. Keefektifan penggunaan alat

pelindung diri adalah terbentur dari para tenaga kerja sendiri. Banyak faktor yang

mempengaruhi perilaku pekerja sehingga tidak menggunakan alat pelindung diri yang

telah disediakan oleh perusahaan antara lain APD dapat menyebabkan

Page 22: Arianto Wibowo

8

ketidaknyamanan yang berakibat penurunan performa kerja selain itu juga dapat

menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang baru.

Untuk itu penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor

yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di areal

pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor

Kabupaten Bogor Tahun 2010.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja di

PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor ?

2. Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penggunaan

APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas

Pongkor ?

3. Bagaimana hubungan antara pelatihan dengan perilaku penggunaan APD pada

pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor ?

4. Bagaimana hubungan antara pengawasan dengan perilaku penggunaan APD

pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor ?

5. Bagaimana hubungan antara kebijakan penggunaan APD dengan perilaku

penggunaan APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis

Pertambangan Emas Pongkor ?

Page 23: Arianto Wibowo

9

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat faktor-faktor

yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di PT.

ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor

Tahun 2010.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada

pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas

Pongkor

2. Diketahuinya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku

penggunaan APD pada pekerja di PT.ANTAM Tbk. Unit Bisnis

Pertambangan Emas Pongkor

3. Diketahuinya hubungan antara pelatihan dengan perilaku penggunaan

APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan

Emas Pongkor

4. Diketahuinya hubungan antara pengawasan dengan perilaku

penggunaan APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis

Pertambangan Emas Pongkor

5. Diketahuinya hubungan antara kebijakan penggunaan APD dengan

perilaku penggunaan APD pada pekerja di PT.ANTAM Tbk. Unit

Bisnis Pertambangan Emas Pongkor

Page 24: Arianto Wibowo

10

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Perusahaan

Mendapatkan informasi dan data mengenai gambaran perilaku

penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit

Bisnis Pertambangan Emas Pongkor.

1.5.2 Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademisi

sebagai informasi terhadap penelitian selanjutnya.

1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta

Sebagai sumber rujukan dalam penelitian selanjutnya dan sebagai

sumber referensi untuk penelitian selanjutnya.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan

dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja di PT.

ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor tahun 2010. Faktor-faktor

yang akan diteliti ialah tingkat pengetahuan, pelatihan, pengawasan dan kebijakan.

Penelitian ini menggunakan data primer menggunakan instrumen kuesioner dan

dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni tahun 2010. Penelitian ini

dilakukan di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor dengan

menggunakan metode kuantitatif dengan disain studi cross sectional.

Page 25: Arianto Wibowo

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan kerja adalah sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat

dan kematian sebagai akibat kecelakaan kerja yang berkaitan dengan peralatan kerja,

bahaya dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya, serta cara-cara

melakukan pencegahan (Sumbung, 2000).

Menurut Suma’mur, kesehatan kerja adalah upaya kesehatan yang

diselenggarakan agar pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri

sendiri sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal (Suma’mur, 1996).

The American Medical Association dalam Pudjowati (1998) menyatakan

bahwa tujuan dasar dari kesehatan dan keselamatan kerja adalah :

1. Melindungi pekerja dari bahaya-bahaya kesehatan dan keselamatan kerja di

tempat kerja.

2. Dalam prakteknya sejauh mungkin melindungi lingkungan masyarakat

sekitarnya.

3. Menyediakan tempat yang aman baik secara fisik, mental, dan emosional

pekerja dalam bekerja tanpa membahayakan kesehatan dan keselamatan kerja.

4. Mendapatkan perawatan medis yang adekuat dan rehabilitasi bagi mereka

karena kerja.

Page 26: Arianto Wibowo

12

5. Mengadakan pengukuran dan pemeliharaan kesehatan perorangan termasuk

memperoleh dokter pribadi dimana pun bila mungkin.

ILO (1989) telah menetapkan secara garis besar batasan dan tujuan kesehatan

kerja antara lain :

1. Memberikan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan ke tingkat yang

setinggi-tingginya, baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosial masyarakat

di semua lapangan pekerjaan.

2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang

diakibatkan oleh kegiatan atau kondisi lingkungan kerjanya.

3. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari faktor-faktor

yang membahayakan kesehatan.

4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang

sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis.

2.2. Kecelakaan Kerja

2.2.1. Pengertian Kecelakaan Kerja

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak berencana dan tidak terkontrol

yang merupakan salah satu aksi dan reaksi dari objek zat atau manusia. Kecelakaan

adalah kejadian yang tidak diharapkan, dapat mengganggu atau merusak

kelangsungan yang wajar dari suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan suatu luka

atau kerusakan pada benda atau peralatan (Kusuma, 2004).

Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tak

terduga, oleh karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,

Page 27: Arianto Wibowo

13

terlebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan, oleh karena peristiwa

kecelakaan disertai kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan

sampai kepada yang paling berat (Yanri, 2002).

Sedangkan kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang ada hubungannya

dengan hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti bahwa

kecelakaan yang disebabkan oleh pekerja atau terjadi pada saat melaksanakan

pekerjaan (Yanri, 2002).

2.2.2 Penyebab Kecelakaan

Kecelakaan menurut Suma’mur (1996) disebabkan oleh dua hal :

1. tindakan perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe

human act).

2. keadaan-keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition)

Dari penyelidikan-penyelidikan, ternyata faktor manusia yang menyebabkan

timbulnya kecelakaan lebih penting. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa

diperkirakan 80-85% kecelakaan kerja disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan

manusia.

Kecelakaan apabila ditelusuri/dirinci merupakan hasil kombinasi dari waktu,

kondisi fisik pekerja, pelatihan, tingkat pengetahuan dan tentu saja unsafe action

dan unsafe conditions. Tetapi pada intinya penyebab kecelakaan ada 2 faktor

yaitu :

Page 28: Arianto Wibowo

14

a. unsafe acts, di antaranya :

1. Tidak dipakainya alat pelindung yang disediakan

2. Cara kerja yang berbahaya dari pekerja

3. Penggunaan alat yang kurang cocok

b. unsafe conditions, diantaranya :

1. Alat pelindung yang tidak efektif

2. Alat yang tidak aman walau dibutuhkan

3. Bahan-bahan yang berbahaya

4. Alat atau mesin yang tidak efektif

5. Pakaian kerja yang tidak cocok

6. Penerangan, ventilasi yang tidak cocok

2.3. Perilaku

Kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu

masyarakat atau kelompok akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang

pada umumnya disebut kebudayaan. Dalam buku Notoatmodjo (2007) mengatakan,

perilaku adalah salah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan

mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini. Perilaku manusia adalah

suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces)

dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Selanjutnya perilaku itu dapat

Page 29: Arianto Wibowo

15

berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam

diri seseorang sehingga ada kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri

seseorang yakni kekuatan-kekuatan pendorong meningkat, kekuatan-kekuatan

penahan menurun, atau kekuatan pendorong menurun dan kekuatan penahan

meningkat (Lewin, 1970).

Green (1980) dalam buku Notoatmodjo (2007) mencoba menganalisis

perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat

dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor

di luar perilaku (non behaviour causes). Perilaku seseorang atau masyarakat tentang

kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan, kehendak,

motivasi, niat, dan menghasilkan perilaku dari orang atau masyarakat yang

bersangkutan. Selain itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku petugas kesehatan

juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Perilaku K3 yang diungkapkan oleh Pasiak (1999) menyatakan bahwa

kegiatan keselamatan kerja pertambangan harus melengkapi unsur inisiatif, birokratif,

tanggap dan patuh dalam melakukan berbagai tindakan. Diharapkan dengan

mengindahkan unsur tersebut maka perilaku K3 yang baik akan terealisasikan.

2.3.1. Batasan Perilaku

Menurut cara pandang biologis perilaku merupakan suatu kegiatan atau

aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada

hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai

Page 30: Arianto Wibowo

16

bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa,

bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau

aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat

diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Skinner (1938) dalam Notoatmodjo seorang ahli psikologi, merumuskan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui adanya proses

stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka

teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Teori ini

membedakan adanya dua respons (Notoadmodjo, 2003).

a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya : makanan yang lezat

menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata

tertutup, dan sebagainya.

b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena

memperkuat respons. Misalnya : apabila seorang pekerja melaksanakan

tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya) kemudian

memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka pekerja

tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.

Page 31: Arianto Wibowo

17

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada

perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang

yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh

orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behavior atau unobservable

behavior, misalnya : seorang pekerja tahu pentingnya menggunakan alat

pelindung diri (APD) di area bengkel, dan sebagainya.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk

tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau

dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata

atau praktik (practice) misal, seorang pekerja menggunakan alat pelindung

telinga ketika memasuki area kerja yang bising, dan sebagainya.

2.3.2 Determinan Perilaku

Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena

perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal

(lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi

dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,

Page 32: Arianto Wibowo

18

motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Namun demikian pada realitasnya sulit

dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang.

Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi

oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana

fisik, sosio-budaya masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Menurut teori Lawrence Green dan kawan-kawan (1980) menyatakan bahwa

perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior

causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu

sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan,

sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor pendukung (enabling factors), yang mencakup lingkungan fisik,

tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

keselamatan kerja, misalnya ketersediaan alat pelindung diri (APD), pelatihan,

dan sebagainya.

c. Faktor pendorong (reinforcing factors), faktor-faktor ini meliputi undang-

undang, peraturan-peraturan, kebijakan, pengawasan dan sebagainya.

Page 33: Arianto Wibowo

19

2.3.3.1 Faktor predisposisi (predisposing factors)

2.3.3.1.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga

(Notoatmodjo, 2003).

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang

didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan

bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup

dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2003).

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi

Page 34: Arianto Wibowo

20

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi

harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan

dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan

masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari

penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),

membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat

merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya

terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

Page 35: Arianto Wibowo

21

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan

pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-

kriteria yang telah ada.

Menurut Lavine (1962) pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat

pelindung diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya

yang dapat ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APD itu sendiri serta

potensi bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul

akibat rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan

dampak atau bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APD, maka

diharapkan pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APD (Dalam

Elfrida, 2006).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan pekerja dengan perilaku penggunaan APD. Menurutnya bahwa

pengetahuan adalah sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup

kuat untuk mengubah perilaku. Bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai

pengetahuan yang tinggi cenderung bertindak ceroboh. Dengan demikian

pengetahuan yang tinggi merupakan sarana yang baik untuk mengubah perilaku,

namun perlu dibarengi dengan niat yang kuat sehingga seorang pekerja akan

bertindak sesuai dengan tingkatan pengetahuannya.

Page 36: Arianto Wibowo

22

2.3.3.1.2 Sikap

2.3.3.1.2.1 Definisi Sikap

Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan dengan persepsi,

kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental yang

dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya

pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek dan situasi-

situasi dengan siapa ia berhubungan.

Menurut Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan

mudah terpengaruh terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen

cognitive, affective dan behaviour (Achmadi, 1985).

2.3.3.1.2.2 Komponen Sikap

Sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang

bersifat menetap dengan komponen-komponen (Adryanto, 1985).

a. Komponen kognitif

Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang

mengenai objek sikap tertentu. Fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang

objek.

b. Komponen afektif

Komponen ini menyangkut kehidupan emosional seseorang terdiri dari

seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek terutama penilaian.

Page 37: Arianto Wibowo

23

c. Komponen Perilaku

Terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderungan untuk

bertindak atau bertingkah laku terhadap objek.

Karakteristik dari sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang

berasal dari komponen afeksi, sedangkan kejadiannya tidak diikutsertakan dengan

evaluasi emosional. Oleh karena itu sikap adalah relatif konstan dan agak sukar

berubah. Jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya suatu tekanan yang kuat dan

dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu.

Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kumpulan dari berpikir,

keyakinan dan pengetahuan. Namun disamping itu memiliki evaluasi negatif maupun

positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini

dengan sendirinya berhubungan dengan objek atau masalah. Pengetahuan dan

perasaan yang ada dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu.

2.3.3.1.2.3 Pembentukan Sikap

Pembentukan sikap tidak terjadi demikian saja, melainkan melalui suatu

proses tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap (Purwanto,

1999) adalah

a. Faktor intern

Adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang

bersangkutan sendiri seperti selektifitas. Suatu rangsangan yang datang harus

dipilih yaitu mana rangsangan yang harus didekati dan mana rangsangan yang

Page 38: Arianto Wibowo

24

harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan-

kecenderungan dalam diri seseorang.

b. Faktor ekstern

Faktor ekstern (faktor diluar manusia) terdiri dari :

1. Sikap objek yang dijadikan sasaran sikap

2. Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap

3. Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut

4. Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap

5. Situasi pada saat sikap dibentuk

Terbentuknya sikap seseorang pada dasarnya dilandasi oleh norma-norma

yang sebelumnya, sehingga norma-norma ini beserta pengalamannya di masa lalu, ia

akan menentukan sikap bahkan bertindak.

2.3.3.1.3 Keyakinan

2.3.3.1.3.1 Pengertian Keyakinan

Keyakinan merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu.

Konsep keyakinan pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Keyakinan mengacu

pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan

mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986,)

Pervin memberikan pandangan yang memperkuat pernyataan Bandura tersebut.

Pervin menyatakan bahwa keyakinan adalah kemampuan yang dirasakan untuk

membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus (Bart, 1994).

Page 39: Arianto Wibowo

25

Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa

keyakinan adalah perasaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk membentuk

perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang mungkin tidak dapat

diramalkan dan mungkin menimbulkan stres.

2.3.3.1.3.2. Dimensi Keyakinan

Bandura (1997) mengemukakan bahwa keyakinan individu dapat dilihat dari

tiga dimensi, yaitu :

a. Tingkat (level)

Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda

dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang

tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas

yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang

memiliki keyakinan diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang

tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.

b. Keluasan (generality)

Dimensi ini berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau

tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan

pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja.

Individu dengan keyakinan yang tinggi akan mampu menguasai beberapa

bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang

memiliki keyakinan yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang

diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.

Page 40: Arianto Wibowo

26

c. Kekuatan (strength)

Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan

atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri

menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan

hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Keyakinan diri

menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika

menemui hambatan sekalipun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan mencakup

dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength).

2.3.3.1.3.3. Sumber-Sumber Keyakinan

Bandura (1986) menjelaskan bahwa keyakinan individu didasarkan pada

empat hal, yaitu:

a. Pengalaman akan kesuksesan

Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar

pengaruhnya terhadap keyakinan individu karena didasarkan pada

pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan

diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan

menurunnya keyakinan, khususnya jika kegagalan terjadi ketika keyakinan

individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat

menurunkan keyakinan individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan

kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.

Page 41: Arianto Wibowo

27

b. Pengalaman individu lain

Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang

kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Keyakinan juga

dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan

keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan

keyakinan individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan

persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat

melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki

kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap

kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak

usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan

mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan

yang memungkinkan keyakinan individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman

individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan

orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.

c. Persuasi verbal

Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa

individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih

apa yang diinginkan.

d. Keadaan fisiologis

Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu

tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan

keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya

Page 42: Arianto Wibowo

28

suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung

dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat

dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang

dihadapinya berada di atas kemampuannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, keyakinan diri bersumber pada pengalaman

akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis

individu.

2.3.3.1.4 Karakteristik Pekerja

Pada penulisan ini yang dimaksud dengan karakteristik pekerja adalah jenis

kelamin, umur, pendidikan dan lama kerja.

Jenis kelamin dalam kaitannya dengan perilaku selamat diutarakan oleh

Suma’mur (1989) bahwa terdapat kelompok-kelompok tenaga kerja yang oleh karena

alasan-alasan tertentu mendapat perhatian khusus dalam keselamatan kerja. Mereka

itu salah satunya adalah wanita.

Ketentuan-ketentuan keselamatan yang bertalian dengan pekerja secara umum

berlaku pula bagi pekerja wanita, namun pada beberapa hal perlunya ketentuan

tambahan secara khusus. Contohnya ketentuan pembatasan untuk wanita pada

pekerjaan-pekerjaan yang dapat membahayakannya.

Umur merupakan salah satu faktor karakteristik pekerja. Suma’mur (1989)

menyatakan dalam statistik terlihat bahwa dengan usia muda sering mengalami

kecelakaan kerja bila dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Secara umum

diketahui bahwa kapasitas fisik manusia seperti penglihatan dan kecepatan reaksi

Page 43: Arianto Wibowo

29

menurun setelah usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka pada usia tersebut

mungkin akan lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan

bahaya, dibandingkan dengan pekerja yang berusia muda. Menurut Suma’mur

(1989), angka beratnya kecelakaan rata-rata lebih meningkat mengikuti pertambahan

umur.

Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis yang berlangsung seumur

hidup didalam mentransfer pengetahuan seseorang kepada orang lain. Usaha ini bisa

dilakukan secara formal maupun non formal. Secara formal yakni ditempuh melalui

tingkat-tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi,

terjadi diruang kelas dengan program yang bersifat “structure”. Sedangkan

pendidikan non formal umumnya bersifat “unstructure”. Notoatmodjo (1981)

menyatakan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan

bantuan yang diberikan kepada anak didik untuk menuju kedewasaan. Dari

pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi cara

berpikir dalam menghadapi pekerjaan, menerima latihan kerja dan juga cara

menghindari kecelakaan kerja, tersirat pula tujuan dari intervensi pendidikan adalah

memotivasi dan memampukan pekerja untuk mengambil tindakan yang efektif dalam

meningkatkan kondisi kerja.

Lama kerja seseorang dapat dikaitkan dengan pengalaman yang didapatkan

ditempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang akan

diperoleh sewaktu bekerja akan lebih banyak. Dalam hal keselamatan dan kesehatan

kerja pengalaman dalam memakai berbagai macam alat kerja secara aman tentunya

akan semakin banyak pula. ILO (1989) menyatakan bahwa hasil studi di Amerika

Page 44: Arianto Wibowo

30

menemukan, kecelakaan kerja yang terjadi selain disebabkan oleh faktor manusia

juga karena masih baru bekerja dan kurang dalam pengalaman.

2.3.3.2 Faktor pendukung (enabling factors)

2.3.3.2.1 Ketersediaan alat pelindung diri

Dalam UU No.1 Tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus

(pengusaha) diwajibkan untuk mengadakan secara cuma-cuma, semua alat

perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah

pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja

tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk

pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.

Perlindungan perorangan harus dianggap sebagai garis pertahanan terakhir,

karena sering peralatan ini tidak praktis untuk dan dipakai dan menghambat gerakan.

Karenanya tidak mengherankan bila kadangkala dikesampingkan oleh pekerja.

Karena peralatan dirancang untuk mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh

pekerja, ia menahan panas tubuh dan uap air di dalamnya, sehingga pekerja menjadi

gerah, berkeringat dan cepat lelah (ILO, 1989).

Oleh karena itu alat pelindung diri yang dianggap sebagai garis pertahanan

terakhir harus disediakan sesuai dengan kebutuhan dan cocok untuk setiap pekerja

yang menggunakannya agar tidak timbul adanya kecelakaan disebabkan karena

ketidaknyamanan pekerja dalam menggunakan APD tersebut.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara proporsi

Page 45: Arianto Wibowo

31

perilaku pemakaian APD oleh yang mengatakan fasilitas tersedia cukup dengan yang

menyatakan fasilitas tersedia kurang. Menurut penjelasannya bahwa selain sebagian

besar pekerjanya menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia mencukupi juga

berdasarkan informasi dari pihak manajemen yang disediakan telah mencukupi. Hal

ini menunjukkan bahwa ketersediaan alat pelindung yang cukup menjadi salah satu

faktor yang memudahkan untuk terbentuknya perilaku menggunakan APD yang

diharapkan.

Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun

2000 bahwa secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara

fasilitas dengan penggunaan APD. Menurut pernyataan sebagian besar pekerja bahwa

fasilitas APD yang telah disediakan perusahaan telah mencukupi namun masih

terdapat beberapa jenis alat pelindung diri yang kurang nyaman pada saat dipakai.

Sehingga memungkinkan pekerja tidak disiplin dalam menggunakannya.

2.3.3.2.2 Pelatihan

Penggunaan istilah pelatihan (training) sering dikacaukan dengan latihan

(exercise atau practice). Pelatihan adalah merupakan bagian dari suatu proses

pendidikan formal yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau

keterampilan kerja seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan latihan adalah salah

satu cara untuk memperoleh keterampilan tertentu (Notoatmodjo, 1989).

Menurut Carel seperti dikutip dari penelitian (Sumbung, 2000) bahwa

pelatihan mempunyai pengaruh yang besar dan merupakan suatu alat pemotivasi yang

Page 46: Arianto Wibowo

32

kuat dalam keselamatan. Melalui pelatihan para pekerja pada umumnya dapat

diberikan tiga hal yaitu pengetahuan, keterampilan dan motivasi.

Pelatihan merupakan bagian dari pembinaan sumber daya manusia. Setiap

individu memerlukan latihan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu untuk mencapai

sasaran tertentu. Pelatihan juga berkaitan dengan perubahan tingkah laku. Fungsi dari

suatu sistem pelatihan adalah memproses individu dengan perilaku tertentu agar

berperilaku sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya sebagai produk akhir

dari pelatihan (Sahab, 1997).

Pelatihan atau training adalah salah satu bentuk proses pendidikan, dengan

melalui training sasaran belajar atau sasaran pendidikan akan memperoleh

pengalaman-pengalaman belajar yang akhirnya akan menimbulkan perubahan

perilaku mereka (Notoatmodjo, 1989).

Menurut Strauss dan Sayles, pelatihan berarti mengubah pola perilaku, karena

dengan pelatihan maka akhirnya menimbulkan perubahan perilakunya (Notoatmodjo,

1989).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna pada proporsi

pemakaian APD dari responden yang pernah mendapatkan pelatihan dengan yang

tidak mendapatkan pelatihan. Menurut penjelasannya bahwa pelatihan merupakan

pengaruh yang besar dan merupakan suatu alat pemotivasi yang kuat dalam

keselamatan. Hasil ini diperkuat dengan pernyataan manajemen bahwa pelatihan

tentang bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja beserta penanggulangannya

diberikan kepada para pekerja sebelum resmi bekerja (safety induction).

Page 47: Arianto Wibowo

33

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun 2000

bahwa secara statistik variabel pelatihan tidak mempunyai hubungan bermakna

terhadap penggunaan APD. Hal ini dikarenakan pekerja belum mendapatkan

pelatihan yang secara formal diberikan oleh perusahaan, begitu juga dengan jenis

pelatihan mengenai K3 pekerja mengatakan materi yang diberikan pada waktu

sebelum mereka diterima bekerja belum menyentuh pada substansi K3.

2.3.3.3 Faktor pendorong (reinforcing factors)

2.3.3.3.1 Pengawasan

Olishifski (1998) menyatakan bahwa pengawasan merupakan kegiatan rutin

dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan alat pelindung diri yang

dilakukan oleh pengawas yang ditunjuk dan umumnya dirancang sendiri untuk

melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kerja bawahannya. Tenaga kerja harus

diawasi pada waktu mereka bekerja untuk memastikan bahwa mereka terus menerus

menggunakannya secara benar (Dalam Kusuma, 2004).

Menurut Kelman (1958) perubahan perilaku individu dimulai dengan tahap

kepatuhan (compliance), identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-

mula individu mematuhi tanpa kerelaan melakukan tindakan tersebut dan seringkali

karena ingin menghindari hukuman (punishment) ataupun sanksi, jika seseorang

tersebut tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dapat

mematuhi anjuran tersebut maka biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini

sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan dilakukan selama masih ada pengawas.

Page 48: Arianto Wibowo

34

Namun pada saat pengawasan mengendur perilaku itu pun ditinggalkannya lagi

(Dalam Elfrida, 2006).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi

yang pola pengawasan dengan perilaku penggunaan APD. Dijelaskan bahwa

meskipun petugas pengawas maupun jadwal pengawasannya telah terencana dengan

baik dan jelas, namun kemungkinan sikap pengawas sendiri di dalam melaksanakan

tugasnya masih kurang bertanggung jawab. Pengawasan merupakan kegiatan rutin

dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan APD yang dilakukan pengawas.

Pengawas biasanya berada di bagian yang sama dengan pekerja yang menjadi objek

pengawasan. Kemungkinan karena pengawasan hanya dilakukan oleh pengawas lokal

maka pengawas tersebut sendiri kurang tegas menghadapi pekerja yang lebih senior,

maka pengawasan terkesan kurang mengena sasaran.

2.3.3.3.2 Kebijakan Tentang APD

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108

menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai

dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. Oleh karena itu upaya

perlindungan terhadap pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan

kegiatan/proses di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.

Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan

penggunaan alat pelindung diri (APD).

Page 49: Arianto Wibowo

35

Penggunaan APD di tempat kerja sendiri telah diatur melalui Undang-undang

No. 1 Tahun 1970. Pasal-pasal yang mengatur tentang penggunaan APD adalah

antara lain :

a. Pasal 3 ayat 1 butir f menyatakan bahwa salah satu syarat-syarat keselamatan

kerja adalah dengan cara memberikan alat pelindung diri (APD) pada pekerja.

b. Pasal 9 ayat 1 butir c menyatakan bahwa pengurus (perusahaan) diwajibkan

menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga kerja baru tentang alat-alat

pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.

c. Pasal 12 butir b menyatakan bahwa tenaga kerja diwajibkan untuk memakai

alat pelindung diri (APD).

d. Pasal 12 butir e menyatakan bahwa pekerja boleh mengatakan keberatan

apabila alat pelindung diri yang diberikan diragukan tingkat keamanannya.

e. Pasal 13 menyatakan bahwa barang siapa akan memasuki suatu tempat kerja,

diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat

pelindung diri yang diwajibkan.

f. Pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan untuk

mengadakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang

diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan

menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,

disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai

pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.

Page 50: Arianto Wibowo

36

Peraturan lain yang mengatur penggunaan APD adalah Peraturan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 01/Men/1981, disebutkan dalam pasal 4 ayat

3, bahwa “pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan

diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada dibawah

pimpinannya untuk mencegah penyakit akibat kerja”. Begitu pula dalam pasal 5 ayat

2 disbutkan bahwa “tenaga kerja harus memakai alat-alat perlindungan diri yang

diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja”.

Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan dengan

detail dalam bentuk peraturan-peraturan. Kepastian hukum yang kuat akan

memberikan kemantapan dalam pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan

peringatan tidak dihiraukan maka perangkat peraturanlah yang akan berperan dalam

hal pemberian sanksi. Maka peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan

upaya yang dilakukan dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di

sebuah perusahaan.

Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian penghargaan/hadiah

ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi berperilaku pekerja

terutama dalam penggunaan APD.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998

dikatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi

yang menyatakan ada kebijakan dengan yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam

pemakaian APD. Menurut pendapatnya bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pihak

manajemen terkesan sebagai suatu hal yang tidak banyak memberikan motivasi

Page 51: Arianto Wibowo

37

positif kepada pekerja, padahal motivasi ini sangat diperlukan agar para pekerja lebih

peduli lagi terhadap pentingnya penggunaan APD.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun 2000

dikatakan bahwa secara statistik variabel kebijakan terbukti mempunyai hubungan

bermakna terhadap penggunaan APD. Didalam hal kebijakan, semua responden

mengetahui adanya peraturan tentang diberlakukannya penggunaan APD. Pekerja

juga mengetahui jika mereka melanggar peraturan, maka mereka akan mendapatkan

sanksi dari perusahaan. Namun sanksi yang ada tidak jalan sebagaimana mestinya,

juga tidak ada penghargaan bagi yang memenuhi peraturan khususnya yang bersifat

individual sehingga tidak memberikan dorongan kepada pekerja untuk lebih peduli

terhadap penggunaan APD.

2.3.4 Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang

digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku dibawah ini

diuraikan bentuk-bentuk perubahan perilaku menurut WHO. Menurut WHO,

perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga (Notoatmodjo, 2003).

a. Perubahan alamiah (natural change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena

kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan

lingkungan fisika atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota

masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.

b. Perubahan terencana (planned change)

Page 52: Arianto Wibowo

38

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh

subjek.

c. Kesediaan untuk berubah (readiness to change)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam

masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat

untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya), dan

sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan

tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah

(readiness to change) yang berbeda-beda.

2.3.5 Strategi Perubahan Perilaku

Untuk memperoleh gambaran perilaku yang diinginkan, sangat diperlukan

usaha-usaha konkret dan positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan

perilaku tersebut oleh WHO dikelompokkan menjadi tiga (Notoatmodjo, 2003).

a. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan

Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau

masyarakat (pekerja) sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang

diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-

peraturan/perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh semua pekerja. Cara

ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut

belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi

tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.

Page 53: Arianto Wibowo

39

b. Pemberian informasi

Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara bekerja

dengan aman, cara penggunaan alat pelindung diri yang benar dan sebagainya

akan meningkatkan pengetahuan masyarakat (pekerja) tentang hal tersebut.

Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan

kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai

dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku

dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan

bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (bukan

karena paksaan).

c. Diskusi partisipasi

Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua di atas yang

dalam emberikan informasi-informasi keselamatan tidak bersifat searah saja,

tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat (pekerja) tidak hanya pasif

menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-

diskusi tentang informasi yang diterimanya.

2.4. Bahaya

Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau yang dapat

menimbulkan cidera, penyakit, kerusakan ataupun penurunan kemampuan dalam

melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan. (Harianto Mangunsaputro, 1982).

Keadaan tersebut dapat berasal atau dihasilkan dari :

a. Manusia seperti cacat (fisik maupun mental), perbuatan dan lain-lain.

Page 54: Arianto Wibowo

40

b. Lingkungan seperti alam (banjir, petir, hujan dan lain-lain) tempat (elevasi,

hutan, terisolir dan lain-lain), iklim (suhu, tekanan, udara kotor, kurang zat

asam dan lain-lain).

c. Peralatan seperti mesin, instrumen dan alat-alat yang lain (rusak, usang,

tidak standar dan lain-lain).

d. Bahan seperti kimia beracun, reaktif, mudah terbakar, carrsinogen dan lain-

lain.

Kadang-kadang bahaya diartikan sebagai sebab kecelakaan. Hal tersebut kalau

kita tinjau dari pengertian bahaya di atas adalah tidak benar, bahaya dapat hadir tanpa

menimbulkan kecelakaan. Namun kalau tingkat berbahayanya melewati batas yang

ditentukan baru dapat menjadi sebab kecelakaan. Bila bahaya tersebut sampai

menimbulkan kecelakaan maka urutan peranannya dalam menyebabkan kecelakaan

dibagi sebagai berikut:

a. Bahaya pemula (Iinitialing hazards ), yaitu bahaya yang menjadi asal mula

bagi bekerjanya bahaya penunjang dan bahaya primer.

b. Bahaya penunjang (Contributary hazards ), yaitu bahaya yang menunjang

atau yang menjadi perantara bekerjanya bahaya primer setelah adanya

bahaya pemula.

c. Bahaya primer (Primary hazards), yaitu bahaya yang berlangsung menjadi

sebab timbulnya.

2.5. Upaya Pengendalian

Menurut Cross J (1998) mengatakan pengendalian risiko yaitu kegiatan yang

Page 55: Arianto Wibowo

41

dilaksanakan untuk meminimalkan risiko yang dapat terjadi dengan pemilihan

berbagai alternatif yakni pengendalian sumber bahaya dan tempat kerja manusia,

peraturan perundang-undangan yang berlaku, alat pengawasan dan alat pengukur

kinerja. Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No 05/MEN/1996 tentang

Pedoman Penerapan Sistim Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja dijelaskan

bahwa pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui

metode :

a. Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, subtitusi, isolasi,

ventilasi, hygiene dan sanitasi.

b. Pendidikan dan pelatihan.

c. Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus, insentif,

penghargaan dan motivasi diri.

d. Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi.

e. Penegakan hukum.

2.5.1 Hirarki Pengendalian bahaya

a. Eliminasi.

Dilakukan dengan cara menghilangkan atau meniadakan sumber yang dapat

menimbulkan bahaya, sehingga sumber bahaya menjadi tidak ada.

b. Substitusi

Substitusi dilakukan dengan cara mengganti sumber yang mempunyai potensi

bahaya lebih tinggi dengan sumber yang mempunyai potensi bahaya lebih

rendah, yaitu dengan mengganti bahan yang digunakan, penggantian peralatan

Page 56: Arianto Wibowo

42

kerja dan penggantian proses kerja yang berisiko.

c. Isolasi

Isolasi ini merupakan langkah ketiga yaitu dengan mengisolasi sumber bahaya

melalui isolasi kegiatan kerja yang berpotensi bahaya, isolasi mesin dan

peralatan berbahaya, isolas sumber pajanan (kebisingan, suhu ekstrim, getaran,

panas pencahayaan )

d. Pengendalian teknis

Dilakukan dengan cara memodifikasi alat, cara kerja mesin, perubahan

komponen mesin yang berguna untuk mengurangi bahaya dan pajanan

terhadap lingkungan kerja

e. Pengendalian Administratif

Dilakukan dengan perubahan shif kerja, jam kerja, pengaturan penempatan

kerja, pengembangan prosedur kerja. Dimana hal ini lebih terkait dengan

manajemen.

g. Penggunaan Alat Pelindung Diri

Dimana Penggunaan APD ini merupakan alternatif terakhir setelah upaya yang

lain secara maksimum dilaksanakan, akan tetapi penggunaan APD ini tidak

mengurangi potensi bahaya melainkan hanya mengurangi konsekuensi akibat

yang ditimbulkan.

2.6 Alat Pelindung Diri

2.6.1 Pengertian Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk

Page 57: Arianto Wibowo

43

melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari

bahaya ditempat kerja (ILO,1991)

APD digunakan sebagai cara terakhir untuk melindungi pekerja dari potensi

bahaya yang ada apabila pengendalian engineering dan administrative telah

dilakukan/tidak mungkin dilakukan/dalam keadaan darurat. APD tidak dapat

menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada, APD hanya mengurangi jumlah

kontak dengan bahaya dengan menempatkan penghalang antara pekerja dengan

bahaya. Sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah

enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif

terhadap bahaya.

Pemakaian APD mempunyai kelemahan antara lain kemampuan perlindungan

yang tidak sempurna karena memakai APD yang tidak tepat, cara pemakaian APD

yang salah, APD tidak memenuhi syarat yang diperlukan.

2.6.2 Macam-macam Alat Pelindung Diri (APD)

Beberapa jenis APD yang digunakan untuk melindungi pekerja dari potensi

bahaya terdiri dari pelindung kepala (safety helmet), pelindung tangan (gloves),

pelindung mata dan wajah (googles, face shield), pelindung telinga (ear plug, ear

muff), pelindung pernapasan (respirator, masker), pakaian pelindung (wear pack) dan

pelindung kaki (safety shoes).

2.6.2.1 Alat Pelindung Kepala (Safety Helmet)

Alat pelindung kepala (safety helmet) digunakan untuk melindungi pekerja dari

Page 58: Arianto Wibowo

44

bahaya terbentur oleh benda tajam atau benda keras yang dapat meyebabkan luka

gores, terpotong, tertusuk, kejatuhan benda, atau terpukul oleh benda-benda yang

melayang di udara. Safety helmet juga berfungsi untuk melindungi rambut pekerja dari

bahaya terjepit mesin yang berputar, bahaya panas radiasi, dan percikan bahan kimia.

Safety helmet dapat terbuat dari berbagai bahan, antara lain plastic, fiberglass dan

logam. Di Indonesia belum ada standar/klasifikasi untuk safety helmet. Di amerika

terdapat 4 jenis safety helmet yaitu (Dr. Milos Nedved,1991):

a. Kelas A : untuk penggunaan umum dan untuk tegangan listrik yang

terbatas

b. Kelas B : tahan terhadap tegangan listrik tinggi

c. Kelas C : tanpa perlindungan terhadap tegangan listrik, biasanya terbuat

dari logam.

d. Kelas D : yang digunakan untuk pemadam kebakaran.

Gambar 2.1. Safety Helmet

Safety helmet yang baik harus memiliki standar umum sebagai berikut (Dr.

Milos Nedved, 1991):

Page 59: Arianto Wibowo

45

a. Bagian dari luarnya harus kuat dan tahan terhadap benturan atau tusukan

benda-benda runcing. Cara mengujinya : diuji dengan menjatuhkan benda

seberat 3 kg dari ketinggian 1 m, safety helmet tidak boleh pecah.

b. Jarak antara lapisan luar dan lapisan dalam dibagian puncak 4 – 5 cm

c. Tidak menyerap air. Cara mengujinya : diuji dengan merendam dalam air

selama 24 jam, air yang diserap kurang 5% beratnya.

d. Tahan terhadap api. Cara mengujinya : diuji dengan membakar safety helmet

selama 10 detik dengan pembakar bunsen atau propan, dengan nyala api

bergaris tengah 1 cm. Api harus padam setelah 5 detik.

e. Tahan terhadap tegangan arus listrik. Cara mengujinya : untuk listrik tegangan

tinggi diuji dengan mengalirkan arus bolak balik 20.000 volt dan 60 Hz

selama 3 menit, kebocoran arus harus lebih kecil dari 9 mA. Sedangkan untuk

listrik tegangan rendah diuji dengan mengalirkan arus bolak-balik 2200 volt

dan 60 Hz selama 1 menit, kebocoran harus kurang dari 9 mA.

2.6.2.2 Pelindung Tangan (Gloves)

Pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan jari-jari dari api,

panas, dingin, radiasi elektromagnetik, dan radiasi mengion, listrik, bahan kimia,

benturan dan pukulan, luka, lecet dan infeksi. Menurut bentuknya alat pelindung

tangan dan jari dapat dibedakan menjadi (Dr. Milos Nedved, 1991) :

a. Sarung tangan (gloves).

b. Mitten : sarungan tangan dengan ibu jari terpisah sedang jari lain menjadi

satu.

Page 60: Arianto Wibowo

46

c. Hand pad : melindungi telapak tangan.

d. Sleeve : untuk pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung dengan

sarung tangan.

Gambar 2.2. Safety Gloves

Bahan untuk sarung tangan bermacam-macam bahannya, sesuai

dengan fungsinya :

a. Bahan asbes, katun, wool untuk panas dan api.

b. Bahan kulit untuk panas, listrik, luka dan lecet.

c. Bahan karet alam atau sintetik untuk kelembaban air dan bahan kimia.

d. Bahan PVC (Poli Vinil Chloride) untuk zat kimia, asam kuat dan oksidator.

2.6.2.3 Pelindung Mata dan Wajah (googles, face shield)

Pelindung mata dan wajah digunakan untuk melindungi mata dan wajah dari

lemparan benda-benda kecil, lemparan benda-benda panas, pengaruh cahaya,

pengaruh radiasi tertentu, dan bahaya kimia. Lensa alat pelindung muka dan wajah

dapat terbuat dari bahan gelas/kaca biasa dan plastik. Bahan gelas ada 2 jenis yaitu

gelas yang ditempa secara panas, dan gelas dengan laminasi aluminium. Sedangkan

Page 61: Arianto Wibowo

47

dari bahan plastik ada beberapa jenis yaitu selulosa asetat, akrilik, poli karbonat, allyl,

diglycol carbonat. Syarat-syarat yang harus dimiliki alat pelindung mata dan wajah

(Dr. Milos Nedved, 1991) :

a. Ketahanan terhadap api, sama dengan helm.

b. Ketahanan terhadap lemparan-lemparan benda. Cara mengujinya : diuji

dengan menjatuhkan bola yang berdiameter 1 inchi, dengan bebas dari

ketinggian 125 cm, mengenai lensa pada titik pusat geometris lensa, lensa

tidak boleh pecah dan tergeser dari framenya.

c. Syarat optis tertentu. Lensa tidak boleh mempunyai efek distorsi/efek prisma

lebih dari 1/16 prisma dioptri, artinya perbedaan refraksi, harus lebih dari 1/16

dioptri.

d. Tahan terhadap radiasi. Prinsipnya kacamata yang hanya tahan terhadap

panjang gelombang tertentu; standar Amerika ada 16 jenis kaca dengan sifat-

sifat tertentu.

Menurut OSHA jenis-jenis pelindung mata dan wajah terdiri dari :

a. Safety spectacles : kacamata ini mempunyai lensa yang terbuat dari gelas atau

plastik yang tahan terhadap benturan, dengan atau tanpa pelindung samping.

b. Googles : pelindung mata yang sepenuhnya melindungi mata, rongga mata,

dan sekitar area dari paparan debu dan percikan bahan korosif.

c. Welding shields : digunakan untuk melindungi mata dari inframerah, radiasi

cahaya yang berlebihan dan juga untuk melindungi mata dan wajah dari

serpihan partikel kecil, percikan api dari kegiatan pengelasan, brazing,

Page 62: Arianto Wibowo

48

pematrian, dan pemotongan. Lensanya terbuat dari kaca-serat atau serat yang

ditempa panas serta memiliki filter pada lensanya.

d. Laser safety googles : kacamata ini khusus dibuat untuk melindungi mata

pekerja dari gelombang sinar laser tertentu yang spesifik penggunaannya.

e. Face shields : digunakan untuk melindungi bagian wajah dari alis mata

sampai dagu dari paparan debu, percikan api, bahan korosif. Penggunaannya

dapat dikombinasikan dengan menggunakan googles.

Gambar 2.3. Safety Googles

2.6.2.4 Pelindung Telinga (ear plug, ear muff)

Ear plug dan ear muff berfungsi sebagai penghalang antara sumber bising dan

telinga bagian dalam dan digunakan pada lingkungan kerja yang intensitas

kebisingannya ≥ 85 dB. Karena kebisingan yang tinggi akan berpengaruh pada

terganggunya konsentrasi kerja, terjadinya gangguan komunikasi, tuli kondusif dan

tuli permanen, dan turunnya produktivitas kerja.

Ear plug dan ear muff yang digunakan harus memiliki sertifikasi dan pada

etiketnya tertulis NRR (Noise Reduction Rate) yang menyatakan kemampuan ear

plug atau ear muff dapat mengurangi intensitas suara yang masuk ke dalam telinga.

Ear plug dapat mengurangi intensitas suara 10 dB – 17 dB dan ear muff dapat

Page 63: Arianto Wibowo

49

mengurangi intensitas suara antara 20 dB – 30 dB, disamping itu ear muff juga

melindungi bagian luar telinga (daun telinga). Untuk keadaan tertentu dapat

dikombinasikan penggunaan antara ear plug dengan ear muff sehingga dapat

mengurangi intensitas suara yang lebih tinggi, tapi tak lebih dari 50 dB karena

hantaran suara melalui tulang masih ada (Freddin Warsto dan Loui Arthur Mamesah,

2003).

2.6.2.4.1 Sumbat Telinga (Ear Plug)

Sumbat telinga (ear plug) dapat dibuat dari kapas, malam (wax), plastik karet

alami dan sintesis. Menurut cara penggunaannya, dibedakan atas sumbat telinga

sekali pakai (disposable ear plug) umumnya terbuat dari kapas, dan sumbat telinga

yang dapat dipakai untuk waktu yang lama (reversibel ear plug) yang terbuat dari

karet atau plastik yang dicetak.

Gambar 2.4.1 Ear Plugs

2.6.2.4.2 Tutup Telinga (Ear Muff)

Tutup telinga (ear muff) terdiri dari mangkok-mangkok yang dibuat dari

plastik dengan diberi lapisan bantalan empuk serta karet busa untuk akustik dan ban

kepala dari karet untuk berbagai tingkat kebisingan. Yang perlu diperhatikan adalah

Page 64: Arianto Wibowo

50

bantalannya, karena pada pemakaian yang lama bantalan akan mengelupas dan

mengkerut. Keras dan mengkerutnya bantalan ini karena karena reaksi kimia bahan

bantalan dengan minyak kulit atau keringat. Bila ini terjadi menyebabkan efektivitas

pelindung telinga menurun.

Gambar 2.4.2 Ear Muffs

2.6.2.5 Pelindung Pernapasan (Masker, Respirator)

Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari

pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat

kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan

uap logam), pencemaran oleh gas atau uap (Dr. Milos Nedved, 1991).

Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung. Ada juga yang mencakup

wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa

yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi dan

berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut.

Berdasarkan jenisnya masker dibagi menjadi 2 yaitu masker debu dan masker

carbon (Freddin Warsto dan Loui Arthur Mamesah, 2003) :

Page 65: Arianto Wibowo

51

a. Masker debu

Melindungi dari debu phylon, buffing, grinding, serutan kayu dan debu

lain yang tidak terlalu beracun. Masker debu tidak dapat melindungi dari uap

kimia, asap cerobong dan asap dari pengelasan.

Gambar 2.5.1. Masker Debu

b. Masker carbon

Melindungi dari bahan kimia yang daya toxicnya rendah yang

memiliki absorben dari karbon aktif. Masker carbon harus disertifikasi oleh

badan sertifikasi.

Gambar 2.5.2 Masker Carbon

Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Dr. Milos

Nedved, 1991) :

a. Respirator yang bersifat memurnikan udara

Page 66: Arianto Wibowo

52

Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis,

yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter

mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.

b. Respirator yang dihubungkan dengan supply udara

Supply udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat

pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus).

c. Respirator dengan supply oksigen

Biasanya berupa self contained breathing apparatus.

2.6.2.6 Pakaian Pelindung

Pakaian pekerja harus dianggap sebagai alat pelindung diri. Pakaian tenaga

kerja pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas dan bagian

dada atau punggung tidak ada lipatan-lipatan yang memungkinkan mendatangkan

bahaya. Pakaian kerja wanita sebaiknya memakai celana panjang, baju yang pas,

tutup rambut dan tidak memakai perhiasan-perhiasan.

Pakaian kerja khusus untuk pekerja dengan sumber-sumber berbahaya tertentu

seperti :

a. Terhadap radiasi panas

Pakaian kerja untuk radiasi panas harus dilapisi bahan yang bias

merefleksikan panas biasanya aluminium dan berkilap, sedangkan pakaian

kerja untuk panas konveksi terbuat dari katun yang mudah menyerap keringat

serta longgar.

b. Terhadap radiasi mengion

Page 67: Arianto Wibowo

53

Pakaian harus dilengkapi dengan timbal dan biasanya berupa apron.

c. Terhadap cairan dan bahan-bahan kimiawi

Pakaian kerja terbuat dari plastik atau karet

Gambar 2.6 Wear Pack

2.6.2.7 Pelindung Kaki (Safety Shoes)

Safety shoes digunakan untuk melindungi kaki dari tertimpa benda-benda

berat, terbakar karena logam cair atau bahan korosif, dermatitis karena zat-zat kimia,

tertusuk benda runcing, kemungkinan tersandung atau tergelincir. Safety shoes dapat

terbuat dari bahan kulit, karet sintetik atau plastik. Safety shoes yang digunakan harus

disesuaikan dengan jenis risikonya seperti (Dr. Milos Nedved, 1991) :

a. Untuk melindungi jari-jari kaki terhadap benturan dan tertimpa benda-benda

keras, safety shoes dilengkapi dengan penutup jari dari baja atau campuran

baja dengan karbon.

b. Untuk mencegah tergelincir dipakai sol anti slip luar dari karet alam atau

sintetik dengan bermotif timbul (permukaan kasar).

Page 68: Arianto Wibowo

54

c. Untuk mencegah tusukan dari benda-benda runcing, sol dilapisi dengan

logam.

d. Terhadap bahaya listrik, sepatu seluruhnya harus dijahit atau direkat, tidak

boleh menggunakan paku.

e. Untuk pekerja yang bekerja dengan mesin-mesin berputar tidak

diperkenankan menggunakan sepatu yang menggunakan tali.

Gambar 2.7 Safety Shoes

2.6.2.8 Alat Pelindung Lainnya

Tali dan pengaman digunakan pada pekerjaan yang berhubungan dengan

ketinggian atau kedalaman, tali harus kuat menahan beban dan juga harus tahan

terhadap gesekan. Begitu juga dengan sabuk pengaman, harus dapat disetel sesuai

dengan ukuran pemakai agar pekerja merasa nyaman dan aman.

2.7 Kerangka Teori

Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan

respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dalam

bidang kesehatan ada teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-penelitian

kesehatan masyarakat. Teori tersebut adalah teori Lawrence Green

Page 69: Arianto Wibowo

55

Gambar 2.8

Kerangka Teori

Sumber : Notoatmodjo (2007)

Sumber : Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003)

Teori Lawrence Green

Faktor Predisposisi

- Pengetahuan

- Sikap

- Keyakinan

- Karakteristik Pekerja

Faktor Pendukung

- Pelatihan

- Ketersediaan fasilitas (alat

pelindung diri)

Faktor Penguat/Pendorong

- Pengawasan

- Kebijakan

PerilakuPenggunaan

APD

Page 70: Arianto Wibowo

56

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini diambil dari teori yang digunakan untuk mendiagnosis

perilaku, yaitu konsep dari Green (1980). Bahwa kesehatan individu atau masyarakat

dipengaruhi oleh faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non

behaviour causes). Teori ini menjelaskan penjelasan sehat yang ditinjau dari faktor

perilaku yang mempengaruhinya, dimana perubahan perilaku diawali dengan adanya

pengetahuan (faktor predisposisi), yang kemudian dipengaruhi oleh faktor pendukung

yaitu pelatihan dan yang selanjutnya adalah faktor pendorong dalam hal ini

pengawasan dan kebijakan.

Independen

Dependen

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Faktor Predisposisi Pengetahuan

Faktor Pendukung Pelatihan

FaktorPendorong/Penguat Pengawasan Kebijakan

PerilakuPenggunaan APD

Page 71: Arianto Wibowo

57

3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur SkalaPerilakupenggunaanAPD

Wujudperbuatan daripekerja untukmenggunakanAPD pada saatbekerja

WawancaradanObservasi

Kuesioner 0. TidakMenggunakan

1. Menggunakan

Ordinal

Pengetahuan Segalainformasi yangtelah diketahuidan dipahamioleh pekerjatentang APD

WawancaradanObservasi

Kuesioner 0. Kurang Baik1. Baik

Ordinal

Pelatihan Kegiatan yangdilakukanuntukmeningkatkanketerampilanpekerja dalamhal penggunaanAPD

WawancaradanObservasi

Kuesioner 0. Tidak Pernah1. Pernah

Ordinal

Pengawasan Usaha yangdilakukanuntukmemantaupekerja agarselalumempergunakan APD sewaktubekerja

WawancaradanObservasi

Kuesioner 0. Tidak Ada1. Ada

Ordinal

Kebijakan Pernyataanyang dibuatolehperusahaanyang memuatkomitmen dantekad dalampelaksanaanprogram alatpelindung diri

WawancaradanObservasi

Kuesioner 0. Tidak Ada1. Ada

Ordinal

Page 72: Arianto Wibowo

58

3.3 Hipotesis penelitian

1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan pekerja dengan perilaku

penggunaan APD

2. Ada hubungan antara pelatihan dengan perilaku penggunaan APD.

3. Ada hubungan antara pengawasan dengan perilaku penggunaan APD.

4. Ada hubungan antara kebijakan tentang APD dengan perilaku penggunaan

APD.

Page 73: Arianto Wibowo

59

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif

menggunakan metode pengumpulan data cross sectional survey. Yang

dimaksud dengan desain penelitian cross sectional adalah jenis penelitian non-

eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor

risiko dengan efeknya yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu,

dengan model point time yang diobservasi sekaligus pada saat yang sama

(Praktinya, 2007).

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis

Pertambangan Emas Pongkor, pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010.

4.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah pekerja yang bekerja di PT. ANTAM Tbk.

Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor. Sedangkan sampel penelitian ini

adalah pekerja yang bekerja di Area Pertambangan PT. ANTAM Tbk. Unit

Bisnis Pertambangan Emas Pongkor yang dipilih secara sistematic random

sampling. Metode ini dipilih karena dapat digunakan untuk penelitian pada

Page 74: Arianto Wibowo

60

proses yang berjalan dan dimana jumlah populasi dan kerangka sampel belum

tersedia. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis

beda dua proporsi dengan rumus sebagai berikut:

n = {Z1-α/2 √ 2P (1-P) + Z 1-β √ P1 (1-P1) + P2 (1-P2)}2

(P1 - P2)2

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang diteliti

P = Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2/2 = 48,62%)

Z1-/2 = Derajat kepercayaan, CI 95% = 1,96, α = 5 % (two tail)

Z 1-β = Kekuatan uji 80% = 0,84

P1 = Proporsi pekerja yang memiliki pengetahuan tentang APD

buruk dengan perilaku penggunaan APD buruk = 62,5%

(Pudjowati, 1998)

P2 = Proporsi pekerja yang memiliki pengetahuan tentang APD

baik dengan perilaku penggunaan APD buruk = 34,74%

(Pudjowati, 1998)

Berdasarkan rumus di atas, maka sampel yang dibutuhkan sebanyak 50

orang. Kemudian sampel dikalikan dua sehingga sampel keseluruhan yang

dibutuhkan berjumlah 100 orang. Untuk menghindari terjadinya drop out atau

Page 75: Arianto Wibowo

61

missing maka jumlah responden ditambahkan 10%, sehingga jumlah sampel

keseluruhan menjadi 110 orang.

Jumlah sampel yang diperoleh merupakan jumlah sampel minimal untuk

memenuhi penelitian ini sehingga dalam prosesnya jumlah tersebut boleh

bertambah banyak namun tidak boleh berkurang.

4.3.1. Teknik Pengambilan Sampel

Sebelum proses pengambilan sampel langkah pertama yang harus

dilakukan adalah menentukan kerangka sampel. Kerangka sampel berisi nama-

nama responden yang merupakan populasi penelitian, yaitu seluruh pekerja PT.

Antam tbk yang bekerja diareal pertambangan. Namun karena hanya diketahui

jumlah pekerjanya saja maka dilanjutkan ke langkah selanjutnya yaitu

menentukan nilai k yang diperoleh dari hasil pembagian populasi (N) dengan

jumlah sampel yang dibutuhkan (m) (rumus k = N/m). Pada penelitian ini nilai

k = 5, yaitu hasil dari 538/110.

Pemilihan responden pertama ditentukan dengan menggunakan dadu,

sedangkan untuk menentukan responden kedua dan selanjutnya dilakukan

dengan cara menambahkan nilai k pada nomor responden pertama. Nomor

responden pertama yang terpilih adalah 04, dengan demikian responden kedua

adalah pekerja yang berada pada urutan 09 pekerja yang ditemui oleh peneliti

ketika akan mengajukan kuesioner, sedangkan responden ketiga adalah pekerja

yang berada pada urutan 14, dan seterusnya yang ditemui oleh peneliti ketika

akan mengajukan kuesioner.

Page 76: Arianto Wibowo

62

4.4 Instrumen

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang

dibuat oleh peneliti yang merujuk kepada kuesioner yang telah digunakan

sebelumnya oleh Pudjowati (1998) dan Sumbung (2000), dan kuesioner ini

telah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan dengan lokasi kerja dan

perkembangan teori yang ada. Kuesioner yang akan dibagikan sebelumnya akan

diuji coba dan dilakukan uji validitas dan reabilitasnya.

Untuk mengetahui uji validitas suatu instrumen (dalam hal ini

kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing

variabel dengan skor totalnya. Uji coba kuesioner ini dilakukan dibagian

pengolahan PT.ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor, karena

dianggap memiliki karakteristik yang sama dari para pekerjanya. Suatu skor

dikatakan valid jika skor tersebut secara signifikan dengan skor totalnya. Teknik

korelasi yang digunakan korelasi person product moment (r).

Keputusan uji :

Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel valid.

Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel

tidak valid.

Pengujian reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu.

Jadi jika sebuah pertanyaan tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang.

Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersamaan

Page 77: Arianto Wibowo

63

diukur reliabilitasnya. Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah

membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas

sebagai nilai r hasil adalah alpha (terletak diakhir output SPSS). Ketentuannya :

bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan tersebut reliabilitas.

Jumlah responden yang dipakai untuk uji kuesioner ini adalah 34

responden, nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n–2 =

34–2 = 32. Pada tingkat kemaknaan 5%, didapat dengan angka r tabel = 0,349.

Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas nilai r hasil (corrected item-total

correlation) dari beberapa pertanyaan kuesioner berada diatas nilai r tabel

(0,349) sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut valid dan pertanyaan yang

dibawah nilai r tabel (tidak valid) dibuang.

Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang valid dilakukan uji reliabilitas.

Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai r tabel

dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha

(Crobanch’s Alpha). Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan

tersebut reliabilitas. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, nilai alpha (0,984) lebih

besar dengan nilai r tabel (0,349) sehingga pertanyaan tersebut reliabilitas.

Kuesioner ini meliputi pertanyaan yang mengukur tentang pengetahuan, sikap,

pelatihan, pengawasan, dan kebijakan.

Pada seluruh variabel penelitian, mencakup variabel dependen (perilaku

penggunaan APD) dan variabel independen (meliputi pengetahuan, sikap,

pengawasan, dan kebijakan) kemudian dilakukan proses scoring. Scoring yaitu

Page 78: Arianto Wibowo

64

pemberian skor jawaban responden pada beberapa pertanyaan di kuesioner

sehingga dapat digabungkan menjadi satu variabel. Proses scoring untuk

masing-masing variabel dijelaskan sebagai berikut:

1. Untuk variabel pengetahuan tentang APD ada 20 pertanyaan, pertanyaan 1

sampai dengan pertanyaan 20 diberi skor 0-1. Mempunyai jumlah nilai 20.

Pengetahuan dikategorikan baik apabila mempunyai jumlah nilai ≥ 15,

sedangkan dikategorikan rendah apabila nilainya < 15.

2. Untuk variabel pelatihan tentang APD ada 8 pertanyaan. Variabel pelatihan

mempunyai total nilai 1. dikategorikan pernah apabila nilai yang terkumpul >

6 dan tidak pernah apabila nilai yang terkumpul ≤ 6

3. Untuk variabel pengawasan tentang APD ada 5 pertanyaan, pertanyaan 1

sampai dengan pertanyaan 4 diberi skor 0-1 . Pola pengawasan dikategorikan

bagus apabila nilai yang didapatkan > 3 sedangkan tidak bagus bila nilai yang

didapatkan ≤ 3. Jumlah nilai keseluruhan untuk pola pengawasan adalah 4.

4. Untuk variabel kebijakan tentang APD ada 10 pertanyaan, pertanyaan 1

sampai dengan pertanyaan 10 diberi skor 0-1 . Total nilai untuk variabel

kebijakan adalah 10, dengan kategori ada dan tidak ada. Dikategorikan ada

apabila nilai yang didapatkan mencapai > 8 dan dikategorikan tidak ada bila

nilai yang didapatkan ≤ 8.

Page 79: Arianto Wibowo

65

4.5 Teknik Pengambilan Data

Data dalam penelitian ini terdiri dari satu jenis, yaitu data primer.

Dalam pengumpulannya, data primer diperoleh dari hasil jawaban kuesioner

yang telah diisi oleh responden.

4.6 Pengolahan Data

Dalam pengolahan data dilakukan beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:

1. Coding

Yaitu proses pemberian kode pada jawaban kuesioner untuk memudahkan

data ketika dimasukkan ke dalam komputer (komputerisasi). Coding

merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

berbentuk angka/bilangan.

2. Editing

Yaitu menyunting data yang akan dimasukkan dan mengidentifikasi

kembali variabel pertanyaan yang belum di coding serta melihat

kelengkapan, kejelasan, relevan, dan konsistensi jawaban sebelum di

entry.

3. Entry Data

Yaitu proses meng-entry (memasukkan) data dari kuesioner ke dalam

komputer dengan menggunakan bantuan program komputer setelah semua

jawaban kuesioner diberikan kode serta kuesioner terisi penuh dan benar.

4. Cleaning

Page 80: Arianto Wibowo

66

Yaitu proses pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk

memastikan tidak terdapat kesalahan pada data tersebut. Kemudian data

tersebut telah siap diolah dan dianalisis.

4.7 Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat.

1. Analisis univariat merupakan suatu analisis untuk mendeskripsikan

masing-masing variabel yang diteliti. Analisis ini bertujuan untuk

mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel

dependen dan independen yang ada pada penelitian ini, yaitu variabel

perilaku penggunaan APD, pengetahuan, sikap, pelatihan, pengawasan

dan kebijakan.

2. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara faktor

independen dengan faktor dependen. Variabel independen terdiri dari:

pengetahuan, sikap, pelatihan, dan kebijakan, sedangkan variabel

dependen yaitu perilaku penggunaan APD. Analisis menggunakan uji

statistik Chi Square (X2) dengan α= 0,05.

Persamaan Chi Square:

df = (k-1) (b-1)

Keterangan :

X2 = Chi Square

X2 = ∑ (O-E)2

E

Page 81: Arianto Wibowo

67

O = Nilai yang diamati (Observasi)

E = Nilai yang diharapkan (Ekspetasi)

df = derajat kebebasan (degree of freedom)

k = Jumlah kolom

b = Jumlah baris

Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau

terdapat hubungan (Ha diterima), sedangkan bila nilai p>α maka hasilnya

tidak bermakna secara statistik atau tidak terdapat hubungan (Ha ditolak).

Page 82: Arianto Wibowo

68

BAB V

HASIL

5.1. Gambaran Umum Perusahaan

5.1.1. Sejarah Perusahaan

PT. ANEKA TAMBANG Tbk merupakan salah satu perusahaan

tambang terbesar di Indonesia dengan pengoperasian enam unit penambangan.

Perusahaan beroperasi secara terpadu mulai dari kegiatan eksplorasi,

penambangan, peleburan, pemurnian, dan pemasaran. Keberadaan Tambang

Emas Pongkor dimulai dengan dilakukannya eksplorasi logam dasar timbal

dan seng (Pb dan Zn) di bagian utara gunung Pongkor oleh para geologiwan

ANTAM pada tahun 1974, yang dilanjutkan dengan survey pendahuluan di

daerah Pongkor oleh tim eksplorasi dan menemukan endapan urat kuarsa

(quartz vein) berkadar 4 GPT Au dan 126 GPT Ag.

Sekitar tahun 1982-1988 kegiatan survey tersebut ditangguhkan

karena seluruh kegiatan PT. ANTAM difokuskan pada Unit Pertambangan

Emas Cikotok. Pada tahun 1988, kegiatan dilanjutkan kembali dengan lebih

sistematis dan lengkap, dibuatkan studi kelayakan dan terbit Kuasa

Pertambangan Eksploitasi yang pertama KP.DU 893/Jabar seluas 4.058 Ha

diperoleh tahun 1991.

Page 83: Arianto Wibowo

69

Penelitian studi kelayakan (feasibility study) pada tahun 1991

dilakukan oleh Kilborn Engineering Pacific Canada, sedangkan studi desain

pengolahan penambangan oleh PT. Nedpac yang bekerjasama dengan Signet

Engineering Pty, Ltd, Dames Moore Ltd Australia dan Jim Mining co. Ltd.

Kegiatan pembangunan tambang Pongkor dimulai awal tahun 1992

dengan pembuatan jalan masuk dari Parengpeng menuju ke sorongan

sepanjang 12,5 km yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan Pemerintah

Daerah (PEMDA) Bogor dan Program Karya Bhakti Angkatan Bersenjata

Republik Indonesia (ABRI). Tahun 1993 dilakukan pembangunan fisik pabrik

dan tailing dam, sedangkan tahun 1994 commisioning pabrik pengolahan dan

menjadi salah satu unit produksi ANTAM dengan nama Unit Pertambangan

Emas (UPE) Pongkor.

Perluasan tambang Ciurugan juga pembangunan pabrik II, untuk

peningkatan kapasitas produksi dimulai pada tahun 1997, tetapi pada tahun

1998 tepatnya pada tanggal 3 Desember terjadi kerusuhan dan pengrusakan

yang dipicu oleh masalah Penambang Emas Tanpa Izin (PETI)

mengakibatkan rusaknya beberapa instalasi pabrik sehingga produksi terhenti

selama 10 hari.

Tanggal 1 Agustus 2000 perusahaan mendapat kuasa pertambangan

ekploitasi kw 98 PP 0138 seluas 6.047 hektar. UPE Pongkor berubah menjadi

Page 84: Arianto Wibowo

70

Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Pongkor sejalan dengan

restrukturisasi yang dilakukan PT. ANTAM Tbk.

PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor telah berhasil mendapatkan

sertifikasi ISO antara lain yaitu ISO 9002 pada tahun 2002, ISO 14001 pada

tahun 2002, dan yang terakhir ISO 14001 versi 2004 pada akhir tahun 2005

dan dalam waktu dekat ini berencana untuk mendapatkan sertifikasi

Occupational Health Assesment Series (OHSAS) 18001.

5.1.2. Lokasi dan Lahan

PT. ANTAM Tbk merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) yang berada di bawah naungan Departemen Energi dan Sumber

Daya Mineral. Perusahaan ini mengoperasikan 6 (enam) unit penambangan

yang salah satunya adalah PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang bergerak di

bidang pertambangan pengolahan emas dan perak, berlokasi di Bogor, Jawa

Barat, tepatnya di desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung yang dapat

ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dengan jarak 54 km dari pusat kota Bogor.

PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor mempunyai luas Kuasa

Penambangan (KP) 6.047 hektar yang berdekatan dan bahkan berada di

bawah Taman Nasional Gunung Halimun, dengan rincian Kawasan Taman

Nasional 105 Ha, Hutan Lindung 275 Ha, Hutan Produksi 2.025 Ha dan

selebihnya merupakan tanah milik di luar kawasan. Dengan latar belakang

tersebut serta dilandasi pemikiran proses penambangan yang berwawasan

Page 85: Arianto Wibowo

71

lingkungan, maka sejak awal PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor telah

menerapkan sistem penambangan bawah tanah (underground mining)

5.1.3. Visi dan Misi

PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor memiliki visi 2010 yaitu : “

Menjadi perusahaan pertambangan berstandar internasional yang memiliki

keunggulan kompetitif di pasar global ”.

Sedangkan misi yang ingin dicapai oleh PT. ANTAM Tbk UBPE

Pongkor sama dengan PT. ANTAM Tbk pusat sekaligus unit-unit lain yaitu

menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi yaitu nikel, emas, perak, dan

mineral lain dengan selalu memperhatikan kelestarian lingkungan. Mencapai

keunggulan kompetitif di pasar global bersandarkan pada kompetensi diri

dengan tujuan untuk :

a. Memaksimalkan nilai pemegang saham

b. Meningkatkan kesejahteraan pegawai

c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi

pertambangan

5.1.4. Sumber Daya Manusia

PT. ANTAM Tbk. UBPE Pongkor merupakan perusahaan yang

bergerak dalam sektor pertambangan emas yang di dalamnya mempekerjakan

karyawan sebanyak 1621 dengan tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan

Page 86: Arianto Wibowo

72

SLTA atau kejuruan. Dari jumlah karyawan tersebut paling banyak bertempat

tinggal di kawasan kecamatan Nanggung.

Karyawan yang bekerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor menurut

data bulan Januari 2008 berjumlah sekitar 1621 orang terdiri dari 40%

karyawan tetap dan 60% kontraktor.

Dari 1621 karyawan yang ada terbagi menjadi 538 pekerja bekerja di

area pertambangan dan sisanya bekerja dibagian pengolahan dan administrasi

maupun kantor pertambangan.

5.1.5. Peralatan Lingkungan Kerja

Di setiap kegiatan kerja di pertambangan selalu menggunakan

peralatan yang memudahkan pekerja melakukan pekerjaanya, adapun

peralatan yang digunakan berupa :

a. Dump truck, digunakan untuk mengangkut ore waste di peermukaan

tambang

b. Excavator, digunakan untuk mengangkut ore waste ke Dump truck

c. Forklift, digunakan untk mengangkat barang-barang dari luar tambang

yang sifatnya berat, contohnya mengangkat Granby

d. Granby, lori transportasi dengan kapasitas 5 ton

e. LHD, digunakan untuk mengangkut ore waste di dalam tambang

f. Mine Car, digunakan untuk mengangkut tenaga kerja di dalam

tambang, baik yang masuk maupun yang keluar

Page 87: Arianto Wibowo

73

g. Trolley, alat angkut (loco) tenaga listrik

h. Winder, digunakan untuk menaikkan/menurunkan orang ataupun

barang dari level ke level yang berada di tambang.

i. Jumbo Drill, alat yang digunakan untuk melakukan pemboran

j. Jaw Crusher, unit/mesin pemecah batuan

k. Ball Mill, unit/mesin penggerus batu, dan lain-lain

5.1.6. Waktu Kerja dan Shift Kerja

PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor pada pelaksanaannya menetapkan 5

hari kerja efektif setiap minggunya yaitu senin-jum’at dengan jumlah jam

kerja 8 jam/hari atau sekitar 40 jam/minggu.

Jam kerja karyawan PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dibagi menjadi

3 shift yaitu :

a. Shift I : Jam 08.00 – 16.00 WIB

b. Shift II : Jam 16.00 – 24.00 WIB

c. Shift III : Jam 24.00 – 08.00 WIB

5.1.7. Sikap Kerja

Tenaga kerja yang bekerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dalam

melakukan aktivitas pekerjaannya dilakukan dengan sikap berdiri misalnya di

area pertambangan mulai dari pekerjaan perencanaannya, penambangan, dan

pengolahan sedangkan sebagian lagi ada yang bekerja dengan sikap duduk

yaitu pada pekerja kantor baik kantor administrasi maupun kantor

pertambangan.

Page 88: Arianto Wibowo

74

5.1.8. Struktur Organisasi K3

Secara organisasi pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja berada

di bawah tanggung jawab Safety and Environmental Manager dan

bertanggung jawab langsung kepada Senior Vice President. Peran, tanggung

jawab dan wewenang didefinisikan, didokumentasikan dan dikomunikasikan

untuk memfasilitasi Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan

efektif.

Gambar 5.1

Bagan Struktur Organisasi K3

Senior Vice President

Ir. S.W. Wawan H

Deputy Senior VicePresident of Finance and

Human Resource

Deputy SeniorVice Presidentof Operation

Safety and Environment Manager

Ariyanto Budi Santoso, ST. MM

Health Center and OccupationalHealth Manager

Dr. Sudarmanto, AAK

Yankes dan Rekamedik

Welmintje Katilawang

Hiperkes

Erni Herawati, S. SosSafety

Sabari

Environment

Irwan Supaito, ST

Page 89: Arianto Wibowo

75

5.2. Gambaran Penggunaan APD Responden di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Tabel 5. 1 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD di PT

ANTAM Tbk Tahun 2010

Penggunaan APD n %

Tidak Menggunakan APD 37 33,6

Menggunakan APD 73 66,4

Total 110 100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa responden yang tidak

menggunakan APD lebih sedikit (33,6%).

5.3. Gambaran Variabel Independen di PT ANTAM Tbk

1. Usia

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia di PT ANTAM Tbk

Tahun 2010

Usia Responden(Tahun)

n %

17 1 0,918 10 9,119 3 2,725 7 6,426 3 2,727 7 6,428 7 6,432 7 6,433 6 5,534 7 6,436 10 9,137 12 10,938 6 5,539 6 5,541 3 2,742 3 2,7

Page 90: Arianto Wibowo

76

Usia Responden(Tahun)

n %

43 3 2,745 3 2,746 3 2,747 3 2,7

Total 110 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden yang

paling banyak adalah responden yang berusia 37 tahun (10,9%). Dari grafik

histogram diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan Usia memiliki

distribusi normal.

2. Lama Bekerja

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bekerja di PT

ANTAM Tbk Tahun 2010

Lama Bekerja(Tahun)

n %

1 14 12,72 7 6,43 6 5,54 4 3,65 3 2,76 3 2,77 3 2,78 14 12,710 3 2,711 4 3,612 6 5,513 6 5,514 10 9,115 6 5,516 6 5,518 15 13,6

Total 110 100

Page 91: Arianto Wibowo

77

Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa responden yang

paling banyak adalah responden yang memiliki lama berkerja 18 tahun

(13,6%). Dari grafik histogram diketahui bahwa distribusi responden

berdasarkan Usia memiliki distribusi normal.

3. Pengetahuan

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dalam

menggunakan APD di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Pengetahuan n %

Kurang Baik 37 33,6

Baik 73 66,4

Total 110 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa responden yang

memiliki pengetahuan kurang baik lebih sedikit (33,6%).

4. Pelatihan

Tabel 5. 5 Distribusi Responden Berdasarkan Pelatihan di PT ANTAM

Tbk Tahun 2010

Pelatihan n %

Tidak Pernah 47 42,7

Pernah 63 57,3

Total 110 100

Page 92: Arianto Wibowo

78

Berdasarkan tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa responden yang tidak

pernah mengikuti Pelatihan lebih sedikit (42,7%).

5. Pengawasan

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pengawasan di PT ANTAM

Tbk Tahun 2010

Pengawasan n %

Tidak ada 44 40,0

Ada 66 60,0

Total 110 100

Berdasarkan tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa responden yang

menyatakan tidak ada pengawasan lebih sedikit (40,0%).

6. Kebijakan

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan dalam

menggunakan APD di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Kebijakan n %

Tidak ada 37 33,6

Ada 73 66,4

Total 110 100

Berdasarkan tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa responden yang

menyatakan tidak ada kebijakan lebih sedikit (33,6%).

Page 93: Arianto Wibowo

79

5.4. Hubungan Penggunaan APD dengan Variabel Independen di PT ANTAM

Tbk Tahun 2010

1. Pengetahuan

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD denganPengetahuan responden di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki

pengetahuan kurang baik dalam penggunaan APD lebih banyak yaitu 83,8%

daripada responden yang memiliki pengetahuan baik (8,2%). Hasil uji Chi

Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD

dengan pengetahuan (P value 0,000) dengan OR 57,694(17,221-193,289),

artinya responden yang menyatakan pengetahuan kurang baik dalam

menggunakan APD cenderung 57,694 kali tidak menggunakan APD daripada

responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang APD.

Pengetahuan

Penggunaan APD

Total PValue OR (95% CI)Tidak

menggunakan

Menggunakan

N % n % n %Kurang baik 31 83,8 6 16,2 37 100

0,00057,694(17,221-193,289)

Baik 6 8,2 67 91,8 73 100

Page 94: Arianto Wibowo

80

2. Pelatihan

Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD denganPelatihan di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa responden yang tidak

pernah mengikuti pelatihan lebih sedikit yaitu 34,0% daripada responden yang

pernah mengikuti pelatihan (33,3%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak

ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan pelatihan (P

value 0,938).

Pelatihan

Penggunaan APD

Total PValue OR (95% CI)Tidak

menggunakan

Menggunakan

N % N % n %Tidak Pernah 16 34,0 31 66,0 47 100

0,9381,032 (0,464-2,295)

Pernah 21 33,3 42 66,7 63 100

Page 95: Arianto Wibowo

81

3. Pengawasan

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD denganpengawasan di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Pengawasan

Penggunaan APD

Total PValue OR (95% CI)Tidak

menggunakan

Menggunakan

N % n % n %Tidak Ada 32 72,3 12 27,3 44 100

0,00032,533(10,535-100,468)

Ada 5 7,6 61 92,4 66 100

Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa responden yang

menyatakan tidak ada pengawasan dalam penggunaan APD lebih banyak

yaitu 72,3% daripada responden yang menyatakan ada pengawasan (7,6%).

Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara

penggunaan APD dengan adanya pengawasan (P value 0,000) dengan OR

32,533(10,535-100,468), artinya responden yang menyatakan tidak ada

pengawasan dalam menggunakan APD cenderung 32,533 kali tidak

menggunakan APD daripada responden yang mengatakan ada pengawasan

dalam menggunakan APD.

Page 96: Arianto Wibowo

82

4. Kebijakan

Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD dengankebijakan di PT ANTAM Tbk Tahun 2010

Kebijakan

Penggunaan APD

Total PValue OR (95% CI)Tidak

menggunakan

Menggunakan

N % n % n %Tidak Ada 32 86,5 5 13,5 37 100

0,00087,040(23,512-32,219)

Ada 5 6,8 68 93,2 73 100

Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa responden yang

menyatakan tidak ada kebijakan dalam penggunaan APD lebih banyak yaitu

86,5% daripada responden yang menyatakan ada kebijakan (13,5%). Hasil uji

Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan

APD dengan kebijakan (P value 0,000) dengan OR 87,040(23,512-32,.219),

artinya responden yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam menggunakan

APD cenderung 87,040 kali tidak menggunakan APD daripada responden

yang menyatakan ada kebijakan dalam menggunakan APD.

Page 97: Arianto Wibowo

83

BAB VI

PEMBAHASAN

Bab pembahasan ini diawali dengan keterbatasan penelitian, kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan faktor-faktor karakteristik dan faktor-faktor yang

berhubungan dengan pemakaian alat pelindung diri (APD). Untuk membantu didalam

pembahasan, dijabarkan beberapa teori yang ada hubungan dengan pokok bahasan

dan hasil uji statistik dari faktor-faktor yang ada hubungannya dengan pemakaian

APD.

6.1. Keterbatasan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang

terjadi, serta kemungkinan bias yang tidak dapat dihindarkan, walaupun telah

diupayakan untuk mengatasinya. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya :

1. Model penelitian yang dilakukan penulis adalah model perilaku individu

(personal behavior). Beberapa teori secara umum mengemukakan bahwa

model perilaku individu meliputi hampir seluruh kepribadian manusia.

Perilaku individu dipengaruhi oleh banyak sekali faktor yang sangat

kompleks dan biasanya sulit untuk dilakukan pengukuran serta

membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini sangat bergantung kepada

bentuk perilaku yang akan diteliti. Berdasarkan alasan-alasan di atas

Page 98: Arianto Wibowo

84

penulis membatasi konsep penelitian ini hanya kepada faktor-faktor yang

dapat diukur dan diperkirakan mempunyai hubungan dengan perilaku

individu, dalam hal ini adalah pemakaian APD.

2. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, penelitian hanya

dilakukan satu kali pada waktu yang bersamaan. Berarti bahwa

pengukuran semua variabel yang diteliti dilakukan pada saat yang

bersamaan. Teknik penelitian dilakukan dengan memberikan kuesioner

yang berisikan pertanyaan tentang variabel yang diteliti dan diisi sendiri

oleh responden tanpa ada intervensi dari peneliti.

3. Penelitian ini lebih bersikap subyektif yaitu tentang perilaku, sehingga

hasilnya hanya sebatas pada perusahaan dimana penelitian ini dilakukan

dan perilaku sebagai pusat pengamatan bukan hal yang bersifat menetap,

sehingga hasil pengukuran yang dilakukan pada saat pengambilan data

bukanlah hasil yang berlangsung seterusnya.

4. Adanya kemungkinan terjadi bias karena faktor kesalahan interpretasi

responden dalam menangkap maksud dari pertanyaan yang sebenarnya.

Sehingga dampak yang didapat adalah ketidaksesuaian antara jawaban

yang diharapkan dari beberapa pertanyaan yang diajukan.

5. Kemungkinan responden lupa dalam menjawab maksud yang sebenarnya

atau bahkan sengaja memberikan jawaban yang tidak sebenarnya.

Page 99: Arianto Wibowo

85

6. Masih ada beberapa responden disaat dilakukan pemberian kuesioner yang

takut memberikan jawaban, sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai

dengan kondisi yang ada karena khawatir memberikan dampak negatif

terhadap pekerjaannya. Hal ini bisa menyebabkan bias informasi seperti

yang disebutkan pada keterbatasan penelitian.

7. Adanya kesulitan dalam menentukan deskripsi isi dari kuesioner yang

benar-benar mencakup seluruh permasalahan penelitian karena tidak

adanya standar yang baku.

6.2. Penggunaan APD

APD adalah alat yang dipakai untuk melindungi pekerja agar terhindar dari

penyakit dan cidera akibat kerja. APD digunakan jika usaha-usaha penanggulangan

secara teknik dan administratif telah dilaksanakan secara maksimal namun risiko

bahaya masih tetap tinggi. Penggunaan APD bukanlah sebagai pengganti kedua usaha

tersebut, melainkan merupakan alternatif terakhir untuk melindungi pekerja. Hasil

penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis

Pertambangan Emas Pongkor Tahun 2010 menunjukkan bahwa pekerja yang

menggunakan APD pada saat bekerja sebanyak 73 orang (66,4%) dan pekerja yang

tidak menggunakan APD sebanyak 37 orang (33,6%)

Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung (2000)

didapatkan persentase pekerja yang menggunakan APD sebesar 27,9% dan pekerja

yang tidak menggunakan APD sebesar 72,1%, yang dimaksud dengan penggunaan

Page 100: Arianto Wibowo

86

APD yaitu apabila pekerja menggunakannya secara lengkap sesuai dengan unit

kerjanya.

Dari hasil penelitian diatas tersebut dapat dilihat bahwa persentase

penggunaan APD pada pekerja di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun 2010

cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa baiknya komitmen pihak Safety and

Environment terhadap keselamatan dan kesehatan kerja khususnya dalam penggunaan

APD cukup baik. Hal ini menjadi sangat penting mengingat jika pekerja

menggunakan APD maka akan terhindar dari bahaya kecelakaan ataupun penyakit

akibat kerja.

Untuk meningkatkan penggunaan APD pada pekerja PT.ANTAM Tbk Unit

Bisnis Pertambangan Emas Pongkor adalah dengan cara meningkatkan pengawasan

terhadap penggunaan APD yang sebenarnya sudah dilakukan, tetapi tidak rutin.

Mempertegas peraturan yang ada dengan diberlakukannya sanksi dan penghargaan

terhadap pekerja dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang alat

pelindung diri, bahaya-bahaya potensial serta kesadaran pentingnya mematuhi

peraturan yang telah dikeluarkan oleh perusahaan, untuk menjamin keselamatan dan

kesehatan kerja serta lingkungan kerja. Pengetahuan merupakan hal yang sangat

berpengaruh terhadap perilaku pekerja dalam menggunakan APD, oleh sebab itu

sebaiknya perusahaan lebih berusaha untuk meningkatkan pengetahuan pekerja

mengenai APD. Hal ini dapat dilakukan dengan pemasangan poster keselamatan kerja

tentang alat pelindung diri

Page 101: Arianto Wibowo

87

6.3. Pengetahuan Tentang APD

Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk

melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari

bahaya ditempat kerja.

Setelah melakukan penelitian pada pekerja di area pertambangan PT.

ANTAM Tbk Tahun 2010 didapatkan pengetahuan teantang responden baik yang

selalu menggunakan APD sebanyak 91,8% dan tidak selalu menggunakan APD

sebanyak 8,2%. Sedangkan pengetahuan tentang APD responden kurang baik yang

selalu menggunakan APD sebanyak 16,2% dan yang tidak selalu menggunakan APD

sebanyak 83,8%. Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara

pengetahuan tentang APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,000

dengan OR 57,694, artinya responden yang pengetahuannya kurang baik tentang

APD cenderung 57,694 kali tidak menggunakan APD daripada responden yang

memakai APD.

Berbeda dengan penelitian Pudjowati pada tahun 1998 yang memperoleh nilai

p = 0,457 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan

yang baik dengan responden yang menggunakan APD.

Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Green (1980) yang menyatakan

pengetahuan merupakan salah satu faktor berpengaruh (predisposing factors) yang

mendorong atau menghambat individu untuk berperilaku (dalam hal ini penggunaan

APD). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ramsey (1978) yang mengemukakan

Page 102: Arianto Wibowo

88

bahwa pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya

perilaku seseorang, bila pekerja mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap

potensi ataupun sumber bahaya yang ada dilingkungan kerjanya, maka individu

tersebut akan cenderung membuat suatu keputusan yang salah, dalam hal ini perilaku

penggunaan APD. Sementara itu Notoatmodjo (1983) mengatakan bahwa perilaku

yang didasari pada pengetahuan akan lebih langgeng (long lasting) dibandingkan

dengan perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin tinggi pengetahuan

seseorang diharapkan perilakunya juga akan semakin baik.

6.4. Pelatihan APD

Penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun

2010 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pelatihan tentang APD dengan

penggunaan APD. Diperoleh bahwa jumlah distribusi responden yang pernah

mengikuti pelatihan tentang APD serta selalu menggunakan APD sebanyak 66,7%

dan tidak selalu menggunakan APD sebanyak 33,3%. Sedangkan responden yang

tidak pernah mengikuti pelatihan dan menggunakan APD sebesar 66% dan tidak

selalu menggunakan APD sebesar 34%.

Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara pengawasan

penggunaan APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,938 yang berarti

dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna atau tidak ada

hubungan bermakna antara pelatihan APD dengan penggunaan APD.

Page 103: Arianto Wibowo

89

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Netty pada tahun 2007

didapatkan nilai p = 0,004 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara pelatihan

dengan penggunaan APD.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bird

dan Germain (1996), bahwa pelatihan secara nyata menunjukan faktor yang

mempengaruhi pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri. Pelatihan yang sesuai

akan menyebabkan : kinerja lebih efisien, kecelakaan akan dapat dihilangkan atau

dikurangi, moral karyawan dan kerja tim akan meningkat, serta meningkatnya

kepuasan kerja karyawan, pekerjaan akan lebih mudah dilakukan, karyawan akan

lebih fleksibel serta mudah beradaptasi, dan dapat menyesuaikan diri dengan

pemenuhan hukum untuk tipe pelatihan tertentu dimana menjadi tanggung jawab

manajemen.

Hal ini kemungkinan dikarenakan pelatihan yang diberikan oleh pihak

perusahaan masih bersifat umum, sedangkan training yang secara khusus tentang

APD belum dilaksanakan, dan sebagian besar yang menyatakan bahwa training itu

tidak terlalu diperlukan untuk menunjang pekerjaaannya. Bagi mereka banyaknya

pengalaman membuat mereka belajar mengerjakan suatu pekerjaan secara aman dan

selamat.

6.5. Pengawasan Penggunaan APD

Penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun

2010 didapatkan hasil responden yang menyatakan selalu dilakukan pengawasan

Page 104: Arianto Wibowo

90

penggunaan APD selalu menggunakan APD sebanyak 92,4% dan tidak selalu

menggunakan APD 7,6%. Sedangkan responden yang menyatakan tidak selalu

dilakukan pengawasan penggunaan APD selalu menggunakan APD sebanyak 27,3%

dan tidak selalu menggunakan APD sebanyak 72,3%.

Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara pengawasan

penggunaan APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,000 dengan OR

32,533(10,535-100,468), artinya responden yang menyatakan tidak ada pengawasan

dalam menggunakan APD cenderung 32,533 kali tidak menggunakan APD daripada

responden yang memakai APD.

Data diatas menunjukkan bahwa responden yang menyatakan selalu

dilakukannya pengawasan penggunaan APD di area pertambangan PT. ANTAM Tbk

lebih banyak selalu menggunakan APD saat bekerja. Jadi pengawasan penggunaan

APD ada hubungan secara bermakna terhadap responden dalam penggunaan APD.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Netty pada tahun 2007 yang

memperoleh nilai p = 0,268 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara variabel pengawasan dengan penggunaan apd oleh responden

Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Kelman (1958) perubahan

perilaku individu pada tahap kepatuhan (compliance). Mula-mula individu mematuhi

anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan

seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sanksi jika dia tidak patuh, atau

untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut.

Page 105: Arianto Wibowo

91

Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa

tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Dengan baiknya

kinerja petugas departemen safety dalam pengawasan penggunaan APD

meningkatkan kedisiplinan pekerja dalam penggunaan APD saat bekerja.

Hasil penelitian diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Green

(1980) yang menyatakan bahwa pengawasan merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri.

Bird (1972), dengan tegas mengatakan bahwa penyebab langsung terjadinya

kecelakaan adalah tindakan dan kondisi yang tidak aman. Penyebab langsung ini

timbul karena pengawasan yang jelek dari pihak manajemen. Dengan demikian jika

dilihat dari penelitian ini, variabel pengawasan ini sangat penting untuk jadi perhatian

karena perilaku para responden terhadap penggunaan alat pelindung diri ini, ternyata

ada perbedaan antara pengawasan yang baik dan yang tidak baik. Kendati demikian

pekerja yang menggunakan alat pelindung diri semata karena ada pengawasan semata

tentu bukanlah sesuatu yang baik. Biasanya mereka jika tidak ada pengawasan

cenderung tidak akan menggunakannya. Hal ini akan berbeda dengan pekerja yang

berperilaku didasari dengan pengetahuan dan kesadaran sendiri. Keadaan ini sejalan

dengan teori yang dikemukakan.

6.6. Kebijakan Tentang APD

Penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun

2010 didapatkan hasil responden yang menyatakan adanya kebijakan yang selalu

Page 106: Arianto Wibowo

92

menggunakan APD sebanyak 93,2% dan tidak selalu menggunakan APD sebanyak

6,8%. Sedangkan responden yang menyatakan tidak ada kebijakan tentang APD yang

selalu menggunakan APD sebanyak 13,5% dan tidak menggunakan APD sebanyak

86,5%.

Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara kebijakan

tentang APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,000 dengan OR 87,040,

artinya responden yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam menggunakan APD

cenderung 87,040 kali tidak menggunakan APD daripada responden yang memakai

APD.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Netty pada tahun 2007 yang

memperoleh hasil p = 0,375 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna

antara kebijakan dengan penggunaan apd oleh responden.

Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Green (1980) yang menyatakan

kebijakan tentang APD merupakan salah satu faktor pemungkin (enabling factors)

yang memungkinkan individu untuk berperilaku (dalam hal ini penggunaan APD).

Dalam Undang-Undang Tenaga Kerja, seperti UU Nomor 14 Tahun 1969

pasal 9 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai ketenagakerjaan menyebutkan

bahwa “Tiap-tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas

keselamatannya”. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970,

pemerintah mewajibkan perusahaan untuk menyelenggarakan upaya keselamatan

dan kesehetan kerja pasal 13 menyatakan “Barangsiapa yang memasuki tempat kerja,

Page 107: Arianto Wibowo

93

diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan menggunakan alat

pelindung diri yang diwajibkan”, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor 1 Tahun 1981 pasal 5 ayat 2 menyatakan pekerja harus

menggunakan alat pelindung diri yang diwajibkan untuk mencegah penyakit akibat

kerja”.

Disamping peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang kewajiban

penggunaan APD pada saat melakukan pekerjaan, biasanya perusahaan juga

mempunyai aturan yang jelas mengenai hal ini. Perusahaan biasanya lebih khusus

mengatur permasalahan ini. Namun sebenarnya, pokok persoalan tidak hanya terletak

ada atau tidaknya peraturan, melainkan sejauh mana peraturan tersebut ditegakkan.

Kriteria penentuan baik atau tidaknya kebijakan atau peraturan itu adalah sejauh

mana peraturan itu disosialisasikan, adakah sanksi yang jelas bila ada pekerja yang

melanggarnya, begitu pula sebaliknya apakah diberikan penghargaan jika pekerja

mematuhinya dan lain sebagainya. Suma’mur (1995) menyatakan, sebenarnya

peraturan yang diterapkan diperusahaan hanya berfungsi sebagai penunjang

pelaksanaan proses produksi saja. Segala macam peraturan tidak akan ada

manfaatnya apabila tidak ditaati oleh pekerja.

Maksud dari dikeluarkannya peraturan tentang alat pelindung diri adalah

melindungi pekerja dari bahaya-bahaya akibat kerja seperti mesin, pesawat, proses

dan bahan kimia serta meningkatkan derajat keselamatan dan kesehatan kerja

khususnya dalam hal penggunaan APD sehingga mengikat pekerja dan orang lain

Page 108: Arianto Wibowo

94

ditempat kerja untuk selalu menggunakan APD yang diwajibkan untuk mencegah

kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Page 109: Arianto Wibowo

95

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan penelitian yang dilaksanakan di area

pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Tahun

2010, tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat

pelindung diri, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut :

1. Pekerja yang tergolong baik menggunakan alat pelindung diri lebih besar

proporsinya dari yang tidak baik. Yang baik berjumlah 73 pekerja (66,4%)

dan tidak baik 37 pekerja (33,6%)

2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, ditemukan perbedaan yang signifikan

antara pengetahuan tentang APD, yang tergolong baik dan tidak baik dalam

menggunakan APD (p value = 0,000) dengan OR 57,694 artinya responden

yang menyatakan tidak ada pengawasan cenderung 57,694 kali tidak

menggunakan APD daripada responden yang memakai APD.

3. Perbedaan antara pelatihan terhadap penggunaan APD antara yang pernah

dengan yang tidak pernah, menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan

dalam menggunakan alat pelindung diri. (p value = 0,938)

4. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, ditemukan perbedaan yang signifikan

antara pengawasan penggunaan APD, yang tergolong baik dan tidak baik

Page 110: Arianto Wibowo

96

dalam menggunakan APD (p value = 0,000) dengan OR 32,533 artinya

responden yang menyatakan tidak ada pengawasan cenderung 32,533 kali

tidak menggunakan APD daripada responden yang memakai APD.

5. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, ditemukan perbedaan yang signifikan

antara adanya kebijakan tentang APD, yang tergolong baik dan tidak baik

dalam menggunakan APD (p value = 0,000) dengan OR 87,040 artinya

responden yang menyatakan tidak ada kebijakan cenderung 87,040 kali tidak

menggunakan APD daripada responden yang memakai APD.

7.2. Saran

Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian di atas, maka di bawah ini

penulis mencoba memberikan saran-saran ataupun masukan, yakni sebagai berikut.

1. Pengawasan terhadap penggunaan APD di PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis

Pertambangan Emas Pongkor sudah ada, tetapi tidak rutin. Pengawasan

harusnya dilaksanakan dengan rutin dan yang melaksanakan pengawasan

bukan hanya petugas dari departemen safety saja, tetapi sebaiknya bekerja

sama dengan pengawas kontraktor, agar perilaku penggunaan APD pada

pekerja lebih meningkat. Jika perlu dipasang kamera CCTV dibeberapa sudut

area pertambangan untuk mengontrol pemakaian alat pelindung diri pada

pekerja.

2. Pada PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor sudah ada

peraturan menyangkut penggunaan APD, tetapi peraturan tersebut belum

dijalankan dengan benar. Agar penggunaan APD pada pekerja lebih

Page 111: Arianto Wibowo

97

meningkat, sebaiknya peraturan yang ada dipertegas lagi dengan

diberlakukannya sanksi dan penghargaan terhadap pekerja.

3. Perlunya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang penggunaan

APD, bahaya-bahaya potensial serta kesadaran pentingnya mematuhi

peraturan yang telah dikeluarkan oleh perusahaan, untuk menjamin

keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan kerja. Konkretnya adalah

semua pekerja dengan senang hati selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang

diadakan oleh perusahaan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan tidak

segan-segan bertanya apabila ada sesuatu yang tidak dimengerti. Pengetahuan

merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku pekerja dalam

menggunakan APD, oleh sebab itu sebaiknya perusahaan lebih berusaha

untuk meningkatkan pengetahuan pekerja mengenai APD. Hal ini dapat

dilakukan dengan pemasangan poster safety tentang alat pelindung diri dan

mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang alat pelindung diri.

Page 112: Arianto Wibowo

98

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Umar Fahmi. 1985. Strategi Pengamanan Keracunan Pestisida. Jakarta :UI.

Adryanto, Michael dan Savitri Soekrisno. 1985. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga.

Akimoto, T. 1991. Personal Protective by using Industrial Health ProtectiveEquipment dalam Alat Pelindung Diri (APD) dan Alat Pemadam Api Ringan(APAR), cara memilih dan memakainya. Departemen Tenaga Kerja RI, BadanPerencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja, Pusat Hiperkes danKeselamatan Kerja, Jakarta.

Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan. Depok :FKM UI Jurusan Biostatistik dan Kependudukan.

------------------. 1998. Modul Survei Cepat. Depok : FKM UI Jurusan Biostatistik danKependudukan.

Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :Rineka Cipta.

Bart, Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo.

Bandura, Albert. 1986. Social Foundations of Thought and Action. Englewood Cliffs,NJ: Prentice-Hall.

------------------. 1997. Self-efficacy: The exercise of control. New York: W.H.Freeman.

Bedong, M. Ali. 1995. Peranan P3K didalam Penanganan Cedera Kecelakaan Kerjadi Perusahaan dan Industri di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat,Tahun XXIII.

Budiono, Sugeng. 2005. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja : HigienePerusahaan, Ergonomi, Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja. Semarang :Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Catur, Septiawan. 1998. Gambaran Faktor-Faktor Yang Berhubungan DenganPenggunaan APD Pada Pekerja Di Control Processing Plant Minyak danGas Bumi GPS Pantai Utara Laut Jawa PSCHR Tahun 1998. Skripsi ProgramSarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Page 113: Arianto Wibowo

99

Dahlia, Mutiara. 2002. Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilakukeselamatan kerja penggunaan elpiji pada pekerja bagian pengolahan di 10usaha jasa boga golongan A3 yang mempunyai izin tetap penyehatanmakanan di Jakarta Selatan tahun 2002. Tesis Program Magister KesehatanMasyarakat Universitas Indonesia.

Departemen Kesehatan. 1992. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992. RepublikIndonesia.

Departemen Tenaga Kerja RI. 1990. Himpunan Petunjuk Ketiga (Keselamatan danKesehatan Kerja) di Indonesia 1989-1990. Jakarta : Yayasan PendidikanWidyadhana Atmaja.

Depnakertrans RI. 2007. Kecelakaan kerja dan faktor-faktor yang berhubungan diIndonesia (Berdasarkan data PT. Jamsostek Tbk), volume xxxx No.3. Majalahkeselamatan kerja dan hiperkes. Juli-Oktober. Jakarta : Depnakertrans RIPress. Halaman 31-45.

Diana, Niken. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja : PenggunaanAlat Pelindung Diri Bagi Tenaga Kerja Edisi Kedua. Semarang : BadanPenerbit Universitas Diponegoro.

Dwi. 2008. Kecelakaan kerja RI terbesar kedua. April 3 2008. [cited 15 January2009]. Available :http://finance.groups.yahoo.com/group/fpsmi/message/1953.

Elfrida, Netty. 2006. Faktor – faktor yang berhubungan dengan penggunaan AlatPelindung Diri pada pekerja di bagian produksi packing PT. KCI Jakartatahun 2006. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat UniversitasIndonesia.

Gibson, James L. et.al. 1996. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta :Penerbit Erlangga.

Green, Lawrence, dkk. 1980. Diterjemahkan oleh Zulazmi hamdy, Zarfiel Tafal, danSudarti Kresno. Perencanaan Pendidikan Kesehatan Sebuah PendekatanDiagnostik.. Jakarta: Proyek Pengembangan Fakultas Kesehatan MasyarakatDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Indonesia. 2001. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan danKesehatan Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja.

International Labour Office. 1989. Buku Pedoman Pencegahan Kecelakaan. Jakarta :Pustaka Binaman Pressindo.

Page 114: Arianto Wibowo

100

Ip. Indonesia Peringkat Tertinggi Kecelakaan Kerja. 29 Juli 2008 [cited 2009January 20]. Available :http://www.indofamily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1706&Itemid=39.

Jan. Tinggi, Tingkat kecelakaan kerja di PT. Antam. 26 Agustus 2004 [cited 2009January20].Available :http://www.kompas.com/kompascetak/0408/26/ekonomi/1231106.htm.

Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1981.

Kusuma, Indra. 2004. Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilakupenggunaan Alat Pelindung Pendengaran pada pekerja bagian die castingPT. X tahun 2004, Tesis Program Magister Kesehatan Masyarakat UniversitasIndonesia.

Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Edisi No. 144, 2004.

Mangunsaputro, Hariyanto. 1982. Identifikasi Bahaya. Pusat Pendidikan dan LatihanFire dan Safety Pertamina Sungai Gerong.

Mar’at. 1984. Sikap Perubahan Serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia.

Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-dasar Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta : BalaiPenerbit Kesehatan Masyarakat.

Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : RinekaCipta.

------------------. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

------------------. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta :Rineka Cipta.

Pelalawan. 2008. Tingkat Kecelakaan Kerja di Indonesia Tertinggi. 22 Januari 2008[cited 15 January 2009]. Available :http://www.metroriau.com/?q=node/594_riau.

Pudjowati, Dwi Tjahjani. 1998. Analisis faktor – faktor yang berhubungan denganpemakaian alat pelindung diri di bagian pemintalan dan penenunan pabriktekstil “X” Banjaran Kabupaten Bandung tahun 1998, Tesis ProgramMagister Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Page 115: Arianto Wibowo

101

Purwanto, Heri. 1999. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta :Buku Kedokteran EGC.

Ridwan, Mohamad. 2008. Angka Kecelakaan Kerja di Indonesia Memprihatinkan. 2Februari 2008.[cited 2009 January 20]. Available :http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/02/eko04.html.

Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi.Jakarta : Prenhallindo.

Rosskam, E. 1996. Controlling Hazards, Geneva : International Labour Office.

Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta :PT. Bina Sumber Daya Manusia.

Sarwono, S. 1993. Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka.

Sillalahi, B. N. B. dan Sillalahi R. B. 1985. Manajemen Keselamatan dan KesehatanKerja. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

Simanjuntak, J. Payaman. 1994. Manajemen Kesehatan Kerja. Jakarta : HimpunanPembina Sumber Daya Manusia Indonesia (HIPSMI).

Siswanto, A. 1983. Alat Pelindung Diri. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja,No. 4 XXXIV, Oktober-Desember.

Suma’mur. 1989. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT. GunungAgung.

------------------. 1996. Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT.Gunung Agung.

Sumbung, Johny. 2000. Studi tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan alatpelindung diri di bagian dryer dan gluing pabrik kayu lapis PT Jati DharmaIndah Batu Gong Kota Ambon tahun 2000. Tesis Program MagisterKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Sutanto. 2000. Modul SPSS. Depok : FKM UI Jurusan Biostatistik dan Kesehatan.

------------------. 1993. Analisis Regresi. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset.

------------------. 1994. Statistika jilid 1, 2, 3. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset.

Page 116: Arianto Wibowo

102

Yanri, Zulmiar. 2002. Alat Pelindung Diri Merupakan Salah Satu Upaya PencegahanKecelakaan Kerja. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, No 4 XXXIV,Oktober-Desember.

Page 117: Arianto Wibowo

1

No. Responden

KUESIONER

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKUPENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DI AREAL PERTAMBANGAN

PT. ANTAM Tbk UNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS PONGKORKABUPATEN BOGOR TAHUN 2010

Oleh :

Nama Arianto WibowoNIM 104101003173

Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera.

Saya mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian

untuk kepentingan menyelesaikan skripsi.

Dalam lampiran terdapat beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian.

Untuk itu saya memohon dengan segala kerendahan hati agar kiranya Bapak/Saudara bersedia

meluangkan waktunya untuk mengisi pertanyaan berikut. Kejujuran Bapak/Saudara dalam

menjawab pertanyaan sangat saya hargai. Jawaban yang Bapak/Saudara berikan akan saya

jamin kerahasiaannya.

Ucapan terimakasih yang sebesarnya saya ucapkan atas bantuan dan partisipasi

Bapak/Saudara dalam mengisi kuesioner ini.

Petunjuk Pengisian :1. Isilah setiap pertanyaan sesuai dengan kemampuan anda dan secara jujur.

2. Bacalah setiap pertanyaan secara seksama

DAFTAR PERNYATAAN

I. Identitas Responden

1. Nama : …………………………………………………..2. Usia : …………………………………………………..3. Pendidikan Terakhir : 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. D III /S14. Lama Kerja : ………………………………………………….5. Lokasi Pekerjaan : ………………………………………………….

Page 118: Arianto Wibowo

2

A. Faktor PredisposisiA.1 Pengetahuan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]

Pertanyaan/PernyataanJawab

(di isi oleh responden) Di isi olehpeneliti

1. Ya 0. Tidak

A.1.1 Tahukah anda apa yang dimaksud dengan alatpelindung diri A11 [ ]

A.1.2 Menurut anda apakah APD berguna pada waktubekerja (jika tidak lanjut ke A.1.5) A12 [ ]

A.1.3

Apakah kegunaan APD menurut anda

a. Untuk melindungi tubuh dari cedera A13a [ ].

b. Untuk meminimalisasi dampak kecelakaansaat bekerja A13b [ ]

A.1.4

Apa akibatnya apabila pekerja tidak menggunakanAPD ?

a. Bisa mendapatkan kecelakaan A14a [ ]

b. Bisa cedera atau sakit A14b [ ]

c. Risiko tingkat keparahan cedera atau sakitakan semakin tinggi A14c [ ]

A.1.5

Menurut anda Kapan Alat Pelindung Diri tersebutseharusnya mulai digunakan

a. Pada saat hendak memulai pekerjaan A15a [ ]

b. Bila terjadi kecelakaan kerja A15b [ ]

c. Diruang locker/ganti pakaian A15c [ ]

A.1.6

Menurut anda siapa yang bertanggung jawabterhadap perawatan APD

a. Pihak Perusahaan / atasan A16a [ ]

b. Masing-masing pekerja A16b [ ]

A.1.7

Menurut anda manakah yang termasuk APD

a. Coverall/Wear pack A17a [ ]

b. Safety Gumboot/shoes A17b [ ]

c. Safety Helmet A17c [ ]

Page 119: Arianto Wibowo

3

d. Mine Spot Lamp (MSL) A17d [ ]

e. Ear Protection (ear plug/ear muff) A17e [ ]

f. Spectacles/Googles A17f [ ]

g. Gloves A17g [ ]

h. Masker A17h [ ]

B. Faktor PemungkinB.1 Pelatihan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]

Pertanyaan/Pernyataan

Jawab(di isi olehresponden)

Di isi olehpeneliti

1. Ya 0. Tidak

B.1.1Apakah perusahaan pernah mengadakan pelatihantentang K3 khususnya APD ? (jika tidak teruskan keno b.1.6)

B11[ ]

B.1.2 Apakah anda diwajibkan mengikuti pelatihan yangdiadakan oleh perusahaan

B12[ ]

B.1.3 Berapa kali pelatihan diberikan?

a. satu tahun sekali B13[ ]

B.1.4 Kapan anda pertama kali mengikuti pelatihantentang K3 khususnya APD yang diadakan olehperusahaan?

a. saat diterima sebagai pekerja B14[ ]

B.1.5 Siapa yang memberikan pelatihan tersebut?

a. petugas/dept safety B15[ ]

B.1.6 Pernahkah anda mendapatkan penjelasan ataupenyuluhan tentang K3 khususnya APD dari tempatlain (dari luar PT.Antam tbk)

B16[ ]

B.1.7 Materi apa saja yang anda dapatkan

a. penguasaan peralatan kerja maupun APD B17a[ ]

b. cara kerja B17b[ ]

Page 120: Arianto Wibowo

4

C. Faktor PenguatC.1 Pengawasan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]

Pertanyaan/Pernyataan

Jawab(di isi olehresponden)

Di isi olehpeneliti

1. Ya 0. Tidak

C.1.1Apakah selama anda bekerja ada pengawasansehubungan dengan penggunaan Alat Pelindung Diri(APD) (jika tidak lanjut ke C.2)

C11 [ ]

C.1.2kapan pengawasan dilakukan

a. tiap hari C12 [ ]

C.1.3Siapakah yang melakukan pengawasan

a. Petugas safety C13a [ ]b. Pengawas kontraktor C13b [ ]

C.2 Kebijakan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]

Pertanyaan/Pernyataan

Jawab(di isi olehresponden)

Di isi olehpeneliti

1. Ya 0. Tidak

C.2.1 Apakah ditempat kerja anda ada peraturan mengenaipenggunaan APD C21 [ ]

C.2.2

Bagaimana anda mengetahui bahwa ditempat kerjasaudara ada peraturan mengenai penggunaan APD

a. ditempelkan disetiap ruang kerja C22a [ ]

b. diberitahu atasan C22b [ ]

c. sering diumumkan oleh perusahaan C22c [ ]

d. diberitahu teman C22d [ ]

C.2.3Apakah ada sanksi atau hukuman apabila pekerjatidak menggunakan APD pada saat bekerja (jikatidak lanjut ke C.2.5)

C23 [ ]

C.2.4 Apakah ada kebijakan mengenai tempat untukmenyimpan APD C25 [ ]

C.2.5Apakah ada kebijakan yang menyebutkan bahwamasing – masing pekerja diberikan tanggung jawab,merawat APD yang digunakan

C25 [ ]

C.2.6 Apakah ada kebijakan yang menyebutkan bahwaperusahaan mewajibkan pekerja mengikuti pelatihan

C26 [ ]

Page 121: Arianto Wibowo

5

menggunakan APD sebelum diterima sebagaipekerja

C.2.7 Apakah ada kebijakan yang menyebutkan bahwaperusahaan memberikan sanksi bila pekerja tidakmengikuti pelatihan dan atau penyuluhan yangdiadakan

C27 [ ]

D.1 Penggunaan APD[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]

Pertanyaan/Pernyataan

Jawab(di isi olehresponden)

Di isi olehpeneliti

1. Ya 0. Tidak

D.1.1 Apakah anda menggunakan APD pada waktubekerja ? D11 [ ]

D.1.2 Mengapa anda selalu menggunakan APD waktubekerja

a. Takut celaka/cedera atau sakit D12a [ ]

b. Takut dikenakan sanksi dari perusahaan D12b [ ]

D.1.3 Setujukah anda bahwa selalu menggunakan APDpada saat bekerja itu perlu D13 [ ]

D.1.4 Bagaimana pendapat anda apabila ternyata di tempatkerja anda tidak disediakan APD?

a. Menolak untuk bekerja sampai disediakanAPD D14a [ ]

Page 122: Arianto Wibowo

UJI UNIVARIAT

Frequency Table

APD

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak menggunakan 37 33,6 33,6 33,6

menggunakan 73 66,4 66,4 100,0

Total 110 100,0 100,0

pendidikan terakhir responden

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid SD 24 21,8 21,8 21,8

SMP 30 27,3 27,3 49,1

SMA 36 32,7 32,7 81,8

D3 atau PT 20 18,2 18,2 100,0

Total 110 100,0 100,0

Pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Kurang Baik 37 33,6 33,6 33,6

Baik 73 66,4 66,4 100,0

Total 110 100,0 100,0

pelatihan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak pernah 47 42,7 42,7 42,7

pernah 63 57,3 57,3 100,0

Total 110 100,0 100,0

pengawasan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak ada 44 40,0 40,0 40,0

ada 66 60,0 60,0 100,0

Total 110 100,0 100,0

Page 123: Arianto Wibowo

kebijakan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tidak ada 37 33,6 33,6 33,6

ada 73 66,4 66,4 100,0

Total 110 100,0 100,0

Page 124: Arianto Wibowo

Uji Chi Square

CrosstabsCase Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

pelatihan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%

pengawasan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%

kebijakan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%

Pengetahuan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%

Page 125: Arianto Wibowo

Pengetahuan * APDCrosstab

APD

Total

tidak

menggunakan menggunakan

Pengetahuan Kurang Baik Count 31 6 37

% within APD 83,8% 8,2% 33,6%

Baik Count 6 67 73

% within APD 16,2% 91,8% 66,4%

Total Count 37 73 110

% within APD 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 62,810a 1 ,000

Continuity Correctionb 59,471 1 ,000

Likelihood Ratio 66,214 1 ,000

Fisher's Exact Test ,000 ,000

Linear-by-Linear Association 62,239 1 ,000

N of Valid Cases 110

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,45.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Pengetahuan

(Kurang Baik / Baik)

57,694 17,221 193,289

For cohort APD = tidak

menggunakan

10,194 4,675 22,227

For cohort APD =

menggunakan

,177 ,085 ,369

N of Valid Cases 110

Page 126: Arianto Wibowo

pelatihan * APDCrosstab

APD

Total

tidak

menggunakan menggunakan

pelatihan tidak pernah Count 16 31 47

% within APD 43,2% 42,5% 42,7%

pernah Count 21 42 63

% within APD 56,8% 57,5% 57,3%

Total Count 37 73 110

% within APD 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square ,006a 1 ,938

Continuity Correctionb ,000 1 1,000

Likelihood Ratio ,006 1 ,938

Fisher's Exact Test 1,000 ,549

Linear-by-Linear Association ,006 1 ,938

N of Valid Cases 110

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,81.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for pelatihan

(tidak pernah / pernah)

1,032 ,464 2,295

For cohort APD = tidak

menggunakan

1,021 ,601 1,734

For cohort APD =

menggunakan

,989 ,756 1,295

N of Valid Cases 110

Page 127: Arianto Wibowo

pengawasan * APDCrosstab

APD

Total

tidak

menggunakan menggunakan

pengawasan tidak ada Count 32 12 44

% within APD 86,5% 16,4% 40,0%

ada Count 5 61 66

% within APD 13,5% 83,6% 60,0%

Total Count 37 73 110

% within APD 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 50,201a 1 ,000

Continuity Correctionb 47,325 1 ,000

Likelihood Ratio 53,513 1 ,000

Fisher's Exact Test ,000 ,000

Linear-by-Linear Association 49,745 1 ,000

N of Valid Cases 110

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,80.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for pengawasan

(tidak ada / ada)

32,533 10,535 100,468

For cohort APD = tidak

menggunakan

9,600 4,055 22,729

For cohort APD =

menggunakan

,295 ,181 ,480

N of Valid Cases 110

Page 128: Arianto Wibowo

kebijakan * APDCrosstab

APD

Total

tidak

menggunakan menggunakan

kebijakan tidak ada Count 32 5 37

% within APD 86,5% 6,8% 33,6%

ada Count 5 68 73

% within APD 13,5% 93,2% 66,4%

Total Count 37 73 110

% within APD 100,0% 100,0% 100,0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 69,763a 1 ,000

Continuity Correctionb 66,241 1 ,000

Likelihood Ratio 74,725 1 ,000

Fisher's Exact Test ,000 ,000

Linear-by-Linear Association 69,129 1 ,000

N of Valid Cases 110

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,45.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for kebijakan

(tidak ada / ada)

87,040 23,512 322,219

For cohort APD = tidak

menggunakan

12,627 5,367 29,706

For cohort APD =

menggunakan

,145 ,064 ,329

N of Valid Cases 110