Ards Refrat

17
PENDAHULUAN Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat, pengistirahatan paru-paru, dan perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan sindrom gangguan pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah dianjurkan untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari kondisi klinis sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan eksperimental menunjukkan penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan sesuai patofisiologi belum berkhasiat secara klinis. Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia fokal harus diidentifikasi dan segera diobati. Selama dekade terakhir, angka kematian telah menurun dari lebih dari 50% menjadi 32-45%. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan organ multisistem daripada kegagalan pernapasan saja. 1 EPIDEMIOLOGI Estimasi yang akurat tentang insiden ARDS terhalang oleh kurangnya definisi yang seragam dan heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis. Perkiraan awal oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat adalah 75 per 100.000 populasi. Studi terbaru melaporkan insiden lebih rendah 1,5-

description

refrat

Transcript of Ards Refrat

PENDAHULUANSindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat, pengistirahatan paru-paru, dan perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan sindrom gangguan pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah dianjurkan untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari kondisi klinis sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan eksperimental menunjukkan penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan sesuai patofisiologi belum berkhasiat secara klinis. Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan pneumonia fokal harus diidentifikasi dan segera diobati. Selama dekade terakhir, angka kematian telah menurun dari lebih dari 50% menjadi 32-45%. Kematian biasanya terjadi akibat kegagalan organ multisistem daripada kegagalan pernapasan saja.1EPIDEMIOLOGIEstimasi yang akurat tentang insiden ARDS terhalang oleh kurangnya definisi yang seragam dan heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis. Perkiraan awal oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat adalah 75 per 100.000 populasi. Studi terbaru melaporkan insiden lebih rendah 1,5-8,3 per 100,000.27-29 Namun, studi epidemiologi pertama yang menggunakan definisi konsensus tahun 1994 melaporkan kejadian jauh lebih tinggi di Skandinavia: 17,9 per 100.000 untuk ALI dan 13,5 per 100.000 untuk ARDS.2ETIOLOGIARDS berkembang sebagai akibat dari kondisi atau kejadian berupa trauma jaringan paru baik secara langsung maupun tidak langsung. Penyebabnya bisa penyakit apapun yang secara langsung ataupun tidak langsung melukai paru-paru1,2,3:1. Trauma langsung dari paru : pneumonia, contusio paru, inhalasi toksin, dll.2. Trauma tidak langsung : sepsis, DIC, shock, dll.Gejala biasanya muncul dalam waktu 24-48 jam setelah terjadinya penyakit atau cedera. ARDS seringkali terjadi bersamaan dengan kegagalan organ lainnya, seperti hati atau ginjal. PATOFISIOLOGIKetika kapiler paru dan epitel alveoli mengalami kerusakan, plasma dan darah akan bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya, terjadi penumpukan cairan dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan mekanisme yang mengikuti upaya paru untuk mengurangi aktivitas surfaktan. Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan hanya mempengaruhi daerah paru yang terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi interstisial dan bronkoalveolar serta proliferasi sel-sel interstisial. Kemudian akan terjadi akumulasi kolagen secara cepat sehingga berakibat fibrosis interstisial dua hingga tiga minggu kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan komplians paru, menurunkan kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi, hipoksemia hebat, serta hipertensi pulmonal.1Dalam ARDS, paru-paru akan melalui tiga fase: eksudatif, proliferasi, dan fibrosis, tetapi tentu saja masing-masing fase dan perkembangan penyakit secara keseluruhan bervariasi. Pada tahap eksudatif, kerusakan pada epitel alveolar dan endotelium vaskular mengakibatkankan kebocoran cairan, protein, sel inflamasi dan sel darah merah ke lumen alveolus dan interstitium. Perubahan ini disebabkan oleh interaksi kompleks dari mediator pro-inflamasi dan antiinflamasi.1Sel alveolar tipe I mengalami kerusakan ireversibel dan ruang yang rusak diisi oleh protein, fibrin, dan debris sel, dan memproduksi membran hialin, sementara cedera pada sel-sel penghasil surfaktan tipe II mengakibatkan kolaps alveolar. Pada fase proliferatif, sel tipe II berproliferasi dengan beberapa regenerasi, reaksi fibroblastik, dan remodeling sel epitel. Pada beberapa pasien, ini berkembang menjadi fase fibrosis ireversibel melibatkan deposisi kolagen pada alveolar, vaskular, dan interstisial dengan pengembangan microcysts.1ARDS biasanya terjadi pada individu yang sudah pernah mengalami trauma fisik, meskipun dapat juga terjadi pada individu yang terlihat sangat sehat segera sebelum awitan, misalnya awitan mendadak seperti infeksi akut. Biasanya terdapat periode laten sekitar 18- 24 jam dari waktu cedera paru. Durasi sindrom dapat dapat beragam dari beberapa hari sampai beberapa minggu.4Pada ARDS dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dan hasilnya adalah kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin.4MANIFESTASI KLINISARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.1,4Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.1,2PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.4Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.1,4PEMERIKSAAN PENUNJANGa. LaboratoriumSelain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik yang dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi.5Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik untuk ARDS dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait ventilator.5Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut5: Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat. Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat pada pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel. Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat. Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera hepatoseluler atau kolestasis. Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.

b. RadiologiPada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi ringan. Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus. Seiring dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral difus menjadi jelas. Komplikasi seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada radiografi portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel dengan temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya kembali normal.1Gambaran dominan ARDS pada scan tomografi (CT) dada adalah konsolidasi difus dengan air bronchograms, bula, efusi pleura, pneumomediastinum, dan pneumotoraks. Selanjutnya pada penyakit ini, timbul kista paru-paru dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. CT scan dada harus dipertimbangkan pada pasien gagal pernapasan untuk membantu koreksi klinis. CT scan dapat mendeteksi komplikasi ARDS dan yang terkait dengan penempatan kateter dan tabung seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumonia fokal, malposisi kateter, dan infark paru.1c. Invasif hemodinamik monitoringKarena diagnosis diferensial ARDS meliputi edema paru kardiogenik, pemantauan hemodinamik dengan kateter arteri pulmonalis (Swan-Ganz) dapat membantu dalam membedakan edema paru kardiogenik dari noncardiogenic.5Kateter arteri pulmonal melalui introducer yang ditempatkan dalam vena sentral, biasanya vena jugularis atau subklavia kanan internal. Hal ini memungkinkan pengukuran tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel kanan, tekanan arteri pulmonalis, dan tekanan oklusi arteri paru (PAOP).5Dengan posisi kateter yang tepat, PAOP mencerminkan tekanan pengisian pada kiri jantung dan, secara tidak langsung, volume intravaskular. PAOP rendah dari 18 mmHg biasanya konsisten dengan edema paru noncardiogenic, meskipun faktor-faktor lain, seperti tekanan onkotik plasma rendah, memungkinkan terjadi edema paru kardiogenik.5Kateter arteri paru-paru juga menyediakan informasi lain yang mungkin dapat membantu dalam diagnosis diferensial baik dan pengobatan pasien. Sebagai contoh, perhitungan resistensi vaskular sistemik berdasarkan output thermodilution jantung, tekanan atrium kanan, dan tekanan arteri rata-rata dapat memberikan dukungan bagi kecurigaan klinis dari sepsis.5Karena menghindari overload cairan bermanfaat dalam pengelolaan ARDS, penggunaan kateter vena sentral atau kateter arteri paru dapat memfasilitasi manajemen cairan yang tepat. Hal ini sangat membantu pada pasien dengan hipotensi atau gagal ginjal. Meskipun kateter arteri paru-paru memberikan informasi yang cukup, penggunaannya masih kontroversi. Kateter arteri paru-paru memberikan komplikasi terkait kateter dua kali lebih banyak, terutama aritmia.5d. BronkoskopiBronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan pemeriksaan kuantitatif.5e. Pemeriksaan histologiPerubahan histologis dalam ARDS adalah kerusakan alveolar difus. Fase eksudatif terjadi dalam beberapa hari pertama dan ditandai oleh edema interstisial, perdarahan dan edema alveolar, kolaps alveolar, kongesti kapiler paru, dan pembentukan membran hialin. Perubahan histologis tidak spesifik dan tidak memberikan informasi yang akan memungkinkan ahli patologi untuk menentukan penyebab ARDS.5PENATALAKSANAANPenatalaksanaan ARDS terdiri atas penatalaksanaan terhadap penyakit dasar yang dikombinasi dengan penatalaksanaan suportif terutama mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi fungsi hemodinamik sehingga diharapkan mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan. Penatalaksanaan penyakit dasar sangat penting, misalnya penatalaksanaan hipotensi dan eradikasi sumber infeksi pada sepsis. Khas pada ARDS, hipoksemia yang terjadi refrakter terhadap terapi oksigen dan hal ini kemungkinan diakibatkan adanya shunting (pirau) darah melalui daerah paru yang tidak terventilasi yang disebabkan alveoli terisi eksudat protein dan terjadi atelektasis.2Prinsip Manajemen ARDS2: Lakukan penentuan klinis dini kesulitan pernapasan. Lakukan penilaian obyektif dengan gas darah arteri dan radiografi dada. Menyediakan oksigen, saturasi memantau, dan menyelidiki faktor-faktor risiko untuk ARDS. Tentukan kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik. Gunakan volume tidal yang rendah, tekanan dataran rendah, paru-pelindung strategi ventilator. Optimalkan status cairan, nutrisi, dan toilet paru, dan mengobati komplikasi. Pertimbangkan transfer ke pusat-pusat tersier untuk uji klinis dan teknik canggihOptimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai cara. Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan restriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonar (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan transport O2 yang optimal.2,4Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan hipotensi dan perfusi organ yang terganggu. Obat-obat inotropik dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan curah jantung yang cukup terutama pada pasien dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah reaksi sistemik. 2,4ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi diuresis, inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat sepsis. Pada keadaan ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular, jangan sampai dehidrasi atau hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan jika diperlukan untuk mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan tekanan darah. Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular, pemantauan pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin, hipoksemia, serta tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum infus, digunakan kateter Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan dengan PEEP. Dalam penanganan emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien dijaga dalam keadaan 'kering', yakni dalam kondisi diuresis dan restriksi cairan.6Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai selagi kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau aspirasi trakea. Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini serta memantau terapi antibiotik. Untuk memperkuat imunitas pencernaan, sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan saluran pencernaan normal alias jalur enteral.2,6Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam menangani ARDS akut. Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi paru. Sedangkan sampai sekarang belum ditemukan terapi yang benar-benar efektif dalam melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin, antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor interleukin-1, profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta mengurangi CO2 ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum dan kardiotonik untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen parenteral untuk menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta pentoxifylline.1,2,6Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang berarti. Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti pada keadaan normal. Meski menelungkupkan pasien juga tidak mudah dikerjakan, namun posisi seperti ini telah lama diaplikasikan dan membawa hasil yang tidak buruk bagi pasien. Ketokonazol terbukti bermanfaat untuk pasien ARDS karena bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor necrosis factor. Pemberian surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan, sementara surfaktan alami terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong jarang digunakan.1,2Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO2 lebih besar dari 60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive airway pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secara efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS.1,2Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H2O, FiO2 60%, dengan mode pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode). Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga 12 napas permenit tentunya dengan PEEP.1,2Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan tekanan dan volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS, namun sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru PEEP yang terlalu rendah yang dapat merusak paru karena menyebabkan bagian distal paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang.2Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah (hanya 6 sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm H2O). Tujuan penyetelan volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan berlebih yang dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi batas kurva tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan overdistensi paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi peningkatan tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk menjaga paru dan inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis, titik infleksi atas paru sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan menyetel tekanan plateau ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H2O. Apalagi dengan penurunan volum tidal paru, frekuensi napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk mengatur pH dan PCO2 yang cukup. Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-lahan. Beberapa pasien mungkin akan menunjukkan hiperkapina dan asidosis respiratorik, namun biasanya keadaan ini dapat terkompensasi dengan baik. Daripada ambil risiko menyetel pernapasan pasien terlalu tinggi dengan paksa, lebih baik menurunkan setelan namun tetap dijaga dengan pemantauan yang intensif.2Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya kebutuhan O2 dan PEEP sudah berkurang), hasil rontgen sudah menunjukkan perbaikan, serta sudah tidak ada takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak memiliki riwayat penyakit paru yang parah sebelumnya, akan lebih mudah dilepas. Kesulitan pelepasan alat bantu napas biasanya akibat adanya infeksi yang baru atau infeksi lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi, bronkospasme, anemia, gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi yang sangat jelek yang menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit tersebut berhasil diperbaiki, ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan penyetelan ventilator intermiten, frekuensi napas yang diturunkan, sering pula dengan ventilasi yang didukung oleh pengaturan tekanan napas, atau dilepas begitu saja dengan meletakkan pipa T pada pipa endotrakeal. Pada proses ini disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H2O) agar nantinya pasien bisa bernapas kembali dengan normal. Untuk penanganan lebih detail serta rawat jalan yang baik, setelah fase emergensi selesai, terapi difokuskan pada etiologi yang menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan demikian dapat mencegah kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di kemudian hari.2

DAFTAR PUSTAKA1. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician. 2003 Januari 15; 67 (2) :315-322.2. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med 2000; 342:1334-13493. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Overview. Updated: 18 Februari 2014. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview4. Farid. Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm 2006;4: 125. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Work Up. Updated: 18 Februari 2014. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-workup 6. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Treatment & Management. Updated: 18 Februari 2014. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-treatment