Vap Pada Ards New

43
BAB I PENDAHULUAN Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan pneumonia merupakan dua kondisi yang saling terkait dalam etiologi, patofisiologi dan diagnosisnya. Penelitian mendapatkan pneumonia sebagai latar belakang dari 31% pasien yang berkembang menjadi ARDS. Banyak pasien ARDS membutuhkan penanganan dengan ventilator mekanik yang meningkatkan terjadinya pneumonia nosokomial (hospital acquired pneumonia, HAP), khususnya yang terkait ventilator (ventilatory associated pneumonia, VAP). (Bauer dan Torres, 1999) Angka kejadian pneumonia pada ARDS sebesar 15-70% selama pemakaian pipa endotrakea sebagai alat bantu nafas. Penggunaan ventilator pada pasien dengan atau tanpa ARDS melibatkan kuman aerob dan basil gram negatif anaerob yang menyebabkan terjadi HAP/VAP. Staphylococcus aureus masih menjadi penyebab umum pneumonia nosokomial meski kecenderungan menurun dibandingkan waktu lalu, dan bersama dengan kuman gram positif lain kira-kira mencapai 30% isolat. Pada akhir-akhir ini, ICU menjadi tempat transmisi nosokomial kuman gram negatif yang resisten antibiotik sebagai penyebab pneumonia. Di lingkungan ICU, Pseudomonas aeruginosa menjadi kuman patogen tersering. (Bahammam dan Light, 1999) Data insidensi pneumonia nosokomial pada pasien ARDS sangat bervariasi tergantung kriteria klinik dan 1

Transcript of Vap Pada Ards New

Page 1: Vap Pada Ards New

BAB I

PENDAHULUAN

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan pneumonia merupakan

dua kondisi yang saling terkait dalam etiologi, patofisiologi dan diagnosisnya.

Penelitian mendapatkan pneumonia sebagai latar belakang dari 31% pasien yang

berkembang menjadi ARDS. Banyak pasien ARDS membutuhkan penanganan

dengan ventilator mekanik yang meningkatkan terjadinya pneumonia nosokomial

(hospital acquired pneumonia, HAP), khususnya yang terkait ventilator (ventilatory

associated pneumonia, VAP). (Bauer dan Torres, 1999) Angka kejadian pneumonia

pada ARDS sebesar 15-70% selama pemakaian pipa endotrakea sebagai alat bantu

nafas. Penggunaan ventilator pada pasien dengan atau tanpa ARDS melibatkan

kuman aerob dan basil gram negatif anaerob yang menyebabkan terjadi HAP/VAP.

Staphylococcus aureus masih menjadi penyebab umum pneumonia nosokomial

meski kecenderungan menurun dibandingkan waktu lalu, dan bersama dengan

kuman gram positif lain kira-kira mencapai 30% isolat. Pada akhir-akhir ini, ICU

menjadi tempat transmisi nosokomial kuman gram negatif yang resisten antibiotik

sebagai penyebab pneumonia. Di lingkungan ICU, Pseudomonas aeruginosa

menjadi kuman patogen tersering. (Bahammam dan Light, 1999)

Data insidensi pneumonia nosokomial pada pasien ARDS sangat bervariasi

tergantung kriteria klinik dan metode pemeriksaan yang dipakai. Terdapat 2

penelitian yang cukup akurat menggambarkan insidensi VAP. Penelitian Sutherland

dkk. mendapatkan insidensi VAP pada ARDS yang ditentukan dari kriteria klinis

sebesar 33%, namun apabila ditentukan berdasar kriteria klinis dan mikrobiologi

dengan Protected Specimen Brushing (PSB) dan Bronchoalveolar Lavage (BAL)

hanya didapatkan 4%. Sedangkan penelitian Delclaux dkk. mendapatkan angka

kejadian VAP sebesar 60% berdasar kriteria klinis dan mikrobiologi melalui

pemeriksaan kateter teleskop (plugged teleschopic catheter, PTC) yang dipandu

bronkoskopi dan mendapatkan kolonisasi bakteri sebesar 47%. (Bauer dan Torres,

1999)

Penegakan diagnosis pneumonia nosokomial pada pasien ARDS sulit

dilakukan. Kriteria diagnosis ARDS sudah seragam namun belum ada standar emas

yang ditetapkan untuk diagnosis VAP. Para peneliti menggunakan kriteria yang 1

Page 2: Vap Pada Ards New

berbeda-beda dalam kriteria klinis maupun pemeriksaan mikrobiologi. Analisis dari

pemeriksaan post mortem untuk sementara dipakai untuk membantu menyeleksi

metode pengambilan sampel yang adekuat. (Fagon dan Chastre, 2003)

Problem lain dalam penanganan pneumonia terkait pemakaian ventilator

adalah dalam penggunaan antibiotik. Banyak penelitian epidemiologi yang

menjelaskan bahwa pemberian antibiotik pada pasien di Intensive Care Unit (ICU)

dilakukan segera dan cenderung diberikan dalam waktu lama. Hal ini berperan

dalam resistensi obat terhadap berbagai kuman patogen, tingginya resiko super

infeksi yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas dan berkaitan dengan

toksisitas antibiotik serta terkait pembiayaan yang tinggi. (Fagon dan Chastre, 2003)

Angka kejadian VAP pada ARDS cukup tinggi dan demikian pula dengan

mobiditas dan mortalitasnya. Sementara, penatalaksanaan VAP masih banyak

problem kontroversi. Laporan ini menjelaskan proses diagnostik dan terapi dalam

manajemen VAP pada ARDS. Semoga bermanfaat.

2

Page 3: Vap Pada Ards New

BAB II

PEMBAHASAN

A. VENTILATORY ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP)

A.1. Definisi

VAP adalah pneumonia nosokomial pada pasien yang mendapatkan bantuan

ventilator mekanik (menggunakan pipa endotrakhea atau trakheostomi) selama 48

jam atau lebih. Hal ini umumnya diklasifikasikan sebagai onset awal (terjadi dalam

waktu < 5 hari sejak memakai ventilator mekanik) atau onset lambat (≥ 5 hari

setelah memakai ventilator mekanik). (American Thoracic Society, 2005)

A.2. Patogenesis

Pneumonia merupakan respon inang terhadap peradangan yang disebabkan

oleh invasi mikroba pada parenkim paru-paru. Besarnya respons ini tergantung pada

ukuran dan jenis inokulum, virulensi organisme yang terlibat dan kompetensi dari

sistem kekebalan inang. Berbagai mekanisme pertahanan diri terhadap infeksi

adalah mikroba komensal di saliva, reflek batuk, bersihan mukosilier, dan imunitas

seluler dan humoral. Makrofag alveoli, netrofil dan sistem imunitas humoral

berinteraksi sebagai respon inflamasi. Namun pada kondisi kritis, sering terjadi

disfungsi imunitas dan mekanisme pertahanan yang tidak efektif. Jika imunitas

tidak mampu mengatasinya maka berkembang menjadi pneumonia. (Hunter, 2006)

VAP diduga berhubungan erat dengan bakteriemia. Kebanyakan penyebab

infeksi ini berasal dari aspirasi patogen yang berkolonisasi di mukosa orofaring.

Sejumlah kecil disebabkan oleh penyebaran infeksi secara hematogen. Penyebab

VAP yang masih diperdebatkan adalah aspirasi dari gaster (Hunter, 2006)

Kondisi kritis menyebabkan kolonisasi bakteri patogen yang cepat di

orofaring. Kolonisasi cepat disebabkan oleh perubahan pertahanan inang, paparan

antibiotik sebelumnya dan perubahan pada adhesin bakteri atau permukaan reseptor

inang. Pada pemakaian pipa endotrakea, cuff (manset) pada pipa endotrakea tidak

bisa mencegah masuknya bakteri ke jalan nafas. Sekret trakea yang terkontaminasi

terkumpul di sepanjang lipatan manset. Bakteri membuat biofilm pada pipa

endotrakea dan cepat melapisi bagian dalam pipa. Selanjutnya bakteri patogen

berkolonisasi di trakea. Sekret yang terinfeksi terdorong masuk ke saluran nafas 3

Page 4: Vap Pada Ards New

distal oleh udara inspirasi dari ventilator mekanik. (Hunter, 2006) Selain itu, pipa

endotrakea juga mengganggu bersihan mukosilier dan mengganggu reflek batuk.

Pipa endotrakea juga menyebabkan perlukaan dan memungkinkan inokulasi bakteri

di mukosa trakea. (Pneumatikos, 2009)

Mikroba yang sering terlibat pada HAP/VAP adalah Pseudomonas

aureginosa. Bakteri enterik gram negatif ini secara normal tidak ada di saluran

nafas. Kolonisasi bakteri ini dimediasi oleh peningkatan penempelan (adherence)

sel epitel terhadap bakteri. Bakteri membuat permukaan baru sebagai tempat ikatan

sehingga terikat kuat dengan mukosa baik yang bersilia maupun tidak sampai ke

membran basalis. Epitel yang terpapar mengalami kerusakan ikatan antar sel (tight

junction) dan menyebabkan produksi mukus dan debris seluler. Pada kondisi kritis,

enzim proteolitik pada ALI turut merusak mukosa dan memproduksi banyak mukus

yang dipicu oleh pipa endotrakea. Jalan nafas yang terluka dan banyaknya mukus

memungkinkan banyaknya tempat ikatan bakteri dengan saluran trakeobronkial dan

berlanjut menjadi kolonisasi bakteri dan pneumonia. Perlukaan mekanik karena

pipa endotrakea (misalnya saat intubasi dan suction) juga menjadi tempat ikatan

baru dengan bakteri.(Niederman, 1994)

A.3. Diagnosis

Diagnosis VAP sulit dilakukan. Kriteria diagnostik yang digunakan

berbeda-beda dan belum ada standar emas yang ditetapkan. Analisis yang dapat

membantu menetapkan metode pengambilan sampel yang adekuat adalah dengan

mengkonfirmasikan dengan data post mortem. (Fagon dan Chastre, 2003) Kriteria

diagnostik yang merujuk pada pedoman Center for Disease Control (CDC)

mengkombinasikan pemeriksaan klinik, laboratorium dan bukti pemeriksaan

radiologi seperti adanya gejala demam, sekret trakheobronkial yang purulen,

lekositosis, adanya gambaran infiltrat baru, dan pengecatan secret trakeobronkial

dengan cat Gram (syarat sputum kurang dari 10 sel epitel dan lebih dari 25 lekosit

per lapang pandang). (Bahammam dan Light, 1999) Pemeriksaan mikroorganisme

perlu dilakukan untuk menentukan kuman penyebab sebagai dasar pemberian

antibiotik.

Strategi diagnostik dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan, yaitu :

4

Page 5: Vap Pada Ards New

a. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis

Kriteria yang sering digunakan adalah adanya demam, lekositosis, gambaran

infiltrat baru pada ronsen dada dan adanya sekret purulen. Kerugiannya, tanpa

ada data bakteriologi maka pasien akan beresiko mendapatkan antimikroba yang

tidak sesuai. Pemilihan antibiotik pada pneumonia terkait ventilator sangat sulit

karena cenderung disebabkan kuman dengan resistensi tinggi. Kriteria klinis

lain yang dapat digunakan adalah berdasar Clinical Pulmonary Infection Score

(CPIS). Penelitian Pugin dkk., mendapatkan dengan pemeriksaan BAL sebagai

standar, CPIS > 6 mempunyai sensitivitas 93% dan spesifisitas 100% untuk

diagnosis VAP. (Fagon dan Chastre, 2003)

Tabel 1. Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS)

Hari ke-1

Variabel Skor 1 Skor 2Suhu ( C) 38,5-38,9 < 36 atau > 39Jumlah lekosit (sel/mm3)

< 4000 atau > 110000

< 4000 atau > 110000 dan > 50% stab

Sekret Non purulen purulenPO2/FiO2 < 250 dan tidak ada ARDSFoto Rontgen toraks

Difus atau patchy terlokalisasi

Hari ke-3

Variabel Skor 1 Skor 2Suhu ( C) 38,5-38,9 < 36 atau > 39Jumlah lekosit (sel/mm3)

< 4000 atau > 110000

< 4000 atau > 110000 dan > 50% stab

Sekret Non purulen purulenPO2/FiO2 < 250 dan tidak ada ARDSFoto ronsen toraks

Difus atau patchy terlokalisasi

Peningkatan infiltrat Rontgen

Ya (tidak ada ARDS dan gagal jantung kongestif)

Sputum Kultur + Kultur + dan cat Gram

Penelitian Meduri dkk. mendapatkan dengan berdasar kriteria klinis saja,

hanya 40% pasien yang dicurigai pneumonia terkait ventilator yang ternyata

benar-benar terdapat infeksi paru. (Meduri dkk., 1998)

5

Page 6: Vap Pada Ards New

b. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan antibiotik terapi jangka pendek

Pendekatan ini memodifikasi diagnosis dengan CPIS. Pasien dengan CPIS > 6

diobati dengan antibiotik standar pneumonia selama 10-21 hari dan CPIS ≤ 6

menerima antibiotik standar atau Ciprofloksasin monoterapi selama 3 hari.

Ciprofloksasin dihentikan jika CPIS ≤ 6 dalam 3 hari, jika CPIS > 6 maka

diterapi sebagai pneumonia. Hasilnya adalah kematian dan lama perawatan di

ICU tidak jauh berbeda antar 2 kelompok ini. Pendekatan ini juga berpotensi

terjadi overtreatment.(Fagon dan Chastre, 2003)

c. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan pemeriksaan kultur kualitatif sekresi

trakea

Pemeriksaan histologi aspirasi endotrakea ini mempunyai sensitifitas 82%

namun spesifisitas hanya 27% yang dapat berakibat berlebihan dalam dosis dan

terapi.

d. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis dan pemeriksaan kultur kuantitatif sekresi

trakea

Pemeriksaan ini cukup akurat dengan sensitifitas 82% dan spesifisitas 83%

dengan batas jumlah kuman 10 cfu/ml. Kerugiannya hampir 1/3 pasien dengan

pneumonia tidak terdeteksi dan hanya 40% kuman yang teridentifikasi setelah

dikonfirmasi dengan pemeriksaan PSB. Pemeriksaan ini direkomendasikan jika

tidak dapat dilakukan pemeriksaan fiberoptik.

e. Diagnosis berdasarkan kriteria klinis atau pemeriksaan bakteriologi dengan

teknik nonbronkoskopi

Keuntungannya adalah tidak invasif, akses mudah dan cepat ke saluran nafas

bawah dan berbiaya rendah. Pemeriksaan dilakukan dengan kateter teleskop

terproteksi dan mendapatkan hasil yang sama dengan pemeriksaan dengan PSB.

Namun pemeriksaan ini tidak direkomendasikan pada pasien dengan curiga

pneumonia terkait ventilator karena kesesuaian hasil dengan teknik bronkoskopi

hanya 80%.

f. Diagnosis berdasarkan bronkoskopi fiberoptik untuk mendapatkan sampel

melalui pemeriksaan PSB atau BAL

Pemeriksaan ini seperti pemeriksaan kultur kuantitatif yang membantu

mendapatkan kuman penyebab dengan lebih tepat sehingga dapat memandu

pemakaian antibiotik. Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk penegakan 6

Page 7: Vap Pada Ards New

diagnosis pneumonia terkait ventilator karena beberapa alasan. Pertama,

mempunyai sensitifitas dan spesifisitas cukup tinggi. Pemeriksaan PSB dengan

cut of point > 10³ cfu/ml mempunyai sensitivitas 89% dan spesifisitas 94%.

Pada penelitian lain, pemeriksaan BAL dengan cut of point 10 cfu/ml

mempunyai sensitivitas 73% dan spesifisitas 82%. Kedua, dapat ditoleransi

pada keadaan sakit berat, termasuk pasien dengan hipoksia berat, ARDS dengan

trombositopenia dan trauma kepala. Ketiga, tidak ada kenaikan mortalitas pada

pasien yang dihentikan pemakaian antibiotiknya setelah didapatkan hasil kultur

negatif dengan teknik bronkoskopi. Namun, strategi pemeriksaan dengan teknik

bronkoskopi ini dibenarkan jika dilakukan sebelum diberikan antibiotik. (Fagon

dan Chastre, 2003)

Penelitian Koenig membandingkan mortalitas dan morbiditas pada pasien

VAP yang ditegakkan berdasar pemeriksaan invasif (PSB dan BAL) dibandingkan

dengan non invasif (kultur kuantitatif dari aspirasi endobronkial). Hasilnya tidak

ada perbedaan morbiditas dan mortalitas antara keduanya. (Koenig, 2006)

Penelitian meta analisis tentang diagnosis VAP mendapatkan bahwa kriteria

klinis CPIS dapat digunakan dalam mendiagnosis VAP, meskipun variabilitas antar

pengamat tinggi (kappa 0,16). Data pemeriksaan bakteriologi tidak meningkatkan

ketepatan diagnosis dibandingkan dengan diagnosis klinis. Pemeriksaan kultur

kuantitatif seperti BAL (sensitivitas 19-83%, spesifisitas 45-100%), BAL

terproteksi (sensitivitas 39-80%, spesifisitas 66-100%), PSB (sensitivitas 36-83%,

spesifisitas 50-95%) atau aspirasi trakeobronkial (sensitifitas 44-87%, spesifisitas

31-92%) dianggap mempunyai kemampuan yang setara dalam mendiagnosis VAP.

Data sitologi yang cepat melalui pemeriksaan cat Gram berguna dalam memberikan

terapi awal pada pasien suspek VAP. Pemeriksaan biomarker seperti C-reactive

protein, prokalsitonin dan soluble triggering receptor expressed on myeloid cells

(sTREM) menjanjikan dalam diagnosis VAP. Diagnosis VAP hendaknya

menggunakan beberapa pendekatan terpadu dan hasil pengobatan harus diikuti.

Pemberian terapi antibiotik awal dan evaluasi berikutnya menyesuaikan dengan

respon klinis dan hasil kultur bakteriologi. (Neto dkk., 2008)

American Thoracic Society (ATS) dan Infectious Disease Society of

America (IDSA) merekomendasikan pemeriksaan pada HAP/VAP sebagai berikut :

7

Page 8: Vap Pada Ards New

- pengambilan kultur saluran nafas bawah dilakukan sebelum pemberian antibiotik

tanpa harus menunda pemberian terapi inisial

- pengambilan materi pemeriksaan kultur dapat dilakukan dengan bronkoskopi atau

nonbronkoskopi dan dilakukan pemeriksaan kultur semikuntitatif atau kuantitatif

- pemeriksaan kultur kuantitatif meningkatkan sensitivitas diagnosis HAP (America

Thoracic Society, 2005)

Jenis kuman penyebab VAP banyak dipengaruhi oleh lamanya pemakaian

ventilator mekanik. Mikroorganisme yang berkembang di jaringan paru pada pasien

dengan pneumonia yang menggunakan ventilator mekanik kurang dari 5 hari, sama

dengan komensal yang berkolonisasi di orofaring. Intubasi trakea dan adanya

respon tubuh sebagai mekanisme pertahanan diri inang merupakan pendorong

pertumbuhan bakteri pada periode tersebut. Kuman terbanyak adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.

Setelah 5 hari, patogenesis HAP/VAP makin kompleks dan melibatkan kuman yang

didapat dari mikroaspirasi dari lambung atau translokasi bakteri dari intestinal ke

paru. Kuman bergeser ke batang gram negatif yaitu Escherichia coli dan Klebsiella

spp. Pasien yang telah lama mendapat antibiotik beresiko terjadi perkembangan

mikroorganisme methicilin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Pseudomonas

aeruginosa dan Acinetobacter spp. (Bauer dan Torres, 1999)

A.4. Manajemen

Prinsip terapi VAP menggunakan antibiotik sesuai kuman penyebab Terapi

inisial dapat diberikan secara empirik sebelum mendapat hasil kultur sekret

endobronkial Ada beberapa pertimbangan yang digunakan untuk pemilihan terapi

dengan antibiotik, yaitu :

a. pengetahuan tentang jenis kuman yang sering ada pada VAP dan pola

sensitivitas berdasar data survey

b. lamanya hospitalisasi dengan ventilator mekanik sebelum onset VAP

c. aktivitas antibakteri dari antibiotik yang digunakan sebelumnya

d. hasil pemeriksaan sekret pulmo

e. aktivitas intrinsik antibakteri dan karakteristik farmakodinamik obat anti infeksi.

(American Thoracic Society, 2005)

8

Page 9: Vap Pada Ards New

Terapi empirik untuk VAP diberikan berdasar pedoman ATS dan IDSA

(gambar 1). Hasil optimal dapat dicapai dengan terapi inisial dengan kombinasi

antibiotik yang sesuai, dosis yang adekuat dan cara pemberian yang tepat.

Pengobatan selanjutnya diseuaikan dengan hasil pemeriksaan bakteriologi dan tes

sensitivitas, ketersediaan obat, harga obat dan dosis restriksi. Pemberian antibiotik

inisial direkomendasikan selama 7-8 hari pada HAP/VAP tanpa komplikasi dan

mengalami perbaikan klinis. (America Thoracic Society, 2005)

Gambar 1. Strategi manajemen pasien suspek hospital acquired pneumonia (HAP), ventilator associated pneumonia (VAP), atau healthcare-associated pneumonia (HCAP)

Sumber : American Thoracic Society, 20059

Suspek HAP, VAP atau HCAP

Sampel dari saluran nafas bawah dilakukan kultur (kuantitatif/semi kuantitatif) dan pemeriksaan mikroskopik

Jika kecurigaan klinis rendah ke arah pneumonia dan hasil pemeriksaan mikrokospik negatif, dimulai terapi antibiotik empirik (sesuai gambar 2) dan data mikrobiologi lokal

Hari kedua dan ketiga : periksa kultur dan dilihat respon klinik (suhu, lekosit, ronsen torak, oksigenasi, purulensi sputum, perubahan hemodinamik dan fungsi organ

Perbaikan klinik dalam 48-72 j

Tidak Ya

Kultur (-) Kultur (+) Kultur (-) Kultur (+)

Dicari pathogen lain, komplikasi, diagnosis lain atau fokus infeksi lain

Antibiotik yang sesuaiDicari pathogen lain, komplikasi, diagnosis lain

Pertimbangkan menghentikan antibiotik

Turunkan dosis antibiotik jika mungkin, terapi dalam 7-8 hari dan reassesment

Page 10: Vap Pada Ards New

Gambar 2. Algoritma pemberian antibiotik sebagai terapi empirik untuk hospital acquired pneumonia (HAP), ventilator associated pneumonia (VAP), atau healthcare-associated pneumonia (HCAP)

Sumber : American Thoracic Society, 2005

Sumber : American Thoracic Society, 2005

10

Suspek HAP, VAP atau HCAP (semua derajat beratnya)

Onset lambat (≥ 5hari) atau faktor resiko patogen multidrug resistant (MDR)

Tidak Ya

Antibiotik spektrum terbatas(tabel 3)

Antibiotik spektrum luas untuk MDR (tabel 4 dan 5)

Page 11: Vap Pada Ards New

Sumber : American Thoracic Society, 2005

11

Page 12: Vap Pada Ards New

B. ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

B.1. Definisi

ARDS adalah kondisi yang mengancam jiwa dimana terjadi gangguan

pertukaran gas dalam paru-paru yang bersifat akut, dimana terjadi gangguan

pertukaran gas dalam paru dengan rasio tekanan arteri oksigen (dalam mmHg)

dibandingkan dengan fraksi oksigen ≤ 200. Sedangkan kondisi yang lebih ringan

disebut Acute Lung Injury (ALI) dengan perbandingan tekanan oksigen di arteri dan

fraksi oksigen ≤ 300. (Christie dan Lanken, 2007)

B.2. Patogenesis

B.2.a. Fase-fase ARDS

Secara klasik, perjalanan ARDS dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase

eksudatif, fase proliferasi dan fase fibrosis.

1. Fase eksudatif

Pada fase eksudatif, perlukaan pada paru baik karena sebab langsung

maupun tidak langsung menyebabkan respon inflamasi akut, dapat berlangsung

sampai 1 minggu. Mediator kimiawi terangsang untuk menuju tempat perlukaan

dan dilepas ke sirkulasi sistemik, seperti tumor necritizing factor alpha (TNF-α,

beberapa macam interleukin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-8), platelet activating factor,

nitric oxide (NO), prostasiklin, oksigen radikal bebas, histamin dan bradikinin.

Medator kimia ini mengundang lekosit terutama netrofil untuk berhubungan dengan

sel yang terlibat perlukaan dan merusak organisme penyebab. Netrofil menempel

pada tepi pembuluh darah, menyusup diantara sel endotel dan masuk ke jaringan.

Kemudian netrofil melakukan fagositosis organisme penyebab. Jika fagositosis

masih banyak dibutuhkan, makrofag turut berperan dalam 24 jam untuk

menggantikan tugas pembersihan jaringan yang mati dan organisme yang masih

ada. Makrofag ini menyebabkan proses inflamasi kronik. (Blume dan Byrum, 2009)

2. Fase proliferatif

Pada fase proliferasi, proses inflamasi di paru terjadi di semua jaringan yang

menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perpindahan cairan keluar dari

vaskuler ke jaringan. Pada lung bed, hal ini menyebabkan udem pulmo dan udem

di interstisial alveoli dan menyebabkan inaktivasi surfaktan yang berakibat sesak 12

Page 13: Vap Pada Ards New

karena timbunan cairan di alveoli yang menyebabkan kolaps dan menurunnya

pengembangan jaringan paru. Penurunan pengembangan paru meningkatkan kerja

pernafasan yang berakibat hipoksemia yang tidak respon dengan pemberian

oksigen. Hal ini berakibat udem pulmo yang menurunkan kemampuan mengambil

oksigen dan akhirnya dapat menyebabkan kematian sel. (Blume dan Byrum, 2009)

Gambar 3. Gambaran alveolus yang normal dan yang mengalami perlukaan

Sumber : The acute respiratory distress syndrome, N Engl J Med, 2000

Pada kondisi kebocoran kapiler, sistem koagulasi (cloting) dan fibrinolisis

(perusakan jendalan darah) turut teraktivasi. Jendalan darah terbentuk di kapiler

paru. Saat aliran darah melaluinya, rasio ventilasi dan perfusi mengalami mismatch

(ketidakcocokan) yang disebabkan karena kegagalan pertukaran gas, sehingga

terjadi perburukan hipoksemianya. Jendalan darah yang terbentuk di seluruh tubuh,

dapat memacu terjadi disfungsi multi organ. Proses kebocoran kapiler dan

13

Page 14: Vap Pada Ards New

terbentuknya jendalan darah yang berlangsung lama akan berakibat terjadi fibrosis.

(Blume dan Byrum, 2009)

3. Fase fibrosis

Pada fase fibrosis (resolusi) terjadi pemulihan kondisi paru. Udem alveoli

menurun melalui mekanisme transport aktif natrium dan klorida dari ruang udara di

alveoli ke interstitial paru.

Gambar 4. Gambaran mekanisme resolusi pada jaringan paru

Sumber : The acute respiratory distress syndrome, N Engl J Med, 2000

Air mengalir melalui transelular water channel, aquaporin, yang ada di sel

tipe 1. Selain itu sejumlah protein yang terlarut dan tidak terlarut juga berpindah ke

ruang udara alveoli. Protein terlarut berpindah melalui mekanisme difusi antara sel

epitel alveoli dan protein tak terlarut berpindah dengan endositosis dan transitosis

oleh sel epitel alveoli dan fagositosis oleh makrofag. Sel epitel tipe 2 merupakan

progenitor untuk reepitelisasi epitel alveoli yang gundul (terkikis) dan kemudian

14

Page 15: Vap Pada Ards New

berdiferensiasi menjadi sel tipe 1 yang berfungsi menjaga struktur normal alveoli

dan meningkatkan kapasitas transpor cairan oleh epitel alveoli. Proliferasi ini diatur

oleh epithelial growth factor termasuk keratinosit dan hepatocyte growth factor.

Mekanisme yang mendasari resolusi infiltrat sel inflamasi dan fibrosis belum jelas.

Diduga apoptosis berperan dalam pembersihan netrofil dari tempat inflamasi. (Ware

dan Matthay, 2000)

B.2.b. Patofisiologi berdasar kausa pulmonal dan ekstrapulmonal

Kerusakan alveoli yang luas pada ARDS dapat ditimbulkan oleh paparan

langsung ke saluran nafas (pulmonary ARDS) maupun tidak langsung

(extrapulmonary ARDS). Para ahli berpendapat bahwa pada tahap awal kerusakan

memberikan manifestasi yang berbeda pada kedua penyebab tersebut. (Pelosi, dkk

2003) ARDS ekstrapulmonal dibuktikan dengan penelitian eksperimental pada tikus

dengan injeksi toksin intravena dan intraperitoneal. Respon yang terjadi berasal dari

aktifitas mediator inflamasi yang dilepaskan dari fokus inflamasi ekstrapulmoner ke

sirkulasi sistemik. Target kerusakan yang terjadi pertama kali adalah pada endotel

kapiler pulmo dengan peningkatan permeabilitas vaskuler dan udem interstisial.

Sedangkan paparan langsung ke pulmonal dibuktikan dengan penelitian

eksperimental menggunakan endotoksin, komplemen, TNF-α dan bakteri yang

disuntikkan intratrakea. Respon primer setelah paparan langsung terjadi pada epitel

alveoli sedangkan endotel kapiler masih normal. Hal ini mengaktivasi makrofag,

netrofil serta sistem inflamasi dalam mengakibatkan inflamasi intrapulmoner.

Gambaran kerusakan epitel tampak pada spatium intra alveoli dengan udem alveoli,

eksudat fibrinosa, kolagen, agregasi netrofil dan darah, dengan udem interstisial

yang minimal. Pola ini sering digambarkan sebagai konsolidasi pulmo, disertai

kolapsnya alveoli, eksudat bersifat fibrinosa dan udem dinding alveoli. (Pelosi dkk,

2003)

Pada ARDS karena sebab ekstrapulmonal terjadi kerusakan endotel

pembuluh darah kapiler paru melalui beberapa mekanisme. Hipertensi pulmo

derajat sedang merupakan kondisi yang umum terjadi pada ARDS fase akut

maupun kronik bahkan pada kondisi resistensi vaskuler sistemik yang rendah

seperti dalam kondisi systemic inflammatory response syndrome (SIRS) dan syok

septik.. Pada keadaan inflamasi mediator infamasi menginduksi enzim pada endotel

15

Page 16: Vap Pada Ards New

dan otot polos vaskuler untuk memproduksi sejumlah besar bahan vasoaktif.

Akibatnya peningkatan resistensi vaskuler menyebabkan gangguan perfusi ventilasi

di sirkulasi pulmo dan ketidaksesuaian antara pengiriman dan konsumsi oksigen.

Peningkatan tonus vaskuler pulmo pada ARDS mungkin disebabkan peningkatan

lokal vasokonstriktor tromboksan yang berperan pada hipertensi pulmo yang

diinduksi endotoksin. Pada endotel yang mengalami inflamasi terjadi udem di

jaringan karena permeabilitas yang meningkat, aktivasi lekosit dan menginvasi ke

jaringan serta dapat mengakibatkan trombosis intravaskuler. Selain itu pada cairan

bilasan bronkoalveolar penderia ARDS terdapat aktivitas prokoagulan yang sesuai

dengan aktivasi kaskade koagulasi yang menyimpang. Perlukaan pada endotel

mikrovaskuler menghilangkan kemampuan antiagregasi dan antikoagulasi.

(Griffiths dan Evans, 2003) Proses yang mengaktivasi sel endotel menyebabkan

adhesi dan signal molekul yang memfasilitasi penempelan lekosit. Selanjutnya

proses koagulasi lokal diaktivasi, faktor jaringan diproduksi, dan fibrinolisis

dihambat sehingga hasilnya akan terjadi deposit fibrin yang berlebihan. Aktivasi

endotel mempengaruhi aliran cairan kapiler melalui 3 jalan, yaitu :

1. endotel yang teraktivasi/rusak melepas mediator inflamasi

sehingga meningkatkan perlukaan endotel secara langsung maupun melalui

rekruitmen sel inflamasi dari vaskuler, interstisial dan ruang alveoli

2. mediator tertentu seperti TNF-α, α-trombin mengaktivasi jalur

protein kinase sehingga terjadi kontraksi sitoskeletal dan menyebabkan

disfungsi barier

3. beberapa mediator seperti angiotensin, bradikinin, α-trombin,

tromboksan, prostasiklin dan endothelin mempunyai efek vasomotor yang

penting dan metabolismenya diganggu oleh kerusakan sel endotel.

Hal-hal tersebut menyebabkan efek yang tidak menguntungkan terhadap aliran

cairan interstisial melalui mekanisme fisiologi yang teratur. (Plantadosi dan

Schwartz, 2004)

Pada ARDS pulmonal, terjadi kerusakan epitel alveoli yang berat dimana

terjadi udem epitel dan udem pulmo yang mengganggu proses difusi. Secara

fisiologi, pertukaran gas terjadi di alveoli yang berisi lebih dari 100.000 juta kapiler.

Unit kapiler-alveoli terdiri dari endotel kapiler dan membran basalnya, ruang

interstisial, dan epitel alveoli dan membrane basalnya. Secara histologi, epitel 16

Page 17: Vap Pada Ards New

alveoli yang normal terdiri dari 2 tipe sel. Tipe 1 adalah sel gepeng yang

membentuk 90% permukaan alveoli dan bersifat lebih rentan terhadap perlukaan.

Sedangkan tipe 2 berbentuk kuboid yang membentuk 10% permukaan alveolus dan

bersifat lebih tahan terhadap perlukaan. Sel yang kedua ini berfungsi produksi

surfaktan, ion transport, proliferasi dan diferensiasi sel tipe 1 setelah perlukaan.

(Malhotra, 2007)

Pada regulasi normal, cairan melewati epitel pada pertautan antar sel karena

perbedaan tekanan osmotik yang digerakkan aktif oleh transport natrium

transepitelial baik oleh sel tipe 1 dan 2. Cairan membawa protein ke paru melalui

aquaporin-5 yang banyak diekspresikan oleh sel epitel tipe 1, dimana lebih

permeabel terhadap air. Pada perlukaan paru, selama sel epitel alveoli tipe 1 tidak

hilang, maka kapasitas transpor natrium dan air masih dipertahankan. Namun bila

mengalami kerusakan maka regulasi natrium dan air terganggu sehingga

mengganggu fungsi pertahanan dan pembersihan udem pulmo. (Plantadosi &

Schwart, 2004) Perlukaan pada sel epitel tipe 2 selain mengganggu keseimbangan

cairan, juga mengganggu metabolisme surfaktan. Dibandingkan dengan kondisi

normal, surfaktan pada BAL pada pasien ARDS menunjukkan peningkatan tekanan

permukaan minimal. Kekurangan produksi dan disfungsi surfaktan yang disebabkan

karena adanya protein plasma di ruang udara alveoli ini mengakibatkan atelektasis,

gangguan pertukaran gas, peningkatan udem dan gsnggusn mekanisme pertahanan

lokal. (Griffith dan Evans 2003).

Perlukaan pada epitel alveoli yang terjadi mempunyai beberapa

konsekuensi, yaitu :

1. pada kondisi normal, pertahanan oleh epitel menjadi kurang permeabel daripada

pertahanan endotel. Akibatnya adalah terisinya cairan di dalam alveoli.

2. hilangnya integritas epitel dan perlukaan pada sel tipe 2 mengganggu transport

cairan sehingga mengganggu perpindahan cairan udem dari ruang alveoli.

3. perlukaan pada sel tipe 2 mengurangi produksi dan pergantian cairan surfaktan.

Hal ini berakibat aktivitas surfaktan yang abnormal.

4. hilangnya pertahanan oleh epitel dapat menyebabkan syok septik pada pasien

dengan pneumonia bakterial.

5. perlukaan epitel yang berat menyebabkan penyembuhan yang tidak sempurna

sehingga timbul fibrosis. (Ware dan Matthay, 2000)17

Page 18: Vap Pada Ards New

B.2.c. Proses inflamasi paru pada ARDS

Secara histologi, pada jaringan paru pasien ARDS fase awal ditemukan

akumulasi netrofil. Netrofil menempel di endotel mikrovaskuler, bermigrasi melalui

dinding pembuluh darah dan menembus sel epitel alveoli untuk mencapai ruang

udara di alveoli. Netrofil merupakan efektor kerusakan paru yang disebabkan

inflamasi parenkim. Pada pasien ARDS terdapat peningkatan konsentrasi elastase

netrofil di serum dan peningkatan kemokin interleukin-8 (IL-8) di alveoli..Netrofil

teraktivasi melepaskan bahan sitotoksik yang reaktif terhadap oksigen (cytotoxic

reactive oxygen species) dan protease yang membunuh kuman dan merusak

jaringan lokal. Selanjutnya diameter netrofil membesar daripada diameter kapiler

paru dan terjadi peningkatan interaksi dengan endotel yaitu migrasi dan pelepasan

mediator. Mediator proinflamasi diproduksi berlebihan oleh epitel alveoli maupun

endotel kapiler dan menyerbu lekosit. Peningkatan respon inflamasi ini yang

menyebabkan perlukaan pada paru. Mediator inflamasi ini dapat terdeteksi pada

darah maupun cairan BAL pasien ARDS dan hewan percobaan. Beberapa bahan

menginisiasi inflamasi namun terdapat bahan mediator antagonis yang mencegah

inflamasi pada penelitian eksperimen. Beberapa bahan penghambat proinflamasi

endogen misalnya antagonis reseptor IL-1, reseptor TNF dan sitokin antiinflamasi

seperti IL-10 dan IL-11. (Griffith dan Evans, 2003)

Tabel 6. Mediator seluler pada ALI/ARDS

Proinflamasi Antiinflamasi Fibrogenesis

Endotel Migrasi lekosit oleh sekresi kemokin dan ekspresi molekul adesiMemodulasi tonus vaskuler lokal dan mekanisme koagulasi

Pelepasan molekul adhesi terlarut

Sekresi proinflamasi dan mediator fibrogenik

Epitel Mengekspresikan ICAM untuk memfasilitasi migrasi lekositSekresi kemokin dan sitokin proinflamasiMelepaskan reactive-oxygen / nitrogen species (RO/NS)

Menutupi membrane basal alveoli yang terkena

Sekresi dan aktivasi TGFβ-1Kontak langsung dengan fibroblas

Makrofag / monosit

Mediator penting untuk inflamasi akut dan kronikSekresi kemokin dan sitokin proinflamasi Melepaskan RO/NS

Menghancurkan sel apoptosis oleh fagosit dan emigrasi limfatikMelepaskan IL-10

Sekresi mediator proinflamasi dan fibrogenik

Netrofil Efektor kerusakan jaringan dan inflamasi kronik dan pertahanan host

ApoptosisMelepaskan IL-Ira

Tampak pada korelasi BAL dan

18

Page 19: Vap Pada Ards New

melalui pelepasan protease dan RO/NSSekresi kemokin dan sitokin proinflamasi

tampilan yang buruk penyakit paru fibrosis

Trombosit Trombositopeni pada 50% ARDSKofaktor pada kaskade koagulasiSumber potensial mediator inflamasi

Limfosit Sumber IL-10Menghilangkan emigrasi limfatik

Sumber IL-4 (pro) dan mediator antifibrotik (IFN-γ)

Miofibroblas Proliferasi dan deposit matriks ekstraseluler

Sumber : Griffith dan Evans, 2003

B.2.d. Gangguan pertukaran gas pada ARDS

Pada ARDS terjadi peningkatan tonus vaskuler kemungkinan disebabkan

oleh peningkatan aktivitas lokal tromboksan vasokonstriktor (TX) A dan ET-1 yang

berkontribusi pada fase awal dan akhir hipertensi pulmo yang diinduksi endotoksin..

Peningkatan resistensi vaskuler paru menyebabkan gangguan fungsional

(vasokonstriksi) dan struktur (emboli, kompresi vaskuler dan remodeling) yang

berefek pada tekanan ventilasi positif, inflamasi dan kerusakan pada paru. (Griffith

dan Evans, 2003) Pertukaran gas dipengaruhi oleh peningkatan ventilasi alveoler

dan curah jantung karena fungsi bronkial dan vaskuler menurun akibat faktor

seperti mediator inflamasi di jalan nafas dan tonus otot vaskuler. Akibatnya area

dengan rasio ventilasi dan perfusi (V/Q ratio) tinggi dan daerah dead space

meningkatkan ventilasi untuk mempertahankan PCO2 arteri tetap konstan. Dengan

penurunan pengembangan paru, usaha ekspansi paru juga meningkat. (Plantadosi

dan Schwartz, 2004) Pada keadaan hipokemia yang resisten terhadap pemberian

oksigen ini, terjadi peningkatan right-to-left shunt. Ketika sebagian besar alveoli

tidak mendapatkan ventilasi yang cukup karena alveoli kolaps atau terisi cairan,

aliran darah tercampur darah vena dengan tekanan parsial oksigen 40 mmHg dan

kadar oksigen 15 ml% mengalami shunt ke paru tanpa resaturasi. Hal ini

menyebabkan kebutuhan suplemen oksigen konsentrasi tinggi dan tekanan oksigen

alveoli yang tinggi pula melalui ventilasi mekanik. (Christie dan Lanken, 2007)

B.3. Diagnosis

19

Page 20: Vap Pada Ards New

Diagnosis ARDS didasarkan pada pedoman American-European Consensus

Conference Committee tahun 1994 adalah kondisi penyakit yang terjadi akut

dengan rasio tekanan arteri oksigen (dalam mmHg) dibandingkan dengan fraksi

oksigen ≤ 200. Definisi tersebut disertai dengan terdapat gambaran radiologi torak

infiltrat bilateral yang sesuai dengan udem pulmo, tanpa ada bukti hipertensi atrium

kiri atau tekanan arteri pulmonalis ≤ 18mmHg. (Christie dan Lanken, 2007)

B.4. Manajemen

B.4.a. Respiratory support

B.4.a.(i). Ventilasi mekanik

Keadaan hipoksemia berat pada ARDS hampir selalu membutuhkan intubasi

endotrakea dan ventilator mekanik. Pada masa lalu, tujuan primer ventilasi adalah

meningkatkan oksigenasi arteri menuju target normal dengan saturasi oksigen 88-

95%, tekanan parsial CO2 dan pH yang normal pula. Hal ini selalu berhadapan

dengan kondisi FiO2 dan ventilasi permenit yang tinggi. Pada umumnya kita

menggunakan tidal volume 10-15 ml/kg berat badan dimana pada kondisi normal

dengan tidal volume 5-7 ml/kg berat badan untuk nafas spontan saat istirahat.

Konsep untuk membuka alveoli yang kolaps menjadi alasan kita memberikan

ventilasi dengan volume yang tinggi. Namun, pada masa sekarang kita telah

mengetahui bahwa ventilasi mekanik , meski berpotensi menyelamatkan jiwa, juga

berkontribusi untuk memperburuk perlukaan pada paru. Volume aerasi paru pada

pasien ARDS perlu dipertimbangkan dengan adanya udem dan atelektasis.

Akibatnya ventilasi dengan tidal volume yang tinggi dapat menyebabkan

hiperinflasi paru semantara pada kondisi stiffed lung pada ARDS, pengembangan

paru berkurang dan tekanan jalan nafas meningkat. Konsekuensinya terjadi

peregangan yang berlebihan dari paru dan menyebabkan kerusakan langsung secara

fisik dan menimbulkan gangguan pada epitel alveoli maupun endotel kapiler paru.

Hal ini menginduksi respon inflamasi dan pelepasan mediator. Diduga respon

inflamasi yang menginduksi perlukaan paru terkait ventilator, mengakibatkan

konsekuensi sistemik dan berperan dalam patogenesis kegagalan multi organ pada

pasien ARDS. Pada thun 1993, terdapat konsensus dari konferensi The American

College of Chest Physicians yang merekomendasikan penggunaan tidal volume

yang diturunkan pada pasien dengan ARDS yang mempunyai plateau pressure 35 20

Page 21: Vap Pada Ards New

cm H2O atau lebih. Penggunaan positive end-expiratory pressure (PEEP)

menyokong oksigenasi tetapi PEEP yang berlebihan juga mengganggu efek yang

diharapkan. Namun tidak ada aturan yang jelas tentang penggunaan PEEP pada

ventilasi dengan volume tidal yang rendah karena masih sedikitnya data dari

penelitian. (Malhotra, 2007)

Penelitian Amato tahun 1998 pertama kali membuktikan manfaat ventilasi

dengan volume tidal yang rendah. Penelitian ini membandingkan ventilasi

konvensional dengan ventilasi volume tidal yang rendah. Ventilasi konvensional

menggunakan volume tidal 12 ml/kg berat badan, PEEP rendah, PaCO2 35-38

mmHg dibandingkan dengan volume tidal 6 ml/kg berat badan, PEEP tinggi, dan

hiperkapnia yang diijinkan. Angka mortalitas setelah 28 hari lebih rendah secara

signifikan pada kelompok dengan ventilator volume tidal rendah sebesar 38%

dibanding 71%. Selain itu juga lebih rendah terjadi barotrauma dan angka yang

tinggi dalam keberhasilan melepas ventilator. (Malhotra, 2007)

Gambar 5. Efek kelemahan alveolar-kapiler dan PEEP pada pertukaran gas di paru

Sumber : Plantadosi dan Schwartz, 2004

Konsensus konferensi The American College of Chest Physician tahun 1993

merekomendasikan pemakaian ventilator dengan volume tidal rendah pada pasien

ARDS. Belum ada pedoman selanjutnya setelah itu. Namun menyokong kampanye

sepsis yang dipublikasikan 2004, bahwa pedoman yang dianjurkan adalah

21

Page 22: Vap Pada Ards New

pemakaian ventilasi volume tidal rendah sebesar 6 ml/kg prediksi berat badan

dengan tujuan utama menjaga tekanan plateau akhir inspirasi kurang dari 30

mmH2O. Hiperkapnia dapat diterima dalam konteks ini sepanjang tidak terdapat

peningkatan tekanan intrakranial. Penggunaan tekanan positif akhir ekspirasi

direkomendasikan untuk mencegah alveoli kolaps pada akhir ekspirasi dan menjaga

oksigenasi adekuat. (Malhotra, 2007)

B.4.a.(ii). Posisi pronasi

Peningkatan perfusi ventilasi adalah efek fisiologi yang diharapkan pada

posisi pronasi pada pasien ALI. Posisi supine, regio dorsal paru yang tergantung

mengalami atelektasis karena menurunnya tekanan transpulmoner dan kompresi

langsung oleh paru, jantung dan isi abdomen (melalui tekanan pasif diafragma).

Gravitasi meningkatkan perfusi pada paru bagian dorsal yang kolaps. Pada pronasi,

kompresi paru diturunkan dan kondisi dinding dan paru secara mekanik membuat

tekanan transpulmoner menjadi sama. Paru yang mengalami atelektasis menjadi

teraerasi dan perfusi menjadi lebih homogen. Manfaat lain adalah membantu

drainase sekret sehingga menurunkan kejadian VAP. (Sud dkk., 2008)

Pada penelitian metaanalisis, pada 13 penelitian yang melibatkan 1559

pasien, dari 10 penelitian mendapatkan bahwa posisi pronasi tidak menurunkan

mortalitas dibanding posisi supine (RR 0,96 CI 95% 0,84-1,09), 8 penelitian

menunjukkan peningkatan PO2/FiO2 pada posisi supine sebesar 34% pada hari 1, 5

penelitian mendapatkan penurunan kejadian VAP (RR 0,81 0,66-0,99, p=0,04)

tetapi tidak menurunkan durasi pemakain ventilator, dan 6 penelitian mendapatkan

peningkatan terjadinya ulkus karena penekanan pada posisi pronasi (RR 1,36 1,07-

1,71, p=0,01). Secara keseluruhan disimpulkan bahwa ventilasi mekanik pada posisi

pronasi tidak menurunkan mortalitas ataupun durasi pemakaian ventilator dan dapat

menurunkan kejadian VAP. Selain itu posisi pronasi diduga dapat meningkatkan

oksigenasi pada penderita hipoksemia yang berat, meski hal ini perlu diteliti lebih

lanjut. (Sud dkk., 2008)

B.4.a.(iii). Vasodilator inhalasi

Vasodilator inhalasi, NO dan prostasiklin secara selektif mendilatasikan

pembuluh darah yang menyebabkan peningkatan perfusi, oksigenasi yang lebih baik 22

Page 23: Vap Pada Ards New

dan menurunkan hipertensi pulmonal. Karena waktu paruh yang pendek maka

inhalasi oral kurang memberi efek hemodinamik sistemik sehingga jarang dipakai.

Pada penelitian yang membandingkan NO dengan placebo mendapatkan

peningkatan oksigenasi ringan dan angka mortalitas 28 hari tidak berbeda

bermakna. Saat ini vasodilator inhalasi masih bermanfaat pada pasien hipoksia yang

mengancam jiwa, namun masih perlu peneltitian untuk penggunaan rutin sehari-

hari. (Griffiths dan Evans, 2003) Pada penelitian meta analisis terdapat 12

penelitian yang melibatkan 1237 pasien yang bertujuan membuktikan manfaat NO

inhalasi pada ARDS. Hasilnya adalah NO meningkatkan oksigenasi pada 24 jam

pertama terapi namun tidak memberikan manfaat pada usia harapan hidup dan

justru dapat meningkatkan mortalitas karena terdapat resiko peningkatan resiko

disfungsi renal. Sehingga NO tidak direkomendasikan untuk penggunaan sehari-

hari. (Adhikari dkk.,2007)

B.4.a.(iv). Surfaktan eksogen

Surfaktan diproduksi oleh sel alveoli tipe 2 dan terdiri dari 2 fraksi yaitu

fosfolipid dan protein spesifik. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan permukaan

alveoli sehingga mencegah kolapnya alveoli dan mengefektifkan pertukaran gas.

Surfaktan juga berperan dalam fungsi imunitas. Pada ARDS terdapat perlukaan

pada barier kapiler-alveoli sehingga terjadi disfungsi surfaktan. Surfaktan

mengalami kerusakan melalui proses peroksidasi lemak dan degradasi protein

surfaktan sehingga terjadi udem cairan yang kaya protein. Keadaan ini yang

melatarbelakangi pemikiran pemberian surfaktan eksogen pada ARDS. Pada meta

analisa dari 251 penelitian mendapatkan bahwa ternyata surfaktan eksogen tidak

menurunkan mortalitas pada ARDS dan perbedaan PO2/FiO2 tidak berbeda

bermakna pada kelompok surfaktan dan kontrol. (Davidson dkk., 2006)

B.4.b. Non respiratory support

B.4.b.(i). Hemodinamik dan balans cairan

Udem pulmo pada ARDS tidak disebabkan karena kelebihan cairan, namun

karena peningkatan permeabilitas mikrovaskuler paru yang menyebabkan

kebocoran osmotik molekul aktif ke ruang interstisial. Udem tergantung pada

tekanan hidrostatik yang menyebabkan tekanan osmotik kurang dapat menahan 23

Page 24: Vap Pada Ards New

cairan intravaskuler. Pada pasien ARDS meski tanpa kelebihan cairan, diuresis

masih memberikan manfaat dalam mengurangi udem sepanjang tekanan darah dan

curah jantung normal. Pada prakteknya, volume intravaskuler dijaga pada level

terendah dengan curah jantung yang adekuat dan perfusi jaringan yang baik.

Dilakukan evaluasi analisis gas darah, estimasi kadar laktat darah yang berulang

dan evaluasi sistem organ misalnya produksi urin perjam. Infus diuretik dosis

rendah, vasopressor, inotropik dan cairan dipakai pada beberapa variabel. (Griffiths

dan Evans, 2003)

B.4.b.(ii). Nutrisi

Pencegahan kehilangan nutrisi dilakukan dengan diet tinggi lemak dan rendah

karbohidrat untuk menurunkan produksi CO2 dan memenuhi kebutuhan ventilasi

yang sesuai untuk gagal nafasnya. Dapat diberikan nutrisi enteral untuk

meningkatkan tekanan darah, meningkatkan fungsi pertahanan tubuh dan

menurunkan kejadian stress ulcer. Imunonutrisi dibuat untuk memperbaiki respon

inflamasi spesifik dan integritas gastrointestinal. (Griffiths dan Evans, 2004)

Perbandingan antara pemberian nutrisi enteral standar dengan suplemen

imunonutrisi dengan antioksidan pada pasien dengan ARDS selama minimal 4 hari,

berhubungan dengan penurunan neutrofil pulmo, meningkatkan oksigenasi dan

pemendekan durasi pemakaian ventilator mekanik dan lebih sedikit terjadi

kegagalan multiorgan. Namun, tidak ada perbedaan mortalitas diantara kedua

kelompok. (Griffiths dan Evans, 2004) Pada penelitian meta analisis disimpulkan

bahwa secara umum imunonutrisi dengan arginin dengan atau tanpa glutamin atau

minyak ikan tidak memberi manfaat dibanding nutrisi enteral standar pasien di ICU,

luka bakar dan trauma. Hanya pada pemberian imunonutrisi dengan minyak ikan

menurunkan mortalitas, menurunkan angka infeksi dan memperpendek masa rawat

di ICU pada pasien SIRS, sepsis dan ARDS. (Marik dan Zaloga, 2009)

B.4.c. Farmakoterapi

B.4.c.(i). Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat menurunkan produksi dan aktivitas mediator

proinflamasi dan fibrogenik. Pada percobaan invitro, deksametason mempengaruhi

pembersihan cairan alveoli pada sel epitel alveoli tipe 2. Namun demikian tidak 24

Page 25: Vap Pada Ards New

semua kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi dan antiinflamasi dikaitkan

juga dengan gangguan mekanisme pertahanan diri inang.

Rasionalisasi penggunaan kortikosteroid dosis tinggi pada ARDS didasarkan

pada penelitian yang menunjukkan peningkatan curah jantung, resistensi vaskuler

pulmo, dan transport oksigen. Meskipun penelitian jangka pendek penggunaan

kortikosteroid dosis tinggi gagal mendemonstrasikan penurunan mortalitas pada

pasien ARDS atau awal ARDS karena sepsis, trauma dan aspirasi. (Griffiths dan

Evans, 2003) Pada 5 penelitian terhadap penggunaan metilprednisolon, terdapat 4

penelitian yang menyatakan manfaat metilprednisolon secara biologi dan fisiologi

sehingga mengurangi lama pemakaian ventilator mekanik. Tidak ada yang

menyatakan glukokortikoid meningkatkan kejadian infeksi dan ada 2 penelitian

yang menyatakan menurunkan kejadian infeksi. Penggunaan glukokortikoid jangka

lama akan memberi manfaat dalam meningkatkan harapan hidup apabila diberikan

dalam 14 hari pertama ARDS. (Meduri dkk, 2007)

C. VAP pada pasien ARDS

Pada ARDS terjadi beberapa perubahan kondisi paru dan sistemik yang

memicu terjadi infeksi. Pneumonia nosokomial lebih sering terjadi pada pasien

dengan ventilator mekanik karena sebab ARDS dibanding dengan sebab lain. Hal

ini mungkin berhubungan dengan kegagalan pertahanan diri host (inang). Beberapa

proses intrinsik paru pada ARDS mengakibatkan fungsi fagosit terganggu,

penurunan bersihan mukosiliar, peningkatan kolonisasi mukosa dan pacuan

pertumbuhan bakteri. Paparan pada lung injury menambah kerusakan pada epitel

paru dan endotel barier dan juga merusak sel alveoli tipe II, penurunan surfaktan

dan penurunan kontribusinya terhadap pertahanan dengan antibiotik. Udem pulmo

mempengaruhi penurunan fungsi surfaktan melalui dilusi dan perubahan

karakteristik dan mempengaruhi kerja makrofag pada alveoli. Elastase adalah enzim

protease yang dominan di saluran nafas penderita ARDS, secara proteolitik

memecah antibodi, mengurangi gerak silia, dan mengubah fibronektin dari

permukaan sel epitel sehingga meningkatkan reseptor terhadap bakteri. Keadaan

lain seperti asidosis, malnutrisi dan syok memberi efek negatif terhadap imunitas.

Infeksi ekstrapulmoner turut mengurangi kemampuan pembersihan bakteri dengan

menekan pengerahan sel polimorfonuklear di paru. Efek terapi pada ARDS sendiri 25

Page 26: Vap Pada Ards New

kadang tidak menguntungkan misalnya penggunaan kortikosteroid yang

menyebabkan imunosupresi, penggunaan oksigen dosis tinggi merusak epitel

alveoli dan mengurangi kerja mukosiliar, sedatif dan pelemas otot mengurangi

pertahanan jalan nafas atas terhadap aspirasi dan menurunnya kemampuan

mengeluarkan sekret melalui reflek batuk. (Bahammam dan Light, 1999)

ARDS dan VAP mempunyai manifestasi klinis yang sama. Tidak ada

perbedaan signifikan pada temperature, hitung lekosit, rasio PO2/FiO2 dan skor

radiologi pada pasien ARDS dengan atau tanpa VAP. (Mayhall, 2001)

Pada penelitian Sutherland dkk tahun 1995 yang bertujuan mengetahui

insidensi infeksi paru pada pasien ARDS, mendapatkan hasil korelasi yang lemah

antara pneumonia dari gejala klinis dengan pneumonia dari pemeriksaan kultur

kuantitatif dengan sensitifitas 24% dan spesifisitas 77%. Tidak ada korelasi antara

jumlah total koloni melalui pemeriksaan BAL dan PSB dengan keparahan ARDS

yang dinyatakan dengan PO2/FiO2 dan lamanya memakai ventilator serta tidak ada

korelasi antara pertumbuhan bakteri dan angka kelangsungan hidup pasien.

Penelitian ini menyimpulkan pneumonia yang ditentukan dengan pemeriksaan

kuantitatif tidak lazim digunakan pada kondisi ARDS. (Sutherland dkk., 1995)

Penelitian Delclaux dkk.mendapatkan kuman penyebab pada 50% pasien

VAP pada ARDS adalah Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter baumanii.

(Delclaux, 1997) Sedangkan Chastre dkk. dan Meduri dkk mendapatkan kuman

penyebab adalah MRSA, kuman batang gram negatif dan Enterobacteriaceae.

(Chastre, 1998; Meduri, 1998)

Penatalaksanaan VAP pada ARDS meliputi penanganan dari kedua kondisi

tersebut yaitu manajemen terhadap kondisi ARDS ditambah dengan pemberian

antibiotik sesuai penanganan untuk VAP.

26

Page 27: Vap Pada Ards New

BAB IV

KESIMPULAN

Pneumonia nosokomial mempunyai kaitan yang erat dalam etiologi,

patofisiologi dan diagnosis ARDS. Diagnosis pneumonia nosokomial pada pasien

ARDS sering sulit dilakukan. Banyak kriteria yang digunakan untuk diagnosis

termasuk kriteria klinis dan bakterologi. Pemeriksaan bakteriologi yang dianggap

akurat adalah pemeriksaan PSB dan atau BAL.

Penatalaksanaan pneumonia nosokomial pada ARDS sama dengan

penatalaksaan pneumonia nosokomial sesuai pedoman American Thoracic Society.

Terapi awal antibiotik diberikan secara empirik sesuai onset awal atau lanjut dan

berdasarkan resiko kuman multidrug resistant. Selanjutnya terapi didasarkan pada

hasil pemeriksaan bakteriologi dan tes sensitifitas dengan mempertimbangkan

ketersediaan obat, harga obat dan dosis restriksi. Penanganan ARDS sesuai dengan

pedoman dari The American College of Chest Physician dengan pemberian

ventilator mekanik dengan volume tidal rendah. Hal ini sesuai dengan penanganan

pada kampanye sepsis bahwa volume tidal rendah yang dianjurkan adalah 6 ml/kg

prediksi berat badan. Beberapa macam aspek penanganan yang lain belum

disepakati oleh para ahli dan masih kontroversi.

27

Page 28: Vap Pada Ards New

28