ARBITRASE

16
KETERKAITAN ARBITRASE DAN PENGADILAN HILDA CONSITA D. 12/328573/HK/19049 ANGGITA M. D. 12/334255/HK/19177 GAZA CARUMNA 12/334262/HK/19179 TURSINA FITRIASTUTI 12/334302/HK/19190 YOTA A. TAMA 12/334313/HK/19195

Transcript of ARBITRASE

KETERKAITAN ARBITRASE DAN PENGADILAN

KETERKAITAN ARBITRASE DAN PENGADILANHILDA CONSITA D.12/328573/HK/19049ANGGITA M. D.12/334255/HK/19177GAZA CARUMNA12/334262/HK/19179TURSINA FITRIASTUTI 12/334302/HK/19190YOTA A. TAMA 12/334313/HK/19195

Latar BelakangSalah satu cara atau sistem penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya murah adalah melalui arbitrase. Arbitrase dikenal sebagai suatu cara penyelesaian melalui fast track dan standard track, sedangkan pengadilan dikenal sebagai complicated track

Banyak pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak yang sepakat apabila terjadi sengketa akan menyelesaikan melalui arbitrase. Namun, dalam praktik, salah satu pihak sering menyalahi kesepakatan tersebut, dan membawa sengketa itu ke pengadilan. Padahal, apabila sudah ada kesepakatan yang dituangkan dalam perjanjian bahwa akan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, ini harus dipatuhi oleh para pihak.

Rumusan MasalahBagaimana keterkaitan antara arbitrase dengan pengadilan?Bagaimana analisis terhadap kasus ?

PembahasanKata arbitrase berasal dari bahasa asing yaitu arbitrare. Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti sama, seperti : arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Perancis) yang berarti kekuasaan menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan.

Pada dasarnya, arbitrase adalah cara yang paling umum digunakan untuk menyelesaikan sengketa komersial dalam lingkup baik transaksi bisnis domestik maupun internasional. Di sini, lembaga peradilan diharuskan menghormati lembaga arbitrase.

Kewajiban pengadilan tersebut ditegakan dalam Pasal 3 jo. Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa: Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa para pihak yang telah terkait dalam perjanjian. Selain itu, pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Hal itu merupakan prinsip limited court enforcement.

Dilarangnya campur tangan pengadilan hanya untuk menegaskan bahwa arbitrase adalah sebuah cara penyelesaian sengketa yang mandiri (independen), dan menjadi kewajiban pengadilan untuk menghormati lembaga arbitrase. Meskipun arbitrase merupakan suatu cara penyelesaian sengketa independen yang terpisah dari pengadilan, tidak berarti bahwa tidak ada kaitan yang erat diantara keduanya.

Jika para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat atau tidak ada ketentuan mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 13 ayat (1)). Ketua Pengadilan Negeri, atas permintaan salah satu (para pihak), dapat mengangkat arbiter tunggal dari daftar nama dari organisasi (Pasal 14 ayat (3) dan (4)). Jika para pihak sudah menunjuk 2 (dua) arbiter dan kedua arbiter tersebut tidak dapat memilih arbiter ketiga, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga atas permohonan salah satu pihak (Pasal 15 ayat (4) dan (5)).

Mekanisme sistem peradilan bagi putusan arbitrase nasional, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase harus diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan diucapkan, dengan sanksi putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan (Pasal 59 ayat (1) dan (4)). Khusus untuk permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Paniter Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 67 ayat (1).

Dalam kegiatan bisnis internasional terdapat dua alasan mengapa pengadilan merupakan sistem yang penting dalam proses kelangsungan arbitrase, yaitu: Putusan arbitrase harus dapat dilaksanakan melalui sistem peradilan negara tersebut. Jadi, sebelum memutuskan penggunaan sebuah lembaga arbitrase, perlu dipelajari sikap dan perilaku pengadilan serta peraturan negara tersebut. Hal itu mengingat bahwa tidak dapat dilaksanakannya putusan arbitrase oleh pengadilan negara tersebut akan membuat proses arbitrase sia-sia.

b. Klausul arbitrase hendaknya secara tegas menyatakan bahwa para pihak setuju atas yurisdiksi setiap pengadilan yang berkompeten terhadap pelaksanaan setiap putusan. Pencantuman klausul tersebut sangat penting meskipun Konvensi New York 1958 telah memberikan jaminan atas pelaksanaan putusan arbitrase di banyak yurisdiksi nasional. Dengan demikian, jika salah satu pihak menang melalui suatu proses arbitrase (dimanapun itu dilakukan), maka ia yakin bahwa pengadilan nasional di setiap negara akan bersedia melaksanakan putusan arbitrase

Kasus : Sengketa antara PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) dan PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI)

GSEI menggugat PHE RT ke pengadilan umum dengan dalil bahwa PHE RT telah wanprestasi dari perjanjian kerja sama pada Joint Operating Body Pertamina-Golden Spike Indonesia Ltd (JOB P-GSIL) yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase. Gugatan tersebut, kemudian dikabulkan oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Analisis Kasus..

Kesimpulan1. Arbitrase membutuhkan dan masih bergantung pada pengadilan, misalnya dalam pelaksanaan putusan arbitrase. Adanya keharusan putusan arbitrase untuk didaftarkan di Pengadilan Negeri menunjukkan bahwa arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. 2. Terhadap sengketa antara PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) dan PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI), penulis berpendapat bahwa GSEI tidak mempunyai itikad baik, karena jelas di dalam klausul perjanjian disebutkan bahwa apabila ada sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, namun GSEI tidak menyalahi perjanjian dengan membawa sengketa itu ke pengadilan.

TERIMA KASIH