Tugas ARBITRASE
-
Upload
desi-lorentz-aryanti -
Category
Documents
-
view
3.064 -
download
21
Transcript of Tugas ARBITRASE
1
ARBITRASE
1. Dasar Hukum
Pengaturan mengenai Arbitrase sudah ada sejak masa penjajahan. Dasar
hukum Arbitrase sebelum kemerdekaan adalah1:
Pasal 615 – 651 Reglement op de Rechtsvordering (RV), Staatsblad 1847: 52.Pasal 377 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Staatsblad 1941: 44.Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), Staatsblad 1927: 227.
Adapun dasar hukum Arbitrase pada masa setelah kemerdekaan adalah2:
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”. Berdasarkan ketentuan ini, pasal 615-651 RV; pasal 377 HIR dan pasal 705 RBG, tetap berlaku.
Undang Undang No. 14/1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam penjelasan pasal 3 kalimat terakhir: “Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase), tetap dibolehkan”
Undang Undang No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung menentukan bahwa “Disamping tugas dan kewenangannya tersebut Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang undang” (Penjelasan Pasal 39 Undang Undang No. 14/1985).
Undang Undang No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Rules and Procedures Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
2. Pengertian dan ruang lingkup
Arbitrase barasal dari bahasa latin, yaitu arbitrare yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan suatu perkara menurut kebijaksanaan.3
1 I Made Widnyana, Hukum Acara Arbitrase, Makalah Disampaikan Dalam Pendidikan Khursus Profesi Advokat (Pkpa) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Dpc Denpasar, 14 Agustus 2009, hal. 4.
2 Ibid.3 Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hal. 96.
2
Berdasarkan ketentuan asal 1 angka 1 Undang-undang No.30/1999 Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersangkutan.
Menurut Black’s Law Dictionary
Arbitration is a process of dispute resolution in which a neutral third party (arbitrator) renders a decision after a hearing at which both parties have an opportunity to be heard. Where arbitration is voluntary, the disputing parties select the arbitrator who has the power to render a binding decision.4
Menurut William H Gill dalam buku The Law Arbitration:
“An Arbitration is the reference of a dispute or difference between not less than two persons for determination after hearing both sides in judicial manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction.”5
Subekti mengatakan bahwa:
“Arbitrase itu adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.”6
HMN Poerwosutjipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase,
menyatakan bahwa “perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, di mana para
pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka
kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang
ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak. “7
4 Black, Henry Campbell, 1990, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition, West Publishing Co., St. Paul Minn.
5 H. Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), Fikahati Aneska, Jakarta, hal. 55.
6 Ibid.7 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.29.
3
Pasal 1 AD BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) arbitrase adalah
memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-sengketa perdata yang
timbul mengenai perdagangan, industry, keuangan, baik yang bersifat nasional
maupun internasional.8
Pasal 1 AD BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia) menentukan
bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan
perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain, serta memberikan suatu
pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang
berkenaan dengan perjanjian.9
Dengan demikian unsur-unsur arbitrase adalah:
1. Adanya kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada pihak
ketiga yang bertindak sebagai wasit melalui proses diluar pengadilan;
2. Ruang lingkup sengketa adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang
dapat dikuasai sepenuhnya, khususnya bidang perdagangan dan keuangan;
3. Putusan tersebut mengikat para pihak yang bersengketa.
Ruang lingkup arbitrase berdasarkan ketentuan pasal 5 UU No.berdasarkan
ketentuan pasal 5 UU No.30 Tahun 1999 adalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun berdasarkan ketentuan Pasal 1 AD BANI, ruang lingkup arbitrase
adalah pada sengketa-sengketa perdata yang timbul mengenai perdagangan, industry,
keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional.
3. Asas dan Tujuan Arbitrase
8 Ibid., hal. 309 Ibid.
4
Asas-asas arbitrase adalah10:
a. Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan secara damai atau sepaham untuk menunjuk seorang atau beberapa
orang arbiter;
b. Asas musyawarah, yaitu setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara
musyawarah, baik antara arbiter dengna para pihak maupun antara arbiter itu
sendiri;
c. Asas limitative, yaitu adanya pembatasan dalam penyelesaian perselisihan
melalui arbitrase terbatas pada perselisihan di bidang perdagangan/bisnis dan
industry dan/atau hak-hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak;
d. Asas final dan binding yaitu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang tidak
dapat dilanjutkan upaya lain, seperti banding atau kasasi.
Adapun tujuan arbitrase adalah untuk menyelesaikan sengketa di bidang
perdagangan/bisnis dan industry dan/atau hak-hak pribadi yang dapat dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil,
tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit yang dapat menghambat
penyelesaian perselisihan.11
4. Mengapa memilih arbitrase?
Sebagian besar pengusaha, terutama pengusaha asing lebih suka
menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka melalui arbitrase daripada
Pengadilan karena beberapa alasan12:
10 Ibid. hal. 32.11 Ibid.12 Erman Rajagukguk, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta,
hal. 1-2.
5
a. Pengusaha asing menganggap bahwa sistem hukum setempat asing bagi mereka;
b. Pengusaha Negara-negara maju beranggapan bahwa hakim-hakim Negara
berkembang tidak menguasai sengketa-sengketa dagang yang melibatkan
hubungan-hubungan niaga dan keuangan internasional yang rumit;
c. Pengusaha Negara-negara maju beranggapan bahwa penyelesaian sengketa
melalui pengadilan akan memakan waktu lama dan ongkos yang besar, karena
proses pengadilan yang panjang dari tingkat pertama sampai tingkat Mahkamah
Agung. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sehingga biaya dan waktu
dapat ditekan;
d. Pengusaha Negara-negara maju enggan menyelesaikan sengketanya di
Pengadilan karena beranggapan bahwa Pengadilan akan bersikap subjektif
kepada mereka, karena sengketa diperiksa dan diadili bukan berdasarkan hukum
Negara mereka dan bukan oleh hakim yang berasal dari Negara mereka;
e. Penyelesaian sengketa di Pengadilan akan mencari siapa yang benar dan siapa
yang salah sehingga dapat merenggangkan hubungan dagang diantara pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dianggap dpat melahirkan
putusan yang kompromistis yang dapat diterima oleh para pihak yang
bersengketa;
f. Penyelesaian sengketa melaui arbitrase bersifat tertutup sehingga tidak ada
publikasi sengketa yang timbul;
Disamping itu kelebihan arbitrase lainnya adalah, para pihak yang
bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri dan untuk ini tentunya akan
dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujuran, keahlian dan
6
profesionalisme dibidangnya masing-masing (dan sama sekali tidak mewakili pihak
yang memilihnya. Ia seorang yang independen dan bukan penasihat hukumnya).13
Namun demikian, arbitrase juga memiliki kelemahan yang antara lain sebagai
berikut14:
a. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua pihak yang merupakan
perusahaan-perusahaan yang bonafide harus sepakat. Seringkali untuk dapat
mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang sulit. Forum arbitrase
mana yang akan dipilih: Arbitrase Internasional Chamber of Commerce di Paris;
American Arbitration Association di Amerika Serikat; Arbitrase ICSID; London
Court of Arbitration; atau Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
b. Pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrse asing. Dewasa ini di banyak
negara, masalah pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing masih
menjadi soal yang sulit.
c. Telah dimaklumi dalam arbitrase tidak selalu ada keterikatan kepada putusan-
putusan (yurisprudensi) arbitrase sebelumnya. Jadi putusan setiap sengketa yang
telah diambil sepertinya dibuang begitu saja, meskipun di dalam putusan tersebut
mengandung argumentasi para ahli-ahli hukum kenamaan/terkemuka. Karena
tidak berlakunya preseden ini, maka logis kemungkinan timbulnya keputusan-
keputusan yang saling berlawanan. Artinya fleksibilitas di dalam mengeluarkan
keputusan tergantung dari kenyataan dan kehendak para pihak.
d. Arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitif terhadap
semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep dan system
13 H. Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit., hal. 63.14 I Made Widnyana, Op. Cit., hal 17.
7
hukum yang berbeda dengan yang ada di setiap negara. Konsep arbitrase di
negara-negara Anglo Saxon akan berbeda dengan yang ada di negara-negara
Kontinental. Kedua konsep inipun saling berbeda dengan konsep yang ada di
negara-negara sosialis. Lagi pula sistem arbitrase ditiap negara berbeda yang
masing-masing dipengaruhi oleh hukum dan struktur hukum masing-masing.
e. Putusan arbitrase selalu tergantung kepada kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para
pihak.
f. Arbitrase mungkin tidak cocok untuk tuntutan yang terdiri dari berbagai pihak.
g. Perlu mendapat perintah pengadilan untuk melaksanakannya, bilamana ada
pihak, terutama yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase tersebut.
h. Klausula dan keputusan Arbitrase bisa dijadikan subyek litigasi.
5. Perjanjian Arbitrase dan Klausula Arbitrase
Perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1313 BW adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.
Adanya perjanjian arbitrase berarti bahwa para pihak yang bersengketa
bermaksud untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase.15 Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 30 Tahun 1999, Perjanjian Arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa kausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
15 H. Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit., hal. 91.
8
Sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999,
perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. “
perjanjian arbitrase merupakan perjanjian assesoir atau perjanjian tambahan dari
suatu perjanjian pokok yang telah dibuat sebelumnya. Perjanjian poknya misalnya
perjanjian jual beli.”16 Adanya perjanjain arbitrase ini membawa akibat hukum
bahwa perjanjian ini mengikat para pihak didalamnya, sehingga penyelesaian
sengketa harus dilakukan dengan cara arbitrase. Hal ini mengakibatkan kompetensi
absolute penyelesaian sengketa berada pada badan arbitrase dan dengan demikian
mengesampingkan kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan mengadili
sengketa.
Perjanjian arbitrase sebagaimana perjanjian hukum lainnya hanya dapat
diubah atau ditambah oleh para pihak dalam perjanjain. Perubahan dan atau
tambahan dapat dilakukan atas persetujuan para pihak dalam perjanjian pada setiap
saat sebelum arbiter menjatuhkan putusannya. Arbiter tidak memiliki wewenang
untuk mengubah isi perjanjian. Segala perubahan dan amandemen harus dilakukan
secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak. Bila perjanjian dibuat dalam
bentuk akta maka amandemen juga harus dibuat dalam bentuk akta.17
Pasal 10 Undang undang No. 30/1999 menentukan bahwa Suatu Perjanjian
Arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini:
a. Meninggalnya salah satu pihak.b. Bangkrutnya salah satu pihak.c. Novasi (pembaharuan hutang).d. Insolvensi (keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak.e. Pewarisan.f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok.
16 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 65.17 H. Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit., hal. 102.
9
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.Dalam perjanjian arbitrase terdapat 2 macam klausa arbitrase, yaitu Pactum
de compromintendo dan acta compromise. Klausula Pactm de compromintendo
dibuat sebelum persengketaan terjadi, dapat bersamaan dengan saat pembuatan
perjanjian pokok atau sesudahnya. Sedangkan acta compromise dibuat setelah
terjadinya sengketa yang berkenaan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Klausula
ini ada setelah sengketa terjadi dan kedua belah pihak setuju bahwa sengketa yang
terjadi akan diselesaikan dengan arbitrase.18
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU No. 30 Tahun 1999, Acta compromise
baru dapat dikatakan sah, apabila perjanjian tertulis itu telah ditanda tangani oleh
para pihak; dan bilamana para pihak tidak dapat menanda tangani perjanjian tertulis
tersebut, maka harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Di samping itu juga harus
memuat:
a. Masalah yang dipersengketakan.b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak.c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase.d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan.e. Nama lengkap sekretaris.f. Jangka waktu penyelesaian sengketa.g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; danh. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
beaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana tersebut di atas,
adalah batal demi hukum.
Contoh klausula standar arbitrase yang diberikan oleh BANI19:
Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan
18 Joni Emirzon, Op. Cit., hal. 100-101.19 H. Priyatna Abdurrasyid, Op. Cit., hal. 72.
10
prosedur arbitrase BANI, yang putusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa sebagai putusan dalam tingkat pertama dan terakhir.
6. Jenis Arbitrase dan Lembaga-lembaga Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui
badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-
aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL
Arbitration Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan
perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur
pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu
disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.20
Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat
permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan
yang mereka tentukan sendiri.21
Ciri dari lembaga arbitrase institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai
perbedaan antara lembaga ini dengan lembaga arbitrase ad-hoc adalah:22
a. Arbitrase institusional sengaja didirikan untuk bersifat permanen, sedangkan
arbitrase ad-hoc bersifat sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai
diputus;
b. Arbitrase institusional sudah ada sebelum sengketa timbul, sedangkan arbitrase
ad-hoc didirikan setelah sengketa timbul;
20 Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 27.
21 Ibid.22 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 48.
11
c. Karena bersifat permanen maka pendirian Arbitrase institusional dilengkapi
dengan susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara
pemeriksaan perselisihan yan pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar
pendirian lembaga tersebut. Sedangkan arbitrase ad-hoc tidak ada sama sekali.
Beberapa lembaga arbitrase nasional dan internasional yang dikenal adalah23:
a. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI);
b. Badan Arbitrase MUamalat Indonesia (BAMUI);
c. Asia-Africa Legal Consultative Committee;
d. The International Centre for Settlement of Investment Disputes;
e. The Court of Arbitration of The International Chamber of Commerce (ICC);
f. USA: The American Arbitration Association;
g. Jepang: The Japan Commercial Arbitration.
7. Permohonan Arbitrase
Permohonan arbitrase dapat diajukan langsung oleh Pemohon atau diwakili
oleh kuasa hukumnya dengan pemberian kuasa khusus. Dalam hal ini sebagaimana
hukum acara perdata, para pihak dapat diwakili oleh kuasa hukumnya dengan
menyerahkan surat kuasa khusus.
Pada umumnya Permohonan Arbitrase, terdiri dari 3 (tiga) bagian utama,
yaitu24:
a. Bagian Pertama: Persona Standi in Judicio:
Pada bagian ini dicantumkan:
1. Nama Instansi yang berwenang memeriksa.
23 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 49.
24 I Made Widnyana, Op. Cit., hal. 26-27.
12
Kepada Yth.Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)Gedung Wahana Graha Lt 2Jalan Mampang Prapatan No. 2Jakarta 12760.
Atau ditujukan:
Kepada Yth. Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Perwakilan......... (Surabaya/Denpasar/Bandung/Pontianak/Medan/Batam/Palembang, sesuai yang tercantum di dalam Perjanjian Arbitrase).
2. Identitas Para Pihak.
Dalam mengisi identitas ini, harus jelas nama dan jabatan dalam perusahaan,
alamat perusahaan dan lain-lain yang dipandang perlu.
a) Bagian Kedua: Fundamentum Petendi (Posita)
Pada bagian kedua ini:
1. Memuat kasus posisi secara jelas, cermat, teratur dan beruntun mengacu pada kontrak sampai pada klaim/tuntutan
2. Didukung fakta/dokumen dengan memberinya kode-kode seperti P1, P2 dan seterusnya.
3. Menunjuk Arbiter yang dikehendaki, atau dibuat permohonan tersendiri.
b) Bagian Ketiga: Petitum (Tuntutan)
Pada bagian ketiga ini:
1. Memuat apa yang menjadi tuntutannya secara rinci sesuai dalil-dalil yang dimuat pada bagian kedua (Posita)
2. Atau mohon putusan yang seadil-adilnya
Demikian pula halnya tanggapan, bentuk atau anatominya sama dengan
Permohonan, yaitu terdiri dari 3 bagian:
a. Bagian Pertama: Persona Standi in Judicio.
13
Sama seperti pada permohonan, isinya adalah:
1. Nama Instansi yang berwenang memeriksa.
Kepada Yth.Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)Gedung Wahana Graha Lt. 2Jalan Mampang Prpatan No. 2Jakarta 12760
2. Identitas Para Pihak.
Dalam mengisi identitas ini, harus jelas nama dan jabatan dalam perusahaan,
alamat perusahaan dan lain-lain yang dipandang perlu
b) Bagian Kedua: Fundamentum Petendi (Posita)
Isi bagian kedua ini, adalah:
1. Tanggapan/pendapatnya tentang fakta-fakta dan permasalahan yang diajukan Pemohon.
2. Rekonvensi (kalau ada), yaitu menuntur balik Pemohon, sehingga kedudukan Termohon dalam rekonvensi akan menjadi Pemohon Rekonvensi, sedangkan Pemohon awal akan menjadi Termohon Rekonvensi.
Dalam Rekonvensi ini, Pemohon Rekonvensi harus menguraikan secara jelas,
terperinci sama seperti permohonan dengan melampirkan bukti-bukti
permohonannya (PR 1, PR 2, dan seterusnya).
1. Dapat menunjuk Arbiter atau dibuat permohonan tersendiri.2. Lampiran dokumen-dokumen pendukung, dengan diberi kode-kode T1, T2, dan
seterusnya.
c. Bagian Ketiga: Petitum (Tuntutan)
Isi bagian ketiga ini adalah:
1. Apa yang menjadi tuntutannya baik dalam Konvensi maupun Rekonvensi.2. Atau memohon putusan yang seadil-adilnya
8. Prosedur Arbitrase25
25 I Made Widnyana, Op. Cit. hal. 25 -32.
14
Proses arbitrase berdasarkan Rules and Procedures BANI, mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
1. Pendaftaran dan penyampaian Permohonan Arbitrase oleh Pemohon .
Pada umumnya, Pemohon merupakan pihak sebagaimana tercantum dalam
suatu perjanjian atau kontrak. Tetapi ada kalanya meskipun tidak tercantum dalam
suatu paerjanjian atau kontrak, seseorang bisa menjadi Pemohon apabila:
a. Pemohon merupakan penerus atas dasar ketetapan hukum (“by operation of
law”) terhadap hak dan kewajiban pihak yang namanya dicantumkan di dalam
perjanjian.
b. Pemohon menjadi pihak dalam suatu perjanjian akibat adanya substitusi dari
pihak yang namanya dicantumkan di dalam perjanjian karena akibat suatu
ketentuan hukum atau adanya consensus untuk novasi.
c. Pihak asal (pertama) menyerahkan hak dan kewajiban sesuai perjanjian kepada
pihak lain termasuk di dalamnya perjanjian arbitrase, dan hak-hak lainnya yang
timbul dari perjanjian asal tersebut.
2. Pembayaran biaya pendaftaran dan biaya arbitrase (perkara).
Biaya pendaftaran harus dibayar oleh Pemohon saat menyampaikan
permohonannya ke BANI. Biaya arbitrase dapat dtanggulangi bersama oleh
Pemohon dan Termohon (para pihak) bila dicantumkan secara tegas dalam perjanjian
yang dibuat. Apabila tidak ada ketentuan demikian, semua biaya harus ditalangi dan
dibayar terlebih dahulu oleh Pemohon, agar sidang arbitrase dapat segera dimulai.
Selama biaya (perkara) arbitrase belum dilunasi, penyelenggaraan sidang-sidang
tidak akan diadakan.
3. Pendaftaran permohonan dan pemberian nomor register oleh Sekretaris BANI .
15
Bila dipandang telah memenuhi syarat untuk diperiksa oleh BANI,
permohonan tersebut selanjutnya didaftarkan dan diberi nomor register.
4. Ketua BANI menunjuk seorang atau lebih Sekretaris (Panitera).
Untuk memperlancar tugas-tugas, seperti penyampaian dokumen kepada para
pihak, Ketua BANI menunjuk Sekretaris (Panitera) yang jumlahnya bisa lebih dari
seorang tergantung keperluan.
5. Tanggapan Termohon .
Dalam memberikan tanggapan, Termohon disediakan waktu paling lama 30
hari sejak dia menerima permohonan dari Pemohon. Bila dalam waktu 30 hari
Termohon belum siap memberikan jawaban atau tanggapannya, Termohon dapat
mohon perpanjangan waktu kepada Ketua BANI yang dapat memperpanjangnya
paling lama lagi 14 hari.
Seperti halnya Pemohon, Termohon ada kalanya juga tidak tercantum dalam
perjanjian atau kontrak.
Ada tiga hal harus diperhatikan, bila pihak tertentu dianggap merupakan
termohon yang sama sekali tidak disebut-sebut sebagai pihak dalam perjanjian,
yakni:
a. Pihak yang dalam kenyataannya tidak selalu merupakan pihak disebut dalam
perjanjian, dan namanya tidak dicantumkan.
b. Pihak tersebut melanjutkan karena memperoleh hak dan kewajiban pihak dalam
perjanjian karena akibat hukum.
c. Pihak dibebani tanggung jawab yang merupakan “addemdum” (“secondary”)
atas tanggung jawab pihak asal.
6. Replik .
16
Terhadap tanggapan yang diberikan oleh Termohon, Pemohon dapat
memberikan replik dalam waktu paling lama 30 hari setelah menerima tanggapan
7. Duplik .
Demikian juga terhadap replik dari Pemohon, Termohon dapat memberikan
tanggapan lagi yang dinamakan duplik, dalam jangka waktu paling lama 30 hari
sejak menerima replik dari Termohon.
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai arbiter sebagaimana diatur dalam
Pasal 12 UU No. 39 Tahun 1999 adalah:
Yang dapat ditunjuk atau diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat
kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan
arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15
tahun.
Adapun Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunju
atau diangkat sebagai arbiter.
Penyelenggaraan sidang-sidang arbitrase dilaksanakan sesuai dengan tata
cara sebagaimana diatur dalam Rules & Procedures BANI dan Undang undang No.
30/1999, yaitu:
1. Sifat Pemeriksaan Tertutup
17
Seluruh persidangan dilakukan tertutup untuk umum, dan segala hal yang
berkaitan dengan penunjukan arbiter, termasuk dokumen-dokumen, laporan/catatan
sidang-sidang, keterangan-keterangan saksi dan putusan-putusan, harus dijaga
kerahasiaannya diantara para pihak, para arbiter dan BANI, kecuali oleh peraturan
perundang-undangan hal tersebut tidak diperlukan atau disetujui oleh semua pihak
yang bersengketa.
Sifat tertutupnya pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau mejelis arbitrase,
juga diatur dalam pasal 27 Undang Undang No. 30/1999. Penjelasan dari pasal ini
menyebutkan: Ketentuan bahwa pemeriksan dilakukan secara tertutup adalah
menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang
pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat
kerahasiaan penyelesaian arbitrase.
2. Bahasa Yang Digunakan .
Bahasa yag digunakan dalam proses pemeriksaan adalah Bahasa Indonesia,
kecuali para pihak menyatakan sebaliknya. Dalam keadaan-keadan tertentu, seperti
adanya pihak-pihak asing dan/atau arbiter-arbiter asing yang tidak dapat berbahasa
Indonesia, dan/atau dimana transaksi yang menimbulkan sengketa dilaksanakan
dalam bahasa lain, Majelis dapat memutuskan untuk menggunakan bahasa Inggris
atau bahasa lain.
Apabila dokumen asli yang diajukan atau dijadikan dasar oleh para pihak
dalam pengajuan kasus yang bersangkutan dalam bahasa selain Indonesia, maka
Majelis berhak untuk menentukan dokumen-dokumen asli tersebut apakah harus
disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia, atau dari bahasa Indonesia ke bahasa
lain. Namun demikian, apabila para pihak setuju, atau Majelis menentukan, bahwa
18
bahasa yang digunakan dalam perkara adalah bahasa selain bahasa Indonesia, maka
Majelis dapat meminta agar dokumen-dokumen diajukan dalam bahasa Indonesia
dengan disertai terjemahan otentik dari penerjemah tersumpah dalam bahasa Inggris
atau bahasa lain yang digunakan.
Apabila Majelis dan/atau masing-masing pihak memerlukan bantuan
penerjemah selama persidangan, hal tersebut harus disediakan oleh BANI atas
permintaan Majelis, dan biaya penerjemah harus ditanggung oleh para pihak yang
berperkara sesuai yang ditetapkan oleh Majelis.
Sedang bahasa yang digunakan dalam putusan, harus dibuat dalam bahasa
Indonesia, dan apabila diminta oleh suatu pihak atau sebaliknya dianggap perlu oleh
Majelis, dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya. Dalam hal bahwa naskah asli
putusan dibuat dalam bahasa Inggris atau bahasa lainnya, suatu terjemahan resmi
harus disediakan oleh BANI untuk maksud pendaftaran dan biaya untuk itu harus
ditanggung oleh para pihak berdasarkan penetapan Majelis.
3. Sidang Pertama
Pada hari sidang I (pertama), Ketua Majelis Arbitrase meminta Para Pihak
yang bersengketa untuk melakukan mediasi sesuai dengan Surat Keputusan Ketua
BANI No. 06.054/X/SK-BANI/PA tanggal 10 Oktober 2006 tentang Prosedur
Mediasi/Konsiliasi terkait Arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Oleh
Ketua Majelis sidang lalu ditunda untuk memberi kesempatan kepada para pihak
melakukan Mediasi yang hasilnya akan dilaporkan pada sidang berikutnya. Apabila
Mediasi tersebut berhasil, maka kesepakatan yang telah dicapai tersebut dilaporkan
pada sidang berikutnya untuk ditetapkan sebagai Ketetapan/Keputusan Majelis.
19
Bilamana tidak berhasil, maka sidang dilanjutkan untuk memeriksa perkara arbitrase
tersebut.
Bilamana dalam sidang I (pertama) Pemohon tidak hadir tanpa alasan yang
sah, maka Majelis dapat menyatakan Permohonan Arbitrase batal.
Bilamana Termohon lalai/tidak hadir, Majelis memanggil secara tertulis
untuk hadir dipersidangan berikutnya. Bila tidak hadir untuk ke dua kali tanpa alasan
yang sah, Majelis dapat mengabulkan Permohonan dari Pemohon.
4. Mendengar para pihak
Para pihak yang bersengketa mempunyai hak yang sama dan juga mendapat
kesempatan yang sama untuk didengar oleh pihak arbiter atau majelis. Dalam hal ada
keterlibatan pihak ketiga, maka pihak ketiga juga harus diberi kesempatan yang sama
untuk didengar.
5. Keterlibatan Pihak Ketiga
Keterlibatan dari pihak ketiga dimungkinkan apabila terdapat unsur
kepentingan yang terkait, keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa dan disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa
sengketa yang bersangkutan (Lihat pasal 30 Undang undang N0. 30/1999).
Setelah mendengar keterangan pihak-pihak yang bersengketa, termasuk pihak
ketiga bilamana ada, maka pemeriksan dilanjutkan dengan meneliti alat-alat bukti
tertulis yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Alat-alat bukti tertulis
tersebut sebelumnya harus sudah dilegalisir dengan meterai secukupnya.
6. Mendengar para Saksi/Saksi Ahli
20
Para saksi atau saksi ahli sebelum memberikan keterangan, terlebih dahulu
disumpah menurut agama atau kepercayaannya atau dengan mengucapkan janji.
Kesaksian juga dapat biberikan secara tertulis.
7. Penyampaian Kesimpulan oleh para pihak dan penutupan sidang arbitrase.
Setelah pemeriksaan dianggap sudah cukup, para pihak diberi kesempatan
untuk menyampaikan kesimpulannya masing-masing dan selanjutnya sidang ditutup.
8. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan
dinyatakan ditutup (pasal 57 Undang undang No. 30/1999).
9. Penyelenggaraan Arbitrase dengan Prosedur Singkat.
Disamping prosedur sebagaimana disebut diatas arbitrase juga dapat
dilaksanakan dengan prosedur singkat. Dasar hukum Penyelenggaraan Arbitrase
dengan Prosedur Singkat diatur dalam Undang Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan dan Prosedur (Rules and
Procedures) BANI tahun 2003, Surat Keputusan Ketua BANI No. 06.055/X/SK-
BANI/PA tanggal 10 Oktober 2006 tentang Peraturan Penyelenggaraan Arbitrase
dengan Prosedur Singkat.26
Dalam penyelenggaraan arbitrase dengan prosedur singkat, jumlah tuntutan
dari masing-masing pihak tidak melebihi Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah), jumlah mana tidak termasuk bunga atas jumlah tuntutan, biaya yang
berhubungan dengan arbitrase dan biaya-biaya hukum lainnya.27
Yang membedakan prosedur arbitrase singkat dengan prosedur biasa adalah
pada jumlah tuntutan yang tidak melebihi Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah), pemeriksaan oleh satu arbiter, serta adanya pembatasan waktu yang
26 I Made Widnyana, Op. Cit., hal. 33.27 I Made Widnyana, Op. Cit., hal. 34.
21
lebih singkat untuk masing-masing tahap pemeriksaan dibandingkan pemeriksaan
dengan prosedur biasa
10. Pelaksanaan dan pembatalan putusan arbitrase
Suatu putusan arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional apabila putusan
itu dikeluarkan di wilayah Indonesia dan apara pihak yang berselisih adalah sama-
sama warga Negara Indonesia dan menggunakan peraturan arbitrase yang berlaku di
Indonesia.28
Adapun putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dibuat di suatu
Negara yang bersangkutan dan pelaksanaannya di luar negeri.29
Berdasarkan ketentuan Pasal 59 UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase
harus didaftarkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan
diucapkan. Apabila putusan tersebut tidak didaftarkan berakibat putusan arbitrase
tidak dapat dilaksanakan. Putusan Arbitrase bersifat final dan binding.
“Putusan arbitrase wajib didaftarkan oleh salah seorang anggota arbiter atau
seorang kuasauntuk dan atas nama para anggota arbiter.”30 Sebagaimana diatur
dalam Pasal 61 dan 61 UU No. 30 Tahun 1999. dalam hal para pihak tidak
melaksnakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa. Perintah tersebut diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftar kepada panitera pengadilan negeri.
Eksekusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara
perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
28 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 161-162.29 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 162.30 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 166.
22
Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi ,
apabila putusan arbitrase tidak didasarkan pada persetujuan para pihak bahwa
sengketa diantara mereka diselesaikan melalui arbitrase dan apabila sengketa
tersebut bukan merupakan jurisdiksi arbitrase. Artinya sengketa tersebut bukan
merupakan sengketa dibidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Terhadap penolakan tersebut, tidak terbuka upaya hukum apapun.
Ketua Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa putusan arbitrase yang
dimohonkan eksekusi, kecuali apabila ternyata putusan arbitrase tersebut tidak
berkaitan dengan sengketa perdagangan/bisnis dan/aatu materi putusan bertentangan
dengan kepentingan umum atau ketertiban umum.31
Terhadap putusan arbitrase internasional, sesuai ketentuan pasal 65 UU No.
30 Tahun 1999 Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat.
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di
wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu Negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional.
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
31 H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Op. Cit., hal. 169.
23
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah
putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyampaian berkas permohonan
pelaksanaan harus disertai dengan :
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa Negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengenai
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak dapat dilakukan
upaya hukum banding maupun kasasi. Namun apabila putusan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan
Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.
Putusan arbitrase memang bersifat final dan binding, namun demikian UU
No. 30 Tahun 199 mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Terhadap putusan
arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
24
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
Panitera Pengadilan Negeri.
Daftar Pustaka
1. Buku:
Erman Rajagukguk, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra
Pratama, Jakarta.
Gatot Soemartono, 2006, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta .
H. Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS), Fikahati Aneska, Jakarta.
H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, Mengenal Arbitrase Salah Satu
Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Raja Grafindo Persada, Jakarta
25
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Makalah
I Made Widnyana, Hukum Acara Arbitrase, Makalah Disampaikan Dalam
Pendidikan Khursus Profesi Advokat (Pkpa) Perhimpunan Advokat Indonesia
(Peradi) Dpc Denpasar, 14 Agustus 2009.
3. Kamus
Black, Henry Campbell, 1990, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition,
West Publishing Co., St. Paul Minn.
4. Undang-undang
UU No. 30 Tahun 199 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa
Alternatif.