Materi Kuliah Arbitrase

68
BAHAN KULIAH ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Oleh : Dr. Imam Haryanto, Drs., SH., MH. SESSION I BAB I KETENTUAN UMUM ISTILAH DAN DEFINISI Undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) menyerahkan kekuasaan kehakiman pada Badan Peradilan, yaita peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yarag masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri. Undang-undang ini menentukan pula bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Out of Court Settlement (OCS)) atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempuyai kekuatan eksekutorial setelah izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan (Ps. 3 ayat (I) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman). Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR. Dikatakan bahwa perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final, artinya tidak boleh dilakukan banding 1

description

arbitrase

Transcript of Materi Kuliah Arbitrase

Page 1: Materi Kuliah Arbitrase

BAHAN KULIAH

ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

Oleh : Dr. Imam Haryanto, Drs., SH., MH.

SESSION I

BAB IKETENTUAN UMUM

ISTILAH DAN DEFINISI

Undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 (UU Pokok Kekuasaan Kehakiman) menyerahkan kekuasaan kehakiman pada Badan Peradilan, yaita peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yarag masing-masing diatur dalam undang-undang tersendiri.

Undang-undang ini menentukan pula bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Out of Court Settlement (OCS)) atas dasar perdamaian atau arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempuyai kekuatan eksekutorial setelah izin atau perintah untuk eksekusi (executoir) dari Pengadilan (Ps. 3 ayat (I) UU Pokok Kekuasaan Kehakiman).

Penyelesaian sengketa melalui perdamaian berakar dalam budaya masyarakat. Dilingkungan masyarakat adat (tradisional) dikenal runggun adat, kerapatan adat, peradilan adat atau peradilan desa. Lembaga musyawarah, mufakat dan tenggang rasa merupakan falsafah negara yang digali dari hukum adat, dipratekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Hukum positif mengatur perdamaian ini didalam pasal 130 ayat (1) HIR. Dikatakan bahwa perdamaian boleh dilakukan antara para pihak yang bersengketa dan perdamaian itu dituangkan dalam akte perdamaian, yang mempunyai kekuatan hukum tetap seperti putusan hakim dan bersifat final, artinya tidak boleh dilakukan banding atau kasasi. Didalam perjalanan waktu, ikatan kekeluargaan yang berdasarkan paguyuban (gemeenschappelijke verhoudingen) memudar dan berkembang kearah masyarakat yang peternbayan (zakelijke gemeenschap) dimana perhitungan untung rugi lebih menonjol, maka lembaga peradilan dijadikan wadah untuk menyelesaikan sengketa, karena perangkat hukum yang tersedia telah memperoleh bentuk yang lengkap dan sempurna.

Namun dilingkungan masyarakat pedagang yang membutuhkan gerak cepat, terlibat dalam hubungan-hubungan global, maka perhitungan untung rugi terjadi dalam momen- momen dalam hitungan detik, bukan jam, hari dan bulan serta perhitungan biaya menjadiunsur penting, maka jika timbul sengketa dibutuhkan penyelesaian yang dan tepat serta dapat dilaksanakan (eksekusi). Memasuki era globalisasi dirasakan kebutuhan untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perbaikan perangkat hukum dalam bidang ekonomi

1

Page 2: Materi Kuliah Arbitrase

keuangan beserta penyelesaian sengketa yang timbul daripadanya sangat mendesak dan karena itu perlu disempurnakan.

Arbitrase yang diatur di dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengandung ruang lingkup kerangka yang tertuang dalam Bab I sampai dengan Bab XI, yaitu sebagai berikut :

I. Ketentuan umum.II. Mengatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa melalui cara musyawarah

kedua belah pihak yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

III. Memberikan suatu ikhtisar khusus dari persyaratan yang harus dipenuhi untuk arbitrase dan pengangkatan arbiter serta mengatur mengenai hak ingkar daripada pihak bersengketa.

IV. Mengatur tata cara untuk berencana di hadapan majelis arbitrase dan dimungkinkannya arbiter mengambil putusan provisionil atau putusan sela, penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang, atau menjual barang yang sudah rusak serta mengenai pendengaran saksi dan saksi ahli. Seperti halnya dengan keputusan pengadilan maka dalam putusan arbitrase juga sebagai kepa1a putusan harus mencantumkan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

V. Menentukan syarat lain yang berlaku mengenai putusan arbitrase. Dalam Bab ini diatur pula kemungkinan terjadi suatu persengketaan mengenai wewenang arbiter, pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional dan penolakan perintah pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam tingkat pertama dan terakhir, dan Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui Arbitrase berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusan para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka undang-undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional.

VI. Menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam 1 (satu) paket agar undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan keputusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan.

VII. Mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal antara lain:i) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;ii) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang

sengaja disembunyikan pihak lawan; atau putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan

2

Page 3: Materi Kuliah Arbitrase

Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

VIII. Mengatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau dan kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.

IX. Mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.X. Mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan,

namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

XI. Menyebutkan bahwa dengan berlakunya undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941: 44 ) dan Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pengertian – pengertian yang terdapat dalam Pasal 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa :

(1) Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

(2) Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik.

(3) Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kausual arbitras e yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitarse tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

(4) Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.

(5) Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

(6) Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

(7) Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang

3

Page 4: Materi Kuliah Arbitrase

bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

(8) Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

(9) Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.

(10)Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Pasal 2Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.

Pasal 3Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Pasal 4(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan

diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka.

(2) Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.

4

Page 5: Materi Kuliah Arbitrase

(3)Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.

Pasal 5(1)Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang

perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang- undangan tidak dapat di diadakan perdamaian.

SESSION II

BAB II

5

Page 6: Materi Kuliah Arbitrase

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

A. Pengertian SengketaSengketa atau konflik hakekatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu

perbedaan dan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih. (Bambang Sutiyoso, 2006; 3).

Sengketa sebagai perselisihan mengenai masalah fakta hukum atau politik dimana tuntutan atau penyertaan suatu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lain. Dalam arti lebih luas sengketa internasional dikatakan ada bila perselisihan seperti ini melibatkan pemerintah, juristic persons (badan hukum) atau individu dalam bagian dunia yang berlainan (JG Merilis, 1986; 1).

B. Cara Penyelesaian SengketaDari berbagai macam cara penyelesaian sengketa yang ada, pada dasarnya dapat

dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu secara adjudikatif, konsensual dan quasi adjudikatif (Bambang Sutiyoso, 2006; 7)1. Ajudikatif

Mekanisme penyelesaian adjudikatif ditandai dengan kewenangan pengambilan keputusan oleh pihak ketiga dalam sengketa yang berlangsung diantara para pihak. Pihak Kketiga dapat bersifat Voluntary (sukarela) ataupun involuntary (tidak sukarela). Pada umumnya penyelesaian cara ini menghasilkan putusan yang bersifat win-lose solution. (Bambang Sutiyoso, 2006; 8)

a. Adjudikatif PublikAdjudikatif public dilakukan melalui institusi pengadilan negara (litigasi). Pihak ketiga disini bersifat invokluntary, karena hakimnya sudah disiapkan oleh pengadilan dan para pihak tidak bisa memilih dan menentukan sendiri hakimnya.

b. Adjudikatif PrivatAdjudikatif privat dilakukan melalui arbitrase (perwasitan).; pihak ketiga disini bersifat voluntary, karena arbiter dapat dipilih dan ditentukan sendiri oleh pihak-pihak yang bersengketa

2. KonsensusMekanisme penyelesaian secara konsensual ditandai dengan cara penyelesaian secara kooperatif/kompromi untuk mencapai solusi yang bersifat win-win solution. Kehadiran pihak ketiga kalaupun ada tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Termasuk dalam hal ini misalnya negosiasi (perundingan), mediasi (penengahan) dan konsiliasi (permufakatan).

3. Quasi AjudikatifKombinasi antara unsur konsensual dan adjudikatif. Termasuk dalam mekanisme ini antara lain Med-Arb, Mini Trial, Ombudsman dan lain-lain.

6

Page 7: Materi Kuliah Arbitrase

Di samping pembagian seperti di atas, penyelesaian sengketa dapat pula dibedakan menjadi dua, yaitu:1. Jalur litigasi (ordinary court)

Merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum (law approach). Pada dasarnya jalur litigasi merupakan the last resort atau ultimum remedium, yaitu sebagai upaya terakhir apabila penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tidak menghasilkan solusi/penyelesaian.

Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan mendapat kritik yang cukup tajam dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan dianggap mengalami beban yang yang terlampau berat (overload), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap kepentingan umum. Atau dianggap terlampau formalistic dan terlampau teknis (technically).

Dengan lebih rinci, Ridwan Khairandy dkk, menyebutkan beberapa faktor penyebab tidak disukainya penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah:

a. Lamanya proses beracara dalam persidangan penyelesaian perkara perdata;

b. Lamanya penyelesaian sengketa dapat juga disebabkan oleh panjangnya tahapan penyelesaian sengketa, yakni proses beracara di Pengadilan Negeri, kemudian masih dapat banding ke Pengadilan Tinggi dan Kasasi ke MA. Bahkan proses masih dapat lebih panjang jika diajukan Peninjauan Kembali.

c. Lama dan panjangnya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tersebut tentunya membawa akibat yang berkaitan dengan tingginya biaya yang diperlukan (legal cost)

d. Siding pengadilan di PN dilakukan secara terbuka, padahal di sisi lain kerahasiaan adalah sesuatu yang diutamakan dalam kegiatan bisnis (dalam hal sengketa bisnis)

e. Seringkali hakim yang menangani atau menyelesaikan perkara dalam bisnis kurang menguasai substansi hukum sengketa yang bersangkutan atau dengan kata lainhakim kurang profesiaonal

f. Adanya citra yang kurang baik terhadap dunia peradilan

2. Jalur non Litigasi (extra ordinary court)Merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Salah

satu cara yang sekarang sedang berkembang dan diminati adalah melalui lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution). Pada umumnya mekanisme penyelesaian melalui jalur non-litigasi dianggap sebagai premium remedium atau first resort (upaya awal dalam menyelesaikan sengketa.

Urgensi penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilandasi oleh berbagai

7

Page 8: Materi Kuliah Arbitrase

faktor-faktor yang menempatkannya dengan berbagai keunggulan. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Faktor ekonomisPenyelesaian sengketa di luar pengadilan lebih menguntungkan secara ekonomis, karena biayanya relative murah daripada dilakukan di pengadilan dan waktunya lebih cepat. Waktu penyelesaian sengketa juga berpengaruh terhadap biaya yang dikeluarkan.

b. Faktor budaya hukumUnsure budaya hukum adalah nilai-nilai dan sikap-sikap anggota masyarakat yang berhubungan dengan hukum. Budaya hukum masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi arti penting penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan. Budaya tradisional yang menekankan kepada komunalitas, kekerabatan, harmoni, primus inter pares telah mendorong penyelesaian sengketa bisnis tanpa melalui pengadilan.

c. Faktor luasnya ruang lingkup permasalahan yang dapat dibahasADR memiliki kemampuan untuk membahas ruang lingkup atau agenda permasalahan secara luas dan komprehensif. Hal ini dapat terjadi karena aturan permainan dikembangkan serta ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan para pihak yang berselisih.

d. Faktor pembinaan hubungan baik para pihakADR menekankan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi mereka yang menghendaki pentingnya pembinaan hubungan baik antara manusia baik yang sedang berlangsung maupun yang akan dating.

e. Faktor prosesProses ADR yang lebih fleksibel dibandingkan beracara di pengadilan lebih memiliki kemampuan untuk menghasilkan kesepakatan yang mencerminkan kepentingan dan kebutuhan para pihak (pareto optimal atau win-win solution).

Dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, di jelaskan bahwa:

(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

(3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

8

Page 9: Materi Kuliah Arbitrase

tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.

(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengeketa untuk menunjuk seorang media tor.

(5) Setelah penunjukan mediator oleh Lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator sebagaima na dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan penyelesaian melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

C. Bentuk – bentuk Penyelesaian Sengketa AlternatifPenyelesaian sengketa alternative (Alternative Dispute Resolution / ADR) dapat

dilakukan dengan berbagai cara, berikut ini diuraikan secara singkat masing-masing bentuk ADR baik yang telah disebutkan oleh UU Nomor 30 Tahun 1999 maupun berbagai varian lainnya:

1. KonsultasiMerupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu

9

Page 10: Materi Kuliah Arbitrase

yang disebut klien dengan pihak lain yang disebut konsultan, yang memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan atau kebutuhannya.

2. Negosiasi (negotiation)Fisher &Ulry mengemukakan bahwa negosiasi adalah proses komunikasi 2 arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

3. Mediasi (penengahan)Adalah peenyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (impartial) yang turut aktif memberikan bimbingan atau arahan guna mencapai penyelesaian, namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang guna mencapai penyelesaian, namun ia tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif penyelesaian sengketa tetap berada di tangan para pihak, dengan demikian hasil penyelesaian sengketa bersifat kompromi.

4. Konsolisasi (permufakatan)penyelesaian dengan intervensi konsiliator, dimana konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian yang selanjutnya diajukan dan ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaannya sangat bergantung dari itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri,

5. ArbitraseMerupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter) yang diberi kewenangan penuh oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa, sehingga berwenang mengambil keputusan yang bersifat final dan mengikat (binding).

6. Good Office (jasa baik)Penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang memberikan jasa baik berupa penyediaan tempat atau fasilitas-fasilitas untuk digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk melakukan musyawarah atau perundingan guna mencapai penyelesaian. Disini pihak ketiga bersifat pasif.

7. Summary Jury Trial (pemeriksaan juri secara sumir)Penyelesaian sengketa khas Negara-negara yang peradilannya memakai system jury, khususnya USA. Suatu sengketa diajukan kepada jury yang sebenernya untuk diputuskan. Keputusan jury ini sifatnya tidak mengikat dan para jury tidak mengetahui bahwa keputusannya tidak mengikat.

8. Mini – Trial (persidangan mini)Hampir sama dengan summary jury trial, bedanya hanya tanpa adanya jury penasihat (advisory jury). Dalam proses ini, pengacara membuat suatu presentasi ringkas mengenai perkara masing-masing dihadapan suatu panel yang terdiri dari

10

Page 11: Materi Kuliah Arbitrase

atas wakil masing-masing pihak untuk merundingkan dan menyelesaiakn perkara tersebut.

9. Rent a judgePenyelesaian sengketa dengan cara para pihak menyewa seorang hakim pengadilan, biasanya yang sudah pensiun untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak membuat suatu kontrak yang isinya menyatakan bahwa mereka akan mentaati keputusan hakim tersebut. Jadi pada dasarnya yang mengikat disini bukan putusannya tetapi kontrak itu sendiri

10. Mediasi-Arbitrase (Med-Arb)Merupakan bentuk kombinasi penyelesaian sengketa anatara mediasi dan arbitrase atau merupakan proses penyelesaian sengketa campuran yang dilakukan setelah proses mediasi tidak berhasil.Caranya sebelum sengketa diajukan kepada arbitrator, terlebih dahulu harus diajukan kepada mediator. Mediator membantu para pihak untuk melakukan perundingan guna mencapai penyelesaian. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan, maka mediator memberikan pendapat agar penyelesaian sengketa tersebut diajukan kepada arbitrator. Yang dapat bertindak sebagai arbitratorbisa mediator yang bersangkutan atau orang lainnya.

D. Sifat – sifat Alternatif Penyelesaian Sengketa / APS

Berbeda dengan pengadilan dan arbitrase, maka APS lebih mirip dengan penyelesaian sengketa secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Keterlibatan pihak ketiga dalam APS adalah dalam rangka mengusahakan agar para pihak mencapai sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. Memang ada pembedaan antara mediasi dan konsolidasi dan APS. Perbedaannya terletak pada aktif tidaknya pihak ketiga dalam mengusahakan para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Dilihat dari hal tersebut sebenernya penyelesaian sengketa melalui APS merupakan hal yang sangat ideal, mengingat keadilan muncul dari para pihak. Hal ini berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase di mana keadilan muncul dari hakim atau arbiter.

Sifat lain dari penyelesaian sengketa APS adalah kesukarelaan. Tanpa adanya kesukarelaan di antara para pihak, maka APS tidak akan bisa terlaksana. Kesukarelaan di sini meliputi kesukarelaan terhadap mekanisme penyelesaiannya (yaitu melalui APS) dan kesukarelaan isi kesepakatan.

E. Alternatif Penyelesaian Sengketa / APS di Indonesia

Lembaga-lembaga APS yang telah dibentuk di Indonesia antara lain: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), Pusat Penyelesaian Perselisihan Bisnis Indonesia (P3BI), Indra (Prakarsa Jakarta). Berikut ini akan dibahas lembaga APS secara singkat.

11

Page 12: Materi Kuliah Arbitrase

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)Melalui KADIN, BANI didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Menurut

anggaran dasarnya, BANI berwenang menyelesaikan sengketa perdata antara pengusaha Indonesia atau asing. BANI juga berwenang untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat “blinded advise”

Meskipun BANI berada dibawah naungan KADIN, tetapi masih tetap mandiri dan netrak. Anggarannya sebagian besar berasal dari biaya yang dibayar oleh para pihak yang bersengketa.

BANI menangani penyelesaian sengketa, abik melalui arbitrase sebagai kelembagaan maupun arbitrase secara ad-hoc. Dalam bentuk pertama, para pihak yang berperkara memilih BANI dan peraturan mengenai prosedurnya. Sedangkan dalam bentuk yang kedua, para pihak dapat membentuk suatu tribunal, menunjuk seorang arbiter, dan membuat prosedur sendiri atau memilih untuk memakai prosedur BANI.

2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)BAMUI dibentuk tanggal 23 Oktober 1993. Yurisdiksi BAMUI meliputi

penyelesaian sengketa yang timbul dari perdagangan, industry, keuangan, jasa, dan lain-lain, dimanapun para pihak menyerahkan secara tertulis penyelesaian sengketanya ke BAMUI.

Pendirian BAMUI berakar dari ajaran yang lazim dalam masyarakat islam, yaitu ajaran ishlahyang mendukung penyelesaian sengketa secara damai dengan mengenyampingkan perbedaan yang menimbulkan masalah.

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui BAMUI dapat dilakukan dengan arbitrase institusional atau arbitrase ad-hoc. Putusan BAMUI adalah final dan mengikat, dan tidak dipublikasikan kecuali atas keinginan para pihak yang terlibat.

3. Pusat Penyelesaian Bisnis Indonesia (P3BI)Sama halnya dengan BANI atau BAMUI, kelahiran P3BI (februari 1996)

merupakan reaksi positif atas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cepat. Mekanisme dan prosedur dalam penanganan sengketa, dan juga biaya-biaya tidak berbeda dengan pola yang digunakan oleh BANI dan BAMUI.

Dalam menangani sengketa, P3BI mempunyai “kausul P3BI” antara lain:a) Apabila, sebagai akibat dari kontrak ini, timbul suatu sengketa antara kedua

belah pihak, maka upaya pertama dalam menyelesaikan sengketa adalah melalui musyawarah.

b) Apabila, musyawarah tidak berhasil, kedua belah pihak sepakat untuk menyerahkan sengketa ke P3BI agar diselesaikan secara kompromis dengan pengertian yang menguntungkan kedua belah pihak dengan bantuan negosiasi, mediasi atau konsiliasi, menurut pilihan para pihak.

c) Apabila dipakai suatu kompromi, maka hasil kompromi tersebut akan mengikat kedua belah pihak. Apabila antara kedua belah pihak tidak diperoleh suatu persetujuan, baik melalui kompromi, negosiasi, maupun mediasi atau konsiliasi,l maka para pihak sepakat untuk membawa perselisihan mereka ke arbitrase P3BI.

F. Kekuatan Mengikat APS

12

Page 13: Materi Kuliah Arbitrase

Berbeda dengan arbitrase atau pengadilan, dimana ada pihak ketiga yang mengambil keputusan, kecuali para pihak yang terlibat dengan sengketa. Yang menjadi tekanan adalah penyelesaian sengketa dilakukan berdasarkan kesepakatan. Kesepakatan inilah yang hendak dicari dalam APS. Masalahnya, sejauh mana kesepakatan ini mempunyai kekuatan hukum (mengikat). Apabila sudah ada kesepakatan ternyata salah satu pihak wanprestasi, maka bagaimana agar pihak yang wanprestasi tersebut dituntut untuk melakukan apa yang menjadi prestasi.

Dalam kaitan ini perlu adanya kekuatan mengikat dari kesepakatan APS. Dengan adanya kekuatan mengikat kekuatan APS ini, maka tidak perlu lagi diulang atau diperiksa oleh pengadilan atau arbitrase. Di sini Negara melalui undang-undang mempunyai peran yang sangat penting. Peran ini adalah mengupayakan agar kesepakatan APS dapat disamakan dengan putusan pengadilan atau putusan arbitrase, dimana kesepakatan tersebut dapat mempunyai kekuatan eksekutorial. Hal ini sebetulnya bukanlah hal yang aneh mengingat dalam hukum acara perdata, akta perdamaian pun dapat dimintakan penetapan.

SESSION III

BAB IIISYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAK INGKAR

13

Page 14: Materi Kuliah Arbitrase

A. Syarat – syarat Arbitrase sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pasal 7Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.

Pasal 8(1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat

tercatat, telegram, teleks, faksimili, e- mail atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.

(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas :a. nama dan alamat para pihak;b. penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang berlaku;

c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut, apabila ada;

e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbitrasi

atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil.

Pasal 9(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase

setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.

(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :a. masalah yang dipersengketaan;b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase;

d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;e. nama lengkap sekretaris;f. jangka waktu penyelesaian sengketa;

g. pernyataan kesediaan dari arbiter; danh. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung

14

Page 15: Materi Kuliah Arbitrase

segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.

Pasal 10Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :a. meninggalnya salah satu pihak;b. bangkrutnya salah satu pihak;c. novasi;d. insolvensi salah satu pihak;e. pewarisan;f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;g. bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga

dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atauh. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Pasal 11(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk

mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termasuk dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri.

(2) Pengadilan Ne geri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.

B. Syarat Pengangkatan Arbiter

Yang dimaksud dengan Arbiter sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 angka & UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang tunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Mengenai persyaratan Arbiter diatur dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 yang menyebutkan “Yang d apat ditunjuk atau diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat” :a. cakap melakukan tindakan hukum;b. berumur paling rendah 35 tahun;c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan

derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan

arbitrase; dan

15

Page 16: Materi Kuliah Arbitrase

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Ayat (2) dalam Pasal yang sama dikatakan, Hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.

Pasal 13(1) Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan

arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.

(2) Dalam suatu arbitrase ad-hoc bagi setiap ketidakkesepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.

Pasal 14(1) Dalam hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan

diperiksa dan diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang pengangkatan arbiter tunggal.

(2) Pemohon dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedis harus mengusulkan kepada pihak termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai arbiter tunggal.

(3) Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter tunggal.

(4) Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.

Pasal 15(1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para pihak memberi wewenang kepada dua

arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga.(2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diangkat sebagai ketua

majelis arbitrase.(3) Apabila dalam waktu palin g lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemberitahuan

diterima oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis

16

Page 17: Materi Kuliah Arbitrase

arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua belah pihak.

(4) Dalam hal kedua arbiter yang telah ditunjuk masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.

(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak dapat diajukan upaya pembatalan.

Pasal 16(1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat menerima atau menolak penunjukan

atau pengangkatan tersebut.(2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib

memberitahukan secara tertulis kepada pihak d alam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau pengangkatan.

Pasal 17(1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak

secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.

(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang telah diperjanjikan bersama.

Pasal 18(1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh satu pihak untuk duduk dalam majelis

arbitrase, wajib memberitahukan kepada pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.

(2) Seorang yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), haru s memberitahukan kepada para pihak mengenai penunjukannya.

Pasal 19(1) Dalam hal arbiter telah menyatakan menerima penunjukan atau pengangkatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal16, maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.

17

Page 18: Materi Kuliah Arbitrase

(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada para pihak.

(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.

(4) Dalam hal permohonan penarikan diri mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pasal 20Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak.

Pasal 21Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.

Seorang Arbiter dapat pula ditunjuk dengan beberapa cara yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

a. Melalui kesepakatan diantara para pihak dalam perjanjian arbitraseb. Ditunjuk berdasarkan klausula dalam kontrak oleh orang ketiga misalnya

ketua suatu lembaga professional seperti BANIc. Ditunjuk oleh pengadilan

C. Hak Ingkar

Pasal 22(1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan ingkar apabila terdapat cukup

bukti otentik yang menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugas nya tidak secara bebas dan akan berpihak dalam mengambil keputusan.

(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.

Pasal 23(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri

18

Page 19: Materi Kuliah Arbitrase

diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan kepada arbiter yang

bersangkutan.(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase diajukan kepada majelis

arbitrase yang bersangkutan.

Pasal 24(1) Arbiter yang diangkat tidak dengan penetapan pengadilan, hanya dapat

diingkari berdasarkan alasan yang baru diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbiter yang bersangkutan.

(2) Arbiter yang diangkat dengan penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya penerimaan penetapan pengadilan tersebut.

(3) Pihak yang keberatan terhadap penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain , harus mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak pengangkatan.

(4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (10) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya hal tersebut.

(5) Tuntutan ingkar harus secara tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan tuntutannya.

(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai dengan cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.

Pasal 25(1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan oleh salah satu pihak tidak disetujui

oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan negeri yang putusannya mengikat kedua belah pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.

(2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri memutuskan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan, seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk pengangkatan arbiter yang digantikan.

(3) Dalam hal Ketua Pengadilan negeri menolak tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya.

Pasal 26(1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan dengan meninggalnya arbiter dan

wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan Undang-undang ini.

19

Page 20: Materi Kuliah Arbitrase

(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur hukum.

(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbiter pengganti akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang bersangkutan.

(4) Dalam hal seorang arbiter tunggal atau ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang kembali.

(5) Dalam hal anggota majelis yang diganti, pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib antara arbiter.

SESSION IV

BAB IVACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE

A. Acara Arbiter

20

Page 21: Materi Kuliah Arbitrase

Prosedur pemeriksaan di arbitrase pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan di pengadilan karena sama-sama mekanisme adjudikatif. Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, pada prinsipnya pemeriksaan perkara di arbitrase melalui tiga tahapan, yaitu: tahap persiapan (pra pemeriksaan), tahap pemeriksaan (penentuan) dan tahap pelaksanaan.

Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain meliputi:

1. Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis2. Penunjukan arbiter3. Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon4. Jawaban surat tuntutan oleh termohon5. Perintah arbiter agar para pihak menghadap siding arbitrase Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya siding

pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkannya putusan oleh arbiter.

Tahap pelaksanaan, yaitu tahap untuk merealisir putusan arbiter yang final dan mengikat.

Hukum acara yang berlaku dalam pemeriksaan arbitrase diatur mulai Pasal 27 – 51 UU Nomor 30 Tahun 1999.

Pasal 27Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.

Pasal 28

Bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.

Pasal 29(1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama

dalam mengemukakan pendapat masing-masing.(2) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa

khusus.

Pasal 30Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya

21

Page 22: Materi Kuliah Arbitrase

disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh arbit er majelis arbitrase yang memeriksa sengeka yang bersangkutan.

Pasal 31(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk

menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.

(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.

(3) Dalam hal para pihak yang telah memilih acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau mejalis arbitrase yang akan menentukan.

Pasal 32(1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat

mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.

(2) Jangka waktu pelaksanaan putusan provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.

Pasal 33Arbiter atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu;b. sebagai akibat ditetapkan putusan provisionil atau putusan sela lainnya; atauc. dianggap perlu oleh arbiter atau mejalis arbitrase untuk kepentingan

pemeriksaan.

Pas al 34a. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan

lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.

b. Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud

22

Page 23: Materi Kuliah Arbitrase

dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan acara dari lembaga dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.

Pasal 35Arbiter atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 36(1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus diajukan secara tertulis.(2) Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan apabila disetujui para pihak atau

dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 37(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis atau majelis arbitrase,

kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mendengar keterangan saksi atau

mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat tertentu di luar tempat arbitrase diadakan.

(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli di hadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan dalam hukum acara perdata.

(4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam pemeriksaan tersebut.

Pasal 38

(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase.

(2) Surat tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :a. nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak; b. uraian singkat tentang sengketa dis ertai dengan lampiran bukti-bukti; dan

c. isi tuntutan yang jelas.

Pasal 39Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon.

23

Page 24: Materi Kuliah Arbitrase

Pasal 40(1) Segera setelah diterimananya jawaban dari termohon atas perintah arbiter

atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon.

(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.

Pasal 41Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud d alam Pasal 40 ayat (2).

Pasal 42(1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama termohon

dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menanggapi.

(2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase bersama -sama dengan pokok sengketa.

Pasal 43Apabila pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur arbiter atau majelis arbitrase dianggap selesai.

Pasal 44(1) Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.

(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon ju ga tidak datang menghadapi di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.

Pasal 45(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan,

arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian

24

Page 25: Materi Kuliah Arbitrase

antara para pihak yang bersengketa.(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai,

maka arbiter atau majelis arbitrase memb uat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.

Pasal 46(1) pemeriksaan terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak berhasil.(2) Para pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara

tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan perndiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau maje lis arbitrase.

(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

Pasal 47(1) Sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat mencabut surat

permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari termohon, perubahan atau penambahan

surat tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut dasar-dasar yang menjadi dasar permohonan.

Pasal 48(1) Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180

(seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.(2) Dengan persetujuan para pihak dan apabila diperlukan sesuai Pasal 33,

jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.

B. Saksi dan Saksi Ahli

Pasal 49(1) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak

dapat dipanggil seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.

(2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak

25

Page 26: Materi Kuliah Arbitrase

yang meminta. (3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah.

Pasal 50(1) Arbiter atau mejalis arbitrase dapat meminta bantuan seorang atau lebih saksi

ahli untuk memberikan keterangan tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa.

(2) Para pihak wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh para saksi ahli.

(3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut pada para pihak agar dapat ditanggapi secara tert ulis oleh para pihak yang bersengketa.

(4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas, atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbiter dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.

Pasal 51Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris.

Beberapa hal penting dalam proses pemeriksaan arbitrase menurut UU Nomor 30 Tahun 1999, antara lain:

1. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup untuk menjaga kerahasiaan para pihak (Pasal 27)

2. Menggunakan bahasa Indonesia (Pasal 28)3. Mendengar para pihak (audi et alteram partem) (pasal 29)4. Bebas menentukan arbiter dan ketentuan acara mengenai arbitrase (Pasal 31

dan 34)5. Pemeriksaan harus selesai palig lama dalam waktu 180 hari (Pasal 48)

SESSION V

BAB VPENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE

Putusan arbitrase dapat dibedakan atas putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasioanl. Untuk menentukan apakah putusan arbitrase itu merupakan

26

Page 27: Materi Kuliah Arbitrase

putusan arbitrase nasional atau internasional, didasarkan pada prinsip kewilayahan (territory) dan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian sengketa arbitrase tersebut.

Disamping berdasarkan tempat dijatuhkan putusan arbitrase, juga didasarkan pada hukum yang dipergunakan para pihak dalam menyelesaikan sengketa arbitrase tersebut. Kalau mempergunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketanya, walaupun putusan dijatuhkan di dalam wilayah hukum RI, putusan tersebut tetap akan merupakan putusan arbitrase internasional. Sebaliknya walaupun para pihak yang bersengketa itu bukan kewarganegaraan Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai dasar penyelesaian sengketa arbitrasenya. Maka putusan arbitrase yang demikian merupakan putusan arbitrase nasional.

Pasal 52Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian.

Pasal 53

Terhadap pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun.

Pasal 54

(1) Putusan arbitrase harus memuat :b. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”;c. nama lengkap dan alamat para pihak;c. uraian singkat sengketa;d. pendirian para pihak;e. nama lengkap dan alamat arbiter;f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai

keseluruhan sengketa;g. pendapat tiap-tiap arbitrase dalam hal terdapat perbedaan pendapat

dalam majelis arbitrase;h. amar putusan;i. tempat dan tanggal putusan; danj. tanda tangan arbiter atau mejelis arbitrase.

(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.

(4) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka waktu putusan tersebut harus

27

Page 28: Materi Kuliah Arbitrase

dilaksanakan.

Pasal 55Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sid ang untuk mengucapkan arbitrase.

Pasal 56(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan

hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap

penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.

Pasal 57Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.

Pasal 58Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengaju kan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.

SESSION VI

BAB VIPELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

A. Pengaruh Putusan

28

Page 29: Materi Kuliah Arbitrase

Pada hakekatnya pelaksanaan putusan merupakan realisasi dari kewajiban pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan arbitrase. Hukum eksekusi hanya diperlukan apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, oleh karena itu pelaksanaannya dilakukan secara paksa oleh pengadilan.

Setelah arbiter membuat putusan finalnya, putusan tersebut tidak dapat dipersoalkan lagi. Hanya dapat dirubah jika dikembalikan kepadanya, kecuali dalam soal biaya. Karena menurut kebiasaan, andaikata jangka waktu arbitrase yang di tetapkan (Pasal 48 UU No. 30 Tahun 1999, 6 bulan misalnya) terlewati dan diperpanjang menurut kesepakatan, arbitrase berhak dan perlu diberi tambahan biaya (keadaan semacam ini banyak terjadi pada arbitrase “ad-hoc”. Lain kalau arbitrase dilakukan melalui lembaga seperti BANI yang telah menetapkan pembiayaan dengan table yang komperhensif). Pengadilan tidak dapat merubah atau mengganti sebuah putusan arbitrase, kecuali kalau terjadi pelanggaran pidana dan harus dapat dibuktikan. Selanjutnya putusan bersifat mengikat pihak ketiga yang mempunyai klaim (Pasal 30 UU No. 30 Tahun 1999).

B. Putusan Tidak memindahkan Status Benda-Benda Tidak Bergerak/Hak Milik

Hak milik nyata atau pribadi tak dapat dipindah tangankan sebagai akibat suatu putusan. Para pihak dapat diarahkan (apabila ada kewenangan) untuk melaksanakan atau melakukan pemindahan hak tertentu dalam sengketa melalui instansi yang terkait, misalnya tanah, rumah, saham dan lain-lain. Jadi para pihak melalui persidangan berhak menyepakati bahwa putusan dapat menetapkan hal yang berkaitan dengan hak hukum, misalnya hak atas tanah yang mungkin jadi objek sengketa.

C. Putusan Sebagai Bukti

Sebuah putusan yang sah dan dapat dilaksanakan merupakan bukti konklusif mengenai fakta-fakta yang ditemukan oleh arbiter. Sebvuah putusan juga merupakan bukti yang menentukan hak antara para pihak dan juga sebagai bukti hak atas property yang dipersengketakan.

Sebuah putusan hanya berlaku terhadap para pihak yang terkait dan tidak dapat diakui sebagai bukti terhadap pihak yang ketiga. Tidak pula suatu putusan merupakan bukti berkaitan dengan reputasi sesorang.

D. Bunga (Uang) Dalam Putusan

Arbiter mempunyai wewenang untuk menetapkan memerintahkan pembayaran sejumlah % bunga atas sejumlah uang yang diputuskan untuk dibayarkan. Bunga tersebut dapat sama besar dengan tingkat bunga yang berlaku dipasaran dan perbankan.

29

Page 30: Materi Kuliah Arbitrase

E. Pelaksanaan Putusan

Undang-undang menetapkan bahwa putusan akan mengikat hanya terhadap para pihak yang terlibat secara langsung dan terhadap pihak ketiga yang mempunyai klai. Yang dimaksud dengan “pelaksanaan” suatu putusan adalah pelaksanaan substansi putusan. Pelaksanaan putusan harus diselesaikan dengan car-cara yang jujur dan benar, dan sebaliknya setiapupaya melaksanakan putusan yang cenderung menyimpang, akan menjadikan pelaksanaannya gugur menurut hukum.

Putusan dapat dilaksanakan sebagian pada suatu waktu dan suatu tempat, dan sebagian lagi di waktu dan tempat yang lain. Jika salah satu pihak meninggal sebelum putusan dilaksanakan, maka pihak yang berkewajibanharus melaksanakananya, meskipun ahli waris (atau wakilnya) tidak disebutkan didalam putusan, karena suatu putusan menciptakan kewajiban hukum. Ahli warispun harus melaksanakan kewajiban pihak yang telah meninggal kecuali bila kewajiban ini semata-mata hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang meninggal.

Bila arbiter memberi pengarahan yang melampaui kewenangannya, maka putusannya dapat dikesampingkan. Juga suatu pengarahan arbiter yang tak pasti dapat berakibat kemungkinan untuk dikesampingkan.

Adakalanya dalam praktek perlu untuk diperhitungkan bilamana suatu putusan tidak dapat dilaksanakan. Disebabkan sebagai berikut:

(1) putusan diterbitkan secara tidak tertulis, dan dengan demikian nyata-nyata menyalahi ketentuan arbitrase.

(2) Jika putusan itu hanya berbentuk suatu pernyataan/pengumuman.(3) Putusan tidak jelas, juga tata cara melaksanakannya.(4) Putusan merupakan putusan “asing/internasional”; fatwa MA harus diperoleh

berdasarkan undang-undang (Baca Perma 1/1990 berkaitan dengan Konvensi New York 1958).

F. Pelaksanaan Melalui Juru Sita

Tindakan dapat dilakukan dalam bentuk-bentuk yang berbeda, menurut ketentuan-ketentuan didalam suatu putusan, baik melalui suatu tindakan untuk memperoleh kembali sejumlah uang, atau suatu tindakan untuk melaksanakan kontrak secara khusus, atau suatu putusan untuk mencegah dilakukannya sebuah tindakan.

G. Pelaksanaan Putusan Bersifat Khusus

30

Page 31: Materi Kuliah Arbitrase

Pengadilan memutuskan pelaksanaan khusus putusan arbitrase dengan cara yang sama seperti dalam hukum kontrak. Jika putusan berkaitan dengan pelaksanaan suatu tindakan khusus (selain membayar sejumlah uang) dan kemudian pelaksanaan tidak dilakukan dengan memadai, pengadilan berwenang memerintahkan suatu pelaksanaan secara khusus. Juga berhak memerintahkan pelaksanaan secara khusus suatu putusan yang tidak berlaku sebagian, jika bagian lainnya yang sah dapat dengan jelas dibedakan.

H. Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 Pasal 59 – 64.

Pasal 59(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan

diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.

(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.

(5) Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.

Pasal 60Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

Pasal 61Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa.

31

Page 32: Materi Kuliah Arbitrase

Pasal 62(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 diberikan dalam waktu paling

lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.

(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.

(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan atbitrase.

Pasal 63Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitra se yang dikeluarkan.

Pasal 64Putusan arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksankaan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

I. Arbitrase Internasional

Menurut Pasal 1 angka 9 UU Nomor 30 Tahun 1999 “Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembagaarbitrase atau arbiter peroranagan diluar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional”.

Pengakuan dan pelaksanaan terhadap keputusan arbitrase asing didasarkan pada pasal 65 – 69 UU Nomor 30 Tahun 1999.

Pasal 65 menyebutkan: “Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan negeri, Jakarta Pusat”.

Secara lebih rinci Pasal 66 menjelaskan bahwa “Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut” :

32

Page 33: Materi Kuliah Arbitrase

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrasi Internasional.

b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.

c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Teknis dari pelaksanaan putusan arbitrase internasional diatur dalam Pasal 67 yaitu:

(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan :a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai

ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;

b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan

c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa segera bahwa negara pemohon terkait pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Pasal 68(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrasi Internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi.

(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana

33

Page 34: Materi Kuliah Arbitrase

dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan kasasi.

(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.

Pasal 69(1) Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya.

(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.

(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentuka n dalam Hukum Acara Perdata.

Suatu putusan eksekusi arbitrase internasional baru dapat dilaksanakan eksekusinya dengan putusan Ketua PN Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relative berwenang melaksanakannya. Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi yang mana tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.

SESSION VII

BAB VIIPEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE

DAN MENGENYAMPINGKAN PUTUSAN ARBITRASE

I. Pembatalan Putusan Arbitrase

34

Page 35: Materi Kuliah Arbitrase

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, dalam artian tidak ada upaya hukum seperti perlawanan, banding, kasasi atau peninjauan kembali. Namun karena beberapa hal dimungkinkan pembatalan putusan arbitrase tersebut. Pembatalan putusan arbitrase ini dapat dilakukan jika terdapat “hal-hal yang bersifat luar biasa”.

Dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut” :a. surat atau dokumen yang diaju kan dalam pemeriksaan, setelah putusan

dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan; atauc. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan ole h salah satu pihak

dalam pemeriksaan sengketa.

Selanjutnya secara rinci dalam Pasal 71 dan Pasal 72 UU No 30 Tahun 1999 dijelaskan bahwa:

Pasal 71Permohonan pembatalan putusan arbitrasi harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.

Pasal 72

(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.

(3) Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.

(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.

II. Mengenyampingkan Putusan ArbitrasseMengenyampingkan suatu putusan merupakan suatu hal yang lebih serius bagi

para pihak daripada membatalkan putusan tersebut. Sebagaimana dinyatakan diatas mengenyampingkan suatu putusan menyebabkan seluruh proses arbitrase

35

Page 36: Materi Kuliah Arbitrase

menjadi nihil dan percuma. Terdapat lebih dari enam alasan untuk menyampingkan suatu putusan yang secara singkat diuraikan sebagai berikut:(1) Putusan tersebut tidak berlaku(2) Putusan tersebut batal, karena proses arbitrase berlangsung secara tidak

sesuai dengan kesepakatan.(3) Suatu kesalahan hukum pada suatu putusan. Kealahan tersebut harus

berbentuk materi, atau ada suatu dokumen dilampirkan pada putusan tersebut yang memuat usulan hukum yang keliru.

(4) Bukti yang baru ditemukan kemudian (discovery-novum) dan ada kesepakatan untuk diajukan kemudian.

(5) Ketika arbiter melakukan penyimpangan secara sepihak. “penyimpangan” dalam hal ini termasuk penyimpangan secara sengaja dan dapat dianggap sebagi tindak pidana/korupsi. Termasuk disini segala sesuatu yang membuat proses perkaraberlawanan dengan keadilan. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa bilamana terjadi penyimpangan, dan majelis terdiri dari beberapa arbiter, maka bilamana putusan diterbitkan secara kesepakatan penuh, maka menurut hukum walaupun putusan tersebut kurang sempurna dalam hukum tidak merupakan suatu penyimpangan.

(6) Ketika arbitrase dan/atau putusannya diterbitkan secara tidak layak atau perilaku yang tidak layak dari para pihak.

SESSION VIII

BAB VIII BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER

Pasal 73Tugas arbiter berakhir karena :

a. putusan mengenai sengketa telah diambil;

36

Page 37: Materi Kuliah Arbitrase

b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau; atau

c. para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.

Pasal 74(1) Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan

kepada arbiter berakhir.(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling

lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya salah satu pihak.

Pasal 75(1) Dalam hal arbiter meninggal dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau

pemberhentian seorang atau lebih arbiter, para pihak harus mengangkat arb iter pengganti.

(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentin gan, mengangkat seorang atau lebih arbiter pengganti.

(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang telah diadakan.

BAB IXBIAYA ARBITRASE

Pasal 76(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase. Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

meliputi :a. honorarium arbiter;b. biaya saksi dan atau saksi ahli yang dikeluarkan oleh arbiter;

37

Page 38: Materi Kuliah Arbitrase

c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang dipelrukan dalam pemeriksaan sengketa; dan

d. biaya administrasi.

Pasal 77(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak yang kalah.(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan sebagian, biaya arbitrase dibebankan

kepada para pihak secara seimbang.

Yurisdiksi kebijaksanaan arbiter tentang biaya dapat bervariasi karena perjanjian arbitrase yang berbeda memberikan persyaratan yang berbeda terhadap biaya. Namun demikian kebijaksanaan apapun yang ditetapkan oleh arbiterwajib ia berpedoman kepada hukum dan kewajaran.

Menilai kebebasan arbiter menetapkan biayanya, tergantung dari perjanjian arbitrase (kecuali bila biaya ditetapkan oleh suatu lembaga arbitrase seperti BANI):a. Diam mengenai biayab. Menyerahkan kebijaksanaan kepada arbiter tentang biayac. Minta arbiter untuk menilai biaya, ataud. Membuat persyaratan yang jelas pihak mana yang dibebankan membayar biaya.

Arbiter berhak dan memiliki kewenangan dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun untuk memutuskan sendiri berkaitan dengan masalah biaya. Ia dapat menetapkan suatu “lump sum” untuk biaya. Tetapi kewenangan sebaiknya melalui kesepakatan dengan para pihak secara khusus.

Imbalan jasa arbiter biasanya ditetapkan pada saat sengketa mulai diajukan dan sejauh itu merupakan pengaturan yang paling baik. Ketika memutuskan dan menetapkan imbalan jasa arbiter, imbalan jasa tersebut harus dipisahkan dari biaya-biaya lain. Pada umumnya arbiter dalam prakteknya memberitahukan pada para pihak kapan putusan tersebut siap untuk diterbitkan dengan pembayaran imbalan jasanya dan menyatakan jumlahnya. Ia mempunyai hak menahan putusan dan dokumen-dokumen lain yang terkait dalam kasus tersebut sampai imbalan jasanya lunas dibayar. Tetapi ia tidak dibenarkan menahan dokumen yang dimasukan sebagai bukti pada waktu dengar pendapat.

Harus ada suatu kontrak yang jelas atau tersirat antara semua pihak dan arbiter untuk pembayaran imabalan. Selanjutnya arbiter pun berhak atas pembayaran biaya tambahan bilamana waktu arbitrase yang telah disepakati ternyata perlu diperpanjang.

BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 78Sengketa yang pada saat Undang-undang ini berlaku sudah diperiksa kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini.

38

Page 39: Materi Kuliah Arbitrase

Pasal 79Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama.

Pasal 80Sengketa yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuataan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 81Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement of de Rechtsvodering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 77 Reglement Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,

39

Page 40: Materi Kuliah Arbitrase

Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglement Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 82Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

BAB XIIKOMPETENSI ARBITRASE DAN KONFLIK YURISDIKSI

Berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di Indonesia disamping Pengadilan Negeri, masih ada lingkungan peradilan lain yang secara resmi diakui oleh negara Indonesia, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan TUN, Pengadilan Niaga dan Pengadilan Militer. Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai kompetensi atau kewenangan masing-masing, baik kompetensi absolute dan kompetensi relative.

40

Page 41: Materi Kuliah Arbitrase

Kompetensi absolute adalah kewenangan badan peradilan dalam memeriksa dan mengadili mengenai perkara tertentu secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lainnya, baik dalam lingkungan peradilan yang sama maupun berbeda. Kompetensi relative adalah kewenangan dari badan peradilan sejenis dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara atas dasar letak atau lokasi wilayah hukumnya.

A. Kompetensi Arbitrase

Arbitrase diatur secara khusus dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa. Dalarn ketentuan Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Ini berarti bahwa setiap pejanjian yang mencantumkan klausula arbitrase atas suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak menghapuskan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase tersebut.

Adapun objek pemeriksaan Arbitrase disebutkan dalarn Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, yaitu: “Sengketa yang dapat diselesaikan meialui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pibak yang bersengketa”.

Penjelasannya tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan, akan tetapi jika dihubungkan dengan Pasal 66, termasuk ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan HAKI.

B. Konflik Yurisdiksi

Kofflik yudsdiksi atau sengketa kewenangan mengadili dapat terjadi terutama antara badan peradilan umum dengan arbitrase dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang mengandung klausula arbitrase.

Dalam Pasal 3 UU No.30 Tahun 1999, disebabkan bahw Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pasal 11 ayat (1) mempertegas yurisdiksi absolute arbitrase, dengan lebih menegaskan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak dari para pihak yang telah terkait dalam perjanjian arbitrase untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri. Klausul perjanjian arbitrase semestinya berlaku asas pacta sunt servanda, yaitu berlaku mengikat sebagai undang-undang di antara para pibak yang terlibat dalam perjanjian tersebut (Pasal 1338 KUHPerdata).

41

Page 42: Materi Kuliah Arbitrase

Penegasan tersebut dapat dijumpai pula dalam yurisprudentsi Mahkamah Agung Nomor 3179/K/Pdt/I984 yang menyatakan bahwa dalam hal ada klausula arbitrase, Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam konpensi maupun rekonpensi.

Akan tetapi, kalau dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 30 tahun 1999 yang menyatakan “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini", membuka kemungkinan adanya intervensi pengadilan terhadap suatu perkara yang mengandung klausul arbitrase. Misalnya dalam hal berkaitan dengan pelaksanaan putusan arbitrase sebagaimana diatur dalam Bab VI, mulai dari Pasal 59 sampai 69 UU Nomor 30 Tahun 1999. Demikian pula dalam pengangkatan arbiter kalau para pihak tidak mencapai kesepakatan, Ketua PN dapat melakukan intervensi, yaitu dengan menunjuk arbiter atau majelis arbiter Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU Nomor 30 Tahun 1999.

Mesidpun demikian, memang ada salah satu aliran yang menyatakan bahwa suatu klausul arbitrase adalah bukan ketertiban umum, artinya klausul arbitrase tidak mutlak menyingkirkan kewenangan pegadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang timbul dari perjanjian. Aliran ini secara tersirat dapat dilihat dalam putusan Hooge Raad (HR) tanggal 8 Januari 1925, yang intinya bahwa kalusul arbitrase tidak bersifat absolute, klausul tersebut harus dipertahankan para pihak jika timbul sengketa. Namun, apabila salah satu pihak mengajukan sengketa ke Pengadilan, pengadilan tetap berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut, selama pihak tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap adanya klausula arbitrase tersebut.

BAB XIIIMEDIASI DAN NEGOSIASI

A. MEDIASI

I. Pengertian dan Karakteristik Mediasi

Mediasi berasal dari bahasa Inggris “mendiation" atau penengahan, yaitu penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau

42

Page 43: Materi Kuliah Arbitrase

penyelesaian sengketa secara menengahi. Christopher W Moore mengemukakan bahwa mediasi adalah intervensi dalam sebuah sengketa oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang besengketa, bukan merupakan bagian dari kedua belah pihak dan bersifat netral Pihak Ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pibak yang bertikai agar secara sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam sebuah persengketaan.

Dalam Black’s law dictionary, disebutkan sebagai berikut “mediation is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps, disputing parties to reach an agreement. The Mediator has no power to impose a decision on the parties”.

Mediasi ini sebenernya diatur dalam pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa, berturut-turut dari ayat 1 sampai 9 menyebutkan :(1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui

alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.

(3) Dalam hal sengketa atau pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.

(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjukan seorang mediator.

(5) Setelah penunjukan mediator lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.

(6) Usaha penyelesaian sengketa melalui sebagaimana dinaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.

(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

43

Page 44: Materi Kuliah Arbitrase

(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesal dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.

(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka para pibak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melatui lembaga arbitrase atau arbitrase ad-hoc.

Mediator dalam hal ini dapat dibedakan 2 macam, yaitu mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak dan mediator yang dftunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga Atemative penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak.

Pada dasarnya mediasi mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan pengadilan

2. Mediator terlibat dan cliterima oleh para pibak yang bersengketa di dalarn perundingan.

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian

4. Mediator bersifat pasif dan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa, sehingga tidak tedibat dalam menyusun dan merumuskan rancangan atau proposal kesepakatan

5. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan beriangsung

6. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

II. Syarat-syarat Keberhasilan Mediasi

Erman Rajaguguk mengemukakan bahwa mediasi akan berhasil bila memilild hal-hal sebagai berikut :1. Para pihak ingin melanjutkan hubungan bisnis mereka2. Para pihak mempunyai kepentingan yang sama untuk menyelesaikan sebuah

sengketa mereka dengan cepat3. Litigasi dianggap oleh para pihak akan memakan waktu yang panjang, mahal dan

akan menimbulkan pandangan buruk bagi kedua belah pihak karena adanya publikasi dan lagi belum tentu menang

4. Walaupun para pihak dalam keadaan emosi, proses mediasi dianggap mereka sebagai tempat bertemu dan menyampaikan kepentingan masing-masing.

5. Waktu adalah inti dari penyelesaian6. Mediator yang baik akan mampu niembuat kedua belah phak berkomunikasi,

Mediasi tidak berhasil bila salah satu pihak mengajukan qugatan atau klaim sembrono dan pihak lain merasa ia akan menang melalui litigasi. Begitu juga. mediasi akan gagal bila salah satu pihak menunda-nunda penyelesaian sengketa selama mungkin, salah satu pihak atau kedua belah pihak memang beritikad buruk,

44

Page 45: Materi Kuliah Arbitrase

III. Prosedur Mediasi

Garry Goodpaster merincikan prosedur mediasi sebagai berikut :1. Tahap Pertama : Menciptakan Forum

a. Mengadakan pertemuan bersamab. Pernyataan pembukaan mediatorc. Membimbing para pihakd. Menetapkan aturan dasar perundingane. Mengembangkan hubungan dan kepercayaan di antara para pihakf. Pernyataan-pernyataan para pihakg. Para pihak mengadakan atau melakukan hearing dengan mediatorh. Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi informasii. Menciptakan interaksi model dan disiplin

2. Tahap Kedua: Pengumpulan dan pembagian informasiDalam tahap ini, mediator akan mengadakan pertemuan-pertemuan (caucus-caucus) secara terpisah, guna : a. Mengembangkan informasi lanjutanb. Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai keinginan atau kepentingan

para pihakc. Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingand. Membimbing para pihak dalam tawar menawar penyelesaian masalah

3. Tahap Ketiga: Penyelesaian MasalahDalam tahap ketiga, mediator dapat mengadakan pertemuan-pertemuan

bersama atau terpisah sebagai kelanjutan dan pertemuan sebelumnya, dengan maksud untuk : a. Menyusun dan menetapkan agendab. Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesian masalahc. Meningkatkan kerjasamad. Melakukan identifikasi dan klarifikasi masalah e. Mengadakan piiihan penyelesaian f. Membantu melakukan pilihan penaksiran g. Membantu para pihak dalam menaksir, menilai, dan membuat prioritas

kepentingan-kepentingan mereka

4. Tahap Keempat: Pengambilan Keputusan a. mengadakan caucus-caucus dan pertemuan-pertemuan bersama b. Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para pibak

mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah.c. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaand. Mengkonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian.e. Membantu para pihak untuk membandingkan proposal penyelesaian masalah

dengan pilihan di luar perjanjian.

45

Page 46: Materi Kuliah Arbitrase

f. Mendorong atau mendesak para pilhak untuk menerima pemecahan masalahg. Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win solution dan tidak

hilang muka. h. Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa mereka i. Membantu para pihak membuat pertanda perjaniian.

IV. Institusionalisasi Mediasi Dalam Sistem Peradilan

lnstitusionalisasi mediasi sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang integral dalam proses peradilan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang sebelumnya di dahului Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan Dengan Cara Mediasi.

B. Negosiasi

I. Pengertian dan KarakteristikPada dasarnya negosiasi adalah fact of life atau keseharian. Setap orang melakukan

negosiasi untuk mendapatkan apa yang diinginkan dari orang lain. Negosiasi berasal dari bahasa Inggris negotiation artinya perundingan. Dalam bahasa sehari-hari negosiasi sepadan dengan istlah berunding, bermusyawarah atau bermufakat. Orang yang mengadakan perundingan disebut negosiator.

Garry Goadpaster mengemukakan, bahwa negosiasi adalah suatu proses untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa sebagaimana manusia itu sendiri. Fisher & Ulry memberi batasan negosiasi sebagai proses komunikasi 2 arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun berbeda, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

Pada umumnya negosiasi digunakan dalam sengketa yang tidak terlalu pelik, dimana para pihak masih beritikad baik dan bersedia untuk duduk bersama memecahkan masalah.

II. Teknik-teknik NegosiasiBeberapa bentuk teknik negosiasi yang dikenal selama ini antara lain:

1. Teknik Negosiasi kompetitifa. Diterapkan untuk negosiasi yang bersifat alot b. Mengajukan permintaan yang tinggi di awal negosiasi c. Menjaga tuntutan tetap tinggi sepanjang prosesd. Konsesi yang diberikan sangat langka atau terbatase. Perunding lawan dianggap musuhf. Menggunakan cara-cara yang berlebihan untuk menekan pihak lawang. Negosiator fidak memiliki data-data yang baik dan akurat

46

Page 47: Materi Kuliah Arbitrase

2. Teknik Negosiasi Kooperatifa. Mengganggap negosiator lawan sebagai mitra bukan musuhb. Para pihak saling menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama dan mau

bekerjasamac. Tujuan negosiator adalah penyelesaian sengketa yang adil berdasar analisis

yang objektf dan atas fakta hukum yang jelas

3. Teknik negosiasi Lunak (soft)a. Menempatkan pentingnya hubungan baik antar pihakb. Tujuannya untuk mencapai kesepakatanc. Memberi konsesi untuk menjaga hubungan baikd. Mempercayai perundinge. Mudah mengubah posisif. Mengalah untuk mencapai kesepakatang. Beresiko manakala menghadapi perunding keras

4. Teknik Negosiasi Keras (Hard)a. Negosiator lawan dianggap sebagai musuhb. Tujuannya adalah kemenanganc. Menuntut konsesi sebagai prasyarat dari hubungan baikd. Keras terhadap orang maupun masalahe. Tidak percaya terhadap perunding lawanf. Menuntut perotehan sepihak sebagai harga kesepakatan (win lose)g. Memperkuat posisi dan menerapkan tekanan

5. Teknik Megosiasi InterestBaseda. Sebagai jalan tengah antara soft and bardb. Mempunyai 4 komponen Dasar yaitu people, interest, option/solution and

objective criteria.

III. Syarat-syarat Keberhasilan Negosiasi

Negosiasi yang baik dan efektif adalah negosiasi yang didasarkan pada data real yang akurat dan factual, sehingga setiap argument dan kehendaknya tidak tedepas dari fakta yang ada. Disamping itu juga harus ditopang dengan negosiator yang handal dan professional, yang memahami tujuan negoasiasi dilakukan dan mempunyai daya kemampuan optimal dalam menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi dan terhindar dari kemungkinan dead lock.Adapun syarat-syarat negosiator antara lain:

1. Berkepribadian mantap dan penuh percaya diri2. Tidak sombong3. Bersikap simpatik, ramah dan sopan4. Disiplin dan memiliki prinsip5. Komunikatif6. Wawasan dan pengetahuan luas7. Cepat membaca situasi dan jeli menangkap peluang

47

Page 48: Materi Kuliah Arbitrase

8. Ulet, sabar dan tidak mudah putus asa.9. Akomodatif dan kompromis10. Berpikir positif dan optimis11. Dapat mengendalikan emosi12. Berpikir jauh ke depan13. Memiliki selera humor

Erman Rajaguguk mengatakan suksesnya negosiasi Setidaknya ada 4 petunjuk, yaitu:

1. Jangan mengusulkan sesuatu, yang jika hal itu diusulkan kepada kita, kita sendiri tidak akan menerimanya.

2. Dalam negosiasi tidak satupun pihak ingin dipaksa.3. Dalam negosiasi kita memerlukan kesabaran4. Kita tidak pernah tahu apa yang pihak lawan akan lakukan, atau bagaimana kita

menjawabnya. Tetap santai, lentur, optimistic dan percaya diri suatu waktu akan ada titik temu.

IV. Prosedur Negosiasi

1. Tahap Persiapana. Konsolidasi dengan tim/kolegab. Mempersiapkan agenda/materic. Menetapkan tujuan dan target negosiasid. Membuat dan memenuhi janjie. Mempelajari siapa pihak lawanf. Checking seluruh persiapang. Apakah negosiasi diperlukan?h. Bagaimana kualitas hubungan diantara para pihak?

2. Tahap Berlangsungnya Negosiasia. Statemen pembuka dari negosiatorb. Menetapkan persoalanc. Menetapkan posisi awald. Memberikan argumentasie. Menyelidiki kemungkinan respon lawanf. Pemberian konsesig. Menetapkan proposalh. Menetapkan dan menandatangani persetujuan

3. Tahap Akhira. Mengambil kesimpulan kesepakatanb. Kesimpulan yang dibuat dalam ketentuan tertulisc. Menindaklanjuti kesepakatand. Membentuk tim monitoring/evaluasi pelaksanaan

V. Kendala Para Negosiator

48

Page 49: Materi Kuliah Arbitrase

Ulry & Fisher mengemukakan minimal ada 5 kendala utama yang sering dihadapi negosiator, antara lain:1. Reaksi Kita (your reaction)

Reaksi emosional kita menghadapi serangan pihak lawan terdapat kecenderungan untuk membalas serangan.

2. Emosi mereka (their emotion) Kendala terletak pada pihak lawan, yaitu emosi yang bersifat negative, sikap non kooperatif curiga, takut kalah, marah dll.

3. Posisi Mereka (their position)Manakala pihak lawan bertahan pada posisi terhadap tawaran kita, seringkah kita tergoda serta merta menolaknya. Sikap demikan dapat mengakibatkan pihak lawan semakin dalam lagi mempertahankan posisinya.

4. Ketdakpuasan Mereka (their satisfactions) Tujuan interest based dengan model pemecahan masalah bersama tidak hanya bertujuan mencapai kesepakatan, tetapi juga kesepakatan yang memenuhi kepuasan bersama.

5. Kekuatan Mereka (their powers) Seringkali pihak lawan melihat negosiasi sebagai suatu proses yang bertujuan mencipatakan win lose, sehingga mereka berkepenfingan mengaiahkan kita.

49

Page 50: Materi Kuliah Arbitrase

50