Apendiks 5

15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007). Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005). Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005). Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005). Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan Universitas Sumatera Utara

description

Apendisitis

Transcript of Apendiks 5

Page 1: Apendiks 5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Histologi Apendiks

Apendiks merupakan suatu evaginasi dari sekum yang ditandai dengan

sebuah lumen kecil, sempit, dan tidak teratur. Struktur tersebut disebabkan oleh

folikel limfoid yang banyak pada apendiks (Junqueira dan Carneiro, 2007).

Apendiks memiliki panjang sekitar 3-15 cm dan diameter 0,5-1 cm. Pada

bagian proksimal, lumen apendiks sempit dan melebar di bagian distal. Pada bayi,

apendiks berbentuk kerucut, di mana bagian pangkal melebar dan semakin

menyempit ke arah ujung. Hal ini merupakan salah satu faktor insidensi

apendisitis yang rendah pada umur tersebut (Pieter, 2005).

Sekitar 65% apendiks terletak di intraperitoneal. Kedudukan ini

menyebabkan apendiks dapat bergerak sesuai dengan panjang mesoapendiks yang

menggantungnya. Apendiks juga dapat terletak di retroperitoneal, yaitu di

belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens.

Letak apendiks dapat menentukan manifestasi klinis apendisitis (Pieter, 2005).

Appendiks tampak pertama kali saat minggu ke-8 perkembangan

embriologi yaitu bagian ujung protuberans sekum. Pada saat antenatal dan

postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks,

kemudian berpindah dari medial menuju katup ileosekal (Pieter, 2005).

Apendiks memiliki 4 lapisan yaitu, mukosa, submukosa, muskularis

eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler), dan serosa. Apendiks dapat tidak

terlihat karena membran Jackson yang (lapisan peritoneum) menyebar dari bagian

lateral abdomen ke ileum terminal, menutup sekum dan apendiks. Lapisan

mukosa terdiri dari satu lapis epitel bertingkat dan crypta lieberkuhn. Dinding

dalam (inner circular layer) berhubungan dengan sekum dan dinding luar (outer

longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia coli pada pertemuan

sekum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari

apendiks. diantara mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Lapisan

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Apendiks 5

submukosa terdiri dari jaringan ikat longgar dan jaringan elastik yang membentuk

jaringan saraf, pembuluh darah dan limfe (Pieter, 2005).

Persarafan parasimpatis apendiks berasal dari cabang n. vagus yang

mengikuti a. mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan

simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis

bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a. apendikularis

yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena

trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Pieter, 2005).

2.2. Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks

tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis (Pieter, 2005).

Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated

Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.

Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun

tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan

jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, 2005).

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu

setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa

dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah umur 60 tahun, tidak ada

jaringan limfoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran lumen apendiks

komplit. Immunoglobulin sekretorius dihasilkan sebagai bagian dari jaringan

limfoid yang berhubungan dengan usus untuk melindungi lingkungan anterior.

Apendiks bermanfaat tetapi tidak diperlukan (Schwartz, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Apendiks 5

2.3. Apendisitis

2.3.1. Definisi

Apendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya

kira-kira 10cm (4 inci), melekat pada sekum tepat dibawah katup ilosekal

(Smeltzer dan Bare, 2002).

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut

pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, dan bedah abdomen darurat

(Smeltzer dan Bare, 2002).

2.3.2. Etiologi

Pada penelitian, ligasi (obstruksi) apendiks menyebabkan

peningkatan mencolok tekanan intralumen, yang dengan cepat melebihi

tekanan darah sistolik. Pada awalnya kongesti darah vena menjelek

menjadi trombosis, nekrosis dan perforata. Secara klinis, obstruksi lumen

merupakan penyebab utama apendisitis. Obstruksi ini disebabkan oleh

pengerasan bahan tinja (fekolit). Fekalit merupakan penyebab tersering

dari obstruksi apendiks. Bahan yang mengeras ini bisa mengapur, terlihat

dalam foto rontgen sebagai apendikolit (15-20%). Obstruksi akibat dari

edema mukosa dapat disertai dengan infeksi virus atau bakteri (Yersinia,

Salmonella, Shigella) sistemik. Mukus yang tidak normal terkesan sebagai

penyebab meningkatnya insidens apendisitis pada anak dengan kistik

fibrosis. Tumor karsinoid, benda asing, dan ascaris jarang menjadi

penyebab apendisitis (Hartman, 2000).

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis

adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat

timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Apendiks 5

kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya

apendisits akut (Pieter, 2005).

2.3.3. Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur

pada fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma (Mansjoer

dkk., 2000).

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada

bagian proksimal. Selanjutnya, terjadi peningkatan sekresi normal dari

mukosa apendiks yang distensi secara terus menerus karena multiplikasi

cepat dari bakteri. Obstruksi iga menyebabkan mukus yang diproduksi

mukosa terbendung. semakin lama, mukus tersebut semakin banyak.

Namun, elastisitas dinding apendiks terbatas sehingga meningkatkan

tekanan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml

(Schwartz, 2000).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks

mengalami hipoksia, hambatan aliran limfe, ulserasi mukosa, dan invasi

bakteri. Infeksi memperberat pembengkakan apendiks (edema). Trombosis

pada pembuluh darah intramural (dinding apendiks) menyebabkan

iskemik. Pada saat ini, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh

nyeri epigastrium (Mansjoer dkk., 2000).

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus

meningkat. Hal tersebut menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah,

dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang meluas dan

mengenai peritoneum setempat menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.

Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut (Mansjoer dkk.,

2000).

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding

apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Apendiks 5

apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan

terjadi apendisitis perforata (Mansjoer dkk., 2000).

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus

yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa

lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut

dapat menjadi abses atau menghilang (Mansjoer dkk., 2000).

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis

yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks

dalam waktu 24-48 jam pertama. Ini merupakan usaha pertahanan tubuh

yang membatasi proses radang melalui penutupan apendiks dengan

omentum, usus halus, atau adneksa. Akibatnya, terbentuk massa

periapendikular. Di dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses

yang dapat mengalami perforata. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis

akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang, dan

selanjutnya akan mengurai diri secara lambat (Pieter, 2005).

Pada anak-anak, perforata mudah terjadi karena omentum lebih

pendek, apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis, dan daya

tahan tubuh yang masih kurang. Pada orang tua, perforata mudah terjadi

karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer dkk., 2000).

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,

tetapi membentuk jaringan parut dan menyebabkan perlengketan dengan

jaringan sekitar. Perlengketan ini menimbulkan keluhan berulang diperut

kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan

dinyatakan mengalami eksaserbasi akut (Pieter, 2005).

2.3.4. Manifestasi klinis

Pada permulaan timbulnya penyakit, belum ada keluhan

abdomen yang menetap. Keluhan apendisitis akut biasanya bermula dari

nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan

muntah. Dalam 2-12 jam, nyeri beralih ke kuadran kanan, menetap, dan

diperberat saat berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Apendiks 5

malaise, demam yang tidak terlalu tinggi, konstipasi, kadang-kadang diare,

mual dan muntah. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan

bawah akan semakin progresif (Mansjoer dkk., 2000).

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari

oleh radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai

maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu makan

menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke

titik McBurney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya

sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri

epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa

memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa

mempermudah terjadinya perforata. Bila terdapat perangsangan

peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk

(Pieter, 2005).

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena

letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak

begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah

perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot

psoas mayor yang menegang dari dorsal (Pieter, 2005).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat

menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga

peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan

berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya

(Pieter, 2005).

Penjelekan sejak mulainya gejala sampai perforata biasanya

terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam,

angka perforata menjadi 65% (Hartman, 2000).

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis

sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala

apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Apendiks 5

rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa

nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan

anak akan menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi,

sering apendisitis diketahui setelah perforata. Pada bayi, 80-90 %

apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforata (Pieter, 2005).

Manifestasi klinis apendisitis akut (Pieter, 2005) :

• tanda awal

nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan

anoreksi

• nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan

peritoneum lokal di titik McBurney

o nyeri tekan

o nyeri lepas

o defans muskuler

• nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

o nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

o nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan

(Blumberg)

o nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,

berjalan, batuk, mengedan

2.3.5. Diagnosis

Menurut Kartono (1995), massa apendiks dengan proses radang

aktif ditandai dengan:

1. Keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;

2. Pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas

terdapat tanda-tanda peritonitis;

3. Laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat

pergeseran ke kiri.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Apendiks 5

Sedangkan, massa apendiks dengan proses radang yang telah

reda ditandai dengan:

1. Pasien berumur 5 tahun atau lebih.

2. Keadaan umum telah membaik, sakit, dan suhu tubuh tidak tinggi lagi.

3. Pemeriksaan lokal abdomen tenang, tanpa tanda-tanda peritonitis, dan

massa dengan berbatas jelas dengan nyeri tekan ringan.

4. Laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti massa yang nyeri

di regio iliaka kanan dan demam, mengarahkan diagnosis pada massa atau

abses apendikuler. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun

penunjang. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding

laki-laki. Hal ini terjadi karena perempuan, terutama yang masih muda,

sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan dapat

berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis

atau penyakit. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis yang

meragukan dilanjutkan dengan observasi penderita di rumah sakit, dengan

pengamatan setiap 1-2 jam (Pieter, 2005).

2.3.6. Pemeriksaan

2.3.6.1. Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila

suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforata. Bisa terdapat

perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C. Pada inspeksi perut tidak

ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita

dengan komplikasi perforata. Appendisitis infiltrat atau adanya abses

apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah

(Pieter, 2005).

Apendisitis yang tidak terobati berlanjut dengan perforata dalam

48-72 jam; karenanya, lamanya gejalanya sangat penting dalam

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Apendiks 5

mengintepretasi tanda fisik dalam menentukan strategi pengobatan (Pieter,

2005).

Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku

anak dan keadaan perutnya. Anak dengan apendisitis sering bergerak

perlahan dan terbatas, membungkuk kedepan, dan sering dengan sedikit

pincang. Anak tersebut akan memegang kuadran kanan bawah dengan

tangan dan enggan untuk naik ke meja periksa. Apendisitis dini perut rata.

Perubahan warna dan bekas luka memar harus dipikirkan trauma perut.

Perut kembung menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau

obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan suara usus normal atau hiperaktif

pada apendisitis dini diganti dengan suara usus hipoaktif ketika menjelek

menjadi perforata (Hartman, 2000).

Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut setelah

pelaporan dan dibantu dengan selingan pembicaraan atau bantuan

orangtua. Kuadran kanan bawah (titik Mcburney) harus dipalpasi terakhir

setelah pemeriksa telah mempunyai kesempatan mempertimbangkan

respons terhadap pemeriksaan kuadran yang seharusnya tidak nyeri. Titik

Mcburney adalah perpotongan lateral dan duapertiga dari garis ysng

menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus. Tanda

fisik yang paling penting pada apendisitis adalah nyeri tekan menetap pada

saat palpasi dan kekakuan lapisan otot rektus. Jika anak takut atau agitasi

saat pemeriksaan sebelumnya, maka otot perut mungkin tegang

keseluruhan, membuat interpretasi temuan ini tidak dimungkinkan

(Hartman, 2000).

Pemeriksaan nyeri lepas harus dikerjakan dengan hati-hati

supaya bermakna. Palpasi perut yang dalam dan kemudian dilepaskan

dengan tiba-tiba akan menyebabkan nyeri dan rasa takut pada semua anak

dan hal ini tidak dianjurkan. Perkusi jari dengan lembut pada semua

kuadran merupakan pemeriksaan yang lebih baik dari iritasi peritoneum

berulang pada semua kelompok umur tetapi terutama pada anak yang takut

(Hartman, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Apendiks 5

Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena

ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.

Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa

dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika (Pieter,

2005).

Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka

kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji

obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui

letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat

hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di

m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator

digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan

m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan

gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada

apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri (Pieter, 2005).

2.3.6.2. Pemeriksaan Penunjang

2.3.6.2.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada

apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis

perforata. Tidak adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis.

Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran kekiri. Pada pemeriksaan urin,

sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal

bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika (Kartono,

1995).

2.3.6.2.2. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan pencitraan yang mungkin membantu dalam

mengevaluasi anak dengan kecurigaan apendisitis adalah foto polos perut

atau dada, ultrasonogram, enema barium, dan kadang-kadang CT scan.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Apendiks 5

Temuan apendisitis pada foto perut meliputi apendikolit yang mengalami

kalsifikasi, usus halus yang distensi atau obstruksi, dan efek massa

jaringan lunak (Hartman, 2000)

Menurut Darmawan Kartono, 1995 foto polos abdomen

dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan.

Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan

mungkin terlihat ”ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-

udara disekum atau ileum).

Foto polos pada apendisitis perforata:

1. gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di

kuadran kanan bawah

2. penebalan dinding usus disekitar letak apendiks, sperti sekum dan

ileum.

3. Garis lemak pra peritoneal menghilang

4. Skoliosis ke kanan

5. Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-

cairan akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi.

CT scan telah menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis

usus buntu pada anak-anak. CT scan telah terbukti memiliki akurasi 97%

dalam mendiagnosis apendisitis. Keuntungan lainnya adalah kemampuan

untuk mengevaluasi seluruh perut dan menemukan abses dan phlegmon,

kurangnya ketergantungan pada keterampilan operator, dan keakraban

dokter dengan membaca CT scan. Kerugian meliputi paparan radiasi

tersebut, kebutuhan akan kontras oral dan intravena dan kerugian yang

terkait, dan kebutuhan pasien untuk diam, yang sering sulit untuk anak-

anak kecil. Karena keuntungan CT scan, 62% dari dokter bedah anak yang

disurvei di Amerika Utara lebih suka untuk evaluasi usus buntu. CT scan

paling disukai, dengan 51-58% pasien dengan apendisitis diduga menjalani

CT scan. Namun, walaupun sekarang penggunaan luas CT scan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Apendiks 5

evaluasi apendisitis dengan sensitivitas dan spesifisitas unggul, tingkat

usus buntu negatif pada anak-anak belum menunjukkan penurunan

signifikan secara statistik (Katz, 2009).

Temuan pada barium enema adalah temuan pengaruh massa

pada sekum karena proses radang dan lumen apendiks tidak terisi atau

terisi sebagian (Hartman, 2000).

2.3.7. Penatalaksanaan

Menurut Mansjoer dkk. (2000), penatalaksanaan apendisitis terdiri dari:

a. Sebelum operasi

1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi

2. Pemasangan kateter untuk kontrol produksi urin

3. Rehidrasi

4. Antibiotik dengan spektrum luas, dosis tinggi dan diberikan

secara intravena

5. Obat – obatan penurun panas, phenergan sebagai anti mengigil,

largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer

diberikan setelah rehidrasi tercapai

6. Bila demam, harus diturunkan sebelum diberi anestesi

b. Operasi

1. Apendiktomi

2. Apendiks dibuang, jika apendiks mengalami perforata bebas,

maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis dan antibiotika

3. Abses apendiks diobati dengan antibiotika IV, massa mungkin

mengecil, atau abses mungkin memerlukan drainase dalam jangka

waktu beberapa hari. Apendiktomi dilakukan bila abses dilakukan

operasi elektif sesudah 6 minggu sampai 3 bulan

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Apendiks 5

c. Pasca Operasi

1. Observasi Tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.

2. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar sehingga aspirasi

cairan lambung dapat dicegah

3. Baringkan pasien dalam posisi semi fowler

4. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,

selam pasien dipuasakan

5. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforata, puasa

dilanjutkan sampai fungsi usus kembali normal.

6. Berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan

menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya berikan makanan saring

dan hari berikutnya diberikan makanan lunak

7. Satu hari pascar operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di

tempat tidur selama 2x30 menit

8. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar

9. Hari ke-7 jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang

Apendiktomi harus dilakukan dalam beberapa jam setelah diagnosis

ditegakkan (Pieter, 2005).

Jika apendiks telah perforata, terutama dengan peritonitis menyeluruh,

resusitasi cairan yang cukup dan antibiotik spektrum luas mungkin diperlukan

beberapa jam sebelum apendiktomi. Pengisapan nasogastrik harus digunakan jika

ada muntah yang berat atau perut kembung. Antibiotik harus mencakup organisme

yang sering ditemukan (Bacteroides, Escherichia coli, Klebsiella, dan

pseudomonas spesies). Regimen yang sering digunakan secara intravena adalah

ampisilin (100 mg/kg/24 jam), gentamisin (5 mg/kg/24 jam), dan klindamisin (40

mg/kg/24 jam), atau metrobnidazole (Flagyl) (30 mg/kg/24 jam). Apendiktomi

dilakukan dengan atau tanpa drainase cairan peritoneum, dan antibiotik diteruskan

sampai 7-10 hari (Hartman, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Apendiks 5

Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau

mikroperforata ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus.

Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi

penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforata diikuti peritonitis

purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas

disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi

lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja.

Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,

penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan

kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.

Bila terjadi perforata, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan

kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan

massa, serta bertambahnya angka leukosit (Pieter, 2005).

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak

kecil, wanita hamil, dan penderita umur lanjut, jika secara konservatif tidak

membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya (Pieter,

2005).

2.3.8. Komplikasi

Komplikasi apendisitis terjadi pada 25-30% anak dengan apendisitis,

terutama komplikasi yang dengan perforata (Hartman, 2000).

Menurut Smeltzer dan Bare (2002), komplikasi potensial setelah

apendiktomi antara lain:

1. Peritonitis

Observasi terhadap nyeri tekan abdomen, demam, muntah, kekakuan abdomen,

dan takikardia. Lakukan penghisapan nasogastrik konstan. Perbaiki dehidrasi

sesuai program. Berikan preparat antibiotik sesuai program.

2. Abses pelvis atau lumbal

Evaluasi adanya anoreksi, menggigil, demam, dan diaforesis. Observasi adanya

diare, yang dapat menunjukkan abses pelvis, siapkan pasien untuk pemeriksaan

rektal. Siapkan pasien untuk prosedur drainase operatif.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Apendiks 5

3. Abses Subfrenik (abses dibawah diafragma)

Kaji pasien terhadap adanya menggigil, demam, diaforesis. Siapkan untuk

pemeriksaan sinar-x. Siapkan drainase bedah terhadap abses.

4. Ileus

Kaji bising usus. Lakukan intubasi dan pengisapan nasogastrik. Ganti cairan

dan elektrolit dengan rute intravena sesuai program. Siapkan untuk

pembedahan, bila diagnosis ileus mekanis ditegakkan.

2.3.9. Prognosis

Prognosis baik bila dilakukan diagnosis dini sebelum ruptur, dan diberi

antibiotik yang lebih baik. Apendisitis akut tanpa perforata memiliki mortalitas

sekitar 0,1%, dan mencapai 15% pada orang tua dengan perforata. Umumnya,

mortalitas berhubungan dengan sepsis, emboli paru, ataupun aspirasi (Schwartz,

2000).

Universitas Sumatera Utara