karyatulisilmiah.com · Web viewBAB II KOSEP MEDIS Defenisi Apendisitis adalah peradangan pada...

57
BAB II KOSEP MEDIS A. Defenisi Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing ( apendiks ). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedahsegera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Wim de jong et al. 2005). Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi. Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain : 1. Apendisitis akut 1

Transcript of karyatulisilmiah.com · Web viewBAB II KOSEP MEDIS Defenisi Apendisitis adalah peradangan pada...

BAB II

KOSEP MEDIS

A. Defenisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur

baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia

10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai

cacing ( apendiks ). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini

bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan tindakan

bedahsegera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. (Wim de

jong et al. 2005).

Menurut Smeltzer C. Suzanne (2001), apendisitis adalah penyebab paling

umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan

merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Berdasarkan defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa apendisitis adalah

kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan merupakan penyakit

bedah abdomen yang paling sering terjadi.

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara

lain  :

1. Apendisitis akut

Adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan mengenai peritoneum

pariental setempat sehingga menimbulkan rasa sakit di abdomen kanan bawah.

2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)

Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi bila apendisitis

ganggrenosa  di tutupi pendinginan oleh omentum.

3. Apendisitis perforata

Ada fekalit didalam lumen, Umur (orang tua atau anak muda) dan

keterlambatan  diagnosa merupakan faktor yang berperan  dalam terjadinya

perforasi apendiks.

4. Apendisitis rekuren

1

Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh

spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena terjadi

fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan lagi sekitar

50%.

5. Apendisitis kronis

Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen

apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel

inflamasi kronik.

B. Klasifikasi

a. Apendisitis akut

Apendisitis akut adalah : radang pada jaringan apendiks. Apendisitis akut

pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh

proses infeksi dari apendiks.

Penyebab obstruksi dapat berupa :

1) Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.

2) Fekalit

3) Benda asing

4) Tumor.

Adanya obstruksi mengakibatkan mucin / cairan mukosa yang

diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan

tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga

semakin tinggi.

Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding

apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus /

nanah pada dinding apendiks. Selain obstruksi, apendisitis juga dapat

disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian

menyebar secara hematogen ke apendiks.

b. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema

menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan

2

menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada

apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding

appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena

dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema,

hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai

dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik

Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan

defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda

peritonitis umum.

c. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi semua

syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik

apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan keluhan menghilang satelah

apendektomi.

Kriteria  mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding

apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan

ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis

kronik antara 1-5 persen.

d. Apendissitis rekurens

Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan nyeri

berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi dan hasil

patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila serangn

apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun, apendisitis tidak perna

kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis dan jaringan parut. Resiko untuk

terjadinya serangn lagi sekitar 50 persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya

dilakukan apendektomi yang diperiksa secara patologik.

Pada apendiktitis rekurensi biasanya dilakukan apendektomi karena sering

penderita datang dalam serangan akut.

e. Mukokel Apendiks

Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi musin

akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya berupa jaringan

fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa infeksi. Walaupun

3

jarang,mukokel dapat disebabkan oleh suatu kistadenoma yang dicurigai bisa

menjadi ganas.

Penderita sering datang dengan eluhan ringan berupa rasa tidak enak di

perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio iliaka kanan. Suatu

saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis akut. Pengobatannya adalah

apendiktomi.

f. Tumor Apendiks/Adenokarsinoma apendiks

Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan sewaktu

apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa metastasis ke limfonodi

regional, dianjurkan  hemikolektomi kanan yang akan memberi harapan hidup

yang jauh lebih baik dibanding hanya apendektomi.

g. Karsinoid Apendiks

Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang

didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan

patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah apendisitis akut.

Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan (flushing) pada muka, sesak

napas karena spasme bronkus, dan diare ynag hanya ditemukan pada sekitar 6%

kasus tumor karsinoid perut. Sel tumor memproduksi serotonin yang

menyebabkan gejala tersebut di atas.

Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa

memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan opersai radikal.

Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan pangkal tidak bebas

tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau hemikolektomi kanan

C. Etiologi

Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,

terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak

faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks,

hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat

menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan

apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.

4

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan

faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Konstipasi akan menaikkan tekanan

intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan

meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini

mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidayat, 2004).

Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi

menghasilkan lender 1-2 ml perhari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen

dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lender dimuara apendiks

tampaknya berperan dalam pathogenesis apendiks. (Wim de jong et al. 2005).

Menurut klasifikasi :

1. Apendiksitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteria. Dan factor

pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu hyperplasia

jaringan limf, fikalit (tinja/batu),tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat

menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks karena parasite (E.

histolytica).

2. Apendiks rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut kanan bawah

yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan

apendiksitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendiksitis tidak

pernah kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.

3. Apendiksitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah

lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopis (fibrosis

menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial atau lumen apendiks, adanya

jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik),

dan keluhan menghilang setelah pendiktomi.

D. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut

menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin

lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks

5

mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe

yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat

inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila

sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus

dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat

sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding

apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis

gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis

perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang

disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi

abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan

apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut

ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan

terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena

telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).

E. Manifestasi Klinik

Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendiksitis adalah

nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium disekitar umbilicus atau

periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang

muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa

jam, nyeri akan beralih ke kuadran kana bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini

nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatic

setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah epigastrium,

tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan ini di anggap berbahaya karenabisa mempermudah terjadinya perforasi.

6

Terkadang apendisitis juga di sertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5

sampai 38,5 derajat celcius.

Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor

Alvarado :

The Modified Alvarado Score score

Gejala Perpindahan nyeri dari uluhati ke perut

kanan bawah

Mual muntah

Anoreksia

1

1

1

Tanda Nyeri di perut kanan bawah

Nyeri lepas

Demam di atas 37,5 derajat celsius

2

1

1

Pemeriksaan lab Leukositosis

Hitung jenis leukositosis shift to the left

2

1

Total 10

Interprestasi dari Modified Alvarado Score :

1-4 : sangat mungkin bukan apendisitis

5-7 : sangat mungkin apendisitis akut

8-10: pasti apendisitis akut

System skor di buat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.

Selain gejala klasik,ada beberapa gejala lain tergantung pada letakapendiks ketika

meradang apendisitis. Timbulnya gejala ini tergantung pada letak apendiks ketika

meradang.

Berikut gejala yang timbul tersebut.

1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum

(terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan

tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kea rah perut kanan

bawah atau nyeri timbul saat melakukan gerakan seperti berjalan ,bernafas

dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.

psoas mayor yang menegang dari dorsal.

2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis.

7

Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rectum, akan timbul gejala

dan rangsangan sigmoid atau rectum, sehingga peristaltic meningkat,

pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).

3. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat

terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis apendisitis : (wim de jong )

Kelainan patologi Keluhan dan tanda

Peradangan awal Kurang enak uluhati/daerah pusat,

mungkin kolik.

Apendisitis mukosa Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan

autonomic)

Radang di seluruhketebalan

inding

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,

mual dan muntah.

Apendisitis komplit radang

peritoneum parietale apendiks

Rangsangan peritoneum local (somatic),

nyeri pda gerak aktif dan pasif, defans

muskuler local

Radang alat/jaringan yang

menempel pada apendiks

Genitalia interna, urter, m. psoas mayor,

kantung kemih, rectum.

Apendisitis gangrenosa Demam sedang, takikardi, mulai toksik,

leukositosis

Perforasi nyeri dan defan muskuler seluruh

seluruh perut

Pembungkusan

1. tidak berhasil s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok,

toksik

2. berhasil Masa perut kanan bawah, keadaan

umum berangsur membaik

3. Abses Demam remiten, keadaan umum toksik,

8

keluhan dan tanda setempat.

Menurut Arief Mansjoer (2002), keluhan apendisitis biasanya bermula

dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan

muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan

menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia,

malaise dan demam yang tak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi

tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.

Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang

menetap namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin

progresif dan dengan pemeriksaan seksama akan dapat ditunjukkan satu titik

dengan nyeri maksimal perkusi ringan pada kuadran kanan bawah dapat

membantu menentukan lokasi nyeri.

Menurut Suzanne C Smeltzer dan Brenda G Bare (2002), apendisitis akut

sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak umbai

cacing yang memberikan tanda setempat. Nyeri kuadran bawah terasa dan

biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.

Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran

kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis

iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat

konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks.

Bila apendiks melingkar di belakang sekum, nyeri tekan terasa di daerah lumbal.

Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada

pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada

dekat rektum. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks

dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah

otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan

palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang

terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi

menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien

memburuk. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat

bervariasi. Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi

9

usus atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai

ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada

lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan

tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda.

Menurut Diane C. Baughman dan JiAnn C. Hackley (2000), manifestasi

klinis apendisitis adalah sebagai berikut:

1. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya disertai dengan demam derajat

rendah, mual, dan seringkali muntah

2. Pada titik Mc Burney terdapat nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit

kaku dari bagian bawah otot rektus kanan

3. Nyeri alih mungkin saja ada; letak apendiks mengakibatkan sejumlah nueri

tekan, spasme otot, dan konstipasi serta diare kambuhan

4. Tanda Rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah ,

yang menyebabkan nyeri kuadran kiri bawah)

5. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi

distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada pasien yang

diduga appendicitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test protein

reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien

biasanya ditemukan jumlah leukosit di atas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %.

Sedangkan pada pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai

meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan.

2. Pemeriksaan urine

Untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.

pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding

seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis

yang hampir sama dengan appendisitis.

3. Pemeriksaan radiologi

10

Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada pasien yang diduga

appendicitis akut antara lain adalah Ultrasonografi, CT-scan. Pada

pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang

terjadi inflamasi pada appendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan

ditemukan bagian yang menyilang dengan apendicalith serta perluasan dari

appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari saekum.

4. Pemeriksaan USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan

USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG

dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan

ektopik, adnecitis dan sebagainya.

5. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab

appendisitis. pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.

G. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah

ditegakkan. Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk

membatasi aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat

diberikan setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk

mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko

perforasi. Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal,

secara terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru

yang sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih

oleh para ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya

dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa

dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat

laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera

menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

Menurut Arief Mansjoer (2000), penatalaksanaan apendisitis adalah

sebagai berikut:

1. Tindakan medis

11

a. Observasi terhadap diagnosa

Dalam 8 – 12 jam pertama setelah timbul gejala dan tanda apendisitis,

sering tidak terdiagnosa, dalam hal ini sangat penting dilakukan observasi

yang cermat. Penderita dibaringkan ditempat tidur dan tidak diberi apapun

melalui mulut.  Bila diperlukan maka dapat diberikan cairan aperviteral.

Hindarkan pemberian narkotik jika memungkinkan, tetapi obat sedatif

seperti barbitural atau penenang tidak karena merupakan kontra indikasi.

Pemeriksaan abdomen dan rektum, sel darah putih dan hitung jenis di

ulangi secara periodik. Perlu dilakukan foto abdomen dan thorak posisi

tegak pada semua kasus apendisitis, diagnosa dapat jadi jelas dari tanda

lokalisasi kuadran kanan bawah dalam waktu 24 jam setelah timbul gejala.

b. Intubasi

Dimasukkan pipa naso gastrik preoperatif jika terjadi peritonitis atau

toksitas yang menandakan bahwa ileus pasca operatif yang sangat

menggangu. Pada penderita ini dilakukan aspirasi kubah lambung jika

diperlukan. Penderita dibawa kekamar operasi dengan pipa tetap terpasang.

c. Antibiotik

Pemberian antibiotik preoperatif dianjurkan pada reaksi sistematik dengan

toksitas yang berat dan demam yang tinggi .

2. Terapi bedah

Pada apendisitis tanpa komplikasi, apendiktomi dilakukan segera setelah

terkontrol ketidakseimbangan cairan dalam tubuh dan gangguan sistematik

lainnya. Biasanya hanya diperlukan sedikit persiapan. Pembedahan yang

direncanakan secara dini baik mempunyai  praksi mortalitas 1 % secara

primer  angka morbiditas dan mortalitas penyakit ini tampaknya disebabkan

oleh komplikasi ganggren dan perforasi yang terjadi akibat yang tertunda.

3. Terapi pasca operasi

Perlu dilakukan obstruksi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan didalam, syok hipertermia, atau gangguan  pernapasan angket

sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung

dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik

bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila

12

tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum,

puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan

minum mulai  15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. 

Keesokan harinya diberikan makan saring, dan hari berikutnya diberikan

makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak

ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan

duduk  diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien

diperbolehkan pulang. 

H. Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%

sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,7 oC atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen

yang kontinyu (Smeltzer dan Barre, 2002).

I. Pencegahan

1. Diet tinggi serat akan sangat membantu melancarkan aliran pergerakan

makanan dalam saluran cerna sehingga tidak tertumpuk lama dan mengeras.

2. Minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak menunda buang air besar

juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran cerna secara keseluruhan.

J. Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan

morbiditas penyakit apendisitis sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan

berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis

sebenarnya tidak ada (Mansjoer, 2000).

13

BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian

1. Biodata

Identitas klien : nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/

bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat dan nomor register.

2. Lingkungan

Dengan adanya lingkungan yang bersih, maka daya tahan tubuh penderita akan

lebih baik daripada tinggal di lingkungan yang kotor.

3. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Nyeri pada daerah kuadran kanan bawah, nyeri sekitar umbilikus.

b. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat operasi sebelumnya pada kolon.

c. Riwayat kesehatan sekarang

Sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama keluhan terjadi,

bagaimana sifat dan hebatnya keluhan, dimana keluhan timbul,

keadaan apa yang memperberat dan memperingan.

4. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi

Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,

sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi abdomen.

b. Palpasi

Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila

tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah

merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri

bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah, ini disebut tanda

Rovsing (Rovsing sign). Dan apabila tekanan pada perut kiri dilepas maka

juga akan terasa sakit di perut kanan bawah, ini disebut tanda Blumberg

(Blumberg sign).

c. Pemeriksaan colok dubur

14

Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk menentukkan letak

apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan

ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang di daerah

pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis apendisitis pelvika.

d. Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan ini dilakukan juga untuk mengetahui letak apendiks yang

meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas mayor lewat

hiperekstensi sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

apendiks yang meradang menempel pada m.psoas mayor, maka tindakan

tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator

dilakukan gerakan fleksi dan andorotasi sendi panggul pada posisi

terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator

internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan

menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.

5. Perubahan pola fungsi

Data yang diperoleh dalam kasus apendisitis menurut Doenges (2000)

adalah sebagai berikut :

a. Aktivitas / istirahat

Gejala : Malaise

b. Sirkulasi

Tanda : Takikardi

c. Eliminasi

Gejala : Konstipasi pada awitan awal. Diare (kadang-kadang)

Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/ nyeri lepas, kekakuan. Penurunan

atau tidak ada bising usus

d. Makanan / cairan

Gejala : Anoreksia, mual/muntah

e. Nyeri / kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus yang

meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc.Burney

(setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan),

meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri

15

berhenti tiba-tiba diduga perforasi atau infark pada

apendiks). Keluhan berbagai rasa nyeri/ gejala tak jelas

(berhubungan dengan lokasi apendiks, contoh : retrosekal atau

sebelah ureter)

Tanda : Perilaku berhati-hati; berbaring ke samping atau telentang dengan

lutut ditekuk. Meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah

karena posisi ekstensi kaki kanan/ posisi duduk tegak. Nyeri lepas

pada sisi kiri diduga inflamasi peritoneal

f. Pernapasan

Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal

g. Keamanan

Tanda : Demam (biasanya rendah).

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Laboratorium

Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada

pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-

20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Sedangkan pada CRP

ditemukan jumlah serum yang meningkat.

b. Radiologi

Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan

ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi

inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan

bagian menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang

mengalami inflamasi serta pelebaran sekum.

B. Diagnosa

Menurut Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern dalam Buku Saku

Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC (2011), diagnosa keperawatan pre

operatif pada penderita apendisitis akut adalah sebagai berikut:

1. Kekurangan volume cairan tubuh

2. Hipertermi

3. Nyeri akut

16

4. Hambatan mobilitas fisik

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

6. Ansietas

C. PATHWAY

17

18

D. Intervensi

Menurut Judith M. Wilkinson dan Nancy R. Ahern dalam Buku Saku

Diagnosis Keperawatan NANDA NIC NOC (2011), intervensi yang biasa muncul

pada penderita apendisitis akut pre operatif adalah sebagai berikut:

1. Kekurangan volume cairan tubuh

Batasan Karakteristik

Subjektif

Haus

Objektif

a. Perubahan status mental

b. Penurunan turgor kulit dan lidah

c. Penurunan haluaran urine

d. Kulit dan membran mukosa kering

e. Hematokrit meningkat

f. Suhu tubuh meningkat

g. Kelemahan

h. Peningkatan frekuensi nadi, penurunan tekanan darah, penurunan volume

dan tekanan nadi.

Faktor yang berhubungan

a. Kehilangan volume cairan aktif

b. Asupan cairan yang tidak adekuat

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

a. Kekurangan volume cairan akan teratasi ditandai dengan keseimbangan

cairan, keseimbanagn elektrolit dan asam basa, hidrasi yang adekuat, dan

status nutrisi: asupan makanan dan cairan adekuat.

b. Keseimbangan elektrolit dan asam basa akan dicapai dibuktikan dengan :

1) Memiliki konsentrasi urine yang normal

2) Tidak mengalami haus abnormal

3) Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat

4) Memiliki keseimbangan asupan dan haluaran yang seimbang dalam 24

jam.

19

5) Menamilkan hidrasi yang baik (membran mukosa lembap, mampu

berkeringat.

Intervensi NIC

a. Pantau warna, jumlah, dan frekuensi kehilangan cairan

b. Observasi khususnya terhadap kehilangan cairan yang tinggi elektrolit,

misalnya diare

c. Pantau hasil laboratorium yang relevan dengan keseimbangan cairan

(misalnya kadar hematokrit, BUN, albumin, protein total, osmolalitas

serum, dan berat jenis urine).

d. Pantau status hidrasi misalnya kelembapan membran mukosa,

keadekuatan nadi, dan tekanan darah ortostatik.

e. Kaji orientasi terhadap orang, tempat dan waktu

f. Mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk mengatur

keseimbangan cairan

g. Memberikan dan memantau cairan dan obat intravena

h. Membantu dan menyediakan asupan makanan dan cairan dalam diet

seimbang

i. Timbang berat badan setiap hari dan pantau kecendrungannya

j. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalm 24 jam, hitung asupan yang

diinginkan sepanjang sif siang, soreh, dan malam

k. Anjurkan melakukan higiene oral secara sering

l. Kolaborasi pemberian terapi IV sesuai program.

2. Hipertermi

Batasan Karakteristik

Objektif

a. Kulit merah

b. Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal

c. Frekuensi napas meningkat

d. Kejang atau konvulsi

e. Kulit teraba hangat

f. Takikardi

g. Takipneu

20

Faktor yang Berhubungan

a. Dehidrasi

b. Penyakit atau trauma

c. Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat

d. Pakaian yang tidka tepat

e. Obat atau anastesia

f. Terpajan lingkungan yang panas (jangka panjang)

g. Aktivitas yang berlebihan

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

a. TTV dalam rentang normal

b. Pasien akan menunjukkan termoregulasi

c. Melaporkan tanda dan gejala dini hipertermia

d. Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan

suhu tubuh.

Intervensi NIC

a. Pantau TTV

b. Pantau hidrasi (misalnya turgor kulit, kelembapan membran mukosa)

c. Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu

lingkungan

d. Regulasi suhu NIC:

Pantau suhu minimal setiap dua jam, sesuai kebutuhan

Pantau warna kulit dan suhu

e. Anjurkan asupan cairan oral, sedikitnya 2 liter per hari

f. Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan

mengenali secara dini hipertermia (misalnya sengatan panas, keletihan

akibat panas)

g. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut saja

h. Berikan kompres hangat untuk mengatasi demam

i. Kolaborasi pemberian obat antipiretik.

3. Nyeri akut

Batasan Karakteristik

Subjektif

21

Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat

Objektif

a. Posisi untuk menghindari nyeri

b. Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas, tidak bertenaga sampai

kaku

c. Perubahan selera makan

d. Perilaku ekspresif (misalnya gelisah, merintih, menangis, peka terhadap

rangsang, dan menghela napas panjang)

e. Wajah topeng (nyeri)

f. Perilaku menjaga atau sikap melindungi

g. Bukti nyeri yang dapat diamati

h. Berfokus pada diri sendiri

i. Gangguan tidur (mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur, atau tidak

menentu dan menyeringai)

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

a. Memperlihatkan Pengendalian Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator

sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering

atau selalu ):

1) Mengenali awitan nyeri

2) Menggunakan tindakan pencegahan

3) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

b.Melaporkan Tingkat Nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5: sangat berat, berat, sedang, ringan atau tidak ada):

1) Ekspresi nyeri pada wajah

2) Gelisah atau ketegangan otot

3) Durasi episode nyeri

4) Merintih dan menangis

5) Gelisah

SKALA NYERI

Nilai Skala Nyeri

22

0 Tidak nyeri

1 Seperti gatal, tersetrum / nyut-nyut

2 Seperti melilit atau terpukul

3 Seperti perih

4 Seperti keram

5 Seperti tertekan atau tergesek

6 Seperti terbakar atau ditusuk-tusuk

7 – 9 Sangat nyeri tetapi dapat dikontrol oleh klien

dengan aktivitas yang biasa dilakukan.

10 Sangat nyeri dan tidak dapat dikontrol oleh klien.

Keterangan : 1 – 3    (Nyeri ringan)

4 – 6    (Nyeri sedang)

7 – 9    (Nyeri berat)

10        (Sangat nyeri)

Intervensi NIC

a. Kaji tingkat nyeri dengan menggunakan skala 0-10

b.Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri

dan respon pasien

c. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, imajinasi tebimbing, terapi musik,

terapi bermain, distraksi, kompres hangat atau dingin sebelum, setelah, dan

jika memungkinkan , selama aktivitas yang menimbulkan nyeri, sebelum

nyeri terjadi atau meningkat, dan bersama penggunaan tindakan peredaan

nyeri yang lain.

d.Lakukan perubahan posisi, massase [punggung dan relaksasi

e. Libatkan pasien dalam pengambilan keputusan yang menyangkutn aktivitas

keperawatan

f. Bantu pasien untuk lebih berfokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa

tidak nyaman dengan melakukan pengalihan melalui TV, radion, dan

interaksi dengan pengunjung

g.Kolaborasi pemberian analgesik sesuai program terapi

4. Hambatan mobilitas fisik

Batasan Karakteristik

23

Objektif

a. Penurunan waktu reaksi

b. Kesulitan membolak-balik tubuh

c. Dispnea saat beraktivitas

d. Perubahan cara berjalan (misalnya, penurunan aktivitas dan kecepatan

berjalan, kesulitan utnuk memulai berjalan, langkah kecil, berjalan

dengan menyeret kaki, pada saat berjalan badan mengayun ke samping)

e. Pergerakan menyentak

f. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik kasar

g. Keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus

h. Keterbatasan rentang pergerakan sendi

i. Tremor yang diinduksi oleh pergerakan

j. Ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas

kehidupan sehari-hari)

k. Melambatnya pergerakan

l. Gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi.

Faktor yang Berhubungan

a. Perubahan metabolisme sel

b. Indeks massa tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia

c. Gangguan kognitif

d. Kepercayaan budaya terkait aktivitas sesuai usia

e. Penurunan kekuatan, kendali, atau massa otot

f. Keadaan alam perasaan depresi atau ansietas

g. Keterlambatan perkembangan

h. Ketidaknyamanan

i. Intoleransi aktivitas dan penuruna kekuatan dan ketahanan

j. Kaku sendi atau kontraktur

k. Defesiensi pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik

l. Kurang dukungan lingkungan fisik atau sosial

m. Keterbatasan ketahanan kardiovaskular

n. Hilangnya integritas struktur tulang

o. Medikasi

24

p. Gangguan muskuloskeletal

q. Gangguan neuromuskular

r. Nyeri

s. Program pembatasan pergerakan

t. Keengganan untuk memulai pergerakan

u. Gaya hidup yang kurang gerak atau disuse atau melemah

v. Malnutrisi (umum atau selektif)

w. Gangguan sensori persepsi

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan dengan indikator:

Keseimbangan

Koordinasi

Performa posisi tubuh

Pergerakan sendi dan otot

Berjalan

Bergerak dengan mudah

Aktivitas Keperawatan

Tingkat 1

a. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan

kebutuhan terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama

b. Ajarkan pasien tentang dan pantau penggunaan alat bantu mobilitas

c. Ajarkan dan bantu pasien dalam proses berpindah (misalnya dari tempat

tidur ke kursi)

d. Rujuk ke ahli terapi fisik untuk program latihan

e. Berikan penguatan positif selama aktivitas

f. Bantu pasien untuk menggunakan alas kaki antiselip yang mendukung

untuk berjalan

g. Pengaturan posisi (NIC):

1) Ajarkan pasien bagaimana menggunakan postur dan mekanika tubuh

yang benar saat melakukan aktivitas

2) Pantau ketepatan pemasangan traksi

Tingkat 2

25

a. Kaji kebutuhan belajar pasien

b. Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan dari lembaga

kesehatan di rumah dan alat kesehatan yang tahan lama

c. Ajarkan dan dukungpasien dalam latihan ROM aktif atau pasif untuk

mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot

d. Instruksikan dan dukung pasien untuk menggunakan trapeze atau

pemberat untuk meningkatkan serta memperthanakan kekuatan

ekstremitas atas

e. Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman

f. Instruksikan pasien untuk menyangga berat badannya

g. Instruksikan pasien untuk memperhatikan kesejajaran tubuh yang benar

h. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai suatu sumber untuk

mengembangkan perencanaan dan mempertahankan atau meningkatkan

mobilitas

i. Berikan penguatan positif selama aktivitas

j. Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien, jika diperlukan

k. Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi atau

perpindahan.

Tingkat 3dan 4

a. Tentukan tingkat motivasi pasien untuk mempertahankan atau

mengembalikan mobilitas sendi dan otot

b. Gunakan ahli terapi fisik dan okupasi sebagai sumber dalam perencanaan

aktivitas perawatan pasien

c. Dukung pasien dan keluarga untuk memandang keterbatasan dengan

realistis

d. Berikan penguatan positif selama aktivitas

e. Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik

f. Susun rencana yang spesifik, seperti:

1) Tipe alat bantu

2) Posisi pasien

3) Cara memindahkan dan mengubah posisi pasien

4) Jumlah personel yang dibutuhkan untuk memobilisasi pasien

26

5) Peralatan eliminasi yang diperlukan (misal, pispot, urinal, dan pispot

fraktur)

6) Jadwal aktivitas

g. Pengaturan posisi (NIC):

1) Pantau pemasangan alat traksi yang benar

2) Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik dengan benar

3) Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar

4) Letakkan pada posisi terapeutik

5) Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal setiap dua jam

berdasarkan jadwal spesifik

6) Letakkan tombol pengubah posisi tempat tidur dan lampu pemanggil

dalam jangkauan pasien

7) Dukung latihan ROM aktif atau pasif, jika diperlukan.

5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Batasan Karakteristik

Subjektif

a. Kram abdomen

b. Nyeri abdomen

c. Menolak makan

d. Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makanan

e. Melaporkan perubahan sensasi rasa

f. Merasa cepat kenyang setelah mengomsumsi makanan

Objektif

a. Diare atau steatore

b. Bising usus hiperaktif

c. Kurangnya minat terhadap makanan

d. Membran mukosa pucat

e. Tonus otot buruk

f. Menolak untuk makan

g. Kelemahan otot untuk menelan atau mengunyah

Faktor yang Berhubungan

a. Kesulitan mengunyah atau menelan

27

b. Intoleransi makanan

c. Faktor ekonomi

d. Kebutuhan metabolik tinggi

e. Kurang pengetahuan dasar tentang nutrisi

f. Hilang nafsu makan

g. Mual dan muntah

h. Pengabaian oleh orang tua

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

a. Selera makan: Keinginan untuk makan ketika dalam keadaan sakit atau

sedang menjalani pengobatan

b. Memperlihatkan status gizi yang adekuat

c. Mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet

d. Mempertahankan massa tubuh dan berat badan dalam batas normal

e. Melaporkan tingkat ekergi yang adekuat.

Tujuan dan Kriteria Hasil menurut Wilkinson (2007)

Setelah dilakukan asuhan keperawatan diharapkan ebutuhan nutrisi

pasien terpenuhi dengan kriteria hasil: asupan makanan dan cairan adekuat,

zat gizi terpenuhi, asupan cairan oral atau IV dapat terpenuhi dengan baik,

serta mencapai berat badan ideal

Intervensi NIC

a. Kaji faktor pencetus mual dan muntah

b. Catat warna, jumlah, dan frekuensi muntah

c. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan

d. Manajemen nutrisi NIC:

1) Ketahui makanan kesukaan pasien

2) Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

3) Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan

4) Timbang pasien pada interval yang tepat

e. Ajarkan orang tua dan anak tentang makanan yang bergizi dan tidak

mahal

f. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana

memenuhinya

28

g. Berikan makanan dalam porsi sedikit tetapi sering dengan makanan yang

bervariasi

h. Membantu pasien untuk makan

i. Kolaborasi pemberian obat antiemetik dan atau analgesik sebelum makan

atau sesuai dengan jadwal yang dianjurkan.

6. Ansietas

Batasana Karakteristik

Perilaku

a. Penurunan produktivitas

b. Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa hidup

c. Gerakan yang tidak relevan (misalnya mengeret kaki, gerakan lengan)

d. Gelisah

e. Memandang sekilas

f. Insomnia

g. Kontak mata buruk

h. Resah

i. Menyelidik dan tidak waspada

Afektif

a. Gelisah

b. Kesedihan yang mendalam

c. Distres

d. Ketakutan

e. Perasaan tidak adekuat

f. Fokus pada diri sendiri

g. Peningkatan kekhawatiran

h. Iritabilitas

i.Gugup

j.Gembira berlebihan

k. Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten

l.Marah

m. Menyesal

n. Perasaan takut

29

o. Ketidakpastian

p. Khawatir

Fisiologis

a. Wajah tegang

b. Insomnia

c. Peningkatan keringat

d. Peningkatan ketegangan

e. Terguncang

f. Gemetar atau tremor di tangan

g. Suara bergetar

Parasimpatis

a. Nyeri abdomen

b. Penurunan tekanan darah

c. Penurunan nadi

d. Diare

e. Pingsan

f. Keletihan

g. Mual

h. Gangguan tidur

i. Kesemutan pada ekstremitas

j. Sering berkemih

k. Berkemih tidak lampias

l. Urgensi berkemih

Simpatis

a. Anoreksia

b. Eksitasi kardiovaskuler

c. Diare

d. Mulut kering

e. Wajah kemerahan

f. Jantung berdebar-debar

g. Peningkatan tekanan darah

h. Peningkatan nadi

30

i. Peningkatan refleks

j. Peningkatan pernapasan

k. Dilatasi pupil

l. Kesulitan bernapas

m. Vasokontriksi superfisial

n. Kedutan otot

o. Kelemahan

Kognitif

a. Kesadaran terhadap gejala-gejala fisiologis

b. Blocking pikiran

c. Konfusi

d. Penurunan lapang pandang

e. Kesulitan untuk berkonsentrasi

f. Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah

g. Keterbatasan kemampuan untuk belajar

h. Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik

i. Fokus pada diri sendiri

j. Mudah lupa

k. Gangguan perhatian

l. Tenggelam dalam dunia sendiri

m. Melamun

n. Kecendruangan untuk menyalahkan orang lain

Faktor yang Berhubungan

a. Terpajan toksin

b. Hubungan keluarga/hereditas

c. Transmisi dan penularan interpersonal

d. Krisis situasi dan maturasi

e. Stres

f. Penyalahgunaan zat

g. Ancaman kematian

h. Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan,

status kesehatan, status ekonomi, atau pola interaksi

31

i. Ancaman terhadap konsep diri

j. Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang esensial

k. Kebutuhan yang tidak terpenuhi

Tujuan dan Kriteria Hasil NOC

a. Ansietas berkurang

b. Kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu

c. Memiliki TTV dalam batas normal

d. Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami kecemasan

Intervensi NIC

a. Kaji tingkat ansietas pasien

Skala Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) dalam penilaian kecemasan

(ansetas) terdiri dari 14 item, meliputi:

1) Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung.

2) Merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.

3) Ketakutan : takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal

sendiri dan takut pada binatang besar.

4) Gangguan tidur sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur

tidak pulas dan mimpi buruk.

5) Gangguan kecerdasan : penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit

konsentrasi.

6) Perasaan depresi : hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada

hoby, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.

7) Gejala somatik : nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara

tidak stabil dan kedutan otot.

8) Gejala sensorik : perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka

merah dan pucat serta merasa lemah.

9) Gejala kardiovaskuler : takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras

dan detak jantung hilang sekejap.

10) Gejala pernapasan : rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering

menarik napas panjang dan merasa napas pendek.

32

11) Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun,

mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan,

perasaan panas di perut.

12) Gejala urogenital : sering keneing, tidak dapat menahan keneing,

aminorea, ereksi lemah atau impotensi.

13) Gejala vegetatif : mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu

roma berdiri, pusing atau sakit kepala.

14) Perilaku sewaktu wawancara : gelisah, jari-jari gemetar,

mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat

dan napas pendek dan cepat.

Cara Penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan

kategori:

0 = tidak ada gejala sama sekali

1 = Ringan / Satu dari gejala yang ada

2 = Sedang / separuh dari gejala yang ada

3 = berat / lebih dari ½ gejala yang ada

4 = sangat berat / semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan

item 1-14 dengan hasil:

1) Skor < 14 = tidak ada kecemasan.

2) Skor 14 - 20 = kecemasan ringan.

3) Skor 21 – 27 = kecemasan sedang.

4) Skor 28 – 41 = kecemasan berat.

5) Skor 42 – 56 = panik.

b. Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil

menurunkan ansietas di masa lalu

c. Berikan informasi tentnag gejala ansietas

d. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran

dan aperasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas

e. Yakinakan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara

verbal dan nonverbal secara bergantian

33

f. Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi serta izinkan

pasien untuk menangis

g. Bermain dengan anak atau bawa anak ke tempat bermain anak di rumah

sakit dan libatkan anak dalam permainan

h. Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas.

Menurut marilyb E. Doaenges Diagnosa keperawatan post operasi apendiktomi

adalah :

1. Gangguan rasa nyaman: nyeri luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas

jaringan.

2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif

3. Keterbatasan aktifitas b.d. nyeri pasca operasi, penurunan kekuatan dan ketahanan sekunder akibat efek susunan saraf pusat dari anestesi.

4. Kurang pengetahuan b.d. kurangnya informasi perawatan post operasi

5. Resiko terhadap kekurangan cairan b.d. masukan cairan tidak adekuat akibat

mual, status puasa, depresi susunan saraf pusat atau kurangnya akses cairan.

INTERVENSI :

1. Gangguan rasa nyaman : nyeri luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas

jaringan.

Tujuan : persepsi subyektif pasien tentang ketidaknyamanan menurun, klien

tidak menunjukkan indikator-indikator nyeri non verbal, respon verbal seperti

menangis atau meringis tidak ada.

Intervensi :

Intervensi Rasional

1. Kaji dan dokumentasikan kualitas,

lokasi, dan durasi nyeri

1. Berguna dalam pengawasan

keefek-tifan obat, kemajuan

penyembuhan, perubahan pada

karakteristik nyeri menunjukkan

terjadinya abses/ peritonitis,

memerlukan evaluasi medik dan

34

2. Ajarkan tehnik untuk pernafasan

diafragma lambat

3. Bantu posisi klien untuk

kenyamanan yang optimal: posisi

semi fowler, beberapa pasien

menemukan kenyamanan pada

posisi miring dengan lutut ditekuk,

sedangkan yang lain merasa hilang

dengan posisi terlentang dengan

bantal di bawah lutut.

4. Ajarkan klien untuk memberi

tahanan ringan dengan tangan atau

bantal pada luka operasi saat batuk

5. Berikan therapi obat analgesik

sesuai kebutuhan klien

intervensi

2. Menurunkan stress dan membantu

relaks otot yang tegang

3. Gravitasi melokalisasi eksudasi

inflamasi dalam abdomen bawah

atau pelvis. Menghilangkan

ketegangan otot abdomen yang

bertambah dengan posisi

terlentang

4. Tahanan ringan mengurangi

ketegangan otot abdomen saat

serangan batuk

5. Analgesik menghilangkan nyeri,

mempermudah kerjasama dengan

intervensi terapi lain seperti:

ambulasi, batuk

2. Resiko infeksi b.d. prosedur invasif

Tujuan : klien bebas dari infeksi dengan kriteria normotemia, berorientasi

terhadap waktu dan tempat, tidak ada eritema, insisi yang hangat atau

drainase dari sisi insisi

Intervensi :

Intervensi Rasional

1. Observasi tanda-tanda Vital

2. Evaluasi luka operasi terhadap

bukti infeksi: eritema, hangat,

bengkak, drainage purulent,

1. Dugaan adanya infeksi /

terjadinya sepsis, abses, dan

peritonitis dapat meningkatakan

metabolisme dan tanda-tanda vital

2. Sebagai deteksi dini terhadap

adanya infeksi

35

penyembuhan lambat

3. Perhatikan warna, karakter dan

bau drainage, laporkan bila

drainage ball busuk atau abnormal

4. Ganti balutan sesuai program

dengan menggunakan tehnik steril,

cegah kontaminasi silang dari luka

pada klien

5. Cegah transmisi agen infeksi

dengan mencuci tangan dengan

baik sebelum dan sesudah

merawat klien

6. Beli makanan yang berkualitas:

asupan karbohidrat, protein,

dukung klien untuk makan secara

bertahap

7. Berikan therapi antibiotik sesuai

indikasi

3. Cairan drainage yang busuk atau

abnormal mengindikasikan

adanya proses infeksi

4. Mencegah resiko penyebaran

infeksi

5. Mencuci tangan dengan baik

menurunkan resiko penyebaran

infeksi

6. Karbohidrat dan protein penting

dalam proses penyembuhan luka

7. Menurunkan jumlah organisme

(pada infeksi yang sudah ada

sebelumnya) untuk, menurunkan

penyebaran dan pertumbuhannya

pada rongga abdomen

3. Keterbatasan aktifitas b.d. nyeri pasca operasi, penurunan kekuatan dan

ketahanan sekunder akibat efek susunan saraf pusat dari anestesi.

Tujuan : Klien dapat mobilisasi secara optimal dengan kriteria kemampuan

untuk bergerak di tempat tidur, berpindah dan ambulasi secara mandiri atau

dengan bantuan minimal.

Intervensi :

Intervensi Rasional

1. Kaji mobilitas fisik pra operasi

dengan mengevaluasi koordi-nasi

1. Nyeri pasca operasi dan efek

anestesi menurunkan ketahanan

36

dan kekuatan otot, kontrol dan

masa

2. Bantu klien untuk ambulasi segera

mungkin setelah pembedahan

sesuai indikasi

3. Bantu klien dalam memenuhi

kebutuhan ADL

4. Dekatkan alat-alat yang

dibutuhkan oleh klien

5. Jelaskan pentingnya gerakan

ditempat tidur dan ambulasi pada

penurunan komplikasi pada pasca

operasi

otot

2. Ambulasi dini penting dalam

peningkatkan normalisasi fungsi

organ

3. Mengurangi resiko mobilisasi

yang tidak diperlukan

4. Meminimalkan aktifitas klien

5. Penjelasan dapat membantu agar

klien kooperatif dengan intervensi

perawat

37

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur

baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia

10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000).

Menurut Sjamsuhidayat (2004), apendisitis terdiri dari lima bagian antara

lain  :

1. Apendisitis akut

2. Apendisitis infiltrat (Masa periapendikuler)

3. Apendisitis perforata

4. Apendisitis rekuren

5. Apendisitis kronis

Penyebab penyakit apendisitis secara pasti belum diketahui. Tetapi,

terjadinya apendisitis ini umumnya karena bakteri. Selain itu, terdapat banyak

faktor pencetus terjadinya penyakit ini diantaranya sumbatan lumen apendiks,

hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris yang dapat

menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan

apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah

serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis juga merupakan

faktor pencetus terjadinya penyakit ini.

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks

oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis

akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

B. Saran

38

Jagalah kesehatan dengan minum air putih minimal 8 gelas sehari dan tidak

menunda buang air besar juga akan membantu kelancaran pergerakan saluran

cerna secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman, Diane C dan Hackley, JiAnn C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah:

Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.

_____________2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat, R dan Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8

Volume 2, Alih Bahasa Kuncara, H.Y, dkk. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:

Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil Noc. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn E.dkk.2000 .Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III.Alih Bahasa: I Made Kriasa.EGC.Jakarta.

39