Ankylosing Spondilosis
-
Upload
prince-singgih-saputra -
Category
Documents
-
view
60 -
download
9
description
Transcript of Ankylosing Spondilosis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ankylosing Spondylosis adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat
menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Proses
cervical, thoracal, dan atau lumbal dari tulang belakang mempengaruhi diskus
intervertebralis dan facet join.1
Spondylosis merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau
diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor
utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis adalah usia,
obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada
faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang
berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan
perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).
Spondylosis merupakan kelompok kondisi osteoarthritis yang
menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal
joint (facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia 30 – 45 tahun namun paling
banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada
laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis adalah faktor kebiasaan
postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh.
Perubahan degeneratif dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik
(muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang,
spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).
1
Pasien ankylosing spondylosis cenderung memiliki tubuh condong ke
depan, dan berpostur menekuk ke depan karena gravitasi. Pengobatan atau
perawatan pada spondilosis biasanya konservatif, yang paling sering digunakan
adalah obat anti inflamasi (NSAIDs), modalitas fisik, dan modifikasi gaya hidup.
Untuk tindakan pembedahan kadang- kadang dilakukan. Tindakan pembedahan
dianjurkan untuk radikulopaty servikal pasien dengan klinis yang berat, gejala
progresif, ataukegagalan dengan terapi konservatif. Tulang belakang bisa
dikoreksi melalui prosedur pembedahan kompleks yang berisiko cedera
neurologis3.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Biomekanikal Vertebrae
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang
memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7
columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra
lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra
sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25
tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal
cord merupakan struktur yang Sangat sensitif dan penting karena menghubungkan
otak dan sistem saraf perifer.3
Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis
atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint
dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai
dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.2
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di
pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan
bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian
tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir
di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu
foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh
discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian
inferior. 2
3
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal
dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke
bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit
recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus
lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan
penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis. 2
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong
dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari
canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-
tiap titik ini dapat terjadi penekanan. 2
Gambar 1. Columna Vertebralis 4
4
Gambar 2. Struktur Columna Vertebralis Lumbal 3
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak
terdapat pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting
sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian
anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi
bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah
segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal
terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal
junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan
dijelaskan tentang three joint kompleks.
2.1.1 Diskus Intervertebralis
Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis,
merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus
vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang
5
dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis
memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang
penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus
juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri
atas 2 komponen yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk
jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen
dan proteoglycans yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat
mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic
yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks
mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin
sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak
mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai
kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban
kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke
annulus & sebagai shock absorber.
2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan
collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique &
menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena serabutnya saling
menyilang secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur
ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension,
dan shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal
dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan
organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat
6
degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus
di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara
mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan
pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus
vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus
yang bekerja seperti bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan
postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis
disebut tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal
berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan
intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4 menerima beban
intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson
menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 – 25 kp dan tidur
miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan
intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih besar saat duduk
tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100
kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal
meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika
mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.
2.1.2 Facet Joint
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra
bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet
termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai
cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada
7
sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap
vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.
Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk
menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet.
Sendi facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama
pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi
facet L5-S1.
2.1.3 Ligamen
Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :
a. Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari
basis occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke
sacrum, ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan
melekat pada antero-superior corpus vertebra. Ligamen longitudinal anterior
merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif
saat gerakan ektensi lumbal.
b. Ligamen longitudinal posterior
Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal
sacral pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada
permukaan posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit
dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada
ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal
pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior.
Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent
8
nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini
berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
c. Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada
setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular
dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak
serabut elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen
lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan
memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
e. Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio
lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot
lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi
lumbal.
f. Ligamen intertransversalis
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus
dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral
fleksi kearah kontralateral.
2.1.4 Otot
Otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:
9
a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia
lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca
dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa
otot yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m.
intrasversaris
Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal
dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.
b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan
memperkuat dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal
yang penting dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus
external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini
merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan
kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada
rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja
sebagai direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah
inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace
kearah anterior.
c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral
lumbal yang terdiri dari :
10
1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada
saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga
mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama,
processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah
superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari
vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami
peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum),
ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut
annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen
longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal
posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian
bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus dapat saling
bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak
kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan
karena nukleus bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi
kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat
yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus
articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara
sisi kontralateral akan bergerak turun.
11
Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra
bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara
processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak
berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh
orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial
rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10o dan
ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.
2.2 Definisi
Ankylosing Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan
degeneratif pada sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis
merupakan kelompok osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan
degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi
apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut
seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).
Spondylosis merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus
dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada
corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada
lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran
osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild, 2009).
Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis
didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra atau diskus
intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat
menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar
saraf lumbosacral.
12
2.3 Etiologi
Spondylosis muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau
perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak
berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik,
merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).
Spondylosis banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia
45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki.
Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann
Thomson et al, 1991) :
a. Kebiasaan postur yang jelek
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang
melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan
membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi
pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :
a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa
proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk
degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian
otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis
meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun.
Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun
dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.
13
b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan
Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas
tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma
pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari
(twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus
menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya
merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis
dan keparahan spondylosis.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan
degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan
bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan
dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi
progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar
½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan
lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik
dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan
degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan
kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses
degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa
pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi
14
fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra
lumbar.
2.4 Patofisiologi
Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya
kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan
beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan
beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40
tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/
trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang
menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan
kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur
pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra
yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari
diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan pada cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun,
terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60
tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular,
dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh
arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang
terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu,
diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus
mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006).
15
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M.
Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak
yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat
dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :
a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang
menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus
intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih
bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint
selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya.
Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada
kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk
suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian
didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago
awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan
kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang
penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih
kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan
circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan
paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya
beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang
terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara
perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area
circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan
16
radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya
kandungan proteoglycan.
b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas
(kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan
annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat
berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada
tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk
formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang
ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit
perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar
oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya,
sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.
c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada
sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan
formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal
untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang
terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan
penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan
suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada
segmen gerak.
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat
perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya
perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa
implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami
17
aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis
intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang
berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan
potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat
memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior
sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral
joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan
perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan
space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi
facet pada processus articular inferior – superior, dengan resiko terjadinya
proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan
(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh
adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis.
Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat
menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang
yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf
spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith,
2009).
2.4 Gambaran Klinis Daerah yang Terkena4
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat
iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus
intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial
didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
18
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam
gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal
melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular
inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau
spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication,
yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan
motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan,
dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David
E. Fish, 2009).
1. Diskus Intervertebralis
Ketika orang menua terjadi perubahan biokimiawi tertentu yang
mempengaruhi jaringan di seluruh tubuh. Pada tulang belakang, struktur dari
diskus intervertebralis (annulus fibrosus,lamellae, dan nucleus pulposus) mungkin
dapat mengalami perubahan biokimiawi tersebut. Annulus fibrosus tersusun dari
60 atau lebih pita yang konsentris dari serabut kolagen yang dinamakan lamellae.
Nucleus pulposus adalah suatu bahan seperti gel didalam diskus intervertebralis
yang dibungkus oleh annulus fibrosus.Serabut kolagen membentuk nukelus
bersama dengan air dan proteoglikan.
Efek degeneratif dari penuaan dapat melemahkan struktur dari annulus
fibrosus yang menyebabkan bantalan melebar dan robek. Isi cairan didalam
nucleus menurun sesuai dengan usia, mempengaruhi kemampuannya untuk
melawan efek kompresi (peredam getaran). Perubahan struktural karena
degenerasi dapat mengurangi ketinggian diskus dan meningkatkan risiko herniasi
diskus.
19
2. Facet Joint
Sendi facet disebut juga dengan zygapophyseal joints. Masing-masing
korpus vertebrae memiliki empat sendi yang bekerja seperti engsel.Ini adalah
persendian tulang belakang yang dapat menyebabkan ekstensi, fleksi, dan
rotasi.Seperti sendi lainnya, permukaan sendi dari tulang memiliki lapisan yang
tersusun dari kartilago.Kartilago adalah jenis jaringan konektif tertentu yang
memiliki permukaan gesekan rendah karena memiliki lubrikasi sendiri.Degenerai
facet joint menyebabkan hilangnya kartilago dan pembentukan osteofit.Perubahan
ini dapat menyebabkan hipertrofi atau osteoarthritis, dikenal juga sebagai
degenerasi joint disease.
3. Tulang dan ligament
Osteofit dapat terbentuk berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang,
sehingga dapat mengurangi aliran darah ke vertebra. Kemudian permukaan
pertumbuhan tulamg dapat kaku, terjadi suatu penebalan atau pengerasan tulang
dibawah lempeng pertumbuhan. Ligament adalah pita dari jaringan ikat yang
menghubungkan struktur tulang belakang dan melindungi dari hiperekstensi.
Namun demikian, perubahan degeneratif dapat menyebabkan ligament kehilangan
kekuatannya.
4. Tulang Cervical
Kompleksitas anatomi dan pergerakan yang luas membuat segmen ini
rentan terhadap gangguan yang berkaitan dengan perubahan degeneratif. Nyeri
leher sering terjadi. Nyeri dapat menjalar ke bahu atau ke lengan kanan. Ketika
suatu osteofit dapat mengakibatkan kompresi akar syaraf, kelemahan tangan
20
mungkin tidak disadari. Pada kasus yang jarang, osteofit pada dada dapat
mengakibatkan susah menelan (disfagia).
5. Vertebra Thorakalis
Nyeri yang berkaitan dengan penyakit degeneratif sering dipicu oleh fleksi
kedepan dan hiperekstensi. Pada diskus vertebrae torakalis nyeri dapat disebabkan
oleh fleksi facet join yang hiperekstensi.
6. Vertebra Lumbalis
Spondylosis sering kali mempengaruhi vertebra lumbalis pada orang diatas
usia 40 tahun. Nyeri dan kekakuan badan merupakan keluhan utama. Biasanya
mengenai lebih dari satu vertebrae. Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar
berat badan.Oleh karenanya, gerakan dapat merangsang serabut saraf nyeri pada
annulus fibrosus dan facet joint. Pergerakan berulang seperti mengangkat dan
membungkuk dapat meningkatkan nyeri.
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak
pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat
aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri
dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra
lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk
(seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan,
2010).
21
2.5 Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh mengungkapkan banyak tentang
kesehatan dan keadaan umum pasien. Pemeriksaan termasuk ulasan
terhadap riwayat medis dan keluarga pasien. Palpasi untuk menentukan
kelainan tulang belakang, daerah dengan nyeri tekan, dan spasme otot.
2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dengan memeriksa gejala-gejala pasien
termasuk nyeri, kebas, paresthesias, sensasi, motoris, spasme otot,
kelemahan, gangguan perut, dan kandung kemih. Pemeriksaan range of
motion, mengukur tingkatan sampai sejauh mana pasien dapat melakukan
gerak fleksi, ekstensi, miring ke lateral, dan rotasi tulang belakang.
3. Pencitraan
Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya diskus
vertebralis dan osteofit. Namun tidak sejelas CT-scan atau MRI.CT-scan
dapat digunakan untuk mengungkap adanya perubahan tulang yang
berhubungan dengan spondylosis. MRI mampu memperlihatkan kelainan
diskus, ligament, dan nervus.
Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique
berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan
bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis,
spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis
spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan
dengan metode ini.2
22
Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan
derajat dan kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari satu titik
penekanan tidak cukup. 2
CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan
pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan
setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet
joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural
dan ligamentum clavum juga terlihat. 2
MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur
non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi
canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus
pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting
untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan
adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan
metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan
bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian
fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 2
Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan
dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada
MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang
asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan seharusnya
tidak diperhitungkan.
23
Gambar 3. Spinal canal stenosis-Sagittal MRI
Gambar 4. Lumbar Spondylosis
2.6 Penatalaksanaan
Tidak ada tindakan pencegahan atau pengobatan definitif untuk individu
dengan Ankylosing spondylosis. Diagnosis dini dan pendidikan pasien yang
tepat adalah penting. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) biasanya
digunakan untuk mengurangi nyeri dan mengurangi peradangan. Pembedahan
diarahkan untuk resolusi komplikasi yang berhubungan dengan Ankylosing
24
Spondylosis. Tidak ada pengobatan bedah kuratif. Pengobatan konservatif
berhasil dalam 75% dari seluruh waktu3,4.
2.6.1 Pengobatan konservatif
Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang
mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan
meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan
yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk
kegiatan sehari-hari. 2
Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan
awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi
konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang
sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk
herniasi diskus. 2
Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari
gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.1
Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan
osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.
Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk
bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi
keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.
Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.
25
2.6.2 Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya
gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak
dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.1
Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan
dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.1
Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang
mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang
30% dari normal.
Reduksi tinggi discus posterior sampai kurang dari 4 mm atau tinggi
foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi
saraf yang diinduksi osteofit.
Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis
spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.
Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma
aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang
berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul
seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak
nampak lagi.
Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan
duodenum.
Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian
karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga
kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:2
26
• Operasi dekompresi
• Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil
• Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis
spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis,
dekompresi selektif dari akar saraf.
Dekompresi kanalis spinalis2
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis
bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan
mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang
rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif
non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.
Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas
spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien
manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus
intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan
adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan
hasil yang buruk.
Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif
atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden
yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang
sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel,
1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis
spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi,
27
kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi
recessus lateralis.
Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang
berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika
jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”.
Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk
mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak
post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.
Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya
dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.
Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar
stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga
biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing”
foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada
herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur
laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar
dan processus spinosus.
Dekompresi selektif akar saraf 2
Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis,
dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai
gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan.
Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.
28
Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi,
instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau
fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.
Dekompesi dan stabilisasi2
Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem
terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama
seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.
Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus
intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk
alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau
penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan
penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi
tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.
Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi
osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau
pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus.
Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan
dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil
percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat
diketahui.
Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi
adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini
merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi
dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka
29
pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna
pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas
dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak
selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.
Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:
Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri
atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan
stabilisasi
Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala
intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur
stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan
menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan
pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.
2.7 Prognosis
Hasil pada pasien dengan ankylosing spondylosis umumnya baik. Pasien
sering membutuhkan terapi anti-inflamasi jangka panjang. Cacat fisik parah tidak
umum di antara pasien dengan AS. Masalah dengan mobilitas terjadi pada sekitar
47% pasien. Cacat ini berkaitan dengan durasi penyakit, arthritis perifer,
keterlibatan tulang belakang servikal, usia yang lebih muda saat onset gejala, dan
penyakit penyerta.4
30
REFERENSI
1. Hanson JA, Mirza S. Predisposition for spinal fracture in ankylosing
spondylitis. AJR Am J Roentgenol. Jan 2000;174(1):150
2. Wilfred CG Peh, MD, MBBS, FRCP. Imaging in Ankylosing Spondylitis.
http://emedicine.medscape.com/article/386639-overview#showall
3. Lawrence H Brent, MD. Ankylosing Spondylitis and Undifferentiated
Spondyloarthropathy http://emedicine.medscape.com/article/332945-
overview
4. S Craig Humphreys, MD. Ankylosing Spondylitis in Orthopedic Surgery
http://emedicine.medscape.com/article/1263287-overview
5. Jennifer H. Jang,Michael M. Ward, Adam N. Rucker, John D.
Reveille, John C. Davis, Jr,Michael H. Weisman, and Thomas J. Learch.
Ankylosing Spondylitis: Patterns of Radiographic Involvement—A Re-
examination of Accepted Principles in a Cohort of 769 Patients.
Radiology January 2011 258:192-198; Published online October 22,
2010,doi:10.1148/radiol.10100426
6. Baraliakos, X., Listing, J., Rudwaleit, M., Sieper, J. and Braun, J. (2009),
Development of a radiographic scoring tool for ankylosing spondylitis
only based on bone formation: Addition of the thoracic spine improves
31