ANESTETIKA SISTEMIK

10
A. ANESTETIKA SISTEMIK Anestetika sistemik adalah senyawa yang dapat menekan aktivitas fungsional sistem saraf pusat sehingga menyebabkan hilangnya kesadaran, menimbulkan efek analgesik dan relaksasi otot serta menurunkan aktivitas refleks. Mekanisme kerja anestetika sistemik Struktur kimia, sifat kimia fisika dan efek farmakologis golongan anestetika sistemik sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa anestetika sistemik menekan sistem saraf pusat secara tidak selektif dan aktivitasnya lebih ditentukan oleh sifat kimia fisika dan bukan oleh interaksinya dengan reseptor khas. Dengan kata lain anestetika sistemik ttermasuk golongan senyawa yang berstruktur khas. Teori terjadinya efek anestesi sistemik dibagi dua, yaitu teori fisik dan teori biokimia. 1. Teori Fisik Pada teori ini efek anestesi dihasilkan oleh interksi fisik. Teori fisik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu teori lemak, teori ukuran molekul dan teori klartat. a. Teori Lemak Overton dan Meyer (1899) memberikan tiga postulat yang berhubungan dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak, sebagai berikut :

Transcript of ANESTETIKA SISTEMIK

Page 1: ANESTETIKA SISTEMIK

A. ANESTETIKA SISTEMIK

Anestetika sistemik adalah senyawa yang dapat menekan aktivitas

fungsional sistem saraf pusat sehingga menyebabkan hilangnya kesadaran,

menimbulkan efek analgesik dan relaksasi otot serta menurunkan aktivitas refleks.

Mekanisme kerja anestetika sistemik

Struktur kimia, sifat kimia fisika dan efek farmakologis golongan anestetika

sistemik sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa anestetika sistemik

menekan sistem saraf pusat secara tidak selektif dan aktivitasnya lebih ditentukan

oleh sifat kimia fisika dan bukan oleh interaksinya dengan reseptor khas. Dengan

kata lain anestetika sistemik ttermasuk golongan senyawa yang berstruktur khas.

Teori terjadinya efek anestesi sistemik dibagi dua, yaitu teori fisik dan teori

biokimia.

1. Teori Fisik

Pada teori ini efek anestesi dihasilkan oleh interksi fisik.

Teori fisik dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu teori lemak, teori ukuran molekul

dan teori klartat.

a. Teori Lemak

Overton dan Meyer (1899) memberikan tiga postulat yang berhubungan

dengan efek anestesi suatu senyawa, yang dikenal dengan teori lemak,

sebagai berikut :

1. Senyawa kimia yang tidak reaktif dan mudah larut dalam lemak

seperti hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan efek narkotik

pada jaringan hidup, sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi

kedalam sel.

2. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang banyak mengandung

lemak seperti sel saraf.

3. Efesiensi anestesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi

lemak/air atau distribusi senyawa dalam fasa lemak dan fasa air

jaringan.

Teori ini hanya mengemikakan afinitas suatu senyawa terhadap tempat

kerja saja dan tidak menunjukkan bagaimana mekanisme kerja

biologisnya. Teori ini juga tidak dapat menjelaskan mengapa suatu

Page 2: ANESTETIKA SISTEMIK

senyawa yang mempunyai koefisien partisi lemak/air tinggi tidak selalu

menimbulkan efek anestesi.

b. Teori Ukuran Molekul

Wulf dan Featherstone (1957) mengemukakan teori anestesi sistemik yang

dikemukakan sebagai teori ukuran molekul.

Beberapa bahan anestesi yang tidak reaktif dapat menimbulkan efek

anestesi sistemik karena ada hubungan yang mendasar antara sifat molekul

dengan efek penekan sistem saraf pusat. Wulf dan Featherstone menduga

bahwa ada hubungan antara tetapan volume molekul suatu senyawa

dengan ada tidaknya kemampuan untuk menimbulkan anestesi.

Tetapan volume molekul dihitungg berdasarkan persamaan Van der Walls.

Volume molekul obat-obatan anestesi selalu lebih besar dari 4,4.

Contohnya xenon = 5,1 dan etilen = 5,7. Ruang lateral yang memisahkan

molekul-molekul lemak dn protein dalam jaringan otak, secara normal

ditempati oleh senyawa-senyawa yang mempunyai harga volume molekul

lebih kecil dari 4,4 contoh oksigen = 3,18 dan H2O = 3,05. Wulf dan

Featherstone menduga bahwa obat-obat anestesi diatas dapat menduduki

ruang-ruang lateral, menyebabkan pemisahan lapisan-lapisan lemak dan

mengubah struktur molekul. Perubahan strutur menyebabkan penekanan

fungsi sel saraf sehingga terjadi efek anestesi.

c. Teori Klatrat

Pauling (1961) mengemukakan suatu teori anestesi yang penekanannya

tidak pada fasa lemak sistem saraf pusat tetapi pada fasa air, yang dikenal

dengan teori klartrat atau teori air.

Obat anestesi yang berupa gas atau larutan mudah menguap dan bersifat

inert seperti xenon dan kloroform, mempunyai potensiasi sama dan hanya

berbeda pada kemampuan untuk mencapai reseptor.

2. Teori biokimiia

Pada teori ini kerja anestesi dihasilkan oleh perubahan biokimia. Quastel (1963),

mencoba menjelaskan mekanisme kerja anestetika sistemik secara biokimia

dengan memperkenalkan teori penghambatan oksidasi. Pada percobaan in vitro

terlihat bahwa senyawa anestetika sistemik dapat menekan uptake okksigen di

Page 3: ANESTETIKA SISTEMIK

otak dengan cara menghambat ossidasi koenzim NADH (nikotinamid-adenin-

dinukleotida) menjadi NAD+. Pencegahan proses oksidasi ini menimbulkan

penekanan siklus asam sitrat karena NAD+ terlibat dalam proses dekarboksilasi

oksidatif dalam siklus asam trikarboksilat (siklus krebs). Karena oksidasi NADH

juga dikontrol oleh proses fosforilasi ADP menjadi ATP, maka anestetika

sistemik juga menghambat proses fosforilasi oksidatif tersebut dan menurunkan

pembentukan ATP. Pengurangan uptake oksigen diatas menyebabkan penurunan

aktivitas sistem saraf pusat sehinggan terjadi anestesi.

Berdasarkan cara pemberiannya anestetika sistemik dibedakan menjadi 2

kelompok yaitu :

1. Anestetika Inhalasi

Anestetika inhalasi adalah senyawa yang dapat menimbulkan efek anestesi dan

diberikan secara inhalasi. Disebut pula anestetika yang mudah menguap karena

pada umumnya berupa gas atau cairan yang mudah menguap. Beberapa

diantaranya bersifat mudah meledak bila bercampur dengan gas atau udara lain.

Aktivitas dan keamanannya sangat bervariasi.

Keunntungan anestetika ihalasi dibandingkan dengan anestetika intravena :

a. Kedalam anestesi dapat diubah dengan cepat dengan mengubah kadar

obat.

b. Kemungkinan terjadinya depresi pernapasan setelah operasi kecil karena

obat dieleminasikan dengan cepat.

Anestetika inhalasi menimbulkan efek samping antara lain adalah delirium, mual,

takikardia (kecuali halotan), aritmia jantung, depresi pernapasan, oliguri yang

terpulihkan, kadang-kdang ada yang menimbulkan hepatotoksik, nefrotoksik dan

bersifat karsinogenik. Dalam sediaan pada umumnya oksigen sebagai pelarut.

Contoh anesteetika inhalasi yang berupa gas adalah :

Siklopropana, etilen, dan dinitrogen oksida.

Berdasrkan struktur kimianya anestetika inhalasi yang berupa cairan yang mudah

menguap dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu turunan eter ( dietileter, vinil

eter, enfluran, isofluran dan metoksifluran ) dan turunan hidrokarbon

terhalogenasi (kloroform, etilklorida, halotan dan tribrometanol.

Page 4: ANESTETIKA SISTEMIK

2. Anestetika Intravena

Anesttika intravena adalah senyawa yang dapat menimbulkan anestesi dan

diberikan secara intravena. Senyawa ini menghilangkan kesadaran secara cepat

tetapi masa kerjanya juga singkat sehingga untk operasi yang memerlukan waktu

lama harus dikombinasikan dengan anestetika sistemik lainnya. Anestetika

intravena menimbuulkan efek samping seperti depresi pernapasan, aritmia

jantung, spasma pada bronki dan laring, hipotensi, mual dan rasa pusing sesudah

operasi.

Berdasarkan struktur kimianya anesterika intravena dibagi menjadi 2 kelompok

yaitu:

a. Turunan Barbiturat

Masa kerjanya sangat pendek atau kurang dari setengah jam, pada

umumnya mennimbulkan efek anestesi sistemik. Contohnya : metoheksital

Na, tiametal Na dan tiopental Na.

b. Turunan Sikloheksanon

Contoh senyawa anestetika sistemik:

Dietileter (Eter, Aether Anestheticus) merupakan anestetika sistemik yang

cukup aman dan banyak digunakan dalam pembedahan. Waktu induksinya

lambat sehingga pada permulaan biasanya digunakan anestesi lain yang

awal kerjanya cepat, seperti vinileter atau nitrogen oksida. Kadar anestesi

10-20% secara inhalasi.

Ketamin HCl (Ketalar) adalah anestesi sistemik yang diberikan secara

intravena atau intramuskular. Awal kerjanya cepat, 0,5 menit setelah

pemberian intravena dan 3-4 menit setelah pemberian intramuskular.

Efeknya berakhir setelah 5-10 menit (I.V.) atau 12-25 menit (I.M.),

dengan waktu paro 2,5-4 jam. Efek samping ketamin lebih rendah

dibanding obat anestesi sistemik lain.

B. SEDATIFA DAN HIPNOTIKA

Sedatifa dan hipnotika adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat

sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas.

Sedafifa adalah senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan

terjadinya penurunan kepakaan terhadap rangsangan dari luar karena ada

Page 5: ANESTETIKA SISTEMIK

penekanan sistem saraf pusat yang ringan. Dalam dosis besar, sedatifa berfungsi

sebagai hipnotika, yaitu dapat menyebabkan tidur pulas. Sedatifa digunakan

untuk menekan kecemasan yang diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan

kronik yang disebabkan oleh penyakit atau faktor sosiologis, untuk menunjang

efek anestesi sistemik. Sedatifa mengadakan potensiasi dengan obat analgesik

dan obat penekan sistem saraf pusat yang lain. Hipnotika digunakan untuk

pengobatann gangguan tidur seperti insomnia.

Efek samping yang umum golongan sedatif-hipnotika adalah mengantuk dan

perasaan tidak enak waktu bangun. Kelebihan dosis dapat menimbulkan koma

dan kematian karena terjadi depresi pusat medula yang vital di otak. Pengobatan

jangka panjang menyebabkan ketergantungan fisik.

Mekanisme Kerja

Secara umum golongan sedatifa-hipnotika bekerja dengan mempengaruhi fungsi

pengaktifan medula, ransangan pusat tidur dan menghambat pusat arousal.

Beberapa obat sedatifa hipnotika, seperti turunan alkohol, aldehida dan karbonat

adalah senyawa yanng berstruktur tidak khas, dan kerjanya dipengaruhi oleh sifat

kimia fisika.

Meskipun strukturnya berbeda, tetapi pada umumnya memiliki dua gambaran

umum yaitu :

a. Mempunyai gugus yang dapat melibatkan ikatan hidrogen

b. Mempunyai gugus yang dapat menurunkan tetapan dielektrik air

Identifikasi tetapan dielektrik dan struktur biopolimer dari air yang

mengelilinginya menyebabkan perubahan konformasi makromolekul dan hal ini

berhubungan dengan peran biologisnya. Struktur turunan barbiturat mirip dengan

timin, dapat berinterksi melalui ikatan hidrogen dengan gugus adenin dari banyak

makromolekul,, seperti FAD dan NADH yang terlibat dalam proses biokimia

penting.

Sedatifa hipnotika yang banyak digunakan secara luas seperti turunan barbiturat

merupakan senyawa yang berstruktur khas dan kerjanya dipengaruhi oleh

ikatannya dengan reseptor khas. Kerja sedatifa sebagai antikecemasan pada

tingkat molekul masih belum diketahui secara penuh, tetapi pada percobaan

diketahui bahwa sedatifa-hipnotika bekerja pada jalur ketokolamin.

Page 6: ANESTETIKA SISTEMIK

Hubungan Struktur dan aktivitas

Dari penelitian Hansch dan kawan-kawan diketahui bahwa ada hubungan

parabolik antara perubahan struktur sedatifa-hipnitika, sifa lipofil (Log P) dan

aktivitas penekan sistem sarf pusat.Efek penekan sistem saraf pusat yang ideal

dicapai bila senyawa mempunyai nilai koefisien prtisi oktanol/air optimal = 100

atau log P = 2.

Oleh karena itu struktur sedatifa dan hipnotika pada umumnya mengandung

gugus-gugus sebagai berikut :

a. Gugus non ionik yang sangat polar dengan nilai (-) π besar. Contohnya gugus

alkohol mempunyai nilai π (-) 1,16 dengan gugus polar C-OH.

b. Gugus hidrokarbon (Alkil, aril) atau hidrokarbon terhalogenasi (haloalkil)

yang bersifat non polar, dengan nilai π berkisar antara (+) 1-3.

Bila a dan b digabungkan didapatkan nilai jumlah π (Log P) ± 2, sehingga

dihasilkan efek penekan sistem saraf pusat yang mendekati ideal.

Berdasarkan struktur kimianya sedatifa-hipnotika dibagi menjadi ;

1. Turunan Barbiturat

Turunan barbiturat merupakan sedatifa yang paling banyak digunakan secara

luas sebelum ditemukannya turunan benzodiazepin. Turunan barbiturat

bekerja sebagai penekan pada aksis serebrospinal dan menekan aktivitas

saraf, otot rangka, otot polos dan otot jantung. Turunan barbiturat dapat

menghasilkkan derajat depresi yang berbeda yaitu sedasi, hipnotik atau

anestesi, tergantung pada struktur senyawa, dosis dan cara pemberian.

Mekanisme Kerja

Turunan barbiturat bekerja dengan menekan transmisi sinaptik pada sistem

pengaktifan retikula di otak dengan cara mengubah permeabilitas membran

sel sehingga mengurangi rangsangan sel postsinaptik dan menyebabkan

deaktikvasi korteks serebral.