Anestesia Torakotomi

59
ANESTESIA PADA TORAKOTOMI dr. Sugeng Budi Santosa, SpAn *) A. PENDAHULUAN Akibat perkembangan ilmu pengetahuan alam, teknik dan penatalasanaan anestesi pada bedah torak mengalami evolusi dan perbaikan yang sangat dramatis dan progresif (1) . Seiring dengan kemajuan itu, frekuensi bedah paru juga mengalami peningkatan, menurut laporan saat ini ada 120. 000 –130. 000 kasus bedah paru pertahun, dan diperkirakan akan semakin meningkat pada dekade berikutnya (2) . Pada awalnya, masalah pertukaran gas merupakan kendala utama pada bedah toraks terbuka. Masalah ini dapat dipecahkan dengan ventilasi kontrol dengan tekanan positif ( Control Positive Pressure Ventilation ). Pada kasus – kasus operasi untuk abses paru, fistula bronkopleura dan hemoptisis, masalahnya bertambah lagi dengan diperlukanya teknik untuk memisahkan satu paru dari paru yang lainnya. Metode – metode untuk pengelolaan anestesi satu paru menjadi berkembang baik dalam segi indikasi maupun teknik ventilasi satu paru. Saat ini, dengan teknik ventilasi satu paru mampu dihasilkan satu tingkat oksigenasi darah arteri yang setingkat dengan yang dicapai oleh teknik ventilasi dua paru (1) . Saat ini hampir semua prosedur bedah torak dilakukan dalam posisi lateral decubitus (1,2,3,4,5,8) . Posisi ini disamping akan memberikan pemaparan lapangan

description

Pedoman audit medik

Transcript of Anestesia Torakotomi

Page 1: Anestesia Torakotomi

ANESTESIA PADA TORAKOTOMIdr. Sugeng Budi Santosa, SpAn *)

A. PENDAHULUAN

Akibat perkembangan ilmu pengetahuan alam, teknik dan

penatalasanaan anestesi pada bedah torak mengalami evolusi dan perbaikan

yang sangat dramatis dan progresif (1). Seiring dengan kemajuan itu, frekuensi

bedah paru juga mengalami peningkatan, menurut laporan saat ini ada 120. 000

–130. 000 kasus bedah paru pertahun, dan diperkirakan akan semakin

meningkat pada dekade berikutnya (2).

Pada awalnya, masalah pertukaran gas merupakan kendala utama

pada bedah toraks terbuka. Masalah ini dapat dipecahkan dengan ventilasi

kontrol dengan tekanan positif ( Control Positive Pressure Ventilation ).

Pada kasus – kasus operasi untuk abses paru, fistula bronkopleura

dan hemoptisis, masalahnya bertambah lagi dengan diperlukanya teknik untuk

memisahkan satu paru dari paru yang lainnya. Metode – metode untuk

pengelolaan anestesi satu paru menjadi berkembang baik dalam segi indikasi

maupun teknik ventilasi satu paru. Saat ini, dengan teknik ventilasi satu paru

mampu dihasilkan satu tingkat oksigenasi darah arteri yang setingkat dengan

yang dicapai oleh teknik ventilasi dua paru(1).

Saat ini hampir semua prosedur bedah torak dilakukan dalam posisi

lateral decubitus (1,2,3,4,5,8). Posisi ini disamping akan memberikan pemaparan

lapangan operasi yang optimal, juga memiliki kerugian yaitu cenderung

menimbulkan gangguan keseimbangan ventilasi/perfusi polmoner. Gangguan

ini akan diperhebat oleh induksi anestesi, penggunaan ventilasi mekanik,

pemakaian pelumpuh otot, dan torakotomi(3). Perubahan–perubahan distribusi

aliran darah dan ventilasi akibat pasisi lateral decubitus baik pada pasien

dalam keadaan sadar, maupun teranestesi dengan ventilasi mekanik harus

benar–benar dipahami(1,2).

Kebanyakan pasien yang akan menjalani torakotomi memiliki

penyakit dasar gangguan pernapasan, dan oleh karena perubahan utama yang

terjadi pada torakotomi adalah terganggunya fungsi paru(4). Maka pada

*) Staf SMF / Bagian Anestesiologi dan Reanimasi RSUD Dr. Moewardi / FK UNS

Page 2: Anestesia Torakotomi

periode prabedah harus dilakukan serangkaian tindakan perawatan respirasi

meliputi : hentikan rokok, dilatasi jalur napas, pengeluaran sekret, tingkatkan

motivasi edukasi dan persiapan fasilitas pasca bedah (1,2,7). Semua tindakaan

prabedah ini dimaksudkan untuk mengurangi komplikasi paru pasca bedah (2).

Selama periode pembedahan torakotomi, dokter spesialis anestesi

tidak hanya akan menghadapi masalah gangguan fisiologi akibat posisi lateral

decubitus, tetapi juga akan menghadapi serangkaian masalah lain yang timbul

akibat open pneumothorax, manipulasi operasi, resiko pendarahan masif, dan

masalah akibat ventilasi satu paru(3). Pada periode ini, monitoring , pemilihan

obat, dan teknik anestesi, pemahaman tentang perubahan – perubahan fisiologi,

dan indikasi serta teknik anestesi / ventilasi satu paru memiliki peranan yang

sangat penting (1).

Pada periode pasca bedah pasien terancam komplikasi segera yang

mengancam jiwa seperti pendarahan masif, blow out stump pasca

pneumonektomi atau lobektomi, dan herniasi jantung(2). Masalah lain pada

periode ini adalah masalah pengelolaan ventilasi mekanik, tindakan – tindakan

perawatan pernafasan, dan pengelolaan nyeri pasca bedah (1).

B. PRINSIP DASAR FISIOLOGI PADA TORAKOTOMI

Pasien yang mengalami bedah torak cenderung mengalami

gangguan kesesuaian ventilasi – perfusi pulmoner akibat posisi lateral

decubitus, induksi anestesi, ventilasi mekanik, pemakaian pelumpuh otot dan

terbukanya dinding dada. Bila perfusi lebih menguntungkan bagi paru

dependent ( bawah ) dan ventilasi lebih menguntungkan paru atas , maka

terjadilah mismatch yang dapat menimbulkan hipoksemia(4).

Pada pasien sadar yang mengalami perubahan posisi dari supine ke

posisi lateral ducubitus akan terjadi perubahan dimana tekanan gravitasi akan

meningkatkan aliran darah ke paru dependent, ventilasi spontan juga akan

meningkatkan aliran gas paru ini sehingga kesesuaian ventilasi / perfusi dapat

dipelihara tetap normal(1,3).

Bila paru kanan sebagai paru nondependent, ia akan mendapatkan

45% dari aliran darah total, sedangkan pada keadaan supine atau upright ia

mendapat 55%. Bila paru kiri sebagai paru nondependent, ia akan mendapatkan

35% dari aliran darah total, sedangkan pada keadaan supine atau upright ia

mendapatkan 45%(1,5). Bila kedua distribusi aliran darah ini dikombinasikan

(paru kanan dan paru kiri sebagai paru nondependent untuk jangka waktu yang

Page 3: Anestesia Torakotomi

sama ), distribusi aliran darah pada posisi lateral decubitus dengan ventilasi

dua paru menjadi 40% ke paru nondependent dan 60 % ke paru dependent(5).

( Gambar 1, diambil dari kepustakaan 5 ).

Blood Flow Distribution : Two Lung Ventilation

Ventilasi ke paru dependent lebih besar dari pada paru

nondependent karena kontraksi diagfragma dibagian dependent lebih efisien

sehingga menghasilkan posisi dada yang lebih tinggi, dan oleh karena paru

dependent memiliki komplien yang lebih baik(1,3).

Pada pasien yang teranestesi dengan nafas spontan pada posisi

latural decubitus induksi anestesi akan menurunkan kapasitas fungsional

residu. Paru atas bergerak kebagian bawah yang lebih komplien , sehingga paru

bawah bergerak keposisi dengan komplien yang lebih kecil sehingga ventilasi

yang lebih banyak menuju paru atas. Karena perfusi tetap lebih banyak ke paru

dependent, maka terjadilah mismatch ventilasi perfusi(1,3). Bila pada pasien ini

diberikan ventilasi konubi, maka ventilasi lebih benyak menuju paru atas oleh

karena keuntungan mekanik dari diafragma dibagian bawah menghilang(1,3).

Pelumpuhan otot memperberat efek ini karena isi abdomen bergerak keatas

mendesak diafragma yang lebih bawah dan menghambat ventilasi ke paru

bawah(3). Selanjutnya, bila dinding dada terbuka, maka gerakan paru atas akan

mempunyai hambatan yang lebih kecil. Efek ini akan memperbesar ventilasi ke

paru atas dari pada paru dependent, sedang perfusi tetap tak berubah sehingga

terjadilah mismatch ventilasi/perfusi yang lebih besar dan kemungkinan terjadi

hipoksemia lebih besar lagi (1,3).

Pada posisi lateral decubitus, ventilasi spontan pada open

pneumothorax akan menimbulkan pergeseran mediastinum dan pernafasan

paradoksal, keduanya akan menimbulkan hipoksemia & hiperkapnea yang

progresif. Pada sisi dada yang terbuka, tekanan pleura akan menjadi sama

dengan tekanan atmosfer, sedang sisi yang lain tekanannya tetap negatif. Saat

Page 4: Anestesia Torakotomi

inspirasi, tekanan negatif pada sisi dependent menjadi lebih negatif dan

mediastinum bergeser kebawah. Selama ekspirasi, mediastinum bergeser

kembali ke atas(1,3).

Efek utama dari pergeseran mediastinum ini adalah menurunkan

volume tidal dari paru dependent, dan apabila pergeserannya sangat besar dapat

menimbulkan gangguan sirkulasi yang menyerupai reflek syok(3).

Ventilasi spontan pada open pneumothorax akan menimbulkan

aliran gas to – and – fro antara paru dependent dan nondependent ( pernapasan

paradoksal ). Selama ispirasi, aliran gas dari paru nondependent melewati

karina menuju paru dependent, dan pnemothorax akan semakin bertambah.

Selama ekspirasi, pnemothorax akan berkurang karena aliran gas membalik dan

bergerak dari paru dependent ke paru nondependent(1,3).

Gambar 2 ( diambil dari kepustakaan 1 ).

Schematic reprensantation of mediastinal shift and paradoxical respiration in the

spontaneously ventilating patient with an open chest and placed in the lateral decubitus

position. The open chest is always exposed to atmospheric pressure (+). During inpiration,

negative pressure (-) in the intact hemothorax causese the mediastinum to move downward

(mediastinal shift). In addition, during inspiration, movement of gas from the nondependent

lung in the open hemithorax into the dependent lung in the closed hemithorax and movement if

air from the environment into the open hemithorax causes the lung in the open hemithorax to

collapse (paradoxical respiration). During expiration, relative positive pressure (+) in the closed

hemithorax causes the mediastinum to move upward (mediastinal shift). In addition, during

expiration, the gas moves from the dependent lung to the nondependent lung and from the open

hemithorax to the environment; consenquently, the nondependent lung expands during

expiration (paradoxical respiration). (From Benumof,479 with permission).

Page 5: Anestesia Torakotomi

C. PERIODE PRABEDAH TORAKOTOMI

Pada periode prabedah torakotomi kegiatan utama adalah

melakukan evalusi untuk mendeteksi pasien yang memiliki resiko tinggi dan

melakukan persiapan serta tindakan – tindakan perawatan untuk optimalisasi

fungsi pernafasan sehingga dapat mengurangi komplikasi pulmoner pasca

bedah(1).

EVALUASI PRABEDAH.

Sebelum torakotomi, hasil pemeriksaan riwayat medis, pemeriksaan

fisik elektro kardiografi, foto rontgent dada dan analisa gas darah arteri

semuanya harus sudah didapat(4).

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan perhatian khusus pada sistem

respirasi (1,2,4) dan sistem kardiovaskuler (2). Gejala umum penyakit paru adalah

paru, produksi dahak yang berlebihan dan sesak napas. Batuk menandakan ada

iritasi bronkus dan sekresi jalan nafas (1,2,4,6,7). Dahak yang kenal berwarna

kuning atau hijau terutama berbau menyokong adanya infeksi. Bila ada sesak

nafas harus ditanyakan sudah berapa lama, apakah mempengaruhi aktivitas,

apakah berhubungan dengan cuaca, apakah ada pencetusnya dan bagaimana

mengatasinya (2). Merokok merupakan faktor resiko yang biasanya ada pada

pasien yang akan menjalani torakotomi, maka perlu juga ditanyakan kebiasaan

merokok dari pasien dan dicari tanda penyakit paru obstruksi menahun serta

penyakit arteria koronaria (3). Penghentian merokok harus dilakukan sedikitnya

48 jam sebelum operasi. Tindakan ini akan menurunkan karboksihemoglobin

dan dapat mempercepat pemulihan pasca operasi (4).

Wheezing, rales, ronchi dan suara nafas abnormal lainnya harus dicatat,

adanya hal ini memberi kesan diperlukannya tindakan medis yang lebih lanjut (1,4,6,7). Ditemukannya sianosis sentral menandakan adanya hipoksemia berat.

Pada pasien dengan penyakit paru kronis atau keganasan mungkin ditemui

clubbing (4).

Produksi hormon ektopik oleh beberapa tumor paru dapat menimbulkan

tanda dan gejala sindrom Chushing, Hiperparatiroid, sindroma inoppropriate

ADH, atau sindrom miastenik(3).

Pemeriksaan penunjang antara lain terdiri dari : pemeriksaan

laboratorium darah lengkap, ureum–kreatinin, gula darah, fungsi hati, elektrolit,

analisa gas darah, uji fungsi paru, EKG dan pemeriksaan radiologi(2).

Page 6: Anestesia Torakotomi

Pada pemeriksaan darah mungkin didapat polisitemia skunder yang

menandakan oksigenasi yang tak adekwat ( saturasi hemoglobin yang rendah ),

atau lekositasis menandakan adanya infeksi paru aktif (1,4,6). Pemerikasaan

enzim hati dan enzim tulang, BUN & kreratinin dan urenalisa, dapat membantu

diagnosa metastase karsinoma paru (1).

Pemerikasaan radiologi , foto torak antero posterior dan lateral, sangat

besar implikasisnya bagi ahli anestesiologi. Misalnya adanya deviasi trakea

atau obstruksi trakea (kesulitan intubasi atau ventilasi), masa mediastinum

(kesulitan ventilasi, sindrom vena cava superior, kompresi arteria pulmonaris),

efusi pleura (kurangnya kapasitas vital dan kapasitas fungsional reidu),

perbesaran jantung (peka terhadap obat – obat anestesi yang menekan jantung),

kista bulosa (bahaya ruptur), batas cairan udara (abses dengan bahaya

penyebaran infeksi), retikulasi parenkim, atelektase atau edema (ventilasi dan

perfusi yang tak merata) (1,2,6).perlu dicatat bahwa lebih kurang 10% pasien

berpenyakit paru kronis dengan infiltrasi difus, dapat memiliki gambaran

radiologi yang normal(1).

EKG pada pasien PPOM dapat menampakkan gambaran hipertropi

ventrikel dan autrium kanan. Pelebaran gelembung di lead II menunjukan

hipertomi ventrikel kanan. Mungkin ada low voltage gelombang QRS akibat

hiperinflasi dari paru (4).

Uji fungsi paru sangat bermanfaat sebagai dasar dan untuk mengetahui

besarnya fungsi cadangan paru oleh karana kebanyakan pasien yang akan

menjalani torakotomi memiliki penyakit paru dan oleh karena pada torakotomi

dipastikan akan terjadi gangguan fungsi paru (1,4,6). Informasi yang didapat dari

uji fungsi paru bermanfaat untuk membuat prediksi kemampuan pasien untuk

mempertahankan ventilasi spontan yang adekwat, melakukan nafas dalam dan

batuk pada periode pasca operasi(4).

Pada pasien dengan karsinoma paru, pemeriksaaan pulmoner harus

dapat dijawab pertanyaan yang berkaitan dengan resektabilitas dan

operatibilitas. Jawaban untuk resektabilitas adalah dengan resektabilitas dan

operatibilitas. Jawaban untuk resektabilitas adalah dengan TNM stagging

(tumor lokal, nodul regional dan metastasen). Pertanyaan operatibilitas

ditunjukkan untuk mengetahui seberapa banyak jaringan paru dapat diambil

tanpa meninggalkan cacat paru, dan pertanyaan ini dijawab dengan fungsi

paru(1).

Page 7: Anestesia Torakotomi

Uji fungsi paru dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu uji fungsi paru

keseluruhan dan uji fungsi paru regional (2). Uji fungsi paru yang secara rutin

dilakukan adalah pengukuran kapasitas vital paksa ( FVC) dan volume

ekspirasi paksa ( FEV ). Ini adalah pemeriksaan yang sederhana dan dapat

dilakukan menggunakan spirometer disamping tempat tidur pasien ( 1,2,4,6). Hasil

pengukuran FVC dapat dibandingkan dengan nilai normal yang dihitung

berdasarkan jenis kelamin, berat badan dan umur, dan ditampilkan sebagai

presentase dari kapasitas vital yang diperkirakan (% FVC). %FVC > 805

adalah normal, 70 – 80 % batas normal, 60 – 70 % menunjukkan adanya

penyakit paru, dan < 60 % menunjukkan adanya penurunan fungsi paru yang

nyata (4).

FEV1 adalah volume udara yang dapat diekspresikan secara paksa

selama 1 detik partama pada manuver FVC. FEV1 dapat dibandingkan dengan

hasil pengukuran FVC sebagai rasio FEV1 / FVC = % FEV1 . %FEV1 berguna

untuk membedakan penyakit paru restriksi dan obstruksi. Pada penyakit paru

restriksi baik FEV1 maupun FVC menurun jadi % FEV1 adalah normal, sedang

pada penyakit paru obstruksi hanya FEV1 yang berkurang. Normalnya % FEV

> 70 %, bila kurang dari 70 % menunjukkan adanya peningkatan tahanan jalan

nafas. Peningkatan %FEV1 sebanyak 15 % setelah pemberian bronkodilator

menandakan obstruksi jalan nafas yang masih reversiable, dan pada pasien

yang begini harus diberikan bronkodilator prabedah(4).

%FVC & %FEV1 dapat juga digunakan untuk meramalkan kemampuan

pasien melakukan ventilasi yang adekwat dan mempertahankan kebersihan

paru pasca bedah torak. Dengan FVC prabedah kurang dari 20 ml/kg, FEV1 <

1,2 liter dan % FEV kurang dari 35 %, besar sekali kemungkinan timbulnya

gagal bernafas akut pasca bedah perlu di ingat juga bahwa untuk melakukan

batuk yang efektif diperlukan kapasitas vital paling sedikit tiga kali lebih besar

dari pada volume tidal(4).

Pada pneumonektomi, uji fungsi paru harus dilakukan dalam 3 fase (1,6).

Fase satu meliputi uji fungsi paru keseluruhan dan analisa gas darah arteri pada

udara kamar. Resiko operasi akan meningkat bila ada hiperkapnia pada sampel

gas darah yang diambil pada udara kamar, volume ekspirasi paksa dalam detik

(FEV1) dan atau kapasitas bernafas maksimum (MBC) < 50% dari perkiraan

dan atau rasio volume residu terghadap kapasitas paru total ( RV / TLC ) >

50% (1).

Page 8: Anestesia Torakotomi

Bila semua hasil uji fungsi paru keseluruhan adalah jelek, maka tes

harus dilanjutkan ke fase kedua yang mengevaluasi fungsi tiap paru secara

terpisah. Pada fase ini dilakukan pemeriksaan ventilasi dan perfusi untuk tiap–

tiap paru dengan skaning radio isotop(133Xe & 99Tc). Kombinasi dengan

pemeriksaan spirometri konvensional untuk paru bagian kiri atau kanan (R–L

fraction lung function). Disini harus dapat memperkirakan FEV1 pra bedah 14

liter, maka perkiraan FEV1 pasca bedah adalah 0,84 liter(1). Alternatif lain yaitu

dengan tes posisi lateral yang dapt mengukur ventilasi relatif dari tiap paru,

juga dapat mengukur peningkatan FRC akibat perubahan dari posisi supine ke

posisi lateral. Peningkatan FRC pada posisi lateral terjadi oleh karena

peningkatan FRC di paru nondependent melebihi penurunan FRC diparu

dependent(1).

Bila hasil pemeriksaan fase dua tidak mampu mendapatkan perkiraan

FEV1 pasca bedah yang dapat diterima dan operasi tetap terus dijalankan, maka

harus dilanjutkan dengan pemeriksaan fase tiga yaitu pemutusan sementara

fungsi vaskuler dengan memasang balon penyumbat pada arteria pulmonaris

mayor kiri atau kanan. Bila tekanan rata – rata arteria pulmonaris meningkat >

40 mmHg, dan atau PaCO2 > 60 mmHg, dan atau PaO2 < 45 mmHg

menandakan bahwa pengambilan paru sebesar ini tidak dapat ditolerir.(1).

Tabel 1 ( diambil dari kepustakaan 4)Preoperative Pulmonary Function Tests (PFTs) and Operative Risk of Pneumonectomy

Testing phase PFTs Increased Operative Risk Result

1. Whole-lung tests Arterial blood gases spirometry Hypercapnia on room airFEV1 < 50% of FVCFEV1 < 2 LMBC < 50% predicted

Lung volume RV/TLC > 50%2. Single-lung tests Right-left (individual-lung)

split-function testsPredicted postoperative FEV1 < 0,85 L or > 70% blood flow to diseased lung

3. Mimic postoperative condition

Temporary unilateral balloon occlusion of right or left pulmonary artery

Mean pulmonary artery pressure > 40 mmHg, PaCO2 > 60 mmHg, or PaO- < 45 mmHg

* The testing phases and PFT are listed in or der of proper temporal performance and increasing invasiveness (Also see Ch. 24 for more details)Abbreviations:RV, residual volume, TLC, total lung capacity, MBC, maximum breathing capacity, FEV1, forced expired volume in first second; FVC, forced vital capacity.

Page 9: Anestesia Torakotomi

Minimal Pulmonary Function Test Criteria for Various-Sized Pulmonary Resections

Test Unit Normal Pneumonectomy Lobectomy Biopsy or segemental

MBC Liters/minute >100 >70 40-70 40

MBC Precentage predicted 100 > 55 > 40 > 35

FEV1 Liters > 2 > 2 > 1 > 0,6

FEV1 Precentage predicted > 100 > 55 40-50 >40

FEV25-75 Liters 2 > 1,6 > 0,6 – 1,6 > 0,6

Abbreviations: MBC, maximum breathing capacity, FEV1, forced expired volume in first second; FEV25-75 forced expired volume from 25 to 75 percent of forced vital capacity.(Data from Miller 28 and Gass and Olsen29)

Gambar 3 ( Diambil dari kepustakaan 6)

D. PENGELOLAAN PRABEDAH

Komplikasi pulmoner pasca bedah, disamping ditentukan oleh penyakit

paru prabedah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yaitu : lokasi dan

luasnya tindakkan operasi, adanya gangguan kardiovaskuler atau sistem saraf,

dan jarak waktu antara operasi dan ambulasi(4).

Gambar di bawah ini memperliihatkan 3 penyebab utama mengapa

pasien bedah toraks cenderung mudah mengalami komplikasi paru pasca

bedah.

PREOPERATIVE EVALUATION FOR PULMONARY RESECTION

Spirometry Arterial Blood Gas

FEV1>2 litersNormal ABG

FEV1<2 liters orabnormal ABG

Surgery Regional lung function withRadioisotopic perfusion scan

Predicted postoperativeFEV1 < 0,8-1,0 liter

Predicted postoperativeFEV1 > 0,8-1,0 liter

Surgery Exercise testing

Pulmonary hemodynamicmeasurements

Page 10: Anestesia Torakotomi

Gambar 4 ( Diambil dari kepustakaan 1).

There are preoperative, intraoperative, and postoperative reasons why thoracic

surgery impairs post-operative lung function. (See text for details) (From Benumof,479 with

permission)

Komplikasi pasca bedah yang paling penting sering terjadi adalah

atelektase dan atau pneumonia dan ini sangat erat hubungannya dengan derajat

kelainan paru prabedah(1,2,3,4,5). Oleh karenanya persiapan dan tindakan –

tindakan prabedah ditunjukkan untuk optimalisasi fungsi paru (1).

Tindakan perawatan pernafasan prabedah torakotomi dapat dilihat pada

tabel dan gambar dibawah ini.

Tabel 2 ( Diambil dari kepustakaan 1 )

Preoperative Respiratory Care Regimen

1. Stop smoking

2. Dilate airways

a. 2 agonists

b. Theophyline

c. Steroids

d. Cromolyn sodium

3. Loosen secretions

a. Airway hydration (humidifier/nebulizer)

b. Systemic spirometry

Page 11: Anestesia Torakotomi

c. Mucolytic and expectorant drugs

d. Antibiotics

4. Remove secretions

a. Postural drainage

b. Coughing

c. Chest physiotherapy (percussion and vibration)

5. Increased education, motivation, and facilitation of postoperative care

a. Psychological preparation

b. Incentive spirometry

c. Exposure to secretion removal maneuvers

d. Excercise

e. Weight loss/gain

f. Stabilize other medical problems

Gambar 5 ( Diambil dari kepustakaan 1).

A full, aggresive, preoperative respiratory preparatic regimen consists of a five-progend attac: (1) require the patient to stop smoking, (2) dilate airways, (3) loosen secretions, (4) remove secretions, and (5) increase patient participation. Using these five maneuvers in the numbered sequence allows them to complement one another in improving secretion removal (From Benumof, 479 with permission)

Pemberian premekdikasi tergantung pada kondisi psikis pasien, derajat

kelamin paru dan tindakkan pembedahan. Penjelasan akan dilakukannya

pemasangan kateter, alat monitoring, pemberian oksigen dengan sungkup

muka, dan tindakkan – tindakkan lain yang akan dilakukan dapat mengurangi

kecemasan pasien (1,2,7).

Obat - obat premedikasi yang dapat diberikan antara lain narkotik,

sedativa dan antikolinergik. Di RSUP Persahabatan pasien yang akan menjalani

bedah paru diberikan premedikasi petidin 1 mg per kg berat badan dan

Page 12: Anestesia Torakotomi

phenergen 1 mg per kg berat badan , intramuskuler, 45 – 60 menit sebelum

operasi (2).

Pemberian antikolinergik pada pasien normal dan pasien PPOM ringan

atau sedang sering menimbulkan perasan tidak enak yaitu kekeringan mulut.

Secara teoritis kekeringan ini akan mempersulit pengeluaran sekret, sehingga

antikolinergik tidak rutin diberikan pada periode prabedah(2).

Pasien yang mengalami hipoksemia pada udara kamar ( Pa O2 < 60

mmHg) atau hiperkarbia (b PaCO2 > 45 mmHg) tidak diberikan premedikasi

atau diberikan premedikasi ringan. Pasien yang biasa mendapat oksigen waktu

dibawa ke kamar operasi harus tetap diberikan oksigen dengan konsentrasi

sama, pasien orthopneu waktu dibawa ke kamar operasi harus dengan posisi

setengah duduk(2).

E. PERIODE PEMBEDAHAN

Pada periode ini, monitoring, pemilihan obat, dan teknik anestesi,

pemahaman perubahan – perubahan fisiologi selama tindakaan pembedahan,

dan indikasi serta teknik anestesi / ventilasi satu paru memegang peranan yang

sangat penting (1).

I. MONITORING

Ada dua pertimbangan yang mendasari diperlukan monitoring yang

ketat selama bedah toraks. Pertama, pasien yang akan menjalani operasi toraks

mengalami gangguan kardiorespirasi prabedah. Kedua, tindakan – tindakaan

selama pembedahan akan semakin mengganggu fungsi kardiorespirasi selama

periode perioperasi (1,2). Berdasar pada kedua pertimbangan diatas dan interaksi

diantara keduanya, pasien bedah toraks dikelompokkan dengan memberikan

terapi dengan cepat dan tepat selama pembedahan (1,2).

Ada tiga kategori pasien yang akan menjalani bedah toraks dan

rekomendasi kebutuhan monitoring bagi tiap kategori pasien.

Tingkat I :

Pasien sehat tanpa ada kondisi khusus selama pembedahan, misalnya

pasien usia muda yang akan menjalani pleurodesis. Tingkatan ini memerlukan

monitoring minimal, yaitu monitoring dasar untuk tiap pasien yang akan

menjalani bedah torak(1,2).

Tingkat II :

Page 13: Anestesia Torakotomi

Pasien yang relatif sehat yang akan mengalami kondisi khusus selama

pembedahan atau pesien dengan penyakit kardiorespirasi yang nyata, tetapi

tidak akan mengalami kondisi khusus selama pembedahan (1,2). Disini akan

mempunyai resiko yang cukup tinggi dan diperlukan beberapa monitoring

tambahan, antara lain : analisa gas darah, respirometer, spirometer, tekanan

vena sentral dan tekanan arteri(1). Sebagai contoh pasien dengan kelainan paru

sedang / berat yang akan menjalani biopsi paru terbuka(1,2).

Tingkat III :

Pasien dengan penyakit kardiorespirasi yang nyata dan akan mengalami

kondisi khusus selama pembedahan (1,2). Pasien pada kelompok resiko tinggi ini

memerlukan monitoring yang akan menjalani lobektomi atau

pneumonektomi(1,2).

Page 14: Anestesia Torakotomi

Tabel 3 ( Diambil dari kepustakaan 1)

Tiered Monitoring System Based on Amount of Pre-existing Lung Disease and Presence of Special Intraoperative Conditions

Tiered Monitoring System

Required Monitoring Related To Respiratory Function

A B C D E F G H I

Anaesthetic Machine

Oxygen Delivery Apnea Minute ventilation Gas Exchange Airway Mechanics Cardiovascular Functions

Muscle Relaxation Temp.

Tier Ia Essential (used in all patients)

Complete check plus ventilator

Inspired O2

monitor pulse Oximetry

Stethoscope, alarm system,

observation, ETCO2

Respiratory rate, bag and chest movements;

ETCO2

Color of shed blood, cyanosis,

capillary and venous blood gas

tensions, pulse oximetry, ETCO2

Stethoscope, feel of breathing bag

ETCO2

Heart rate, blood pressure, ECG

Simple motor tests, blockade monitor

Probe

Tier IIb

Special intermit-tent and/or continuous monitoring

As above As above As above plus D, E, G, F

As above plus respirometer,

spirometer

As above plus arterial blood gas

tensions

Whole-lung and individual

compilance, vital capacity, peak

inspiratory force (postoperative)

As above plus accurate Input vs.

Output, and frequent automated central venous and arterial

pressures

As above As above

Tier IIIc

Advanced monitoringAs above As above As above As above As above plus

QS/QT, VS/VT, VO2 mass

spectrometry

As above pluas airway resistence

As above plus pulmonary vascular

pressures, mixed venous oxygen

saturation, cardiac output, lung waver

meassurements

As above As above

a Tier I, Routine healthy patients without special intraoperative conditions.b Tier II, Routine healthy patiens with special intraoperative conditions and/or patients with moderate pre-existing lung diseases without special intraoeprative conditions.c Tier III, Patiens with severe pre-existing respiratory disease with special intraoperative conditions.d Mainly confined to research,abbreviations: ETCO2, end-tidal CO2; QS/QT , transpulmonary shunt; QT, cardiac output; VO2, Oxygen consumption; VO/VT, dead space

Page 15: Anestesia Torakotomi

Dari pendekatan sistem monitoring ini akan terlihat bahwa pasien

dengan penyakit paru berat yang akan menjalani operasi kecil membutuhkan

monitoring lengkap seperti yang diperlukan oleh pasien sehat yang akan

menjalani pembedahan torak yang luas(1,2).

Kondisi khusus selama pembedahan toraks, yang dimaksud diatas

adalah sebagai berikut (2) :

1. Hampir semua prosedur bedah toraks dilakukan dalam posisi lateral

decubitus yang akan mempengaruhi pertukaran gas terutama bila dengan

ventilasi satu paru.

2. Prosedur pembedahan mempengaruhi fungsi organ mediastinum, misalnya

merangsang jantung, menyumbat vena cava.

3. Beberapa prosedur bedah toraks memerlukan transfusi masif. Adanya

hipotensi dan transfusi masif dapat menimbulkan Adult Respiratory Distress

Syndrome.

4. Pembedahan yang menimbulkan hipotensi dapat menyebabkan perubahan

autoregulasi pembuluh darah paru, Vd / Vt, dan mungkin perubahan

transport.

5. Pembedahan dalam waktu yang lama akan menimbulakan transudasi cairan

ke dalam daerah paru dependent, sehingga menyebabkan kesulitan oksigensi.

II. PEMILIHAN OBAT DAN TEKNIK ANESTESI

Penggolongan anestesi pada pasien bedah thoraks memerlukan

hal yang menantang, oleh karena kita harus dapat mempertahankan

stabilitas hemodinamik dan oksigenasi selama ventilasi satu paru.

Pemulihan obat – obat anestesi memerlukan pemahaman tentang efeknya

yang multipel serta efek sampingnya (4,6).

Anestesi umum pada keadaan normal akan menigkatkan tahanan

jalan nafas dengan menurunkan FRC. Pasien yang akan menjalani

torakotomi mempunyai resiko mengalami peningkatan tahanan nafas yang

lebih besar akibat sekret yang berlebihan atau akibat tumor (4).

Beberapa pasien menderita PPOM, asma, fibrosis kistik atau

penyakit paru lain yang mempengaruhi diameter asluran nafas dan

reaktivitas jalan nafas. Trauma operasi pada paru dapat menimbulkan

perdarahan dan bronkospasme. Intubasi endotrakea dapat juga

menimbulkan bronkospasme akibat rangsangan langsung pada mukosa,

Page 16: Anestesia Torakotomi

demikian juga ventilasi melalui satu lumen dari pipa endotrakea lumen

ganda dapat juga menimbulkan peningkatan tahanan jalan nafas(4).

Efek – efek tersebut sebagian dapat dikurangi oleh anestesi

inhalasi. Halotane, enflurane dan isoflurane mempunyai potensi sebagai

bronkodilator langsung. Mereka juga menghilangkan reflek

bronkokontriksi pada pasien yang memiliki jalan nafas yang reaktif. Secara

klinis isoflurane lebih baik oleh karena ia hanya menimbulkan depresi

miokard yang minimal dan jarang menimbulkan aritmia ventrikel dibanding

dengan halotane dan enflurane(1,4,5,8).

Obat – obat yang berefek histamine release dapat menimbulkan

bronkospasme, Tiopentone, tiamilal, dan propanidid berefek histamine

relase yang berhubungan dengan dosisnya, sedang Methohexitone,

ethomidate dan propofol tidak (1,4,5). Katamine memiliki khasiat

bronkodilator dan dapat digunkan untuk induksi pada pasien dengan jalan

nafas yang sangat reaktif (1,4,5,8). Untuk pelumpuh otot, vecuronium, dan

pancuronium merupakan obat pilihan (1,4,5), sedang kurare berefek

histamine release dan harus di hindari (4).

Beberapa faktor yang mempengaruhi derajat hipoksemia selama

anestesi satu paru meliputi: konsentrasi oksigen inspirasi yang cukup

(FiO2), hipoventilasi alveolar, dan besarnya gradien tegangan oksigen

alveolar ke arteria yang terjadi oleh karena perfusi yang berlanjut ke paru

yang dikempeskan (4). Dalam keadaan normal, hipoksia regional pada paru

akan menyebabkan kontriksi arteriole dengan mengalihkan aliran darah

menjauhi segmen hipoksi ( the ’hipoxic pulmonary vasokontriction’ (HVP)

response) (1,4,5). HPV merupakan regulator penting aliran darah ke paru yang

atelektase. Rangsangan utama bagi reflek HPV adalah alveolar oksigen

tension ( PAO2 ) dan mixed venous oxygen tension (PVO2)(4,5).

Respon HPV dapat berubah akibat pengaruh beberapa faktor,

sebagai contoh beberapa obat vasokontriktor (dopamine, adrenaline,

phenylephrine) lebih cenderung menimbulkan kontriksi pembuluh darah

paru yang berperfusi ke segmen paru yang normoxic dan hyperoxic. Hal ini

akan meningkatkan tahanan pembuluh darah paru pada paru yang

terventilasi, menyebabkan redistribusi aliran darah ke daerah yang atelakse

sehingga akan menurunkan kandungan oksigen arteri. Relaksasi otot polos

pembuluh darah oleh karena aksi langsung dari nitroprusid dan

Page 17: Anestesia Torakotomi

nitroglicerine yang dapat menghilangkan HPV pada paru yang atelektase,

sehingga akan meningkatkan aliran darah ke paru dan menurunkan PaO2(4)

Sama dengan hal itu, manipulasi operasi pada paru dapat

berangsur – angsur menghilangkan HPV akibat keluarnya troboxane dan

prostacycline yang akan menimbullkan vasodilatasi lokal. Efek

prostaglandin pada HPV adalah komplek, beberapa prostaglandin dapat

menghambat HPV, maka obat – obat penghambat prostaglandin diduga

memiliki kemampuan untuk meningkatkan respon HPV. Ibuprofen sebagai

penghambat siklo oksigenase, dapat meningkatkan respon HPV dan

menghilangkan depresi HPV akibat halotane. Prostaglandin yang lain

memiliki efek yang berlawanan. Prostaglandin F2a merupakan

vasokontriksi pulmoner , pada studi dengan hewan, infus obat ini ke paru

yang tak terventilasi menimbulkan peningkatan PaO2 yang nyata dan

mengurangi shunt(4).

Efek obat – obat anestesi pada HPV secara keseluruhan adalah

kompleks. Pada studi invitro diperlihatkan bahwa infus pelan – pelan

pentobarbital, tiopentone, hexobarbital, diazepam, droperindol, ketame,

opioid dan pentazolin tak merubah respon HPV, sedangkan halotane,

methoxyflurane, enflurane, dan isoflurane semua menghambat HPV yang

berhubungan dengan dosisnya(1,4,5). Hasil yang berlawanan antara studi in

vitro dan studi in vivo dapat terjadi karena efek yang komplek dari obat

anestesi pada curah jantung, konsumsi oksigen, shunt, PVO2 serta efek

mekanik lain seperti manipulasi operasi pada paru dan penggunaan PEEP

pada pasien yang menjalani operasi(4).

Ventilasi dengan oksigen 100%, aplikasi CPAP pada paru yang

non dependent dan IPPV ke paru yang dependent ( terventilasi ) dapat

melawan pengaruh obat pada HPV dan mempertahankan oksigenasi selama

ventilasi satu paru (4).

Anestesi inhalasi, opioid dan sedativa, disamping

menghilangkan kesadaran dan berkhasiat analgesia, juga beraksi pada

sistem saraf pusat untuk menekan pernafasan. Pada keadaan sadar,

pernapasan spontan akan meningkat seiring dengan peningkatan

konsentrasi karbondioksida di arteria (PaCO2) atau di alveolus (PACO2).

Peningkatan kedalam anestesi dapat menimbulkan peningkatan

PaCO2 dan menghambat respon ventilasi terhadap karbondioksida(4).

Page 18: Anestesia Torakotomi

Rangsangan ventilasi hiperkapnik maupun hipoksik ditekan oleh

zat anestesi inhalasi. Konsentrasi subanestasi dari halotone dan enflurane

tidak menimbulkan efek pada respon ventilasi terhadap hiperkapnia, tetapi

depresi respon ventilasi terhadap hipoksemia terlihat pada tingkat serendah

0,05 MAC bagi semua agent halogenated. Efek ini menetap hingga periode

pasca bedah pada saat pasien mulai mendapatkan kesadarannya. Bagi

pasien dengan penyakit paru yang luas dimana secara normal ia tergantung

pada rangsangan hipoksi untuk bernapas, efek ini menjadi penting (4).

Penggunaan opioid selama pembedahan memiliki resiko depresi

pernafasan pada periode pasca bedah yang jauh lebih besar dari pada bila

digunakan anestesi inhalsi saja (1,4,5,8).

Ketamin memiliki onset yang cepat, mempertahankan stabilitas

kardiovaskuler dan digunakan untuk induksi anestesi pada pasien – pasien

yang tidak stabil yang akan menjalani torakotomi cito. Ketamin memiliki

efek bronkodilator langsung dan merupakan antagonis bronkokonstriksi

akibat pelepasan histamin tanpa menimbulkan depresi pernapasan (1,4,5,8).

Infus ketamin secara kontinyu dikombinasikan dengan N2O dan pelumpuh

otot terbukti sukses digunakan selama operasi torak tanpa menimbulkan

fenomena emergence(4).

Anestesi regional torakotomi biasanya tidak berefek pada

ventilasi kecuali tingkat blokmya cukup tinggi sehingga membuat paralisa

saraf intercostal dan saraf phrenikus. Anestesi epidural blok thorak tinggi

menyebabkan gangguan mekanik pergerakan lengkung iga dan menurunkan

respon ventilasi terhadap karbondioksida.

Reverse pelumpuh otot yang tidak sempurna memungkinkan

adanya sisa blok motoris dan merupakan penyebab utama depresi ventilasi

pasca torakotomi(4).

III.REKOMENDASI PEMILIHAN OBAT & TEKNIK ANESTESI

Anestesi umum dengan ventilasi kontrol merupakan metode

anestesi yang paling aman untuk bedah thoraks efektif(1,2,3,4,5,8). Obat – obat

anestei inhalasi halogen merupakan pilihan yang baik kerena mempunyai

efek yang baik pada jalan nafas, yaitu dapat mencegah terjadinya

bronkokontriksi, mempunyai efek bronkodilatasi, dan menghilangkan

reflek jalan nafas pada pasien yang memiliki jalan nafas yang reaktif

( misalnya perokok ). Kelebihan lain dari obat – obat ini ialah dapat

Page 19: Anestesia Torakotomi

diberikan dengan oksigen inspirasi konsentrasi tinggi tanpa kehilangan

efek anestesinya, cepat dieliminasi sehingga kejadian hipoventilasi pasca

bedah dapat diperkecil, pada dosis klinis umum ( mendekati 1 MAC ) dapat

menjamin stabilitas kardiovasculer, dan obat golongan ini tidak terlihat

menurunkan PaO2 selama ventilasi satu paru(1,2,5).

Pemakaian obat – obat anestesi intravena, terutama narkotik

fentanil memberikan beberapa keuntungan. Fentanil terbukti mampu

mempertahankan stabilitas hemodinamik sehingga sangat bermanfaat untuk

pasien dengan penyakit arteria koronaria. Bila kadar fentanil dalam darah

cukup adekwat hingga pembedahan ke periode pasca bedah dengan mulus.

Dalam dosis sedang fentanil dapat menurunkan kebutuhan obat anestesi

inhalasi halogen, dan dalam dosis besar atau dosis sedang dikombinasikan

dengan anestesi inhalasi dapat diberikan oksigen inspirasi dalam

konsentrasi tinggi. Akhirnya, oleh karena fentanil tidak menurunkan HPV

regional, maka dapat mempertahankan oksigenasi seoptimal mungkin

selama ventilasi satu paru(1).

Ketamin dalam kombinasi dengan N2O dan pelumpuh otot dapat

juga digunakan dalam bedah torak. Meski tak dianjurkan pemakaian untuk

penatalaksanaan operasi elektif, obat ini bermanfaat untuk induksi pada

pasien-pasien kritis yang akan menjalani bedah darurat oleh karena ia

memiliki efek simpatomimetik yang sangat diperlukan oleh karana

kebanyakan bedah torak darurat disertai dengan hipovolemia. Disamping

itu obat ini memiliki onset yang cepat, dapat mengurangi bronkospasme

pada pasien asthma, dan oleh karena tidak berefek pada HPV maka obat ini

tidak mengganggu oksigenasi selama ventilasi(1).

Sebelum induksi anetesi dapat dilakukan pemasangan kateter

epidural. Anestesi epidural terbukti sangat mengurangi kebutuhan obat –

obat anestesi umum selama periode pembedahan, sangat mengurangi

kebutuhan analgesi sistemik dan memperbaiki fungsi ventilasi pada periode

pasca bedah, menekan respon stres, serta memiliki efek positif pada balans

nitrogen pasca bedah (1,5).

Setelah preoksigenasi atau proses denitrogenisasi dengan

oksigen 100% selama 3 menit diberikan fentanil intravena hingga laju nafas

menjadi 8 – 10 kali permenit. Ini biasanya sesuai dengan pemberian

fentanil 10 – 15 vg / kg dan diberikan dalam waktu 3 menit. Setelah laju

Page 20: Anestesia Torakotomi

nafas relatif lambat dan dalam, serta respon terhadap perintah menjadi

lambat, diberikan tiopentone dosis rendah (2 - 3 mg / kg ) atau ketamin 1 -

2 mg/kg untuk pasien memiliki jalan nafas yang sangat reaktif atau

mengalami hipovolenia sedang (1,5).

Jalan nafas dipertahankan, dilakukan ventilasi tekanan secara

intermiten dan berikan isoflurane dari konsentrasi 2,5% hingga 5%.

Isoflurane konsentrasi tinggi diberikan dalam waktu singkat (1–2 menit)

dan ketika pasien menunjukan tanda–tanda anestesi dalam, konsentrasinya

diturunkan. Diberikan pelumpuh otot vecuronium 0,1 mg/kg atau

atracurium 0,5 mg/kg atau pancuronium 0,02 mg/kg ditambah metocurine

0,08 mg/kg. Sebelum intubasi, diberikan lidokain 1,5 mg / kg intravena dan

lidokain sprai didaerah trakea, lalu lakukan intubasi dengan pipa endotrakea

lumen ganda. Meskipun lidokain dan fentanil mempu mencegah gejolak

kardiovaskuler akibat intubasi, dianjurkan pula pemakaian esmolol 5 – 10

mg intravena untuk menekan gejolak hemodinamik akibat intubasi(1,5).

Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan isoflurane 0,5 – 1,0

MAC, narkotik dan pelumpuh otot dosis pemeliharaan (5).

Bila pasien diramalkan dapat diekstubasi pada jam – jam

pertama pasca bedah, posisi pasien dirubah ke posisi supine lalu pipa

endotrakea lumen ganda diganti dengan pipa endotrakea lumen tunggal dan

lakukan reverse untuk pelumpuh otot. Pada saat pasien bernafas spontan,

diberikan fentanil dengan dosis sangat rendah yaitu 0,3 mg / kg.

Keuntungan pemberian narkotik ini adalah pasien lebih cepat keluar dari

ruang pemulihan, kebutuhan ventilasi mekanik lebih singkat dan ekstubasi

serta penyapihan dapat dilakukan dengan mulus. Keberhasilan pemberian

fentanil ini akan ditandai dengan pasien bernafas relatif lambat dan dalam

yaitu laju nafas menjadi 10 – 12 kali permenit (1,5).

Teknik TIVA dapat digunakan pada bedah thoraks. Propofol dan

alfentanil merupakan kombinasi yang ideal untuk teknik ini(5).

Salah satu studi memakai alfentanil 1mg / kg diberikan secara

bolus interavena pelan – pelan, di ikuti dengan pemberian propofol 2 – 2,5

mg perkilogram berat badan dan atracurium 0,5 mg / kg.

Setelah intubasi, diberikan dua infus terpisah yang satu jenis

berisi propofol dan yang lain berisi alfentanil. Dalam 10 menit pertama

alfentanil diberikan dengan kecepatan 3 g / kg / menit, dan pada menit

Page 21: Anestesia Torakotomi

berikutnya dipertahankan pada 1g / kg / menit. Infus alfentanil dihentikan

20 menit menjelang operasi berakhir.

Infus propofol dimulai dengan kecepatan 0,2 mg / kg / menit

( 12 mg / kg / jam), infus propofol dimulai dengan kecepatan 0,2 mg / kg /

menit ( 12 mg / kg / jam ), setalah itu bervariasi antara 0,1 – 0,15 mg / kg /

menit ( 6 -9 mg/kg/jam), dan dihentikan ketika kulit dijahit. Kadang –

kadang, bila ada peningkatan tekanan darah dan laju jantung, perlu

diberikan ekstra bolus pripofol 20 mg bersamaan pemberian pelumpuh oto

dosis ulangan(5).

Ditambahkan, agar sekresi dari paru yang sakit mengalir ke

trakea secara gravitasi dan tidak mengkontaminasi paru yang sehat, maka

untuk torakotomi kiri kepala pasien dibuat head – down 350, untuk

torakotomi kanan head – down 550 (9).

Gambar 6 ( Diambil dari kepustakaan 5 )

Anesthetic Technique for TypicalOne Lung Ventiilation Thoracic Surgery CasesACTION

Drug

ENDPOINT

AIRWAY

Preoxygenate(100% O2)

AdministerFentanyl

Respiration Slow(8-10/min).Response to

Commands Sluggish

Administer Small DoseOf indication Drug

(pentothal ketamine)Establish AirwayIPPB via Mask

Unconscious, Apnea

AdministerIsoflurane

(2,5% -> 1,0 -0,5%)

AdministerNondepolarizingDrug Paralysis

AdequateAnesthesia

95% Paralysis

AdministerLidocaine

Intravenously

AdministerMaintenance Isoflurane,

Fentanyl, Paralysis

LaryngoscopyLidocaine Intratracheally

Double Lumen Tube Intubation

Support CardiovascularSystem if Necessary

(Fluids -> Vasopressor -> Inotropes)

Page 22: Anestesia Torakotomi

This action and point diagram describes the anestetic technique used for one – Lung ventilation thoracic surgery

case. The action are divided into those that are primarily concerned with airway management versus those that

involve administration of adrug. All drug administration are associated with an end point. See text for full

explanation.(IPPB = intermittent positive pressure breathing)

IV. VENTILASI SATU PARU

Isolasi dan pengempisan paru yang dioperasi memberikan

kondisi yang optimal bagi operator karena tidak diperlukan retraksi yang

berlebihan. Pemaparan lapangan oprasi mungkin merupakan indikasi yang

paling umum untuk pengempisan paru – paru secara selektif. Isolasi dari

paru – paru melindungi paru – paru yang tidak dioperasi, paru dipendent

dari kontaminasi oleh cairan mukus atau material tumor (4).

Pada posisi lateral decubitus, paru dependent secara selektif

mendapatkan volume tidal yang besar sehingga akan memperkecil

kemungkinan terjadinya atelektase pada paru ini selama ventilasi satu paru (1,4,5,8).

Secara umum ada tiga cara untuk melakukan teknik ventilasi

satu paru yaitu dengan mengguanakn bronchial blockers, pipa

endobronkial, dan pipa endotrakea lumen ganda (1,2,6).

Indikasi ventilasi satu paru secara lengkap dapat kita lihat pada

tabel 4 berikut ini.

TABEL 4 ( Diambil dari kepustakaan 3 ).

Indication for one – lung anesthesia

Absolute

Confine pulmonary Infection to one side

Confine pulmonary bleeding to one side

Separate ventilation to each lung

Bronchopulmonary fistula

Tracheobronchial disruption

Large lung cyst

Bronchopleural lavage

Relative

High priority

Thoracic aortic aneurysm

Pneumonectomy

Upper lobectomy

Thoracoscopy

Page 23: Anestesia Torakotomi

Low Priority

Middle and lower lobectomies

Sub – segmental resections

Esophageal surgery

Blokade endobronkial dapat dilakukan dengan tampon Gauze,

karet penyumbat khusus yang bercuff dan balon dari kateter untuk

embolektomi, kateter arteria pulmonalis atau kateter urin (4,5).

Oleh karena andotracheal tube lumen ganda yang paling kecil

( ukuran 28 Fr ) adalah terlalu besar untuk pasien anak, blokade

menggunakan kateter embolektomi atau kateter arteria pulmonalis

merupakan metode yang praktis untuk memisahkan paru–paru pada pasien

anak–anak. Kateter embolektomi yang lebih besar (8–12 Fr) dapat

digunakan untuk dewasa. Pada pasien dewasa kateter dimasukkan melelui

pipa trakea, sedang pada anak–anak dimasukkan ke samping pipa trakea.

Bronkoskopi fiber optik diperlukan untuk mengetahui ketepatan posisi

balon di bronkus (4).

Ada beberapa kerugian penggunaan blokade bronkial, ia mudah

mengalami perubahan paosisi pada saat pasien dirubah ke posisi lateral

decubitus atau akibat manipulasi operasi (1,4,5). Bila balon melesat ke

dalam trachea, ia dapat menyumbat ventilasi ke paru – paru yang tidak

diopersikan. Paru – paru dibawah sumbatan akan kolaps dan tidak dapat

dikembangkan kembali selama tindakan operasi(4).

Pipa Univent terdiri atas pipa endotracheal konvensional dengan

tambahan lumen kecil. Lumen kedua ini berisi pipa yang tipis yang dapat

dimasukkan sejauh 8 cm dari lumen besar ke dalam bronkus. Balon yang

berada di ujung dari tabung ini berguna sebagai enyumbat untuk

mengetahui akurasi penempatan alat ini diperlukan bronkoskopi fiber

optik. Penyedotan sekret, lavage paru dan insuflasi oksigen dapat dilakukan

melalui lumen ini. Ventilasi untuk kedua paru dapat diatur setiap waktu

dengan mengempiskan balon dan menarik pipa penyumbat kembali ke

dalam pipa utama, jadi pasien tidak memerlukan intubasi ulang bila

diperlukan ventilasi pasca bedah (4).

Oleh karena pipa bronkialnya tipis, maka untuk dapat menyekat

jalan nafas balon harus dikembangkan dengan udara sebanyak 2 – 10 kali

jumlah udara yang diperlukan untuk cuff bronkial dari pipa endotrakea

Page 24: Anestesia Torakotomi

lumen ganda. Hal ini berbahaya menekan dinding bronkus dan merupakan

predisposisi terjadinya herniasi balon ke carina(4).

Pada saat ini bronchial blockers dan pipa endobronkial sudah

jarang digunakan dan lebih sering digunakan pipa endotrakea lumen

ganda(1,2,5).

V. PIPA ENDOTRACHEAL LUMEN GANDA

Keuntungan utama dari pemakaian pipa endotrakeal lumen

ganda dibandingkan dengan bronchial blockers dan pipa endobronkial

adalah bahwa tiap paru dapat secara tersendiri di ventilasi dikempeskan dan

dikembangkan kembali (1,4), penempatannya lebih mudah, selama

pembedahan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat serta berulang –

ulang merubah ventilasi dua paru ke ventilasi satu paru dan sebaliknya,

penghisapan lendir bisa dilakukan pada kedua paru, dan dapat diberikan

CPAP pada paru yang tidak diventilasi (1,2). Adapun kelemahan dari pipa

endotrakea lumen ganda adalah kesulitan melakukan penghisapan lendir

melalui lumen yang sempit dan terjadinya peningkatan jalan nafas (1,2).

TABEL 5. MACAM PIPA ENDOTRAKEA LUMEN GANDA (3).

Types of double – lumen tubes

Name Bronchus Intubated

Carial Hook

Shape of Lumen

Carlens Left Yes Oval

White Right Yes Oval

Bryce – Smith Right or left No Round

Robertshaw Right or left No D - Shaped

Semua pipa endotrakea lumen ganda memiliki cuff yang terletak

diatas lumen trachea untuk mencegah kebocoran gas selama ventilasi. Gas

inspirasi dapat dialirkan ke dalam masing–masing lumen atau dalam kedua

lumen oleh cuff kedua yang berada di sepanjang lumen bronkus. Cuff

bronkial juga mengisolasi dan melindungi tiap–tiap paru dari kontaminasi

kontralateral. Pada pipa yang didesain untuk bronkus utama kanan, sisi

lateral dari cuff bronkial atau lumen bronkial di lumeri untuk

memungkinkan pertukaran gas dengan bronkus kanan atas. Ujung

proksimal dari tiap –tiap lumen mempunyai konektor khusus untuk

emngatur distribusi ventilasi bagi tiap paru atau untuk kedua paru. Tiap –

tiap lumen dibuka secara independen ke arah atmosfer, paru pada sisi yang

lumennya dibuka akan kolaps sedangkan ventilasi pada paru yang lainnya

dapat terus berlanjut. Kateter untuk suction atau bronkoskopi fiberoptik

Page 25: Anestesia Torakotomi

dapat dimasukkan ke salah satu lumen sedang paru–paru yang lain tetap

terventilasi (1,4,5).

Pipa plastik disposibel secara umum lebih baik dari pada karet

yang tidak disposibel. Pipa karet, disamping mahal juga jangka

pemakaiannya relatif pendek, mudah sekali rusak selama dibersihkan dan

disterilisasi, yang meningkatkan resiko trauma jalan napas(4).

Pipa plastik memiliki lima ukuran (28, 35, 37, 39 dan Fr ),

mempunyai lumen yang relatif besar yang memungkinkan penghisapan

sekret secara tersendiri atau untuk memasukkan bronkoskopi fiberoptik

pediatri ke salah satu paru. Selama ventilasi satu paru lumen dalam yang

besar dan berbentuk D memiliki tahanan terhadap aliran udara yang lebih

rendah dibandingkan dengan pipa karet merah yang berbanding lebih tebal

dan berlumen lebih kecil. Bhan plastik yang transparan memungkinkan

untuk observasi berkesinambungan selama ventilasi. Sekret atau darah yang

datang dari tiap paru dapat diketahui. Cuff bronkial pada tiap plastik

diwarnai biru jadi mudah dilihat selama bronkoskopi fiberoptik.

Berlawanan dengan pipa karet yang memiliki cuff low volume high

pressure, cuff bronkial dari plastik adalah high volume low pressure, yang

mengurangi bahaya iskemik akibat penekanan pada mukosa jalan nafas(4).

Pipa endotrakea lumen ganda ukuran besar lebih disukai (laki–

laki 41Fr, perempuan 39Fr) oleh karena cuff bronkialnya memerlukan

udara yang lebih kecil untuk menyekat broncus sehingga memperkecil

resiko trauma jalan napas atau berniasi cuff. Pipa yang lebih kecil dan tipis

mudah masuk terlalu jauh kedalam broncus sehingga besar

kemungkinannya menyumbat broncus lobus yang lebih atas. Pipa kecil di

indikasikan bila ada obstruksi glotis, trakea, karina dan obstruksi bronkus

utama(4).

MEMILIH PIPA KANAN ATAU KIRI

Percabangan trakeabronkial manusia adalah tidak simetris.

Panjang bronkus utama kanan pada laki–laki dewasa sekitar 2,3 cm sedang

bronkus utama kiri panjangnya lebih dari 5,0 cm. pipa endotrakea lumen

ganda kiri memiliki margin of safety yang lebih besar karena resiko

terjadinya obstruksi bronkus lobus diatas oleh cuff bronkial dan herniasi

cuff lebih kecil dibanding bila menggunakan pipa kanan yang memiliki cuff

bronkial lebih besar(4).

Page 26: Anestesia Torakotomi

Pemilihan antara pipa kanan atau kiri masih kontroversi,

beberapa ahli anestesi memilih intubasi ke broncus yang dioperasi, yang

memilih intubasi ke paru yang tak dioperasi, sedang yang lain memakai

pipa kiri untuk tindakkan operasi di kanan atau kiri. Pemikiran untuk

melakukan intubasi pada paru yang dioperasi adalah bahwa malposisi pipa

endotrakea lumen ganda biasanay dapat menyumbat lobus atas dan ini

dapat terlihat bila dada dibuka atau bila paru dicoba untuk dikempeskan.

Karena paru yang terintubasi terlihat selama operasi, maka tak diperlukan

bronkoskop untuk konfirmasi letak dan untuk membantu eposisi pipa

operator dapat memandu secara manual. Argumentasi yang berlawanan

mengatakan bahwa intubasi pada paru yang dioperasi memiliki resiko yang

tinggi untuk bergesernya posisi pipa akibat tarikan operasi atau manipulasi

operasi, dan menimbulkan kesulitan pengelolaan jalan nafas selama operasi

pneumonektomi. Mereka beralasan bahwa dengan lumen bronkial di paru

dependent, jalan nafas dapat ditegangkan sehingga lebih kecil kemungkinan

terjadinya obstruksi paru dependent akibat melorotnya mediastinum.

Kerugiannya, berat dari paru dan mediastinum dapat menekan bronkus

dibawahnya hingga ke ujung lumen bronkial dan menyumbat ventilasi(4).

PEMASANGAN

Pada saat ini biasanya digunakan pipa endotrakea lumen ganda

kiri baik untuk torakotomi kanan ataupun kiri(4).

Hati–hati memasukkan pipa karena cuffnya mudah pecah dan

mudah tercabik oleh gigi pasien. Laringoskop Macintosh dipilih karena

memberikan area yang lebih luas untuk memasukkan pipa endotrakea

lumen ganda. Ujung dari pipa dimasukkan hingga tepat melewati pita suara

dan stilet didalam lumen bronkial ditarik. Pipa diputar 900 berlawanan arah

jarum jam (ke arah bronkus kiri) dan dimasukkan lagi hingga didapatkan

tahanan yang sedang. Perkiraan kedalaman insersi baik untuk laki–laki

maupun perempuan adalah 29 cm.

Ketika pipa didalam broncus, kedua cuff dikembangkan. Bila

ukuran pipa yang digunakan sesuai, hanya diperlukan 1–2 ml udara didalam

cuff bronkial untuk dapat menyekat jalan nafas. Pasien diventilasi melalui

kedua lumen. Uap udara harus terlihat pada tiap lumen, kedua sisi dada

harus bergerak dan suara nafas didengar bilateral. Lumen trakea kemudian

dijepit, suara nafas hanya terdengar di paru bilateral. Lumen trakea

Page 27: Anestesia Torakotomi

kemudian dijepit, suara nafas harus hanya terdengar di paru yang di intubisi

( kiri ). Bila suara nafas terdengar bilateral, berarti tube tidak cukup dalam

dan harus dimasukkan lagi kedalam broncus. Bila suara nafas hanya

terdengar di sebelah kanan, berarti berada di dalam broncus utama kanan.

Pada situasi ini, kedua cuff harus dikempeskan lagi dan tube ditarik hingga

ujungnya sampai diatas karina. Tube diputar lagi kekiri dan dimasukkan

ulang. Putar kepala dan leher pasien ke kanan, sementara kepala dibuat

head down dapat membantu tube masuk dengan sendirinya ke bronkus

kiri(2,4,8).

Ketika tube berada dibronkus kiri lumen kirinya dijepit dan

pasien diventilasi melalui lumen trakea, suara nafas sekarang terdengar

samapai paru kanan. Bila disini kesulitan melakukan ventilasi, kempeskan

cuff bronkial saja sementara ventilasi dilanjutkan melalui lumen kanan.

Bila tube tetap tidak cukup dalam, suara nafas dapat terdengar bilateral.

Bila tube dalam terlalu dalam, suara nafas sekarang terdengar hanya sampai

ke paru kiri(1,4).

Posisi tube harus di cek ulang sebelum operasi dimulai oleh

karena tube bisa bergeser akibat perubahan ke posisi lateral decubitus.

Setelah posisi tube tepat ia dapat ditarik beberapa milimeter. Bial sekat

bronkial dapat dipertahankan tanpa perlu penambahan udara, tube

dimasukkan lagi kebelakang bawah bronkus untuk mnecegah bergeraknya

cuff bronkial secara tak sengaja kedalam karina(1,3,4,8).

Konfirmasi posisi tube dapat dilakukan dengan pemeriksaan

fisik dada, meliputi auskultasi dan observasi gerakan dinding dada, dan

pemeriksaan tekanan inspirasi puncak selama ventilasi paru independent.

Tegangan balon pemandu ke cuff broncial harus dicatat segera setelah

dikembangkan. Balon pemandu yang melunak biasanya berarti bahwa

sebagian tube bergeser tube bergeser keluar bronkus, dan cuff broncila

berherniasi ke karina(4).

Page 28: Anestesia Torakotomi

Gambar 6. ( Diambil dari kepustakaan 3).

KOMPLIKASI PIPA ENDOTRAKEALUMEN GANDA

Kerusakkan jalan nafas dan hipoksemia dan timbul akibat pemasangan

pipa endotrakea lumen ganda yang tidak benar. Masalah ketidaktepatan

posisi tube yang paling sering terjadi adalah : tube kurang cukup dalam

masuk broncus, intubasi ke bronkus yang salah, tube dimasukkan terlalu

dalam ke broncus yang benar(1,4).

Tube dapat bergeser selama operasi, jadi kewaspadaan yang konstan

merupakan hal yang penting. Ventilasi ke paru dependent melalui lumen

trakea atau lumen bronkial tak dapat secara langsung dilihat dan ventilasi

harus dimonitor melalui observasi perubahan tekanan puncak inspirasi ke

paru dependent, end–tidal karbondioksida, saturasi oksigen dan yang paling

penting adalah pergerakan mediastium selama inspirasi(4).

Jalan nafas dapat mengalami trauma selama intubasi dan ekstubasi pipa

endotrakea lumen ganda. Trauma dapat berupa ekimosis pada membran

Page 29: Anestesia Torakotomi

mukosa hingga dislokasi aritenoid dan robeknya pita suara. Distensi yang

berlebihan dari cuff juga dapat menimbulkan trauma jalan nafas(1,4).

Cuff bronkial biasanya hanya butuh 1 – 2 ml udara. Bila diberikan

volume yang lebih besar, cuff dapat bocor atau herniasi ke dalam karina.

Bial digunakan N20, kedua cuff harus secara periodik dikempeskan untuk

mencegah tekanan yang berlebihan pada mukosa. Setelah konfirmasi

petama dari posisi tube, cuff bronkial harus dikempeskan dan hanya

dikembangkan kembali bila diperlukan pemisahan paru atau pengempisan

paru. Cuff bronkial yang kurang dikembangkan dapat menimbulkan

kebocoaran silang (coss–leak) yang mempersulit pengempisan paru yang

akan di opersi dan menimbulkan kontaminasi pada paru dependent (4).

OPTIMALISASI OKSIGENASI SELAMA VENTILASI SATU PARU

Setelah salah satu paru dikempeskan perfusi ke paru dependent

terus berlanjut tetapi tidak terventilasi. Banyak faktor yang mempengaruhi

derajat perfusi sia – sia atau shunt ini. Reflek HPV memiliki peranan

meskipun kecil, tetapi reflek ini kurang begitu penting selama operasi oleh

karena menipulasi operasi pada paru akan melepaskan substan vasoaktif

yang menghilangkan reflek HPV. Dibawah kondisi terbaik, shunt ke paru

non dependent selama ventilasi satu paru sekitar 20 – 25 % dari curah

jantung(4).

Pada permulaan ventilasi satu paru, ventilasi semenit harus

dijaga tetap tak berubah. Laju ventilator diatur agar PaCO2 antara 4,8 – 5,3

kPa (36 – 40 mmHg). End–tidal CO2 harus dipantau secara ketat, tapi harus

diingat bahwa end–tidal CO2 selama ventilasi satu paru pada posisi lateral

decubitus mengkin lebih rendah sekitar 1,3 kPa (10 mmHg) dari pada

PaCO2 sesungguhnya. Hipokapnia harus dihindari karena dapat

meningkatkan tahanan pembuluh darah paru yang terventilasi dan

mengalihkan aliran darah ke paru yang tak terventilasi. Hiperkapnia

biasanya bukan merupakan masalah asal ventilasi semenit dipelihara (4).

Dalam rangka meminimalisasi hipoksemia, usaha ditujukan

kearah optimalisasi ventilasi ke paru dependent dan meningkatkan

kandungan oksigen darah yang kembali dari paru non dependent. Bila

terjadi hipoksemia, posisi pipa endotrakea lumen ganda harus dilihat lagi.

Hipoksemia yang nyata biasanya tak terjadi segera setelah dimulainya

ventilasi satu paru – paru, tetapi terjadi setelah 10–15 menit kemudian

Page 30: Anestesia Torakotomi

karena ini adalah waktu yang diperlukan oleh paru yang tak diventilasi

untuk mengempis sempurna dan karena ada sisa oksigen di paru untuk

diabsorsi(4).

Pada posisi lateral decubitus, isi abdomen mendesak diagfragma

ke sefalat dan menurunkan FRC dari paru dependent. Jadi, disini paru

dependent memiliki daerah dengan ratio ventilasi / perfusi rendah dan

daerah ateleksi. Agar PaO2, dapat maksimal paru dependent harus

diventilasi dengan oksigen 100 % dan dengan volume tidal yang besar ( 10

– 14 ml / kg). volume tidal kuranng dari 8 ml / kg akan menyebabkan

semakin menurunya FRC disertai dengan semakin meluasnya daerah

atelektase di paru dependent. Volume tidal yang lebih besar dari 15 ml/kg

akan menyebabkan distensi alvioli yang berlebihan dan meningkatkan

tahanan pembuluh paru menyebabkan redistribusi dari aliran darah ke paru

non dependent(4).

Dengan shunt 25 % ke paru yang tak terventilasi, FiO2, 100%

dan ventilasi dengan volume tidal yang besar ke paru dependent biasanya

akan menghasilkan PaO2 yang lebih besar dari 20 kPa ( 150 mmHg ). Pada

tegangan oksigen sebesar ini, homoglobin tersaturasi 100%. FiO2 yang

tinggi akan menyebabkan vasodilasi dari pembuluh darah di paru

dependent, meningkatkan perfusi ke paru ini dan semakin menurunkan

shunt(4).

Bila terjadi hipoksemia, harus diberikan PEEP secara kontinyu

selama ventilasi satu paru dengan volume tidal tinggi. Pada keadaan kondisi

FRC yang rendah, PEEP ( 10 cm H2O ) dapat masuk ke bagian alvioli yang

kolaps ataupun yang kurang mengembang dan meningkatkan oksigenisasi

pada daerah yang diperfusikan ke paru dependent. Pada keadaan FRC

normal atau tinggi, PEEP dapat meningkatkan tekanan alvioli dan tahanan

pembuluh darah paru dependent, yang dapat merubah aliran darah ke paru

yang tak terventilasi dan memperburuk hipoksemia. Ventilasi dengan

volume tidal yang besar mempertahankan FRC, jadi sering tak perlu

diberikan PEEP(4).

Paru yang dikempeskan dapat dikembangkan penuh selama

terjadi hipoksemia berat. Insuflasi oksigen 100% ke paru yang tak

terventilasi seringtidak cukup untuk mengatasi hipoksimea, karena oksigen

gagal untuk memperkaya dan menyertakan alvioli yang kolaps. Sedangkan

Page 31: Anestesia Torakotomi

insuflasi oksigen 100% disertai CPAP ke paru yang tak terventilasi

merupakan tindakkan yang efektif untuk mengoreksi hipoksemia. CPAP

mempertahankan potensi alvioli paru non dependent dengan oksigen, jadi

perfusi darah vena campuran yang tak tersaturasi di paru ini menjadi

teroksigenasi. Peningkatan tekanan jalan nafas diparu non dependent akibat

CPAP dapat semakin memperbesar tahanan pembuluh darah paru yang

dapat memindahkan aliran darah ke paru dependent, paru yang terventilasi..

CPAP yang diperlukan untuk mempertahankan oksigenasi yang bagus

relatif kecil(5 – 10 cmH2O ). CPAP yang lebih besar akan menyebabkan

overdistensi dari paru dan mengganggu pemaparan lapangan operasi(4).

Kombinasi PEEP ke paru yang terventilasi dan CPAP ke paru

yang tak terventilasi dapat digunakan untuk mengatasi hipoksemia berat.

Selama pneumonektomi, ligas arteri pulmonaris menhilangkan

shunt secara menyeluruh dan memaksimalkan huubungan ventilasi /

perfusi (4).

E. PERIODE PASCA BEDAH

Pada periode ini pasien terancam komplikasi segera yang

membahayakan jiwa, seperti : pendarahan masif , blow out stump pasca

pneumonektomi atau lobektomi, dan herniasi jantung pasca pneumonektomi

radikal(2).

Masalah lain pada periode ini adalah pe ngelolaan ventilasi mekanik, perawatan

pernafasan, dan pengelolaan nyeri pasca bedah(1).

Komplikasi pulmoner yang paling sering terjadi adalah

atelekse(1,2,3,4,5), ini dapat terjadi akibat trauma paru selama operasi, akibat

pengembangan kembali yang tak sempurna atau oleh karena sumbatan mukus.

Atelakse yang tak segera diatasi dapat berkembang menjadi pneumonia(4).

Beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya atelakse pasca

torakotomi antar lain : kemampuan melakukan nafas dalam, batuk,

pembersihan sekret dengan spirometri intensif, pemberian bronkodilator

aerosol, mobilisasi segera, dan yang paling penting adalah pengelolaan nyeri

yang adekwat (4).

Pada atelektase loboris atau atelektae seluruh paru akibat

sumbatan mukus, pasien harus dirawat dalam posisi lateral diman paru yang tak

dioperasi sebagai paru dependent untuk memperlancar aliran mukus dari paru

yang dioperasi dan memperbaiki ventilasi / perfusi(1,4).

Page 32: Anestesia Torakotomi

PENATALAKSANAAN VENTILASI MEKANIK

Pada umumnya pasien dapat diekstubasi dimeja operasi atau

segera setelah beberapa saat di ICU, tetapi beberapa pasien memerlukan

bantuan ventilasi mekanik untuk menunjang pernafasannya. Bial kita ragu,

sebaiknya pasien terus dengan ventilasi mekanik hingga keadaan dianggap

aman untuk ekstubasi(2).

Ventilasi mekanik biasanya dimulai dengan volume tidal 12 ml /

kg berat badan dengan SIMV, frekuensi 8 – 10 kali / menit dan FiO2 lebih kecil

dari 50%. Selam pasien dengan ventilasi mekanik di berikan sedasi dan

analgesi agar tenang dan tidak batuk(2).

PENATALAKSANAAN NYERI PASCA BEDAH

Pengobatan nyeri pasca bedah torakotami merupakan hal yang sangat

penting, bukan hanya untuk membuat pasien merasa nyaman tetapi juga untuk

memperkecil komplikasi pulmoner dengan membuat pasien mampu untuk

melakukan nafas dalam dan batuk serta mempercepat mobilisasi sehingga tidak

terjadi retensi sputum dan atelektase(1,2).

Pada saat ini, ada dua metode yang sangat efektif dan digunkan secara

luas serta dianggap sebagai pilihan untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi,

yaitu : cryoanalgesia dan pemberian narkotik secara epidural(1).

Cryoanalgesia

Cara ini terbukti sangat efektif untuk mengatasi nyeri dan mengurangi

kebutuhan narkotik pasca torakotomi, memperbaiki fungsi paru, serta

merupakan cara pilihan untuk mengelola nyeri torak yang diduga akan

berlangsung lama( misalnya nyeri akibat trauma dada ) (1).

Pembekuan saraf interkosta (cryoanalgesia) akan menghasilkan blok

saraf interkosta yang berlangsung sangat lama (1,2,3). Aplikasi es langsung pada

saraf akan menyebabkan degenerasi akson saraf tanpa menimbulkan kerusakan

pada jaringan penyokong saraf. (neurolemma), sehingga menghentikan aktifitas

saraf secara reversebel. Dalam waktu 2 – 3 minggu pasca pembekuan, struktur

dan fungsi saraf tersebut akan mulai mengalami pemulihan dan pulih sempurna

setelah 1 – 3 bulan tanpa gejala sisa neuritis atau neuroma(1,2).

Cryoprobe ditempatkan langsung pada saraf setinggi temapt sayatan,

lalu dua(1,3) atau tiga(1,2) interkosta diatas dan dibawahnya.

Page 33: Anestesia Torakotomi

Narkotik epidural

Kateter epidural harus sudah terpasang sebelum induksi anestesi dan

posisinya di cek dengan obat lokal anestesi dosis rendah. Injeksi pertama dapat

dilakukan di kamar operasi, kamar pemulihan, atau unit perawatan intensif(1).

Kelebihan dari teknik ini adalah tidak menimbulkan blok otonom,

sensoris ataupun motoris, menghilangkan nyeri dengan nyata dan durasinya

lebih panjang dari pada narkotik parenteral(1,2,3).

Di RSUP persahabatan, cara ini sudah ruti dilakukan. Setiap pasien

bedah toraks, diberikan morfin 5 mg dalam 10 NaCl 0,9 %, 40 menit sebelum

operasi selesai yang biasanya dapat menghilangkan nyeri sekitar 18 – 24 jam(2).

Dosis dan rute narkotik epidural untuk pengelolaan nyeri pasca bedah,

dapat kita lihat pada tabel berikutnya.

TABEL 6 ( diambil dari kepustakaan 1 )

Epidural Narcotics for Postoperative Pain Management :

Routes and Dosages

Site of Incision

Epidural Route

Drug Dosage (Diluent Saline)

Thoracotomy Thoracic Fentanyl

Methadone

Nalbuphine

Morphine

0.5 – 2mg/kg(10ml0.5 -2mg/kg/h

5mg(10ml)

30 – 100mg(10ml)

10mg(10ml)

2 – 4 mg (8ml )

0.1 mg/h

Lumbar Fentanyl

Morphine

Methadone

1 – 2 mg/kg (18 ml ) 1 -2 mg/kg/h

6 -8 mg (10 -15 ml )

5 mg ( 10 – 15 ml )

AbdominalIncision

Lumbar Fentanyl

Morphine

Methadone

Hydromorphone

0.5 – 2mg/kg(10ml) 0.5 -2mg/kg/h

2 - 6 mg (10 ml )

4 – 6 mg ( 18 – 20 ml )

1.25 – 1.50 mg (10 – 15 )

Beberapa cara alternatif lain untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi

antara lain :

Narkotik sistematik

Pemberiannya lebih baik secara patient – controlled analgesia (PCA)

atau titrasi perinpus intravena(3,4). Biasanya diberikan dalam dosis kecil secara

titrasi dan harus dimonitor dengan ketat agar nyeri dapat teratasi tanpa

menimbulkan depresi pernapasan. Perlu diingat juga bahwa analgenik narkotik

dapat menghambat reflek batuk, mengurangi frekwensi nafas dan

Page 34: Anestesia Torakotomi

menghilangkan kepekaan pusat pernapasan terhadap hiperkarbia dan

hipoksia(4).

Blok saraf interkostal

Cara ini terbukti mampu memberikan analgesia yang nyata,

menurunkan kebutuhan opioid, dan memperbaiki fungsi paru pasca bedah

toraks(3,4).

Biasanya digunakan obat anestesi lokal yang bekerja lama, 3 – 4 ml

bulpivakain 0,5 % disuntikkan dua intercosta diatas dan dibawah sayatan (3).

Komplikasi yang paling sering terjadi adalah basorsi sisitemik akibat injeksi

intravaskuler dan tertembusnya dura(3,4).

Blok Interpleural

Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam rongga

antara pleura parientalis dan viskeralis melalui kateter epidura yang dipasang

lewat dinding dada pada saat toraks mesih terbuka (1,4). Biasanya digunkan

bupivakain 0,25 – 0,5 % yang dicampur epinefrin(1).

Transcutaneus electrical nerve stimulation(TENS)

Dipasang elektrode pada sisi dada yang mengalami sayatan dan

diberikan rangsangan listrik(3). Biasanya digunkan rangsangan listrik voltase

rendah dengan frekuensi tinggi( 80 Hz ) melalui kulit(4).

F. RINGKASAN

Saat ini hampir semua prosedure bedah toraks dilakukan dalam posisi

lateral decubitus(1,2,3,4,5,8), yang akan menimbulkan perubahan – perubahan

fisiologi(3).

Pada pasien sadar dengan nafas spontan dan posisi lateral decubitus,

paru dependent akan mendapatkan aliran darah dan ventilasi yang lebih besar

(1,3). Bila paru kanan sebagai paru non dependent, ia akan mendapatkan 45%

dari aliran darah total, sedang pada posisi supine atau upright ia akan

mendapatkan 55%. Bila paru kiri sebagai paru non dependent, ia akan

mendapatkan 35% dari aliran darah total sedang pada supine atau upright ia

mendapatkan 45%(1,5).

Pada pasien teranestesi dengan nafas spontan maupun terkontrol dan

posisi lateral decubitus, ventilasi lebih banyak menuju paru atas sedang perfusi

tetap lebih banyak menuju ke paru dependet sehingga timbul mismacth

ventilasi / perfusi dan dapat menyebabkan hipoksemia(1,3). Pada posisi lateral

Page 35: Anestesia Torakotomi

decubitus, nafas spontan pada open pneumothorax akan menimbulkan

pergeseran mediastinum dan pernafasan paradoksal(1,3).

Kegiatan utama pada periode prabedah adalah melakukan evakuasi dan

persiapan serta tindakkan perawatan untuk optimalisasi fungsi pernafasan(1).

Evaluasi prabedah meliputi pemeriksaan fisik umum dengan perhatian

khusus pada sistem respirasi dan sistem kardiovaskuler, serta pemeriksaan

penunjang lain yang diperlukan (1,2,4). Uji fungsi paru yang rutin dan mudah

dilakukan adalah pengukuran kapasitas paksa (FVC) dan volume ekspirasi

paksa (FEV) (1, 2, 3, 4). % FVC > 80% adalah normal, 70-80% batas normal, 60-

70% menunjukkan adanya penyakit paru, <60% menunjukkan penurunan

fungsi paru yang nyata. % FEV1 berguna untuk membedakan penyakit paru

obstruksi atau restriksi. % FVC & % FEV1 dapat juga digunakan untuk

meramalkan kemampuan pasien melakukan ventilasi yang adekwat dan

mempertahankan kebersihan paru pasca bedah toraks (4).

Tindakan perawatan pernafasan prabedah pada prinsipnya ditujukan

untuk optimalisasi fungsi paru dalam usaha mencegah komplikasi pulmoner

pasca bedah (1, 2, 3, 4, 5).

Pada periode pembedahan, monitoring harus dilakukan dengan ketat

dan sesuai tingkat kebutuhannya, yang bertujuan agar dapat melakukan

diagnosa cepat dan memberikan terapi dengan tepat selama pembedahan (1, 2).

Pemilihan obat dan tehnik anestesi harus berdasar pertimbangan efeknya yang

multipel serta efek samping yang mungkin ditimbulkan (4, 5). Anestesi umum

dengan ventilasi kontrol merupakan tehnik yang paling aman untuk bedah

toraks elektif (1, 2, 3, 4, 5, 8), sedang untuk pemeliharaan pilihan terbaik adalah

anestesi inhalasi Isoflurane (1, 2, 5) dengan pelumpuh otot vecuronium atau

pancuronium (1, 4, 5).

Pada kasus darurat dimana kondisi pasien tidak stabil, ketamin yang

memiliki onset cepat, mempunyai efek bronkodilator dan mampu

mempertahankan stabilitas hemodinamik, merupakan pilihan (1, 2, 5, 8).

Kombinasi ketamin per infus dengan N2O dan pelumpuh otot terbukti sukses

digunakan untuk operasi toraks (4).

Obat anestesi intravena narkotik, terutama fentanil sangat bermanfaat baik pada

periode pembedahan maupun pasca bedah toraks (1, 5). Alfentanil dan propofol

merupakan kombinasi yang ideal untuk tehnik TIVA (5).

Page 36: Anestesia Torakotomi

Dengan tehnik ventilasi satu paru, paru yang dioperasi dapat diisolasi

dan dikempeskan sehingga akan memberikan kondisi yang optimal bagi

operator dan melindungi paru yang tidak dioperasi dari kontaminasi (4).

Pemakaian pipa endotrakea lumen ganda memiliki beberapa kelebihan

dibanding dengan bronchial blockers dan pipa endobronkial (1, 2, 4). Pipa

endotrakea lumen ganda kiri memiliki margin of safety yang lebih besar

dibanding pipakanan, dan pada saat ini biasanya digunakan pipa endotrakea

lumen ganda kiri untuk torakotomi kanan maupun kiri (4).

Dalam rangka meminimalisasi hipoksemia selama ventilasi satu paru, usaha

ditujukan kearah optimalisasi ventilasi ke paru dependent dan meningkatkan

kandungan oksigen darah yang kembali dari paru non dependent (4).

Pada periode pasca bedah, hal – hal yang penting adalah mewaspadai

kemungkinan adanya komplikasi segera yang mengancam jiwa, melakukan

perawatan pernafasan, mengatasi nyeri pasca bedah, dan penatalaksanaan

ventilasi mekanik.

Pada saat ini, ada dua cara yang sangat efektif dan digunakan secara luas serta

dianggap sebagai pilihan untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi, yaitu :

narkotik epidural dan Cryoanalgesia (1).

Page 37: Anestesia Torakotomi

DAFTAR PUSTAKA

1. Benumof JL, Alfery DD, Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Miller RD, ed.

Anesthesia, 3rd ed., New York : Churchill Livingstone, 1990 : 1517 – 73.

2. Anwar A, Soeroso SD, Ahmad S, dkk., Anestesia pada Bedah Paru, Dalam :

Makalah Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesiologi, Jakarta, 1995.

3. Morgan GE, Mikhail MS, Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Clinical

Anesthesiology, 1st ed., Connecticut : Applenton & Lange, 1992 : 404 – 14.

4. Brodsky JB, Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Healy TEJ, Cohen PJ, eds. A

Practice of Anaesthesia, 6th ed., London : Edward Arnold, 1995 : 1148 – 64.

5. Benumof JL, Choice of Anesthetic Drugs and Techniques, In : Anesthesia for

Thoracic Surgery, 2nd ed., Philadelphia : WB Saunders Company, 1995 : 300 –

26.

6. Filderman AE, Mathay RA, Preoperative Pulmonary Evaluation, In : Shields, ed.,

General Thoracic Surgery, 3rd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1989 : 277 – 82.

7. Wong HY, Brunner EA, Preanesthetic Evaluation and Preparation, In Shields,

ed., General Thoracic Surgery, 3rd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1989 : 285 -

92.

8. Ovassapian A, Conduct of Anesthesia, In Shields, ed., General Thoracic Surgery,

3rd ed., Philadelphia : Lea & Febiger, 1989 : 293 – 301.

9. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA, Thoracic Anaesthesia In : A Synosis of

Anaesthesia, 10th ed., Singapore : PG Publishing Pte. Ltd., 1988 : 569.