Anestesi Spinal
-
Upload
nyoman-arya-adi-wangsa -
Category
Documents
-
view
98 -
download
17
description
Transcript of Anestesi Spinal
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Anastesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit
selamamelakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Tipe anestesi ada 3 macam, yaitu general
anestesi (anestesi umum), regional anestesi dan lokal anestesi. Tindakan anestesi
dapat disesuaikan dengan tindakan operasi yang akan dilakukan.Anestesi spinal
(subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut
juga sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal
dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang
subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Prostatektomi adalah prosedur pembedahan untuk mengangkat jaringan
tumor pada prostat. Tipe anestesi yang dapat diberikan pada pasien yang akan
dilakukan prostatektomi yaitu regional anestesi (Sub Arachnoid Block). Dalam
anestesi yang harus diperhatikan adalah vital sign yang meliputi tekanan darah,
denyut nadi, suhu tubuh dan respirasi .Salah satu tanggung jawab utama dari
seorang ahli anestesi respirasi yang adekuat bagi pasien.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah menyajikan informasi mengenai
regional anestesi (Sub Arachnoid Block) pada pasien yang akan dilakukan
prostatektomi. Diharapkan dapat memberikan premedikasi yang tepat dan
menangani komplikasi yang bisa terjadi selama operasi pada pasien yang
dilakukan anestesi spinal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1. Definisi
Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut
juga sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan
bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5
2.2 Anatomi
Gambar 1. Anatomi Vertebrae Lumbal
Kolumna vertebralis terdiri dari :
7 vertebra servikalis
12 Vertebrae thorakalis
5 Vertebrae lumbal
5 Vertebrae sacral
4 Vertebrae coccygeus
Garis lurus yang menghubungkan kedua krista iliaca tertinggi akan
memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara L4-L5. Medulla spinalis
diperdarahi oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior. Untuk
mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus: kulit
2
subkutis lig.supraspinosusm lig.supraspinosum lig.flavum ruang
epudiral duramater ruang subarakhnoid.
Medulla spinalis dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu durameter,
arakhnoid, dan piameter yang membentuk tiga ruangan yaitu:
Ruang subarakhnoid adalah ruang yang terletak antara arakhnoid dan
piameter. Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel, saraf spinalis, dan cairan
serebrospinal.
Ruang subdural merupakan suatu ruangan yang batasnya tidak jelas, yaitu
ruangan potensial yang terletak antara dura dan membrane arachnoid.
Ruang epidural didefinisikan sebagai ruangan potensial yang dibatasi oleh
durameter dan ligamentum flavum.
Medulla spinalis secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2
pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir pada L3.Dibawah
level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari conus medularis
yang sering disebut dengan cauda equine, terendam dalam cairan serebrospinal.
Spinal anestesi biasanya diinjeksikan pada level yang lebih rendah dari L2 untuk
menghindari trauma pada medulla spinalis. Dibawah L2 serabut saraf lebih
mobile, melayang-layang sehingga terhindar dari trauma jarum spinal.Sacus dura,
ruang subarakhnoid dan subdural biasanya mencapai S2 pada dewasa dan sering
sampai S3 pada anak-anak.
2.3.Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas
meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi
pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan
menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal
adalah sebagai berikut :
1. Setelah dimonitor,tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala,selain enak untuk pasienjuga supaya tulang belakang
stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah
teraba. Posisi lain adalah duduk.
3
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan
pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G
dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa 10cc.
Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring
bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor
yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit
berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda
yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat
dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa ± 6cm.
2.4 Indikasi dan KontraindikasiAnestesi Spinal
Indikasi
4
Adapun indikasi untuk dilakukannya anestesi spinal adalah untuk
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan sekitar rektum-
perineum, bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah.
Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut; pasien menolak, infeksi pada tempat suntikan,
hipovolemia berat, syok, koagulopati/mendapat terapi antikoagulan, tekanan
intrakranial meninggi, fasilitas resusitasi minim, kurang pengalaman/tanpa
didampingi konsultan anestesi.
Kontraindikasi relatif; infeksi sistemik (sepsis, bakteremi), infeksi sekitar
tempat suntikan, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, penyakit
jantung, hipovolemia ringan, nyeri punggung kronis.
2.5Komplikasi dan Penanganan
Komplikasi dini, yaitu:
1. hipotensi
2. blok spinal tinggi /total
3. mual dan muntah
4. penurunan panas tubuh
Komplikasi lanjut, yaitu:
1. Post dural Puncture Headache (PDPH)
2. nyeri punggung (Backache)
3. cauda equine sindrom
4. meningitis
5. retensi urine
6. spinal hematom
7. kehilangan penglihatan pasca operasi
Hipotensi
Paling sering terjadi dengan derajat bervariasi dan bersifat individual.
Mungkin akan lebih bertahan pada pasien dengan hipovolemia. Biasanya terjadi
5
pada menit ke 20 setelah injeksi obat local anestesi. Derajat hipotensi
berhubungan dengan kecepatan masuknya obat local anestesi ke dalam ruang sub
arakhnoid dan meluasnya blok simpatis.
Hipovolemia
Dapat menyebabkan depresi serius sistem kardiovaskuler selama spinal
anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer. Merupakan kontraindikasi
relative anestesi spinal, tetapi jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian
volume cairan maka spinal anestesi bias dikerjakan pada pasien hamil. Sensitif
terhadap blockade simpatis dan hipotensi, hal ini karena obstruksi mekanis venous
return sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada posisi miring lateral segere
setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava. Pada pasien tua
dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi dibanding
dengan pasien muda.
Pencegahan
Pemberian cairan RL 500-1000 ml secara intravena sebelum anestesi
spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5 L cairan
elektrolit atau koloid digunakan secara luas untuk mencegah hipotensi.
Terapi
Autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan
pemberian preload
Bradikardi yang berat dapat diberikan antikolinergik
Jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopresor
langsung atau tidak langsung dapat diberikan seperti efedrin dengan dosis 5-
10 mg bolus iv
Efedrin merupakan vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot
jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer)
Blokade Total Spinal
6
Total spinal : blockade medulla spinalis smapai ke servikal oleh suatu obat
local anestesi. Factor pencetus : pasien menghejan, dosis obat local anestesi yang
digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik. Sesak napas
dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi disertai
mual,muntah, precordial discomfort dan gelisah. Apabila blok semakin tinggi
penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika
tidak ditolong akan terjadi henti jantung.
Penanganan
Usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat
face mask.
Jika depresi pernapasan makin beratperlu segera dilakukan intubasi
endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat.
Bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi
henti jantung.
Pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah
hipotensi.
Jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus
dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin
dan sulfas atropine.
Mual Muntah
Terjadi karena :
Hipotensi.
Adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik
usus.
Tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
Adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter
ductus biliaris
Factor psikologis
Hipoksia
7
Penanganan
Untuk menangani hipotensi : loading cairan 10-20 ml/kgBB kristaloid atau
Pemberian bolus efedrin 5-10 mg iv
Oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia
Dapat juga diberikan anti emetic
Shivering (penurunan panas tubuh)
Sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme
berkurang.
Vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya
hipotermi.
Penanganan
Pemberian suhu panas dari luar dengan alat pemanas
Post Dural Puncture Headache (PDPH)
Disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan jaringan
spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS. Akibatnya terjadi
ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan volume LCS melebihi
kecepatan produksi. LCS diproduksi oleh pleksus choroideus yang terdapat dalam
system ventrikel sebanyak 20 ml per jam. Kondisi ini akan menyebabkan tarikan
pada struktur intracranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuiluh darah,
saraf, falk serebri dan meningen dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan
LCS sekitar 20 ml. Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang
bila berbaring, hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke
bawah dan saat berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan
melindungi otak sehingga nyeri berkurang.
PDPH ditandai dengan:
Nyeri kepala yang hebat
Pandangan kabur dan diplopia
Mual dan muntah
Penurunan tekanan darah
8
Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi
Pencegahan dan Penanganan
Hidrasi dengan cairan yang kuat
Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum
non cutting pencil point
Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
Mobilisasi seawall mungkin
Gunakan pendekatan paramedian
Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya
diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian
cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat
Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg
peroral atau kafein benzoate 500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID
Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembentukan LCS
Jika nyeri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural
b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml
c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan
d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan
gerakan dan mobilisasi
e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan
Nyeri punggung
Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum dapat
menyebabkan nyeri punggung.Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang
menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif
biasanya bias menutup nyeri ini. Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi
9
dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi. Rasa
sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan
sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif.Adakalanya spasme otot
paraspinosusmenjadi penyebab.
Penanganan
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas
pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan
benzodiazepine akan sangat berguna.
Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan.Tanda-tanda
meliputi.Penyebab adalah traum adan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang
traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki
LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau
bahan pengawet yang berlebihan.
Penanganan
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda
equine merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain
menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal.
Retensi urin
Blockade sentral menyebabkan atonia vesika urinaria sehinggga volume
urine di vesika urinaria jadi banyak.Blockade simpatis eferen (T5-
L1)menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin.Spinal
anestesi menurunkan 5 -10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak
pada pasien hipovolemia.Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat
diperpanjang karena S2 dan S3 berisi serabut-serabut ototnomik kecil dan
paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar.
Meningitis
10
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika
penanganan klinis dilakukan dengan baik.Meningitis aseptic mungkin
berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang
terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang
memadai.
Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang
betul-betul steril
Menggunakan jarum spional sekali pakai
Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar
bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist
yang membahayakan.Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di
medulla spinali.Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan
neoplastic.Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan
penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan
paraplegi.Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnyameliputi
:
1. mati rasa
2. kelemahan otot
3. kelainan BAB
4. kellainan sfingter kandung kemih
5. sakit pinggang yang berat
faktor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis,
kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-
ulang.Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera
dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli saraf.Banyak perbaikan neurologist pada
pasien spinal hematomyang segera mendapatkan dekompresi pembedahan
(laminektomi) dalam waktu 8-12 jam.
11
2.6 Obat Anestesi Spinal
Berat jenis cairan serebrospinal (CSS/LCS) pada suhu 37C ialah 1.003 –
1.008. anestetik lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS/LCS disebut
isobarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari pada CSS/LCS
disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari pada
CSS/LCS disebut hipobarik.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan yaitu jenis hiperbarik
diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa.
BUPIVACAINE
Bupivacaine merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang lebih tiga kali lebih
kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long acting dan disintesa oleh BO af
Ekenstem dan dipakai pertama kali pada tahun 1963. Secara komersial bupivakain
tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat
sensoris daripada motoris menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia
selama persalinan dan pasca bedah.
Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivakain
hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan total dosis 15-
22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, takifilaksis yang terjadi lebih ringan
bila dibandingkan dengan lidokain.Salah satu sifat yang paling disukai dari
bupivakain selain dari kerjanya yang panjang adalah sifat blockade motorisnya
yang lemah. Toksisitasnya lebih kurang sama dengan tetrakain. Bupivakain juga
mempunyai lama kerja yang lebih panjang dari lignokain karena mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri
12
pada persalinan, dosis sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2
jam disertai blokade motoris yang ringan. Analgesik paska bedah dapat
berlangsung selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan tehnik anestesi
kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada dosis 0,25
– 0,375 % merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgesik paska bedah.
Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5 – 0,75 %) digunakan untuk pembedahan.
Konsentrasi infiltrasi 0,25 - 0.5 %, blok saraf tepi 0,25 – 0,5 %, epidural 0,5 –
0,75 %, spinal 0,5 %. Dosis maksimal pada pemberian tunggal adalah 175 mg.
Dosis rata-ratanya 3 – 4 mg / kgBB.
EPHEDRIN
Ephedrin merupakan golongan simpatomimetik non katekolamin yang
secara alami ditemukan di tumbuhan efedra sebagai alkaloid. Efedrin mempunyai
gugus OH pada cincin benzena , gugus ini memegang peranan dalam “efek secara
langsung” pada sel efektor.
Seperti halnya Epinefrin, efedrin bekerja pada reseptor α, α1, α2.Efek pada
α1 di perifer adalah dengan jalan menghambat aktivasi adenil siklase.Efek pada
α1 dan α2 adalah melalui stimulasi siklik-adenosin 3-5 monofosfat.Efek α1
berupa takikardi tidak nyata karena terjadi penekanan pada baroreseptor karena
efek peningkatan TD.Efek perifer efedrin melalui kerja langsung dan melalui
pelepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takifilaksis
(pemberian efedrin yang terus menerus dalam jangka waktu singkat akan
menimbulkan efek yang makin lemah karena semakin sedikitnya sumber NE yang
dapat dilepas, efek yang menurun ini disebut takifilaksis terhadap efek
perifernya. Hanya I-efedrin dan efedrin rasemik yang digunakan dalam klinik.
Efedrin yang diberikan masuk ke dalam sitoplasma ujung saraf adrenergik
dan mendesak NE keluar.Efek kardiovaskuler efedrin menyerupai efek Epinefrin
tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama.Tekanan sistolik meningkat juga
biasanya tekanan diastolic, sehingga tekanan nadi membesar.Peningkatan tekanan
darah ini sebagian disebabkan oleh vasokontriksi, tetapi terutama oleh stimulasi
jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut
jantung mungkin tidak berubah akibat reflex kompensasi vagal terhadap kenaikan
13
tekanan darah. Aliran darah ginjal dan visceral berkurang, sedangkan aliran darah
koroner, otak dan otot rangka meningkat.Berbeda dengan Epinefrin, penurunan
tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Penderita
Nama : Tn. AM
Umur : 83 tahun
14
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Lr. Tembok Batu, 11 ULU, Palembang
Pemeriksaan : 5 Februari 2013
II. Anamnesis
Alloanamnesis
Keluhan Utama : sulit buang air kecil.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Penderita datang ke poli bedah RS Muhammadiyah Palembang dalam
keadaan sadar, mengeluhsulit buang air kecil.Keluhan demam tidak ada,
batuk dan pilek tidak ada. Riwayat penyakit dahulu; asma (-), hipertensi (-),
diabetes mellitus (-), penyakit jantung (-), batuk pilek (-), penyakit paru-paru
(-), alergi obat / makanan (-), demam (-), merokok (+) terakhir merokok + 3
bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Penderitatidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.
Riwayat Pengobatan
Penderita belum pernah berobat sebelumnya.
III. Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan umum : Tampak Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 86x/menit
Respirasi : 22x/menit
15
Temperatur : 37°C
Berat badan : 58 kg
Status General :
Kepala : Normocephali
Muka : Simetris,
Mata : Konjungtiva Anemis -/-, Sklera ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor
Leher : Kaku kuduk (-)
Pembesaran kelenjar limfe -/-
Pembesaran kelenjar parotis -/-
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax : Cor : S1/S2 jelas, reguler, Murmur (–), Gallop (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : datar, lemas, BU (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2”, edema (-), sianosis (-)
IV. Diagnosis
Hiperplasia Prostat
V. Kesimpulan
A: clear, malampati 1
B: spontan, RR22x/m, ves +/+
C: TD120/70mmHg, N86x/m, reguler
D: E4M6V5
Status fisik ASA I
Assestment: rencana regional anestesi menggunakan teknik sub arachnoid block (SAB)
16
Saran : informed consent
VI. Penatalaksanaan Anestesi
Premedikasi : Ondansetron 8mg/4ml; 1 ampl
Induksi : Bupivacaine HCl 5mg/ml; 3ml
Pemeliharaan : O23ltr/mnt
Obat-obatan :Asam Traneksamat 500mg/5ml; 2 ampul, Ketorolac30
mg/ml; 1 ampul, Ephedrin HCl, Pethidin 100mg/2ml; ½ ampl,
Midazolam5mg/5ml; 0,75 ml
Cairan: RL 500cc 2 kolf, Gelofusine 500cc 1 kolf
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis hiperplasia prostat akan dilakukan
prostatektomi dengan status fisik ASA I.
1. Pre operasi
Informed consent
17
Memberitahu dan meminta persetujuan pasien bahwa akan dilakukan
tindakan anestesi spinal untuk menghilangkan rasa sakit saat operasi
berlangsung dan juga memberi tahu pasien kalau tidak dapat
menggerakkan kakinya selama 2-3 jam setelah dibius. Penggunaan
regional anestesi adalah untuk kenyamanan pasien pada saat dilakukan
prostatektomi.
Pasien duduk di meja operasi dengan kepala menunduk sambil memeluk
bantal agar prosessus spinosus L4-L5 mudah teraba.
Mempersiapkan dan pasang alat monitoring tekanan darah, nadi dan
oksimetri denyut (pulse oximeter) untuk monitoring selama operasi
berlangsung.
Disuntikkan Ondansetron 8mg/ 4ml; 1 ampul intravena untuk mencegah
mual muntah selama operasi berlangsung.
Persiapkan jarum spinal 27G, spuit 3cc dan BupivacainHCl 5mg/ml;
3mluntuk memblok saraf spinal. Sebelumnya dilakukan aseptik pada
regio L4-L5 dengan betadine untuk mencegah infeksi.
Setelah dilakukan anestesi spinal, baringkan pasien dan kepala diberi
bantalan. Kemudian dilanjutkan pemberian oksigen 3ltr/m menggunakan
nasal kanul sebagai pemeliharaan anestesi.
2. Durante op.Pasien diberikan:
Lama operasi 1 ½ jam (90 menit). Monitoring vital sign yaitu denyut
jantung, tekanan darahdan SpO2 selama operasi.
Asam Traneksamat sebagai antifibrinolitik untuk profilaksis dan
mengatasi perdarahan selama operasi.
Ketorolac sebagai analgetik untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien
post operatif.
Ephedrin sebagai vasokontriktor untuk mengatasi hipotensi.
Midazolam dan Pethidin sebagai penenang dan analgesik untuk
mengatasi menggigil.
Cairan yang diberikan yaitu RL 2 kolf dan gelofusine 1 kolf.
Maintenance : 58 kg x 2 ml/KgBB/jam = 116 ml/jam
18
Puasa : 8 jam x 116 ml/jam = 928 ml
IWL : 8 ml/Kg x 58 Kg = 464 ml
1 jam awal = (½ x P) + M + IWL
= (1/2 x 928 ml) + 116 ml + 464 ml
= 464 ml + 580 ml
= 1.044 ml
2 & 3 jam selanjutnya = (1/4 x P) + M + IWL
= (1/4 x 928 ml) + 116 ml + 464 ml
= 232 + 580
= 812 ml
Total cairan = 1044 ml + (1/2 jam x 812 ml)
dibutuhkan = 1044 ml + 406 ml
= 1.450 ml (3 kolf)
3. Post Operasi
Pasien dibawa ke ruangan pemulihan dimana layaknya pasien dilakukan
monitoring terhadap Bromage skor, berupa gerakan ekstremitas bawah.
Bila pasien mampu menggerakkan tungkai bawah secara penuh nilainya
0, bila pasien hanya mampu menekuk lutut dan tak bisa mengangkat kaki
nilainya 1, bila pasien tidak mampu menekuk lutut dan hanya mampu
menekuk pergelangan kaki nilainya 2, bila pasien tidak mampu
menggerakkan kakinya secara penuh nilainya 3.
Pasien diperbolehkan untuk keluar dari ruang pemulihan dan dirawat di
sal bedah.
BAB V
KESIMPULAN
Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut
juga sebagai blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan
19
bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Anestesi spinal membutuhkan pemilihan kasus yang selektif. Dengan
memperhatikan indikasi dan kontraindikasinya. Ada pula komplikasi yang biasa
terjadi selama operasi berlangsung. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring
berkala dan penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi komplikasi yang terjadi.
Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderitayang akan
menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan ataumeminimalkan angka
morbiditas maupun mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nishida,T & Smith,M,P. 2007. Spinal, Epidural & Caudal Anesthesia in Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. 7th edition. LWW.
20
2. Kleinman,W & Mikhail,M,S. 2006. Regional Anesthesia & Pain Management, Spinal, Epidural & Caudal Blocks in Clinical Anesthesiology. 4th edition. A Lange Medical Book.
3. Latief,S,A & Suryadi,K,A. 2001. Analgesia Regional dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
4. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies. 2006 : 98.
5. Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC : Jakarta.6. Bromage Scale in www.frca.co.uk/article, diunduh pada tanggal 13/2/20137. Bromage Score in www.rch.org.au, diunduh pada tanggal 13/2/2013.
21